Anda di halaman 1dari 268

Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

BUKU KETERAMPILAN KLINIK 4:


PROSEDURAL KETERAMPILAN KLINIK

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA
YOGYAKARTA
2021

QADW—2251—Keterampilan Klinik 4 — 25.01.006

i | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

BUKU KETERAMPILAN KLINIK 4:


PROSEDURAL KETERAMPILAN KLINIK
Edisi Keenam

© 2021 oleh Fakultas Kedokteran


Universitas Kristen Duta Wacana
dicetak di Yogyakarta
Cetakan Pertama: Januari 2021
Editor oleh: dr. Anindya Rahadyani Kristiansari

Tim Penanggung Jawab Blok : dr. Oscar Gilang Purnajati, MHPE


Pengampu Skills Lab.: Tim Skills Lab. Fakultas Kedokteran

Diterbitkan oleh
Medical Education Unit (MEU)
Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Duta Wacana

Penyimpanan dalam sistem elektronik atau transmisi


dalam bentuk apapun (elektronik, mekanik, fotokopi)
dilarang tanpa seijin Medical Education Unit (MEU)
Fakulktas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana

ii | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

PENGANTAR BLOK

Dengan semakin luasnya perkembangan ilmu pengetahuan dan jaringan


komunikasi yang dapat digunakan mahasiswa kedokteran sebagai sumber
belajar, maka naluri merumuskan masalah menjadi kebutuhan mahasiswa yang
sangat penting dalam membentuk profesional dokter. Hal ini menjadi salah satu
”jiwa” pertimbangan penyusunan kurikulum.
Kurikulum Fakultas Kedokteran UKDW tahun 2014 ini, merupakan
Kurikulum Berbasis Kompetensi (mengacu ketetapan Dirjen Dikti 2005 dan Konsil
Kedokteran Indonesia 2012) dengan strategi pendekatan pembelajaran tren
global, pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) yang
merupakan aktualisasi filosofi SPICES, meliputi Student Centered/Self Directed
Learning - Problem Based Learning - Integrated Learning (Early Clinical
Exposure) - Community Oriented - Electives Program-Systematic Management.
PBL dipakai sebagai pendekatan pembelajaran mewakili seluruh elemen SPICES
yang pada prinsipnya menekankan porsi dialog tutorial yang terus dikembangkan
secara bertahap (dalam masa transisi porsi kuliah lebih dominan atau seimbang
dengan porsi tutorial). Tujuan pendidikan dokter di FK UKDW adalah
menghasilkan dokter layanan primer yang mawas diri dan terampil dalam
pendekatan holistik, komprehensif, kolaboratif, bersinambung berbasis
pencegahan dengan kemampuan pengolahan informasi serta aplikasinya dalam
manajemen kesehatan
Untuk itu strategi pembelajaran PBL SPICES sebagai kompetensi belajar,
disajikan paling awal dalam Blok I.1, sehingga content pembelajaran pada blok-
blok berikutnya akan senantiasa berorientasi kompetensi ilmu dan klinis yang
sekaligus akan membentuk rekaman materi kompetensi yang lebih retensif.
Fakultas Kedokteran UKDW melaksanakan dua jenjang program, yaitu
jenjang Program Pendidikan Sarjana dan jenjang Program Pendidikan Profesi.
Jenjang Pendidikan Sarjana dengan alokasi waktu 4 tahun, dibagi dalam 30 blok
yang terdiri dari empat fase. Fase I (3 blok), Fase 2 (9 blok), Fase 3 (12 blok),
dan Fase 4 (5 blok &Kuliah Kerja Nyata)

iii | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Acuan tujuan belajar (Objectives Learning) dari SKDI 2012 memiliki area
kompetensi, meliputi : 1. Komunikasi Efektif, 2. Keterampilan Klinis, 3.
Landasan Ilmiah Ilmu Kedokteran, 4. Pengelolaan Masalah Kesehatan, 5.
Pengelolaan Informasi, 6. Mawas Diri dan Pengembangan Diri, 7. Etika, Moral,
Medikolegal, dan Profesionalisme serta Keselamatan Pasien; semuanya
diintegrasikan dengan kompetensi penanganan kluster-kluster penyakit, mulai
dari ”sekedar” mendiagnosa langsung merujuk, sampai melakukan penanganan
tuntas (acuan Konsil Kedokteran Indonesia 2012).
Demikianlah diharapkan buku ini bisa bermanfaat.

Dekan Fakultas Kedokteran


Universitas Kristen Duta Wacana

dr. The Maria Meiwati Widagdo, MPH., Ph.D

iv | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

DAFTAR ISI

BUKU KETERAMPILAN KLINIK 4: .......................................................................................................................... i


PENGANTAR BLOK ..................................................................................................................................................... iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................................................................................v
PEDOMAN PENILAIAN .............................................................................................................................................. vi
BLOK 1L SISTEM SARAF DAN PERILAKU ......................................................................................1
ANAMNESIS PADA SISTEM SARAF ...................................................................................................................... 2
FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD) / DISKUSI KELOMPOK TERFOKUS............................................... 7
TEKNIK PENGUMPULAN DATA IN-DEPTH INTERVIEW ...................................................................12
PENILAIAN TANDA SYOK DAN TINGKAT KESADARAN ..........................................................................15
PEMERIKSAAN REFLEKS FISIOLOGIS ..............................................................................................................24
PEMERIKSAAN SISTEM SARAF SENSORIS, keseimbangan-KOORDINASI DAN GAIT ...............32
PEMERIKSAAN SARAF KRANIAL ........................................................................................................................56
PUNGSI VENA dan PUNGSI ARTERI...................................................................................................................82
BLOK 1M SISTEM INDERA ............................................................................................................112
Anamnesis Sistem Indera .................................................................................................................................... 113
PEMERIKSAAN FISIK SISTEM INTEGUMEN ............................................................................................... 120
KETERAMPILAN PEMERIKSAAN FISIK THT ................................................................................................... 2
(EAR NOSE THROAT BASIC PHYSICAL EXAMINATION SKILLS) ............................................................... 2
PEMERIKSAAN MATA ..............................................................................................................................................24
BLOK 2A GANGGUAN HEMATOLOGI DAN NEOPLASMA ...................................................................45
BREAKING BAD NEWS ............................................................................................................................................46
TEKNIK BEBAT, BALUT, PEMBIDAIAN, STABILISASI, DAN TRANSPORTASI ..............................80
BEDAH MINOR .......................................................................................................................................................... 100
CLINICAL REASONING .......................................................................................................................................... 117
SISTEM MUSKULOSKELETAL ............................................................................................................................ 117

v | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

PEDOMAN PENILAIAN

KOMPONEN PENILAIAN
PRE-TEST : 20%
RESPONSI : 5%
PORTOFOLIO : 5%
OSCE : 70%

PRE-TEST
Nilai pre-test merupakan nilai yang diperoleh dari mengerjakan soal-soal pre-
test sebelum sesi skills lab berlangsung.
RESPONSI
Responsi dilakukan pada minggu ujian tiap blok. Tiap mahasiswa akan diuji
secara individu dalam melakukan responsi. Mahasiswa diwajibkan mengulang ujian
responsi jika pencapaian nilai kurang dari 70 atau terjadi autoinhal pada beberapa
prosedur tertentu yang ditetapkan
PORTOFOLIO
Nilai Portofolio merupakan nilai yang diperoleh dari tulisan mahasiswa di
portofolio masing – masing.
OSCE
Tema skills lab yang terpilih akan diujikan dalam Objective Structured Clinical
Examination (OSCE). OSCE berlangsung pada tiap akhir semester. Mahasiswa diwajibkan
mengulang ujian OSCE jika pencapaian nilai kurang dari 70 atau terjadi auto inhal pada
beberapa prosedur tertentu yang ditetepkan.

vi | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

BLOK 1L SISTEM SARAF DAN PERILAKU


1. ANAMNESIS SISTEM SARAF
2. TPD 2 FOCUSED GROUP DISCUSSION
3. TPD 3 IN-DEPTH INTERVIEW
4. PEMERIKSAAN REFLEKS FISIOLOGIS DAN GCS
5. PEMERIKSAAN SARAF MOTORIS, SENSORIS, DAN KOORDINASI
6. PEMERIKSAAN NERVUS KRANIALIS
7. PROSEDURAL PUNGSI ARTERI DAN VENA

1 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

ANAMNESIS PADA SISTEM SARAF

dr. Lothar Matheus Manson Vanende Silalahi, Sp.N

Anamnesis pada sistem saraf pada prinsipnya sama seperti anamnesis secara
umum sehingga prinsip-prinsip komunikasi dasar berlaku pada proses ini. Konsep
anamnesis pada sistem saraf bertujuan untuk:
1. Mengkonfirmasi adanya gejala defisit neurologis secara subjektif
2. Menentukan dugaan lokasi anatomi yang menyebabkan gejala (topis anatomis)
3. Menentukan dugaan mekanisme penyebab gejala (etiologis)
Pada pembelajaran kali ini mahasiswa diharapkan dapat menguasai tujuan
pertama dan kedua serta mulai diperkenalkan dengan tujuan ketiga.

1. Mengkonfirmasi ada gejala defisit neurologis subjektif


Defisit neurologis adalah istilah untuk suatu tanda dan gejala yang muncul
pada pasien akibat gangguan sistem saraf. Gangguan pada sistem saraf dapat
terjadi pada tingkat sel otak (neuron/sel glia), jaras (akson) maupun target organ
(misalnya: otot, jantung, dsb). Defisit neurologis dapat dibagi menjadi:
a. Defisit fokal
Defisit neurologis fokal adalah gejala dan tanda akibat kerusakan sekelompok
sel saraf atau jarasnya di suatu area tertentu. Contohnya adalah gangguan pada
lobus frontalis pada area motorik primer pada hemisfer dekstra akan
memunculkan defisit neurologis fokal berupa kelemahan pada ekstremitas
sinistra. Lobus frontal hanyalah sebagian dari seluruh sistem saraf sehingga
kelemahan ini dikategorikan sebagai defisit neurologis fokal.
Defisit neurologis lainnya yang dapat disebut neurologis fokal antara lain:
- Paresis/kelemahan anggota gerak: hemiparesis, tetraparesis, paraparesis,
okuloparesis,dsb
- Kejang fokal, misalnya: salah satu tangan bergerak tanpa bisa dikendalikan, dsb.
- Gangguan general sensorik: hipoestesi, paresthesia, alodinia, dsb
- Gangguan spesial sensorik: hipoageusia, hyposmia, hemianopia, dsb.
- Gangguan keseimbangan: vertigo, ataksia, dsb
- Nyeri lokal: nyeri punggung bawah, nyeri leher, nyeri bahu, dsb.
- Gangguan fungsi luhur fokal: afasia, dsb
- Gerakan involunter motorik: tremor, balismus, dysmetria, dsb.
- Gangguan autonom: disfungsi ereksi, inkontinensia urin, dsb.

b. Defisit Neurologis Global


2 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana
Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Defisit neurologis global adalah tanda dan gejala yang diakibatkan oleh kerusakan
saraf yang luas/difus/menyeluruh. Defisit neurologis yang termasuk dalam defisit
neurologis global antara lain:
- Penurunan kesadaran: koma, somnolen, delirium, dsb.
- Kejang umum/general seizure: kaku/kelojotan pada seluruh ekstremitas secara
bersamaan

Anamnesis pada sistem saraf harus dapat memperikirakan apakah kelainan


neurologis yang terjadi bersifat fokal atau difus. Kegunaan dari penentuan ini adalah
dapat membantu dalam analisis menentikan kemungkinan etiologi (tujuan ketiga).

2. Menentukan dugaan lokasi anatomi yang menyebabkan gejala (topis anatomis)


Anamnesis pada sistem saraf harus dapat dapat memperkirakan lokasi sistem
saraf mana yang mengalami gangguan. Untuk dapat menentukan kemungkinan lokasi
saraf yang mengalami gangguan, dasar yang harus dipahami adalah pemahaman
tentang fungsi normal dari saraf tersebut. Pemahaman akan fungsi normal suatu
lokasi anatomi akan membantu dalam menentukan dugaan lokasi anatomi yang
mengalami gangguan.
Perkiraan gangguan anatomis ini dapat disederhanakan berdasarkan bagan
berikut

Kelainan
Struktural
Neurologi

Intrakranial Spinal

Hemisfer
Hemisfer
Serebeli dan Medula Spinalis Saraf Perifer
Serebri
batang otak

Radiks-pleksus- Neuromuscular
Otot
nervus Junction

3 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Pada tahap awal, secara umum harus bisa menentukan apakah gejala neurologis yang
dialami adalah akibat gangguan pada intrakranial atau spinal. Defisit neurologis yang
terjadi akibat gangguan tersebut memiliki pola-pola kecenderungan spesifik yang
dapat membantu untuk mengarahkan kecurigaan lokasi topis anatomis. Perbedaan
pola tersebut adalah berdasarkan fungsi sistem saraf. Adapun fungsi sistem saraf
dapat dibedakan menjadi:
a. Fungsi motorik: motorik ekstremitas dan motorik wajah
b. Fungsi sensorik: sensorik ekstremitas dan sensorik wajah
c. Fungsi autonomik: buang air besar, buang air kecil
d. Fungsi keseimbangan
e. Fungsi luhur
Perbedaan pola defisit neurologis pada gangguan intrakranial dan spinal dapat dilihat
pada tabel berikut.
Fungsi Neurologis Gangguan intrakranial Gangguan Spinal
Motorik Pola hemi-/sesisi (tangan Monoparesis/biparesis/quadriparesis
Ekstremitas dan kaki sesisi)
Motorik wajah Dapat terganggu Tidak terganggu
Sensorik Pola hemi-/sesisi (tangan Hipoestesia pola
Ekstremitas dan kaki sesisi) segmental/dermatomal
Sensorik wajah Dapat terganggu Tidak terganggu
Autonomik Jarang sekali terganggu Sering terganggu (inkontinensia
urin, inkontinensia alvi)
Keseimbangan Depat terganggu (pusing Jarang sekali terganggu
berputar, dsb.)
Fungsi luhur Dapat terganggu Tidak terganggu

Setelah dapat menentukan apakah cenderung kemungkinan ke gangguan


intrakranial atau spinal, maka berlanjut pada eksplorasi ke lokasi anatomis yang
lebih spesifik. Pada gangguan intrakranial, perlu dibedakan apakah gejala neurologis
yang dialami adalah akibat gangguan pada hemisfer serebri atau serebelum dan
batang otak.
Gangguan hemisfer serebri sering mengalami gejala dominan nyeri kepala,
kelemahan sesisi dan gangguan fungsi kognitif. Gangguan pada serebelum dan batang
otak akan muncul keluhan vertigo/pusing berputar dan gangguan saraf kranialis
seperti diplopia, disfagia atau disartria.

4 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Apabila dugaan kuat adalah gangguan pada spinal, maka eksplorasi


lanjutannya adalah apakah yang terganggu pada tingkat medulla spinalis atau saraf
perifer. Dari anamnesis, untuk membedakan hal ini adalah dengan pola kelemahan
atau gangguan sensoris yang terjadi. Pada gangguan medulla spinalis cenderung akan
mengalami kelemahan atau gangguan sensoris yang simetris pada kedua sisi kanan
dan kiri (kuadriplegia, paraplegia, hipoestesi segmental) sementara pada gangguan
saraf perifer, kelemahannya akan bersifat asimetris (monoparesis) serta pola
gangguan sensorisnya adalah pola dermatom/sesuai pola area sensorik saraf (akan
dipelajari detail pada blok-blok berikutnya).

3. Menentukan dugaan mekanisme/penyebab gejala (etiologis)


Untuk menentukan dugaan etiologis perlu elaborasi dari informasi pada
anamnesis sehingga poin-poin detail anamnesis secara umum tetap diperlukan
pada anamnesis pada neurologi. Bebeberapa langkah penting yaitu:
1. Analisis gejala neurologis dari segi onset, durasi, frekuensi, intesitas,
progresifitas, faktor yang memperburuk/faktor yang memperbaiki
2. Riwayat penyakit dahulu misalnya hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung
coroner, dsb. Pada beberapa kasus riwayat tumbuh kembang, kehamilan dan
persalinan dan vaksinasi diperlukan untuk memperkuat kecurigaan penyebab
3. Riwayat penyakit keluarga; beberapa penyakit neurologis bersifat genetic yang
terdapat pada keluarga yang sama (epilepsy, migrain, dsb)
4. Riwayat pajanan, sosial ekonomi, budaya dan kebiasaan yang relevan; misalnya
pada keluhan nyeri punggung bawah perlu diketahui faktor sosio ekonomi dan
kebiasaan untuk menentukan penyebab nyeri.
5. Anamnesis sistem; anamnesis sistem organ lain pada sistem saraf dapat berguna
untuk deteksi gejala yang melibatkan sistem organ lain, yang mungkin saja tidak
dikeluhkan secara spontan oleh pasien tetapi dapat menambah informasi atau
clue untuk menegakkan diagnosis.

Onset yang bersifat akut (dalam hitungan menit atau jam) dimungkinkan oleh
kelainan vaskular/gangguan pembuluh darah atau stroke. Pada onset yang akut-
subakut dapat terjadi pada reaksi inflamasi seperti meningitis, abses serebri dan
didahului oleh demam. Onset yang kronik dapat menjadi suatu indikasi ke arah
penyebab neoplasma. Etiologi juga dapat diperkirakan dari jenis defisit neurologis
yang muncul. Pada defisit neurologis global maka perlu dicurigai gangguan saraf yang
simetris sehingga penyebabnya juga cenderung yang gangguannya secara
difus/sistemik/metabolik.

5 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Sumber:
- Aninditha, T, Wiratman, W,. 2017. Buku Ajar Neurologi Buku 1. Departemen
Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
- Campbell, WW. 2013 DeJong’s The Neurologic Examination 7 th Edition.
Lippincott Williams & Wilkins.
- Ropper, AH, Samuels, MA, Klein, JP. 2014. Adams and Victors Principles Of
Neurology 10th ed. Mc Graw Hill Education

6 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD) / DISKUSI KELOMPOK TERFOKUS

dr. Mitra Andini Sigilipoe, MPH

TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Mahasiswa mengetahui tentang teknik pengumpulan data melalui diskusi kelompok
terfokus
2. Mahasiswa mampu menjadi fasilitator dalam diskusi kelompok terfokus

FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD)


FGD merupakan suatu proses pengumpulan informasi mengenai permasalahan
tertentu yang spesifik melalui teknik diskusi kelompok yang dipimpin oleh seorang
fasilitator. Teknik ini digunakan sebagai alat pengumpulan data kualitatif. Satu kelompok
dapat terdiri dari 4-12 individu yang saling berdiskusi secara terbuka membahas mengenai
suatu topik tertentu.

FGD tepat digunakan apabila kita ingin:


• Mengeksplorasi konsep awal dari masing-masing peserta
• Mengeksplorasi opini-opini terhadap suatu isyu
• Memahami persepsi peserta terhadap sesuatu hal/isyu
• Memahami faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya suatu opini atau tingkah laku
• Menilai dan mengevaluasi suatu program

Keuntungan mengumpulkan data dengan metode ini adalah relatif tidak mahal,
formatnya fleksibel serta mampu mendorong peserta untuk saling bertanya dan
memperdalam jawaban-jawaban mereka. Namun FGD juga memiliki kelemahan.
Bervariasinya pendapat dari peserta, dan terlalu fleksibelnya metode ini, mempersulit
peneliti untuk mengkontrol proses yang telah berjalan. Tehnik ini kurang baik bila
digunakan tunggal karena dalam suatu diskusi kelompok, individu cenderung bersikap
moderat. Padahal dalam realitanya mungkin dia memiliki opini maupun karakter yang kuat
yang tidak tampak pada saat diskusi. Oleh karena itu tehnik pengumpulan data model ini
biasanya dikombinasi dengan in-depth interview.

7 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Langkah-langkah persiapan untuk melakukan FGD


1. Menentukan tujuan dari FGD.
2. Membuat daftar 5-10 pertanyaan yang akan memfasilitasi serta mendorong peserta
untuk berpendapat dalam diskusi. Pertanyaan bisa fleksibel tergantung pada proses
diskusi. Pertanyaan yang dibuat adalah pertanyaan terbuka yang singkat, jelas dan
mudah dipahami.
3. Menentukan fasilitator. Fasilitator haruslah memiliki pengetahuan yang cukup mengenai
topik sehingga dapat memimpin jalannya FGD. Fasilitator bisa peneliti maupun asisten.
4. Menentukan peserta. Ideal jumlah peserta adalah 4-12 orang. Peserta harus dari latar
belakang yang sama dan berhubungan dengan topik yang akan didiskusikan. Kelompok
dengan karakteristik y ang berbeda akan menurunkan kualitas data FGD. Individu akan
cenderung bersikap moderat atau bahkan diam bila berhadapan dengan orang-orang
yang berbeda dengan mereka dari sisi kekuasaan, ekonomi, pendidikan dan juga
karakteristik pribadi. Peserta yang terpilih harusnya mampu berkomunikasi secara
efektif.
5. Memilih tempat dan waktu pelaksanaan.

MEMIMPIN JALANNYA FGD


a. Memberi salam pada peserta FGD.
b. Sesi perkenalan peserta FGD. Pada tahap ini, peneliti/fasilitator bisa melakukan
asesmen cepat tentang gaya berkomunikasi peserta.
c. Menjelaskan tentang tujuan FGD. Tekankan bahwa ini merupakan kesempatan peserta
untuk mengungkapkan ide/pendapat mereka. Perlu disampaikan bahwa
fasilitator/peneliti menghargai semua pendapat peserta karena pada FGD peserta
adalah ahlinya, dan peneliti/fasilitator ada disana untuk belajar dari mereka.
d. Melontarkan pertanyaan terbuka tentang sebuah topik.
e. Fasilitator harus bersikap netral dan tidak banyak mencampuri saat diskusi. Fasilitator
harus mampu mendorong setiap orang untuk aktif dalam diskusi dan tidak membiarkan
adanya dominasi dalam diskusi.
f. Fasilitator dapat menggali lebih dalam tentang suatu hal yang dirasa belum jelas atau
masih perlu informasi lebih dalam. Peserta bisa didorong untuk mengemukakan
pendapat dengan beberapa pertanyaan seperti di bawah ini:
▪ Bisakah Anda jelaskan lebih lanjut?

8 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

▪ Bisakah Anda memberi contoh?


▪ Apakah ada yang memiliki pengalaman yang berbeda?
g. Merekam dan atau mencatat jalannya proses FGD (verbal maupun non verbal, dinamika
selama proses FGD)
h. Menutup diskusi, memberikan kesimpulan hasil diskusi dan mengucapkan terima kasih.

Yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh seorang fasilitator


Do Don’t
Make everyone feel welcome Talk too much
Speak in a loud, clear voice Let one person dominant the discussion
Be flexible Fail to stay neutral on the issue
Include everyone in the discussion Ask more than one question at a time
Leave enough time for people to answer Ask “yes” or “no” questions (instead ask
questions (enjoy the silence!) open-ended questions)
Vary your style of asking questions to get a Go over the allotted time
variety of answers Forget to thank people for participating
Probe for clarity
Allow diverse opinions to emerge

ANALISIS HASIL FGD


• Segera setelah diskusi selesai, fasilitator dan staf lain berkumpul untuk merekam
jalannya proses FGD dan melengkapi catatan selama proses berlangsung.
• Buat transkrip hasil rekaman (apabila direkam).
• Mengkode pernyataan-pernyataan peserta berdasarkan pada topik-topik pertanyaan.
• Melaporkan hasil FGD.

TUGAS MAHASISWA
1. Mempelajari cara menjadi fasilitator FGD
2. Mengembangkan pertanyaan untuk salah satu topik berikut ini:
a. Pengaruh model alas kaki dengan kesehatan otot, sendi, dan saraf
b. Pengaruh Pijat bagi kesehatan dan tren pijat di masa sekarang
c. Penanganan tradisional pada kasus patah tulang

9 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Referensi
Conducting focus group discussion, http://www.etr.org/FFN/FGcourse/focusGroupCourse.html .
Denzin NK, Lincoln YS, 2009, Handbook of qualitative research, Penerbit Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Iedema R, Braithwaite J, 2004, Conducting a focus group, Centre for Clinical Governance
Research in Health, University of New South Wales.
Micro report, 2008, Guide to focus group discussions, USAID.

10 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

CHECKLIST PROGRAM PEMBELAJARAN SEBAGAI FASILITATOR FGD


Nilai
No Aspek komunikasi yang dinilai
0 1 2
1 Memberi salam kepada peserta FGD
2 Memimpin sesi perkenalan
3 Berbicara dengan jelas
4 Menjelaskan tentang tujuan FGD
5 Melontarkan pertanyaan-pertanyaan terbuka yang singkat,
jelas dan mudah dipahami
6 Bersikap netral dan tidak banyak terlibat dalam diskusi
7 Mendorong semua peserta untuk berpendapat
8 Mampu menggali lebih dalam tentang suatu hal yang dirasa
belum jelas
9 Merekam/mencatat jalannya FGD (meliputi apa yang
diungkapkan oleh peserta, suasana pada saat FGD, dinamika
berdiskusi)
10 Menyimpulkan hasil diskusi dan menutup diskusi
11 Mengucapkan terima kasih
Total

Catatan untuk mahasiswa: ......................


Total nilai
.......... x 100% =
22
Instruktur Mahasiswa penilai

______________________ ______________________

11 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

TEKNIK PENGUMPULAN DATA IN-DEPTH INTERVIEW


DAN KUESIONER
dr. Mitra Andini Sigilipoe, MPH

TUJUAN PEMBELAJARAN:
1. Mahasiswa mengetahui perihal wawancara in-depth dan kuesioner
2. Mahasiswa mampu mengaplikasikan ilmu wawancara in-depth

Interview atau wawancara merupakan proses interaksi antara dua pihak dengan
tujuan menggali keterangan yang bisa berupa pendapat, kesan, pengalaman dari sumber
yang relevan. Wawancara merupakan seni bersosialisasi antara dua orang dalam jangka
waktu tertentu. Pada blok ini mahasiswa akan belajar bagaimana melakukan wawancara
mendalam, mengenal kuesioner dan mengaplikasikannya.
Wawancara mendalam merupakan salah satu metode yang digunakan untuk
penggalian informasi, pengumpulan data untuk penelitian kualitatif. Metode ini merupakan
salah satu contoh metode wawancara semi terstruktur, dimana pewawancara melebur
dengan narasumber dan berimprovisasi. Dalam wawancara mendalam, narasumber
diberikan kesempatan untuk bercerita panjang lebar tentang suatu tema yang menarik.
Teknik ini dirancang untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang perspektif
narasumber terhadap suatu topik. Teknik wawancara mendalam memungkinkan terjadinya
diskusi antara pewawancara dan narasumber sehingga membantu pewawancara untuk
masuk ke pemikiran narasumber, menggali perasaan maupun perilaku narasumber
mengenai topik yang sedang didiskusikan.
Ada beberapa hal kunci yang membedakan antara wawancara mendalam dengan
metode wawancara reguler, yakni antara lain:
▪ Face to face or one on one interview
▪ Open-ended question. Narasumber tidak boleh hanya menjawab ya atau tidak, namun
harus menguraikan secara terperincci mengenai topik.
▪ Format wawancara semi-struktur. Pewawancara tetap harus membuat poin-poin
pertanyaan yang akan ditanyakan pada saat wawancara namun tidak kaku,
pertanyaan harus mengalir natural.

12 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

▪ Mencari pemahaman dan interpretasi. Pewawancara harus mencoba untuk


menafsirkan apa yang didengat serta mencari kejelasan dan pemahaman lebih
selama proses wawancara.
▪ Conversational. Pewawancara harus bisa bercakap-cakap dan mampu
mendengarkan dengan baik. Dari pertanyaan satu ke yang lainnya harus berjalan
mulus, tidak boleh melompat-lompat supaya tidak kehilangan alur perspektif
narasumber.
▪ Direkam. Respon dari narasumber direkam dengan audiotape dan tertulis.
▪ Rekam hasil observasi. Pewawancara harus mengobservasi serta merekam
perilaku non verbal sebagaimana yang terjadi selama proses wawancara
berlangsung.
▪ Refleksi. Pewawancara merekam pandangan dan perasaanya segera setelah
wawancara selesai.

Langkah-langkah yang harus dipersiapkan sebelum wawancara antara lain:


1. Pewawancara harus mengusai persoalan/permasalahan yang akan diperbincangkan.
Kalau perlu dapat membuat daftar pertanyaan dari yang bersifat umum hingga detil.
2. Mencari tahu siapa yang akan menjadi narasumber.
3. Membuat janji tatap muka dengan narasumber.
4. Persiapan alat-alat seperti block note, bolpoin, tape recorder, kamera dll.

Ada beberapa hal yang juga harus diingat pada saat wawancara, yakni:
a. Sopan santun, meliputi tingkah laku dan juga pakaian.
b. Mendengarkan dan bertanya dengan baik. Wawancara yang baik itu seperti sebuah
percakapan. Siapkan pertanyaan namun jangan semata-mata ditanyakan secara
berurutan. Sesuaikan dengan jawaban yang diberikan narasumber. Yang terpenting
adalah mendengarkan dan bertanyalah dengan natural. Menjalin relasi yang baik dengan
narasumber merupakan hal yang penting. Terkadang perlu juga pewawancara sharing
informasi pada saat wawancara karena wawancara juga merupakan bentuk percakapan
dua arah.
c. Menjaga suasana. Untuk mencapai suasana yang nyaman diperlukan waktu. Oleh karena
itu di awal wawancara hendaknya menanyakan hal-hal yang umum misalnya tentang hobi
atau kesibukan saat ini. Berkomunikasi yang baik (jelas dalam berbicara, tidak tergesa-

13 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

gesa), mendengarkan dengan aktif juga menjadi kunci. Jangan membuat narasumber
tersinggung ataupun marah.
d. Menjaga pokok persoalan. Pewawancara harus mampu mengendalikan proses
wawancara. Bila apa yang diperbincangkan sudah melebar maka pewawancara perlu
meluruskan kembali ke pokok persoalannya.
e. Kritis. Sikap kritis diperlukan sehingga mendapatkan data yang selengkap-lengkapnya.
f. Mencatat dan merekam. Apa yang didapatkan dari narasumber harus dicatat. Rekaman
recorder harus segera dibuat transkrip hasilnya. Jangan menunda-nunda membuat
catatan.
g. Mengucapkan terimakasih. Pada akhir wawancara jangan lupa mengucapkan terima kasih
atas waktu dan kesempatan berbagi informasi.

REFERENSI
Boyce C, Neale P, 2006, Conducting in-depth interviews: A Guide for Designing and
Conducting In-Depth Interview for Evaluation Input, Pathfinder International.
Denzin NK, Lincoln YS, 2009, Handbook of qualitative research, Penerbit Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Modul 3, In-depth Interview, Qualitative Research Methods: A Data Collector’s Field Guide

14 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

CHECKLIST
No Aspek yang dinilai 0 1 2
1 Memberi salam
2 Berperilaku sopan
3 Tidak tegang
4 Membangun relasi yang baik dengan narasumber
5 Mengajukan pertanyaan terbuka
6 Mengajukan pertanyaan yang spesifik
7 Menanyakan sesuatu secara mendalam
8 Mengklarifikasi
9 Mendengarkan dan bertanya dengan baik
10 Menjaga pokok persoalan
11 Kritis dalam menanggapi persoalan
12 Mencatat hasil wawancara dengan baik
13 Merekam proses percakapan
13 Mengucapkan terima kasih
Total nilai

Catatan untuk mahasiswa: ......................


Total nilai:

⋯⋯
× 100% =
⋯⋯

Instruktur Mahasiswa penilai

(…………………………..) (…………………………..)

15 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

PENILAIAN TANDA SYOK DAN TINGKAT KESADARAN

Syok terjadi bila sistem peredaran darah (sirkulasi) gagal


mengirimkan darah yang mengandung oksigen dan bahan nutrisi ke alat
tubuh yang penting (terutama otak, jantung dan paru-paru).

Penyebab

• Kegagalan jantung memompa darah


• Kehilangan darah dalam jumlah besar
• Pelebaran (dilatasi) pembuluh darah yang luas,
sehingga darah tidak dapat mengisinya dengan baik
• Kekurangan cairan tubuh yang banyak misalnya diare.

Gejala dan tanda syok

• Nadi cepat dan lemah


• Napas cepat dan dangkal
• Kulit pucat, dingin dan lembab
• Sering kebiruan pada bibir dan cuping telinga
• Haus
• Mual dan muntah
• Lemah dan pusing
• Merasa seperti mau kiamat, gelisah

JENIS-JENIS SYOK DAN PENGERTIANNYA

Berdasarkan etiloginya maka syok digolongkan atas beberapa


macam yaitu: Syok Hipovolemik, Syok Kardiogenik, Syok Distributif, dan
Syok Obstruktif

SYOK HIPOVOLEMIK

Pengertian

Syok hipovolemik merupakan tipe syok yang paling umum ditandai


dengan penurunan volume intravascular. Cairan tubuh terkandung dalam
kompartemen intraseluler dan ekstraseluler. Cairan intraseluler

16 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

menempati hamper 2/3 dari air tubuh total sedangkan cairan tubuh
ekstraseluler ditemukan dalam salah satu kompartemen intavaskular dan
interstitial. Volume cairan interstitial adalah kira-kira 3-4x dari cairan
intravascular. Syok hipovolemik terjadi jika penurunan

17 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

volume intavaskuler 15% sampai 25%. Hal ini akan menggambarkan kehilangan
750 ml sampai 1300 ml pada pria dgn berat badan 70 kg.

Etiologi

Kondisi-kondisi yang menempatkan pasien pada resiko syok hipovolemik


adalah:
1. kehilangan cairan eksternal seperti : trauma, pembedahan, muntah-muntah, diare,
diuresis,
2. perpindahan cairan internal seperti : hemoragi internal, luka baker, asites dan
peritonitis

SYOK KARDIOGENIK

Pengertian

Syok kardiogenik disebabkan oleh kegagalan fungsi pompa jantung yang


mengakibatkan curah jantung menjadi berkurang atau berhenti sama sekali.

Etiologi

Penyebab syok kardiogenik mempunyai etiologi koroner dan non koroner.


Koroner, disebabkan oleh infark miokardium, Sedangkan Non-koroner
disebabkan oleh kardiomiopati, kerusakan katup, tamponade jantung, dan
disritmia.

SYOK DISTRIBUTIF

Pengertian

Syok distributif atau vasogenik terjadi ketika volume darah secara


abnormal berpindah tempat dalam vaskulatur seperti ketika darah berkumpul
dalam pembuluh darah perifer.

Etiologi

Syok distributif dapat disebabkan baik oleh kehilangan tonus simpatis atau
oleh pelepasan mediator kimia ke dari sel-sel. Kondosi-kondisi yang
menempatkan pasien pada resiko syok distributif yaitu:
1. syok neurogenik seperti cedera medulla spinalis, anastesi spinal,
2. syok anafilaktik seperti sensitivitas terhadap penisilin, reaksi transfusi, alergi sengatan
lebah
18 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana
Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

3. syok septik seperti imunosupresif, usia yang ekstrim yaitu > 1 thn dan > 65 tahun,
malnutrisi

Berbagai mekanisme yang mengarah pada vasodilatasi awal dalam syok


distributif lebih jauh membagi klasifikasi syok ini kedalam 3 tipe :
1. Syok Neorugenik
Pada syok neurogenik, vasodilatasi terjadi sebagai akibat kehilangan tonus
simpatis. Kondisi ini dapat disebabkan oleh cedera medula spinalis, anastesi
spinal, dan kerusakan sistem saraf. Syok ini juga dapat terjadi sebagai akibat
kerja obat-obat depresan atau kekurangan glukosa (misalnya : reaksi insulin
atau syok). Syok neurogenik spinal ditandai dengan:
o kulit kering dan hangat
o bradikardi.
2. Syok Anafilaktik
Syok anafilaktik disebabkan oleh reaksi alergi ketika pasien yang sebelumnya
sudah membentuk anti bodi terhadap benda asing (anti gen) mengalami
reaksi anti gen- anti bodi sistemik.
3. Syok Septik
Syok septik adalah bentuk paling umum syok distributuf dan disebabkan oleh
infeksi yang menyebar luas. Insiden syok septik dapat dikurangi dengan
melakukan praktik pengendalian infeksi, melakukan teknijk aseptik yang
cermat, melakukan debriden luka ntuk membuang jarinan nekrotik,
pemeliharaan dan pembersihan peralatan secara tepat dan mencuci tangan
secara menyeluruh.

19 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

TINGKAT KESADARAN

Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang


terhadap rangsangan dari lingkungan, tingkat kesadaran dibedakan menjadi :
1. Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat
menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya..
2. Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan sekitarnya,
sikapnya acuh tak acuh.
3. Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak, berteriak-
teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.
4. Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor yang
lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah
dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal.
5. Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon terhadap
nyeri.
6. Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap rangsangan
apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin juga tidak ada respon
pupil terhadap cahaya).
20 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana
Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Perubahan tingkat kesadaran dapat diakibatkan dari berbagai faktor,


termasuk perubahan dalam lingkungan kimia otak seperti keracunan, kekurangan
oksigen karena berkurangnya aliran darah ke otak, dan tekanan berlebihan di
dalam rongga tulang kepala.
Adanya defisit tingkat kesadaran memberi kesan adanya hemiparese
serebral atau sistem aktivitas reticular mengalami injuri. Penurunan tingkat
kesadaran berhubungan dengan peningkatan angka morbiditas (kecacatan) dan
mortalitas (kematian).
Jadi sangat penting dalam mengukur status neurologikal dan medis
pasien. Tingkat kesadaran ini bisa dijadikan salah satu bagian dari vital sign.

Penyebab Penurunan Kesadaran

Penurunan tingkat kesadaran mengindikasikan difisit fungsi otak. Tingkat


kesadaran dapat menurun ketika otak mengalami kekurangan oksigen (hipoksia);
kekurangan aliran darah (seperti pada keadaan syok); penyakit metabolic seperti
diabetes mellitus (koma ketoasidosis) ; pada keadaan hipo atau hipernatremia ;
dehidrasi; asidosis, alkalosis; pengaruh obat-obatan, alkohol, keracunan:
hipertermia, hipotermia; peningkatan tekanan intrakranial (karena perdarahan,
stroke, tomor otak); infeksi (encephalitis); epilepsi.

Mengukur Tingkat Kesadaran

Salah satu cara untuk mengukur tingkat kesadaran dengan hasil seobjektif
mungkin adalah menggunakan GCS (Glasgow Coma Scale). GCS dipakai untuk
menentukan derajat cidera kepala. Reflek membuka mata, respon verbal, dan
motorik diukur dan hasil pengukuran dijumlahkan jika kurang dari 13, makan
dikatakan seseorang mengalami cidera kepala, yang menunjukan adanya
penurunan kesadaran.
Metoda lain adalah menggunakan sistem AVPU, dimana pasien diperiksa
apakah sadar baik (alert), berespon dengan kata-kata (verbal), hanya berespon
jika dirangsang nyeri (pain), atau pasien tidak sadar sehingga tidak berespon
baik verbal maupun diberi rangsang nyeri (unresponsive).
Ada metoda lain yang lebih sederhana dan lebih mudah dari GCS dengan hasil
yang kurang lebih sama akuratnya, yaitu skala ACDU, pasien diperiksa

21 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

kesadarannya apakah baik (alertness), bingung / kacau (confusion), mudah tertidur


(drowsiness), dan tidak ada respon (unresponsiveness).

GCS (Glasgow Coma Scale)

yaitu skala yang digunakan untuk menilai tingkat kesadaran pasien,


(apakah pasien dalam kondisi koma atau tidak) dengan menilai respon pasien
terhadap rangsangan yang diberikan.
Respon pasien yang perlu diperhatikan mencakup 3 hal yaitu reaksi
membuka mata, bicara dan motorik. Hasil pemeriksaan dinyatakan dalam
derajat (score) dengan rentang angka 1 – 6 tergantung responnya.

Eye (respon membuka mata) :


4. spontan
3. dengan rangsang suara (suruh pasien membuka mata).
2. dengan rangsang nyeri (berikan rangsangan nyeri, misalnya menekan kuku
jari)
1. tidak ada respon

Verbal (respon verbal) :


5. orientasi baik
4. bingung, berbicara mengacau ( sering bertanya berulang-ulang ) disorientasi
tempat dan waktu.
3. kata-kata saja (berbicara tidak jelas, tapi kata-kata masih jelas, namun tidak
dalam satu kalimat. Misalnya “aduh…, bapak…”)
2. suara tanpa arti (mengerang)
1. tidak ada respon

Motor (respon motorik) :


6. mengikuti perintah
5. melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi rangsang
nyeri)
4. withdraws (menghindar / menarik extremitas atau tubuh menjauhi stimulus
saat diberi rangsang nyeri)
3. flexi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada & kaki
extensi saat diberi rangsang nyeri).
22 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana
Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

2. extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan jari
mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).
1. tidak ada respon
Hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam simbol
E…V…M…

Selanutnya nilai-nilai dijumlahkan. Nilai GCS yang tertinggi adalah 15 yaitu


E4V5M6 dan terendah adalah 3 yaitu E1V1M1.

Jika dihubungkan dengan kasus trauma kapitis maka didapatkan hasil :


GCS : 14 – 15 = CKR (cidera kepala ringan)
GCS : 9 – 13 = CKS (cidera kepala sedang)
GCS : 3 – 8 = CKB (cidera kepala berat)

23 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik
PEMERIKSAAN REFLEKS FISIOLOGIS

Laksmi Asanti, Rizaldy Pinzon SMF


saraf RS Bethesda Yogyakarta

Pendahuluan

Refleks adalah jawaban terhadap suatu perangsangan. Gerakan yang


timbul dinamakan dengan gerakan reflektoris. Refeleks-refleks yang
dibangkitkan dalam pemeriksaan klinis dapat berupa refleks dalam ataupun
refleks permukaan. Refleks dalam berarti refleks yang bangkit akibat
perangsangan otot, sementara refleks superfisial bangkit akibat perangsangan
kulit. Dalam bidang neurologi ada banyak refleks dalam dan permukaan, namun
di modul ini hanya akan dibahas refleks-refleks yang sering dikerjakan dalam
pemeriksaan klinis.

Tujuan Instruksional Umum

Mahasiswa diharapkan memiliki ketrampian untuk melakukan pemeriksaan


refleks fisiologis.

Tujuan Instruksional Khusus

1. Mahasiswa diharapkan memiliki ketrampilan untuk menerangkan tujuan pemeriksaan/


tes-tes refleks fisiologis.
2. Mahasiswa diharapkan memiliki ketrampilan untuk menempatkan pasien secara
benar, dan mampu mempersiapkan alat-alat pemeriksaan secara benar.
3. Mahasiswa diharapkan memiliki ketrampilan:
➢ Melakukan pemeriksaan refleks biceps
➢ Melakukan pemeriksaan refleks triceps
➢ Melakukan pemeriksaan refleks patella
➢ Melakukan pemeriksaan refleks achiles
➢ Melakukan pemeriksaan untuk refleks dinding perut
4. Mahasiswa diharapkan memiliki ketrampilan untuk menyimpulkan hasil pemeriksaan
refleks.

24 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Prinsip pemeriksaan refleks

palu refleks dipegang tidak terlalu keras, dan diketukkan dengan cara
diayunkan secara perlahan dan berulang. Anggota gerak yang diperiksa harus
santai, bila akan dibandingkan kanan dan kiri harus ditempatkan secara simetris.
Pemeriksa harus meyakinkan bahwa yang diketuk pada refleks dalam adalah
tendon otot.penderajatan hasil penilaian refleks adalah sebagai berikut:
0 : tidak ada gerakan refleks
1 : ada gerakan yang lemah
2 : Gerakan cukup cepat, beramplitudo cukup, biasanya pada orang yang normal
3 : Melebihi respon umum
4 : Jelas meningkat dan patologis

PRINSIP PEMERIKSAAN REFLEKS DALAM

Refleks Tendon Biceps Brachii

Diperantarai oleh persarafan C5-6, nervus musculocutaneus. Pemeriksa


memposisikan sikap lengan pasien setengah ditekuk di sendi siku. Stimulasi
dilakukan dengan mengetuk pada jari pemeriksa yang ditempatkan pada tendon
biceps brachii. Respon refleks adalah fleksi lengan di sendi siku.

