Anda di halaman 1dari 223

Kata pengantar

Bahasa Arab pertama sekali dikenal sebagai


bahasa-bahasa orang-orang dizajirah Semenanjung
Arabia, kemudian setelah datangnya agama Islam
dikenal pula sebagai bahasa Al-Quran sebagai
pedoman hidup kaum muslimin itu dituliskan dalam
bahasa Arab yang sangat indah susunannya dan
jaringan kalimatnya.
Bahasa Arab dikenal juga sebagai bahasa Ilmu
Pengetahuan sebab begitu banyak ilmu pengetahuan
dimasa perkembangan Islam yang dituliskan dalam
bahasa ini, lalu ditahapan perkembangan selanjutnya
bahasa Arab telah menjadi bahasa Dunia, karena tidak
hanya digunakan oleh sekelompok masyarakat Arab
atau pemeluk Islam saja, tetapi telah diakui sebagai
bahasa kumunikasi di PBB (Perserikatan Bangsa
Bangsa).
Dilihat dari segi penggunaannya maka bahasa Arab
ini terbagi dua yaitu: Bahasa Ammiyah (bahasa yang
dipakai untuk berkomunikasi sehari hari), berasal dari
bahasa daerah di Jazirah Arabiya tidak terikat pada tata
bahasa.
Kedua bahasa fushah yaitu bahasa Resmi, misalnya
bahasa Al-Quran dan Hadist, untuk karangan ilmiah
kitab-kitab, surat-menyurat dan komunikasi resmi
lainnya. Bahasa fushah (resmi) ini memiliki tingkat
kesulitan tersendiri karena terikat erat dengan
peraturan kebahasaan diantaranya ilmu nahwu
(Qawaid) dan Ilmu Balaghah Semantik1 Arab.

1
semantik adalah istilah yang digunakan dalam bidang
linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa
1
Ilmu Balaghah tetap dianggap sebagai ilmu yang
tersulit untuk dicerna, sebab ilmu ini akan
menterkaitkan antara komponen-komponen ilmu
bahasa Arab yang fushah (resmi),. Namun
jika dipelajari dengan penghayatan yang tinggi serta
dihubungkan pula kepada kegunaannya dari sisi ilmu-
ilmu agama jelas akan mendatangkan kenikmatan
tersendiri dan dapat memperkaya dan mempertajam
mata bathin manusia, sehingga menimbulkan dampak
kehidupan yang baik serta dapat mengusir kejenuhan
untuk mempelajarinya.
I
Pendahuluan
A. Latar belakang munculnya ilmu balaghah
Arab Jahiliyah (Pra Islam) sudah mengenal dunia
sastra jauh sebelumnya. Mereka dikenal sebagai
pujangga-pujangga ) ‫ ) اُ ِجـبء‬yang memiliki kecakapan
dalam menyusun dan merangkai kata-kata sehingga
indah didengar dan bagus diucapkan yang kemudian
menghasilkan karya sastra. Hal itu bukan diperolehnya
melalui lembaga-lembaga pendidikan formal atau
dengan mempelajari kaidah-kaidah ilmu tertentu, tetapi
terbentuk melalui fitrah dan insting bahasa yang sudah
ada dalam diri mereka.
Sejarah berhasil mengabadikan sejumlah nama
sastrawan Arab pra jahiliah yang telah memberikan
kontribusi besar dalam dunia sastra, di antaranya: An-
Nābighah2, Hasan bin Tsābit3, al Khansā‟, Umru‟ al-

2
Penyair ini memiliki nama asli An-Nabighah Az-Zibyani
Abu Umamah Ziyad bin Muawiyah. Namun, ia lebih dikenal
dengan panggilan an-Nabighah, yang berarti seorang yang pandai
Qais, Zuhair bin Abī Salmā, Tharfah bin al „Abd,
„Antarah bin Asy-Syaddād, „Amr bin Kultsum, Lubaid
bin Rabī„ah.
Salah seorang penguasa Arab saat itu an-Nābighah
az-Zibyānī sengaja membangun pasar bernama „Ukāzh,
yaitu pasar tahunan tempat bertemu dan berkumpulnya
para sastrawan (‫ )األكثبء‬dan penyair (‫ )اُشؼواء‬dari seluruh
penjuru Arab untuk melantunkan bait-bait syairnya.
Semua gubahan syair-syair terbaru dan kemunculan
penyair-penyair terkemuka tidak terlepas dari peran
pasar „Ukāzh dalam memperkenalkannya. Secara
alamiah semua itu mengalami proses penyeleksian yang
ketat melalui metode kritik sastra yang dikenal luas saat
itu. Semua transaksi jual beli syair berlaku di tempat
ini. Selain „Ukāzh ada beberapa pasar yang menjadi
tempat berkumpulnya para sastrawan. Yang terpenting
adalah Majinnah dan Dzul Majāz. Semuanya terletak
dekat Ka‟bah.

berpuisi, karena memang sejak muda ia pandai berpuisi. An-


Nabighah merupakan salah seorang tokoh penyair terkemuka Arab
Jahiliyyah dan juga menjabat sebagai dewan hakim dalam
perlombaan puisi yang diadakan di pasar Ukadz. Ia memiliki
Diwan (antologi) puisi yang dikomentari oleh Batholius (Ibnu
Sayyid al-Batholius) yang telah berulang-ulang dicetak, meskipun
antologi puisinya itu tidak menghimpun seluruh puisinya.
3
Hasan bin Tsabit bin Mundir berasal dari suku Khazraj
kabilah Khotoniah di Jasrib sekarang Madinah Ayahnya bernama
Mundir, ia adalah sorang tokoh berpengaruh dan dihormati oleh
kabilahnya. Begitu juga dengan Ibunya yang bernama Faria'h binti
Kholid bin Qais Al-Khazraj. Ia penyair yang gigih membela Islam
dan Rasululah dari kecaman para kaum musrikin dan kafirin,
terutama para penyair pada masa itu
Syair-syair terbaik yang muncul dari pasar-pasar
itu mendapat penghargaan berupa hak paten untuk
diletakkan dan dipajang di dinding ka‟bah sehingga
semua orang bisa melihatnya. Suatu apresiasi terhadap
nilai sastra dan seni yang sangat tinggi, karena Ka‟bah
adalah tempat paling sakral dan menjadi prestise Arab.
Karya-karya terbaik itu dikenal dengan nama al-
Mu„allaqāt. Sebagian riwayat menyebutkan terdapat 7
buah syair, sementara yang lainnya menyatakan 10
buah syair yang pernah dipajang di dinding Ka‟bah.
Penyair-penyair yang tampil dalam kesempatan itu
merupakan utusan kebanggaan suku. Seorang penyair
profesional menempati kedudukan terhormat di dalam
masyarakat. Derajat suku akan terangkat karena
kefasihan lidah penyair yang dimilikinya bahkan
perang dan damai yang hampir selalu berlatar belakang
fanatisme kesukuan dapat diciptakan oleh bangsa arab
karena kefasihan lidah para penyairnya.
Setelah itu agama Islam muncul Muhammad saw.
lahir sebagai Nabi pembawa risalah, dan al-
Quran merupakan mukjizatnya yang terbesar
Kemukjizatan al-Quran terkandung pada aspek bahasa dan
isinya Dari aspek bahasa, Alquran mempunyai tingka
fashâhah dan balâghah yang tinggi. Sedangkan dari aspek
isi, pesan dan kandungan maknanya melampaui batas-batas
kemampuan manusia. Ketika Alquran muncul, banyak di
dalamnya terkandung hal-hal yang tidak bisa ditangkap oleh
orang-orang pada zamannya, akan tetapi kebenarannya baru
bisa dibuktikan oleh orang-orang pada abad modern sekarang
ini.
Kata-kata dan isinya dibaca, ditela‟ah, dijadikan
rujukan dan merupakan sumber inspirasi, muncul dan
berkembangnya berbagai ide dan karya jutaan umat manusia.
Kitab ini dijadikan pedoman dan karenanya amat
dicintai oleh seluruh kaum muslimin. Karena
kecintaannya pada Alquran, kaum muslimin
membacadan menelaahnya baik dengan tujuan ibadah
maupun untuk memperoleh pengetahuan darinya. Dengan
dorongan Alquran pula para ulama dan ilmuwan mengarang
dan menterjemahkan bermacam-macam buku ilmu
pengetahuan, baik yang berkaitan dengan keislaman seperti
bahasa Arab, syariat, filsafat dan akhlak, maupun yang yang
bersifat umum seperti sejarah, kesenian dan perekonomian.
Hanya dalam tempo satu abad, inspirasi yang dibawa Alquran
telah membuat penuh berbagai perpustakan di kota-kota
besar Islam pada masa itu seperti Mesir,Baghdad dan
Cordova4.
Fenomena ini muncul karena ayat-ayat Alquran
mendorong kaum muslimin untuk menjadi masyarakat
literat. Ayat yang mula-mula turun kepada Nabi
Muhammad ialah yang berhubungan dengan keharusan
membaca. Halini dapat kita lihat pada surah al-„Alaq 1-5
 
   
   

  
 
 
 
 
  
  
4
Rinaharat Dauzi, Takmilah al Mu‟ajam al „Arabiyah, (Iraq,
Dar ar Rasyid, 1980), 15
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu
Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia
dari segumpal darah, Bacalah, dan Tuhanmulah
Yang Maha Pemurah, Yang mengajar manusia dengan
perantaraan kalâm , Dia mengajarkan kepada manusia
apa yang tidak diketahuinya.
Pada saat turunnya Alquran, bahasa Arab merupakan
bahasa yang murni dan bermutu. Bahasa Arab belum
terkontaminasi dengan bahasa asing lainnya. Namun seiring
dengan peningkatan peran agama, sosial dan politik yang
diembannya, bahasa Arab mulai berasimilasi dengan bahasa-
bahasa lain di dunia,seperti Persia, Yunani, India dan bahasa-
bahasa lainnya5.
Asimilasi dengan bahasa Persia lebih banyak dibanding
dengan bahasa-bahasa lainnya. Asimilasi ini muncul
karena bangsa Arab banyak yangmelakukan pernikahan
dengan bangsa Persia, sehingga sedikit banyak bahasa Arab
terwarnai dengan bahasa tersebut. Selain itu pula banyak
keturunan Persia yang menempati posisi penting baik
dibidang politik, militer, ilmu pengetahuan, dan
keagamaan. Dominasi kuturunan Persia terjadi pada
masa kekhalifahan daulat Bani Abbasiyah. Dengan
berasimilasinya orang-orang Persia ke dalam masyarakat Arab
dan Islam, mulailah bahasa Arab mengalami
kemunduran. Apalagi pemimpin-pemimpin yang berkuasa
bukan orang Arab, sehingga timbullah satu bahasa pasar6 yang
telah jauh menyimpang dari bahasa aslinya. Kondisi ini terjadi
pada beberapa wilayah Islam seperti Mesir, Baghdad dan

5
Ibid, 13
6
Al Lughah al basyariyah al yaumiyah
6
Damaskus. Kemunduran penggunaan bahasa Arab yang paling
hebat terjadi di Persia7.
Adanya kemunduran-kemunduran pada bahasanya,
membuat orang-orang Arab merasa prihatin dan mulailah
mereka berfikir untuk mengembalikan bahasa Arab pada
kemurniannya. Mereka mulai menyusun ilmu nahwu, sharaf
dan balâghah.
Para pakar bahasa Arab mulai menyusun ilmu balâghah
yang mencakup ilmu bayân, ma‟âni dan badî‟. Ilmu-ilmu
ini disusun untuk menjelaskan keistimewaan dan
keindahan susunan bahasa Alquran dari segi
kemukjizatannya.Ilmu itu disusun setelah muncul
dan berkembangnya ilmu nahwu dan sharaf.
B. Tokoh-tokoh dan Karya-karyanya
Pada awalnya struktur ilmu balâghah belumlah lengkap
seperti yang kitakenal sekarang ini. Setelah mengalami berbagai
fase perkembangan dan penyempurnaan akhirnya
disepakati bahwa ilmu ini membahas tiga kajian
utama,yaitu ilmu bayân, ma‟âni dan badî‟. Ilmu bayân
membahas prosedur pengungkapan suatu ide fikiran atau
perasaan ke dalam ungkapan yang bervariasi.Ilmu ma‟âni
membahas bagaimana kita mengungkapkan sesuatu ide
fikiran atau perasaan ke dalam bahasa yang sesuai dengan
konteksnya. Sedangkan badî‟ membahas bagaimana
menghaluskan, memperindah dan meninggikan suatu
ungkapan.
Tokoh pertama yang mengarang buku dalam bidang ilmu
bayân adalah Abû Ubaidah Ma‟mar ibn al Mutsanna (wafat,
208
H) dengan kitabnya Majâz Alquran8 Beliau adalah murid

7
Rinaharat Dauzi, Takmilah.......16
7
8
Sayid Ahmad al Hasyimi, Jawahir al Balaghah, (Bairut,
Maktabah al „Ashriyah, 1999), 9

8
al-Khalil.Dalam bidang ilmu ma‟âni, kitab I‟jâz
Alquran yang dikarang oleh al-Jâhizh9 merupakan kitab
pertama yang membahas masalah ini. Sedangkan kitab pertama
dalam ilmu badî‟ adalah karangan Ibn al-Mu‟taz
dan Qudâmah bin Ja‟far10.
Pada fase berikutnya, munculah seorang ahli balâghah
yang termashur,beliau adalah Abd al-Qâhir al-Jurjâni yang
mengarang kitab Dalâil al-I„jâz dalam ilmu ma‟âni dan
Asrâr al- Balâghah dalam ilmu bayân11. Setelah itu
muncullah Abu Ya‟qub Yusuf Sakkâki yang mengarang
kitab Miftah al-Ulûm yang mencakup segala masalah
dalam ilmu balâghah12.
Selain tokoh-tokoh yang disebutkan di atas, masih banyak
lagi tokoh yang mempunyai andil dalam pengembangan
ilmu balâghah, yaitu:
1. Hasan bin Tsabit13, beliau seorangpenyair Rasullullah saw.
Orang Arab sepakat bahwa ia adalah seorang tokoh
penyair

9
Nama lengkapnya Abu „Utsman „Amar ibn Bahr ibn
Mahbub al Kinani beliau seorang tokoh mu‟tazilah lahir dan wafat
di bashrah (164-255H/780-869M)
10
Pengarang buku naqad asy-Syi‟ri, nama lengkapnya
Qudamah ibn Ja‟far ibn Qudamah ibn Ziyad al-Baghdadi, Abu al-
Faraj, penulis buku (balaghah, mantiq, filsafat, dll)
11
Abdul Muta‟ali as Sha‟idi, Bughyah al idlah, (Maktabah al
Adab, tt), 3
12
Ibid, 4
13
Nama lengkapanya Hassan bin Tsabit bin al-Mundzir al-
Hazrojy al-Anshory. Nama panggilannya Abul Walid , di antara
syi‟rnya yg memuji Nabi:
‫ أَ ْعَٔ َ ٓ ْ٘ي َُ ْ َرِ ِل اَُِ٘بَـ ُء‬ٝ # ٤ِ٘٢ْ ‫ؽ َٖ ٓ ْ٘ي َُ ْ َر َو َهػَّ ػ‬
َ ْ َ‫ أ‬ٝ
Yang lebih baik darimu tak pernah kulihat,yang lebih elok darimu
tak pernah terlahirkan
‫ف ْوذ َٓج َّوأً ٓ ْٖ ً َِّ ػ ْ ‪٤‬ت ‪ً #‬أَّٗـي ِ‬
‫ف ْوذ ًٔبَـ َرشبَـ ُء‬ ‫ِ‬
dari kampung. Suatu pendapat menyatakan bahwa ia
hidup selama 120 tahun; 60 tahun dalam masa
Jahiliyah dan 60 tahun dalam masa keislaman. Ia
meninggal pada tahun 54 H
2 Abu-Thayyib, beliau adalah Muhammad bin al-Husain
seorang penyair kondang. Ia mendalami kata-kata bahasa
Arab yang aneh. Syi‟irnya sangat indah dan memiliki
keistimewaan, bercorak filosofis, banyak kata-kata
kiasannya dan beliau mampu menguraikan rahasia
jiwa. Ia dilahirkan di Kufah, tepatnya di sebuah tempat
bernama Kindah pada tahun 303 H, dan wafat tahun
354 H.
3 . Umru‟ al-Qais14, ia tokoh penyair Jahiliyah yang
merintis pembagian bab-bab dan macam-macam
syi‟ir. Ia dilahirkan pada tahun 130 sebelum
Hijriyah. Nenek moyangnya adalah para raja dan
bangsawan Kindah. Ia wafat pada tahun 80 sebelum
Hijriyah. Syi‟ir-syi‟irnya yang pernah tergantung di
Ka‟bah sangat masyhur.
4 . Abu Tammam (Habib bin Aus Ath-Tha‟i), ia seorang
penyair yang masyhur,satu-satunya orang yang mendalam
pengetahuannya tentang maâni, fashahatal-syâir dan
banyak hafalannya. Ia wafat di Mosul pada tahun 231
Hijriyah.
5. Jarir bin Athiyah al-Tamimi, ia seorang di antara
tiga penyair terkemuka pada masa pemerintahan
Bani Umayah. Mereka adalah al-Akhthal, Jarir,

Kau lahir tanpa sedikitpun cacat,seolah kau tercipta seperti yang


kau inginka
14
Namanya Jundab ibn Hajar al Kindi
dan al-Farazdaq. Dalam beberapa segi ia melebihi kedua
rekannya. Dia wafat pada tahun 110 H.
6. Al-Buhturi, ia seorang penyair Bani Abasiyah yang
profesional. Ketika Abu al-„A‟la al-Ma‟arri ditanya
tentang al-Buhtury dia berkata, “Siapakah yang ahlisyi‟ir
di antara tiga orang ini, Abu Tammam, al-Buhturi,
ataukah al-Mutanabbi?” Ia menjawab, “Abu Tamam
dan al-Mutanabbi keduanya adalah para pilosof;
sedangkan yang penyair adalah al-Buhturi”. Dia lahir di
Manbaj dan wafat di sana pada tahun 284 H.”
7. Saif al-Daulah, ia adalah Abu al-Hasan Ali bin
Abdullah bin Hamdan, raja Halab yang sangat cinta
syi‟ir. Lahir tahun 303, wafat tahun 356.
8. Ibnu Waki‟, ia seorang penyair ulung dari Baghdad.
Lahir di Mesir dan wafat disanapada tahun 393 H.
9. Ibn Khayyath, ia seorang penyair dari Damaskus. Ia telah
menjelajahi beberapa negara dan banyak mendapatkan
pujian dari masyarakat yang mengenalnya. Ia sangat
masyhur, karena karya-karyanya khususnya pada buku-
buku syi‟ir yang sangat populer. Ia wafat pada tahun 517
H.
10. Al-Ma‟arri, ia adalah Abu al-„Ala‟ al-Ma‟arri.
Dia seorang sastrawan, pilosof dan penyair masyhur,
lahir di Ma‟arrah (kota kecil di Syam). Matanya buta
karena sakit cacar ketika berusia empat tahun. Dia
meninggal di Ma‟arrah pada tahun 449 H.
11. Ibn Ta‟awidzi, ia adalah penyair dan sastrawan
Sibth bin at-Ta‟awidzi. Wafat di Baghdad pada tahun
584 H, dan sebelumnya buta selama lima tahun.
12. Abu Fath Kusyajin, ia seorang penyair profesional dan
terbilang sebagai pakar sastra. Ia cukup lama menetap
di Mesir dan berhasil mengharumkan negeri itu.
Dia wafat pada tahun 330 H.
13. Ibn Khafajah, ia seorang penyair dari Andalus. Ia tidak
mengharapkan kemurahan para raja sekalipun mereka
menyukai sastra dan para sastrawan. Iawafat pada tahun
533 H.
14. Muslim bin al-Walid, ia dijuluki dengan Shari‟ al-
Ghawani. Ia seorang penyair profesional dari dinasti
Abbasiyah. Ia adalah orang yang pertama kali
menggantungkan syi‟irnya kepada Badî‟. Dia wafat pada
tahun 208 H.
15. Abu al-„Atahiyah, ia adalah Ishaq bin Ismail bin al-
Qasim, lahir di Kufah pada tahun 130 H. Syi‟irnya
mudah di pahami, padat dan tidak banyak mengada-ada.
Kebanyakan syi‟irnya tentang zuhud dan peribahasa. Dia
wafat pada tahun 211 H
16. Ibn Nabih, ia seorang penyair dan penulis dari Mesir. Ia
memuji Ayyubiyyin dan menangani sebuah karya sastra
berbentuk prosa buat Raja al-Asyraf Musa. Ia pindah ke
Mishshibin dan wafat di sana pada tahun 619 H.
17. Basysyar bin Burd, ia seorang penyair masyhur. Para
periwayat menilainya sebagai seorang penyair yang
modern lagi indah. Ia penyair dua zaman, Bani Umayah
dan Bani Abasiyah. Dia wafat pada tahun 167 H.
18. Al-Nabighah Al-Dzubyani, ia adalah seorang penyair
Jahiliyah. Ia dinamai Nabighah karena kejeniusannya
dalam bidang syi‟ir. Ia dinilai oleh Abd al-Malik bin
Marwan sebagai seorang Arab yang paling mahir bersyi‟ir.
Ia adalah penyair khusus Raja Nu‟man Ibn al-
Mundzir. Di zaman Jahiliyah, ia mempunyai kemah
merah khusus untuknya di pasar tahunan Ukash. Para
penyair lain berdatangan kepadanya, lalu mereka
mendendangkan syi‟ir-syi‟irnya untuk ia nilai.
Ia wafat sebelum kerasulan Muhammad saw.
19. Abu al-Hasan al-Anbari, ia seorang penyair kondang yang
hidup di Baghdad. Ia wafat pada tahun 328 H. Ia terkenal
dengan ratapannya kepada Abu Thahirbin Baqiyah,
patih „Izz al-Daulah, ketika ia dihukum mati
dan tubuhnya disalib. Maratsinya (ratapannya) itu
merupakan maratsi yang paling jarang mengenai orang
yang mati disalib. Karena ketinggiannya, Izzud Daulah
sendiri memerintahkan agar dia disalib. Dan seandainya ia
sendiri yang disalib, lalu dibuatkan maratsi tersebut
untuknya.
20. Syarif Ridha15, ia adalah Abu al-Hasan Muhammad yang
nasabnya sampai kepada Husain bin Ali RA. Ia seorang
yang berwibawa dan menjaga kesucian dirinya. Ia disebut
sebagai tokoh syi‟ir Quraisy karena orang yang pintar
diantara mereka tidak banyak karyanya, dan orang yang
banyak karyanya tidak pintar, sedangkan ia menguasai
keduanya. Ia lahir di Baghdad dan wafat disana (359H-
406H)
21. Said bin Hasyim al-Khalidi, ia seorang penyair
keturunan Abdul Qais. Kekuatan hafalannya sangat
mengagumkan. Ia banyak menulis buku-buku sastra dan
syi‟ir. Ia wafat pada tahun 400 H
22. Antarah, ia adalah seorang penyair periode pertama.
Ibunya berkebangsaan Ethiopia. Ia terkenal berani
dan

15
Pengarang kitab talkhish al-bayan fi majazatil-quran, nama
lengkapnya Muhammad ibn al-Husain ibn Musa, Abu al-Hasan,
ar-Ridlo al-„Alawi al-Husaini al-Musawi (Mabahits al-
balaghah,hlm. 192)
menonjol. Ia wafat tujuh tahun sebelum kerasulan
Muhammad.
23. Ibnu Syuhaid al-Andalusi, ia dari keturunan Syahid al-
Asyja‟i. Ia seorang pemuka Andalus dalam ilmu sastra. Ia
dapat bersyi‟ir dengan indah dan karya tulisnya bagus.
Ia wafat di Kordova, tempat kelahirannya pada tahun
426 H.
24. Al-Abyuwardi, ia adalah seorang penyair yang fasîh, ahli
riwayat, dan ahli nasab. Karya-karyanya dalam bidang
bahasa tiada duanya. Ia wafat di Ishbahan pada tahun 558
H. Abiyuwardi adalah nama kota kecil di Khurasan.
25. Ibnu Sinan al-Kahfaji16 (423 H-466 H/1032 M-1073 M), ia
adalah seorang penyair dan sastrawan yang berpendirian
syi‟ah. Ia diangkat menjadi wali pada salah satu
benteng di Halab oleh Raja Mahmud bin Saleh,
tetapi ia memberontak terhadap raja.Akhirnya ia mati
diracun
26. Ibnu Nubatah Al-Sa‟di, ia adalah Abu Nashr Abd al-
Aziz, seorang penyair ulung yang sangat lihai dalam
merangkai dan memilih kata. Ia wafat pada tahun 405
H.
C. Pengertian Balâghah
Balâghah secara etimologi berasal d ari kata dasar ‫ِثؾ‬
yang memiliki arti sama dengan kata ‫ص‬ ٝ َ yaitu
“sampai”. Makna ini dapat kita lihat pada firman Allah
surah al Ahqaf ayat 15:

16
Pengarang kitab Sirr al-Fashahah, nama lengkapnya
„Abdullah ibn Muhammad ibn Sa‟id, ibn Sinan, Abu Muhammad

13
al-Khafaji al-Halabi, ia belajar satra dari Abi al-„Ala‟ (Mabahits
al-balaghah,hlm. 205)

13
  
 
  
Sehingga apabila ia telah sampai dewasa dan umurnya
sudah sampai empat puluh tahun…
Dalam bahasa keseharian kita juga menemukan ungkapan,
َ ٝ ‫ ئ م ا‬١‫ ا‬ٙ ‫ِثؾ كال ٕ ٓوا ك‬
٤ٚ ُ ‫ص ئ‬
Fulan telah sampai pada tujuanya.
Pada intinya, balâghah mendatangkan makna yang
agung dan jelas, dengan ungkapan yang benar dan
fasih, memberi bekas yang efisien di lubuk hati, dan
sesuai dengan situasi, kondisi dan orang-orang yang
diajak bicara.
Secara ilmiah, balaghah merupakan suatu disiplin
ilmu yang berlandaskan pada kejernihan jiwa dan
ketelitian menangkap keindahan dan kejelasan
perbedaan yang samar diantara macam-macam uslub
(ungkapan). Kebiasaan mempelajari balaghah
merupakan modal pokok dalam membentuk tabiat
kesastraan dan menggiatkan kembali beberapa bakat
yang terpendam.
Unsur-unsur balaghah adalah kalimat, makna dan
susunan kalimat yang memberikan kekuatan, pengaruh
dalam jiwa, dan keindahan. Juga kejelian dalam
memilih kata-kata dan uslub sesuai dengan tempat
bicaranya, waktu, tema, kondisi para pendengar dan
emosional yang dapat mempengaruhi dan menguasai
mereka. Pada waktu yang lalu para sastrawan tidak
14
menyenangi penggunaan kata 'aidlan'. Mereka
menganggap kata tersebut monopoli para
ilmuwan. Oleh karena itu, mereka tidak mau
menulisnya dalam syair maupun tulisan prosa mereka.
Suatu hal yang perlu diperhatikan dengan serius
oleh seorang ahli balaghah adalah mempertimbangkan
beberapa ide yang bergejolak dalam jiwanya. Ide yang
dikemukakan itu harus benar, berbobot dan menarik
sehingga mempengaruhi sebagai hasil kreasi seseorang
yang berwawasan utuh dan bersifat lembut dalam
merangkai dan menyusun ide. Setelah hal itu selesai,
kemudian memilih kata-kata yang jelas, meyakinkan,
dan sesuai. Lalu menyusunnya dengan urutan yang
indah dan menarik. Jadi, balaghah itu tidak terletak
pada kata per kata, juga tidak pada makna saja,
melainkan balaghah adalah efek yang timbul dari
keutuhan paduan keduanya dan kompatibilitas
susunannya.
Dalam kajian sastra, Balâghah ini menjadi sifat
dari kalâm dan mutakallim sehingga lahirlah sebutan
ِ dan ‫ؾ ٓ ٌِْز‬٤‫ث‬
‫ ؾ ًا ّل‬٤‫ث‬ ِ
Menurut Abd al-Qadir Husein (1984) Balâghah
dalam kalâm adalah
‫ز‬ٚ‫ ؽٍب ٖـٖٓ ٍٔغ ٓغ كصبؽ‬٠‫ُٔوزع‬ٚ‫ٓ طبثوز‬
dalam arti bahwa kalâm itu sesuai dengan situasi
dan kondisi para pendengar.Perubahan situasi dan kondisi
para pendengar menuntut perubahan susunan kalâm Situasi
dan kondisi yang menuntut kalâm ithnâb tentu berbeda
dengan situasi dan kondisi yang menuntut kalâm îjâz
Berbicara kepada orang cerdas tentu berbeda dengan berbicara
kepada orang dungu. Demikian juga dengan tuntutan fashâl
meninggalkan khithâb washâl, tuntutan taqdîm tidak
sesuai dengan ta‟khîr dan seterusnya bahwa untuk
setiap situasi dan kondisi ada kalâm yang sesuai
dengannya ( ٍ ٓ ‫ٓوّب‬ ‫وب‬
ٌُ
َ)
Nilai Balâghah setiap kalâm bergantung kepada sejauh
mana kalâm itu dapat memenuhi tuntutan situasi dan
kondisi, setelah memperhatikan fashâhah-nya.
Kalâm fashîh adalah kalâm yang secara nahwu tidak
dianggap menyalahi aturan yangmengakibatkan dlo‟fut- ta‟lif (
lemah susunan ) dan ta‟qîd (rumit). Dari aspek bahasa
terbebas dari gharâbah (asing) dalam kata-katanya. Dan dari
aspek sharaf terbebas dari menyalahi qiyâs seperti tidak
menggunakan kata َ‫األَ ِع‬, karenamenurut qiyâs adalah
‫األَ َع‬. Sedangkan secara dzauq terbebas dari tanâfur
(berat pengucapannya) baik dalam satu kata, seperti kata
‫ََٓـٓز ي َهاد‬ atau dalam beberapa kata sekalipun satuan
‫ْش‬
kata-katanya tidak tanâfur
D. Aspek-aspek Balâghah
Nilai ketinggian suatu ungkapan (kalâm balîgh) ada
pada dua aspek, yaitu :
1. Kalâm balîgh yaitu kalâm yang sesuai dengan
tuntutan keadaan serta terdiridari kata-kata yang fasîh
contoh:
‫ ٖـٖٓ ػوة‬٤ٖ‫و‬٣‫ اُلو‬ٝ ِ ُ‫ا‬
٤ٖ‫ضو‬ ٝ ٤ٌُٖٗٞ‫ل اٌـ‬٤ٍ ‫ؾ‬‫ٓ ٔل‬
ْ‫ ٓ ٖ ػغ‬ٝ
Muhammad itu junjungan dunia dan akhirat,
manusia dan jin serta junjungan dua golongan Arab
dan Ajam
Tujuan syi‟ir tersebut, yaitu untuk menerangkan bahwa
Muhammad adalahorang mulia.
2 Mutakalim balîgh, yaitu kepiawaian yang ada pada
diri seseorangdalam menyusun kata-kata balîgh
(indah dantepat), sesuai dengan keadaan waktu dan
tempat.
Kemampuan balâghah yang ada pada seseorang berupa
kemampuannya menghadirkan makna yang agung dan jelas
dengan ungkapan yang benar-benar fasîh, memberi bekas
yang berkesan di lubuk hati, sesuai dengan situasi
dankondisi serta sesuai dengan kondisi orang-orang yang diajak
bicara.
Secara ilmiah, ilmu Balâghah merupakan suatu
disiplin ilmu yang mengarahkan pembelajarnya untuk bisa
mengungkapkan ide fikiran dan perasaannya berlandaskan
kepada kejernihan jiwa danketelitian menangkap keindahan
dan kejelasan perbedaan yang sama di antara macam-macam
uslub (ungkapan). Dengan kemampuan menguasai konsep-
konsep balâghah, bisadiketahui rahasia-rahasia bahasa Arab dan
seluk beluknya serta akan terbuka rahasia-rahasia
kemukjizatan Alquran dan al-Hadits.
E. Uslub
uslub adalah makna yang terkandung pada kata-
kata yang terangkai sedemikian rupa sehingga lebih
cepat mencapai sasaran kalimat yang diinginkan dan
lebih menyentuh jiwa pendengar. Uslub juga dikenal
dengan gaya bahasa.Tiga macam uslub di dalam
menyusun kalimat:
1) Uslub Ilmiah: uslub ini adalah uslub yang paling
mendasar dan paling banyak membutuhkan logika
yang sehat dan pemikiran yang lurus dan jauh dari
khayalan syair.Karena uslub ini berhadapan dengan
akal dan berdialog dengan pikiran serta
menguraikan hakikat ilmu yang penuh
ketersembunyian dan kesamaran. Kelebihan yang
paling menonjol dari uslub ini adalah
kejelasannya. Dalam uslub ini harus jelas faktor
kekuatan dan keindahannya. Kekuatannya terletak
pada pancaran kejelasannya dan ketepatan
argumentasinya. Sedangkan keindahannya terletak
pada fasilitas ungkapannya, kejernihan kebiasaan
dalam memilih kata-katanya, dan bagusnya
penetapan makna dari berbagai segi kalimat yang
cepat dipahami. Untuk uslub ini sebaiknya
dihindari pemakaian kata atau kalimat majaz dan
badi 'yang dibagus-baguskan kecuali bila tidak
diprioritaskan dan tidak sampai menyentuh salah
satu prinsip atau kekhasan uslub ini. Biasanya
uslub ini digunakan dalam buku-buku berwacana
ilmiah, buku kuliah, sekolah dan pendidikan.
2) Uslub Sastra: Dalam uslub jenis ini keindahan
adalah salah satu sifat dan kekhasannya yang
paling menonjol. Sumber keindahannya adalah
khayalan yang indah, imajinasi yang tajam,
persentuhan beberapa titik keserupaan yang jauh di
antara beberapa hal dan pemakaian kata benda atau
kata kerja yang kongret sebagai pengganti kata
benda atau kata kerja yang abstrak. Secara garis
besar uslub ini harus indah, menarik inspirasinya
dan jelas serta tegas. Orang-orang yang baru terjun
ke dalam dunia sastra banyak yang beranggapan
bahwa uslub itu akan semakin baik bila banyak
memakai kata-kata majaz, tasybih (penyerupaan)
dan jauh imajinasinya. Anggapan ini sangat keliru,
sebab hilangnya keindahan uslub ini kebanyakan
justru karena dibuat-buat dan diada-adakan dan
tidak ada yang merusak keindahannya yang lebih
jelek dari pada kesengajaan menyusunnya. Kami
yakin bahwa syair berikut ini tidak menarik
perhatian kita:
‫ؼب ة‬
٘ ‫ ُا‬٠‫ػ‬ ٌ ‫إُا ٖـٖٓ ٗو‬ٞ ُ ‫كأٓطود‬
ِ ‫ػعذ‬ٝ ‫هكا‬ٝ # ‫وذ‬ٍٝ‫ع ٍـ‬
‫ثباُجوك‬
( Air matanya yang bagaikan butir-butir mutiara bunga
narjis turun membasahi pipinya yang putih kemerah-
merahan bagaikan bunga mawar dan jari jemari
tangannya yang lentik itu digigitkan ke giginya yang
putih bagaikan salju ).
3) Uslub Khithabi: Dalam uslub ini sangat menonjol
ketegasan makna dan redaksi, ketegasan
argumentasi dan data dan luas wawasan. Dalam
uslub ini seorang pembicara dituntut dapat
membangkitkan semangat dan mengetuk hati para
pendengarnya.Keindahan dan kejelasan uslub ini
memiliki peran yang besar dalam mempengaruhi
dan menyentuh hati. Di antara yang memperbesar
peran uslub ini adalah status si pembicara dalam
pandangan para pendengarnya, penampilannya,
keunggulan argumentasinya, volume dan
kemerduan suaranya, kebagusan penyampaiannya
dan ketepatan sasarannya. Di antara yang
menentukan kelebihan uslub ini yang menonjol
adalah pengulangan kata atau kalimat tertentu,
pemakaian sinonim, pemberian contoh masalah,
pemilihan kata-kata yang tegas. Baik sekali uslub
ini bila diakhiri dengan pergantian gaya bahasa
dari kalimat berita menjadi kalimat tanya, kalimat
berita yang menyatakan kekaguman, atau kalimat
berita yang menyatakan keingkaran.
F. Balâghah dalam konteks Linguistik Modern
Istilah linguistik berasal dari bahasa Latin lingua
Dalam bahasa Perancis berpadanan dengan kata langue dan
langage Sedangkan dalam bahasa Italiaberpadanan
dengan kata lingua dan dalam bahasa Spanyol bepadanan
dengan kata lengua Secara leksikal kata tersebut
bermakna bahasa.
Sedangkan secara terminologis linguistik
mempunyai pengertian seperti berikut ini:
1. Menurut kamus pringgodigdo dan Hassan
Shadily (1977: 633-634), linguistic adalah
penelaahan bahasa secara ilmiah.
2. Chaedar Alwasilah17 mengungkapkan, linguistik adalah
ilmu pengetahuan yang mempunyai obyek forma
bahasa lisan dan tulisan yang mempunyai ciri-ciri
pemerlain.
3. Al-Khully mengungkapkan, linguistik adalah
ilmu yang mempelajari bahasa

