Anda di halaman 1dari 27

PROPOSAL

SATUAN ACARA BERMAIN (SAB) TERAPI BERMAIN “TEBAK SUARA”


PADA ANAK USIA PRA SEKOLAH
DI PANTI ASUHAN TERIMA KASIH ABADI MEDAN

OLEH :
KELOMPOK-1
Nama Kelompok :
1. Dwi Utari, S.Kep 9. Emmi Dorenci, S.Kep
2. Endang Rotua Pakpahan, S.Kep 10. Hafizuddin, S.kep
3. Hendi Lumban Gaol, S.Kep 11. Mellin Hutagalung, S.Kep
4. Andi Sahputra, S.Kep 12. Hizkia, S.Kep
5. Marlina Sinaga, S.Kep 13. Delvin Lombu, S.Kep
6. Debora Anzelina Sirait, S.Kep 14. Ayu Sastia, S.Kep
7. Mutia Mislika, S.Kep 15. Asri Mirdani Hia, S.Kep
8. Kristin Situmeang, S.kep 16. Alysia, S.Kep
17. Andriansyah, S.Kep

Stase :
Keperawatan Anak

PROGRAM STUDI NERS


FAKULTAS FARMASI DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
TAHUN 2021
KATA PENGATAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat
rahmat dan kasih -Nyalah sehingga kami dapat menyusun “Proposal Satuan
Acara Bermain (SAB) Terapi Bermain “Tebak Suara” Pada Anak Usia Pra
Sekolah Di Panti Asuhan Terima Kasih Abadi Medan” ini yang telah
ditentukan. Proposal terapi bemain ini diajukan guna memenuhi tugas profesi
yang diberikan pada stase Keperawatan Anak.

Pada kesempatan ini juga kami berterima kasih atas bimbingan dan
masukan dari semua pihak yang telah memberi kami bantuan wawasan untuk
dapat menyelesaikan Proposal Terapi Bernain ini baik itu secara langsung maupun
tidak langsung.

Kami menyadari isi ini Proposal Terapi Bernain masih jauh dari kategori
sempurna, baik dari segi kalimat, isi maupun dalam penyusunan.oleh karen itu,
kritik dan saran yang membangun dari dosen mata kuliah yang bersangkutan,
sangat kami harapkan demi kesempurnaan Proposal Terapi Bernain ini.

Medan, 03 Maret 2021


Penulis

Kelompok 1
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Anak usia pra sekolah memandang hospitalisasi sebagai sebuah pengalaman
yang menakutkan. Anak usia pra sekolah belum mampu membedakan
antara fantasi dan realita. Mereka menganggap bahwa hospitalisasi
merupakan hukuman atas tindakan mereka, terlebih lagi selama anak
menjalani perawatan di rumah sakit, biasanya ia akan dilarang untuk banyak
bergerak dan harus banyak beristirahat. Hal ini tentunya mengecewakan
anak, karena ia tidak mempunyai banyak waktu untuk bermain aktif di
rumah sakit. Hal tersebut tentunya akan meningkatkan kecemasan anak
(Dora alfiyanti, 2007).

Kecemasan terbesar anak usia pra sekolah adalah kecemasan akan


kerusakan tubuh (Potter dan Perry, 2001). Semua prosedur atau tindakan
keperawatan baik yang menimbulkan nyeri maupun tidak, keduanya
menyebabkan kecemasan bagi anak usia pra sekolah selama hospitalisasi.
Peralatan medis yang bersih dirasakan cukup menyeramkan bagi anak-anak.
Begitu juga dengan bau obat yang menyengat dan penampilan para staf
rumahsakit dengan baju yang berwarna putih yang seolah terlihat
menakutkan bagi anak (Dora alfiyanti, 2007).

Mempersiapkan anak untuk menghadapi prosedur atau tindakan


keperawatan akan mengurangi kecemasan, meningkatkan sikap kooperatif,
dan mendukung ketrampilan mereka serta meningkatkan kognitif dan
kerjasama anak. Ada beberapa mekanisme koping sederhana yang bisa
diajarkan misalnya relaksasi, menarik napas, berhitung, memasase tangan
atau menyanyi. Semua teknik tersebut dapat dimodifikasi dengan aktivitas
bermain (Dora alfiyanti, 2007).
Aktivitas bermain merupakan salah satu stimulasi bagi perkembangan anak
secara optimal.Dalam kondisi sakit atau anak dirawat di rumah sakit,
aktivitas bermain ini tetap dilaksanakan, namun harus disesuaikan dengan
kondisi anak. Pada saat dirawat di rumah sakit, anak akan mengalami
berbagai perasaan yang sangat tidak menyenangkan, seperti marah, takut,
cemas, sedih, dan nyeri. Perasaan tersebut merupakan dampak dari
hospitalisasi yang dialami anak karena menghadapi beberapa stressor yang
ada dilingkungan rumah sakit.

Untuk itu, dengan melakukan permainan anak akan terlepas dari ketegangan
dan stress yang dialaminya karena dengan melakukan permainan anak akan
dapat mengalihkan rasa sakitnya pada permainannya (distraksi) dan
relaksasi melalui kesenangannya melakukan permainan. Tujuan bermain di
rumah sakit pada prinsipnya adalah agar dapat melanjutkan fase
pertumbuhan dan perkembangan secara optimal, mengembangkan
kreatifitas anak, dan dapat beradaptasi lebih efektif terhadap stress. Bermain
sangat penting bagi mental, emosional, dan kesejahteraan anak seperti
kebutuhan perkembangan dan kebutuhan bermain tidak juga terhenti pada
saat anak sakit atau anak di rumah sakit (Wong, 2009).

