Anda di halaman 1dari 40

CRITICAL JURNAL RIVIEW

FILSAFAT PENDIDIKAN

Dosen Pengampu :
Dr. Nasriah, M.Pd
Elya Siska Anggraini, S Sn., M A.

Disusun Oleh :
DEFRAN TRI CAHYO
1193151005
BK Reguler A 2019

PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmatnya penulis bisa menyelesaikan Critical Jurnal Riview mata kuliah
FILSAFAT PENDIDIKAN dan juga penulis berterima kasih kepada dosen pengampu Ibu
Dr. Nasriah, M.Pd dan Ibu Elya Siska Anggraini, S Sn., M A. yang bersangkutan yang
sudah memberikan bimbingannya.

Penyusunan critical jurnal review ini penulis menyadari bahwa kelancaran


penulisan critical jurnal review adalah berkat bantuan dan motivasi dari berbagai pihak.
Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang
telah membantu dalam kelancaran penulisan critical jurnal review ini.
Dalam penulisan critical jurnal review ini, penulis telah berusaha
menyajikan yang terbaik. Penulis berharap semoga critical jurnal review ini dapat
memberikan informasi serta mempunyai nilai manfaat bagi semua pihak.

Medan, 30 September 2019

Defran Tri Cahyo


REVIEW JURNAL UTAMA

Judul Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Epistimologi Ilmu

Jurnal Jurnal Iqra’


Download Journal.iain-manado.ac.id
Volume dan Halaman Vol.3. No.1
Tahun Januari – Juni 2009
Penulis Mustafa
Reviewer Defran Tri Cahyo
Tanggal 30 September 2019

Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap filsafat


pendidikan islam secara epistimologi ilmu.
Subjek Penelitian Penelitian  ini  dilaksanakan  dengan subjek penelitian
Mahasiswa/i Umm al-Qura University
Assesment Data Data  dalam  penelitian  ini  dianalisis dengan 
menggunakan  metode  analisis deskriptif kualitatif.
Metode penelitian Data dalam penelitian ini mengguna metode Observasi
(pengamatan). Metode observasi adalah metode
pengumpulan data melalui pengamatan langsung dan
meninjau secara cermat dan langsung dilapangan atau
lokasi penelitian. Mengamati bukan hanya melihat,
melainkan juga merekam, menghitung, mengukur dan
mencatat kejadian-kejadian yang ada.

Hasil Penelitian Filsafat Pendidikan Islam Dalam Timbangan


Epistimologi
 Ilmu Filsafat, falsafah atau philosophia secara harfiah
berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada
kebenaran. Maksudnya, setiap orang yang berfilsafat
akan menjadi bijaksana. Orang yang cinta kepada
pengetahuan disebut philosopher, yang dalam bahasa
Arab disebut failasuf. Pencinta kepada pengetahuan
adalah orang yang menjadikan pengetahuan sebagai
tujuan hidupnya. Dengan kata lain, ia mengabdikan diri
dan hidupnya kepada pengetahuan. Filsafat secara
sederhana berarti “alam pikiran” atau “alam berpikir”.
Berfilsafat artinya berfikir. Namun tidak semua berfikir
berarti berfilsafat. Berfilsafat adalah berpikir secara
mendalam (radikal)dan sungguh-sungguh. Ada sebuah
semboyan yang mengatakan bahwa “setiap manusia
adalah filosof”. Semboyan ini benar adanya, sebab
semua manusia berpikir akan tetapi, secara filosofis,
semboyan itu tidak benar, sebab tidak semua manusia
yang berpikir adalah filosof. Filosof hanyalah orang
yang memikirkan hakikat segala sesuatu dengan
sungguhsungguh dan mendalam. Filsafat adalah hasil
akal budi manusia yang mencari dan memikirkan suatu
kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Dengan kata lain,
filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-
sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu.
 Dari pengertian ini, ada lima unsur yang mendasari
sebuah pemikiran filsafat, yaitu:
a. Filsafat itu sebuah ilmu pengetahuan yang
mengandalkan penggunaan akal (rasio)
sebagai sumbernya. Akal digunakan sebagai sumber
filsafat.
b. Tujuan filsafat adalah mencari kebenaran atau hakekat
segala sesuatu yang ada.
c. Objek material filsafat adalah segala sesuatu yang ada.
Segala sesuatu yang ada mencakup “ ada yang tampak”
dan “ada yang tidak tampak” . ada yang tampak adalah
dunia empiris, dan ada yang tidak tampak adalah alam
metafisika.. Adapun objek formal filsafat adalah sudut
pandang yang menyeluruh, radikal dan objektif tentang
yang ada, untuk dapat diketahui hakekatnya.
d. Metode yang digunakan dalam berpikir filsafat adalah
mendalam, sistematik, radikal dan universal.
e. Oleh karena filsafat itu menggunakan akal sebagai
sumbernya, maka kebenaran yang dihasilkannya dapat
diukur melalui kelogisannya.
 Dengan kelima unsur diatas, tampak bahwa filsafat
merupakan sebuah ilmu pengetahuan, karena memenuhi
beberapa syarat ilmu pengetahuan, karena memenuhi
beberapa syarat ilmu pengetahuan. Oleh karena itu,
banyak ahli yang menyebut filsafat sebagai ilmu
(science). Dalam kaitan ini, Saifuddin Anshari bahkan
menyebut filsafat sebagai “ilmu istimewa” , karena
filsafat mencoba menjawab persoalan-persoalan yang
tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa.

Analisis Teoritis Filsafat Pendidikan Islam


 Filsafat pendidikan pada umumnya dinyatakan bahwa
filsafat pendidikan dipandang sebagai pembahasan yang
sistematis tentang masalah-masalah pendidikan pada
tingkat filosofis, yaitu menyelidiki suatu persoalan
pendidikan sehingga direduksi kedalam pokok bahasan
metafisika, epistimologi, etika, estetika maupun
kombinasi dari semuanya itu
 Dalam pembahasan filsafat pendidikan, persoalan-
persoalan tersebut dapat disederhanakan ke dalam tiga
persoalan pokok, yaitu pandangan mengenai realita
yang dipelajari oleh metafisika atau ontologi,
pandangan mengenai pengetahuan yang dipelajari oleh
epistimologi, dan pandangan mengenai nilai yang
dipelajari oleh aksiologi, termasuk didalamnya etika
dan estetika.
 Dengan demikian dapat difahami bahwa filsafat
pendidikan termasuk filsafat terapan atau filsafat
praktik pendidikan. Dalam arti luas filsafat pendidikan
dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu, 1) Filsafat
praktik pendidikan, dan 2) Filsafat ilmu pendidikan.
Filsafat praktik pendidikan adalah analisis kritis dan
komprehensif tentang bagaimana seharusnya
pendidikan diselenggarakan dan dilaksanakan dalam
kehidupan manusia.7 Jika dikaitkan antara sistem
pemikiran filsafat dengan pendidikan menurut
Muhaimin, maka dalam lapangan metafisika misalnya,
antara lain diperlukan adanya pendirian mengenai
pandangan dunia yang bagaimanakah yang diperlukan
dalam pelaksanaan. Dalam lapangan epistimologi,
antara lain diperlukan penyusunan dasardasar
kurikulum. Kurikulum yang biasa dikaitkan dengan
sebagai serangkaian kegiatan atau sarana untuk
mencapai tujuan pendidikan, diibaratkan sebagai jalan
raya yang perlu dilewati oleh peserta didik dalam usaha
mengenal dan memahami pengetahuan. Agar para
peserta didik berhasil dalam mencapai tujuan itu, maka
secara bertahap mereka berusaha mengenal hakekat
pengetahuan. Dalam lapangan aksiologi, yakni yang
mempelajari nilai-nilai, juga sangat dekat dengan
pendidikan, karena dunia nilai (etika dan estetika) juga
menjadi dasar pendidikan, yang selalu dipertimbangkan
dalam penentuan tujuan pendidikan. Disamping itu
pendidikan sebagai fenomena kehidupan sosial, kultural
dan keagamaan tidak dapat dilepas dari sistem nilai.
Dan dalam lapangan logika, sebagai cabang filsafat
yang meletakkan landasan ajaran berfikir yang benar
dan valid, sangat diperlukan dalam pendidikan
kecerdasan. Pelaksanaan pendidikan menghendaki
seseorang mampu mengutarakan pendapat dengan
benar dan valid sehingga diperlukan penguasaan logika.
8 Karena itu hubungan antara filsafat dan pendidikan
merupakan keharusan, terutama menjawab persoalan-
persoalan pendidikan pokok dan mendasar yang
dihadapi oleh pendidikan. Brubacher sebagaimana
dikutip oleh Ozmon & Craver menyarankan agar
persoalan-persoalan yang mendasar tentang pendidikan
dibahas dan dipecahkan menurut teori filsafat. 9
Sebagai implikasinya diperlukan bangunan filsafat
pendidikan yang kokoh dalam pelaksanaan sistem
pendidikan. Jika tidak demikian, dikhawatirkan akan
terjadi :
(1) pendidikan akan terapung-apung (tanpa tujuan)
(2) tujuan-tujuan pendidikan akan samar-samar
(meragukan), bertentangan, dantidak menunjang
kesetiaan
(3) ukuran-ukuran dasar pendidikan menjadi sangat
longgar,
(4) ketidak menentuan peranan pendidikan dalam suatu
masyarakat
(5) sekolah-sekolah akan memberikan banyak kebebasan
kepada siswa dan tidak mampu memupuk apresiasi
terhadap otoritas dan kontrol, dan
(6) sekolah akan menjadi sangat sekuler dan mengabaikan
agama.
 Ibarat sebuah bangunan rumah, maka bangunan filsafat
pendidikan Islam itu mencakup berbagai dimensi,
yaitu : Pertama, dimensi bahan-bahan dasar yang
menentukan kuat atau tidaknya suatu fondasi bangunan.
Dalam konteks filsafat pendidikan berarti sumber-
sumber atau semangat pemikiran dari para pemikir
pendidikan Islam itu sendiri. Kedua, dimensi fondasi
bangunan itu sendiri, yang berupa prinsip atau dasar
dan asas (kebenaran yang menjadi pokok dasar) berfikir
dalam menjawab persoalan-persoalan pokok pendidikan
yang termuat dalam sistem (komponen-komponen
pokok aktivitas) pendidikan Islam. Ketiga, adalah
dimensi tiang-tiang penyangga yang berupa struktur
ide-ide dasar serta pemikiran-pemikiran yang
fundanmental yang telah dirumuskan oleh pemikir
pendidikan Islam itu sendiri dalam mengembangkan,
mengarahkan dan memperkokoh bangunan sistem
pendidikan Islam
 Sistematika karya (pemikiran) filsafat pendidikan Islam
diawali dengan menampilkan: pertama, sumber-sumber
pemikiran pendidikan, yaitu al-Qur’an, al- Sunnah dan
sebagai sumber pendukungnya yang termasuk di
dalamnya metodologi pengembangannya yang
merupakan manivestasi dari semangat pemikirannya;
kedua, kajian tentang dimensi-dimensi substansial
prinsip atau dasar pemikiran terhadap persoalan-
persoalan komponen pokok aktivitas pendidikan Islam,
yang mencakup tinjauan filosofis tentang hakikat
manusia, alam semesta, masyarakat, ilmu pengetahuan,
nilai/akhlak, dan hakikat hidup/kehidupan.
 Berbagai tinjauan tersebut dilandasi oleh sumber-
sumber pemikiran atau metodologi pengembangannya,
sehingga meghasilkan konsep-konsep yang menjadi
landasan filosofis dalam mengkaji persoalan hakikat
komponen-komponen pokok kativitas pendidikan
Islam; dan ketiga, tujuan filosofis tentang komponen-
komponen pokok aktivitas pendidikan Islam, baik yang
berkaitan dengan hakikat tujuan pendidikan Islam,
kurikulum pendidikan Islam, pendidik dalam
pendidikan Islam, peserta didik dalam pendidika Islam,
hakikat metode dalam pendidikan Islam, dan hakikat
lingkungan dalam pendidikan Islam. Rumusan-rumusan
konseptual tentang masalah tersebut akan berkembang
menjadi teori-teori pendidikan Islam setelah adanya
pembuktian secara logis dan empiris.
 Pemikiran (filsafat) pendidikan Islam tidak bisa juga
dilepaskan dari alur pemikiran yang dikembangkan oleh
para pemikirnya. Selama ini pemikiran filsafat
pendidikan pada umumnya dikategorikan ke dalam dua
kelompok (aliran), yaitu : pertama, aliran filsafat kritis
dalam pendidikan atau masa pemikiran yang bersifat
maju atau progresif dalam pemikiran, dan yang kedua,
aliran atau mazhab pemikiran filsafat pendidikan yang
bersifat tradisional. Ukuran maju atau progresif dan
tradisional biasanyadilihat dari sejauh mana peranan
pendidikan dan anak didik keseluruhan upaya
pendidikan. Konsep pendidikan bersifat tradisional bila
menekankan peranan pendidik dan hal-hal di luar anak
didik. Dalam alam pendidikan tradisional anak didik
seolah-olah dijadikan obyek pasif yang perlu
disesuaikan terhadap hal-hal yang berada di luar
dirinya. Sebaliknya suatu konsep pendidikan bersifat
maju atau progresif apabila ia menempatkan anak didik
itu sendiri. Kedua konsep tersebut terus
mempertahankan diri dan berkembang dengan
keunggulan dan kelemahan masing-masing.