17
Nama Lengkapnya Prof. Dr. A. Chaedar Alwasilah, M, penulis
kreatif, hasil karya penelitian yang publikasikan lima tahun terakhir :
1. Developing Theories of Teaching Academic Indonesian to Non-
Language Majors. Indonesian JELT. (2005)
2. Jaminan Mutu Perguruan tinggi. Pikiran Rakyat. (2005)
3. Baca Tulis Masyarakat Madani. Pikiran Rakyat. (2005)
4. Membangun Mesin Reproduksi Pengetahuan. Pikiran Rakyat.
(2005)
5. Tujuh Ayat Pembinaan Mahasiswa. Pikiran Rakyat. (2005)
6. Tujuh Ayat Demokarasi Kampus. Pikiran Rakyat. (2005)
7. Mendamba Lahirnya Kritikus Mumpuni. Pikiran Rakyat. (2006)
8. Menaksir Buku Ajar. Pikiran Rakyat. (2005)
9. Dakwah “Bilqalam” Sunda. Pikiran Rakyat. (2006)
10. Redefinisi Profesi Dosen. Pikiran Rakyat. (2006)
11. Bangsa Indonesia Telat Mikir? Pikiran Rakyat. (2005)
12. Kurikulum Berbasis Literasi. Pikiran Rakyat. (2005)
13. Pokoknya Menulis. (2005)
14. Pokoknya budaya Sunda. (2006)
15. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. (2008)
16. Jejak Langkah Orang Sunda. (2008)
Pokoknya BHMN: Ayat-ayat Pendidikan Tinggi. (2008)
17. Pengantar Penelitian Linguistik Terapan. Pusat Bahasa
Depdiknas. (2005)
18. TEFLIN Journal Vol. 16 No. 1, Februari (2005)
19. Situational Analysis on Education for International
understanding in South-East Asia (Indonesia). APCEIU. (2007)
20. Pendidikan di Indonesia -Masalah dan Solusi-. Kedeputian Bid.
Koor. Pendidikan, Agama, dan Aparatur Negara. (2008)
Dalam Bukunya Asâlîb Tadrîs al-Lughah al-
'Arabiyah, al-Khuli18,mengemukakan tentang cabang-cabang
linguistik ('Ilmu al-Lughah) sbb:
1) 'Ilmu al-Lughah al-Nazhari (Linguistik Teoritis),
Bidang kajian ilmu inimencakup;
a) Ilmu ashwat (fonetik); Ilmu yang membahas proses
terjadinya,penyampaian dan penerimaan bunyi bahasa,
seperti fonetik artikulasi (pengucapan bunyi), fonetik
akustis (perpindahan bunyi), dan fonetikauditoris
(pengurutan bunyi).
b) Ilmu Funimat (fonemik); ilmu ini membahas
fungsi-fungsi bunyi dan prosesnya menjadi fonem-
fonem, serta pembagiannya yang didasarkan pada
penggunaan praktis suatu bahasa.
c) Sejarah Linguistik; ilmu ini membahas
perkembangan bahasa dalam bentukwaktunya, serta
hal-hal yang terjadi pada rentang waktu tersebut
sepertiasimilasi, perubahan-perubahan pengaruhnya
terhadap bahasa lain atausebaliknya.

18
Amin al-Khuli adalah salah satu pemikir penting dari
Mesir yang dikenal karena usahanya untuk mengenalkan
pendekatan baru dalam tafsir Qur'an. Dia dianggap sebagai salah
satu tokoh pembaharu, " mujaddid ". Dia juga salah satu murid
Muhammad Abduh dan mewarisi gagasan-gagasan pembaharuan
yang ia kenalkan selama ini. Salah satu kontribusi penting Amin
al-Khuli adalah dalam bidang metode tafsir Qur'an. Dia, antara
lain, dikenal karena metode literer ( al-manhaj al-adabi ) dalam
penafsiran Qur'an yang kemudian diterapkan oleh sejumlah sarjana
seperti A'ishah bint al-Shathi ', istrinya sendiri, dan Muhammad
Ahmad Khalafullah yang menulis disertasi tentang kisah -kisah
dalam Qur'an yang kemudian dicekal oleh pihak Al-Azhar itu.
d) Ilmu Sharf (Morfologi); ilmu ini membahas
tentang morfem danpembagiannya.
e) Ilmu Nahw (Sintaksis); ilmu ini membahas urutan
kata-kata pada suatukalimat.
f) Ilmu Ma‟âni (semantik)
2) Ilmu al-Lughah al-Tathbîqî (Linguistik terapan);
bidang kajian ini mencakuppengajaran bahasa asing,
terjemah, psiko linguistik dan sosiolinguistik.
Dengan melihat penjelasan dari al-Khuli tersebut
kita bisa mengetahui bahwa dalam bidang Linguistik
ilmu balâghah termasuk pada bidang linguistik
teoritik. Posisi ilmu balâghah dalam bidang garapan
linguistik dapat kita lihat pada bagan berikut ini

ِْ
‫ػُاِـخ‬

٠‫و‬٤‫ػُاِـخ اُزطج‬
ِْ ‫ػ ِاُـخ‬
ِْ
ٟ‫٘اُظو‬

‫واػل‬ٞ ُ‫ا‬

‫اُجالؿخ‬

‫ؾ‬ٞ ُ‫٘ا‬ ‫اُصوف‬


G. Balâghah dan Semantik
Sebelum menguraikan kedudukan ilmu balâghah dan
hubungannya dengansemantik secara lebih jelas, perlu
diketahui bahwa setiap bahasa mempunyaikesamaan dan
perbedaan dengan bahasa lainnya pada beberapa
karakteristiknya.Dengan melihat pembagian lingustik dari
al-Khuli serta bagan di atas, posisi ilmubalâghah dalam
kajian linguistik ini menempati kajian teoretik.
Balâghah merupakan salah satu cabangilmu bahasa Arab
yang menguraikan bentuk-bentuk pengungkapan dilihat
dari tujuannya. Sebagian wilayah kajian ilmu ini terkait
dengan makna, sehingga selalu bersinggungan dengan semantic
.Menurut Prof. Mansoer Pateda19, semantik berarti teori
makna atau teori arti. Ilmu ini merupakan cabang sistematik
bahasa yang menyelidiki makna atau arti.
Semantik mempunyai objek berupa hubungan antara
benda (obyek) dan simbul linguistik, selain itu juga ilmu
ini membahas sejarah perubahan makna-makna kata.
Semantiksebagai ilmuuntuk mengungkapkan makna
mempunyai beberapa teori:
1. Conceptual Theory
Teori ini berpendapat bahwa makna adalah mental
image si pembicara dari subyek yang dia bicarakan.
2. Reference atau correspondence theory
Teori ini berpendapat bahwa makna adalah hubungan
langsung antara maknadengan symbol-simbol acuannya.
3. Field Theory

19
penyusun kamus Bahasa Gorontalo, sekaligus guru besar
di Universitas Negeri Gorontalo (UNG) sepanjang karir
akademiknya, menelurkan 30 karya buku yang diterbitkan secara
nasional, di antaranya yang terkenal adalah Kamus Bahasa
Gorontalo-Indonesia, Suwawa-Indonesia, bahasa Atinggola-
Indonesia, Karya terakhirnya adalah terjemahan Al Qur`an dalam
bahasa Gorontalo.
Teori ini menafsirkan kaitan makna antara kata atau
beberapa kata dalam kesatuan bidang semantic
tertentu.
Selain itu pula semantik mengkaji kata dan makna,
denotasi dan konotasi, pola struktur leksikal dan tata
urut taksonomi. Hal ini selaras dengan bidang
garapanilmu balâghah. Pada skema gambar di atas ilmu
balâghah adalah bidang kajian qawâ'id (linguistik
terotits) yang mengkaji tentang isi atau makna dari
kalimat.Terlepas dari kesamaan balâghah dan semantik,
ada satu hal yang tidak dibahas semantik dalam
ilmunya, yaitu ilmu badî‟. Ilmu ini mempelajari tata
cara membaguskan atau memperindah kalimat. Hal
ini tidak menjadi objek kajian emantik.

H. Balâghah dalam Alquran


Alquran merupakan firman Allah yang di dalamnya
terdapat petunjuk dan hidayah bagi ummat manusia. Kitab ini
menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantarnya.
Selain karena nabi yang membawa kitab ini berbahasa Arab,
bahasa Arab juga diakui mempunyai tingkat balâghah yang
tinggi, sensitifitas dalam hermeneutiknya, mempunyai ragam
gaya bahasa dan mempunyai kosakata yang sangat kaya.
Alquran mempunyai kemukjizatan yang sangat tinggi,
baik pada tataran isi maupun bahasa yang digunakannya.
Ketinggian bahasa Alquran dapat kita lihat pada aspek
pemilihan fonem, pemilihan kata-kata, pilihan kalimat
dan efek yang ditimbulkannya, serta adanya deviasi.
Pada aspek pemilihan fonem-fonem, Zarqani20
berkata, “Yang dimaksud dengan keserasian dalam tata bunyi
Alquran adalah keserasian dalam pengaturan harkat (tanda
baca yang menimbulkan bunyi a, i dan u), sukun (tanda baca
mati), mad (tanda baca yang menimbulkan bunyi panjang),
dan ghunnah (nasal) sehingga enak untuk didengar dan
diresapkan”.
Adanya keserasian dalam pemilihan fonem-fonem
yang dipilih Alquran dapat kita lihat dan kita rasakan ketika
mendengar bacaan ayat Alquran yang dibaca dengan baik dan
benar. Huruf-hurufnya seolah menyatu, perpindahan dari satu
nada ke nada berikutnya sangat bervariasi, sehingga terasa
adanya variasi yang menarik. Hal ini muncul sebagai
akibat permainan huruf konsonan dan vocal yang
dilengkapi dengan pengaturan harakat, sukun, mad , dan
ghunnah Untuk contoh ini kita bisa lihat surah al-
Kahfi ayat 9-
16. Pada akhir ayat-ayat tersebut diakhiri dengan bunyi „a‟
namun diiringi dengan konsonan yang bervariasi, sehingga
menimbulkan hembusan suara yang berbeda, yaitu ba, da, ta,
dan qa
Keserasian bunyi pada akhir ayat Alquran dapat
dikelompokkan kepada tiga kategori, yaitu:
1. Pengulangan bunyi huruf yang sama, seperti pengulangan
huruf ra dan ha pada surah al-Qamar (54:33-41), al-
Insan (76:1-13), „Abasa (80:17-23), dan al-Syams
(91:11-15).
2. Pengulangan bunyi lapal, seperti pengulangan lapal al-
thâriq, kaidâ, dakkâ,soffâ, ahad , dan „ aqabah
pada
20
Abdul Baqi bin Yusuf bin Ahmad Az Zarqoni Al Maliki
meniggal tahun 1099
surah al-Thâriq (86:1-2, 15-16), al-Fajr (89:21-22,
25-26), dan al-Balad (90:11-12)
3. Pengulangan bunyi lapal yang berhampiran, seperti
pengulangan bunyi tumisat furijat, nusifat, uqqitat,
ujjilat, gharqâ, nasytâ, sabhâ, sabqâ, amrâ,
râjifah,râdifah, wâjifah, khâsyi‟ah, hârifah,
suyyirat, uttilat, sujjirat,dan zuwwijat pada surah
al-Nâzi‟ât (79:1-5, 6-10), al-Takwîr (81: 3-12).

Selain tampaknya keindahan bunyi, pemilihan


fonem-fonem tertentu pada ayat Alquran juga memiliki
kaitan atau efek terhadap maknanya. Mahmud Ahmad
Najlah21 dalam bukunya Lughah Alquran al-Karîm fi
Juz „Amma mengkaji huruf sin pada surah al-Nâs
terutama pada ayat 5 dan 6. Huruf sin termasuk
konsonan frikatif. Konsonan ini diucapkan dengan cara
mulut terbuka,namun harus dengan menempelkan gigi atas
dengan gigi bawah pada ujung lidah.Huruf ini dipilih
dengan tujuan untuk memberi kesan bisikan seperti
makna yangterdapat pada kedua ayat tersebut. Dalam sejarah
ada seorang yang bernama Musailimah al-Kadzdzâb. Dia
mencoba menyusun Alquran tandingan dengan membuat ayat-
ayat yang huruf akhirnya mirif. Akan tetapi dia hanya meniru
bunyi dan irama Alquran, dia tidak mampu meniru efek
bunyi- bunyi tersebut terhadap maknanya
I. Bidang Kajian Balâghah
Ilmu Balâghah merupakan sebuah disiplin ilmu yang
berkaitan denganmasalah kalimat, yaitu mengenai maknanya,

21
Mahmud Ahmad Najla adalah seorang Palestina yang lahir
dan dibesarkan di pengasingan. Ia telah menjadi seorang aktivis
dan ia mendapat gelar Sarjana Sosiologi dari Universitas Birzeit
susunannya, pengaruh jiwaterhadapnya, serta keindahan dan
kejelian pemilihan kata yang sesuai dengantuntutan. Untuk
sampai pada sasaran tersebut ada tiga sub ilmu yaitu:
1. Ilmu Bayân: suatu ilmu untuk mengungkapkan suatu
makna dengan berbagaiuslub. Ilmu ini objek
pembahasannya berupa uslub-uslub yang berbeda
untukmengungkapkan suatu ide yang sama. Ilmu Bayân
berfungsi untuk mengetahuimacam-macam kaidah
pengungkapan, sebagai ilmu seni untuk meneliti
setiap uslub dan sebagai alat penjelas rahasia balâghah.
Kajiannya mencakup tasybîh, majâz dan kinâyah
2. Ilmu Ma‟âni: Ilmu ini mempelajari bagaimana kita
mengungkapkan suatu ideatau perasaan ke dalam
sebuah kalimat yang sesuai dengan tuntutan
keadaan.Bidang kajian ilmu ini meliputi: kalâm dan
jenis-jenisnya, tujuan-tujuan kalâm, washl dan
fashl, qashr, dzikr dan hadzf, îjâz, musâwâh dan
ithnâb
3. Ilmu Badî‟: Ilmu ini membahas tata cara
memperindah suatu ungkapan, baikpada aspek lafazh
maupun pada aspek makna. Ilmu ini membahas dua
bidangutama, yaitu muhassinât lafzhîyyah dan
muhassinât ma‟nawiyyah Muhassinât lafzhîyyah
meliputi: jinâs, iqtibâs, dan saja‟ Sedangkan
Muhassinât ma‟nawiyyah meliputi: tauriyyah,
tibâq, muqâbalah, husn al-ta‟lîl, ta‟kîd al-
Madh bimâ yusybih al-al-Dzammm dan uslûb al-
hakîm
RANGKUMAN
1) Meningkatnya peran sosial, politik, ekonomi, dan
kebudayaan bahasa Arab memunculnya asimilasi
dengan budaya-budaya sekitarnya serta tidak dapat
dielakkan adanya kontaminasi terhadap bahasa
Arab murni. Kondisi inilah yang mendorong para
ulama untuk mengembangkan ilmu-ilmu
kebahasaaraban termasuk balâghah;
2) Tokoh pertama yang mengembangkan ilmu bayân
adalahAbu Ubaidah, ilmu ma‟âni oleh al-Jâhizh,
dan ilmu badî‟ oleh Ibn al-Mu‟taz;
3) Balâghah secara leksikal bermakna sampai.
Sedangkan secara terminologis balâghah adalah
kesesuaian suatu kalâm dengan situasi dan kondisi
disertai kefasihan yang tinggi serta terbebas dari
dha‟fu al-ta‟lîf dan tidak ta‟qîd maknawiwa al-
lafzhi
4) Fasâhah al-balâghah tergantung pada dua aspek, yaitu
balâghahal-kalâm dan balâghah al-mutakallim
5) Dalam linguistik modern balâghahsangat erat
kaitannya dengan semantic dan sosio linguistik;
6) Alquran adalah kitab suci yang mempunyai
tingkat balâghah yang tinggi. Salah
satu kemukjizatan Alquran adalah pada aspek
bahasa;
7) Ilmu balâghah mempunyai tiga bidang kajian, yaitu
ilmu bayân, ilmu ma‟âni, dan ilmu badî‟.

LATIHAN
Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan
singkat dan tepat!
1. Jelaskan proses pengembangan peran dan
fungsi bahasa Arab dalam kehidupansosial,
politik, ekonomi, dan kebudayaan!
2. Bagaimana implikasi peningkatan peran tersebut
bagi kemurnian bahasa Arab? Berikan contoh
konkritnya!
3. Jelaskan pengertian balâghah secara leksikal dan
terminologis!
4. Apa yang anda ketahui tentang kalâm fashîh dan balîgh
5. Jelaskan secara singkat bahwa Alquran merupakan
kitab suci yang mempunyaikemukjizatan tinggi
dalam bahasany

II
Fashâhah dan Balâghah
Sebelum sampai kepada pembahasan bidang-bidang
kajian ilmu balâghah terlebih dahulu akan dikemukakan
konsep tentang fashâhah dan balâghah kedua istilah ini
sangat terkait dan merupakan bagian yang tidak bisa
dipisahkan dari ilmu balâghah

A. Definisi Fashāhah
1. Fashāhah Menurut Etimologi
Menurut etimologi fashāhah berarti jelas, terang
dan gamblang. Sebagaimana firman Allah swt. dalam
al-Qur‟an yang mengisahkan pernyataan nabi Musa
tentang nabi Harun:
 
 
  
"Dan saudaraku Harun, dia lebih jelas perkataannya
dibandingkan aku….” (QS. al-Qashash [28]: 34)
Kata " ‫َْ ص‬
‫ " ك أ‬pada ayat di atas berarti "lebih jelas
‫ؼ‬
cara berfikir dan bertutur kata". Makna tersebut juga
diungkapkan Rasulullah dalam sabdanya:
‫صؼ ٖٓ َٗط ن عب ِك‬ ‫أََٗب أَ ْك‬
‫ِث ُب‬
"Saya orang yang paling fasih (jelas/terang) berbahasa
Arab.”

Dalam ungkapan berbahasa Arab, terdapat


beragam penggunaan kata fashāhah, di antaranya:
ِٓٚ ‫ ًاَل‬٢ ‫أََفَ صؼ ص‬
٢‫اُ ج ِك‬
Anak itu sudah fasih berbicara. (Jika bicaranya jelas
dan terang).
‫َ ْ صؼ ص ْجؼ‬
‫أك‬
‫ُا‬
Waktu Shubuh sudah fasih. (Jika cahayanya sudah
terang dan jelas).
‫َ ْ صؼ َ ٕب‬
‫أك‬
ِّ‫ُا‬
Lidah itu sudah fasih. (Jika ia mampu mengungkapkan
maksudnya secara benar).
2. Fashāhah Menurut Terminologi
Secara terminologi fashāhah berarti lafaz yang
jelas, terang maknanya, mudah dipahami dan sering
dipergunakan para penyair dan penulis. Ia bernilai
indah dan bagus ketika dibaca dan didengar. Standar
untuk menilai baik atau buruk, lancar atau tidak
lancarnya pengucapan suatu kata adalah adz-dzauq as-
salīm (taste of language) para penyair dan penulis. Hal
itu terbentuk berkat keseringan mendengar, menulis
dan merangkai kata-kata.
Dengan menguasai berbagai kecakapan tersebut
dapat dibedakan kalimat-kalimat yang memenuhi
kriteria-kriteria fashāhah. Oleh karenanya, fashāhah
menjadi sifat dari ‫( ُاِـٌٌُٔخ‬kata), ‫( اٌُا ّل‬kalimat) dan ‫أُ ٌِْز‬
(pembicara) adalah menurut dari sisi mana seseorang
menilainya.
Fashâhah terbagi pada tiga macam, yaitu
a. Kalimah fashîhah atau Fashāhah al-Kalimah
(kata fasih)
Fashāhah al-Kalimah ( ‫ ) ُاِـٌٌُٔخ كص ـبؽخ‬yaitu kata
atau lafaz yang memenuhi unsur-unsur
fashāhah. Agar suatu kata bernilai fashāhah ada
beberapa kriteria yang harus terpenuhi,
sebagaimana disebutkan para ulama balaghah,
di antaranya harus terhindar dari hal-hal berikut:
1) Tanâfur al-hurûf , yakni kata-kata yang sukar
diucapkan.Contoh :
‫اُؼقغ‬ٜ ٠‫زب روػ‬ٜ ‫ر ًو‬
"aku membiarkannya makan rumput"
Pada ungkapan di atas terdapat kata
hu‟hu‟Kata ini terdiri dari dua huruf yaitu
ha dan „ain yang dibaca secara berulang-ulang.
Kata yang terdiri dari huruf-huruf seperti ini
biasanya sulit diucapkan. Kata-kata yang
terdiri dari huruf-huruf yang
sulit diucapkan
dinamakan tanâfurul hurûf
Contoh lain Seperti lafaz: ‫( اُِظش‬tempat
yang kasar), ُُ٘‫( وَـّبؿ ا‬air jernih dan tawar)
‫( َزشََٓٓ ي َهاد‬tinggi kepang rambutnya), dan
‫( َ٘و اَُْ٘ َنح‬suara kodok)22.
2) Gharâbah yakni suatu ungkapan yang terdiri dari
kata-kata yang asing, jarang dipakai, dan tidak
diketahui oleh banyak orang.Contoh :
‫ا‬ٞ‫عّـخ ئكٗووؼ‬
٘ ٟ ‫ م‬٠‫ػ‬
ِ ‫ ًزٌأ ًٌْئ‬٢‫ػ‬
ِ ‫ٓب ٌُْ رٌأ ًأ ْر‬
Mengapa kalian berkumpul padaku seperti
menonton orang gila? pergilah!
Kata yang sulit artinya disini adalah taka'ka'tum
dan ifronqi‟û. Kedua kata tersebut dianggap
gharabah, karena jarang digunakan sehingga sulit
mengartikannya
3) Mukhâlafah al-qiyâs yakni kata-kata yang
menyalahi atau tidak
sesuaidengan kaidah umum sharaf. Contoh,
‫ؾَ اأـلَ ٓو‬ َ ٝ
ِ ْ ٣ُ ‫ال‬ َ‫َ ؽُِب‬ٞ ‫ُـ‬ٛ ٟ‫ ْجو ُّ األَ ٓو ُاّ ِن‬٣ُ ‫َكاَل‬
ُّ ‫ ْجو‬٣ُ َٞ ‫ُـ‬ٛ ‫ن‬ٟ ِ ‫ُّا‬
Sesuatu yang lentur akan sulit untuk ditegakkan,
dan sesuatu yang kerasakan sulit untuk
dilenturkan
Pada syi‟ir di atas terdapat dua kata, yaitu
„َ‫ ‟ ؽُِب‬dan „َ ‫ َِ ؾ‬٣ُ Shîgah (bentuk) kedua kata
tersebut tidak sesuai dengan kaidah-kaidah
ilmu Sharf.Jika mengikuti kaidah kedua kata
tersebut mestinya „‫ ‟ ؽٍب‬dan “ ‫ؾ‬ َ ٣ُ”
Contoh lain:
‫اؽ ِل اُلَ ْو ِك‬َٞ ُ‫ا‬ ‫ األَ َِع‬٢ ‫َا ُْؾ ْٔ ُل ِ َّ ِلل ا ُْ َؼ‬
ٍَّٝ ‫ ِْ اأ َلـ‬٣ ْ ‫ُاوَ ِل‬

22
Dr. Fiti Abd. Al-Qadir Farid, Funun al Balaghah Bain al-
Quran wa kalam al-Arab, (Kuwait, Dar al-Liwa‟, 1980), 27
"Segala puji bagi Allah yang Maha Tinggi lagi
Maha Agung # Yang Esa, Maha Kekal lagi Maha
Permulaan."
susunan kata-kata yang dibentuk tidak
mengikuti kaidah-kaidah baku ilmu Sharf
pada contoh di atas adalah: َْ‫ ِعَ األ‬di mana
bentuknya yang baku berdasarkan ilmu sharf
adalah َ ‫األَع‬.
Contoh lain adalah kata ‫هبد‬ٞ‫( ث‬terompet), di
mana bentuknya yang baku berdasarkan ilmu
sharf adalah ‫ام‬ٞ‫ أث‬sebagaimana disebutkan
dalam sebuah syair:
‫هَبد‬ٞ‫ ُ٘اَّـب ً ثُـ‬٢‫كَِل‬ ٝ‫لًـب ُِ ْل‬٤ ْ ٍ ً ‫ط‬ ‫ي َث ْؼ‬٣َ ْٕ ‫كَ ِاـ‬
‫ٍخ‬ ‫ُ٘اَّـب‬
َ ٝ ‫َب‬ُٜ
ٍْٞ ‫غثُـ‬
"Jika sebagian manusia menjadi pedang negara
# maka di antara mereka harus ada terompet dan
genderang."
b. Kalâm fashih atau Fashāhah al-Kalām ( kalimat
) Fashāhah al-Kalām (‫ال كصبؽخ‬ ّ ٌُ‫ )ا‬yaitu kalimat
yang memenuhi unsur-unsur fashāhah. Hal ini
terwujud apabila semua kata-kata yang
membentuknya bernilai fashāhah juga. Untuk
itu ada beberapa kriteria yang harus terpenuhi,
di antaranya adalah harus terhindar dari hal-hal
berikut:
1) Susunan kalimatnya tidak tanâfur yakni tidak
tersusun dari kata-kata yang berat atau sukar
diucapkan. Bisa jadi kata-katanya fasîh akan
tetapi susunannya sulit diucapkan, maka ia termasuk
kepada tanafur al-kalimât ,contoh:
‫ُهـ ْوة‬ ٤ٌْ َُ ‫هَ ْلو‬ َٔ ‫ََه ْجو ؽو‬
ٝ
ٌَ ‫َهْج‬ ‫ٍة‬ ‫َه ْجو‬
‫ب‬ ‫َؽ‬
ٕ ‫ْوة‬
ٌ
‫و‬
Adapun kuburan musuh itu di tempat sunyi dan
tiada kuburan lain dekat kuburan itu
Susunan kalimat dalam syi'ir di atas dianggap
berat mengucapkannya, sebab berkumpul beberapa
kata yang hampir bersamaan hurufnya yakni
pada
kalimat (‫ )جو َه ؽوة ْجو َه ْوة هُْـ‬terdapat
tiga
huruf qaf dan empat huruf ra, yang disebut secara
berulang ulang23 . Dalam bahasa Jawa kita
mengenal kalimat yang susah diucapkan karena
faktor pengulangan huruf huruf yang sama, yaitu:
laler menclok nyang lore rel
2) Susunan kalimatnya tidak dha'fu al-ta'lîf
yaitu susunan kalimat yang lemah sebab
menyalahi kaidah ilmu nahwu atau sharaf,
seperti ً ْ ‫ال‬ َ‫ؿال‬ ‫ظ‬ (seharusnya)
‫ ى‬٣ ‫وة‬
‫ ًلا‬٣ ْ ‫ى‬ ‫ظوة‬
‫ؿاَل‬
Kecual : ‫ُٓـ‬َٚ ‫ؿاَل‬ ْ‫ظ ى‬ ata ‫ظ‬
i ٣ ‫َوة‬ u ‫َوة‬
‫ٌل‬
‫ ٌل‬٣ ْ ‫َُٓـ ى‬ٚ ‫ؿُا َلـ‬
Kalimat ( jumlah) yang terakhir ini
dibolehkan karena ada dhamîr munfashil yang
kembali ke fa'il
3) Adanya ta‟qîd lafzhy (kerancuan pada kata-
kata). Suatu kalimat termasuk kategori ta‟qîd
lafzhy apabila ungkapan kata-katanya tidak