Dengan bermain, anak melepaskan ketakutan, kecemasan, mengekspresikan


kemarahan dan permusuhan. Bermain merupakan cara koping paling efektif
untuk mengurangi kecemasan dan meningkatkan kooperatif anak dalam
prosedur keperawatan (Wong, 2001). Penelitian yang dilakukan oleh Dora
Alfiyanti dkk (2007) menunjukkan bahwa terapi bermain berpengaruh
terhadap tingkat kecemasan anak usia pra sekolah selama tindakan
keperawatan (Dora alfiyanti, 2007).

Berdasarkan sensus penduduk pada tahun 2003 didapatkan jumlah anak usia
toddler (3 - 6 tahun) di Indonesia adalah 13,50 juta anak. Anak-anak pada
usia toddler dapat memainkan sesuatu dengan tangannya serta senang
bermain dengan warna, oleh karena itu bermain dengan mewarnai gambar
menjadi alernatif untuk mengembangkan kreatifias anak dan dapat
menurunkan tingkat kecemasan pada anak selama dirawat. Mewarnai
gambar dapat menjadi salah satu media bagi perawat untuk mampu
mengenali tingkat perkembangan anak.

Dinamika secara psikologis menggambarkan bahwa selama anak bermain


dengan sesuatu yang menggunakan alat mewarnai seperti crayon atau pensil
warna akan membantu anak untuk menggunakan tangannya secara aktif
sehingga merangsang motorik halusnya. Oleh karena sangat pentingnya
kegiatan bermain terhadap tumbuh kembang anak dan untuk mengurangi
kecemasan akibat hospitalisai, maka akan dilaksanakan terapi bermain pada
anak usia toddler dengan cara mewarnai gambar

Perawat sebagai care provider atau pemberi asuhan keperawatan pada anak
berperan penting dalam proses penyembuhan anak dan tumbuh kembangnya
selama hospitalisasi. Selain berupaya mengurangi kecemasan pada anak
yang hospitalisasi, perawat juga perlu mengupayakan agar perkembangan
bisa berjalan dengan optimal selama perawatan, yaitu dengan melaksanakan
program terapi bermain dengan memperhatikan pertimbangan terapi.

Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial dikarenakan kebutuhannya untuk


berinteraksi dengan orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Bukan hanya
sekedar berinteraksi, namun juga merasakan keterikatan dengan orang lain.
Hal ini senada dengan konsep Hirarki Kebutuhan yang dicetuskan oleh
Abraham Maslow, bahwa manusia akan mencari pemenuhan belonging
needs (kebutuhan untuk terikat atau berhubungan dengan orang lain)
sebagai makhluk sosial setelah memperoleh pemenuhan kebutuhan
fisiologisnya (physiological needs) serta pemenuhan rasa aman (safety
needs) sebagai makhluk individu. Sense of belonging merupakan perasaan
seolah berada di “rumah” yaitu kondisi dimana seseorang merasa dirinya
diterima dan nyaman dalam sebuah tempat atau kelompok tertentu.
Adapun manfaat sense of belonging itu sendiri menurut ringkasan berbagai
literatur yang diungkap oleh Jones (2003) mencakup ketercapaian manfaat
fisik dan manfaat psikologis. Manfaat fisik antara lain meningkatkan fungsi
neurologis, meningkatkan resistensi terhadap penyakit, serta secara umum
memiliki fungsi fisik yang lebih baik. Adapun fungsi psikologis yaitu
ketercapaian seluruh kesehatan mental seperti self- efficacy, self-esteem,
kurangnya level stress dan depresi, kurangnya kecemasan, coping yang
baik, kemampuan beradaptasi dengan lingkunganmemiliki komunitas dan
lingkungan yang lebih sehat, meningkatkan prestasi dan motivasi akademik,
intelektual dan kognisi yang lebih tinggi ( Muhaeminah, 2015 ).

Keluarga dikatakan sebuah kondisi yang sangat baik serta memiliki


keutamaan untuk memenuhi kebutuhan krusial ini. Jika berlandaskan pada
hal tersebut, maka timbul pertanyaan bagaimana dengan mereka yang tidak
memiliki keluarga yang utuh atau bahkan tidak memiliki keluarga untuk
menjamin pemenuhan kebutuhan ini. Lalu kondisi anak-anak yang
bertempat tinggal di Panti Asuhan juga menjadi hal yang patut di
pertanyakan.

Departemen Sosial Republik Indonesia (dalam Maghfiroh, 2011)


memaparkan bahwa panti asuhan merupakan suatu lembaga usaha
kesejahteraan sosial yang mempunyai tanggung jawab untuk memberikan
pelayanan kesejahteraan sosial kepada anak terlantar serta melaksanakan
peyantunan atau perwalian anak dalam memenuhi kebutuhan fisik, mental,
dan sosial pada anak asuh sehinga memperoleh kesempatan yang luas, tepat,
dan memadai bagi perkembangan kepribadiannya sesuai dengan yang
diharapkan sebagai bagian dari generasi penerus cita-cita bangsa dan
sebagai insan yang akan turut serta aktif dalam bidang pembangunan
nasional.

dapat disimpulkan sementara bahwa panti asuhan memang suatu tempat


dengan kondisi yang seharusnya mampu menjamin ketercapaian kebutuhan
anak asuhnya termasuk pemenuhan belonging need selayaknya yang dapat
mereka peroleh dalam sebuah keluarga yang ideal. Karena mau tidak mau
panti asuhan merupakan tempat yang akan menjadi rumah bagi mereka serta
penentu masa depan mereka ( Yuliastati ; arnis, 2016 ).