25 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Refleks Triceps

Refleks triceps diperantarai oleh persarafan c6-7-8, nervus radialis).


Pemeriksa memposisikan sikap lengan bawah pasien difleksikan di sendi siku dan
sedikit dipronasikan. Stimulasi dilakukan dengan melakukan ketukan pada
tendon otot triceps. Respon refleks adalah ekstensi lengan dibawah siku.

Refleks Tendon Lutut

Refleks tendon lutut diperantarai oleh persarafan L2-3-4, nervus


femoralis. Pemeriksa dapat memilih salah satu sikap pasien sebagai berikut: (1)
pasien duduk dengan kedua kaki ternagntung, (2) pasien duduk dengan kedua
kaki ditapakkan diatas lantai, (3) pasien berbaring telentang dengan tungkai
difleksikan pada sendi lutut. Stimulasi dilakukan dengan mengetuk tendon
patella. Respon positif bila tungkai bawah berekstensi.

26 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Refleks tendon achiles

Refleks ini diperantarai oleh persarafan L5-S1-2, nervus tibialis. Sikap


pasien dengan tungkai ditekukkan di sendi lutut dan kaki didorsofleksikan, atau
pasien berlutut diatas tempat periksa dengan kedua kaki bebas. Stimulai
dilakukan dengan mengetuk tendon achiles. Respon adalah plantarfleksi kaki.

Refleks dinding perut

Refleks ini merupakan bentuk refleks superfisial. Kulit dinding perut


digores dengan jarum refleks atau ujung palu refleks. Hasil positif bila dinding
perut berkontraksi secara reflektorik. Refleks menghilang pada lesi di sistem
piramidalis.

KEPUSTAKAAN

DeJong RN, 1981, Case Taking and The Neurologic Examination, dalam AB Baker
and LH Baker (eds), Clinical Neurology, Vol 1, pp: 1-87, Harper and Row,
Philadelphia
FullerG, 1993, Neurological Examination, Made Easy, Churchill Livingstone
Massey EW, Pleet AB, 1985, Diagnostic Test in Neurology, Year Book, Medical
Publisher

27 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

EVALUASI REFLEKS BICEPS


NILAI
NO ASPEK YANG DINILAI
0 1 2
1 Menerangkan secara benar tujuan pemeriksaan
2 Menempatkan pasien dalam posisi yang benar
3 Memilih alat pembangkit refleks yang sesuai
Pemeriksa memposisikan sikap lengan pasien setengah
4
ditekuk di sendi siku
Pemeriksaan meletakkan jari telunjuk pada tendo otot
5
biceps
Stimulasi dilakukan dengan mengetuk pada jari pemeriksa
6
yang ditempatkan pada tendo biceps brachii
7 Melihat respon
8 Mencatat dan menyimpulkan hasil pemeriksaan

NILAI:

0 : Tidak dikerjakan
1 : Dikerjakan tidak sempurna
2 : Dikerjakan dengan sempurna

Jumlah total nilai : (2X8) X 100% =

28 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

REFLEKS TRICEPS

NILAI
NO ASPEK YANG DINILAI
0 1 2
1 Menerangkan secara benar tujuan pemeriksaan
2 Menempatkan pasien dalam posisi yang benar
3 Memilih alat pembangkit refleks yang sesuai
4 Pemeriksa memposisikan sikap lengan bawah
pasien difleksikan di sendi siku dan sedikit
dipronasikan
5 Pemeriksaan meletakkan jari pemeriksa pada
tendo otot triceps
6 Stimulasi dilakukan dengan melakukan ketukan
pada tendon otot triceps.
7 Melihat respon
8 Mencatat dan menyimpulkan hasil pemeriksaan

NILAI:

0 : Tidak dikerjakan
1 : Dikerjakan tidak sempurna
2 : Dikerjakan dengan sempurna

Jumlah total nilai : (2X8) X 100% =

29 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

REFLEKS PATELLA

NO ASPEK YANG DINILAI NILAI


0 1 2
1 Menerangkan secara benar tujuan pemeriksaan
2 Menempatkan pasien dalam posisi yang benar
3 Memilih alat pembangkit refleks yang sesuai
4 Pemeriksa mengidentifikasi tendon patella
5 Stimulasi dilakukan dengan mengetuk tendon
patella
7 Melihat respon
8 Mencatat dan menyimpulkan hasil pemeriksaan

NILAI:

3 : Tidak dikerjakan
4 : Dikerjakan tidak sempurna
5 : Dikerjakan dengan sempurna

Jumlah total nilai : (2X8) X 100% =

30 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

REFLEKS ACHILES

NO ASPEK YANG DINILAI NILAI


0 1 2
1 Menerangkan secara benar tujuan pemeriksaan
2 Menempatkan pasien dalam posisi yang benar
3 Memilih alat pembangkit refleks yang sesuai
4 Sikap pasien dengan tungkai ditekukkan di sendi
lutut dan kaki didorsofleksikan, atau pasien
berlutut diatas tempat periksa dengan kedua
kaki bebas
5 Pemeriksa mengidentifikasi tendo achiles
6 Pemeriksa melakukan pengetukan tendo achiles
7 Melihat respon
8 Mencatat dan menyimpulkan hasil pemeriksaan

NILAI:

0 : Tidak dikerjakan
1 : Dikerjakan tidak sempurna
2 : Dikerjakan dengan sempurna

Jumlah total nilai : (2X8) X 100% =

31 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

PEMERIKSAAN SISTEM SARAF SENSORIS, KESEIMBANGAN-


KOORDINASI DAN GAIT

Lothar Matheus Manson Vanende Silalahi, Rizaldy Pinzon, Laksmi Asanti


Universitas Kristen Duta Wacana, SMF Saraf RS Bethesda Yogyakarta

PEMERIKSAAN SISTEM SARAF SENSORIS


Pemeriksaan sistem sensorik mencakup pengujian untuk:
1. Fungsi Sensorik Protopatik/Eksteroseptif (sensasi nyeri, suhu dan raba halus)
2. Fungsi Sensorik Propioseptif (sensasi vibrasi dan posisi sendi)
3. Fungsi Sensorik Serebral (stereognosia, graphesthesia, diskriminasi dua titik,
stimulasi ganda simultan/atensi sensorik)

Pemeriksaan sensorik pada modul ini merupakan pemeriksaan yang


membutuhkan atensi dan respons verbal pasien sehingga syarat untuk melakukan
pemeriksaan ini adalah pasien dalam kondisi sadar penuh, relaks, kooperatif, bebas
nyeri dan fungsi kognitif yang baik. Pemeriksaan sensoris pada kondisi penurunan
kesadaran dan tidak kooperatif akan terbatas pada pemeriksaan yang tidak
membutuhkan respons verbal seperti refleks korena atau respons ketika diberi
stimulus nyeri.
Prinsip awal pemeriksaan sensorik adalah:
a. Informasikan deskripsi singkat pemeriksaan (tujuan, alat yang digunakan dan
bentuk stimulus yang akan diberikan)
b. Demonstrasikan stimulus yang akan diberikan kepada pasien sebelum
pemeriksaan yang sebenarnya untuk mengurangi rasa takut dan tidak nyaman
selama pemeriksaan
c. Saat melakukan pemeriksaan sensorik pasien dalam kondisi mata tertutup
atau tidak melihat langsung saat pemberian stimulus sensorik

1. FUNGSI SENSORIK PROTOPATIK/EKSTEROSPETIF (NYERI, SUHU DAN RABA


HALUS)
Sistem sensorik protopatik/eksteroseptif diperantarai oleh traktus
spinotalamikus yang berfungsi sebagai sensorik stimulus:
A. Nyeri

32 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Objek yang digunakan untuk pemeriksaan sensasi nyeri adalah jarum


atau tusuk gigi. Dengan mata pasien tertutup, pemeriksa menyentuh secara
bergantian pasien dengan jarum atau tusuk gigi. Pemeriksa secara bergantian
memberikan rangsang pada pasien di minimal 13 titik. Menyentuh satu bagian
tubuh diikuti oleh bagian tubuh yang sesuai di sisi lain (misalnya, bahu kanan
kemudian bahu kiri) dengan instrumen yang sama. Perbandingan dua titik
ekstrem kranial dan kaudal juga dapat dilakukan. Usahakan intensitas
stimulus yang diberikan sama kuat.
Pada pemeriksaan sensasi nyeri, instruksikan pasien untuk memberi
respons:
- Stimulasi yang diberikan terasa “tajam” atau “tumpul”
- Perbandingan kekuatan sensasi antara sisi kanan dan kiri pada lokasi yang
bersesuaian atau pada 2 titik ekstrim (kranial dan kaudal)

B. Raba Halus
Objek untuk pemeriksaan sensasi raba halus yang dapat digunakan
adalah kapas, tisu, bulu, sikat lembut atau bahkan sentuhan yang sangat halus
dari ujung jari pemeriksa.
Dengan mata pasien tertutup, pemeriksa menyentuh secara bergantian
area kulit pasien dengan objek yang digunakan. Pemeriksa secara bergantian
memberikan rangsang pada pasien di minimal 13 titik. Menyentuh satu bagian
tubuh diikuti oleh bagian tubuh yang sesuai di sisi lain (misalnya, bahu kanan
kemudian bahu kiri) dengan instrumen yang sama. Perbandingan dua titik
ekstrem kranial dan kaudal juga dapat dilakukan. Usahakan intensitas
stimulus yang diberikan sama kuat.

33 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Pada pemeriksaan sensasi sentuhan ringan, instruksikan pasien untuk


membandingkan kekuatan sensasi antara sisi kanan dan kiri pada lokasi yang
bersesuaian atau pada 2 titik ekstrim (kranial dan kaudal)

Tiga belas (13) titik yang diperiksa perwakilan lokasi tubuh yang sesuai
dengan dermatom radiks saraf:
1. Aspek anterior bahu (C4)
2. Aspek lateral lengan atas (C5)
3. Aspek medial lengan bawah (T1)
4. Ujung jempol (C6)
5. Ujung jari tengah (C7)
6. Ujung jari kelingking (C8)
7. Dada, tingkat papila mamae (T5)
8. Perut, tingkat umbilikalis (T10)
9. Aspek anterior paha (L2)
10. Aspek anterior genu (L3)
11. Bagian medial tungkai bawah (L4)
12. Bagian lateral tungkai bawah (L5)
13. Telapak kaki (S1)

34 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

35 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

C. Suhu
Objek yang digunakan untuk pemeriksaan sensasi suhu yang ideal
adalah 2 tabung reaksi yang berisi air hanga (40-45O C) dan dingin (5-10O C).
Permukaan luar tabung harus kering. Alternatif lain adalah jari pemeriksa
(stimulus hangat) atau gagang garpu tala (stimulus dingin).
Dengan mata tertutup, pasien diinstruksikan untuk mengidentifikasi
stimulus yang diberikan dalam beberapa detik saat kulit disentuh dengan
stimulus dingin/hangat. Langkah ini diulangi dengan stimulus yang berbeda
dari sebelumnya pada area yang sama. Berikan jeda kurang lebih 2 detik antar
pemberian stimulus.

2. FUNGSI SENSORIK PROPIOSEPTIF (TES VIBRASI DAN POSISI SENDI)


Sistem sensorik propioseptif diperantarai oleh sistem kolumna dorsalis medula
spinalis yang fungsinya sebagai sensorik untung stimulus:
A. Vibrasi
Objek yang digunakan untuk pemeriksaan sensasi vibrasi adalah garpu
tala 128 Hz atau 256 Hz. Pemeriksa memegang garpu tala pada bagian
tangkainya. Ujung tangkai garpu tala ditaruh di area-area tonjolan
tulang/sendi.
Pasien diinstruksikan untuk merasakan getaran garpu tala (bukan
sentuhan garpu tala) dan jika sudah tidak merasakan getaran, pasien diminta
untuk memberi tanda. Setelah itu pemeriksa merasakan getaran garpu tala

36 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

yang dipegangnya. Fungsi vibrasi abnormal apabila pemeriksa masih


merasakan getaran garpu tala lebih dari 10 detik.
Lakukan pemeriksaan vibrasi pada tonjolang tulang mulai dari distal ke
proksimal, yaitu sendi interphalangeal proksimal ibu jari kaki, sendi
metatarsophalangeal, malleolus medial, tuberostas tibia, spina iliaka anterior
superior, ujung jari tangan, sendi interphalangeal tangan, sendi
metakarpofalangeal, pergelangan tangan, siku dan bahu.
Apabila pasien tidak merasakan getaran garpu tala, pindahkan garpu
tala ke sendi yang lebih proksimal atau sendi homolog kontra lateral.
Instruksikan pasien untuk membandingkan sensasi vibrasi antara keduanya.

B. Sensasi Posisi Sendi


Tidak ada objek khusus yang dibutuhkan untuk pemeriksaan posisi sendi.
Sensasi posisi diperiksa dengan cara memegang ujung jari pasien dalam kondisi
rileks dan tidak terganggu jari lainnya. Cara pemeriksaannya adalah dengan
memegang sisi lateral dari jari yang diperiksa. Memegang bagian atas atau bawah
jari membuat tes ini tidak valid.
Sebelum pemeriksaan yang sebenarnya, tetapkan dengan pasien tentang
arah “naik” dan “turun” dan penamaan jari yang diperiksa (bisa menggunakan
nama jari atau nomor).
Pemeriksa secara manual menggerakkan jari kaki pasien di masing-
masing arah, kemudian dihentikan pada kondisi tertentu. Pada keadaan posisi
tersebut, minta pasien untuk mengidentifikasi arah dan jari yang digerakkan

37 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

sesuai yang ditetapkan di awal. Ulangi pada kaki yang berlawanan dan
bandingkanlah.

3. FUNGSI SENSORIK SEREBRAL (STEREOGNOSIS, GRAPHESTESIA, DISKRIMINASI


2 TITIK/ATENSI SENSORIK)
Fungsi sensorik serebral melibatkan area sensorik primer di korteks
parietal dan area sensorik asosiasi. Stimulus yang diterima oleh area sensorik
primer akan diteruskan ke area sensorik asosiasi untuk dikorelasikan dengan
bagian otak yang lain, sehingga interpretasi dan persepsi menjadi lebih tajam
dan kompleks.
Contoh, jika sesorang pasien diminta memejamkan mata dan diberikan
sebuah benda pada telapak tangannya, maka secara normal tidak hanya dapat
merasakan saja, tetapi juga mengenali secara spesifik nama dan karakteristik
benda tersebut.
Modalitas sensorik kortikal yang mempunyai relevansi secara klinis
meliputi:
A. Tes Stereognosis
Stereognosis adalah kemampuan pasien untuk mengidentifikasi bentuk
benda dengan cara menyentuh benda tersebut. Syarat bisa dilakukannya
pemeriksaan ini adalah sensasi raba, nyeri, suhu dan vibrasi pada tangan
seluruhnya dalam batas normal. Tangan juga sebaiknya tidak mengalami
kelemahan motorik sehingga benda tersebut dapat dimanilupasi dan
digerakkan.

38 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Tes ini dilakukan dengan meminta pasien untuk menutup mata


mereka dan mengidentifikasi objek yang ditempatkan di tangan
mereka dengan menyebutkan nama benda tersebut. Benda yang dapat
ditempatkan adalah benda yang umum ditemukan sehari-hari (kunci,
koin, tutup botol, dsb).
Taruhlah koin atau pena di tangan mereka. Ulangi dengan sisi
lain menggunakan objek yang berbeda. Bila pasien tidak dapat
mengenali, maka benda tersebut dipindahkan ke tangan lainnya. Bila
tetap tidak mengenali, pasien diminta melihat benda tersebut. Jika
dengan melihat benda tersebut pasien dapat mengenalinya, maka
disebut sebagai astereognosis. Astereognosis adalah ketidakmampuan
untuk mengenali obyek yang ditempatkan di tangan tanpa melihat
objek tersebut. Kelainan ini mengindikasikan suatu lesi di korteks
sensorik dari lobus parietalis.

B. Tes graphesthesia
Graphestesia adalah kemampuan untuk mengenali huruf atau angka
yang dituliskan di atas area kulit tertentu. Pemeriksaan dilakukan dengan
meminta pasien untuk menutup mata mereka dan mengidentifikasi nomor
atau huruf yang digambar di telapak tangan mereka. Pemeriksa
menuliskan bentuk huruf atau angka (1-10) dengan jari pemeriksa atau
dengan ujung pena yang terutup pada telapak tangan/telapak
jari/punggung kaki pasien. Pasien kemudian diminta untuk menyebutkan
angka atau huruf yang digambarkan tersebut. Ulangi di sisi lain dengan
huruf atau angka yang berbeda.

39 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

C. Diskriminasi 2 titik
Alat pemeriksaan yang digunakan adalah caliper atau klip kertas yang
dibentuk menjadi huruf V. Pemeriksaan ini bertujuan untuk membedakan stimulasi
1 atau 2 titik pada area kulit. Area yang diperiksa meliputi wajah, ujung jari, telapak
tangan dan daerah tulang tibial. Pasien diminta menutup mata kemudian pemeriksa
memberikan stimulasi bersamaan pada 2 titik pada area tersebut pada jarak
tertentu, pasien diminta mengidentifikasi apakah stimulus yang diberikan ada 1 titik
atau 2 titik. Jarak antara stimulasi 2 titik terpendek masih dapat didentifikasi oleh
pasien sebagai stimulasi 2 titik kemudian diukur.
Batas normal stimuasi 2 titik antara lain: ujung lidah 1 mm, bibir 2-3 mm,
wajah 2-5 mm. Jika jarak untuk membedakan 2 titik lebih lebar dari rentang normal
mengindikasikan gangguan pada lobus parietal.

D. Stimulai ganda simultan/atensi sensorik


Tidak ada objek spesifik yang digunakan untuk pemeriksaan ini. Dengan
posisi pasien menutup mata, pemeriksa menyentuh 2 bagian tubuh yang homolog
secara bersamaan/simultan (misalnya, bahu kanan dan bahu kiri). Pasien diminta
untuk menjawab sisi tubuh mana yang disentuh. Pasien dengan lesi lobus parietal
tidak dapat mengidentifikasi rabaan pada sisi tubuh kontralateral lesi pada saat
disentuh saat bersamaan. Fenomena ini disebut sensory extinction/sensory
inattention/neglect.

40 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

PEMERIKSAAN KESEIMBANGAN-KOORDINASI DAN GAIT

1. PEMERIKSAAN KESEIMBANGAN
Keseimbangan yang normal melambangkan gambaran integritas antara
komponen susunan saraf pusat dan perifer yang normal. Fungsi keseimbangan
dipengaruhi oleh input sistem vestibular, proprioseptif dan visual. Keseimbangan
yang baik memerlukan minimal 2 dari 3 input sistem tersebut. Apabila ada lebih
dari 1 sistem tersebut yang terganggu maka akan terjadi gangguan keseimbangan.

Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk pemeriksaan keseimbangan adalah:

A. Tes romberg
Tujuan pemeriksaan romberg adalah untuk evaluasi input sensoris
sistem vestibular dan proprioseptif. Pemeriksaan ini dilakukan dengan
menghilangkan input visual. Normalnya tubuh akan tetap dapat berdiri
seimbang saat mata tertutup karena ditopang oleh input vestibular dan
proprioseptif yang baik.
Syarat pemeriksaan ini adalah tidak terdapat kelemahan motoric pada
ekstremitas bawah, memiliki visus yang baik dan kooperatif selama
pemeriksaan. Selama pemeriksaan pasien tidak memakai alas kaki
Pada awal pemeriksaan, mintalah pasien berdiri pada alas yang datar,
kedua kaki rapat, lengan berada di sisi tubuh dan mata terbuka. Lengan juga
dapat disilangkan pada dada dengan tangan mendekap bahu. Pemeriksa
berdiri di dekat pasien dengan kedua lengan terjulur ke depan sehingga jika
pasien terjatuh pemeriksa dapat segera menangkapnya. Perhatikan selama 20
detik apakah pasien bergoyang atau jatuh.
Apabila dengan mata terbuka pasien dapat mempertahankan
keseimbangan, instruksikan pasien untuk menutup kedua matanya selama 30
detik. Perhatikan kemampuan pasien untuk mempertahankan posisinya agar
tetap tegak. Pasien dikatakan tidak dapat mempertahankan keseimbangan
apabila terhuyung dan kaki berubah posisi untuk mencegah dirinya jatuh. Jika
pasien tidak dapat mempertahankan keseimbangannya maka disebut romberg
positif.

41 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Jika pada saat mata terbuka pasien sudah terhuyung atau jatuh, makan
disebut romberg mata terbuka positif dan kemungkinan terdapat gangguan
pada serebelum. Jika pada saat mata terbuka pasien sudah terhuyung atau
jatuh maka tidak perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan mata tertutup.
Apabila saat mata terbuka pasien dapat mempertahankan
keseimbangan sementara terhuyung atau jatuh saat mata tertutup, maka
kemungkinan terdapat gangguan dari input vestibular atau propriospetif atau
kombinasi keduanya.

B. Past pointing test


Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengevaluasi fungsi serebelum dan
atau sistem vestibular. Sebelum melakukan pemeriksaan ini perlu dipastikan
terlebih dahulu bahwa pasien tidak mengalami kelemahan pada ekstremitas
dan kooperatif.

Pemeriksaan dilakukan dengan meminta pasien mengekstensikan sendi


siku dengan posisi jari telunjuk ekstensi. Pasien kemudian mengarahkan jari
telunjuknya ke jari telunjuk pemeriksa. Gerakan dilakukan beberapa kali
dengan mata terbuka terlebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan mata
tertutup.

42 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Dengan mata tertutup, pasien diminta mengekstensikan lengannya


sampai di atas kepala kemudian turun kembali dan menyentuhkan ujung jari
telunjuknya ke jari telunjuk pemeriksa. Posisi jari tangan pemeriksa tidak
berpindah-pindah. Pemeriksaan diulang pada sisi tangan yang lain.

Past Pointing Test positif apabila lengan pasien mengalami deviasi dari
target (jari pemeriksa) dan arah deviasi konsisten pada beberapa kali
pengulangan. Pada kerusakan serebelum akan terjadi deviasi pada salah satu
tangan, sementara pada kerusakan vestibular akan terjadi deviasi ketika
dicoba pada kedua tangan.

2. PEMERIKSAAN KOORDINASI

Kemampuan koordinasi terutama diatur oleh serebelum. Serebelum berperan


dalam sinergi kontraksi otot dengan mengatur tonus otot dan koordinasi pada
gerakan volunter. Gangguan pada serebelum tidak menyebabkan kelemahan akan
tetapi mempengaruhi gerakan. Keluhan yang dapat muncul akibat lesi serebelum
yaitu tremor, inkoordinasi, gangguan gait dan disartria. Pada pemeriksaan dapat
ditemukan nystagmus, hipotonia dan dismetria.

Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk pemeriksaan koordinasi antara lain:

A. Gerakan menunjuk (tes telunjuk-telunjuk/finger to finger, tes hidung-


telunjuk/nose to finger)

Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi dismetria. Sebelum


melakukan pemeriksaan ini perlu dipastikan terlebih dahulu bahwa pasien
tidak mengalami kelemahan pada ekstremitas dan kooperatif.

43 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan posisi pasien duduk, berdiri


atau berbaring. Pemeriksa memposisikan jari telunjuknya di depan pasien.
Mintalah pasien untuk mengangkat jari telunjuk mereka lalu menyentuh
hidung mereka, dan kemudian menyentuh jari pemeriksa yang terulur dengan
jari yang sama. Mintalah pasien untuk melakukan gerakan bolak-balik antara
menyentuh hidung dan jari pemeriksa. Gerakan dapat diulang beberapa kali.
Pemeriksa dapat mengubah letak jari telunjuknya pada berbagai kuadran
secara perlahan atau cepat. Jarak jari telunjuk pemeriksa dengan pasien juga
dapat diubah-ubah dari dekat ke semakin jauh.
Yang diperhatikan dalam pemeriksaan ini adalah kehalusan gerakan,
akurasi dan tremor yang terlihat. Dikatakan dismetri apabila jari terhenti
sebelum mencapai target kemudian bergerak lagi berusaha mencapai target
dengan gerakan perlahan yang tidak stabil (hipometri) atau jari berhenti
melampaui target dengan kecepatan dan kekuatan yang berlebihan
(hipermetri). Temuan ini mengindikasikan gangguan serebelum.

B. Heel to shin
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi dismetria. Sebelum
melakukan pemeriksaan ini perlu dipastikan terlebih dahulu bahwa pasien
tidak mengalami kelemahan pada ekstremitas dan kooperatif. Dengan pasien
berbaring supinasi, pemeriksa meminta pasien untuk meletakkan tumit di
diatas lutut kontralateral dan digerakkan menyusuri tuberositas tibia menuju
ke ibu jari kaki. Gerakan dilakukan beberapa kali. Instruksikan gerakan ini
dengan kaki yang lain.

44 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Dismetria pada pemeriksaan ini apabila saat mengangkat kakinya lebih


tinggi dan gerakan terlihat lebih kasar dan tidak akurat dan mengindikasikan
gangguan serebelum.

C. Gerakan bergantian cepat (rapid alternating movement)


Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi disdiadokokinesis.
Disdiadochokinesis adalah istilah klinis untuk ketidakmampuan seseorang
menyeimbangkan kontraksi dan relaksasi otot agonis dan antagonis dalam
suatu gerakan. Sebelum melakukan pemeriksaan ini perlu dipastikan terlebih
dahulu bahwa pasien tidak mengalami kelemahan pada ekstremitas dan
kooperatif.
Mintalah pasien untuk menempatkan tangan mereka di paha mereka
dan lakukan gerakan supinasi dan pronasi berulang dengan cepat. Yang
diperhatikan dalam pemeriksaan ini adalah akurasi, kehalusan dan kecepatan
gerakan. Disdiadokokinesis positif apabila ada kesulitan melakukan gerakan
atau perlambatan gerakan.

45 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

3. PEMERIKSAAN GAYA BERJALAN (GAIT)


Gait dievaluasi dengan meminta pasien berjalan melintasi ruangan
mengikuti garis lurus. Adanya abnormalitas berupa tidak seimbang, goyah, tampak
canggung rentang langkah kaki harus diperhatikan. Selanjutnya mintalah pasien
untuk berjalan biasa, kemudian berjalan dengan ujung jari-jari kaki dan kemudian
berjalan dengan tumit.
Berjalan di atas tumit adalah cara yang paling sensitif untuk menguji
kelemahan dorsofleksi kaki, sementara berjalan pada jari kaki adalah cara terbaik
untuk menguji plantarfleksi kaki.

46 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

CHECKLIST PEMERIKSAAN FUNGSI PROTOPATIK/EKSTEROSEPTIF (NYERI, SUHU


DAN RABA HALUS)
No Aspek yang dinilai 0 1 2
1 Membangun hubungan personal dengan naracoba
(salam, perkenalan)
2 Menjelaskan tujuan pemeriksaan sensoris
3 Meminta naracoba berbaring dan mencobakan alat
periksa untuk mengurangi rasa takut (jarum, kapas,
tabung suhu)
4 Memeriksa sensasi di 13 titik bergantian kanan – kiri
5 Menanyakan respon naracoba di setiap titik periksa dan
perbandingan kekuatan sensasi antara kanan dan kiri
6 Menjelaskan hasil pemeriksaan

Catatan untuk mahasiswa: ………………

Skor total: ________ x 100% =


12

Instruktur Observer

(……………) (………………)

47 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

CHECKLIST PEMERIKSAAN PROPRIOSEPSI (POSISI DAN VIBRASI)


No Aspek yang dinilai 0 1 2
1 Membangun hubungan personal dengan naracoba
(salam, perkenalan)
2 Menjelaskan tujuan pemeriksaan posisi dan vibrasi
3 Meminta naracoba berbaring mencobakan getaran
vibrasi garpu tala serta membuat kesepakatan gerakan
naik dan turun
4 Memegang telapak kaki yang diperiksa dengan benar
5 Memeriksa posisi dan vibrasi di posisi kanan dan kiri
6 Menanyakan respon naracoba di setiap titik periksa
7 Mengkonfirmasi vibrasi pada diri pemeriksa ketika
naracoba sudah tidak merasakan vibrasi
8 Menjelaskan hasil pemeriksaan

Catatan untuk mahasiswa: ………………

Skor total: ________ x 100% =


16

Instruktur Observer

(……………) (………………)

48 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

CHECKLIST PEMERIKSAAN SENSORIK SEREBRAL (STEREOGNOSIA DAN


GRAPHESTESIA)
No Aspek yang dinilai 0 1 2
1 Membangun hubungan personal dengan naracoba
(salam, perkenalan)
2 Menjelaskan tujuan pemeriksaan stereognosia dan
graphestesia
3 Meminta naracoba duduk dengan santai dan
memejamkan mata
4 Meletakkan beberapa barang (pena, koin, kertas, dll)
dan menanyakan respon naracoba
5 Memeriksa sisi sebelah untuk perbandingan
6 Menulis beberapa angka dan huruf dengan alat tumpul
dan menanyakan respon naracoba
7 Memeriksa sisi sebelah untuk perbandingan
8 Menjelaskan hasil pemeriksaan

Catatan untuk mahasiswa: ………………

Skor total: ________ x 100% =


16

Instruktur Observer

(……………) (………………)

49 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

CHECKLIST PEMERIKSAAN SENSORI SEREBRAL (DISKRIMINASI 2 TITIK DAN


NEGLECT/INATTENTION)
No Aspek yang dinilai 0 1 2
1 Membangun hubungan personal dengan naracoba
(salam, perkenalan)
2 Menjelaskan tujuan pemeriksaan diskriminasi 2 titik
dan neglect/inattention
3 Mencoba alat yang akan dilakukan untuk pemeriksaan
diskriminasi 2 titik sebelum melakukan pemeriksaan
sebenarnya
4 Meminta naracoba duduk dengan santai dan
memejamkan mata
5 Menstimulasi 2 titik bersamaan area kulit naracoba dan
menanyakan jumlah stimulasi yang dirasakan
6 Mengukur jarak terpendek yang masih dipersepsikan
sebagai 2 stimulus oleh naracoba
7 Menyentuh 2 bagian yang homolog pada naracoba
secara bersamaan (misalnya tangan kanan dan tangan
kiri)
8 Meminta naracoba untuk merasakan sisi mana yang
diberikan sentuhan
9 Menjelaskan hasil pemeriksaan

Catatan untuk mahasiswa: ………………


Skor total: ________ x 100% =
18

Instruktur Observer

(……………) (………………)

50 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

CHECKLIST PEMERIKSAAN RAPID ALTERNATING MOVEMENT (DISDIADOKOKINESIS)


No Aspek yang dinilai 0 1 2
1 Membangun hubungan personal dengan naracoba
(salam, perkenalan)
2 Menjelaskan tujuan pemeriksaan
3 Meminta naracoba duduk dan menjelaskan gerakan
yang perlu dilakukan
4 Menginstruksikan pasien untuk melakukan gerakan
supinasi dan pronasi dengan cepat
5 Menerangkan hasil pemeriksaan

Catatan untuk mahasiswa: ………………

Skor total: ________ x 100% =


10

Instruktur Observer

(……………) (………………)

51 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

CHECKLIST PEMERIKSAAN DISMETRIA (TES HIDUNG-TELUNJUK/TELUNJUK-


TELUNJUK, HEEL TO SHIN)
No Aspek yang dinilai 0 1 2
1 Membangun hubungan personal dengan naracoba
(salam, perkenalan)
2 Menjelaskan tujuan pemeriksaan dismetria
3 Menjelaskan dan mencontohkan gerakan yang akan
diminta untuk dilakukan
4 Melakukan tes hidung ke telunjuk/telunjuk ke telunjuk
dengan mata naracoba terbuka
5 Melakukan tes hidung ke telunjuk/telunjuk ke telunjuk
dengan mata naracoba tertutup
6 Memeriksa sisi sebelah untuk perbandingan
7 Meminta naracoba berbaring supinasi dengan kaki
diluruskan
8 Melakukan tes ‘heel to shin’
9 Memeriksa sisi sebelah untuk perbandingan
10 Menjelaskan hasil pemeriksaan

Catatan untuk mahasiswa: ………………

Skor total: ________ x 100% =


20

Instruktur Observer

(……………) (………………)

52 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

CHECKLIST PEMERIKSAAN GAIT


No Aspek yang dinilai 0 1 2
1 Membangun hubungan personal dengan naracoba
(salam, perkenalan)
2 Menjelaskan tujuan pemeriksaan gait
3 Meminta naracoba berdiri dan memberI contoh gerakan
4 Memeriksa cara berjalan tandem pada garis lurus
5 Memeriksa cara berjalan dengan ujung kaki
6 Memeriksa cara berjalan tumit
7 Menjelaskan hasil pemeriksaan

Catatan untuk mahasiswa: ………………

Skor total: ________ x 100% =


14

Instruktur Observer

(……………) (………………)

53 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

CHECKLIST PEMERIKSAAN KESEIMBANGAN (ROMBERG DAN PAST POINTING)


No Aspek yang dinilai 0 1 2
1 Membangun hubungan personal dengan naracoba
(salam, perkenalan)
2 Menjelaskan tujuan pemeriksaan Romberg dan past
pointing
3 Dengan mata terbuka, instruksikan naracoba
mengekstesikan siku dan jari telunjuknya ke atas
kemudian menyentuh jari pemeriksa berulang kali
4 Dengan mata tertutup, instruksikan naracoba
mengekstesikan siku dan jari telunjuknya ke atas
kemudian menyentuh jari pemeriksa
5 Meminta naracoba berdiri pada posisi pemeriksaan dan
menempatkan diri di belakang pasien
6 Melakukan pemeriksaan dengan mata naracoba terbuka
7 Melakukan pemeriksaan dengan mata naracoba
tertutup
8 Menjelaskan hasil pemeriksaan

Catatan untuk mahasiswa: ………………

Skor total: ________ x 100% =


16

Instruktur Observer

(……………) (………………)

54 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

DAFTAR PUSTAKA
Campbell WW, 2005, Dejong’s The Neurologic Examination 6th ed, Lippincott
Williams & Wilkins, Washington.
DeMyer WE, 2004, Technique of The Neurologic Examination 5th ed, McGraw-Hill,
New York.
Estiasari R, Zairinal R.A, Islamiyah W.R, 2018, Pemeriksaan Klinis Neurologis Praktis
Umum Edisi Pertama, Kolegium Neurologi Indonesia, Perhimpunan Dokter
Spesialis Saraf Indonesia.
Fenderson CB & Ling WK, 2009, Neuro Notes Clinical Pocket Guide, FA Davis
Company, Philadelphia.
Sidharta P, 1999, Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi, Dian Rakyat, Jakarta
Fuller G, 2005, Neurological Examination Made Easy 3rd ed, Churchill Livingstone,
UK.

55 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

PEMERIKSAAN SARAF KRANIAL

dr. Lothar Matheus, M.V.S, Sp.N, Dr. dr. Rizaldy Pinzon Sp.S., M.Kes ; dr. Sugianto
Sp.S., M.Kes., Ph.D ; dr.Laksmi Asanti, Sp.S, dr.Kriswanto Widyo, Sp.S,
dr.Katherina Adisaputro

Tujuan pembelajaran:
Setelah mengikuti praktikum ketrampilan medik ini maka mahasiswa diharapkan:
1. Mampu menyebutkan 12 pasang saraf kranial dan fungsinya
2. Mampu menerangkan tatacara pemeriksaan saraf kranial
3. Mampu melakukan pemeriksaan saraf cranial I-XII
4. Mampu menyimpulkan hasil pemeriksaan dan memberikan informasi kepada
pasien tentang hasil pemeriksaan

Pendahuluan
Saraf kranial adalah semua saraf yang keluar dari otak melalui foramen kranial.
Ada 12 pasang (3 pasang saraf sensorik murni, 5 pasang motorik murni, 4 pasang
campuran sensorik dan motorik).
1. Saraf sensorik murni: N. I (n.olfactorius), N.II (n.opticus) dan N.VII
(n.vestibulocochlearis)
2. Saraf motorik murni: N.III (n.occulomotorius), N.IV (n.trochlearis), N.VI
(n.abducens), N.XI (n.accesoris), dan N.XII (n.hypoglosal)
3. Saraf campuran motorik dan sensorik: N.V (n.trigeminus), N.VII (n.facialis), N.IX
(n.glossopharingeal), N.X (n.vagus)

No Saraf kranial Komponen Fungsi


I Olfactorius Sensorik Fungsi menghidu
II Optikus Sensorik Tajam penglihatan, input
sensorik reflex pupil
III Okulomatorius Motorik Gerakan bola mata, elevasi
palpebra superior,
konstriksi pupil dan lensa
IV Trochlearis Motorik Gerakan bola mata ke
medial bawah
V Trigeminus
(I)Oftalmikus Sensorik Input sensor kornea dan
wajah bagian atas
(II)Maksilaris Sensorik

56 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Input dagu, bibir atas,


rongga hidung
(III)Submandibularis Sensorik, motorik Input lidah, bawah dagu,
mengunyah
VI Abdusen Motorik Gerakan mata ke lateral
VII Facialis Sensorik, motorik Pengecapan, salivasi,
lakrimasi, gerakan otot
wajah
VIII Vestibulocochlearis Sensorik Vestibular untuk
keseimbangan, cochlearis
untuk pendengaran
IX Glossopharingeus Sensorik, motorik Pengecapan, salivasi dan
menelan
X Vagus Sensorik, motorik Menelan, baroreseptor,
suara, denyut jantung
XI Assesorius Motorik Pergerakan muskulus
sternocleidomastoid dan
trapezius
XII Hipoglosus Motorik Pergerakan lidah

Tatacara pemeriksaan
Pada saat memeriksa saraf kranial, yang perlu diperhatikan pada umumnya
adalah adanya asimetri antara sisi kanan dan kiri. Agar pemeriksaan saraf kranial
dapat memberikan informasi yang diperlukan, kerjasama yang baik antara pemeriksa
dan penderita adalah syarat mutlak.
Sebelum mulai diperiksa jelaskan mengenai tujuan pemeriksaan untuk dapat
menegakkan diagnosis. Penderita diminta untuk menjawab semua pertanyaan
sejelas mungkin dan mengikuti semua petunjuk sebaik mungkin. Pada umumnya
pemeriksaan dilakukan dengan posisi pasien duduk. Jelaskan tatacara pemeriksaan
kepada pasien, persiapkan alat, lakukan pemeriksaan, catat hasilnya dan buatlah
kesimpulan.

57 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

A. Nervus olfaktorius
Anatomi dan fisiologi nervus optikus
Fungsi penghidu jaras olfaktorius yang terdiri dari bagian berikut: mukosa
olfaktorius pada bagian atas kavum nasal, fila olfaktoria,dan bulbus subkalosal
pada sisi medial orbita lobus frontal. Saraf ini merupakan saraf sensorik murni
yang serabut-serabutnya berasal dari membran mukosa hidung dan menembus
area kribriformis os. etmoidal untuk bersinaps di bulbus olfaktorius, dari sini,
traktus olfaktorius berjalan dibawah lobus frontal dan berakhir di lobus temporal
bagian medial sisi yang sama.
Sistem olfaktorius merupakan satu-satunya sistem sensorik yang impulsnya
mencapai korteks tanpa melalui proses di talamus. Bau-bauan yang dapat
memprovokasi timbulnya nafsu makan dan induksi salivasi serta bau busuk yang
dapat menimbulkan rasa mual dan muntah menunjukkan bahwa sistem ini ada
kaitannya dengan emosi. Serabut utama yang menghubungkan sistem penciuman
dengan area autonom adalah medial forebrain bundle dan stria medularis
talamus. Emosi yang menyertai rangsangan olfaktorius mungkin berkaitan ke
serat yang berhubungan dengan talamus, hipotalamus dan sistem limbik.

Tatacara pemeriksaan
Sebelum melakukan pemeriksaan, pemeriksan harus memastikan bawah
tidak terdapat obstruksi hidung yang dapat mengaburkan hasil pemeriksaan
nervus olfaktorius. Anamnesis mengenai gejala pilek, hidung tersumbat dan
fraktur pada hidung perlu dilakukan.
Inspeksi ruam, kelainan bentuk hidung dan masing-masing lubang hidung.
Evaluasi patensi dari saluran hidung bilateral dengan meminta pasien untuk
bernapas dalam melalui hidung sementara pemeriksa menutup satu lubang
hidung pada suatu waktu bergantian.
Setelah yakin bahwa tidak terdapat obstruksi, mintalah pasien untuk
menutup mata mereka untuk masuk ke dalam pemeriksaan nervus olfaktorius.
Tutup satu lubang hidung dan berikan stimulasi bau yang mudah dikenali
(kopi,teh, tembakau) pada sisi lubang hidung lainnya. Mintalah pasien untuk
menghidu objek tersebut identifikasi aromanya. Pada saat pemeriksaan, mata

58 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

pasien tetap tertutup. Ganti lubang hidung dan ulangi. Mintalah pasien untuk
membandingkan kekuatan bau di setiap lubang hidung.
Hasil pemeriksaan dapat berupa hilangnya sensasi penghidu total
(anosmia), penurunan sensasi penghidu (hiposmia) atau peningkatan sensasi
penghidu (hiperosmia)
Pemeriksaan ini tidak dilakukan secara rutin di praktek klinik, perkecualian
adalah pada pasien yang melaporkan gangguan fungsi menghidu (pada umumnya
pasca trauma kepala atau inhalasi zat beracun).

Gambar 1. Pemeriksaan nervus olfaktorius

B. Nervus optikus
Anatomi dan fisiologi nervus optikus
Saraf optikus merupakan saraf sensorik murni yang dimulai di retina.
Serabut-serabut saraf ini, ini melewati foramen optikum di dekat arteri
optalmika dan bergabung dengan saraf dari sisi lainnya pada dasar otak untuk
membentuk kiasma optikum. Orientasi spasial serabut-serabut dari berbagai
bagian fundus masih utuh sehingga serabut-serabut dari bagian bawah retina
ditemukan pada bagian inferior kiasma optikum dan sebaliknya. Serabut-serabut
dari lapangan visual temporal (separuh bagian nasal retina) menyilang kiasma,
sedangkan yang berasal dari lapangan visual nasal tidak menyilang.
Serabut-serabut yang berasal dari kiasma optikum berakhir di kolikulus
superior, dimana terjadi sinaps dengan kedua nuklei saraf okulomotorius. Sisa

59 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

serabut yang meninggalkan kiasma berhubungan dengan penglihatan dan


berjalan di dalam traktus optikus menuju korpus genikulatum lateralis. Dari sini
serabut-serabut membentuk radiasio optika melewati bagian posterior kapsula
interna dan berakhir di korteks visual primer lobus oksipital. Dalam
perjalanannya serabut tersebut memisahkan diri sehingga serabut untuk lapang
penglihatan kuadran bawah melalui lobus parietal sedangkan untuk lapang
penglihatan kuadaran atas melalui lobus temporal. Akibat dari penyilangan pada
kiasma optikum serabut-serabut yang berasal dari lapangan penglihatan kiri
berakhir di lobus oksipital kanan dan sebaliknya.

