Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PENDAHULUAN

Asuhan Keperawatan pada Gangguan Penginderaan


Otitis Media Kronik

Disusun oleh :
Choirun Nisa Nur Aini
P17420613049

DIV Keperawatan Semarang


Jurusan Keperawatan
Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Semarang
2014/2015
A. Definisi
Otitis media adalah inflamasi sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba
eustachius, antrum mastoid dan sel – sel mastoid.. Otitis media kronik sendiri
adalah kondisi yang berhubungan dengan patologi jaringan irreversible dan
biasanya disebabkan oleh episode berulang otitis media akut yang tak tertangani.
Sering berhubungan dengan perforasi menetap membrane timpani. Infeksi kronik
telinga tengah tak hanya mengakibatkan kerusakan membrane timpani tetapi juga
dapat menghancurkan osikulus dan hampir selalu melibatkan mastoid.

B. Patofisiologi
Patofisiologi OMK belum diketahui secara lengkap, tetapi dalam hal ini merupakan
stadium kronis dari otitis media akut (OMA) dengan perforasi yang sudah terbentuk
diikuti dengan keluarnya sekret yang terus menerus. Terjadinya OMK hampir selalu
dimulai dengan otitis media berulang. OMK disebabkan oleh multifaktor antara lain
infeksi virus atau bakteri, gangguan fungsi tuba, alergi, kekebalan tubuh,
lingkungan, dan social ekonomi.
Fokus infeksi biasanya terjadi pada nasofaring (adenoiditis, tonsillitis, rhinitis,
sinusitis), mencapai telinga tengah melalui tuba Eustachius. Kadang-kadang infeksi
berasal dari telinga luar masuk ke telinga tengah melalui perforasi membran
timpani, maka terjadi inflamasi. Bila terbentuk pus akan terperangkap di dalam
kantung mukosa di telinga tengah. Dengan pengobatan yang cepat dan adekuat
serta perbaikan fungsi telinga tengah, biasanya proses patologis akan berhenti dan
kelainan mukosa akan kembali normal. Walaupun kadang-kadang terbentuk
jaringan granulasi atau polip ataupun terbentuk kantong abses di dalam lipatan
mukosa yang masing-masing harus dibuang, tetapi dengan penatalaksanaan yang
baik perubahan menetap pada mukosa telinga tengah jarang terjadi. Mukosa telinga
tengah mempunyai kemampuan besar untuk kembali normal. Bila terjadi perforasi
membrane timpani yang permanen, mukosa telinga tengah akan terpapar ke telinga
luar sehingga memungkinkan terjadinya infeksi berulang. Hanya pada beberapa
kasus keadaan telinga tengah tetap kering dan pasien tidak sadar akan penyakitnya.
Berenang, kemasukan benda yang tidak steril ke dalam liang telinga atau karena
adanya focus infeksi pada saluran napas bagian atas akan menyebabkan infeksi
eksaserbasi akut yang ditandai dengan secret yang mukoid atau mukopurulen.
C. Etiologi
1. Lingkungan
Hubungan penderita OMK dan faktor sosioekonomi belum jelas, tetapi
kelompok sosioekonomi rendah memiliki insiden OMK yang lebih tinggi. Tetapi
sudah hampir dipastikan hal ini berhubungan dengan kesehatan secara umum,
diet, dan tempat tinggal yang padat.
2. Genetik
Faktor genetik masih diperdebatkan sampai saat ini, terutama apakah insiden
OMK berhubungan dengan luasnya sel mastoid yang dikaitkan sebagai faktor
genetik. Sistem sel-sel udara mastoid lebih kecil pada penderita otitis media, tapi
belum diketahui apakah hal ini primer atau sekunder.
3. Riwayat otitis media sebelumnya
Secara umum dikatakan otitis media kronis merupakan kelanjutan dari otitis
media akut dan/ atau otitis media dengan efusi, tetapi tidak diketahui faktor apa
yang menyebabkan satu telinga dan bukan yang lainnya berkembang menjadi
keadaan kronis
4. Infeksi
Bakteri yang diisolasi dari mukopus atau mukosa telinga tengah hampir tidak
bervariasi pada otitis media kronik yang aktif. Keadaan ini menunjukkan bahwa
metode kultur yang digunakan adalah tepat. Bakteri-bakteri yang dapat
menginfeksi antara lain:
 Streptococcus.
 Stapilococcus.
 Diplococcus pneumonie.
 Hemopilus influens.
 Gram Positif : S. Pyogenes, S. Albus.
 Gram Negatif : Proteus spp, Psedomonas spp, E. Coli.
 Kuman anaerob : TBC paru.
5. Infeksi saluran nafas atas
Banyak penderita mengeluh keluarnya sekret telinga sesudah terjadi infeksi saluran
nafas atas. Infeksi virus dapat mempengaruhi mukosa telinga tengah menyebabkan
menurunnya daya tahan tubuh terhadap organisme yang secara normal berada
dalam telinga tengah, sehingga memudahkan pertumbuhan bakteri.
6. Autoimun
Penderita dengan penyakit autoimun akan memiliki insiden lebih besar terhadap
OMK.
7. Alergi
Penderita alergi mempunyai insiden otitis media kronis yang lebih tinggi dibanding
yang bukan alergi. Yang menarik adalah dijumpainya sebagian penderita yang
alergi terhadap antibiotik tetes telinga atau bakteri atau toksin-toksinnya, namun hal
ini belum terbukti kemungkinannya.
8. Gangguan fungsi tuba eustachius
Pada otitis media kronis aktif tuba eustachius sering tersumbat oleh edema tetapi
apakah hal ini merupakan fenomena primer atau sekunder masih belum diketahui.
Pada telinga yang inaktif berbagai metode telah digunakan untuk mengevaluasi
fungsi tuba eustachius dan umumnya menyatakan bahwa tuba tidak mungkin
mengembalikan tekanan negatif menjadi normal.
Beberapa faktor-faktor yang menyebabkan perforasi membran timpani yang menetap
pada OMK adalah:
1. Infeksi yang menetap pada telinga tengah mastoid yang mengakibatkan produksi
sekret telinga purulen berlanjut.
2. Berlanjutnya obstruksi tuba eustachius yang mengurangi penutupan spontan pada
perforasi.
3. Beberapa perforasi yang besar mengalami penutupan spontan melalui mekanisme
migrasi epitel.
4. Pada pinggir perforasi dari epitel skuamous dapat mengalami pertumbuhan yang
cepat diatas sisi medial dari membran timpani. Proses ini juga mencegah penutupan
spontan dari perforasi.
D. Pathway
Pencegahan invasi kuman
Perubahan tekanan udara Gangguan tube eustachius
tiba-tiba (alergi, infeksi,
sumbatan yang berupa
sekret, tampon atau Kuman masuk ke telinga
tumor

Tekanan udara negatif di telinga Peradangan Pengobatan tidak tuntas/episode

Efusi Risiko infeksi

Meningkatkan produksi cairam


Refraksi membran timpani

Akumulasi cairan mukosa serosa

Hantaran udara yang diterima menurun

Gangguan persepsi Terjadi


sensorierosi pada kanalis semisirkularis
Tindakan mastoidektomi

Ruptur membran timpani karena


Risiko cidera

Sekret keluar dan berbau tidak enak

Ansietas
Nyeri akut
Gangguan
Terjadi erosi pada kanalis semisirkularis
Infeksi berlanjut dapat sapai ke telinga dalam

Vertigo
Keseimbangan Kurangnya

Defisiensi pengetahuan
Risiko cidera atau
E. Proses Keperawatan
1. Pengkajian
a. Riwayat
Identitas Pasien
Riwayat adanya kelainan nyeri
Riwayat infeksi saluran nafas atas yang berulang
Riwayat alergi.
OMA berkurang.
b. Pengkajian Fisik
Nyeri telinga
Perasaan penuh dan penurunan pendengaran
Suhu meningkat
Malaise
Nausea vomiting
Vertigo
Ortore
Pemeriksaan dengan otoskop tentang stadium.
c. Pengkajian Psikososial
Nyeri berpengaruh pada interaksi
Aktifitas terbatas
Takut menghadapi tindakan pembedahan.
d. Pemeriksaan Laboratorium
e. pemeriksaan Diagnostik
 Tes Audiometri : AC menurun
 X ray : terhadap kondisi patologi
Misal : Cholesteatoma, kekaburan mastoid.
f. Pemeriksaan pendengaran
Tes suara bisikan
Tes garputala
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri berhubungan dengan proses peradangan.
b. Hipertermia.
c. Resiko cidera.
d. Resiko infeksi.
e. Gangguan gambaran diri.
f. Defisiensi pengetahuan.
3. Intervensi Keperawatan
a. Nyeri berhubungan dengan proses peradangan.
1) Lakukan pengkajian nyeri secara komperehensif.
2) Lakukan manajemen nyeri.
3) Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak
berhasil.
b. Hipertermia
1) Monitor suhu sesering mungkin.
2) Berikan antipiretik.
3) Berikan pengobatan untuk mengatasi penyebab demam.
4) Kompres pasien pada lipat paha dan aksila.
c. Resiko cidera.
1) Sediakan lingkungan yang aman bagi klien.
2) Memasang side rail tempat tidur.
3) Membatasi pengunjung.
4) Menganjurkan keluarga untuk menemani klien.
d. Resiko infeksi.
1) Pertahankan teknik isolasi.
2) Cuci tangan setiap sesudah dan sebelum tindakan keperawatan.
3) Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung.
4) Pertahankan teknik aseptik.
5) Ajarkan cara menghindari infeksi.
e. Gangguan gambaran diri.
1) Jelaskan tentang pengobatan, perawatan, kemajuan dan prognosis penyakit.
2) Dorong klien mengungkapkan perasaannya.
3) Fasilitasi kontak dengan individu lain dalam kelompok kecil.
f. Defisiensi pengetahuan.
1) Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan
dengan anatomi dan fisiologi dengan cara yang tepat.
2) Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit, dengan
cara yang tepat.

F. Referensi
Academia.edu. In
https://www.academia.edu/7511226/SOP_MANAJEMEN_NYERI. Diakses
pada 26 November 2014, 20.06.
Jingga, Y. L. (2014). In http://www.slideshare.net/yabniellitjingga/lp-askep-otitis-
media-kronik. Diakses pada 26 November 2014, 17.54.
Medicastore. In http://medicastore.com/penyakit/53/Otitis_Media_Kronis.html.
Diakses pada 26 November 2014, 18.00.
Novandra, R. In https://www.academia.edu/6738203/13607134-Otitis-Media-
Kronik. Diakses pada 26 November 2014, 14.20.
Nurarif, A. N; Kusuma, H. (2013). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan NANDA Jilid 2. Jakarta: Mediaction. Hal. 465-670.
Purnomo, A. A. In https://id.scribd.com/doc/139942534/Patofisiologi-Otitis-media-
kronik#download. Diakses pada 26 November 2014, 19.33.
Rothrock, C. J. (2000). Perencanaan Asuhan Keperawatan Perioperatif. EGC :
Jakarta.
Toba, U. In https://id.scribd.com/doc/132375133/LP-Askep-Otitis-Media-Kronik.
Diakses pada 26 November 2014, 19.40.
USU. In http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21423/4/Chapter
%20II.pdf. Diakses pada 26 November 2014, 14.50.
Wicaksana, E. N. (2013). In
http://emirzanurwicaksono.blog.unissula.ac.id/2013/03/27/otitis-media/.
Diakses pada 26 November 2014, 18.45.
Lampiran

1. Gambar

2. SOP
a. Manajemen Nyeri
1) Lakukan pengkajian skala, lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi dankualitas
nyeri.
2) Observasireaksi nonverbal
3) Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri
pasien.
4) Kontrol likungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan kebisingan.
5) Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non farmakologi dan inter
personal)
6) Ajarkan tentang teknik non farmakologi seperti:
 Kompres dingin
 Massage kulit
 Buli-buli panas
 Relaksasi seperti lingkungan yang tenang, posisi yang nyaman dan nafas
dalam.
 Tekhnik distraksi yakni mengalihkan perhatian ke stimulus lain seperti
menonton televisi, membaca koran, mendengarkan musik.
7) Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
8) Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
b. Kompres Hipertermi
1) Melakukan persiapan klien
a) Salam terapeutik disampaikan kepada klien/pasien
b) Prosedur pemberian kompres hangat dijelaskan pada klien/pasien
mencakup tujuan dan cara
c) Respon klien/pasien dinilai untuk mengetahui kesiapan dalam menerima
tindakan
2) Melakukan persiapan alat dan bahan
a) Alat dan bahan dipersiapkan sesuai kebutuhan :
• Kompres hangat kering (menggunakan botol air panas, electric pad,
aquathermia pad atau disposable heat pack)
• Kompres hangat basah (diberikan melalui kompres, hot pack).
b) Kebersihan alat diperhatikan
c) Kompres hangat dipersiapkan sesuai SOP.
3) Melakukan pemberian kompres hangat
a) Kompres hangat diletakkan di bagian tubuh yang memerlukan.
b) Keamanan tindakan dijaga
c) Klien diminta untuk melaporkan perasaan tidak nyaman selama tindakan
dilakukan
d) Pengompresan dihentikan sesuai waktu yang telah ditentukan
4) Melakukan evaluasi
a) Kulit di daerah pengompresan dinilai, apakah ada tanda-tanda yang
mengharuskan tindakan dihentikan
b) Respon klien/pasien dinilai
5) Melakukan pencatatan dan pelaporan
a) Respon klien/pasien dicatat pada dokumen klien/pasien
b) Tindakan yang telah dilakukan dicatat
3. Tool Evaluasi

Anda mungkin juga menyukai