Menurut Pilapil, 2015 Berbagai permasalahan keterbatasan yang ada di


panti dapat menempatkan anak pada resiko mengalami masalah psikologis
seperti kepribadian yang inferior, pasif, apatis, menarik diri, mudah putus
asa, penuh dengan ketakutan dan kecemasan, lebih kaku dalam berhubungan
sosial dengan orang lain dan penyesuaian sosialnya kurang memuaskan
( Astuti; Marettih, 2018 )

Berdasarkan ulasan dari Christian Aid, Islamic Relief dan UNICEF (2006),
bahwa untuk meningkatkan sense of belonging pada anak yatim dan
vulnerable digunakan beberapa cara yaitu:
1) Memperkuat ikatan keluarga dan komunitas, yaitu dengan menyatukan
anak dengan keluarga, adopsi, penempatan yang aman
2) Pemberian dukungan material dan ekonomi, berupa bantuan materi
seperti makanan, pakaian, kesehatan, serta pelatihan bisnis
3) Dukungan Emosional, berupa perhatian, kasih sayang, serta kesempatan
untuk pengalaman sosial dengan teman dengan jalan yang rekresional
seperti bermain game
4) Dukungan Pendidikan berupa pendidikan/sekolah formal,
ekstrakurikuler, dan pendidikan life-skill
5) Dukungan Advokat, berupa perlindungan hukum seperti perlindungan
dari diskriminasi dan hak asasi manusia. Dari penjabaran tersebut,
proposal ini menggunakan pendekatan pada dukungan emosional
berupa pemberian perlakuan berupa game.

Bermain sama dengan bekerja pada orang dewasa, dan merupakan aspek
terpenting dalam kehidupan anak serta merupakan satu cara yang paling
efektif untuk menurunkan stres pada anak dan penting untuk kesejahteraan
mental dan emosional anak.

Game therapy adalah menggunakan media game untuk terapi. Dijelaskan


oleh Mader, Natkin, dan Levieux (2002) bahwa game therapy merupakan
salah satu bentuk terapi dimana game difungsikan menjadi sebuah
pengaturan terhadap kondisi khusus atau pemberian perlakuan untuk
meredakan penyakit dan gangguan dalam hal ini kondisi psikologis. Dalam
kamus terapi memiliki lebih dari 200 jenis terapi yang berbeda, salah satu
di antaranya adalah game therapy.

Game menyajikan fungsi yang khusus dan penting dalam


perkembangannya, yang memperlihatkan kunci pengalaman sosialisasi
seluruhnya dalam usia sekolah mereka. Game menyediakan kesempatan
untuk mempelajari keadaan sosial melalui beberapa cara khusus : (1)
komunikasi dengan orang lain, (2) menghormati dan patuh terhadap aturan,
(3) disiplin diri, (4) menghadapi permasalahan secara mandiri, (5)
bekerjasama dengan orang lain, (6) kesadaran dan tanggung jawab terhadap
norma kelompok dan ekspektasi kelompok, (7) kompetisi sosial dan kontrol
terhadap ekspresi agresi, serta (8) menghadapi isu mengenai kekuatan dan
otoritas.

Anak bermain pada dasarnya agar ia memperoleh kesenangan, sehingga


tidak akan merasa jenuh. Bermain tidak sekedar mengisi waktu tetapi
merupakan kebutuhan anak seperti halnya makan, perawatan dan cinta
kasih. Fungsi utama bermain adalah merangsang perkembangan sensoris-
motorik, perkembangan sosial, perkembangan kreativitas, perkembangan
kesadaran diri, perkembangan moral dan bermain sebagai terapi ( Yuliastati
; Arnis, 2016 ).

Berdasarkan sensus penduduk pada tahun 2003 didapatkan jumlah anak


usia toddler (3 - 6 tahun) di Indonesia adalah 13,50 juta anak. Anak-anak
pada usia toddler dapat memainkan sesuatu dengan tangannya serta senang
bermain dengan warna, oleh karena itu bermain tebak suara dengan
mewarnai gambar menjadi alernatif untuk mengembangkan kreatifias anak
dan dapat menurunkan tingkat kecemasan pada anak. Mewarnai gambar
dapat menjadi salah satu media bagi perawat untuk mampu mengenali
tingkat perkembangan anak.

Dinamika secara psikologis menggambarkan bahwa selama anak bermain


dengan sesuatu yang menggunakan alat mewarnai seperti crayon atau
pensil warna akan membantu anak untuk menggunakan tangannya secara
aktif sehingga merangsang motorik halusnya. Oleh karena sangat
pentingnya kegiatan bermain terhadap tumbuh kembang anak dan untuk
mengurangi kecemasan dan meningkatkan kebahagian dan self belonging,
maka akan dilaksanakan terapi bermain pada anak usia toddler dengan cara
menebak suara dan mewarnai gambar.

1.2. Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum
Untuk menjadi aktif sehingga anak tidak akan merasa bosan Selama di
panti
1.2.2. Tujuan Khusus
Setelah mengikuti permainan selama ± 35 menit anak akan mampu:
1. Kebutuhan bermain anak terpenuhi
2. Mengembangkan kreativitas dan daya pikirnya melalui
pengalaman bermain yang tepat
3. Mengekspresikan keinginan, perasaan, dan fantasi anak selama di
panti.
4. Mengekspresikan rasa senangnya terhadap permainan
5. Untuk meningkatkan adaptasi efektif pada anak terhadap stress
6. Untuk meningkatkan kemampuan daya tangkap atau konsentrasi
anak.
7. Untuk meningkatkan koping yang efektif
8. Untuk menambah pengetahuan mengenali binatang dan suaranya.
9. Untuk mengembangkan imajinasi pada anak
10. Sebagai alat komunikasi antara perawat dan klien

1.3 Manfaat

1. Bagi Anak

a. Untuk mengembangkan kreativitas da daya pikirnya melalui


pengalaman bermain yang tepat.

b. Untuk meningkatkan adaptasi efektif pada anak terhadap


stress

c. Untuk meningkatkan koping yang efektif

2. Bagi perawat

Sebagai alat komunikasi antara perawat dan klien dan dapat


menimbulkan saling percaya antara anak dan perawat.

