FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA
YOGYAKARTA
2021
Diterbitkan oleh
Medical Education Unit (MEU)
Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Duta Wacana
PENGANTAR BLOK
Acuan tujuan belajar (Objectives Learning) dari SKDI 2012 memiliki area
kompetensi, meliputi : 1. Komunikasi Efektif, 2. Keterampilan Klinis, 3.
Landasan Ilmiah Ilmu Kedokteran, 4. Pengelolaan Masalah Kesehatan, 5.
Pengelolaan Informasi, 6. Mawas Diri dan Pengembangan Diri, 7. Etika, Moral,
Medikolegal, dan Profesionalisme serta Keselamatan Pasien; semuanya
diintegrasikan dengan kompetensi penanganan kluster-kluster penyakit, mulai
dari ”sekedar” mendiagnosa langsung merujuk, sampai melakukan penanganan
tuntas (acuan Konsil Kedokteran Indonesia 2012).
Demikianlah diharapkan buku ini bisa bermanfaat.
DAFTAR ISI
PEDOMAN PENILAIAN
KOMPONEN PENILAIAN
PRE-TEST : 20%
RESPONSI : 5%
PORTOFOLIO : 5%
OSCE : 70%
PRE-TEST
Nilai pre-test merupakan nilai yang diperoleh dari mengerjakan soal-soal pre-
test sebelum sesi skills lab berlangsung.
RESPONSI
Responsi dilakukan pada minggu ujian tiap blok. Tiap mahasiswa akan diuji
secara individu dalam melakukan responsi. Mahasiswa diwajibkan mengulang ujian
responsi jika pencapaian nilai kurang dari 70 atau terjadi autoinhal pada beberapa
prosedur tertentu yang ditetapkan
PORTOFOLIO
Nilai Portofolio merupakan nilai yang diperoleh dari tulisan mahasiswa di
portofolio masing – masing.
OSCE
Tema skills lab yang terpilih akan diujikan dalam Objective Structured Clinical
Examination (OSCE). OSCE berlangsung pada tiap akhir semester. Mahasiswa diwajibkan
mengulang ujian OSCE jika pencapaian nilai kurang dari 70 atau terjadi auto inhal pada
beberapa prosedur tertentu yang ditetepkan.
Anamnesis pada sistem saraf pada prinsipnya sama seperti anamnesis secara
umum sehingga prinsip-prinsip komunikasi dasar berlaku pada proses ini. Konsep
anamnesis pada sistem saraf bertujuan untuk:
1. Mengkonfirmasi adanya gejala defisit neurologis secara subjektif
2. Menentukan dugaan lokasi anatomi yang menyebabkan gejala (topis anatomis)
3. Menentukan dugaan mekanisme penyebab gejala (etiologis)
Pada pembelajaran kali ini mahasiswa diharapkan dapat menguasai tujuan
pertama dan kedua serta mulai diperkenalkan dengan tujuan ketiga.
Defisit neurologis global adalah tanda dan gejala yang diakibatkan oleh kerusakan
saraf yang luas/difus/menyeluruh. Defisit neurologis yang termasuk dalam defisit
neurologis global antara lain:
- Penurunan kesadaran: koma, somnolen, delirium, dsb.
- Kejang umum/general seizure: kaku/kelojotan pada seluruh ekstremitas secara
bersamaan
Kelainan
Struktural
Neurologi
Intrakranial Spinal
Hemisfer
Hemisfer
Serebeli dan Medula Spinalis Saraf Perifer
Serebri
batang otak
Radiks-pleksus- Neuromuscular
Otot
nervus Junction
Pada tahap awal, secara umum harus bisa menentukan apakah gejala neurologis yang
dialami adalah akibat gangguan pada intrakranial atau spinal. Defisit neurologis yang
terjadi akibat gangguan tersebut memiliki pola-pola kecenderungan spesifik yang
dapat membantu untuk mengarahkan kecurigaan lokasi topis anatomis. Perbedaan
pola tersebut adalah berdasarkan fungsi sistem saraf. Adapun fungsi sistem saraf
dapat dibedakan menjadi:
a. Fungsi motorik: motorik ekstremitas dan motorik wajah
b. Fungsi sensorik: sensorik ekstremitas dan sensorik wajah
c. Fungsi autonomik: buang air besar, buang air kecil
d. Fungsi keseimbangan
e. Fungsi luhur
Perbedaan pola defisit neurologis pada gangguan intrakranial dan spinal dapat dilihat
pada tabel berikut.
Fungsi Neurologis Gangguan intrakranial Gangguan Spinal
Motorik Pola hemi-/sesisi (tangan Monoparesis/biparesis/quadriparesis
Ekstremitas dan kaki sesisi)
Motorik wajah Dapat terganggu Tidak terganggu
Sensorik Pola hemi-/sesisi (tangan Hipoestesia pola
Ekstremitas dan kaki sesisi) segmental/dermatomal
Sensorik wajah Dapat terganggu Tidak terganggu
Autonomik Jarang sekali terganggu Sering terganggu (inkontinensia
urin, inkontinensia alvi)
Keseimbangan Depat terganggu (pusing Jarang sekali terganggu
berputar, dsb.)
Fungsi luhur Dapat terganggu Tidak terganggu
Onset yang bersifat akut (dalam hitungan menit atau jam) dimungkinkan oleh
kelainan vaskular/gangguan pembuluh darah atau stroke. Pada onset yang akut-
subakut dapat terjadi pada reaksi inflamasi seperti meningitis, abses serebri dan
didahului oleh demam. Onset yang kronik dapat menjadi suatu indikasi ke arah
penyebab neoplasma. Etiologi juga dapat diperkirakan dari jenis defisit neurologis
yang muncul. Pada defisit neurologis global maka perlu dicurigai gangguan saraf yang
simetris sehingga penyebabnya juga cenderung yang gangguannya secara
difus/sistemik/metabolik.
Sumber:
- Aninditha, T, Wiratman, W,. 2017. Buku Ajar Neurologi Buku 1. Departemen
Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
- Campbell, WW. 2013 DeJong’s The Neurologic Examination 7 th Edition.
Lippincott Williams & Wilkins.
- Ropper, AH, Samuels, MA, Klein, JP. 2014. Adams and Victors Principles Of
Neurology 10th ed. Mc Graw Hill Education
TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Mahasiswa mengetahui tentang teknik pengumpulan data melalui diskusi kelompok
terfokus
2. Mahasiswa mampu menjadi fasilitator dalam diskusi kelompok terfokus
Keuntungan mengumpulkan data dengan metode ini adalah relatif tidak mahal,
formatnya fleksibel serta mampu mendorong peserta untuk saling bertanya dan
memperdalam jawaban-jawaban mereka. Namun FGD juga memiliki kelemahan.
Bervariasinya pendapat dari peserta, dan terlalu fleksibelnya metode ini, mempersulit
peneliti untuk mengkontrol proses yang telah berjalan. Tehnik ini kurang baik bila
digunakan tunggal karena dalam suatu diskusi kelompok, individu cenderung bersikap
moderat. Padahal dalam realitanya mungkin dia memiliki opini maupun karakter yang kuat
yang tidak tampak pada saat diskusi. Oleh karena itu tehnik pengumpulan data model ini
biasanya dikombinasi dengan in-depth interview.
TUGAS MAHASISWA
1. Mempelajari cara menjadi fasilitator FGD
2. Mengembangkan pertanyaan untuk salah satu topik berikut ini:
a. Pengaruh model alas kaki dengan kesehatan otot, sendi, dan saraf
b. Pengaruh Pijat bagi kesehatan dan tren pijat di masa sekarang
c. Penanganan tradisional pada kasus patah tulang
Referensi
Conducting focus group discussion, http://www.etr.org/FFN/FGcourse/focusGroupCourse.html .
Denzin NK, Lincoln YS, 2009, Handbook of qualitative research, Penerbit Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Iedema R, Braithwaite J, 2004, Conducting a focus group, Centre for Clinical Governance
Research in Health, University of New South Wales.
Micro report, 2008, Guide to focus group discussions, USAID.
______________________ ______________________
TUJUAN PEMBELAJARAN:
1. Mahasiswa mengetahui perihal wawancara in-depth dan kuesioner
2. Mahasiswa mampu mengaplikasikan ilmu wawancara in-depth
Interview atau wawancara merupakan proses interaksi antara dua pihak dengan
tujuan menggali keterangan yang bisa berupa pendapat, kesan, pengalaman dari sumber
yang relevan. Wawancara merupakan seni bersosialisasi antara dua orang dalam jangka
waktu tertentu. Pada blok ini mahasiswa akan belajar bagaimana melakukan wawancara
mendalam, mengenal kuesioner dan mengaplikasikannya.
Wawancara mendalam merupakan salah satu metode yang digunakan untuk
penggalian informasi, pengumpulan data untuk penelitian kualitatif. Metode ini merupakan
salah satu contoh metode wawancara semi terstruktur, dimana pewawancara melebur
dengan narasumber dan berimprovisasi. Dalam wawancara mendalam, narasumber
diberikan kesempatan untuk bercerita panjang lebar tentang suatu tema yang menarik.
Teknik ini dirancang untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang perspektif
narasumber terhadap suatu topik. Teknik wawancara mendalam memungkinkan terjadinya
diskusi antara pewawancara dan narasumber sehingga membantu pewawancara untuk
masuk ke pemikiran narasumber, menggali perasaan maupun perilaku narasumber
mengenai topik yang sedang didiskusikan.
Ada beberapa hal kunci yang membedakan antara wawancara mendalam dengan
metode wawancara reguler, yakni antara lain:
▪ Face to face or one on one interview
▪ Open-ended question. Narasumber tidak boleh hanya menjawab ya atau tidak, namun
harus menguraikan secara terperincci mengenai topik.
▪ Format wawancara semi-struktur. Pewawancara tetap harus membuat poin-poin
pertanyaan yang akan ditanyakan pada saat wawancara namun tidak kaku,
pertanyaan harus mengalir natural.
Ada beberapa hal yang juga harus diingat pada saat wawancara, yakni:
a. Sopan santun, meliputi tingkah laku dan juga pakaian.
b. Mendengarkan dan bertanya dengan baik. Wawancara yang baik itu seperti sebuah
percakapan. Siapkan pertanyaan namun jangan semata-mata ditanyakan secara
berurutan. Sesuaikan dengan jawaban yang diberikan narasumber. Yang terpenting
adalah mendengarkan dan bertanyalah dengan natural. Menjalin relasi yang baik dengan
narasumber merupakan hal yang penting. Terkadang perlu juga pewawancara sharing
informasi pada saat wawancara karena wawancara juga merupakan bentuk percakapan
dua arah.
c. Menjaga suasana. Untuk mencapai suasana yang nyaman diperlukan waktu. Oleh karena
itu di awal wawancara hendaknya menanyakan hal-hal yang umum misalnya tentang hobi
atau kesibukan saat ini. Berkomunikasi yang baik (jelas dalam berbicara, tidak tergesa-
gesa), mendengarkan dengan aktif juga menjadi kunci. Jangan membuat narasumber
tersinggung ataupun marah.
d. Menjaga pokok persoalan. Pewawancara harus mampu mengendalikan proses
wawancara. Bila apa yang diperbincangkan sudah melebar maka pewawancara perlu
meluruskan kembali ke pokok persoalannya.
e. Kritis. Sikap kritis diperlukan sehingga mendapatkan data yang selengkap-lengkapnya.
f. Mencatat dan merekam. Apa yang didapatkan dari narasumber harus dicatat. Rekaman
recorder harus segera dibuat transkrip hasilnya. Jangan menunda-nunda membuat
catatan.
g. Mengucapkan terimakasih. Pada akhir wawancara jangan lupa mengucapkan terima kasih
atas waktu dan kesempatan berbagi informasi.
REFERENSI
Boyce C, Neale P, 2006, Conducting in-depth interviews: A Guide for Designing and
Conducting In-Depth Interview for Evaluation Input, Pathfinder International.
Denzin NK, Lincoln YS, 2009, Handbook of qualitative research, Penerbit Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Modul 3, In-depth Interview, Qualitative Research Methods: A Data Collector’s Field Guide
CHECKLIST
No Aspek yang dinilai 0 1 2
1 Memberi salam
2 Berperilaku sopan
3 Tidak tegang
4 Membangun relasi yang baik dengan narasumber
5 Mengajukan pertanyaan terbuka
6 Mengajukan pertanyaan yang spesifik
7 Menanyakan sesuatu secara mendalam
8 Mengklarifikasi
9 Mendengarkan dan bertanya dengan baik
10 Menjaga pokok persoalan
11 Kritis dalam menanggapi persoalan
12 Mencatat hasil wawancara dengan baik
13 Merekam proses percakapan
13 Mengucapkan terima kasih
Total nilai
⋯⋯
× 100% =
⋯⋯
(…………………………..) (…………………………..)
Penyebab
SYOK HIPOVOLEMIK
Pengertian
menempati hamper 2/3 dari air tubuh total sedangkan cairan tubuh
ekstraseluler ditemukan dalam salah satu kompartemen intavaskular dan
interstitial. Volume cairan interstitial adalah kira-kira 3-4x dari cairan
intravascular. Syok hipovolemik terjadi jika penurunan
volume intavaskuler 15% sampai 25%. Hal ini akan menggambarkan kehilangan
750 ml sampai 1300 ml pada pria dgn berat badan 70 kg.
Etiologi
SYOK KARDIOGENIK
Pengertian
Etiologi
SYOK DISTRIBUTIF
Pengertian
Etiologi
Syok distributif dapat disebabkan baik oleh kehilangan tonus simpatis atau
oleh pelepasan mediator kimia ke dari sel-sel. Kondosi-kondisi yang
menempatkan pasien pada resiko syok distributif yaitu:
1. syok neurogenik seperti cedera medulla spinalis, anastesi spinal,
2. syok anafilaktik seperti sensitivitas terhadap penisilin, reaksi transfusi, alergi sengatan
lebah
18 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana
Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik
3. syok septik seperti imunosupresif, usia yang ekstrim yaitu > 1 thn dan > 65 tahun,
malnutrisi
TINGKAT KESADARAN
Salah satu cara untuk mengukur tingkat kesadaran dengan hasil seobjektif
mungkin adalah menggunakan GCS (Glasgow Coma Scale). GCS dipakai untuk
menentukan derajat cidera kepala. Reflek membuka mata, respon verbal, dan
motorik diukur dan hasil pengukuran dijumlahkan jika kurang dari 13, makan
dikatakan seseorang mengalami cidera kepala, yang menunjukan adanya
penurunan kesadaran.
Metoda lain adalah menggunakan sistem AVPU, dimana pasien diperiksa
apakah sadar baik (alert), berespon dengan kata-kata (verbal), hanya berespon
jika dirangsang nyeri (pain), atau pasien tidak sadar sehingga tidak berespon
baik verbal maupun diberi rangsang nyeri (unresponsive).
Ada metoda lain yang lebih sederhana dan lebih mudah dari GCS dengan hasil
yang kurang lebih sama akuratnya, yaitu skala ACDU, pasien diperiksa
2. extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan jari
mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).
1. tidak ada respon
Hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam simbol
E…V…M…
Pendahuluan
palu refleks dipegang tidak terlalu keras, dan diketukkan dengan cara
diayunkan secara perlahan dan berulang. Anggota gerak yang diperiksa harus
santai, bila akan dibandingkan kanan dan kiri harus ditempatkan secara simetris.
Pemeriksa harus meyakinkan bahwa yang diketuk pada refleks dalam adalah
tendon otot.penderajatan hasil penilaian refleks adalah sebagai berikut:
0 : tidak ada gerakan refleks
1 : ada gerakan yang lemah
2 : Gerakan cukup cepat, beramplitudo cukup, biasanya pada orang yang normal
3 : Melebihi respon umum
4 : Jelas meningkat dan patologis
Refleks Triceps
KEPUSTAKAAN
DeJong RN, 1981, Case Taking and The Neurologic Examination, dalam AB Baker
and LH Baker (eds), Clinical Neurology, Vol 1, pp: 1-87, Harper and Row,
Philadelphia
FullerG, 1993, Neurological Examination, Made Easy, Churchill Livingstone
Massey EW, Pleet AB, 1985, Diagnostic Test in Neurology, Year Book, Medical
Publisher
NILAI:
0 : Tidak dikerjakan
1 : Dikerjakan tidak sempurna
2 : Dikerjakan dengan sempurna
REFLEKS TRICEPS
NILAI
NO ASPEK YANG DINILAI
0 1 2
1 Menerangkan secara benar tujuan pemeriksaan
2 Menempatkan pasien dalam posisi yang benar
3 Memilih alat pembangkit refleks yang sesuai
4 Pemeriksa memposisikan sikap lengan bawah
pasien difleksikan di sendi siku dan sedikit
dipronasikan
5 Pemeriksaan meletakkan jari pemeriksa pada
tendo otot triceps
6 Stimulasi dilakukan dengan melakukan ketukan
pada tendon otot triceps.
7 Melihat respon
8 Mencatat dan menyimpulkan hasil pemeriksaan
NILAI:
0 : Tidak dikerjakan
1 : Dikerjakan tidak sempurna
2 : Dikerjakan dengan sempurna
REFLEKS PATELLA
NILAI:
3 : Tidak dikerjakan
4 : Dikerjakan tidak sempurna
5 : Dikerjakan dengan sempurna
REFLEKS ACHILES
NILAI:
0 : Tidak dikerjakan
1 : Dikerjakan tidak sempurna
2 : Dikerjakan dengan sempurna
B. Raba Halus
Objek untuk pemeriksaan sensasi raba halus yang dapat digunakan
adalah kapas, tisu, bulu, sikat lembut atau bahkan sentuhan yang sangat halus
dari ujung jari pemeriksa.
Dengan mata pasien tertutup, pemeriksa menyentuh secara bergantian
area kulit pasien dengan objek yang digunakan. Pemeriksa secara bergantian
memberikan rangsang pada pasien di minimal 13 titik. Menyentuh satu bagian
tubuh diikuti oleh bagian tubuh yang sesuai di sisi lain (misalnya, bahu kanan
kemudian bahu kiri) dengan instrumen yang sama. Perbandingan dua titik
ekstrem kranial dan kaudal juga dapat dilakukan. Usahakan intensitas
stimulus yang diberikan sama kuat.
Tiga belas (13) titik yang diperiksa perwakilan lokasi tubuh yang sesuai
dengan dermatom radiks saraf:
1. Aspek anterior bahu (C4)
2. Aspek lateral lengan atas (C5)
3. Aspek medial lengan bawah (T1)
4. Ujung jempol (C6)
5. Ujung jari tengah (C7)
6. Ujung jari kelingking (C8)
7. Dada, tingkat papila mamae (T5)
8. Perut, tingkat umbilikalis (T10)
9. Aspek anterior paha (L2)
10. Aspek anterior genu (L3)
11. Bagian medial tungkai bawah (L4)
12. Bagian lateral tungkai bawah (L5)
13. Telapak kaki (S1)
C. Suhu
Objek yang digunakan untuk pemeriksaan sensasi suhu yang ideal
adalah 2 tabung reaksi yang berisi air hanga (40-45O C) dan dingin (5-10O C).
Permukaan luar tabung harus kering. Alternatif lain adalah jari pemeriksa
(stimulus hangat) atau gagang garpu tala (stimulus dingin).
Dengan mata tertutup, pasien diinstruksikan untuk mengidentifikasi
stimulus yang diberikan dalam beberapa detik saat kulit disentuh dengan
stimulus dingin/hangat. Langkah ini diulangi dengan stimulus yang berbeda
dari sebelumnya pada area yang sama. Berikan jeda kurang lebih 2 detik antar
pemberian stimulus.
sesuai yang ditetapkan di awal. Ulangi pada kaki yang berlawanan dan
bandingkanlah.
B. Tes graphesthesia
Graphestesia adalah kemampuan untuk mengenali huruf atau angka
yang dituliskan di atas area kulit tertentu. Pemeriksaan dilakukan dengan
meminta pasien untuk menutup mata mereka dan mengidentifikasi nomor
atau huruf yang digambar di telapak tangan mereka. Pemeriksa
menuliskan bentuk huruf atau angka (1-10) dengan jari pemeriksa atau
dengan ujung pena yang terutup pada telapak tangan/telapak
jari/punggung kaki pasien. Pasien kemudian diminta untuk menyebutkan
angka atau huruf yang digambarkan tersebut. Ulangi di sisi lain dengan
huruf atau angka yang berbeda.