 Pemikiran pendidikan Islam juga dikelompokkan ke


dalam dua alur pemikiran dalam menjawab persoalan
pendidikan, sebagaimana temuan penelitian Abdullah
(1982), yaitu : pertama, kelompok yang berusaha
mengangkat konsep pendidikan Islam dari al- Qur’an
dan al-Hadits saja, sehingga konsep filsafatnya hanya
berasal dari kedua sumber ajaran Islam tersebut ; dan
kedua, kelompok yang menghendaki adanya
keterbukaan terhadap pandangan hidup non Islami dan
berusaha meminjam serta memasukkan konsep
pemikirannya ke dalam filsafat pendidikan Islam.
 Bertolak dari pandangan diatas, teori postmodern
menjadi salah satu landasan filosofis dalam
pengembangan ilmu pendidikan Islam, dengan
melakukan modifikasi konsep yang tidak begitu saja
mengadopsi pemikiran postmodernis, justru ia
melakukan kontekstualisasi dengan ajaran Islam. Oleh
karena itu perkembangan pemikiran dalam pendidikan
dapat dipetakan sehingga menjadi tipologi-tipologi
pemikiran. Di Amerika Serikat berkembang aliran-
aliran pemikiran (filsafat) pendidikan, yang dapat
dipetakan kedalam dua kelompok, yaitu tardisional dan
kontemporer. Sedangkan yang termasuk dalam
kelompok kontemporer adalah progresivism,
Rekonstructionism, dan Existentialism.
 Dalam lapangan pendidikan, masing-masing aliran
tersebut terwujud dalam kemungkinan-kemungkinan
sikap dan pendirian para pendidik, seperti
1. sikap konservatif, yakni mempertahankan nilai-nilai
budaya manusia, sebagai perwujudan dari essensialism
2. Sikap regresif, yakni kembali kepada jiwa manusia
yang menguasai abad pertengahan, yaitu agama,
sebagai perwujudan dari perenialism
3. sikap bebas dan modifikatif sebagai perwujudan dari
progressivism
4. sikap radikal rekonstruktif sebagai
perwujudanReconstrucionism; dan
5. sikap yang menekankan keterlibatan peserta didik dala
kehidupan empiris utuk mencari pilihan dan
menemukan jati dirinya.
 Oleh karena itu wilayah kajian pemikiran (filsafat)
pendidikan dapat lihat dari berbagai dimensi, Buchari
melihat dua dimensi, yaitu dimensi lingkungan
pendidikan dan dimensi jenis permasalahan
pendidikan.13 Dan dapat ditambahkan dengan dimensi
waktu, dan dimensi ruang geografis. Muhaimin
mencoba lebih mengembangkan kearah yang lebih
metodologis dan praktis, yang berangkat dari teori dan
pemetaan pemikiran dan juga menilai secara histories-
sosiologis pendidikan dengan di direduksi kepada
pengembangan yang lebih praktis sesuai dengan
pengembangan disekolah. Maka dalam penelitian akan
dicoba yang dimulai dari teori kemudian bagaimana
mengimplementasikannya dalam pengembangan
pendidikan Islam kedepan.
Kekuatan Penelitian - Menjelaskan bahwa Filsafat itu sebuah ilmu
pengetahuan yang mengandalkan penggunaan akal
(rasio) sebagai sumbernya.
- Meninjau langsung kelapangan
- Pemaparan peneliti sangat jelas.
Kelemahan penelitian - Tidak menjelaskan siapa nama orang yang diteliti
- Penulisannya tidak menggunakan kata baku
- Terdapat bahasa inggris, jadi pembaca kurang
mengetahui arti nya.
Kesimpulan  Dalam filsafat ilmu filsafat Islam dapat dikaji dalam
tiga aspek, yaitu aspek ontologis keilmuan biasanya
mempermasalahkan apa yang dikaji sebuah ilmu
pengetahuan. Aspek epistimologi mencoba menelaah
ilmu pengetahuan dari segi sumber dan metode ilmu
yang digunakan dalam rangka mencapai suatu
kebenaran ilmiah. Aspek aksiologis suatu ilmu
pengetahuan mempertanyakan untuk apa suatu ilmu
pengetahuan digunakan atau dengan kata lain, aksiologi
diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan
kegunaan suatu ilmu pengetahuan. Filsafat pendidikan
Islam adalah konsep berfikir tentang kependidikan yang
bersumber atau berlandaskan pada ajaran Islam tentang
kemampuan manusia untuk dapat dibina dan
dikembangkan serta dibimbing menjadi manusia
muslim yang seluruh pribadinya dijiwai oleh ajaran
Islam. Kajian filosofis yang digunakan filsafat
pendidikan Islam mengandung arti bahwa filsafat
pendidikan Islam itu merupakan pemikiran yang
mendalam, sistematik, radikal, dan universal dalam
rangka mencari kebenaran, inti hakikat pendidikan
Islam.
 Filsafat pendidikan Islam berdasarkan wahyu, tidak
semata berpijak humanistik, tidak mengenal kebenaran
terbatas, tapi universal. Berusaha mengembangkan
pandangan yang integral dan mengintergralkan
pandangan antara dunia dan akhirat sekaligus. Filsafat
pendidikan Islam mengembangkan semua aspek
kepribadian, mulai akal, intuisi, akal budi dan inderawi.
Ide-ide filsafat pendidikan Islam selain bersifat teoritik
juga realistic yang dapat diwujudkan dalam tingkah
laku, dan mudah transformasikan dalam kehidupan

REVIEW JURNAL PEMBANDING

Judul ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN DAN


IMPLEMENTASINYA DALAM PENGEMBANGAN
KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM
Jurnal Attarbiyah, Journal Of Islamic Culture And Education
Download http://attarbiyah.iainsalatiga.ac.id
Volume dan Halaman Vol. I, No. 2,
Tahun Desember 2016
Penulis Mukh Nursikin
Reviewer Defran Tri Cahyo
Tanggal 30 September 2019

Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memberikan arah yang


jelas dan tepat bagi masyarakat tentang kebijakan
pendidikan dan implementasinya dengan menggunakan
teori pendidikan, yang diinspirasi oleh filsafat
pendidikan, dengan pendekatan naturalistik
Subjek Penelitian Narasumber diambil secara snowball dan purposive
Assesment Data Data dikumpulkan melalui teknik observasi, indepth
interview, wawancara dan dokumentasi, kemudian
dideskripsikan, reduksi, seleksi, dan dianalisa
Metode penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini
adalah jenis penelitian kualitatif Pertimbangan pemilihan
jenis penelitian kualitatif berdasarkan pada karakteristik
penelitian kualitatif, yakni; 1) dilakukan pada kondisi
alamiah, langsung kepada sumber data peneliti sebagai
instrumen kunci; 2) penelitian kualitatif bersifat
deskriptif; 3) penelitian kualitatif lebih menekankan pada
proses di samping produk (out come); 4) penelitian
kualitatif melakukan analisa secara induktif dan; 5)
penelitian kualitatif lebih menekankan pada makna
Hasil Penelitian Pengertian Filsafat Pendidikan
 Filsafat merupakan studi tentang seluruh fenomena
kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan
dijabarkan dalam konsep yang mendasar. Istilah Filsafat
sendiri dapat ditinjau dari dua segi, yaitu segi sematik dan
segi praktis. Dalam segi sematik, filsafat berasal dari
bahasa Arab yaitu “Falsafah” dan berasal dari bahasa
Yunani yaitu “Philosophia”, philos (cinta, suka) dan shopia
(pengetahuan, hikmah). Sehingga arti philosophia
menjadi cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada
kebenaran. Sedangkan dari segi praktis, filsafat dapat
diartikan sebagai alam pikiran/berpikir. Berfilsafat berarti
berpikir, namun tidak setiap berpikir merupakan filsafat,
berfilsafat harus berpikir secara mendalam dan
bersungguh-sungguh terhadap obyek yang dipikirkan
(Liza, 2006: 102).
 Filsafat pendidikan merupakan aplikasi filsafat dalam
pendidikan (Kneller, 1971: 86). Pendidikan membutuhkan
filsafat karena masalah-masalah pendidikan tidak hanya
menyangkut pelaksanaan pendidikan yang dibatasi
pengalaman, tetapi masalah-masalah yang lebih luas,
lebih dalam, serta lebih kompleks, yang tidak dibatasi
pengalaman maupun fakta-fakta pendidikan, dan tidak
memungkinkan dapat dijangkau oleh sains pendidikan.