23
Dr. Fiti Abd. Al-Qadir Farid, Funun al Balaghah Bain al-
Quran...,30
menunjukkan tujuannya karena ada cacat dalam
susunannya, seperti kata Farazdaq:
ّ‫ ُ٘ابَـ ً ئِـا َلـ‬٠‫ُــ ِك‬ٚ‫ٓب ٓ ْ ُِض‬

ْٞ ‫ أَ ثُـ‬٢‫ٓ ؽ‬ِّٚ ‫ أُـ‬ْٞ ‫ أَ ثُـ‬# ‫ٌ ًبـ‬


‫ثُـ‬ُٚ ‫وَبه‬٣ُ ‫ ُـ‬ٙ
Susunan kalimat di atas asalnya
ْٞ ‫ُـ ِئا َلـّ ٌِٓبًـ أَ ثُـ‬ٚ‫وَبه ث‬٣ُ ٢‫ ُ٘ابَـ ً ؽ‬٠‫ُــ ِك‬ٚ‫ٓب ٓ ْ ُِض‬
‫ـ‬ُٙ ْٞ ‫ِّٓ أَ ثُـ‬ٚ ‫أُـ‬
Tiadalah seorangpun yang menyerupainya,
kecuali raja yang bapak ibunya itu masih hidup,
yaitu bapaknya (Ibrohim) yang menyerupai dia.
Maksudnya tiada di antara manusia yang masih
hidup yang menyerupaidia, kecuali raja yang
menyerupai bapak ibunya, yaitu Ibrahim.
4 ) Ta‟qîd ma‟nawi, seperti
١‫ب‬٤َْ٘ ‫رَ ٌُت ػ‬ٝ ‫ْا‬ٞ ‫غـت ثُـ ْؼ َل ُا َّلِاه ػ ْ٘ ٌُ ْ ُِز ْووثُـ‬ ُِ ‫ٍ َأـ‬
‫ْع َزغَّٔ لَ ا‬ٞ ُٓ ‫ُا ل‬
Aku mencari tempat yang jauh dari kamu
sekalian, agar kamu kelak menjadi dekat
denganku dan supaya kedua mataku
mengucurkan air mata,kemudian supaya menjadi
keras
Maksudnya, sekarang aku lebih suka berpisah jauh
denganmu untuksementara waktu meskipun
sampai mengucurkan air mata karena
prihatin.Untuk mengambil makna dari syi‟ir
di atas sangat sulit, sehingga dinamakan
ta‟qîd maknawi
c. Fashāhah al-Mutakallim ( Pembicara )
Fashāhah al-Mutakallim ( ‫) أُ ٌِْز كصبؽخ‬, yaitu
malākah (kecakapan) seseorang dalam hal
mengungkapkan maksud dan tujuannya dengan
fashīh dalam semua situasi dan kondisi, baik
ketika senang, sedih, kecewa, marah maupun
kondisi lainnya. Semua bentuk perasaan itu
mampu diungkapkan dengan kata-kata. Atau
pembicara yang mampu merangkai kata-kata
sehingga terbentuk ungkapan yang fashīh ketika
menulis atau berbicara dengan orang lain.
B. Definisi Balāghah
1. Balāghah Menurut Etimologi
Menurut etimologi balāghah berarti ٍْٞ ُٞ‫ص ُْ ا‬
ْ
(sampai) dan ُ‫َٗزب اال‬ٜ ‫( ء‬berakhir). Dalam ungkapan
bahasa Arab disebutkan bahwa: ََِ‫ك َوا ٓ ٌٕ كُـال َؾ ث‬ٙ
(Fulan sudah sampai keinginannya). Contoh lain:
‫خ‬٣َْ٘ ‫ ًِت ا ُْ َٔ ِل‬ْٞ َٔ ُ‫ َثَِ َؾ ا‬di berakhir sudah itu (Rombongan
Madinah sebagai tempat tujuannya).
2. Balāghah Menurut Terminologi
Balāghah menurut terminologi yaitu kesesuaian
antara konteks pembicaraan dengan situasi dan
kondisi audien (lawan bicara) disertai
penggunaan bahasa yang fashāhah.
Balagah menjadi sifat dari ‫( أٌُِْز‬pembicara) dan
‫( اٌا ّل‬kalimat). Sementara ‫( ُاِـٌٌُٔخ‬kata) tidak bisa disifati
ُ
dengan balagah karena ia hanya terdiri dari hurup-
hurup yang tidak bisa dipahami maknanya. Di samping
itu ia sendiri tidak mampu menyampaikan si pembicara
kepada suatu maksud dan tujuan.
C. Unsur-unsur Balāghah
Dalam balaghah ada 2 unsur prinsipil yang harus
diperhatikan:
1) Situasi dan kondisi ketika berbicara dengan orang
lain
Dalam bahasa Arab dinamakan ‫ب‬ ٍ ‫اُؾ‬/ ّ‫ ُٔاوب‬yaitu
keadaan yang menuntut pembicara mengungkapkan
kata-katanya dengan uslūb (gaya bahasa) tertentu.
2) Bentuk tertentu yang dipergunakan dalam suatu
pengungkapan bahasa
Dalam bahasa Arab dinamakan ُْ‫ وزَُٔ ا‬seperti uslūb
٠‫ع‬
ithnāb (yaitu penggunaan kalimat yang panjang
tetapi maksudnya sedikit) dan biasa digunakan untuk
pujian. Tetapi kalau audien (lawan bicara) adalah
seorang yang cerdas, maka cukup menggunakan
uslūb ījāz (yaitu penggunaan kalimat yang ringkas
tetapi maksudnya sarat dan padat). Jadi memuji dan
orang yang cerdas adalah ٝ‫ؾب‬ ٍ ‫( ُٔاو ّب ُا‬situasi dan
kondisi), adapun ithnāb dan ījāz adalah ٠‫أُوزع‬
(tuntutan).
Mengungkapkan perkataan dalam bentuk ithnāb dan
ījāz adalah ُِٔ‫ ٓطبث ـ ـوخ‬٠‫وزع‬. Ringkasnya keadaan yang
menyebabkan pembicara menyampaikan
perkataannya dengan bentuk tertentu dinamakan
ٍ‫ اُؾب‬atau ‫ٔو ّب‬.ُ‫ ا‬Adapun penyampaian perkataan
sesuai dengan tuntutan dan kedaaan tertentu
dinamakan ٠‫أُوزع‬. Jadi, balāghah bukan
menyampaikan kata-kata yang bermakna indah atau
hanya memilih lafaz-lafaz yang jelas dan terang
tetapi ia harus memperhatikan penggunaan kedua
unsur tersebut yaitu lafaz dan makna secara
bersamaan.
D. Perbedaan Fashāhah dengan Balāghah
Terdapat perbedaan antara fashāhah ( ‫) اُلصـــبؽخ‬
dengan balāghah ( ‫) اُجــالؿخ‬, di antaranya dalam hal
berikut:
1) Obyek kajian fashāhah khusus berkaitan dengan
lafaz. Adapun balāghah obyek kajiannya di
samping berkaitan dengan lafaz juga berkaitan
dengan makna.
2) Fashāhah adalah sifat dari ‫( ُاِـٌٌُٔخ‬kata), ‫اٌُا ّل‬
(kalimat) dan ‫( أٌُِْز‬pembicara). Adapun balāghah
adalah sifat dari ‫( اٌُا ّل‬kalimat) dan ‫أٌُِْز‬
(pembicara).
3) Salah satu syarat suatu ungkapan bernilai balagah
adalah ‫( ُاٌـٌُا ّل‬kalimat) yang gunakan untuk
mengungkapkannya harus memenuhi kriteria
fashāhah sehingga muncul kaidah:
.‫ ًـب‬٤ ْ ‫ٌ ًَ ك ص ؼ َثِـ‬ ٝ ‫ ؾ ص‬٤ ْ ‫ً ً َال ٍّ ِث‬
َ
ْ َ
٤ ْ ُ ‫ؼ‬٤ ‫ك‬
٤ ،
"Semua kalimat yang bernilai balāghah itu pasti
memenuhi unsur fashāhah, tetapi tidak semua kalimat
yang bernilai fashāhah itu memenuhi unsur balāghah."

III
ILMU MA’ÂNI
TUJUAN
Setelah mengikuti proses pembelajaran ini
diharapkan peserta didik mengetahui: 1) Pengertian
ma‟âni; 2) Objek kajian ilmu ma‟âni; dan 3) Manfaat
mempelajariilmu ma‟âni.

BAHASAN
A. Pengertian
َ ِ‫ ) َٓ ؼٗب‬merupakan bentuk jamak dari (ْ٠َ‫) َٓ ٘ؼ‬.
Kata (٠
Secara leksikal katatersebut berati maksud, arti atau
makna. Para ahli ilmu Bayân mendefinisikannyasebagai
pengungkapan melalui ucapan tentang sesuatu yang ada
dalam pikiranatau disebut juga sebagai gambaran dari
pikiran
Sedangkan menurut istilah: Ilmu Ma‟âni adalah
ilmu untuk mengetahuihal-ihwal lafazh bahasa Arab
yang sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi
‫طبثن‬٣ ‫ثب‬ٜ ٠‫ اُز‬٢‫اُِلع ُاؼوث‬ ٍ‫اؽ‬ٞ ‫ث أ‬ٚ ‫ؼوف‬٣ ‫ِْػ‬
‫ ُاؾ ٍب‬٠‫ٓ وزع‬
Yaitu ilmu yang mempelajari kesesuaian antara konteks
pembicaraan dengan situasi dan kondisi sehingga
maksud dan tujuan bisa tersampaikan secara jelas dan
gamblang.
Yang dimaksud dengan hal ihwal lafazh bahasa
Arab adalah model-model susunan kalimat dalam
bahasa Arab, seperti penggunaan taqdîm atau ta‟khîr,
penggunaan ma‟rifat atau nakirah, disebut (dzikr ) atau
dibuang (hadzf ),dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud
dengan situasi dan kondisi adalah situasi dan kondisi
mukhâthab, seperti keadaan kosong dari informasi itu,
atauragu-ragu, atau malah mengingkari informasi
tersebut. Ilmu ma‟âni pertama kalidikembangkan oleh
Abd al-Qâhir al-Jurzâni.
Objek kajian ilmu bayân adalah kalimat-kalimat
berbahasa Arab.Ditemukannya ilmu ini bertujuan untuk
mengungkap kemukjizatan Alquran,hadits dan rahasia-
rahasia kefasihan kalimat-kalimat bahasa Arab, baik
puisimaupun prosa. Dengan melalui ilmu ini kita bisa
membedakan kalimat-kalimat yang sesuai dengan
situasi dan kondisinya mengetahui kalimat-kalimat
yang tersusun rapi, dan dapat membedakan antara
kalimat yang baik dan jelek.
Berdasarkan keterangan di atas, dalam ilmu
Ma„ānī terdapat dua unsur yang perlu diperhatikan,
yaitu kondisi audien (pendengar) dan obyek (topik
pembicaraan).
1. Kondisi Audien (pendengar)
Pembicaraan harus disesuaikan dengan kapasitas
intelektual audien. Bahasa yang digunakan ketika
berbicara dengan orang yang tingkat intelektualnya
tinggi, tentu berbeda dengan orang yang tingkat
intelektualnya rendah. Misalnya penggunaan cara
berbahasa dengan seorang mahasiswa di perguruan
tinggi berbeda dengan seorang murid Sekolah Dasar
atau orang yang pernah mengenyam pendidikan
dengan orang yang tidak pernah mengenyam
pendidikan.
Kalau berbicara dengan orang terdidik kita cukup
menggunakan kalimat yang singkat dan padat bukan
bertele-tele. Dengan cara itu mereka sudah bisa
memahami dan menangkap maksud dan tujuan sang
pembicara, tetapi sebaliknya kalau kita berbicara di
hadapan orang yang tidak terdidik maka dibutuhkan
penggunaan kata-kata yang panjang dan bertele-tele
sekalipun maksud dan tujuan yang ingin
disampaikan hanya sedikit.
2. Obyek/Topik Pembicaraan
Obyek pembicaraan memegang peranan penting
dan substansial dalam ilmu ma‟ani. Obyek
pembicaraan juga harus disesuaikan dengan kadar
intelektual audien. Karena ada obyek pembicaraan
yang bisa dijangkau oleh audien dan sebaliknya ada
obyek-obyek pembicaraan yang tidak bisa
terjangkau oleh akal dan kadar keilmuannya.
Kemampuan menganalisa dan problem solving
(memecahkan masalah) tentu tidak akan mampu
dilakukan oleh anak-anak yang masih belajar di
bangku sekolah tingkat dasar.

B. Objek Kajian Ilmu Ma’âni


Sebagaimana didefinisikan oleh para ulama
balâghah bahwa ilmu ma‟ân bertujuan membantu agar
seseorang dapat berbicara sesuai dengan muqtadhal
hal.Agar seseorang dapat berbicara sesuai dengan
muqtadhahl hal maka ia harusmengetahui bentuk-
bentuk kalimat dalam bahasa Arab. Kapan seseorang
harusmengungkapkan dalam bentuk taqdîm ta‟khîr,
washl, fashl, dzikr, hadzf , dan bentuk-bentuk lainnya.
Objek kajian ilmu ma‟âni hampir sama dengan
ilmu nahwu. Kaidah-kaidah yang berlaku dan digunakan
dalam ilmu nahwu berlaku dan digunakanpula dalam ilmu
ma‟âni. Dalam ilmu nahwu dibahas masalah taqdîm
dan ta‟khîr, hadzf, dan dzikr. Hal-hal tersebut juga
merupakan objek kajian dari ilmu ma‟âni. Perbedaan
antara keduanya terletak pada wilayahnya. Ilmu nahwu
lebih bersifat mufrad (berdiri sendiri), tanpa
terpengaruh oleh faktor lain seperti keadaan kalimat-
kalimat di sekitarnya. Sedangkan ilmu ma‟âni lebih
bersifat tarkîbi (tergantung kepada factor lain). Hasan
Tamam menjelaskan bahwa tugas ahli nahwu hanya
sebatas mengotak-ngatik kalimat dalam suatu jumlah,
tidaksampai melangkah kepada jumlah yang lain.
Kajian dalam ilmu ma‟âni adalah keadaan kalimat
dan bagian-bagiannya. Kajian yang membahas bagian-
bagian berupa msunad-musnad ilaih dan fi‟il
muta‟allaq. Sedangkan objek kajian dalam bentuk
jumlah meliputi fashl,washl, îjâz ithnâb, dan
musâwat .Secara keseluruhan ilmu ma‟âni mencakup
ada delapan macam, yaitu
.1 ١‫ؽأاٍ االٍ٘بك اُقجو‬ٞ
.2 ٤ٚ‫ؽٍا َُٔاَ٘ـل ُئ‬
ٞ ‫أ‬
٘
‫َُٔا‬
.3 ‫ؽٍ ل‬ ‫ا‬ٞ‫أ‬
.4 َ‫ؽاٍ ٓز ِؼوبد اُلؼ‬ٞ ‫أ‬
.5 ‫اُوصو‬
.6 ‫اٗالشبء‬
ٞ ُ‫ا‬
.7 ‫ص‬َ ُ‫ا‬ٝ ‫لص‬ َ
.8 َٔ
‫اح‬ٝ‫ُاَـب‬ٝ ‫اال٘غبة‬ٝ ‫غبى‬٣‫اال‬
Kalimat dalam bahasa Arab disebut al-jumlah.
Dalam kaca mata ilmu nahwu dan dari sisi tarkib
(struktur), al-jumlah itu terdiri dari dua macam, yaitu
jumlah ismiyah (kalimat nominal) dan jumlah fi‟liyah
(kalimat verbal). Dilihat dari segi fungsinya, al-jumlah
itu banyak sekali ragamnya.
1. jumlah ismiyah (kalimat nominal)
Pengertian jumlah ismiyyah menurut para pakar
nahwu adalah sbb:
٢ٝٛ ‫فجو‬ٝ ‫روجذ ٖـٖٓ ٓجزلأ‬
ً ‫ ٓب‬٢ٛ ‫خ‬٤‫ال‬ ٍٔ ‫ُا ِـٔغِٔخ ا‬
‫ل ٗظو‬ٕٝ‫ ث‬ٙ‫و‬٤‫ ثـ‬٤ٌُ ‫جد شئ ُشئ‬ٞ‫ؼب ص‬ٜ ‫ظ‬ٝ ‫ص‬ َ ‫ل ثأ‬٤‫رل‬
‫ؾخ كال‬ ‫ؾ االهض ٓز ًو‬ ٞ ٗ ‫ال ٍئ ٔزواه‬ٝ ‫ُزغلك‬
‫ٗ ظو‬ ‫ل‬ٕٝ‫جد ُاؾ ًوخ ُال هض ثٕـ‬ٞ‫ ص‬ٍٟٞ ‫ب‬ٜٓ٘ ‫زلبك‬٣َ
‫ص‬ٚ‫ل‬ٝ‫ال ؽ‬ٝ ‫ُزغلك ُمي‬
Jumlah ismiyyah adalah suatu jumlah (kalimat)
yang terdiri dari mubtada dan khabar. Dari segi
fungsinya jumlah ismiyyah hanya menetapkan
sesuatu hukum pada sesuat, tidak yang lainnya
Jumlah ini tidak berfungsi untuk tajaddud dan
istimrâr. contoh (ٓ‫)زؾ ًوخ االهض‬. Dari contoh ini
tidak difahami selain menetapkan hukum gerak bagi
bumi tanpa melihat kapan pergerakan itu terjadi
Jumlah ismiyyah adalah suatu jumlah yang
tersusun dari mubtada‟ dan khabar. Jumlah
ismiyah menurut asalnya digunakan untuk
menetapkan sesuatu terhadap sesuatu tanpa
memperdulikan kontinuitas dan pembaharuan.
Hal itu, apabila khabar-nya terdiri dari ism fa‟il
atau ism maf‟ul, seperti ungkapan:
ٞ
ٜ ‫أا‬ٝٗ ‫قزلخ‬
ٓ‫ػب‬ ِ
Sifat mukhtalifah adalah sifat yang melekat
pada anwa‟uha, maka dengan jumlah itu
ditujukan untuk menetapkan sifat mukhtalifah
kepada anwa‟uha tanpa pembatasan waktu
(lampau, sedang atau akan).

Lain halnya jika khabar -nya terdiri dari fi‟il,


seperti:
‫ب‬ٜ‫اػ‬ٞٗ‫أ‬ٝ ‫ ئف ِزلذ‬Kata
ikhtalafat adalah fi‟il al-Madhi, maka
ungkapan di atas mengandung arti:Macam
macamnya telah berbeda (waktu lampau).Pada
jumlah ismiyah (kalimat nominal) mubtada
ditempatkan pada permulaan kalimat,
sedangkan khabar ditempatkan sesudahnya,
seperti:
  

Namun, jika mubtada terdiri dari nakirah
(indefinitif article) dan khabar berupa prase
preposisi, maka khabar didahulukan, seperti:
 

Pada contoh ini, maka () sebagai
khabar dan (  
) sebagai mubtada‟
Karakteristik jumlah ismiyah adalah
membentuk makna tsubût (tetap) dan dawâm
(berkesinambungan), contoh seperti kalimat
  

2. jumlah fi‟liyah (kalimat verbal)
ٖٓ ‫أ‬ٝ ‫ ب َػ‬ٝ‫روجذ ٖـٖٓ ك َؼ ك‬ً ‫ ٓب‬٢ٛ ‫خ‬٤‫ُا ِـٔغِٔخ اُل ِؼ‬
‫ظػخ ال كبكح اُزغلك‬ ٞ ٓٞ ٢ٝٛ ‫بئت كب َػ‬ٝٗ ‫ك َؼ‬
‫ ُمي ا ٕل‬ٝ ( ‫ ٓغ االفزصبه‬٤ٖ‫ ٓى ٕب ٓؼ‬٠‫لس ك‬ٝ ‫ اُؾ‬ٝ
‫ أؽل اال ٓ٘ىخ اُضالصخ‬٠‫ػ‬ ِ ٚ‫ـز‬٤‫اُل َؼ كٍا ثص‬
‫ثل‬
ٕ
‫ ُا ٓيٕب‬٠‫ػ‬ ِ ‫ٍل‬٣ ‫ٗب‬ٚ‫خ ثقالف اا ٍْل ك‬٣٘‫بط ُوو‬٤‫ئؽز‬
‫أ‬ٝ ٥ٕ‫ ا‬: ٚ‫خ م ًْو َُ ْلظ‬٣٘‫ثوو‬
‫أ‬
) ‫أ ؿلا‬ٝ ٌ
Jumlah fi‟liyah ialah kalimat yang terdiri dari
fi‟il dan fa‟il atau fi‟il dan naib fa‟il.
Jumlah fi‟liyah, mengandung makna
pembatasan waktu, yaitu waktu lampau, sedang
dan akan .Pada jumlah fi‟liyah (kalimat verbal),
fi‟il (verba) itu dapat berbentuk aktif
(subyeknya melakukan pekerjaan atau
perbuatan) dan pasif (subyeknya dikenai
pekerjaan atau dikenai perbuatan)

Contoh jumlah fi‟liyah dengan verba aktif


seperti:
‫ االَ فو ِح‬ٝ ‫ب‬٤َْٗ ‫ب ِح ُا ُل‬٤َ‫ ا ُْغ‬٠‫ْ ُا َضبِثذ ِك‬ٍٞ ‫َصجَـّزَي هلالُـ ِثب ُْوَـ‬
Contoh jumlah fi‟liyah dengan verba pasif
seperti
  
 
 
 
Karakteristik jumlah fi‟liyah tergantung kepada
fi‟il yang digunakan; fi‟il mâdhi (kata kerja untuk
waktu lampau) membentuk karakter,bisa positif
dan bisa negatif.
contoh karakter positif seperti kalimat
‫ االَ فو ِح‬ٝ ‫ب‬٤َْٗ ‫ب ِح ُا ُل‬٤َ‫ ا ُْغ‬٠‫ْ ُا َضبِثذ ِك‬ٍٞ ‫َصجَـَّزي هلالُـ ِثب ُْوَـ‬
contoh karakter negatif seperti kalimat
  
 
Sedangkan fi‟il mudhâri (kata kerja untuk waktu
sedang dan akan, juga untuk perbuatan rutin)
membentuk tajaddud (pembaharuan),
contoh seperti
 
 
Selain melihat dari susunan unsur-
unsur yang membentuk jumlah ilmu nahwu
juga melihat isi kalimat dari sisi itsbât (positif)
dan manfi (negatif) nya saja. Jumlah
mutsbatah
(kalimat positif) menurut al-Masih (1981), ialah
kalimat yang menetapkan keterkaitan antara
subjek dan predikat. Kalimat ini terdiri dari
unsur subjek dan predikat sebagai unsur
pokoknya. Kedua unsur tersebut dapat dijumpai
dalam jumlah ismiyah (kalimat nominal) dan
jumlah fi‟liyah (kalimat verbal) .
Sedangkan Jumlah manfiyah (kalimat negatif)
merupakan lawan dari kalimat positif, yaitu
kalimat yang meniadakan hubungan antara
subjek dan predikat, seperti contoh berikut:
 
    
 


 

 
Kami akan membacakan (Alquran) kepadamu
(Muhammad), maka kamu tidak akan lupa kecuali
kalau Allah menghendaki
C. Manfaat ilmu Ma’âni
Ilmu ma‟âni mempelajari hal-hal yang berkaitan
dengan kalimat ( jumlah) bahasa Arab dan kaitannya
dengan konteks. Dengan mengetahui hal-hal tersebut
kita bisa menyampaikan suatu gagasan atau ide kepada
mukhâthab sesuai dengan situasi dan kondisinya.
Dengan melihat objeknya mempelajari ilmu ini dapat
memberi manfaat sbb
1. Mengetahui kemukjizatan Alquran berupa segi kebagusan
penyampaian,keindahan deskripsinya, pemilihan diksi, dan
penyatuan antara sentuhanakan dan qalbu.
2. Menguasai rahasia-rahasia ketinggian dan kefasîhan
bahasa Arab baik pada syi‟ir maupun prosanya.
Dengan mempelajari ilmu ma‟âni kita bias
membedakan mana ungkapan yang benar dan yang tidak,
yang indah danyang rendah, dan yang teratur dan yang
tidak

RANGKUMAN
1. Kata „٠ ٓ ‫ؼب‬
ٗ ‟ merupakan bentuk jamak dari kata
ٓ ٘‫‟ؼ‬. Secara leksikal kata tersebut bermakna arti
„٠
atau makna. Sebagai sebuah disiplin ilmu ia
mempelajari bagaimana agar ungkapan itu sesuai
dengan tuntutan situasi dankondisi.
2. Objek kajian ilmu ini adalah mencakup tatanan
kalimat dan bagian bagiannya. Pada tatanan kalimat
ilmu ini mengkaji masalah fashl, dan washl, îjâz
musawât dan ithnâb. Sedangkan pada tataran bagian
kalimat ilmu ini membahas musnad dan musnad
ilaih,dan muta‟aaliqatul fi‟li
3. Manfaat yang diperoleh jika kita mempelajari ilmu
ini adalah dapatmengapresiasi ketinggian bahasa
Alquran dan bahasa Arab

LATIHAN
Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini
dengan singkat dan tepat!
1. Jelaskan pengertian ma‟âni baik secara leksikal
maupun dalam terminologyilmu balâghah!
2. Tulislah objek yang menjadi kajian ilmu ma‟âni!
3. Kemukakan objek kajian ilmu ma‟âni pada tataran
kalimat dan bagiannya!
4. Manfaat apakah yang akan diperoleh setelah
mempelajari ilmu ma‟âni?
IV
MUSNAD DAN MUSNAD ILAIH
TUJUAN
Setelah proses pembelajaran diharapkan peserta
didik dapat menguasai masalah-masalah yang berkaitan
dengan: 1) Pengertian musnad dan musnad ilaih 2)
Tempat-tempat musnad ilaih 3) Tempat-tempat musnad
ilaih 4) Me-makrifat –kan musnad ilaih 5) Me-nakirah-
kan musnad ilaih 6) Menyebut musnad ilaih
7)Membuang musnad ilaih

BAHASAN
Jumlah atau kalâm paling tidak terdiri dari dua
unsur. Kedua unsur tersebut dalam ilmu ma‟âni adalah
musnad dan musnad ilaih. Dalam ilmu ushul fiqh
musnad biasa dinamakan mahkum bih dan musnad ilaih
dinamakan mahkum„alaih. Sedangkan dalam ilmu
nahwu posisi musnad dan musnad ilaih bervariasi
tergantung bentuk jumlah dan posisinya dalam kalimat.
Dalam istilah gramatikabahasa Arab dikenal istilah
„umdah dan fadhlah, „Umdah adalah unsur-unsur utama
dalam struktur suatu kalimat, sedangkan fadllah adalah
pelengkap. Fadllah dalam istilah ilmu ma‟âni dinamakan
qayyid
Kaitan antara musnad dan musnad ilaih dinamakan
isnâd. Isnâd adalah penisbatan suatu kata dengan kata
lainnya sehingga memunculkan penetapan suatu hukum
atas yang lainnya baik bersifat positif maupun negatif.
Contoh:
‫ُـ‬َٚ ‫ اؽ ٌل ش ي‬ٝ ‫هلال‬
‫ال و‬
٣
Pada contoh di atas ada dua unsur utama, yaitu kata
) dan (‫ اؽ ٌل‬ٝ ) Makna dari kalimat di atas adalah
(ُ‫هلال‬
sifat esa ditetapkan kepada Allah. Kata (‫هلال‬
ُ ) sebagai
musnad ilaih dan (ٌ‫اؽ‬ٝ ‫ ) ل‬sebagai musnad. Penisbatan
sifat esa kepadaAllah dinamakan isnâd.