C. Diskriminasi 2 titik
Alat pemeriksaan yang digunakan adalah caliper atau klip kertas yang
dibentuk menjadi huruf V. Pemeriksaan ini bertujuan untuk membedakan stimulasi
1 atau 2 titik pada area kulit. Area yang diperiksa meliputi wajah, ujung jari, telapak
tangan dan daerah tulang tibial. Pasien diminta menutup mata kemudian pemeriksa
memberikan stimulasi bersamaan pada 2 titik pada area tersebut pada jarak
tertentu, pasien diminta mengidentifikasi apakah stimulus yang diberikan ada 1 titik
atau 2 titik. Jarak antara stimulasi 2 titik terpendek masih dapat didentifikasi oleh
pasien sebagai stimulasi 2 titik kemudian diukur.
Batas normal stimuasi 2 titik antara lain: ujung lidah 1 mm, bibir 2-3 mm,
wajah 2-5 mm. Jika jarak untuk membedakan 2 titik lebih lebar dari rentang normal
mengindikasikan gangguan pada lobus parietal.
1. PEMERIKSAAN KESEIMBANGAN
Keseimbangan yang normal melambangkan gambaran integritas antara
komponen susunan saraf pusat dan perifer yang normal. Fungsi keseimbangan
dipengaruhi oleh input sistem vestibular, proprioseptif dan visual. Keseimbangan
yang baik memerlukan minimal 2 dari 3 input sistem tersebut. Apabila ada lebih
dari 1 sistem tersebut yang terganggu maka akan terjadi gangguan keseimbangan.
A. Tes romberg
Tujuan pemeriksaan romberg adalah untuk evaluasi input sensoris
sistem vestibular dan proprioseptif. Pemeriksaan ini dilakukan dengan
menghilangkan input visual. Normalnya tubuh akan tetap dapat berdiri
seimbang saat mata tertutup karena ditopang oleh input vestibular dan
proprioseptif yang baik.
Syarat pemeriksaan ini adalah tidak terdapat kelemahan motoric pada
ekstremitas bawah, memiliki visus yang baik dan kooperatif selama
pemeriksaan. Selama pemeriksaan pasien tidak memakai alas kaki
Pada awal pemeriksaan, mintalah pasien berdiri pada alas yang datar,
kedua kaki rapat, lengan berada di sisi tubuh dan mata terbuka. Lengan juga
dapat disilangkan pada dada dengan tangan mendekap bahu. Pemeriksa
berdiri di dekat pasien dengan kedua lengan terjulur ke depan sehingga jika
pasien terjatuh pemeriksa dapat segera menangkapnya. Perhatikan selama 20
detik apakah pasien bergoyang atau jatuh.
Apabila dengan mata terbuka pasien dapat mempertahankan
keseimbangan, instruksikan pasien untuk menutup kedua matanya selama 30
detik. Perhatikan kemampuan pasien untuk mempertahankan posisinya agar
tetap tegak. Pasien dikatakan tidak dapat mempertahankan keseimbangan
apabila terhuyung dan kaki berubah posisi untuk mencegah dirinya jatuh. Jika
pasien tidak dapat mempertahankan keseimbangannya maka disebut romberg
positif.
Jika pada saat mata terbuka pasien sudah terhuyung atau jatuh, makan
disebut romberg mata terbuka positif dan kemungkinan terdapat gangguan
pada serebelum. Jika pada saat mata terbuka pasien sudah terhuyung atau
jatuh maka tidak perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan mata tertutup.
Apabila saat mata terbuka pasien dapat mempertahankan
keseimbangan sementara terhuyung atau jatuh saat mata tertutup, maka
kemungkinan terdapat gangguan dari input vestibular atau propriospetif atau
kombinasi keduanya.
Past Pointing Test positif apabila lengan pasien mengalami deviasi dari
target (jari pemeriksa) dan arah deviasi konsisten pada beberapa kali
pengulangan. Pada kerusakan serebelum akan terjadi deviasi pada salah satu
tangan, sementara pada kerusakan vestibular akan terjadi deviasi ketika
dicoba pada kedua tangan.
2. PEMERIKSAAN KOORDINASI
B. Heel to shin
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi dismetria. Sebelum
melakukan pemeriksaan ini perlu dipastikan terlebih dahulu bahwa pasien
tidak mengalami kelemahan pada ekstremitas dan kooperatif. Dengan pasien
berbaring supinasi, pemeriksa meminta pasien untuk meletakkan tumit di
diatas lutut kontralateral dan digerakkan menyusuri tuberositas tibia menuju
ke ibu jari kaki. Gerakan dilakukan beberapa kali. Instruksikan gerakan ini
dengan kaki yang lain.
Instruktur Observer
(……………) (………………)
Instruktur Observer
(……………) (………………)
Instruktur Observer
(……………) (………………)
Instruktur Observer
(……………) (………………)
Instruktur Observer
(……………) (………………)
Instruktur Observer
(……………) (………………)
Instruktur Observer
(……………) (………………)
Instruktur Observer
(……………) (………………)
DAFTAR PUSTAKA
Campbell WW, 2005, Dejong’s The Neurologic Examination 6th ed, Lippincott
Williams & Wilkins, Washington.
DeMyer WE, 2004, Technique of The Neurologic Examination 5th ed, McGraw-Hill,
New York.
Estiasari R, Zairinal R.A, Islamiyah W.R, 2018, Pemeriksaan Klinis Neurologis Praktis
Umum Edisi Pertama, Kolegium Neurologi Indonesia, Perhimpunan Dokter
Spesialis Saraf Indonesia.
Fenderson CB & Ling WK, 2009, Neuro Notes Clinical Pocket Guide, FA Davis
Company, Philadelphia.
Sidharta P, 1999, Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi, Dian Rakyat, Jakarta
Fuller G, 2005, Neurological Examination Made Easy 3rd ed, Churchill Livingstone,
UK.
dr. Lothar Matheus, M.V.S, Sp.N, Dr. dr. Rizaldy Pinzon Sp.S., M.Kes ; dr. Sugianto
Sp.S., M.Kes., Ph.D ; dr.Laksmi Asanti, Sp.S, dr.Kriswanto Widyo, Sp.S,
dr.Katherina Adisaputro
Tujuan pembelajaran:
Setelah mengikuti praktikum ketrampilan medik ini maka mahasiswa diharapkan:
1. Mampu menyebutkan 12 pasang saraf kranial dan fungsinya
2. Mampu menerangkan tatacara pemeriksaan saraf kranial
3. Mampu melakukan pemeriksaan saraf cranial I-XII
4. Mampu menyimpulkan hasil pemeriksaan dan memberikan informasi kepada
pasien tentang hasil pemeriksaan
Pendahuluan
Saraf kranial adalah semua saraf yang keluar dari otak melalui foramen kranial.
Ada 12 pasang (3 pasang saraf sensorik murni, 5 pasang motorik murni, 4 pasang
campuran sensorik dan motorik).
1. Saraf sensorik murni: N. I (n.olfactorius), N.II (n.opticus) dan N.VII
(n.vestibulocochlearis)
2. Saraf motorik murni: N.III (n.occulomotorius), N.IV (n.trochlearis), N.VI
(n.abducens), N.XI (n.accesoris), dan N.XII (n.hypoglosal)
3. Saraf campuran motorik dan sensorik: N.V (n.trigeminus), N.VII (n.facialis), N.IX
(n.glossopharingeal), N.X (n.vagus)
Tatacara pemeriksaan
Pada saat memeriksa saraf kranial, yang perlu diperhatikan pada umumnya
adalah adanya asimetri antara sisi kanan dan kiri. Agar pemeriksaan saraf kranial
dapat memberikan informasi yang diperlukan, kerjasama yang baik antara pemeriksa
dan penderita adalah syarat mutlak.
Sebelum mulai diperiksa jelaskan mengenai tujuan pemeriksaan untuk dapat
menegakkan diagnosis. Penderita diminta untuk menjawab semua pertanyaan
sejelas mungkin dan mengikuti semua petunjuk sebaik mungkin. Pada umumnya
pemeriksaan dilakukan dengan posisi pasien duduk. Jelaskan tatacara pemeriksaan
kepada pasien, persiapkan alat, lakukan pemeriksaan, catat hasilnya dan buatlah
kesimpulan.
A. Nervus olfaktorius
Anatomi dan fisiologi nervus optikus
Fungsi penghidu jaras olfaktorius yang terdiri dari bagian berikut: mukosa
olfaktorius pada bagian atas kavum nasal, fila olfaktoria,dan bulbus subkalosal
pada sisi medial orbita lobus frontal. Saraf ini merupakan saraf sensorik murni
yang serabut-serabutnya berasal dari membran mukosa hidung dan menembus
area kribriformis os. etmoidal untuk bersinaps di bulbus olfaktorius, dari sini,
traktus olfaktorius berjalan dibawah lobus frontal dan berakhir di lobus temporal
bagian medial sisi yang sama.
Sistem olfaktorius merupakan satu-satunya sistem sensorik yang impulsnya
mencapai korteks tanpa melalui proses di talamus. Bau-bauan yang dapat
memprovokasi timbulnya nafsu makan dan induksi salivasi serta bau busuk yang
dapat menimbulkan rasa mual dan muntah menunjukkan bahwa sistem ini ada
kaitannya dengan emosi. Serabut utama yang menghubungkan sistem penciuman
dengan area autonom adalah medial forebrain bundle dan stria medularis
talamus. Emosi yang menyertai rangsangan olfaktorius mungkin berkaitan ke
serat yang berhubungan dengan talamus, hipotalamus dan sistem limbik.
Tatacara pemeriksaan
Sebelum melakukan pemeriksaan, pemeriksan harus memastikan bawah
tidak terdapat obstruksi hidung yang dapat mengaburkan hasil pemeriksaan
nervus olfaktorius. Anamnesis mengenai gejala pilek, hidung tersumbat dan
fraktur pada hidung perlu dilakukan.
Inspeksi ruam, kelainan bentuk hidung dan masing-masing lubang hidung.
Evaluasi patensi dari saluran hidung bilateral dengan meminta pasien untuk
bernapas dalam melalui hidung sementara pemeriksa menutup satu lubang
hidung pada suatu waktu bergantian.
Setelah yakin bahwa tidak terdapat obstruksi, mintalah pasien untuk
menutup mata mereka untuk masuk ke dalam pemeriksaan nervus olfaktorius.
Tutup satu lubang hidung dan berikan stimulasi bau yang mudah dikenali
(kopi,teh, tembakau) pada sisi lubang hidung lainnya. Mintalah pasien untuk
menghidu objek tersebut identifikasi aromanya. Pada saat pemeriksaan, mata
pasien tetap tertutup. Ganti lubang hidung dan ulangi. Mintalah pasien untuk
membandingkan kekuatan bau di setiap lubang hidung.
Hasil pemeriksaan dapat berupa hilangnya sensasi penghidu total
(anosmia), penurunan sensasi penghidu (hiposmia) atau peningkatan sensasi
penghidu (hiperosmia)
Pemeriksaan ini tidak dilakukan secara rutin di praktek klinik, perkecualian
adalah pada pasien yang melaporkan gangguan fungsi menghidu (pada umumnya
pasca trauma kepala atau inhalasi zat beracun).
B. Nervus optikus
Anatomi dan fisiologi nervus optikus
Saraf optikus merupakan saraf sensorik murni yang dimulai di retina.
Serabut-serabut saraf ini, ini melewati foramen optikum di dekat arteri
optalmika dan bergabung dengan saraf dari sisi lainnya pada dasar otak untuk
membentuk kiasma optikum. Orientasi spasial serabut-serabut dari berbagai
bagian fundus masih utuh sehingga serabut-serabut dari bagian bawah retina
ditemukan pada bagian inferior kiasma optikum dan sebaliknya. Serabut-serabut
dari lapangan visual temporal (separuh bagian nasal retina) menyilang kiasma,
sedangkan yang berasal dari lapangan visual nasal tidak menyilang.
Serabut-serabut yang berasal dari kiasma optikum berakhir di kolikulus
superior, dimana terjadi sinaps dengan kedua nuklei saraf okulomotorius. Sisa
Tatacara pemeriksaan
Pemeriksaan fungsi nervus optikus meliputi:
1. Pemeriksaan tajam penglihatan (visual acuity),
2. Pemeriksaan lapang pandang (visual field),
3. Refleks pupil,
4. Pemeriksaan fundus okuli,
5. Tes warna
lambaian tangan. Normal lambaian tangan bisa dilihat pada jarak 300
meter tetapi bisa melihat pada jarak 1 meter berarti visusnya kurang
lebih 1/300.
d. Pen light (persepsi cahaya): apabila lambaian tangan pasien tidak dapat
identifikasi, maka dilanjutkan dengan mengarahkan cahaya senter/pen
light pada mata. Apabila pasien dapat melihat cahaya, maka visusnya
adalah light perception. Tetapi apabila tidak dapat mengidentifikasi
cahaya, maka visusnya adalah no light perception.
3. Refleks Pupil
Aferen refleks pupil berasal dari nervus optikus sedangkan saraf
aferennya adalah nervus okulomotorius. Yang dinilai pada pemeriksaan
refleks pupil adalah:
a. Ukuran pupil
Pada kondisi pencahayaan normal, diameter pupil berukuran 3-4 mm.
Bila ukurannya kurang dari 2 mm dinamakan miosis, bila lebih dari 5
mm dinamakan midriasis.
b. Simetrisitas pupil
Ukuran pupil normalnya simetris antara kanan dan kiri dan diistilahkan
sebagai isokor. Perbedaan signifikan atau anisokor apabila perbedaan
diameter ≥ 2 mm karena perbedaan 1 mm ditemukan pada 15-20 %
individu normal
c. Posisi pupil
Pada keadaan normal, posis pupil ada ditengah iris.
d. Refleks pupil
Ada dua macam refleks pupil:
- Refleks pupi/cahayal langsung: diperiksa dengan memakai senter
kecil, arahkan sinar dari samping (sehingga pasien tidak memfokus
pada cahaya dan tidak berakomodasi) ke arah salah satu pupil untuk
melihat reaksinya terhadap cahaya. Inspeksi kedua pupil dan ulangi
prosedur ini pada sisi lainnya. Pada keadaan normal pupil yang
disinari akan mengecil.
- Refleks pupil/cahaya konsensual: mengarahkan sinal pada satu
pupil dan memeriksa respon pupil pada sisi yang lain. Normalnya
bila satu pupil disinari maka serentak pupil lainnya mengecil dengan
ukuran yang sama.
retinalis yang besar ke arah diskus. Semua vena-vena ini keluar dari diskus
optikus.
C. Nervus okulomotorius
Anatomi dan fisiologi nervus okulomotorius
Nukleus saraf okulomotorius terletak sebagian di depan substansia grisea
periakuaduktal (Nukleus motorik) dan sebagian lagi di dalam substansia grisea
(Nukleus otonom). Nukleus motorik bertanggung jawab untuk persarafan otot-
otot rektus medialis, superior, dan inferior, otot oblikus inferior dan otot levator
palpebra superior. Nukleus otonom atau nukleus Edinger-Westhpal yang
bermielin sangat sedikit mempersarafi otot-otot mata inferior yaitu spingter
pupil dan otot siliaris.
Tatacara pemeriksaan
Pemeriksaan meliputi ; Ptosis, Gerakan bola mata dan Pupil
1. Ptosis
Pada keadaan normal bila seseorang melihat ke depan maka batas kelopak
mata atas akan memotong iris pada titik yang sama secara bilateral. Ptosis
dicurigai bila salah satu kelopak mata memotong iris lebih rendah dari pada
mata yang lain, atau bila pasien mendongakkan kepal ke belakang / ke atas
(untuk kompensasi) secara kronik atau mengangkat alis mata secara kronik
pula.
D. Nervus trochlearis
Anatomi dan fisiologi nervus trochlearis
Nukleus saraf troklearis terletak setinggi kolikuli inferior di depan substansia
grisea periakuaduktal dan berada di bawah Nukleus okulomotorius. Saraf ini
merupakan satu-satunya saraf kranialis yang keluar dari sisi dorsal batang otak.
Saraf troklearis mempersarafi otot oblikus superior untuk menggerakkan mata
bawah, kedalam dan abduksi dalam derajat kecil.
Tatacara pemeriksaan
Pemeriksaan meliputi
1. gerak mata ke medial bawah
2. strabismus
3. diplopia
E. Nervus trigeminus
Anatomi dan fisiologi nervus trigeminus
Saraf trigeminus bersifat campuran terdiri dari serabut-serabut motorik dan
serabut-serabut sensorik. Serabut motorik mempersarafi otot masseter dan otot
temporalis. Serabut-serabut sensorik saraf trigeminus dibagi menjadi tiga
cabang utama yatu saraf oftalmikus, maksilaris, dan mandibularis. Daerah
sensoriknya mencakup daerah kulit, dahi, wajah, mukosa mulut, hidung, sinus.
Gigi maksilar dan mandibula, dura dalam fosa kranii anterior dan tengah bagian
anterior telinga luar dan kanalis auditorius serta bagian membran timpani.
Tatacara pemeriksaan
Pemeriksaan meliputi; sensibilitas, motorik dan refleks
1. Sensibilitas
Ada tiga cabang sensorik, yaitu oftalmik, maksila, mandibula.
Pemeriksaan dilakukan pada ketiga cabang saraf tersebut dengan
membandingkan sisi yang satu dengan sisi yang lain. Mula-mula tes dengan
ujung yang tajam dari sebuah jarum yang baru. Pasien menutup kedua
matanya dan jarum ditusukkan dengan lembut pada kulit, pasien ditanya
apakah terasa tajam atau tumpul. Hilangnya sensasi nyeri akan
menyebabkan tusukan terasa tumpul.
Daerah yang menunjukkan sensasi yang tumpul harus digambar dan
pemeriksaan harus di lakukan dari daerah yang terasa tumpul menuju daerah
yang terasa tajam. Juga lakukan tes pada daerah di atas dahi menuju
belakang melewati puncak kepala. Pasien disuruh mengatakan “ya” setiap
kali dia merasakan sentuhan kapas pada kulitnya.
3. Refleks
Pemeriksaan refleks meliputi
➢ Refleks kornea
a. Langsung
Pasien diminta melirik ke arah laterosuperior, kemudian dari arah
lain kapas disentuhkan pada limbus kornea mata, misal pasien
diminta melirik kearah kanan atas maka kapas disentuhkan pada
kornea mata kiri dan lakukan sebaliknya pada mata yang lain.
Kemudian bandingkan kekuatan dan kecepatan refleks tersebut
kanan dan kiri saraf aferen berasal dari N. V tetapi eferannya
(berkedip) berasal dari N.VII.
b. Tak langsung (konsensual)
Sentuhan kapas pada kornea atas akan menimbulkan refleks
menutup mata pada mata kiri dan sebaliknya kegunaan pemeriksaan
refleks kornea konsensual ini sama dengan refleks cahaya
konsensual, yaitu untuk melihat lintasan mana yang rusak (aferen
atau eferen).
F. Nervus abduscen
Anatomi dan fisiologi nervus abduscen
Pemeriksaan meliputi gerakan mata ke lateral, strabismus konvergen dan
diplopia tanda-tanda tersebut maksimal bila memandang ke sisi yang terkena
dan bayangan yang timbul letaknya horizonatal dan sejajar satu sama lain.
Tatacara pemeriksaan
Kelainan pada paralisis nervus abdusens menyebabkan bola mata tidak bisa
bergerak ke lateral, ketika pasien melihat lurus ke atas, mata yang sakit
teradduksi dan tidak dapat digerakkan ke lateral, ketika pasien melihat ke arah
nasal, mata yang paralisis bergerak ke medial dan ke atas karena predominannya
otot oblikus inferior. Jika ketiga saraf motorik dari satu mata semuanya
terganggu, mata tampak melihat lurus keatas dan tidak dapat digerakkan
kesegala arah dan pupil melebar serta tidak bereaksi terhadap cahaya
(oftalmoplegia totalis). Paralisis bilateral dari otot-otot mata biasanya akibat
kerusakan nuklear.
G. Nervus facialis
Anatomi dan fisiologi saraf facialis
Saraf fasialis mempunyai fungsi motorik dan fungsi sensorik. Fungsi motorik
berasal dari nukleus motorik yang terletak pada bagian ventrolateral dari
tegmentum pontin bawah dekat medula oblongata. Fungsi sensorik berasal dari
nukleus sensorik yang muncul bersama nukleus motorik dan saraf
vestibulokoklearis yang berjalan ke lateral ke dalam kanalis akustikus interna.
Serabut motorik saraf fasialis mempersarafi otot-otot ekspresi wajah terdiri dari
otot orbikularis okuli, otot buksinator, otot oksipital, otot frontal, otot
stapedius, otot stilohioideus, otot digastriktus posterior serta otot platisma.
Serabut sensorik menghantar persepsi pengecapan bagian anterior lidah.
Tatacara pemeriksaan
Pemeriksaan saraf fasialis dilakukan saat pasien diam dan atas perintah (tes
kekuatan otot).