Aliran-aliran Filsafat Pendidikan dan


Implementasinya dalam Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Islam
1. Aliran Progresivisme
 Dalam pandangan Progresivisme, manusia harus selalu
maju (progress) bertindak konstruktif, inovatif,
reformatif, aktif dan dinamis. Sebab manusia mempunyai
naluri selalu menginginkan perubahan-perubahan.
Menurut Imam Barnadib, Progresivisme menghendaki
pendidikan yang progresif (maju), semua itu dilakukan
oleh pendidikan agar manusia dapat mengalami
kemajuan (Progress), sehingga orang akan bertindak
dengan intelegensinya sesuai dengan tuntutan dan
lingkungan
 Aliran Progresivisme didirikan pada tahun 1918, muncul
dan berkembang pada permulaan abad XX di Amerika
Serikat. Aliran Progresivisme lahir sebagai pembaharu
dalam dunia filsafat pendidikan terutama sebagai lawan
terhadap kebijakan-kebijakan konvensional yang diwarisi
dari abad XIX. Pencetus Aliran filsafat Progresivisme yang
populer adalah Jhon Dewey. Aliran filsafat Progresivisme
bermuara pada aliran filsafat pragmativisme yang
diperkenalkan oleh William James (1842-1910) dan Jhon
dewey (1859-1952) yang menitik beratkan pada manfaat
praktis. Dalam banyak hal, Progresivisme identik dengan
pragmativisme. Filsafat Progresivisme dipengaruhi oleh
ide-ide filsafat pragmativisme yang telah memberikan
konsep-konsep dasar dengan asas yang utama, bahwa
manusia bisa survive menghadapi semua tantangan
hidup, manusia harus pragmatis dalam memandang
kehidupan
 Pertumbuhan masyarakat maju melahirkan kelompok-
kelompok masyarakat yang mandiri. Hal ini didorong oleh
fitrah manusia yang membutuhkan pengakuan
(recognition) atas kehadirannya di tengah masyarakat.
Semakin besar kompleksitas masyarakat akibat
pembangunan, semakin kuat hasrat memperoleh
pengakuan terhadap kehadiran diri sebagai anggota
masyarakat. Apabila masyarakat diberi kebebasan
sepenuhnya untuk mengaktualisasikan dirinya dalam
mewujudkan aspirasinya secara mandiri, maka timbullah
kekuatan besar dalam masyarakat untuk membangun.
Karena itu, kebebasan masyarakat untuk
mengaktulisasikan diri dan mewujudkan aspirasinya
merupakan prasarat pokok bagi perkembangan
masyarakat maju atau modern
 Pendidikan merupakan proses budaya, karena itu ia
tumbuh dan berkembang dalam alur kebudayaan setiap
masyarakat dan sering bersumber pada agama dan tradisi
yang dianut oleh masyarakat sehingga kehadirannya
mempunyai akar yang kuat pada budaya masyarakat.
Pendidikan menjadi modal dasar untuk membina dan
mengembangkan karakter serta perilaku manusia di
dalam menata hidup dan kehidupannya (Depdikbud,
1989: 34). Dengan demikian Pendidikan merupakan
proses budaya, karena ia tumbuh dan berkembang dalam
alur kebudayaan setiap masyarakat dan sering bersumber
pada agama dan tradisi yang dianut oleh masyarakat
sehingga kehadirannya mempunyai akar yang kuat pada
budaya masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan
merupakan modal dasar untuk membina dan
mengembangkan karakter serta perilaku manusia di
dalam menata hidup dan kehidupannya
 Kecenderungan perkembangan lingkungan di masa
mendatang perlu dianalisis secara mantap, tepat dan
cepat, pengaruh lingkungan tersebut dapat menimbulkan
tantangan dan kendala, akan tetapi sekaligus dapat
dimanfaatkan juga sebagai peluang. Oleh karena
globalisasi sarat dengan perubahan yang cepat dan
radikal diberbagai aspek kehidupan manusia, maka untuk
menjaga dan memelihara human survival globalisasi perlu
dikendalikan dan dimanfaatkan, karena manusia sebagai
pencipta globalisasi yang harus dikendalikannya
 Bertolak dari pemikiran di atas, upaya untuk menciptakan
manusia yang bersumber daya unggul diperlukan
prasarat utama yaitu terciptanya kualitas sumber daya
manusia yang memiliki keseimbangan penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta taqwa kepada Allah
SWT
 Pendidikan Islam merupakan bagian integral dari
pendidikan nasional, hal tersebut dijelaskan dalam UU
tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 33 ayat 2
bahwa “kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib
memuat antara lain pendidikan agama”, termasuk salah
satunya pendidikan agama Islam. Pendidikan Islam
dilaksanakan untuk mengembangkan potensi keimanan
dan ketaqwaan kepada Allah SWT serta membentuk
akhlak yang mulia. Menurut Daradjat (1996: 14) bahwa
pendidikan Islam adalah usaha yang secara sadar
dilakukan guru untuk mempengaruhi siswa dalam rangka
pembentukan manusia beragama. Sedangkan lebih
khusus pengertian pendidikan agama Islam yang
diungkapkan oleh Puskur Balitbang Depdiknas (2001: 35)
upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta
didik untuk mengenal, memahami, menghayati hingga
mengimani, bertaqwa, dan berakhlak mulia dalam
mmenjalankan ajaran agama Islam dari sumber utamanya
kitab suci Al-Qur'an dan Hadits, melalui kegiatan
bimbingan, pengajaran dan latihan, serta penggunaan
pengalaman
 Dalam dunia pendidikan Progresivisme telah memberikan
sumbangan yang besar, aliran ini telah meletakkan dasar-
dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada peserta didik.
Peserta didik diberikan kebebasan baik secara fisik
maupun cara berpikir, untuk mengembangkan bakat dan
kemampuan yang terpendam dalam diri peserta didik
tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang
lain. Oleh karena itu Progresivisme tidak menyetujui
pendidikan yang bersifat otoriter.
 Aliran ini memandang bahwa peserta didik yang
berkaitan dengan akal dan kecerdasan, hal itu
ditunjukkan dengan fakta bahwa manusia mempunyai
kelebihan apabila dibandingkan dengan makhluk lain.
Manusia memiliki sifat dinamis dan kreatif didukung oleh
kecerdasannya sebagai bekal menghadapi dan
memecahkan masalah. Oleh karena itu, aliran
progresivisme ini menempatkan manusia sebagai
makhluk biologis yang utuh dan menghormati harkat dan
martabat manusia sebagai pelaku hidup
2. Aliran Konstruktivisme
 Konstruktivisme yang dikembangkan Jean Piaget dalam
bidang pendidikan dikenal dengan nama kontruktivisme
kognitif atau personal contructivisme. Jean Piaget
menyakini bahwa belajar akan lebih berhasil apabila
disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta
didik. Aliran konstruktivisme adalah satu aliran filsafat
yang menekankan bahwa pengetahuan adalah kontruksi
(bentukan). Pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari
kenyataan (realitas), pengetahuan merupakan akibat dari
suatu konstruksi kognitif melalui kegiatan seseorang.
Seseorang dapat membentuk skema, kategori, konsep
dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk
pengetahuan. Proses pembentukan ini berjalan terus
menerus dan setiap kali akan mengadakan reorganisasi
karena adanya suatu pemahaman yang baru
 Dalam pandangan konstruktivisme, belajar adalah
kegiatan aktif dimana peserta didik membangun sendiri
pengetahuannya. Peserta didik mencari sendiri makna
yang dipelajari. Hal ini merupakan proses menyesuaikan
konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berpikir yang
telah ada dalam pikiran siswa. Siswa harus punya
pengalaman dengan membuat hipotesis, memecahkan
persoalan, mencari jawaban, menggambarkan,
mengadakan refleksi, mengungkapkan pertanyaan,
mengekspresikan gagasan, dan lain-lain untuk
membentuk konstruktif yang baru. Belajar, menurut teori
belajar konstruktivistik bukanlah sekedar menghafal,
akan tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan melalui
pengalaman. Pengetahuan bukanlah hasil “pemberian”
dari orang lain seperti guru, akan tetapi hasil dari proses
mengkonstruksi yang dilakukan setiap individu.
Pengetahuan hasil dari “pemberian” tidak akan
bermakna. Adapun pengetahuan yang diperoleh melalui
proses mengkonstruksi pengetahuan itu oleh setiap
individu akan memberikan makna mendalam atau lebih
dikuasai dan lebih lama tersimpan/diingat dalam setiap
individu
 Prinsip-prinsip yang sering diadopsi dari konstruktivisme
antara lain: (1) pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri
secara aktif, (2) tekanan dalam proses belajar terletak
pada siswa, (3) mengajar adalah membantu siswa belajar,
(4) tekanan dalam proses belajar lebih pada proses bukan
pada hasil, (5) kurikulum menekankan partisipasi siswa,
dan (6) guru adalah fasilisator. Prinsip tersebut banyak
diambil untuk membuat perencanaan proses belajar
mengajar yang sesuai, pembaruan kurikulum,
perencanaan program persiapan guru, dan untuk
mengevaluasi praktek belajar mengajar
 Implikasi konstruktivisme terhadap pengembangan
kurikulum pendidikan Islam yang berkaitan dengan
pembealajaran, berdasarkan pemikiran konstruktivisme
personal dan sosial. Implikasi itu antara lain sebagai
berikut (1) Kaum konstruktivis personal berpendapat
bahwa pengetahuan diperoleh melalui konstruksi
individual dengan melakukan pemaknaan terhadap
realitas yang dihadapi dan bukan lewat akumulasi
informasi. Implikasinya dalam proses pembelajaran
adalah bahwa pendidik tidak dapat secara langsung
memberikan informasi, melainkan proses belajar hanya
akan terjadi bila peserta didik berhadapan langsung
dengan realitas atau objek tertentu. Pengetahuan
diperoleh oleh peserta didik atas dasar proses
transformasi struktur kognitif tersebut. Dengan demikian
tugas pendidik dalam proses pembelajaran adalah
menyediakan objek pengetahuan secara konkret,
mengajukan pertanyaan-pertanyaan sesuai dengan
pengalaman peserta didik atau memberikan pengalaman-
pengalaman hidup konkret (nilai-nilai, tingkah laku, sikap)
untuk dijadikan objek pemaknaan. (2) Kaum konstruktivis
berpendapat bahwa pengetahuan dibentuk dalam diri
individu atas dasar struktur kognitif
3. Aliran Humanistik
 Dalam konteks humanisme, pendidik harus mendorong
peserta didiknya untuk mencapai keberhasilan dan
prestasi yang tinggi, serta memberikan penghargaan atas
prestasi yang tinggi, memberikan penghargaan atas
prestasi yang mereka capai, betapapun kecilnya, baik
berupa ungkapan verbal maupun melalui ungkapan non-
verbal. Penghargaan yang tulus dari seorang guru akan
menumbuhkan perasaan sukses dalam diri peserta didik
serta dapat mengembangkan sikap dan motivasi tinggi
untuk berusaha mencapai kesuksesan. Kalau terdapat
peserta didik yang gagal tetap perlu diberi penghargaan
atas segala kemauan, semangat dan keberanian dalam
melakukan suatu aktivitas Guru harus menghindari
komentar-komentar yang bernada negatif dan
menampakkan sikap tidak puas terhadap peserta didik
yang gagal. Komentar-komentar negatif atau sikap tidak
puas akan membuat peserta didik kehilangan
kepercayaan diri, merasa tidak berharga dan putus asa
 Belajar bukanlah sekedar menstransfer pengetahuan,
seperti konsep pendidikan gaya bank dimana
pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang
dihibahkan oleh mereka yang menganggap diri
berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak
memiliki pengetahuan apa-apa. Ruang gerak yang
disediakan bagi murid hanya sebatas pada menerima,
mencatat, dan menyimpan. Menurut Paulo Freire,
menganggap bodoh secara mutlak orang lain, sebuah ciri
dari ideologi penindasan, berarti mengingkari pendidikan
dan pengetahuan sebagai pencarian. Belajar adalah suatu
kegiatan yang dilakukan oleh siswa, bukan sesuatu yang
dilakukan terhadap siswa. Pengetahuan ditemukan,
dibentuk, dan dikembangkan oleh siswa. Guru berperan
sebagai fasilisator yang menciptakan kondisi dan situasi
yang memungkinkan siswa membentuk makna dari
bahan-bahan pelajaran melalui suatu proses belajar.
Belajar akan efektif bila siswa diberi peluang untuk
mendiskusikan informasi yang diterima, mengajukan
pertanyaan, mempraktikkan dan mengajarkannya kepada
siswa lain. Siswa berperan sebagai pelaku utama (student
center) yang memaknai proses pengalaman belajarnya
sendiri
Kekuatan Penelitian - Jurnal ini memiliki banyak pendapat para ahli
- Pemaparan penelitian sangat jelas
- Menggunakan bahasa yang singkat, padat dan jelas
Kelemahan penelitian - Penelitian ini tidak menyebutkan secara detail objek
yang dituju
- Penelitian ini lebih banyak membahas tentang islam,
jadi jikalau pembacanya non muslim pastinya penelitian
ini tidak menarik peminat nonmuslim.
Kesimpulan Seorang pendidik harus menguasai kurikulum dan
konsep-konsep yang akan dikaji serta pedagogik atau
ilmu dan seni mengajar materi subyek terkait, agar tidak
terjadi salah konsep atau miskonsepsi pada diri peserta
didik. Aliran-aliran filsafat pendidikan memberikan
kontribusi yang komprehensif dalam pengembangan
kurikulum pendidikan Islam.
Aliran filsafat pendidikan dalam model pengembangan
kurikulum pendidikan Islam aliran progresivisme ini
menghendaki lembaga pendidikan memiliki model
pengembangan kurikulum pendidikan islam yang bersifat
fleksibel, dinamis, tidak kaku, tidak terkait dengan
doktrin-doktrin tertentu, bersifat terbuka, memilki
relevansi dengan prinsip-prinsip pengembangan
kurikulum pendidikan Islam. Aliran filasafat
konstruktivisme; guru tidak lagi menduduki tempat
sebagai pemberi ilmu. Tidak lagi sebagai satu-satunya
sumber belajar. Namun guru lebih diposisikan sebagai
fasiltator yang memfasilitasi siswa untuk dapat belajar
dan mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Aliran ini
lebih menekankan bagaimana siswa belajar bukan
bagaimana guru mengajar.
Kaum konstruktivis berpendapat bahwa pengetahuan
dibentuk dalam diri individu atas dasar struktur kognitif
yang telah dimilikinya, hal ini berimplikasi pada proses
belajar yang menekankan aktivitas personal peserta didik.
Agar proses belajar dapat berjalan lancar maka pendidik
dituntut untuk mengenali secara cermat tingkat
perkembangan kognitif peserta didik. Atas dasar
pemahamannya pendidik merancang pengalaman belajar
yang dapat merangsang struktur kognitif anak untuk
berpikir, berinteraksi membentuk pengetahuan yang baru.
Pengalaman yang disajikan tidak boleh terlalu jauh dari
pengetahuan peserta didik tetapi juga jangan sama seperti
yang telah dimilikinya. Pengalaman sedapat mungkin
berada di ambang batas antara pengetahuan yang sudah
diketahui dan pengetahuan yang belum diketahui sebagai
zone of proximal development of knowledge. Bagi aliran
konstruktivisme, guru tidak lagi menduduki tempat
sebagai pemberi ilmu. Tidak lagi sebagai satu-satunya
sumber belajar. Namun guru lebih diposisikan sebagai
fasiltator yang memfasilitasi siswa untuk dapat belajar
dan mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Aliran ini
lebih menekankan bagaimana siswa belajar bukan
bagaimana guru mengajar.
Aliran filsafat Humanisme memandang manusia, yang
dalam hal ini peserta didik sebagai mahluk yang memiliki
potensi dan memiliki kebebasan untuk
mengaktualisasikan potensi tersebut. Manusia pada
hakikatnya tidak lepas dari pendidikan. Manusia akan
senantiasa berhubungan dengan pendidikan, baik
langsung maupun tidak langsung. Jika ditinjau dari sisi
pedagogis, manusia merupakan mahluk pembelajar, dan
pada hakikatnya manusia juga mahluk yang dapat
mendidik dan dididik. Atas dasar potensi pedagogis yang
dimiliki oleh manusia inilah pendidikan selayaknya
diarahkan pada proses pemanusiaan manusia, agar
pendidikan dilakukan dengan bermakna. Kurikulum dan
guru merupakan faktor penting yang besar pengaruhnya
terhadap proses belajar mengaja dan hasil belajar, bahkan
sangat menentukan berhasil tidaknya peserta didik dalam
belajar. Dalam kurikulum Pendekatan berpusat pada
peserta didik (humanistic), memandang pengajaran lebih
holistik dimana belajar difokuskan dengan arah yang jelas
untuk membantu mengembangkan potensi peserta didik
secara utuh dan optimal.