A. Musnad Ilaih
Secara etimologi musnad ilaih bermakna yang
disandarkan kepadanya. Sedangkan secara terminologis
musnad ilaih adalah:
‫َُٔاَـ‬
ٞٛ ٤ٚ‫ٔل ُئ‬
‫ُا‬
‫ٗبئج‬ٝ ‫ػ‬
َ ‫ُالب ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ‬ٝ ‫ ُ فجو‬ٚ ‫ن‬ٟ ُ‫ٔجـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـزلأ ا‬
‫ٍأ‬ٝ
‫ٔبء‬
‫اٍـ‬ٞ٘‫ا‬ ُ
Musnad Ilaih adalah mubtada yang mempunyai
khobar, fa‟il, naibul fa‟il, dan beberapa isim dari amil
nawasikh.
Dalam pengertian lain musnad ilaih adalah kata-
kata yang dinisbatkan kepadanya suatu hukum,
pekerjaan, dan keadaan. Posisi musnad ilaih dalam
kalimat terdapat pada tempat-tempat berikut ini
)fâ‟il 1 ‫ث‬ْٜٜ‫ ِه ْـ‬ٞ ٠‫ػ‬
ِ ‫ف ْز هلال‬
)fâ‟il al- nâib 2 ُّ ‫ب‬٤ َ ‫ ٌُ ُْ ُاص‬٤ ْ ‫ػ‬
َِ ‫ًزِت‬
)mubtada 3 ‫االهض‬ٝ ‫ٔاد‬َُٞ‫ه اَـ‬ٞ‫ِللِ ُٗـ‬
)isim 4 ( ‫ ) ًٕب‬sejenisnya dan ‫ب‬٤ٔ‫ؽ‬ ِ ‫بٕ هلال‬ٝ‫ًـ‬ًٝ
ٌ ‫ب‬٤ٔ‫ػ‬
٤ٖ‫ٕئ ُ٘ٔابكو‬
ٞ‫ٌُبمث‬
)isim 5 ( ‫ ) ٕئـ‬sejenisnya dan ٕ
pertama ( ٖ )6 ‫ ) ظ‬dan sejenisnya ٖ‫اٍالزبم ظ‬
‫ؾال ؿبئجب‬
ٔ ٓ maf‟ul
7) maf‟ul kedua dari ( ٟ‫ ) أه‬dan sejenisnya. ‫أه‬ٟ
‫ز‬ٍْٜ ‫ كها‬٣ٖ‫زل‬ٜ‫االٍزبم اُطالة ٓغ‬
B. Musnad
Musnad adalah sifat, fi‟il atau sesuatu yang bersandar
kepada musnad ilaih. Musnad berada pada tempat-
tempat berikut ini:
mubtada Khabar ‫ٓشهح‬ٞ ٜ ‫اُغ ٓبؼخ‬ .1
‫أه‬
ٚ
.Fi‟il-tâm 2 ‫ل‬ ٟ ُٜ‫ٍهُـ ثب‬ٞ ُٞ َ
.fi‟il Isim 3 ‫ اُصالح‬٠‫ػ‬ ِ ٢‫ؽ‬
.Khabar 4 ( ‫ ) ًٕب‬nya akhwat- dan ‫لها‬ٞ‫هلالـ ؿ‬
ُ ‫ٕب‬ًٝ
‫ب‬٤ٔ‫هؽ‬
5. Khabar ( ‫ ) ٕئ‬dan akhwat –nya ‫ل اُطُبت ٕئ‬ٜ‫ُٔاغز‬
‫٘ ُبعؼ‬
dari kedua Maf‟ul ( ‫ ) ٖظ‬akhwat-nya dan ‫عب ظ ّ٘ذ‬٣‫ ٓو‬. 6
‫ب‬ٛ‫ػبئشخ أفب‬
ٟ ) dan akhwat-nya
7. Maf‟ul ketiga dari ( ‫أه‬ ِ ٗ َ‫أ‬
٢‫ها‬
‫اَـَُ ُاؾن ؿُِبجًـب‬
C. Me-makrifat-kan Musnad Ilaih
Dalam konteks-konteks tertentu musnad ilaih
perlu dima‟rifatkan. Konteks-konteks tersebut
menunjukkan tujuan yang dimaksudkannya. Me-
makrifat-kan musnad ilaih bisa dengan berbagai cara,
seperti dengan mengungkapkan nama, dengan menggunakan
isim maushûl, dan dengan isim isyârah. Masing-masing
dari cara pen-takrif-an tersebut mempunyai tujuannya
masing-masing.
1. Me-makrifat-kan dengan isim alam
Me-makrifat-kan dengan cara „alamiyah
(menyebut nama) mempunyai beberapa tujuan sbb:
a) Menghadirkan dzat kepada ingatan pendengar
seperti firman Allah dalam surah al-Ikhlash ayat 1
   

b) Memulyakan atau menghinakan musnad ilaih,
seperti contoh di bawah ini,
ٞ ‫أث‬
‫ا‬
‫ ؽعو ٗأق‬٠‫ٔزؼ ُب‬
‫مت‬ٛ ‫اُ٘بهخ‬
c) Optimis dan berharap yang baik
‫وي‬٣‫ كاه صل‬٠‫ُاَـَُلبػ ك‬ٝ ‫ كاهى‬٠‫ل ك‬٤‫ٍؼ‬
2. Me-ma‟rifat-kan musnad ilaih dengan dhamîr
Me-ma‟rifat-kan musnad ilaih dalam suatu
kalimat biasa juga dengan isim dhamîr. sedangkan isim
dhamîr mempunyai beberapa bentuk ,yaitu
a) Isim dhamîr dalam bentuk mutakallim. contoh
sabda Nabi saw
٘
ِ ُٔ‫ ال نً ة ٗأب اٖث ػجل ا‬٢‫ٗأب اُج‬
‫طت‬
Sayalah nabi yang tiada berdusta. Sayalah putera
Abd al-Muthallib.

b) Isim dhamîr dalam bentuk mukhâthab. contoh


‫ ً ٕب‬٢‫ ْ ذ ِث‬ٝ ‫ ػ ْلرَـ‬ٝ ‫ ٓب‬٢‫ف ْلزَِ٘ـ‬
َِ ‫ن‬ٟ ِ ‫َذ ُا‬ ْٗ َ‫أ‬َٝ
ٔ‫أ‬ ٢ ‫أ‬ ٤ ْ ‫ِك‬
‫ش‬ ْٞ ٣َُِ ‫ي‬
ُّ
Engkaulah orang yang mengingkariku‟ Apa yang
engkau janjikan padaku, Dan telah kecewa
lantaran aku, Orang yang mencela kepadamu”.

c) Isim dhamîr dalam bentuk ghâib, contoh


٠ ‫رَ َؼُبَـ‬ٝ ‫ هلالُـ َرَجبهى‬َٞ ‫ ُـ‬ٛ
Dialah Allah yang maha suci lagi maha luhur
3. Me-ma‟rifat-kan dengan isim isyârah
Pe-ma‟rifat-an musnad ilaih dengan isim isyârah
dalam suatu kalimat mempunyai beberapa tujuan sbb
a) menjelaskan keadaan musnad ilaih, apakah
dekat, jauh atau sedang seperti kita berkata,
ٔ ٓ ‫ ُمي‬, ‫ نا ػٔضٕب‬ٛ
‫ ماى فبُل‬, ‫ؾل‬
b) mengingatkan bahwa musnad ilaih layak
mempunyai sifat-sifat yang akan disebut
setelah isim isyarah,contoh
 
   
 

Dalam praktek berbahasa kadang-kadang kata
(َ ‫ نا‬ٛ) yang menunjukkan dekat digunakan untuk
mengagungkan sesuatu yang ditunjuknya
seperti firman Allah,
 
  
  
Akan tetapi kadang-kadang juga sebaliknya,
kata (َ ‫ نا‬ٛ) digunakan untuk merendahkan
seperti firman Allah dalam surah al-„Ankabut
64,
 

 
 
Demikian juga kata (‫ ) ُمي‬yang menunjukkan
jauh digunakan untuk mengagungkan
sesuatu yang ditunjuknya, contoh
 
   

Me-ma‟rifat-kan musnad ilaih dengan isim
isyârah merupakan cara untuk menghadirkan
sesuatu yang disyârahkan. Disamping itu ada
beberapa tujuanlain dari me-ma‟rifat-kan
musnad ilaih dengan isim isyârah, yaitu;
a) Menjelaskan keadaan musnad ilaih dalam jarak
dekat, Contoh
‫ن ثعبػ٘زب‬ٙ ٛ
Inilah barang dagangan
kita
b) Menjelaskan keadaan musnad ilaih dalam
jarak sedang, contoh
١‫ ُـل‬ُٝٝ ‫ماى‬
Itulah anakku
c) Menjelaskan keadaan musnad ilaih dalam jarak
jauh, contoh
‫ل‬٤‫اُػ‬ٞ ٣ّٞ ‫ُمي‬
Itulah hari
ancaman/kiamat
d) Mengagungkan derajat musnad ilaih dalam
jarak dekat
 
 

  
 

Sesungguhnya Alqur‟an ini memberikan petunjuk
kepada jalan yang lurus

e) Mengagungkan derajat dalam jarak jauh,


contoh
  
  
Kitab Alquran itu tidak ada keraguan didalamnya
f) Meremehkan musnad ilaih dalam jarak dekat,
contoh firman Allah dalamsurah al-Anbiya
ayat 3
  
 
Orang ini tidak lain hanyalah seorang manusia
biasa

g) Menampakkan rasa aneh


‫ب رَ ِْوَب‬َٛ‫ب ع‬َٛ‫ع‬ٝ ‫جُـ‬ُٚ ‫ا‬ٛ‫ذ ٓ َن‬٤َ‫َ ْ َػبِهَ ػبِهَ أػ‬
ً
‫م‬ْٝ ‫ٓ وى‬
َْ ‫ و ا ُْ َؼ ِبُـ‬٤َّ‫ ص‬ٝ ‫ؽ وحًـ‬ َّ ‫ْب‬َٝٛ ‫ َروى اال‬ٟ‫ َ َنا ُا ِن‬ٛ
‫بئ‬
‫وًـب‬٣ ْ ‫٘اَُؾ و ى ْٗ ِل‬
٣
‫و‬
Banyak sekali orang yang berakal sempurna,
Sedangusaha kehidupannya lemah Dan banyak sekali
orang yang sangat bodoh,Yang anda jumpai penuh
rizqi, inilah yang meninggalkan kebingungan di
angan-angan, dan membuat orang alim berubah
menjadi kafir zindiq
h) Menyindir kebodohan mukhâthab ,Contoh
‫ب‬٣ ‫ئما ع َٔ ْ ٘ؼزب‬ ‫ض‬ِْٜ ٔ‫ ث‬٢‫ كغ٘ئ‬٢‫أُئي أثبئ‬ٝ
‫وا اُغ ٓبغ‬٣‫عو‬
Mereka itulah bapak-bapakku, Maka
datangkanlah kepadaku hai jarir semisal mereka,
Ketika beberapa perkumpulan,Telah menghimpun
kelompok kami”
i) Mengingatkan bahwa yang di isyârahkan itu
pantas menyandang suatu sifat-sifat tertentu.
 
   
 

Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari
tuhannya,dan merekaitulah orang-orang yang
beruntung.
4. Men-takrif-kan dengan isim maushûl
Me-ma‟rifat-kan musnad ilaih dengan isim
maushûl mempunyai tujuan-tujuan sbb
a) Sangat tidak baik jika digunakan dengan cara
sharîh (jelas) seperti firman Allah dalam surah
Yusuf ayat 23

   
 

dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di
rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan
dirinya (kepadanya)
b) mengagungkan seperti firman Allah ta‟ala
dalam surah Thaha 78
 
 
 
mereka ditutup oleh laut yang menenggelamkan
mereka.
Selain tujuan-tujuan di atas men-takrif-kan dengan
isim maushûl juga mempunyai tujuan-tujuan sbb:
a).Menumbuhkan keingintahuan pada sesuatu,
yakni tatkala maksud shilah wa maushul
adalah hukum yang aneh seperti syi‟ir berikut
ini
‫ٕا َٓزَ َلس‬َٞ ٤َ‫ؽ‬ # ٤ْٚ ‫خُـ ِك‬٣َّ‫ن ؽبهد ا َُْجو‬ٟ ِ ‫ اَُّـ‬ٝ
‫ٓ ع َٔب ٍك‬
ٖ
Makhluk dimana manusia, Bingung terhadapnya,
Adalah binatang yang tercipta, dari benda tak
bernyawa,

b) Merahasiakan suatu hal dari selain mukhâthab


٢ ِ‫ؽبعبر‬
‫ ع‬ٝ ِٚ ‫عب َك و ِث‬ ‫ أ ف َٓب‬ٝ
٤ْ ‫ه‬ # َ ‫ا‬
٤ ْ ِٓ ‫ال‬ َٟٞ ٛ ‫ًَ َْ ْند‬
‫ذ‬ ‫ََا‬
‫أ‬
Aku telah mengambil apa Yang didermakan oleh
sang raja, Dan akupun menunaikan hajat-hajatku
sebagaimana ia inginkan.

c).Mengingatkan kesalahan mukhâthab, contoh


 
 
  
 
)497 : ‫ (االعراف‬
Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu seru
selain Allah itu adalah mahluk yang lemah yang
serupa juga dengan kamu.(al-A‟raf;194)
d) Mengingatkan kesalahan selain mukhâthab.
Contoh
‫َاى ً َٔب‬ٞ َٛ ‫ِفَوذ‬ َٜ ‫ ىػ َٔذ كُـ َإا ُكى ِّٓـ‬٠‫ٕئ ُاّـِز‬
‫عب‬
‫ب‬َُٜ َٟٞ َٛ ‫ف ْوذ‬
ِ
Sesungguhnya wanita yang mana hati anda,
mengira ia telah bosan terhadap anda, adalah
diciptakan untuk mencintai anda, sebagaimana
anda disiptakan untuk mencintainya
e) Menganggap Agung kedudukan mahkum bih.
Contoh
‫زًـب‬٤ ْ ‫َث‬ # ‫ َُ٘ب‬٠َ٘‫ ٍَٔي اَـََُٔب َء ث‬ٟ‫ِئٕ ُاّـ ِن‬
‫كَع‬
ٍَٞ ‫أَغ‬ٝ ‫ُٔـ أَػي‬ِٚ‫َائ‬
Sesungguhnya Zat yang meninggikan
langit,adalah yang mendirikan rumah untuk kita
yang tiang- tiang daripadanya,lebih mulia dan
lebih panjang.

f) Mengejutkan karena
mengagungkan/menghina.
Contoh
 
 

Lalu mereka ditutup oleh laut yang
menenggelamkan mereka (Thaha; 78.)
g) Menganggap hina dalam menjelaskan nama
diri.contoh
٠ ‫ أَِث‬٢‫ٗبِـ‬٤َ‫ن هثّـ‬ٟ ِ ‫ُاّـ‬
Orang yang memeliharaku adalah ayahku

h) Menentukan suatu ketentuan pahala/siksa


ٌْ ٣ ْ ‫هىم ًو‬ٝ ‫َُـ ْ ٓ ْـِلوحٌـ‬ٜ ‫ْا ُاصُِبؾبد‬ٞ ‫ػُِٔـ‬ٝ ‫ْا‬ٞ ‫ آ َُ٘ٓـ‬٣ْٖ ‫ُاَّـ ِن‬
Maka orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal-amal yangbaik,bagi mereka
ampunan dan rezeki yang mulia
i) Mencela.Contoh
٤ْٚ ُِ ‫ي كَوَ ْل أٍَأْد ِئ‬٤ ْ ‫ن أَؽَٖ ِ َُئ‬ٟ ِ ‫ُاَّـ‬
Orang-orang yang berbuat baik padamu itu
,sungguh aku telah berbuat buruk terhadapnya.
j) Menunjukan keseluruhan. Contoh
ْ ‫ُٓـ‬ْٜ ‫َْي أَ ًْو‬ٞٗ ‫أْـرُـ‬٣ َ ٣ْٖ ‫ُاَـّ ِن‬
Orang-orang yang datang kepadamu, maka
hormatilah mereka.
k) Menyamarkan. Contoh
‫ُ ٌَُ َٗ ٌْل ٓب َه َّل َٓذ‬
ِ
Bagi setiap jiwa akan mendapat balasannya apa
yang telah ia kerjakan.
5. Men-tak‟rif-kan musnad ilaih dengan Al (‫;) ٍا‬
Alif lam merupakan salah satu alat untuk
memakrifatkan kata dalam bahasa Arab. Ada dua jenis
(ٍ‫ )ا‬yang perlu kita perhatikan, yaitu al lil ahdi dan
alliljins
a) Al lil „ahdi fungsinya untuk menunjukkan
kekhususan pada sesuatu, contoh
 
 
 
  
 
Sebagaimana kami telah mengutus dahulu seorang
rasul kepada Firaun,maka Fir‟aun mendurhakai
rasul itu.( al-Muzammil ; 15-16)
Partikel (ٍ‫ )ا‬pada kata ( )
merupakan al lil „ahdi, yaitu rasul yang disebut
kedua kali merupakan pengulangan dari rasul
yang pertama. Dan rasul yang dimaksud
adalah sudah diketahui yaitu Musa as.
c) al-liljins yaitu partikel (ٍ‫ ) ا‬berfungsi untuk
menunjukkan jenis dari makna yang ada pada
kata tersebut.
Al-liljins masuk ke dalam musnad ilaih karena
empat tujuan,yaitu
a) Mengisyarahkan kenyatan sesuatu makna
terlepas dari kaidah umum–khusus.Contoh
‫ٕا َٗبغن‬َٞ ٤َ‫اال َْٕٗب ؽ‬
Manusia adalah binatang yang berfikir.

Al ( ٍ‫ )ا‬ini disebut juga lam jinis ٝkarena


mengisyarahkan keadaan jenis yang
dibicarakan dalam kalimat tersebut. Manusia
pada kalimat di atas adalah jenis makhluk
Allah.
b) Mengisyarahkan hakikat yang samar.Contoh
  

Dan aku khawatir kalau –kalau dia dimakan
srigala (Surah Yusuf; 13)
c).Mengisyarahkan setiap satuan yang bisa
dicakup lafazh menurut bahasa.Contoh
‫شب َك ِح‬َُٜ‫ا‬ٝ ‫ت‬٤ ْ ‫ػُِب ُْ ا ُْ َـ‬
Dia mengetahui yang ghaib dan yang tampak
d) Menunjukkan seluruh satuan dalam kondisi
terbatas
َِ ٠َ‫ أَ ُْو‬ٝ ‫و ُاز غبه‬٤ ْ ِٓ ‫ال‬
‫ ْ َٗـصبئِـؾ‬٤ْٜ ‫ػ‬ َ ‫ع َٔغ ا‬
Sang raja mengumpulkan para pedagang dan
menyampaikan beberapanasehatnya pada mereka.
Maksud ungkapan di atas adalah bahwa raja
mengumpulkan para pedagang kerajaanya,
bukan pedagang dunia seluruhnya.
6. Me-ma‟rifat-kan musnad ilaih dengan idhâfah
Salah satu bentuk dalam me-ma‟rifat-kan
musnad ilaih adalah dengan idhâfah Dengan di-idhafat-
kan pada kata lain suatu kata yang asalnya nakirah
berubah menjadi ma‟rifat .Ada beberapa tujuan me-
ma‟rifat-kan musnad ilaih dengan di-idhofat-kan pada
salah satu isim ma‟rifat, yaitu ;
a) Sebagai cara singkat guna menghadirkan
musnad ilaih di hati pendengar,contoh:
ِٓ ‫عب َء ؿاَل‬
Pembantu mudaku telah
٢
dating
Kalimat diatas lebih singkat dibanding kalimat
٢ُِ ‫ن‬ٟ ِ ّ‫عب َء ُا ُـاَل ُّ ُاَـ‬
Telah datang pembantu muda yang menjadi miliku
b) Menghindarkan kesulitan membilang-bilang
َِ ‫ ا ُْؾن‬ََٛ‫أَع َٔغ أ‬
‫ ً َنا‬٠‫ػ‬
Para ahli kebenaran telah sepakat terhadap
masalah demikian.
e) Keluar dari tuntutan mendahulukan
sebagian atas sebagian yang lain.contoh
‫ؽعو أُـ َٓوا ُء ا ُْغ ْ٘ ِل‬
Sejumlah pimpinan tentara telah datang
d) Menagungkan mudhaf dan mudhaf ilaih. Contoh
‫ًزَبة اَـَُ ِْطَٕب ؽعو‬
Surah sang raja telah datang
٤ ْ ِٔ ِْ ‫ و ِر‬٤ ْ ٓ ‫اال‬
Sang Raja adalah
muridku ‫ن‬ٟ ِ
e) Meremehkan.Contoh
ٌّ ‫ص َهب ِك‬ ‫ َُ ُل‬ٝ
Anak pencuri itu ‫ا‬
datang
ِ

7. Men-ta‟rif-kan Musnad ilaih dengan nidâ


Mentakrifkan musnad ilaih pada suatu kalimat
mempunyai beberapa tujuan,yaitu
a) Bila tanda-tanda khusus tidak dikenal oleh
mukhâthab
‫ب ه َع‬٣َ
Hai seorang laki-laki!
b).Mengisyarahkan kepada alasan untuk
sesuatu yang diharapkan, contoh
ً ُ‫ت ا‬ ‫ ُن ا ًْز‬٤ ْ ِِْٔ ِ‫بر‬٣َ
Hai murid! Tulislah pelajaran!) ‫ّله‬
8. Me-nakirah-kan musnad ilaih
Dalam konteks-konteks tertentu kadang-kadang
musnad ilaih perlu di-nakirah-kan (tidak tentu). Pe-
nakirah-an musnad ilaih tentunya mempunyai tujuan-
tujuan tertentu. Di antara tujuan pe-nakirah-an musnad
ilaih adalah menunjukkan jenis sesuatu, menunjukkan
banyak, dan menunjukkan sedikit. Untuk lebih jelasnya
kita perhatikan contoh-contoh berikut ini:
a). nakirah yang menunjukkan jenis,
  
 
  


Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran
mereka, dan penglihatan mereka ditutup

Pada ayat di atas terdapat kata yang di-nakirah-


kan, yaitu kata  penakirahan kata
tersebut bertujuan untuk menunjukkan suatu jenis
 yang tidak banyak diketahui oleh
manusia. Jenis  tersebut
adalah tertutupnya mata seseorang dari melihat
ayat-ayat Allah

b). Nakirah untuk menunjukkan banyak seperti


firman Allah dalam surah al-„Araf ayat 113,
  

beberapa ahli sihir itu datang kepada Fir'aun
mengatakan: "(Apakah) Sesungguhnya Kami akan
mendapat upah, jika kamilah yang menang?"
Pada ayat di atas terdapat kata yang di-nakirah-
kan yaitu kata ( ‫ ) أ‬Pe-nakirah-an kata
tersebut bertujuan untuk menunjukkan banyaknya
pahala yang akan mereka terima.

c(. Nakirah menunjukkan sedikit seperti firman Allah


dalam surah al-Taubah ayat72
 


  
 
 
  
  
  

Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin,
lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang
dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di
dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus
di surga 'Adn. dan keridhaan Allah adalah lebih besar
Pada ayat di atas Allah menggunakan isim
nakirah untuk mengungkapkan surga yaitu dengan kata
( )
Penggunaan isim nakirah menunjukkan bahwa
surga itu kecil dan sedikitnilainya dibandingkan
dengan ridha Allah swt. Ridha Allah merupakan
sumber dari berbagai kebahagiaan hidup manusia.
d) Merahasiakan perkara.Contoh
ٖ ‫َهٍب هَع ِئَّٗـي َرؾو ْكذ‬
‫َاة‬ٞ ‫ػ ُاص‬
Seorang lelaki berkata, “Engkau telah menyimpang
dari kebenaran”.
Pada contoh diatas nama dari musnad ilaih tidak
disebutkan bahkan disamarkan, agar ia tidak
ditimpa hal yang menyakitkan.
e) Bertujuan untuk makna mufrad (tunggal)
٤ْٖ ٣َِْ ٝ ٖٓ َٕٞ َٛ‫ أ‬٣َْ ٝ
Satu kecelakaan adalah lebih ringan daripada dua
kecelakaan
f( Menjelaskan jenis/macamnya
‫ا ٌء‬َٝ ‫ُ ٌَُ كا ٍء ك‬
ِ
Bagi setiap (macam) penyakit ada (satu macam) obat

Kalimat di atas secara rincinya adalah


‫ا ِء‬ٝ َ‫ْع ٖٓ ُا ل‬ٞ َٗ ‫ْع ٖٓ ُا لَ ا ِء‬ٞ َٗ ٌَُ ُ
ِ
Bagi setiap macam penyakit, ada obatnya
9. Musnad Ilaih disifati dengan na‟at
Mensifati musnad Ilaih dalam ilmu ma‟ani
memiliki beberapa tujuan, antara lain:
a) menjelaskan keadaan musnad ilaih yang
sesungguhnya ( ‫ ٖػ ُاٌشق‬ٚ‫وز‬٤‫) ؽو‬. Contoh,
‫ش ِِـُـ‬٣ُ ‫ َكوَاؽ‬٠‫ن ٓؾزبَـط َُئ‬٤ ْ ِٔ ‫ط ا ُْ َؼ‬٣ ْ ‫ ا ُْ َؼو‬٣َْ ٞ ُ‫غ ُْ ا‬
َ ُْ ‫ا‬
ِ
Benda yang panjang lebar dan dalam membutuhkan
tempat yang longgar yang memadahi
Contoh lain: seperti perkataan „Aus ibn Hajar
dalam mensifati orang yang cerdas berikut ini.
‫ْٔب‬ٜ‫ ع‬٠‫اُ ُزوَـ‬ٝ ‫اُِجو‬ٝ ‫ كَح‬# ‫اَُ٘ظ‬ٝ َ‫ن ع َٔغ ُاشغبَـػخ‬ٟ ِ ‫ِئ ٕ َ ُاّـ‬
‫َه ْل‬ٝ ‫َل‬ٟ ‫ً َه ْل هأـ‬ # َٖ‫ِثي اُظ‬ ُٖ‫ظ‬٣َ ‫م‬ٟ ِ ‫ٍَا‬ ‫اال َُٔ ِؼ‬
ْٕ ‫أَـ‬ ٢ َِٔ
ٍ

Sesungguhnya orang yang memadukan sifat berani,


24
َ‫غ‬
cerdik, baik, dan taqwa, adalah orang cerdas, yang

24
Ibn. Ya‟qub al Gharbi, Syuruh a-Talkhish,Juz:1 (Kuwait,
Nasyr Adab al-Hauzah, tt), 362
dugaanya terhadap kamu benar, seolah olah dia
melihat dan mendengar.

b) mengistimewakan musnad ilaih dengan sifat yang


membedakan dari yang lainya (‫ص‬ ٚ ٤‫) رقص‬.
Contoh,
‫ ٌل‬ٜ ‫ٓ غ‬ ‫ غبَـُِت‬٢ِ‫ىا ٗه‬
‫ز‬
Pelajar yang rajin telah berkunjung ke rumahku
‫ٌل ُازبَـعو ػ ْ٘ َٗل َبـ‬٣ ْ ‫ى‬
Zaid pedagang berada di rumahku
c) untuk mencela musnad ilaih ( ‫) اُ ّن‬. Contoh,
‫ َت ى ْ ا ُْ َـج‬ٛ ‫م‬
Zaid yang bodoh itu telah
٢ ٣
pergi
‫ٌل‬
d) untuk memuji musnad ilaih ( ‫) ُٔالػ‬. Contoh,
ُْ ‫عبَـ َء ى ْ ا ُْؼبَُِـ‬
Zaid yang alim itu telah ٣
datang
‫ٌل‬
Pada contoh no 3 dan 4 di atas, kalau mukhathab
sudah mengetahui siapa yang dimaksud dengan
zaid, maka mendatangkan sifat (َ‫ ُْ َُِب ُْؼ ا‬/ ‫ ُْ ا‬٢ ‫) ـِج‬
bertujuan untuk mencela atau memuji, akan tetapi
apabila mukhathab belum mengetahuai siapa
yang dimaksud zaid, maka mendatangkan sifat di
atas bertujuan untuk men-takhshish
e) untuk menegaskan dan mengukuhkan musnad
ilaih ( ‫ل‬٤‫ز‬ٞ‫ًـ‬ًٞ ُ‫) ا‬. Contoh,
25
َِ ِٓٚ ْٞ ‫ْهِ ُن ف َُِبلاًـ ٖٓ َٗـ‬ٞ ‫َاؽ لَ حٌـ رُـ‬ٝ ‫غوَهخٌـ‬
َ
Satu kali ketukan dapat membangunkan khalid dari
65
tidurnya

25
„Ilal Nurim, Jadid ats-Tsalah al-Funun fi Syarh Jauhar
al-Maknun, juz,1 (at-Tar al-Baidla‟ 2007), 117

65
ٌ َ‫غوه‬
Kata (‫خ‬ َ ) pada contoh di atas berwazan ( ْ‫) َِؼخٌ َك‬
yang menunjukan arti satu kali pekerjaan atau
menunjukan ( ٓ‫) له ٓصَ وح‬, kemudian disifati
ٌ ٝ‫ ) َا‬sebagai penguat atau
dengan kata (َ ‫لح ؽ‬
penegas26.
f) untuk menentukan atau mengkongkretkan
musnad ilaih ( ‫ص‬٤‫) اُز٘ص‬. Apa bila musnad ilaih
berupa kata yang relatif ( ََِٔ‫) ُٓ ؾز‬, Contoh,
‫ االهض ئال َّ رَـ َـو َك‬٠‫ؽبَـ َٓخَ ِك‬
ٔ َ ‫ال‬
Tidak ada seekor pun burung merpati di muka bumi
ini kecuali berkicau
musnad ilaih-nya (‫ؽبََٓـ‬
ٔ ‫ ) خَـ‬sifatnya (٠‫) االهض ِك‬,
kalau tidak disifati dengan (٠ ‫) االهض ِك‬, bisa juga
dipahami burung merpati yang di kebun.27
g) menambah ke-umuman musnad ilah28, Contoh,
ّ ‫ِ ئ‬ٚ ٤ ْ ‫ الَ غ َبِئو ِث٘غبَـؽ‬ٝ ‫ اال ْهض‬٠ِ‫ ٓبَـ ٓ ْٖ َكاثَّـ ٍخ ك‬ٝ
َِ َ ‫ال‬
٠‫ػ‬
‫ُـٔ َبـ‬ٜ‫هلال ِه ْىه‬
Tidak ada binatang yang melata di muka bumi
dan
tiada pula burung yang terbang di udara
kecuali rizkinya di jamin oleh Allah
Dua kata (ٍّ‫ خ كَاثَـ‬dan َ‫ )بِئو غ‬berupa isim jins dan
sudah menunjukan arti umum, setelah disifati
dengan kata ( ٠ ْ ‫هض اال ِك‬ ٤ ْ ‫غبَـؽ‬
٘ ‫ ) ِث‬sifat
dan ِٚ
umumnya lebih menyeluruh ( ‫ ٍز‬29) ‫اال‬
10 ‫م‬.Men-taukidi musnad ilah ‫ـوا‬ َ ْ

26
Ibid, 117
66
27
Ibid, 117
28
Hasil penemuan az-Zamakhsyari
29
Abdul Muta‟ali as Sha‟idi, Bughyah al idlah...., 110

67
Men-taukidi musnad Ilaih dalam ilmu ma‟ani
memiliki beberapa tujuan, antara lain:
a) Menetapkan makna musnad ilah kepada sami‟
( ‫و‬٣ ْ ‫) و َرْ و‬ ْ ‫ ى ْ ى‬٢ ‫عبَـ َِٗء‬
seperti: ٣ ٣
‫ٌل ٌل‬
Dikatakan ْ‫ى‬ ‫ ٌل‬٣ ْ ‫ ى‬dua kali agar sami‟
٣
‫ٌل‬
keyakinannya mantap bahwa yang datanh itu
zaid (musnad ilah) bukan orang lain.
b) Menolak prasangka sami‟ bahwa mutakallim
,seperti: lupa ‫َلُـ‬ْٚ َٗ ‫ ٌل‬٣ ْ ‫ ى‬٢ ِ‫عبَـ َٗء‬
Sebelum menyebutkan kata َُٚ ْ ‫ َٗ ل‬, boleh jadi
sami‟ berprasangka bahwa mutakallim lupa,
yang datang itu orang lain bukan zaid
c) Menolak prsangka majaz, seperti:
َٗ ‫و‬٤ ْ ِٓ َ‫عبَـ َء اال‬
َ‫ْو‬
‫ُـ‬ٚ
Sebelum menyebutkan kata َُٚ ْ ‫ َٗ ل‬, boleh jadi
sami‟ berprasangka bahwa yang datang itu
bukan raja melainkan ajudannya atau utusannya
d) Menolak anggapan tidak mencakup seluruhnya
ُّ ْٞ َ‫عبَـ َء ا ُْو‬
( ٍْٞ ٌُ ‫َ ِْ ػ َل ِّ ُاش‬ٞٛ َ‫َ َل ْكغ ر‬,ُ ) :seperti ْ ‫ُـ‬ٜ
11. menyertakan athaf bayan pada musnad ilaih
bertujuan antara lain untuk:
a) memperjelas musnad ilaih dengan isim yang
khusus baginya ( ‫عبػ ُال‬٣ ).
Contoh. ‫(ل َِه َّ ص ِل فبَ ُِـ ٌل‬temanmu khalid telah
datang) ‫ُـ‬ ‫وي‬٣ ْ
Mendatangkan „Athaf bayan pada contoh di atas
untuk memperjelas maksud musnad ilaih dalam
arti menghilangkan relatifitas makna, kalau
hanya disebutkan (‫ص‬ ْ ‫وُـي ِل‬٣ ), mengandung
berbagai kemungkinan karena teman mukhathab
itu banyak tidak hanya khalid.
Dan lagi untuk memperjelas maksud musnad
ilaih, athaf bayan yang didatangkan tidak harus
berupa kata yang lebih khusus dan lebih terang,
sebab kejelasan maksud terkadang diperoleh
dari penggabungan ma‟thuf dengan ma‟thuf30
ilaih-nya.
Contoh: orang yang bernama umar tidak hanya
satu orang, melainkan ada sepuluh orang
bahkan lebih, dengan kinayah yang berbeda
beda, dan salah satunya Abu Hafsh. Sebaliknya
orang yang berkinayah Abu Hafsh juga ada
sepuluh orang bahkan lebih, dengan nama yang
berbeda beda, salah satunya Umar, kemudian
dikatakan ‫ْ َأثُـ َء عبَُـ‬ٞ ‫( و َٔ ػ ْلص ؽ‬telah datang
Abu
Hafsh yang bernama umar) maka maksudnya
menjadi jelas.