Tatacara pemeriksaan
Pemeriksaan fungsi nervus optikus meliputi:
1. Pemeriksaan tajam penglihatan (visual acuity),
2. Pemeriksaan lapang pandang (visual field),
3. Refleks pupil,
4. Pemeriksaan fundus okuli,
5. Tes warna

1. Pemeriksaan tajam penglihatan (visual acuity)


Penglihatan tajam penglihatan diperiksa dengan snellen chart, jari
tangan, dan gerakan tangan, pen light. Pemeriksaan tajam penglihatan
dilakukan dengan penglihatan 1 mata, sehingga mata yang tidak diperiksa
perlu ditutup.
a. Snellen chart: pada pemeriksaan kartu memerlukan jarak enam meter
antara pasien dengan chart. Ketajaman penglihatan normal bila baris
yang bertanda 6 dapat dibaca dengan tepat oleh setiap mata (visus 6/6).
b. Jari tangan: apabila pada baris pertama Snellen chart pasien tak dapat
melihat huruf, maka dilanjutkan dengan pemeriksaan dengan jari tangan.
Normal jari tangan bisa dilihat pada jarak 60 meter tetapi bila hanya bisa
melihat pada jarak 2 meter, maka perkiraan visusnya adalah kurang lebih
2/60.
c. Lambaian tangan: apabila pada jarak 1 meter pasien tidak dapat
mengidentifikasi jari tangan, maka dilanjutkan dengan pemeriksaan

60 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

lambaian tangan. Normal lambaian tangan bisa dilihat pada jarak 300
meter tetapi bisa melihat pada jarak 1 meter berarti visusnya kurang
lebih 1/300.
d. Pen light (persepsi cahaya): apabila lambaian tangan pasien tidak dapat
identifikasi, maka dilanjutkan dengan mengarahkan cahaya senter/pen
light pada mata. Apabila pasien dapat melihat cahaya, maka visusnya
adalah light perception. Tetapi apabila tidak dapat mengidentifikasi
cahaya, maka visusnya adalah no light perception.

Gambar 2. Pemeriksaan tajam penglihatan dengan kartu Snellen

2. Pemeriksaan Lapang Pandang


Syarat pemeriksaan lapang pandang pemeriksa harus normal.
Pemeriksaan lapang pandang dapat menghasilkan informasi tentang saraf
optikus dan lintasan penglihatan mulai dari mata hingga korteks oksipitalis.
Penglihatan perifer diperiksa dengan tes konfrontasi atau dengan
perimetri/kampimetri.
Tes Konfrontasi dilakukan dengan jarak antara pemeriksa–pasien 50–
100 cm dengan ketinggian mata yang sama. Mata yang yang tidak diperiksa
ditutup, pemeriksa juga menutup sisi mata yang berseberangan dengan mata
pasien yang ditutup. Pasien diminta fokus pada mata pemeriksa. Jari
pemeriksa ditempatkan tepat di tengah-tengah jarak tersebut. Jari
pemeriksa digerakan sejauh mungkin mengikuti arah mata angin. Mulai dari
lapang pandang kuardan kiri, atas, bawah dan tengah.

61 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Gambar 3. Tes konfrontasi untuk lapang pandang

Instruksikan pasien untuk konfirmasi apakah melihat jari pemeriksa


pada lokasi titik terjauh tersebut. Apabila pemeriksa masih melihat jarinya
tetapi pasien tidak dapat melihat maka terjadi gangguan lapang pandang.
Pola gangguan ada jaras nervus optikus terhadap lapang pandang dapat
dilihat pada gambar 4.

62 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

3. Refleks Pupil
Aferen refleks pupil berasal dari nervus optikus sedangkan saraf
aferennya adalah nervus okulomotorius. Yang dinilai pada pemeriksaan
refleks pupil adalah:
a. Ukuran pupil
Pada kondisi pencahayaan normal, diameter pupil berukuran 3-4 mm.
Bila ukurannya kurang dari 2 mm dinamakan miosis, bila lebih dari 5
mm dinamakan midriasis.
b. Simetrisitas pupil
Ukuran pupil normalnya simetris antara kanan dan kiri dan diistilahkan
sebagai isokor. Perbedaan signifikan atau anisokor apabila perbedaan
diameter ≥ 2 mm karena perbedaan 1 mm ditemukan pada 15-20 %
individu normal
c. Posisi pupil
Pada keadaan normal, posis pupil ada ditengah iris.
d. Refleks pupil
Ada dua macam refleks pupil:
- Refleks pupi/cahayal langsung: diperiksa dengan memakai senter
kecil, arahkan sinar dari samping (sehingga pasien tidak memfokus
pada cahaya dan tidak berakomodasi) ke arah salah satu pupil untuk
melihat reaksinya terhadap cahaya. Inspeksi kedua pupil dan ulangi
prosedur ini pada sisi lainnya. Pada keadaan normal pupil yang
disinari akan mengecil.
- Refleks pupil/cahaya konsensual: mengarahkan sinal pada satu
pupil dan memeriksa respon pupil pada sisi yang lain. Normalnya
bila satu pupil disinari maka serentak pupil lainnya mengecil dengan
ukuran yang sama.

4. Pemeriksaan fundus okuli (funduskopi)


Alat yang digunakan adalah oftalmoskop. Putar lensa ke arah O dioptri
maka fokus dapat diarahkan kepada fundus, kekeruhan lensa (katarak) dapat
mengganggu pemeriksaan fundus. Bila retina sudah terfokus carilah terlebih
dahulu diskus optikus. Caranya adalah dengan mengikuti perjalanan vena

63 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

retinalis yang besar ke arah diskus. Semua vena-vena ini keluar dari diskus
optikus.

Gambar 5. Pemeriksaan funduskopi

5. Tes buta warna


Pemeriksaan ini dapat dilakukan secara sederhana dengan meminta
pasien menyebutkan warna objek yang di sekitarnya. Pemeriksaan yang lebih
formal adalah dengan menggunakan kartu ishihara.

C. Nervus okulomotorius
Anatomi dan fisiologi nervus okulomotorius
Nukleus saraf okulomotorius terletak sebagian di depan substansia grisea
periakuaduktal (Nukleus motorik) dan sebagian lagi di dalam substansia grisea
(Nukleus otonom). Nukleus motorik bertanggung jawab untuk persarafan otot-
otot rektus medialis, superior, dan inferior, otot oblikus inferior dan otot levator
palpebra superior. Nukleus otonom atau nukleus Edinger-Westhpal yang
bermielin sangat sedikit mempersarafi otot-otot mata inferior yaitu spingter
pupil dan otot siliaris.
Tatacara pemeriksaan
Pemeriksaan meliputi ; Ptosis, Gerakan bola mata dan Pupil
1. Ptosis
Pada keadaan normal bila seseorang melihat ke depan maka batas kelopak
mata atas akan memotong iris pada titik yang sama secara bilateral. Ptosis

64 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

dicurigai bila salah satu kelopak mata memotong iris lebih rendah dari pada
mata yang lain, atau bila pasien mendongakkan kepal ke belakang / ke atas
(untuk kompensasi) secara kronik atau mengangkat alis mata secara kronik
pula.

2. Gerakan bola mata.


Pasien diminta untuk melihat dan mengikuti gerakan jari atau ballpoint ke
arah medial, atas, dan bawah, sekaligus ditanyakan adanya penglihatan
ganda (diplopia) dan dilihat ada tidaknya nistagmus. Sebelum pemeriksaan
gerakan bola mata (pada keadaan diam) sudah dilihat adanya strabismus
(juling) dan deviasi conjugate ke satu sisi.

Gambar 5. Pemeriksaan gerak bola mata


3. Pupil (sesuai dengan metode pemeriksaan pupil pada nervus II)
Pemeriksaan pupil meliputi :
➢ Bentuk dan ukuran pupil
➢ Perbandingan pupil kanan dan kiri, perbedaan pupil sebesar 1 mm masih
dianggap normal
➢ Refleks pupil
Meliputi pemeriksaan :
➢ Refleks cahaya langsung (bersama N. II)
➢ Refleks cahaya tidak langsung (bersama N. II)
➢ Refleks pupil akomodatif atau konvergensi

65 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Bila seseorang melihat benda didekat mata (melihat hidungnya sendiri)


kedua otot rektus medialis akan berkontraksi. Gerakan kedua bola mata ini
disebut konvergensi. Bersamaan dengan gerakan bola mata tersebut maka
kedua pupil akan mengecil (otot siliaris berkontraksi)

Gambar 6. Pemeriksaan pupil

D. Nervus trochlearis
Anatomi dan fisiologi nervus trochlearis
Nukleus saraf troklearis terletak setinggi kolikuli inferior di depan substansia
grisea periakuaduktal dan berada di bawah Nukleus okulomotorius. Saraf ini
merupakan satu-satunya saraf kranialis yang keluar dari sisi dorsal batang otak.
Saraf troklearis mempersarafi otot oblikus superior untuk menggerakkan mata
bawah, kedalam dan abduksi dalam derajat kecil.
Tatacara pemeriksaan
Pemeriksaan meliputi
1. gerak mata ke medial bawah
2. strabismus
3. diplopia

66 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

E. Nervus trigeminus
Anatomi dan fisiologi nervus trigeminus
Saraf trigeminus bersifat campuran terdiri dari serabut-serabut motorik dan
serabut-serabut sensorik. Serabut motorik mempersarafi otot masseter dan otot
temporalis. Serabut-serabut sensorik saraf trigeminus dibagi menjadi tiga
cabang utama yatu saraf oftalmikus, maksilaris, dan mandibularis. Daerah
sensoriknya mencakup daerah kulit, dahi, wajah, mukosa mulut, hidung, sinus.
Gigi maksilar dan mandibula, dura dalam fosa kranii anterior dan tengah bagian
anterior telinga luar dan kanalis auditorius serta bagian membran timpani.

Tatacara pemeriksaan
Pemeriksaan meliputi; sensibilitas, motorik dan refleks
1. Sensibilitas
Ada tiga cabang sensorik, yaitu oftalmik, maksila, mandibula.
Pemeriksaan dilakukan pada ketiga cabang saraf tersebut dengan
membandingkan sisi yang satu dengan sisi yang lain. Mula-mula tes dengan
ujung yang tajam dari sebuah jarum yang baru. Pasien menutup kedua
matanya dan jarum ditusukkan dengan lembut pada kulit, pasien ditanya
apakah terasa tajam atau tumpul. Hilangnya sensasi nyeri akan
menyebabkan tusukan terasa tumpul.
Daerah yang menunjukkan sensasi yang tumpul harus digambar dan
pemeriksaan harus di lakukan dari daerah yang terasa tumpul menuju daerah
yang terasa tajam. Juga lakukan tes pada daerah di atas dahi menuju
belakang melewati puncak kepala. Pasien disuruh mengatakan “ya” setiap
kali dia merasakan sentuhan kapas pada kulitnya.

67 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Gambar 7. Pemeriksaan sensibilitas wajah


2. Motorik
Pemeriksaan dimulai dengan menginspeksi adanya atrofi otot-otot
temporalis dan masseter. Pasien diminta mengatupkan giginya dan lakukan
palpasi adanya kontraksi masseter diatas mandibula. Pasien disuruh
membuka mulutnya (otot-otot pterigoideus) dan pertahankan tetap terbuka
sedangkan pemeriksa berusaha menutupnya. Lesi unilateral dari cabang
motorik menyebabkan rahang berdeviasi kearah sisi yang lemah (yang
terkena).

Gambar 8. Pemeriksaan Musculus Masseter

68 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

3. Refleks
Pemeriksaan refleks meliputi
➢ Refleks kornea
a. Langsung
Pasien diminta melirik ke arah laterosuperior, kemudian dari arah
lain kapas disentuhkan pada limbus kornea mata, misal pasien
diminta melirik kearah kanan atas maka kapas disentuhkan pada
kornea mata kiri dan lakukan sebaliknya pada mata yang lain.
Kemudian bandingkan kekuatan dan kecepatan refleks tersebut
kanan dan kiri saraf aferen berasal dari N. V tetapi eferannya
(berkedip) berasal dari N.VII.
b. Tak langsung (konsensual)
Sentuhan kapas pada kornea atas akan menimbulkan refleks
menutup mata pada mata kiri dan sebaliknya kegunaan pemeriksaan
refleks kornea konsensual ini sama dengan refleks cahaya
konsensual, yaitu untuk melihat lintasan mana yang rusak (aferen
atau eferen).

Gambar 9. Pemeriksaan reflex kornea

➢ Refleks bersin (nasal refleks)


➢ Refleks masseter
Untuk melihat adanya lesi UMN (certico bultar) penderita membuka mulut
secukupnya (jangan terlalu lebar) kemudian dagu diberi alas jari tangan

69 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

pemeriksa diketuk mendadak dengan palu refleks. Respon normal akan


negatif yaitu tidak ada penutupan mulut atau positif lemah yaitu penutupan
mulut ringan. Sebaliknya pada lesi UMN akan terlihat penutupan mulut yang
kuat dan cepat.

F. Nervus abduscen
Anatomi dan fisiologi nervus abduscen
Pemeriksaan meliputi gerakan mata ke lateral, strabismus konvergen dan
diplopia tanda-tanda tersebut maksimal bila memandang ke sisi yang terkena
dan bayangan yang timbul letaknya horizonatal dan sejajar satu sama lain.

Tatacara pemeriksaan
Kelainan pada paralisis nervus abdusens menyebabkan bola mata tidak bisa
bergerak ke lateral, ketika pasien melihat lurus ke atas, mata yang sakit
teradduksi dan tidak dapat digerakkan ke lateral, ketika pasien melihat ke arah
nasal, mata yang paralisis bergerak ke medial dan ke atas karena predominannya
otot oblikus inferior. Jika ketiga saraf motorik dari satu mata semuanya
terganggu, mata tampak melihat lurus keatas dan tidak dapat digerakkan
kesegala arah dan pupil melebar serta tidak bereaksi terhadap cahaya
(oftalmoplegia totalis). Paralisis bilateral dari otot-otot mata biasanya akibat
kerusakan nuklear.

G. Nervus facialis
Anatomi dan fisiologi saraf facialis
Saraf fasialis mempunyai fungsi motorik dan fungsi sensorik. Fungsi motorik
berasal dari nukleus motorik yang terletak pada bagian ventrolateral dari
tegmentum pontin bawah dekat medula oblongata. Fungsi sensorik berasal dari
nukleus sensorik yang muncul bersama nukleus motorik dan saraf
vestibulokoklearis yang berjalan ke lateral ke dalam kanalis akustikus interna.
Serabut motorik saraf fasialis mempersarafi otot-otot ekspresi wajah terdiri dari
otot orbikularis okuli, otot buksinator, otot oksipital, otot frontal, otot
stapedius, otot stilohioideus, otot digastriktus posterior serta otot platisma.
Serabut sensorik menghantar persepsi pengecapan bagian anterior lidah.

70 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Tatacara pemeriksaan
Pemeriksaan saraf fasialis dilakukan saat pasien diam dan atas perintah (tes
kekuatan otot).
Asimetri wajah; Kelumpuhan nervus VIII dapat menyebabkan penurunan
sudut mulut unilateral dan kerutan dahi menghilang serta lipatan nasolabial,
tetapi pada kelumpuhan nervus fasialis bilateral wajah masih tampak simetrik.
Gerakan-gerakan abnormal (tic facialis, grimacing, kejang tetanus/rhisus
sardonicus tremor dan seterusnya ). Ekspresi muka (sedih, gembira, takut,
seperti topeng).
Tes kekuatan otot:
1. Mengangkat alis, bandingkan kanan dan kiri.
2. Menutup mata sekuatnya (perhatikan asimetri) kemudian pemeriksa
mencoba membuka kedua mata tersebut bandingkan kekuatan kanan dan
kiri.
3. Memperlihatkan gigi (asimetri)
4. Bersiul dan mecucu
5. meniup sekuatnya, bandingkan kekuatan uadara dari pipi masing-masing.
6. Menarik sudut mulut ke bawah.

71 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Gambar 10. Tes kekuatan otot wajah

Tes sensorik khusus (pengecapan 2/3 depan lidah). Pemeriksaan dengan rasa
manis, pahit, asam, asin yang disentuhkan pada salah satu sisi lidah. Hiperakusis,
jika ada kelumpuhan N. Stapedius yang melayani otot stapedius maka suara-suara
yang diterima oleh telinga pasien menjadi lebih keras intensitasnya.

72 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

H. Nervus vestibulocochlearis
Anatomi dan fisiologi nervus vestibulocochlearis
Saraf vestibulokoklearis terdiri dari dua komponen yaitu serabut-serabut aferen
yang mengurusi pendengaran dan vestibuler yang mengandung serabut-serabut
aferen yang mengurusi keseimbangan. Serabut-serabut untuk pendengaran
berasal dari organon corti dan berjalan menuju inti koklea di pons, dari sini
terdapat transmisi bilateral ke korpus genikulatum medial dan kemudian menuju
girus superior lobus temporalis. Serabut-serabut untuk keseimbangan mulai dari
utrikulus dan kanalis semisirkularis dan bergabung dengan serabut-serabut
auditorik di dalam kanalis fasialis. Serabut-serabut ini kemudian memasuki pons,
serabut vestibutor berjalan menyebar melewati batang otak dan serebelum.

Tatacara pemeriksaan
Ada dua macam pemeriksaan yaitu pemeriksaan pendengaran dan pemeriksaan
fungsi vestibuler
1. Pemeriksaan pendengaran
Inspeksi meatus akustikus eksternus dari pasien untuk mencari adanya
serumen atau obstruksi lainnya dan membrana timpani untuk menentukan
adanya nflamasi atau perforasi. Lakukan tes pendengaran dengan
menggunakan gesekan jari, detik arloji, dan audiogram. Untuk membedakan
tuli saraf dengan tuli konduksi dipakai tes Rinne dan tes Weber.

Gambar 11. Tes fungsi pendengaran

73 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

➢ Tes Rinne
Garpu tala dengan frekuensi 256 Hz mula-mula dilakukan pada prosesus
mastoideus, dibelakang telinga, dan bila bunyi tidak lagi terdengar
letakkan garpu tala tersebut sejajar dengan meatus akustikus eksterna.
Dalam keadaan normal suara masih terdengar pada meatus akustikus
eksternus.

➢ Tes Weber
Garpu tala 256 Hz diletakkan pada bagian tengah dahi dalam keadaan
normal bunyi akan terdengar pada bagian tengah dahi pada tuli saraf
bunyi dihantarkan ke telinga yang normal pada tuli konduktif bunyi
tedengar lebih keras pada telinga yang abnormal.

Gambar 12. Tes Weber dan Tes Rinne

74 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

2. Pemeriksaan Fungsi Vestibuler


Pemeriksaan fungsi vestibuler meliputi : nistagmus, tes romberg dan
berjalan lurus dengan mata tertutup, head tilt test (Nylen – Baranny, dixxon
– Hallpike) yaitu tes untuk postural nistagmus.

I. Nervus glosofaringeus dan nervus vagus


Anatomi dan fisiologi nervus IX dan X
Saraf Glosofaringeus menerima gabungan dari saraf vagus dan asesorius
pada waktu meninggalkan kranium melalui foramen tersebut, saraf
glosofaringeus mempunyai dua ganglion, yaitu ganglion intrakranialis superior
dan ekstrakranialis inferior. Setelah melewati foramen, saraf berlanjut antara
arteri karotis interna dan vena jugularis interna ke otot stilofaringeus. Di antara
otot ini dan otot stiloglosal, saraf berlanjut ke basis lidah dan mempersarafi
mukosa faring, tonsil dan sepertiga posterior lidah.
Saraf vagus juga mempunyai dua ganglion yaitu ganglion superior atau
jugulare dan ganglion inferior atau nodosum, keduanya terletak pada daerah
foramen jugularis, saraf vagus mempersarafi semua visera toraks dan abdomen
dan menghantarkan impuls dari dinding usus, jantung dan paru-paru.

Tatacara pemeriksaan
Pemeriksaan N. IX dan N X. karena secara klinis sulit dipisahkan maka
biasanya dibicarakan bersama-sama, anamnesis meliputi kesedak (kelumpuhan
palatum), kesulitan menelan dan disartria. Pasien disuruh membuka mulut dan
inspeksi palatum dengan senter perhatikan apakah terdapat pergeseran uvula,
kemudian pasien disuruh menyebut “ah” jika uvula terletak ke satu sisi maka ini
menunjukkan adanya kelumpuhan nervus IX unilateral perhatikan bahwa uvula
tertarik kearah sisi yang sehat.
Sekarang lakukan tes refleks muntah dengan lembut (nervus IX adalah
komponen sensorik dan nervus X adalah komponen motorik). Sentuh bagian
belakang faring pada setiap sisi dengan spacula, jangan lupa menanyakan kepada
pasien apakah ia merasakan sentuhan spatula tersebut (N. IX) setiap kali
dilakukan. Dalam keadaaan normal, terjadi kontraksi palatum molle secara
refleks. Jika konraksinya tidak ada dan sensasinya utuh maka ini menunjukkan

75 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

kelumpuhan nervus X, kemudian pasien disuruh berbicara agar dapat menilai


adanya suara serak (lesi nervus laringeus rekuren unilateral), kemudian disuruh
batuk , tes juga rasa kecap secara rutin pada sepertiga posterior lidah (N. IX).

Gambar 13. Pemeriksaan nervus IX dan X

J. Nervus assesorius
Anatomi dan fisiologi nervus assecorius
Saraf asesorius mempunyai radiks spinalis dan kranialis. Radiks kranial
adalah akson dari neuron dalam nukleus ambigus yang terletak dekat neuron dari
saraf vagus. Saraf aksesoris adalah saraf motorik yang mempersarafi otot
sternokleidomastoideus dan bagian atas otot trapezius, otot
sternokleidomastoideus berfungsi memutar kepala ke samping dan otot
trapezius memutar skapula bila lengan diangkat ke atas.

Tatacara pemeriksaan
Pemeriksaan saraf asesorius dengan cara meminta pasien mengangkat
bahunya dan kemudian rabalah massa otot trapezius dan usahakan untuk
menekan bahunya ke bawah, kemudian pasien disuruh memutar kepalanya
dengan melawan tahanan (tangan pemeriksa) dan juga raba massa otot
sternokleido mastoideus.

76 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Gambar 14. Pemeriksaan fungsi nervus assecorius

K. Nervus hipoglossus
Anatomi dan fisiologi nervus hipoglossus
Nukleus saraf hipoglosus terletak pada medula oblongata pada setiap sisi
garis tengah dan depan ventrikel ke empat dimana semua menghasilkan
trigonum hipoglosus. Saraf hipoglosus merupakan saraf motorik untuk lidah dan
mempersarafi otot lidah yaitu otot stiloglosus, hipoglosus dan genioglosus.

77 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Tatacara pemeriksaan
Pemeriksaan saraf Hipoglosus dilakukan dengan cara; Inspeksi lidah dalam
keadaan diam didasar mulut, tentukan adanya deviasi, atrofi dan fasikulasi
(kontraksi otot yang halus regular dan tidak ritmik).

Gambar 15. Pemeriksaan nervus hipoglossus

78 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Nama :
NIM :
CHECKLIST PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
NILAI
NO ASPEK YANG DINILAI
0 1 2
1. Membina sambung rasa
2. Menjelaskan tujuan pemeriksaan
3. Mencuci tangan
N.I (olfactorius)
4. Memperkenalkan media bau yang akan dipakai kepada pasien
5. Meminta pasien menutup mata
6. Meminta pasien menutup sebelah hidung, mencium bau yang
diberikan dan menyebutkan hasilnya
7. Melakukan prosedur pada hidung sebelahnya
8. Melaporkan hasil pemeriksaan
N. II (opticus)
9. Melakukan pemeriksaan Acuity: (finger counting test)
10. Melakukan pemeriksaan Field : (lapang pandang)
11. Melakukan pemeriksaan Refleks : (refleks pupil direct &
indirect)
12. Menyebutkan pemeriksaan Optic disc: saya akan memeriksa
opthalmoscopy untuk memvisualisasi diskus optikus →
disebutkan saja tidak usah diperiksa
N. III, IV, VI (occulomotor, trochlearis, abducens)
13. Melakukan pemeriksaan gerak bola mata (pola H)
N. V (trigeminal)
14. Memperkenalkan pasien bagaimana sensasi tajam, raba, dan
tumpul
15. Meminta pasien menutup mata
16. Melakukan pemeriksaan sensoris tajam, raba, dan tumpul
secara acak dan meminta konfirmasi pasien apakah terasa
17. Meminta pasien untuk mengatupkan giginya sekuat-kuatnya

79 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

18. Melakukan palpasi kontraksi m. masseter & m. temporalis


19. Meminta pasien untuk membuka rahang bawah dan
menahannya dengan tangan
20. Melaporkan hasil pemeriksaan
N.VII (facialis)
21. Inspeksi wajah secara keseluruhan (simetris atau tidak, dst)
22. Meminta pasien untuk mengangkat alis, bandingkan kanan dan
kiri
23. Meminta pasien menutup mata sekuatnya, lalu pemeriksa
mencoba membuka mata pasien
24. Meminta pasien mencucu
25. Meminta pasien menggembungkan pipi dan meniup sekuat-
kuatnya
26. Meminta pasien untuk tersenyum untuk melihat sudut mulut
27. Meminta pasien untuk menunjukkan gigi
28. Menyebutkan: saya akan memeriksa sensasi rasa dari 2/3 lidah
→ disebutkan saja tidak usah diperiksa
29. Melaporkan hasil pemeriksaan
N VIII (vestibulocochlearis)
30. Memastikan ruangan dalam keadaan hening
31. Meminta pasien untuk menutup mata
32. Pemeriksa melakukan jentikan jari di dekat kedua telinga
pasien, meminta konfirmasi pasien apakah terdengar atau
tidak
33. Meminta pasien untuk berdiri tegak dengan kedua kaki rapat
34. Meminta pasien menutup mata dengan pemeriksa berdiri di
dekat pasien
35. Melaporkan hasil pemeriksaan
N . IX, X, XII (glossopharyngeus, vagus, hypoglossal)
36. Meminta pasien membuka mulut
37. Melakukan inspeksi arkus faring dengan bantuan penlight

80 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

38. Meminta pasien mengeluarkan suara "aaaaaa" lalu melihat


gerakkan palatum molle dan uvula
39. Meminta pasien untuk menjulurkan lidah
40. Melakukan inspeksi: fasikulasi, asimetris, papil atrofi/tidak,
apakah ada deviasi
41. Menanyakan : apakah ada kesulitan menelan? Dan akan
memeriksa sensasi 1/3 belakang lidah (N.IX) → disebutkan
tidak usah diperiksa
42. Melaporkan hasil pemeriksaan
N. XI (accessory)
43. Meminta pasien untuk mengangkat bahu sekuat mungkin,
pemeriksa melakukan tahanan
44. Meminta pasien untuk menoleh ke salah satu sisi, pemeriksa
mencoba menahannya sambil mengamati m.
Sternokleidomastoideus
45. Melaporkan hasil pemeriksaan
46. Menutup sesi & mengucapkan terimakasih

Nilai
0 : tidak dikerjakan
1 : dikerjakan tidak sempurna
2 : dikerjakan sempurna

Nilai = (Total : 92) x 100 =

Penguji

(__________________________)

81 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

PUNGSI VENA DAN PUNGSI ARTERI

dr. Katherina Adisaputro

PENDAHULUAN
Darah arteri akan dialirkan ke seluruh tubuh untuk memenuhi kebutuhan
metabolik. Komposisi darah arteri dipengaruhi oleh aktivitas metabolik oleh jaringan
yang dialiri oleh pembuluh darah arteri tersebut, dan dapat bervariasi dipengaruhi
oleh letak bagian tubuh dan waktu (misal: aktivitas otot yang berbeda pada waktu
tertentu). Perbedaan paling besar dari darah arteri dan vena adalah kandungan
oksigen, pH, karbon dioksida, volume sel, klorida, glukosa, asam laktat, serta produk
metabolit yang lainnya. Perbedaan antara darah arteri dan vena akan semakin besar
jika ada gangguan sirkulasi baik lokal maupun sistemik. Darah arteri merupakan
pilihan spesimen utama untuk mengevaluasi fungsi respiratori maupun metabolik.
Sebelum melakukan prosedur pungsi arteri untuk mengambil sampel, perlu
diketahui komplikasi dari prosedur, hal-hal yang akan mempengaruhi hasil
pemeriksaan, dan pencegahan yang perlu dilakukan untuk melindungi pasien dan
dokter. Contoh hal yang akan mempengaruh hasil pemeriksaan adalah kondisi pasien
dalam anxietas yang akan mengubah pola pernafasan, dan akan mengubah komposisi
gas darah dalam kurang dari semenit.

ANATOMI
Sirkulasi sistemik manusia dapat dibagi menjadi sistem arterial dan vena.
Sistem alirah darah vena akan kembali ke vena cava, atrium kanan, kemudian darah
akan dipompa oleh jantung bagian ventrikel kanan ke paru-paru melalui arteri
pulmonalis untuk oksigenasi. Darah yang sudah teroksigenasi akan melalui atrium
kiri menuju ventrikel kiri, kemudian akan dipompa melewati aorta dan seluruh
tubuh.

82 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Gambar 1. Sirkulasi darah manusia

Sistem vena terdiri dari vena superficial dan profunda. Vena superficial yang
digunakan untuk venipuncture/ pungsi vena. Vena superficial dan profunda pada
ekstremitas bawah tidak memiliki percabangan yang banyak. Contohnya vena
saphena magna yang mengumpukan darah dari bagian dorsal kaki akan mengalir ke
atas langsung ke vena popliteal. Karena thrombosis pada vena superficial dari
ekstremitas bawah dapat dengan mudah terjadi, karena itu vena-vena ini sering
dihindari.
Berikut ini merupakan bagian-bagian dari pembuluh darah:
a. Tunica Intima:
Bagian ini merupakan lapisan endothelial yang juga merupakan pembentuk
katub (arteri tidak memiliki katub). Katub dapat mempengaruhi dalam penarikan
darah jika insersi jarum dilakukan di dekat katub. Membetulkan posisi dari jarum IV
dapat memperlancar aliran darah, Komplikasi dari prosedur IV line sering terjadi di
bagian ini (contoh: phlebitis, thrombus) Luka dari lapisan ini dapat terjadi karena:
KERUSAKAN MEKANIS: karena insersi atau pergerakan yang terlalu masif dari
kateter IV.
KERUSAKAN KIMIA: karena administrasi dari cairan yang mengiritasi.
BAKTERI.

83 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

b. Tunica Media
Lapisan tengah dari vena terdiri dari otot dan jaringan elastis. Lapisan ini
tebal dan membentuk vena. Arteri memiliki tunica media yang lebih kuat, sehingga
lebih sulit kolaps daripada vena. Stimulasi atau iritasi dari jaringan ini dapat
menyebabkan spasme dari vena atau arteri, yang dapat menggganggu aliran darah
dan menyebabkan nyeri. Aplikasi dari suhu yang hangat dapat menyebabkan
vasodilatasi dan mengurangi nyeri. Jika terjadi venospasm, kompres dengan air
hangat dapat membantu untuk mengurangi spasme.
c. Tunica Adventicia
Bagian ini terdiri dari jaringan lunak areolar yang menyokong pembuluh darah.

Gambar 2. Lapisan pembuluh darah

Pungsi vena dapat dilakukan di beberapa pembuluh darah, antara lain vena
superfisialis di dorsum tangan, vena pada fossa antecubiti (cephalica dan basilica),
kaki bagian belakang (dorsum), sedangkan pada bayi baru lahir dan balita dapat
dilakukan di scalp kepala. Akses paling cepat pada orang dewasa dapat dilakukan di
vena femoralis , karena pembuluh darah ini besar dan mudah dicari.

84 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Vena lengan bagian


atas
Didaerah fossa
antecubiti (bagian
segitiga siku bagian
depan) terdapat 3
vena penting yang
perlu diidentifikasi:
1. Vena cephalica
2. Vena basilica (di
sisi ulnar)
3. Vena mediana
cubiti
Vena antebrachii
Vena di daerah ini
merupakan
perpanjangan dari
lengan bagian atas,
vena yang perlu
diidentifikasi:
1. Vena cephalica
2. Vena
antebrachial
3. Vena basilica

85 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Vena dorsum manus


Vena di dorsum
manus terbentuk
oleh vena dorsal
metacarpal. Ada
beberapa vena yang
perlu diidentifikasi:
1. Vena cephalica
(sisi median)
2. Vena basilica
(sisi ulnar)
3. Vena dorsum
metacarpal
(dorsal manus)
Scalp veins
Vena yang perlu diidentifikasi: vena temporalis superficialis, vena auricilaris
posterior, vena frontalis.

86 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Vena di kaki
Vena perifer di kaki yang perlu diidentifikasi: Vena saphena magna, vena saphena
parva, dan jaringan vena dorsal;

Tabel 1. Lokasi-lokasi pungsi vena

87 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Gambar 3. Lokasi pungsi vena tangan

88 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Sedangkan untuk pungsi arteri, ada beberapa pilihan arteri yang dapat dipilih.
Kriteria untuk pemilihan arteri antara lain: adanya sirkulasi kolateral, seberapa
besar dan dapat diakses atau tidak, dan tipe jaringan di sekitar lokasi pungsi. Daerah
yang dipilih tidak boleh ada iritasi, iflamasi, atau dekat dengan luka. Jangan pernah
memilih lokasi dengan A-V shunt atau fistula.
Lokasi pemilihan arteri dapat dilihat berikut ini:
Arteri radialis
Ini merupakan pilihan pertama untuk
Analisis Gas Darah (AGD). Lokasinya
mudah dicari, meski memiliki diameter
lebih kecil daripada daerah lain.

Arteri brachialis
Ini merupakan arteri pilihan kedua
untuk AGD. Terletak di fossa
antecubital bagian medial

Arteri femoralis
Meski ini merupakn arteri paling besar, namun arteri ini merupakan pilihan terakhir
untuk AGD. Terletak superfisial di selangkangan, lateral dari tulang pubis.

Tabel 2. Lokasi pungsi arteri

89 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

TEKNIK PROSEDUR
Pada prosedur pungsi vena maupun arteri, ada beberapa pilihan pembuluh
darah yang bisa diambil sampelnya. Untuk pungsi arteri, a. Radialis merupakan
pilihan yang sering dipakai. Sedangkan untuk pungsi vena, meskipun pembuluh darah
seperti v. mediana cubiti, v. cephalica merupakan pembuluh darah yang lebih besar
dan lebih berisi, vena-vena lain di tangan dan pergelangan tangan juga dapat
digunakan untuk pungsi vena.
Beberapa daerah harus dihindari saat memilih letak pungsi:
• Bekas luka operasi dan luka bakar.
• Edema.
• Ekstremitas atas pada sisi tubuh yang sudah dilakukan mastectomy sebelumnya
(hasil dapat terpengaruh karena adanya lymphedema).
• Hematoma.
• Lengan yang menerima transfusi iv maupun transfusi darah (cairan akan
mendilusi spesimen, jadi ambil sampel dari lengan satunya.)

Apabila terpaksa mengambil darah dari lengan yang terpasang iv line, prosedur ini
dapat dilakukan:
1. Matikan iv line minimal 2 menit sebelum pungsi vena.
2. Pasang tourniquet di bawah daerah yang terpasang iv line. Pilih vena yang lain
(jangan memilih vena yang terpasang iv line).
3. Lakukan pungsi vena, ambil darah 5 ml dahulu lalu buang. Setelah itu baru ambil
sampel yang dibutuhkan.

Pada teknik pungsi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, salah satunya
adalah bevel. Berikut hal yang harus diperhatikan mengenai bevel:
1. Bevel dari jarum harus menghadap ke atas (menghadap pemeriksa).
2. Apabila bevel terekspos saat melakukan pungsi sebelum mengambil sampel
darah, jarum dikatakan sudah terkontaminasi dan tidak diperbolehkan untuk
memasukkan jarum tersebut lagi. Prosedur harus diulang di tempat pembuluh
darah lain menggunakan jarum yang baru.
3. Jika bevel terekspos saat mengambil darah, kebocoran darah dapat terjadi.
Jangan panik apabila hal ini terjadi. Cukup lepas tourniquet, lepas jarum, dan
lakukan penekanan pada daerah pungsi dengan kapas.

90 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Gambar 4. Bevel
Ada beberapa kesulitan yang mungkin dialami saat proses pengambilan sampel. Ada
beberapa teknik yang dapat dilakukan untuk mengatasinya. Contohnya seperti
berikut:

Darah tidak cukup diambil / tidak ada darah yang keluar / darah berhenti
mengalir
Problem: Jarum mungkin belum
masuk ke dalam lumen.
✓ Dorong jarum ke depan.

Problem: Jarum masuk terlalu


dalam.
✓ Tarik jarum sedikit.

Problem: Posisi jarum kurang


tepat. (bevel mungkin tertutup
dinding vena)
✓ Perbaiki sudut jarum
Problem: Vena kolaps.
✓ Kencangkan tourniquet
untuk meningkatkan
pengisian vena, jika tidak
berhasil → lepas jarum,
ulangi prosedur
Problem: Hemtoma di bawah
kulit
✓ Lepas tourniquet dengan
cepat dan tarik jarum.

91 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Problem: darah berwarna


merah terang (darah arteri).
✓ Lepas jarum dan lakukan
penekanan pada daerah
pungsi. Ambil sampel
darah di vena lain (jika
prosedur yang dilakukan
adalah pungsi vena, bukan
pungsi arteri)

Tabel 3. Problem pungsi vena

92 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

TEKNIK KOREKSI
Step 1: Tarik jarum sampai bevel
tepat di bawah kulit

Step 2: Palpasi vena (± 0,5 cm di atas


letak pungsi, jangan di daerah
pungsi), jangan menekan jarum.

Step 3: dorong jarum ke arah vena


(atur kembali posisi, sudut, arah
jarum)

Step 4: Cek apakah darah keluar.


Jika menggunakan Vacutainer tube
akan terisi darah dengan sendirinya,
sedangkan untuk spuit harus
diaspirasi secara manual.
CATATAN !
Jika bevel terekspos, jarum
terkontaminasi dan tidak dapat
dimasukkan kembali.
Prosedur harus dihentikan, dan
diulang di lokasi lain dengan jarum
yang baru.

Tabel 4. Teknik koreksi

JENIS VACUUM TUBES

93 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

No Tipe tube/warna Zat aditif Cara kerja Kegunaan


1 Botol Kultur darah Broth mixture Mempertahankan Mikrobiologi-
(strip kuning- mikroorganisme aerobe, anaerobe,
hitam) tetap hidup jamur
2 Tube Koagulasi Sodium citrate Membentuk Tes koagulasi
(biru muda) garam kalsium (protime &
untuk prothrombin time)
menyingkirkan
kalsium
3 Clot activator Clot activator Membentuk Kimia darah,
(merah) jendalan darah, immunologi &
dipisahkan serologi, bank
dengan serum darah (cross
dengan cara match)
sentrifugasi
4. Tube serum - Mengandung gel Kimia darah,
separator (merah- di dasar tube immunologi &
abu2 atau emas) untuk serologi
memisahkan
serum dan darah
dengan
sentrifugasi
5. Sodium heparin Sodium Inaktivasi Sodium heparin ➔
(hijau gelap) heparin atau thrombin dan check lithium
lithium thromboplastin
heparin
6. PST (hijau muda) Antikoagulan Menseparasi Kimia darah
lithium plasma
heparin dan
gel separator
7. EDTA (ungu) EDTA Membentuk Hematologi, Bank
garam kalsium darah (Cross-
untuk match)
menyingkirkan
kalsium
8 Tube darah (kuning Acid-citrate- Inaktivasi HLA tissue typing,
pucat) dextrose (ACD, komplemen paternity testing,
ACDA, atau DNA studies
ACDB)

94 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

9 Oxalate/fluoride Sodium Agen Glukosa


(abu-abu muda) fluoride dan antiglycolytic membutuhkan full
potassium mempertahankan draw (jika short
oxalate glukosa hingga 5 draw dapat
hari menyebabkan
hemolisis)

Tabel 5. Tipe Vacuum tube

PERSIAPAN ALAT (JARUM & SPUIT)


Secara garus besar teknik untuk pengambilan darah dapat dibagi, yaitu closed
system dan open system . Closed system merupakan teknik yang lebih aman dan
mudah. Salah satu contoh sistemnya adalah Vacuum extraction . Ukuran jarum
double ended ada bermacam-macam. Salah satu ujungnya tertutup dengan tutup
karet yang terpasang di barrel (atau diketahui dengan nama tube holder, evacuated
tube needle holder atau bulldog). Tube sampel memiliki tekanan negatif di
dalamnya. Jika jarum sudah masuk ke vena, darah akan teraspirasi automatis hingga
jumlah yang dibutuhkan tercukupi. Buang barrel dan jarum setelah digunakan. Jika
akan menggunakan barrel kembali, gunakan teknik satu tangan.
Open system termasuk jarum hipodermis dan spuit, begitu juga dengan wing
needle. Berikut ini contoh sistem untuk pengambilan darah:

Needle and syringe system Vacum extraction system

Winged butterfly system (Vacuum


extraction) Winged butterfly system (syringe)

Tabel 6. Tipe spuit dan jarum

95 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Pemilihan jarum dapat dilihat di tabel berikut:


Gauge Dewasa Anak-anak, orang Neonatus Procedure
jarum tua, vena kecil

16-18 Donasi darah

19-20 NA NA NA

21 ✓ NA NA

22 ✓ ✓ NA

23 ✓ ✓ (winged-set ✓ (winged-
butterfly) set
butterfly)

Tabel 7. Ukuran jarum

96 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

PUNGSI VENA

INDIKASI dan KONTRAINDIKASI


Indikasi:
- Mengambil sampel darah untuk tujuan diagnosis (analisis hematologis, biokimia,
dan bakterial).
- Memonitor komponen darah.

PERSIAPAN PUNGSI VENA


Kontrol Infeksi (baik untuk pungsi vena maupun arteri):
Lakukan Jangan lakukan
Cuci tangan 6 langkah (minimal 30 JANGAN lupa mencuci tangan
detik)
Gunakan sarung tangan non steril JANGAN menggunakan sarung tangan yang
sama untuk pasien lain
Gunakan alat-alat sekali pakai JANGAN menggunakan jarum, spuit yang
sama pada lebih dari 1 pasien
Lakukan disinfeksi pada daerah pungsi JANGAN menyentuh daerah pungsi setelah
di disinfeksi
Buang alat-alat bekas pakai (jarum JANGAN membiarkan jarum diluar tempat
tidak di recapping, langsung buang ke sampah benda tajam
tempat sampah benda tajam)
Jika harus melakukan recapping, JANGAN melakukan recapping dengan dua
gunakan teknik 1 tangan tangan
Segera laporkan kejadian seperti JANGAN menunda PEP setelah
tertusuk jarum, lakukan post terkontaminasi jarum; >72 jam PEP tidak
exposure prophylaxis (PEP) segera efektif

Tabel 8. Kontrol Infeksi

97 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

PERSIAPAN ALAT
Siapkan alat-alat pada tempat yang mudah dijangkau (contoh: trolley).
Peralatan yang dibutuhkan antara lain:
1. Tabung sampel laboratorium. Ada beberapa tipe:
- Tabung kaca atau plastik dengan tutup karet
- Vacuum-extraction blood tube
- Tabung kaca dengan tutup ulir.
2. Sarung tangan non-steril
3. Spuit dan jarum
4. Tourniquet
5. Alcohol swab 70%
6. Alchohol hand rub
7. Kapas atau plester
8. Label spesimen laboratorium

PERSIAPAN PASIEN
1. Perkenalkan diri ke pasien, tanyakan nama lengkap pasien.
2. Periksa form laboratorium untuk mencocokkan identitas pasien.
3. Tanyakan apa pasien ada alergi, phobia, atau pernah pingsan saat pengambilan
darah.
4. Jika pasien tampak cemas, tenangkan pasien dan tanyakan apa yang akan
membuat pasien lebih baik.
5. Posisi pasien supine (jika memungkinkan).
6. Letakkan handuk persih atau kertas bersih di bawah lengan pasien.
7. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan dan lakukan verbal informed consent.

PROSEDUR
1. Ekstensikan lengan pasien dan inspeksi daerah fossa antecubiti dan lengan
bawah.
2. Pilih vena yang tampak jelas (vena harus dapat diidentifikasi sebelum memasang
torniquet). Vena medianus biasanya tampak jelas dan paling mudah untuk
dilakukan pungsi. Di bawah vena basillica terdapat arteri dan vena, karena itu
jika dilakukan pungsi disini ada risiko untuk merusak saraf atau arteri, dan
biasanya lebih nyeri. Jangan lakukan pungsi pada vena yang berkelok-kelok
(risiko untuk haematoma).

