Winda Melati Puspita Alviani - p1337420920110 - LP Perilaku Kekerasan
Winda Melati Puspita Alviani - p1337420920110 - LP Perilaku Kekerasan
Oleh :
P1337420920110
C. Faktor predisposisi
Menurut Towsend (1996) terdapat beberapa teori yang dapat menjelaskan
tentang faktor predisposisi perilaku kekerasan, diantaranya adalah :
1. Teori Biologik
Berdasarkan terori biologi, ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi
sesorang melakukan perilaku kekerasan, yaitu sebagai berikut :
Pengaruh neurofisiologik, beragam komponen sistem neurologis
mempunyai implikasi dalam memfasilitasi dan menghambat impuls
agresif. Sistem limbik sangat terlibat dalam menstimulasi timbulnya
perilaku bermusuhan dan respons agresif.
Pengaruh biokimia, menurut Goldstein dalam Townsend (1996)
menyatakan bahwa berbagai neurotransmiter (epinefrin, norepinefrin,
dopamin, asetilkolin, dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi
dan menghambat impuls agresif. Peningkatan hormon serotonin dan
GABA (6 dan 7) pada cairan cerebrospinal merupakan faktor
predisposisi penting yang menyebabkan timbulnya perilaku agresif pada
seseorang.
Pengaruh genetik, menurut penelitian perilaku agresif sangat erat
kaitannya dengan genetik termasuk genetik tipe kariotipe XYY, yang
umumnya dimiliki oleh penghuni penjara pelaku tindak kriminal
(narapidana).
Gangguan otak, sindrom otak organik berhubungan dengan berbagai
gangguan cerebral, tumor otak (khususnya pada limbik dan lobus
temporal), trauma otak, penyakit ensefalitis, epilepsi (epilepsi lobus
temporal) terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak
kekerasan.
2. Teori Psikologik
Teori psikoanalitik yang menjelaskan bahwa tidak terpenuhinya
kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego
dan membuat konsep diri yang rendah. Agresi dan kekerasan dapat
memberikan kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan citra diri
serta memberikan arti dalam kehidupannya. Teori lainnya berasumsi
bahwa perilaku agresif dan tindak kekerasan merupakan pengungkapan
secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaannya dan rendahnya harga
diri pelaku tindak kekerasan.
Teori pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan perilaku yang
dipelajari, individu yang memiliki pengaruh biologik terhadap perilaku
kekerasan lebih cenderung untuk dipengaruhi oleh contoh peran
eksternal dibandingkan anak-anak tanpa faktor predisposisi biologik.
3. Teori Sosiokultural
Kontrol masyarakat yang rendah dan kecenderungan menerima perilaku
kekerasan sebagai cara penyelesaian masalah dalam masyarakat merupak
faktor predisposisi terjadinya perilaku kekerasan.
D. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi dapat dibedakan menjadi faktor internal dan eksternal.
Internal adalah semua faktor yang dapat menimbulkan kelemahan,
menurunnya percaya diri, rasa takut sakit, hilang kontrol, dan lain-lain.
Eksternal adalah penganiayaan fisik, kehilangan orang yang dicintai, krisis,
dan lain-lain.
Menurut Shives (1998) hal-hal yang dapat menimbulkan perilaku kekerasan atau
penganiayaan antara lain sebagai berikut :
Kesulitan kondisi sosial ekonomi
Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu
Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuannya
dalam menempatkan diri sebagai orang yang dewasa
Pelaku mungkin mempunyai riwayat antisosial seperti penyalahgunaan obat
dan alkohol serta tidak mampu mengontrol emosi pada saat menghadapi
frustasi
Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan
tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga.