Contoh lain:
ٜ َْٔ٣َ ‫و‬٤ ْ ‫ ا ُُْٔ َإ ِّٖٓ ا ُْؼ َبِئنَاد ُاط‬ٝ
َٖ ٤ ْ ‫ ه ًْجبَـ ُٕ ٓ ٌَّخَ َث‬# ‫ؾ َبـ‬
‫ُاَ٘ ِل‬ٝ ٤َْ ‫ا ُْ َـ‬
Demi zat yang melindungi binatang binatang liar
yang berlindung (di tanah haram), yaitu burung
burung yang dibelai para rombongan menuju
mekkah yang berjalan melewati desa ghail dan
sanad.

30
Ibn. Ya‟qub al Gharbi, Syuruh a-Talkhish,Juz:1..., 373
68
30
Ibn. Ya‟qub al Gharbi, Syuruh a-Talkhish,Juz:1..., 374
68
Musnad ilaihnya berupa kata (
‫ ) ا ُْؼ َبـ ِئنا‬yang
‫د‬
berarti binatang binatang liar yang berlindung di
tanah haram tidak hanya burung. Sedangkan
„Athaf bayan-nya (َْ‫و اُط‬٤ ) yang berarti burung
baik yang berlindung di tanah haram ataupun
tidak. Setelah dua kata itu digabungkan dengan
cara „athaf bayan maka maksudnya menjadi
jelas yaitu burung burung yang berlindung di
tanah haram31
b) memuji musnad ilaih32. Contoh:
  
 
  
Allah telah menjadikan Ka'bah, rumah suci itu
sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi
manusia
Kata
(
 ) adalah „athaf bayan bagi kata
(), ia didatangkan tidak
untuk memperjelas melainkan untuk memuji,
sebab kata ()
maksudnya sudah jelas tanpa adanya kata
(
 )33,
Perlu diketahui bahwa Athaf bayan itu hampir
sama dengan na'at / sifat , hanya perbedaannya sebagai
berikut:

31
33 Ibid, 374
Ibn. Ya‟qub al Gharbi, Syuruh a-Talkhish,Juz:1...,
374
69
32
Pendapat az-Zamakhsyari dalam tafsir al Kasyaf

33
Ibn. Ya‟qub al Gharbi, Syuruh a-Talkhish,Juz:1...,
374
69
a) Na'at untuk menjelaskan sifat sifat man'utnya
yang masih samar. Contoh:
ُْ ٣ ْ ‫ ؽ ْل ص و‬ٞ‫أَثُـ‬ ‫عبَـ َء‬
ٌَ ُْ ‫ا‬
Telah datang Abu Hafsh yang bersifat mulia.
b) Athaf bayan untuk menjelaskan esensi maksud
ma'thuf alaih-nya. Contoh:
‫ ؽ ْل ص ػَٔ ُو‬ٞ‫أَثُـ‬ ‫عبَـ َء‬
Telah datang Abu Hafsh yakni Umar
12. Mendatangkan badal bagi musnad ilaih dalam
ilmu ma‟ani bertujuan antara lain untuk:
a) Memperjelas dan memperkuat ketetapan hukum
bagi musnad ilaih yaitu bagi badal-kul minal-
kul. Contoh:
‫ ٌل‬٣ ْ ‫َأف ى‬ ‫عبَـ َء‬
Telah datang saudaramu si ‫ى‬ْٞ
zaid
Ketika disebut kata ‫ )َأ ف‬pada contoh di atas,
(‫ى‬ ْٞ
sesungguhnya sami‟ (audien) sudah faham, dan
ditambah dengan kata (ٌ‫ َى‬٣ْ ‫) ل‬, pemahamannya
lebih mantap.
Contoh yang lain (AS. Al-Fatihah: 6-7)



  
 

 
70
 
 
Tunjukilah Kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan
orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada

71
mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan
bukan (pula jalan) mereka yang sesat.

b) Untuk menghasilkan maksud yang esensial dari


musnad ilaih yaitu ketika badalnya ba'dhi
minal-kul atau isytimal.
Contoh badal ba'dhi minal-kul,
‫بَـ‬ٛ‫بَـ‬٤ْ٘ ‫ ا ْ َُلز َب ُحـ ػ‬٢‫َأػغَج ِْ٘ز‬
Telah membuat aku kagum si gadis itu, yaitu kedua
matanya
Contoh badal isytimal
‫ُٔـ‬ِْٚ ‫ االٍُـزبَـ ُم ػ‬٢‫أَػ َغِ٘ج‬
Telah membuat aku kagum profesor itu, yaitu
ilmunya
Katika menyebutkan kata (ْ‫ـبَـ ػ‬َٛ‫ب‬٤٘ ),pada contoh
badal ba'dhi minal-kul di atas, memang itulah
maksud yang esensial yang dikehendaki oleh
mutakallim. Begitu pula ketika menyebutkan
kata (ُِْٔٚ ‫ )ػ‬pada contoh badal isytimal
Badal ghalath tidak termasuk dalam kajian ilmu
ma‟ani sebab ia tidak termasuk kalam fashih

13. Menyertakan athaf nasaq pada musnad ilaih


dalam ilmu ma‟ani memeliki bebera tujuan
antara lain untuk
a) Merinci dan meringkas musnad ialaih, yaitu
apabila huruf athafnya menggunakan (ٝ),
Contoh
ٝ ‫ف َُبِـ ٌل‬ٝ ‫َخ ػ َٔ ُو‬٤َّ‫ل‬٤ ِ ْ ‫َظ‬ٞ ُْ ‫ل َاِئ َل ا‬َُٞ ‫أَف َن ا‬
‫ ٌل‬٣ ْ ‫َى‬
Umar, khalid, dan zaid telah mengambil
tunjangan fungsional
Struktur kalimat dengan sistem athaf nasaq
seperti contoh di atas lebih ringkas dari pada
ungkapan dengan tidak menggunakan athaf
nasaq, seperti:
ٝ ‫ِل فبَُِـ ٌل‬٤ ْ َٞ ُْ ‫َائ ا‬ٞ‫ ف َن اَُل‬ٝ ‫ِل ُػ‬٤ ْ َٞ ُْ ‫أَ َف َن ا‬
‫َخ‬٤َّ ‫َل‬ ‫أ‬ ‫خَ ِظ َٔ ُو‬٤َّ َٞ ُْ ‫َاِئ َل أَف ا‬َٞ‫اُل‬
‫ظ‬ ‫ ٌل‬٣ ْ ‫ِل ى‬٤ ْ ‫اَِئ َل‬ٞ‫َن اَُل‬
‫َخ ظ‬٤َّ
b) Merinci dan meringkas musnad, yaitu apabila
huruf athafnya menggunakan ( ‫ ْء كبَـ‬/ ‫ َّْ ُصـ‬/ ٠ ‫ؽزَ ّـ‬
), Contoh
‫عبَـ َء ى ْ كَقبَـُِ ٌل‬ 1.
٣
‫ٌل‬
‫عبَـ َء َى صُـ َّْ فبَُِـ ٌل‬ 2.
‫ غ ْ٘ ُل‬٠ ّ‫ٌل و ؽزَـ‬٣ ْ ‫عبَـ َء‬ 3.
ُْ ‫ا‬ َ ‫ا‬
ِٓ ‫ال‬
٤
c) Meringkas dan mengembalikan hukum yang
benar kepada sami‟ (meralat). Contoh,
‫ى ْ َكقبَُِـ ٌل‬ ‫عبَـ َء‬
Telah datang zaid bukan ٣
umar ‫ٌل‬
d) memindahkan hukum dari suatu perkara
kepada perkara yang lain. Contoh
‫ ٌل ثَ فبَُِـ ٌل‬٣ ْ ‫ٓبَـ عبَـ َء ى‬
Tidaklah datang zaid, melainkan umar.

e) Ada unsur keragu-raguan pada diri


mutakallim,. Contoh,
‫ْ فبَُِـ ٌل‬ٝ َ‫ ٌل أ‬٣ ْ ‫عبَـ َء ى‬ 
‫ ِئ ّٓبَـ فبَـُِ ٌل‬ٝ ‫ ٌل‬٣ ْ ‫عبَـ َء ِئ ّٓبَـ ى‬ 
‫ْ فبَـُِ ٌل‬ٝ َ‫ ٌل أ‬٣ ْ ‫عبَـ َء ِئ ّٓبَـ ى‬ 
f) Menanamkan keraguan kepada
sami‟.(pendengar) Contoh,
َ‫ب‬٤ٜ‫َِ ْػ‬ ْٝ َ‫ـبَـ أ‬ٛ َ‫ َٗوب‬٠َ ُ
ِ ‫ كبَـعو‬٢ِّٗ‫ِثأَـ‬ ٤َِْ ُ
َ ْ َٔ ‫ى َػ‬
‫ِل‬ ٠ ‫ْ ذ‬ٞ ‫كُـغ‬
‫ه‬
‫ َبـ‬ٛ
Laila menganggap aku lelaki yang durjana,
memangnya diriku yang bersih, ataukah dia yang
durjana.
g) Mengaburkan atau membingungkan
pendengar (ّْ َ‫ثب‬ٜ ُ‫)ال‬. Contoh, (QS. Saba‟:24)
 
 
   
 
dan Sesungguhnya Kami atau kamu (orang-
orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran
atau dalam kesesatan yang nyata.
h) 1. Menyerahkan pilihan Contoh,
‫ـب‬ٛ َ‫ْ أُـفزب‬ٝ َ‫ لْ٘ اًـ أ‬ٛ ‫َّط‬ٝ ‫َري‬
Nikahilah Hindun atau saudara perempuannya.

2. Mengizinkan atau membolehkan. Contoh,


‫ْ فبَـُِ ٌل‬ٝ َ‫ ٌل أ‬٣ ْ ‫ف ُالَاه ى‬
َ ‫ ْل‬٤َ ُ
ِ
Silahkan masuk rumah zaid atau khalid.
14. Memasang dlamir pemisah sesudah musnad
ilauh bertujuan antara lain:
a) Mentakhshish musnad ilaih dengan musnad.
Contoh‟
  
    
  

34
Tidaklah mereka mengetahui, bahwasanya Allah
menerima taubat dari hamba-hamba-Nya
34
Q.S. at-Taubah: 104
c) Men-ta‟kidi takhshish, apabila di dalam
struktur kalimat sudah ada kata lain yang
mentakhshish. Contoh,
    
 
Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Penerima
taubat lagi Maha Penyayang.
d) Untuk membedakan antara khabar dengan
sifat. Contoh
ِِْٔٚ ‫ ا ُْؼبَـ َِٓ ِث ِؼ‬َٞ ‫ُـ‬ٛ ُْ ‫ا ُْؼ َُِب‬
Dengan adanya dlamir (َٞ ُ)ٛ , menunjukan
bahwa kata sesudahya yakni (ََِٓ ُْ‫ؼب ا‬ َ ) menjadi
khabar (prediket) dari kata sebelumnya,
yakni (ُْ ُْ‫)ؼبَُِ ا‬, bukan sifatnya.
15) Mendahulukan musnad ilaih dari pada musnad
dalam ilmu ma‟ani memiliki beberapa tujuan (sasaran),
antara lain:
a) karena Asal (asalnya memang didepan),
sebab ia sebagai obyek hukum (‫ؾ‬ ٌ‫ّـ‬ّٞ ٓ ٤ٚ‫ػ‬
ِ )
sesuatu yang akan dihukumi seharusnya
dimunculkan terlebih dahulu sebelum
hukumnya. Contoh,
‫ٓؾ َّٔ ٌل شبَـػو‬
Muhammad seorang
penya‟ir
b) bikin penasaran sehingga ingin mengetahui
khabar-nya. Contoh,
‫إَ َٓزَؾ لَ س‬٤َٞ‫ؽ‬ # ٤ْٚ ‫خُـ ِك‬٣َّ‫ ؽبَـ َهد ا ُْجَو‬ٟ‫ اُ ِن‬ٝ
‫عبَـ ِك‬
ٖٔٓ
Adapun yang menggoncangkan daratan itu, ialah
binatang yang diciptakan dari benda mati
(manusia)
c) Menikmati (rasa nikmat mendorong untuk
mendahulukan musnad ilaih). Contoh,
‫ اال ْٓزِؾبَ ٕـ‬٠‫ َٗـغؼ ِك‬٠‫ِئ ِْ٘ث‬
(Hore!) anaku telah lulus ujian
d) Memuliakan/menghormati (‫ق‬٣‫)اُزشو‬.
Contoh,
‫ظ‬ْٞ ‫ٓؾ ُل‬ ‫اُوُو ٕآ‬
Al-Quran itu
terpelihara
e) Pelecehan (bermaksud untuk menghina).
Contoh,
‫اثٖ ا لُْ ب ٍ ؽعو‬
Anak koruptor
datang
‫ِل‬
f) Memberi perhatian (attensi) pada musnad
ilaih. Contoh,
٠‫ق‬ ٤ ْ‫ش‬
Kyaiku datang ‫ؽبَـظو‬
g) memelihara nadzam (dlarurat syi‟ir karena
wazan). Contoh.
ْٕٞ ‫ ِثُبصبَـثُـ‬٢ٜ‫َك‬ # ‫ذ‬٤َ‫َِٗو‬ ‫بَـة‬٤‫ِص‬‫ ُـٗوَّـي‬٣َ ‫ال‬َ
‫َلخٌـ‬٤ ْ ‫ أُْبَـ ِء َٗظ‬ٝ
‫ا ُْجبَـٖغ‬ٝ ‫بَـ أَ ْث ط‬ٛ‫ شو‬# ‫عبَـ ِء َُّٔبَـ ك َ د‬٤ ْ ‫ ا َُْج‬٤ُْٚ ‫َر ْش ِجـ‬
35 ‫ٌـ‬
٤َ ‫ه‬ ‫َلخ‬٤ ْ ‫ع‬
‫َل‬
Kamu jangan terperdaya oleh pakaian bersih,
sebab ia dicuci dengan air dan sabun bisa
bersih. Sebagaimana telur rusak, kulitnya putih
tapi dalamnya busuk
Musnad ilaih yang didahulukan adalah
(ُْ‫ا‬َٝ ‫غ‬
ٖ ‫) جبَـ‬, karena memelihara wazan qafiyah.

35
‘Ilal Nurem, Jadid ats-Tsalatsah al-Funun...Juz 1, 130
h) Optimis (selalu berharap kebaikan atau
berekah). Contoh,
‫ْا ػ ْ٘ي‬ٞ ‫ْ ٍ َُأُـ‬ٕٞ ‫ُ٘ابَـعؾ‬
Orang orang sukses menanyakan anda.
i)

"5. Untuk menghinakan; 6. mementingkan; 7. darurat nadham atau


sajak; 8. mengharap sempana/berekah; 9.
mengkhususkan musnad ilaih bagi musnad; 10. untuk maksud
umum kalau musnadnya menyertai hurul salah (nafi), sebab kalau
begitu menunjukkan umum nafi (meskipun tidak berarti
keseluruhannya, melainkan umumnya saja dan kebalikan dari
umum nafi,
ialah nafi umum, maksudnya menafikan keseluruhannya, tiada
sebagianpun yang tidak manfi)". 5. Menghinakan, seperti: 6.
Mementingkan, seperti: 7.a. Darurat nadham karena wazan,
seperti:
Artinya: "Cukuplah saksi bagi kecintaanku kepadamu dengan
hatimu, sebab hati itu saksi yang paling adil untuk diangkat saksi".
Dan firman Allah:
Artinya: "Tiadalah hati itu berdusta terhadap apa-apa yang ia
pandang". b.Darurat qafiyah (ujung bait), seperti:
Artinya: "Janganlah menipumu pakaian yang bersih itu, sebab
dengan sabun dan airpun bisa bersih. Laksana telur yang rusak,
kulitnya putih, akan tetapi di dalamnya bau seperti bangkai".
c. Darurat sajak, seperti:
Artinya: "Kataku: Kapankah bersua lagi wahai kekasih! Jawabnya:
Jangan panik! sebentar lagi bisa berjumpa".
8.Mengharap berkah, seperti: 9. Menganggap keji, seperti: =
Pebuatan keji itu di rumahmu. 10.Mengkhususkan musnad ilaih
bagi
musnad, yaitu terbagi atas: a.Bila didahului huruf nafi, seperti: =
Saya sama sekali tidak mengucapkan ini. b.Kalau tidak didahului
nafi, gunanya untuk tahshish, seperti: = Saya telah berbuat
mengenai kebutuhanmu, bukan untuk orang lain. c.Untuk
menguatkan
hukum, seperti: = Dia memberi barang yang berharga, atau seperti:
= Kamu tidak berdusta. Kalimat ini lebih menguatkan hukum
dari kata: , sebab kalau lafazh tekanannya pada kalimat ,
sedangkan pada lafazh pada lafazh . Yang demikian itu kalau
musnad
ilaihnya dengan isim ma’rifat dan musnadnya fi’il. Kalau musnad
ilaihnya isim nakirah, dimaksudkan untuk mentakhshish jenis,
seperti: atau dimaksudkan hanya seorang, tidak banyak dari laki-
laki yang datang itu. 11.Untuk mengumumkan nafi, ialah bila lafazh
"kullu" diidhafatkan kepada musnad ilaih dan musnadnya disertai
nafi, seperti: = Seluruh manusia tidak berdiri. Yakni: seorangpun
tiada yang berdiri. Kalau lafazh "kullu" didahului nafi, maksudnya
untuk salab-umum menafikan umum, meskipun mengecualikan
salah satunya, seperti sya’ir: Artinya: "Tiadalah setiap perkara yang
diharapkan oleh manusia itu bisa tercapai, sebab anganpun
suka bertiup dengan tidak sekehendak tukang perahu". Sebagian
tercapai, sebagian lagi tidak.
Meskipun demikian, adakalanya angin itu bertiup
sesuai dengan keinginan tukang perahu.
Al-Dzikr secara leksikal bermakna menyebut. Sedangkan
dalam terminologi ilmu balâghah Al-Dzikr adalah
menyebut musnad ilaih Al-Dzikr merupakan kebalikan
dari al-Hadzfu. Contoh
) ‫ ٖٓ عب َء؟‬: ‫َاثًـب ُِ َٖٔ ٍأٍَـ‬ٞ ‫االٍُـزَب ُم عب َء ( ع‬
Dalam praktek berbahasa Al-Dzikr (menyebut
musnad ilaih) mempunyai beberapa tujuan, yaitu:
1) Al-Îdhâh wa al-tafrîq (menjelaskan dan membedakan)
Penyebutan musnad ilaih pada suatu kalimat salah
satunya bertujuan untuk menjelaskan subjek pada
suatu nisbah. Jika musnad ilaih itu tidak
disebutkan maka tidak akan muncul kesan
kekhususannya. Contoh,
‫ٓؾ ع‬
sebagai jawaban dari ‫َو‬
‫ّٔ ٌل ؽ‬
َ
‫َٓ ْٖ ؽ و‬
‫؟‬
‫ع‬
3) Ghabâwatul mukhâthab (menganggap mukhâthab
bodoh)
Mutakallim yang menganggap mukhâthab tidak tahu
apa-apa ia akan menyebut musnad ilaih pada suatu
kalimat yang ia ucapkan. Dengan menyebut
musnad ilaih mukhâthab mengetahui fâ‟il,
mubtada , atau fungsi-fungsi lain yang termasuk
musnad ilaih Demikian juga akan terhindar dari
kesalahfahaman mukhâthab pada ungkapan yang
dimaksud

4) Taladzdzudz (senang menyebutnya) Seorang


mutakallim yang mencintai sesuatu ia pasti akan
banyak menyebutnya. Pepatah mengatakan
ًْ ‫ئب َكوَ ْل ًضُـ َو م‬٤ًْ ‫ٓ ْٖ أَـؽت ش‬
‫ُو‬
barang siapa yang mencintai sesuatu ia pasti akan
banyak menyebutnya

Jika mutakallim mencintai musnad ilaih ia pasti akan


menyebutnya, dan tidak akan membuangnya.

G. Membuang Musnad ilaih


Al-Hadzfu secara leksikal bermakna membuang.
Sedangkan maksudnya dalam terminologi ilmu balâghah
adalah membuang musnad ilaih. Al-Hadzfu
(membuang musnad ilaih) merupakan kebalikan dari al-
Dzikru (menyebut musnad ilaih). Dalam praktek
berbahasa, al-Hadzfu mempunyai beberapa tujuan, yaitu
1. Untuk meringkas atau karena sempitnya konteks
kalimat, contoh:
ِ : ‫ق أَ ْٗذ ؟ ُهـ ِْذ‬٤ ْ ً ٢ُِ ‫َهٍب‬
٤َْ ‫ػ‬
Pada dialog di atas terdapat kalimat yang musnad ilaih-
nya,yaitu pada kata (َ ‫) ِ ْػ‬, Kalimat lengkapnya adalah
٤
ِ ‫) َٗأَـب‬
(٤َْ ‫ػ‬
Dalam sebuah syi‟ir terdapat suatu ungkapan
َٞ ٌٕ ‫ ؽ ْي‬ٝ ٌْ ‫ْ ٌو كاِئ‬ٜ ٍ
٣َ ْ ‫غ‬
Kalimat lengkap dari ungkapan tersebut adalah
َ ٌٕ ‫ ؽ ْي‬ٝ ٌْ ‫ْ ٌو كا ِئـ‬ٜ ٍ ٢‫ؽُِب‬
٣َ ْ ِٞ ‫غ‬
Kata yang dibuang pada kalimat di atas adalah musnad
ilaih -nya, yaitu (٢ ‫) ؽُِب‬

2. Terpeliharanya lisan ketika menyebutnya, contoh


‫خٌـ َٗب ٌه‬٤ َٛ ‫ َٓب أَ ْك َهاى ٓب‬ٝ
‫خ‬٤َِٓ ‫ؽب‬
Pada ayat kedua terdapat lafazh yang dibuang, yaitu kata
( ٛ٢ ) yangkedudukannya sebagai musnad ilaih.
Kalimat lengkapnya adalah ‫ َٗب ٌه‬٢ ٛ )
(ِٓ ‫خٌـ ؽب‬٤َ

3. Li al-hujnah (merasa jijik jika menyebutnya) Jika


seseorang merasa jiji menyebut sesuatu - apakah nama
orang atau benda -ia pasti tidak akan menyebutkannya
atau mungkin menggantikannya dengankata-kata lain
yang sebanding.

4. Li al-Ta‟mîm (generalisasi)Membuang musnad


ilaih pada suatu kalimat juga mempunyai tujuan
untukmengeneralkan pernyataan. Suatu pernyataan yang
tidak disebut subjeknya secara jelas akan menimbulkan
kesan banya pesan itu berlaku untuk umum(orang
banyak)

5. Ikhfâu al-amri „an ghairi al-mukhâtha. Kadang-


kadang seorang mutakallim ingin merahasiahkan
musnad ilaih kepadaselain orang yang diajak bicara
(mukhâthab). Untuk itu ia membuang
musnad ilaih, sehingga orang lain tidak mengetahui
siapa subjeknya.
H. Al Khuruj 'An Muqtadla Al Dhahir (statemen
inkonsekutif)

prolog36
a)

Sebelum menyelami pembahasan tentang bab ini


lebih mendalam, perlu dipahami terlebih dahulu bahwa,
ada tiga istilah dalam balaghah yang sangat erat
hubungannya dengan bab ini. Di antaranya:

1. Al-Hal

Al-Hal adalah kondisi yang memicu mutakallim


menyampaikan sebuah statemen. Baik kondisi
tersebut dimunculkan oleh mukhathab, atau
dikarenakan hal-hal lain yang mempengaruhi pola
kalimat yang disampaikan. Intinya, Al Hal bisa
diukur dengan konteks atau imajinasi mutakallim.

2. Dhahir Al-Hal

Dhahir Al-Hal adalah Kondisi yang menuntut


mutakallim mengungkapkan statemennya sesuai
dengan kondisi tersebut untuk
mendeskripsikannya. Contoh, dalam menyampaikan
statemen, seorang pembicara yang baik pasti
memperhatikan psikologi lawan bicara secara benar,
dan kemudian mengkombinasikan antara suasana

prolog[n] pembukaan (sandiwara, musik, pidato, dsb);


36

(kata) pendahuluan; peristiwa pendahuluan: sandiwara dibuka dng


prolog yg diucapkan oleh pemeran utama
hati dan kondisi sekitar untuk berimajinasi, baru ia
menguraikan statemennya secara tepat dan
jelas. Jadi, kapan mutakallim harus berbicara
panjang lebar atau bersingkat kata , Barometernya
ada pada kondisi psikis mukhathab (lawan bicara),
antara blank, khawatir atau menentang. Kondisi
mukhathab yang menuntut penerapan statemen
disebut "Dhahir Al Hal". yang artinya, dhahirul hal
hanya ibarat benang merah antara pernyataan dan
kenyataan. Dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa
setiap statemen yang sesuai dengan "Dhahir Al Hal",
pasti sesuai dengan Al Hal, bukan sebaliknya.

3. Takhrij Al kalam 'ala wifqi muqtadla al dhahir


(statemen konsekutif)

Yaitu, mendiskursi sebuah statemen berdasarkan


kondisi yang menuntutnya. Seperti contoh-contoh di
semua bahasan balaghah yang absah fashahiyah
dan balaghiyah-nya.

Dari uraian singkat di atas, dapat dengan mudah


dipahami bahwa, maksud Al Akhdlari meletakkan
bab ini di antara Ahwal Musnad Ilaih (subyek) dan
Ahwal Musnad (predikat), adalah agar jangan
sampai terjadi kerunyaman pembahasan saat kita
sudah berenang lebih dalam, di mana saat kita
tengah mengarungi samudra ilmu ma'ani ternyata
kita bermasalah dengan pembahasan awal yang
belum terjamah sama sekali. Maka untuk
mengantisipasinya, tepat sekali Al Akhdlari
mewanti-wanti para pegiat retorika Sastrawi ini agar
mempersiapkan pemahaman soal statemen yang
konsekutif dan inkonsekutif.

Perlu diketahui juga, bahwa cakupan bab ini


memiliki kapasitas pembahasan makro dan mikro.
Makro artinya, tidak berpusat pada tela'ah musnad
Ilaih saja. sedangkan mikro artinya, berstressing pada
pengamatan musnad Ilaih
b) Definisi

Dr. Isa Ali Al 'akub mendefinisikan Al khuruj' an


muqtadla al dhahir dengan sederhana sekali, yakni
menguraikan statemen yang tidak sesuai konsekuensi
kaidah yang telah digariskan. Artinya, statemen tersebut
sebenarnya mendeskripsikan sebuah konteks yang jelas,
akan tetapi disengaja tidak sesuai kondisi mukhathab
serta situasi sekitar, melainkan berdasar pada
subyektivitas imajinasi mutakallim yang dimotivasi
oleh tujuan-tujuan tertentu. Contoh: saat ada orang
yang mengagung-agungkan paham pluralisme dan
berkeinginan untuk menegaskan argument agar faham
tersebut diterima oleh masyarakat setempat, maka ia
menggunakan statemen yang sebenarnya tidak sesuai
dengan tuntutan akal mukhathab secara reflex, namun
sangat kontekstual dan lebih elegan untuk diucapakan.
Masyarakat mengatakan, "tolong selamatkan muslimin
Indonesia dari pluralisme!!!" Lalu sang retor
menjawab: "saudara-saudara sekalian, pluralitas adalah
sunnatullah, siapapun yang menentang sunnatullah,
sama halnya ia memusuhi fitrahnya sendiri". Di sana
ada unsur Uslubul Hakim yang jika mukhathab tidak
jeli, ia hanya akan menjadi korban
statemen para retor yang canggih bersilat lidah. Tidak
kah beda antara pluralisme dan pluralitas?
c) Pemetaan dan tujuan

Di antara sub pembahasan yang masuk dalam


kategori Al Khuruj 'an muqtadla Al Dhahir yaitu:
c.1) Skala mikro (fokus pada musnad Ilaih)
1. Menggunakan isim Dlamir di tempat isim
dhahir. Maksudnya, menyebutkan subyek yang
harus menggunakan kata asli (isim dhahir), tapi
menggantinya dengan kata ganti (isim
dlamir). Contoh paling sederhana dalam bahasa
arab adalah (Dlamir Sya'n). Seperti firman Allah
  
 
 
 

(sesungguhnya bukan mata mereka yang buta,


melainkan hati yang terbungkus dada merekalah yang
buta) (QS al Hajj:46).
Dalam bahasa kita, kata "nya" dalam sambungan
kata "sesungguhnya" juga merupakan dlamir
sya'n seperti yang dikenal orang arab, karena ia
seolah mewakili kalimat sesudahnya yang
ditaukidi dengan kata sungguh.
Al Akhdlari mengurai tujuan statemen
inkonsekutif tersebut dalam nadham Jauhar al-
Maknun:
ٔ ‫ً ظغ‬ٞ
‫ٓعو ٌٓٓ ٌـ ٕب‬ * ‫و‬ٛ‫ظا‬ٞ ُ‫ ا‬٠‫ػ ٓوزع‬
ٖ ‫ا‬ٞ‫ فوع‬ٝ
‫بو‬ٛ‫اُظ‬
‫خ‬٣‫أ ٍقو‬ٝ ‫ي‬٤٤‫ٔر‬ * ‫ًٔ ٍب‬ ٝ‫ً جؼش أ‬ ‫ٌٌ٘ـُُ٘زخ‬
‫‪ٜ‬ئع ٍب‪,‬‬
‫ ًبلِل‬٤ٖ‫ٌٌ٘ـُُ٘زخ اُ ٌٔـٌٔز‬ ٟٞ ‫أ ك‬ٝ ‫أ ٌػ‬ٝ
ٞ ٜ ‫ػ ُا‬
‫ظه‬
‫ُا‬ٝ
* ‫ٔلك‬
‫صل‬ٔ ُ‫ا‬
Para ulama‟ pakar Ma‟ani telah mengeluarkan dari
muqradla dhahir pada muqtadla-hal, seperti
menempatkan isim dlamir pada tempat isim dhahir,
untuk bermacam macam kegunaan, seperti 1:
membangkitkan, 2: menyempurnakan perbedaan, 3:
menghinakan, 4: menganggap bodoh, 4: menganggap
tahu, 5: mengaku jelas, 6: menetapkan musnad ilaih,
seperti “Allah itu dzat tempat meminta”

Kesimpulan dari bait pertama syathr awal


ditambah kata
"ُ٘
ٌ‫ "زخـ‬adalah, bahwa tidak mungkin statemen
inkonsekutif bisa dibilang baligh (Sastrawi) kalau
tanpa tujuan. Maka Al Akhdlari menyebutkan "‫ث‬
‫( "ؼش‬membangkitkan sensitivitas kemampuan
lawan bicara dalam mencerna bahasa agar lebih
kuat efisien di benaknya), sebagai satu-satunya
tujuan untuk inkonsekusi penggunaan isim dlamir
pada tempat isim dhahir. Tujuan tersebut sudah
bisa mewakili tujuan-tujuan lain yang disebutkan
dalam buku- buku balaghah al mabsuthat.
Contoh: Dia, Allah itu maha Esa.
2. Menggunakan isim dhahir pada tempat isim
dlamir. Berkesebalikan dengan bentuk
inkonsekusi statemen sebelumnya, model kedua
ini justru cenderung memperhatikan pengulangan
kata, atau mengimprovisasi isim isyarah sebagai
alat bantunya.
Contoh: KH.Sahal Mahfudh memegang tampuk
kepemimpinan NU lagi, padahal KH. Sahal
Mahfudh sebenarnya sudah berkehendak lebih
berfokus dalam pengelolaan pesantrennya di
kajen-Margoyoso-Pati. Pengulangan kata
KH. Sahal Mahfudh pada contoh di atas,
sebenarnya sudah masuk kategori pengulangan
yang invaluable dalam ilmu balaghah, alias
kurang baligh. Namun, jika ada tujuan tertentu,
seperti karena ingin mengkultuskan nama
tersebut, maka justru menambah nilai Sastrawi
dengan mengulangnya.
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, bahwa
model statemen inkonsekutif yang ke-dua ini terkadang
menggunakan alat bantu berupa isim isyarah, dan
terkadang secara langsung menyebut tokohnya dalam
bentuk isim isyarah
Di antara tujuan-tujuanya, seperti yang disinggung
Al Akhdlari pada bait di atas adalah:
1. Kamalu al'inayah bitamyizi Al musnad Ilaih
(perhatian penuh tehadap subyek karena ia
dispesialkan dalam keindahan makna yang
dimaksud)
Contoh:
di dunia ini, ada orang jelek memperistri wanita
yang cantik ... begitu juga sebaliknya, ada orang
cakep beristrikan wanita ingusan ... itulah yang
sering kali membingungkan para kaum muda yang
hendak menjemput jodohnya.
Kata "itulah" selalu menggunakan kata ganti
"mereka". Akan tetapi tidak dipakai oleh seorang
retor karena agar pendengar (sami') lebih
merasakan keindahan subyek yang sebetulnya
inkonsekutif tersebut.
2. Sukhriyyah (menertawakan / menghinakan)
Contoh: ketika ada seorang wanita yang sedang
sebal terhadap pria yang dibencinya, kebetulan
di samping wanita tersebut ada teman curhatnya
yang bercerita tentang pria yang dibencinya itu,
bahwa "melalui teman curhatnya, tadi si-dia
mengemis-ngemis permaafan atas apa yang
pernah diperbuatnya ". Lalu si-wanita
menanggapi "emang orang itu sudah gila
ya?". Wanita tersebut tidak menggunakan kata
"dia" karena ingin menertawakan kerendahan
pria yang dibencinya.