98 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

3. Pasang tourniquet 4-5 jari diatas lokasi pungsi vena dan periksa ulang vena.
4. Cuci tangan 6 langkah dengan air atau hand-rub.
5. Pakai sarung tangan non-steril.
6. Bersihkan daerah pungsi menggunakan alkohol 70% secara sirkular (diameter ±
2cm), tunggu 30 detik hingga alkohol kering.
JANGAN MENYENTUH daerah yang sudah dilakukan disinfeksi.
7. Fiksasi vena yang akan dilakukan pungsi dengan memegang lengan pasien dan
memposisikan jempol di BAWAH daerah pungsi.
8. Minta pasien untuk menggenggam tangan agar vena lebih prominen.
9. Masukkan jarum ke vena dengan sudur 30º atau kurang, dan lanjutkan masukkan
jarum ke vena dengan sudut paling mudah untuk dimasukkan.

Gambar 5. Posisi sudut jarum

10. Jika darah sudah cukup diambil, lepas tourniquet SEBELUM jarum diambil.
11. Tarik jarum perlahan dan lakukan tekanan pada daerah pungsi dengan kapas
kering.
12. Minta pasien untuk menahan kapas dengan posisi tangan ekstensi dan diangkat.
JANGAN meminta pasien untuk menekuk siku, karena akan meningkatkan risiko
terjadinya haematoma.
13. Masukkan darah ke dalam tabung dengan perlahan. (Terlalu cepat dapat
meningkatkan risiko hemolysis)

99 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

ILUSTRASI PUNGSI INTRAVENA

1. Persiapan alat

2. Cuci tangan 3. Persiapan dan posisikan pasien

100 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

5. Pasang tourniquet, jarak 4-5 jari di


atas daerah venapungsi, cek ulang
4. Identifikasi vena vena

6. Minta pasien untuk mengepalkan 7. Pakai sarung tangan non- steril


jari (vena menjadi lebih prominen)

8. Disinfeksi menggunakan alkohol


9. Pertahankan vena dengan
70%, biarkan kering 30 detik
meletakkan jempol di atas area
pungsi

101 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

10. Masukkan jarum dengan sudut 30º


atau kurang 11. Saat darah sudah cukup, lepas
tourniquet SEBELUM menarik
jarum

12. Tarik jarum perlahan dan 13. Buang jarum dan spuit yang sudah

letakkan kapas kering dengan dipakai di tempat sampah benda


tekanan tajam

14. Jika tube tidak memiliki rubber


stopper, masukkan darah ke dalam
tabung perlahan untuk
menghindari hemolisis (lebih aman 15. Pasang stopper pada tube
jika jarum sudah dilepas)

102 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

16. Gulirkan tabung untuk mencampur


zat aditif dengan darah 17. Pastikan label sudah tepat

18. Buang sampah medis ke tempat 19. Cuci tangan


sampah khusus

Tabel 9. Ilustrasi pungsi vena

PUNGSI ARTERI
INDIKASI, KONTRAINDIKASI, KOMPLIKASI
Indikasi: Memonitor kondisi status respiratori atau metabolik.
Kontraindikasi:
• Oklusi arteri ulnar (pemeriksaan modified Allen test: negatif)
• Infeksi, inflamasi, kemerahan pada daerah yang akan dipungsi.
• Kontraindikasi relatif untuk pasien dengan Raynaud’s phenomenon.

Komplikasi:
• Arteriospasm atau kontraksi involunter arteri; dapat dicegah dengan membuat
pasien relaks.

103 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

• Haematoma atau perdarahan yang berlebih dapat dihindari dengan memasukkan


jarum tanpa menembus kedua sisi pembuluh darah, dan melakukan penekanan
segera setelah darah diambil.
• Nerve damage; dapat dihindari dengan memilih letak pungsi yang tepat dan
menghindari perubahan sudut jarum.
• Vasovagal response (yang sering terjadi: pingsan); dapat dicegah dengan
memposisikan pasien supine dengan kaki dielevasi.
• Problem lain seperti: hipotensi, keluhan seperti ingin pingsan, berkeringat atau
pucat.

PERSIAPAN PUNGSI ARTERI


A. PERSIAPAN ALAT
1. Kapas dan alkohol
2. Spuit 3cc atau 5cc yang sudah diberi heparin. (aspirasi 0,5 cc heparin ke dalam
spuit)
3. OPTIONAL: spuit 3cc dengan lidocaine 1%.
4. Jarum (ukuran 20G, 23G, atau 25G), pilih ukuran sesuai dengan lokasi yang
akan dilakukan pungsi (ukuran yang lebih kecil memiliki risiko lisis lebih
besar).
5. Sarung tangan non-steril
6. Bandage
7. Kontainer berisi es (untuk transportasi ke laboratorium, jika analisis darah
tidak dilakukan di tempat pengambilan darah).

B. PERSIAPAN PASIEN
1. Perkenalkan diri ke pasien, tanyakan nama lengkap pasien
2. Periksa form laboratorium untuk mencocokkan identitas pasien
3. Tanyakan apa pasien ada alergi, phobia, atau pernah pingsan saat
pengambilan darah
4. Jika pasien tampak cemas, tenangkan pasien dan tanyakan apa yang akan
membuat pasien lebih baik
5. Posisi pasien supine (jika memungkinkan)
6. Letakkan handuk persih atau kertas bersih di bawah lengan pasien

104 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

7. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan dan lakukan verbal informed


consent.

PROSEDUR
Lokasi pungsi dapat dilakukan di beberapa arteri. Berikut ini merupakan
prosedur yang akan dilakukan pada arteri radialis.
1. Introduksi diri ke pasien, dan tanyakan nama lengkap pasien.
2. Posisikan pasien dalam posisi senyaman mungkin, tubuh berbaring rileks. Posisi
tangan sedikit dorsofleksi. Jika pasien dalam kondisi cemas, menahan nafas, atau
menangis dapat mempengaruhi hasil.
3. Identifikasi arteri radialis, dan lakukan tes Allen (prosedur di bawah) untuk
memeriksa sirkulasi kolateral. Jika tes Allen negatif, ulangi tes dengan tangan
yang satunya. Jika letak sudah diidentifikasi dan tes Allen positif, berikan tanda
anatomis agar mudah untuk menemukan letak tersebut, jika akan mempalpasi
daerah pungsi lagi gunakan sarung tangan steril.
4. Cuci tangan, persiapkan alat. Gunakan pelindung wajah untuk antisipasi darah
yang mengucur.
5. Disinfeksi daerah pungsi dengan 70% alkohol dan biarkan mengering.
6. Jika spuit belom disiapkan, pasang needle pada spuit yang sudah diberi heparin,
dan tarik plunger spuit hingga batas darah yang dibutuhkan.
7. OPTIONAL: Berikan sedikit anestesi (ex: Lidocaine 1% tanpa epinephrine) pada
daerah pungsi.
8. Pegang spuit dan jarum seperti memegang dart, palpasi menggunakan jari II & III
tangan kiri, dan tusukkan jarum searah 45º , 1 cm lebih distal daripada jari
telunjuk untuk menghindari kontaminasi.
9. Dorong jarum perlahan ke dalam arteri radialis hingga darah flashback muncul,
dan biarkan darah memenuhi spuit hingga jumlah yang dibutuhkan. HINDARI
menarik plunger spuit.
10. Tarik jarum, letakkan kapas pada daerah pungsi dan minta pasien atau asisten
untuk menekan pada daerah pungsi untuk mengentikan perdarahan selama 2-3
menit. Jika darah masih mengucur, dapat dilakukan penekanan yang lebih lama
(prosedur dapat dilakukan 5 menit atau lebih pada pasien dengan tekanan darah
tinggi, kelainan pembekuan darah, atau sedang dalam konsumsi antikoagulan).

105 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

11. Aktivasi mekanisme safety needle untuk menutupi jarum sebelum diletakkan
dalam kontainer es (jika tidak ada alat safety needle, gunakan teknik recapping
1 tangan).
12. Buang gelembung udara, tutup jarum, dan gelindingkan spuit di antara kedua
tangan untuk mencampur darah.
13. Berikan label.
14. Buang peralatan habis pakai.
15. Cuci tangan.
16. Cek kembali lokasi pungsi arteri pasien (apakah masih ada perdarahan atau
tidak).
17. Menutup sesi dan mengirimkan sampel ke laboratorium.

ILUSTRASI PUNGSI ARTERI

2. OPTIONAL: Berikan sedikit


1. Posisikan pasien sedikit
anestesi (ex: 1% lidocaine tanpa
dorsifleksi, bersihkan kulit
epinephrine) pada daerah
dengan antiseptik, palpasi arteri
pungsi.
radialis.

3. Pegang jarum seperti dart, 4. Setelah darah keluar, hentikan


dengan bevel menghadap atas. menusuk jarum lebih dalam.
Palpasi arteri dengan jari II dan

106 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

III. Lakukan pungsi pada area Jika tulang tertusuk, tarik


distal dari jari, dengan sudut 45º perlahan.
masuk ke dalam arteri.

5. Tarik jarum saat darah sudah


6. Buang gelembung udara dari spuit.
sudah teraspirasi dengan cukup.
Bawa sampel ke laboratorium.
Letakkan bandage dan lakukan
penekanan selama 2-5 menit.

MODIFIED ALLEN TEST

Tes ini dilakukan untuk mengukur kompetensi arteri, dan harus dilakukan sebelum
mengambil sampel darah arteri. Prosedur yang dilakukan seperti berikut:

1. Instruksikan pasien untuk menggenggam tangan, jika pasien tidak dapat menerima
instruksi, tutup tangan pasien dan genggam dengan kencang.
2. Dengan menggunakan jari, lakukan tekanan oklusi pada arteri radialis dan arteri
ulnaris.
3. Saat melakukan tekanan oklusi pada kedua arteri, minta pasien untuk
merelaksasikan genggaman tangannya, dan lihat telapak tangan dan jari. Apabila
tangan menjadi pucat, berarti terjadi oklusi pada arteri. (Jika belum menjadi pucat,
berarti jari pemeriksa kurang mengoklusi arteri).
4. Lepaskan penekanan arteri ulnaris.
• Hasil positif jika: darah mengaliri tangan dalam 5-15 detik. (hasil normal)
• Hasil negatif jika: darah tidak mengaliri tangan dalam 5-15 detik, hal ini
mengindikasikan bahwa sirkulasi ulnar tidak adekuat; pada situasi ini pungsi
arteri radialis tidak boleh dilakukan.

107 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

REFERENSI
CLSI. 2004. Procedures for the Collection of Arterial Blood Specimens;
Approved Standard-Fourth Edition. CLSI. United States of America.
Grady, N.P., Alexander., M.R.N., Burns, L.A., et al. 2011. Guidelines for the
Prevention of Intravascular Catheter-Related Infection. CDC. United States of
America.
Highnell, R.N. 2014. Peripheral Intravenous Initiation. Fraser Health
Authority. British.
Medtexx. 2007. Fundamentals Of Phlebotomy. Medtexx Medical Corporation.
Orlando.
World Health Organization. 2010. WHO guidelines on drawing blood: best
practices in phlebotomy. WHO. Switzerland.
CHECK LIST PUNGSI INTRAVENA
Nama Mahasiswa : NIM :
NILAI
NO ASPEK YANG DINILAI
0 1 2
1. Membina sambung rasa
2. Menjelaskan prosedur dan tujuan prosedur
3. Melakukan informed consent
4. Mempersiapkan alat
5. Mengidentifikasi vena yang akan digunakan
Memasang tourniquet pada daerah proksimal dari
6. tempat suntikan (4-5 jari di atas lokasi pungsi),
periksa ulang vena.
7. Cuci tangan 6 langkah
8. Memakai sarung tangan bersih
Membersihkan area kulit sekitar vena dengan kapas
9. alkohol (secara sirkular, central ke perifer), biarkan
mengering selama 30 detik
Fiksasi vena yang akan dilakukan pungsi dengan
10. memegang lengan pasien dan memposisikan jempol
di bawah daerah pungsi
11. Minta pasien untuk menggengam tangan
Masukkan jarum ke vena dengan sudut 30º atau
12.
kurang, bevel menghadap atas

108 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

13. Aspirasi darah secukupnya (3-5 cc)


14. Lepaskan tourniquet
Tarik jarum perlahan, lakukan tekanan pada daerah
15.
pungsi dengan kapas
Minta pasien untuk menahan kapas dengan posisi
16. tangan ekstensi dan diangkat (jangan lebih rendah
daripada jantung)
Masukkan darah ke dalam tabung dengan perlahan,
17.
gulirkan tabung untuk mencampur darah
18. Melepas sarung tangan
Membuang alat-alat tajam ke tempah sampah benda
19.
tajam, dan sampah lainnya ke limbah medis
20. Cuci tangan 6 langkah
21. Menutup sesi & mengirimkan sampel ke laboraturium
TOTAL
Nilai 0 : tidak dikerjakan 1 : dikerjakan tidak sempurna 2 : dikerjakan sempurna
Nilai = (Total : 42) x 100 =
Penilai,

(__________________________)

109 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

CHECK LIST PUNGSI ARTERI


Nama Mahasiswa : NIM :
NILAI
NO ASPEK YANG DINILAI
0 1 2
1. Membina sambung rasa
2. Menjelaskan prosedur dan tujuan prosedur
3. Melakukan informed consent
4. Mempersiapkan alat (termasuk spuit dengan heparin)
5. Mengidentifikasi arteri radialis, lakukan Tes Allen
6. Cuci tangan 6 langkah
7. Memakai sarung tangan bersih
Membersihkan area kulit sekitar vena dengan kapas
8. alkohol (secara sirkular, central ke perifer), biarkan
mengering selama 30 detik
Pegang spuit dan jarum seperti memegang dart,
palpasi menggunakan jari II & III tangan kiri, tusukkan
9.
jarum searah 45º, 1 cm lebih distal untuk
menghindari kontaminasi.
Dorong jarum perlahan ke dalam arteri hingga darah
10. flashback muncul, biarkan darah memenuhi spuit
hingga jumlah yang dibutuhkan (3-5cc)
11. Tarik jarum, letakkan kapas pada daerah pungsi.
Minta pasien atau asisten untuk menekan daerah
12.
pungsi selama 2-5 menit
Buang gelembung udara, pasang safety needle atau
13.
lakukan recapping dengan 1 tangan
Gelindingkan spuit di antara kedua tangan untuk
14.
mencampur darah
15. Berikan label
Membuang alat-alat tajam ke tempah sampah benda
16.
tajam, dan sampah lainnya ke limbah medis
17. Melepas sarung tangan
18. Cuci tangan 6 langkah
19. Cek kembali lokasi pungsi arteri (cek perdarahan)
20. Menutup sesi & mengirimkan sampel ke laboratorium
TOTAL

110 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Nilai 0 : tidak dikerjakan 1 : dikerjakan tidak sempurna 2 : dikerjakan sempurna


Nilai = (Total : 40) x 100 =
Penilai,

(__________________________)

111 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

BLOK 1M SISTEM INDERA


1. ANAMNESIS SISTEM INDERA
2. PEMERIKSAAN FISIK SISTEM INTEGUMEN
3. PEMERIKSAAN FISIK TELINGA,HIDUNG, DAN TENGGOROKAN
4. PEMERIKSAAN FISIK MATA

112 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

ANAMNESIS SISTEM INDERA

dr. Chinthia Liliany

Anamnesis merupakan salah satu keterampilan komunikasi yang harus


dimiliki oleh seorang dokter. Anamnesis yang dilakukan dengan baik dapat
menghasilkan informasi yang dapat digunakan untuk pengambilan keputusan
terutama dalam proses terapi pasien. Oleh karena itu, pentingnya melatih
keterampilan anamnesis sejak dini. Anamnesis dapat dilakukan secara
autoanamnesis (secara langsung pada pasien) maupun heteroanamnesis (dengan
pengantar pasien/ keluarga pasien).
Terdapat banyak organ pada tubuh manusia yang bekerja bersama-sama
membentuk suatu sistem. Salah satunya adalah sistem indera. Sebelum menentukan
pemeriksaan yang akan dilakukan, dimulai dengan anamnesis terkait masalah-
masalah yang sering ditemui pada sistem indera. Pembelajaran sistem indera kali ini
meliputi organ Mata dan THT (Telinga, hidung, tenggorokan).
Anamnesis dapat dilakukan dengan pertanyaan yang runtut dan sistematis.
Secara garis besar, anamnesis dapat dimulai dengan menanyakan :
1. Identitas pasien : Nama, Usia, Alamat, Jenis Kelamin, Pekerjaan, Status
perkawinan
2. Riwayat Penyakit Sekarang (menggali keluhan utama dilanjutkan dengan
keluhan penyerta)
3. Riwayat Penyakit Dahulu
4. Riwayat Keluarga
5. Riwayat pribadi (gaya hidup, social-ekonomi, dan budaya)

Berikut daftar masalah yang dapat dijumpai :

Sumber : SKDI 2012

113 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

❖ MATA
Gejala-gejala mata dapat dibagi dalam tiga kategori dasar yakni kelainan
penglihatan, kelainan tampilan mata, dan kelainan sensasi mata-nyeri dan rasa
tidak nyaman.
Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan pada kasus mata untuk menggali
Riwayat Penyakit Sekarang :
1. Lokasi (unilaterall atau bilateral)
2. Onset gejala (perlahan, cepat, atau asimptomatik)
3. Durasi gejala (singkat atau menetap)
4. Derajat gejala (ringan, sedang, berat)
5. Hal yang memperburuk dan memperingan
6. Pengobatan yang pernah dijalani
DAFTAR PENYAKIT MATA
Tingkat
No Daftar Penyakit
Kemampuan

Konjungtiva
1 Benda asing di konjungtiva 4A
2 Konjungtivitis 4A

3 Pterigium 3A
4 Perdarahan subkonjungtiva 4A

5 Mata Kering 4A
Kelopak Mata (Palpebra)

6 Blefaritis 4A

7 Hordeolum 4A
8 Chalazion 3A
9 Laserasi Kelopak Mata 3B
10 Trikiasis 4A

Aparatus Lakrimalis

11 Dakrioadenitis 3A
12 Dakriosistitis 3A

Sklera
13 Skleritis 3A

114 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

14 Episkleritis 4A
Kornea

15 Keratitis 3A
16 Xerophtalmia 3A

Anterior Chamber
17 Hifema 3A

18 Hipopion 3A

Iris dan Badan Silier


19 Iridosisklitis, iritis 3A

20 Akomodasi dan Refraksi


21 Hipermetropia 4A

22 Miopia ringan 4A

23 Astigmatism ringan 4A
24 Presbiopia 4A

25 Anisometropia pada dewasa 3A


26 Buta senja 4A

Glaukoma
27 Glaukoma akut 3B

28 Glaukoma lainnya 3A

❖ THT (Telinga, Hidung, Tenggorokan)


Anamnesis THT dapat digali setiap organ. Anamnesis telinga dapat
ditanyakan terkait gangguan pendengaran, kebisingan dalam kepala (tinitus),
pusing (vertigo), atau ketidakseimbangan, sekret telinga, dan nyeri telinga. Untuk
hidung, umunya dapat mengeluhkan beberapa gejala berikut : ingusan, hidung
tersumbat, pilek, sakit kepala atau nyeri, epistaksis, bersin, adanya
pembengkakan, hilangnya atau perubahan penciuman. Anamnesis Tenggorokan
termasuk mulut, faring, dan kelenjar ludah. Biasanya gejala yang dapat ditemui :
nyeri, perdarahan, adanya massa atau benjolan, kesulitan menelan atau bicara,
adanya sekret dan gangguan pengecap. Jika didapati gejala tersebut, harus
dilakukan penggalian lebih dalam. Berikut beberapa masalah THT yang sering
ditemui.

115 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

DAFTAR MASALAH TELINGA

Tingkat
No Daftar Penyakit
Kompetensi
Telinga, Pendengaran, dan Keseimbangan

29 Inflamasi pada aurikular 3A

30 Herpes zoster pada telinga 3A


31 Fistula pre-aurikular 3A

32 Otitis eksterna 4A
33 Otitis media akut 4A

34 Otitis media serosa 3A


35 Otitis media kronik 3A

36 Mastoiditis 3A
37 Miringitis bullosa 3A
38 Benda asing 3A

39 Perforasi membran timpani 3A


40 Otosklerosis 3A

41 Presbiakusis 3A

42 Serumen prop 4A
43 Mabuk perjalanan 4A

44 Trauma akustik akut 3A


45 Trauma aurikular 3B

DAFTAR MASALAH HIDUNG

Tingkat
No Daftar Penyakit
Kompetensi
Hidung dan Sinus Hidung

46 Furunkel pada hidung 4A

116 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

47 Rhinitis akut 4A
48 Rhinitis vasomotor 4A

49 Rhinitis alergika 4A
50 Rhinitis kronik 3A

51 Rhinitis medikamentosa 3A
52 Sinusitis 3A

53 Sinusitis kronik 3A

54 Benda asing 4A
55 Epistaksis 4A

Kepala dan Leher


56 Tortikolis 3A

57 Abses Bezold 3A

Dengan mengetahui gejala-gejala dari anamnesa dan mengetahui berbagai penyakit


yang dapat ditemui terkait Mata & THT, diharapkan dapat memikirkan diagnosa
banding sesuai keluhan yang dialami pasien. Kemampuan anamnesis yang baik dapat
terbentuk seiring dengan pengetahuan/ dasar ilmu kedokteran yang baik juga.
No 0 1 2
1. Memberi salam, memperkenalkan diri dan
mempersilahkan pasien

2. Membuat pasien nyaman dan melakukan kontak mata


3. Menggali Identitas

3. Menanyakan Riwayat Penyakit sekarang

- Keluhan utama
1. Lokasi
2. Onset gejala
3. Durasi gejala
4. Derajat gejala
5. Hal yang memperburuk dan memperingan
6. Pengobatan yang pernah dijalani
- Adakah keluhan penyerta

4. Menanyakan riwayat penyakit dahulu


- Riwayat serupa

117 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

- Penyakit sistemik (Diabetes, Hipertensi, anemia)


5. Anamnesis system menyeluruh :
Adakah keluhan seperti demam, BB menurun?
6. Riwayat Penyakit keluarga :
- strabismus, amblyopia, glaucoma, katarak, keganasan,
diabetes, hipertensi
7. Riwayat pribadi terkait gaya hidup, sosial-ekonomi dan
budaya
Meliputi :


Adakah kebiasaan mengkonsumsi obat berbal,
alcohol, obat warung dan rokok ?
• Aktifitas terkait faktor risiko terhadap mata dan
THT
10. Melakukan Resume anamnesis
11. Memberikan pasien kesempatan untuk bertanya

12. Menutup sesi dengan meminta infomed consent untuk


melanjutkan ke Pemeriksaan fisik

118 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

DAFTAR PUSTAKA
1. Indonesia, S.K.D., 2012. Peraturan KKI No. 11/2012. KKI. Jakarta.
2. Eva, Paul R. & Ausburger, James J. 2018. Vaughan & Asbury’s General
Opthalmology Ed 19th. Mc Graw Hill. USA.
3. Adams, G.L., Boies, L.R., Higler, P.A. 2012. Boies Buku Ajar Penyakit THT
Edisi 6. EGC. Jakarta.

119 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

PEMERIKSAAN FISIK SISTEM INTEGUMEN

dr. Arum Krismi, M.Sc, Sp.KK


dr. Lintang Unggul Rini, Sp.DV

TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Mahasiswa mengetahui tentang cara pemeriksaan fisik sistem integumen yang
benar
2. Mahasiswa dapat melakukan pemeriksaan fisik sistem integumen menggunakan
kaca pembesar dan senter dengan benar kepada naracoba
3. Mahasiswa dapat mendeskripsikan lesi sistem integumen dengan benar dan
sistematis

PENDAHULUAN
Sistem integumen yang terdiri dari kulit dan alat-alat tambahannya (rambut,
kuku, kelenjar sebasea, kelenjar sudorifera apokrin dan ekrin) merupakan organ
tubuh yang terletak paling luar dan membatasi tubuh dari lingkungan hidup manusia.
Luas kulit pada orang dewasa kurang lebih 1,6-2 m2 dengan berat sekitar 6-7% berat
badan atau kira-kira 3-4 kg. Sistem integumen merupakan organ yang esensial dan
vital serta merupakan jendela keadaan umum dan sosial tubuh yang mencerminkan
kesehatan dan kehidupan seseorang.
Keadaan umum tubuh yang tercermin dari sistem integumen antara lain
adalah status gizi, imunologi, endokrin, hematologi, kardiovaskular, dan neurologis.
Sistem integumen juga dapat menjadi jendela bagi kelainan genetik, obstetrik,
metastasis kutan, dan keadaan toksik. Fungsi sistem integumen sebagai jendela
sosial tubuh adalah menunjukkan tanda ras dan etnis, identifikasi individu,
perkembangan seksual, kecantikan, perkiraan usia, emosi, serta tingkat sosial.
Pemeriksaan fisik sistem integumen hanya memerlukan dua modalitas
pemeriksaan yaitu inspeksi dan palpasi. Hasil akhir dari pemeriksaan fisik (inspeksi
dan palpasi) sistem integumen dituangkan dalam suatu deskripsi lesi yang sistematis,
yang sangat penting dalam penegakan diagnosis kelainan-kelainan sistem integumen
secara klinis.

120 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

PEMERIKSAAN KULIT
a. Inspeksi
Inspeksi dilakukan untuk mengamati ujud lesi kulit. Supaya hasil inspeksi
dapat akurat, pemeriksaan sebaiknya dilakukan dalam ruang periksa yang terang
dengan lampu bersinar putih, tidak menyilaukan dan tidak panas, lebih baik dinding
bercat putih, serta ber-AC. Jika objek pemeriksaan tidak jelas, dapat digunakan
kaca pembesar untuk melihat lebih dekat dan jelas. Senter dan/atau lampu
penerangan tambahan bersinar putih juga dapat digunakan.
Inspeksi pada pemeriksaan fisik sistem integumen dilakukan segera setelah
menanyakan keluhan utama pasien, bersamaan dengan anamnesis terarah untuk
melengkapi data diagnostik. Apabila diperlukan, dapat dilakukan inspeksi terhadap
sistem integumen tubuh pasien secara menyeluruh, yang meliputi pemeriksaan
membran mukosa, daerah perianal, kuku, rambut, dan skalp, serta kelenjar limfe,
sebelum mencermati lesi kulit dengan lebih teliti. Pemeriksaan secara menyeluruh
ini terutama dilakukan pada pasien dengan kelainan sistem integumen tertentu,
misalnya pemfigus atau psoriasis.
Setiap kelainan sistem integumen menimbulkan lesi kulit (disebut juga dengan
efloresensi, ruam, rash, atau Ujud Kelainan Kulit/UKK) tertentu baik primer maupun
sekunder. Ujud kelainan kulit primer disebabkan karena kausa inti yang khas untuk
setiap kelainan; sedangkan UKK sekunder dapat merupakan lanjutan atau akibat dari
UKK primer, maupun akibat pengaruh dari luar seperti trauma garukan atau
pengobatan yang diberikan. Ujud kelainan kulit primer misalnya makula, patch,
papul, plak, urtika, nodul, vesikel, bula, pustul, dan kista; sedangkan UKK sekunder
misalnya skuama, krusta, erosi, ekskoriasi, ulkus, fisura, jaringan parut, fistula, dan
gangren. Di samping UKK primer dan sekunder, terdapat beberapa UKK khusus yang
khas bagi kelainan sistem integumen tertentu, misalnya komedo, burrow, milia,
delle, purpura, telangiektasis, dan hiperkeratosis.

121 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Ketika melakukan inspeksi sistem integumen, perhatikanlah hal-hal berikut:


Hal yang diperiksa Kemungkinan hasil pemeriksaan
makula, patch, papul, plak, urtika, nodul,
UKK primer
vesikel, bula, pustul, kista
skuama, krusta, erosi, ekskoriasi, ulkus,
UKK sekunder
fisura, jaringan parut, fistula, gangren
komedo, burrow, milia, delle, purpura,
UKK khusus
telangiektasis, hiperkeratosis
sianosis, ikterik, pucat, eritem, dan
Warna UKK
sebagainya
Batas tegas, tidak tegas
teratur (bulat, lonjong, poligonal, polisiklik,
Bentuk anular, serpiginosa, umbilicated), tidak
teratur
Ukuran UKK miliar, lentikular, numular
Jumlah UKK tunggal, multipel
berkelompok (herpetiformis, arsinar,
Susunan (UKK multipel) anular, retikulata, linear, korimbiformis),
tersebar
penyebaran (tunggal, lokalisata, regional,
generalisata, universal), pola (simetris,
Distribusi
exposed areas, daerah tekanan, daerah
lipatan, folikular, acak, dermatomal)

b. Palpasi
Hasil pengamatan saat inspeksi dikuatkan dengan teknik pemeriksaan
berikutnya yaitu palpasi. Palpasi dilakukan untuk menilai tekstur, konsistensi lesi,
perubahan suhu, dan mobilitas; untuk mencari ada tidaknya tanda-tanda radang akut
seperti dolor, kalor, rubor, tumor, dan fungsiolesa; ada tidaknya pembesaran
kelenjar getah bening regional maupun generalisata, serta untuk meyakinkan pasien
bahwa lesi kulit tersebut tidak berbahaya. Palpasi juga dapat dilakukan
menggunakan pita ukur atau penggaris untuk mengukur besarnya lesi kulit, lebar
luka, maupun diameternya. Di samping itu, terdapat beberapa pemeriksaan khusus
yang dapat dilakukan saat palpasi, antara lain pemeriksaan diaskopi, pemeriksaan
fungsi sensorik sistem integumen, tanda Nikolsky, tanda Auspitz, dan sebagainya.
Ketika melakukan palpasi sistem integumen, perhatikanlah hal-hal berikut:

122 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Hal yang diperiksa Kemungkinan hasil pemeriksaan


Tekstur halus, verukosa, velvety, digitate
Konsistensi lunak, keras, kaku, berfluktuasi
Perubahan suhu panas, dingin
Mobilitas (kemudahan lapisan kulit untuk perhatikan adanya rasa nyeri, dan
digerakkan) perkirakan kedalaman UKK

PEMERIKSAAN RAMBUT
Rambut merupakan salah satu alat tambahan kulit yang terdapat pada seluruh
tubuh kecuali telapak tangan, telapak kaki, kuku, dan bibir. Pada tempat tertentu
rambut akan mengalami elongasi atau pemanjangan, yaitu pada kepala. Rambut di
kepala mempunyai fungsi kosmetik, protektif, dan diagnostik untuk keadaan internal
tertentu (misalnya malnutrisi).
Pemeriksaan rambut pada kulit kepala dimulai dari inspeksi dan palpasi kulit
di daerah batas kulit kepala dengan rambut, dilanjutkan dengan inspeksi dan palpasi
kulit di daerah belahan rambut, batang rambut, dan hair pull test. Inspeksi dan
palpasi kulit di daerah batas kulit kepala dengan rambut serta di daerah belahan
rambut dilakukan dengan cara sama seperti pemeriksaan kulit di atas.
Inspeksi dan palpasi batang rambut dilakukan menggunakan kaca pembesar
dan senter atau lampu penerangan tambahan bersinar putih. Palpasi batang rambut
dilakukan dengan cara memegang kedua ujung rambut dan menariknya ke arah yang
berlawanan untuk mengetahui kekuatan rambut, serta menggulirkan rambut di
antara ibu jari dan jari telunjuk pemeriksa untuk mengetahui kerapuhan rambut.
Hair pull test dilakukan dengan cara mengambil 50-100 helai rambut secara
bersamaan dan ditarik dengan lembut dari pangkal hingga ujung rambut, ulangi
tindakan tersebut di beberapa daerah kulit kepala. Hasil tes dikatakan abnormal jika
terdapat lebih dari 2 helai rambut yang lepas pada tiap daerah.
Ketika melakukan pemeriksaan rambut, perhatikanlah hal-hal berikut:
Inspeksi Palpasi
Warna (hitam, pirang, kecoklatan, dan sebagainya) Tekstur (kasar, halus,
bercabang)
Kuantitas (banyak, sedikit) Kekuatan, kerapuhan
Distribusi (rata, jarang-jarang, lokalisata) Hair pull test
Kebersihan

123 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Adanya lesi
Pola distribusi (temporal, oksipital, dan sebagainya)
Lesi tambahan (adanya telur kutu atau kutu dewasa,
ketombe, dan sebagainya)
Kondisi kulit di sekitarnya

PEMERIKSAAN KUKU
Kuku merupakan salah satu alat tambahan kulit yang mengandung lapisan
tanduk yang terdapat pada ujung-ujung jari tangan dan kaki. Fungsi kuku selain
membantu jari-jari untuk memegang juga digunakan sebagai cermin kecantikan.
Pemeriksaan kuku dimulai dari inspeksi dan palpasi kulit di daerah nail fold,
dilanjutkan inspeksi dan palpasi nail plate.
Ketika melakukan pemeriksaan kuku, perhatikanlah hal-hal berikut:
Inspeksi Palpasi
Warna (pink, pucat, merah, sianotik) Tekstur
Bentuk (normal lonjong dengan ujung datar atau lancip) Konsistensi
Sudut (normal, mengecil atau mendatar) Ketebalan
Kebersihan Kekuatan
Adanya lesi Adanya nyeri
Pola distribusi lesi
Kondisi kulit di sekitarnya

DESKRIPSI LESI SISTEM INTEGUMEN


Deskripsi lesi sistem integumen, selain sangat penting dalam penegakan
diagnosis, juga digunakan sebagai sarana komunikasi dalam bidang kedokteran untuk
menjelaskan atau menggambarkan kelainan-kelainan sistem integumen. Oleh sebab
itu, seorang dokter sebaiknya dapat mendeskripsikan lesi sistem integumen secara
sistematis. Deskripsi lesi sistem integumen yang sistematis diwujudkan dalam sebuah
kalimat yang terdiri atas penjelasan mengenai lokasi, hasil inspeksi dan palpasi,
serta distribusi lesi.

124 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

DAFTAR ISTILAH
Istilah Bentuk Lesi Keterangan

Perubahan warna kulit tanpa


perubahan tekstur dan
Makula
konsistensi, dengan diameter
<0,5 cm

Perubahan warna kulit tanpa


perubahan tekstur dan
Patch
konsistensi, dengan diameter
≥0,5 cm

Peninggian di atas permukaan


kulit yang berisikan zat padat,
infiltrat terletak di epidermis
Papul
dan/atau dermis pars papillare,
dengan diameter <0,5 cm

Peninggian di atas permukaan


kulit yang berisikan zat padat,
Plak infiltrat terletak di epidermis
dan/atau dermis pars papillare,
dengan diameter ≥0,5 cm

125 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Edema sementara pada dermis


atau dermis-subkutis, timbul
Urtika
mendadak dan hilang perlahan-
lahan

Peninggian di atas permukaan


kulit yang berisikan zat padat,
Nodul infiltrat terletak di dermis pars
retikulare dan/atau subkutis,
dengan diameter ≥0,5 cm

Peninggian di atas permukaan


Vesikel kulit yang berisikan cairan,
dengan diameter <0,5 cm

Peninggian di atas permukaan


Bula kulit yang berisikan cairan,
dengan diameter ≥0,5 cm

126 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Peninggian di atas permukaan


Pustul kulit yang berisikan pus, dengan
diameter <0,5 cm

Ruangan berdinding dan berisikan


cairan, sel, maupun sisa sel;
dinding berupa selaput yang
Kista
terdiri atas jaringan ikat dan
biasanya dilapisi sel epitel atau
endotel

Penebalan stratum korneum yang


Skuama
kemudian terlepas dari kulit

Merupakan cairan tubuh (serum,


pus, atau darah) yang mengering,
dapat bercampur dengan jaringan
Krusta
nekrotik maupun benda asing
(kotoran, obat, bakteri, dan
sebagainya)

Hilangnya jaringan kulit yang


Erosi
tidak melewati stratum basalis

127 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Istilah Bentuk Lesi Keterangan

Hilangnya jaringan kulit yang


tidak melewati stratum basalis,
Ekskoriasi
berbentuk linear, disebabkan oleh
garukan

Hilangnya jaringan kulit yang


melewati membrana basalis, bila
Ulkus
sembuh meninggalkan jaringan
parut

Robekan atau diskontinuitas


permukaan kulit berbentuk linear
Fisura
tipis melalui epidermis, terjadi
oleh tarikan jaringan di sekitarnya

Peninggian di atas permukaan


kulit yang terdiri atas jaringan tak
Jaringan
utuh, relief kulit tidak normal,
parut
permukaan kulit licin, dan tidak
terdapat alat-alat tambahan kulit

128 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Kematian jaringan tubuh


Gangren setempat akibat gangguan
vaskularisasi

Lesi khusus pada akne vulgaris


berupa sumbat keratin dan sebum
Komedo
dalam orifisium folikel
pilosebaseus yang terdilatasi

Lesi khusus pada skabies berupa


terowongan berbentuk
Burrow serpiginosa yang sangat kecil,
terletak pada stratum corneum,
dengan panjang ±3 mm

Kista putih sebesar ujung jarum


Milia
yang berisi keratin

Lesi khusus pada moluskum


kontagiosum berupa papul
Delle berwarna putih seperti lilin,
berbentuk kubah, dengan lekukan
di tengahnya

129 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Titik-titik perdarahan pada kulit


Purpura akibat ekstravasasi eritrosit dari
pembuluh darah kapiler

Pelebaran pembuluh darah


Telangiektasis kapiler pada kulit yang
irreversibel

Penebalan kulit yang diikuti


Likenifikasi
dengan aksentuasi garis kulit

Bentuk pinggiran yang sambung-


Polisiklik
menyambung

Anular Seperti lingkaran

Proses yang menjalar ke 1 jurusan


Serpiginosa diikuti oleh penyembuhan pada
bagian yang ditinggalkan

130 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Numular Sebesar uang logam

Vesikel berkelompok seperti pada


Herpetiformis
herpes zoster

Retikulata Seperti jaring

Susunan seperti induk ayam yang


Korimbiformis
dikelilingi anak-anaknya

Istilah Keterangan
Saluran abnormal antara struktur bagian dalam tubuh ke
Fistula
permukaan tubuh, dilapisi epitel skuamosa
Hiperkeratosi Hipertrofi stratum corneum
s
Sianosis Warna kebiruan pada kulit dan mukosa
Ikterik Warna kekuningan pada kulit dan mukosa
Eritem Warna kemerahan pada kulit yang disebabkan pelebaran pembuluh
darah kapiler yang reversibel

131 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Umbilicated Permukaannya melekuk


Miliar Sebesar kupala jarum pentul
Lentikular Sebesar biji jagung
Arsinar Berbentuk bulan sabit
Linear Seperti garis lurus
Lokalisata Terlokalisir pada 1 daerah tubuh
Regional Mengenai daerah tertentu pada tubuh
Generalisata Tersebar pada sebagian besar bagian tubuh
Seluruh atau hampir seluruh tubuh (90-100% luas permukaan
Universal
tubuh)
Bilateral Mengenai kedua belah bagian tubuh
Simetris Mengenai kedua belah bagian tubuh yang sama atau hampir sama
Folikular Di sekeliling folikel rambut
Mengenai segmen kulit yang memperoleh persarafan sensorik yang
Dermatomal
sama

132 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

CHECKLIST

No Hal yang dievaluasi 0 1 2

Pemeriksa mencuci tangan sebelum memeriksa pasien


1
dan memakai sarung tangan lateks jika perlu

2 Memperkenalkan diri pada pasien, memberi salam

3 Menerangkan tujuan pemeriksaan

Mempersiapkan alat yang dibutuhkan (lampu/senter,


4
kaca pembesar, penggaris)

5 Melakukan pemeriksaan kulit


6 Melakukan pemeriksaan kuku
7 Melakukan pemeriksaan rambut
Mendeskripsikan lesi sistem integumen dengan benar dan
8
sistematis
Menutup sesi pemeriksaan dan mengucapkan terima
9
kasih
Catatan untuk mahasiswa …………………………………………………..

Skor total: _______ x 100% =


18

Instruktur Observer

(………………………………….) (…………………………………)

133 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda A. 2008. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, edisi ke-5. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
2. Wolff K and Johnson RA, Saavedra AP, Roh EK. 2017. Fitzpatrikc’s Color Atlas
and Synopsis of Clinical Dermatology, 8th ed. New York: McGraw-Hill
Education.
3. Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, Wolff K. 2012.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, 8th Ed. New York: McGraw-Hill
Education.
4. Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ, et al.
2019. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, 9th Ed. New York:
McGraw-Hill Education.
5. https://www.aafp.org/afp/2006/0115/p299.html
6. https://www.researchgate.net/figure/Corymbiform-nodular-amyloidosis-
Corymbiform-lesion-formed-by-brownish-nodule-surrounded_fig1_232222805

1 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

KETERAMPILAN PEMERIKSAAN FISIK THT

(EAR NOSE THROAT BASIC PHYSICAL EXAMINATION SKILLS)

dr. Dyah Ayu Kartika Dewanti, Sp.THT-KL,M.Sc

TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM


1. Mahasiswa dapat menjelaskan tahapan pemeriksaan fisik THT-KL
2. Mahasiswa dapat mendemonstrasikan pemeriksaan fisik Telinga Hidung dan
Tenggorok Bedah Kepala Leher pada pasien secara benar dan sistematis
3. Mahasiswa dapat menyebutkan hasil pemeriksaan THT-KL

TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS


1. Mahasiswa mampu mengenal dan menyiapkan ruang, alat dan bahan, pasien
untuk pemeriksaan THTKL
2. Mahasiswa mampu melaksanakan pemeriksaan telinga luar meliputi aurikula,
kanalis auricularis eksterna, membrana timpani
3. Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan hidung dan sinus paranasal
dengan memeriksa hidung dan sinus paranasal meliputi hidung bagian atas,
mukosa nasal, septum nasi, konka nasalis dan transiluminasi sinus paranasal
4. Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan mulut meliputi bibir, bukal, gusi,
geligi, lidah, orofarings
5. Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan farings dan larings.

PENGANTAR
Ketrampilan fisik pemeriksaan telinga, hidung, tenggorok dilakukan untuk
melatih mahasiswa melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik telinga, hidung,
sinus para nasal, tenggorok termasuk farings, larings dan esofagus.
Latihan pemeriksaan telinga, hidung, tenggorok diberikan untuk memberi
pemahaman dan membiasakan mahasiswa mampu mengetahui keadaan anatomi
dan fisiologi normal dari organ di bidang THT-KL dan dapat melakukan assessmen
bila mendapatkan kelainan atau patologi dari pemeriksaan telinga, hidung,
tenggorok.

2 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

I. TELINGA
A. ANATOMI
Telinga terdiri dari: telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam (gambar
1).

Gambar 1 : Penampang anatomi telinga


Telinga luar terdiri dari aurikula (daun telinga), kanalis uarikularis
eksternus (liang telinga) dan membrana timpani (gendang telinga). Aurikula
tersusun dari kartilago yang ditutup oleh kulit, mempunyai konsistensi kenyal-
padat (gambar 2).
Kanalis aurikularis eksternus melengkung ke belakang ke dalam sepanjang
kurang lebih 24 mm mulai dari belakang tragus, bagian luar dikelilingi kartilago
dan dilapisi kulit yang berambut dan mempunyai kelenjar yang menghasilkan
serumen, sedangkan bagian dalamnya dikelilingi tulang yang dilapisi kulit tipis
yang tidak berambut. Ujung kanalis aurikularis eksternus terdapat membrana
timpani.

3 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Gambar 2 : Aurikula Gambar 3 : Membrana timpani

Membrana timpani atau gendang telinga memisahkan telinga luar dengan


telinga tengah, merupakan membran yang tipis, posisi miring (oblique) dimana
bagian pusatnya tertarik ke dalam oleh tulang timpani (umbo). Bila terkena sinar
tampak pantulannya seperti kipas meluas ke bawah-depan yang disebut cone of
light. Membrana timpani dipisahkan oleh processus brevis mallei sebagai pars
flaccida yang tidak bergetar di sebelah atas dan pars tensa di sebelah bawah
yang dapat bergetar bila ada suara. Membrana timpani terdiri dari tiga lapis,
yaitu lapisan luar terdiri dari lanjutan kulit kanalis aurikularis eksternus, lapisan
tengah terdiri jaringan ikat dan lapisan dalam merupakan lanjutan mukosa
cavum tympani (gambar 3).
Telinga tengah merupakan ruangan berisi udara dan terdapat rangkaian
tiga buah tulang pendengaran (ossicula auditiva) yang menghantarkan suara,
yaitu malleua, incus dan stapes. Ruang telinga tengah dihubungkan dengan
nasofarings oleh saluran tuba auditiva (tuba eustachii) dan berhubungan dengan
ruangan paratympanika yang terdiri dari mastoid dan sistema petroselluler yang
berisi udara (gambar 4).