E. Pohon masalah
Resiko Tinggi Menciderai Diri, Orang Lain, dan Lingkungan
Regimen Terapeutik
Inefektif
Harga Diri Rendah Isolasi Sosial :
Kronis Menarik Diri
Koping Keluarga
Tidak Efektif
Berduka Disfungsional
F. Manifestasi klinik
Berikut ini manifestasi klinik klien dengan perilaku kekerasan :
1. Fisik : mata melotot/ pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup,
wajah memerah dan tegang, serta postur tubuh kaku
2. Verbal : mengancam, mengumpat dengan kata-katakotor, berbicara dengan nada
keras, kasar, dan ketus
3. Perilaku : menyerang orang lain, melukai diri sendiri/ orang lain, merusak
lingkungan, amuk/ agresif
4. Emosi : tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam,
jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan,
dan menuntut
5. Intelektual : mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, dan tidak
jarang mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme
6. Spiritual : merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak
bermoral, dan kreativitas terhambat
7. Sosial : menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, dan sindiran
8. Perhatian : bolos, melarikan diri, dan melakukan penyimpangan seksual
G. Penatalaksanaan medis
Obat-obatan yang biasa diberikan pada pasien dengan marah atau perilaku kekerasan
adalah :
a. Antianxiety dan sedative hipnotics. Obat-obatan ini dapat
mengendalikan agitasi yang akut. Benzodiazepine seperti Lorazepam dan
Clonazepam, sering digunakan dalam kedaruratan psikiatrik untuk menenangkan
perlawanan klien. Tapi obat ini tidak direkomendasikan untuk penggunaan dalam
waktu lama karena dapat menyebabkan kebingungan dan ketergantungan, juga
bisa memperburuk simptom depresi.
b. Buspirone obat antianxiety, efektif dalam mengendalikan perilaku
kekerasan yang berkaitan dengan kecemasan dan depresi.
c. Antidepressants, penggunaan obat ini mampu mengontrol impulsif
dan perilaku agresif klien yang berkaitan dengan perubahan mood. Amitriptyline
dan Trazodone, menghilangkan agresifitas yang berhubungan dengan cedera
kepala dan gangguan mental organik.
d. Lithium efektif untuk agresif karena manik.
e. Antipsychotic dipergunakan untuk perawatan perilaku kekerasan.
H. Asuhan keperawatan
1. Data yang perlu dikaji
Subjektif :
Klien mengancam
Klien mengumpat dengan kata-kata kotor
Klien mengatakan dendam dan jengkel
Klien mengatakan ingin berkelahi
Klien menyalahkan dan menuntut
Klien meremehkan
Objektif :
Mata melotot/ pandangan tajam
Tangan mengepal
Rahang mengatup
Wajah memerah dan tegang
Postur tubuh kaku
Suara keras
2. Masalah keperawatan yang mungkin muncul
Perilaku kekerasan
Resiko menciderai diri sendiri, orang lain, dan lingkunga
Perubahan persepsi sensori: halusinasi
Harga diri rendah kronis
Isolasi sosial
Berduka disfungsional
Penatalaksanaan regimen terapeutik inefekteif
Koping keluarga inefektif
3. Diagnosis yang mungkin muncul
a. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan berhubungan dengan
perilaku kekerasan/ amuk.
b. Perilaku kekerasan berhubungan dengan gangguan harga diri: harga diri
rendah.
SP IVp
1. Memvalidasi masalah dan
latihan sebelumnya.
2. Melatih pasien cara kontrol
PK secara spiritual (berdoa,
berwudhu, sholat).
3. Membimbing pasien
memasukkan dalam jadwal
kegiatan harian.
SP Vp
1. Memvalidasi masalah dan
latihan sebelumnya.
2. Menjelaskan cara kontrol PK
dengan minum obat (prinsip 5
benar minum obat).
3. Membimbing pasien
memasukkan dalam jadwal
kegiatan harian.
I. Daftar Pustaka
Keliat Budi Ana, Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I, Jakarta : EGC,
1999
Keliat Budi Ana, Gangguan Konsep Diri, Edisi I, Jakarta : EGC, 1999
Aziz R, dkk, Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa Semarang : RSJD Dr. Amino
Gonohutomo, 2003