3. Bagi Panti Asuhan

Sebagai sebuah media yang dapat di teruskan pada anak


yang berada di panti dan menjadi metode untuk membuat
anak tidak merasa bosan.
BAB 2

TINJAUAN TEORITIS

2.1. Pengertian Terapi Bermain


Bermain merupakan salah satu aspek penting dari kehidupan anak dan salah
satu alat paling penting untuk pentalaksanaan stres karena hospitalisasi
menimbulkan krisis dalam hidup anak, dan karena situasi tersebut sering
disertai stres berlebihan, maka anak-anak perlu untuk mengeluarkan rasa
takut dan cemas yang mereka alami sebagai alat koping dalam menghadapi
stres. Bermain sangat penting bagi mental, emosional dan kesejahteraan anak
seperti kebutuhan bermain tidak juga berhenti saat anak sakit atau dirawat di
rumah sakit (Setiawan, 2014).

Bermain adalah cerminan kemampuan fisik, intelektual, emosional dan sosial


dan bermain merupakan media yang baik untuk belajar karena dengan
bermain anak akan berkata-kata, belajar menyesuaikan diri dengan
lingkungan, melakukan apa yang dapat dilakukan dan mengenal waktu, jarak,
serta suara (Wong, 2004).

Bermain juga merupakan suatu aktivitas dimana anak dapat melakukan atau
mempraktekkan keterampilan, memberikan ekspresi terhadap pemikiran,
menjadi kreatif, serta mempersiapkan diri untuk berperan dan berperilaku
dewasa (Hidayat, 2005). Bermain sama dengan bekerja pada orang dewasa,
dan merupakan aspek terpenting dalam kehidupan anak serta merupakan satu
cara yang paling efektif untuk menurunkan stres pada anak dan penting untuk
kesejahteraan mental dan emosional anak (Nursalam, 2005).

Anak bermain pada dasarnya agar ia memperoleh kesenangan, sehingga tidak


akan merasa jenuh. Bermain tidak sekedar mengisi waktu tetapi merupakan
kebutuhan anak seperti halnya makan, perawatan dan cinta kasih. Fungsi
utama bermain adalah merangsang perkembangan sensoris-motorik,
perkembangan sosial, perkembangan kreativitas, perkembangan kesadaran
diri, perkembangan moral dan bermain sebagai terapi (Soetjiningsih, 1995).
Untuk lebih jelasnya di bawah ini terdapat beberapa fungsi bermain pada
anak di antaranya:
a. Membantu perkembangan sensorik dan motorik
Cara yang dapat dilakukan adalah dengan merangsang sensorik dan
motorik terutama pada bayi. Rangsangan bisa berupa taktil, audio dan
visual. Anak yang sejak lahir telah dikenalkan atau dirangsang
visualnya maka di kemudian hari kemampuan visualnya akan lebih
menonjol seperti lebih cepat mengenal sesuatu yang baru dilihatnya.
Demikian juga pendengaran, apabila sejak bayi dikenalkan atau
dirangsang melalui suara-suara maka daya pendengaran dikemudian
hari lebih cepat berkembang dibandingkan tidak ada stimulasi sejak
dini.
b. Membantu perkembangan kognitif
Perkembangan kognitif dapat dirangsang melalui permainan. Hal ini
dapat terlihat pada saat anak sedang bermain. Anak akan mencoba
melakukan komunikasi dengan bahasa anak, mampu memahami obyek
permainan seperti dunia tempat tinggal, mampu membedakan khayalan
dan kenyataan, mampu belajar warna, memahami bentuk ukuran dan
berbagai manfaat benda yang digunakan dalam permainan. Dengan
demikian maka fungsi bermain pada model demikian akan
meningkatkan perkembangan kognitif selanjutnya.
c. Meningkatkan sosialisasi anak
Proses sosialisasi dapat terjadi melalui permainan. Sebagai contoh
pada usia bayi ia akan merasakan kesenangan terhadap kehadiran
orang lain dan merasakan ada teman yang dunianya sama. Pada usia
toddler anak sudah mencoba bermain dengan sesamanya dan ini sudah
mulai proses sosialisasi satu dengan yang lain. Pada usia toddler anak
biasanya sering bermain peran seperti berpura-pura menjadi seorang
guru, menjadi seorang anak, menjadi seorang bapak, menjadi seorang
ibu dan lain-lain. Kemudian pada usia prasekolah ia sudah mulai
menyadari akan keberadaan teman sebaya sehingga anak mampu
melakukan sosialisasi dengan teman dan orang lain.
d. Meningkatkan kreatifitas
Bermain juga dapat berfungsi dalam peningkatan kreatifitas, dimana
anak mulai belajar menciptakan sesuatu dari permainan yang ada dan
mampu memodifikasi objek yang akan digunakan dalam permainan
sehingga anak akan lebih kreatif melalui model permainan ini, seperti
bermain bongkar pasang mobil-mobilan.
e. Meningkatkan kesadaran diri
Bermain pada anak akan memberikan kemampuan pada anak untuk
mengekplorasi tubuh dan merasakan dirinya sadar akan orang lain
yang merupakan bagian dari individu yang saling berhubungan. Anak
belajar mengatur perilaku dan membandingkan perilakunya dengan
perilaku orang lain.
f. Mempunyai nilai terapeutik
Bermain dapat menjadikan diri anak lebih senang dan nyaman
sehingga stress dan ketegangan dapat dihindarkan. Dengan demikian
bermain dapat menghibur diri anak terhadap dunianya.
g. Mempunyai nilai moral pada anak
Bermain juga dapat memberikan nilai moral tersendiri kepada anak.
Pada permainan tertentuseperti sepak bola, anak belajar benar atau
salah karena dalam permainan tersebut ada aturan-aturan yang harus
ditaati dan tidak boleh dilanggar. Apabila melanggar, maka
konsekuensinya akan mendapat sanksi. Anak juga belajar benar atau
salah dari budaya di rumah, di sekolah dan ketika berinteraksi dengan
temannya.