3. Ijhal As sami '(menganggap mukhathab seolah


tidak tahu apa-apa andai tidak ditampilkan
didepan matanya)
Contoh: ketika seorang suami bertanya kepada
istrinya yang sedang kecape'an di dapur, "lagi
ngapain sih mah?" dengan nada keras istri
menjawab, " ini loh nyiapin makan siang buat
papa ... ". Jika sang suami pernah belajar
balaghah secara intens, pasti ia segera tersadar
sambil tersenyum bahwa istrinya sedang
mengaplikasikan ilmu balaghah.
4. Iddi'a‟_u fathanati as sami '(menilai kecerdasan
sami') berkesebalikan dengan sebelumnya.
Dengan tujuan ini mutakallim menganggap as
sami' seolah sudah tahu sebelum yang
dibicarakan ada di hadapannya.
Contoh: ketika calon mertua memberitahukan
bahwa anaknya mau menikah secepatnya dengan
dia, dan sudah cukup lama mereka
berpacaran. Setelah panjang lebar membahas
tentang rencana pernikahan mereka, calon
mertua bilang "anak itu sudah lama mengidam-
idamkan pria sepertimu nak!". Beliau tidak
menggunakan kata "dia", karena menganggap
dengan penuh keyakinan bahwa pria tersebut
sudah tahu soal itu meski tidak harus dicolokkan
di depan mata.
5. Da'wa dhuhuri Al musnad Ilaih (menganggap
subyek adalah sesuatu yang tampak gamblang
untuk diperlihatkan menurut penilaian
mutakallim)
Contoh: ketika ada yang menyesali kematian
seorang egalitarian super di usianya yang masih
muda. Seorang retor berkomentar "sekaliber itu,
terlalu dini untuk meninggalkan dunia
ini". Seorang retor tersebut tidak menggunakan
kata "dia" dalam statemennya karena kehebatan
Al marhum memang sudah diakui secara jumhur
oleh berbagai elemaen masyarakat.
Tidak dalam bentuk isyarah Subyek yang disebut di
sini, terkadang diulang, terkadang pula mengatas
namakan seperti orang lain saat membicarakan diri
sendiri dalam sebuah ungkapan yang mengambil dua
kalimat atau lebih.
Contoh:
Khadijah adalah istri pertama Nabi Muhammad
SAW, padahal Khadijah sudah pernah menikah
dua kali sebelumnya.
Pengulangan kata Khadijah tersebut, dinilai dapat
menurunkan nilai sastra jika tanpa ada tujuan yang
mem-back up-nya.
Di antara tujuan model statemen inkonsekutif ini,
seperti yang telah disinggung pada bait terakhir syathr
Tsani dari 3 bait di atas adalah:
1. Tamkin Al Musnad Ilaih fi dzihni Al Sami
'(memperkuat kesan akan subyek yang jadi topik
utama dalam statemen, di dalam sanubari
pendengar)
Contoh: katakan ...! Dia, Allah maha Esa. Allah
maha mulia nan abadi. Pengulangan kata "Allah"
di atas dimaksudkan agar kesan kata "Allah"
tersebut senantiasa tertancap kokoh dalam hati
mukhathab.
2. Qashdu al isti'thaf (berarti untuk mendapatkan
belas kasih dari obyek statemen / sami ')
Contoh: di saat seorang mukmin bertobat, dan
menaruh harapan kuat akan ampunan Allah
SWT, dia bermunajat dalam heningnya malam
... "Duhai Tuhanku, hambamu yang pendosa telah
sowan ke hadiratMu ... mengakui segala dosa yang
pernah diperbuatnya seraya memohon
ampunanmu
... bila Kau berkenan memaafkan, memang hanya
engkau yang mampu untuk itu, namun bila kau
campakkan, kepada siapa lagi dia berharap
selainmu
... Seorang mukmin tersebut tidak mengatas
namakan "saya" secara langsung dalam
Munajatnya, karena ia sedang mengharapkan
belas kasih dari Tuhannya. Begitulah salah satu
sisi keindahan bahasa yang sengat perlu kita
amati.
3. Al Irhab / takhwif As Sami '(menggentarkan
pendengar / lawan bicara agar ia segera menuruti
kemauan pembicara setelah mau mendengarkan
pembicaraannya)
Contoh: ketika kepala sekolah menasehati para
murid yang akan melaksanakan tes, beliau
bersosialisasi kepada para siswa, "Kepala sekolah
berkeputusan, siapapun yang tidak menyetorkan
hafalan Jauhar Al maknun tidak akan naik kelas
". Pak kepala sekolah mengatas namakan dirinya
dengan menyebut pangkatnya tersebut, bertujuan
agar kata-kata yang disampaikan beliau benar-
benar didengar para murid dan kemudian
dijadikan pegangan selama mereka masih
bersekolah di sekolah tersebut. dan banyak lagi
tujuan-tujuan lain, tergantung perkembangan
inspirasi para pengguna bahasa yang mau
menelateni konten sastra yang selama ini belum
terungkap dalam liang retorika, bagai barang
tambang yang belum muncul di permukaan
bumi.

c.2). Skala makro (mencakup selain musnad Ilaih)


Statemen inkonsekutif yang berskala makro ini,
tidak hanya berkonsentrasi pada musnad Ilaih
(subyek), melainkan juga terkadang bersinggungan
langsung dengan musnad (predikat) dan bahkan lebih
luas lagi, terkadang berada di muta'alliqat al fi ' il,
majrurat, na'at dan lain sebagainya.
Ada empat jenis statemen inkonsekutif berskala
makro yang ditampilkan oleh Al Akhdlari dalam
nadham al-Jauhar al-Maknun
1. Sharfu muradi Dzi nuthqin aw sualin lighairi maa
araad
2. Iltifat
3. îraadu al madly ma'a iraadati al mustaqbal
4. Qalb

Statemen inkonsekutif yang berskala makro yang,


Pertama adalah : “sharfu muraadi Dzi nuthqin au
sualin lighairi ma araad" Al Akhdlari menyebutkan
dalam nadham al-Jauhar al-Maknun
‫و‬٤‫أإٍ ُـ‬ٍٝ ‫ٗ طن‬ ١‫ صوف ٓواك * م‬٠‫ ٓ ٖ فالف ُٔاوزع‬ٝ
‫ٓب أهاك‬
ُ ُٝ ٗٞٚ
‫ًوصخ اُؾغ بط‬ * ‫ أعلها‬ٝ ‫ث‬ٚ ٠‫أـ‬ٝ ٌُ
‫و‬ٟ ‫اُوجؼض‬
Dan sebagian dari yang menyalahi muqtadla zhahir
ialah: memalingkan tujuan pembicara, atau tujuan
penanya kepada selain tujuan yang dimaksudkan
yang dikehendaki, karena anggapan bahwa ialah
yang paling tepat dan lebih baik diucapkan atau
ditanyakan, seperti Hujjaj dan Quba‟tsara

“sharfu muraadi Dzi nuthqin au sualin lighairi


ma araad" dengan istilah lain, "mujawabatul
mutakallim bighairi ma yataraqqab" yang lebih dikenal
dengan "al mughalathah" menurut Al Jurjani dan lebih
populer dengan istilah "Uslubu al hakim" menurut As-
sakkaki. artinya, mutakallim memalingkan statemennya
dari maksud yang diinginkan penanya atau pendengar,
karena menurut mutakallim itu lebih baik untuk
dilakukan. Sebenarnya ada jenis pembicaraan seperti
ini di budaya kita yang sering disebut mbolot, andai
saja mbolot tersebut ada nilai-nilai yang tersirat dari
dalamnya, maka mbolot pun serupa dengan istilah
"uslubul hakim". Contoh: ketika seorang abg bertanya
kepada ayahnya, "yah, mengapa anak kecil selalu
diatur orangtuanya?" ayah yang bijak dan pandai
beretorika pasti bisa menjawab "karena pohon jika
dibiarkan bengkok saat ia baru tumbuh, terlalu keras
untuk diluruskan kembali setelah ia tumbuh besar".
Statemen inkonsekutif yang berskala makro Ke
dua adalah iltifat. Al Akhdlari mencantumkan model
ke dua ini dalam nadham al-Jauhar al-Maknun
‫ع‬ٚ ‫ُا‬ٞٝ ٖٔ‫ ثؼ ـ ـ ـ ـط ه‬٠‫ االٗـــزوٍب ٖـٖٓ * ثؼ ـ ـ ـ ـط اأ ٍلبُت ُئ‬ٝٛٞ ‫االرلب ـ ـ ـ ـد‬ٝ
‫ٗزخ رقزص ثؼط اُجبة‬ٌٝ * ‫اا ٍلزغالة ُِقطبة‬
Adapun arti iltifat, ialah pemindahan suatu susunan
kalimat/ibarat dari sebagian jalan ke jalan lain, yang
dipandang layak, adapun sisi kebaikan dan
kegunaannya ialah, untuk menarik perhatian
pendengar pada pembicaraan itu masih ada lagi
kegunaannya yang khusus bagi sebagian bab.

iltifat artinya: mengalihkan pembicaraan dari satu


bentuk ke bentuk yang lain demi penyegaran statemen
secara variatif dengan persyaratan bentuk yang kedua
harus inkonsekutif serta tetap kontekstual.
Ada tiga perangkat paling urgen dalam iltifat untuk
dikaji, dan dua kondisi paling integral untuk ditelusuri
serta banyak tujuan yang perlu terus digali.
a. Perangkat iltifat.
Iltifat hanya berkonsentrasi pada tokoh dalam
pembicaraan, tidak pandang apakah ia sebagai subyek
ataukah obyek, baik orang pertama, seperti "saya, kami
dan kita" orang kedua, seperti "kamu dan kalian"
maupun orang ketiga, seperti "dia dan mereka" .
Sehingga dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa
iltifat memiliki enam bentuk:
1. takallum - khithab (kembali menyebutkan orang
pertama kemudian menyebutkan orang kedua,
sementara tokohnya sama) contoh: Al-Quran
menceritakan keluh kesah orang Kafir dalam
firman-Nya:
   
 
 
 Mengapa aku tidak
menyembah (Tuhan) yang Telah menciptakanku? Dan
hanya kepada-Nya-lah kalian (semua) akan
dikembalikan. (QS. Yaasin: 22).

Ayat ini dibuka dengan kata ganti orang pertama


(mengapa aku tidak menyembah [ Tuhan] yang
telah menciptakanku). Nah berdasarkan
konteksnya, seharusnya ayat tersebut konsisten
dengan tetap menggunakan kata ganti orang
pertama hingga akhir. Tapi mengejutkan, ayat
tersebut ditutup dengan kataganti orang kedua
plural: "Dan hanya kepada-Nya-lah kalian
(semua) akan dikembalikan." Bukankah mustinya:
"dan hanya kepada-lah aku dikembalikan"?
2. Takallum - ghaibah (kembali menyebutkan orang
pertama kemudian menyebutkan orang ketiga,
sementara tokohnya sama) Contoh:
 
 
 

  
  

    
 
    



Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui
batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu
berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah
mengampuni dosa-dosasemuanya. Sesungguhnya Dia-
lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Kalimat pertama berbunyi Katakanlah: Hai hamba-


hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka
sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat
Allah! Lalu tanpa tedeng aling-aling kalimat
berikutnya malah mengarah pada orang ketiga:
sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa
semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. seharusnya ayat
tersebut berbunyi seperti ini: Katakanlah: "Hai
hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri
mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari
rahmat-Ku, sesungguhnya Aku mengampuni dosa-dosa
semuanya. Sesungguhnya Aku-lah yang Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. "
3. Khithab - takallum (kembali menyebutkan orang
kedua kemudian menyebutkan orang pertama,
padahal tokohnya sama) Contoh: seperti syair
Alqamah ibn Abduh:
‫ػ صو‬
‫ ُ ُاشجبَـة‬٤ ْ ‫غو ل‬ ٕ‫ؾ َبـ‬
َ ‫ ا‬٠ ‫َغؾبَـ ِثي هَ ِْت ِك‬
‫ َؼ ُث‬# ‫ْة‬ٝ ُْ
‫ت‬٤ ْ ‫ؽبَـ َٕ ٓش‬
ٝ ‫بَـ‬٤َْ٘٘ ‫ػ‬ ‫ ػب‬ٝ # َ‫ب‬ٜ ٤ِٝ‫ُـ‬ُٝ ‫ش‬ ٝ ٤َِ٠ْ َُ ٠‫ ٌَِِّلُِ٘ـ‬٣ُ
‫ا ٌك‬َٞ ‫َكد‬ ‫هَ ْل ػَـ‬
37‫ْة‬ٞ ُ‫فط‬
membinasakan diri sendiri jika kau ingin mencari gadis
cantik itu, padahal kamu beruban dan tidak muda
lagi.Aku dibebani Laila padahal sangat jauh jaraknya,
terlalu lama waktunya, juga begitu kuat penghalang
antara kita.

Pujangga kita ini rupanya gengsi; tidak mau


mengakui bahwa dirinyalah yang sebenarnya
sedang memburu "daun muda" meskipun usianya
sendiri sudah mendekati senja. Dengan alasan itu
Alqamah mencoba memerankan diri sendiri
sebagai orang lain lalu mencoba membuka
syairnya dengan kata ganti orang kedua
(membinasakan dirimu sendiri ... dst.). Tapi Alqamah
tidak bertahan dengan gaya redaksi seperti itu,
karena pada garis kedua dia langsung meloncat
pada "pengakuan" sebenarnya (yaitu dirinya
sendiri): Aku dibebani Laila.
4. Khithab - ghaibah (kembali menyebutkan orang
kedua kemudian menyebutkan orang ketiga,
padahal tokohnya sama) Contoh (QS. Ali Imran:
9):
 
 
    
37
Abdul Muta‟ali as Sha‟idi, Bughyah al idlah...., 154
 
  


"Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengumpulkan


manusia untuk (menerima pembalasan pada) hari yang
tak ada keraguan padanya", Sesungguhnya Allah tidak
menyalahi janji. .
kepindahannya terlihat jelas dengan penggunaan
kata ganti orang kedua ("sesungguhnya Engkau"),
lalu pindah ke bentuk ketiga tunggal
("sesungguhnya Allah").Padahal kalau diteliti lebih
jauh, seharusnya: "Sesungguhnya Engkau tidak
menyalahi janji".Contoh lain bisa diambil pada
surat Yunus ayat 22 yang berbunyi:
   
 
  

Sampai saat kamu berada di dalam bahtera, dan


meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang
ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik.

Ayo tebak!!! mana iltifatnya? Sepintas lalu ayat ini


salah arah. Kita yang awam ini pastinya komplain
karena "gak nyambung!". Sebab mustinya bunyi
ayat yang lebih relevan adalah: Sampai saat kamu
berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera
itu membawa kalian yang ada di dalamnya dengan
tiupan angin yang baik.
5. Ghaibah - takallum (kembali menyebutkan orang
ketiga kemudian menyebutkan orang pertama, dan
tokohnya sama) Contoh (QS. Al-Isra: 1):







 

 
 
 
  
 


Maha Suci Allah, yang Telah memperjalankan hamba-


Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke
Masjidil Aqsha yang Telah Kami berkahi sekelilingnya,
agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-
tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah
Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.

Ayat ini dimulai dengan membicarakan


kemahabesaran Allah (orang ketiga tunggal):
"Maha Suci Allah, yang Telah memperjalankan
hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram
ke Masjidil Aqsha." Kemudian uslub ini berubah
ke posisi orang pertama dengan firman-Nya: "...
yang telah Kami berkahi sekelilingnya". Padahal
yang ditunggu-tunggu pembaca seperti ini: "...
yang telah Allah berkahi sekelilingnya".

6. Ghaibah - khithab (kembali menyebutkan orang


ketiga kemudian menyebutkan orang kedua, dan
tokohnya sama) Contoh (QS. Al-Baqarah: 83):
   

  
   
Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani
Israel (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain
Allah
...
Ayat ini ditujukan kepada Bani Israil. Awalnya
memang diungkapkan kata-kata Bani Israil
langsung, tapi kemudian pindah ke diksi orang
kedua: "janganlah kamu menyembah selain
Allah".Seharusnya: janganlah mereka menyembah
selain Allah .....
b. Ketentuan iltifat
1. Adanya dua statemen berbeda, dan tetap
kontekstual keduanya.
2. statemen kedua inkonsekutif karena penyebutan
tokohnya beralih, akan tetapi tetap sama sasarannya.
c. Rahasia di balik iltifat
Pada intinya, iltifat memiliki tujuan utama yaitu
"menarik perhatian lawan bicara agar lebih intens
mengamati arah statemen variatif yang ditampilkan
oleh seorang retor" karena citra rasa seseorang yang
memiliki imajinasi kuat, pasti menyukai berbagai
variasi jika dibarengi dengan emosionalitas yang
sempurna. Contoh sederhana, dalam surat Al Fatihah
yang mengambil contoh iltifat. Di saat seorang hamba
menyebut nama Allah, kemudian menghayati sifat-sifat
agung pada bacaan setelahnya, mulai dari sifat kasih
sayang, pujian akan kekuasaan pada alam semesta,
belas kasih-Nya di balik keagungan tahta raja diraja-
Nya, sampai kepada hak veto- Nya atas segala apa yang
terjadi pada hari akhir kelak, pasti ia terdorong untuk
benar-benar menfokuskan hati kepada Dzat yang layak
menyandang semua keabsolutan itu. lalu ..sesampainya
sang hamba pada klimaks kemantapan hatinya, ia
beralih dari statemen ghaibah (acuan) menjadi statemen
khithab (sapaan). Seolah seorang hamba tersebut benar-
benar sudah sampai taraf penyerahan diri kepada Allah
dan telah bertekad bulat bahwa hanya kepada-Nya ia
menengadahkan tangannya ... karena tidak yang bisa
mencukupi segala kebutuhan manusia saat ia terhimpit
keterpurukan kecuali Allah SWT.
Syekh Zamakhsyari bilang: Jika seorang hamba
membuka pujian kepada Allah dengan pujian
sebenarnya dari lubuk hati yang paling dalam dan jiwa
yang penuh zikir, dirinya akan menyebut: alhamdulillah
(segala puji bagi Allah) yang mengindikasikan hanya
Dia-lah yang pantas mendapatkan pujian tersebut dan
memang hanya Dia-lah yang berhak, maka timbul
dalam jiwa satu kekuatan untuk iqbal ("Approaching")
(pada langkah selanjutnya). Jika berpindah ke rabbil
'alamin (Tuhan semesta alam) yang mengindikasikan
bahwa Allahlah yang menguasai semesta ini - dan tak
ada yang keluar dari malakut-Nya -, dorongan tersebut
semakin kuat.Begitulah seterusnya. Dan tiapkali salah
satu dari sifat-sifat agung itu 'diberlakukan' sampai
masalah itu akhirnya benar-benar berada pada ending
berguna: Dialah Penguasa segala hal di hari
pembalasan, maka saat itulah ia merasa dirinya tengah
melakukan pendekatan tadi (iqbal), dan secara khusus
diwujudkan dalam suatu permohonan dengan penuh
kerendahan sekaligus memohon pertolongan dalam
segala aktifitasnya dengan berujar: iyyaaka na'budu wa
iyyaaka nasta'in (Hanya kepada-Mu kami menyembah,
hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan).
Ada juga tujuan-tujuan lain dalam iltifat
tergantung konteks yang bergabung statemen iltifat
diuraikan.

Kalau selama ini banyak kalangan yang menggelar


pelatihan-pelatihan "Kiat Sukses Berkomunikasi yang
Efektif dan Efisien", sesungguhnya al-Quran sudah
mendahului mereka lebih dari 1400 tahun lalu!
Apapun hikmah diciptakannya gaya bahasa iltifat,
hanya Allah-lah yang Maha tahu segala rahasia-
rahasianya
Sepertinya membicarakan keunikan al-Quran tidak
akan pernah habis. Banyak orang membahas psikologi
dalam perspektif al-Quran, sastra dalam al-Quran,
kosmologi, biologi, morfologi, sains, dll. Tapi nyatanya
meneropong keotentikan al-Quran dari sudut
redaksional saja membuat kita tak henti-hentinya
menggelengkan kepala. Seolah Allah berfirman: inilah
gudang ilmu itu. Ayo, bikin satu ayat saja yang
menyerupai al-Quran, kalian sanggup 'nggak?
  
 
  
 
  
  
 

Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin
berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini,
niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa
dengannya sekalipun sebagian mereka menjadi
pembantu bagi sebagian yang lain". (QS. Al-Isra: 88).

Statemen inkonsekutif yang berskala makro ke-


tiga adalah " îraadu al madly wa iraadatul mustaqbal"
Al Akhdlari mencantumkan model ke tiga ini dalam
nadham al-Jauhar al-Maknun
.....‫ْا‬ٝ ‫ه ُك‬ْٝ َ‫ د أ‬٥ ٠‫ َـخُـ أُْبَـظ‬٤ ْ ‫ ص‬ٝ
Dan termasuk penyimpangan dari muqtadla dzahir
ialah mendatangkan shighat fi‟il madli ubtuk arti
mustaqbal.

" îraadu al madly wa iraadatul mustaqbal"artinya,


mengungkapkan sesuatu yang baru akan terjadi
menggunakan perangkat madly yang semestinya
berfungsi untuk menjelaskan sesuatu yang telah
terjadi.Contoh: pada saat iqamah dilantunkan indah
oleh mu'adzdzin, sebagai tanda akan didirikannya
jama'ah shalat fardlu, mu'adzdzin melafalkan "qad
qaamat Ash Shalah" 2x. sementara arti sebenarnya
adalah, shalat didirikan, padahal imamnya saja belum
bertakbiratul ihram. Maka di sini terjadi inkonsekusi
statemen oleh mu'adzdzin, namun tetap mendapat
apresiasi kesusastraannya, karena memiliki tujuan yang
bisa diterima oleh imajinasi yang sehat. Yaitu
tahaqququl wuqu‟ (pasti terealisasi). Maka ia disebut
kalam yang keluar dari kaidah yang digariskan, namun
tetap elegan untuk dinilai balaghiyyah-nya.
Banyak lagi bentuk-bentuk kata yang dimaksudkan
oleh mutakallim dengan arti lain diluar madly versus
mudlari ', selain bentuk madli yang berarti zaman
mustaqbal, seperti contoh () dalam
(QS. An-Naml:87)
  
   

 
  
dan (ingatlah) hari (ketika) ditiup sangkakala, Maka
terkejutlah segala yang di langit dan segala yang di
bumi,

Ada juga isim fa'il atau maf'ul disebutkan,


sementara yang dimaksud adalah zaman mustaqbal
seperti saat mengunakan fi'il mudlari' .
Contoh 1: yang isim fa'il, (QA. Az-Zariyat: 6)
  
 
dan Sesungguhnya (hari) pembalasan pasti terjadi.

Contoh 2: yang isim maf'ul, (QS. Hud: 103)


  
 
hari kiamat itu adalah suatu hari yang semua
manusia dikumpulkan untuk (menghadapi) nya,

Dan ada pula shighat mustaqbal yang dimaksud


zaman madly, dengan tujuan tertentu. seperti contoh:
saat sepasang kakek dan nenek bernostalgia pada
pernikahan mereka lima puluh tahun silam, sang nenek
sedang mencandai sang kakek yang tak lain adalah
suaminya sendiri, sembari mengatakan "tau nggak
mbah? Kenapa dulu aku mau kau nikahi? " Dengan
agak kurang yakin, sang kakek kembali bertanya,"
kenapa emang Nek? "Dan nenek pun mengatakan" dulu
aku mau kakek ajak nikah karena nenek yakin akan
bisa mencintai kakek sepenuh hati ". Seorang nenek
yang mengatakan "akan bisa mencintai" tersebut
sebenarnya telah melakukannya kurang lebih lima
puluh tahun silam. Namun menggunakan kata-kata
"akan" karena berarti untuk menghadirkan rasa heran
terpana pada hati suaminya yang mungkin sudah lapuk
dimakan usia itu.

Statemen inkonsekutif yang berskala makro ke-


empat adalah "Qalb" Al Akhdlari mencantumkan
model ke empat ini dalam nadham al-Jauhar al-
Maknun
‫ْا ُِ٘ـ ٌْزَ ٍخ‬ٞ ‫ هَِـّ ُجـ‬ٝ # ....
‫ا‬ْٝ ‫أَ ْٗ ش ُل‬
‫ْ أَ ْهظ‬ٕٞ َُ ‫ًإَٔـ‬ # ‫ؤـ‬ُٙ ُ ‫أَ ْهعبَـ‬ ‫ٓ ْـَجو ٍح‬ ‫ٓ َٔخ‬َٜ ٝ
‫ؤُـ‬ُٙ ‫َبَـ‬
ٍٔ
Dan mereka (ulama‟) suka membalikan ujung
kalimat pada tempat ujung lainnya, karena maksud
mendapatkan faidah juga, dan mereka suka
mengeluarkan syi‟ir yaitu “adapub daerah padang
pasir penuh debu, seakan akan tanahnya itu bagaikan
langit”

Pengertian Qalb: menempatkan bagian dari


sebuah kalimat di bagian yang lain, akan tetapi
pembenaran topiknya tidak berubah. Artinya, menaruh
karakter yang semestinya tidak disandang oleh sebuah
kata dalam statemen, tapi tetap dilakukan dengan
maksud agar setelah orang lain mengerti, dia akan lebih
responsif dari pada tidak menggunakan cara itu. contoh:
saat seorang pujangga sudah tak percaya lagi akan hati
seseorang, tiba-tiba ia bicara "samudra tidak seluas
hatimu". Artinya, saat banyak orang menganalogikan
kelapangan hati seseorang dengan menggunakan kiasan
samudra yang membentang luas, justru ia menganggap
samudra tidak seluas hati seseorang tersebut. Karena
saking banget sempitnya hati seseorang tersebut, untuk
menerima aspirasi perasaan, maupun kepedulian hati
yang acap kali tercampakkan oleh ego sepihak.

RANGKUMAN

1. Musnad adalah suatu sifat, kata kerja atau sesuatu


yang bersandar kepada musnad ilaih. Tempat-
tempat musnad adalah khabar mubtada‟ fi‟il tâm
isim fi‟il khabar kâna dan akhwat-nya, khabar
inna dan akhwat-nya, maf‟ul kedua dari dzonna
maf‟ul ketiga dari arâ

2. Musnad ilaih adalah mubtada yang mempunyai


khabar, fa‟il, naib al-fâ‟il, dan beberapa isim
nawâsikh. Tempat-tempat musnad ilaih dalam
kalimat adalah fa‟il, nâib al-fâ‟il, mubtada, isim
kâna, isim inna, maf‟ul pertama dzanna, maf‟ul
kedua arâ
3. Me-ma‟rifat-kan musnad ilaih artinya
menentukan musnad ilaih, caranya dengan
menambahkan al, dhamîr, isim isyarah, idhafah,
dan nidâ

4. Menyebut musnad ilaih pada suatu


kalâm mempunyai beberapa tujuan sbb:
a. menjelaskan dan membedakan
b. menganggap mukhâthab tidak tahu
c. dansenang menyebutnya.

.5. Membuang musnad ilaih bertujuan untuk:


a. untuk meringkas atau karena sempitnya
konteks
b. terpeliharanya lisan ketika menyebutnya
c. merasa jijik menyebutnya
d. untuk generalisasi
e. untuk menyembunyikan sesuatu kepada selain
mukhâthab

LATIHAN

Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini


secara singkat dan tepat!

1. Apakah yang anda ketahui tentang musnad dan


musnad ilaih ? Lengkapi jawaban kalian dengan
contoh!
2. Kemukakan tempat-tempat musnad ilaih pada
kalimat dan berikan contoh untuk masing-masing
tempat
3. Kemukakan tempat-tempat musnad pada kalimat
dan berikan contoh untuk masing-masing tempat!
4. Sebutkan cara-cara men-takrif-kan musnad ilaih
dan berikan contoh untuk masing-masing!
5. Apa tujuan dibuangnya musnad ilaih pada suatu
kalimat? Lengkapi jawaban kalian dengan contoh!
6. Jelaskan istilah-istilah berikut ini: dhamîr,
isyârah, idhafat, dan nidâ!