Asimetri wajah; Kelumpuhan nervus VIII dapat menyebabkan penurunan
sudut mulut unilateral dan kerutan dahi menghilang serta lipatan nasolabial,
tetapi pada kelumpuhan nervus fasialis bilateral wajah masih tampak simetrik.
Gerakan-gerakan abnormal (tic facialis, grimacing, kejang tetanus/rhisus
sardonicus tremor dan seterusnya ). Ekspresi muka (sedih, gembira, takut,
seperti topeng).
Tes kekuatan otot:
1. Mengangkat alis, bandingkan kanan dan kiri.
2. Menutup mata sekuatnya (perhatikan asimetri) kemudian pemeriksa
mencoba membuka kedua mata tersebut bandingkan kekuatan kanan dan
kiri.
3. Memperlihatkan gigi (asimetri)
4. Bersiul dan mecucu
5. meniup sekuatnya, bandingkan kekuatan uadara dari pipi masing-masing.
6. Menarik sudut mulut ke bawah.
Tes sensorik khusus (pengecapan 2/3 depan lidah). Pemeriksaan dengan rasa
manis, pahit, asam, asin yang disentuhkan pada salah satu sisi lidah. Hiperakusis,
jika ada kelumpuhan N. Stapedius yang melayani otot stapedius maka suara-suara
yang diterima oleh telinga pasien menjadi lebih keras intensitasnya.
H. Nervus vestibulocochlearis
Anatomi dan fisiologi nervus vestibulocochlearis
Saraf vestibulokoklearis terdiri dari dua komponen yaitu serabut-serabut aferen
yang mengurusi pendengaran dan vestibuler yang mengandung serabut-serabut
aferen yang mengurusi keseimbangan. Serabut-serabut untuk pendengaran
berasal dari organon corti dan berjalan menuju inti koklea di pons, dari sini
terdapat transmisi bilateral ke korpus genikulatum medial dan kemudian menuju
girus superior lobus temporalis. Serabut-serabut untuk keseimbangan mulai dari
utrikulus dan kanalis semisirkularis dan bergabung dengan serabut-serabut
auditorik di dalam kanalis fasialis. Serabut-serabut ini kemudian memasuki pons,
serabut vestibutor berjalan menyebar melewati batang otak dan serebelum.
Tatacara pemeriksaan
Ada dua macam pemeriksaan yaitu pemeriksaan pendengaran dan pemeriksaan
fungsi vestibuler
1. Pemeriksaan pendengaran
Inspeksi meatus akustikus eksternus dari pasien untuk mencari adanya
serumen atau obstruksi lainnya dan membrana timpani untuk menentukan
adanya nflamasi atau perforasi. Lakukan tes pendengaran dengan
menggunakan gesekan jari, detik arloji, dan audiogram. Untuk membedakan
tuli saraf dengan tuli konduksi dipakai tes Rinne dan tes Weber.
➢ Tes Rinne
Garpu tala dengan frekuensi 256 Hz mula-mula dilakukan pada prosesus
mastoideus, dibelakang telinga, dan bila bunyi tidak lagi terdengar
letakkan garpu tala tersebut sejajar dengan meatus akustikus eksterna.
Dalam keadaan normal suara masih terdengar pada meatus akustikus
eksternus.
➢ Tes Weber
Garpu tala 256 Hz diletakkan pada bagian tengah dahi dalam keadaan
normal bunyi akan terdengar pada bagian tengah dahi pada tuli saraf
bunyi dihantarkan ke telinga yang normal pada tuli konduktif bunyi
tedengar lebih keras pada telinga yang abnormal.
Tatacara pemeriksaan
Pemeriksaan N. IX dan N X. karena secara klinis sulit dipisahkan maka
biasanya dibicarakan bersama-sama, anamnesis meliputi kesedak (kelumpuhan
palatum), kesulitan menelan dan disartria. Pasien disuruh membuka mulut dan
inspeksi palatum dengan senter perhatikan apakah terdapat pergeseran uvula,
kemudian pasien disuruh menyebut “ah” jika uvula terletak ke satu sisi maka ini
menunjukkan adanya kelumpuhan nervus IX unilateral perhatikan bahwa uvula
tertarik kearah sisi yang sehat.
Sekarang lakukan tes refleks muntah dengan lembut (nervus IX adalah
komponen sensorik dan nervus X adalah komponen motorik). Sentuh bagian
belakang faring pada setiap sisi dengan spacula, jangan lupa menanyakan kepada
pasien apakah ia merasakan sentuhan spatula tersebut (N. IX) setiap kali
dilakukan. Dalam keadaaan normal, terjadi kontraksi palatum molle secara
refleks. Jika konraksinya tidak ada dan sensasinya utuh maka ini menunjukkan
J. Nervus assesorius
Anatomi dan fisiologi nervus assecorius
Saraf asesorius mempunyai radiks spinalis dan kranialis. Radiks kranial
adalah akson dari neuron dalam nukleus ambigus yang terletak dekat neuron dari
saraf vagus. Saraf aksesoris adalah saraf motorik yang mempersarafi otot
sternokleidomastoideus dan bagian atas otot trapezius, otot
sternokleidomastoideus berfungsi memutar kepala ke samping dan otot
trapezius memutar skapula bila lengan diangkat ke atas.
Tatacara pemeriksaan
Pemeriksaan saraf asesorius dengan cara meminta pasien mengangkat
bahunya dan kemudian rabalah massa otot trapezius dan usahakan untuk
menekan bahunya ke bawah, kemudian pasien disuruh memutar kepalanya
dengan melawan tahanan (tangan pemeriksa) dan juga raba massa otot
sternokleido mastoideus.
K. Nervus hipoglossus
Anatomi dan fisiologi nervus hipoglossus
Nukleus saraf hipoglosus terletak pada medula oblongata pada setiap sisi
garis tengah dan depan ventrikel ke empat dimana semua menghasilkan
trigonum hipoglosus. Saraf hipoglosus merupakan saraf motorik untuk lidah dan
mempersarafi otot lidah yaitu otot stiloglosus, hipoglosus dan genioglosus.
Tatacara pemeriksaan
Pemeriksaan saraf Hipoglosus dilakukan dengan cara; Inspeksi lidah dalam
keadaan diam didasar mulut, tentukan adanya deviasi, atrofi dan fasikulasi
(kontraksi otot yang halus regular dan tidak ritmik).
Nama :
NIM :
CHECKLIST PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
NILAI
NO ASPEK YANG DINILAI
0 1 2
1. Membina sambung rasa
2. Menjelaskan tujuan pemeriksaan
3. Mencuci tangan
N.I (olfactorius)
4. Memperkenalkan media bau yang akan dipakai kepada pasien
5. Meminta pasien menutup mata
6. Meminta pasien menutup sebelah hidung, mencium bau yang
diberikan dan menyebutkan hasilnya
7. Melakukan prosedur pada hidung sebelahnya
8. Melaporkan hasil pemeriksaan
N. II (opticus)
9. Melakukan pemeriksaan Acuity: (finger counting test)
10. Melakukan pemeriksaan Field : (lapang pandang)
11. Melakukan pemeriksaan Refleks : (refleks pupil direct &
indirect)
12. Menyebutkan pemeriksaan Optic disc: saya akan memeriksa
opthalmoscopy untuk memvisualisasi diskus optikus →
disebutkan saja tidak usah diperiksa
N. III, IV, VI (occulomotor, trochlearis, abducens)
13. Melakukan pemeriksaan gerak bola mata (pola H)
N. V (trigeminal)
14. Memperkenalkan pasien bagaimana sensasi tajam, raba, dan
tumpul
15. Meminta pasien menutup mata
16. Melakukan pemeriksaan sensoris tajam, raba, dan tumpul
secara acak dan meminta konfirmasi pasien apakah terasa
17. Meminta pasien untuk mengatupkan giginya sekuat-kuatnya
Nilai
0 : tidak dikerjakan
1 : dikerjakan tidak sempurna
2 : dikerjakan sempurna
Penguji
(__________________________)
PENDAHULUAN
Darah arteri akan dialirkan ke seluruh tubuh untuk memenuhi kebutuhan
metabolik. Komposisi darah arteri dipengaruhi oleh aktivitas metabolik oleh jaringan
yang dialiri oleh pembuluh darah arteri tersebut, dan dapat bervariasi dipengaruhi
oleh letak bagian tubuh dan waktu (misal: aktivitas otot yang berbeda pada waktu
tertentu). Perbedaan paling besar dari darah arteri dan vena adalah kandungan
oksigen, pH, karbon dioksida, volume sel, klorida, glukosa, asam laktat, serta produk
metabolit yang lainnya. Perbedaan antara darah arteri dan vena akan semakin besar
jika ada gangguan sirkulasi baik lokal maupun sistemik. Darah arteri merupakan
pilihan spesimen utama untuk mengevaluasi fungsi respiratori maupun metabolik.
Sebelum melakukan prosedur pungsi arteri untuk mengambil sampel, perlu
diketahui komplikasi dari prosedur, hal-hal yang akan mempengaruhi hasil
pemeriksaan, dan pencegahan yang perlu dilakukan untuk melindungi pasien dan
dokter. Contoh hal yang akan mempengaruh hasil pemeriksaan adalah kondisi pasien
dalam anxietas yang akan mengubah pola pernafasan, dan akan mengubah komposisi
gas darah dalam kurang dari semenit.
ANATOMI
Sirkulasi sistemik manusia dapat dibagi menjadi sistem arterial dan vena.
Sistem alirah darah vena akan kembali ke vena cava, atrium kanan, kemudian darah
akan dipompa oleh jantung bagian ventrikel kanan ke paru-paru melalui arteri
pulmonalis untuk oksigenasi. Darah yang sudah teroksigenasi akan melalui atrium
kiri menuju ventrikel kiri, kemudian akan dipompa melewati aorta dan seluruh
tubuh.
Sistem vena terdiri dari vena superficial dan profunda. Vena superficial yang
digunakan untuk venipuncture/ pungsi vena. Vena superficial dan profunda pada
ekstremitas bawah tidak memiliki percabangan yang banyak. Contohnya vena
saphena magna yang mengumpukan darah dari bagian dorsal kaki akan mengalir ke
atas langsung ke vena popliteal. Karena thrombosis pada vena superficial dari
ekstremitas bawah dapat dengan mudah terjadi, karena itu vena-vena ini sering
dihindari.
Berikut ini merupakan bagian-bagian dari pembuluh darah:
a. Tunica Intima:
Bagian ini merupakan lapisan endothelial yang juga merupakan pembentuk
katub (arteri tidak memiliki katub). Katub dapat mempengaruhi dalam penarikan
darah jika insersi jarum dilakukan di dekat katub. Membetulkan posisi dari jarum IV
dapat memperlancar aliran darah, Komplikasi dari prosedur IV line sering terjadi di
bagian ini (contoh: phlebitis, thrombus) Luka dari lapisan ini dapat terjadi karena:
KERUSAKAN MEKANIS: karena insersi atau pergerakan yang terlalu masif dari
kateter IV.
KERUSAKAN KIMIA: karena administrasi dari cairan yang mengiritasi.
BAKTERI.
b. Tunica Media
Lapisan tengah dari vena terdiri dari otot dan jaringan elastis. Lapisan ini
tebal dan membentuk vena. Arteri memiliki tunica media yang lebih kuat, sehingga
lebih sulit kolaps daripada vena. Stimulasi atau iritasi dari jaringan ini dapat
menyebabkan spasme dari vena atau arteri, yang dapat menggganggu aliran darah
dan menyebabkan nyeri. Aplikasi dari suhu yang hangat dapat menyebabkan
vasodilatasi dan mengurangi nyeri. Jika terjadi venospasm, kompres dengan air
hangat dapat membantu untuk mengurangi spasme.
c. Tunica Adventicia
Bagian ini terdiri dari jaringan lunak areolar yang menyokong pembuluh darah.
Pungsi vena dapat dilakukan di beberapa pembuluh darah, antara lain vena
superfisialis di dorsum tangan, vena pada fossa antecubiti (cephalica dan basilica),
kaki bagian belakang (dorsum), sedangkan pada bayi baru lahir dan balita dapat
dilakukan di scalp kepala. Akses paling cepat pada orang dewasa dapat dilakukan di
vena femoralis , karena pembuluh darah ini besar dan mudah dicari.
Vena di kaki
Vena perifer di kaki yang perlu diidentifikasi: Vena saphena magna, vena saphena
parva, dan jaringan vena dorsal;
Sedangkan untuk pungsi arteri, ada beberapa pilihan arteri yang dapat dipilih.
Kriteria untuk pemilihan arteri antara lain: adanya sirkulasi kolateral, seberapa
besar dan dapat diakses atau tidak, dan tipe jaringan di sekitar lokasi pungsi. Daerah
yang dipilih tidak boleh ada iritasi, iflamasi, atau dekat dengan luka. Jangan pernah
memilih lokasi dengan A-V shunt atau fistula.
Lokasi pemilihan arteri dapat dilihat berikut ini:
Arteri radialis
Ini merupakan pilihan pertama untuk
Analisis Gas Darah (AGD). Lokasinya
mudah dicari, meski memiliki diameter
lebih kecil daripada daerah lain.
Arteri brachialis
Ini merupakan arteri pilihan kedua
untuk AGD. Terletak di fossa
antecubital bagian medial
Arteri femoralis
Meski ini merupakn arteri paling besar, namun arteri ini merupakan pilihan terakhir
untuk AGD. Terletak superfisial di selangkangan, lateral dari tulang pubis.
TEKNIK PROSEDUR
Pada prosedur pungsi vena maupun arteri, ada beberapa pilihan pembuluh
darah yang bisa diambil sampelnya. Untuk pungsi arteri, a. Radialis merupakan
pilihan yang sering dipakai. Sedangkan untuk pungsi vena, meskipun pembuluh darah
seperti v. mediana cubiti, v. cephalica merupakan pembuluh darah yang lebih besar
dan lebih berisi, vena-vena lain di tangan dan pergelangan tangan juga dapat
digunakan untuk pungsi vena.
Beberapa daerah harus dihindari saat memilih letak pungsi:
• Bekas luka operasi dan luka bakar.
• Edema.
• Ekstremitas atas pada sisi tubuh yang sudah dilakukan mastectomy sebelumnya
(hasil dapat terpengaruh karena adanya lymphedema).
• Hematoma.
• Lengan yang menerima transfusi iv maupun transfusi darah (cairan akan
mendilusi spesimen, jadi ambil sampel dari lengan satunya.)
Apabila terpaksa mengambil darah dari lengan yang terpasang iv line, prosedur ini
dapat dilakukan:
1. Matikan iv line minimal 2 menit sebelum pungsi vena.
2. Pasang tourniquet di bawah daerah yang terpasang iv line. Pilih vena yang lain
(jangan memilih vena yang terpasang iv line).
3. Lakukan pungsi vena, ambil darah 5 ml dahulu lalu buang. Setelah itu baru ambil
sampel yang dibutuhkan.
Pada teknik pungsi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, salah satunya
adalah bevel. Berikut hal yang harus diperhatikan mengenai bevel:
1. Bevel dari jarum harus menghadap ke atas (menghadap pemeriksa).
2. Apabila bevel terekspos saat melakukan pungsi sebelum mengambil sampel
darah, jarum dikatakan sudah terkontaminasi dan tidak diperbolehkan untuk
memasukkan jarum tersebut lagi. Prosedur harus diulang di tempat pembuluh
darah lain menggunakan jarum yang baru.
3. Jika bevel terekspos saat mengambil darah, kebocoran darah dapat terjadi.
Jangan panik apabila hal ini terjadi. Cukup lepas tourniquet, lepas jarum, dan
lakukan penekanan pada daerah pungsi dengan kapas.
Gambar 4. Bevel
Ada beberapa kesulitan yang mungkin dialami saat proses pengambilan sampel. Ada
beberapa teknik yang dapat dilakukan untuk mengatasinya. Contohnya seperti
berikut:
Darah tidak cukup diambil / tidak ada darah yang keluar / darah berhenti
mengalir
Problem: Jarum mungkin belum
masuk ke dalam lumen.
✓ Dorong jarum ke depan.
TEKNIK KOREKSI
Step 1: Tarik jarum sampai bevel
tepat di bawah kulit
19-20 NA NA NA
21 ✓ NA NA
22 ✓ ✓ NA
23 ✓ ✓ (winged-set ✓ (winged-
butterfly) set
butterfly)
PUNGSI VENA
PERSIAPAN ALAT
Siapkan alat-alat pada tempat yang mudah dijangkau (contoh: trolley).
Peralatan yang dibutuhkan antara lain:
1. Tabung sampel laboratorium. Ada beberapa tipe:
- Tabung kaca atau plastik dengan tutup karet
- Vacuum-extraction blood tube
- Tabung kaca dengan tutup ulir.
2. Sarung tangan non-steril
3. Spuit dan jarum
4. Tourniquet
5. Alcohol swab 70%
6. Alchohol hand rub
7. Kapas atau plester
8. Label spesimen laboratorium
PERSIAPAN PASIEN
1. Perkenalkan diri ke pasien, tanyakan nama lengkap pasien.
2. Periksa form laboratorium untuk mencocokkan identitas pasien.
3. Tanyakan apa pasien ada alergi, phobia, atau pernah pingsan saat pengambilan
darah.
4. Jika pasien tampak cemas, tenangkan pasien dan tanyakan apa yang akan
membuat pasien lebih baik.
5. Posisi pasien supine (jika memungkinkan).
6. Letakkan handuk persih atau kertas bersih di bawah lengan pasien.
7. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan dan lakukan verbal informed consent.
PROSEDUR
1. Ekstensikan lengan pasien dan inspeksi daerah fossa antecubiti dan lengan
bawah.
2. Pilih vena yang tampak jelas (vena harus dapat diidentifikasi sebelum memasang
torniquet). Vena medianus biasanya tampak jelas dan paling mudah untuk
dilakukan pungsi. Di bawah vena basillica terdapat arteri dan vena, karena itu
jika dilakukan pungsi disini ada risiko untuk merusak saraf atau arteri, dan
biasanya lebih nyeri. Jangan lakukan pungsi pada vena yang berkelok-kelok
(risiko untuk haematoma).
3. Pasang tourniquet 4-5 jari diatas lokasi pungsi vena dan periksa ulang vena.
4. Cuci tangan 6 langkah dengan air atau hand-rub.
5. Pakai sarung tangan non-steril.
6. Bersihkan daerah pungsi menggunakan alkohol 70% secara sirkular (diameter ±
2cm), tunggu 30 detik hingga alkohol kering.
JANGAN MENYENTUH daerah yang sudah dilakukan disinfeksi.
7. Fiksasi vena yang akan dilakukan pungsi dengan memegang lengan pasien dan
memposisikan jempol di BAWAH daerah pungsi.
8. Minta pasien untuk menggenggam tangan agar vena lebih prominen.
9. Masukkan jarum ke vena dengan sudur 30º atau kurang, dan lanjutkan masukkan
jarum ke vena dengan sudut paling mudah untuk dimasukkan.
10. Jika darah sudah cukup diambil, lepas tourniquet SEBELUM jarum diambil.
11. Tarik jarum perlahan dan lakukan tekanan pada daerah pungsi dengan kapas
kering.
12. Minta pasien untuk menahan kapas dengan posisi tangan ekstensi dan diangkat.
JANGAN meminta pasien untuk menekuk siku, karena akan meningkatkan risiko
terjadinya haematoma.
13. Masukkan darah ke dalam tabung dengan perlahan. (Terlalu cepat dapat
meningkatkan risiko hemolysis)
1. Persiapan alat
12. Tarik jarum perlahan dan 13. Buang jarum dan spuit yang sudah
PUNGSI ARTERI
INDIKASI, KONTRAINDIKASI, KOMPLIKASI
Indikasi: Memonitor kondisi status respiratori atau metabolik.
Kontraindikasi:
• Oklusi arteri ulnar (pemeriksaan modified Allen test: negatif)
• Infeksi, inflamasi, kemerahan pada daerah yang akan dipungsi.
• Kontraindikasi relatif untuk pasien dengan Raynaud’s phenomenon.
Komplikasi:
• Arteriospasm atau kontraksi involunter arteri; dapat dicegah dengan membuat
pasien relaks.
B. PERSIAPAN PASIEN
1. Perkenalkan diri ke pasien, tanyakan nama lengkap pasien
2. Periksa form laboratorium untuk mencocokkan identitas pasien
3. Tanyakan apa pasien ada alergi, phobia, atau pernah pingsan saat
pengambilan darah
4. Jika pasien tampak cemas, tenangkan pasien dan tanyakan apa yang akan
membuat pasien lebih baik
5. Posisi pasien supine (jika memungkinkan)
6. Letakkan handuk persih atau kertas bersih di bawah lengan pasien
PROSEDUR
Lokasi pungsi dapat dilakukan di beberapa arteri. Berikut ini merupakan
prosedur yang akan dilakukan pada arteri radialis.