2.2. Tujuan Bermain


Adapun tujuan bermain di rumah sakit adalah agar dapat melanjutkan fase
tumbuh kembang secara optimal, mengembangkan kreativitas anak sehingga
anak dapat beradaptasi lebih efektif terhadap stress. Terapi bermain dapat
membantu anak menguasai kecemasan dan konflik. Karena ketegangan
mengendor dalam permaianan, anak dapat menghadapi masalah kehidupan,
memungkinkan anak menyalurkan kelebihan energi fisik dan melepaskan
emosi yang tertahan(Saputro, Heri & Frazin, 2017).
Permainan juga sangat mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak,
yaitu diantaranya:
1. Untuk perkembangan kognitif
a. Anak mulai mengerti dunia
b. Anak mampu mengembangakan pemikiran yang fleksibel dan
berbeda
c. Anak memiliki kesempatan untuk menemui dan mengatasi
permasalahan - permasalahan yang sebenarnya
2. Untuk perkembangan sosial dan emosional
a. Anak mengembangakan keahlian berkomunikasi secara verbal
maupun non verbal melalui negosiasi peran, mencoba untuk
memperoleh akses untuk permainan yang berkelanjutan atau
menghargai perasaan orang lain
b. Anak merespon perasaan teman sebaya sambil menanti giliran
bermain dan berbagi pengalaman
c. Anak bereksperimen dengan peran orang - orang dirumah, di
sekolah, dan masyarakat di sekitarnya melalui hubungan langsung
dengan kebutuhan - kebutuhan dan harapan orang - orang
disekitarnya
d. Anak belajar menguasai perasaanya ketika ia marah, sedih atau
khawatir dalam keadaan terkontrol
3. Untuk perkembangan bahasa
a. Dalam permainan dramatik, anak menggunakan pernyataan -
pernyataan peran, infleksi (perubahan nada/suara) dan bahasa
komunikasi yang tepat
b. Selama bemain, anak belajar menggunakan bahasa untuk tujuan -
tujuan yang berbeda dan dalam situasi yang berbeda dengan orang –
orang yang berbeda pula
c. Anak menggunakan bahasa untuk meminta alat bermain, bertanya,
mengkspresikan gagasan atau mengadakan dan meneruskan
permainan
d. Melalui bermain, anak bereksperimen dengan kata – kata, suku kata
bunyi, dan struktur bahasa
4. Untuk perkembangan fisik (jasmani)
a. Anak terlibat dalam permainan yang aktif menggunakan keahlian -
keahlian motorik kasar
b. Anak mampu memungut dan menghitung benda - benda kecil
menggunakan keahlian motorik halusnya
5. Untuk perkembangan pengenalan huruf (literacy)
a. Proses membaca dan menulis anak seringkali pada saat anak sedang
bermain permainan dramatik, ketika ia membaca cetak yang tertera,
membuat daftar belanja atau bermain sekolah – sekolahan
b. Permainan dramatik membantu anak belajar memahami cerita dan
struktur cerita
c. Dalam permainan dramatik, anak memasuki dinia bermain seolah-
olah mereka adalah karakter atau benda lain. Permainan ini
membantu mereka memasuki dunia karakter buku.