Gambar 4 : Telinga tengah dengan tulang pendengaran (ossicula auditiva)

Telinga dalam atau labirin terdiri dari labirin osseus yang merupakan
susunan ruangan-ruangan terdapat di dalam pars petrosa ossis temporalis dan
labirin membranosa yang merupakan susunan kantong-kantong dan ductus-
ductus yang terdapat di dalam labirin osseus. labirin osseus terdiri dari tiga
bagian yaitu vestibulum, kanalis semisirkularis dan kokhlea (rumah siput).

4 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

B. FISIOLOGI
1. Fisiologi pendengaran
Fisiologi pendengaran terdiri dua fase yaitu fase mekanik dan elektrik.
Fase mekanik atau fase fisik terjadi bila gelombang suara tertangkap oleh
telinga, masuk liang telinga dan menggetarkan gendang telinga, lalu diikuti
penghataran getaran oleh rangkaian tulang pendengaran sampai ke perilimfe
vestibulum. Selanjutnya penghataran gelombang suara melalui cairan perilimfe
vestibulum ke perilimfe skala vestibuli dan skala timpani. Gerakan gelombang
perilimfe menyebabkan getaran skala media yang berisi endolimfe, sehingga
merangsang sel-sel organ corti. Adanya gangguan rangkaian penghantaran
gelombang suara akan menyebabkan tuli hantaran atau konduksi. Fase elektrik
atau fisiologik dimulai bergetarnya sel-sel rambut hingga muncul impuls saraf.
Setiap sel-sel rambut bergetar akan mengubah potensial istirahat pada kokhlea
menjadi cochlear microphonic dan summating potential. Kedua potensial
dihantarkan ke nervus auditorius (n. VIII) sebagai aksi potensial saraf yang
menghantarkan impuls saraf ke pusat pendengaran di otak. Adanya gangguan
lintasan penghantaran gelombang suara fase elektrik akan menyebabkan tuli
saraf atau sensorineural.
2. Keseimbangan
Keseimbangan tubuh secara statik meupun kinetik diperankan oleh organ
vestibuler di telinga dalam yang terdiri dari tiga kanalis semisirkularis, utrikulus
dan sakulus. Juga dipengaruhi rangsangan penglihatan mata dan rangsangan
propioseptif dari refleks otot-otot dalam, sehingga menentukan pandangan,
posisi dan gerak tubuh kita. Kanalis semisirkularis bereaksi terhadap rangsang
berputar, sedangkan utrikulus dan sakulus bereaksi terhadap percepatan linier
dan gaya gravitasi.
3. Tuba auditiva

5 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Saluran tuba auditiva normal dalam keadaan tertutup, tetapi akan


terbuka bila dalam keadaan mengunyah atau menelan karena kontraksi otot
tensor dan levator palatini. Saluran ini setiap waktu akan mengatur
keseimbangan tekanan udara dalam telingan tengah dan juga berfungsi untuk
drainase. Adanya gangguan pada saluran ini menyebabkan kelainan telingan
tengah dan dapat diikuti gangguan hantaran pendengaran.

II. HIDUNG
A. ANATOMI
Hidung terbagi dalam dua bagian yaitu hidung luar dan hidung dalam.
Sepertiga bagian atas hidung luar ditunjang oleh tulang, sedangkan dua pertiga
bagian bawah tersusun oleh kartilago yang berpasangan. Udara masuk ke rongga
hidung melalui kedua nares anterior dan suatu daerah melebar yang disebut
vestibulum. Vestibulum dilapisi oleh lapisan kulit yang berambut merupakan
lanjutan lapisan kulit yang menutupi hidung bagian luar (gambar 5).

Gambar 5: Anatomi hidung luar


Rongga hidung dalam terbagi dua oleh septum nasi yang tersusun oleh
tulang maupun kartilago. Septum nasi dilapisi oleh membrana mukosa yang
banyak vaskularisasinya. Anatomi dinding lateral rongga hidung terdiri dari tiga
pasang tulang yang melengkung yang dilapisi oleh mukosa yang mempunyai
banyak vaskularisasi, menonjol ke dalam rongga hidung disebut konka nasalis. Di
bawah tiap konka terdapat alur atau meatus nasi. Meatus nasi inferior tempat
muara ductus nasolacrimalis, sedangkan meatus nasi media bermuara sebagian
besar sinus paranasal (gambar 6).

6 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Gambar 6: Anatomi septum nasi and dinding lateral cavum nasi


Sinus paranasal adalah rongga berisi udara yang terdapat di dalam tulang
kepala, di sekitar rongga hidung terdiri dari sepasang sinus maksilaris, sepasang
sinus ethmoidalis anterior dan posterior, sepasang sinus frontalis dan satu pasang
sinus sphenoidalis. Sinus paranasal ini dilapisi oleh membrana mukosa dan
bermuara pada rongga hidung (Gambar 7).

Gambar 7: Sinus paranasal dan muaranya

B. FISIOLOGI
Bentuk hidung dan sinus paranasal serta lapisan tambahan yang dibentuk
konka maupun membrana mukosa memungkinkan rongga hidung menjalankan
fungsinya, yaitu:

7 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

1. Fungsi respirasi untuk mengatur temperatur dan kelembaban udara


yang masuk dari hidung sampai ke paru serta menyaring partikel-partikel
dalam udara respirasi yang melalui rongga hidung
2. Fungsi penghidu yang memungkinkan manusia dapat membau dan
mengetahui rasa
3. Fungsi fonasi akibat resonansi suara dari larings pada rongga hidung
dan sinus paranasal yang berisi udara sehingga akan menentukan tipe suara.
Sinus paranasal yang berisi rongga-rongga akan mengurangi berat tulang
kepala.

III. TENGGOROK
A. ANATOMI
Farings sebagai jalan udara dari hidung menuju ke larings maupun sebagai
jalan makanan dari mulut menuju esofagus. Farings terbagi atas tiga bagian yaitu
nasofarings, orofarings dan hipofarings yang dilapisi mukosa bersilia dan banyak
jaringan limfe (Gambar 8).
Nasofarings terletak di belakang rongga hidung di sebelah atas palatum
molle. Pada dinding posterolateral terdapat fossa Rosenmuller dan di depannya
terdapat muara tuba auditiva. Mukosa pada bagian atap dan dinding posterior
nasofarings kaya jaringan limfoid yang disebut adenoid.
Orofarings terletak di antara palatum molle dengan batas atas epiglotis.
Bagian ini dihubungkan dengan nasofarings oleh suatu lengkungan yang tersusun
oleh arkus palatinus, arkus gloso-palatinus, palatum molle dan uvula.fosa
tonsilaris yang terbentuk diantara plika anterior dan plika posterior terdapat
tonsila palatina. Basis lidah terdapat jaringan limfoid yang disebut tonsila
lingualis. Jaringan-jaringan limpoid tersebut membentuk rangkaian yang disebut
Cincin Waldeyer (Gambar 9).

8 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Gambar 8 : Anatomi farings potongan sagital

Gambar 9: Anatomi mulut dan orofarings.

Hipofarings merupakan lanjutan ke kaudal dari orofarings, makin


menyempit akhirnya membentuk muara esofagus di bagian posterior dan
berhubungan dengan pintu larings di bagian anterior. Di sebelah lateral dari
epiglotis dan pintu larings, hipofarings meluas membentuk sinus piriformis yang
merupakan jalan makanan untuk masuk ke esofagus (gambar 10).
Larings merupakan pintu masuk ke saluran pernafasan yang dilengkapi
plika vokalis (pita suara) yang dapat bergetar dan bergerak membuka dan
menutup sehingga dapat menghasilkan suara (Gambar 11).

Gambar 10: Anatomi hipofarings

9 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Gambar 11: Anatomi pintu larings

B. FISIOLOGI
1. Mulut dan farings
a. Respirasi, farings merupakan bagian atas dari saluran pernafasan yang
menghubungkan hidung, mulut, larings dan trakea sehingga menjamin
aliran udara respirasi
b. Deglutisi atau menelan, peran dalam proses ini terbagi atas: proses
masuknya bolus makanan dari mulut ke farings, proses bergeraknya
bolus makanan ke hipofarings dan masuk pintu esofagus dan masuknya
makanan dari esofagus ke lambung.
c. Proteksi terhadap infeksi oleh cincin Waldeyer yang merupakan
rangkaian kelenjar limfoid
d. Produksi suara, otot-otot di daerah tenggorok khususnya yang
berperan dalam penutupan palatum akan membantu resonansi suara
e. Persepsi rasa, tersebarnya reseptor rasa di farings dan lidah. Farings
juga sebagai penghubung antara rongga mulut dengan area olfactoria
di rongga hidung.
2. Larings
a. Produksi suara, karena adanya pita suara yang bergetar
b. Respirasi, yaitu sebagai pintu masuk udara pernafasan
c. Proteksi dengan mekanisme penutup glottis maupun dengan refleks
batuk
d. Deglutisi dengan mekanisme penutupan epiglotis, terangkatnya larings
dan penutupan glotis atau pita suara

10 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

e. Fiksasi, penutupan larings akan membuat udara terperangkap dalam


ruang dada dan perut dan mengakibatkan kenaikan tekanan yang
dapat memperkuat otot-otot dada dan perut.

IV. PERSYARATAN PEMERIKSAAN THT


Pemeriksaan THT yang meliputi pemeriksaan hidung, sinus para nasal,
tenggorok termasuk farings, larings dan esophagus haruslah memperhatikan
beberapa hal :
1. Ruang Pemeriksaan
Pemeriksaan THT memerlukan ruangan yang agak gelap, karena organ-
organ telinga, hidung, tenggorok terdiri dari bagian tubuh yang kecil,
berrongga/lubang dan letaknya tersembunyi.
2. Sumber cahaya/sinar
Sumber cahaya atau sinar diperlukan untuk membantu pemeriksaan
organ-organ telinga, hidung, tenggorok bisa dari lampu kepala, senter,
cermin kepala atau alat-alat yang dilengkapi lampu seperti otoskop,
nasofaringoskop, laringoskop, bronkoskop, esofagoskop dan sebagainya.
3. Posisi pasien dan pemeriksa
Pemeriksa dan pasien duduk di kursi berhadapan menyerong dengan
kedua lutut masing-masing rapat. Pasien cukup memutar badan atau
kepala ke samping kea rah sesuai posisi yang diperlukan.
4. Fiksasi pasien
Fiksasi pasien bayi dan anak-anak diperlukan untuk memudahkan
pemeriksaan. Fiksasi dilakukan dengan cara pasien dipangku menghadap
pemeriksa, kedua kaki dirapatkan dan ditahan oleh kaki orang tua pasien
atau perawat dengan menjepitnya agar tidak bergerak, kedua tangan
pasien dipegang dengan satu tangan dan tangan yang lain memegang
kepala pasien.
5. Alat-alat/ Instrumen
Instrumen atau alat-alat khusus untuk pemeriksaan THT diperlukan
tergantung jenis pemeriksaannya.

11 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

TELINGA
• Corong telinga
• Otoskop
• Aplikator (alat pelilit) kapas
• Pengait serumen
• Pinset telinga
• Garpu tala (512 Hz, 1024 Hz, 2048 Hz)

Obat-obatan yang diperlukan untuk pemeriksaan


• Alkohol 70%
• Larutan rivanol 1/1000
• Merkurokrom atau betadine
• Salep kloramfenikol, salep kortikosteroid

HIDUNG
• spekulum hidung
• kaca tenggorok no 2-4
• pinset bayonet
• alat pengisap
• alat pengait benda asing hidung
• spatula lidah
• lampu transluminasi di kamar gelap

Obat-obatan yang diperlukan :


• adrenalin 1/10.000
• pantokain 2% atau xilokain 4%
• salep antibiotika atau vaselin dan kapas

TENGGOROK
• spatula lidah
• kaca tenggorok no 5-8

12 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

PEMERIKSAAN TELINGA
Pasien duduk dengan posisi badan condong ke depan dan kepala lebih
tinggi sedikit dari kepala pemeriksa untuk memudahkan melihat liang telinga
dan membran timpani. Untuk memeriksa telinga, harus diingat bahwa liang
telinga tidak lurus. Untuk meluruskannya maka daun telinga ditarik ke atas
belakang atau pada anak, ditarik ke bawah. Dengan demikian liang telinga dan
membran timpani akan tampak lebih jelas. Seringkali terdapat banyak rambut
di liang telinga, sehingga perlu dipakai corong telinga. Pada anak oleh karena
liang telinganya sempit lebih baik dipakai corong telinga.Kadang-kadang
membran timpani sukar dinilai. Dalam hal demikian, lebih baik dipergunakan
otoskop. Otoskop dipegang seperti memegang pensil. Dipegang dengan tangan
kanan untuk memeriksa telinga kanan dan dengan tangan kiri bila memeriksa
telinga kiri. Supaya posisi otoskop ini stabil maka jari kelingking tangan yang
memegang otoskop ditekankan pada pipi pasien. Gerakan membran timpani jelas
terlihat apabila memakai otoskop pneumatic.

DAUN TELINGA
Diperhatikan bentuk serta tanda-tanda peradangan atau pembengkakan.
Tragus di tarik untuk menentukan nyeri tarik.

DAERAH MASTOID
Adakah abses atau fistel di belakang telinga. Mastoid diperkusi untuk
menentukan nyeri ketok.

LIANG TELINGA
Dindingnya adakah edema, hiperemis atau ada furunkel. Perhatikan
adanya polip atau jaringan granulasi, tentukan dari mana asalnya. Apakah ada
serumen atausekret.

MEMBRAN TIMPANI
Warna membran timpani yang normal putih seperti mutiara. Refleks
cahaya normal berbentuk kerucut. Bayangan kaki maleus jelas kelihatan bila
terdapat retraksi membrane timpani kearah dalam. Perforasi umumnya

13 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

berbentuk bulat. Bila disebabkan oleh trauma biasanya berbentuk robekan dan
di sekitarnya terdapat bercak darah. Lokasi perforasi dapat di atik (di daerah
pars flaksida), di sentral (di pars tensa dan di sekitar perforasi masih terdapat
membran) dan di marginal (perforasi terdapat di pars tensa dengan salah satu
sisinya langsung berhubungan dengan sulkus timpanikus). Gerakan membran
timpani normal dapat dilihat dengan memakai balon otoskop. Pada sumbatan
tuba Eustachius tidak terdapat gerakan membran timpani ini.

TES FUNGSI PENDENGARAN


Ada beberapa tes yang dapat digunakan dalam menilai fungsi
pendengaran. Salah satu tes yang biasa digunakan di Klinik adalah Tes Bisik. Tes
ini selain mudah dilakukan, tidak rumit , cepat, alat yang dibutuhkan sederhana
juga memberikan informasi yang terpercaya mengenai kualitas dan kuantitas
ketulian.

TEST SUARA BISIK


Test ini amat penting bagi dokter umum terutama yang bertugas di
puskesmas-puskesmas, dimana peralatan masih sangat terbatas untuk keperluan
test pendengaran. Persyaratan yang perlu diingat dalam melakukan test ini ialah
:
a) Ruangan Test. Salah satu sisi atau sudut menyudut ruangan harus ada jarak
sebesar 6 meter. Ruangan harus bebas dari kebisingan. Untuk menghindari
gema diruangan dapat ditaruh kayu di dalamnya.
b) Pemeriksa. Sebagai sumber bunyi harus mengucapkan kata-kata dengan
menggunakan ucapan kata-kata sesudah expirasi normal. Kata-kata yang
dibisikkan terdiri dari 2 suku kata (bisyllabic) yang terdiri dari kata-kata
sehari-hari. Setiap suku kata diucapkan dengan tekanan yang sama dan
antara dua suku kata bisyllabic “Gajah Mada P.B.List” karena telah ditera
keseimbangan phonemnya untuk bahasa Indonesia.
c) Penderita. Telinga yang akan di test dihadapkan kepada pemeriksa dan
telinga yang tidak sedang ditest harus ditutup dengan kapas atau oleh tangan
si penderita sendiri. Penderita tidak boleh melihat gerakan mulut pemeriksa.

14 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Cara pemeriksaan.
Sebelum melakukan pemeriksaan penderita harus diberi instruksi yang
jelas misalnya anda akan dibisiki kata-kata dan setiap kata yang didengar harus
diulangi dengan suara keras. Kemudian dilakukan test sebagai berikut :
a) Mula-mula penderita pada jarak 6 meter dibisiki beberapa kata bisyllabic.
Bila tidak menyahut pemeriksa maju 1 meter (5 meter dari penderita) dan
test ini dimulai lagi. Bila masih belum menyahut pemeriksa maju 1 meter,
dan demikian seterusnya sampai penderita dapat mengulangi 8 kata-kata
dari 10 kata-kata yang dibisikkan. Jarak dimana penderita dapat menyahut 8
dari 10 kata diucapkan di sebut jarak pendengaran.
b) Cara pemeriksaan yang sama dilakukan untuk telinga yang lain sampai
ditemukan satu jarak pendengaran.
Evaluasi test.
a. 6 meter - normal
b. 5 meter - dalam batas normal
c. 4 meter - tuli ringan
d. 3 – 2 meter - tuli sedang
e. 1 meter atau kurang - tuli berat
Dengan test suara bisik ini dapat dipergunakan untuk memeriksa secara kasar
derajat ketulian (kuantitas). Bila sudah berpengalaman test suara bisik dapat
pula secara kasar memeriksa type ketulian misalnya :
➢ Tuli konduktif sukar mendengar huruf lunak seperti n, m, w (meja
dikatakan becak, gajah dikatakan kaca dan lain-lain).
➢ Tuli sensori neural sukar mendengar huruf tajam yang umumnya
berfrekwensi tinggi seperti s, sy, c dan lain-lain (cicak dikatakan tidak,
kaca dikatakan gajah dan lain-lain).

PEMERIKSAAN GARPU TALA


Dasar pemeriksaan ini adalah mekanisme pendengaran terdiri atas dua
macam, melalui tulang ( bone conduction= BC) , melalui udara ( air conduction
= AC). Yang pada prinsipnya membandingkan pendengaran melalui tulang dan
udara.

15 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Pemeriksaan Rinne
Pada prinsipnya pemeriksaan Rinne adalah membandingkan hantaran
udara dan hantaran tulang pada satu telinga. Caranya dengan garpu tala
digetarkan pada siku atau lutut pemeriksa, segera dasar garpu tala diletakkan
pada prosesus mastoid telinga yang diperiksa. Pasien diminta memberitahu
apabila getaran telah berhenti, setelah dinyatakan berhenti maka dasar garpu
tala didekatkan pada lubang telinga dengan jarak 5 cm.
Hasil / interpertasi:
Rinne + = jika AC lebih baik dari BC= telinga normal dan SNHL
Rinne - = jika BC lebih baik dari AC = telinga CHL

Pemeriksaan Weber
Prinsip pemeriksaan membandingkan hantaran tulang telingan kanan dan
kiri. Cara melakukan pemeriksaan yaitu setelah garpu tala digetarkan,
dasar/tangkai diletakkan pada linea media dahi, gigi atau vertex.
Hasil / interpertasi:
Normal : bila suara terdengar sama keras antara kanan dan kiri
Lateralisasi kearah sakit: bila suara terdengar lebih keras pada telinga yang sakit
= CHL
Lateralisasi kearah sehat: bila suara terdengar lebih keras pada telinga yang
sehat = SNHL

Pemeriksaan Schwabah
Prinsipnya membandingkan hantaran tulang pasien dangan pemeriksa,
dengan syarat BC pemeriksa adalah normal. Caranya dengan setelah garpu tala
digetarkan, segera ditempelkan pada planum mastoideum pasien, jika bunyinya
tidak terdengar lagi, pasien memberitahukan kepada pemeriksa, kemudian
segera pindahkan ke pemeriksa.
Hasil / interpertasi:
Normal: BC pasien = BC pemeriksa
Diperpendek: BC pasien < BC pemeriksa =pemeriksa masih mendengar bunyi=
SNHL
Diperpanjang : BC pasien > BC pemeriksa = pasien masih mendengar bunyi = CHL

16 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

PEMERIKSAAN HIDUNG, NASOFARING DAN SINUS PARANASAL


HIDUNG LUAR
Bentuk hidung luar diperhatikan apakah ada deviasi atau depresi tulang
hidung. Apakah ada pembengkakan di daerah hidung dan sinus paranasal. Dengan
jari dapat dipalpasi adanya krepitasi tulang hidung atau rasa nyeri tekan pada
peradangan hidung dan sinus paranasal.

RINOSKOPI ANTERIOR
Pasien duduk menghadap pemeriksa. Spekulum hidung dipegang dengan
tangan kiri (right handed), dengan jari telunjuk ditempelkan pada dorsum nasi.
Tangan kanan untuk fiksasi kepala. Spekulum dimasukkan ke dalam rongga
hidung dalam posisi tertutup, dan dikeluarkan dalam posisi terbuka. Kemudian
diperhatikan keadaan: Rongga hidung, luasnya, adanya sekret, lokasi serta asal
sekret tersebut. Konka inferior, konka media dan konka superior warnanya
merah muda(normal), pucat atau hiperemis. Besarnya, edema atau hipertrofi.
Septum nasi lurus, deviasi, krista dan spina. Meatus superior, meatus medius dan
meatus inferior. Jika terdapat sekret kental yang keluar dari meatus medius
berarti sekret berasal dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior,
sedangkan sekret yang terdapat di meatus superior berarti sekret berasal dari
sinus etmoid posterior atau sinus sphenoid. Massa dalam rongga hidung, seperti
polip atau tumor perlu diperhatikan keberadaannya. Asal perdarahan di rongga
hidung, krusta yang bau dan lain-lain perlu diperhatikan.

RINOSKOPI POSTERIOR
Pasien sebelumnya diberikan penjelasan dahulu. Pasien diminta membuka
mulut, lidah tidak perlu dijulurkan. Spatela lidah dimasukkan dengan cara hati-
hati dan lidah ditekan ke bawah. Cermin dihangatkan, biasanya diatas lampu
spiritus dahulu, sehingga pada saat pasien bernafas, cermin tidak berkabut dan
mengaburkan pandangan. Cermin digeser masuk di atas spatela lidah sebaiknya
tidak menyentuh lidah itu sendiri dan menghadap ke atas. Sinar lampu kepala
diarahkan ke cermin dan diperiksa bagian yang terlihat dari cermin, yaitu
choana, permukaan concha inferior dan media, mukosa septum nasi, atas
nasofaring, torus tubarius, permukaan uvula bagian belakang, dll.

17 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

PEMERIKSAAN TRANSILLUMINASI / DIAPHANOSCOPY


Pemeriksaan ini bertujuan untuk membandingkan keadaan sinus
maksilaris dan frontalis kanan dan kiri. Dengan cara : didalam ruangan yang
betul-betul gelap. Sinus maksilaris disinari dengan cara memasukkan sumber
sinar dari diaphanoscop ke dalam mulut, dibandingkan sinus kanan dan kiri.
Unruk memeriksa sinus frontalis, diaphanoscop ditempelkan dibawah alis bagian
medial (dasar sinus frontalis). Hasil pemeriksaan akan tampak buram bila ada
sinusitis dan akan tampak merah bila dalam keadaan normal.

PEMERIKSAAN RONGGA MULUT DAN FARING


Dua per tiga bagian depan lidah ditekan dengan spatula lidah kemudian
diperhatikan :
• Dinding belakang faring : warnanya, licin atau bergranula, sekret ada atau
tidak dan gerakan arkus faring.
• Tonsil : besar, warna, kripti, apakah ada detritus, adakah perlekatan
• Rongga mulut, uvula, gusi dan gigi geligi
• Lidah : gerakannya dan apakah ada massa tumor, atau adakah berselaput
• Palpasi rongga mulut diperlukan bila ada massa tumor, kista dan lain-lain.

PEMERIKSAAN HIPOFARING DAN LARING


Pasien duduk lurus agak condong ke depan dengan leher agak fleksi. Lidah
pasien dijulurkan kemudian dipegang dengan tangan kiri memakai kasa. Pasien
diminta bernafas melalui mulut dengan tenang. Kaca tenggorok yang telah
dihangatkan dipegang dengan tangan kanan seperti memegang pensil, diarahkan
ke bawah, dimasukkan ke dalam mulut dan diletakkan di muka uvula.
Diperhatikan :
• Epiglotis yang berberbentuk omega
• Aritenoid berupa tonjolan 2 buah
• Plika ariepiglotika yaitu lipatan yang menghubungkan aritenoid dengan
epiglottis
• Pita suara (plika vokalis): warna, gerakan adduksi pada waktu fonasi dan
abduksi pada waktu inspirasi, tumor dan lain-lain

18 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

• Pita suara palsu (plika ventrikularis) : warna, edema atau tidak, tumor.
• Valekula : adakah benda asing
• Sinus piriformis : apakah banyak sekret

CHECKLIST PENILAIAN
I. PEMERIKSAAN TELINGA
SKOR
NO ASPEK YANG DINILAI
0 1 2
1 Mengetahui tempat/ruangan pemeriksaan
2 Menggunakan sumber cahaya
Mengatur posisi pemeriksa dan pasien (untuk
3
anak-anak, fiksasi jika perlu).
Mempersiapkan peralatan pemeriksaan dan
4
cuci tangan
Memeriksa daun telinga dan jaringan
5
sekitarnya
6 Menekan tragus dan belakang telinga
7 Mengatur posisi aurikula
Memasukkan aural spekulum dengan arah
8
benar
9 Memeriksa dengan otoskop dengan benar
TOTAL

II. TES BISIK


SKOR
NO ASPEK YANG DINILAI
0 1 2
1 Menerangkan cara dan tujuan pemeriksaan
Mempersiapkan alat dan bahan yang akan
2
digunakan untuk pemeriksaan
3 Mengatur posisi duduk dengan pasien
Dengan menggunakan sisa udara ekspirasi
4 pemeriksa membisikkan beberapa kata
bisyllabic pada jarak 6 meter

19 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Bila tidak menyahut pemeriksa maju 1 meter


(5 meter dari penderita) dan test ini dimulai
lagi. Bila masih belum menyahut pemeriksa
5 maju 1 meter, dan demikian seterusnya
sampai penderita dapat mengulangi 8 kata-
kata
dari 10 kata-kata yang dibisikkan.
6 Catat hasil yang diperoleh dan interpretasinya.
TOTAL

III. PEMERIKSAAN FUNGSI PENDENGARAN DGN GARPU TALA


SKOR
NO ASPEK YANG DINILAI
0 1 2
1 Menerangkan cara dan tujuan pemeriksaan
Mempersiapkan alat dan bahan yang akan
2
digunakan untuk pemeriksaan
3 Mengatur posisi duduk dengan pasien
4 Melakukan pemeriksaan Rinne dg benar
5 Mencatat hasil pemeriksaan Rinne
6 Melakukan pemeriksaan Weber dg benar
7 Mencatat hasil pemeriksaan Weber
8 Melakukan pemeriksaan Schwabach dg benar
9 Mencatat hasil pemeriksaan Schwabach
10 Menyimpulan hasil hasil pemeriksaan

IV. PEMERIKSAAN HIDUNG


SKOR
NO ASPEK YANG DINILAI
0 1 2
Melakukan pemeriksaan hidung bagian luar
1
(inspeksi dan palpasi)
2 Memilih spekulum hidung yang sesuai
3 Mengatur posisi kepala
Memasukkan spekulum hidung dengan lembut
4
dan benar
5 Pemeriksaan rinoskopi anterior

20 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Pemeriksaan rinoskopi posterior dan


6
nasofarings
7 Palpasi dan pemeriksaan sinus frontalis
8 Palpasi dan pemeriksaan sinus ethmoidalis
9 Palpasi dan pemeriksaan sinus maksilaris
Pemeriksaan diapanaskopi/transiluminasi
10
sinus paranasal (sinus maksilaris dan frontalis)

V. PEMERIKSAAN TENGGOROK
SKOR
NO ASPEK YANG DINILAI
0 1 2
Inspeksi bibir dan mulut, termasuk cara
1
membuka mulut
Pemeriksaan mukosa bukal, gusi dan geligi
2
dengan spatel lidah
3 Pemeriksaan langit-langit
Pemeriksaan tonsil ( ukuran tonsil dan adanya
4
kripta serta dentritus)
5 Pemeriksaan dinding faring bagian belakang
6 Pemeriksaan lidah secara inspeksi
7 Pemeriksaan lidah secara palpasi
8 Memeriksa refleks muntah
9 Pemeriksaan leher luar
10 Palpasi leher luar
TOTAL
CATATAN :
SKOR 2 : BAIK
1 : CUKUP
0 : KURANG

Total skor:
I. Total /18 x 100% =
II. Total /12 x 100% =
III. Total /20 x 100% =
IV. Total /20 x 100% =

21 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

V. Total /20 x 100% =

Instruktur Mahasiswa evaluator

___________________ ____________________

22 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

DAFTAR PUSTAKA
Kerr AG. Scott-Brown’s Otolaryngology Rhinology. 6th ed. Oxford: Butterworth-
Heinemann. 1997.
Kimmelman CP. The Problem of nasal obstruction. Otolaryngology clinic of
North America 1989; 22 : 253–264
Bailey JB, Johnson JI, Calhoun KH, Deskoin RW, Kohut RI, Tardi Jr ME, et al.
Textbook head and neck surgery otolaryngology 2nd ed. New York:
Lippincott-Raven Publisher. 2001.
Cummings CW, Fredrickson JM, Harker LA, Krause CJ, Richardson MA, Schuller
DE.Otolaryngology Head and Neck Surgery.CD-ROM. 3rd Ed. Mosby Inc. 1999.
Guyton AC, Hall JE. Textbook of medical physiology. WB Saunders Co,
Philadelphia. 1996: 33-588, 501-511.
Ganong WF. Review of medical physiology. 11th ed. Lange Medical Pub,
California. 1983.
Mattox DE. Decision Making In Otolaryngology. B.C. Decker Inc., Philadelphia,
Toronto. 1984.
Tangen GM. Fundamentals of Otolaryngology, A text book of Ear, Nose and
Throat Diseases. W.B Saunders Company, Philadelphia, London. 1963:
112-115.

23 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

PEMERIKSAAN MATA

dr. Katherina Adisaputro


Revisi: dr.Marlyna Affifudin, Sp.M

ANATOMI & PHYSIOLOGY

Gambar 1. Anatomi mata

Bagian mata yang dapat diamati saat inspeksi pertama kali tampak pada
gambar 1. Celah mata disebut fissura palpebra. Sedangkan bagian mata yang
memberi warna pada mata disebut iris. Normalnya iris sedikit tertutup oleh
kelopak mata bagian atas, namun tidak sampai menutupi pupil. Sklera
merupakan bagian mata yang berwarna putih, dilapisi oleh membran bening yang
bernama konjungtiva.

24 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Gambar 2. Penampang sagital mata & kelopak mata


Konjungtiva dapat dibagi menjadi dua, konjungtiva bulbar yang
menempel pada bola mata bagian depan, dan konjungtiva palpebra yang
menempel pada permukaan kelopak mata bagian dalam. Konjungtiva bulbar
akan berikatan dengan kornea di limbus kornea. Di dalam kelopak mata
terdapat jaringan ikat yang bernama lempengan tarsal, tempat dimana glandula
meibom menempel. Glandula meibom termasuk salah satu glandula yang
memproduksi air mata.

Gambar 3. Kalenjar air mata

Air mata melindungi konjungtiva dan kornea dari kondisi mata kering &
mencegah pertumbuhan bakteri. Air mata diproduksi oleh beberapa kalenjar,
yaitu glandula meibom, glandula lakrimalis, & glandula konjungtival. Glandula
lakrimalis berada di ruang orbita bagian superior, kemudian akan memproduksi
air mata → menyebar ke seluruh mata → disaring melalui punctum lakrimalis
→ saccus lakrimalis → mengalir ke hidung melalui duktus nasolakrimalis.
Punctum dapat diinspeksi pada bagian medial dari kelopak mata bagian inferior.

25 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Gambar 4. Sirkulasi humor aqueous


Bola mata memiliki struktur yang berfungsi untuk memfokuskan cahaya
yang masuk ke dalam retina. Cahaya yang masuk dipengaruhi oleh ukuran pupil.
Otot badan silier berfungsi mengontrol ukuran pupil.
Cairan bening yang berada di dalam bilik mata bernama aqueous humor,
yang akan diproduksi oleh badan silier → mengalir menuju bilik posterior →
mengalir melewati pupil menuju bilik anterior → disaring melalui canal of
schlemm (lihat arah anak panah pada gambar 4). Sirkulasi ini berguna untuk
mengontrol tekanan di dalam mata.

Gambar 5. Potongan melintang dari mata & fundus

Bagian posterior mata yang tampak dengan pemeriksaan funduscopy


sering disebut dengan fundus mata. Struktur yang tampak pada area fundus
antara lain retina, choroid, fovea, makula, diskus optikus, & pembuluh darah
retina. Nervus opticus (N.II) akan menuju bagian posterior mata, dengan
pemeriksaan funduscopy menggunakan opthalmoscope kita dapat melihatnya
sebagai diskus optikus. Pada bagian lateral dan sedikit inferior dari diskus akan
terdapat cekungan kecil pada permukaan retina yang merupakan titik
penglihatan. Di sekitar cekungan akan terdapat lingkaran berwarna hitam yang
disebut dengan fovea, dan lingkaran berwarna kekuningan tanpa batas jelas
yang mengelilingi fovea disebut dengan makula. Badan vitreous terdiri dari
material gelatinosa yang transparan, normalnya tidak dapat terlihat pada
pemeriksaan funduscopy kecuali ada kondisi patologis yang menyebabkan badan
vitreous berubah struktur. Badan vitreous berguna untuk mempertahankan
bentuk dari mata.

26 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

TEKNIK PEMERIKSAAN
AREA PENTING PEMERIKSAAN MATA
- Visus
- Lapang pandang
- Gerakan bola mata
- Bagian eksternal mata (alis, kelopak mata, kalenjar lakrimalis)
- Segmen anterior mata (konjungtiva, sklera, blik anterior, iris, kornea,
lensa, pupil)
- Segmen posterior mata (fundus; diskus optikus dan cup, retina, pembuluh
darah retina)
- Tekanan bola mata

VISUS
Untuk memeriksa visus membutuhkan Snellen chart. Berikut prosedur
yang dapat dilakukan:
1. Posisikan pasien pada jarak 6 m.
2. Periksa mata bergantian. Saat memeriksa mata sebelah kanan, tutup mata
kiri menggunakan tangan dan jangan lupa berikan instruksi untuk “jangan
menekan bola mata” karena dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan. Jangan
lupa untuk melepas kacamata jika pasien menggunakan kacamata.
3. Tunjuk huruf snellen chart mulai dari yang paling atas, jika pasien dapat
membaca lanjut ke bawah.
4. Jika pasien TIDAK BISA membaca huruf paling atas, mulai lakukan tes
finger counting.
5. Tes finger counting: pemeriksa maju 1 meter ke arah pasien, kemudian
dengan menggunakan jari minta pasien untuk menyebutkan jari yang
diacungkan oleh pemeriksa. Jika pasien tidak bisa, pemeriksa maju lagi 1
meter. Prosedur dilakukan terus hingga pemeriksa berjarak 1 meter dengan
pasien.
6. Jika pada jarak 1 meter pasien masih belum dapat menghitung jari, lakukan
tes lambaian tangan, apakah pasien masih dapat mengenali lambaian tangan
atau tidak. (tangan diarahkan ke atas-bawah, dan kanan-kiri, minta pasien
untuk menginterpretasikan yang dapat dilihat)

27 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

7. Jika pasien TIDAK BISA mengenali lambaian tangan, arahkan cahaya senter
pada mata pasien, apakah pasien masih dapat mengenali gelap/terang.
8. Hasil pemeriksaan visus akan muncul dengan 2 angka, contoh: 1/60 → angka
pertama menunjukkan jarak baca pasien dari chart, dan angka kedua
menunjukkan jarak yang dapat dibaca oleh mata normal.

INTERPRETASI HASIL VISUS


• 6/6: Visus normal
• 6/60: dapat membaca huruf paling
atas dari snellen chart
• 3/60: dapat melakukan
fingercounting dengan jarak 3 meter
• 1/60: dapat melakukan
fingercounting dengan jarak 1 meter
• 1/300: dapat mengenali lambaian
tangan
• LP: Light perception (dapat
mengenali cahaya;gelap/terang)
• NLP: No Light Perception (tidak dapat
mengenali cahaya)
Gambar 6. Snellen chart

28 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

PEMERIKSAAN LAPANG PANDANG


Skrining
Skrining awal perlu dilakukan untuk pemeriksaan lapang pandang. Anggap
lapang pandang pasien seperti lingkaran yang berada di sekitar kepala pasien.
Berikut ini prosedur yang dapat dilakukan:
1. Posisikan pasien berjarak ± 0,5 m dari pemeriksa (duduk berhadapan dengan
lutut pasien dan lutut pemeriksa berdekatan).
2. Minta pasien untuk memfiksasikan padangan ke mata pemeriksa.
3. Posisikan tangan kanan dan kiri pada daerah temporal pasien, satu tangan di
regio temporo-superior, dan tangan lainnya di regio temporo-inferior (dengan
mengacungkan jari pada tangan & jarak kedua tangan ± 0,5 m).
4. Minta pasien untuk menunjuk tangan pemeriksa dengan pandangan tetap
lurus ke mata pemeriksa.
5. Gerakkan kedua tangan ke arah yang berlainan (tangan yang berada di
temporo –superior ke arah temporo-inferior dan sebaliknya).
6. Minta pasien untuk menunjuk tangan pemeriksa.

Gambar 7.Skrining pemeriksaan lapang pandang


TEST LEBIH LANJUT
Jika pasien dicurigai ada defek lapang pandang, periksa lebih lanjut untuk
mengetahui letak defek lapang pandang yang dialami pasien. Jika dicurigai defek
lapang pandang pada mata kiri, minta pasien untuk menutup mata kanan
terlebih dahulu sebelum dilakukan pemeriksaan. Prosedur pemeriksaan seperti
berikut:

29 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

1. Setelah menutup mata yang sehat, minta pasien untuk memfiksasikan


pandangan ke arah mata pemeriksa.
2. Posisikan tangan pada daerah yang mengalami defek lapang pandang.
3. Gerakkan tangan ke arah medial, dan tanyakan pasien kapan tangan mulai
terlihat/mulai tidak terlihat lagi.
4. Periksa lapang pandang pada bagian regio lain dan gerakkan tangan sesuai
dengan arah mata angin (contoh dari superior ke inferior, dst), minta
pasien untuk menyebutkan kapan tangan terlihat/tidak terlihat.

Gambar 8. Pemeriksaan lapang pandang

PEMERIKSAAN GERAKAN BOLA MATA


Pada pemeriksaan mata umumnya jarak antara pemeriksa dan pasien
sejauh ± 0,5 m. Namun untuk pasien yang lebih tua biasanya sulit untuk
memfokuskan pandangan pada jarak dekat (dikarenakan rabun dekat), karena
itu jarak pemeriksa dan pasien dapat diatur sesuai dengan jarak fokus pasien.
Untuk pemeriksaan otot penggerak bola mata ada beberapa poin yang perlu
dilakukan:

LIGHT TEST
Dengan jarak 0,5 m, berikan cahaya pada mata pasien dan minta pasien
untuk memandang ke arah cahaya. Posisikan senter di tengah wajah pasien.
Kemudian amati pantulan sinar pada bola mata. Normalnya pantulan sinar akan
tampak pada daerah nasal dari pupil.

30 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Gambar 9. Pantulan cahaya pada mata normal


TES GERAK BOLA MATA
Pada tes gerak bola mata, ada beberapa hal yang dapat diamati, yaitu
• Gerak konjugasi mata: normalnya akan mengikuti objek yang difiksasi oleh
mata tanpa adanya deviasi
• Nystagmus, adalah gerak mata involunter yang ritmis dan bersifat saccadic.
Beberapa gerak nystagmus pada arah pandangan lateral yang ekstrim masih
wajar.

Prosedur pemeriksaan:
1. Posisikan pasien
2. Minta pasien untuk mengikuti pola gerakan dari jari/bolpen yang diacungkan
3. Gerakkan jari dengan pola H, urutan gerak seperti berikut:
a. Kanan secara ekstrim (semaksimal mata dapat melirik)
b. Kanan atas
c. Kanan bawah
d. Tanpa berhenti gerakkan tangan dari kanan ke kiri secara ekstrim (dapat
berganti tangan ditengah)
e. Kiri atas
f. Kiri bawah
4. Hentikan gerakan sebentar setiap arah pandangan mata, dan amati gerakan
bola mata pasien.

31 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Gambar 10. Pola pergerakan mata normal

TES KONVERGENSI
Minta pasien untuk mengikuti jari pemeriksa mendekati hidung.
Normalnya mata akan konvergensi hingga jarak 5-8 cm dari hidung.

Gambar 11. Tes konvergensi mata

Pemeriksaan Segmen Anterior mata & eksternal mata


Bagian mata Poin pemeriksaan

• Kuantitas & distribusi rambut alis


Alis
• kondisi kulit di bawahnya.
• Lebar fisura palpebra
• Warna
• Lesi/tidak
Kelopak mata
• edema/tidak
• kondisi bulu mata
• kondisi kelopak mata saat tertutup (paralysis/tidak)
• Amati daerah glandula lakrimalis & saccus lakrimalis
Kalenjar ada pembengkakan/tidak.
lakrimalis • Amati apakah air mata terlalu kering/terlalu
berlebihan

32 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Minta pasien untuk memandang ke atas, dan turunkan


kelopak mata bagian bawah dengan jempol pemeriksa. ATAU
dapat juga buka kelopak mata lebar2 dan minta pasien untuk
melirik ke atas dan bawah untuk dapat menginspeksi
konjungtiva & sklera secara lengkap. Namun konjungtiva
palpebral superior hanya dapat diinspeksi dengan melakukan
eversi pada kelopak mata bagian atas.

Beberapa hal yang perlu diamati:


Konjungtiva &
• Warna (ada jaundice/tidak)
sklera
• Pola vaskular
• Nodule/pembengkakan

Gambar 12 & 13. Pemeriksaan konjungtiva

Dengan pencahayaan oblique, lakukan inspeksi pada kornea


& lensa. Normalnya kornea & lensa jernih. Jika ada opasitas
pada lensa, amati tingkat kekeruhan lensa.

Kornea &
lensa

Gambar 14. Lensa normal & lensa katarak

Arahkan cahaya ke lateral mata, kemudian amati iris &


Iris & bilik
kedalaman bilk anterior. Normalnya bilik anterior dalam
anterior
(dikarenakan posisi iris datar) & jernih, sehingga pada

33 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

pemeriksaan tidak akan ditemukan cahaya yang membayang.


Jika iris cembung dan bilik anterior dangkal, akan ditemukan
cahaya yang membayang pada pemeriksaan.

Gambar 15. Pemeriksaan iris & bilik mata anterior

Pupil Beberapa hal yang perlu diamati pada pupil:

• Ukuran (normal 3-5mm)


• Bentuk (bulat/lonjong)
• Simetris atau tidak (perbedaan ukuran pupil <0,5mm
terdapat pada 20% orang normal)
• Refleks pupil direk (konstriksi pupil pada mata yang
diberi cahaya)
• Refleks pupil indirek (konstriksi pupil pada mata yang
tidak diberi cahaya)

Gambar 16. Pemeriksaan reflek pupil direk & indirek

Pada pemeriksaan mata anterior, mulailah melakukan pemeriksaan pada


mata yang sehat terlebih dahulu, baru periksa mata yang sakit.

34 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

PEMERIKSAAN SEGMEN POSTERIOR MATA


Pada pemeriksaan segmen posterior mata, pemeriksa akan menggunakan
opthalmoscope untuk mengamati fundus pasien. Pada klinik umum, pemeriksa
diminta untuk memeriksa pasien tanpa melakukan dilatasi pada pupil (pada
pemeriksaan mata lebih lanjut oleh opthalmologist, mata ditetesi dengan tetes
mata mydriatic terlebih dahulu untuk memperlebar pupil), karena itu
kemampuan untuk memeriksa bagian fundus mata cukup terbatas.