1. Introduksi diri ke pasien, dan tanyakan nama lengkap pasien.
2. Posisikan pasien dalam posisi senyaman mungkin, tubuh berbaring rileks. Posisi
tangan sedikit dorsofleksi. Jika pasien dalam kondisi cemas, menahan nafas, atau
menangis dapat mempengaruhi hasil.
3. Identifikasi arteri radialis, dan lakukan tes Allen (prosedur di bawah) untuk
memeriksa sirkulasi kolateral. Jika tes Allen negatif, ulangi tes dengan tangan
yang satunya. Jika letak sudah diidentifikasi dan tes Allen positif, berikan tanda
anatomis agar mudah untuk menemukan letak tersebut, jika akan mempalpasi
daerah pungsi lagi gunakan sarung tangan steril.
4. Cuci tangan, persiapkan alat. Gunakan pelindung wajah untuk antisipasi darah
yang mengucur.
5. Disinfeksi daerah pungsi dengan 70% alkohol dan biarkan mengering.
6. Jika spuit belom disiapkan, pasang needle pada spuit yang sudah diberi heparin,
dan tarik plunger spuit hingga batas darah yang dibutuhkan.
7. OPTIONAL: Berikan sedikit anestesi (ex: Lidocaine 1% tanpa epinephrine) pada
daerah pungsi.
8. Pegang spuit dan jarum seperti memegang dart, palpasi menggunakan jari II & III
tangan kiri, dan tusukkan jarum searah 45º , 1 cm lebih distal daripada jari
telunjuk untuk menghindari kontaminasi.
9. Dorong jarum perlahan ke dalam arteri radialis hingga darah flashback muncul,
dan biarkan darah memenuhi spuit hingga jumlah yang dibutuhkan. HINDARI
menarik plunger spuit.
10. Tarik jarum, letakkan kapas pada daerah pungsi dan minta pasien atau asisten
untuk menekan pada daerah pungsi untuk mengentikan perdarahan selama 2-3
menit. Jika darah masih mengucur, dapat dilakukan penekanan yang lebih lama
(prosedur dapat dilakukan 5 menit atau lebih pada pasien dengan tekanan darah
tinggi, kelainan pembekuan darah, atau sedang dalam konsumsi antikoagulan).
11. Aktivasi mekanisme safety needle untuk menutupi jarum sebelum diletakkan
dalam kontainer es (jika tidak ada alat safety needle, gunakan teknik recapping
1 tangan).
12. Buang gelembung udara, tutup jarum, dan gelindingkan spuit di antara kedua
tangan untuk mencampur darah.
13. Berikan label.
14. Buang peralatan habis pakai.
15. Cuci tangan.
16. Cek kembali lokasi pungsi arteri pasien (apakah masih ada perdarahan atau
tidak).
17. Menutup sesi dan mengirimkan sampel ke laboratorium.
Tes ini dilakukan untuk mengukur kompetensi arteri, dan harus dilakukan sebelum
mengambil sampel darah arteri. Prosedur yang dilakukan seperti berikut:
1. Instruksikan pasien untuk menggenggam tangan, jika pasien tidak dapat menerima
instruksi, tutup tangan pasien dan genggam dengan kencang.
2. Dengan menggunakan jari, lakukan tekanan oklusi pada arteri radialis dan arteri
ulnaris.
3. Saat melakukan tekanan oklusi pada kedua arteri, minta pasien untuk
merelaksasikan genggaman tangannya, dan lihat telapak tangan dan jari. Apabila
tangan menjadi pucat, berarti terjadi oklusi pada arteri. (Jika belum menjadi pucat,
berarti jari pemeriksa kurang mengoklusi arteri).
4. Lepaskan penekanan arteri ulnaris.
• Hasil positif jika: darah mengaliri tangan dalam 5-15 detik. (hasil normal)
• Hasil negatif jika: darah tidak mengaliri tangan dalam 5-15 detik, hal ini
mengindikasikan bahwa sirkulasi ulnar tidak adekuat; pada situasi ini pungsi
arteri radialis tidak boleh dilakukan.
REFERENSI
CLSI. 2004. Procedures for the Collection of Arterial Blood Specimens;
Approved Standard-Fourth Edition. CLSI. United States of America.
Grady, N.P., Alexander., M.R.N., Burns, L.A., et al. 2011. Guidelines for the
Prevention of Intravascular Catheter-Related Infection. CDC. United States of
America.
Highnell, R.N. 2014. Peripheral Intravenous Initiation. Fraser Health
Authority. British.
Medtexx. 2007. Fundamentals Of Phlebotomy. Medtexx Medical Corporation.
Orlando.
World Health Organization. 2010. WHO guidelines on drawing blood: best
practices in phlebotomy. WHO. Switzerland.
CHECK LIST PUNGSI INTRAVENA
Nama Mahasiswa : NIM :
NILAI
NO ASPEK YANG DINILAI
0 1 2
1. Membina sambung rasa
2. Menjelaskan prosedur dan tujuan prosedur
3. Melakukan informed consent
4. Mempersiapkan alat
5. Mengidentifikasi vena yang akan digunakan
Memasang tourniquet pada daerah proksimal dari
6. tempat suntikan (4-5 jari di atas lokasi pungsi),
periksa ulang vena.
7. Cuci tangan 6 langkah
8. Memakai sarung tangan bersih
Membersihkan area kulit sekitar vena dengan kapas
9. alkohol (secara sirkular, central ke perifer), biarkan
mengering selama 30 detik
Fiksasi vena yang akan dilakukan pungsi dengan
10. memegang lengan pasien dan memposisikan jempol
di bawah daerah pungsi
11. Minta pasien untuk menggengam tangan
Masukkan jarum ke vena dengan sudut 30º atau
12.
kurang, bevel menghadap atas
(__________________________)
(__________________________)
❖ MATA
Gejala-gejala mata dapat dibagi dalam tiga kategori dasar yakni kelainan
penglihatan, kelainan tampilan mata, dan kelainan sensasi mata-nyeri dan rasa
tidak nyaman.
Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan pada kasus mata untuk menggali
Riwayat Penyakit Sekarang :
1. Lokasi (unilaterall atau bilateral)
2. Onset gejala (perlahan, cepat, atau asimptomatik)
3. Durasi gejala (singkat atau menetap)
4. Derajat gejala (ringan, sedang, berat)
5. Hal yang memperburuk dan memperingan
6. Pengobatan yang pernah dijalani
DAFTAR PENYAKIT MATA
Tingkat
No Daftar Penyakit
Kemampuan
Konjungtiva
1 Benda asing di konjungtiva 4A
2 Konjungtivitis 4A
3 Pterigium 3A
4 Perdarahan subkonjungtiva 4A
5 Mata Kering 4A
Kelopak Mata (Palpebra)
6 Blefaritis 4A
7 Hordeolum 4A
8 Chalazion 3A
9 Laserasi Kelopak Mata 3B
10 Trikiasis 4A
Aparatus Lakrimalis
11 Dakrioadenitis 3A
12 Dakriosistitis 3A
Sklera
13 Skleritis 3A
14 Episkleritis 4A
Kornea
15 Keratitis 3A
16 Xerophtalmia 3A
Anterior Chamber
17 Hifema 3A
18 Hipopion 3A
22 Miopia ringan 4A
23 Astigmatism ringan 4A
24 Presbiopia 4A
Glaukoma
27 Glaukoma akut 3B
28 Glaukoma lainnya 3A
Tingkat
No Daftar Penyakit
Kompetensi
Telinga, Pendengaran, dan Keseimbangan
32 Otitis eksterna 4A
33 Otitis media akut 4A
36 Mastoiditis 3A
37 Miringitis bullosa 3A
38 Benda asing 3A
41 Presbiakusis 3A
42 Serumen prop 4A
43 Mabuk perjalanan 4A
Tingkat
No Daftar Penyakit
Kompetensi
Hidung dan Sinus Hidung
47 Rhinitis akut 4A
48 Rhinitis vasomotor 4A
49 Rhinitis alergika 4A
50 Rhinitis kronik 3A
51 Rhinitis medikamentosa 3A
52 Sinusitis 3A
53 Sinusitis kronik 3A
54 Benda asing 4A
55 Epistaksis 4A
57 Abses Bezold 3A
- Keluhan utama
1. Lokasi
2. Onset gejala
3. Durasi gejala
4. Derajat gejala
5. Hal yang memperburuk dan memperingan
6. Pengobatan yang pernah dijalani
- Adakah keluhan penyerta
•
Adakah kebiasaan mengkonsumsi obat berbal,
alcohol, obat warung dan rokok ?
• Aktifitas terkait faktor risiko terhadap mata dan
THT
10. Melakukan Resume anamnesis
11. Memberikan pasien kesempatan untuk bertanya
DAFTAR PUSTAKA
1. Indonesia, S.K.D., 2012. Peraturan KKI No. 11/2012. KKI. Jakarta.
2. Eva, Paul R. & Ausburger, James J. 2018. Vaughan & Asbury’s General
Opthalmology Ed 19th. Mc Graw Hill. USA.
3. Adams, G.L., Boies, L.R., Higler, P.A. 2012. Boies Buku Ajar Penyakit THT
Edisi 6. EGC. Jakarta.
TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Mahasiswa mengetahui tentang cara pemeriksaan fisik sistem integumen yang
benar
2. Mahasiswa dapat melakukan pemeriksaan fisik sistem integumen menggunakan
kaca pembesar dan senter dengan benar kepada naracoba
3. Mahasiswa dapat mendeskripsikan lesi sistem integumen dengan benar dan
sistematis
PENDAHULUAN
Sistem integumen yang terdiri dari kulit dan alat-alat tambahannya (rambut,
kuku, kelenjar sebasea, kelenjar sudorifera apokrin dan ekrin) merupakan organ
tubuh yang terletak paling luar dan membatasi tubuh dari lingkungan hidup manusia.
Luas kulit pada orang dewasa kurang lebih 1,6-2 m2 dengan berat sekitar 6-7% berat
badan atau kira-kira 3-4 kg. Sistem integumen merupakan organ yang esensial dan
vital serta merupakan jendela keadaan umum dan sosial tubuh yang mencerminkan
kesehatan dan kehidupan seseorang.
Keadaan umum tubuh yang tercermin dari sistem integumen antara lain
adalah status gizi, imunologi, endokrin, hematologi, kardiovaskular, dan neurologis.
Sistem integumen juga dapat menjadi jendela bagi kelainan genetik, obstetrik,
metastasis kutan, dan keadaan toksik. Fungsi sistem integumen sebagai jendela
sosial tubuh adalah menunjukkan tanda ras dan etnis, identifikasi individu,
perkembangan seksual, kecantikan, perkiraan usia, emosi, serta tingkat sosial.
Pemeriksaan fisik sistem integumen hanya memerlukan dua modalitas
pemeriksaan yaitu inspeksi dan palpasi. Hasil akhir dari pemeriksaan fisik (inspeksi
dan palpasi) sistem integumen dituangkan dalam suatu deskripsi lesi yang sistematis,
yang sangat penting dalam penegakan diagnosis kelainan-kelainan sistem integumen
secara klinis.
PEMERIKSAAN KULIT
a. Inspeksi
Inspeksi dilakukan untuk mengamati ujud lesi kulit. Supaya hasil inspeksi
dapat akurat, pemeriksaan sebaiknya dilakukan dalam ruang periksa yang terang
dengan lampu bersinar putih, tidak menyilaukan dan tidak panas, lebih baik dinding
bercat putih, serta ber-AC. Jika objek pemeriksaan tidak jelas, dapat digunakan
kaca pembesar untuk melihat lebih dekat dan jelas. Senter dan/atau lampu
penerangan tambahan bersinar putih juga dapat digunakan.
Inspeksi pada pemeriksaan fisik sistem integumen dilakukan segera setelah
menanyakan keluhan utama pasien, bersamaan dengan anamnesis terarah untuk
melengkapi data diagnostik. Apabila diperlukan, dapat dilakukan inspeksi terhadap
sistem integumen tubuh pasien secara menyeluruh, yang meliputi pemeriksaan
membran mukosa, daerah perianal, kuku, rambut, dan skalp, serta kelenjar limfe,
sebelum mencermati lesi kulit dengan lebih teliti. Pemeriksaan secara menyeluruh
ini terutama dilakukan pada pasien dengan kelainan sistem integumen tertentu,
misalnya pemfigus atau psoriasis.
Setiap kelainan sistem integumen menimbulkan lesi kulit (disebut juga dengan
efloresensi, ruam, rash, atau Ujud Kelainan Kulit/UKK) tertentu baik primer maupun
sekunder. Ujud kelainan kulit primer disebabkan karena kausa inti yang khas untuk
setiap kelainan; sedangkan UKK sekunder dapat merupakan lanjutan atau akibat dari
UKK primer, maupun akibat pengaruh dari luar seperti trauma garukan atau
pengobatan yang diberikan. Ujud kelainan kulit primer misalnya makula, patch,
papul, plak, urtika, nodul, vesikel, bula, pustul, dan kista; sedangkan UKK sekunder
misalnya skuama, krusta, erosi, ekskoriasi, ulkus, fisura, jaringan parut, fistula, dan
gangren. Di samping UKK primer dan sekunder, terdapat beberapa UKK khusus yang
khas bagi kelainan sistem integumen tertentu, misalnya komedo, burrow, milia,
delle, purpura, telangiektasis, dan hiperkeratosis.
b. Palpasi
Hasil pengamatan saat inspeksi dikuatkan dengan teknik pemeriksaan
berikutnya yaitu palpasi. Palpasi dilakukan untuk menilai tekstur, konsistensi lesi,
perubahan suhu, dan mobilitas; untuk mencari ada tidaknya tanda-tanda radang akut
seperti dolor, kalor, rubor, tumor, dan fungsiolesa; ada tidaknya pembesaran
kelenjar getah bening regional maupun generalisata, serta untuk meyakinkan pasien
bahwa lesi kulit tersebut tidak berbahaya. Palpasi juga dapat dilakukan
menggunakan pita ukur atau penggaris untuk mengukur besarnya lesi kulit, lebar
luka, maupun diameternya. Di samping itu, terdapat beberapa pemeriksaan khusus
yang dapat dilakukan saat palpasi, antara lain pemeriksaan diaskopi, pemeriksaan
fungsi sensorik sistem integumen, tanda Nikolsky, tanda Auspitz, dan sebagainya.
Ketika melakukan palpasi sistem integumen, perhatikanlah hal-hal berikut:
PEMERIKSAAN RAMBUT
Rambut merupakan salah satu alat tambahan kulit yang terdapat pada seluruh
tubuh kecuali telapak tangan, telapak kaki, kuku, dan bibir. Pada tempat tertentu
rambut akan mengalami elongasi atau pemanjangan, yaitu pada kepala. Rambut di
kepala mempunyai fungsi kosmetik, protektif, dan diagnostik untuk keadaan internal
tertentu (misalnya malnutrisi).
Pemeriksaan rambut pada kulit kepala dimulai dari inspeksi dan palpasi kulit
di daerah batas kulit kepala dengan rambut, dilanjutkan dengan inspeksi dan palpasi
kulit di daerah belahan rambut, batang rambut, dan hair pull test. Inspeksi dan
palpasi kulit di daerah batas kulit kepala dengan rambut serta di daerah belahan
rambut dilakukan dengan cara sama seperti pemeriksaan kulit di atas.
Inspeksi dan palpasi batang rambut dilakukan menggunakan kaca pembesar
dan senter atau lampu penerangan tambahan bersinar putih. Palpasi batang rambut
dilakukan dengan cara memegang kedua ujung rambut dan menariknya ke arah yang
berlawanan untuk mengetahui kekuatan rambut, serta menggulirkan rambut di
antara ibu jari dan jari telunjuk pemeriksa untuk mengetahui kerapuhan rambut.
Hair pull test dilakukan dengan cara mengambil 50-100 helai rambut secara
bersamaan dan ditarik dengan lembut dari pangkal hingga ujung rambut, ulangi
tindakan tersebut di beberapa daerah kulit kepala. Hasil tes dikatakan abnormal jika
terdapat lebih dari 2 helai rambut yang lepas pada tiap daerah.
Ketika melakukan pemeriksaan rambut, perhatikanlah hal-hal berikut:
Inspeksi Palpasi
Warna (hitam, pirang, kecoklatan, dan sebagainya) Tekstur (kasar, halus,
bercabang)
Kuantitas (banyak, sedikit) Kekuatan, kerapuhan
Distribusi (rata, jarang-jarang, lokalisata) Hair pull test
Kebersihan
Adanya lesi
Pola distribusi (temporal, oksipital, dan sebagainya)
Lesi tambahan (adanya telur kutu atau kutu dewasa,
ketombe, dan sebagainya)
Kondisi kulit di sekitarnya
PEMERIKSAAN KUKU
Kuku merupakan salah satu alat tambahan kulit yang mengandung lapisan
tanduk yang terdapat pada ujung-ujung jari tangan dan kaki. Fungsi kuku selain
membantu jari-jari untuk memegang juga digunakan sebagai cermin kecantikan.
Pemeriksaan kuku dimulai dari inspeksi dan palpasi kulit di daerah nail fold,
dilanjutkan inspeksi dan palpasi nail plate.
Ketika melakukan pemeriksaan kuku, perhatikanlah hal-hal berikut:
Inspeksi Palpasi
Warna (pink, pucat, merah, sianotik) Tekstur
Bentuk (normal lonjong dengan ujung datar atau lancip) Konsistensi
Sudut (normal, mengecil atau mendatar) Ketebalan
Kebersihan Kekuatan
Adanya lesi Adanya nyeri
Pola distribusi lesi
Kondisi kulit di sekitarnya
DAFTAR ISTILAH
Istilah Bentuk Lesi Keterangan
Istilah Keterangan
Saluran abnormal antara struktur bagian dalam tubuh ke
Fistula
permukaan tubuh, dilapisi epitel skuamosa
Hiperkeratosi Hipertrofi stratum corneum
s
Sianosis Warna kebiruan pada kulit dan mukosa
Ikterik Warna kekuningan pada kulit dan mukosa
Eritem Warna kemerahan pada kulit yang disebabkan pelebaran pembuluh
darah kapiler yang reversibel
CHECKLIST
Instruktur Observer
(………………………………….) (…………………………………)
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda A. 2008. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, edisi ke-5. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
2. Wolff K and Johnson RA, Saavedra AP, Roh EK. 2017. Fitzpatrikc’s Color Atlas
and Synopsis of Clinical Dermatology, 8th ed. New York: McGraw-Hill
Education.
3. Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, Wolff K. 2012.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, 8th Ed. New York: McGraw-Hill
Education.
4. Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ, et al.
2019. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, 9th Ed. New York:
McGraw-Hill Education.
5. https://www.aafp.org/afp/2006/0115/p299.html
6. https://www.researchgate.net/figure/Corymbiform-nodular-amyloidosis-
Corymbiform-lesion-formed-by-brownish-nodule-surrounded_fig1_232222805
PENGANTAR
Ketrampilan fisik pemeriksaan telinga, hidung, tenggorok dilakukan untuk
melatih mahasiswa melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik telinga, hidung,
sinus para nasal, tenggorok termasuk farings, larings dan esofagus.
Latihan pemeriksaan telinga, hidung, tenggorok diberikan untuk memberi
pemahaman dan membiasakan mahasiswa mampu mengetahui keadaan anatomi
dan fisiologi normal dari organ di bidang THT-KL dan dapat melakukan assessmen
bila mendapatkan kelainan atau patologi dari pemeriksaan telinga, hidung,
tenggorok.
I. TELINGA
A. ANATOMI
Telinga terdiri dari: telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam (gambar
1).
Telinga dalam atau labirin terdiri dari labirin osseus yang merupakan
susunan ruangan-ruangan terdapat di dalam pars petrosa ossis temporalis dan
labirin membranosa yang merupakan susunan kantong-kantong dan ductus-
ductus yang terdapat di dalam labirin osseus. labirin osseus terdiri dari tiga
bagian yaitu vestibulum, kanalis semisirkularis dan kokhlea (rumah siput).
B. FISIOLOGI
1. Fisiologi pendengaran
Fisiologi pendengaran terdiri dua fase yaitu fase mekanik dan elektrik.