LAMPIRAN JURNAL UTAMA :

Juni 2009

Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Epistimologi Ilmu

Mustafa

Absrak

Philosophy and education are, them, but two stages of the some endeavor;

philosophy to think out better values and idealism, education to realize these in

life, in human personality. Philosophizing and education are, ten, but two stages

of the some endeavor; The Islamic theory of education is fundamentally based


come from different fiels of knowledge propided

perspective. All elements which be reconciled witch Islamic principles should be

excluded..Philosophizing to think out better values and idealism, education to

realize these in life, in human personality. The ultimate aim of muslim education

lies in the realization of complete submission to Allah on the level of the

individual, the community and humanity at large. In Islamic educational field,

howewer, there are some prominent figurest who .have highly proposed

educational theories in Islam. Baced on this fact, Islamic educational has two

sourcesr for their educational process, and therefore, Islamic education must

combined in balance they fungtion of school with the rule of society.

Kata Kunci: Filsafat-Pendidikan Islam dan Epistimologi ilmu

Pendahuluan

Filsafat pendidikan Islam keberadaannya masih diperdebatkan dalam wilayah

studi Islam. Karena itu, wacana-wacana baru selalu dimunculkan agar bisa

merekonstruksi struktur fudamental keilmuannya, baik dari segi ontologi, epistimologi

ataupun aksiologi. Redekonstruksi di pandang perlu karena filsafat pendidikan masih

mengandung banyak wajah, antara menginduk kepada ilmu fiulsafat, kepada ilmu

pendidikan, atau kepada ilmu filsafat pendidikan. Oleh karena itu kajian ini mencoba

mengungkap secara epistimologi ilmu.

Di dalam filsafat ilmu, dibahas tiang-tiang penyangga eksistensi sebuah ilmu,

yang merupakan cabang-cabang agama filsafat ilmu. Tiang penyangga ilmu terdiri dari

tiga aspek, yaitu ontologi, epistimologi dan aksiologi. 1 aspek ontologis keilmuan

biasanya mempermasalahkan apa yang dikaji sebuah ilmu pengetahuan. Aspek

epistimologi mencoba menelaah ilmu pengetahuan dari segi sumber dan metode ilmu

yang digunakan dalam rangka mencapai suatu kebenaran ilmiah. Aspek aksiologis suatu

ilmu pengetahuan mempertanyakan untuk apa suatu ilmu pengetahuan digunakan atau

dengan kata lain, aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan
suatu ilmu pengetahuan.2

1 Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu: Telaah Sistematis Fungsional Komparatif (Cet. I;


Jogjakarta:

Rakesarasin, 1998), h. 49.

2 Ibid., h. 234

Mustafa - Filsafat Pendidikan Islam Telaah Epistimologi Ilmu

82

Pengetahuan ilmiah akan dapat menghasilkan kebenaran ilmiah, yaitu sebuah

kebenaran yang diperoleh dengan sarana dan tata cara tertentu yang hasilnya dapat dikaji

ulang oleh siapapun dan kapanpun dengan kesimpulan yang sama.3 Karena kebenaran

ilmiah yang dihasilkan, maka ia disebut a bigher level of knowledge. Pengetahuan ilmiah

ini secara terus menerus dikembangkan dan dikaji manusia secara mendalam, sehingga

melahirkan apa yang disebut filsafat ilmu (philosophy of science, wissenscatlehre atau

wetenschapsleer). Dengan demikian, filsafat ilmu merupakan pengembangan secara

mendalam dan filosofis dari apa yang disebut filsafat pengetahuan.

Berdasarkan uraian-uraian pengantar diatas, bab ini akan membahas secara

filosofis apa yang akan menjadi landasan keilmuan filsafat pendidikan islam. Untuk itu,

yang menjadi fokus permasalahan adalah apa landasan ontologis, epistimologis, dan

aksiologis filsafat pendidikan islam?

Filsafat Pendidikan Islam Dalam Timbangan Epistimologi Ilmu

Filsafat, falsafah atau philosophia secara harfiah berarti cinta kepada

kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran. Maksudnya, setiap orang yang berfilsafat

akan menjadi bijaksana. Orang yang cinta kepada pengetahuan disebut philosopher, yang

dalam bahasa Arab disebut failasuf. Pencinta kepada pengetahuan adalah orang yang

menjadikan pengetahuan sebagai tujuan hidupnya. Dengan kata lain, ia mengabdikan diri

. Berfilsafat artinya berfikir. Namun tidak semua berfikir berarti

berfilsafat. Berfilsafat adalah berpikir secara mendalam (radikal)dan sungguh-sungguh.


Semboyan ini benar adanya, sebab semua manusia berpikir akan tetapi, secara filosofis,

semboyan itu tidak benar, sebab tidak semua manusia yang berpikir adalah filosof.

Filosof hanyalah orang yang memikirkan hakikat segala sesuatu dengan sungguhsungguh

dan mendalam. Filsafat adalah hasil akal budi manusia yang mencari dan

memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Dengan kata lain, filsafat adalah

ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu.

Dari pengertian ini, ada lima unsur yang mendasari sebuah pemikiran filsafat,

yaitu:

a. Filsafat itu sebuah ilmu pengetahuan yang mengandalkan penggunaan akal (rasio)

sebagai sumbernya. Akal digunakan sebagai sumber filsafat.

b. Tujuan filsafat adalah mencari kebenaran atau hakekat segala sesuatu yang ada.

c. Objek material filsafat adalah segala sesuatu yang ada. Segala sesuatu yang ada

adalah dunia empiris, dan ada yang tidak tampak adalah alam metafisika.. Adapun

objek formal filsafat adalah sudut pandang yang menyeluruh, radikal dan objektif

tentang yang ada, untuk dapat diketahui hakekatnya.4

d. Metode yang digunakan dalam berpikir filsafat adalah mendalam, sistematik,

radikal dan universal.

3 Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian (Cet. V; Jakarta : Rajawali Pers, 1989), h. 3-6.

4 Lasiyo dan Yuwono, Pengantar Ilmu Filsafat (Yogyakarta: Liberty, 1985), h. 6.

Mustafa - Filsafat Pendidikan Islam Telaah Epistimologi Ilmu

84

diperlukan penguasaan logika. 8 Karena itu hubungan antara filsafat dan pendidikan

merupakan keharusan, terutama menjawab persoalan-persoalan pendidikan pokok dan

mendasar yang dihadapi oleh pendidikan. Brubacher sebagaimana dikutip oleh Ozmon &

Craver menyarankan agar persoalan-persoalan yang mendasar tentang pendidikan

dibahas dan dipecahkan menurut teori filsafat. 9 Sebagai implikasinya diperlukan


bangunan filsafat pendidikan yang kokoh dalam pelaksanaan sistem pendidikan. Jika

tidak demikian, dikhawatirkan akan terjadi : (1) pendidikan akan terapung-apung (tanpa

tujuan), (2) tujuan-tujuan pendidikan akan samar-samar (meragukan), bertentangan, dan

tidak menunjang kesetiaan, (3) ukuran-ukuran dasar pendidikan menjadi sangat longgar,

(4) ketidak menentuan peranan pendidikan dalam suatu masyarakat, (5) sekolah-sekolah

akan memberikan banyak kebebasan kepada siswa dan tidak mampu memupuk apresiasi

terhadap otoritas dan kontrol, dan (6) sekolah akan menjadi sangat sekuler dan

mengabaikan agama.

Ibarat sebuah bangunan rumah, maka bangunan filsafat pendidikan Islam itu

mencakup berbagai dimensi, yaitu : Pertama, dimensi bahan-bahan dasar yang

menentukan kuat atau tidaknya suatu fondasi bangunan. Dalam konteks filsafat

pendidikan berarti sumber-sumber atau semangat pemikiran dari para pemikir pendidikan

Islam itu sendiri. Kedua, dimensi fondasi bangunan itu sendiri, yang berupa prinsip atau

dasar dan asas (kebenaran yang menjadi pokok dasar) berfikir dalam menjawab

persoalan-persoalan pokok pendidikan yang termuat dalam sistem (komponen-komponen

pokok aktivitas) pendidikan Islam. Ketiga, adalah dimensi tiang-tiang penyangga yang

berupa struktur ide-ide dasar serta pemikiran-pemikiran yang fundanmental yang telah

dirumuskan oleh pemikir pendidikan Islam itu sendiri dalam mengembangkan,

mengarahkan dan memperkokoh bangunan sistem pendidikan Islam.10

Sistematika karya (pemikiran) filsafat pendidikan Islam diawali dengan

menampilkan: pertama, sumber-sumber pemikiran pendidikan, yaitu al-􀀴􀁘􀁕􀂶an, al-

Sunnah dan sebagai sumber pendukungnya yang termasuk di dalamnya metodologi

pengembangannya yang merupakan manivestasi dari semangat pemikirannya; kedua,

kajian tentang dimensi-dimensi substansial prinsip atau dasar pemikiran terhadap

persoalan-persoalan komponen pokok aktivitas pendidikan Islam, yang mencakup

tinjauan filosofis tentang hakikat manusia, alam semesta, masyarakat, ilmu pengetahuan,

nilai/akhlak, dan hakikat hidup/kehidupan.


Berbagai tinjauan tersebut dilandasi oleh sumber-sumber pemikiran atau

metodologi pengembangannya, sehingga meghasilkan konsep-konsep yang menjadi

landasan filosofis dalam mengkaji persoalan hakikat komponen-komponen pokok

kativitas pendidikan Islam; dan ketiga, tujuan filosofis tentang komponen-komponen

pokok aktivitas pendidikan Islam, baik yang berkaitan dengan hakikat tujuan pendidikan

Islam, kurikulum pendidikan Islam, pendidik dalam pendidikan Islam, peserta didik

dalam pendidika Islam, hakikat metode dalam pendidikan Islam, dan hakikat lingkungan

dalam pendidikan Islam. Rumusan-rumusan konseptual tentang masalah tersebut akan

berkembang menjadi teori-teori pendidikan Islam setelah adanya pembuktian secara logis

dan empiris.

8 Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam (Surabaya: Pusat Studi Agama,


Politik

dan Masyarakat, 2003), h. 31.

9Ibid.

10 Muhaimin, Ibid., h. 32.

Pemikiran (filsafat) pendidikan Islam tidak bisa juga dilepaskan dari alur

pemikiran yang dikembangkan oleh para pemikirnya. Selama ini pemikiran filsafat

pendidikan pada umumnya dikategorikan ke dalam dua kelompok (aliran), yaitu :

pertama, aliran filsafat kritis dalam pendidikan atau masa pemikiran yang bersifat maju

atau progresif dalam pemikiran, dan yang kedua, aliran atau mazhab pemikiran filsafat

pendidikan yang bersifat tradisional. 11 Ukuran maju atau progresif dan tradisional

biasanyadilihat dari sejauh mana peranan pendidikan dan anak didik keseluruhan upaya

pendidikan. Konsep pendidikan bersifat tradisional bila menekankan peranan pendidik

dan hal-hal di luar anak didik. Dalam alam pendidikan tradisional anak didik seolah-olah

dijadikan obyek pasif yang perlu disesuaikan terhadap hal-hal yang berada di luar

dirinya. Sebaliknya suatu konsep pendidikan bersifat maju atau progresif apabila ia

menempatkan anak didik itu sendiri. Kedua konsep tersebut terus mempertahankan diri
dan berkembang dengan keunggulan dan kelemahan masing-masing.

Pemikiran pendidikan Islam juga dikelompokkan ke dalam dua alur pemikiran

dalam menjawab persoalan pendidikan, sebagaimana temuan penelitian Abdullah (1982),

yaitu : pertama, kelompok yang berusaha mengangkat konsep pendidikan Islam dari al-

-Hadits saja, sehingga konsep filsafatnya hanya berasal dari kedua sumber

ajaran Islam tersebut ; dan kedua, kelompok yang menghendaki adanya keterbukaan

terhadap pandangan hidup non Islami dan berusaha meminjam serta memasukkan konsep

pemikirannya ke dalam filsafat pendidikan Islam.12

Bertolak dari pandangan diatas, teori postmodern menjadi salah satu landasan

filosofis dalam pengembangan ilmu pendidikan Islam, dengan melakukan modifikasi

konsep yang tidak begitu saja mengadopsi pemikiran postmodernis, justru ia melakukan

kontekstualisasi dengan ajaran Islam. Oleh karena itu perkembangan pemikiran dalam

pendidikan dapat dipetakan sehingga menjadi tipologi-tipologi pemikiran. Di Amerika

Serikat berkembang aliran-aliran pemikiran (filsafat) pendidikan, yang dapat dipetakan

kedalam dua kelompok, yaitu tardisional dan kontemporer. Sedangkan yang termasuk

dalam kelompok kontemporer adalah progresivism, Rekonstructionism, dan

Existentialism.

Dalam lapangan pendidikan, masing-masing aliran tersebut terwujud dalam

kemungkinan-kemungkinan sikap dan pendirian para pendidik, seperti (1) sikap

konservatif, yakni mempertahankan nilai-nilai budaya manusia, sebagai perwujudan dari

essensialism; (2) Sikap regresif, yakni kembali kepada jiwa manusia yang menguasai

abad pertengahan, yaitu agama, sebagai perwujudan dari perenialism; (3) sikap bebas dan

modifikatif sebagai perwujudan dari progresivism; (4) sikap radikal rekonstruktif sebagai

perwujudanReconstrucionism; dan (5) sikap yang menekankan keterlibatan peserta didik

dala kehidupan empiris utuk mencari pilihan dan menemukan jati dirinya, atau menurut

Brubacher (1982): commitments. What

he chooses, that he becomes adalah perwujudan dari exsistentialism.