35 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Gambar 17 & 18. Opthalmoscope

PROSEDUR PENGGUNAAN OPTHALMOSCOPE


1. Gelapkan ruangan terlebih dahulu. Nyalakan cahaya opthalmoscope dan geser lens
disc sampai tampak cahaya berwarna bulat.
2. Geser lens disc hingga ke diopter 0 (diopter: unit pengukuran untuk mengatur
kekuatan lensa melakukan konvergen/divergen), posisikan jari pada lens disc sehingga
mudah untuk mengatur fokus saat pemeriksaan.
3. Ingat untuk menggunakan tangan kanan untuk memeriksa mata kanan pasien, dan
tangan kiri untuk memeriksa mata kiri pasien. Hal ini dilakukan untuk mempermudah
pemeriksaan dan mencegah hidung pemeriksa bertabrakan dengan hidung pasien.
4. Pegang opthalmoscope pada bagian tengah dari gagang opthalmoscope, arahkan
kepala opthalmoscope 20º dari vertikal. Pastikan pemeriksa dapat melihat dengan jelas
melalui aperture. Minta pasien untuk melihat jauh ke belakang.
5. Posisikan pemeriksa sejauh 30 cm dari pasien, pada posisi lateral pasien sejauh sudut
15º dari garis pandangan pasien. Arahkan cahaya ke pupil dan amati red reflex.
6. Dengan tetap memandang melalui aperture, dekatkan opthalmoscope ke pasien
hingga sangat dekat (hampir menyentuh bulu mata pasien).
7. Amati fundus pasien. (diskus optikus, retina;arteri, vena, fovea, makula)

36 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Gambar 19 & 20. Pemeriksaan funduscopy, pemeriksa pada sudut 15º

PEMERIKSAAN DISKUS OPTIKUS & RETINA


Diskus optikus
1. Pertama-tama cari diskus optikus fundus. Jika pembuluh darah semakin besar
berarti arah penyusuran sudah tepat (pembuluh darah akan semakin besar ke
sentral)
2. Fokuskan diskus optikus dengan mengatur diopter. Jika pasien dan pemeriksa
tidak memiliki kelainan refraksi makan diopter = 0. Jika pasien miopi arahkan
ke minus diopter, jika pasien hyperopia arahkan ke plus diopter.
3. Inspeksi diskus optikus
• Ketajaman garis diskus; bagian nasal dari batas diskus terkadang sedikit
kabur (normal)
• Warna diskus; Normalnya berwarna kuning-oranye hingga pink.
• Cup & disc ratio; cup umumnya berwarna kuning pucat (lebih pucat
daripada disc di sekitarnya). Normalnya perbandingan cup&disc <50%.
Pada pelebaran cup mungkin terjadi pada kondisi papilledema.

Gambar 21 & 22. Fundus normal & papilledema

37 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

RETINA – ARTERI, VENA, FOVEA, MAKULA


1. Inspeksi retina, termasuk arteri dan vena yang menyebar hingga ke perifer,
persilangan anteri & vena, fovea, makula. Berikut cara membedakan arteri
& vena:
Arteri Vena

Warna Merah terang Merah gelap


Ukuran Lebih kecil (2/3-4/5 ukuran Lebih besar
vena
Reflek Cerah Kabur/tidak ada
cahaya

2. Ikuti jalur pembuluh darah ke arah perifer ke 4 arah (lihat gambar, arah 1-
4), perhatikan ukuran, persilangan arteri vena.
3. Identifikasi jika ada lesi di sekitar pembuluh darah, lihat ukuran, bentuk,
warna, & distribusi.
4. Saat melakukan inspeksi pada retina, mata & opthalmoscope bergerak
bersamaan sebagai suatu kesatuan.
5. Inspeksi daerah fovea & makula. Arahkan cahaya opthalmoscope pada lateral
(arah 5) untuk melihat refleksi cahaya di daerah makula, atau minta pasien
untuk memandang ke arah cahaya sebentar.

Gambar 21. Arah inspeksi retina Gambar 22. Refleks cahaya pada
makula
6. Inspeksi stuktur anterior; cari opasitas pada vitreous & lensa dengan cara
mengatur diopter hingga +10 - +12 untuk memfokuskan pandangan pada
stutur mata anterior.

38 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Gambar 23. Fundus Tigroid Gambar 24. Cotton wool spot


PEMERIKSAAN TEKANAN BOLA MATA
Ada beberapa cara untuk melakukan pemeriksaan tekanan bola mata.
Teknik pemeriksaan paling efektif adalah dengan menggunakan pemeriksaan
penunjang, contohnya: Tonometer Schiotz, tonometer transpapebral. Namun
untuk pemeriksaan rutin yang dapat dilakukan di klinik adalah dengan palpasi
digital. Prosedur pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain seperti berikut:
1. Memposisikan pasien (duduk berhadapan dengan jarak jangkauan tangan
pemeriksa).
2. Menjelaskan prosedur dan tujuan pemeriksaan.
3. Menginstruksikan pasien untuk melirik ke bawah.
4. Mulai pemeriksaan dari mata kanan.
5. Meletakkan kedua jari telunjuk pada palpebra superior, jari-jari yang lain
memfiksasi daerah tulang sekitar orbita.
6. Jari telunjuk secara bergantian menekan bola mata melalui palpebra, dan
merasakan besarnya tekanan bola mata.
Hasil pemeriksaan tekanan bola mata dapat diukur dengan Bowman’s grading,
dengan hasil seperti berikut:
Tn Tekanan normal

T+1, T+2, T+3 Peningkatan tekanan

T-1, T-2, T-3 Penurunan tekanan

39 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

CHECKLIST PEMERIKSAAN MATA: VISUS, LAPANG PANDANG, GERAK BOLA


MATA, SEGMEN ANTERIOR, TEKANAN INTRA OKULAR, SEGMEN POSTERIOR
Nama Mahasiswa : NIM :
No. Aspek yang dinilai Skor
0 1 2
1. Membina sambung rasa
2. Menjelaskan prosedur dan tujuan
pemeriksaan secara umum
3. Informed consent
4. Mencuci tangan
Pemeriksaan Visus
5. Menjelaskan prosedur pemeriksaan
menggunakan Snellen chart
6. Memposisikan pasien 6 meter dari Snellen
chart
7. Menutup mata kiri
8. Melakukan pemeriksaan visus pada mata
kanan
9. Menutup mata kanan
10. Melakukan pemeriksaan visus pada mata
kiri
11. Menyebutkan hasil & interpretasi hasil
pemeriksaan secara tepat
12. Mencatat pada rekam medis
Pemeriksaan lapang pandang-1
13. Menjelaskan prosedur pemeriksaan lapang
pandang
14. Memposisikan pasien
15. Menginstruksikan pasien untuk
memfiksasikan padangan ke mata/hidung
pemeriksa.

40 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

16. Posisikan tangan kanan dan kiri pada


daerah temporal pasien, satu tangan di
regio temporo-superior, dan tangan lainnya
di regio temporo-inferior (dengan
mengacungkan jari pada tangan & jarak
kedua tangan ± 0,5 m).
17. Menginstruksikan pasien untuk menunjuk
tangan pemeriksa dengan pandangan tetap
lurus ke mata pemeriksa.
18. Gerakkan kedua tangan ke arah yang
berlainan (tangan yang berada di temporo –
superior ke arah temporo-inferior dan
sebaliknya).
19. Menginstruksikan pasien untuk menunjuk
tangan pemeriksa.
Pemeriksaan lapang pandang-2
20. Menginstruksikan pasien untuk menutup
mata yang sehat
21. Menginstruksikan pasien untuk memfiksasi
pandangan ke hidung pemeriksa
22. Menginstruksikan pasien untuk
menyebutkan saat tangan pemeriksa
terlihat/tidak terlihat
23. Mengacungkan jari di lateral mata pasien
24. Menggerakkan jari ke arah medial
25. Melakukan pemeriksaan lapang pandang
sesuai arah mata angin
26. Melaporkan hasil & interpretasi
Pemeriksaan gerak bola mata
27. Menjelaskan prosedur pemeriksaan gerak
bola mata
28. Melakukan light test & melaporkan hasil

41 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

29. Menginstruksikan pasien untuk mengikuti


pola gerakan dari jari/bolpen yang
diacungkan
30. Gerakkan jari dengan pola H
31. Hentikan gerakan sebentar setiap arah
pandangan mata, dan amati gerakan bola
mata pasien.
32. Melaporkan hasil & interpretasi
Pemeriksaan segmen anterior
33. Melakukan inspeksi pada alis dan
melaporkan hasil
34. Melakukan inspeksi pada kelopak mata dan
melaporkan hasil
35. Melakukan inspeksi pada kalenjar
lakrimalis dan melaporkan hasil
36. Melakukan inspeksi pada konjungtiva &
sklera dan melaporkan hasil
37. Melakukan inspeksi pada kornea & lensa
dan melaporkan hasil
38. Melakukan inspeksi pada iris & bilik
anterior dan melaporkan hasil
39. Melakukan pemeriksan pupil direk &
melaporkan hasil
40. Melakukan pemeriksaan pupil indirek &
melaporkan hasil
Pemeriksaan segmen posterior (funduscopy)
41. Menjelaskan prosedur & tujuan
pemeriksaan yang akan dilakukan
42. Mengatur cahaya ruang pemeriksaan
(menggelapkan ruangan)
43. Mempersiapkan opthalmoscope (mengatur
cahaya & lens disc)

42 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

44. Melakukan funduscopy pada mata kanan


45. Melaporkan hasil & interpretasi
46. Melakukan funduscopy pada mata kiri
47. Melaporkan hasil & interpretasi
48. Mencatat hasil di rekam medis
Pemeriksaan tekanan intra okular
49. Menjelaskan prosedur & tujuan
pemeriksaan yang akan dilakukan
50. Meminta pasien melirik ke bawah
51. Meletakkan kedua jari telunjuk pada bola
mata, dan jari yang lain memfiksasi tulang
sekitar orbita
52. Melakukan penekanan dengan jari telunjuk
secara bergantian
53. Melakukan pemeriksaan pada mata
sebelahnya
54. Melaporkan hasil & interpretasi
55. Mencatat hasil di rekam medis
56. Mencuci tangan
57. Menutup sesi

43 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Nilai
0 : tidak dikerjakan
1 : dikerjakan tidak sempurna
2 : dikerjakan sempurna

Penilai,
Nilai = (Total : 114) x 100 =

Tanggal:

(_____________________)

44 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

BLOK 2A GANGGUAN HEMATOLOGI DAN NEOPLASMA


1. KOMUNIKASI: BREAKING BAD NEWS
2. PROSEDURAL: BALUT, BIDAI,DAN TRANSPORT
3. PROSEDURAL: BEDAH MINOR
4. CLINICAL REASONING: MUSKULOSKELETAL

45 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

BREAKING BAD NEWS

dr. GM. Silvia Merry, MSc.

TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Melatih mahasiswa untuk dapat menjelaskan berita buruk pada pasien
dan/atau keluarganya dengan baik.
2. Mahasiswa mampu memberikan sikap yang sesuai dalam menyampaikan
berita buruk, sesuai dengan masing-masing kondisi.

GREGG K. VANDEKIEFT, M.D., Michigan State University College of Human


Medicine, East Lansing, Michigan

Breaking bad news is one of a physician’s most difficult duties, yet


medical education typically offers little formal preparation for this daunting
task. Without proper training, the discomfort and uncertainty associated with
breaking bad news may lead physicians to emotionally disen- gage from patients.
Numerous study results show that patients generally desire frank and empathetic
disclosure of a terminal diagnosis or other bad news. Focused training in
communi- cation skills and techniques to facilitate breaking bad news has been
demonstrated to improve patient satisfaction and physician comfort. Physicians
can build on the following simple mnemonic, ABCDE, to provide hope and healing
to patients receiving bad news: Advance preparation—arrange adequate time
and privacy, confirm medical facts, review relevant clinical data, and
emotionally prepare for the encounter. Building a therapeutic relationship—
identify patient preferences regarding the disclosure of bad news.
Communicating well—determine the patient’s knowledge and understanding of
the situation, proceed at the patient’s pace, avoid medical jargon or
euphemisms, allow for silence and tears, and answer questions. Dealing with
patient and family reactions—assess and respond to emotional reactions and
empathize with the patient. Encouraging/validating emotions—offer realistic
hope based on the patient’s goals and deal with your own needs. (Am Fam
Physician 2001;64:1975-8. Copyright© 2001 American Academy of Family
Physicians.)

46 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Breaking bad news to patients is one of the most difficult responsibilities


in the practice of medicine. Although virtually all physicians in clinical practice
encounter situations entailing bad news, medical school offers little formal
training in how to discuss bad news with patients and their families. This article
presents an overview of issues pertaining to breaking bad news and practical
recommen dations for clinicians wishing to improve their clinical skills in this
area.
What Is Bad News?
One source1 defines bad news as “any news that drasti- cally and
negatively alters the patient’s view of her or his future.” Professional bicyclist
Lance Armstrong’s recollec- tion of being diagnosed with metastatic testicular
cancer exemplifies the impact of bad news on one’s self-image: “I left my house
on October 2, 1996, as one person and came home another.”2 Bad news is
stereotypically associated with a terminal diagnosis, but family physicians
encounter many situations that involve imparting bad news; for example, a
pregnant woman’s ultrasound verifies a fetal demise, a middle-aged woman’s
magnetic resonance imag- ing scan confirms the clinical suspicion of multiple
sclero- sis, or an adolescent’s polydipsia and weight loss prove to be the onset
of diabetes.
See editorial on page 1946.
How a patient responds to bad news can be influenced by the patient’s
psychosocial context. It might simply be a diagnosis that comes at an
inopportune time, such as unstable angina requiring angioplasty during the week
of a daughter’s wedding, or it may be a diagnosis that is incompatible with one’s
employment, such as a coarse tremor developing in a cardiovascular surgeon.
When the physician cares for multiple members of a family, the lines between
the patient’s needs and the family’s needs may become blurred. Most family
physicians have faced a conference room full of family members awaiting news
about the patient, or have been pulled aside for a hallway discussion with the
request to withhold the conversation from the patient or other family members.

47 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Why Is Breaking Bad News So Difficult?


There are many reasons why physicians have difficulty breaking bad news.
A common concern is how the news will affect the patient, and this is often used
to justify with- holding bad news. Hippocrates advised “concealing most things
from the patient while you are attending to him. Give necessary orders with
cheerfulness and seren- ity…revealing nothing of the patient’s future or present
condition. For many patients…have taken a turn for the worse…by forecast of
what is to come.”3
In 1847, the American Medical Association’s first code of medical ethics stated,
“The life of a sick person can be short- ened not only by the acts, but also by
the words or the man- ner of a physician. It is, therefore, a sacred duty to guard.
Physicians need to individualize their manner of breaking bad news based on
the patient’s desires and needs.
Himself carefully in this respect, and to avoid all things which have a
tendency to discourage the patient and to depress his spirits.”
In the past few decades, traditional paternalistic models of patient care
have given way to an emphasis on patient autonomy and empowerment. A review
of studies on patient preferences regarding disclosure of a terminal diagnosis
found that 50 to 90 percent of patients desired full disclosure.4 Because a sizable
minority of patients still may not want full disclosure, the physician needs to
ascer- tain how the patient would like to have bad news addressed. Qualitative
studies about the information needs of cancer patients identify several
consistent themes, but which theme is most important to any given patient is
highly variable and few patient characteristics accurately predict which theme
will be most important.5
Therefore, the physician faces the challenge of individual- izing the
manner of breaking bad news and the content delivered, according to the
patient’s desires or needs.
Physicians also have their own issues about breaking bad news. It is an
unpleasant task. Physicians do not wish to take hope away from the patient.
They may be fearful of the patient’s or family’s reaction to the news, or
uncertain how to deal with an intense emotional response. Bad news often must
be delivered in settings that are not conducive to such intimate conversations.

48 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

The hectic pace of clinical practice may force a physician to deliver bad news
with little forewarning or when other responsibilities are com- peting for the
physician’s attention.
Historically, the emphasis on the biomedical model in medical training
places more value on technical profi- ciency than on communication skills.
Therefore, physi- cians may feel unprepared for the intensity of breaking bad
news, or they may unjustifiably feel that they have failed the patient. The
cumulative effect of these factors is physician uncertainty and discomfort, and
a resultant ten- dency to disengage from situations in which they are called on
to break bad news.6 Rabow and McPhee keenly describe the end result,
“Clinicians focus often on reliev- ing patients’ bodily pain, less often on their
emotional dis- tress, and seldom on their suffering.”7
Several professional groups have published consensus guidelines on how
to discuss bad news; however, few of those guidelines are evidence-based.8 The
clinical efficacy of many standard recommendations has not been empirically
demonstrated.9,10 Less than 25 percent of publications on breaking bad news
are based on studies reporting origi- nal data, and those studies commonly have
methodologic limitations.
Learning general communication skills can enable physicians to break bad
news in a manner that is less uncomfortable for them and more satisfying for
patients and their families.11 Numerous investigators have demon- strated that
focused educational interventions improve student and resident skills in
delivering bad news.12-14 Fol- lowing traumatic deaths, surviving family
members judged the most important features of delivering bad news to be the
attitude of the person who gave the news, the clar- ity of the message, privacy,
and the newsgiver’s ability to answer questions.15 As Franks observes, “It is
not an iso- lated skill but a particular form of communication.”16

How Should Bad News Be Delivered?


How can bad news be most compassionately and effec tively delivered?
Rabow and McPhee7 developed a practi- cal and comprehensive model,
synthesized from multiple sources, that uses the simple mnemonic ABCDE (Table
17). The following recommendations are patterned after Rabow and McPhee’s

49 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

ABCDE mnemonic, with modifica- tion and additional material from other
sources.16-21
Although specific situations may preclude carrying out many of these
suggestions, the recommendations are intended to serve as a general guide and
should not be viewed as overly prescriptive.

A–ADVANCE PREPARATION
• Familiarize yourself with the relevant clinical infor- mation. Ideally, have the
patient’s chart or pertinent labo- ratory data on hand during the conversation.
Be prepared to provide at least basic information about prognosis and
treatment options.
• Arrange for adequate time in a private, comfortable location. Instruct office
or hospital staff that there should be no interruptions. Turn your pager to
silent mode or leave it with a colleague.
• Mentally rehearse how you will deliver the news. You may wish to practice
out loud, as you would prepare for public speaking. Script specific words and
phrases to use or avoid. If you have limited experience delivering bad news,
consider observing a more experienced colleague or role play a variety of
scenarios with colleagues before actually being faced with the situation.
• Prepare emotionally.

B–BUILD A THERAPEUTIC ENVIRONMENT/RELATIONSHIP


• Determine the patient’s preferences for what and how much they want to
know.
• When possible, have family members or other supportive persons present.
This should be at the patient’s discretion. If bad news is anticipated, ask in
advance who they would like present and how they would like the others to
be involved.
• Introduce yourself to everyone present and ask for names and relationships
to the patient.
• Foreshadow the bad news, “I’m sorry, but I have bad news.”
• Use touch where appropriate. Some patients or family members will prefer
not to be touched. Be sensitive to cul tural differences and personal

50 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

preference. Avoid inappro priate humor or flippant comments; depending on


your relationship with the patient, some discreet humor may be appropriate.
• Assure the patient you will be available. Schedule fol low-up meetings and
make appropriate arrangements with your office. Advise appropriate staff
and colleagues of the situation.
C–COMMUNICATE WELL
• Ask what the patient or family already knows and under- stands. One source
advises, “Before you tell, ask… . Find out the patient’s expectations before
you give the information.”19
• A physician’s attitude and communication skills play a crucial role in how well
patients cope when they receive bad news.
• Speak frankly but compassionately. Avoid euphem- isms and medical jargon.
Use the words cancer or death.
• Allow silence and tears, and avoid the urge to talk to
• overcome your own discomfort. Proceed at the patient’s
• pace.
• Have the patient tell you his or her understanding of what you have said.
Encourage questions. At subsequent visits, ask the patient if he or she
understands, and use repetition and corrections as needed.
• Be aware that the patient will not retain much of what is said after the initial
bad news. Write things down, use sketches or diagrams, and repeat key
information.
• At the conclusion of each visit, summarize and make follow-up plans.

D–DEAL WITH PATIENT AND FAMILY REACTIONS


• Assess and respond to emotional reactions. Be aware of cognitive coping
strategies (e.g., denial, blame, intellec- tualization, disbelief, acceptance).
Be attuned to body lan- guage. With subsequent visits, monitor the patient’s
emo- tional status, assessing for despondency or suicidal ideations.
• Be empathetic; it is appropriate to say “I’m sorry” or “I don’t know.” Crying
may be appropriate, but be reflective—are your tears from empathy with your
patient or are they a reflection of your own personal issues?

51 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

• Do not argue with or criticize colleagues; avoid defen siveness regarding your,
or a colleague’s, medical care.

E–ENCOURAGE AND VALIDATE EMOTIONS


• Offer realistic hope. Even if a cure is not realistic, offer hope and
encouragement about what options are available. Discuss treatment options
at the outset, and arrange fol- low-up meetings for decision making.
• Explore what the news means to the patient. Inquire about the patient’s
emotional and spiritual needs and what support systems they have in place.
Offer referrals as needed.
• Use interdisciplinary services to enhance patient care (e.g., hospice), but
avoid using these as a means of disen gaging from the relationship.

TABLE 1
The ABCDE Mnemonic for Breaking Bad News
Advance preparation
• Arrange for adequate time, privacy and no interruptions (turn pager off or to
silent mode).
• Review relevant clinical information.
• Mentally rehearse, identify words or phrases to use and avoid. Prepare
yourself emotionally.

Build a therapeutic environment / relationship


• Determine what and how much the patient wants to know. Have family or
support persons present.
• Introduce yourself to everyone.
• Warn the patient that bad news is coming. Use touch when appropriate.
• Schedule follow-up appointments.

Communicate well
• Ask what the patient or family already knows.
• Be frank but compassionate; avoid euphemisms and medical jargon.

52 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

• Allow for silence and tears; proceed at the patient’s pace. Have the patient
describe his or her understanding of the
• news; repeat this information at subsequent visits.
• Allow time to answer questions; write things down and provide written
information.
• Conclude each visit with a summary and follow-up plan.

Deal with patient and family reactions


• Assess and respond to the patient and the family’s emotional reaction; repeat
at each visit.
• Be empathetic.
• Do not argue with or criticize colleagues.

Encourage and validate emotions


• Explore what the news means to the patient.
• Offer realistic hope according to the patient’s goals. Use interdisciplinary
resources.
• Take care of your own needs; be attuned to the needs of involved house staff
and office or hospital personnel.

Adapted with permission from Rabow MW, McPhee SJ. Beyond breaking
bad news: how to help patients that suffer. West J Med 1999;171:261.
Attend to your own needs during and following the delivery of bad news.
Issues of counter-transference may arise, triggering poorly understood but
powerful feelings. A formal or informal debriefing session with involved house
staff, office or hospital personnel may be appropri- ate to review the medical
management and their feelings.

Final Comment
Despite the challenges involved in delivering bad news, physicians can
find tremendous gratification in providing a therapeutic presence during a
patient’s time of greatest need. Further research is needed to provide empirical
sup- port for consensus-based guidelines. However, a growing body of evidence

53 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

demonstrates that physicians’ attitude and communication skills play a crucial


role in how well patients cope with bad news and that patients and physi- cians
will benefit if physicians are better trained for this difficult task. The limits of
medicine assure that patients cannot always be cured. These are precisely the
times that professionalism most acutely calls the physician to provide hope and
healing for the patient.
The author indicates that he does not have any conflicts of inter- est. Sources of
funding: none reported.

REFERENCES
1. Buckman R. Breaking bad news: why is it so difficult? BMJ 1984;288:1597-
9.
2. Armstrong L. It’s not about the bike: my journey back to life. New York:
Putnam, 2000.
3. Hippocrates. Decorum, XVI. In: Jones WH, Hippocrates with an English
Translation. Vol 2. London: Heinemann, 1923.
4. 4. Ley P. Giving information to patients. In: Eiser JR, ed. Social psy- chology
and behavioral medicine. New York: Wiley, 1982:353.
5. 5. Kutner JS, Steiner JF, Corbett KK, Jahnigen DW, Barton PL. Infor- mation
needs in terminal illness. Soc Sci Med 1999;48:1341-52.
6. O’Hara D. Tendering the truth. Am Med News 2000;43:25-6.
7. Rabow MW, McPhee SJ. Beyond breaking bad news: how to help patients who
suffer. West J Med 1999;171:260-3.
8. Girgis A, Sanson-Fisher RW. Breaking bad news. 1: current best evidence for
clinicians. Behav Med 1998;24:53-9.
9. Ptacek JT, Eberhardt TL. Breaking bad news. A review of the litera- ture.
JAMA 1996;276:496-502.
10. Walsh RA, Girgis A, Sanson-Fisher RW. Breaking bad news. 2: what evidence
is available to guide clinicians? Behav Med 1998;24:61-72.
11. Ellis PM, Tattersall MH. How should doctors communicate the diagnosis of
cancer to patients? Ann Med 1999;31:336-41.
12. Vetto JT, Elder NC, Toffler WL, Fields SA. Teaching medical stu- dents to
give bad news: does formal instruction help? J Cancer Educ 1999;14:13-7.

54 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

13. Garg A, Buckman R, Kason Y. Teaching medical students how to break bad
news. CMAJ 1997; 156:1159-64.
14. Cushing AM, Jones A. Evaluation of a breaking bad news course for medical
students. Med Educ 1995;29:430-5.
15. Jurkovich GJ, Pierce B, Pananen L, Rivara FP. Giving bad news: the family
perspective. J Trauma 2000; 48:865-70.
16. Franks A. Breaking bad news and the challenge of communica- tion. Eur J
Palliat Care 1997;4:61-5.
17. Buckman R. How to break bad news: a guide for health care pro- fessionals.
Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1992.
18. Campbell EM, Sanson-Fisher RW. Breaking bad news. 3: encour- aging the
adoption of best practices. Behav Med 1998;24:73-80.
19. Baile WF, Buckman R, Lenzi R, Glober G, Beale EA, Kudelka AP. SPIKES-A six-
step protocol for delivering bad news: application to the patient with
cancer. Oncologist 2000;5:302-11.
20. Quill TE, Townsend P. Bad news: delivery, dialogue, and dilemmas. Arch
Intern Med 1991;151:463-8.
21. Emanuel LL, von Gunten CF, Ferris FD, eds. Education for Physi- cians on
End-of-Life Care (EPEC) Curriculum. Chicago: The Robert Wood Johnson
Foundation, 1999.

THE AUTHOR
GREGG K. VANDEKIEFT, M.D., is assistant director of the Palliative Care
Education and Research Program at Michigan State University, East Lansing.
Currently, Dr. VandeKieft is completing his masters in ethics and humanities at
Michigan State University. He received his medical degree from the University
of Iowa, Iowa City, and completed a resi- dency in family practice at Phoenix
Baptist Hospital and Medical Center, Phoenix, Ariz.
Address correspondence to Gregg K. VandeKieft, M.D., Department of
Family Practice, Michigan State University College of Human Medicine, B101
Clinical Center, East Lansing, MI 48824-1315 (e-mail: gregg.van-
dekieft@ht.msu.edu). Reprints are not available from the author.

55 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

SPIKES—A Six-Step Protocol for Delivering Bad News: Application to the


Patient with Cancer
WALTER F. BAILE,a ROBERT BUCKMAN,b RENATO LENZI,a GARY GLOBER,a
ESTELA A. BEALE,a ANDRZEJ P. KUDELKAb
a)The University of Texas MD Anderson Cancer Center, Houston, Texas, USA;
b)The Toronto-Sunnybrook Regional Cancer Centre, Toronto, Ontario,
Canada
Key Words. Neoplasms • Physician-patient relations • Truth disclosure •
Educational models

ABSTRACT
We describe a protocol for disclosing unfavorable information—“breaking
bad news”—to cancer patients about their illness. Straightforward and prac-
tical, the protocol meets the requirements defined by published research on this
topic. The protocol (SPIKES) consists of six steps. The goal is to enable the
clinician to fulfill the four most important objectives of the interview disclosing
bad news: gathering infor- mation from the patient, transmitting the medical
information, providing support to the patient, and elic- iting the patient’s
collaboration in developing a stra- tegy or treatment plan for the future.
Oncologists, oncology trainees, and medical students who have been taught the
protocol have reported increased confidence in their ability to disclose
unfavorable medical infor- mation to patients. Directions for continuing assess-
ment of the protocol are suggested. The Oncologist
2000;5:302-311

BACKGROUND
Surveys conducted from 1950 to 1970, when treatment prospects for
cancer were bleak, revealed that most physicians considered it inhumane and
damaging to the patient to disclose the bad news about the diagnosis [1, 2].
Ironically, while treat- ment advances have changed the course of cancer so that
it is much easier now to offer patients hope at the time of diagno- sis, they have
also created a need for increased clinician skill in discussing other bad news.
These situations include disease recurrence, spread of disease or failure of

56 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

treatment to affect disease progression, the presence of irreversible side


effects, revealing positive results of genetic tests, and raising the issue of
hospice care and resuscitation when no further treatment options exist. This
need can be illustrated by information col- lected by an informal survey
conducted at the 1998 Annual Meeting of the American Society of Clinical
Oncology (ASCO), where we queried attendees at a symposium on com-
munication skills. For this symposium several experts in teach- ing aspects of the
doctor-patient relationship in oncology formulated a series of questions to
assess attendees’ attitudes and practices regarding breaking bad news. Of the
700 persons attending the symposium, which was repeated twice over a two-day
period, 500 received a transponder allowing them to respond in “real time” to
questions that were presented on a screen. The results were immediately
analyzed for discussion and are presented in Table 1. We asked participants
about their experiences in breaking bad news and their opinions as to its most
difficult aspects. Approximately 60% of respon- dents indicated that they broke
bad news to patients from 5 to 20 times per month and another 14% more than
20 times per month. These data suggest that, for many oncologists, break- ing
bad news should be an important communication skill.
However, breaking bad news is also a complex com- munication task. In
addition to the verbal component of actually giving the bad news, it also requires
other skills. These include responding to patients’ emotional reactions, involving
the patient in decision-making, dealing with the stress created by patients’
expectations for cure, the involvement of multiple family members, and the
dilemma of how to give hope when the situation is bleak. The com- plexity of
the interaction can sometimes create serious miscommunications [3-6] such as
patient misunderstand- ing about the prognosis of the illness or purpose of care
[7- 12]. Poor communication may also thwart the goal of understanding patient
expectations of treatment or involving the patient in treatment planning.
The task of breaking bad news can be improved by under- standing the process
involved and approaching it as a step- wise procedure, applying well-established
principles of communication and counseling. Below we describe a six-step
protocol, which incorporates these principles.

57 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

A DEFINITION OF BAD NEWS


Bad news may be defined as “any information which adversely and
seriously affects an individual’s view of his or her future” [13]. Bad news is
always, however, in the “eye of the beholder,” such that one cannot estimate
the impact of the bad news until one has first determined the recipient’s expec-
tations or understanding. For example, a patient who is told that her back pain
is caused by a recurrence of her breast can- cer when she was expecting to be
told it was a muscle strain is likely to feel shocked.

BREAKING BAD NEWS: WHY IS IT IMPORTANT?


A Frequent but Stressful Task
Over the course of a career, a busy clinician may disclose unfavorable
medical information to patients and families many thousands of times [14].
Breaking bad news to cancer patients is inherently aversive, described as
“hitting the patient over the head” or “dropping a bomb” [6]. Breaking bad news
can be particularly stressful when the clinician is inexperienced, the patient is
young, or there are limited prospects for successful treatment [3].

Patients Want the Truth


By the late 1970s most physicians were open about telling cancer patients
their diagnosis [15]. However, studies began to indicate that patients also
desired additional information. For example, a survey published in 1982 of 1,251
Americans [16] indicated that 96% wished to be told if they had a diag- nosis of
cancer, but also that 85% wished, in cases of a grave prognosis, to be given a
realistic estimate of how long they had to live. Over many years a number of
studies in the United States have supported these findings [17-23], although
patient expectations have not always been met [24-27]. European patients’
wishes have been found to be similar to those of American patients. For
example, a study of 250 patients at an oncology center in Scotland showed that
91% and 94% of patients, respectively, wanted to know the chances of cure for
their cancer and the side effects of therapy [28].

58 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Ethical and Legal Imperatives


In North America, principles of informed consent, patient autonomy, and
case law have created clear ethical and legal obligations to provide patients with
as much information as they desire about their illness and its treatment [29,
30]. Physicians may not withhold medical information even if they suspect it will
have a negative effect on the patient. Yet a man- date to disclose the truth,
without regard or concern for the sen- sitivity with which it is done or the
obligation to support the patients and assist them in decision-making, can result
in the patients being as upset as if they were lied to [4]. As has been aptly
suggested, the practice of deception cannot instantly be remedied by a new
routine of insensitive truth telling [31].

Clinical Outcomes
How bad news is discussed can affect the patient’s comprehension of
information [32], satisfaction with med- ical care [33, 34], level of hopefulness
[35], and subsequent psychological adjustment [36-38]. Physicians who find it
difficult to give bad news may subject patients to harsh treatments beyond the
point where treatment may be expected to be helpful [39]. The idea that
receiving unfa- vorable medical information will invariably cause psycho- logical
harm is unsubstantiated [40, 41]. Many patients desire accurate information to
assist them in making impor- tant quality-of-life decisions. However, others who
find it too threatening may employ forms of denial, shunning or minimizing the
significance of the information, while still participating in treatment.

WHAT ARE THE BARRIERS TO BREAKING BAD NEWS?


Tesser [42] and others conducted psychological exper- iments that
showed that the bearer of bad news often expe- riences strong emotions such as
anxiety, a burden of responsibility for the news, and fear of negative evaluation.
This stress creates a reluctance to deliver bad news, which he named the “MUM”
effect. The MUM effect is particu- larly strong when the recipient of the bad
news is already perceived as being distressed [43]. It is not hard to imagine that
these factors may operate when bad news must be given to cancer patients [44,
45].

59 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

The participants in our previously mentioned ASCO sur- vey identified several
additional stresses in giving bad news. Fifty-five percent ranked “how to be
honest with the patient and not destroy hope” as most important, whereas
“dealing with the patient’s emotions” was endorsed by 25%. Finding the right
amount of time was a problem for only 10%.
Despite these identified challenges, less than 10% of survey respondents had any
formal training in breaking bad news and only 32% had the opportunity during
training to regularly observe interviews where bad news was deliv- ered. While
53% of respondents indicated that their ability to break bad news was good to
very good, 39% thought that it was only fair, and 8% thought it was poor. From
this information and other studies we may con- clude that for many clinicians
additional training in disclos- ing unfavorable information to the patient could
be useful and increase their confidence in accomplishing this task. Moreover,
techniques for disclosing information in a way that addresses the expectations
and emotions of the patients also seem to be strongly desired, but rarely taught.

HOW CAN A STRATEGY FOR BREAKING BAD NEWS HELP THE CLINICIAN AND
THE PATIENT?
When physicians are uncomfortable in giving bad news they may avoid
discussing distressing information, such as a poor prognosis, or convey
unwarranted optimism to the patient [46]. A plan for determining the patient’s
values, wishes for participation in decision-making, and a strategy for addressing
their distress when the bad news is disclosed can increase physician confidence
in the task of disclosing unfavorable medical information [47, 48]. It may also
encourage patients to participate in difficult treatment deci- sions, such as when
there is a low probability that direct anticancer treatment will be efficacious.
Finally, physicians who are comfortable in breaking bad news may be subject to
less stress and burnout [49].

A SIX-STEP STRATEGY FOR BREAKING BAD NEWS


The authors of several recent papers have advised that interviews about
breaking bad news should include a num- ber of key communication techniques
that facilitate the flow of information [3, 13, 50-54]. We have incorporated

60 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

these into a step-by-step technique, which additionally pro- vides several


strategies for addressing the patient’s distress.
Complex Clinical Tasks May Be Considered as a Series of Steps
The process of disclosing unfavorable clinical informa- tion to cancer
patients can be likened to other medical proce- dures that require the execution
of a stepwise plan. In medical protocols, for example, cardiopulmonary
resuscita- tion or management of diabetic ketoacidosis, each step must be
carried out and, to a great extent, the successful comple- tion of each task is
dependent upon the completion of the step before it.
Goals of the Bad News Interview
The process of disclosing bad news can be viewed as an attempt to
achieve four essential goals. The first is gathering information from the patient.
This allows the physician to determine the patient’s knowledge and
expectations and readiness to hear the bad news. The second goal is to provide
intelligible information in accordance with the patient’s needs and desires.
The third goal is to support the patient by employing skills to reduce the
emotional impact and isola- tion experienced by the recipient of bad news. The
final goal is to develop a strategy in the form of a treatment plan with the input
and cooperation of the patient.
Meeting these goals is accomplished by completing six tasks or steps, each of
which is associated with specific skills. Not every episode of breaking bad news
will require all of the steps of SPIKES, but when they do they are meant to follow
each other in sequence.

61 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

THE SIX STEPS OF SPIKES


STEP 1: S—SETTING UP the Interview
Mental rehearsal is a useful way for preparing for stressful tasks. This
can be accomplished by reviewing the plan for telling the patient and how one
will respond to patients’ emotional reactions or difficult questions. As the
messenger of bad news, one should expect to have negative feelings and to feel
frustration or responsibility [55]. It is helpful to be reminded that, although bad
news may be very sad for the patients, the information may be important in
allowing them to plan for the future.
Sometimes the physical setting causes interviews about sensitive topics
to flounder. Unless there is a semblance of privacy and the setting is conducive
to undistracted and focused discussion, the goals of the interview may not be
met. Some helpful guidelines:
• Arrange for some privacy. An interview room is ideal, but, if one is not
available, draw the curtains around the patient’s bed. Have tissues ready in
case the patient becomes upset.
• Involve significant others. Most patients want to have someone else with them
but this should be the patient’s choice. When there are many family members,
ask the patient to choose one or two family representatives.
• Sit down. Sitting down relaxes the patient and is also a sign that you will not
rush. When you sit, try not to have barriers between you and the patient. If
you have recently examined the patient, allow them to dress before the
discussion.
• Make connection with the patient. Maintaining eye con- tact may be
uncomfortable but it is an important way of establishing rapport. Touching
the patient on the arm or holding a hand (if the patient is comfortable with
this) is another way to accomplish this.
• Manage time constraints and interruptions. Inform the patient of any time
constraints you may have or inter- ruptions you expect. Set your pager on
silent or ask a colleague to respond to your pages.

62 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

STEP 2: P—ASSESSING THE PATIENT’S


PERCEPTION
Steps 2 and 3 of SPIKES are points in the interview where you implement
the axiom “before you tell, ask.” That is, before discussing the medical findings,
the clinician uses open-ended questions to create a reasonably accurate pic-
ture of how the patient perceives the medical situation— what it is and whether
it is serious or not. For example, “What have you been told about your medical
situation so far?” or “What is your understanding of the reasons we did the MRI?”.
Based on this information you can correct mis- information and tailor the bad
news to what the patient understands. It can also accomplish the important task
of determining if the patient is engaging in any variation of ill- ness denial:
wishful thinking, omission of essential but unfavorable medical details of the
illness, or unrealistic expectations of treatment [56].

STEP 3: I—OBTAINING THE PATIENT’S


INVITATION
While a majority of patients express a desire for full information about
their diagnosis, prognosis, and details of their illness, some patients do not.
When a clinician hears a patient express explicitly a desire for information, it
may lessen the anxiety associated with divulging the bad news [57]. However,
shunning information is a valid psycholog- ical coping mechanism [58, 59] and
may be more likely to be manifested as the illness becomes more severe [60].
Discussing information disclosure at the time of ordering tests can cue the
physician to plan the next discussion with the patient. Examples of questions
asked the patient would be, “How would you like me to give the information
about the test results? Would you like me to give you all the infor- mation or
sketch out the results and spend more time dis- cussing the treatment plan?”. If
patients do not want to know details, offer to answer any questions they may
have in the future or to talk to a relative or friend.

63 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

STEP 4: K—GIVING KNOWLEDGE AND


INFORMATION TO THE PATIENT
Warning the patient that bad news is coming may lessen the shock that
can follow the disclosure of bad news [32] and may facilitate information
processing [61]. Examples of phrases that can be used include, “Unfortunately
I’ve got some bad news to tell you” or “I’m sorry to tell you that…”.
Giving medical facts, the one-way part of the physician- patient dialogue,
may be improved by a few simple guide- lines. First, start at the level of
comprehension and vocabulary of the patient. Second, try to use nontechnical
words such as “spread” instead of “metastasized” and “sample of tissue” instead
of “biopsy.” Third, avoid excessive bluntness (e.g., “You have very bad cancer
and unless you get treatment immediately you are going to die.”) as it is likely
to leave the patient isolated and later angry, with a tendency to blame the
messenger of the bad news [4, 32, 61]. Fourth, give information in small chunks
and check periodically as to the patient’s understanding. Fifth, when the
prognosis is poor, avoid using phrases such as “There is nothing more we can do
for you.” This attitude is inconsistent with the fact that patients often have
other important therapeutic goals such as good pain control and symptom relief
[35, 62].
STEP 5: E—ADDRESSING THE PATIENT’S
EMOTIONS WITH EMPATHIC RESPONSES
Responding to the patient’s emotions is one of the most difficult
challenges of breaking bad news [3, 13]. Patients’ emotional reactions may vary
from silence to disbelief, crying, denial, or anger.
When patients get bad news their emotional reaction is often an expression of
shock, isolation, and grief. In this sit- uation the physician can offer support and
solidarity to the patient by making an empathic response. An empathic response
consists of four steps [3]:
• First, observe for any emotion on the part of the patient. This may be
tearfulness, a look of sadness, silence, or shock.
• Second, identify the emotion experienced by the patient by naming it to
oneself. If a patient appears sad but is silent, use open questions to query the
patient as to what they are thinking or feeling.

64 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

• Third, identify the reason for the emotion. This is usu- ally connected to the
bad news. However, if you are not sure, again, ask the patient.
• Fourth, after you have given the patient a brief period of time to express his
or her feelings, let the patient know that you have connected the emotion
with the reason for the emotion by making a connecting state- ment. An
example:
Doctor: I’m sorry to say that the x-ray shows that the chemotherapy
doesn’t seem to be working [pause]. Unfortunately, the tumor has grown
somewhat.
Patient: I’ve been afraid of this! [Cries]
Doctor: [Moves his chair closer, offers the patient a tissue, and pauses.] I know
that this isn’t what you wanted to hear. I wish the news were better.
In the above dialogue, the physician observed the patient crying and
realized that the patient was tearful because of the bad news. He moved closer
to the patient. At this point he might have also touched the patient’s arm or
hand if they were both comfortable and paused a moment to allow her to get
her composure. He let the patient know that he understood why she was upset
by making a statement that reflected his understanding. Other examples of
empathic responses can be seen in Table 2.
Until an emotion is cleared, it will be difficult to go on to discuss other
issues. If the emotion does not diminish shortly, it is helpful to continue to make
empathic responses until the patient becomes calm. Clinicians can also use
empathic responses to acknowledge their own sadness or other emotions (“I also
wish the news were better”). It can be a show of support to follow the empathic
response with a validating statement, which lets the patient know that their
feelings are legitimate (Table 3). Again, when emotions are not clearly
expressed, such as when the patient is silent, the physician should ask an
exploratory question before he makes an empathic response. When emotions
are subtle or indirectly expressed or disguised as in thinly veiled disappointment
or anger (“I guess this means I’ll have to suffer through chemother- apy again”)
you can still use an empathic response (“I can see that this is upsetting news for
you”). Patients regard their oncologist as one of their most important sources of
psychological support [63], and combining empathic, exploratory, and

65 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

validating statements is one of the most powerful ways of providing that support
[64-66] (Table 2). It reduces the patient’s isolation, expresses solidarity, and
validates the patient’s feelings or thoughts as normal and to be expected [67].