2.3. Fungsi Bermain


Menurut(Saputro, Heri & Frazin, 2017), dunia anak tidak dapat dipisahkan
dari kegiatan bermain. Diharapkan dengan bermain, anak akan mendapatkan
stimulus yang mencukupi agar dapat berkembang secara optimal.
Menurut Adriana, (2017), ada beberapa fungsi bermain sebagai berikut :
1. Perkembangan sensoris-motorik: Aktivitas sensorimotor adalah
komponen utama bermain pada semua usia. Melalui stimulus taktil,
auditoris, visual, dan kinestik, bayi memperoleh kesan. Todler dan
prasekolah sangat menyukai gerakan tubuh dan mengekplorasi segala
sesuatu diruangan.
2. Perkembangan intelektual: melalui eksplorasi dan manipulasianak
belajar mengenal warna, bentuk, ukuran, tekstur, dan membedakan objek.
Ketersediaan materi permainan dan kualitas keterlibatan orang tua adalah
dua variabel terpenting yang terkait dengan perkembangan kognitif
selama masa bayi dan prasekolah. Semakin sering anak melakukan
eksplorasi, akan melatih kemampuan intelektualnya.
3. Perkembangan sosial: perkembangan sosial ditandai dengan
kemampuan berinteraksi dengan lingkungannya. Melalui bermain, anak
akan belajar membentuk hubungan sosial dan menyelesaikan masalah,
berlajar saling memberi dan menerima, menerima kritikan, serta belajar
pola perilaku dan sikap yang diterima masyarakat. Hal ini terjadi
terutama pada anak usia sekolah dan remaja
4. Perkembangan kreativitas: anak-anak bereksperimen dan mencoba ide
mereka dalam bermain. Kreativitas terutama merupakan hasil aktivitas
tunggal, meskipun berfikir kreatif sering kali ditingkatkan dalam
kelompok. Anak merasa puas ketika menciptakan sesuatu yang baru dan
berbeda.
5. Perkembangan kesadaran diri: melalui bermain, anak akan
mengembangkan kemampuannya dalam mengatur tingkah laku. Anak
juga akan belajar mengenal kemampuannya dan membandingkannya
dengan orang lain kemudian menguji kemampuannya dengan mencoba
berbagai peran serta mempelajari dampak dari perilaku mereka pada
orang lain.
6. Nilai-nilai moral: anak mempelajari nilai benar dan salah dari
lingkungannya, terutama dari orang tua dan guru. Dengan melakukan
aktivitas bermain, anak akan mendapat kesempatan untuk menerapkan
nilai-nilai tersebut sehingga dapat diterima di lingkungannya dan dapat
menyesuaikan diri dengan aturan-aturan kelompok yang ada dalam
lingkungannya.
2.4. Kategori Bermain
Ada beberapa kategori bermain menurut (Setiawan, 2014), sebagai berikut :
1. Perkembangan Sensorik Motorik
Membantu perkembangan gerak dengan memainkan objek tertentu,
misalnya meraih pensil
2. Perkembangan Kognitif
Membantu mengenal benda sekitar (warna, bentuk kegunaan)
3. Kreatifitas
Mengembangkan kreatifitas mencoba ide baru misalnya menyusun balok
4. Perkembangan Sosial
Diperoleh dengan belajar berinteraksi dengan orang lain dan mempelajari
belajar dalam kelompok
5. Kesadaran diri (self awareness)
Bermain belajar memahami kemampuan diri kelemahan dan tingkah laku
terhadap orang lain
6. Perkembangan Moral
Interaksi dengan orang lain seperti bertingkah laku sesuai harapan teman,
menyesuaikan dengan aturan kelompok.
7. Terapi
Bermain kesempatan pada anak untuk mengekspresikan perasaan yang
tidak enak
8. Komunikasi
Bermain sebagai alat komunikasi terutama bagi anak yang belum dapat
mengatakan secara verbal.

2.5. Prinsip Pelaksanaan Terapi Bermain


Agar anak lebih efektif dalam bermain di rumah sakit menurut (Dewi, 2018),
perlu diperhatikan prinsip-prinsip berikut :
1. Permainan lebih sederhana, tidak membutuhkan banyak energi dan waktu
bermain lebih singkat. Waktu yang diperlukan untuk terapi bermain saat di
rumah sakit yaitu 15-20 menit. Kegiatan bermain dapat membuat
kedekatan anak dengan orang tua. Pelaksanaan terapi ini dapat
memberikan mekanisme koping dan menurunkan kecemasan pada anak.
2. Permainan harus memperhatikan tingkat keamanan dan kenyamanan.
Mainan harus relatif aman dan tidak membahayakan. Anak kecil perlu rasa
nyaman dan yakin terhadap benda-benda yang dikenalnya. Seperti boneka
yang dipeluk dan memberikan kesan nyaman. Dan perlu diperhatikan
bahwa mainan tidak boleh membuat anak tersedak dan tidak mengandung
bahan yang berbahaya.
3. Permainan tidak boleh bertentangan dengan terapi dan harus
mempertahankan kondisi anak. Apabila program terapi mengharuskan
anak untuk beristirahat maka kegiaan bermain dilakukan di tempat tidur.
Kegiatan bermain juga tidak boleh bertentangan pengobatan yang
diberikan, apabila anak harus tirah baring harus dipilihkan permainan yang
dapat dilakukan di tempat tidur.
4. Perlu keterlibatan orang tua dan keluarga dalam kegiatan bermain, karena
keterlibatan mereka sangatlah penting. Hal ini disebabkan karena orang tua
mempunyai kewajiban untuk tetap melangsungkan upaya stimulus tumbuh
kembang pada anak walaupun sedang dirawat di rumah sakit. Anak yang
dirawat di rumah sakit seharusnya tidak dibiarkan sendiri. Keterlibatan
orang tua dalam perawatan anak di rumah sakit diharapkan dapat
mengurangi dampak hospitalisasi.
SATUAN ACARA PENYELUHAN (SAP) TERAPI BERMAIN
MEWARNAI GAMBAR PADA ANAK PRA SEKOLAH
DI PANTI ASUHAN TERIMA KASIH ABADI

Pokok Bahasan  : Terapi Bermain Pada Anak Di Panti Asuhan Terima Kasih
Abadi Medan
Sub Pokok Bahasan : Terapi Bermain Anak Usia 3-6 tahun
Tujuan                       : Mengoptimalkan Tingkat Perkembangan Anak
Hari / Tanggal        : Rabu, 10 Maret 2021
Waktu : Pkl. 10.00 sd selesai
Tempat Bermain       : Di Panti Asuhan Terima Kasih Abadi Medan

A. Judul
Terapi bermain “Tebak Suara”
Alasan : Terapi bermain “Tebak Suara” judul ini dipilih kelompok untuk
menambah pengetahuan mengenali binatang dan suaranya,
untuk menambah pengetahuan anak dan mengembangkan
imajinasi pada anak.

B. Karakteristik Permainan
Anak dibimbing untuk menjawab suara hewan apa yang putar dengan
menunjukkan gambar hewan terkait.