Oleh karena itu wilayah kajian pemikiran (filsafat) pendidikan dapat lihat dari

berbagai dimensi, Buchari melihat dua dimensi, yaitu dimensi lingkungan pendidikan,

11 Ibid, h. 4.

12 Abdurrahman Saleh Abdullah, Education Theory A Quranic Out-look, (Makalah al-

Mukarramah: Umm al-Qura University, 1982), h. 35-36.

LAMPIRAN JURNAL PEMBANDING :

Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan Dan Implementasinya… (Mukh Nursikin)


ATTARBIYAH, VOL. I NO 2, DESEMBER 2016, pp.303-334 303

Attarbiyah, Journal of Islamic Culture and Education

Vol. I, No. 2, Desember 2016, pp.303-334, DOI: 10.18326/attarbiyah.v1i2.303-334

ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN DAN IMPLEMENTASINYA DALAM


PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM

Mukh Nursikin

Pascasarjana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta

ayahnursikin@gmail.com

DOI: 10.18326/attarbiyah.v1i2.303-334

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan arah yang jelas dan tepat bagi masyarakat
tentang kebijakan pendidikan dan implementasinya dengan menggunakan teori pendidikan,
yang diinspirasi oleh filsafat pendidikan, dengan pendekatan naturalistik. Narasumber
diambil secara snowball dan purposive. Data dikumpulkan melalui teknik observasi,
indepth interview, wawancara dan dokumentasi, kemudian dideskripsikan, reduksi, seleksi,
dan dianalisa. Dalam proses pendidikan, aliran filsafat progresivisme konstruktivisme dan
humanisme menghendaki agar peserta didik dapat menggunakan kemampuannya secara
konstruktif dan komprehensif dalam mengembangkan pengetahuan dan potensi yang
dimilikinya, tanpa menunggu arahan dan petunjuk dari guru atau siswa lainnya. Dalam
pengembangan kurikulum pendidikan; 1) filsafat progresivisme menghendaki kurikulum
yang bersifat luwes dan terbuka, dapat dirubah dan dibentuk, sesuai dengan perkembangan
zaman dan Iptek; 2) filasafat konstruktifisme menghendaki praktik pembelajaran yang
konstruktif, berpusat pada peserta didik, mementingkan kecakapan hidup, membentuk
kemampuan riil yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, dan perilaku hidup secara nyata,
melalui berbagai penilaian yang otentik dengan memanfaatkan proses dan hasil; 3) filsafat
humanisme, menghendaki pelayanan peserta didik untuk menemukan makna dalam belajar
sesuai tingkat pertumbuhan dan perkembangannya, dengan mengakomodasi kebutuhan
pengembangan kemampuan, minat, bakat dan kebutuhan khusus peserta didik, serta
mendorong untuk berprestasi dan mencapai keberhasilan, dengan memberikan
penghargaan atas capaian prestasi tersebut, baik berupa ungkapan verbal maupun non-
verbal.

The purpose of this research is to provide clear and appropriate directions for public about
education policies and its implementation by using educational theory inspired by the role
of educational philosophy. This research used naturalistic approach. Informants are
determined with snowball and purposive technique. Data were collected through
observation, indepth interview, interviews and documentation, then described, reduction,
selection and analyzed. In educational process progressivism, contructivsm and humanism
philosophy wanted tha the students were able to use their abilities constructively and
comprehensive in developing their own knowledge and potensial without guidance from
the teacher or other students. In curriculum development of education, progressivism
requires flexible and open curriculum can be changed and formed in accordance with the
changing time and the development of science and technology. Curriculum development in
contructivism phylosophy oriented in competence that aplicated contructivic lesson,
students center, life skill, real ability, that can be seen through cognitive, psicomotor and
affective in real life by using various outhentic assesments in process and result. In
humanism, curriculum development stressed in students service for discovering the
understanding of learning due to their growth and developing with their ability, talent and
the special need of the students, encourage them improve their achievement by giving
reward for their achievement in verbal or non-verbal expression.

Pendahuluan

Pendidikan Islam memiliki peran yang sangat penting dalam keseluruhan hidup manusia.
Pendidikan berintikan interaksi antar manusia, terutama antara pendidik dan terdidik demi
mencapai tujuan pendidikan Nasional. Dalam interaksi tersebut terlibat isi yang
diinteraksikan serta proses bagaimana interaksi tersebut berlangsung. Apakah yang
menjadi tujuan pendidikan, siapakah pendidik dan peserta didik, apa isi pendidikan dan
bagaimana proses interaksi pendidikan tersebut, merupakan pertanyaan-pertanyaan yang
membutuhkan jawaban yang mendasar, yang esensial, yakni jawaban-jawaban filosofis.

Walaupun dewasa ini pendidikan Islam sering mendapatkan kritikan dari berbagai pihak.
Diantara kritikan tersebut adalah bahwa pendidikan Islam di Indonesia belum menemukan
sebuah paradigma dan cetak biru (blue print) yang sustainable, baik dalam tataran teoritis-
filosofis maupun operasionalnya, sehingga terkesan pendidikan hanya sebagai ajang
percobaan (trial and error). Oleh karenya wajar jika muncul sebuah pendapat yang
mengatakan bahwa sesungguhnya pendidikan Islam di Indonesia tidak mewujud secara
faktual. Pendapat seperti itu kiranya cukup beralasan karena penampilan pendidikan itu
sendiri yang masih abstrak belum menyentuh realitas budaya masyarakat Indonesia.

Dalam beberapa dekade terakhir ini muncul kesadaran baru dalam dunia pemikiran
Pendidikan Islam, untuk melakukan rekonstruksi paradigma ilmu dan pendidikan Islam,
yang terilhami dari konsep Islamisasi ilmu pengetahuan yang dicanangkan al Faruqi dan
al-Attas Faruqi, 2002: 60). Pendidikan Islam yang dikembangkan selama ini, juga dinilai
dari beberapa pihak bahwa dalam realitasnya terlihat sangat jauh dari idealisme yang
diharapkan, karena sedemikian banyak persoalan yang menderanya sehingga
memunculkan beragam krisis.

Krisis tersebut dalam pandangan Fazlurrahman sebagai akibat surutnya intelektual Islam
sebagai akibat kemandulan pendidikan Islam. Kerapuan ini mencuat keluar sebagai protes
atas kegagalannya selama ini dan kerapuan dimaksud dalam protes atas kegagalan
dilukiskan dalam bentuk dualisme dikhotamik yaitu apa yang dikategorikan ilmu-ilmu
agama dan ilmu-ilmu umum atau sekuler, yang mana ilmu umum tersebut paling tinggi
berada pada posisi fardhu kifayah, dalam realitasnya kemudian, ilmu-ilmu umum itu
merupakan prasyarat yang harus diselidiki

Pendidikan seringkali dilihat sebagai sesuatu yang pragmatis, bukan sebagai sesuatu yang
hidup. Akibatnya, praktik pendidikan khususnya di lingkungan formal seperti sekolah
berjalan tidak memperhatikan potensi dan sisi kemanusiaan dari peserta didiknya. Contoh,
tidak boleh masuk sekolah karena tidak membayar SPP, tidak memakai pakaian seragam,
dimarahi dan dihukum karena terlambat atau membolos, tidak mengerjakan pekerjaan
rumah, diskors atau bahkan dikeluarkan dari sekolah. Praktik pengajaran seperti ini jika
dilihat dalam perspektif humanisme sangat bertentangan dengan hak-hak sebagai manusia.
Dan secara tidak langsung, telah memasung potensi dan kreativitas anak untuk
berkembang. Tentu praktik pendidikan seperti ini tidak sejalan dengan tujuan pendidikan
itu sendiri. Dalam proses pendidikan aliran-aliran filsafat yaitu progresivisme
konstruktivisme, dan humanisme menghendaki agar peserta didik dapat menggunakan
kemampuannya secara konstruktif dan komprehensif untuk menyesuaikan diri dengan
tuntutan perkembangan ilmu dan teknologi. peserta didik harus aktif mengembangkan
pengetahuan, bukan hanya menunggu arahan dan petunjuk dari guru atau sesama siswa.
Kreativitas dan keaktifan peserta didik membantu untuk berdiri sendiri dalam kehidupan,
aliran-aliran filsafat ini mengutamakan peran peserta didik dalam berinisiatif dan juga
mengembangkan potensinya.

Sedangkan penerapan dalam proses belajar mengajar yang berakiatan dengan kurikulum
pendidikan aliran-aliran filsafat konstruktivisme, progresivisme dan humanisme
memberikan keleluasaan pada siswa untuk aktif membangun kebermaknaan sesuai dengan
pemahaman yang telah mereka miliki, memerlukan serangkaian kesadaran akan makna
bahwa pengetahuan tidak bersifat obyektif atau stabil, tetapi bersifat temporer atau selalu
berkembang tergantung pada persepsi subyektif individu dan individu yang
berpengetahuan menginterpretasikan serta mengkonstruksi suatu realisasi berdasarkan
pengalaman dan interaksinya dengan lingkungan. Pengetahuan berguna jika mampu
memecahkan persoalan yang ada.

Berdasarkan uraian di atas, penulis merumuskan masalah mengenai apa yang dimaksud
dengan aliran-aliran filsafat yaitu progresivisme, konstruktivisme, dan humanisme, dan
bagaimana implikasinya dalam model pengembangan kurikulum pendidikan Islam. Hal
tersebut sangat perlu dibahas bertujuan agar kita mengetahui apa yang dimaksud dengan
aliran-aliran filsafat konstruktivisme, progresivisme dan humanisme dan bagaimana
bagaimana implikasinya dalam model pengembangan kurikulum pendidikan Islam.
Dengan pemahaman yang cukup mengenai hal tersebut di atas, maka setiap individu akan
mendapatkan hasil pembelajaran yang komprehensif dan optimal.

Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah jenis penelitian kualitatif.
Pertimbangan pemilihan jenis penelitian kualitatif berdasarkan pada karakteristik
penelitian kualitatif, yakni; 1) dilakukan pada kondisi alamiah, langsung kepada sumber
data peneliti sebagai instrumen kunci; 2) penelitian kualitatif bersifat deskriptif; 3)
penelitian kualitatif lebih menekankan pada proses di samping produk (out come); 4)
penelitian kualitatif melakukan analisa secara induktif dan; 5) penelitian kualitatif lebih
menekankan pada makna.

Menggunakan pendekatan naturalistik. Narasumber adalah orang-orang kunci yang


ditentukan secara snowball dan purposive. Data dikumpulkan melalui teknik observasi,
indepth interview, wawancara/dialog dan dokumentasi. Data yang telah terkumpul
kemudian diikuti tahapan deskripsi, reduksi, seleksi, pembahasan, analisis dan kesimpulan.
Uji kredibilitas data dilakukan melalui perpanjangan keikutsertaan, ketekunan pengamatan,
trianggulasi, kecukupan referensi, Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode
analisis deskriptif kualitatif (Sugiyono 12). Proses pengumpulan data, reduksi data dan
penampilan data menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan tahapan akhir ini yaitu
penyimpulan. Hubungan dari tahapan-tahapan tersebut bersifat interaktif yang dapat
digambarkan pada Gambar 1.
Penyajian Data

Dengan demikian, lanjutan dari ketiga proses di atas adalah penyimpulan atas penyajian
data yang telah menampilkan data-data terseleksi. Proses ini merupakan jawaban atas
persoalan yang dituangkan dalam permasalahan penelitian. Dalam proses ini pula
diharapkan menjadi temuan yang dapat mengambarkan tentang Aliran Filsafat Pendidikan
Dan Implementasinya Dalam pengembangan kurikulum Pendidikan Islam.

Pembahasan

Pengertian Filsafat Pendidikan

Filsafat merupakan studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia
secara kritis dan dijabarkan dalam konsep yang mendasar. Istilah Filsafat sendiri dapat
ditinjau dari dua segi, yaitu segi sematik dan segi praktis. Dalam segi sematik, filsafat
berasal dari bahasa Arab yaitu “Falsafah” dan berasal dari bahasa Yunani yaitu
“Philosophia”, philos (cinta, suka) dan shopia (pengetahuan, hikmah). Sehingga arti
philosophia menjadi cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran. Sedangkan
dari segi praktis, filsafat dapat diartikan sebagai alam pikiran/berpikir. Berfilsafat berarti
berpikir, namun tidak setiap berpikir merupakan filsafat, berfilsafat harus berpikir secara
mendalam dan bersungguh-sungguh terhadap obyek yang dipikirkan (Liza, 2006: 102).

Filsafat pendidikan merupakan aplikasi filsafat dalam pendidikan (Kneller, 1971: 86).
Pendidikan membutuhkan filsafat karena masalah-masalah pendidikan tidak hanya
menyangkut pelaksanaan pendidikan yang dibatasi pengalaman, tetapi masalah-masalah
yang lebih luas, lebih dalam, serta lebih kompleks, yang tidak dibatasi pengalaman
maupun fakta-fakta pendidikan, dan tidak memungkinkan dapat dijangkau oleh sains
pendidikan.