V
KALÂM KHABARI

TUJUAN
Setelah mengikuti proses pembelajaran
ini diharapkan peserta didik dapat menguasai materi-
materi berikut ini: 1) Pengertian kalâm khabari; 2)
Tujuan kalâm khabari; dan 3) Bentuk-bentuk kalâm
khabari

BAHASAN
Kalâm dalam bahasa Arab atau kalimat dalam bahasa
Indonesia adalahsuatu untaian kata-kata yang memiliki
pengertian yang lengkap. Dalam konteksilmu balâghah
kalâm terdiri dari dua jenis, yaitu kalâm khabari dan
insyâi
.
A. Definisi al-Khabar (statement sentence)
Yaitu berita (kata-kata) yang bisa jadi sesuai (benar) atau
tidak sesuai (bohong) dengan fakta dan realita di lapangan
pada dirinya, tanpa memandang dan mempertimbangkan
subyek yang berbicara.
Jika suatu pembicaraan sesuai dengan kenyataan, maka
berita tersebut mengandung kebenaran. Tetapi sebaliknya
jika suatu berita tidak sesuai dengan kenyataan, maka berita
tersebut mengandung kebohongan.
Pada definisi di atas disebutkan ”tanpa memandang dan
mempertimbangkan subyek yang berbicara,” karena umat
Islam berkeyakinan bahwa berita-berita yang bersumber dari
Allah dalam al-Qur‟an dan Rasulullah dalam hadisnya pasti
mengandung kebenaran (sesuai antara berita dengan realita).
Contoh khabar 1:
jika tersebar berita bahwa si fulan meninggal dunia lalu
kita pergi ke rumahnya dan melihat keluarganya menangis
dan orang-orang berkumpul sambil bersiap-siap untuk
memandikan, mengkafani, menshalatkan dan menguburkan
jenazahnya, maka kita berkeyakinan bahwa berita mengenai
kematian si fulan mengandung kebenaran karena sesuai
dengan fakta dan realita, dan begitu juga sebaliknya.
Contoh khabar 2 ,
‫ ا َُُْ٘ٔبهَخ ؿ ًلا‬٠‫ؾعو ااٍلزَب ُم أَؽ َٔ ُل ِك‬٣َ ْٖ َُ : ‫َهٍب اُطَُِبت‬
Seorang mahasiswa berkata “ Prof. Ahmad tidak bisa
hadir dalam munaqosah besuk”
Ucapan mahasiswa di atas bisa dikategorikan kalâm
khabari, setelah mahasiswa tersebut mengucapkan
kalimat itu kita bisa melihat apakah ucapannya benar
atau salah. Jika ternyata ustadz Ahmad keesokan
harinya tidak datang dalam perkuliahan, maka ucapan
mahasiswa tersebut benar. Sedangkan jika ternyata
keesokan harinya ustadz Ahmad datang pada
perkuliahan, maka kalimat tersebut tidak benar atau
dusta.

Khabar Kalimat Pola )‫خ‬٣‫اُقجو‬ ‫(ُا ِـٔغِٔخ‬ .B


Al-jumlah al-khabariyah (pola kalimat khabar) dilihat
dari sisi pembentuknya dibuat dengan memakai dua pola,
yaitu:
a. Pola yang terbuat dari mubtada‟ dan khabar atau
dikenal dengan nama al-jumlah al-ismiyah,
contohnya ‫ؾل‬ ٔ ٓ ‫( هب ْئ‬Muhammad berdiri)
:
b. Pola yang terbuat dari fi„il dan fā„il atau dikenal
dengan nama al-jumlah al-fi„liyah, contohnya: ٓ‫ٔؾل ه ّب‬
(Telah berdiri Muhammad)
C Uslūb al-Khabar )‫ة‬ٍِٞ‫أ‬ ‫(اُقجو‬
Karena ruang lingkup bahasan ilmu Ma„ānī berkaitan
dengan efektivitas suatu pembicaraan (berita) sesuai dengan
situasi dan kondisi audien, maka ada tiga bentuk uslūb
khabar yang dipergunakan pembicara untuk meyakinkan
audien (lawan bicara):
al-Ibtidā‟ī Al-Uslūb (a) )٢‫االثزلائ‬ ‫ة‬ٍِٞ‫(أأل‬
Jika audien tidak memiliki berita sama sekali
mengenai suatu peristiwa, maka berita yang
disampaikan tidak perlu menggunakan taukīd
ٌُ‫ٌـ‬
(penguat/penegas), contohnya: ‫ل‬٣‫عُب ى‬
al-Thalabī Al-Uslūb )٢‫ٍِة ُا ِطج‬ٞ‫(األ‬ )b(
Jika audien ragu-ragu atau bimbang mengenai
kebenaran suatu berita, maka untuk meyakinkannya
kita cukup menggunakan satu taukid (penegas),
contohnya: ‫ال ٕئ‬٣‫ع ٌـٌُُب ى‬
ٌٗ ‫ٍة‬ٞ‫(األ‬
al-Inkārī Al-Uslūb (c) )١‫اإٗلـٌبه‬ ِ
Jika audien mengingkari kebenaran suatu berita atau
tidak percaya dengan kandungannya, maka untuk
meyakinkannya kita menggunakan dua taukīd atau
lebih, contohnya: ‫ال ٕ ُئ‬٣‫ غ ٌـٌُُب ى‬atau ُ‫هلال‬ٝ ‫ال ٕئ‬٣‫ غ ٌـٌُُب ى‬dimana
pada kalimat pertama menggunakan dua taukīd yaitu
ٕ‫ ئ‬dan ‫ل ا ّل‬٤‫زًـ‬ًٞ‫ ُا‬sedangkan pada kalimat kedua
menggunakan tiga taukīd yaitu ‫( اُ َْو‬sumpah) dan ‫ ٕئ‬serta
‫ل ا ّل‬٤‫زًـ‬ًٞ‫ُا‬
Taukīd Huruf )‫ل‬٤‫ز‬ًُٞ‫ا‬ ‫(أؽوف‬ .D
Ada beberapa huruf taukīd yang dipergunakan untuk
memperkuat suatu berita sehingga audien mengakui
kebenaran sesuatu yang disampaikan, yaitu:
ْٕٞ ‫ ُٗـ‬،‫لَخُـ‬٤ ْ ‫ ِل ا ُْقلِـ‬٤ ْ ًْٞ ّ‫ُازَـ‬ ،ُْ َ ‫ ُاو‬،َٕ‫ أ‬،ٕ‫ِئ‬
‫ ُٗـ‬،‫ا ْ ِال ْثزِ لَ ا ِء‬
ُّ ‫ال‬
‫ ِخ‬٤َّ‫ أَ َّٓب شوغ‬،‫ َه ْل‬،٤ْٚ ‫ ِل ُاضَّـو َأؽ ف ُازَـّ ِْ٘ج‬٤ ْ ً ْٞ ‫ُازَّـ‬
E. Deviasi kalâm ‫ُا‬ ‫ و‬،‫خُـ‬٤َِْ
Seperti telah dijelaskan di muka bentuk-bentuk
kalâm khabari jika dikaitkan dengan keadaan mukhâthab
ada tiga jenis, yait ibtidâi, thalabi, dan inkâri. Pada
kalâm ibtidâi tidak memerlukan taukîd . Karena kalâm
ini diperuntukkan bagi mukhâthab yang khâlî al-dzihni
(tidak mempunyai pengetahuan tentang hukum yang
disampaikan). Pada kalâm thalabi, mutakallim
menambahkan satu huruf taukîd untuk menguatkan
pernyataannya, sehingga mukhâthab yang ragu-ragu
bisa menerimanya. Sedangkan pada kalâm inkâri,
mutakallim perlu menggunakan dua taukîd untuk
memperkuat pernyataannya, karena mukhâthab yang
dihadapinya menolak pernyataan kita (munkir ).
Namun demikian dalam praktek berbahasa keadaan
tersebut tidak selamanya konstan. Ketika berbicara dengan
mukhâthab yang khâlî al-dzihni kadang digunakan taukîd.
Atau juga sebaliknya seseorang tidak menggunakan taukîd
pada saat dibutuhkan, yaitu ketika ia berbicara dengan
seorang yang inkar.
Di bawah ini kita perhatikan penggunaan kalâm khabari
yang menyalahi maksud lahirnya.
1) Kalâm thalabi digunakan untuk mukhâthab
khâlî al-dzihni
  
 
  

) 37 : ٛٞ‫( ك‬

Dan janganlah kau bicarakan kepada-Ku tentang


orang-orang zhalim itu,sesungguhnya mereka itu
akan ditenggelamkan (Q.S Hud: 37)

Pada ayat di atas mukhâthab-nya adalah nabi Nuh. Ia


sebagai khâlî al-dzihni karena ia pasti menerima
apa yang Allah putuskan. Namun di sini Allah
menggunakan taukâd seolah-olah nabi Nuh ragu. Hal ini
dilakukan untukmemperkuat suatu pernyataan.
 
  
 


) 85 : ‫ق‬٣ٍٞ (
Dan aku tidak membebaskan diriku (dari
kesalahan), karena sesungguhnyanafsu itu selalu
menyuruh kepada kejahatan (Q.S. Yusuf: 53)
2( Kalâm ibtidâi digunakan untuk mukhâthab
inkâri

ُ
‫ ( اجووح‬ 
: ) 163
Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Esa (Q.S al-
Baqarah: 163)

Pada ayat di atas Allah menggunakan


kalâm khabari ibtidâi yaitu tidak menggunakan
taukîd, padahal mukhâthab-nya adalah orang-orang
kafir yang inkar. Pertimbangan penggunaan kalâm
ibtidâi untuk mukhâthab inkari adalah karena di
samping orang-orang kafir itu telah ada bukti yang
dapatmendorong mereka untuk beriman. Oleh
karena itu keingkaran mereka tidakdijadikan dasar
untuk menggunakan ungkapan penegasan dengan
taukîd

F. Tujuan kalâm Khabar


Setiap ungkapan yang dituturkan oleh seseorang
pasti mempunyai tujuan tertentu. Suatu kalâm khabari
biasanya mempunyai dua tujuan, yaitu fâidahal-
khabar dan lâzim al-faidah
1) Fâidah al-khabar adalah suatu kalâm khabari
yang diucapkan kepada orang yang belum tahu sama
sekali isi perkataan itu. Contoh
‫َاَل‬ٝ ‫ئ ًب‬٤ْ ‫ٓ َٔب ٍِ َش‬ ُ ِ‫ ِي ِ الَف‬٣ْ ‫بً ُو ْث ُٖ ا ُْ َؼ ِي‬
ُْ ‫ ْٖذ ا‬٤ْ َ‫َأْنث‬٣ َٔ ‫ُ ػ‬
َٕ ُ
‫هَ ًٔب‬ْٛ ‫ئ ِك‬٤ْ َ‫ِ ِٓ َٖ ا ُْل‬ٚ َِ ‫ َٗ ْل‬٠َِ‫يػ‬
ٟ ِ ‫َ ْ غ‬٣ َ
Pada kalimat di atas mutakallim ingin memberi
tahu kepada mukhâthab bahwa Umar bin Abdul
Aziz tidak pernah mengambil sedikit pun
hartadari baitul mal. Mutakallim berpraduga
bahwa mukhâthab tidak mengetahui hukum yang
ada pada kalimat tersebut.

2) Lâzim al-fâidah adalah suatu kalâm khabari yang


diucapkan kepada orang yang sudah mengetahui isi
dari pembicaraan tersebut, dengan tujuan agar
orang itu tidak mengira bahwa si pembicara tidak
tahu.
‫ ا ُْغب ِٓ َؼخ ٓزَأَـفوا‬٠‫م ْجذ َُِئ‬َٛ
Saya pergi ke kampus agak terlambat

Selain kedua tujuan utama dari kalâm kahabar


terdapat tujuan-tujuan lainnya yang merupakan
pengembangan dari tujuan semula. Tujuan-tujuan
tersebut adalah sbb:
1. Istirhâm (minta dikasihi) Dari segi
bentuknya kalâm ini berbentuk khabar (berita),
akan tetapi dari segi tujuannya mutakallim ingin
dikasihi oleh mukhâthab. Contoh kalâm khabari
dengan tujuan istirhâm adalah do'a nabi Musa yang
dikutip Alquran, (Q.S. al Qashash ayat : 24)
  
  
 
Tuhanku, aku ini sangat membutuhkan kebaikan yang
Engkau berikan padaku.
2. Izhhâr al-dha'fi (memperlihatkan kelemahan)
seperti do'a Nabi Zakaria dalam Alquran. (Q.S.
Maryam : 4)
  
 
 
 
Tuhanku sesungguhnya aku telah lemah tulangku dan
kepalaku telah penuh uban
3) Izhhâr al-tahassur (memperlihatkan penyesalan)
seperti doa Imran bapaknya Maryam yang
dihikayatkan dalam al-Qur'an. (Ali Imran: 36)
 

 
 

Tuhanku, aku telah melahirkan ia wanita dan Allah
mengetahui apa yang ia lahirkan

4) Al-Fakhr (sombong) seperti perkataan Amru bin


Kalsum :
٣ْٖ ‫ُـ ا ُْغجَبِئو ٍبع ِل‬َٚ ‫ رَـقو‬٢‫ِئ َما َِثؾ ا لُْ ِطَب َّ َُ٘ب صِج‬
Jika seorang anak kami telah lepas menyusu, semua
orang sombong akan tunduk menghormatinya
5) Dorongan bekerja keras
Dari segi bentuk dan isinya kalâm ini bersifat
khabari (pemberitahuan), akan tetapi maksud
mutakallim mengucapkan ungkapan tersebut agar
mukhâthab bekerja keras. Contoh kalâm khabari
untuk tujuan ini adalah surah Thahir bin Husain38
kepada Abbas bin Musa al-Hadi39 yang terlambat
membayar upeti,
‫ْ ا ُْؾ َبعبَـد ٖٓ ثبَـد ٗبَـ ٔشب‬ٞ ‫ أَف‬٤ٌْ َُ ٝ
َ ٝ ٠َِ‫ذ ػ‬٤ ْ ‫ِج‬٣َ ٖٓ ‫ْبَـ‬ٞٛ ‫ ٌَُٖ أَف‬ٝ
‫ع‬
Orang yang mempunyai banyak kebutuhan itu
bukanlah orang yang sepanjang malam tidur
nyenyak. Akan tetapi, orang yang mempunyai banyak
kebutuhan itu sepanjang malam dalam ketakutan.

RANGKUMAN

1. Kalâm khabari ialah suatu ungkapan yang


mengandung kemungkinan benar atau bohong dilihat
dari teksnya itu sendiri
2. Kalâm khabari mempunyai dua tujuan. Pertama
adalah untuk memberi tahu mukhâthab tentang
suatu informasi. Tujuan ini dinamakan fâidah al-
khabar. Kedua diucapkan kepada orang yang sudah
tahu dengan tujuan agar orang yang diajak bicara tidak
mengira bahwa ia tidakmengetahuinya.
3. Selain kedua tujuan utama dari kalâm khabari
ada tujuan-tujuan lainnya dari kalâm khabari,
yaitu: a) istirhâm (minta dikasihani); b) izhhâr al-
dla‟fi (memperlihatkan kelemahan); c) izhhâr al-

38 Tahir bin Husain (Arab, Persia: ‫ و‬ٛ‫ ٖث غب‬٤ٖ‫( ) َؽ‬meninggal 822)


adalah seorang jenderal dan gubernur selama
kekhalifahan Abbasiyah. Secara khusus, ia menjabat di bawah
khalifah al-Ma'mun
39
Nama aslinya Musa al Mubaraqqa dari golongan Syiah
Imamiyah, dia anak kesembilan dari Imam Mohammad al- Taqi al
Jawwad dan adik kesepuluh dari Imam Ali al-Hadi
tahassur (memperlihatkan penyesalan); d) al-
Fakhr (sombong); e) dorongan bekerja keras.
4. Kalâm khabari ada tiga jenis, yaitu ibtidâi, thalabi,
dan inkâri. Kalâm ibtidâi adalah suatu kalâm
khabari yang tidak menggunakan taukîd. Kalâm ini
digunakan untuk orang yang tidak tahu sama sekali
(khâlî al-dzihni). Kalâm thalabi adalah suatu
kalâm khabari yang menggunakan satu taukîd.
Kalâm ini digunakan untuk mukhâthab
mutaraddid (mukhâthab yang ragu). Sedangkan
kalâm inkâri adalah suatu kalâm khabari yang
menggunakanlebih dari satu taukîd Kalâm ini
digunakan untuk mukhâthab munkir
5. Dalam kenyatan sering terjadi penyimpangan dari kaidah
dan aturan umum,seperti ungkapan ibtidâi untuk
inkari atau sebaliknya ungkapan inkâri digunakan
untuk mukhâthab ibtidâi
.
LATIHAN
Jawablah Pertanyaan-pertanyaan di bawah ini
dengan tepat dan benar!
1. Jelaskan pengertian kalâm khabar dan kemukakan
perbedaannya dengan kalâm insyâi ?
2. Salah satu tujuan kalâm khabar adalah lâzimul
fâidah. Apa maksudnya dan berikan contognya!
3. Apakah tujuan kalâm khabar dari kalimat-kalimat
berikut ini!
‫ ِذ ا ُْ َٔب‬٤ْ َ‫فأْ ُن ِٓ ْٖ ث‬ َ ٍِ ‫ ِي‬٣ْ ‫ُ ػ َٔ ُو ْث ُٖ ا ُْ َؼ ِي‬
َ٣ ‫ال‬
1 ًَ‫َٕ ب‬ ُ
َ ُْ ‫ِ ِٓ َٖ ا‬ٚ َِ ‫ َٗ ْل‬٠َِ‫ػ‬
‫هَ ًٔب‬ْٛ ‫ئ ِك‬٤ْ ‫ل‬ ‫ئًب‬٤ْ ‫َ ش‬
ٟ ِ ‫ ْغ‬٣َ ‫َ ا َل‬
ٝ‫ي‬
‫ ا ُْ َغب ِٓ َؼ ِخ ُٓزَأ َ ِّف ًوا‬٠َُِ‫مََ ْج َذ ئ‬ٛ 2
  3

 
 

   4
 
 
 
  5

 
 

4. Jelaskan istilah-istilah di bawah ini,
kemudian berikan contohnya masing-masing!
a. Khâlidz dzihnib.
b. Mutaraddid
c. Munkir

5. Apakah yang dimaksud


kalâm ibtidâi manzilata al-munki ? Berikan
contohnya!

VI
KALÂM INSYÂI

TUJUAN
Setelah mengikuti proses pembelajaran
ini diharapkan peserta didik menguasai materi-materi
sbb: 1) Pengertian kalâm insyâi; 2) Kategorisasi kalâm
insyâi; 3) Variasi makna pada berbagai kategori kalâm
insyâi

BAHASAN

A. Pengertian
Kata ( ْٗ‫ ) شبء ِئ‬merupakan bentuk mashdar dari kata
( َْٗ‫) شأَ أ‬ Secara leksikal kata tersebut bermakna
membangun, memulai, kreasi, asli, menulis, dan
menyusun.Dalam ilmu kebahasaaraban insyâi merupakan
salah satu nama mata kuliah yang mengajarkan menulis.
Insyâi sebagai kebalikan dari khabari merupakan bentuk
kalimat yang setelah kalimat tersebut dituturkan kita
tidak bisa menilai benar atau dusta. Hal ini berbeda
dengan sifat kalâm khabari yang bisa dinilai benar atau
dusta Dalam terminologi ilmu ma‟âni kalâm insyâ'i
adalah,
‫ُا‬
ٌُ ٌ
‫ـُانة‬ٝ ‫ؾزَٔ ُاصلم‬٣ ‫ ٓب ال‬ٛٞ ٢ ‫اٌ ّل اال ٗشبئ‬
Kalâm insyâi adalah suatu kalimat yang tidak bisa
disebut benar atau dusta

Jika seorang mutakallim mengucapkan suatu kalâm


insyâi, mukhâthab tidak bisa menilai bahwa ucapan
mutakallim itu benar atau dusta. Jika seorang berkata
( َٔ‫ ) غ ٍا‬kita tidak bisa mengatakan bahwa ucapannya itu
benar
atau dusta. Setelah kalâm tersebut diucapkan yang mesti
kita lakukan adalahmenyimak ucapannya.

B. Pembagian Kalâm Insyâi


Secara garis besar kalâm insyâi (originative sentence)
ada dua jenis, yaitu insyâi thalabi dan insyâi ghair
thalabi. Kalâm yang termasuk kategori insyâi thalabi
adalah amar, nahyu, istifhâm tamannî, dan
nidâ. Sedangkan kalâm yang termasuk
kategori ghair thalabi adalah ta'ajjub, adz-Dzamm,
qasam, kata-kata yang diawali dengan af'âlur raja Jenis-
jenis kalâm insyâi thalabi tidak termasuk ke dalam
bahasan ilmu ma‟âni. Sehingga jenis-jenis kalimat
tersebut tidak akan di bahas dalam buku ini.
Insyâi thalabi menurut para pakar balâghah adalah,
‫ص ذ اُطَِت‬
َ ‫ثب ْ و‬ًْٞ ُ‫ٓ ِط‬ ‫َز ْلػ‬
َ ٣َ ‫ٓب‬
‫ْه‬ ‫ ؽب‬٤ ٠
‫ؿ‬ٝ
kalam insya‟ thalabi adalah suatu kalam yang
menghendaki adanya suatu tuntutan yang tidak
terwujud ketika kalâm itu diucapkan.

Dari definisi di atas tampak bahwa pada kalâm


insyâi thalabi terkandung suatu tuntutan. Tuntutan
tersebut belum terwujud ketika ungkapan tersebut
diucapkan. Kalimat-kalimat yang termasuk kategori
inysa thalabi adalah,
1. Amar
Secara leksikal amar bermakna perintah.
Sedangkan dalam terminologi ilmu balâghah amar
adalah,
‫اَل ِء‬ِٜ‫ع اٍالز‬ ِ َ‫غَت ا ُِْل ْؼ‬
ٚ ٝ ٠َ‫ػ‬ ِ َ
Tuntutan mengerjakan sesuatu kepada yang lebih
rendah

Al-Hâsyimi (1960) mendefinisikan jumlah al-


amr (kalimat perintah) sebagai tuturan yang
disampaikan oleh pihak yang lebih tinggi kedudukannya
kepada pihak yang lebih rendah agar melaksanakan suatu
perbuatan, seperti
 
 
 

 
 
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Alquran kepadamu
(hai Muhammad) dengan berangsur-angsur. Maka
bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan
Tuhanmu

Untuk menyusun suatu kalâm amar ada empat shîgah


yang biasa digunakan:
a) Fi'l al-amr
Semua kata kerja yang ber-shîgah fi'l amr termasuk
kategori thalabi,
Contoh 1:
‫ة ِثو‬ ‫ف ِن ا ُْ ٌ ز‬
Ambillah kitab itu dengan ‫ب‬
kuat! ‫ّظخ‬ٞ
Contoh 2:
   
 
 
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun….” (QS.
An-Nisā‟ [4]: 36)
Fi„il amr pada kalimat ini adalah lafaz ‫ـ‬ُْٝ‫اػج‬ ‫ُل‬ ‫ا‬
Contoh 3:
‫طُـ ِؼ‪٢‬‬ ‫َ‪٣‬ب َُ ْ ‪٣َ َ َ ٤‬ب َٗ ‪ ُّ ْٞ‬ىٍ ‪٣َ #‬ب ص ْجؼ ِهق ‪َ ٝ‬‬
‫ال رَ ِ‬
‫غ‬
Wahai malam, panjanglah! Wahai tidur, hilanglah! #
Wahai waktu Shubuh berhentilah! Dan jangan lagi
engkau terbit.
Fi„il amr pada bait syair ini adalah lafaz َْ ,ُ‫ غ‬dan
‫ٍْ ى‬
‫هق‬.
ِ
Contoh 4:
‫ف ْلن‬ٝ ‫غ ْ ٖؼ ا ُْوِـَ٘ب‬
َ ٤ْٖ ‫ َث‬# ٌْ ٣ ْ ‫أَ ْٗذ ًو‬ٝ ‫ْ ٓذ‬ٝ َ‫يا أ‬٣ ْ ‫ػش ػي‬
‫ْ ِك‬ٞ ‫ُاجُ٘ـ‬
Hiduplah mulia atau matilah terhormat # Antara
tusukan tombak dan kibaran bendera perang.
Fi‟il amr pada bait syair ini adalah lafaz
‫ش‬ ‫ ػ‬dan ٓ‫ذ‬
b) Fi'l Mudhâri‟ yang disertai lam amar
Fi'il mudhâri‟ yang disertai dengan lam amar
maknanya sama dengan amr yaitu perintah.
Contoh 1,
ِٚ ِ‫ْ ٍ َؼخ ٖٓ ٍ َؼز‬ٝ ‫ لْ٘ ِن م‬٤ُُ
ِ
Hendaklah berinfak ketika dalam keleluasaan
Contoh 2:
 
  
 

 
 
 

”Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan
umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh
kepada yang makruf dan mencegah dari yang
munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”
(QS. Āli Imrān [3]: 104)
Contoh 3:








”Kemudian, hendaklah mereka meng-hilangkan
kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah
mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan
hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf
sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah). (QS. Al-
Hajj [22]: 29)
Fi„il mudhāri„ yang disertai dengan lām al-amr
adalah lafaz ٌُٖٝ‫ ز‬pada ayat pertama dan ٤ُْٞ ُْ ‫ْكُـ‬ٞ ‫َ ا‬ٝ
serta ‫ْا‬ٞ ‫كُـ‬َّٞ ّ‫طَـ‬٤َُْ ٝ kedua. ayat pada
c) Isim fi'il amar
Kata isim yang bermakna fi'il (kata kerja) termasuk
shigat yang membentuk kalâm insyâi thalabi ,
Contoh,
‫ ا لُْ َالَػ‬٠‫ػ‬
َِ ٢‫ ُاصاَل ِح ؽ‬٠‫ػ‬
َِ ٢‫ؽ‬
Mari melaksanakan shalat! Mari menuju
kebahagiaan!

d) Masdar pengganti fi'il


Mashdar yang posisinya berfungsi sebagai pengganti
fi'il yang dibuang bisa juga bermakna amar,
Contoh,
‫ ا ُْ ق‬٠‫ب ِك‬٤ً‫ٍ ْؼ‬
Berusahalah pada hal-hal yang ٤
baik
‫و‬
Dari keempat shîgah tersebut makna amar pada
dasarnya adalah perintah dari yang lebih atas kepada yang lebih
rendah. Namun demikian ada beberapa makna amar selain
dari makna perintah.
Makna-makna tersebut antara lain:
1) Al-Irsyād (mengarahkan), Contohnya pada lafaz
ُْٞٙ ًْ‫ زُـجُـ َكب‬sebagaimana disebutkan dalam al-Qur‟an:
 
 
 
  
 
 
 

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar. (QS. Al Baqarah [2]:
282)
2) Ad-Du„ā‟ (doa). Contohnya pada lafaz
sebagaimana disebutkan dalam al-Qur‟an:
ِ٘ ‫ ى‬ْٝ ‫َأ‬
٢‫ػـ‬
 
  
 
  
Ya Allah, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri
nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan
kepadaku”. (QS. An-Naml [27]: 19)
3) Al-Iltimās (memohon dengan penuh). Contohnya
ِ٘ ‫ َأػ‬pada kalimat berikut:
pada lafaz ٢‫ط‬
‫ب األَـؿ‬َٜ ٣َ‫ ُاوَِ َْ أ‬٢ ‫َأػ ِ٘ط‬
Berilah aku pena itu wahai saudara
4) At-Tamannī (mengharap sesuatu yang mustahil
terjadi). Contohnya pada lafaz ْٗ‫ ا‬٢‫غ‬
ِِ pada syair ini:
‫ َٓب ا صَجب ٓ ْ٘ي‬ٝ ‫ِثص‬ ِ ‫ َ َأ َال‬ٞ َ ‫ب‬َٜ ٣َ‫أَ َال أ‬
٢‫غ‬
‫ْ ِإل ػ‬ ‫ْجؼ‬ # ْٗ ‫ا‬ ‫ا اُطَـ‬
٣ ٤ ْ ‫َِّـ‬
َ‫ِثأَـ ْٓض‬
Wahai malam yang panjang! Tampakkanlah # Sinar
pagimu, dan tidak ada yang menyerupai sinar pagimu
5) At-Takhyīr (memilih). Contohnya pada lafaz
pada kalimat berikut: ‫ط‬َّٝ ‫َري‬
‫ب‬َٜ‫ْ فز‬ٝ َ ْ٘ ٛ ‫ط‬َّٝ ‫َري‬
Nikahilah Hindun atau saudarinya ‫أ‬ ‫لً ا أ‬
6) At-Taswiyah (persamaan). Contoh-nya pada lafaz
‫اصجوا‬
ٝ pada kalimat berikut:
‫ا‬ْٝ ‫ْا أ ال ر ص و‬ٝ ‫اصج و‬
Engkau bersabar atau ‫ج‬ ْٝ
tidak
7) At-Ta„jīz (melemahkan). Contoh-nya pada lafaz
sebagaimana disebutkan dalam al-Qur‟an: ‫ْا‬ٞ ‫كَْأرُـ‬
   
  
 
 

Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al
Quran yang kami wahyukan kepada hamba kami
(Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal
al-Quran itu (QS. Al-Baqarah [2]: 23)
8) At-Tahdīd (mengancam). Contoh-nya pada lafaz
ْٞ‫ ا َُِـِٔ اػ‬sebagaimana disebutkan dalam al-Qur‟an:
  
  
 
Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya
dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan. (QS.
Fushshilat [41]: 40)
9) Al-Ibāhah (membolehkan). Contohnya pada lafaz
ْٞ‫ ًُِ ا‬dan ‫ْـ‬ُٞ‫ ا اشوث‬sebagaimana disebutkan dalam al-
Qur‟an:

 
 
 
 
 
  
“Makanlah dan minumlah sehingga jelas bagimu
benang putih dari benang hitam yaitu waktu fajar”.
(QS. Al Baqarah [2]: 187)
10) Al-Ikrām (memuliakan). Contoh-nya pada lafaz
‫ب‬ٛ‫ف‬ِٞ ‫ اك‬sebagaimana disebutkan dalam al-Qur‟an:


 
"Masuklah kalian ke dalamnya (surga) dengan
sejahtera lagi aman". (QS. Al- Hijr [15]: 46)
11) Al-Imtinān (pemberian nikmat). Contohnya
pada lafaz ْٞ‫ ا ٌُِـ َك‬sebagaimana disebutkan dalam
al-Qur‟an:

 
  
Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang
Telah diberikan Allah kepadamu. (QS. An Nahl [16]:
114)
12) Al-Ihānah (penghinaan). Contohnya pada lafaz
‫ْا‬ٞ ‫ُْـ‬ٞٗ ً sebagaimana disebutkan dalam al-Qur‟an:
  
 
”Jadilah kalian batu atau besi.” (QS. Al-Isrā‟ [17]:
50)
13) Ad-Dawām (kontinyu atau berkesinambungan).
Contohnya pada lafaz ‫ئٗلب‬ٛ sebagaimana
disebutkan dalam al-Qur‟an:
 

”Tunjukilah kami jalan yang lurus.” (QS. Al-Fātihah
[1]: 6)
14) Al-I„tibār (mengambil pelajaran). Contohnya
ٝ ‫ ٗا‬sebagaimana disebutkan dalam
pada lafaz ‫ظوا‬
al-Qur‟an:




  
”Perhatikanlah buahnya di waktu berbuah dan
(perhatikan pula) kematangannya....” (QS. Al-An„ām
[6]: 99)
15) Al-Idznu (mengizinkan). Contoh-nya: َ‫= أكف‬
masuklah!
16) At-Ta‟dīb (mengajarkan adab atau sopan
santun). Contohnya pada lafaz ً sebagaimana
disebutkan pada hadis: َْ
‫ي‬٤ ْ ٣َِ ‫ً ٓ َّٔب‬
َ
”Makanlah apa yang ada di
depanmu”
17) At-Ta„ajjub (kagum atau heran). Contohnya
pada lafaz ‫ ٗاظو‬sebagaimana disebutkan dalam
al- Qur‟an:




 
”Lihatlah bagaimana mereka membuat
perumpamaan-perumpamaan terhadap-mu....” (QS.
Al-Isrā‟ [17]: 48)
2. Nahyu
Makna nahyu secara leksikal adalah melarang,
menahan, dan menentang. Sedangkan dalam
terminologi ilmu balâghah nahyu adalah,
‫الَ ِء‬ِٜ‫ع اٍالز‬ َِ ‫ػ ا ُِْل ْ َؼ‬
ٚ ٝ ٠‫ػ‬ ٖ ‫غت ا ُْ ٌَق‬
َِ َ
Tuntutan meninggalkan suatu perbuatan dari pihak
yang lebih tinggi
Dengan kata lain An-Nahyu adalah meminta
(menuntut) penghentian suatu perbuatan dari orang
yang lebih tinggi kedudukannya (posisinya) kepada
orang yang lebih rendah. Dikenal juga dengan nama
larangan. Ia adalah anonim (lawan kata) dari al-amr.
Kalau al-amr memiliki beberapa shīgat, berbeda
dengan an-nahyu yang hanya memiliki satu shīgat,
yaitu fi„il mudhāri„ yang disertai dengan ٛ٤َ ‫الَ ُ٘اَـّب‬
‫خ‬
Contoh, 

 
  

 

65) : ‫( االٍواء‬
Janganlah kamu sekalian mendekati zina!
Sesungguhnya zina itu perbuatankeji dan jalan yang
sejelek-jeleknya. (al-Isra:32)
Pada ayat di atas terdapat ungkapan nahyu, yaitu pada
kata
 

Ungkapan tersebut bermakna larangan Allah swt
melarang orang-orang beriman berbuat zina.
An-Nahyu terkadang keluar dari maknanya yang asli
kepada makna-makna lain. Hal ini dapat diketahui
dengan mengkaji konteks dan redaksi suatu kalimat. Di
antara makna-makna yang dimaksud adalah:
1) Al-Irsyād (memberi petunjuk). Contohnya pada
َْٞ ‫ ا رَأَ ُُـ‬sebagaimana disebutkan dalam al-
lafaz ‫ال‬
Qur‟an:






  
 
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika
diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu….”
(QS. Al-Mā‟idah [5]: 101)
2) Ad-Du„ā‟ (doa). Contohnya pada lafaz ‫رإافٗنب ال‬
sebagaimana disebutkan dalam al-Qur‟an:
  
  
 
“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami
jika kami lupa atau kami tersalah….” (QS. Al-
Baqarah [2]: 286)
3) Al-Iltimās (memohon dengan penuh).
Contohnya terdapat pada lafaz ‫ ال‬٢‫ ريٗه‬pada
kalimat ini:
‫ا ًلـ‬٤ ْ َُ ٢ ‫ه‬
ٗ ‫ َال ي‬٢ ‫ر‬
‫َ‪٣‬ب أَف‬
“Wahai saudaraku, janganlah engkau
mengunjungiku pada malam hari”
4) At-Tamannī (mengharap sesuatu yang mustahil
terjadi). Contohnya pada lafaz ‫ ال‬٢ ‫ ر ِطؼ‬pada
bait syair:
٢‫ال ر طُِـ ِؼ‬َٝ ‫ب ْ ؼ ق‬٣َ # ‫ْ ٍى‬ٞ َٗ ‫ب‬٣َ َ َ ٤ ْ َُ ‫ب‬٣َ
‫ج ه‬ ُّ ‫غ‬

‫ص‬
Duhai malam yang panjang, munculkanlah # sinar
subuhmu, karena tidak ada yang menyerupai sinar
subuhmu ini.
5) At-Tai‟īs (mengungkapkan rasa penyesalan).
Contohnya pada lafaz ‫ا ال‬ٝ‫ رؼزنه‬sebagaimana
disebutkan dalam al-Qur‟an:
  
 
 
“Tidak usah kamu minta maaf, Karena kamu kafir
sesudah beriman….” (QS. At-Taubah [9]: 66)
6) At-Taubīkh (menjelekkan). Contoh-nya pada
lafaz ‫ ال‬ٚ٘‫ ر‬pada kalimat berikut:
‫ُـ‬ٚ‫ د ٓ َِْض‬ٝ ‫ٖػفُِن‬ َ
َ‫ال ر‬
‫رَأ‬
Jangan engkau melarang seseorang berbuat jelek
sementara engkau melakukannya.
7) Al-Tahdid (mengancam). Contoh-nya pada lafaz
‫ رطغ ال‬pada kalimat berikut:
‫الَ ر طغ أَ ْٓو‬
Jangan engkau patuhi ١
perintahku
8) Al-Karāhah (membenci). Contoh-nya pada lafaz
‫ ِرزلذ ال‬pada kalimat:
‫ ص َال ِح‬٢‫ ذ ِك‬ٝ ‫الَ َر ِْزَـِلذ‬
‫ُا‬ ْٗ َ‫أ‬
Jangan engkau menengok dalam keadaan sholat
9) Al-I‟tinās (menghibur). Contohnya pada lafaz
‫ رؾ ٕي ال‬sebagaimana disebutkan dalam al-
Qur‟an:
 
  
 
“…Janganlah kamu berduka cita, Sesungguhnya
Allah beserta kita….” (QS. At-Taubah [9]: 40)
10) At-Tahqīr (menghina). Contohnya pada lafaz
‫ ر ِطت ال‬pada bait syair berikut:
‫ش َٓٓ َـز ْ ؾب ػ َْ ُاَجب‬ ‫ص ت‬ َِ َ ‫الَ ر ِطُ ت غ ٕ ا‬
ٍُٔٚ
‫ َٗب‬٣ ‫ػ‬ٝ ‫ْؼ‬ ‫ا ُْ َٔ َل ئ ُْ َٔ ل‬
‫و‬
‫غ‬
Janganlah kalian mencari keutamaan,
sesungguhnya keutamaan itu tangganya # sulit.
Hiduplah dengan tenang dan hati yang damai.
Contoh lain pada lafaz ‫ؽ ال‬
َ ‫ رو‬pada bait syair:
٢‫ذ ػ ُْ ا ُْ ٌٍَب‬ ‫ ا ْه ُؼ ي‬ٝ ‫ب‬َٜ‫ِز‬٤ َ ‫كع ا َُْٔ ٌَب ه ال َر ْو ؽ َْ ُِجُـ ْـ‬
‫ُاطَـّب‬ ْٗ ‫ْل كَ ِا َٗــ َأ‬ # َّ
Biarkanlah kemuliaan itu datang sendiri, janganlah
engkau berangkat untuk mencarinya # Duduklah
karena sesungguhnya engkau adalah pemberi
pangan dan sandang.
11) Ad-Dawām (perbuatan yang terus menerus).
Contohnya terdapat pada lafaz ‫ال ر َؾج‬
ٖ
sebagaimana disebutkan dalam al-Qur‟an:
    
 
 
“Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad)
mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat
oleh orang-orang yang zalim….” (QS. Ibrāhīm [14]:
42)
12) Bayān al-Āqibah (menjelaskan akibat). Seperti
dalam contoh lafaz ‫ ر َؾ ٖج ال‬sebagaimana
disebutkan dalam al-Qur‟an:



 
  

  
 
 

“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang
yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka
itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki.”
(QS. Āli „Imrān [3]: 169)
At-Tamannī, yaitu meminta (menuntut) sesuatu
yang mustahil (tidak mungkin) terjadi atau mungkin
tetapi tidak bisa diharapkan.
Lafaz yang dipergunakan untuk at-tamannī yaitu ْ‫ذ‬٤ َُ
Contohnya sebagaimana dalam syair:
‫ت‬٤ ْ ‫َٔ َ ُا ش‬ ‫ـ و‬ُٙ ‫ِث َٔب كَ َؼ‬ ‫ك َ أ فج‬ ‫ ُؼ‬٣َ ‫ة‬
# ‫ْ ًٓب‬ٞ ٣َ ‫ْ ُك‬ٞ ‫ذ اُ شَجب‬ ‫ َا أ‬٤ ْ َُ ‫َل‬
Semoga masa muda itu bisa kembali lagi # Supaya saya
bisa memberitahu apa yang dilakukan seseorang di masa
tua.
Contoh lain sebagaimana disebutkan dalam al-
Qur‟an:

  
  
  
”...Semoga kita diberikan harta benda sebagaimana
yang diberikan kepada Karun.” (QS. Al-Qashash [28]:
79)
Sedangkan untuk meminta (menuntut) sesuatu yang
mungkin/bisa terjadi dinamakan at-tarajjī. Lafaz-lafaz
yang dipergunakan untuk at-tarajjī adalah ‫ػ‬َ dan َ ‫َ َؼ‬.ُ
٠
Contohnya sebagaimana disebutkan dalan al-Qur‟an:
 
  

”... Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan
kemenangan (kepada Rasul-Nya)....” (Q.S. Al-Mā‟idah
[5]: 52)
Contoh lain sebagaimana firman Allah:
 
  
  

”... Kamu tidak mengetahui barangkali Allah
mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.” (QS.
Ath-Thalāq [65]: 1)
Namun karena faktor-faktor keindahan bahasa,
terkadang dipergunakan juga lafaz ُ‫ذ‬٤ dengan
makna at-tarajjī.
Jadi, lafaz yang dipergunakan untuk at-tamannī ada
4: satu yang asli yaitu ُ‫ذ‬٤ sementara yang 3, yaitu َْ
َٛ
dan ْٞ َُ serta َ‫َُ ؼ‬ menjadi pengganti, dan ini
dipergunakan karena memenuhi faktor-faktor
keindahan bahasa.
Contoh penggunaan َٛ sebagaimana disebutkan
dalam al-Qur‟an:

 
  

“… Maka adakah bagi kami pemberi syafaat yang akan
memberi syafaat bagi kami….” (QS. Al-A„rāf [7]: 53)
Contoh penggunaan ُٞ sebagaimana disebutkan
dalam al-Qur‟an:

  
  
 
“Maka sekiranya kita dapat kembali sekali lagi (ke
dunia) niscaya kami menjadi orang-orang yang
beriman.” (QS. Asy-Syu„arā‟ [26]: 102)
Contoh penggunaan ‫َُؼ‬ sebagaimana disebutkan
dalam syair:
‫ذ‬٣ ْ ٞ ‫ٓ هَ ْل‬
ٖ ‫ ِئ‬٢ # ‫ؽُـ‬
ٚ ٖ َٛ ‫أٍَو ة ُاوَطَب‬
‫ ِؼ ع‬٣ُ ٓ
٠ ِ‫َؼ‬ ‫و ب‬٤ ‫و‬٤ ْ ‫أَ ِغ‬
Wahai kawanan burung qatha (mirip merpati), siapakah
yang mau meminjamkan sayapnya # Agar aku bisa
terbang kepada kekasihku
3. Istifhâm
Kata ( ‫لب‬َْٜ ِ‫ )ِئ ٍز‬merupakan bentuk
ّْ
mashdar dari kata ( َْ َْ‫لَـ ٍاز‬ٜ ) Secara leksikal kata
tersebut bermakna meminta pemahaman/meminta
pengertian Secara istilah istifhâm bermakna
‫ئ‬٤ ْ ‫غت ا ُْ ِؼ ِْ ِْ ِثُبش‬
َِ َ
menuntut pengetahuan tentang sesuatu
Kata-kata yang digunakan untuk istifhâm
ialah : ini
– ٣ْٖ ‫ – َٕ – ً ق – َأ‬٠َ‫ٖٓ – ٓز‬ – َٛ – ‫أ‬
– ْ ً ‫ب‬٣ََّ‫أ‬
٤‫أ‬ – ٠ََّٗ‫أ‬
١

Suatu kalimat yang menggunakan kata tanya


dinamakan jumlah istifhâmiyyah , yaitu kalimat
yang berfungsi untuk meminta informasi tentang
sesuatu yangbelum di ketahui sebelumnya dengan
menggunakan salah satu huruf istifhâm
Contoh kalimat tanya seperti

 



 

)5-4 : ‫ ( اُوله‬
Sesungguhnya Kami telah
menurunkannya (Alquran)
pada
malamkemuliaan. Dan tahukah
kamu apakah malam kemuliaan
itu?)
a) Hamzah (‫) أ‬
Hamzah sebagai salah satu adat istifhâm
mempunyai dua makna,
(1) Tashawwuri
Tashawwuri artinya jawaban yang
bermakna mufrad. Ungkapan
istifhâm yang meminta pengetahuan
tentang sesuatu yang bersifat mufrad
dinamakan istifhâm tashawwuri.
Contoh,
َّ ْٞ ٣َ ّْ َ‫ؼ ا ُْ ُؼ ٍَّٔب أ‬٣ ْ ‫زَو‬٣َ ‫ْ َّ ا ُْغ ْٔ َؼخ‬ٞ ٣ََ‫ أ‬1
‫االؽ ِل ؟‬
َ َ َ
‫ أ ٓشزَو أ ْٗذ أ ّْ َثب ِئـغ ؟‬2
Pada kedua kalimat di atas adat
yang digunakan untuk bertanya adalah
hamzah. Aspek yang dipertanyakan
pada kedua kalimat di atas adalah hal
yang bersifat tashawwur Pada kalimat
pertama hal yang ditanyakan adalah
antara pilihan dua (‫ْ َّ ا ُْغْٔ َؼخ‬ٞ ٣ََ )
dan (َ ‫ْ َّ االؽ ِل‬ٞ ٣َ )
Kedua ungkapan tersebut bersifat
tashawwur (makna mufrad), tidak
berupa nisbah (penetapan sesuatu atas
yang lain). Demikian juga pada
pertanyaan nomor 2,
penanya
menanyakan apakah engkau ( ‫) َثبِئغ‬
atau
(ٓ ‫ ) شزَو‬Kedua kata tersebut bersifat
tashawwuri (mufrad ) bukan nisbah
.
(2) Tashdîq
Hamzah juga digunakan untuk
pertanyaan yang bersifat tashdîq,
yaitu penisbatan sesuatu atas yang
lain. Contoh,
‫نَـت ؟‬َٛٛ َ ُ‫ص َل أُ ا‬٣َ َ‫أ‬
‫و ا ُْغَجٍب ؟‬٤ ْ ٣ََ َ‫أ‬
Kedua kalimat di atas merupakan
jumlah istifhâmiyah. Adat yang
digunakan untuk bertanya adalah
hamzah. Hal yang ditanyakan
oleh
kalimat di atas adalah kaitan
antara (‫ص‬٣َ ‫ ) أُ َل‬dan (َُ‫نت ا‬ٛ‫َـ‬َٛ )
Penisbatan sifat berkarat kepada emas
merupakan hal ditanyakan oleh
mutakallim. Karena hal yang
dipertanyakan bersifat nisbah maka
dinamakan tashdîq
b) Man (ٖ َٓ )
Kata (ْٖ َٓ ) termasuk ke dalam adat
istifhâm yaitu untuk menanyakan tentang
orang. Contoh,
‫ َنا‬َٛ ٠َ٘‫ َنا ا َُْٔغ َل ؟ أَؽ َٔ ُل ث‬َٛ ٠َ٘‫ٓ ثـ‬
ٖ
‫ا َُْٔغ َل‬
Adat istifhậm pada jumlah
istifhamiyah di atas adalah (َٖٓ ) yang
bertujuan untuk menanyakan siapa yang
membangun mesjid ini.
Selain kedua adat istifhậm di atas masih
terdapat beberapa adat lainnya yang mempunyai
fungsi masing-masing. Adat-adat tersebut adalah sbb:
)c) ٓ‫ب‬ yang digunakan untuk menanyakan
sesuatu yang tidak berakal. Kata ini juga
digunakan untuk meminta penjelasan
tentang sesuatu atau hakikat
sesuatu.Contoh,
‫َٕٔب ؟‬٣ ‫َ اال‬ٞ ‫ُـ‬ٛ ‫ٓب‬

(d) َٓ َ‫) ز‬
(٠ yang digunakan untuk
meminta penjelasan tentang waktu, baik
waktu lampau maupun sekarang. Contoh,
‫ َٗـصو هلالِ ؟‬٠َ‫ٓز‬
(e) ( ‫ٕب‬٣َ َّ‫ ) أ‬digunakan untuk meminta
penjelasan mengenai waktu yang akan
datang. Kata ini kebiasaannya digunakan
untuk menantang. Contoh,



 


(f) ( ‫ ) ً ق‬digunakan untuk menanyakan

٤
keadaan sesuatu. Contoh,
‫ق ؽُبُـي ؟‬٤ ْ ً
)g) ( َْ‫ أ‬٣ٖ ) digunakan untuk menanyakan
tempat. Contoh,
‫ ًزَب ُث ي ؟‬٣ْٖ َ‫أ‬
)h) ( ٛ ) merupakan adat istifhâm yang
َ
digunakan untuk menanyakan penisbatan
sesuatu pada yang lain (tashdîq) atau
kebalikannya. Padaadat istifhâm ()َٛ
tidak menggunakan ّْ َ‫ أ‬dan mu‟adil-
nya. Adat istifhâm (َٛ) digunakan apabila
penanya (mutakallim) tidak mengetahui
nisbah antar musnad dan musnad
ilaih-nya. Adat ()َٛ tidakbisa masuk ke
dalam nafyu, mudhâri (makna sekarang)
syarath, dan tidak bisa pula pada huruf
„ athaf . Hal ini berbeda dengan hamzah
yang bisa memasuki tempat-tempat
tersebut;

(i) (َٟ َ
ٕ‫ ) أ‬merupakan adat istifhâm yang
maknanya ada tiga, yaitu:
ًْ
1) maknanya sama dengan “
”Contoh: ٤
‫ق‬
 
 


2) bermakna َٖ َ‫ أ‬٣
” Contoh:
‫ َنا‬َٛ ‫ َُي‬٠ ‫ب ٍٓو ُْ أَّٗـ‬٣َ
3) maknanya sama
dengan “ ٠َٓ ‫َز‬
” Contoh:
‫ ش ْئذ‬٠‫ أَّٗـ‬٢ِ‫ه‬
ٗ ‫ى‬
(j) ( ً ) merupakan adat istifhâm yang
ْ
maknanya menanyakan jumlah
yang masih samar. Contoh
ْ ‫ً ْ َُِج ْضزُـ‬
(k) ( ١َ‫أ‬
)untuk menanyakan dengan
mengkhususkan salah satu dari dua hal yang
berserikat. Contoh
‫و ٓوَـب ًٓب‬٤ ْ ‫ ف‬٤ْٖ َ‫و‬٣ ْ ‫ ا لُْ َو‬١َ‫أ‬
Kata ini digunakan untuk menanyakan hal
yang berkaitan denganwaktu, tempat,
keadaan, jumlah, baik untuk yang berakal
maupun yang tidak.

Dalam konteks berbahasa adat-adat


istifhâm seperti yang telah dijelaskan dimuka
terkadang mempunyai
makna yang berbeda dengan makna asalnya
Penggunaan adat-adat istifhâm kadang digunakan
bukan untuk tujuan bertanya, akan tetapi untuk maksud
yang lainnya. Maksud-maksud penggunaan adat
istifhâm yang menyimpang dari tujuan awalnya adalah
sbb
1) Perintah
Penggunaan adat istifhâm dalam
berbahasa kadang-kadang juga digunakan untuk
maksud amr. Contoh:
: ‫( ا َُْٔبِئ لَ ح‬
‫ا‬ْٞ َُٜ‫ ا ٗزُـ‬١ ٕ َ‫ٓ ْ٘ز‬ ْ ‫ك أَ ٗزُـ‬
‫ْ أ‬ٞ
) 11
Apakah kalian tidak mau berhenti?
(al-Mâidah:91
Kalimat tanya pada ayat di atas
mestilah dimaknai perintah. Maksudnya
adalah „Berhentilah!‟.

2) Nahyu (larangan)
Penggunaan adat istifhâm dalam praktek
berbahasa kadang juga digunakan untuk tujuan
nahyu. Contoh,

  
 
) 46 : ‫زثخ‬ُٞ‫ (ا‬
Apakah kalian takut terhadap
mereka? Padahal Allah lebih berhak
untuk ditakuti (at-Taubah:13)

Ungkapan istifhâm pada ayat di atas


maknanya adalah larangan untuk
menakuti mereka (orang-orang kafir)

3) Taswiyah (menyamakan antara dua


hal)
Penggunakan adat istifhâm juga kadang
untuk makna taswiyah Contoh:



  
 
) 6 : ‫ ( اُجووح‬ 

Sama saja bagi mereka, apakah
engkau memberi peringatan atau
tidak. Mereka tidak akan beriman.(Q.S
al-Baqarah: 6)

Pada ayat di atas kalimat istifhâm


bermakna taswiyah (menyamakan antara
diberi peringatan atau tidak) mereka tetap
tidak beriman.

4). Nafyu (kalimat negatif)


Kalimat negatif merupakan lawan
dari kalimat positif, yaitu kalimat yang
meniadakan hubungan antara subjek
dan predikat, seperti berikut:

  
  

“Kami akan membacakan (Alquran)
kepadamu (Muhammad), maka kamu
tidak akan lupa, kecuali kalau Allah
menghendaki ”

Selain dengan menggunakan huruf


nafiyah, makna manfy bisa juga terdapat pada
ungkapan istifhamiyah. Contoh firman
Allah pada surah ar-Rahman 60
 



Tidaklah balasan untuk kebaikan
itu melainkan dengan kebaikan

5) Inkâr (penolakan)
Ungkapan istifhâmiyah juga kadang
mempunyai makna inkar atau penolakan.
Contoh,
ِ ‫و‬٤ ْ ‫أَؿ‬
‫ْ ؟‬ٕٞ ‫هلال رَـ ْج ُـ‬
Bukankah Allah yang kamu cari?

6) Tasywîq (mendorong)
Ungkapan istifhamiyyah juga kadang
mempunyai makna untuk mendorong
mukhâthab agar
melakukan pesan yang disampaikan
mutakallim. Contoh firman Allah dalam
Alquran,





 
) 41 : ‫( اُ ق‬ 
‫ص‬
Maukah kalian aku tunjukkan
kepada suatu perniagaan
yang
dapat menyelamatkan kamu dari
adab yang pedih. (Ash-Shaff :10)

Ungkapan istifhâmiyah pada ayat di


atas berfungsi sebagai dorongan kepada
mukhâthab agar menyimak pesan
berikut yang akan disampaikannya.
7) Penguatan
Ungkapan istifhâmiyah kadang juga
digunakan untuk penguatan suatu
pertanyaan. Contoh,




 

Hari kiamat. Apakah hari kiamat itu?
Tahukah kamu, apakah
hari kiamat itu?
Pertanyaan yang berulang-ulang pada
ayat di atas berfungsi untuk menguatkan.

1) Ta‟zhîm (mengagungkan)
Contoh ungkapan istifhâmiyah yang
bermakna ta‟zhîm adalah firman Allah,
  

 

Tiada yang dapat memberi syafa'at
di sisi Allah tanpa izin-Nya?

9). Tahqîr (merendahkan)


Ungkapan istifhâmiyah bisa bermakna
tahqîr (merendahkan). Contoh,

‫وا ؟‬
٤ ْ َ‫ َنا ُاّـ ِن ٓ ؽز‬َٛ َ‫أ‬
‫ًض‬
‫َل‬
Inikah orang yang kamu puja-puja itu?

10) Ta‟ajjub (mengagumi)


Ungkapan istifhâmiyah yang
bermakna ta‟ajjub dapat kita lihat pada
contoh berikut ini,
٢‫ ْ ش‬٣َٝ َّ ‫أ ًَ اُطَـّ َؼب‬٣َ ٍْٞ ٍ‫ُ َنا ُاو‬َِٜ ‫ٓب‬
‫َام ؟‬ٞ ٍ ‫ اال‬٠‫ِك‬
Tidaklah bagi rasul ini memakan
makanan dan berjalan
di pasar-pasar?
11). Al-Wa‟îd (ancaman)
Ungkapan istifhâmiyah kadang juga
bermakna ancaman seperti terlihat
padafirman Allah berikut ini,
  
 



Tidakkah kamu melihat
bagaimana perbuatan Tuhanmu
terhadap pasukan bergajah?
12). Tamannî (harapan yang tak
mungkin terkabul)
Makna tamannî juga terdapat pada
ungkapan istifhâmiyah Contohnya adalah
firman Allah berikut ini,
  
 

)52 : ‫ ( االػواف‬ 
Apakah kami mempunyai orang
yang dapat memberi syafaat
agar mereka memberi syafaat
kepada kami?

ILMU BAYÂN

TUJUAN
Setelah mengikuti proses pembelajaran peserta didik
diharapkan dapat memahami 1)pengertian bayân; 2)
peletak dasar ilmu bayân; 3) manfaat ilmu bayân; dan
4)bidang kajian ilmu bayân.

BAHASAN
A. Pengertian Bayân
1) Al-Bayān Menurut Etimologi
Kata al-bayān (‫ٕب‬٤‫ )اُج‬dalam semua bentuk isytiqāq
(perubahan katanya) menunjukkan arti azh-zhuhūr
ٜ ُ‫)ا‬, al-kasyf (‫ )اٌُشق‬dan al-īdhāh (‫عبػ‬٣‫)اإل‬
(‫ه‬ٞ‫ظ‬
(menjelaskan atau menerangkan). Sebagaimana
disebutkan pada beberapa surat dalam al-Qur‟an. Di
antaranya adalah firman Allah swt.:
 
 
 

“… Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepada manusia supaya mereka bertakwa. “ (QS. al-
Baqarah [2]: 187)
 
 
 

“… Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepada kalian supaya kalian memikirkannya. “ (QS. al-
Baqarah [2]: 266)

 

“Allah hendak menerangkan (hukum syariat-Nya)
kepada kalian….” (QS. an-Nisā‟ [4]: 26)

 
 
 
  



“… Dan Kami turunkan kepadamu (Muhammad) al-
Qur‟an agar kamu menjelaskan kepada umat manusia
apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya
mereka memikirkan. “ (QS. an-Nahl [16]: 44)
  
   
 


 

“Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil janji dari orang-
orang yang telah diberi kitab (yaitu) hendaklah
kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia…. “
(QS. Āli „Imrān [3]: 187)
 
  
 

 
 
 
 

“Dan kalian telah berdiam di tempat-tempat kediaman
orang-orang yang menganiaya diri mereka sendiri, dan
telah nyata bagi kalian bagaimana kami telah berbuat
terhadap mereka dan telah kami berikan kepada kalian
beberapa perumpamaan.“ (QS. Ibrāhīm [14]: 45)
Demikian makna al-bayān dalam al-Qur‟an. Masih
banyak kata-kata (‫ٕب‬٤‫ )اُج‬dengan berbagai macam bentuk
dalam al-Qur'an, namun di sini sekedar menjadi contoh
bagi ayat-ayat yang lain.
Menurut definisi ar-Rāghib al-Ashfahānī, al-
bayyinah adalah penunjukan makna yang jelas baik
pada hal-hal yang bersifat konkrit maupun abstrak. Al-
bayān merupakan ciri khas manusia yang
membedakannya dengan makhluk-makhluk lain. Allah
swt. berfirman:
 
  
 

 

 
“Ar-Rahmān, Yang mengajarkan al-Qur‟an,
Menciptakan manusia dan mengajarkannya al-bayān.”
(QS. ar-Rahmān [55]: 1-4).

Al-bayān disebutkan juga dalam Hadis pada


beberapa tempat, di antaranya:
Pertama, Sabda Rasulullah saw.:
‫ٕ َؾوا‬ ‫ب‬٤َ‫ٓ ُاجـ‬
ٖ
‫ئ‬
“Sesungguhnya sebagian dari al-bayān itu membuat
orang tersihir (terkesima/terhipnotis) dengan kata-kata.”
Dalam konteks ini al-bayān berarti menyampaikan
maksud dan tujuan dengan menggunakan lafaz yang
paling indah. Itu semua tentu melalui pemahaman dan
kecerdasan hati (spiritual).
Kedua, Sabda Rasulullah saw.:
‫ٓ ُِ٘اّلَـبم‬
ٖ ‫ش‬ ‫ ٕب‬٤َ‫ اُج‬ٝ ‫ُاِج َنا ُء‬
‫ْؼجََز ٕب‬
“Berkata yang kotor/jorok dan al-bayān adalah cabang
dari sifat kemunafikan.”
Dalam konteks ini al-bayān berarti bertindak
berlebihan atau over acting dalam berbicara. Biasanya
itu muncul disebabkan perasaan „ujub (tindakan agar
dikagumi oleh orang yang melihatnya dan itu
merupakan penyakit hati).
Pada kedua Hadis tersebut di atas, al-bayān
menunjukkan arti menjelaskan dan menerangkan (al-
kasyfu wa al-īdhāh).

2. Al-Bayān Menurut Terminologi


Menurut terminologi, al-bayān adalah suatu disiplin
ilmu yang mempelajari cara mengungkapkan bahasa
dengan susunan kalimat yang beragam, di mana yang
sebagian lebih jelas penunjukan maknanya atau lebih
berkesan dari yang lain. Jadi ilmu al-bayān berkaitan
dengan keindahan berbahasa yang pengungkapannya
menggunakan kata-kata indah dan mampu
meninggalkan kesan yang mendalam di hati pendengar
atau pembaca.
Pengertian di atas bukanlah satu-satunya definisi yang
dikemukakan oleh para pakar. Ada beberapa pakar lain yan
mempunyai definisi tersendiri tentang ilmu ini.
1. Imam Akhdhari Ilmu Bayân ialah ilmu yang mempelajari
tata cara pengungkapan suatu makna dengan menggunakan
susunan kalimat yang berbeda-beda penjelasannya (dari
yang jelas, kurang jelas dan lebih jelas).Maksud definisi
tersebut adalah, bahwa ilmu bayân merupakan ilmu
untuk mengetahui teknik-teknik mengekspresikan
suatu ide fikiran atau perasaan dengan menggunakan
ungkapan yang sesuai dengan konteksnya. Ungkapan
tersebut bervariasi antara satu kondisi dengan
kondisi lainnya.
2. K.H A. Wahab Muhsin. Menurut beliau ilmu Bayân
adalah ilmu untuk mengetahui cara menyusun satu
pengertian dengan bermacam-macam redaksi.
3. Rukyatul Hilal dan Yayan Nurbayân. Menurut keduanya,
ilmu bayân adalah suatu ilmu yang memuat konsep
dankaidah-kaidah untuk menyampaikan suatu ide dengan
beberapa cara yangberbeda antara satu dengan yang
lainnya. (Diktat Balâghah 1 : 6)

B. Peletak Dasar Ilmu Bayân


Ilmu Bayân pertama kali dikembangkan oleh Abu Ubaidah
Ibn al-Matsani (211 H). Sebagai dasar pengembangan
ilmu ini beliau menulis sebuah kitab dengan judul Majâz
Alquran Dalam perkembangan berikutnya muncul
seorangtokoh terkemuka dalam ilmu ini yaitu Abd al-
Qâhir al-Jurjâni (471 M). Ilmu ini terus berkembang dan
disempurnakan oleh para ulama berikutnya, sepeti al-Jâhizh
ibn Mu‟taz, Quddâmah, dan Abû Hilâl al- „Askari.
C. Manfaat Ilmu Bayân
Objek kajian ilmu Bayân adalah tasybîh, majâz, dan
kinâyah Melaluiketiga bidang ini kita akan mengetahui
ungkapan-ungkapan bahasa Arab yang fasîh, baik dan benar,
mengetahui ungkapan-ungkapan yang tidak fasîh dan
tidakcocok untuk diucapkan. Ilmu ini pula dapat
membantu kita untuk mengungkapkan suatu ide atau
perasaan melalui bentuk dan uslub yang bervariasi sesuai
dengan muqtadha al-hâl Dengan pengetahuan di atas
seseorang akan mampu menangkap kemukjizatan Alquran
dari aspek bahasanya. Dengan kemampuan yang memadai,
pada ilmu ini seseorang akan mampu menangkap keindahan,
ketepatan, dan kehebatan ayat Alquran, baik pada tataran
jumlah kalimah sampai kepada huruf-hurufnya.

Anda mungkin juga menyukai