Fase mekanik atau fase fisik terjadi bila gelombang suara tertangkap oleh
telinga, masuk liang telinga dan menggetarkan gendang telinga, lalu diikuti
penghataran getaran oleh rangkaian tulang pendengaran sampai ke perilimfe
vestibulum. Selanjutnya penghataran gelombang suara melalui cairan perilimfe
vestibulum ke perilimfe skala vestibuli dan skala timpani. Gerakan gelombang
perilimfe menyebabkan getaran skala media yang berisi endolimfe, sehingga
merangsang sel-sel organ corti. Adanya gangguan rangkaian penghantaran
gelombang suara akan menyebabkan tuli hantaran atau konduksi. Fase elektrik
atau fisiologik dimulai bergetarnya sel-sel rambut hingga muncul impuls saraf.
Setiap sel-sel rambut bergetar akan mengubah potensial istirahat pada kokhlea
menjadi cochlear microphonic dan summating potential. Kedua potensial
dihantarkan ke nervus auditorius (n. VIII) sebagai aksi potensial saraf yang
menghantarkan impuls saraf ke pusat pendengaran di otak. Adanya gangguan
lintasan penghantaran gelombang suara fase elektrik akan menyebabkan tuli
saraf atau sensorineural.
2. Keseimbangan
Keseimbangan tubuh secara statik meupun kinetik diperankan oleh organ
vestibuler di telinga dalam yang terdiri dari tiga kanalis semisirkularis, utrikulus
dan sakulus. Juga dipengaruhi rangsangan penglihatan mata dan rangsangan
propioseptif dari refleks otot-otot dalam, sehingga menentukan pandangan,
posisi dan gerak tubuh kita. Kanalis semisirkularis bereaksi terhadap rangsang
berputar, sedangkan utrikulus dan sakulus bereaksi terhadap percepatan linier
dan gaya gravitasi.
3. Tuba auditiva
II. HIDUNG
A. ANATOMI
Hidung terbagi dalam dua bagian yaitu hidung luar dan hidung dalam.
Sepertiga bagian atas hidung luar ditunjang oleh tulang, sedangkan dua pertiga
bagian bawah tersusun oleh kartilago yang berpasangan. Udara masuk ke rongga
hidung melalui kedua nares anterior dan suatu daerah melebar yang disebut
vestibulum. Vestibulum dilapisi oleh lapisan kulit yang berambut merupakan
lanjutan lapisan kulit yang menutupi hidung bagian luar (gambar 5).
B. FISIOLOGI
Bentuk hidung dan sinus paranasal serta lapisan tambahan yang dibentuk
konka maupun membrana mukosa memungkinkan rongga hidung menjalankan
fungsinya, yaitu:
III. TENGGOROK
A. ANATOMI
Farings sebagai jalan udara dari hidung menuju ke larings maupun sebagai
jalan makanan dari mulut menuju esofagus. Farings terbagi atas tiga bagian yaitu
nasofarings, orofarings dan hipofarings yang dilapisi mukosa bersilia dan banyak
jaringan limfe (Gambar 8).
Nasofarings terletak di belakang rongga hidung di sebelah atas palatum
molle. Pada dinding posterolateral terdapat fossa Rosenmuller dan di depannya
terdapat muara tuba auditiva. Mukosa pada bagian atap dan dinding posterior
nasofarings kaya jaringan limfoid yang disebut adenoid.
Orofarings terletak di antara palatum molle dengan batas atas epiglotis.
Bagian ini dihubungkan dengan nasofarings oleh suatu lengkungan yang tersusun
oleh arkus palatinus, arkus gloso-palatinus, palatum molle dan uvula.fosa
tonsilaris yang terbentuk diantara plika anterior dan plika posterior terdapat
tonsila palatina. Basis lidah terdapat jaringan limfoid yang disebut tonsila
lingualis. Jaringan-jaringan limpoid tersebut membentuk rangkaian yang disebut
Cincin Waldeyer (Gambar 9).
B. FISIOLOGI
1. Mulut dan farings
a. Respirasi, farings merupakan bagian atas dari saluran pernafasan yang
menghubungkan hidung, mulut, larings dan trakea sehingga menjamin
aliran udara respirasi
b. Deglutisi atau menelan, peran dalam proses ini terbagi atas: proses
masuknya bolus makanan dari mulut ke farings, proses bergeraknya
bolus makanan ke hipofarings dan masuk pintu esofagus dan masuknya
makanan dari esofagus ke lambung.
c. Proteksi terhadap infeksi oleh cincin Waldeyer yang merupakan
rangkaian kelenjar limfoid
d. Produksi suara, otot-otot di daerah tenggorok khususnya yang
berperan dalam penutupan palatum akan membantu resonansi suara
e. Persepsi rasa, tersebarnya reseptor rasa di farings dan lidah. Farings
juga sebagai penghubung antara rongga mulut dengan area olfactoria
di rongga hidung.
2. Larings
a. Produksi suara, karena adanya pita suara yang bergetar
b. Respirasi, yaitu sebagai pintu masuk udara pernafasan
c. Proteksi dengan mekanisme penutup glottis maupun dengan refleks
batuk
d. Deglutisi dengan mekanisme penutupan epiglotis, terangkatnya larings
dan penutupan glotis atau pita suara
TELINGA
• Corong telinga
• Otoskop
• Aplikator (alat pelilit) kapas
• Pengait serumen
• Pinset telinga
• Garpu tala (512 Hz, 1024 Hz, 2048 Hz)
HIDUNG
• spekulum hidung
• kaca tenggorok no 2-4
• pinset bayonet
• alat pengisap
• alat pengait benda asing hidung
• spatula lidah
• lampu transluminasi di kamar gelap
TENGGOROK
• spatula lidah
• kaca tenggorok no 5-8
PEMERIKSAAN TELINGA
Pasien duduk dengan posisi badan condong ke depan dan kepala lebih
tinggi sedikit dari kepala pemeriksa untuk memudahkan melihat liang telinga
dan membran timpani. Untuk memeriksa telinga, harus diingat bahwa liang
telinga tidak lurus. Untuk meluruskannya maka daun telinga ditarik ke atas
belakang atau pada anak, ditarik ke bawah. Dengan demikian liang telinga dan
membran timpani akan tampak lebih jelas. Seringkali terdapat banyak rambut
di liang telinga, sehingga perlu dipakai corong telinga. Pada anak oleh karena
liang telinganya sempit lebih baik dipakai corong telinga.Kadang-kadang
membran timpani sukar dinilai. Dalam hal demikian, lebih baik dipergunakan
otoskop. Otoskop dipegang seperti memegang pensil. Dipegang dengan tangan
kanan untuk memeriksa telinga kanan dan dengan tangan kiri bila memeriksa
telinga kiri. Supaya posisi otoskop ini stabil maka jari kelingking tangan yang
memegang otoskop ditekankan pada pipi pasien. Gerakan membran timpani jelas
terlihat apabila memakai otoskop pneumatic.
DAUN TELINGA
Diperhatikan bentuk serta tanda-tanda peradangan atau pembengkakan.
Tragus di tarik untuk menentukan nyeri tarik.
DAERAH MASTOID
Adakah abses atau fistel di belakang telinga. Mastoid diperkusi untuk
menentukan nyeri ketok.
LIANG TELINGA
Dindingnya adakah edema, hiperemis atau ada furunkel. Perhatikan
adanya polip atau jaringan granulasi, tentukan dari mana asalnya. Apakah ada
serumen atausekret.
MEMBRAN TIMPANI
Warna membran timpani yang normal putih seperti mutiara. Refleks
cahaya normal berbentuk kerucut. Bayangan kaki maleus jelas kelihatan bila
terdapat retraksi membrane timpani kearah dalam. Perforasi umumnya
berbentuk bulat. Bila disebabkan oleh trauma biasanya berbentuk robekan dan
di sekitarnya terdapat bercak darah. Lokasi perforasi dapat di atik (di daerah
pars flaksida), di sentral (di pars tensa dan di sekitar perforasi masih terdapat
membran) dan di marginal (perforasi terdapat di pars tensa dengan salah satu
sisinya langsung berhubungan dengan sulkus timpanikus). Gerakan membran
timpani normal dapat dilihat dengan memakai balon otoskop. Pada sumbatan
tuba Eustachius tidak terdapat gerakan membran timpani ini.
Cara pemeriksaan.
Sebelum melakukan pemeriksaan penderita harus diberi instruksi yang
jelas misalnya anda akan dibisiki kata-kata dan setiap kata yang didengar harus
diulangi dengan suara keras. Kemudian dilakukan test sebagai berikut :
a) Mula-mula penderita pada jarak 6 meter dibisiki beberapa kata bisyllabic.
Bila tidak menyahut pemeriksa maju 1 meter (5 meter dari penderita) dan
test ini dimulai lagi. Bila masih belum menyahut pemeriksa maju 1 meter,
dan demikian seterusnya sampai penderita dapat mengulangi 8 kata-kata
dari 10 kata-kata yang dibisikkan. Jarak dimana penderita dapat menyahut 8
dari 10 kata diucapkan di sebut jarak pendengaran.
b) Cara pemeriksaan yang sama dilakukan untuk telinga yang lain sampai
ditemukan satu jarak pendengaran.
Evaluasi test.
a. 6 meter - normal
b. 5 meter - dalam batas normal
c. 4 meter - tuli ringan
d. 3 – 2 meter - tuli sedang
e. 1 meter atau kurang - tuli berat
Dengan test suara bisik ini dapat dipergunakan untuk memeriksa secara kasar
derajat ketulian (kuantitas). Bila sudah berpengalaman test suara bisik dapat
pula secara kasar memeriksa type ketulian misalnya :
➢ Tuli konduktif sukar mendengar huruf lunak seperti n, m, w (meja
dikatakan becak, gajah dikatakan kaca dan lain-lain).
➢ Tuli sensori neural sukar mendengar huruf tajam yang umumnya
berfrekwensi tinggi seperti s, sy, c dan lain-lain (cicak dikatakan tidak,
kaca dikatakan gajah dan lain-lain).
Pemeriksaan Rinne
Pada prinsipnya pemeriksaan Rinne adalah membandingkan hantaran
udara dan hantaran tulang pada satu telinga. Caranya dengan garpu tala
digetarkan pada siku atau lutut pemeriksa, segera dasar garpu tala diletakkan
pada prosesus mastoid telinga yang diperiksa. Pasien diminta memberitahu
apabila getaran telah berhenti, setelah dinyatakan berhenti maka dasar garpu
tala didekatkan pada lubang telinga dengan jarak 5 cm.
Hasil / interpertasi:
Rinne + = jika AC lebih baik dari BC= telinga normal dan SNHL
Rinne - = jika BC lebih baik dari AC = telinga CHL
Pemeriksaan Weber
Prinsip pemeriksaan membandingkan hantaran tulang telingan kanan dan
kiri. Cara melakukan pemeriksaan yaitu setelah garpu tala digetarkan,
dasar/tangkai diletakkan pada linea media dahi, gigi atau vertex.
Hasil / interpertasi:
Normal : bila suara terdengar sama keras antara kanan dan kiri
Lateralisasi kearah sakit: bila suara terdengar lebih keras pada telinga yang sakit
= CHL
Lateralisasi kearah sehat: bila suara terdengar lebih keras pada telinga yang
sehat = SNHL
Pemeriksaan Schwabah
Prinsipnya membandingkan hantaran tulang pasien dangan pemeriksa,
dengan syarat BC pemeriksa adalah normal. Caranya dengan setelah garpu tala
digetarkan, segera ditempelkan pada planum mastoideum pasien, jika bunyinya
tidak terdengar lagi, pasien memberitahukan kepada pemeriksa, kemudian
segera pindahkan ke pemeriksa.
Hasil / interpertasi:
Normal: BC pasien = BC pemeriksa
Diperpendek: BC pasien < BC pemeriksa =pemeriksa masih mendengar bunyi=
SNHL
Diperpanjang : BC pasien > BC pemeriksa = pasien masih mendengar bunyi = CHL
RINOSKOPI ANTERIOR
Pasien duduk menghadap pemeriksa. Spekulum hidung dipegang dengan
tangan kiri (right handed), dengan jari telunjuk ditempelkan pada dorsum nasi.
Tangan kanan untuk fiksasi kepala. Spekulum dimasukkan ke dalam rongga
hidung dalam posisi tertutup, dan dikeluarkan dalam posisi terbuka. Kemudian
diperhatikan keadaan: Rongga hidung, luasnya, adanya sekret, lokasi serta asal
sekret tersebut. Konka inferior, konka media dan konka superior warnanya
merah muda(normal), pucat atau hiperemis. Besarnya, edema atau hipertrofi.
Septum nasi lurus, deviasi, krista dan spina. Meatus superior, meatus medius dan
meatus inferior. Jika terdapat sekret kental yang keluar dari meatus medius
berarti sekret berasal dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior,
sedangkan sekret yang terdapat di meatus superior berarti sekret berasal dari
sinus etmoid posterior atau sinus sphenoid. Massa dalam rongga hidung, seperti
polip atau tumor perlu diperhatikan keberadaannya. Asal perdarahan di rongga
hidung, krusta yang bau dan lain-lain perlu diperhatikan.
RINOSKOPI POSTERIOR
Pasien sebelumnya diberikan penjelasan dahulu. Pasien diminta membuka
mulut, lidah tidak perlu dijulurkan. Spatela lidah dimasukkan dengan cara hati-
hati dan lidah ditekan ke bawah. Cermin dihangatkan, biasanya diatas lampu
spiritus dahulu, sehingga pada saat pasien bernafas, cermin tidak berkabut dan
mengaburkan pandangan. Cermin digeser masuk di atas spatela lidah sebaiknya
tidak menyentuh lidah itu sendiri dan menghadap ke atas. Sinar lampu kepala
diarahkan ke cermin dan diperiksa bagian yang terlihat dari cermin, yaitu
choana, permukaan concha inferior dan media, mukosa septum nasi, atas
nasofaring, torus tubarius, permukaan uvula bagian belakang, dll.
• Pita suara palsu (plika ventrikularis) : warna, edema atau tidak, tumor.
• Valekula : adakah benda asing
• Sinus piriformis : apakah banyak sekret
CHECKLIST PENILAIAN
I. PEMERIKSAAN TELINGA
SKOR
NO ASPEK YANG DINILAI
0 1 2
1 Mengetahui tempat/ruangan pemeriksaan
2 Menggunakan sumber cahaya
Mengatur posisi pemeriksa dan pasien (untuk
3
anak-anak, fiksasi jika perlu).
Mempersiapkan peralatan pemeriksaan dan
4
cuci tangan
Memeriksa daun telinga dan jaringan
5
sekitarnya
6 Menekan tragus dan belakang telinga
7 Mengatur posisi aurikula
Memasukkan aural spekulum dengan arah
8
benar
9 Memeriksa dengan otoskop dengan benar
TOTAL
V. PEMERIKSAAN TENGGOROK
SKOR
NO ASPEK YANG DINILAI
0 1 2
Inspeksi bibir dan mulut, termasuk cara
1
membuka mulut
Pemeriksaan mukosa bukal, gusi dan geligi
2
dengan spatel lidah
3 Pemeriksaan langit-langit
Pemeriksaan tonsil ( ukuran tonsil dan adanya
4
kripta serta dentritus)
5 Pemeriksaan dinding faring bagian belakang
6 Pemeriksaan lidah secara inspeksi
7 Pemeriksaan lidah secara palpasi
8 Memeriksa refleks muntah
9 Pemeriksaan leher luar
10 Palpasi leher luar
TOTAL
CATATAN :
SKOR 2 : BAIK
1 : CUKUP
0 : KURANG
Total skor:
I. Total /18 x 100% =
II. Total /12 x 100% =
III. Total /20 x 100% =
IV. Total /20 x 100% =
___________________ ____________________
DAFTAR PUSTAKA
Kerr AG. Scott-Brown’s Otolaryngology Rhinology. 6th ed. Oxford: Butterworth-
Heinemann. 1997.
Kimmelman CP. The Problem of nasal obstruction. Otolaryngology clinic of
North America 1989; 22 : 253–264
Bailey JB, Johnson JI, Calhoun KH, Deskoin RW, Kohut RI, Tardi Jr ME, et al.
Textbook head and neck surgery otolaryngology 2nd ed. New York:
Lippincott-Raven Publisher. 2001.
Cummings CW, Fredrickson JM, Harker LA, Krause CJ, Richardson MA, Schuller
DE.Otolaryngology Head and Neck Surgery.CD-ROM. 3rd Ed. Mosby Inc. 1999.
Guyton AC, Hall JE. Textbook of medical physiology. WB Saunders Co,
Philadelphia. 1996: 33-588, 501-511.
Ganong WF. Review of medical physiology. 11th ed. Lange Medical Pub,
California. 1983.
Mattox DE. Decision Making In Otolaryngology. B.C. Decker Inc., Philadelphia,
Toronto. 1984.
Tangen GM. Fundamentals of Otolaryngology, A text book of Ear, Nose and
Throat Diseases. W.B Saunders Company, Philadelphia, London. 1963:
112-115.
PEMERIKSAAN MATA
Bagian mata yang dapat diamati saat inspeksi pertama kali tampak pada
gambar 1. Celah mata disebut fissura palpebra. Sedangkan bagian mata yang
memberi warna pada mata disebut iris. Normalnya iris sedikit tertutup oleh
kelopak mata bagian atas, namun tidak sampai menutupi pupil. Sklera
merupakan bagian mata yang berwarna putih, dilapisi oleh membran bening yang
bernama konjungtiva.
Air mata melindungi konjungtiva dan kornea dari kondisi mata kering &
mencegah pertumbuhan bakteri. Air mata diproduksi oleh beberapa kalenjar,
yaitu glandula meibom, glandula lakrimalis, & glandula konjungtival. Glandula
lakrimalis berada di ruang orbita bagian superior, kemudian akan memproduksi
air mata → menyebar ke seluruh mata → disaring melalui punctum lakrimalis
→ saccus lakrimalis → mengalir ke hidung melalui duktus nasolakrimalis.
Punctum dapat diinspeksi pada bagian medial dari kelopak mata bagian inferior.
TEKNIK PEMERIKSAAN
AREA PENTING PEMERIKSAAN MATA
- Visus
- Lapang pandang
- Gerakan bola mata
- Bagian eksternal mata (alis, kelopak mata, kalenjar lakrimalis)
- Segmen anterior mata (konjungtiva, sklera, blik anterior, iris, kornea,
lensa, pupil)
- Segmen posterior mata (fundus; diskus optikus dan cup, retina, pembuluh
darah retina)
- Tekanan bola mata
VISUS
Untuk memeriksa visus membutuhkan Snellen chart. Berikut prosedur
yang dapat dilakukan:
1. Posisikan pasien pada jarak 6 m.
2. Periksa mata bergantian. Saat memeriksa mata sebelah kanan, tutup mata
kiri menggunakan tangan dan jangan lupa berikan instruksi untuk “jangan
menekan bola mata” karena dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan. Jangan
lupa untuk melepas kacamata jika pasien menggunakan kacamata.
3. Tunjuk huruf snellen chart mulai dari yang paling atas, jika pasien dapat
membaca lanjut ke bawah.
4. Jika pasien TIDAK BISA membaca huruf paling atas, mulai lakukan tes
finger counting.
5. Tes finger counting: pemeriksa maju 1 meter ke arah pasien, kemudian
dengan menggunakan jari minta pasien untuk menyebutkan jari yang
diacungkan oleh pemeriksa. Jika pasien tidak bisa, pemeriksa maju lagi 1
meter. Prosedur dilakukan terus hingga pemeriksa berjarak 1 meter dengan
pasien.
6. Jika pada jarak 1 meter pasien masih belum dapat menghitung jari, lakukan
tes lambaian tangan, apakah pasien masih dapat mengenali lambaian tangan
atau tidak. (tangan diarahkan ke atas-bawah, dan kanan-kiri, minta pasien
untuk menginterpretasikan yang dapat dilihat)
7. Jika pasien TIDAK BISA mengenali lambaian tangan, arahkan cahaya senter
pada mata pasien, apakah pasien masih dapat mengenali gelap/terang.
8. Hasil pemeriksaan visus akan muncul dengan 2 angka, contoh: 1/60 → angka
pertama menunjukkan jarak baca pasien dari chart, dan angka kedua
menunjukkan jarak yang dapat dibaca oleh mata normal.
LIGHT TEST
Dengan jarak 0,5 m, berikan cahaya pada mata pasien dan minta pasien
untuk memandang ke arah cahaya. Posisikan senter di tengah wajah pasien.
Kemudian amati pantulan sinar pada bola mata. Normalnya pantulan sinar akan
tampak pada daerah nasal dari pupil.
Prosedur pemeriksaan:
1. Posisikan pasien
2. Minta pasien untuk mengikuti pola gerakan dari jari/bolpen yang diacungkan
3. Gerakkan jari dengan pola H, urutan gerak seperti berikut:
a. Kanan secara ekstrim (semaksimal mata dapat melirik)
b. Kanan atas
c. Kanan bawah
d. Tanpa berhenti gerakkan tangan dari kanan ke kiri secara ekstrim (dapat
berganti tangan ditengah)
e. Kiri atas
f. Kiri bawah
4. Hentikan gerakan sebentar setiap arah pandangan mata, dan amati gerakan
bola mata pasien.