Aliran-aliran Filsafat Pendidikan dan Implementasinya dalam Pengembangan Kurikulum


Pendidikan Islam

Aliran Progresivisme

Dalam pandangan Progresivisme, manusia harus selalu maju (progress) bertindak


konstruktif, inovatif, reformatif, aktif dan dinamis. Sebab manusia mempunyai naluri
selalu menginginkan perubahan-perubahan. Menurut Imam Barnadib, Progresivisme
menghendaki pendidikan yang progresif (maju), semua itu dilakukan oleh pendidikan agar
manusia dapat mengalami kemajuan (Progress), sehingga orang akan bertindak dengan
intelegensinya sesuai dengan tuntutan dan lingkungan (Barnadib, 2000: 75).

Aliran Progresivisme didirikan pada tahun 1918, muncul dan berkembang pada permulaan
abad XX di Amerika Serikat. Aliran Progresivisme lahir sebagai pembaharu dalam dunia
filsafat pendidikan terutama sebagai lawan terhadap kebijakan-kebijakan konvensional
yang diwarisi dari abad XIX. Pencetus Aliran filsafat Progresivisme yang populer adalah
Jhon Dewey. Aliran filsafat Progresivisme bermuara pada aliran filsafat pragmativisme
yang diperkenalkan oleh William James (1842-1910) dan Jhon dewey (1859-1952) yang
menitik beratkan pada manfaat praktis. Dalam banyak hal, Progresivisme identik dengan
pragmativisme. Filsafat Progresivisme dipengaruhi oleh ide-ide filsafat pragmativisme
yang telah memberikan konsep-konsep dasar dengan asas yang utama, bahwa manusia bisa
survive menghadapi semua tantangan hidup, manusia harus pragmatis dalam memandang
kehidupan (Ali, 2001: 45).

Pertumbuhan masyarakat maju melahirkan kelompok-kelompok masyarakat yang mandiri.


Hal ini didorong oleh fitrah manusia yang membutuhkan pengakuan (recognition) atas
kehadirannya di tengah masyarakat. Semakin besar kompleksitas masyarakat akibat
pembangunan, semakin kuat hasrat memperoleh pengakuan terhadap kehadiran diri
sebagai anggota masyarakat. Apabila masyarakat diberi kebebasan sepenuhnya untuk
mengaktualisasikan dirinya dalam mewujudkan aspirasinya secara mandiri, maka
timbullah kekuatan besar dalam masyarakat untuk membangun. Karena itu, kebebasan
masyarakat untuk mengaktulisasikan diri dan mewujudkan aspirasinya merupakan prasarat
pokok bagi perkembangan masyarakat maju atau modern. (Dephankam, 1999: 22).

Pendidikan merupakan proses budaya, karena itu ia tumbuh dan berkembang dalam alur
kebudayaan setiap masyarakat dan sering bersumber pada agama dan tradisi yang dianut
oleh masyarakat sehingga kehadirannya mempunyai akar yang kuat pada budaya
masyarakat. Pendidikan menjadi modal dasar untuk membina dan mengembangkan
karakter serta perilaku manusia di dalam menata hidup dan kehidupannya (Depdikbud,
1989: 34). Dengan demikian Pendidikan merupakan proses budaya, karena ia tumbuh dan
berkembang dalam alur kebudayaan setiap masyarakat dan sering bersumber pada agama
dan tradisi yang dianut oleh masyarakat sehingga kehadirannya mempunyai akar yang kuat
pada budaya masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan merupakan modal dasar untuk
membina dan mengembangkan karakter serta perilaku manusia di dalam menata hidup dan
kehidupannya (Depdikbud, 1989: 36).

Kecenderungan perkembangan lingkungan di masa mendatang perlu dianalisis secara


mantap, tepat dan cepat, pengaruh lingkungan tersebut dapat menimbulkan tantangan dan
kendala, akan tetapi sekaligus dapat dimanfaatkan juga sebagai peluang. Oleh karena
globalisasi sarat dengan perubahan yang cepat dan radikal diberbagai aspek kehidupan
manusia, maka untuk menjaga dan memelihara human survival globalisasi perlu
dikendalikan dan dimanfaatkan, karena manusia sebagai pencipta globalisasi yang harus
dikendalikannya.

Bertolak dari pemikiran di atas, upaya untuk menciptakan manusia yang bersumber daya
unggul diperlukan prasarat utama yaitu terciptanya kualitas sumber daya manusia yang
memiliki keseimbangan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta taqwa kepada
Allah SWT (Barnadib, 2002: 66).

Pendidikan Islam merupakan bagian integral dari pendidikan nasional, hal tersebut
dijelaskan dalam UU tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 33 ayat 2 bahwa
“kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat antara lain pendidikan agama”,
termasuk salah satunya pendidikan agama Islam. Pendidikan Islam dilaksanakan untuk
mengembangkan potensi keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT serta membentuk
akhlak yang mulia. Menurut Daradjat (1996: 14) bahwa pendidikan Islam adalah usaha
yang secara sadar dilakukan guru untuk mempengaruhi siswa dalam rangka pembentukan
manusia beragama. Sedangkan lebih khusus pengertian pendidikan agama Islam yang
diungkapkan oleh Puskur Balitbang Depdiknas (2001: 35) upaya sadar dan terencana
dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati hingga
mengimani, bertaqwa, dan berakhlak mulia dalam mmenjalankan ajaran agama Islam dari
sumber utamanya kitab suci Al-Qur'an dan Hadits, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran
dan latihan, serta penggunaan pengalaman. Dalam dunia pendidikan Progresivisme telah
memberikan sumbangan yang besar, aliran ini telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan
dan kebebasan kepada peserta didik. Peserta didik diberikan kebebasan baik secara fisik
maupun cara berpikir, untuk mengembangkan bakat dan kemampuan yang terpendam
dalam diri peserta didik tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain. Oleh
karena itu Progresivisme tidak menyetujui pendidikan yang bersifat otoriter.

Aliran ini memandang bahwa peserta didik yang berkaitan dengan akal dan kecerdasan, hal
itu ditunjukkan dengan fakta bahwa manusia mempunyai kelebihan apabila dibandingkan
dengan makhluk lain. Manusia memiliki sifat dinamis dan kreatif didukung oleh
kecerdasannya sebagai bekal menghadapi dan memecahkan masalah. Oleh karena itu,
aliran progresivisme ini menempatkan manusia sebagai makhluk biologis yang utuh dan
menghormati harkat dan martabat manusia sebagai pelaku hidup (Barnadib, 2000: 67).

Kurikulum sebagai jantung pendidikan tidak saja dimaknai sebagai seperangkat rangkaian
mata pelajaran yang ditawarkan sebagai gaet dalam sebuah program pendidikan di Sekolah
tetapi sesungguhnya kurikulum mengandung arti lebih luas sehingga banyak pakar
memaknai kurikulum dengan titik tekan yang berbeda (Nasution, 2005: 19). Crow dan
Crow (1990: 75) menjelaskan kurikulum dengan rencana pelajaran, yaitu rancangan
pengajaran yang isinya sejumplah mata pelajaran yang disusun secara sistematis, sebagai
syarat untuk menyelesaikan suatu progam pendidikan tertentu. Sedangkan menurut
Abdullah (t.t: 123) kurikulum adalah rencana belajar murid, yaitu sejumplah mata
pelajaran yang disiapkan secara sistematik dan koordinatif dalam rangka mencapai tujuan
pendidikan yang ditetapkan.

Dalam bidang kurikulum Progresivisme menghendaki kurikulum yang bersifat luwes dan
terbuka. Kurikulum dapat dirubah dan dibentuk, dikembangkan sesuai dengan
perkembangan zaman dan Iptek. Hal ini sejalan dengan kenyataan sejarah yang
menunjukkan adanya perkembangan dan perubahan kurikulum di Indonesia, yang dimulai
dari Rencana Pembelajaran pada tahun 1947, Kurikulum tahun 1975, Kurikulum tahun
1984, kurikulum tahun 1994, kurikulum tahun 2004 (KBK) dan Kurikulum 2006 (KTSP)
dan kurikulum tahun 2013 yang belum dilaksanakan menyeluruh karena masih banyak
problem dan kajian yang mendalam terlebih dalam masalah evaluasi dan lainya.
Dalam kurikulum pendidikan aliran Progresivisme ini menghendaki lembaga pendidikan
memiliki kurikulum yang bersifat fleksibel, dinamis, tidak kaku, tidak terkait dengan
doktrin-doktrin tertentu, bersifat terbuka, memilki relevansi dengan prinsip-prinsip
pengembangan kurikulum pendidikan. Salah satu dari prinsip pengembangan kurikulum
dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, tehnologi dan seni agar
dapat berkembang secara dinamis (Sutrisno, 2012: 88).

Dalam konteks model pengembangan kurikulum pendidikan, terdapat komponen-


komponen yang saling terkait secara sistemik, yakni Materi pelajaran memerlukan metode,
tehnik, dan strategi pembelajaran, untuk mencapai kompetensi. Strategi pembelajaran
berkaitan dengan upaya yang harus dilakukan dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan.
Strategi pembelajaran sangat tergantung pada tujuan dan materi kurikulum. Untuk
mengetahui keberhasilan pembelajaran sangat diperlukan evaluasi. Evaluasi merupakan
komponen untuk melihat efektifitas pencapaian tujuan pembelajaran. Dalam konteks
kurikulum evaluasi dapat berfungsi untuk mengetahui pencapaian tujuan yang telah
ditetapkan dan dapat pula digunakan sebagai umpan balik dalam perbaikan strategi yang
telah ditetapkan, sehingga tujuan dari pendidikan benar-benar tercapai sebagaimana yang
telah ditentukan.

Dari berbagai pandangan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya


pengembangan kurikulum pendidikan progresivisme menekankan pada how to think
(bagaimana berpikir), how to do (bagaimana bekerja), bukan what to think dan what to do
artinya lebih menekankan dan mengutamakan metode dari pada materi. Tujuannya adalah
memberikan individu kemampuan yang memungkinkannya untuk berinteraksi dengan
lingkungan sekitar yang selalu berubah. Dengan menekankan pada aspek metodologi
kurikulum yang disusun berdasar landasan filosofi progresivisme akan dapat
menyesuaikan situasi dan kondisi, luwes atau fleksibel dalam menghadapi perubahan, serta
familier terhadap masa kini. Progresivisme memandang masa lalu sebagai cermin untuk
memahami masa kini dan masa kini sebagai landasan bagi masa mendatang.

Aliran Konstruktivisme

Salah satu tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor Konstruktivisme adalah Jean Piaget.
Dia adalah seorang psikolog kelahiran Nauchatel Swiss pada tanggal 9 agustus 1896 di
Swiss. Ayahnya, Athur Piaget, adalah seorang Profesor sastra Abad Pertengahan. Tahun
1918 Jean Piaget mengambil program Doktor dalam bidang ilmu pengetahuan alam di
Universitas Neuchatel. Pada tahun 1921 Jean Piaget menjadi guru besar dalam Psikologi
dan Filsafat Ilmu. Tahun 1955 mendirikan International Center of Genetic Epistimology,
yaitu studi tentang bagaimana seorang anak memperoleh dan memodifikasi ide-ide abstrak
seperti ruang, waktu, gaya dan lainnya. Teori ini yang sangat dikenal dengan teori
perkembangan mental. Selama hidupnya Jean Piaget telah menulis lebih dari 60 buku dan
ratusan artikel. Piaget meninggal di Janewa Swiss pada tanggal 16 September 1980
(Glaserfeld, 1997: 33)
Konstruktivisme yang dikembangkan Jean Piaget dalam bidang pendidikan dikenal dengan
nama kontruktivisme kognitif atau personal contructivisme. Jean Piaget menyakini bahwa
belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif
peserta didik. Aliran konstruktivisme adalah satu aliran filsafat yang menekankan bahwa
pengetahuan adalah kontruksi (bentukan). Pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari
kenyataan (realitas), pengetahuan merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif melalui
kegiatan seseorang. Seseorang dapat membentuk skema, kategori, konsep dan struktur
pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan. Proses pembentukan ini berjalan terus
menerus dan setiap kali akan mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman
yang baru (Suparno, 2000: 123).

Sejak kecil anak sudah memiliki struktur kognitif tersendiri yang kemudian dinamakan
skema (schema). Skema adalah suatu struktur mental atau kognitif yang memungkinkan
seseorang secara intelektual beradaptasi dan mengkoordinasi lingkungan sekitarnya.
Skema adalah hasil kesimpulan atau bentukan mental, konstruksi hipotesis, seperti
intelektual, kreativitas, kemampuan dan naluri. Skema dapat terbentuk karena pengalaman,
proses penyempurnaan skema melalui proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah
mengintegrasikan persepsi, konsep, atau pengalaman baru ke dalam suatu pola yang sudah
ada dalam pikiran, atau penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi
adalah membentuk skema baru yang sesuai dengan rangsangan baru, atau menyusun
kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan
Dan Implementasinya… (Mukh Nursikin) sehingga informasi tersebut mempunyai tempat.
Asimilasi dan akomodasi terbentuk berkat pengalaman siswa (Pannen dkk, 2001: 94).