C. Sasaran
1. Anak usia (3 - 6 tahun)
2. Anak yang ada di panti asuhan
3. Tidak mempunyai keterbatasan (fisik atau akibat terapi lain) yang dapat
menghalangi proses terapi bermain
4. Kooperatif dan mampu mengikuti proses kegiatan sampai selesai
5. Anak yang mau berpartisipasi dalam terapi bermain tebak suara.
D. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk menjadi aktif sehingga anak tidak akan merasa bosan atau jenuh di
Panti.
2. Tujuan Khusus
Setelah mengikuti permainan selama ± 35 menit anak akan mampu:
1. Kebutuhan bermain anak terpenuhi
2. Mengembangkan kreativitas dan daya pikirnya melalui pengalaman
bermain yang tepat
3. Mengekspresikan keinginan, persaan, dan fantasi anak selama di panti.
4. Mengekspresikan rasa senangnya terhadap permainan
5. Untuk meningkatkan adaptasi efektif pada anak terhadap stress.
6. Untuk meningkatkan kemampuan daya tangkap atau konsentrasi anak.
7. Untuk meningkatkan koping yang efektif untuk menambah
pengetahuan mengenali binatang dan suaranya.
8. Untuk mengembangkan imajinasi pada anak
9. Sebagai alat komunikasi antara perawat dan klien

E. Media
1. Gambar Binatang
2. Suara Hewan
3. Speaker
4. Laptop
5. Lembar penilaian
6. Pensil warna
F. Setting Tempat

Ketua
Moderator
Co Leader
Sekretaris
CI
Leader
Bendahara

Observe
r

Peserta Anak

Observe
r
Observe
r

Fasilitator Fasilitator Fasilitator

G. Strategi Bermain
No Tahapan Kegiatan Peserta Waktu
1 Pendahuluan 1. Mengucapkan salam Menjawab salam 3 menit
Moderator
2. Memperkenalkan diri Mendengarkan
3. Apersepsi Memperhatikan
1 Pembukaan 1. Kata Sambutan dari Mendengarkan 7 menit
Ketua Panitia
2. Membuka kegiatan Mendengarkan
dengan mengucapkan
salam.
3. Memperkenalkan diri Mendengarkan
4. Menjelaskan tujuan Menjelaskan
dari terapi bermain
oleh leader
5. Kontrak waktu anak Menerima
dan ibu panti
3 Kegiatan 1. Menjelaskan tata cara Menjelaskan 15 menit
Bermain pelaksanaan terapi
bermain mewarnai
dan menebak suara
kepada anak oleh co
leader Bingung
2. Memberikan
kesempatan kepada
anak untuk bertanya
jika belum jelas Antusias saat
3. Membagikan kertas menerima peralatan
bergambar dan pensil
warna. Memulai untuk
4. Fasilitator mewarnai gambar
mendampingi anak
dan memberikan
motivasi kepada anak Menjawab
5. Menanyakan kepada pertanyaan
anak apakah telah
selesai mewarnai
gambar Mendengarkan
6. Memberitahu anak
bahwa waktu yang
diberikan telah selesai Memperhatikan
7. Memberikan pujian
terhadap anak yang
mampu mewarnai
gambar sampai selesai
4 Penutup 1. Memotivasi anak Menceritakan 5 menit
untuk menyebutkan
apa yang diwarnai
2. Mengumumkan nama
anak yang dapat
mewarnai dengan
baik.
3. Membagikan reward Gembira
kepada seluruh
peserta
5 Terminasi 1. Memberikan motivasi Memperhatikan 5 menit
dan pujian kepada
seluruh anak yang
telah mengikuti
program terapi
bermain
2. Mengucapkan terima Mendengarkan
kasih kepada anak
dan orang tua
3. Mengucapkan salam Menjawab salam
penutup
H. Antisipasi Hambatan/Masalah
1. Jadwal terapi bermain disesuaikan (tidak pada waktu terapi)
2. Melakukan kerjasama dengan orang panti untuk mendampingi anak
selama program terapi.
I. Pengorganisasian
1. Pembimbing Pendidikan         :
a. Ns. Marthalena Simamora, M.Kep
b. Ns. Laura Siregar, M.Kep
c. Ns. Rani Kawati Damanik, M.Kep
2. Ketua : Hafizuddin, S.Kep
3. Sekretaris : Ayu Sastiya, S.Kep
4. Bendahara : Kristin Situmeang, S.Kep
5. Moderator : Dwi Utari, S.Kep
6. Leader : Marlina, S.Kep
7. Co Leader : Hendi Nurul Prasticia Lumban Gaol, S.Kep
8. Observer :
a. Andi Sahputra, S.Kep
b. Kristin Situmeang, S.Kep
9. Fasilitator :
a. Endang Rotua Pakpahan, S.Kep
b. Asri Mirdani Hia, S.Kep
c. Debora E Sirait, S.Kep
d. Hiskia, S.Kep
e. Mutia Mislika, S.Kep
f. Alisya, S.Kep
g. Mellin Widya Hutagalung, S.Kep
h. Emmi Dorenci Tinambunan S.Kep
i. Andriyanshah, S.Kep
j. Hafizuddin, S.Kep
10. Dokumentasi :
a. Kristin Situmeang, S.Kep
b. Ayu Sastiya, S.Kep
J. Fungsi Peran
1. Ketua : Mengontrol Semua Kegiatan Terapi Bermain
2. Sekretasi : Mencatat semua kegiatan yang akan dilakukan
3. Bendahara : Mengumpulkan dana yang diperlukan
4. Moderator :
Mengawal dan mengawasi jalannya terapi yang menjadi tanggung jawab
agar berjalan sesuai dengan topik
5. Leader : Mengkoordinir acara kegiatan terapi bermain anak
6. Co Leader
Membantu leader dalam mengawasi jalanya kegiatan terapi bermain
7. Observer
Membuat interpretasi terhadap apa yang diamati dan informasi yang
direkam dalam bentuk nilai tertentu sebagai refleksi dari penilaian skala
observasi terapi bermain.
8. Fasilitator
Memfasilitasi peralatan yang dibutuhkan agar tujuan dari terapi bermain
dapat tercapai dan mendapingi anak dalam bermain.
BAB 3
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Bermain tidak dapat dipisahkan dari kehidupan anak, karena bagi anak
bermain sama saja bekerja bagi orang dewasa. Bermain pada anak
mempunyai fungsi yaitu untuk perkembangan sensorik, motorik, intelektual,
sosial, kreatifitas, kesadaran diri, moral sekaligus terapi anak saat sakit.
Bermain adalah melanjutkan pertumbuhan dan perkembangan yang normal,
mengekspresikan dan mengalihkan keinginan fantasi. Dan idenya
mengembangkan kreatifitas dan kemampuan memecahkan masalah dan
membantu anak untuk beradaptasi secara efektif terhadap stress.