STEP 6: S—STRATEGY AND SUMMARY


Patients who have a clear plan for the future are less likely to feel anxious
and uncertain. Before discussing a treatment plan, it is important to ask
patients if they are ready at that time for such a discussion. Presenting
treatment options to patients when they are available is not only a legal
mandate in some cases [68], but it will establish the percep- tion that the
physician regards their wishes as important. Sharing responsibility for decision-
making with the patient may also reduce any sense of failure on the part of the
physi- cian when treatment is not successful. Checking the patient’s
misunderstanding of the discussion can prevent the docu- mented tendency of
patients to overestimate the efficacy or misunderstand the purpose of treatment
[7-9, 57]. Clinicians are often very uncomfortable when they must discuss
prognosis and treatment options with the patient, if the information is
unfavorable. Based on our own observations and those of others [1, 5, 6, 10, 44-
46], we believe that the discomfort is based on a number of con- cerns that
physicians experience. These include uncertainty about the patient’s
expectations, fear of destroying the patient’s hope, fear of their own
inadequacy in the face of uncontrollable disease, not feeling prepared to
manage the patient’s anticipated emotional reactions, and sometimes
embarrassment at having previously painted too optimistic a picture for the
patient.
These difficult discussions can be greatly facilitated by using several
strategies. First, many patients already have some idea of the seriousness of
their illness and of the limi- tations of treatment but are afraid to bring it up or
ask about outcomes. Exploring the patient’s knowledge, expectations, and hopes
(step 2 of SPIKES) will allow the physician to understand where the patient is
and to start the discussion from that point. When patients have unrealistic
expectations (e.g., “They told me that you work miracles.”), asking the patient
to describe the history of the illness will usually reveal fears, concerns, and

66 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

emotions that lie behind the expectation. Patients may see cure as a global
solution to sev- eral different problems that are significant for them. These may
include loss of a job, inability to care for the family, pain and suffering, hardship
on others, or impaired mobility. Expressing these fears and concerns will often
allow the patient to acknowledge the seriousness of their condition. If patients
become emotionally upset in discussing their con- cerns, it would be appropriate
to use the strategies outlined in step 5 of SPIKES. Second, understanding the
important spe- cific goals that many patients have, such as symptom control,
and making sure that they receive the best possible treatment and continuity of
care will allow the physician to frame hope in terms of what it is possible to
accomplish. This can be very reassuring to patients.

EXPERIENCE WITH THE SPIKES PROTOCOL


Oncologists’ Assessment of SPIKES
In the ASCO survey mentioned previously, we asked participants if they felt the
SPIKES protocol would be use- ful in their practice. Ninety-nine percent of those
responding found that the SPIKES protocol was practical and easy to understand.
They reported, however, that using empathic, validating, and exploring
statements to respond to patient emotions would be the greatest challenge of
the protocol (52% of respondents).
In teaching, the SPIKES protocol has been incorporated into filmed
scenarios, which appear as part of a CD-ROM on physician-patient
communication [67]. These scenarios have proven useful in teaching the protocol
and in initiating discussion of the various aspects of breaking bad news.
Does the SPIKES Protocol Reflect the Consensus of Experts?
Very few studies have sampled patient opinion as to their preferences for
disclosure of unfavorable medical informa- tion [69]. However, of the scarce
information available, the content of the SPIKES protocol closely reflects the
consen- sus of cancer patients and professionals as to the essential elements in
breaking bad news [3, 13, 50-54]. In particular, SPIKES emphasizes the
techniques useful in responding to the patient’s emotional reactions and
supporting the patient during this time.

67 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Can Students and Clinicians Learn to Use the Protocol?


Most medical undergraduate and postgraduate programs do not usually
offer specific training in breaking bad news [70] and most oncologists learn to
break bad news by observ- ing more experienced colleagues in clinical situations
[39]. At the University of Texas M.D. Anderson Cancer Center we used the SPIKES
protocol in interactive workshops for oncologists and oncology fellows. As an
outcome, before and after the workshop we used a paper and pencil test to
measure physician confidence in carrying out the various skills associ- ated with
SPIKES. We found that the SPIKES protocol in combination with experiential
techniques such as role play can increase the confidence of faculty and fellows
in applying the SPIKES protocol [47] (Table 3). Undergraduate teaching
experience also showed that the protocol increased medical students’
confidence in formulating a plan for breaking bad news [71].

DISCUSSION
In clinical oncology the ability to communicate effec- tively with patients
and families can no longer be thought of as an optional skill [72]. Current ASCO
guidelines for cur- riculum development do not yet include recommendations for
training in essential communication skills [73]. However, a study by Shea of 2,516
oncologists showed interest in addi- tional training in this area [74]. Shea’s
findings regarding communication skills were echoed by our ASCO survey par-
ticipants, many of whom reported a lack of confidence in ability to break bad
news. A specific lack of training oppor- tunities appeared to play a major role in
leading to this prob- lem, as almost 40% of respondents not only had no didactic
training but also did not have an opportunity to gain experi- ence from observing
other clinicians breaking bad news.
Several papers have clearly demonstrated that communi- cation skills can
be taught and are retained [47, 48, 71, 75, 76]. The SPIKES protocol for breaking
bad news is a spe- cialized form of skill training in physician-patient communi-
cation, which is employed in teaching communication skills in other medical
settings [77]. These key skills are an impor- tant basis for effective
communication [78]. Employing verbal skills for supporting and advocating for
the patient rep- resents an expanded view of the role of the oncologist, which

68 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

is consistent with the important objective of medical care of reducing patient


suffering. They form the basis for patient support, an essential psychological
intervention for distress.
We recognize that the SPIKES protocol is not completely derived from empirical
data, and whether patients will find the approach recommended as useful is still
an important question. However, its implementation presup- poses a dynamic
interaction between physician and patient in which the clinician is guided by
patient understanding, preferences, and behavior. This flexible approach is
more likely to address the inevitable differences among patients than a rigid
recipe that is applied to everyone.

FUTURE DIRECTIONS
We are currently in the process of determining how the bearer of bad
news is affected psychophysiologically during the process of disclosure. We plan
to determine empirically whether the SPIKES protocol can reduce the stress of
break- ing bad news for the physician, and also improve the inter- view and the
support as experienced by the patient. We are further investigating patient
preferences for bad news dis- closure, using many of the steps recommended in
SPIKES, across a variety of disease sites and by age, gender, and stage of disease.
Preliminary data indicate that, as recom- mended in SPIKES, patients wish the
amount of information they receive to be tailored to their preferences. We are
also conducting long-term follow-up of workshops in which the protocol has been
taught to oncologists and oncology trainees to determine empirically how it is
implemented.

REFERENCES
1. Oken D. What to tell cancer patients: a study of medical atti- tudes. JAMA
1961;175:1120-1128.
2. Friedman HS. Physician management of dying patients: an exploration.
Psychiatry Med 1970;1:295-305.
3. Ptacek JT, Eberhardt TL. Breaking bad news. A review of the literature.
JAMA 1996;276:496-502.

69 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

4. Lind SE, DelVecchio-Good MJ, Seidel S et al. Telling the diagnosis of cancer.
J Clin Oncol 1989;7:583-589.
5. Taylor C. Telling bad news: physicians and the disclosure of undesirable
information. Sociol Health Illn 1988;10:120-132.
6. Miyaji N. The power of compassion: truth-telling among American doctors
in the care of dying patients. Soc Sci Med 1993;36:249-264.
7. Eidinger RN, Schapira DV. Cancer patients’ insight into their treatment,
prognosis and unconvential therapies. Cancer 1984;53:2736-2740.
8. Mackillop WJ, Stewart WE, Ginsberg AD et al. Cancer patients’ perceptions
of their disease and its treatment. Br J Cancer 1988;58:355-358.
9. Quirt CF, McKillop WJ, Ginsberg AD et al. Do doctors know when their
patients don’t? A survey of doctor-patient communication in lung cancer.
Lung Cancer 1997;18:1-20.
10. Siminoff LA, Fetting JH, Abeloff MD. Doctor-patient com- munication about
breast cancer adjuvant therapy. J Clin Oncol 1989;7:1192-1200.
11. Weeks JC, Cook EF, O’Day SJ et al. Relationship between cancer patients’
predictions of prognosis and their treatment preferences. JAMA
1998:279;1709-1714.
12. Haidet P, Hamel MB, Davis RB et al. Outcomes, preferences for resuscitation,
and physician-patient communication among patients with metastatic
colorectal cancer. SUPPORT investigators. Study to Understand Prognoses
and Preferences for Outcomes and Risks of Treatments. Am J Med
l998;105:222-229.
13. Buckman R. Breaking Bad News: A Guide for Health Care Professionals.
Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1992:15.
14. Fallowfield L, Lipkin M, Hall A. Teaching senior oncologists communication
skills: results from phase I of a comprehen- sive longitudinal program in the
United Kingdom. J Clin Oncol 1998;16:1961-1968.
15. Novack DH, Plumer R, Smith RL et al. Changes in physi- cians’ attitudes
toward telling the cancer patient. JAMA 1979;241:897-900.
16. Morris B, Abram C. Making Healthcare Decisions. The Ethical and Legal
Implications of Informed Consent in the Practitioner-Patient Relationship.
Washington: United States Superintendent of Documents, 1982:119.

70 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

17. Ley P. Giving information to patients. In: Eiser JR, ed. Social Psychology and
Behavioral Science. New York: John Wiley, 1982:353.
18. Cassileth BR, Zupkis RV, Sutton-Smith K et al. Information and participation
preferences among cancer patients. Ann Intern Med 1980:92:832-836.
19. Blanchard CG, Labrecque MS, Ruckdeschel JC et al. Information and
decision-making preferences of hospitalized adult cancer patients. Soc Sci
Med 1988;27:1139-1145.
20. Davison BJ, Degner LF, Morgan TR. Information and deci- sion-making
preferences of men with prostate cancer. Oncol Nurs Forum 1995;22:1401-
1408.
21. Sutherland HJ, Llewellyn-Thomas HA, Lockwood GA et al. Cancer patients:
their desire for information and participation in treatment decisions. J R Soc
Med 1989;82:260-263.
22. Dunsmore J, Quine S. Information, support and decision-making needs and
preferences of adolescents with cancer: implications for health
professionals. J Phychosoc Oncol 1995;13:39-56.
23. Benbassat J, Pilpel D, Tidhar M. Patients’ preferences for par- ticipation in
clinical decision-making: a review of published surveys. Behav Med
1998;24:81-88.
24. Degner LF, Kristanjanson LJ, Bowman D et al. Information needs and
decisional preferences in women with breast cancer. JAMA 1997;18:1485-
1492.
25. Davidson JR, Brundage MD, Feldman-Stewart D. Lung can- cer treatment
decisions: patient’s desires for participation and information.
Psychooncology 1999;8:11-20.
26. Hoffman JC, Wegner NS, Davis RB et al. Patient preferences for
communication with physicians about end-of-life decisions. SUPPORT
investigators. Study to Understand Prognoses and Preferences for Outcomes
and Risks of Treatment. Ann Int Med 1997;127:1-12.
27. Lobb EA, Butow PN, Kenny DT et al. Communicating prog- nosis in early
breast cancer: do women understand the language used? Med J Aust
1999;171:290-294.

71 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

28. Meredith C, Symonds P, Webster L et al. Information needs of cancer


patients in West Scotland: cross sectional survey of patients’ views. BMJ
1996;313:724-726.
29. Goldberg RJ. Disclosure of information to adult cancer patients: issues and
update. J Clin Oncol 1984;2:948-955.
30. Annas G. Informed consent, cancer, and truth in prognosis. N Engl J Med
1994;330:223-225.
31. Holland JC. Now we tell—but how well. J Clin OncoI 1989;7:557-559.
32. Maynard DW. On “realization” in everyday life: the forecast- ing of bad news
as a social relation. Am Sociol Rev 1996;61:109-131.
33. Ford S, Fallowfield L, Lewis S. Doctor-patient interactions in oncology. Soc
Sci Med 1996;42:1511-1519.
34. Butow PN, Dunn SM, Tattersall MH. Communication with cancer patients:
does it matter? J Palliat Care 1995;11:34-38.
35. Sardell AN, Trierweiler SJ. Disclosing the cancer diagnosis. Procedures that
influence patient hopefulness. Cancer 1993;72:3355-3365.
36. Roberts CS, Cox CE, Reintgen DS et al. Influence of physi- cian
communication on newly diagnosed breast cancer patients’ psychologic
adjustment and decision-making. Cancer 1994;74:336-341.
37. Slavin LA, O’Malley JE, Koocher GP et al. Communication of the cancer
diagnosis to pediatric patients: impact on long-term adjustment. Am J
Psychiatry 1982;139:179-183.
38. Last BF, van Veldhuizen AM. Information about diagnosis and prognosis
related to anxiety and depress in children with cancer aged 8-16 years. Eur
J Cancer 1996;32:290-294.
39. Mayer RJ, Cassel C, Emmanuel E. Report of the task force on end of life
issues. Presented at the Annual Meeting of the American Society of Clinical
Oncology, Los Angeles California, May 16, 1998.
40. Cassem NH, Stewart RS. Management and care of the dying patient. Int J
Psychiatry Med 1975;6:293-304.
41. Pfeiffer MP, Sidorov JE, Smith AC et al. and the EOL Study Group. The
discussion of end-of-life medical care by primary care patients and

72 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

physicians. A multicentered study using struc- tured qualitative interviews.


J Gen Intern Med 1994;9:82-88.
42. Tesser A, Rosen S, Tesser M. On the reluctance to communi- cate undesirable
messages (the MUM effect). A field study. Psychol Rep 1971;29:651-654.
43. Tesser A, Conlee MC. Recipient emotionality as a determinant of the
transmission of bad news. Proc Annu Conv Am Psych Assoc 1973;247-248.
44. DelVecchio-Good M, Good BJ, Schaffer C et al. American oncology and the
discourse on hope. Cult Med Psychiatry 1990;14:59-79.
45. Buckman R. Breaking bad news: why is it still so difficult? BMJ
1984;288:1597-1599.
46. Maguire P. Barriers to psychological care of the dying. BMJ 1985;291:1711-
1713.
47. Baile WF, Lenzi R, Kudelka AP et al. Improving physician- patient
communication in cancer care: outcome of a workshop for oncologists. J
Cancer Educ 1997;12:166-173.
48. Baile WF, Kudelka AP, Beale EA et al. Communication skills training in
oncology. Description and preliminary out- comes of workshops in breaking
bad news and managing patient reactions to illness. Cancer 1999;86:887-
897.
49. Ramirez AJ, Graham J, Richards MA et al. Burnout and psy- chiatric disorder
among cancer clinicians [see comments]. Br J Cancer 1995;71:1263-1269.
50. Maguire P, Faulkner A. Communicate with cancer patients: Handling bad
news and difficult questions. BMJ 1988;297:907-909.
51. Girgis A, Sanson-Fisher RW. Breaking bad news: consensus guidelines for
medical practitioners. J Clin Oncol 1995;13:2449-2456.
52. Donovan K. Breaking bad news. In: Division of Mental Health, World Health
Organization. Communicating Bad News. Geneva: Division of Mental Health,
World Health Organization,1993:3-14.
53. Premi JN. Communicating bad news to patients. In: Division of Mental
Health, World Health Organization. Communicating Bad News. Geneva:
Division of Mental Health, World Health Organization, 1993:15-21.
54. Girgis A, Sanson-Fisher RW. Breaking bad news. I: Current best advice for
clinicians. Behav Med 1998;24:53-59.

73 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

55. Whippen DA, Canellos GP. Burnout syndrome in the practice of oncology:
results of a random survey of 1,000 oncologists. J Clin Oncol 1991;9:1916-
1920.
56. Lubinsky MS. Bearing bad news: dealing with the mimics of denial. Genet
Couns 1999;3:5-12.
57. Conlee MC, Tesser A. The effects of recipient desire to hear on news
transmission. Sociometry 1973;36:588-599.
58. Gattellari M, Butow PN, Tattersall MH et al. Misunderstanding in cancer
patients: why shoot the messenger. Ann Oncol 1999;10:39-46.
59. Miller SM. Monitoring versus blunting styles of coping with cancer influence
the information patients want and need about their disease. Implications
for cancer screening and management. Cancer 1995;76:167-177.
60. Butow PN, Maclean M, Dunn SM et al. The dynamics of change: cancer
patients’ preferences for information, involvement and support. Ann Oncol
1997;8:857-863.
61. Maynard DW. How to tell patients bad news: the strategy of “forecasting.”
Cleve Clin J Med 1997;64:181-182.
62. Greisinger AJ, Lorimor RJ, Aday LA et al. Terminally ill can- cer patients:
their most important concerns. Cancer Pract 1997;5:147-154.
63. Molleman E, Krabbendam PJ, Annyas AA. The significance of the doctor-
patient relationship in coping with cancer. Soc Sci Med 1984;6:475-480.
64. Matthews DA, Suchman AL, Branch WT. Making “connex- ions”: enhancing
the therapeutic potential of patient-clinician relationships. Ann Intern Med
1993;118:973-977.
65. Novack DH. Therapeutic aspects of the clinical encounter. J Gen Intern Med
1987;2:346-355.
66. Suchman AL. A model of empathic communication in the medical interview.
JAMA 1997;277:678-682.
67. Buckman R, Korsch B, Baile WF. A Practical Guide to Communication Skills
in Clinical Practice. Toronto: Medical Audio Visual Communications,
1998;CD-ROM (Pt 2):Dealing with feelings.

74 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

68. Nattinger AB, Hoffman RG, Sharpiro R et al. The effects of legislative
requirements on the use of breast conserving surgery. N Engl J Med
1996;335:1035-1040.
69. Walsh RA, Girgis A, Sanson-Fisher RW. Breaking bad news. 2: What evidence
is available to guide clinicians? Behav Med 1998;24:61-72.
70. Tulsky JA, Fischer GS, Rose MR et al. Opening the black box: how do
physicians communicate about advance direc- tives? Ann Intern Med
1998;129:441-449.
71. Garg A, Buckman R, Kason Y. Teaching medical students how to break bad
news. CMAJ 1997;156:1159-1164.
72. American Society of Clinical Oncology. Cancer care during the last phase of
life. J Clin Oncol 1998;16:1986-1996.
73. American Society of Clinical Oncology. Training resource document for
curriculum development in medical oncology. J Clin Oncol 1998;16:372-379.
74. Shea JA, Frenkel EP, Webster GD. Training and practice activities of
hematology and medical oncology diplomates. Arch Intern Med
1990;150:145-148.
75. Maguire P, Fairbairn S, Fletcher C. Consultation skills of young doctors: I—
Benefits of feedback training in interviewing as students persist. BMJ
1986;292:1573-1576.
76. Vaidya VU, Greenberg L, Kantilal MP et al. Teaching physi- cians how to
break bad news. A 1-day workshop using stan- dardized patients. Arch
Pediatr Adolesc Med 1999;153:419-422.
77. Keller V, Carroll JG. A new model for physician-patient communication.
Patient Educ Commun 1994;23:131-140.
78. Lipkin M, Frankel RM, Buckman HB et al. The structure and process of the
medical interview. 5. Performing the interview. In: Lipkin M, Putnam SM,
Laxare A, eds. The Medical Interview. Clinical Care, Education and Research.
New York: Springer-Verlag, 1995:65-82.

75 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

SPIKES A Six-Step Protocol for Delivering Bad News: Application


to the Patient with Cancer
Walter F. Baile, Robert Buckman, Renato Lenzi, Gary Glober, Estela A. Beale
and Andrzej
P. Kudelka
The Oncologist 2000;5;302-311;
DOI: 10.1634/theoncologist.5-4-302
This information is current as of September 3, 2012
Updated including high-resolution figures, can be found
Information at:http://theoncologist.alphamedpress.org/content/5/4/302
& Services
Table 1. Results of survey of participants at Breaking Bad News Symposium,
American Society of Clinical Oncology, 19981,2
Day Day Average
No Questions 1 2 (%)
(%) (%)
In an average month, how often do you have to break
bad news to a patient
(e.g., diagnosis, recurrence, progressive disease, 22.2 24.1 23.2
1 etc.)? Less than 5 times
5 to 10 times 32.1 31.0 31.6
10 to 20 times 34.3 27.8 31.0
More than 20 11.4 17.1 14.2
Which do you find the most difficult task? Discussing 1.8 6.3 4.0
diagnosis
Telling patient about recurrence 31.5 21.4 26.4

76 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Talking about end of active treatment and beginning 46.1 44.2 45.2
2 palliative treatment
Discussing end-of-life issues (e.g., do not resuscitate) 15.8 23.2 19.5
Involving family/friends of patient 4.8 4.9 4.9
Have you had any specific teaching or training for
breaking bad news?
Formal teaching 5.6 4.0 4.8
3 Sat in with clinicians in breaking bad news interviews 41.5 35.9 38.7
Both 15.2 12.1 13.6
Neither 37.7 48.0 42.0
How do you feel about your own ability to break bad
news?
Very good 11.7 14.3 13.0
4 Good 40.9 39.4 40.2
Fair 40.9 37.1 39.0
Poor 6.5 8.8 7.6
Very poor 0.0 0.4 0.25
What do you feel is the most difficult part of
discussing bad news?
Being honest but not taking away hope 54.9 61.1 58.0
Dealing with the patient’s emotion (e.g., crying, 28.8 21.5 25.1
anger)
5 Spending the right amount of time 10.6 10.1 10.3
Involving friends and family of the patient
Involving patient or family in decision-making 5.7 7.3 6.5
Have you had any training in the techniques of
responding to patient’s emotions?
6 Formal teaching 9.1 6.4 7.8
Sat in with practicing clinician 32.5 34.4 33.5
Both 10.3 9.6 9.9
Neither 48.1 49.6 48.8
How would you rate your own comfort in dealing with
patient’s emotions
7 (e.g., crying, anger, denial, etc.)? Quite comfortable 35.8 29.6 32.7
Not very comfortable 46.1 47.2 46.7
Uncomfortable 18.1 23.2 20.6
Did you find that the SPIKES made sense to you?
8 Yes 94.3 95.4 94.8
No 5.7 4.6 5.2

77 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Would a strategy or approach to breaking bad news


9 interviews be helpful to you in your practice?
Yes 88.2
No 11.8
Do you feel that the SPIKES is practical and can be
10 used in your clinical practice?
Yes 95.4
No 4.6
When you break bad news to your patients, do you
have a consistent plan or strategy in mind?
11 Have a consistent plan or strategy 26.1
Several techniques/tactics but no overall plan 51.9
No consistent approach to task 22.0
Which element of the SPIKES protocol do you think
you would find most easy?
S-Setting 36.1
12 P-Patient’s perception 13.6
I-Invitation 11.4
K-Knowledge 17.5
E-Exploring/Empathy 7.5
Which element of the SPIKES protocol do you think
you would find most difficult?
S-Setting 1.9
P-Patient’s perception 16.4
13 I-Invitation 18.6
K-Knowledge 7.4
E-Exploring/Empathy 52.4
S-Strategy/Summary 3.3

78 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

CHECKLIST BREAKING BAD NEWS


NO HAL 0 1 2
1 Melakukan sambung rasa kepada pasien
2 Memastikan pasien dalam kondisi nyaman secara
fisik dan mental
3 Menjamin privasi pasien
4 Melakukan penilaian pada emosi dan persepsi
pasien
5 Memberi kesempatan pada pasien untuk
mengungkapkan perasaan /ketakutannya
6 Memberikan tanggapan yang empatif
7 Membawakan ‘berita buruk’ dengan terus terang
dan hati-hati; menghindari eufemisme dan kata-
kata medis
8 Mempraktekkan psikomotor yang tepat dan
pantas
9 Memberikan penguatan dan membantu control
emosi pasien
10 Memberikan keterangan yang relevan, tidak
memberi harapan muluk
11 Menutup sesi dengan memperhatikan kondisi
pasien

Catatan: ….
Nilai: _____ x 100% =
22

Instruktur Pasien Simulasi Mahasiswa Penilai

…………………. ………………………… ……………………………

79 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

TEKNIK BEBAT, BALUT, PEMBIDAIAN, STABILISASI, DAN TRANSPORTASI

dr Daniel Mahendra, dr. Oscar Gilang

TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Mahasiswa mengerti tentang dasar-dasar teknik balut, bebat dan pembidaian
2. Mahasiswa dapat melakukan pembebatan dan pembidaian dengan benar
3. Mahasiswa dapat memberikan penjelasan pada pasien tentang teknik
pembidaian dan pembebatan
4. Mahasiswa dapat melakukan transportasi dalam tim

DEFINISI
Perban adalah kain yang dapat digunakan baik utnuk membungkus alat medis
seperti pembalutan luka atau menyangga (splint) lengan yang patah, atau dapat
juga digunakan tersendiri untuk menyangga tubuh atau anggota tubuh. Perban
tersedia dalam beragan tipe, dari yang generic seperti potongan kain, hingga
yang dirancang khusus untuk anggota badan tertentu. Perban paling sering
diimprovisasikan tergantung pada situasi dan kondisi, misalnya penggunaan kain,
selimut, atau bahan kain lainnya. Perban secara teknis hanya digunakan sebagai
sarana pendukung pembalutan luka dan tidak dapat dipakaikan langsung ke luka.

PRINSIP – PRINSIP PEMBALUTAN LUKA


1. Pilihlah perban dengan tipe lebat dan panjang yang tepat
2. Bila memungkinkan, pakailah perban yang baru. Perban elastis akan
kehilangan elastisitasnya setelah pemakaian atau pencucian.
3. Pastikan bahwa kulit pasien bersih dan kering
4. Tutuplah semua luka sebelum melakukan pembalutan pada daerah yang
terkena trauma.
5. Periksalah denyut nadi (apabila relevan)
6. Bila diperlukan, tambahkan padding pada daerah yang beresiko terkena
tekanan
7. Mintalah bantuan asisten bila daerah yang terkena trauma perlu didukung
selama proses pembalutan.
8. Balutlah bagian tubuh yang luka dengan posisi yang benar

80 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

9. Balutlah mulai dengan lingkaran kecil ke lingkaran besar dari bagian tubuh
yang luka.
10. Bila memungkinkan, balut searah dengan aliran balik vena untuk mencegah
pengumpulan darah (blood pooling)
11. Jaga kekencangan ideal dari perban, yang dapat dilakukan dengan cara
memposisikan unrolled part dekat dengan permukaan kulit.
12. Pastikan overlap pada pembalutan tertata rapi tidak ada kerutan pada
ballutan luka.
13. Pastikan bahwa bagian tubuh yang luka telah dibalut dengan baik neliputi
bagian atas dan bawah daerah luka tetapi biarkan jari-jari dan jempol
terbuka agar dapat dilakukan observasi terhadap kondisi neurvaskular.
14. Guntinglah perban bila terlalu panjang, jangan memaksa mengahabiskan
perban dengan menambah balutan.
15. Kunci bagian ujung perban, pastikan pasien tidak dapat melukai dirinya
sendiri.

ALAT YANG DIBUTUHKAN


a. Perban elastis dengan berbagai macam ukuran
b. Padding dengan berbagai macam ukuran

JENIS-JENIS PERBAN
Ada 4 tipe perban :
a. Perban kassa
Perban tipe ini paling umum ditemukan dan ia adalah bahan kain yang di rajut
secara sederhana dalam potongan-potongan memanjang. Perban kain kasa
memiliki ukuran lebar dan panjang yang beragam ia dapat langsung
digunakan untuk hamper semua aplikasi yang mana perban dibutuhkan,
termasuk untuk memastikan pembalutan luka lekat pada tempatnya.
b. Perban kompresi
Perban kompresi menjelaskan bermacam-macam perban dengan aplikasi
yang berbeda yang termasuk :
• Short stretch compression bandage

81 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Perban ini digunakan jika terdapat lymphedema atau venous ulcers pada
lengan atau kaki. Perban ini tidak akan memberi tekanan berlebihan jika
yang memakai sedang melakukan aktifitas, dan ia juga aman serta nyaman
dipakai untuk perawatan jangka lama, stabilitasnya memiliki resistan
yang tinggi terhadap tarikan jika terjadi tekanan internal dikarenakan
kontraksi otot atau pergerakan sendi. Tekanan macam ini disebut tekanan
berjalan (working pressure).
• Long stretch compression bandage
Karena perban ini memiliki sifat long stretch, maka kekuatan kompresinya
yang tinggi dapat dengan mudah disesuaikan. Perban jenis ini juga
memiliki tekanan cengkraman yang sangat kuat sehingga harus dilepaskan
pada malan hari atau jika pasien sedang dalam posisi istirahat.
c. Perban segitia (kain mitella)
Perban ini merupakan kain yang dipotong dengan bentuk segitiga sersiku.
Perban jenis ini dianggap oleh sebagaian besar trainer sebagai perban yang
paling serbaguna. Perban ini dapat digunakan sebagai kain penggendong
anggota tubuh, perban seperti pada umumnya dan perban untuk kepala. Kain
mitella ini dapat dilipat menjadi beberapa lapis dan berbentuk seperti
pita/dasi. Pita/dasi dapat digunakan untuk membalut kepala, mata, rahang,
ketiak, lengan, siku, paha, lutut, dan kaki terkilir.
d. Perban pipa
Perban ini memiliki aplikator dan ia dirajut berbentuk lingkaran pipa penuh.
Perban ini digunakan untuk menyangga pembalutan luka dan splintan tangan
yang patah, serta dapat juga untuk memberi penyangga pada kaki yang
terkilir atau anggota tubuh dengan sprain dan strain otot.
e. Pita Gulung
Jenis perban ini dapat terbuat dari kain katun, kain kassa, atau bahan elastis
dengan lebar bervariasi untuk tiap bagian anggota tubuh.
- 2,5 cm : jari-jari
- 5 cm : pergelangan tangan
- 7,5 cm : lengan atas, lengan bawah, betis
- 10 cm : paha
- 10-15 cm : dada, perut

82 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

PROSEDUR PEMBALUTAN LUKA


1. Pertama-tama jawablah pertanyaan berikut ini :
a. Manakah bagian tubuh yang terluka?
b. Apakah luka tersebut tertutup atau terbuka?
c. Berapa kira-kira lebar atau diameter luka?
d. Apakah luka tersebut menyebabkan keterbatasan gerak pada sendi?
2. Pilihlah perban yang paling tepat, Anda juga bisa mengkombinasikan lebih dari
satu perban
3. Bila terdapat luka, Anda harus membersihkannya terlebih dahulu dengan
cairan disinfektan. Bila terdapat dislokasi dari sendi, maka sendi tersebut
harus direposisi terlebih dahulu sebelum dibalut dengan perban.
4. Tentukan posisi pembalutan berdasarkan:
a. Posisi sendi yang akan diimobilisasi sehingga menahan pergerakan sendi-
sendi tersebut
b. Pembalutan jangan sampai mengganggu pergerakan sendi yang normal
c. Balutlah luka dengan tetap menjaga keyamanan pasien.
d. Usahakan agar tidak mengganggu sirkulasi sarah. Apabila akan
menggunakan pembalutan melingkar maka lingkaran terdalam harus
berada di bagian distal.
e. Pastikan bahwa perban tidak longgar.

83 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

CONTOH-CONTOH PEMBALUTAN LUKA


1. Kain Segitiga (Mitella)
a. Luka pada calvaria dan cranium

b. Luka pada bagian dada

c. Luka pada lengan bawah

84 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

d. Luka pada kaki

2. Tie shaped Bandage


a. Luka pada mata

b. Luka pada dagu

85 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

c. Luka pada daerah axilla

d. Luka pada siku

3. Stretchable Roller Bandage


a. Prosedur untuk luka di kepala I
b. Prosedur untuk luka di kepala 2

86 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

4. Band – Shape Bandage untuk lengan


a. Luka pada lengan

5. Band – Shape Bandage untuk tumit kaki


a. Luka pada tumit kaki

6. Band – Shape Bandage untuk tangan


a. Luka pada tangan

87 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Lingkaran (turn) dasar dari perban rol adalah:


• Circular Turn
Pada penggunaan circular turn, perban dibalutkan melingkari bagian
tubuh yang luka dengan susunan tumpang tindih secara keseluruhan. Circular
turn dipergunakan terutama sebagai awal dari turn yang lain.
• Spiral Turn
Pada penggunaanya spiral turn, perban dibalutkan kearah atas dengan
pola spiral sehingga setiap turn akan saling tumpang tindih (overlaps) sekitar
setengah sampai dua pertiga dari perban. Spiral turn berguna bila bagian
tubuh yang akan dibalut berbentuk silinder seperti daerah sekitar
pergelangan tangan, jari-jari, dan badan.
• Spiral-Reverse Turn
Pembalutan spiral-reverse turn adalah pembalutan spiral turn dimana
balutan dibalik setiap setengah turn. Spiral-reverse turn efektif untuk
pembalutan bagian tubuh yang berbentuk cone seperti paha, kaki, dan lengan
bawah.
• Spica Turn
Pembalutan spica turn diarahkan ke atas dan kebawah yang overlaps dan
memotong satu dan lainnya hingga membentuk suatu sudut. Jenis
pembalutan ini berguna untuk ibu jari, payudara, bahu, selangkangan, dan
pinggul.

PENALARAN KLINIS
1. Pemeriksaan apa yang akan kamu lakukan pada kasus trauma di atas?
2. Apakah kamu membutuhkan pembalut? Kenapa?
3. Jenis pembalut apa yang kamu pilih dan alat-alat apa saja yang akan kamu
gunakan untuk mengelola korban tersebut? Kenapa?
4. Saran-saran apa yang akan kamu berikan kepada pasien?

88 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

IMOBILISASI
Ekstremitas yang mengalami trauma harus diimobilisasi dengan bidai.
Bidai kaku yang digunakan harus dilapisi dengan kassa terlebih dahulu, kemudian
dilakukan penilaian status vaskuler dan neurologis ekstremitas yang mengalami
trauma sebelum dan sesudah imobilisasi.
Tujuan Imobilisasi
1. mengurangi dan menghilangkan rasa nyeri;
2. mencegah gerakan fragmen patahan tulang yang dapat mengakibatkan
kerusakan jaringan lunak sekitarnya seperti pembuluh darah, otot, saraf dan
lainnya.
3. Mencegah fraktur tertutup menjadi terbuka
4. Mencegah perdarahan
5. Memudahkan transportasi

PEMBIDAIAN
Tujuan Pembidaian
1. Mencegah pergerakan / pergeseran dari ujung tulang yang patah
2. Mengurangi terjadinya cedera baru disekitar bagian tulang yang patah
3. Memberi istirahat pada anggota badan yang patah
4. Mengurangi rasa nyeri
5. Mempercepat penyembuhan

Prinsip Pembidaian
a. Lakukan pembidaian pada bagian badan yang mengalami cedera;
b. Periksalah denyut nadi distal dan fungsi saraf sebelum dan sesudah
pembidaian dan perhatikan warna kulit ditalnya;
c. Lakukan juga pembidaian pada kecurigaan patah tulang, jadi tidak perlu
harus dipastikan dulu ada atau tidaknya patah tulang;
d. Bidai Rigid sebelum digunakan harus dilapisi dulu
e. Melewati minimal 2 sendi yang berbatasan (proksimal dan distal trauma).
f. Jangan pindahkan penderita sebelum dilakukan imobilisasi kecuali ada di
tempat berbahaya.

89 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Syarat Pembidaian
1. Bidai harus meliputi dua sendi, sebelum dipasang diukur terlebih dahulu
pada anggota badan yang tidak sakit;
2. Ikatan jangan terlalu ketat dan jangan terlalu kendor;
3. Bidai dibalut/ dilapisi sebelum digunakan;
4. Ikatan harus cukup jumlahnya, dimulai dari sebelah atas dan bawah tempat
yang patah;
5. Jika mungkin naikkan anggota gerak tersebut setelah dibidai;
6. Sepatu, cincin, gelang, jam dan alat yang mengikat tubuh lainnya perlu
dilepas.

Tipe-tipe bidai:
1. Bidai Rigid, Umumnya terbuat dari kayu, alumunium, karton, plastik atau
bahan lain yang kuat dan ringan. Pada dasarnya merupakan bidai yang paling
baik dan sempurna dalam keadaan darurat. Kesulitannya adalah
mendapatkan bahan yang memenuhi syarat di lapangan. Contoh : bidai kayu,
bidai udara, bidai vakum.
2. Bidai Soft adalah bidai dari bantal, selimut, handuk atau pembalut atau
bahan yang lunak lainnya.
3. Bidai Traksi. Digunakan untuk imobilisasi ujung tulang yang patah dari
fraktur femur sehingga dapat terhindari kerusakan yang lebih lanjut. Traksi
merupakan aplikasi dari kekuatan yang cukup untuk menstabilkan patah
tulang yang patah, traksi bukanlah meregangkan atau menggerakkan tulang
yang patah sampai ujung-ujung tulang yang patah menyatu.
4. Bidai improvisasi, Bidai yang dibuat dengan bahan yang cukup kuat dan
ringan untuk penopang. Pembuatannya sangat tergantung dari bahan yang
tersedia dan kemampuan improvisasi si penolong. Contoh : majalah, koran,
karton dan lain-lain.
5. Gendongan/Belat dan bebat. Pembidaian dengan menggunakan pembalut,
umumnya dipakai mitela (kain segitiga) dan memanfaatkan tubuh penderita
sebagai sarana untuk menghentikan pergerakan daerah cedera. Contoh :
gendongan lengan

90 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Penanganan Secara Umum


1. DRABC
2. Atasi perdarahan dan tutup seluruh luka
3. Korban tidak boleh menggerakkan daerah yang terluka atau fraktur
4. Imobilisasi fraktur dengan penyandang, pembalut atau bidai
5. Tangani dengan hati-hati
6. Observasi dan atasi syok bila perlu
7. Segera cari pertolongan medis

Fraktur dan dislokasi harus diimobilisasi untuk mencegah memburuknya cedera.


Tetapi situasi yang memerlukan Resusitasi baik pernafasan maupun jantung dan
cedera kritis yang multipel harus ditangani terlebih dahulu.
Prioritas dalam menangani fraktur:
1. fraktur spinal;
2. fraktur tulang kepala dan tulang rusuk;
3. fraktur extremitas

Perhatian
Dalam menangani fraktur, jangan hanya terpaku pada frakturnya saja
tetapi selalu mulai dengan DRABC dan lakukan monitoring secara periodik. Dan
selalu ingat jika Anda tidak terlatih dan tidak berpengalaman jangan melakukan
reposisi baik pada fraktur mapun pada dislokasi.

Gb pembidaian

91 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

TEKNIK IMOBILISASI EKSTREMITAS


Pembidaian harus memfixasi tulang yang patah dan persendian yang
berada di atas dan dibawah tulang yang fraktur. Jika yang cedera adalah sendi,
bidai harus memfiksasi sendi tersebut beserta tulang disebelah distal dan
proximalnya. Pembidaian adalah proses yang digunakan untuk imobilisasi fraktur
dan dislokasi.

Pembidaian lengan bawah Pembidaian lengan atas

Pembidaian paha Pembidaian tungkai

92 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Teknik imobilisasi leher


1. Ukur leher pasien untuk menentukan key dimension dengan menggunakan
jari-jari tangan. Key dimension adalah jarak antara garis imajiner yang
digambarkan melewati atas bahu dan bawah dagu pasien.

2. Cocokan ukuran cervical collar

3. Pasangkan cervical collar pada pasien dalam posisi kepala dipertahankan


pada posisi normal. Posisikan penyangga dagu cervical collar dengan
menggeser collar ke atas dinding dada. Pastikan dagu tersangga.

4. Rekatkan perekat collar hingga kepala tersangga dengan baik. Apabila


setelah direkatkan kepala tampak hiperekstensi, ganti collar dengan
ukuran yang lebih kecil.

93 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

5. Jika posisi pasien supinasi, selipkan bagian belakang collar di belakang


leher pasien hingga perekat terlihat melewati leher. Jika perekat sudah
terlihat, posisikan penyangga dagu dan rekatkan perekat.

TEKNIK IMOBILISASI TULANG BELAKANG


1. Posisikan kepala pasien dalam posisi normal.
Letakkan ibu jari di bawah mandibula, jari
telunjuk dan tengah di oksipital untuk
mencegah kompresi jaringan lunak dan
pertahankan posisi dengan erat hingga pasien
terimobilisasi pada spine board dan neck collar
terpasang
2. Pasang semi rigid cervical collar. Ukuran cervical collar yang cukup adalah
dari bahu ke mandibula
3. Logroll pasien dalam posisi supinasi ke atas long back board
4. Amankan badan dan kaki di atas long back board dengan tali pengikat.

94 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

5. Stabilisasi samping kanan kiri kepala pasien dengan balok busa atau gulungan
kain, rekatkan dengan pita perekat pada dahi dan long back board.

EVAKUASI
Saat tiba di lokasi kita mungkin menemukan bahwa seorang korban
mungkin harus dipindahkan. Pada situasi yang berbahaya tindakan cepat dan
waspada sangat penting. Penanganan korban yang salah akan menimbulkan
cedera lanjutan atau cedera baru.

MEKANIKA TUBUH
Penggunaan tubuh dengan baik untuk memfasilitasi pengangkatan dan
pemindahan korban untuk mencegah cedera pada penolong.
Cara yang salah dapat menimbulkan cedera. Saat mengangkat ada
beberapa hal yang harus diperhatikan:
• Rencanakan pergerakan sebelum mengangkat
• Gunakan tungkai jangan punggung
• Upayakan untuk memindahkan beban serapat mungkin dengan tubuh
• Lakukan gerakan secara menyeluruh dan upayakan agar bagian tubuh saling
menopang
• Bila dapat kurangi jarak atau ketinggian yang harus dilalui korban
• Perbaiki posisi dan angkatlah secara bertahap
Hal-hal tersebut di atas harus selalu dilakukan bila akan memindahkan
atau mengangkat korban. Kunci yang paling utama adalah menjaga kelurusan
tulang belakang. Upayakan kerja berkelompok, terus berkomunikasi dan lakukan
koordinasi. Mekanika tubuh yang baik tidak akan membantu mereka yang tidak
siap secara fisik.

95 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

MEMINDAHKAN KORBAN
Kapan penolong harus memindahkan korban sangat tergantung dari
keadaan. Secara umum, bila tidak ada bahaya maka jangan memindahkan
korban. Lebih baik tangani di tempat. Pemindahan korban ada 2 macam yaitu
darurat dan tidak darurat:

1. Pemindahan Darurat
Pemindahan ini hanya dilakukan bila ada bahaya langsung terhadap
korban.
Contoh situasi yang membutuhkan pemindahan segera:
• Kebakaran atau bahaya kebakaran
• Ledakan atau bahaya ledakan
• Sukar untuk mengamankan korban dari bahaya di lingkungannya :
➢ Bangunan yang tidak stabil
➢ Mobil terbalik
➢ Kerumunan masa yang resah
➢ Material berbahaya
➢ Tumpahan minyak
➢ Cuaca ekstrim
• Memperoleh akses menuju korban lainnya
➢ Bila tindakan penyelamatan nyawa tidak dapat dilakukan karena
posisi korban, misalnya melakukan RJP. Bahaya terbesar pada
pemindahan darurat adalah memicu terjadinya cedera spinal. Ini
dapat dikurangi dengan melakukan gerakan searah dengan sumbu
panjang badan dan menjaga kepala dan leher semaksimal mungkin.
Beberapa macam pemindahan darurat:
• Tarikan baju
• Tarikan selimut atau kain
• Tarikan bahu/lengan
• Menggendong
• Memapah
• Membopong
• Angkatan pemadam

96 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

2. Pemindahan Tidak Darurat/Biasa


Bila tidak ada bahaya langsung terhadap korban, maka korban hanya
dipindahkan bila semuanya telah siap dan korban selesai ditangani.
Contohnya :
• Angkatan langsung
• Angkatan ekstremitas (alat gerak)

POSISI KORBAN
Bagaimana meletakkan penderita tergantung dari keadaannya.
• Korban dengan syok
• Tungkai ditinggikan
• Korban dengan gangguan pernapasan
• Biasanya posisi setengah duduk
• Korban dengan nyeri perut
• Biasanya posisi meringkuk seperti bayi
• Posisi pemulihan
• Untuk korban yang tidak sadar atau muntah
Tidak mungkin untuk membahas semua keadaan. Situasi di lapangan dan
keadaan korban akan memberikan petunjuk bagaimana posisi yang terbaik.