Dalam pandangan konstruktivisme, belajar adalah kegiatan aktif dimana peserta didik
membangun sendiri pengetahuannya. Peserta didik mencari sendiri makna yang dipelajari.
Hal ini merupakan proses menyesuaikan konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berpikir
yang telah ada dalam pikiran siswa. Siswa harus punya pengalaman dengan membuat
hipotesis, memecahkan persoalan, mencari jawaban, menggambarkan, mengadakan
refleksi, mengungkapkan pertanyaan, mengekspresikan gagasan, dan lain-lain untuk
membentuk konstruktif yang baru. Belajar, menurut teori belajar konstruktivistik bukanlah
sekedar menghafal, akan tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman.
Pengetahuan bukanlah hasil “pemberian” dari orang lain seperti guru, akan tetapi hasil dari
proses mengkonstruksi yang dilakukan setiap individu. Pengetahuan hasil dari
“pemberian” tidak akan bermakna. Adapun pengetahuan yang diperoleh melalui proses
mengkonstruksi pengetahuan itu oleh setiap individu akan memberikan makna mendalam
atau lebih dikuasai dan lebih lama tersimpan/diingat dalam setiap individu (Wiles dan
Janjuri, 2008: 72).

Teori konstruktivisme berpandangan bahwa dalam proses belajar, siswa yang harus
mendapat penekanan. Siswa yang harus aktif dalam mengembangkan pengetahuan, bukan
guru atau orang lain. Kreativitas dan keaktifan siswa membantu siswa menjadi orang yang
kritis menganalisis suatu hal karena siswa berpikir dan bukan meniru saja.
Mengajar dalam pandangan konstruktivisme bukanlah mentransfer pengetahuan dari orang
yang sudah tahu (guru) kepada orang yang belum tahu (siswa), melainkan membantu
seseorang agar dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuannya lewat kegiatannya terhadap
fenomena dan objek yang ingin diketahui. Oleh karena itu menurut prinsip konstruktivisme
guru berperan sebagai mediator dan fasilisator yang membantu agar proses belajar murid
berjalan dengan baik. Pendekatan ada pada siswa yang belajar, dan bukan pada guru yang
mengajar. Penekanan pada siswa ini yang belakangan melahirkan konsep learning centered
yaitu pembelajaran yang berpusat pada siswa. Tugas guru dalam proses ini adalah
merangsang pemikiran, menciptakan persoalan, membiarkan murid mengungkapkan
gagasan dan konsepnya.

Menurut Peodjiadi (2011: 67) implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam
pendidikan anak adalah sebagai berikut: (1) tujuan pendidikan menurut teori belajar
konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan
berfikir untuk menyelesaikan setiap persolan yang dihadapi, (2) kurikulum dirancang
sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan
ketrampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memecahkan masalah
seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam
kehidupan sehari-hari, dan (3) peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan
cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Prinsip-prinsip yang sering diadopsi dari
konstruktivisme antara lain: (1) pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri secara aktif, (2)
tekanan dalam proses belajar terletak pada siswa, (3) mengajar adalah membantu siswa
belajar, (4) tekanan dalam proses belajar lebih pada proses bukan pada hasil, (5) kurikulum
menekankan partisipasi siswa, dan (6) guru adalah fasilisator. Prinsip tersebut banyak
diambil untuk membuat perencanaan proses belajar mengajar yang sesuai, pembaruan
kurikulum, perencanaan program persiapan guru, dan untuk mengevaluasi praktek belajar
mengajar (Pannen dkk, 2001: 66-68).

Pegembangan Kurikulum Pendidikan merupakan kurikulum yang berorientasi pada standar


kompetensi. Kurikulum yang berorientasi pada kompetensi menuntut praktik pembelajaran
yang konstruktif, bermakna (fungsional) bagi peserta didik, berpusat pada siswa,
mementingkan segala kecakapan hidup, mementingkan kemampuan riil yang terwujud
dalam pengetahuan, sikap, dan perilaku hidup secara nyata, dalam bentuk untuk kerja
sesungguhnya, dengan penilaian otentik yang memanfaatkan berbagai cara penilaian,
mementingkan proses dan hasil (Akbar dan Sriwijaya, 2010: 45).

Salah satu prinsip dalam pelaksanaan pengembangan kurikulum pendidikan yaitu


didasarkan pada potensi, perkembangan dan kondisi peserta didik untuk menguasai
kompetensi dalam dirinya. Oleh karena itu peserta didik harus mendapatkan pelayanan
pendidikan yang bermutu, serta memperoleh kesempatan untuk mengekspresikan dirinya
secara bebas, dinamis dan menyenangkan. Prinsip ini merupakan bagian spirit
konstruktivisme yang lebih memfokuskan pada kesuksesan siswa dalam
mengorganisasikan pengalaman siswa. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa
yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih
diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan
akomodasi. Guru berfungsi sebagai mediator, fasilisator, dan teman yang membuat situasi
yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.

Implikasi konstruktivisme terhadap pengembangan kurikulum pendidikan Islam yang


berkaitan dengan pembealajaran, berdasarkan pemikiran konstruktivisme personal dan
sosial. Implikasi itu antara lain sebagai berikut (1) Kaum konstruktivis personal
berpendapat bahwa pengetahuan diperoleh melalui konstruksi individual dengan
melakukan pemaknaan terhadap realitas yang dihadapi dan bukan lewat akumulasi
informasi. Implikasinya dalam proses pembelajaran adalah bahwa pendidik tidak dapat
secara langsung memberikan informasi, melainkan proses belajar hanya akan terjadi bila
peserta didik berhadapan langsung dengan realitas atau objek tertentu. Pengetahuan
diperoleh oleh peserta didik atas dasar proses transformasi struktur kognitif tersebut.
Dengan demikian tugas pendidik dalam proses pembelajaran adalah menyediakan objek
pengetahuan secara konkret, mengajukan pertanyaan-pertanyaan sesuai dengan
pengalaman peserta didik atau memberikan pengalaman-pengalaman hidup konkret (nilai-
nilai, tingkah laku, sikap) untuk dijadikan objek pemaknaan. (2) Kaum konstruktivis
berpendapat bahwa pengetahuan dibentuk dalam diri individu atas dasar struktur kognitif
Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan Dan Implementasinya… (Mukh Nursikin)

yang telah dimilikinya, hal ini berimplikasi pada proses belajar yang menekankan aktivitas
personal peserta didik. Agar proses belajar dapat berjalan lancar maka pendidik dituntut
untuk mengenali secara cermat tingkat perkembangan kognitif peserta didik. Atas dasar
pemahamannya pendidik merancang pengalaman belajar yang dapat merangsang struktur
kognitif anak untuk berpikir, berinteraksi membentuk pengetahuan yang baru. Pengalaman
yang disajikan tidak boleh terlalu jauh dari pengetahuan peserta didik tetapi juga jangan
sama seperti yang telah dimilikinya. Pengalaman sedapat mungkin berada di ambang batas
antara pengetahuan yang sudah diketahui dan pengetahuan yang belum diketahui sebagai
zone of proximal development of knowledge. (Wiles dan Janjuri, 2008: 70-76)

Kurikulum adalah niat dan harapan yang dituangkan dalam bentuk rencana atau program
pendidikan untuk dilaksanakan oleh guru di sekolah. Kurikulum merupakan salah satu alat
untuk membina dan mengembangkan siswa menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Idi, 2003: 80).

Bagi kaum konstruktivis, belajar adalah proses mengkonstruksi pengetahuan. Proses


konstruksi itu dilakukan secara pribadi dan sosial. Proses ini adalah proses aktif, sedangkan
mengajar bukanlah memindahkan pengetahuan dari guru ke siswa, melainkan suatu
kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar
berarti partisipasi dengan siswa dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari
kejelasan, dan bersikap kritis. Jadi mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri.

Konstruktivisme dalam pembelajaran mempengaruhi dari pembentukan kurikulum,


perencanaan, pelaksanaan, penilaian hingga evaluasi pembelajaran. Konstruktivisme
sangat menitik beratkan tentang apa, dan bagaimana peserta didik mengetahui
pengetahuan. Peserta didik akan melakukan rekonstruksi pengetahuan sebelumnya setelah
mendapatkan pengetahuan baru yang merupakan interaksi dengan lingkungan belajarnya.
Selain mementingkan proses, konstruktivisme juga mementingkan hasil yang di dapatkan
oleh peserta didik.

Aliran Humanistik

Aliran humanistik muncul pada pertengahan abad 20 sebagai reaksi teori psikodinamika
dan behavioristik. Teori Psikodinamika yang dipelopori oleh Sigmund Freud (1856-1939)
yang berupaya menjelakan hakekat dan perkembangan tingkah laku kepribadian. Model
Psikodinamika yang di ajukan Freud disebut dengan Teori Psikoanalisis (analytic theory).
Menurut teori ini tingkah laku manusia merupakan hasil tenaga yang beroperasi didalam
pikiran yang sering tanpa disadari oleh individu. Freud menyakini bahwa tingkah laku
manusia lebih ditentukan dan dikontrol oleh kekuatan psikologi yang tidak disadarinya.
Tingkah laku manusia lebih ditentukan dan dikontrol oleh kekuatan psikologis, naluri
irasional (terutama naluri menyerang dan naluri sex) yang sudah ada sejak awal setiap
individu. Sedangkan behavioristik merupakan aliran dalam pemahaman tingkah laku
manusia yang dikembangkan oleh Jhon B. Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan Dan
Implementasinya… (Mukh Nursikin)

Watson (1878-1959). Perspektif behavioristik berfokus pada peran dari belajar dalam
menjelaskan tingah laku manusia. Asumsi dasar mengenai tingkah laku manusia menurut
teori ini, bahwa tingkah laku manusia sepenuhnya ditentukan oleh aturan-aturan, bisa
diramalkan, dan juga bisa dikendalikan (Desminta, 2010: 134).

Salah satu tokoh aliran humanistik terkenal adalah Abraham Harold Maslow (1908-1970).
Maslow dikenal sebagai pelopor aliran psikologi humanistik. Maslow percaya bahwa
manusia tergerak untuk memahami dan menerima dirinya sebisa mungkin. Teorinya yang
sangat terkenal sampai dengan hari ini adalah teori tentang Hierarchy of Need (Hirarki
Kebutuhan). Maslow menggunakan piramida sebagai peraga untuk memvisualisasi
gagasannya mengenai teori hirarki kebutuhan (Freire, 2008: 38-42)

Dalam teori hirarki kebutuhan, Maslow menyebutkan ada lima jenis kebutuhan dasar
manusia secara berjenjang dan bertingkat mulai dari yang paling rendah (bersifat
dasar/fisiologis) sampai yang paling tinggi (aktualisasi diri). Pada tingkat paling bawah
terletak kebutuhan-kebutuhan fisiologis (physiological needs), tingkat kedua terdapat
kebutuhan akan rasa aman dan perlindungan (need for self-security and security), tingkat
ketiga mencerminkan kebutuhan yang digolongkan dalam kelompok kasih sayang (need
for love and belongingness), tingkat keempat mencerminkan kebutuhan atas penghargaan
diri (need for self-system), sedangkan tingkat kelima adalah kebutuhan aktualisasi diri
(need for self-actualization) (Desminta, 2010: 58).

Kebutuhan-kebutuhan itu merupakan inti kodrat manusia, sebagaimana kebutuhan peserta


didik juga tidak jauh berbeda dengan kebutuhan manusia pada umumnya. Oleh karena itu
dalam proses pembelajaran, guru harus mengenal dan memahami jenis dan tingkat
kebutuhan peserta didiknya, sehingga dapat membantu dan memenuhi kebutuhan-
kebutuhan berbagai aktivitas kependidikan, terutama aktivitas pembelajaran. Dengan
mengenal kebutuhan-kebutuhan peserta didik, guru dapat memberikan pelajaran setepat
mungkin sesuai dengan kebutuhan peserta didiknya. Mengutip pernyataan Freire (2008:
116) yang menyatakan bahwa, sejatinya pendidikan adalah proses pemanusiaan manusia.
Pendidikan idealnya harus membantu peserta didik tumbuh dan berkembang menjadi
pribadi-pribadi yang lebih manusiawi, berguna dan berpengaruh didalam masyarakatnya,
bertanggung jawab, bersifat proaktif dan kooperatif serta mengembangkan potensi yang
ada.

Dalam konteks humanisme, pendidik harus mendorong peserta didiknya untuk mencapai
keberhasilan dan prestasi yang tinggi, serta memberikan penghargaan atas prestasi yang
tinggi, memberikan penghargaan atas prestasi yang mereka capai, betapapun kecilnya, baik
berupa ungkapan verbal maupun melalui ungkapan non-verbal. Penghargaan yang tulus
dari seorang guru akan menumbuhkan perasaan sukses dalam diri peserta didik serta dapat
mengembangkan sikap dan motivasi tinggi untuk berusaha mencapai kesuksesan. Kalau
terdapat peserta didik yang gagal tetap perlu diberi penghargaan atas segala kemauan,
semangat dan keberanian dalam melakukan suatu aktivitas. Aliran-Aliran Filsafat
Pendidikan Dan Implementasinya

Guru harus menghindari komentar-komentar yang bernada negatif dan menampakkan


sikap tidak puas terhadap peserta didik yang gagal. Komentar-komentar negatif atau sikap
tidak puas akan membuat peserta didik kehilangan kepercayaan diri, merasa tidak berharga
dan putus asa (Freire, 2008: 76-78).