TES KONVERGENSI
Minta pasien untuk mengikuti jari pemeriksa mendekati hidung.
Normalnya mata akan konvergensi hingga jarak 5-8 cm dari hidung.
Kornea &
lensa
2. Ikuti jalur pembuluh darah ke arah perifer ke 4 arah (lihat gambar, arah 1-
4), perhatikan ukuran, persilangan arteri vena.
3. Identifikasi jika ada lesi di sekitar pembuluh darah, lihat ukuran, bentuk,
warna, & distribusi.
4. Saat melakukan inspeksi pada retina, mata & opthalmoscope bergerak
bersamaan sebagai suatu kesatuan.
5. Inspeksi daerah fovea & makula. Arahkan cahaya opthalmoscope pada lateral
(arah 5) untuk melihat refleksi cahaya di daerah makula, atau minta pasien
untuk memandang ke arah cahaya sebentar.
Gambar 21. Arah inspeksi retina Gambar 22. Refleks cahaya pada
makula
6. Inspeksi stuktur anterior; cari opasitas pada vitreous & lensa dengan cara
mengatur diopter hingga +10 - +12 untuk memfokuskan pandangan pada
stutur mata anterior.
Nilai
0 : tidak dikerjakan
1 : dikerjakan tidak sempurna
2 : dikerjakan sempurna
Penilai,
Nilai = (Total : 114) x 100 =
Tanggal:
(_____________________)
TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Melatih mahasiswa untuk dapat menjelaskan berita buruk pada pasien
dan/atau keluarganya dengan baik.
2. Mahasiswa mampu memberikan sikap yang sesuai dalam menyampaikan
berita buruk, sesuai dengan masing-masing kondisi.
The hectic pace of clinical practice may force a physician to deliver bad news
with little forewarning or when other responsibilities are com- peting for the
physician’s attention.
Historically, the emphasis on the biomedical model in medical training
places more value on technical profi- ciency than on communication skills.
Therefore, physi- cians may feel unprepared for the intensity of breaking bad
news, or they may unjustifiably feel that they have failed the patient. The
cumulative effect of these factors is physician uncertainty and discomfort, and
a resultant ten- dency to disengage from situations in which they are called on
to break bad news.6 Rabow and McPhee keenly describe the end result,
“Clinicians focus often on reliev- ing patients’ bodily pain, less often on their
emotional dis- tress, and seldom on their suffering.”7
Several professional groups have published consensus guidelines on how
to discuss bad news; however, few of those guidelines are evidence-based.8 The
clinical efficacy of many standard recommendations has not been empirically
demonstrated.9,10 Less than 25 percent of publications on breaking bad news
are based on studies reporting origi- nal data, and those studies commonly have
methodologic limitations.
Learning general communication skills can enable physicians to break bad
news in a manner that is less uncomfortable for them and more satisfying for
patients and their families.11 Numerous investigators have demon- strated that
focused educational interventions improve student and resident skills in
delivering bad news.12-14 Fol- lowing traumatic deaths, surviving family
members judged the most important features of delivering bad news to be the
attitude of the person who gave the news, the clar- ity of the message, privacy,
and the newsgiver’s ability to answer questions.15 As Franks observes, “It is
not an iso- lated skill but a particular form of communication.”16
ABCDE mnemonic, with modifica- tion and additional material from other
sources.16-21
Although specific situations may preclude carrying out many of these
suggestions, the recommendations are intended to serve as a general guide and
should not be viewed as overly prescriptive.
A–ADVANCE PREPARATION
• Familiarize yourself with the relevant clinical infor- mation. Ideally, have the
patient’s chart or pertinent labo- ratory data on hand during the conversation.
Be prepared to provide at least basic information about prognosis and
treatment options.
• Arrange for adequate time in a private, comfortable location. Instruct office
or hospital staff that there should be no interruptions. Turn your pager to
silent mode or leave it with a colleague.
• Mentally rehearse how you will deliver the news. You may wish to practice
out loud, as you would prepare for public speaking. Script specific words and
phrases to use or avoid. If you have limited experience delivering bad news,
consider observing a more experienced colleague or role play a variety of
scenarios with colleagues before actually being faced with the situation.
• Prepare emotionally.
• Do not argue with or criticize colleagues; avoid defen siveness regarding your,
or a colleague’s, medical care.
TABLE 1
The ABCDE Mnemonic for Breaking Bad News
Advance preparation
• Arrange for adequate time, privacy and no interruptions (turn pager off or to
silent mode).
• Review relevant clinical information.
• Mentally rehearse, identify words or phrases to use and avoid. Prepare
yourself emotionally.
Communicate well
• Ask what the patient or family already knows.
• Be frank but compassionate; avoid euphemisms and medical jargon.
• Allow for silence and tears; proceed at the patient’s pace. Have the patient
describe his or her understanding of the
• news; repeat this information at subsequent visits.
• Allow time to answer questions; write things down and provide written
information.
• Conclude each visit with a summary and follow-up plan.
Adapted with permission from Rabow MW, McPhee SJ. Beyond breaking
bad news: how to help patients that suffer. West J Med 1999;171:261.
Attend to your own needs during and following the delivery of bad news.
Issues of counter-transference may arise, triggering poorly understood but
powerful feelings. A formal or informal debriefing session with involved house
staff, office or hospital personnel may be appropri- ate to review the medical
management and their feelings.
Final Comment
Despite the challenges involved in delivering bad news, physicians can
find tremendous gratification in providing a therapeutic presence during a
patient’s time of greatest need. Further research is needed to provide empirical
sup- port for consensus-based guidelines. However, a growing body of evidence
REFERENCES
1. Buckman R. Breaking bad news: why is it so difficult? BMJ 1984;288:1597-
9.
2. Armstrong L. It’s not about the bike: my journey back to life. New York:
Putnam, 2000.
3. Hippocrates. Decorum, XVI. In: Jones WH, Hippocrates with an English
Translation. Vol 2. London: Heinemann, 1923.
4. 4. Ley P. Giving information to patients. In: Eiser JR, ed. Social psy- chology
and behavioral medicine. New York: Wiley, 1982:353.
5. 5. Kutner JS, Steiner JF, Corbett KK, Jahnigen DW, Barton PL. Infor- mation
needs in terminal illness. Soc Sci Med 1999;48:1341-52.
6. O’Hara D. Tendering the truth. Am Med News 2000;43:25-6.
7. Rabow MW, McPhee SJ. Beyond breaking bad news: how to help patients who
suffer. West J Med 1999;171:260-3.
8. Girgis A, Sanson-Fisher RW. Breaking bad news. 1: current best evidence for
clinicians. Behav Med 1998;24:53-9.
9. Ptacek JT, Eberhardt TL. Breaking bad news. A review of the litera- ture.
JAMA 1996;276:496-502.
10. Walsh RA, Girgis A, Sanson-Fisher RW. Breaking bad news. 2: what evidence
is available to guide clinicians? Behav Med 1998;24:61-72.
11. Ellis PM, Tattersall MH. How should doctors communicate the diagnosis of
cancer to patients? Ann Med 1999;31:336-41.
12. Vetto JT, Elder NC, Toffler WL, Fields SA. Teaching medical stu- dents to
give bad news: does formal instruction help? J Cancer Educ 1999;14:13-7.
13. Garg A, Buckman R, Kason Y. Teaching medical students how to break bad
news. CMAJ 1997; 156:1159-64.
14. Cushing AM, Jones A. Evaluation of a breaking bad news course for medical
students. Med Educ 1995;29:430-5.
15. Jurkovich GJ, Pierce B, Pananen L, Rivara FP. Giving bad news: the family
perspective. J Trauma 2000; 48:865-70.
16. Franks A. Breaking bad news and the challenge of communica- tion. Eur J
Palliat Care 1997;4:61-5.
17. Buckman R. How to break bad news: a guide for health care pro- fessionals.
Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1992.
18. Campbell EM, Sanson-Fisher RW. Breaking bad news. 3: encour- aging the
adoption of best practices. Behav Med 1998;24:73-80.
19. Baile WF, Buckman R, Lenzi R, Glober G, Beale EA, Kudelka AP. SPIKES-A six-
step protocol for delivering bad news: application to the patient with
cancer. Oncologist 2000;5:302-11.
20. Quill TE, Townsend P. Bad news: delivery, dialogue, and dilemmas. Arch
Intern Med 1991;151:463-8.
21. Emanuel LL, von Gunten CF, Ferris FD, eds. Education for Physi- cians on
End-of-Life Care (EPEC) Curriculum. Chicago: The Robert Wood Johnson
Foundation, 1999.
THE AUTHOR
GREGG K. VANDEKIEFT, M.D., is assistant director of the Palliative Care
Education and Research Program at Michigan State University, East Lansing.
Currently, Dr. VandeKieft is completing his masters in ethics and humanities at
Michigan State University. He received his medical degree from the University
of Iowa, Iowa City, and completed a resi- dency in family practice at Phoenix
Baptist Hospital and Medical Center, Phoenix, Ariz.
Address correspondence to Gregg K. VandeKieft, M.D., Department of
Family Practice, Michigan State University College of Human Medicine, B101
Clinical Center, East Lansing, MI 48824-1315 (e-mail: gregg.van-
dekieft@ht.msu.edu). Reprints are not available from the author.
ABSTRACT
We describe a protocol for disclosing unfavorable information—“breaking
bad news”—to cancer patients about their illness. Straightforward and prac-
tical, the protocol meets the requirements defined by published research on this
topic. The protocol (SPIKES) consists of six steps. The goal is to enable the
clinician to fulfill the four most important objectives of the interview disclosing
bad news: gathering infor- mation from the patient, transmitting the medical
information, providing support to the patient, and elic- iting the patient’s
collaboration in developing a stra- tegy or treatment plan for the future.
Oncologists, oncology trainees, and medical students who have been taught the
protocol have reported increased confidence in their ability to disclose
unfavorable medical infor- mation to patients. Directions for continuing assess-
ment of the protocol are suggested. The Oncologist
2000;5:302-311
BACKGROUND
Surveys conducted from 1950 to 1970, when treatment prospects for
cancer were bleak, revealed that most physicians considered it inhumane and
damaging to the patient to disclose the bad news about the diagnosis [1, 2].
Ironically, while treat- ment advances have changed the course of cancer so that
it is much easier now to offer patients hope at the time of diagno- sis, they have
also created a need for increased clinician skill in discussing other bad news.
These situations include disease recurrence, spread of disease or failure of
Clinical Outcomes
How bad news is discussed can affect the patient’s comprehension of
information [32], satisfaction with med- ical care [33, 34], level of hopefulness
[35], and subsequent psychological adjustment [36-38]. Physicians who find it
difficult to give bad news may subject patients to harsh treatments beyond the
point where treatment may be expected to be helpful [39]. The idea that
receiving unfa- vorable medical information will invariably cause psycho- logical
harm is unsubstantiated [40, 41]. Many patients desire accurate information to
assist them in making impor- tant quality-of-life decisions. However, others who
find it too threatening may employ forms of denial, shunning or minimizing the
significance of the information, while still participating in treatment.
The participants in our previously mentioned ASCO sur- vey identified several
additional stresses in giving bad news. Fifty-five percent ranked “how to be
honest with the patient and not destroy hope” as most important, whereas
“dealing with the patient’s emotions” was endorsed by 25%. Finding the right
amount of time was a problem for only 10%.
Despite these identified challenges, less than 10% of survey respondents had any
formal training in breaking bad news and only 32% had the opportunity during
training to regularly observe interviews where bad news was deliv- ered. While
53% of respondents indicated that their ability to break bad news was good to
very good, 39% thought that it was only fair, and 8% thought it was poor. From
this information and other studies we may con- clude that for many clinicians
additional training in disclos- ing unfavorable information to the patient could
be useful and increase their confidence in accomplishing this task. Moreover,
techniques for disclosing information in a way that addresses the expectations
and emotions of the patients also seem to be strongly desired, but rarely taught.
HOW CAN A STRATEGY FOR BREAKING BAD NEWS HELP THE CLINICIAN AND
THE PATIENT?
When physicians are uncomfortable in giving bad news they may avoid
discussing distressing information, such as a poor prognosis, or convey
unwarranted optimism to the patient [46]. A plan for determining the patient’s
values, wishes for participation in decision-making, and a strategy for addressing
their distress when the bad news is disclosed can increase physician confidence
in the task of disclosing unfavorable medical information [47, 48]. It may also
encourage patients to participate in difficult treatment deci- sions, such as when
there is a low probability that direct anticancer treatment will be efficacious.
Finally, physicians who are comfortable in breaking bad news may be subject to
less stress and burnout [49].
• Third, identify the reason for the emotion. This is usu- ally connected to the
bad news. However, if you are not sure, again, ask the patient.
• Fourth, after you have given the patient a brief period of time to express his
or her feelings, let the patient know that you have connected the emotion
with the reason for the emotion by making a connecting state- ment. An
example:
Doctor: I’m sorry to say that the x-ray shows that the chemotherapy
doesn’t seem to be working [pause]. Unfortunately, the tumor has grown
somewhat.
Patient: I’ve been afraid of this! [Cries]
Doctor: [Moves his chair closer, offers the patient a tissue, and pauses.] I know
that this isn’t what you wanted to hear. I wish the news were better.
In the above dialogue, the physician observed the patient crying and
realized that the patient was tearful because of the bad news. He moved closer
to the patient. At this point he might have also touched the patient’s arm or
hand if they were both comfortable and paused a moment to allow her to get
her composure. He let the patient know that he understood why she was upset
by making a statement that reflected his understanding. Other examples of
empathic responses can be seen in Table 2.
Until an emotion is cleared, it will be difficult to go on to discuss other
issues. If the emotion does not diminish shortly, it is helpful to continue to make
empathic responses until the patient becomes calm. Clinicians can also use
empathic responses to acknowledge their own sadness or other emotions (“I also
wish the news were better”). It can be a show of support to follow the empathic
response with a validating statement, which lets the patient know that their
feelings are legitimate (Table 3). Again, when emotions are not clearly
expressed, such as when the patient is silent, the physician should ask an
exploratory question before he makes an empathic response. When emotions
are subtle or indirectly expressed or disguised as in thinly veiled disappointment
or anger (“I guess this means I’ll have to suffer through chemother- apy again”)
you can still use an empathic response (“I can see that this is upsetting news for
you”). Patients regard their oncologist as one of their most important sources of
psychological support [63], and combining empathic, exploratory, and
validating statements is one of the most powerful ways of providing that support
[64-66] (Table 2). It reduces the patient’s isolation, expresses solidarity, and
validates the patient’s feelings or thoughts as normal and to be expected [67].
emotions that lie behind the expectation. Patients may see cure as a global
solution to sev- eral different problems that are significant for them. These may
include loss of a job, inability to care for the family, pain and suffering, hardship
on others, or impaired mobility. Expressing these fears and concerns will often
allow the patient to acknowledge the seriousness of their condition. If patients
become emotionally upset in discussing their con- cerns, it would be appropriate
to use the strategies outlined in step 5 of SPIKES. Second, understanding the
important spe- cific goals that many patients have, such as symptom control,
and making sure that they receive the best possible treatment and continuity of
care will allow the physician to frame hope in terms of what it is possible to
accomplish. This can be very reassuring to patients.
DISCUSSION
In clinical oncology the ability to communicate effec- tively with patients
and families can no longer be thought of as an optional skill [72]. Current ASCO
guidelines for cur- riculum development do not yet include recommendations for
training in essential communication skills [73]. However, a study by Shea of 2,516
oncologists showed interest in addi- tional training in this area [74]. Shea’s
findings regarding communication skills were echoed by our ASCO survey par-
ticipants, many of whom reported a lack of confidence in ability to break bad
news. A specific lack of training oppor- tunities appeared to play a major role in
leading to this prob- lem, as almost 40% of respondents not only had no didactic
training but also did not have an opportunity to gain experi- ence from observing
other clinicians breaking bad news.
Several papers have clearly demonstrated that communi- cation skills can
be taught and are retained [47, 48, 71, 75, 76]. The SPIKES protocol for breaking
bad news is a spe- cialized form of skill training in physician-patient communi-
cation, which is employed in teaching communication skills in other medical
settings [77]. These key skills are an impor- tant basis for effective
communication [78]. Employing verbal skills for supporting and advocating for
the patient rep- resents an expanded view of the role of the oncologist, which
FUTURE DIRECTIONS
We are currently in the process of determining how the bearer of bad
news is affected psychophysiologically during the process of disclosure. We plan
to determine empirically whether the SPIKES protocol can reduce the stress of
break- ing bad news for the physician, and also improve the inter- view and the
support as experienced by the patient. We are further investigating patient
preferences for bad news dis- closure, using many of the steps recommended in
SPIKES, across a variety of disease sites and by age, gender, and stage of disease.
Preliminary data indicate that, as recom- mended in SPIKES, patients wish the
amount of information they receive to be tailored to their preferences. We are
also conducting long-term follow-up of workshops in which the protocol has been
taught to oncologists and oncology trainees to determine empirically how it is
implemented.
REFERENCES
1. Oken D. What to tell cancer patients: a study of medical atti- tudes. JAMA
1961;175:1120-1128.
2. Friedman HS. Physician management of dying patients: an exploration.
Psychiatry Med 1970;1:295-305.
3. Ptacek JT, Eberhardt TL. Breaking bad news. A review of the literature.
JAMA 1996;276:496-502.
4. Lind SE, DelVecchio-Good MJ, Seidel S et al. Telling the diagnosis of cancer.
J Clin Oncol 1989;7:583-589.
5. Taylor C. Telling bad news: physicians and the disclosure of undesirable
information. Sociol Health Illn 1988;10:120-132.
6. Miyaji N. The power of compassion: truth-telling among American doctors
in the care of dying patients. Soc Sci Med 1993;36:249-264.
7. Eidinger RN, Schapira DV. Cancer patients’ insight into their treatment,
prognosis and unconvential therapies. Cancer 1984;53:2736-2740.
8. Mackillop WJ, Stewart WE, Ginsberg AD et al. Cancer patients’ perceptions
of their disease and its treatment. Br J Cancer 1988;58:355-358.
9. Quirt CF, McKillop WJ, Ginsberg AD et al. Do doctors know when their
patients don’t? A survey of doctor-patient communication in lung cancer.
Lung Cancer 1997;18:1-20.
10. Siminoff LA, Fetting JH, Abeloff MD. Doctor-patient com- munication about
breast cancer adjuvant therapy. J Clin Oncol 1989;7:1192-1200.
11. Weeks JC, Cook EF, O’Day SJ et al. Relationship between cancer patients’
predictions of prognosis and their treatment preferences. JAMA
1998:279;1709-1714.
12. Haidet P, Hamel MB, Davis RB et al. Outcomes, preferences for resuscitation,
and physician-patient communication among patients with metastatic
colorectal cancer. SUPPORT investigators. Study to Understand Prognoses
and Preferences for Outcomes and Risks of Treatments. Am J Med
l998;105:222-229.
13. Buckman R. Breaking Bad News: A Guide for Health Care Professionals.
Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1992:15.
14. Fallowfield L, Lipkin M, Hall A. Teaching senior oncologists communication
skills: results from phase I of a comprehen- sive longitudinal program in the
United Kingdom. J Clin Oncol 1998;16:1961-1968.
15. Novack DH, Plumer R, Smith RL et al. Changes in physi- cians’ attitudes
toward telling the cancer patient. JAMA 1979;241:897-900.
16. Morris B, Abram C. Making Healthcare Decisions. The Ethical and Legal
Implications of Informed Consent in the Practitioner-Patient Relationship.
Washington: United States Superintendent of Documents, 1982:119.
17. Ley P. Giving information to patients. In: Eiser JR, ed. Social Psychology and
Behavioral Science. New York: John Wiley, 1982:353.
18. Cassileth BR, Zupkis RV, Sutton-Smith K et al. Information and participation
preferences among cancer patients. Ann Intern Med 1980:92:832-836.
19. Blanchard CG, Labrecque MS, Ruckdeschel JC et al. Information and
decision-making preferences of hospitalized adult cancer patients. Soc Sci
Med 1988;27:1139-1145.
20. Davison BJ, Degner LF, Morgan TR. Information and deci- sion-making
preferences of men with prostate cancer. Oncol Nurs Forum 1995;22:1401-
1408.
21. Sutherland HJ, Llewellyn-Thomas HA, Lockwood GA et al. Cancer patients:
their desire for information and participation in treatment decisions. J R Soc
Med 1989;82:260-263.
