Anda di halaman 1dari 179

BUKU AJAR No.

ISBN :

FISIOLOGI DAN TEKNOLOGI


PASCAPANEN
( BUAH DAN SAYURAN )

DISUSUN OLEH

W. SUDJATHA
NI WAYAN WISANIYASA

UDAYANA UNIVERSITY PRESS


2017
KATA PENGANTAR

Buah dan sayur-sayuran pada umumnya tidak dapat disimpan lama pada suhu
kamar karena mempunyai kadar air tinggi. Apabila komoditi ini tidak ditangani dengan
baik, maka akan terjadi kehilangan (losses) yang tinggi sehingga menimbulkan kerugian.
Dalam proses penanganan buah dan sayuran, diperlukan pengetahuan dasar, yaitu
fisiologi dan teknologi penanganan pascapanen.
Dengan diterbitkannya buku ajar dengan judul Fisiologi dan Teknologi
Pascapanen ini diharapkan pembaca mendapatkan pengetahuan dasar mengenai fisilogi
dan cara penanganan pascapanen terutama mengenai buah dan sayur-sayuran.
Pengetahuan dasar ini berguna dalam membahas mengapa terjadi kerusakan pada buah
dan sayuran dan tindakan apa yang dapat dilakukan untuk mencegah kerusakan tersebut.
Buku Fisiologi dan Teknologi Pascapanen yang dierbitkan ini akan dapat
menambah pembendaharaan buku –buku yang ada di perpustakaan Fakultas Teknologi
Pertanian Unud di samping diharapkan dapat tersebar di masyarakat. Dengan
mempelajari fisiologi dan teknologi pascapanen buah dan sayuran diharapkan, itu akan
dapat membantu mahasiswa khususnya dan masyarakat umumnya untuk mengetahui cara
mengurangi terjadinya kehilangan (losses) pada buah maupun sayuran
Sebagai akhir kata, kami atas nama sivitas akademika Fakultas Teknologi
Prtanian Unud dan pribadi menyampaikan selamat dengan diterbitkannya buku ini.
Sekian dan Terimakasih.

Bulit Jimbaran, Nopember 2017

PRAKATA
Karena kurangnya buku-buku dan bahan bacaan mengenai fisiologi dan teknologi
pascapanen maka kami mencoba menyusun buku ajar tentang fisiologi dan teknologi
pascapanen mengenai buah dan sayur-sayuran. Buku ajar ini diharapkan dapat
bermanfaat bagi kita semua terutama bagi para mahasiswa teknologi pertanian yang ingin
memperdalam ilmu pascapanen khususnya tentang buah dan sayur. Bahan-bahan yang
tersaji dalam buku ajar ini merupakan dasar-dasar umum mengenai ilmu pascapanen.
Akan tetapi dalam buku ajar ini kami tidak menguraikan penanganan pasacapanen
setiap komoditi karena buah dan sayur-sayuran sangat banyak macam dan jenisnya.
Buku ajar ini merupakan edisi ke II perbaikan dari buku edisi I dengan No. ISBN
: 979-8286-76-6. Pada buku edisi I beberapa kalimat yang kurang jelas dan janggal
diperbaiki dan pada edisi II ini juga diberi tambahan gambar beberapa macam buah dan
sayuran. Kami menyadari bahwa apa yang kami uraikan masih jauh dari sempurna
sehingga kami mengharapkan adanya saran dan kritik-kritik yang disampaikan demi
sempurnanya bahan bacaan ini.
Kami tidak lupa menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada :
Bapak Dekan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana yang telah
memberikan dorongan dan bantuannya kepada kami dalam membuat bahan bacaan ini.
• Bapak Prof Dr. Ir. Dw. Kt.. Harya Putra MSc. yang telah meluangkan waktu untuk
menyunting buku ini.
• Teman-teman lain yang tidak dapat kami sebutkan namanya satu persatu yang telah
memberi semangat kepada kami untuk membuat buku, bahan bacaan ataupun diktat
untuk kepentingan mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian, Unud maupun untuk
mereka yang ingin mempelajari teknologi pascapanen buah dan sayur-sayuran.
Semoga buku ajar ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Denpasar, Agustus 2017
Penyusun,

Prof. Ir. W. Sudjatha


Dr.Ni Wayan Wisaniyasa, S.TP., MP.
DAFTAR ISI

Halaman
Halaman Judul.............................................................................................. i
Kata Pengantar…………………………………………………………….. ii
Prakata ................................................................................ ............. iii
Daftar Isi....................................................................................................... iv
Daftar Tabel.................................................................................................. vii
Daftar Gambar.............................................................................................. ix
1
BAB I. PENDAHULUAN...........................................................................
8
BAB II. STRUKTUR DAN KOMPOSISI BAHAN................................... 8
2. 1. Pengertian Buah dan Sayuran. 12
2. 2. Susunan Sel.............................................................................. 14
2. 3. Komposisi Kimia dan Nilai Gizi pada Buah dan Sayuran...... 14
2. 3. 1. Air........................................................................... 15
2. 3. 2. Karbohidrat.............................................................. 18
2. 3. 3. Protein..................................................................... 18
2. 3. 4. Lemak..................................................................... 18
2. 3. 5. Asam-asam Organik................................................. 18
2. 3. 6. Vitamin dan mineral.............................................. 19
2. 3. 7. Senyawa- senyawa Volatil..........................................