Belajar bukanlah sekedar menstransfer pengetahuan, seperti konsep pendidikan gaya bank
dimana pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang
menganggap diri berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak memiliki
pengetahuan apa-apa. Ruang gerak yang disediakan bagi murid hanya sebatas pada
menerima, mencatat, dan menyimpan. Menurut Paulo Freire, menganggap bodoh secara
mutlak orang lain, sebuah ciri dari ideologi penindasan, berarti mengingkari pendidikan
dan pengetahuan sebagai pencarian. Belajar adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh
siswa, bukan sesuatu yang dilakukan terhadap siswa. Pengetahuan ditemukan, dibentuk,
dan dikembangkan oleh siswa. Guru berperan sebagai fasilisator yang menciptakan kondisi
dan situasi yang memungkinkan siswa membentuk makna dari bahan-bahan pelajaran
melalui suatu proses belajar. Belajar akan efektif bila siswa diberi peluang untuk
mendiskusikan informasi yang diterima, mengajukan pertanyaan, mempraktikkan dan
mengajarkannya kepada siswa lain. Siswa berperan sebagai pelaku utama (student center)
yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri (Hamruni, 2009: 88-90).

Pendekatan berpusat pada peserta didik (humanistic), memandang pengajaran lebih holistik
dimana belajar difokuskan dengan arah yang jelas untuk membantu mengembangkan
potensi peserta didik secara utuh dan optimal. Oleh karena itu pengembangan kurikulum
lebih menekankan pada pelayanan peserta didik menemukan makna dalam belajar sesuai
tingkat pertumbuhan dan perkembangannya, serta mengakomodasi kebutuhan
pengembangan kemampuan, minat, bakat dan kebutuhan-kebutuhan khusus peserta didik.

Pendidik merupakan faktor penting yang besar pengaruhnya terhadap proses dan hasil
belajar, bahkan sangat menentukan berhasil tidaknya peserta didik dalam belajar.
Demikian pula halnya dalam model pengembangan kurikulum pendidikan yang menuntut
aktivitas dan kreativitas guru dalam membentuk kompetensi pribadi peserta didik. Oleh
karena itu, pembelajaran harus sebanyak mungkin melibatkan peserta didik, tetapi harus
menjadi fasilitator yang bertugas memberikan kemudahan belajar (facilitate learning)
kepada seluruh peserta didik, agar mereka dapat belajar dalam suasana yang
menyenangkan, gembira, penuh semangat, tidak cemas, berani mengemukakan pendapat
secara terbuka dan lainnya.

Salah satu model pendidikan terbuka mencakup konsep belajar guru yang fasilitatif yang
dikembangkan oleh Rogers (pakar teori humanistik) yang diteliti oleh Aspy dan Roebuck
pada tahun 1975 mengenai kemampuan para guru untuk menciptakan kondisi yang
mendukung yaitu empati, penghargaan, dan umpan balik positif. Dalam mengaplikasikan
pendekatan pembelajaran yang humanistik, dalam hal ini guru yang berperan sebagai
fasilitator mempunyai beberapa ciri-ciri sebagai Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan Dan
Implementasinya berikut: 1) Merespon perasaan siswa; 2) Menggunakan ide-ide siswa
untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang; 3) Berdialog dan berdiskusi dengan
siswa; 4) Menghargai siswa; 5) Kesesuaian antara perilaku dan perbuatan; 5)
Menyesuaikan isi kerangka berfikir siswa, penjelasan untuk menetapkan kebutuhan segera
dari siswa; 6) Tersenyum pada siswa dan tidak terbawa emosi. (Harper dan Row, 1999: 26-
32)

Hal ini menjadi modal dasar bagi peserta didik untuk tumbuh dan berkembang menjadi
manusia yang siap beradaptasi, menghadapi berbagai kemungkinan, dan memasuki
kehidupan yang penuh tantangan dan persaingan.Inilah esensi humanisme dalam
implementasi model pengembangan kurikulum pendidikan yang didasarkan pada potensi,
perkembangan dan kondisi peserta didik untuk menguasai kompetensi yang berguna bagi
dirinya, meningkatkan kemampuan dan kemandirian dalam bermasyarakat. Pemberdayaan
bukan meliputi penguatan individu anggota masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya.
Menanamkan nilai-nilai budaya modern seperti kerja keras, hemat, terbuka, bertanggung
jawab adalah bagian pokok dari upaya pemberdayaan ini. Kondisi ini merupakan potensi
dalam strategi menciptakan manusia kreatif-produktif, daya nalar yang berwawasan ke
masa depan atau melahirkan manusia yang berdaya unggul.

Beberapa alternatif strategi dan upaya menciptakan peserta didik yang bersumber daya
unggul, maka tipe peserta didik yang ideal yang diharapkan akan terealisasi, strategi
pembelajaran harus dikembangkan berdasarkan kepada kebijaksanaan pendidikan nasional
dan keterpaduan pelaksanaan/operasional dan strategi keterpaduan ilmu pengetahuan dan
teknologi (Iptek) dan iman dan taqwa (Imtaq).
Simpulan

Seorang pendidik harus menguasai kurikulum dan konsep-konsep yang akan dikaji serta
pedagogik atau ilmu dan seni mengajar materi subyek terkait, agar tidak terjadi salah
konsep atau miskonsepsi pada diri peserta didik. Aliran-aliran filsafat pendidikan
memberikan kontribusi yang komprehensif dalam pengembangan kurikulum pendidikan
Islam.

Aliran filsafat pendidikan dalam model pengembangan kurikulum pendidikan Islam aliran
progresivisme ini menghendaki lembaga pendidikan memiliki model pengembangan
kurikulum pendidikan islam yang bersifat fleksibel, dinamis, tidak kaku, tidak terkait
dengan doktrin-doktrin tertentu, bersifat terbuka, memilki relevansi dengan prinsip-prinsip
pengembangan kurikulum pendidikan Islam. Aliran filasafat konstruktivisme; guru tidak
lagi menduduki tempat sebagai pemberi ilmu. Tidak lagi sebagai satu-satunya sumber
belajar. Namun guru lebih diposisikan sebagai fasiltator yang memfasilitasi siswa untuk
dapat belajar dan mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Aliran ini lebih menekankan
bagaimana siswa belajar bukan bagaimana guru mengajar.

Kaum konstruktivis berpendapat bahwa pengetahuan dibentuk dalam diri individu atas
dasar struktur kognitif yang telah dimilikinya, hal ini berimplikasi pada proses belajar yang
menekankan aktivitas personal peserta didik. Agar proses belajar dapat berjalan lancar
maka pendidik dituntut untuk mengenali secara cermat tingkat perkembangan kognitif
peserta didik. Atas dasar pemahamannya pendidik merancang pengalaman belajar yang
dapat merangsang struktur kognitif anak untuk berpikir, berinteraksi membentuk
pengetahuan yang baru. Pengalaman yang disajikan tidak boleh terlalu jauh dari
pengetahuan peserta didik tetapi juga jangan sama seperti yang telah dimilikinya.
Pengalaman sedapat mungkin berada di ambang batas antara pengetahuan yang sudah
diketahui dan pengetahuan yang belum diketahui sebagai zone of proximal development of
knowledge. Bagi aliran konstruktivisme, guru tidak lagi menduduki tempat sebagai
pemberi ilmu. Tidak lagi sebagai satu-satunya sumber belajar. Namun guru lebih
diposisikan sebagai fasiltator yang memfasilitasi siswa untuk dapat belajar dan
mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Aliran ini lebih menekankan bagaimana siswa
belajar bukan bagaimana guru mengajar.

Aliran filsafat Humanisme memandang manusia, yang dalam hal ini peserta didik sebagai
mahluk yang memiliki potensi dan memiliki kebebasan untuk mengaktualisasikan potensi
tersebut. Manusia pada hakikatnya tidak lepas dari pendidikan. Manusia akan senantiasa
berhubungan dengan pendidikan, baik langsung maupun tidak langsung. Jika ditinjau dari
sisi pedagogis, manusia merupakan mahluk pembelajar, dan pada hakikatnya manusia juga
mahluk yang dapat mendidik dan dididik. Atas dasar potensi pedagogis yang dimiliki oleh
manusia inilah pendidikan selayaknya diarahkan pada proses pemanusiaan manusia, agar
pendidikan dilakukan dengan bermakna. Kurikulum dan guru merupakan faktor penting
yang besar pengaruhnya terhadap proses belajar mengaja dan hasil belajar, bahkan sangat
menentukan berhasil tidaknya peserta didik dalam belajar. Dalam kurikulum Pendekatan
berpusat pada peserta didik (humanistic), memandang pengajaran lebih holistik dimana
belajar difokuskan dengan arah yang jelas untuk membantu mengembangkan potensi
peserta didik secara utuh dan optimal.

Daftar Pustaka

Al-Abrasyi, M. A. (1975). al-Tarbiyah al-Islamiyah wa-Falsafatuha. Mesir: Isa al-Ababi


al-Halabi wa syirkahu.

Abdullah, M. A. (1997). Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial. Yogyakarta: Aditya


Media..

Abdullah, A. S. (t.t.). Educational Theory a Quranic Outlook. Makkah Al-Mukarramah:


Umm al-Qurra University.

Ahwani, A. F. (1980). Al-tarbiyah fi Al-Islam. Kairo: Dar’al Ma’arif.

Al-Syaibany, O. M. (1979). Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung. Jakarta:


Bulan Bintang.

Departemen Agama RI. (2003). Undang-undang Sisdiknas Tahun 2003. Jakarta: Depag.

Arifin, H. M. (1989). Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Bloom, B. S. (1974). Taxonomy of Education Objektibves, the Classification of


Aducational Goals Handbook I: Cognive Domain. New York: David McKAY Company,
INC.

Badaruddin, K. (2007). Filsafat Pendidikan Islam-Analisis Pemikiran Syeh Muhammad al-


Naquib al-Attas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Buchori, M. (1994). Ilmu Pendidikan dan Pratek Pendidikan dalam renungan. Yogyakarta:
Tiara wacana.

Crow, C. (1990). Pengantar ilmu pendidikan, edisi III. Yogyakarta: Rake Sarasin. Darajat,
Z. (1996). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Davis, R. B. (1990). “Discovery Learning and Constructivism. Constructivist View on the


Teaching and Learning of Mathematics.” Nel Noddings (Eds.). Journal for Research in
Mathematics Educations. Monograph Number 4. The National Council of Teacher of
Mathematics.

Hamruni. (2009). Edutainment Dalam Pendidikan Islam dan Teori-teori Pembelajaran


Quantum. Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga.

Idi, A. (2007). Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. Yogyakarta: Ar-ruzz Media.

Inkeles, A. (1964). What is Sociology: An Introcdution to The Discipline and Profession


Fundation of Modern Sosiologi series, New Jersey: Englewood Cliffs.
Jalal, A. F. (1988). Azas-azas Pendidikan Islam, terj. Herry Noger Ali. Bandung:
Diponegoro.

Jawad, R. M. (1980). al-Fikr al-Tarbawi al-Islam. Kuwait: Dar al-fikr al-Arabi.

Moleong, L. J. (1999). Methodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Remaja Rosda Karya.

Nasuton, S. (2005). Asas-Asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara.

Rogers, C. (1969). Freedom To Learn dalam C.H. Patterson, Foundation for a Theory of
Instructional and Educational Psychology. Columbus, Ohio: Merrill

Sudrajat, A. (2001). Kurikulum dan Pembelajaran Dalam Paradigma Baru. Yogyakarta:


Paramitra Publishing.

Suparno, P. (2008). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.

Sugiyono. (2006). Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kualitatif, Kualitatif R&D.


Bandung: Alfabeta.

Taba, H. (1965). Curriculum Develoment, Theory and Prative; Fondation Process, Desgn
and Stratedy For Planning Both Primary and Secondary. New York: Harcourt, Brace &
World Inc Attarbiyah, Journal of Islamic Culture and Education 334 ATTARBIYAH,
VOL. I NO 2, DESEMBER 2016, pp.303-334

Tilaar, H. A. R. (2009). Perubahan Sosial dan Pendidikan, Pengantar Pedagogik


Trasformatif Untuk Indonesia. Jakarta: PT Grasindo.

Tyler, R. (1949). Basic Principles of Currilum and Intruction. London: The University of
Chicago Press.

Wan Daud, W. M. N. (2003). Filsafat dan Pratek Pendidikan Islam Syaeh M. Naquib al-
Attas. Bandung: Mizan.

Wiles, J. & Janjuri, A. D. (1989). Curriculum Development A Guide to Practive. Ohia


Merryi Publishing Company.

Anda mungkin juga menyukai