22. Dunsmore J, Quine S. Information, support and decision-making needs and
preferences of adolescents with cancer: implications for health
professionals. J Phychosoc Oncol 1995;13:39-56.
23. Benbassat J, Pilpel D, Tidhar M. Patients’ preferences for par- ticipation in
clinical decision-making: a review of published surveys. Behav Med
1998;24:81-88.
24. Degner LF, Kristanjanson LJ, Bowman D et al. Information needs and
decisional preferences in women with breast cancer. JAMA 1997;18:1485-
1492.
25. Davidson JR, Brundage MD, Feldman-Stewart D. Lung can- cer treatment
decisions: patient’s desires for participation and information.
Psychooncology 1999;8:11-20.
26. Hoffman JC, Wegner NS, Davis RB et al. Patient preferences for
communication with physicians about end-of-life decisions. SUPPORT
investigators. Study to Understand Prognoses and Preferences for Outcomes
and Risks of Treatment. Ann Int Med 1997;127:1-12.
27. Lobb EA, Butow PN, Kenny DT et al. Communicating prog- nosis in early
breast cancer: do women understand the language used? Med J Aust
1999;171:290-294.
55. Whippen DA, Canellos GP. Burnout syndrome in the practice of oncology:
results of a random survey of 1,000 oncologists. J Clin Oncol 1991;9:1916-
1920.
56. Lubinsky MS. Bearing bad news: dealing with the mimics of denial. Genet
Couns 1999;3:5-12.
57. Conlee MC, Tesser A. The effects of recipient desire to hear on news
transmission. Sociometry 1973;36:588-599.
58. Gattellari M, Butow PN, Tattersall MH et al. Misunderstanding in cancer
patients: why shoot the messenger. Ann Oncol 1999;10:39-46.
59. Miller SM. Monitoring versus blunting styles of coping with cancer influence
the information patients want and need about their disease. Implications
for cancer screening and management. Cancer 1995;76:167-177.
60. Butow PN, Maclean M, Dunn SM et al. The dynamics of change: cancer
patients’ preferences for information, involvement and support. Ann Oncol
1997;8:857-863.
61. Maynard DW. How to tell patients bad news: the strategy of “forecasting.”
Cleve Clin J Med 1997;64:181-182.
62. Greisinger AJ, Lorimor RJ, Aday LA et al. Terminally ill can- cer patients:
their most important concerns. Cancer Pract 1997;5:147-154.
63. Molleman E, Krabbendam PJ, Annyas AA. The significance of the doctor-
patient relationship in coping with cancer. Soc Sci Med 1984;6:475-480.
64. Matthews DA, Suchman AL, Branch WT. Making “connex- ions”: enhancing
the therapeutic potential of patient-clinician relationships. Ann Intern Med
1993;118:973-977.
65. Novack DH. Therapeutic aspects of the clinical encounter. J Gen Intern Med
1987;2:346-355.
66. Suchman AL. A model of empathic communication in the medical interview.
JAMA 1997;277:678-682.
67. Buckman R, Korsch B, Baile WF. A Practical Guide to Communication Skills
in Clinical Practice. Toronto: Medical Audio Visual Communications,
1998;CD-ROM (Pt 2):Dealing with feelings.
68. Nattinger AB, Hoffman RG, Sharpiro R et al. The effects of legislative
requirements on the use of breast conserving surgery. N Engl J Med
1996;335:1035-1040.
69. Walsh RA, Girgis A, Sanson-Fisher RW. Breaking bad news. 2: What evidence
is available to guide clinicians? Behav Med 1998;24:61-72.
70. Tulsky JA, Fischer GS, Rose MR et al. Opening the black box: how do
physicians communicate about advance direc- tives? Ann Intern Med
1998;129:441-449.
71. Garg A, Buckman R, Kason Y. Teaching medical students how to break bad
news. CMAJ 1997;156:1159-1164.
72. American Society of Clinical Oncology. Cancer care during the last phase of
life. J Clin Oncol 1998;16:1986-1996.
73. American Society of Clinical Oncology. Training resource document for
curriculum development in medical oncology. J Clin Oncol 1998;16:372-379.
74. Shea JA, Frenkel EP, Webster GD. Training and practice activities of
hematology and medical oncology diplomates. Arch Intern Med
1990;150:145-148.
75. Maguire P, Fairbairn S, Fletcher C. Consultation skills of young doctors: I—
Benefits of feedback training in interviewing as students persist. BMJ
1986;292:1573-1576.
76. Vaidya VU, Greenberg L, Kantilal MP et al. Teaching physi- cians how to
break bad news. A 1-day workshop using stan- dardized patients. Arch
Pediatr Adolesc Med 1999;153:419-422.
77. Keller V, Carroll JG. A new model for physician-patient communication.
Patient Educ Commun 1994;23:131-140.
78. Lipkin M, Frankel RM, Buckman HB et al. The structure and process of the
medical interview. 5. Performing the interview. In: Lipkin M, Putnam SM,
Laxare A, eds. The Medical Interview. Clinical Care, Education and Research.
New York: Springer-Verlag, 1995:65-82.
Talking about end of active treatment and beginning 46.1 44.2 45.2
2 palliative treatment
Discussing end-of-life issues (e.g., do not resuscitate) 15.8 23.2 19.5
Involving family/friends of patient 4.8 4.9 4.9
Have you had any specific teaching or training for
breaking bad news?
Formal teaching 5.6 4.0 4.8
3 Sat in with clinicians in breaking bad news interviews 41.5 35.9 38.7
Both 15.2 12.1 13.6
Neither 37.7 48.0 42.0
How do you feel about your own ability to break bad
news?
Very good 11.7 14.3 13.0
4 Good 40.9 39.4 40.2
Fair 40.9 37.1 39.0
Poor 6.5 8.8 7.6
Very poor 0.0 0.4 0.25
What do you feel is the most difficult part of
discussing bad news?
Being honest but not taking away hope 54.9 61.1 58.0
Dealing with the patient’s emotion (e.g., crying, 28.8 21.5 25.1
anger)
5 Spending the right amount of time 10.6 10.1 10.3
Involving friends and family of the patient
Involving patient or family in decision-making 5.7 7.3 6.5
Have you had any training in the techniques of
responding to patient’s emotions?
6 Formal teaching 9.1 6.4 7.8
Sat in with practicing clinician 32.5 34.4 33.5
Both 10.3 9.6 9.9
Neither 48.1 49.6 48.8
How would you rate your own comfort in dealing with
patient’s emotions
7 (e.g., crying, anger, denial, etc.)? Quite comfortable 35.8 29.6 32.7
Not very comfortable 46.1 47.2 46.7
Uncomfortable 18.1 23.2 20.6
Did you find that the SPIKES made sense to you?
8 Yes 94.3 95.4 94.8
No 5.7 4.6 5.2
Catatan: ….
Nilai: _____ x 100% =
22
TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Mahasiswa mengerti tentang dasar-dasar teknik balut, bebat dan pembidaian
2. Mahasiswa dapat melakukan pembebatan dan pembidaian dengan benar
3. Mahasiswa dapat memberikan penjelasan pada pasien tentang teknik
pembidaian dan pembebatan
4. Mahasiswa dapat melakukan transportasi dalam tim
DEFINISI
Perban adalah kain yang dapat digunakan baik utnuk membungkus alat medis
seperti pembalutan luka atau menyangga (splint) lengan yang patah, atau dapat
juga digunakan tersendiri untuk menyangga tubuh atau anggota tubuh. Perban
tersedia dalam beragan tipe, dari yang generic seperti potongan kain, hingga
yang dirancang khusus untuk anggota badan tertentu. Perban paling sering
diimprovisasikan tergantung pada situasi dan kondisi, misalnya penggunaan kain,
selimut, atau bahan kain lainnya. Perban secara teknis hanya digunakan sebagai
sarana pendukung pembalutan luka dan tidak dapat dipakaikan langsung ke luka.
9. Balutlah mulai dengan lingkaran kecil ke lingkaran besar dari bagian tubuh
yang luka.
10. Bila memungkinkan, balut searah dengan aliran balik vena untuk mencegah
pengumpulan darah (blood pooling)
11. Jaga kekencangan ideal dari perban, yang dapat dilakukan dengan cara
memposisikan unrolled part dekat dengan permukaan kulit.
12. Pastikan overlap pada pembalutan tertata rapi tidak ada kerutan pada
ballutan luka.
13. Pastikan bahwa bagian tubuh yang luka telah dibalut dengan baik neliputi
bagian atas dan bawah daerah luka tetapi biarkan jari-jari dan jempol
terbuka agar dapat dilakukan observasi terhadap kondisi neurvaskular.
14. Guntinglah perban bila terlalu panjang, jangan memaksa mengahabiskan
perban dengan menambah balutan.
15. Kunci bagian ujung perban, pastikan pasien tidak dapat melukai dirinya
sendiri.
JENIS-JENIS PERBAN
Ada 4 tipe perban :
a. Perban kassa
Perban tipe ini paling umum ditemukan dan ia adalah bahan kain yang di rajut
secara sederhana dalam potongan-potongan memanjang. Perban kain kasa
memiliki ukuran lebar dan panjang yang beragam ia dapat langsung
digunakan untuk hamper semua aplikasi yang mana perban dibutuhkan,
termasuk untuk memastikan pembalutan luka lekat pada tempatnya.
b. Perban kompresi
Perban kompresi menjelaskan bermacam-macam perban dengan aplikasi
yang berbeda yang termasuk :
• Short stretch compression bandage
Perban ini digunakan jika terdapat lymphedema atau venous ulcers pada
lengan atau kaki. Perban ini tidak akan memberi tekanan berlebihan jika
yang memakai sedang melakukan aktifitas, dan ia juga aman serta nyaman
dipakai untuk perawatan jangka lama, stabilitasnya memiliki resistan
yang tinggi terhadap tarikan jika terjadi tekanan internal dikarenakan
kontraksi otot atau pergerakan sendi. Tekanan macam ini disebut tekanan
berjalan (working pressure).
• Long stretch compression bandage
Karena perban ini memiliki sifat long stretch, maka kekuatan kompresinya
yang tinggi dapat dengan mudah disesuaikan. Perban jenis ini juga
memiliki tekanan cengkraman yang sangat kuat sehingga harus dilepaskan
pada malan hari atau jika pasien sedang dalam posisi istirahat.
c. Perban segitia (kain mitella)
Perban ini merupakan kain yang dipotong dengan bentuk segitiga sersiku.
Perban jenis ini dianggap oleh sebagaian besar trainer sebagai perban yang
paling serbaguna. Perban ini dapat digunakan sebagai kain penggendong
anggota tubuh, perban seperti pada umumnya dan perban untuk kepala. Kain
mitella ini dapat dilipat menjadi beberapa lapis dan berbentuk seperti
pita/dasi. Pita/dasi dapat digunakan untuk membalut kepala, mata, rahang,
ketiak, lengan, siku, paha, lutut, dan kaki terkilir.
d. Perban pipa
Perban ini memiliki aplikator dan ia dirajut berbentuk lingkaran pipa penuh.
Perban ini digunakan untuk menyangga pembalutan luka dan splintan tangan
yang patah, serta dapat juga untuk memberi penyangga pada kaki yang
terkilir atau anggota tubuh dengan sprain dan strain otot.
e. Pita Gulung
Jenis perban ini dapat terbuat dari kain katun, kain kassa, atau bahan elastis
dengan lebar bervariasi untuk tiap bagian anggota tubuh.
- 2,5 cm : jari-jari
- 5 cm : pergelangan tangan
- 7,5 cm : lengan atas, lengan bawah, betis
- 10 cm : paha
- 10-15 cm : dada, perut
PENALARAN KLINIS
1. Pemeriksaan apa yang akan kamu lakukan pada kasus trauma di atas?
2. Apakah kamu membutuhkan pembalut? Kenapa?
3. Jenis pembalut apa yang kamu pilih dan alat-alat apa saja yang akan kamu
gunakan untuk mengelola korban tersebut? Kenapa?
4. Saran-saran apa yang akan kamu berikan kepada pasien?
IMOBILISASI
Ekstremitas yang mengalami trauma harus diimobilisasi dengan bidai.
Bidai kaku yang digunakan harus dilapisi dengan kassa terlebih dahulu, kemudian
dilakukan penilaian status vaskuler dan neurologis ekstremitas yang mengalami
trauma sebelum dan sesudah imobilisasi.
Tujuan Imobilisasi
1. mengurangi dan menghilangkan rasa nyeri;
2. mencegah gerakan fragmen patahan tulang yang dapat mengakibatkan
kerusakan jaringan lunak sekitarnya seperti pembuluh darah, otot, saraf dan
lainnya.
3. Mencegah fraktur tertutup menjadi terbuka
4. Mencegah perdarahan
5. Memudahkan transportasi
PEMBIDAIAN
Tujuan Pembidaian
1. Mencegah pergerakan / pergeseran dari ujung tulang yang patah
2. Mengurangi terjadinya cedera baru disekitar bagian tulang yang patah
3. Memberi istirahat pada anggota badan yang patah
4. Mengurangi rasa nyeri
5. Mempercepat penyembuhan
Prinsip Pembidaian
a. Lakukan pembidaian pada bagian badan yang mengalami cedera;
b. Periksalah denyut nadi distal dan fungsi saraf sebelum dan sesudah
pembidaian dan perhatikan warna kulit ditalnya;
c. Lakukan juga pembidaian pada kecurigaan patah tulang, jadi tidak perlu
harus dipastikan dulu ada atau tidaknya patah tulang;
d. Bidai Rigid sebelum digunakan harus dilapisi dulu
e. Melewati minimal 2 sendi yang berbatasan (proksimal dan distal trauma).
f. Jangan pindahkan penderita sebelum dilakukan imobilisasi kecuali ada di
tempat berbahaya.
Syarat Pembidaian
1. Bidai harus meliputi dua sendi, sebelum dipasang diukur terlebih dahulu
pada anggota badan yang tidak sakit;
2. Ikatan jangan terlalu ketat dan jangan terlalu kendor;
3. Bidai dibalut/ dilapisi sebelum digunakan;
4. Ikatan harus cukup jumlahnya, dimulai dari sebelah atas dan bawah tempat
yang patah;
5. Jika mungkin naikkan anggota gerak tersebut setelah dibidai;
6. Sepatu, cincin, gelang, jam dan alat yang mengikat tubuh lainnya perlu
dilepas.
Tipe-tipe bidai:
1. Bidai Rigid, Umumnya terbuat dari kayu, alumunium, karton, plastik atau
bahan lain yang kuat dan ringan. Pada dasarnya merupakan bidai yang paling
baik dan sempurna dalam keadaan darurat. Kesulitannya adalah
mendapatkan bahan yang memenuhi syarat di lapangan. Contoh : bidai kayu,
bidai udara, bidai vakum.
2. Bidai Soft adalah bidai dari bantal, selimut, handuk atau pembalut atau
bahan yang lunak lainnya.
3. Bidai Traksi. Digunakan untuk imobilisasi ujung tulang yang patah dari
fraktur femur sehingga dapat terhindari kerusakan yang lebih lanjut. Traksi
merupakan aplikasi dari kekuatan yang cukup untuk menstabilkan patah
tulang yang patah, traksi bukanlah meregangkan atau menggerakkan tulang
yang patah sampai ujung-ujung tulang yang patah menyatu.
4. Bidai improvisasi, Bidai yang dibuat dengan bahan yang cukup kuat dan
ringan untuk penopang. Pembuatannya sangat tergantung dari bahan yang
tersedia dan kemampuan improvisasi si penolong. Contoh : majalah, koran,
karton dan lain-lain.
5. Gendongan/Belat dan bebat. Pembidaian dengan menggunakan pembalut,
umumnya dipakai mitela (kain segitiga) dan memanfaatkan tubuh penderita
sebagai sarana untuk menghentikan pergerakan daerah cedera. Contoh :
gendongan lengan
Perhatian
Dalam menangani fraktur, jangan hanya terpaku pada frakturnya saja
tetapi selalu mulai dengan DRABC dan lakukan monitoring secara periodik. Dan
selalu ingat jika Anda tidak terlatih dan tidak berpengalaman jangan melakukan
reposisi baik pada fraktur mapun pada dislokasi.
Gb pembidaian
5. Stabilisasi samping kanan kiri kepala pasien dengan balok busa atau gulungan
kain, rekatkan dengan pita perekat pada dahi dan long back board.
EVAKUASI
Saat tiba di lokasi kita mungkin menemukan bahwa seorang korban
mungkin harus dipindahkan. Pada situasi yang berbahaya tindakan cepat dan
waspada sangat penting. Penanganan korban yang salah akan menimbulkan
cedera lanjutan atau cedera baru.
MEKANIKA TUBUH
Penggunaan tubuh dengan baik untuk memfasilitasi pengangkatan dan
pemindahan korban untuk mencegah cedera pada penolong.
Cara yang salah dapat menimbulkan cedera. Saat mengangkat ada
beberapa hal yang harus diperhatikan:
• Rencanakan pergerakan sebelum mengangkat
• Gunakan tungkai jangan punggung
• Upayakan untuk memindahkan beban serapat mungkin dengan tubuh
• Lakukan gerakan secara menyeluruh dan upayakan agar bagian tubuh saling
menopang
• Bila dapat kurangi jarak atau ketinggian yang harus dilalui korban
• Perbaiki posisi dan angkatlah secara bertahap
Hal-hal tersebut di atas harus selalu dilakukan bila akan memindahkan
atau mengangkat korban. Kunci yang paling utama adalah menjaga kelurusan
tulang belakang. Upayakan kerja berkelompok, terus berkomunikasi dan lakukan
koordinasi. Mekanika tubuh yang baik tidak akan membantu mereka yang tidak
siap secara fisik.
MEMINDAHKAN KORBAN
Kapan penolong harus memindahkan korban sangat tergantung dari
keadaan. Secara umum, bila tidak ada bahaya maka jangan memindahkan
korban. Lebih baik tangani di tempat. Pemindahan korban ada 2 macam yaitu
darurat dan tidak darurat:
1. Pemindahan Darurat
Pemindahan ini hanya dilakukan bila ada bahaya langsung terhadap
korban.
Contoh situasi yang membutuhkan pemindahan segera:
• Kebakaran atau bahaya kebakaran
• Ledakan atau bahaya ledakan
• Sukar untuk mengamankan korban dari bahaya di lingkungannya :
➢ Bangunan yang tidak stabil
➢ Mobil terbalik
➢ Kerumunan masa yang resah
➢ Material berbahaya
➢ Tumpahan minyak
➢ Cuaca ekstrim
• Memperoleh akses menuju korban lainnya
➢ Bila tindakan penyelamatan nyawa tidak dapat dilakukan karena
posisi korban, misalnya melakukan RJP. Bahaya terbesar pada
pemindahan darurat adalah memicu terjadinya cedera spinal. Ini
dapat dikurangi dengan melakukan gerakan searah dengan sumbu
panjang badan dan menjaga kepala dan leher semaksimal mungkin.
Beberapa macam pemindahan darurat:
• Tarikan baju
• Tarikan selimut atau kain
• Tarikan bahu/lengan
• Menggendong
• Memapah
• Membopong
• Angkatan pemadam
POSISI KORBAN
Bagaimana meletakkan penderita tergantung dari keadaannya.
• Korban dengan syok
• Tungkai ditinggikan
• Korban dengan gangguan pernapasan
• Biasanya posisi setengah duduk
• Korban dengan nyeri perut
• Biasanya posisi meringkuk seperti bayi
• Posisi pemulihan
• Untuk korban yang tidak sadar atau muntah
Tidak mungkin untuk membahas semua keadaan. Situasi di lapangan dan
keadaan korban akan memberikan petunjuk bagaimana posisi yang terbaik.
PERALATAN EVAKUASI
• Tandu beroda
• Tandu lipat
• Tandu skop / tandu ortopedi/ tandu trauma
• Vest type extrication device (KED)
• Tandu kursi
• Tandu basket
• Tandu fleksibel
• Kain evakuasi
• Papan spinal
........................................ ........................................
Instruktur Observer
........................................ ........................................
BEDAH MINOR
TUJUAN UMUM
1. mahasiswa mampu mendefinisikan bedah minor
2. mahasiswa mampu mengidentifikasi jenis-jenis lesi pada bedah minor
3. mahasiswa mampu mendemonstrasikan tindakan bedah minor
PENDAHULUAN
Bedah minor didefinisikan sebagai suatu tindakan bedah sederhana pada
lesi yang terletak di jaringan superfisial. Pada tindakan ini teknik anestesi yang
sering digunakan adalah anestesi local dan komplikasi yang terjadi pada bedah
minor biasanya minimal. Pengetahuan mengenai cara memegang instrument
yang baik, memilih jenis sayatan, jenis jahitan yang akan digunakan, dan prinsip-
prinsip dalam bedah minor sangat perlu dikuasai untuk menghindari komplikasi,
baik secara fungsional maupun kosmetik.