3.2. Saran
Terapi bermain dapat menjadi jembatan bagi anak untuk mendapatkan self
belonging dan mengurangi rasa kebosanan bahkan kecemasan pada anak.
Sebaikanya panti asuhan sering menerapkan terapi bermain pada anak
karena pada hakikatnya anak tidak dapat dipisahkan dari sebuah permainan.
DAFTAR PUSTAKA

Erlita, dr. (2006).Pengaruh Permainan pada Perkembangan Anak.Terdapat pada


http://info.balitacerdas.com. Diakses pada tanggal 25 Desember 2016

Arnis dan yuliartatis,(2016).Keperawatan Anak, Kementrian Kesehatan Republik


Indonesia

Muhaeminah, ISSN: 2301-8267 Vol. 03, No.01 Januari 2015, Game Therapy
Untuk Meningkatkan Sense Of Belonging Anak Panti Asuhan

Foster and Humsberger, 1998, Family Centered Nursing Care of Children. WB


sauders Company, Philadelpia USA

Hurlock, E B.1991. Perkembangan Anak Jilid 1.Erlangga : Jakarta

L. Wong, Donna. 2003. Pedoman Klinik Keperawatan Pediatrik Edisi 4. EGC:


Jakarta www.Pediatrik.com Minggu 25 Desember 2016

Markum, dkk. 1990.Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, EGC : Jakarta

Nursalam. (2005). Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak (untuk Perawat dan
Bidan). Jakarta: Salemba Medika.

Soetjiningsih, 1995,Tumbuh Kembang Anak, EGC : Jakarta

Whaley and Wong, 2009, Nursing Care Infanst and Children. Fourth
Edition.Mosby Year Book. Toronto
Canadahttp://sidikjaricerdas.wordpress.com /2010/08/09/ bermain-puzzle-
melatihkonsentrasi-anak/

Choenarom, C., Williams, R.A., & Hagerty., B.M. (2005). The role of sense of
belonging and social support on stress and depression in individuals with
depression. Archives of Psychiatric Nursing, 19, 18–29. Colman, A.M.
(2008).

Cooperation, psychological game theory, and limitations of rationality in social


interaction. Behavioral and Brain Sciences, 26, 139–198. Davidson, G.
(2013). Community music therapy: a pathway to a sense of belonging in a
school environment. -, Accessed on May 25, 2014 from
http://researcharchive. vuw.ac.nz/ xmlui/handle/10063/3002.

Dian, E.A., Dwiartanti, D., Chairani, S., Sarwendah, Mawati., T.K. (2011). 10
minggu mencari cinta: Program intervensi bagi penghuni panti werdha dan
panti asuhan. PKMM 3-3-2.
Maghfiroh, R. (2011). Persepsi prestasi pada anak terlantar yang tinggal di panti
asuhan al-hikmah Sawojajar Malang. Laporan penelitian. Departemen
Sosial Republik Indonesia (1989). Definisi anti asuhan.

Murray, S. (2014). Ideas to help create a sense of belonging. -, Accessed on May


25, 2014 from http://www.pinterest.com/playtherapysupp/ideas-to-help-
create-a-senseof-belonging/.

Nonthern Ireland Curriculum. 2009. I belong! Developing themselves as a


member of a community. -: No publisher included.

Pitonyak, D. (2010). The importance of belonging. Blacksburg: Imagine.

PPK. (2009). Pola Pengasuhan Anak di Panti Asuhan dan Pondok Pesantren Kota
Solo dan Kabupaten Klaten. Kerjasama Pusat Penelitian Kependudukan,
LPPM UNS dengan UNICEF.

Pratiwi, R., Handayani, M.P., Adni, A., Muhaeminah, Nahariyati, N. (2013).


Laporan training komunikasi interpersonal dan sense of belonging PT
Cendana Teknika Utama. Malang: No publisher included.
Purnami, R.S. & Rohayati. (2013). Implementasi metode experiential learning
dalam pengembangan softskills mahasiswa yang menunjang integrasi
teknologi, manajemen dan bisnis. Jurnal Penelitian Pendidikan, 14, 97 –
103.

Santrock, J.W. 2007. Remaja, edisi ke sebelas. Jakarta: Erlangga. Schaefer, C.A.
& Reid, S.E. (1986). Game play: Therapeutic use of chilhood games. New
York: John Wiley and Sons.

Shlomi, H. (2010). The relationship between childhood family instability, secure


attachment, and the sense of belonging of young adults. No publisher
included.

Shlomi, H. (2010). The relationship between childhood family instability, secure


attachment, and the sense of belonging of young adults. Laporan Penelitian.
Canadian Mental Health Association. (2009).

Ting, L. S. (2010). Motivational beliefs, ethnic identity, and sense of belonging:


Relations to school engagement and academic achievement. -, Accessed on
April 2, 2013 from http://repositories.tdl.org/uh-
ir/bitstream/handle/10657/ETD-UH-2010- 05-36/SHA-.pdf?sequence=2.

Anda mungkin juga menyukai