PERALATAN EVAKUASI
• Tandu beroda
• Tandu lipat
• Tandu skop / tandu ortopedi/ tandu trauma
• Vest type extrication device (KED)
• Tandu kursi
• Tandu basket
• Tandu fleksibel
• Kain evakuasi
• Papan spinal

97 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

CHECKLIST PEMBALUTAN LUKA DENGAN ELASTIC VERBAND DAN BALUT


SEGITIGA
No Aspek yang diamati Feedback
Memberi salam, mengenalkan diri, membangun
1
hubungan interpersonal
Menjelaskan tujuan dilakukannya dressing dan
2
pembalutan luka dengan elastic verband
Menginspeksi bagian tubuh pasien yang terluka,
3 melakukan palpasi dan memeriksa gerakan dan
syaraf pasien
Memilih elastic verband yang tepat untuk fiksasi
4
dressing pasien
Melakukan tindakan pertolongan pertama/dressing
5 (menggunakan disinfektan, memakai kasa steril,
memposisikan bagian tubuh secara tepat)
Mengencangkan perban dengan tepat (skor jika
6 terlalu kencang atau terlalu longgar sehingga
mudah lepas = 0)
Mengukur denyut nadi serta suhu, dan memeriksa
7
gerakan bagian – bagian tubuh
Menjelaskan kepada pasien kerterbatasan yang
8 harus dialami akibat pembalutan memakai elastic
verband dan pemeliharaannya

Catatan untuk mahasiswa: ...................

Skor total: __________ x 100% =


16
Instruktur Observer

........................................ ........................................

98 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

CHECKLIST TEKNIK PEMBIDAIAN, STABILISASI, TRANSPORTASI


NO HAL YANG DINILAI 0 1 2
1 Melakukan pemeriksaan pendahuluan untuk menilai
fraktur: inspeksi (angulasi, deformitas, edema, dll),
palpasi (nyeri tekan, krepitasi, dll), ROM
2 Memilih bidai yang sesuai (panjang, lebar, konsistensi)
3 Melakukan pembidaian dengan tepat (melewati dua sendi,
kekuatan ikatan sesuai, jumlah ikatan sesuai)
4 Melakukan evaluasi pasca pembidaian (nyeri, suhu
ekstremitas, warna, dll)
5 Memberi edukasi yang tepat pada pasien
6 Melakukan pemindahan pasien dengan teknik yang tepat
TOTAL

Nilai total = ____ x 100%


12

Instruktur Observer

........................................ ........................................

99 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

BEDAH MINOR

dr. Daniel Mahendra, dr. Lovelia Sukamtini, dr. Hariatmoko Sp.B

TUJUAN UMUM
1. mahasiswa mampu mendefinisikan bedah minor
2. mahasiswa mampu mengidentifikasi jenis-jenis lesi pada bedah minor
3. mahasiswa mampu mendemonstrasikan tindakan bedah minor

PENDAHULUAN
Bedah minor didefinisikan sebagai suatu tindakan bedah sederhana pada
lesi yang terletak di jaringan superfisial. Pada tindakan ini teknik anestesi yang
sering digunakan adalah anestesi local dan komplikasi yang terjadi pada bedah
minor biasanya minimal. Pengetahuan mengenai cara memegang instrument
yang baik, memilih jenis sayatan, jenis jahitan yang akan digunakan, dan prinsip-
prinsip dalam bedah minor sangat perlu dikuasai untuk menghindari komplikasi,
baik secara fungsional maupun kosmetik.

INSTRUMEN / ALAT-ALAT PADA BEDAH MINOR DAN CARA MEMEGANG YANG


BENAR
Beberapa instrument yang dipakai dalam bedah minor dapat dengan
mudah kita temukan di berbagai fasilitas kesehatan. Teknik memegang yang
benar perlu dikuasai agar mencegah terjadinya perburukan luka, infeksi, dan
jaringan parut yang luas.

1. Scalpel/Pisau Bedah
Scalpel/Pisau bedah/Bisturi digunakan untuk menyayat kulit atau
jaringan lainnya secara akurat. Pada bedah minor umumnya digunakan pegangan
pisau/Scalpel Handle nomer 3 dengan mata pisau nomer 11 dan 15. Scalpel
dipasang ke scalpel handle dengan arah tertentu mengikuti dari letak dan desain
bisturi. Scalpel harus dipegang seperti pensil untuk membuat insisi yang kecil
dan akurat, berbeda pada operasi besar dimana untuk menghasilkan luka yang
besar bisturi dapat dipegang seperti menggunakan pisau steak. Pisau harus
menusuk secara tegak lurus pada kulit dengan tangan sisi sebelahnya dapat

100 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

membantu meregangkan kulit agar luka yang terbentuk rapi dan tidak melukai
jaringan lainnya.
Proses penyayatan harus dilakukan secara tegas dengan visualisasi lesi
yang baik, tidak boleh asal menebak atau kira-kira untuk menghindari kerusakan
yang ireversibel terhadap struktur anatomi normal, oleh karena itu pengetahuan
topografi anatomi sangatlah penting.

2. Needle-holder/ Naald Volder


Needle holder berarti alat untuk memegang jarum bengkok dalam
tindakan penjahitan. Ujung dari alat ini didesain khusus untuk memegang jarum
secara aman tanpa merusak jarum. Jarum diletakkan pada 2/3 ujung alat.
Seperti alat bedah lainnya, alat ini memiliki 2 lubang untuk menstabilisasi
penjahitan. Satu lubang untuk ibu jari dan satu lubang lagi untuk jari ke 4
(jari manis) dari tangan yang dominan, serta jari telunjuk berada pada ujung
alat untuk mengarahkan. Dalam penjahitan, needle-holder digunakan dengan
cara mengarahkan secara prono-supinasi untuk memfasilitasi jarum masuk
menembus jaringan. Sudut yang dibentuk Antara jarum dengan kulit haruslah
sebesar 90 derajat untuk mendapatkan eversi tepi luka. Tangan yang non
dominan membantu meregangkan kulit dengan forsep/pinset agar jarum lebih
mudah menembus kulit.

Gambar 1. The classic thumb-ring finger needle holder grip


http://www.jpatrick.net/MAHFiles/orient/woundcare_manual.html

101 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

3. Forsep/ Pinset
Pada umumnya terdapat dua jenis forsep/pinset dalam bedah minor,
yaitu forsep Adson bergigi untuk mengangkat kulit serta forsep Adson tak
bergigi untuk pengangkatan benang, apabila tidak ada forceps adson dapat
menggunakan pinset anatomis dan sirurgis. Forseps sebaiknya dipegang
menggunakan tangan yang tidak dominan untuk membantu dalam melihat
jaringan (Visualisasi) yang akan diinsisi secara tepat dan rapi. Forsep dipegang
seperti memegang pensil menggunakan ibu jari, telunjuk, dan jari tengah.

1. Haemostats
Dalam bedah minor terkadang diperlukan 2 atau 3 buah Forseps Mosquito
bengkok tak bergigi. Haemostats biasa digunakan untuk membantu
menarik/menjepit jaringan , untuk menghentikan perdarahan, dan untuk diseksi
tumpul.

PRINSIP PEMBEDAHAN
Setiap tindakan bedah walaupun minimal, tetap memiliki resiko
menimbulkan komplikasi. Hasil dari prosedur bedah tidak mudah diprediksi
karena dipengaruhi berbagai faktor seperti kemampuan dokter, kondisi pasien,
fasilitas yang tersedia dll, sehingga tidak ada jaminan hasil pembedahan selalu
memuaskan pasien. Kemampuan dalam melakukan insisi dan diseksi sangat
penting dalam berbagai teknik penyayatan. Prinsip yang paling utama adalah lesi
harus terambil semua tanpa menimbulkan kerusakan yang luas pada jaringan
yang sehat serta pembentukan jaringan parut yang rapi dan baik. Oleh karena
itu prinsip-prinsip bedah dan jenis-jenis penyayatan perlu dikuasai dengan baik.

1. Diseksi
Diseksi adalah tindakan memisahkan antar lapisan dari suatu jaringan
sesuai dengan urutan lapisan secara anatomis. Terdapat dua cara diseksi yang
sering dilakukan yaitu diseksi tumpul (blunt dissection) dan diseksi tajam
(cutting dissection). Pada bedah minor, lokasi yang sering dilakukan diseksi
adalah pada bagian wajah dan leher, batas antara dermis dan jaringan subkutan,

102 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

kulit kepala, batang tubuh (trunk) dan ekstremitas, serta batas antara fasia
superfisialis dan profunda.

2. Insisi/Eksisi
Pengetahuan mengenai anatomis tempat insisi, ketegangan dari kulit dan
juga keadaan lesi yang akan diterapi harus menjadi pertimbangan dalam
melakukan insisi. Insisi atau eksisi harus berorientasi terhadap kemungkinan
terbentuknya jaringan parut yang akan ditimbulkan, yang bisa mengganggu baik
secara fungsional maupun kosmetik. Untuk mencapai hal tersebut insisi harus
parallel dengan alur ketegangan kulit (searah garis Langer). Jenis dari lesi juga
menentukan pola insisi/eksisi yang akan dibuat, sebagai contoh untuk eksisi
biopsy, sangat penting untuk mengikutkan/mengangkat 1-2 mm tepi
kulit/jaringan sekitar yang sehat di sekitar lesi. Marking atau pemberian tanda
dengan pewarna dapat menolong dokter untuk tidak kehilangan lokasi pola insisi
setelah dilakukan draping/tindakan aseptik pada area pembedahan. Dalam
memberi tanda dapat menggunakan antiseptic ataupun pena/spidol yang sudah
disterilisasi.
a. Insisi
Pada umumnya digunakan untuk lesi yang terletak pada jaringan yang
cukup dalam (lipoma, kista epidermal, biopsy KGB) atau untuk drainase
abses. Insisi dapat berbentuk lurus, melengkung, atau membentuk sudut
tergantung dari anatomis area pembedahan.
b. Eksisi berbentuk elips
Biasa digunakan untuk mengambil lesi kulit dengan mengambil juga
jaringan yang sehat disekitar lesi. Panjang dari elips harus 3x dari lebar dan
pada ujung insisi harus membentuk sudut 30 derajat (Gambar), eksisi bentuk
elips ini berguna untuk mempermudah penjahitan dan menghindari
komplikasi baik secara fungi maupun kosmetik misal terbentuknya dog ear
ataupun keloid.
c. Eksisi tangensial
Sering disebut juga “skin shave”, eksisi ini mengambil jaringan dengan
menggunakan scalpel atau gunting pada lesi yang sangat superfisial, hanya

103 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

mengambil lapisan paling atas dari kulit. Luka yang ditimbulkan bertujuan
untuk mempercepat penyembuhan luka.

3. Hemostasis
Hemostasis adalah tindakan bedah untuk mengontrol perdarahan dan
membuat area pembedahan menjadi terlihat jelas. perdarahan pada bedah
minor seringkali dapat dikontrol hanya dengan menekan area perdarahan dengan
menggunakan kassa, selain itu penggunaan verband juga berguna untuk menekan
luka dapat digunakan untuk menurunkan resiko terjadinya hematoma.
TEKNIK PENJAHITAN
Tujuan utama dari teknik penjahitan adalah untuk menyatukan jaringan
lapis demi lapis agar proses penyembuhan luka dapat berjalan dengan baik.
Untuk itu perlu dipertimbangkan beberapa prinsip yaitu:
1. Hindari penjahitan yang terlalu kencang/tegang/rapat: penjahitan luka
yang sangat rapat dan tegang akan menurunkan perfusi aliran darah sehingga
meningkatkan resiko terjadinya infeksi dan gangguan penyembuhan luka.
2. Eversi dari tepi luka: jaringan parut yang terbentuk akan berkontraksi seiring
berjalannya waktu. Apabila tepi luka sedikit lebih tinggi dari kulit (mencuat
keatas), ketika jaringan parut berkontraksi tepi luka akan saling menyatu
dengan rata, sehingga akan didapatkan kosmetik yang baik.
3. Penjahitan luka lapis demi lapis: apabila luka yang terbentuk cukup dalam,
penjahitan yang tidak baik akan meninggalkan dead space dibawah jahitan
superfisial. Hal ini harus dihindari karena dead space cenderung akan menjadi
hematom bahkan bisa mengakibatkan infeksi sekunder.

PENJAHITAN LUKA
Terdapat berbagai teknik dalam penjahitan luka tergantung dari jenis luka,
kedalaman, letak luka, dan juga kondisi luka. Beberapa teknik yang sering
digunakan untuk tindakan bedah minor addalah sebagai berikut :
1. Interrupted sutures

104 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Interrupted sutures adalah kondisi dimana jahitan satu dengan yang


lainnya terpisah (satu-satu). Teknik ini paling tepat dan sering digunakan
untuk bedah minor karena sangat membantu dalam penyebaran ketegangan
luka, membentuk drainase luka serta mudah dalam pengangkatan jahitan.

2. Jahitan subkutaneus
Teknik ini digunakan apabila luka yang terbentuk cukup dalam, dengan
melakukan penjahitan jaringan di bawah kulit, tujuannya untuk menghindari
terjadinya dead space dan menurunkan ketegangan jaringan, dapat dilakukan
jahitan sederhana pada bagian dalam luka. Benang yang dipilih adalah
benang absorbable karena simpul dari benang akan ditanam di dalam luka.
3. Mattress stitch or "U" stitch
Terdapat 2 jenis jahitan matras berdasarkan posisinya, yaitu
a. Jahitan Matras vertikal: jahitan ini berguna pada area dengan jaringan
kulit yang ketegangannya kurang atau longgar ( belakang tangan, siku)
dimana tepi luka biasanya akan cenderung masuk ke dalam. Untuk
menunjang eversi tepi luka yang baik, jahitan ini sangat baik untuk
menghindari terbentuknya dead space tanpa memerlukan jahitan dalam
yang ditanan di dalam luka.
b. Jahitan Matras Horizontal: jahitan ini biasa dilakukan pada daerah
dimana lapisan dermisnya tebal ( telapak tangan, telapak kaki)

TEKNIK MENYIMPUL BENANG


Terdapat beberapa teknik menyimpul benang, pada bedah minor dimana
area pembedahan terletak superfisial dan instrument bedah mudah digunakan,
teknik menyimpul benang dilakukan dengan menggunakan instrumen, yaitu
dengan needle holder dan jarum bengkok. Teknik ini akan memudahkan kita
dalam presisi letak simpul dan menghemat benang yang dipakai. Teknik ini tidak
dapat dipakai untuk ligase pembuluh darah dimana teknik menyimpul benang
secara manual (dengan tangan) lebih dianjurkan. Pada bedah minor
direkomendasikan untuk menyimpul benang terdiri dari 2 putaran benang (loop)
pada needle holder dan diikuti beberapa satu putaran benang pada needle

105 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

holder (biasanya 2 putaran benang (double loops) diikuti dengan 1 kali putaran
benang (single loop). Simpul harus diletakkan sejajar pada satu sisi luka agar
memudahkan dalam visualisasi luka dan pengangkatan jahitan.
Salah satu prinsip penting yang tidak boleh dilupakan adalah
pengangkatan jahitan. Apabila pengangkatan jahitan terlalu lama maka akan
terbentuk jaringan parut pada tempat masuk dan keluar dari benang. Untuk
menghindari hal tersebut, jahitan harus dilepas sedini mungkin saat jaringan
sudah menyatu serta pemilihan dari material dan besarnya/ukuran dari benang
juga perlu diperhatikan

Lipoma
Lipoma merupakan tumor jinak pada jaringan adipose. Lipoma sering
terbentuk karena adanya gesekan mekanis yang berulang-ulang. Karakteristik
dari lipoma adalah lunak, elastis, berbatas tegas, dan tidak menempel pada
jaringan sekitarnya (mobil). Lipoma seringkali tidak bergejala dan biasanya
pasien datang dengan keluhan adanya benjolan yang mengganggu dalam
penampilan pasien (kosmetik)

Macam-Macam Instrumen pada Bedah Minor

Gunting Diseksi Mayo

Gunting diseksi Metzenbaum

106 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Gunting aff hecting/Stitch scissors

Gunting kassa/Bandage scissors

Klem arteri/mosquito/pean bengkok

Klem vena/pean lurus

Needle holder (naald voeder)

107 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Mathieu needle holder

Pinset anatomis/ dressing forceps

Pinset sirurgis/ tissue forceps

Adson dressing forceps

Adson tissue forceps

Macam-macam pisau

Scalpel handle

108 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Neerbeken/bengkok

Kuret

Trokar

Koorntang (korentang) dan wadahnya


Gambar 2. Instrument Bedah Minor
http://bedahminor.com/index.php/main/show_page/125#sthash.kVuKKOQu
.dpuf

PROSEDUR BEDAH MINOR

109 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

PRA JAHIT LUKA


1. Memberikan salam, membina sambung rasa, informed consent
a. Memastikan 2 identitas pasien, seperti misalnya, “Benar dengan Bapak
Budi, 44 tahun?”
b. Menanyakan kesediaan pasien untuk dilakukan bedah sederhana untuk
mengangkat tumornya sesuai kesepakatan, dan memastikan pasien telah
membersihkan area punggungnya dengan sabun dan air yang mengalir di
rumahnya.
2. Memposisikan pasien
Letakkan perlak dan kemudian handuk, di atasnya letakkan manekin
bedah minor.

3. Mencuci tangan dan memakai sarung tangan non steril


Cuci tangan dengan teknik 6 langkah lalu pakai sarung tangan non steril
yang akan digunakan untuk memeriksa pasien
4. Memeriksa daerah operasi dan mendeskripsikannya
Lakukan pemeriksaan tumor dengan teknik palpasi, dan deskripsikan tumor:
a. Teraba tumor di Regio Thorax posterior
b. Diameter: ... cm atau ukuran: axb cm
c. Konsistensi: kenyal lunak/ padat keras
d. Permukaan rata/ berbenjol-benjol
e. Berbatas tegas/ berkapsul
f. Warna, nyeri tekan
5. Mempersiapkan peralatan bedah minor
a. Membuka set bedah minor secara aseptik (galipot 3 buah, jarum jahit,
benang jahit, klem 2-3 buah, pegangan bisturi 1 buah, gunting bedah 1
buah, pinset anatomis 1 buah, pinset chirurgis 1 buah, gunting mencabut
benang 1 buah, bengkok steril 1 buah).
b. Larutan NaCl 0.9% dituangkan ke mangkok steril 1, lakukan dengan
transcortin secara aseptik
c. Larutan desinfektan (Betadine), tuangkan ke mangkok steril 2

110 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

d. Bisturi taruh di mangkok steril 3, bersama dengan jarum jahit dan


benangnya
e. Syringe 3cc
f. Anestetik lokal (Lidocain)
g. Perekat dressing (Hipafix)
6. Mencuci tangan dan memakai sarung tangan steril
Cuci tangan dengan teknik 6 langkah lalu pakai sarung tangan steril satu
sisi (biasakan pada tangan dominan)
7. Menyiapkan anestesi injeksi
Isi syringe dengan larutan anestesi lokal 1-2 cc (ini cukup untuk ukuran
tumor pada manekin), syringe dipegang dengan tangan dominan yang telah
bersarung tangan (aseptik). Tangan lainnya memegang ampul/vialnya.
Setelah selesai, pakai sarung tangan sisi yang lain.

8. Melakukan disinfeksi lapangan operasi dan memasang duk lubang steril


Desinfeksi lapangan operasi secara sirkular dari dalam ke luar,
menggunakan larutan desinfektan yang tersedia dan kassa yang dijepit
dengan pinset anatomis. Lalu pasang doek steril berlubang secara aseptik.
9. Memasukkan anestesi, menyiapkan alat ekstirpasi dan jahit luka
a. Suntikkan larutan anestesi lokal secukupnya, dengan mengeluarkan udara
dalam syringe terlebih dahulu.
b. Arah jarum syringe membentuk wujud seperti layang-layang. Jarum
dimasukkan pada sepanjang garis, lalu aspirasi. Saat jarum keluar,
Peserta mendorong cairan anestesi lokal masuk. Jumlah titik tusukan
adalah 2.
c. Pasang scalpel dengan bantuan klem pada pegangan scalpel/bisturi.
(Pemasangan dilakukan tidak di depan pasien maupun asisten).
d. Pasang jarum jahit pada needle holder, lalu pasang benang jahitnya.

Teknik Anestesi
10. Mengetes anestesi

111 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Lakukan pengetesan anestesi dengan menjepit jaringan yang akan diinsisi


menggunakan pinset chirurgis

EKSTIRPASI TUMOR
Insisi kulit
Pegang bisturi seperti memegang pensil/pena, dengan jari kelingking
berfungsi sebagai penahan menempel pada kulit pasien, agar irisan dilakukan
dengan halus namun tidak lambat. Tangan sisi yang lain menghentikan
perdarahan menggunakan kassa.
11. Arah
Arah insisi sesuai arah garis Langer

12. Panjang
Panjang insisi/ irisan sepanjang / sedikit lebih besar dari diameter tumor
13. Kedalaman
Kedalaman insisi sampai dermis / sampai ke kapsula tumor
14. Jumlah insisi
Dengan jumlah insisi adalah 1
15. Memisahkan tumor dari jaringan sekitarnya
Pisahkan tumor (Penyiangan) dengan menggunakan klem lengkung
(Mosquito), dengan memegang seperti memegang needle-holder, pada
daerah insisi seluas 360°
16. Memeriksa dan menangani perdarahan

112 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Lakukan penanganan perdarahan dengan menggunakan kassa steril dan


membantu agar tumor mudah mencuat.
17. Mengangkat tumor
Setelah seluruhnya tersibak, dengan dibantu oleh tangan sisi yang lain
untuk memegangi area tumor untuk menghentikan perdarahan, angkat
tumor dan konfirmasi terhadap pasien, lalu buang ke bengkok sampah medis
18. Mencuci luka dan memastikan tidak ada sisa jaringan
Lakukan irigasi cekungan yang ditinggalkan oleh tumor dengan larutan
Nacl 0,9%, lalu mengusapnya dengan kassa steril. Gunakan kassa yang lain
dan mencelupkannya ke larutan desinfektan, mengusap ke cekungan bekas
tumor, untuk memeriksa adakah sisa jaringan maupun perdarahan.

JAHIT LUKA
19. Teknik
Jahit bekas insisi dengan teknik memegang yang benar
20. Hasil
a. Jumlah jahitan adalah 3 buah
b. Setiap jahitan teregang dengan baik
c. Jarak antar setiap jahitan sama
d. Simpul yang dibuat pada satu sisi yang sama, rapih dan kencang
e. Setiap kali menggunting benang, gunakan gunting yang benar dengan
cara memegang yang benar dan lengkungannya menghadap ke atas

PASCA JAHIT LUKA


21. Membersihkan daerah jahitan, memberi antiseptik, menutup luka
a. Bersihkan daerah jahitan dengan kassa yang telah dicelupkan ke larutan
NaCl 0,9% dari cloting / bekuan darah yang mungkin terjadi. Lalu ambil
dan oleskan kassa yang dicelupkan ke larutan desinfektan.
b. Tutup luka insisi dengan dressing kassa desinfektan dan menutupnya
dengan perekat secara rapi dan rapat
22. Edukasi
Lepaskan Doek steril dari lapangan operasi dan sarung tangan secara aseptic,
cuci tangan, dan berikan edukasi, contoh :

113 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

a. Daerah yang telah dioperasi tidak boleh kotor dan terkena air
b. Agar pasien meminum obat yang telah diresepkan secara teratur (Peserta
ujian tidak perlu membuat resep maupun menyebutkan obatnya)
c. Kembali untuk kontrol setelah 3 hari

114 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

CHECKLIST BEDAH MINOR (EKSTIRPASI TUMOR)


Nilai
No. Aspek yang dinilai
0 1 2
PRA JAHIT LUKA
1 Memberikan salam, membina sambung rasa, informed consent
2 Memposisikan pasien
3 Mencuci tangan dan memakai sarung tangan non steril
4 Memeriksa daerah operasi dan mendeskripsikannya
5 Mempersiapkan peralatan bedah minor
6 Mencuci tangan dan mengganti dengan sarung tangan steril
7 Menyiapkan anestesi injeksi
Melakukan disinfeksi lapangan operasi dan memasang duk
8
lubang steril (NaCl, Betadine, Betadine)
Memasukkan anestesi, menyiapkan alat ekstirpasi dan jahit
9
luka
10 Mengetes anestesi
EKSTIRPASI TUMOR
Insisi kulit:
11 a. Arah
12 b. Panjang
13 c. Kedalaman
14 d. Jumlah insisi
15 Memisahkan tumor dari jaringan sekitarnya
16 Memeriksa dan menangani perdarahan
17 Mengangkat tumor (untuk pemeriksaan)
Mencuci luka (NaCl, Betadine) dan memastikan tidak ada sisa
18
jaringan
JAHIT LUKA
19 Teknik
20 Hasil
PASCA JAHIT LUKA
Membersihkan daerah jahitan, memberi antiseptik, menutup
21
luka (NaCl, Betadine)
22 Edukasi
Jumlah

Nilai = ____ x 100%


44

115 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

DAFTAR PUSTAKA
1. Jose María Arribas Blanco and María Hernández. 2012 Skills in Minor Surgical
Procedures for General Practitioners In : Primary Care at a Glance – Hot
Topics and New Insights Madrid, Spain http://cdn.intechopen.com/pdfs-
wm/35844.pdf
2. http://bedahminor.com/index.php/main/show_page/125
3. Brown, John Stuart, (1995), Buku Ajar dan Atlas Bedah Minor, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta, cetakan ke-1, hal 51 dan 103.
4. http://www.slideshare.net/mehr92/neck-93, 15 Maret 2016
http://www.jpatrick.net/MAHFiles/orient/woundcare_manual.html

116 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

CLINICAL REASONING

SISTEM MUSKULOSKELETAL

dr. Hari Atmoko, sp. B, dr. Amaze Grace Sira

TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Mahasiswa dapat menjelaskan penanganan kasus sistem muskuloskeletal
sesuai dengan kompetensinya.
2. Mahasiswa dapat mempraktikkan penanganan kasus sistem muskuloskeletal
sesuai dengan kompetensinya.
3. Mahasiswa mampu membangun penalaran klinis yang terasah guna
menunjang diagnosis dan terapi pada pasien khususnya dengan keluhan
sistem muskuloskeletal.

TEKNIK PEMBELAJARAN
Teknik pembelajaran sesi KBM Skills Lab untuk Clinical Reasoning memiliki
beragam modifikasi, sesuai dengan pengampu. Namun untuk menyamakan alur
pembelajaran, tahapan yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Mahasiswa belajar mandiri dengan merangkum kasus SKDI sesuai dengan
tingkat kompetensi.
2. Mahasiswa berlatih dengan pasien simulasi.
3. Mahasiswa mendapatkan umpan balik dari instruktur.
4. Mahasiswa membuat refleksi dan resume kasus.

KETERAMPILAN YANG DILATIHKAN


1. Penggalian data/ anamnesis
2. Pemeriksaan fisik
3. Penentuan diagnosis banding
4. Pemeriksaan penunjang dan interpretasi hasil
5. Penegakan diagnosis
6. Penentuan terapi farmako dan nonfarmako
7. Keterampilan edukasi dan komunikasi
8. Perilaku profesional

117 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Pendahuluan
Kemampuan untuk menyusun diagnosis banding, memilih pemeriksaan
penunjang dan menginterpretasikannya merupakan komponen penting bagi
keterampilan seorang dokter. Proses diagnostik ini, yang sering disebut sebagai
clinical reasoning atau penalaran klinis, merupakan suatu proses yang kompleks.
Untuk menghindari kesalahan dalam mendiagnosis, maka merupakan suatu hal
yang penting bagi dokter untuk memiliki dasar keilmuan yang kuat. Penalaran
klinis yang kuat juga tetap harus ditunjang dengan keterampilan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang terampil.
KELUHAN PADA SISTEM MUSKULOSKELETAL MENURUT SKDI
1 Patah tulang 6 Gerakan terbatas
2 Terkilir 7 Nyeri punggung
3 Gangguan jalan 8 Bengkak pada kaki dan tangan
4 Terlambat dapat berjalan 9 Varises
5 Gangguan sendi (nyeri, kaku, 10 Gangguan otot, nyeri otot, kaku
bengkak, kelainan bentuk) otot, otot mengecil

Clinical Approach
Pendekatan klinis pada pasien dengan keluhan pada sistem muskuloskeletal
dapat diawali dengan menentukan:
➢ Trauma atau non trauma
➢ artikuler atau nonartikuler → monoartikuler atau poliartikuler
➢ lokal atau menyebar
➢ akut atau kronik
➢ inflamasi atau noninflamasi
Sedari awal, mulailah dengan membangun diferensial diagnosis dari kausa
yang paling umum / common. Setelah mengelompokkan hasil anamnesis awal di
atas, kita dapat mulai mengarahkan diagnosis banding kita, apakah keluhan
mengarah pada monoarthritis inflamatory akut atau nyeri menyebar non
artikular yang kronik.
Nyeri sendi dapat bersifat lokal, difus ataupun sistemik. Mintalah pasien
untuk menunjukkan lokasi nyeri. Nyeri yang berasal dari sendi kecil seperti
pada tangan dan kaki biasanya bersifat lebih tajam dan terlokalisir

118 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

dibandingkan dengan sendi besar. Pada keluhan yang bersifat difus atau
poliartikuler, tanyakan pola penyebaran nyeri, apakah simetris (melibatkan
sendi yang sama pada sisi lain tubuh). Nyeri yang tidak berasal dari sendi
(nonartikuler) dapat berasal dari tulang, otot dan jaringan di sekitar sendi
seperti tendon, bursa, atau dari kulit. Nyeri yang bersifat general disebut
myalgia (pada otot) dan arthralgia (pada sendi namun tanpa tanda arthritis).
Waktu, kualitas dan keparahan nyeri juga menjadi hal yang penting
untuk membantu mengarahkan diagnosis. Dari anamnesis juga dapat diarahkan
apakah nyeri berasa; dari kausa inflamatorik atau bukan. Pertanyaan yang
dapat diajukan dalam hal ini antara lain:
- Apakah nyeri semakin bertambah parah dalam hitungan jam atau hari atau
bulan?
- Apakah nyeri berkembang sangat perlahan atau fluktutatif, dengan periode
perbaikan dan perburukan?
- Bagaimana sifat nyeri dalam sehari? Paling parah pada
pagi/siang/sore/malam hari?
- Berapa lama nyeri timbul (durasi)?
- Apakah terdapat keluhan kemerahan, bengkak dan hangat?
- Apakah terdapat keluhan sistemik seperti demam, lesi kulit, anorexia,
penurunan berat badan, kelemahan tubuh?
Keluhan pada sendi dikarakteristikkan dengan adanya nyeri yang dalam
dan diffus, penurunan jangkauan gerak, bengkak, krepitasi, instabilitas postur
dan gerak, serta deformitas (locking). Nyeri yang ditimbulkan oleh kausa
nonartikuler biasanya hanya akan timbul pada gerakan aktif, tidak pada pasif,
nyeri tidak menjalar ke struktur sekitar. Kekakuan sendi lebih sering ditemukan
pada gangguan muskuloskeletal yang kronis dan dapat menjalar. Tingkat
keparahan dan derajat kekakuan berarti penting secara klinis.
Kekakuan yang timbul pada pagi hari terkait dengan gangguan
inflamatori seperti rheumatoid arthritis dan biasanya nyeri dipicu oleh istirahat
yang panjang. Nyeri yang intermiten lebih dikaitkan dengan kausa
noninflamatori seperti osteoarthritis. Nyeri ini tidak bertahan lama sekitar
kurang dari 60 menit dan diperparah dengan aktivitas. Kausa noninflamasi

119 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

lainnya dapat terjadi karena adanya trauma, penggunaan sendi repetitif,


neoplasma, degeneratif ataupun amplifikasi nyeri.
Keluhan sendi dapat pula timbul sebagai manifestasi dari penyakit
sistemik lain, contohnya seperti pada systemic lupus erythematosus (SLE),
arthritis psoriasis, lyme disease, Reiter’s syndrome, demam rematik akut.
Untuk menyingkirkan kausa sistemik dapat dicari temuan patognomonik untuk
kondisi tersebut. Pada SLE dapat ditemukan gejala butterfly rash pada wajah,
demam rematik akut biasanya diawali dengan keluhan nyeri tenggorokan (post
faringitis), pada Reiter’s syndrome dapat ditemukan urethritis, conjunctivitis,
Teknik pemeriksaan pada keluhan muskuloskeletal seperti yang telah
diajarkan pada blok sebelumnya yaitu tentang pemeriksaan Gait Arm Leg and
Spine (GALS) yaitu melakukan inspeksi, palpasi dan pemeriksaan range of
motion. Pemeriksa harus mengingat beberapa point berikut ini:
- Lakukan inspeksi, terutama untuk memastikan keterlibatan sendi yang
simetris
- Lakukan inspeksi dan palpasi juga pada struktur di sekitar sendi (bursa,
ligamen, sinovial dan kartilago), perhatikan adanya perubahan warna kulit,
nodul pada subkutan, efusi sendi ataupun atrofi otot.
- Palpasi adanya krepitus atau tanda-tanda fraktur.
- Periksa jangkauan gerak atau range of motion pada sendi yang terlibat.
- Periksa kekuatan otot yang berada di sekitar sendi yang terlibat.

Sendi Range of Motion


Temporo-mandibular Buka mulut, menutup mulut, side to side
Shoulder Fleksi, ekstensi, abduksi, adduksi, rotasi internal
dan eksternal
Elbow Fleksi, ekstensi siku; pronasi dan supinasi lengan
bawah
Wrist and hand Fleksi dan ekstensi; deviasi ulnar dan radial; fleksi,
ekstensi, abduksi dan adduksi jari; oposisi ibu jari;
Spine Fleksi, ekstensi, rotasi, lateral bending.
Hip Fleksi, ekstensi, abduksi, adduksi, rotasi internal
dan eksternal

120 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Knee and lower leg Fleksi, ekstensi, rotasi internal dan eksternal
Ankle and foot Dorsofleksi dan plantarfleksi, inversi dan eversi.

Proses inflamasi pada muskuloskeletal dapat terjadi karena kausa


infeksius (bakterial,dll.), adanya kristal (gout, pseudogout), kausa imun
(rheumatoid arthritis, lupus eritematosus sistemik), kausa reaktif (demam
reaktif, artritis reaktif), atau idiopatik. Tanda-tanda khas yang dapat ditemui
adalah tanda peradangan yakni eritema, hangat, nyeri, bengkak. Terkadang
dapat pula disertai adanya tanda sistemik seperti fatigue, demam, kemerahan,
dan penurunan berat badan. Temuan pemeriksaan penunjang yang mengarah
kepada proses infeksi atau marker lain dari sistem imun dapat menguatkan
diagnosis.

Osteoarthritis (OA) Chronic Rheumatoid Arthritis


Nodul yang keras dan tidak nyeri pada Pembengkakan dan penebalan kronik
dorsolateral sendi DIP (Heberden’s pada MCP dan PIP. Dapat terlihat
node) dan PIP (Bouchard’s nodes) swanneck deformities. Rheumatoid
menjadi ciri khas pada OA. nodule dapat muncul pada fase akut
dan kronik.

121 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Chronic Tophaceous Gout Acute Gouty Arthritis


Kelainan yang timbul dapat Sendi metatarsophalangeal I menjadi
menyerupai OA dan RA. Sendi yang predileksi paling sering pada arthritis
terlibat tidak simetris. Dapat timbul gout akut. Dicirikan dengan nyeri yang
inflamasi akut. Dapat timbul ulkus hebat, disertai kemerahan dan
pada bengkak dan muncul discharge bengkak pada sendi.
warna putih seperti kapur (asam
urat).
Komponen sendi yang sering mengalami gangguan akibat cedera antara
lain adalah sendi lutut. Pemeriksaan kompartemen medial dan lateral dari sendi
tibiofemoral pada tungkai dapat dilakukan dengan mempalpasi ligamen kolateral
medial (MCL) dengan meminta pasien memfleksikan sendi lutut 90 o. MCL dapat
dipalpasi pada regio antara epikondilus medialis femoris dan femur, sedangkal
LCL dapat dipalpasi diantara epikondilus lateral femoris dan caput fibula.
Meniskus medial dan lateral dipalpasi pada alur sepanjang sendi pada medial dan
lateral.
Struktur Manuver Teknik dan Interpretasi
Abduction Stress Test
Pasien pada posisi supinasi
dan lutut fleksi, kemudian
Medial Collateral paha digerakkan ke lateral
Ligament (MCL) 30o. Satu tangan diletakkan
pada lutut untuk Nyeri atau adanya gap
lateral
stabilisasi femur dan tangan pada sepanjang alur sendi
lain pada medial engkel.

122 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Dorong ke arah medial di medial mengarah pada


melawan lutut dan tarik robekan parsial MCL
engkel ke arah lateral untuk
membuka sendi ke arah
medial (valgus stress)
Adduction Stress Test
Lutut dan paha pada posisi
yang sama seperti pada
pemeriksaan di atas,
pemeriksa bergeser posisi
Nyeri atau adanya gap
sehingga dapat menaruh satu
Lateral pada sepanjang alur sendi
tangan pada permukaan
Collateral di lateral mengarah pada
medial lutut san tangan
Ligament (LCL) robekan parsial LCL
satunya pada lateral engkel.
Dorong ke arah medial
melawan lutut dan tarik
engkel ke arah lateral untuk
membuka sendi lutut ke arah
lateral (varus stress)
Anterior Drawer Sign
Dengan pasien supinasi,
fleksikan pinggul dan lutut
90o dan kaki flat pada meja
pemeriksaan. Lingkarkan
tangan pada lutut dengan ibu Sedikit gerakan merarik ke
Anterior
jari berada pada medial dan depan adalah normal bila
Cruciate
lateral alur sendi dan jari-jari ditemukan pada kedua
Ligament
lain berada pada insersi sendi.
medial dan lateral hamstring. Bila gerakan menarik dapat
Tarik tibia ke depan dan menunjukkan kontur pada
perhatikan apabila
tibia tibia bagian atas
bergeser ke depan (seperti
merupakan positive
laci) dari bagian bawah anterior drawer sign

123 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

femur. Bandingkan derajat


dari gerakan ke depan ini
dengan lutut satunya.
Lachman Test
Posisikan lutut pada fleksi
dan rotasi eksternal 15o. Raih
femur distal dengan satu
tangan dan tibia superior
Anterior dengan tangan lainnya.
Forward excursion yang
Cruciate Dengan ibu jari pada tangan
signifikan mengindikasikan
Ligament yang di tibia diletakkan pada
adanya robekan ACL
alur sendi, sambil
menggerakkan tibia ke depan
dan femur ke belakang.
Perkirakan derajat gerakan
ke depan (forward excursion)
Posterior Drawer Sign
Posisi pasien dan pemeriksa
seperti pada tes Anterior

Posterior Drawer Sign. Dorong tibia ke

Cruciate arah posterior dan amati

Ligament adanya derajat gerakan ke


Gerakan ke arah belakang
arah belakang pada femur
menunjukkan adanya
robekan PCL (jarang
terjadi)
McMurray Test
Pasien berada pada posisi
supinasi, pegang tumit dan
Meniskus medial fleksikan lutut. Lingkarkan
dan lateral pada lutut dengan jari-jari
dan ibu jari berada pada alur
Bila terdengar bunyi klik
sendi medial dan lateral.
atau pop pada sendi bagian

124 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Pada tumit, lakukan rotasi media dengan valgus


tungkai bawah ke arah stress, rotasi eksternal,
internal dan eksternal. Lalu dan ekstensi tungkai
tekan pada bagian lateral menandakan adanya
untuk memberikan valgus kemungkinan robekan pada
stress pada sisi medial sendi. bagian posterior meniskus
Pada saat yang bersamaan, medial.
rotasikan lutut ke arah
eksternal dan ekstensikan
perlahan.

Lakukan palpasi pada m. gastrocnemius dan m. soleus pada bagian posterior


tungkai bawah. Tendon Achilles dapat teraba pada sepertiga distal betis hingga
insersinya pada kalkaneus. Bila teraba adanya bengkak dan nyeri dapat
mengarah pada adanya tendinitis ataupun ruptur tendon Achilles. Minta pasien
untuk berlutut pada kursi. Remas betis dan perhatikan adanya plantar fleksi pada
engkel, dimana gerakan ini tidak akan muncul bila terjadi ruptur tendon Achilles.
Dapat pula disertai tanda lain seperti nyeri tajam seperti tembakan senjata api,
adanya ekimosis dari betis hingga tumit dan flat foot gait.
PENUGASAN PRE-SESI
Sebagai syarat mengikuti KBM, mahasiswa harus:
1. Membuat refleksi presesi pada portofolio (apa yang ingin dipelajari secara
spesifik)
2. Membuat rangkuman kasus dengan level kompetensi 3A, 3B dan 4A (gejala,
tanda, diagnosis banding, pemeriksaan penunjang, terapi, edukasi)

DAFTAR PENYAKIT MENURUT SKDI 2012 SISTEM MUSKULOSKELETAL


No Daftar Penyakit Tingkat
kemampuan
Tulang dan Sendi
1 Artritis, osteoarthritis 3A
2 Fraktur terbuka, tertutup 3B
3 Fraktur klavikula 3A
4 Fraktur patologis 2
5 Fraktur dan dislokasi tulang belakang 2
6 Dislokasi pada sendi ekstremitas 2

125 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

7 Osteogenesis imperfekta 1
8 Ricketsia, osteomalasia 1
9 Osteoporosis 3A
10 Akondroplasia 1
11 Displasia fibrosa 1
12 Tenosinovitis supuratif 3A
13 Tumor tulang primer, sekunder 2
14 Osteosarkoma 1
15 Sarcoma Ewing 1
16 Kista ganglion 2
17 Trauma sendi 3A
18 Kelainan bentuk tulang belakang (Skoliosis, kifosis, 2
lordosis)
19 Spondilitis, spondilodisitis 2
20 Teratoma sakrokoksigeal 2
21 Spondilolistesis 1
22 Spondilosis 1
23 Lesi pada ligamentosa panggul 1
24 Displasia panggul 2
25 Nekrosis kaput femoris 1
26 Tendinitis Achilles 1
27 Ruptur tendon Achilles 3A
28 Lesi meniskus, medial dan lateral 3A
29 Instabilitas sendi tumit 2
30 Malformasi kongenital (genovarum, genovalgum, club foot, 2
pes planus)
31 Claw foot, drop foot 2
32 Claw hand, drop hand 2
Otot dan jaringan lunak
33 Ulkus pada tungkai 4A
34 Osteomielitis 3B
35 Rhabdomiosarkoma 1
36 Leiomioma, leiomiosarkoma, liposarkoma 1
37 Lipoma 4A
38 Fibromatosis, fibroma, fibrosarkoma 1

PENUTUP
Untuk mengoptimalisasi pencapaian mahasiswa dalam sesi Clinical Reasoning,
peran aktif mahasiswa sangat dibutuhkan, sekaligus untuk membentuk kerangka
berpikir rasional klinis.

126 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

REFERENSI
Bickley, L.S. 2013. Bates’ Guide to Physical Examination and History Taking 11 th
ed. Elsevier.
Bickley, L.S. 2013. Bates’ Guide to Physical Examination and History Taking11th
ed. Elsevier.
Fauci, A., et al. 2012. Harrison's Principles of Internal Medicine 18th Edition.
The McGraw- Hill Companies. Inc.
Rafery, A.T. 2014. Churchill's Pocketbook of Differential Diagnosis, Fourth
Edition. Elsevier.
Siegenthaler, W. 2007. Differential Diagnosis in Internal Medicine From
Symptom to Diagnosis. New York: Thieme.
Stern, S., et al. 2015. Symptoms to Diagnosis An Evidence Based Guide 3rd
edition. McGraw-Hill Education.

127 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana


Keterampilan Klinik 4: Prosedural Keterampilan Klinik

Catatan:

128 | Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana

Anda mungkin juga menyukai