1. Scalpel/Pisau Bedah
Scalpel/Pisau bedah/Bisturi digunakan untuk menyayat kulit atau
jaringan lainnya secara akurat. Pada bedah minor umumnya digunakan pegangan
pisau/Scalpel Handle nomer 3 dengan mata pisau nomer 11 dan 15. Scalpel
dipasang ke scalpel handle dengan arah tertentu mengikuti dari letak dan desain
bisturi. Scalpel harus dipegang seperti pensil untuk membuat insisi yang kecil
dan akurat, berbeda pada operasi besar dimana untuk menghasilkan luka yang
besar bisturi dapat dipegang seperti menggunakan pisau steak. Pisau harus
menusuk secara tegak lurus pada kulit dengan tangan sisi sebelahnya dapat
membantu meregangkan kulit agar luka yang terbentuk rapi dan tidak melukai
jaringan lainnya.
Proses penyayatan harus dilakukan secara tegas dengan visualisasi lesi
yang baik, tidak boleh asal menebak atau kira-kira untuk menghindari kerusakan
yang ireversibel terhadap struktur anatomi normal, oleh karena itu pengetahuan
topografi anatomi sangatlah penting.
3. Forsep/ Pinset
Pada umumnya terdapat dua jenis forsep/pinset dalam bedah minor,
yaitu forsep Adson bergigi untuk mengangkat kulit serta forsep Adson tak
bergigi untuk pengangkatan benang, apabila tidak ada forceps adson dapat
menggunakan pinset anatomis dan sirurgis. Forseps sebaiknya dipegang
menggunakan tangan yang tidak dominan untuk membantu dalam melihat
jaringan (Visualisasi) yang akan diinsisi secara tepat dan rapi. Forsep dipegang
seperti memegang pensil menggunakan ibu jari, telunjuk, dan jari tengah.
1. Haemostats
Dalam bedah minor terkadang diperlukan 2 atau 3 buah Forseps Mosquito
bengkok tak bergigi. Haemostats biasa digunakan untuk membantu
menarik/menjepit jaringan , untuk menghentikan perdarahan, dan untuk diseksi
tumpul.
PRINSIP PEMBEDAHAN
Setiap tindakan bedah walaupun minimal, tetap memiliki resiko
menimbulkan komplikasi. Hasil dari prosedur bedah tidak mudah diprediksi
karena dipengaruhi berbagai faktor seperti kemampuan dokter, kondisi pasien,
fasilitas yang tersedia dll, sehingga tidak ada jaminan hasil pembedahan selalu
memuaskan pasien. Kemampuan dalam melakukan insisi dan diseksi sangat
penting dalam berbagai teknik penyayatan. Prinsip yang paling utama adalah lesi
harus terambil semua tanpa menimbulkan kerusakan yang luas pada jaringan
yang sehat serta pembentukan jaringan parut yang rapi dan baik. Oleh karena
itu prinsip-prinsip bedah dan jenis-jenis penyayatan perlu dikuasai dengan baik.
1. Diseksi
Diseksi adalah tindakan memisahkan antar lapisan dari suatu jaringan
sesuai dengan urutan lapisan secara anatomis. Terdapat dua cara diseksi yang
sering dilakukan yaitu diseksi tumpul (blunt dissection) dan diseksi tajam
(cutting dissection). Pada bedah minor, lokasi yang sering dilakukan diseksi
adalah pada bagian wajah dan leher, batas antara dermis dan jaringan subkutan,
kulit kepala, batang tubuh (trunk) dan ekstremitas, serta batas antara fasia
superfisialis dan profunda.
2. Insisi/Eksisi
Pengetahuan mengenai anatomis tempat insisi, ketegangan dari kulit dan
juga keadaan lesi yang akan diterapi harus menjadi pertimbangan dalam
melakukan insisi. Insisi atau eksisi harus berorientasi terhadap kemungkinan
terbentuknya jaringan parut yang akan ditimbulkan, yang bisa mengganggu baik
secara fungsional maupun kosmetik. Untuk mencapai hal tersebut insisi harus
parallel dengan alur ketegangan kulit (searah garis Langer). Jenis dari lesi juga
menentukan pola insisi/eksisi yang akan dibuat, sebagai contoh untuk eksisi
biopsy, sangat penting untuk mengikutkan/mengangkat 1-2 mm tepi
kulit/jaringan sekitar yang sehat di sekitar lesi. Marking atau pemberian tanda
dengan pewarna dapat menolong dokter untuk tidak kehilangan lokasi pola insisi
setelah dilakukan draping/tindakan aseptik pada area pembedahan. Dalam
memberi tanda dapat menggunakan antiseptic ataupun pena/spidol yang sudah
disterilisasi.
a. Insisi
Pada umumnya digunakan untuk lesi yang terletak pada jaringan yang
cukup dalam (lipoma, kista epidermal, biopsy KGB) atau untuk drainase
abses. Insisi dapat berbentuk lurus, melengkung, atau membentuk sudut
tergantung dari anatomis area pembedahan.
b. Eksisi berbentuk elips
Biasa digunakan untuk mengambil lesi kulit dengan mengambil juga
jaringan yang sehat disekitar lesi. Panjang dari elips harus 3x dari lebar dan
pada ujung insisi harus membentuk sudut 30 derajat (Gambar), eksisi bentuk
elips ini berguna untuk mempermudah penjahitan dan menghindari
komplikasi baik secara fungi maupun kosmetik misal terbentuknya dog ear
ataupun keloid.
c. Eksisi tangensial
Sering disebut juga “skin shave”, eksisi ini mengambil jaringan dengan
menggunakan scalpel atau gunting pada lesi yang sangat superfisial, hanya
mengambil lapisan paling atas dari kulit. Luka yang ditimbulkan bertujuan
untuk mempercepat penyembuhan luka.
3. Hemostasis
Hemostasis adalah tindakan bedah untuk mengontrol perdarahan dan
membuat area pembedahan menjadi terlihat jelas. perdarahan pada bedah
minor seringkali dapat dikontrol hanya dengan menekan area perdarahan dengan
menggunakan kassa, selain itu penggunaan verband juga berguna untuk menekan
luka dapat digunakan untuk menurunkan resiko terjadinya hematoma.
TEKNIK PENJAHITAN
Tujuan utama dari teknik penjahitan adalah untuk menyatukan jaringan
lapis demi lapis agar proses penyembuhan luka dapat berjalan dengan baik.
Untuk itu perlu dipertimbangkan beberapa prinsip yaitu:
1. Hindari penjahitan yang terlalu kencang/tegang/rapat: penjahitan luka
yang sangat rapat dan tegang akan menurunkan perfusi aliran darah sehingga
meningkatkan resiko terjadinya infeksi dan gangguan penyembuhan luka.
2. Eversi dari tepi luka: jaringan parut yang terbentuk akan berkontraksi seiring
berjalannya waktu. Apabila tepi luka sedikit lebih tinggi dari kulit (mencuat
keatas), ketika jaringan parut berkontraksi tepi luka akan saling menyatu
dengan rata, sehingga akan didapatkan kosmetik yang baik.
3. Penjahitan luka lapis demi lapis: apabila luka yang terbentuk cukup dalam,
penjahitan yang tidak baik akan meninggalkan dead space dibawah jahitan
superfisial. Hal ini harus dihindari karena dead space cenderung akan menjadi
hematom bahkan bisa mengakibatkan infeksi sekunder.
PENJAHITAN LUKA
Terdapat berbagai teknik dalam penjahitan luka tergantung dari jenis luka,
kedalaman, letak luka, dan juga kondisi luka. Beberapa teknik yang sering
digunakan untuk tindakan bedah minor addalah sebagai berikut :
1. Interrupted sutures
2. Jahitan subkutaneus
Teknik ini digunakan apabila luka yang terbentuk cukup dalam, dengan
melakukan penjahitan jaringan di bawah kulit, tujuannya untuk menghindari
terjadinya dead space dan menurunkan ketegangan jaringan, dapat dilakukan
jahitan sederhana pada bagian dalam luka. Benang yang dipilih adalah
benang absorbable karena simpul dari benang akan ditanam di dalam luka.
3. Mattress stitch or "U" stitch
Terdapat 2 jenis jahitan matras berdasarkan posisinya, yaitu
a. Jahitan Matras vertikal: jahitan ini berguna pada area dengan jaringan
kulit yang ketegangannya kurang atau longgar ( belakang tangan, siku)
dimana tepi luka biasanya akan cenderung masuk ke dalam. Untuk
menunjang eversi tepi luka yang baik, jahitan ini sangat baik untuk
menghindari terbentuknya dead space tanpa memerlukan jahitan dalam
yang ditanan di dalam luka.
b. Jahitan Matras Horizontal: jahitan ini biasa dilakukan pada daerah
dimana lapisan dermisnya tebal ( telapak tangan, telapak kaki)
holder (biasanya 2 putaran benang (double loops) diikuti dengan 1 kali putaran
benang (single loop). Simpul harus diletakkan sejajar pada satu sisi luka agar
memudahkan dalam visualisasi luka dan pengangkatan jahitan.
Salah satu prinsip penting yang tidak boleh dilupakan adalah
pengangkatan jahitan. Apabila pengangkatan jahitan terlalu lama maka akan
terbentuk jaringan parut pada tempat masuk dan keluar dari benang. Untuk
menghindari hal tersebut, jahitan harus dilepas sedini mungkin saat jaringan
sudah menyatu serta pemilihan dari material dan besarnya/ukuran dari benang
juga perlu diperhatikan
Lipoma
Lipoma merupakan tumor jinak pada jaringan adipose. Lipoma sering
terbentuk karena adanya gesekan mekanis yang berulang-ulang. Karakteristik
dari lipoma adalah lunak, elastis, berbatas tegas, dan tidak menempel pada
jaringan sekitarnya (mobil). Lipoma seringkali tidak bergejala dan biasanya
pasien datang dengan keluhan adanya benjolan yang mengganggu dalam
penampilan pasien (kosmetik)
Macam-macam pisau
Scalpel handle
Neerbeken/bengkok
Kuret
Trokar
Teknik Anestesi
10. Mengetes anestesi
EKSTIRPASI TUMOR
Insisi kulit
Pegang bisturi seperti memegang pensil/pena, dengan jari kelingking
berfungsi sebagai penahan menempel pada kulit pasien, agar irisan dilakukan
dengan halus namun tidak lambat. Tangan sisi yang lain menghentikan
perdarahan menggunakan kassa.
11. Arah
Arah insisi sesuai arah garis Langer
12. Panjang
Panjang insisi/ irisan sepanjang / sedikit lebih besar dari diameter tumor
13. Kedalaman
Kedalaman insisi sampai dermis / sampai ke kapsula tumor
14. Jumlah insisi
Dengan jumlah insisi adalah 1
15. Memisahkan tumor dari jaringan sekitarnya
Pisahkan tumor (Penyiangan) dengan menggunakan klem lengkung
(Mosquito), dengan memegang seperti memegang needle-holder, pada
daerah insisi seluas 360°
16. Memeriksa dan menangani perdarahan
JAHIT LUKA
19. Teknik
Jahit bekas insisi dengan teknik memegang yang benar
20. Hasil
a. Jumlah jahitan adalah 3 buah
b. Setiap jahitan teregang dengan baik
c. Jarak antar setiap jahitan sama
d. Simpul yang dibuat pada satu sisi yang sama, rapih dan kencang
e. Setiap kali menggunting benang, gunakan gunting yang benar dengan
cara memegang yang benar dan lengkungannya menghadap ke atas
a. Daerah yang telah dioperasi tidak boleh kotor dan terkena air
b. Agar pasien meminum obat yang telah diresepkan secara teratur (Peserta
ujian tidak perlu membuat resep maupun menyebutkan obatnya)
c. Kembali untuk kontrol setelah 3 hari
DAFTAR PUSTAKA
1. Jose María Arribas Blanco and María Hernández. 2012 Skills in Minor Surgical
Procedures for General Practitioners In : Primary Care at a Glance – Hot
Topics and New Insights Madrid, Spain http://cdn.intechopen.com/pdfs-
wm/35844.pdf
2. http://bedahminor.com/index.php/main/show_page/125
3. Brown, John Stuart, (1995), Buku Ajar dan Atlas Bedah Minor, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta, cetakan ke-1, hal 51 dan 103.
4. http://www.slideshare.net/mehr92/neck-93, 15 Maret 2016
http://www.jpatrick.net/MAHFiles/orient/woundcare_manual.html
CLINICAL REASONING
SISTEM MUSKULOSKELETAL
TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Mahasiswa dapat menjelaskan penanganan kasus sistem muskuloskeletal
sesuai dengan kompetensinya.
2. Mahasiswa dapat mempraktikkan penanganan kasus sistem muskuloskeletal
sesuai dengan kompetensinya.
3. Mahasiswa mampu membangun penalaran klinis yang terasah guna
menunjang diagnosis dan terapi pada pasien khususnya dengan keluhan
sistem muskuloskeletal.
TEKNIK PEMBELAJARAN
Teknik pembelajaran sesi KBM Skills Lab untuk Clinical Reasoning memiliki
beragam modifikasi, sesuai dengan pengampu. Namun untuk menyamakan alur
pembelajaran, tahapan yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Mahasiswa belajar mandiri dengan merangkum kasus SKDI sesuai dengan
tingkat kompetensi.
2. Mahasiswa berlatih dengan pasien simulasi.
3. Mahasiswa mendapatkan umpan balik dari instruktur.
4. Mahasiswa membuat refleksi dan resume kasus.
Pendahuluan
Kemampuan untuk menyusun diagnosis banding, memilih pemeriksaan
penunjang dan menginterpretasikannya merupakan komponen penting bagi
keterampilan seorang dokter. Proses diagnostik ini, yang sering disebut sebagai
clinical reasoning atau penalaran klinis, merupakan suatu proses yang kompleks.
Untuk menghindari kesalahan dalam mendiagnosis, maka merupakan suatu hal
yang penting bagi dokter untuk memiliki dasar keilmuan yang kuat. Penalaran
klinis yang kuat juga tetap harus ditunjang dengan keterampilan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang terampil.
KELUHAN PADA SISTEM MUSKULOSKELETAL MENURUT SKDI
1 Patah tulang 6 Gerakan terbatas
2 Terkilir 7 Nyeri punggung
3 Gangguan jalan 8 Bengkak pada kaki dan tangan
4 Terlambat dapat berjalan 9 Varises
5 Gangguan sendi (nyeri, kaku, 10 Gangguan otot, nyeri otot, kaku
bengkak, kelainan bentuk) otot, otot mengecil
Clinical Approach
Pendekatan klinis pada pasien dengan keluhan pada sistem muskuloskeletal
dapat diawali dengan menentukan:
➢ Trauma atau non trauma
➢ artikuler atau nonartikuler → monoartikuler atau poliartikuler
➢ lokal atau menyebar
➢ akut atau kronik
➢ inflamasi atau noninflamasi
Sedari awal, mulailah dengan membangun diferensial diagnosis dari kausa
yang paling umum / common. Setelah mengelompokkan hasil anamnesis awal di
atas, kita dapat mulai mengarahkan diagnosis banding kita, apakah keluhan
mengarah pada monoarthritis inflamatory akut atau nyeri menyebar non
artikular yang kronik.
Nyeri sendi dapat bersifat lokal, difus ataupun sistemik. Mintalah pasien
untuk menunjukkan lokasi nyeri. Nyeri yang berasal dari sendi kecil seperti
pada tangan dan kaki biasanya bersifat lebih tajam dan terlokalisir
dibandingkan dengan sendi besar. Pada keluhan yang bersifat difus atau
poliartikuler, tanyakan pola penyebaran nyeri, apakah simetris (melibatkan
sendi yang sama pada sisi lain tubuh). Nyeri yang tidak berasal dari sendi
(nonartikuler) dapat berasal dari tulang, otot dan jaringan di sekitar sendi
seperti tendon, bursa, atau dari kulit. Nyeri yang bersifat general disebut
myalgia (pada otot) dan arthralgia (pada sendi namun tanpa tanda arthritis).
Waktu, kualitas dan keparahan nyeri juga menjadi hal yang penting
untuk membantu mengarahkan diagnosis. Dari anamnesis juga dapat diarahkan
apakah nyeri berasa; dari kausa inflamatorik atau bukan. Pertanyaan yang
dapat diajukan dalam hal ini antara lain:
- Apakah nyeri semakin bertambah parah dalam hitungan jam atau hari atau
bulan?
- Apakah nyeri berkembang sangat perlahan atau fluktutatif, dengan periode
perbaikan dan perburukan?
- Bagaimana sifat nyeri dalam sehari? Paling parah pada
pagi/siang/sore/malam hari?
- Berapa lama nyeri timbul (durasi)?
- Apakah terdapat keluhan kemerahan, bengkak dan hangat?
- Apakah terdapat keluhan sistemik seperti demam, lesi kulit, anorexia,
penurunan berat badan, kelemahan tubuh?
Keluhan pada sendi dikarakteristikkan dengan adanya nyeri yang dalam
dan diffus, penurunan jangkauan gerak, bengkak, krepitasi, instabilitas postur
dan gerak, serta deformitas (locking). Nyeri yang ditimbulkan oleh kausa
nonartikuler biasanya hanya akan timbul pada gerakan aktif, tidak pada pasif,
nyeri tidak menjalar ke struktur sekitar. Kekakuan sendi lebih sering ditemukan
pada gangguan muskuloskeletal yang kronis dan dapat menjalar. Tingkat
keparahan dan derajat kekakuan berarti penting secara klinis.
Kekakuan yang timbul pada pagi hari terkait dengan gangguan
inflamatori seperti rheumatoid arthritis dan biasanya nyeri dipicu oleh istirahat
yang panjang. Nyeri yang intermiten lebih dikaitkan dengan kausa
noninflamatori seperti osteoarthritis. Nyeri ini tidak bertahan lama sekitar
kurang dari 60 menit dan diperparah dengan aktivitas. Kausa noninflamasi
Knee and lower leg Fleksi, ekstensi, rotasi internal dan eksternal
Ankle and foot Dorsofleksi dan plantarfleksi, inversi dan eversi.
7 Osteogenesis imperfekta 1
8 Ricketsia, osteomalasia 1
9 Osteoporosis 3A
10 Akondroplasia 1
11 Displasia fibrosa 1
12 Tenosinovitis supuratif 3A
13 Tumor tulang primer, sekunder 2
14 Osteosarkoma 1
15 Sarcoma Ewing 1
16 Kista ganglion 2
17 Trauma sendi 3A
18 Kelainan bentuk tulang belakang (Skoliosis, kifosis, 2
lordosis)
19 Spondilitis, spondilodisitis 2
20 Teratoma sakrokoksigeal 2
21 Spondilolistesis 1
22 Spondilosis 1
23 Lesi pada ligamentosa panggul 1
24 Displasia panggul 2
25 Nekrosis kaput femoris 1
26 Tendinitis Achilles 1
27 Ruptur tendon Achilles 3A
28 Lesi meniskus, medial dan lateral 3A
29 Instabilitas sendi tumit 2
30 Malformasi kongenital (genovarum, genovalgum, club foot, 2
pes planus)
31 Claw foot, drop foot 2
32 Claw hand, drop hand 2
Otot dan jaringan lunak
33 Ulkus pada tungkai 4A
34 Osteomielitis 3B
35 Rhabdomiosarkoma 1
36 Leiomioma, leiomiosarkoma, liposarkoma 1
37 Lipoma 4A
38 Fibromatosis, fibroma, fibrosarkoma 1
PENUTUP
Untuk mengoptimalisasi pencapaian mahasiswa dalam sesi Clinical Reasoning,
peran aktif mahasiswa sangat dibutuhkan, sekaligus untuk membentuk kerangka
berpikir rasional klinis.
REFERENSI
Bickley, L.S. 2013. Bates’ Guide to Physical Examination and History Taking 11 th
ed. Elsevier.
Bickley, L.S. 2013. Bates’ Guide to Physical Examination and History Taking11th
ed. Elsevier.
Fauci, A., et al. 2012. Harrison's Principles of Internal Medicine 18th Edition.
The McGraw- Hill Companies. Inc.
Rafery, A.T. 2014. Churchill's Pocketbook of Differential Diagnosis, Fourth
Edition. Elsevier.
Siegenthaler, W. 2007. Differential Diagnosis in Internal Medicine From
Symptom to Diagnosis. New York: Thieme.
Stern, S., et al. 2015. Symptoms to Diagnosis An Evidence Based Guide 3rd
edition. McGraw-Hill Education.
Catatan: