DISUSUN OLEH:
1. Definisi
Keterangan:
- Asertif : Kemarahan yang diungkapkan tanpa menyakiti orang lain.
- Frustasi : Kegagalan mencapai tujuan, tidak realitas/terhambat.
- Pasif : Respons lanjutan yang pasien tidak mampu mengungkapkan
perasaan.
- Agresif : Perilaku destruktif tapi masih terkontrol.
- Amuk : Perilaku destruktif yang tidak terkontrol
5. Pohon Masalah
Ketidakefektifan
Perilaku Kekerasan Defisit Perawatan Diri
penatalaksanaan program
Masalah Utama Mandi dan Berhias
terapeutik
Ketidakefektifan koping
keluarga :
Gangguan konsep diri :
Ketidakmampuan keluarga harga diri rendah kronis
merawat klien dirumah
6. Penatalaksanaan Medis
Menurut Yosep ( 2007 ) obat-obatan yang biasa diberikan pada pasien dengan
marah atau perilaku kekerasan adalah :
1. Medis
a. Antianxiety dan sedative hipnotics. Obat-obatan ini dapat mengendalikan
agitasi yang akut. Benzodiazepine seperti Lorazepam dan Clonazepam, sering
digunakan dalam kedaruratan psikiatrik untuk menenangkan perlawanan
klien. Tapi obat ini tidak direkomendasikan untuk penggunaan dalam waktu
lama karena dapat menyebabkan kebingungan dan ketergantungan, juga bisa
memperburuk simptom depresi.
b. Buspirone obat antianxiety, efektif dalam mengendalikan perilaku kekerasan
yang berkaitan dengan kecemasan dan depresi.
c. Antidepressants, penggunaan obat ini mampu mengontrol impulsif dan
perilaku agresif klien yang berkaitan dengan perubahan mood. Amitriptyline
dan Trazodone, menghilangkan agresifitas yang berhubungan dengan cedera
kepala dan gangguan mental organik.
d. Lithium efektif untuk agresif karena manik.
e. Antipsychotic dipergunakan untuk perawatan perilaku kekerasan.
2. Keperawatan
Menurut Yosep ( 2007 ) perawat dapat mengimplementasikan berbagai cara
untuk
mencegah dan mengelola perilaku agresif melaui rentang intervensi
keperawatan.
c. Fisik
Pada saat marah tensi biasanya meningkat.
d. Psikososial
1) Genogram
Pada genogram biasanya ada terlihat ada anggota keluarga yang mengalami
kelainan jiwa, pada komunikasi klien terganggu begitupun dengan
pengambilan keputusan dan pola asuh.
2) Konsep diri
a) Gambaran diri : Klien biasanya mengeluh dengan keadaan tubuhnya, ada
bagian tubuh yang disukai dan tidak disukai.
b) Identitas klien : Klien biasanya tidak puas dengan status dan posisinya
baik sebelum maupun ketika dirawat tapi klien biasanya
puas dengan statusnya sebagai laki-laki / perempuan.
c) Peran diri : Klien menyadari peran sebelum sakit, saat di rawat
peran klien terganggu.
d) Harga diri : Klien biasanya memiliki harga diri rendah sehubungan
dengan sakitnya.
e) Ideal diri : Klien biasanya memiliki harapan masa lalu yang tidak
terpenuhi.
3) Hubungan Sosial
Klien kurang dihargai di keluarga dan lingkungan.
4) Spritual
a) Nilai dan keyakinan
Biasanya klien dengan sakit jiwa dipandang tidak sesuai dengan norma
dan budaya.
b) Kegiatan ibadah
Klien biasanya menjalankan ibadah di rumah sebelumnya, saat sakit
ibadah terganggu atau sangat berlebihan.
f. Status Mental
- Penampilan
Biasanya penampilan diri yang tidak rapi, tidak cocok / serasi dan
berubah dari biasanya.
- Pembicaraan : Pembicaraan cepat, keras
- Aktivitas motorik : Meningkat, klien biasanya terganggu dan gelisah
- Alam perasaan : Berupa suasana emosi yang memanjang akibat dari
faktor presipitasi misalnya : sedih dan putus asa.
- Afek : Afek klien biasanya sesuai
- Interaksi selama wawancara : Selama berinteraksi dapat dideteksi sikap
klien yang tampak bermusuhan dan mudah tersinggung.
- Persepsi : Klien dengan perilaku kekerasan biasanya tidak memiliki
kerusakan persepsi.
- Proses pikir : Biasanya klien mampu mengorganisir dan menyusun
pembicaraan logis dan keheran.
- Isi Pikir : Keyakinan klien konsisten dengan tingkat intelektual dan latar
belakang budaya klien.
- Tingkat Kesadaran : Biasanya klien tidak mengalami disorientasi
terhadap orang, tempat dan waktu.
- Memori : Tidak terjadi gangguan daya ingat jangka panjang maupun
jangka pendek klien mampu mengingat kejadian yang baru saja terjadi.
- Tingkat konsentrasi dan berhitung : Klien tidak mengalami gangguan
konsentrasi dan berhitung
- Kemampuan penilaian : Klien mampu dalam mengambil keputusan jika
menghadapi masalah yang ringan klien mampu menilai dan mengevaluasi
diri sendiri.
- Daya tilik diri : Klien biasanya mengingkari penyakit yang diderita dan
tidak memerlukan pertolongan, klien juga sering menyalahkan hal-hal
diluar dirinya.
8. Diagnosa Keperawatan
Perilaku Kekerasan
9. Pembagian Strategi Pelaksanaan Komunikasi Perilaku Kekerasan
Tindakan Keperawatan Untuk Pasien Tindakan Keperawatan untuk
keluarga
SP 1 SP 1
1. Identifikasi penyebab, tanda dan 1. Diskusikan masalah yang dirasakan
gejala, PK yang dilakukan, akibat PK. dalam merawat klien.
2. Jelaskan cara mengontrol PK: fisik, 2. Jelaskan pengertian, tanda dan gejala,
obat, verbal, spiritual. dan proses terjadinya PK (gunakan
3. Latih cara mengontrol PK fisik 1 booklet).
(tarik nafas dalam) dan 2 (pukul 3. Jelaskan cara merawat PK.
kasur atau bantal). 4. Latih 1 cara merawat PK: fisik 1, 2.
4. Masukkan pada jadual kegiatan 5. Anjurkan membantu pasien sesuai
untuk latihan fisik. jadual dan memberikan pujian.
SP 2 SP 2
1. Evaluasi kegiatan latihan fisik 1 dan 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam
2. Beri pujian. merawat/ melatih pasien fisik 1, 2.
2. Latih cara mengontrol PK dengan Beri pujian.
obat (jelaskan 6 benar: jenis, guna, 2. Jelaskan 6 benar cara memberikan
dosis, frekuensi, cara, kontinuitas obat.
minum obat). 3. Anjurkan membantu pasien sesuai
3. Masukkan pada jadual kegiatan jadual dan memberi pujian.
untuk latihan fisik dan minum obat.
SP 3 SP 3
Tindakan Keperawatan Untuk Pasien Tindakan Keperawatan untuk
keluarga
SP 5 SP 5
1. Evaluasi kegiatan latihan fisik 1,2, 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam
minum obat, verbal dan spiritual dan merawat/ melatih pasien fisik 1, 2
berikan pujian. dan memberikan obat, verbal dan
2. Nilai kemampuan yang telah spiritual dan follow up. Beri pujian.
mandiri. 2. Nilai kemampuan merawat pasien.
3. Nilai apakahPK terkontrol. 3. Nilai kemampuan keluarga
melakukan kontrol ke PKM.
DAFTAR PUSTAKA
Azizah, L. M., Zainuri, I., & Akbar, A. (2016). BUKU AJAR KEPERAWATAN KESEHATAN
JIWA: Teori dan Aplikasi Praktik Klinik. Yogyakarta: Indomedia Pustaka.
Nurhalimah. (2016). Keperawatan Jiwa. Jakarta Selatan: Pusdik SDM Kesehatan.
Yosep, I. (2009). Keperawatan Jiwa. Jakarta: Reflika Aditama.
Yusuf, A., PK, R. F., & Nihayati, H. E. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa.
Jakarta: Salemba Medika
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN
HARGA DIRI RENDAH (HDR)
1. Definisi
Menurut Depkes RI harga diri rendah merupakan perasaan negatif
terhadap dirinya sendiri termasuk kehilangan rasa percaya diri, tidak berharga,
tidak berguna, tidak berdaya, pesimis, tidak ada harapan dan putus asa. Harga
diri rendah adalah evaluasi diri/perasaan tentang diri atau kemampuan diri yang
negative dan dipertahankan dalam waktu yang lama (Azizah, Zainuri, & Akbar,
2016).
Herdman (2012), mengatakan bahwa, harga diri rendah kronik
merupakan evaluasi diri negatif yang berkepanjangan/ perasaan tentang diri
atau kemampuan diri Harga diri rendah yang berkepanjangan termasuk kondisi
tidak sehat mental karena dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan lain,
terutama kesehatan jiwa (Herdman, 2012).
2. Proses Terjadinya Harga Diri Rendah
Harga diri rendah merupakan penilaian individu tentang nilai personal yang
diperoleh dengan menganalisa seberapa baik perilaku seseorang sesuai dengan
ideal diri. Harga diri yang tinggi adalah perasaan yang berakar dalam
penerimaan diri sendiri tanpa syarat, walaupun melakukan kesalahan,kekalahan,
dan kegagalan, tetapi merasa sebagai seorang yang penting dan berharga.
Gangguan harga diri dapat terjadi secara:
a) Situasional Yaitu terjadi trauma yang tiba-tiba, missal harus dioperasi,
kecelakaan, dicerai suami, putus sekolah, putus hubungan kerja. Pada
pasien yang dirawat dapat terjadi harga diri rendah karena privasi yang
kurang diperhatikan seperti pemeriksaan fisik yang sembarangan,
pemasangan alat yang tidak sopan, harapan akan struktur, bentuk dan
fungsi tubuh yang tidak tercapai karena dirawat/sakit/penyakit,
perlakuan petugas yang tidak menghargai.
b) MaturasionalAda beberapa factor yang berhubungan dengan maturasi
adalah:
- Bayi/Usia bermain/Pra sekolah Berhubungan dengan kurang
stimulasi atau kedekatan ,perpisahan dengan
- orang tua, evaluasi negative dari orang tua, tidak adekuat dukungan
orang tua , ketidak mampuan mempercayai orang terdekat.
- Usia sekolah; Berhubungan dengan kegagalan mencapai tingakat atau
peringkat objektif, kehilangan kelompok sebaya, umpan balik
negative berulang.
- Remaja Pada usia remaja penyebab harga diri rendah ,jenis kelamin,
gangguan hubungan teman sebagai perubahan dalam
penampilan,masalah-masalah pelajaran kehilangan orang terdekat.
- Usia sebaya; Berhubungan dengan perubahan yang berkaitan dengan
penuaan.
- Lansia; Berhubungan dengan kehilangan (orang, financial, pensiun)
c) Kronik
Yaitu perasaan negative terhadap diri telah berlangsung lama, yaitu
sebelum sakit/dirawat. Pasien mempunyai cara berpikir yang negative.
Kejadian sakit dan dirawat akan menambah persepsi negative terhadap
dirinya. Kondisi ini mengakibatkan respons yang maladaptive, kondisi ini
dapat ditemukan pada pasien gangguan fisik yang kronis atau pada
pasien gangguan jiwa (Azizah et al., 2016).
3. Etiologi
Harga diri rendah muncul saat lingkungan cenderung mengucilkan dan
menuntut lebih dari kemampuanya.
a) Faktor Predisposisi
- Faktor biologis
1) Kerusakan lobus frontal
2) Kerusakan hipotalamus
3) Kerusakan system limbic
4) Kerusakan neurotransmitterb.
- Faktor psikologis
1) penolakan orang tua
2) harapan orang tua tidak realistis
3) orang tua yang tidak percaya pada anak
4) tekanan teman sebaya
5) kurang reward system6. dampak penyakit kronis
- Faktor sosial
1) Kemiskinan
2) Terisolasi dari lingkungan
3) Interaksi kurang baik dalam keluarga
- Faktor cultural
1) Tuntutan peran
2) Perubahan kultur
b) Faktor Presipitasi
Adalah kehilangan bagian tubuh, perubahan penampilan/bentuk
tubuh, kegagalan atau produkivitas yang menurun. Secara umum
gangguan konsep diri harga diri rendah ini dapat terjadi secara
situasional atau kronik. Secara situasional misalnya karena trauma yang
muncul secara tiba-tiba misalnya harus di operasi, kecelakaan, perkosaan
atau di penjara termasuk di rawat di rumah sakit bisa menyebabkan
harga diri, harga diri rendah di sebabkan karena penyakit fisik atau
pemasangan alat bantu yang membuat klien tidak nyaman.
Penyebab lainnya dalah harapan fungsi tubuh yang tidak tercapai
serta perlakuan petugas kesehatan yang kurang menghargai klien dan
keluarga. Harga diri rendah kronik biasanya di rasakan klien sebelum
sakit atau sebelum di rawat klien sudah memilki pikiran negatif dan
meningkat saat di rawat. Dipengaruhi oleh factor Internal dan eksternal
(Azizah et al., 2016).
4. Rentang Respon
Respon Respon
Adaptif Maladaptif
Aktualisasi diri :Pernyataan diri tentang konsep diri yang (+) dengan latar
belakang pengalaman nyata yg sukses dan diterima
Konsep diri positif :Konsep diri (+) apabila individu mempunyai pengalaman
yang positif dalam beraktualisasi sosial
Harga diri rendah :Transisi antara respon konsep diri adaptif dengan konsep
diri maladaptif. Merasa diri tidak berharga, terhina dan terhempas dalam
kehidupan, selalu gagal dan salah
Kerancuan identitas :Kegagalan individu mengintegrasikan aspek-aspek
identitas masa kanak-kanak kedalam kematangan aspek psikososial kepribadian
pada masa dewasa yang harmonis
Depersonalisasi :Perasaan yg tidak realistis dan asing thd diri sendiri yang
berhub. dengan kecemasan, kepanikan, serta tidak dapat membedakan dirinya
dg. orang lain
5. Tanda dan gejala
Tanda yang menunjukan harga diri rendah menurut Carpenito,L.J (2003, Dalam
Azizah et al., 2016):
1) Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan akibat tindakan
terhadap penyakit. misalnya: malu dan sedih karena rambut menjadi
botak setelah mendapat terapi sinar pada kanker.
2) Rasa bersalah terhadap diri sendiri. Misalnya: ini tidak akan terjadi jika
saya segera ke rumah sakit, menyalahkan/mengejek dan mengkritik diri
sendiri.
3) Merendahkan martabat. Misalnya: saya tidak bisa,saya tidak mampu, saya
orang bodoh dan tidak tau apa-apa.
4) Percaya diri kurang. Misalnya: klien sukar mengambil keputusan,
misalnya tentang memilih alternatif tindakan.
5) Ekspresi malu atau merasa bersalah dan khawatir, menolak diri sendiri.
6) Perasaan tidak mampu.
7) Pandangan hidup yang pesimistis.
8) Tidak berani menatap lawan bicara.
9) Lebih banyak menunduk.
10) Penolakan terhadap kemampuan diri.
11) Kurang memperhatikan perawatan diri (Kuku panjang dan kotor,
rambut panjang dan lusuh, gigi kuning, kulit kotor).
12) Data Obyektif
a) Produktivitas menurun.
b) Perilaku distruktif pada diri sendiri.
c) Perilaku distruktif pada orang lain.
d) Penyalahgunaan zat
e) Menarik diri dari hubungan sosial
f) Ekspresi wajah malu dan merasa bersalah.
g) Menunjukkan tanda depresi (sukar tidur dan sukar makan)
h) Tampak mudah tersinggung/mudah marah (Azizah et al., 2016).
6. Pohon Masalah
Ketegangan peran
Trauma
1. Definisi
Bunuh diri secara umum mudah dimengerti sebagai suatu tindakan aktif
seseorang untuk mengakhiri hidupnya dengan berbagai cara. Bunuh diri adalah
tindakan yang dilakukan dengan sengaja untuk membunuh diri sendiri
(Videbeck, 2008).
Resiko bunuh diri adalah resiko untuk mencederai diri sendiri yang dapat
mengancam kehidupan. Bunuh diri merupakan kedaruratan psikiatri karena
merupakan perilaku untuk mengakhiri kehidupannya. Perilaku bunuh diri
disebabkan karena stress yang tinggi dan berkepanjangan dimana individu gagal
dalam melakukan mekanisme koping yang digunakan dalam mengatasi masalah
(Azizah et al., 2016).
2. Jenis Bunuh Diri
Menurut Durkheim, bunuh diri dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:
a. Bunuh diri egoistic (faktor dalam diri seseorang)
Individu tidak mampu berinteraksi dengan masyarakat, ini disebabkan oleh
kondisi kebudayaan atau karena masyarakat yang menjadikan individu itu
seolah-olah tidak berkepribadian. Kegagalan integrasi dalam keluarga dapat
menerangkan mengapa mereka tidak menikah lebih rentan untuk melakukan
percobaan bunuh diri dibandingkan mereka yang menikah.
b. Bunuh diri altruistic (terkait kehormatan seseorang)
Individu terkait pada tuntutan tradisi khusus ataupun ia cenderung untuk
bunuh diri karena indentifikasi terlalu kuat dengan suatu kelompok, ia
merasa kelompok tersebut sangat mengharapkannya.
c. Bunuh diri anomik (faktor lingkungan dan tekanan)
Hal ini terjadi bila terdapat gangguan keseimbangan integrasi antara individu
dan masyarakat, sehingga individu tersebut meninggalkan norma-norma
kelakuan yang biasa. Individu kehilangan pegangan dan tujuan. Masyarakat
atau kelompoknya tidak memberikan kepuasan padanya karena tidak ada
pengaturan atau pengawasan terhadap kebutuhan-kebutuhannya (Azizah et
al., 2016).
Perilaku bunuh diri terbagi menjadi tiga kategori (Stuart, 2006):
1. Ancaman bunuh diri yaitu peringatan verbal atau nonverbal bahwa
seseorang tersebut mempertimbangkan untuk bunuh diri. Orang yang
ingin bunuh diri mungkin mengungkapkan secara verbal bahwa ia tidak
akan berada di sekitar kita lebih lama lagi atau mengomunikasikan secara
non verbal.
2. Upaya bunuh diri yaitu semua tindakan terhadap diri sendiri yang
dilakukan oleh individu yang dapat menyebabkan kematian jika tidak
dicegah.
3. Bunuh diri yaitu mungkin terjadi setelah tanda peringatan terlewatkan
atau diabaikan. Orang yang melakukan bunuh diri dan yang tidak bunuh
diri akan terjadi jika tidak ditemukan tepat pada waktunya
3. Etiologi
Berdasarkan teori terdapat 3 penyebab terjadinya bunuh diri adalah sebagai
berikut:
a. Genetic dan teori biologi
Factor genetic mempengaruhi terjadinya resiko bunuh diri pada
keturunannya.Disamping itu adanya penurunan serotonin dapat
menyebabkan depresi yang berkontribusi terjadinya resiko buuh diri.
b. Teori sosiologi
Emile Durkheim membagi suicide dalam 3 kategori yaitu: Egoistik (orang
yang tidak terintegrasi pada kelompok social) , atruistik (Melakukan suicide
untuk kebaikan masyarakat) dan anomic (suicide karena kesulitan dalam
berhubungan dengan orang lain dan beradaptasi dengan stressor).
c. Teori psikologi
Sigmund Freud dan Karl Menninger meyakini bahwa bunuh diri merupakan
hasil dari marah yang diarahkan pada diri sendiri (Azizah et al., 2016).
Penyebab terjadinya bunuh diri, dari masing-masing golongan usia:
a. Pada anak
- Pelarian dari penganiayaan atau pemerkosaan
- Situasi keluarga yang kacau
- Perasaan tidak disayang atau selalu dikritik
- Gagal sekolah
- Takut atau dihina di sekolah
- Kehilangan orang yang dicintai
- Di hukum orang lain
b. Pada remaja
- Hubungan interpersonal yang tidak bermakna
- Sulit mempertahankan hubungan interpersonal
- Pelarian dari penganiayaan fisik atau pemerkosaan
- Perasaan tidak dimengerti orang lain
- Kehilangan orang yang dicintai
- Keadaan fisik
- Masalah dengan orang tua
- Masalah seksual
c. Pada dewasa
- Self-ideal terlalu tinggi
- Cemas akan tugas akademik yang banyak
- Kegagalan akademik
- Kehilangan penghargaan dan kasih sayang orang tua
- Kompetisi untuk sukses
d. Pada usia lanjut
- Perubahan status dari mandiri ke ketergantungan
- Penyakit yang menurunkan kemampuan berfungsi
- Perasaan tidak berarti di masyarakat
- Kesepian dan isolasi sosial
- Kehilangan ganda (seperti pekerjaan , kesehatan, pasangan)
- Sumber hidup berkurang
4. Tanda dan Gejala
Penyebab bunuh diri berdasarkan proses terjadinya sebagai berikut:
a. Faktor Predisposisi
1) Diagnosis Psikiatrik
Lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan cara
bunuh diri mempunyai riwayat gangguan jiwa. Tiga gangguan jiwa
yang dapat membuat individu berisiko untuk melakukan tindakan
bunuh diri adalah gangguan afektif, penyalahgunaan zat, dan
skizofrenia.
2) Sifat Kepribadian
Tiga tipe kepribadian yang erat hubungannya dengan besarnya resiko
bunuh diri adalah antipati, impulsif, dan depresi.
3) Lingkungan Psikososial
Faktor predisposisi terjadinya perilaku bunuh diri, diantaranya adalah
pengalaman kehilangan, kehilangan dukungan sosial, kejadian-
kejadian negatif dalam hidup, penyakit krinis, perpisahan, atau
bahkan perceraian.Kekuatan dukungan social sangat penting dalam
menciptakan intervensi yang terapeutik, dengan terlebih dahulu
mengetahui penyebab masalah, respons seseorang dalam menghadapi
masalah tersebut, dan lain-lain.
4) Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan
factor penting yang dapat menyebabkan seseorang melakukan
tindakan bunuh diri.
5) Faktor Biokimia
Data menunjukkan bahwa pada klien dengan resiko bunuh diri terjadi
peningkatan zat-zat kimia yang terdapat di dalam otak sepeti
serotonin, adrenalin, dan dopamine.Peningkatan zat tersebut dapat
dilihat melalui ekaman gelombang otak Electro Encephalo Graph
(EEG).
b. Faktor Presipitasi
Faktor PresipitasiPerilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stress
berlebihan yang dialami oleh individu. Pencetusnya sering kali berupa
kejadian hidup yang memalukan.Faktor lain yang dapat menjadi pencetus
adalah melihat atau membaca melalui media mengenai orang yang
melakukan bunuh diri ataupun percobaan bunuh diri. Bagi individu yang
emosinya labil, hal tersebut menjadi sangat rentan.
c. Perilaku Koping
Klien dengan penyakit kronik atau penyakit yang mengancam kehidupan
dapat melakukan perilaku bunuh diri dan sering kali orang ini secara sadar
memilih untuk melakukan tindakan bunuh diri.Perilaku bunuh diri
berhubungan dengan banyak faktor, baik faktor social maupun
budaya.Struktur social dan kehidupan bersosial dapat menolong atau
bahkan mendorong klien melakukan perilaku bunuh diri.Isolasi social dapat
menyebabkan kesepian dan meningkatkan keinginan seseorang untuk
melakukan bunuh diri. Seseorang yang aktif dalam kegiatan masyarakat
lebih mampu menoleransi stress dan menurunkan angka bunuh diri. Aktif
dalam kegiatan keagamaan juga dapat mencegah seseorang melakukan
tindakan bunuh diri.
d. Mekanisme Koping
Seseorang klien mungkin memakai beberapa variasi mekanisme koping yang
berhubungan dengan perilaku bunuh diri, termasuk denial, rasionalization,
regression, dan magical thinking.Mekanisme pertahanan diri yang ada
seharusnya tidak ditentang tanpa memberikan koping alternatif (Azizah et
al., 2016).
5. Rentang Respon
Keterangan
a. Peningkatan diri yaitu seorang individu yang mempunyai pengharapan, yakin,
dan kesadaran diri meningkat.
b. Pertumbuhan-peningkatan berisiko, yaitu merupakan posisi pada rentang
yang masih normal dialami individu yang mengalami perkembangan perilaku.
c. Perilaku destruktif diri tak langsung, yaitu setiap aktivitas yang merusak
kesejahteraan fisik individu dan dapat mengarah kepada kematian, seperti
perilaku merusak, mengebut, berjudi, tindakan kriminal, terlibat dalam
rekreasi yang berisiko tinggi, penyalahgunaan zat, perilaku yang menyimpang
secara sosial, dan perilaku yang menimbulkan stres.
d. Pencederaan diri, yaitu suatu tindakan yang membahayakan diri sendiri yang
dilakukan dengan sengaja. Pencederaan dilakukan terhadap diri sendiri, tanpa
bantuan orang lain, dan cedera tersebut cukup parah untuk melukai tubuh.
Bentuk umum perilaku pencederaan diri termasuk melukai dan membakar
kulit, membenturkan kepala atau anggota tubuh, melukai tubuhnya sedikit
demi sedikit, dan menggigit jari.
e. Bunuh diri, yaitu tindakan agresif yang langsung terhadap diri sendiri untuk
mengakhiri kehidupan (Yusuf et al., 2015).
6. Pohon Masalah
Perilaku destruktif
Korban
kekerasan
fisik
Kehilangan
Masa kecil tidak perkerjaan
menyenangkan
Faktor presipitasi
Faktor predisposisi
7. Diagnosis
Risiko bunuh diri berhubungan dengan harga diri rendah.
8. Rencana Intervensi
Tindakan Keperawatan untuk Pasien
a. Tujuan
Pasien tetap aman dan selamat.
b. Tindakan
Untuk melindungi pasien yang mengancam atau mencoba bunuh diri, maka
Anda dapat melakukan tindakan berikut.
- Menemani pasien terus-menerus sampai dia dapat dipindahkan ke
tempat yang aman.
- Menjauhkan semua benda yang berbahaya, misalnya pisau, silet, gelas, tali
pinggang.
- Memeriksa apakah pasien benar-benar telah meminum obatnya, jika
pasien mendapatkan obat.
- Menjelaskan dengan lembut pada pasien bahwa Anda akan melindungi
pasien sampai tidak ada keinginan bunuh diri.
Tindakan Keperawatan untuk Keluarga
a. Tujuan
Keluarga berperan serta melindungi anggota keluarga yang mengancam atau
mencoba bunuh diri.
b. Tindakan
- Menganjurkan keluarga untuk ikut mengawasi pasien serta jangan pernah
meninggalkan pasien sendirian.
- Menganjurkan keluarga untuk membantu perawat menjauhi barang-
barang berbahaya di sekitar pasien.
- Mendiskusikan dengan keluarga ja untuk tidak sering melamun sendiri.
- Menjelaskan kepada keluarga pentingnya pasien minum obat secara
teratur (Yusuf et al., 2015).
9. Pembagian Strategi Pelaksanaan Komunikasi Perilaku Kekerasan
Tindakan Keperawatan Untuk Pasien Tindakan Keperawatan untuk
keluarga
SP 1 SP 1
SP 2 SP 2
SP 3 SP 3
SP 4 SP 4
Isolasi sosial
7. Diagnosis
Defisit perawatan diri kebersihan diri, makan, berdandan, dan BAK/BAB.
8. Rencana Intervensi
Tindakan Keperawatan untuk Pasien
a. Tujuan.
- Pasien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri.
- Pasien mampu melakukan berhias/berdandan secara baik.
- Pasien mampu melakukan makan dengan baik.d. Pasien mampu
melakukan BAB/BAK secara mandiri.
b. Tindakan keperawatan.
1) Melatih pasien cara-cara perawatan kebersihan diri.
Untuk melatih pasien dalam menjaga kebersihan diri, Anda dapat
melakukan tahapan tindakan berikut.
- Menjelasan pentingnya menjaga kebersihan diri.
- Menjelaskan alat-alat untuk menjaga kebersihan diri.
- Menjelaskan cara-cara melakukan kebersihan diri.
- Melatih pasien mempraktikkan cara menjaga kebersihan diri.
2) Melatih pasien berdandan/berhias.
Anda sebagai perawat dapat melatih pasien berdandan. Untuk pasien laki-
laki tentu harus dibedakan dengan wanita.
- Untuk pasien laki-laki latihan meliputi: a) berpakaian,b) menyisir
rambut,c) bercukur.
- Untuk pasien wanita, latihannya meliputi: a) berpakaian,b) menyisir
rambut,c) berhias.
3) Melatih pasien makan secara mandiri.
Untuk melatih makan pasien, Anda dapat melakukan tahapan sebagai
berikut.
- Menjelaskan cara mempersiapkan makan.
- Menjelaskan cara makan yang tertib.
- Menjelaskan cara merapihkan peralatan makan setelah makan.
- Praktik makan sesuai dengan tahapan makan yang baik.
4) Pasien melakukan BAB/BAK secara mandiri.
Anda dapat melatih pasien untuk BAB dan BAK mandiri sesuai tahapan
berikut.
- Menjelaskan tempat BAB/BAK yang sesuai.
- Menjelaskan cara membersihkan diri setelah BAB dan BAK.
- Menjelaskan cara membersihkan tempat BAB dan BAK.
Tindakan Keperawatan pada Keluarga
a. Tujuan
Keluarga mampu merawat anggota keluarga yang mengalami masalah
kurang perawatan diri.
b. Tindakan keperawatan
Untuk memantau kemampuan pasien dalam melakukan cara perawatan
diri yang baik, maka Anda harus melakukan tindakan kepada keluarga agar
keluarga dapat meneruskan melatih pasien dan mendukung agar
kemampuan pasien dalam perawatan dirinya meningkat.
Tindakan yang dapat Anda lakukan antara lain sebagai berikut.
- Diskusikan dengan keluarga tentang masalah yang dihadapi keluarga
dalam merawat pasien.
- Jelaskan pentingnya perawatan diri untuk mengurangi stigma.
- Diskusikan dengan keluarga tentang fasilitas kebersihan diri yang
dibutuhkan oleh pasien untuk menjaga perawatan diri pasien.
- Anjurkan keluarga untuk terlibat dalam merawat diri pasien dan
membantu mengingatkan pasien dalam merawat diri (sesuai jadwal yang
telah disepakati).
- Anjurkan keluarga untuk memberikan pujian atas keberhasilan pasien
dalam merawat diri.
- Latih keluarga cara merawat pasien dengan defisit perawatan diri (Yusuf
et al., 2015).
9. Pembagian Strategi Pelaksanaan Komunikasi Defisit Perawatan Diri
SP 2 SP 2
1. Evaluasi kegiatan kebersihan diri. 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam
Beri pujian. merawat/ melatih pasien kebersihan
2. Jelaskan cara dan alat untuk diri. Beri pujian.
berdandan. 2. Bimbing keluarga membantu pasien
3. Latih cara berdandan setelah berdandan.
kebersihan diri: sisiran, rias muka 3. Anjurkan membantu pasien sesuai
untuk perempuan, sisiran, cukuran jadual dan memberi pujian.
untuk pria.
4. Masukkan pada jadual kegiatan
untuk kebersihan diri dan
berdandan.
SP 3 SP 3
1. Evaluasi kegiatan kebersihan diri 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam
dan berdandan. Beri pujian. merawat/ melatih pasien kebersihan
2. Jelaskan cara dan alat makan dan diri dan berdandan. Beri pujian.
minum. 2. Bimbing keluarga membantu makan
Tindakan Keperawatan Untuk Pasien Tindakan Keperawatan untuk
keluarga
3. Latih cara makan dan minum yang dan minum pasien.
baik. 3. Anjurkan membantu pasien sesuai
4. Masukkan pada jadual kegiatan jadual dan memberi pujian.
untuk latihan kebersihan diri,
berdandan dan makan dan minum
yang baik.
SP 4 SP 4
1. Evaluasi kegiatan kebersihan diri, 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam
berdandan dan makan dan minum. merawat/ melatih pasien kebersihan
Beri pujian. diri, berdandan, makan dan minum.
2. Jelaskan cara BAB dan BAK yang Beri pujian.
baik. 2. Bimbing keluarga merawat BAB dan
3. Latih BAB dan BAK yang baik. BAK pasien.
4. Masukkan pada jadual kegiatan 3. Jelaskan follow up ke PKM, tanda
untuk latihan kebersihan diri, kambuh, rujukan.
berdandan dan makan dan minum 4. Anjurkan membantu pasien sesuai
yang baik, BAB dan BAK. jadual dan memberi pujian.
SP 5 SP 5
1. Evaluasi kegiatan latihan perawatan 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam
diri: kebersihan diri, berdandan, merawat/ melatih pasien kebersihan
makan dan minum, BAB dan BAK. diri, berdandan, makan dan minum,
Beri pujian. BAB dan BAK. Beri pujian.
2. Latih kegiatan harian. 2. Nilai kemampuan merawat pasien.
3. Nilai kemampuan yang telah 3. Nilai kemampuan keluarga
mandiri. melakukan kontrol ke PKM.
4. Nilai apakah perawatan diri telah
baik.
DAFTAR PUSTAKA
Azizah, L. M., Zainuri, I., & Akbar, A. (2016). BUKU AJAR KEPERAWATAN KESEHATAN
JIWA: Teori dan Aplikasi Praktik Klinik. Yogyakarta: Indomedia Pustaka.
Nurhalimah. (2016). Keperawatan Jiwa. Jakarta Selatan: Pusdik SDM Kesehatan.
Yusuf, A., PK, R. F., & Nihayati, H. E. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa.
Jakarta: Salemba Medika
LAPORAN PENDAHULUAN ISOLASI SOSIAL
DEPARTEMEN
KEPERAWATAN JIWA
OLEH:
(201920461011073)
2020
A. Definisi
Isolasi sosial adalah keadaan dimana seorang individu mengalami penurunan
atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain di
sekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian dan tidak
mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain. Isolasi sosial
merupakan upaya klien untuk menghindari interaksi dengan orang lain,
menghindari hubungan dengan orang lain maupun komunikasi dengan orang
lain .
Isolasi sosial adalah pengalaman kesendirian dari seorang individu dan diteriam
sebagai perlakuan dari orang lain serta kondisi yang negatif atau mengancam
Isolasi Sosial adalah kondisi kesepian yang diekspresikan oleh individu dan
dirasakan sebagai hal yang ditimbulkan oleh orang lain dan sebagai suatu
keadaan negatif yang mengancam. Dengan karakteristik : tinggal sendiri dalam
ruangan, ketidakmampuan untuk berkomunikasi, menarik diri, kurangnya
kontak mata. Ketidak sesuaian atau ketidakmatangan minat dan aktivitas dengan
perkembangan atau terhadap usia. Preokupasi dengan pikirannya sendiri,
pengulangan, tindakan yang tidak bermakna. Mengekspresikan perasaan
penolakan atau kesepian yang ditimbulkan oleh orang lain. Mengalami perasaan
yang berbeda dengan orang lain, merasa tidak aman ditengah orang banyak.
B. Etiologi
Faktor-faktor yang mungkin menyebabkan isolasi sosial dibedakan menjadi 2,
yaitu faktor predisposisi dan faktor presipitasi.
1. Faktor predisposisi
a. Faktor tumbuh kembang
Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus dilalui individu
dengan sukses, karena apabila tugas perkembangan ini tidak dapat
dipenuhi, maka akan menghambat masa perkembangan selanjutnya.
Keluarga adalah tempat pertama yang memberikan pengalaman bagi
individu dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Kurangnya
stimulasi, kasih saying, perhatian, dan kehangatan dari ibu/pengasuh
pada bayi akan memberikan rasa tidak aman yang dapat menghambat
terbentuknya rasa percaya diri. Rasa ketidakpercayaan tersebut dapat
mengembangkan tingkah laku curiga pada orang lain maupun lingkungan
dikemudian hari. Oleh karena itu, komunikasi yang hangat sangat penting
dalam masa ini, agar anak tidak merasa diperlakukan sebagai objek.
d. Faktor biologis
Faktor genetik dapat berperan dalam respon sosial maladaptif.
Penurunan aktivitas neorotransmitter akan mengakibatkan perubahan
mood dan gangguan kecemasan. Menurut Townsend () neurotransmitter
yang mempengaruhi pasien dengan isolasi sosial adalah sebagai berikut:
1) Dopamin
Fungsi dopamin sebagai pengaturan mood dan motivasi, sehingga
apabila dopamin menurun pasien akan mengalami penurunan mood
dan motivasi.
2) Norepineprin
Norepineprin yang kurang dapat mempengaruhi kehilangan memori,
menarik diri dari masyarakat dan depresi
3) Serotonin
Pasien dengan menarik diri/ isolasi sosial, serotonin cenderung
menurun sehingga biasanya dijumpai tanda tanda seperti lemah, lesu
dan malas melakukan aktivitas
4) Asetokolin
Apabila terjadi penurunan asetokolin pada pasien dengan isolasi
sosial cenderung untuk menunjukkan tanda-tanda seperti malas,
lemah dan lesu.
2. Faktor presipitasi
a. Faktor eksternal
Stress sosiokultural
Stress dapat ditimbulkan oleh karena menurunya stabilitas unit keluarga
seperti perceraian, berpisah dari orang yang berarti, kehilangan pasangan
pada usia tua, kesepian karena ditinggal jauh, dan dirawat di rumah sakit
atau di penjara. Semua ini dapat menimbulkan isolasi sosial.
b. Faktor internal
Stress Psikologis
Ansietas berat yang berkepanjangan terjadi bersamaan dengan
keterbatasan kemampuan untuk mengatasinya.Tuntutan untuk berpisah
dengan orang terdekat atau kegagalan orang lain untuk memenuhi
kebutuhan ketergantungan dapat menimbulkan ansietas tingkat tinggi.
d. Sumber Koping
Menurut Stuart sumber koping yang berhubungan dengan respon sosial
maladaptif adalah sebagai berikut :
1) Keterlibatan dalam hubungan keluarga yang luas dan teman.
2) Hubungan dengan hewan peliharaan yaitu dengan mencurahkan
perhatian pada hewan peliharaan.
3) Penggunaan kreativitas untuk mengekspresikan stres
interpersonal (misalnya: kesenian, musik, atau tulisan) terkadang
ada beberapa orang yang ketika ada masalah mereka mendapat
dukungan dari keluarga dan teman yang membantunya dalam
mencari jalan keluar, tetapi ada juga sebagian orang yang memiliki
masalah, tetapi menghadapinya dengan menyendiri dan tidak mau
menceritakan kepada siapapun, termasuk keluarga dan temannya
e. Mekanisme Koping
Menurut Stuart individu yang mengalami respon sosial maladaptif
menggunakan berbagai mekanisme dalam upaya mengatasi ansietas.
Mekanisme tersebut berkaitan dengan dua jenis masalah hubungan yang
spesifik yaitu sebagai berikut:
1) Proyeksi merupakan Keinginan yang tidak dapat ditoleransi,
mencurahkan emosi kepada orang lain karena kesalahan
sendiri( Rasmun, 2004, hlm. 35).
2) Isolasi merupakan perilaku yang menunjukan pengasingan diri
dari lingkungan dan orang lain (Rasmun, 2015).
3) Spiliting atau memisah merupakan kegagalan individu dalam
menginterpretasikan dirinya dalam menilai baik buruk
(Rasmun,2015).
f. Rentang Respon
Menurut Stuart tentang respons klien ditinjau dari interaksinya dengan
lingkungan sosial merupakan suatu kontinum yang terbentang antara
respon adaptif dengan maladaptif sebagai berikut :
Bekerjasama
(Stuart. 2006)
1. Adaptif
Respon adaptif adalah respon yang diterima oleh norma sosial dan
kultural dimana individu tersebut menjelaskan masalah dalam batas
normal.
a. Menyendiri (Solitude)
Respons yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa yang
telah dilakukan di lingkungan sosialnya dan merupakan suatu cara
mengevaluasi diri dan menentukan langkah berikutnya
b. Otonomi
Kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan ide-
ide pikiran dan perasaan dalam hubungan sosial
c. Bekerjasama (Mutuality)
Suatu kondisi dalam hubungan interpersonal dimana individu
tersebut mampu untuk saling memberi dan menerima, merupakan
kemampuan individu yang saling membutuhkan satu sama lain
d. Interdependen
Kondisi saling tergantung antara individu dengan orang lain dalam
membina hubungan interpersonal
2. Maladaptif
Respon maladaptif adalah respon yang dilakukan individu dalam
menyelesaikan masalah yang menyimpang dari norma-norma sosial
dan kebudayaan suatu tempat.
a. Menarik diri
Seseorang yang mengalami kesulitan dalam membina hubungan
secara terbuka dengan orang lain, merupakan gangguan yang
terjadi apabila seseorang memutuskan untuk tidak berhubungan
dengan orang lain untuk mencari ketenangan sementara waktu
b. Ketergantungan (Dependen)
Terjadi bila individu gagal mengembangkan rasa percaya diri atau
kemampuannya untuk berfungsi secara sukses sehinggan
tergantung dengan orang lain
c. Curiga
Seseorang gagal mengembangkan rasa percaya terhadap orang
lain
d. Manipulasi
Seseorang yang mengganggu orang lain sebagai objek individu,
hubungan terpusat pada masalah pengendalian dan berorientasi
pada diri sendiri atau pada tujuan, bukan berorientasi pada orang
lain sehingga tidak dapat membina hubungan sosial secara
mendalam
e. Impulsif
Ketidakmampuan merencanakan sesuatu, tidak mampu belajar
dari pengalaman, tidak dapat diandalkan, mempunyai penilaian
yang buruk dan cenderung memaksakan kehendak
f. Narcissisme
Harga diri yang rapuh, secara terus menerus berusaha
mendapatkan penghargaan dan pujian, memiliki sikap egosentris,
pencemburu dan marah jika orang lain tidak mendukung
C. Manifestasi
1. Gejala Subjektif :
Klien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak orang lain
Klien merasa tidak aman berada dengan orang lain
Respon verbal kurang dan sangat singkat
Klien mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain
Klien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu
Klien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan
Klien merasa tidak berguna
Klien tidak yakin dapat melangsungkan hidupnya
Klien merasa ditolak
2. Gejala Objektif :
Klien banyak diam dan tidak mau bicara
Kurang spontan
Apatis, ekspresi wajah sedih, afektif datar
Ekspresi wajah kurang berseri
Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri
Komunikasi verbal menurun/tidak ada
Tidak memiliki teman dekat
Mengisolasi diri
Aktivitas menurun
Kepribadian yang kurang sehat
Tidak ada kontak mata, sering menunduk
Asyik dengan pikirannya sendiri
Lebih senang menyendiri
Menyendiri/berdiam di kamar
Tidak mampu berhubungan dengan orang lain secara intim
Tidak ada rasa percaya diri
Tidak dapat membina hubungan baik dengan orang lain
Mondar-mandir, melakukan gerakan berulang/sikap mematung
I. A. Pohon Masalah
Isolasi sosial
1. Isolasi Sosial
Data subyektif
a. Klien mengatakan saya tidak mampu, tidak bisa, tidak tahu apa-apa,
bodoh, mengkritik diri sendiri, mengungkapkan perasaan malu terhadap
diri sendiri.
Data obyektif
a. Klien terlihat lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih alternatif
tindakan, ingin mencederai diri/ingin mengakhiri hidup, Apatis, Ekspresi
sedih, Komunikasi verbal kurang, Aktivitas menurun, Posisi janin pada
saat tidur, Menolak berhubungan, Kurang memperhatikan kebersihan
2. Harga Diri Rendah
Data subjektif
a. Klien mengatakan dirinya sebagai orang yang tidak berharga, dirinya
kurang sempurna dan segala sesuatu yang dikerjakannya akan selalu
mendapat haslil yang buruk.
Data objektif
a. Sulit mengontrol tindakan dan perilakunya tehadap dunia luar dirinya
dan kurang dapat menerima saran dan kritikan dari orang lain
Data objektif
SP 1 SP 1
DAFTAR PUSTAKA
Akemat, & Keliat. (2009). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas CMHM (Basic Course).
Jakarta: EGC.
Damaiyanti, M., & Iskandar. (2012). Asuhan keperawata jiwa. Bandung: Retika
ADITAMA.
Dermawan, D., & Rusdi. (2013). Konsep dan Kerangka Kerja Asuhan Keperawatan Jiwa.
Yogyakarta: Gosyen Publishing.
Direja, A. H. S. (2011). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika.
Keliat, B. A., & Akemat. (2012). Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta:
EGC.
Nita, F. (2009). Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan Dan Srategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta: Salema Medika.
Purba. (2009). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Jiwa (pertama). Jakarta: EGC.
Riyadi, S., & Purwanto, T. (2013). Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Graha Ilmu.
DEPARTEMEN
KEPERAWATAN JIWA
OLEH:
(201920461011073)
2020
1.1 Pengertian
Waham adalah keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaian realistas
yang salah. Keyakinan klien tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan latar
belakang budaya klien (Keliat, 2015). Gangguan isi piker dapat disedefisnisikan
dengan adanya waham. Waham atau delusi adalah ide yang salah dan
bertentangan atau berlawanan dengan semua kenyataan dan tidak ada kaitannya
dengan latar belakang budaya.
1.2 Etiologi
a. Factor predisposisi
1.genetis: diturunkan, adanya abnormalis perkembangan system saraf yang
berhubungan dengan respon biologis
2.neurobiologis: adanya gangguan pada korteks pre frontal dan korteks limbic
3.neurotransmitter: abnormal pada dopamine, serotonim, dan glutamate
4. psikologis: ibu cemas, terlalu melindungi, ayah tidak peduli
b. factor presipitasi
1.proses pengolahan informasi yang berlebihan
2.mekanisme penghantaran listrik abnormal
3.adanya gejala pemicu
1.3 Manifestasi Klinis
a. Klien mengatakan sesuatu yang dinyakini (tentang agama, kebesaran,
kecurigaan, keadaan dirinya berulang kali secara berlebihan)
b. Klien tampak tidak mempunyai teman
c. Curiga
d. Bermusuhan
e. Merusak diri sendiri
f. Takut dan sangat waspada
g. Tidak tepat menilai lingkan
h. Ekspresi wajah tegang
i. Mudah tersinggung
1.4 Pohon masalah
Core
Problem
Causa
Misalnya “ saya tahu seluruh saudara saya ingin mengahcurkan hidup saya
berlebihan dan diucap secara berulang kali. Contoh “ kalau saya masuk surga,
“ini kan alam kubur yaa, semua yang ada disini adalah roh-roh”
f. Waham sisip piker: keyakinana bahwa ia ada pikiran orang lain yang disisipkan
ke dalam pikirannya
g. Waham siar piker: keyakinan klien bahwa orang lain mengetahui apa yang dia
tersebut
diluar dirinya
Klien mencoba berfikir rasional bahwa apa yang ia yakini atau apa-
apa yang ia katakan adalah kebohongan, menutupi kekurangan dan tidak
sesuai dengan kenyataan. Tetapi menghadapi kenyataan bagi klien
adalah sesuatu yang sangat berat, karena kebutuhannya untuk diakui,
kebutuhan untuk dianggap penting dan diterima lingkungan menjadi
prioritas dalam hidupnya, karena kebutuhan tersebut belum terpenuhi
sejak kecil secara optimal. Lingkungan sekitar klien mencoba
memberikan koreksi bahwa sesuatu yang dikatakan klien itu tidak benar,
tetapi hal ini tidak dilakukan secara adekuat karena besarnya toleransi
dan keinginan menjaga perasaan. Lingkungan hanya menjadi pendengar
pasif tetapi tidak mau konfrontatif berkepanjangan dengan alasan
pengakuan klien tidak merugikan orang lain.
5. Fase comforting
6. Fase improving
Eko Prabowo. (2014). Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha
Medika
Kaliet, Budi Ana. 2015. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas : CMHN (Basic Course.
Jakarta: EGC
Ns. Mustofa. 2017. Buku Saku Keperwatan jiwa Untuk Prakristi dan Mahasiswa
Keperawatan
LAPORAN PENDAHULUAN HALUSINASI
DEPARTEMEN
KEPERAWATAN JIWA
OLEH:
(201920461011073)
2020
A. Pengertian
Halusinasi adalah gangguan persepsi sensoria tau suatu objek tanpa
adanya rangsangan dari luar, gangguan persepsi sensori ini meliputi seluruh
panca indra. Halusinasi merupakan suatu gejala persepsi, serta merupakan
senssi palsu berupa suara, pendengaran, perabaan dan penciuman. Seseorang
merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada. Pasien dengan halusinasi
menepati urutan pertama dengan angka kejadian 44 persen atau berjumlah 345
orang (Zelika, 2015).
Halusinasi adalah perubahan stimulus dalam jumlah atau stimulus yang
dating disertai gangguan respons yang kurang, berlebihan, atau distorsi
terhadap stimulus tersebut. Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan
persepsi dimana pasien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi.
Suatu penerapan panca indra tanda ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan
yang dialami suatu persepsi melaluipanca indra tanpa stimullus eksteren :
persepsi palsu. (Prabowo, 2014).
B. Etiologi
Menurut Pembayun 2015 menjelaskan bahwa factor-faktor halusinasi adalah:
1. Faktor Predisposisi
a. Faktor genetis
Secara genetis, skizofrenia diturunkan melalui kromosom-kromosom
tertentu. Namun demikian, kromosom ke berapa yang menjadi faktor
penentu gangguan ini sampai sekarang masih dalam tahap penelitian. Anak
kembar identik memiliki kemungkinan mengalami skizofrenia sebesar 50%
jika salah satunya mengalami skizofrenia, sementara jika dizigote,
peluangnya sebesar 15%. Seorang anak yang salah satu orang tuanya
mengalami skizofrenia berpeluang 15% mengalami skizofrenia, sementara
bila kedua orang tuanya skizofrenia maka peluangnya menjadi 35%.
b. Faktor neurobiologis
Klien skizofrenia mengalami penurunan volume dan fungsi otak yang
abnormal. Neurotransmitter juga ditemukan tidak normal, khususnya
dopamin, serotonin, dan glutamat.
1) Studi neurotransmitter
Skizofrenia diduga juga disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan
neurotransmitter. Dopamin berlebihan, tidak seimbang dengan kadar
serotonin.
2) Teori virus
Paparan virus influenza pada trimester ketiga kehamilan dapat menjadi
faktor predisposisi skizofrenia.
3) Psikologis
Beberapa kondisi psikologis yang menjadi faktor predisposisi skizofrenia
antara lain anak yang diperlakukan oleh ibu yang pencemas, terlalu
melindungi, dingin, dan tak berperasaan, sementara ayah yang mengambil
jarak dengan anaknya.
2. Faktor Presipitasi
1) Berlebihannya proses informasi pada sistem saraf yang menerima dan
memproses informasi di thalamus dan frontal otak.
2) Mekanisme penghantaran listrik di syaraf terganggu.
3) Kondisi kesehatan, meliputi : nutrisi kurang, kurang tidur,
ketidakseimbangan irama sirkadian, kelelahan, infeksi, obat-obat sistem
syaraf pusat, kurangnya latihan, hambatan untuk menjangkau pelayanan
kesehatan.
4) Lingkungan, meliputi : lingkungan yang memusuhi, krisis masalah di rumah
tangga, kehilangan kebebasan hidup, perubahan kebiasaan hidup, pola
aktivitas sehari-hari, kesukaran dalam hubungan dengan orang lain, isolasi
social, kurangnya dukungan sosial, tekanan kerja, kurang ketrampilan dalam
bekerja, stigmatisasi, kemiskinan, ketidakmampuan mendapat pekerjaan.
5) Sikap/perilaku, meliputi : merasa tidak mampu, harga diri rendah, putus asa,
tidak percaya diri, merasa gagal, kehilangan kendali diri, merasa punya
kekuatan berlebihan, merasa malang, bertindak tidak seperti orang lain dari
segi usia maupun kebudayaan, rendahnya kernampuan sosialisasi, perilaku
agresif, ketidakadekuatan pengobatan, ketidakadekuatan penanganan gejala.
C. Klasifikasi Halusinasi
Menurut (Nurhalimah, 2016) jenis – jenis halusinasi yaitu :
D. Fase halusinasi
Tahapan terjadinya halusinasi terdiri dari 4 fase menurut Stuart dan Laraia (2001)
setiap fase memiliki karakteristik yang berbeda, yaitu:
Fase I :
Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas, kesepian, rasa
bersalah dan takut serta mencoba untuk berfokus pada pikiran yang
menyenangkan untuk meredakan ansietas. Di sini klien tersenyum atau tertawa
yang tidak sesuai, menggerakkan lidah tanpa suara, pergerakan mata yang cepat,
diam dan asyik sendiri.
Fase II :
Pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan. Klien mulai lepas kendali
dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan sumber yang
dipersepsikan. Disini terjadi peningkatan tanda-tanda sistem saraf otonom akibat
ansietas seperti peningkatan tanda-tanda vital (denyut jantung, pernapasan dan
tekanan darah), asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan
untuk membedakan halusinasi dengan realita.
Fase III :
Klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan menyerah
pada halusinasi tersebut. Di sini klien sukar berhubungan dengan orang lain,
berkeringat, tremor, tidak mampu mematuhi perintah dari orang lain dan berada
dalam kondisi yang sangat menegangkan terutama jika akan berhubungan dengan
orang lain.
Fase IV :
Pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti perintah
halusinasi. Di sini terjadi perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri, tidak mampu
berespon terhadap perintah yang kompleks dan tidak mampu berespon lebih dari 1
orang. Kondisi klien sangat membahayakan.
E. Psikopatologi
Proses terjadinya halusinasi diawali dengan seseorang yang mengalami halusinasi dan
menganggap sumber dari halusinasinya berasal dari lingkungan stimulus eksternal.
Pada fase awal masalah itu menimbulkan peningkatan kecemasan yang terus menerus
dan system pendukung yang kurang akan membuat persepsi untuk membedakan yang
dipikirkan dengan perasaan sendiri, pasien sulit tidur sehingga terbiasa menghayal dan
pasien bisa menganggap lamunan itu sebagai pemecahan masalah. Meningkatnya pula
fase comforting, klien mengalami emosi yang berlanjut seperti cemas, kesepian,
perasaan berdosa dan sensorinya dapat diatur. Pada fase ini merasa nyaman dengan
halusinasinya. Halusinasinya akan muncul kembali jika pasien tidak mampu mengontrol
halusinasinya dan berupa menjaga jarak dengan obyek yang dipersepsikan. Pada fase
condemning pasien mampu menarik diri dari orang lain. Pada fase controlling pasien
merasa kesepian. Pada fase conquering lama kelamaan pengalaman sensorinya
terganggu, pasien merasa terancam dengan halusinasinya terutama menuruti kemauan
dari halusinasinya
1. Respon adaptif
Berdasarkan rentang respon halusinasi menurut (Yusuf et al., 2015) meliputi :
a. Pikiran logis berupa mendapat atau pertimbangan yang dapat di terima
akal.
b. Persepsi akurat berupa pandangan dari seseorang tentang sesuatu
peristiwa secara cermat dan tepat sesuai perhitungan.
c. Emosi konsisten dengan pengalaman berupa ke mantapan perasaan jiwa
yang timbul sesuai dengan peristiwa yang penuh di alami.
d. Perilaku sesuai dengan kegiatan individu atau sesuatu yang berkaitan
dengan individu tersebut di wujudkan dalam bentuk gerak atau ucapan
yang bertentangan dengan moral.
e. Hubungan social dapat di ketahui melalui hubungan seseorang dengan
orang lain dalam pergaulan di tengah masyarakat.
2. Respon maladaptive
Respon maladaptive berdasarkan rentang respon halusinasi menurut (Yusuf
et al., 2015) meliputi :
a. Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh di pertahankan
walaupun tidak di yakini oleh orang lain dan bertentangan dengan
kenyataan social.
b. Halusinasi merupakan gangguan yang timbul berupa persepsi yang salah
terhadap rangsangan.
c. Tidak mampu mengontrol emosi berupa ketidakmampuan atau
menurunnya kemampuan untuk mengalami kesenangan kebahagiaan,
keakraban, dan kedekatan.
d. Ketidakteraturan perilaku berupa ketidakselarasan antara perilaku dan
gerakan yang di timbulkan
e. Isolasi social adalah kondisi kesendirian yang di alami oleh individu karna
orang lain menyatakan sikap yang di alami oleh individu
G. Mekanisme Koping
Mekanisme koping yang sering digunakan klien dengan halusinasi:
1. Regresi adalah perilaku menjadi malas beraktifitas sehari –hari
2. Proyeksi adalah mencoba menjelaskan gangguan persepsi dengan
mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain atau sesuatu benda
3. Menarik diri adalah sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus
internal
4. Keluarga mengingkari masalah yang dialami oleh klien
(Yusuf et al., 2015)
H. Penatalaksanaan
Menurut Rahayu (2016), penatalaksanaan medis pada pasien halusinasi
pendengaran dibagi menjadi dua:
a. Terapi Farmakologi
i. Haloperidol
1. Klasifikasi : antipskotik, neuroleptic, butirofenon
2. Indikasi
Penatalaksanaan psikosis kronik dan akut, pengendalian
hiperaktivitas dan masalah perilaku berat pada anak-anak
3. Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja anti psikotik yang tepat belum dipenuhi
sepenuhnnya, tampak menekan susunan saraf pusat pada tingkat
subkortikal formasi retricular otak, mesenfalon dan batang otak.
4. Kontraindikasi
Hipersensivitas terhadap obat ini pasien depresi SSP dan sumsum
tulang belakang, kerusakan otak subkortikal, penyakit Parkinsondan
anak dibawah usia 3 tahun.
5. Efek Samping
Sedasi, sakit kepala, kejang, insomnia, pusing, mulut kering dan
anoreksia.
ii. Clorpromazin
1. Klasifikasi : sebagai antipsikotik, antiemetic.
2. Indikasi
Penanganan gangguan psikotik seperti skizofrenia, fase mania pada
gangguan bipolar, gangguan skizofrenia, ansietas dan agitasi, anak
hiperaktif yang menunjukkan aktivitas motorik berlebih.
3. Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja antipsikotik yang tepat belum dipahami
sepenuhnya, namun berhubungan dengan efek anti dopaminergik.
Antipsikotik dapat menyekat reseptor dipamine postsinaps
padaganglia basa, hipotalamus, system limbic, batang otak dan
medulla.
4. Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap obat ini, pasien koma atau depresisumsum
tulang, penyakit Parkinson, insufiensi hati, ginjal dan jantung, anak
usia dibawah 6 tahun dan wanita selama masa kehamilan dan laktasi.
5. Efek Samping
Sedasi, sakit kepala, kejang, insomnia, pusing, hipertensi, ortostatik,
hipotensi, mulut kering, mual dan muntah.
iii. Trihexypenidil ( THP )
1. Klasifikasi : antiparkinson
2. Indikasi
Segala penyakit Parkinson, gejala ekstra pyramidal berkaitan dengan
obat antiparkinson.
3. Mekanisme Kerja
Mengorks ketidakseimbangan defisiensi dopamine dan kelebihan
asetilkolin dalam korpus striatum, asetilkolin disekat oleh sinaps
untuk menguragi efek kolinergik berlebihan.
4. Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap obat ini, glaucoma sudut tertutup,
hipertropi prostat pada anak dibawah usia 3 tahun.
5. Efek Samping
Mengantuk, pusing, disorientasi, hipotensi, mulut kering, mual dan
muntah.
b. Terapi Non Farmakologi
i. Terapi Aktivitas Kelompok
Terapi aktivitas kelompok yang sesuai dengan Gangguan Sensori
Persepsi : Halusinasi adalah TAK Stimulasi Persepsi.
ii. Elektro Convulsif Therapy ( ECT )
Merupakan pengobatan secara fisik meggunakan arus listrik dengan
kekuatan 75-100 volt, cara kerja belum diketahui secara jelas namun
dapat dikatakan bahwa terapi ini dapat memperpendek lamanya
serangan Skizofrenia dan dapat permudahkan kontak dengan orang lain.
iii. Pengekangan atau pengikatan
Pengembangan fisik menggunakan pengekangannya mekanik seperti
manset untuk pergelangan tangan dan pergelangan kaki dimana klien
pengekangan dimana klien dapat dimobilisasi dengan membalutnya,
cara ini dilakukan padda klien halusinasi yang mulai menunjukkan
perilaku kekerasan diantaranya: marah-marah atau mengamuk.
I. Pohon Masalah
Menurut (Yosep & Sutini, 2014), pohon masalah pada pasien halusinasi
antara lain sebagai berikut:
(Effect)
(Core Problem)
(Causa)
J. Strategi Pelaksanaan Pada Pasien Halusinasi
Strategi pelaksanaan pada pasien halusinasi menurut Akemat & Keliat (2009)
antara lain :
1. Strategi Pelaksanaan 1 Pasien: membantu pasien mengenal halusinasi,
menjelaskan cara mengontrol halusinasi, mengajarkan pasien mengontrol
halusinasi dengan menghardik. Membantu pasien mengenal halusinasi,
perawat dapat berdiskusi dengan pasien tentang isi, jenis, waktu dan
frekuensi terjadinya halusinasi, situasi yang menimbulkan atau tidak
menimbulkan halusinasi (pemicu) dan bagaimana respon pasien saat
terjadi halusinasi, setelah itu menjelaskan cara mengontrol halusinasi
dengan cara menghardik. Berikut ini tahapan intervensi yang dilakukan
perawat dalam mengajarkan pasien, antara lain:
a. Menjelaskan cara menghardik halusinasi,
b. Memperagakan cara menghardik,
c. Meminta pasien memperagakan ulang,
d. Memantau penerapan cara memuat perilaku pasien.
2. Strategi Pelaksanaan 2 Pasien : melatih pasien mengontrol halusinasi dengan
bercakap-cakap bersama orang lain. Bercakap-cakap dengan orang lain
dapat membantu mengontrol halusinasi. Ketika pasien bercakap-cakap
dengan orang lain, terjadi distraksi: fokus perhatian pasien akan beralih dari
halusinasi ke percakapan yang dilakukan dengan orang lain.
3. Strategi Pelaksanaan 3 Pasien : Melatih pasien mengontrol halusinasi dengan
melakukan aktivitas terjadwal. Untuk mengurangi resiko halusinasi muncul
lagi adalah dengan cara menyibukkan diri melakukan aktivitas yang teratur.
Dengan aktivitas terjadwal pasien tidak akan mengalami banyak waktu
luang sendiri yang sering kali mencetuskan halusinasi dengan cara
beraktivitas secara teratur
4. Strategi Pelaksanaan 4 Pasien : Melatih pasien minum obat secara teratur.
Minum obat secara teratur dapat mengontrol halusinasi. Pasien juga harus
dilatih untuk minum obat secara teratur sesuai dengan program terapi
dokter. Pasien gangguan jiwa yang dirawat dirumah sering mengalami putus
obat sehingga pasien mengalami kekambuhan. Jika kekambuhan terjadi,
untuk mencapai kondisi seperti semula akan membutuhkan waktu. Dengan
intervensi yang dapat dilakukan perawat agar pasien patuh minum obat:
a. Jelaskan kegunaan obat,
b. Jelaskan akibat jika putus obat,
c. Jelaskan cara mendapatkan obat atau berobat,
d. Jelaskan cara minum obat dengan prinsip 5 benar (benar obat, benar
pasien, benar cara, benar waktu, dan benar dosis)
Daftar Pustaka
Akemat, & Keliat. (2009). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas CMHM (Basic Course).
Jakarta: EGC.
Muhith, A. (2015). Pendidikan Keperawatan Jiwa : Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Andi
Offset.
Yosep, I., & Sutini, T. (2014). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Adimata.
Yusuf, Risky, & Hanik. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba
Medika.
LAPORAN PENDAHULUAN RESIKO BUNUH DIRI
Oleh :
NIM. 201920461011073
2020
Bunuh diri yakni suatu upaya yang disadari dan bertujuan untuk mengakhiri
kehidupan individu secara sadar berhasrat dan berupaya melaksanakan
hasratnya untuk mati. Perilaku-perilaku bunuh diri dapat berupa isyarat-isyarat,
percobaan atau ancaman verbal yang mengakibatkan kematian, luka atau
menyakiti diri sendiri. Bunuh diri (dalam bahasa Inggris: suicide; dalam budaya
Jepang dikenal istilah hara- kiri). Alasan atau motif bunuh diri bermacam-macam
namun biasanya didasari oleh rasa bersalah yang sangat besar karena merasa
gagal untuk mencapai suatu harapan (Jannah, 2010)
Wood, Bellis, Mathieson dan Foster (2010) mengatakan bahwa terdapat
beberapa kelompok risiko tinggi klien bunuh diri, antara lain seseorang dengan
gangguan kepribadian, gangguan makan, depresi dan cemas, pengalaman hidup
yang penuh stress, kemiskinan, serta riwayat keluarga dengan bunuh diri (Dewi
& Erawati, 2020)
Resiko bunuh diri merupakan beresiko terhadap cedera yang ditimbulkan
sendiri dan mengancam jiwa (Wilkinson & Ahern, 2012) didukung dengan
data – data subjektif maupun objektif. Data subjektif seperti klien sering
mengatakan ingin mengakhiri hidupnya, merasa tidak berharga dan tidak
berguna. Sedangkan data objektif yang menunjang adalah adanya riwayat
keluarga yang melakukan bunuh diri, klien pernah berusaha melakukan bunuh
diri dengan minum racun serangga (Purbaningsih, 2019)
B. Etiologi
Menurut (Damaiyanti & Iskandar, 2012)
1. Faktor Predisposisi
a. Diagnosis Psikiatri
Lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan cara
bunuh diri mempunyai riwayat gangguan jiwa. Tiga gangguan jiwa yang
dapat membuat individu berisiko untuk melakukan tindakan bunuh diri
adalah gangguan efektif, penyalagunaan zat, dan skizofrenia.
b. Sifat kepribadian
Tiga tipe keperibadian yang erat hubungannya dengan besarnya resiko
bunuh diri adalah antipati, impulsif, dan depresi
c. Lingkungan psikososial
Pengalaman kehilangan, kehilangan dukungan sosial, kejadian kejadian
negatif dalam hidup, penyakit kronis, perpisahan dan bahkan perceraian.
Kekuatan dukungan sosial sangat penting dalam menciptakan intervensi
yang terapeutik, dengan terlebih dahulu mengetahui penyebab maslah,
respon seorang dalam menghadapi masalah tersebut, dan lain-lain.
d. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan faktor
penting yang dapat menyebabkan seseorang melakukan tindakan bunuh
diri.
e. Faktor Biokimia
Data menunjukkan bahwa pada klien dengan resiko bunuh diri terjadi
peningkatan zat-zat kimia yang terdapat di dalam otak seperti
serotonim, adrenalin, dan dopamine. Peningkatan zat tersebut dapat
dilihat melalui rekaman gelombang otak Electro Encephalo Graph (EEG)
2. Faktor Presipitasi
Beberapa faktor presipitasi yang berkaitan dengan bunuh diri adalah
perasaan terisolasi karena kehilangan hubungan interpersonal/gagal
melakukan hubungan yang berarti, kegagalan beradaptasi, perasaan
marah/bermusuhan, dan cara mengakhiri keputusasaan
Perilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stres yang berlebihan
yang dialami oleh individu. Pencetusnya sering kali berupa kejadian hidup
yang memalukan. Faktor lain yang dapat menjadi pencetus adalah melihat
atau membaca melalui medaia mengenai orang yang melakukan bunuh diri
ataupun percobaan bunuh diri. Bagi individu yang emosinya labil, hal
tersebut menjadi sangat rentan
B. Klasifikasi Bunuh Diri
Perilaku bunuh diri terbagi menjadi tiga kategori yaitu (Stuart, 2006):
1) Ancaman bunuh diri yaitu peringatan verbal atau nonverbal bahwa
seseorang tersebut mempertimbangkan untuk bunuh diri. Orang yang ingin
bunuh diri mungkin mengungkapkan secara verbal bahwa ia tidak akan
berada di sekitar kita lebih lama lagi atau mengomunikasikan secara non
verbal.
2) Upaya bunuh diri yaitu semua tindakan terhadap diri sendiri yang dilakukan
oleh individu yang dapat menyebabkan kematian jika tidak dicegah.
3) Bunuh diri yaitu mungkin terjadi setelah tanda peringatan terlewatkan atau
diabaikan. Orang yang melakukan bunuh diri dan yang tidak bunuh diri akan
terjadi jika tidak ditemukan tepat pada waktunya (Jannah, 2010)
Sementara itu, (Yosep & Sutini, 2014) mengklasifikasikan terdapat tiga jenis
bunuh diri, meliputi:
1) Bunuh diri anomik adalah suatu perilaku bunuh diri yang didasari oleh
faktor lingkungan yang penuh tekanan (stressful) sehingga mendorong
seseorang untuk bunuh diri.
2) Bunuh diri altruistik adalah tindakan bunuh diri yang berkaitan dengan
kehormatan seseorang ketika gagal dalam melaksanakan tugasnya.
3) Bunuh diri egoistik adalah tindakan bunuh diri yang diakibatkan faktor
dalam diri seseorang seperti putus cinta atau putus harapan.
C. Manifestasi Klinis
Menurut Nita (2009), tanda dan gejala dari resiko bunuh diri adalah :
1. Mempunyai ide untuk bunuh diri
2. Mengungkapkan keinginan untuk mati
3. Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan
4. Inpulsif
5. Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi sangat patuh).
6. Memiliki riwayat percobaan bunuh diri
7. Verbal terselubung (berbicara tentang kematian, menayakan tentang obat
dosis mematikan)
8. Status emosional (harapan, penolakan, cemas meningkat, panik, marah dan
mengasingkan diri).
9. Kesehatan mental (secara klinis, klien terlihat sebagai orang depresi,
psikosis dan menyalagunakan narkoba)
10. Kesehatan fisik (biasanya pada klien dengan penyakit kronik atau terminal)
11. Pengangguran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau mengalami
kegagalan dalam karier)
12. Umur 15-19 tahun atau diatas 45 tahun m. Status perkawinan (mengalami
kegagalan dalam perkawinan)
13. Pekerjaan
14. Konflik interpersonal
15. Latar belakang keluarga
16. Orientasi seksual
17. Sumber-sumber personal
18. Sumber-sumber sosial
19. Menjadi korban perilaku kekerasan saat kecil.
D. Fase – Fase Bunuh Diri
Perilaku bunuh diri berkembang dalam rentang diantaranya:
(1) Suicidal ideation, pada tahap ini merupakan proses contemplasi dari suicide,
atau sebuah metoda yang digunakan tanpa melakukan aksi/tindakan,
bahkan klien pada tahap ini tidak akan mengungkapkan idenya apabila tidak
ditekan. Walaupun demikian, perawat perlu menyadari bahwa pasien pada
tahap ini9 memiliki pikiran tentang keinginan untuk mati.
(2) Suicidal intent, pada tahap ini klien mulai berfikir dan sudah melakukan
perencanaan yang konkrit untuk melakukan bunuh diri.
(3) Suicidal threat, pada tahap ini klien mengekspresikan adanya keinginan dan
hasrat yang dalam, bahkan ancaman untuk mengakhiri hidupnya.
(4) Suicidal gesture, pada tahap ini klien menunjukkan perilaku destruktif yang
diarahkan pada diri sendiri yang bertujuan tidak hanya mengancam
kehidupannya tetapi sudah pada percobaan untuk melakukan bunuh diri.
(5) Suicidal attempt, pada tahap ini perilaku destruktif klien yang mempunyai
indikasi individu ingin mati dan tidak mau diselamatkan misalnya minum
obat yang mematikan.
(6) Suicide, tindakan yang bermaksud membunuh diri sendiri, hal ini telah
didahului oleh beberapa percobaan bunuh diri sebelumnya.
(Jannah, 2010)
E. Rentang Respon Protektif Bunuh Diri
Pada umumnya tindakan bunuh diri merupakan cara ekspresi orang yang
penuh stres. Dalam hal ini, rentang respon perlindungan dirinya telah bergeser
ke arah yang berlawanan. Rentang respon perlindungan diri (self-protective)
adalah seperti bagan berikut ini:
Adaptif Maladaptif
(Effect)
(Core Problem)
(Causa)
KERJA ”Bapak/Ibu,A sedang mengalami putus asa yang berat karena kehilangan
sahabat karibnya akibat bencana yang lalu, sehingga sekarang A selalu ingin
mengakhiri hidupnya. Karena kondisi A yang dapat mengakiri kehidupannya
sewaktu-waktu, kita semua perlu mengawasi A terus-menerus. Bapak/Ibu dapat
ikut mengawasi ya..pokoknya kalau alam kondisi serius seperti ini A tidak boleh
ditinggal sendidrian sedikitpun” ”Bapak/Ibu bisa bantu saya untuk
mengamankan barang-barang yang dapat digunakan A untuk bunuh diri, seperti
tali tambang, pisau, silet, tali pinggang. Semua barang-barang tersebut tidak
boleh ada disekitar A”. ” Selain itu, jika bicara dengan A fokus pada halhal positif,
hindarkan pernyataan negatif. ”Selain itu sebaiknya A punya kegiatan positif
seperti melakukan hobbynya bermain sepak bola, dll supaya tidak sempat
melamun sendiri”
KERJA Apa saja dalam hidup B yang perlu disyukuri, siapa saja kira-kira yang
sedih dan rugi kalau B meninggal. Coba B ceritakan hal-hal yang baik dalam
kehidupan B. Keadaan yang bagaimana yang membuat B merasa puas? Bagus.
Ternyata kehidupan B masih ada yang baik yang patut B syukuri. Coba B
sebutkan kegiatan apa yang masih dapat B lakukan selama ini”.Bagaimana kalau
B mencoba melakukan kegiatan tersebut, Mari kita latih.”
TERMINASI “Bagaimana perasaan B setelah kita bercakap-cakap? Bisa sebutkan
kembali apa-apa saja yang B patut syukuri dalam hidup B? Ingat dan ucapkan
hal-hal yang baik dalam kehidupan B jika terjadi dorongan mengakhiri
kehidupan (affirmasi). Bagus B. Coba B ingat-ingat lagi hal-hal lain yang masih B
miliki dan perlu disyukuri! Nanti jam 12 kita bahas tentang cara mengatasi
masalah dengan baik. Tempatnya dimana? Baiklah. Tapi kalau ada
perasaanperasaan yang tidak terkendali segera hubungi saya ya!”
KERJA « Coba ceritakan situasi yang membuat B ingin bunuh diri. Selain bunuh
diri, apalagi kirakira jalan keluarnya. Wow banyak juga yah. Nah coba kita
diskusikan keuntungan dan kerugian masing-masing cara tersebut. Mari kita
pilih cara mengatasi masalah yang paling menguntungkan! Menurut B cara yang
mana? Ya, saya setuju. B bisa dicoba!”Mari kita buat rencana kegiatan untuk
masa depan.”
KERJA ”Apa yang Bapak/Ibu lihat dari perilaku atau ucapan B?” ”Bapak/Ibu
sebaiknya memperhatikan benar-benar munculnya tanda dan gejala bunuh diri.
Pada umumnya orang yang akan melakukan bunuh diri menunjukkan tanda
melalui percakapan misalnya “Saya tidak ingin hidup lagi, orang lain lebih baik
tanpa saya. Apakah B pernah mengatakannya?” ”Kalau Bapak / Ibu menemukan
tanda dan gejala tersebut, maka sebaiknya Bapak / Ibu mendengarkan ungkapan
perasaan dari B secara serius. Pengawasan terhadap B ditingkatkan, jangan
biarkan dia sendirian di rumah atau jangan dibiarkan mengunci diri di kamar.
Kalau menemukan tanda dan gejala tersebut, dan ditemukan alat-alat yang akan
digunakan untuk bunuh diri, sebaiknya dicegah dengan meningkatkan
pengawasan dan memberi dukungan untuk tidak melakukan tindakan tersebut.
Katakan bahwa Bpk/Ibu sayang pada B. Katakan juga kebaikan-kebaikan B!”
”Usahakan sedikitnya 5 kali sehari bapak dan ibu memuji B dengan tulus” ”Tetapi
kalau sudah terjadi percobaan bunuh diri, sebaiknya Bapak/Ibu mencari bantuan
orang lain. Apabila tidak dapat diatasi segeralah rujuk ke Puskesmas atau rumah
sakit terdekat untuk mendapatkan perawatan yang lebih serius. Setelah kembali
ke rumah, Bapak/Ibu perlu membantu agar B terus berobat untuk mengatasi
keinginan bunuh diri.
ORIENTASI “Assalamualaikum pak, bu, sesuai janji kita minggu lalu kita sekarang
ketemu lagi” “Bagaimana pak, bu, ada pertanyaan tentang cara merawat yang
kita bicarakan minggu lalu?” “Sekarang kita akan latihan cara-cara merawat
tersebut ya pak, bu?” “Kita akan coba disini dulu, setelah itu baru kita coba
langsung ke B ya?” “Berapa lama bapak dan ibu mau kita latihan?”
KERJA “Sekarang anggap saya B yang sedang mengatakan ingin mati saja, coba
bapak dan ibu praktekkan cara bicara yang benar bila B sedang dalam keadaan
yang seperti ini” “Bagus, betul begitu caranya” “Sekarang coba praktekkan cara
memberikan pujian kepada B” “Bagus, bagaimana kalau cara memotivasi B
minum obat dan melakukan kegiatan positifnya sesuai jadual?” “Bagus sekali,
ternyata bapak dan ibu sudah mengerti cara merawat B” “Bagaimana kalau
sekarang kita mencobanya langsung kepada B?” (Ulangi lagi semua cara diatas
langsung kepada pasien)
TERMINASI“ “Bagaimana perasaan bapak dan ibu setelah kita berlatih cara
merawat B di rumah?” “Setelah ini coba bapak dan ibu lakukan apa yang sudah
dilatih tadi setiap kali bapak dan ibu membesuk B” “Baiklah bagaimana kalau dua
hari lagi bapak dan ibu datang kembali kesini dan kita akan mencoba lagi cara
merawat B sampai bapak dan ibu lancar melakukannya” “Jam berapa bapak dan
ibu bisa kemari?” “Baik saya tunggu, kita ketemu lagi di tempat ini ya pak, bu”
ORIENTASI “Assalamualaikum pak, bu, hari ini B sudah boleh pulang, maka
sebaiknya kita membicarakan jadual B selama dirumah”Berapa lama kita bisa
diskusi?, baik mari kita diskusikan.”
KERJA “Pak, bu, ini jadual B selama di rumah sakit, coba perhatikan, dapatkah
dilakukan dirumah?’ tolong dilanjutkan dirumah, baik jadual aktivitas maupun
jadual minum obatnya” “Hal-hal yang perlu diperhatikan lebih lanjut adalah
perilaku yang ditampilkan oleh B selama di rumah. Kalau misalnya B terus
menerus mengatakan ingin bunuh diri, tampak gelisah dan tidak terkendali serta
tidak memperlihatkan perbaikan, menolak minum obat atau memperlihatkan
perilaku membahayakan orang lain, tolong bapak dan ibusegera hubungi Suster
H di Puskesmas Ingin Jaya, puskesmas terdekat dari rumah ibu dan bapak, ini
nomor telepon puskesmasnya: (0651) 853xxx Selanjutnya suster H yang akan
membantu memantau perkembangan B
Akemat, & Keliat. (2009). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas CMHM (Basic Course).
Jakarta: EGC.
Damaiyanti, M., & Iskandar. (2012). Asuhan keperawata jiwa. Bandung: Retika
ADITAMA.
Dewi, I. W. P., & Erawati, E. (2020). Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Klien Skizofrenia
Nursing Care for Schizophrenia Clients With Risk of Self-Risk. Jurnal Keperawatan
Jiwa, 8(2), 211–216.
Nita, F. (2009). Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan Dan Srategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta: Salema Medika.
Yosep, I., & Sutini, T. (2014). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Adimata.