BAB. III. PROSES FISIOLOGI DAN BIOKIMA................................. 22


3. 1. Fotosintesis........................................................................... 22
3. 2. Respirasi................................................................................ 24
3. 3. Fermentasi............................................................................ 35
3. 4. Pengukuran Respirasi........................................................... 36
3. 4. 1. Respiration Quotient (RQ)................................... 37
3. 4. 2. Faktor -Faktor yang Mempengaruhi Respirasi................. 38

BAB. IV. KLIMAKTERIK, RESPIRASI, DAN PEMATANGAN.......... 42


4. 1. Klimakterik............................................................................. 42
4. 2. Senescene ( Kelayuan)........................................................... 50
4. 3. Etilen ( C2H4 )........................................................................ 50
4. 3. 1. Biosintesis etilen.................................................... 51
4. 3. 2. Sintesis etilen secara enzimatis............................. 52
4. 3. 3. Pembentukan etilen non enzimatis........................ 55
4. 4. Peranan Etilen......................................................................... 55
4. 5. Pengaruh Suhu terhadap Produksi dan Aktivitas Etilen.......... 60
4. 6. Pengaruh tekanan terhadap Produksi dan Aktivitas Etilen...... 60

BAB. V. PERUBAHAN-PERUBAHAN PADA PROSES


PEMATANGAN.............................................................................
5. 1. Perubahan Karbohidrat............................................................. 64
5. 1. 1. Selulosa, hemiselulosa dan pektin.......................... 65
5. 1..2. Perubahan pati......................................................... 65
5. 2. Perubahan Protein................................................................... 67
5. 3. Perubahan Lemak................................................................... 69
5. 4. Perunbahan Pigmen (Warna)................................................. 70
5. 4. 1. Warna khlorofil.................................................... 71
5. 4. 2. Fenolat/Fenol........................................................... 71
5. 4. 3. Karotenoid............................................................ 73
5. 5. Asam-Asam Organik.dalam Buah........................................... 82
85
5. 6. Citarasa (Flavor)...............................................................
90
BAB. VI. PENGARUH SUHU...............................................................
6. 1. Respon Fisiologis.................................................................. 94
6. 2. Umur Simpan....................................................................... 94
6.3. Pendinginan……………………………………………….. 97
6.4. Metode Pendinginan ………………………………………. 101
6. 5. Laju Pendinginan.................................................................. 102
BAB. VII. KRUSAKAN FISIOLOGIS.................................................. 102
7. 1. Kerusakan Akibat Suhu Dingin............................................. 110
7. 2. Cacat Suhu Dingin (Chlling Injury)...................................... 110
7.3. Mekanisme Cacat Suhu Dingin.............................................. 110
7. 4. Kerusakan Fisiologis............................................................ 113
7. 5. Kerusakan Karena Defisiensi Mineral................................... 114
BAB. VIII. ATMOSFER PENYIMPANAN............................................ . 117
8. 1. Pengaruh Metabolik Udara Terkendali.................................. 121
8. 2. Pengaruh Terhadap Pertumbuhan Mikroba........................... 121
8. 3. Metode memodifikasi CO2 dan O2 ....................................... 123
8. 4. Pengendalian Udara dengan Nitrogen Cair dan 124
Karbondioksida Padat..........................................................
8. 5. Penyimpanan Dalam Plastik.................................................. 125
8. 6. Penyimpanan Hipobarik........................................................ 126
8. 7. Etilen..................................................................................... 127
8. 8. Gas lain.................................................................................. 130
130
BAB. IX. KERUSAKAN PATOLOGIS...............................................
9. 1. Mikroba Penyebab Kerusakan Pascapanen............................ 132
9. 2. Proses Infeksi....................................................................... 132
9. 2. 1. Infeksi prapanen................................................... 132
9. 2. 2. Infeksi pascapanen................................................ 134
9. 3. Perlakuan Fisik.................................................................... 135
9. 4. Perlakuan Kimia.................................................................. 135
9. 5. Pengendalian Kerusakan Pada Buah Jeruk 136
dengan Zat Kimia................................................................
137
BAB.X.PERLAKUAN TERHADAP KOMODITI
10. 1. Pengaturan Pematangan Buah............................................ 142
10. 2. Pengaturan Peniadaan Warna Hijau.................................... 142
10. 3. Pelapisan dengan Lilin........................................................ 144
10. 4. Zat Penghambat Pertunasan................................................ 145
10. 5. Desinfestasi (Penyucihamaan)…………………………… 148
148
BAB. XI. PENGEMASAN.....................................................................
11. 1. Pengaruh Pengemasan Terhadap Produk............................. 152
11. 2. Pengemasan dan Penyimpanan............................................ 154
11. 3. Jenis-jenis Bahan Kemasan yang Berupa Plastik................... 155
11. 4. Sifat-sifat Permeabelitas Plastik............................................ 157
158
BAB. XII. PENYIMPANAN................................................................... ..
12. 1. Faktor -faktor yang Mempengaruhi Penyimpanan................. 161
12. 2. Penyimpanan Dalam Ruang Di Bawah Tanah........................ 161
12. 3. Penyimpanan Dalam Gudang Permukaan Tanah................... 163
12. 4. Penyimpanan Dengan Udara Terkendali................................ 163
12. 5. Rancangan dan Konstruksi Penyimpanan 164
Dengan Udara Terkendali....................................................
12. 6. Pengelolaan Penyimpanan Produk........................................ 165
168
LAMPIARAN : Foto beberapa macam buah dan sayuran………………....
171

vi

DAFTAR TABEL

No JUDUL Halaman
II. 1. Kadar gula pada beberapa macam
buah masak dan sayur-sayuaran.................................................... 16
II. 2. Vitamin C, Vitamin A, dan Asam Folat........................................... 19
II. 3. Komponen khusus dari aroma
beberapa macam buah dan sayuran.............................................. 20
III. 1. Perbandingan fotosintesis dan respirasi........................................ 25
III. 2. Enzim-enzim yang berperanan dalam TCA................................... 28
IV. 1. Beberapa macam buah klimakterik dan non klimakterik .............. 46
IV. 2. Konsentrasi etilen internal yang terdapat pada
buah klimakterik dan non klimakterik........................................... 56
IV. 3. Peningkatan kegiatan peroksidase .
dalam irisan mangga yang diberi perlakuan dengan etilen (C2H4).... 59
IV. 4. Konsentrasi internal pada saat pra dan puncak klimakterik............... 59
V. 1. Perubahan kandungan asam amino
pada mangga selama pematangan................................................... 70
V. 2. Flavan pada berbagai macam buah................................................. 76
V. 3. Asam-asam organik dan sumber
terdapatnya pada buah-buahan....................................................... 86
V. 4. Asam-asam organik pada buah apel,
pear, anggur, pisang dan strawberry................................................ 89
VI. 1. Laju respirasi dari berbagai macam buah dan sayuran................... 98
VI. 2. Umur simpan buah dan sayuran segar............................................. 99
VI. 3. Waktu paroh pendinginan apel dalam peti 18 kg............................. 104
VI. 4. Produk dan cara pendinginan......................................................... 104
VII. 1. Gejala cacat suhu dingin (chilling injury) pada
beberapa macam buah-buahan....................................................... 111.
VII. 2. Beberapa kerusakan fisiologi buah apel........................................... 115
VII. 3. Beberapa kerusakan fsiologis
pada buah-buahan selain buah apel................................................. 116
VII. 4. Kerusakan yang berkaitan dengan kalsium
pada buah-buahan dan sayur-sayuran.............................................. 118
VIII. 1 Kerusakan strawberry akibat konsentrasi karbondioksida................. 124
VIII. Umur simpan pisang pada suhu 20 C
2. dalam udara termodifikasi dengan kalium permanganat.................... 129
Beberapa contoh penyakit pada buah dan
IX. 1. sayur-sayuran ............................. 133
Zat-zat kimia yang dipergunakan
IX. 2. sebagai fungiside pada komoditi pascapanen................................... 139
Keadaan pematangan untuk beberapa macam buah
X. 1. dengan menggunakan etilen........................................................... 143
Diameter molekul gas-gas dan uap-uap
XI. 1. dan diameter pori beberapa jenis plastik.......................................... 160
DAFTAR GAMBAR

No. JUDUL Halaman


I. 1. Kehilangan komoditi buah dan sayuran ....................................... 5
II. 1. Jaringan tanaman pembentuk beberapa macam buah................... 10
II. 2. Jaringan tanaman pembentuk beberapa macam sayuran.............. 11
II. 3 Sel tanaman................................................................................... 13
II. 4. Struktur komponen beberapa macam serat dan pati..................... 17
III. 1. Fotosintesis, sumber energi, bahan baku, dan produk.................. 23
III. 2. Struktur jalur katabolik untuk menghasilkan enersi..................... 27
III. 3 Skema sistem pengangkutan elektron........................................... 29
III. 4. Pemecahan karbohidrat menjadi heksosa..................................... 30
III. 5. Jalur glikolisis........................................................................... ... 32
III. 6. Jalur reaksi pentosa fosfat............................................................ 34
IV. 1. Pertumbuhan, respirasi, pembentukan etilen, pola respirasi
klimakterik dan non klimakterik.................................................. 43
IV. 2. Pola respirasi klimakterik dan non klimakterik........................... 45
IV. 3. Pola respirasibeberapa macam buah klimakterik......................... 45
IV. 4. Pola respirasi klimakterik dan
kaitannya dengan pematangan buah............................................. 48
IV. 5. Perubahan asam malat menjadi etanol…………………………. 49
IV. 6. Rumus bangun glukosa (isotop)................................................... 52
IV. 7. Sintesis etilen dari asam linolenat…………………………….... 52
IV. 8. Perubahan β alanin menjadi etilen……………………………... 53
IV. 9. Reaksi pembentukkan etilen dari metionin ……………………. 54
IV.10. Reaksi sintesis etilen dari kalsium etil sulfat…………………... 55
IV.11. Reaksi sintesis etilen dari campuran etanol
dan asam sulfat…………………………………………………. 55
IV.12. Pengaruh etilen pada buah-buahan klimakterik
dan non klimakterik…………………………………………….. 57
IV. 13. Pengaruh inaktivasi C2 H4 terhadap penghambat peroksidase
peroksidase pada irisan mangga Alphonso................................... 58
!V. 14. Reaksi penggantian posisi etilen pada metaloenzim
karena konsentrasi CO2 yang berlebihan………………………. 62
V. 1. Pemecahan senyawa pektin.......................................................... 66
V. 2. Perubahan pati dan sukrosa menjadi glukosa
dan fruktosa pada buah apel......................................................... 67
V. 3. Perubahan pati menjadi glukosa dan fruktosa.............................. 68
V. 4. Degradasi khlorofil....................................................................... 72
V. 5. Khlorofil a………………………………………………………. 72
V. 6. Kerangka dasar struktur asam sinamat 74
V. 7. Kerangka dasar struktur flavan ………………………………… 75
V. 8. Rumus bangun antosianin pada struktur yang berbeda………… 77
....................................................................................
V. 9. Kerangka dasar struktur flavanol................................................ 78
V.10 Flavan terkondensasi.................................................................. 79
V.11 Kerangka dasar struktur Flavon.................................................. 80
V.12 Kerangka dasar struktur Flavanon.. 81
V 13 Isoflavon....................................................................................... 81
V.14 Perubahan respirasi pada buah anggur pada berbagai
suhu yang dinyatakan dalam volume CO2 dan O2
untuk 100 g berat daging buah segar dalam waktu 1 jam............ 90
VI. 1. Pengaruh suhu terhadap ketahanan kualitas.buah dan sayuran… 95
VI. 2. Pengaruh suhu terhadap umur simpan apel dan buah pear.......... 96
VI. 3. Pengaruh suhu terhadap laju
pematangan 4 kultivar buah pear.................................................. 97
VI. 4. Pengaruh penundaan sebelum pendinginan
terhadap kualitas strawberry…………………………………… 101
VI. 5. Pendinginan dengan udara bertekanan………………………… 106
VII. 1. Umur simpan produk pada berbagai
macam suhu dengan sensivitas terhadap cacat suhu dingin........ 112
VIII. Sistem penghilangan etilen dengan
1. atom oksigen yang ditimbulkan oleh radiasi Ultraviolet............. 130
Diagram sebuah generator nyalat erbuka……………................. 166
XII. 1. Bagian dari lapisan penyimpanan dingin………………………. 167
XII. 2.
Judul Buku : Fisiologi dan Teknologi Pascapanen
(Buah dan Sayuran)
Penulis : Prof. Ir. W. Sudjatha
Ni Wayan Wisaniyasa, STP., MP.
Penyunting : Prof. Dr. Ir.Dewa Kt. Harya Putra, MSc.
No. ISBN :
BAB I
PENDAHULUAN

1. 1. Pengertian Teknologi Pascapanen

Istilah pascapanen mulai populer di Indonesia tahun 1970 setelah diketahui bahwa
produksi padi sejak panen sampai tiba di tangan konsumen banyak mengalami kerusakan,
susut dan kehilangan bobot. Penggunaan istilah pascapanen bermacam-macam. Ada yang
menyebutnya dengan penanganan pascapanen, teknologi penanganan pascapanen, dan
ada juga yang memberi istilah teknologi pascapanen. Pengertian pascapanen bermacam-
macam. Ada juga yang memberi batasan terlalu luas, yaitu mencakup dari panen sampai
dengan pengolahan dan pemasaran (konsumen). Akan tetapi, sebaliknya ada juga yang
memberikan batasan yang lebih sempit, yaitu sejak panen sampai dengan penyimpanan.
Untuk menghindari terjadinya kesimpangsiuran tentang pengertian pascapanen,
maka pada bulan Nopember 1983 di IPB Bogor diadakan lokakarya penanganan
pascapanen pangan (Soekarto, 1983). Dalam lokakarya tersebut, dibedakan pengertian
penanganan pascapanen (teknologi pascapanen) dan teknologi industri (manufacturing).
Perbedaan kedua terminologi ini adalah sebagai berikut:
Penanganan pascapanen ( teknologi pascapanen) meliputi hal berikut ini:
1. Semua kegiatan perlakuan, penanganan ( handling), dan pengolahan langsung
terhadap produksi pertanian tanpa mengubah struktur asli produk tersebut. Contohnya
adalah pemanenan itu sendiri, perontokan biji, penyimpanan/penggudangan, pengawetan,
penggilingan, standarisasi mutu produk, pengemasan, penanganan produk dalam
transportasi, dan pemasaran.
2. Pengolahan segera dilakukan karena sifat hasil panennya. Misalnya, umbi
ketela pohon ( ubi kayu ) tidak dapat disimpan lama dan patinya harus segera diekstrak.
Demikian juga tebu yang baru dipanen harus segera digiling, karena bila tidak segera
digiling cairan tebu tersebut akan segera akan rusak; sukrosanya akan terurai.
Teknologi industri (Manufacturing) adalah penanganan lebih lanjut setelah
pascapanen, yaitu mencakup pengolahan yang mengubah sifat asal atau sifat-sifat kimia
dari komoditi tersebut. Misalnya, pati dari ubi kayu diubah menjadi gula-gula, sari buah-
buahan menjadi minuman beralkohol, pati pada ketan menjadi tape, dan lain-lainnya.
Dari pengertian tersebut diatas dapat dikatakan bahwa teknologi pascapanen merupakan
proses awal penyiapan produk untuk diproses lebih lanjut agar siap dikonsumsi.
Berdasarkan Keputusan Presiden No. 47, 1986 ( Winarno, 1987), yang
dimaksudkan dengan istilah pascapanen hasil pertanian adalah suatu tahapan kegiatan
yang dimulai dari pemungutan hasil pertanian sampai siap untuk dipasarkan. Jadi
penanganan pascapanen adalah tindakan yang dilakukan atau disiapkan pada tahap
pascapanen agar hasil tanaman pangan siap dan aman digunakan oleh konsumen dan atau
layak diolah lebih lanjut dalam industri. Kegiatan penanganan pascapanen mencakup
pemanenan hasil, pengawetan, pengemasan, penyimpanan/ penggudangan, standarisasi
mutu, dan transportasi di tingkat produksi. Selanjutnya, ditegaskan bahwa tujuan
penanganan pascapanen tanaman pangan adalah :
1. menekan tingkat kehilangan dan atau tingkat kerusakan hasil panen tanaman pangan,
2. meningkatkan daya simpan dan daya guna hasil tanaman pangan agar dapat
menunjang usaha penyediaan pangan dan perbaikan gizi masyarakat,
3. menyediakan bahan baku industri di dalam negeri,
4. meningkatkan pendapatan petani,
5. meningkatkan penerimaan devisa negara,
6. merperluas kesempatan kerja, dan
7. melestarikan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Jadi, dengan penanganan pascapanen hasil pertanian, akan diperoleh bahan baku
yang berkualitas baik dengan cara mencegah atau mengurangi terjadinya kehilangan dan
atau kerusakan hasil panen. Hasil panen yang telah melalui proses penanganan
pascapanen dapat dikonsumsi oleh konsumen tanpa melalui proses pengolahan lebih
lanjut atau dapat sebagai bahan baku untuk diolah dalam industri pengolahan hasil
pertanian.
1. 2. Kehilangan/ Susut Pascapanen
Dalam proses penanganan pascapanen, terjadi kehilangan / susut yang besarnya
bervariasi tergantung kepada macam, jenis, varietas, dan cara penanganan jenis hasil
pertanian. Kehilangan atau susut pascapanen ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor
dan kehilangan /susut ini dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori yang masing-
masing mempunyai implikasi ekonomis yaitu kehilangan /susut kuantitatif, kualitatif, dan
kehilangan nutrisi.
Kehilangan / susut kuantitatif yaitu pengurangan berat yang dengan mudah dapat
diukur secara kuantitatif . Kehilangan/susut kualitatif yaitu kehilangan yang sukar diukur
secara kuantitatif dan biasanya didasarkan pertimbangan subjektif, sedangkan kehilangan
nilai nutrisi merupakan kombinasi kehilangan kuantitatif dan kualitatif. Kehilangan
kualitatif bahan pangan dapat disebabkan karena kerusakan, kontaminasi, dan perubahan-
perubahan nutrisi.
Suatu bahan pangan dianggap rusak apabila bahan pangan tersebut menunjukkan
penyimpangan konsistensi dan tekstur dari keadaan normal dan tidak dapat diterima
secara normal oleh pancaindra atau parameter lain yang biasa digunakan. Kerusakan
dapat dikelompokkan menjadi kerusakan biologis, mikrobiologis, fisik, mekanis, dan
kimia.
Kerusakan biologis mencakup kerusakan yang disebabkan karena kerusakan
fisiologis, serangga, dan kerusakan oleh binatang pengerat (rodentia). Kerusakan
fisiologis meliputi kerusakan yang disebabkan oleh reaksi enzimatis yang terjadi pada
bahan pangan. Misalnya, pada buah tertentu apabila dipotong atau diiris akan terjadi
perubahan warna pada tempat yang dipotong menjadi berwarna coklat. Warna hijau
dalam penyimpanan akan menjadi kuning karena khlorofilnya mengalami degradasi.
Menguapnya air dari buah dan sayur-sayuran menyebabkan komoditi tersebut menjadi
keriput sehingga tidak menarik bagi konsumen.
Kehilangan atau kerusakan yang disebabkan oleh serangga, parasit atau tikus
dapat terjadi dengan cara memakan komoditi pangan tersebut. Bekas gigitan binatang
dapat menyebabkan terjadinya kontaminasi. Kerusakan oleh serangga dan tikus dapat
dicegah dengan menggunakan metil bromida.
Kerusakan mikrobiologis adalah kerusakan yang disebabkan oleh mikroba seperti
khamir ( yeast), kapang (mold), dan bakteri. Kerusakan bahan pangan oleh mikroba
terjadi karena terhidrolisis atau terdegradasinya senyawa-senyawa komplek menjadi
senyawa-senyawa yang lebih sederhana. Terjadinya kerusakan mikrobiologis ini akan
menurunkan mutu komoditi bahan pangan. Misalnya, karbohidrat akan diubah menjadi
gula sederhana dan melalui pemecahan lebih lanjut akan terbentuk asam, aldehida, atau
senyawa lain yang dapat memberikan aroma dan citarasa yang kurang menarik. Sebagai
contoh, buah pisang yang disimpan lama menjadi busuk memberi rasa dan bau yang tidak
menyenangkan. Protein akan dipecah menjadi gugusan peptida, senyawa amida, serta gas
amoniak sedangkan lemak akan dirombak menjadi gliserol dan asam lemak. Minyak
kelapa yang disimpan dapat menjadi tengik.
Terjadinya pemecahan karbohidrat (pati, selulosa, atau pektin) pada hasil-hasil
pertanian seperti buah dan sayur-sayuran menyebabkan teksturnya akan menjadi lunak.
Terbentuknya asam dapat menurunkan pH dan terbentuknya senyawa-senyawa volatil
yang akan dapat menimbulkan bau dan mengubah citarasa.
Kerusakan mekanis dapat disebabkan karena adanya benturan-benturan pada
komoditi. Benturan dapat terjadi pada waktu panen. Misalnya, buah yang terjatuh pada
waktu panen mengalami benturan dengan tanah atau dengan alat yang dipakai untuk
memanennya. Benturan dapat pula terjadi antara komoditi satu dengan lainnya, misalnya,
pada waktu memasukkannya ke dalam wadah. Kerusakan mekanis dapat pula terjadi pada
waktu pengangkutan. Buah yang memar atau luka selanjutnya dapat pula diserang oleh
khamir, kapang atau bakteri pembusuk. Buah memar akan lebih cepat busuk, daya
simpanya lebih rendah, respirasinya lebih cepat, hormon etilinnya lebih aktif sehingga
proses pematangan dan laju respirasi lebih cepat sehingga buah tersebut akan lebih cepat
menjadi busuk, dibandingkan buah yang tidak memar.
Kerusakan fisik dapat terjadi karena suhu dingin. Pada suhu titik beku air yang
terdapat di antara sel dan di dalam sel membeku, volumenya membesar sehingga
mendesak dinding sel. Apabila terjadi pencairan kembali, maka komoditi akan menjadi
keriput (terutama pada buah dan sayur-sayuran) karena air selulernya keluar.
Kerusakan pada komoditi pangan dapat disebabkan oleh salah satu sebab atau
gabungan dari penyebab tersebut di atas. Dalam proses penanganan komoditi pangan
sejak mulai penen sampai pada konsumen, dapat terjadi kehilangan / susut dan kerusakan.
Pada proses pengolahan awal (pre processing), kehilangan/ susut dapat terjadi karena
butir -butir banyak yang pecah, atau remuk, pelepasan kulit dan pemotongan yang
berkelebihan. Dalam proses transportasi kehilangan terjadi karena pembusukan, memar,
atau kerusakan lainnya. Kehilangan atau kerusakan dalam transportasi dipengaruhi oleh
suhu yang tinggi atau rendah.
Selama penyimpanan, kehilangan/susut dan kerusakan dapat disebabkan oleh
insekta, jamur, bakteri, tikus, burung dan karena berkecambah. Beberapa macam
komoditi dapat menjadi tengik terutama komoditi yang mengandung lemak. Proses ini
juga dipengaruhi oleh faktor cuaca, kelembaban, dan suhu. Selama proses pengolahan
dan pengepakan, kehilangan/susut dan kerusakan dapat terjadi kerena pengupasan dan
pemotongan berlebihan dan dapat terjadi kontaminasi. Selama pemasaran komoditi dapat
pula terjadi kontaminasi sehingga kualitasnya dapat menjadi jelek. Untuk jelasnya
kehilangan yang terrjadi pada komoditas buah dan sayur dapat dilihat pada Gambar I. 1.

Gambar I.1. Kehilangan komoditas buah dan sayuran (Anon., 1978).


Buah dan sayuran tidak hanya berupa komoditi untuk keperluan rumah tangga
kebutuhan sehari-hari, tetapi juga merupakan komoditi keperluan hotel, restauran, dan
perusahaan katering. Masalah yang dihadapi adalah komoditi tersebut sering kualitasnya
kurang bagus, berbeda-beda, tidak dilakukan sortasi di tingkat petani, tidak adanya
standarisasi, persediaan tidak kontinyu dan kemasan yang kurang bagus. Hal ini perlu
diperhatikan sehingga kerugian ekonomi dapat dikurangi sehingga menjadi sekecil
mungkin.
DAFTAR PUSTAKA

Anonimus. 1978. Postharvest Food Losses in Developing Countries. National Academy


Sciences, Washington, DC.

Hullme, A.C.. !971. The Biochemistry of Fruits and Their Products. Vol. 1 and 2.
Acadenmic Press, London and New York.

Muchtadi, T.R. 1989. Teknologi Proses Pengolahan Pangan, Petunjuk Laboratorium.


Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan IPB, Bogor.

Soekarto, S.T. 1985. Peranan Pascapanen Menuju Industri Pertanian, Media Teknol.
Pangan, 1 (1), 9-14.

Sudjatha, W. 1992. Peranan Penanganan Pascapanen Hasil Tanaman Pangan Dalam


Menunjang Industri Pengolahan Hasil Pertanian dan Pariwisata. Pidato
Pengenalan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Teknologi Pertanian Pada
Fakultas Pertanian Universitas Udayana di Denpasar. Universitas Udayana

Wills, R., B. Mc Glasson, D. Graham, and D. Joyce. 1998. Posthrvest, An Introduction to


the Physiology & Handling of Fruit, Vegetables & Ornamentals. Printed by Hyde
Park Press, Adelaide, South Australia

Wills, R.H., T.H. Lee, D. Graham, W. B. Mc. Glasson and E.G. Hall. 1981. Postharvest,
An Introduction to the Physiology and Handling of Fruit and Vegetables. New
South Wales University Press Limited, Australia.

Winarno, F.G. 1987. Pengembangan Kebijaksanaan Pemerintah dalam Program


Pascapanen. Di dalam : Konsultasi Teknis Peningkatan Teknologi Pengeringan
dan Penyimpanan Biji-bijian, Bali 5-7 Oktober 1987. Yayasan Maha Bhoga
Marga Bali.
BAB II
STRUKTUR DAN KOMPOSISI BAHAN

2.1. Pengertian Buah dan Sayuran


a. Buah
Bila terjadi penyerbukan pada bunga dan kemudian diikuti dengan pembuahan,
maka bakal buah akan tumbuh menjadi buah dan bakal biji yang terdapat di dalamnya
akan menjadi biji. Buah yang terbentuk dari bakal buah umumnya merupakan buah
telanjang (fructus nudus) dan dinamakan juga buah sejati atau disebut juga buah
sungguh. Selain daripada bakal buahnya sendiri, ada pula bagian bunganya ikut dalam
pembentukan buah, malahan merupakan bagian penting dari buah. Buah yang demikian
itu disebut buah semu (fructus spurius). Pada buah semu, buah yang sesungguhnya sering
tidak kelihatan, sehingga buah semu itu disebut buah tertutup ( Fructus clausus ). Jadi,
dikatakan bahwa buah semu atau buah tertutup terbentuk dari bakal buah beserta bagian-
bagian lain dari bunga dan beberapa diantaranya ada yang merupakan bagian utama dari
buah (lebih besar, lebih menarik, dan merupakan bagian yang dimakan). Buah sungguh
atau telanjang hanya terbentuk dari bakal buah. Namun bila ada bagian-bagian lainnya,
itu merupakan bagian yang tidak berarti dari buah tersebut.
Buah semu contohnya, misalnya jambu mente, arbe, dan buah nangka. Pada buah
jambu mete bijinya yang menonjol disebelah ujung merupakan buah sesungguhnya.,
sedangkan bagian yang berdaging itu tidak lain dari pembesaran tangkai bunga yang
langsung dapat dimakan. Buah sejati contohnya, misalnya buah mangga (Mangifera
indica) dan buah pepaya (Carica pepaya). Buah merupakan bagian tanaman yang dapat
dimakan terdiri atas biji terbungkus oleh daging buah. Buah yang berasal dari bakal buah
yang dibuahi dan jaringan disekitarnya dapat dilihat pada gambar Gambar II. 1.
Bagian buah jambu mete yang dapat dimakan berasal dari pembesaran tangkai
bunga (pedicel). Untuk buah strawberi, dasar bunga pada bunga tunggal menjadi
berdaging tebal dan merupakan bagian yang dapat dimakan. Buah fig dasar bunganya
yang berbentuk periuk membesar dan membulat tebal berdaging menyelubungi sejumlah
besar buah sesungguhnya yang terdapat bagian dalam dan bagian ini juga dapat dimakan.
Buah jeruk berbentuk gelembung-gelembung yang mengandung cairan buah, dan
bijinya terdapat pada daging buah. Bijinya terdapat bebas dalam gelembung-gelembung
tersebut. Buah terbentuk dari jaringan intralokuler endoderma seperti contoh pada buah
peach, daging buah berasal dari mesocarp, pada buah apel daging buah berasal dari
jaringan tambahan sedangkan pada buah nenas daging buah berasal dari pembesaran
tangkai bunga dan jaringan tambahan.

b. Sayuran
Sayur-sayuran dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori utama, yaitu :
1. polong dan biji,
2. umbi lapis, dan
3. bunga, tunas, batang, dan daun.
Sayur-sayuran tersebut dapat berasal atau terbentuk dari berbagai bagian tanaman
( Gambar II. 2), misalnya :
• sayuran bayam berasal dari helaian daun yang dimanfaatkan untuk sayur,
• perai, merupakan pembesaran dari pangkal daun,
• kentang, merupakan umbi batang,
• bawang, merupakan umbi lapis,
• wortel, merupakan pembesaran ujung akar,
• slada, merupakan merupakan tunas-tunas utama,
• asparagus, berasal dari sulur batang,
• broccoli, merupakan embesaran bunga,
• seladri, merupakan tangkai daun,
• Lobak, pembengkakan dari hipokotil.
Bagian-bagian tanaman yang digunakan menjadi sayuran dapat dilihat dengan
jelas. Akan tetapi, di antaranya sulit dikelompokkan terutama yang berkembang di bawah
tanah. Misalnya, kentang adalah umbi batang, sedangkan ketela pohon umbinya
merupakan pembesaran akar.
Gambar II. 1. Jaringan tanaman pembentuk beberapa macam buah (Wills et al., 1981)
Gambar II.2. Jaringan tanaman pembentuk beberapa macam sayuran (Wills et al., 1981)
2. 2. Susunan Sel
Sel tumbuh-tumbuhan dibungkus oleh dinding sel yang terdiri atas selulosa dan
juga senyawa lain seperti hemiselulosa, lignin, dan pektat. Lapisan pektat membentuk
lamella tengah dan berfungsi mengikat sel yang saling berdekatan. Dinding sel bersifat
permeabel terhadap air.
Fungsi dinding sel antara lain:
• melindungi isi sel sehingga membran yang terluar dan plasmalema dapat menahan
tekanan hidrostatis dari isi sel sehingga sel tersebut tidak pecah, dan
• untuk mendukung struktur sel dan jaringan tanaman.
Dinding sel dapat dibedakan menjadi dinding sel primer dan dinding sel sekunder
yang merupakan dinding sel yang letaknya lebih di dalam. Dinding sel primer dapat
terdiri atas komponen selulosa, hemiselulosa, pektin dan lignin. Dinding sel sekunder
mengandung pektin, selulosa, hemiselulosa dan lignin dalam jumlah relatif banyak.
Lamella tengah terdiri atas pektin dapat sebagai perekat menyatukan sel-sel yang
berdekatan dan dapat berlaku sebagai matrik (merupakan campuran pektin dan
hemiselulosa). Pada lamella tengah ini, kadang-kadang juga terdapat lignin.
Bagian sel yang terdapat pada bagian dalam dari plasmalemma terdiri atas
sitoplasma dan pada umumnya terdapat sebuah vakuola. Akan tetapi, kadang-kadang
terdapat lebih dari sebuah vakoula. Di dalam vakuola, terdapat berbagai macam bahan
seperti gula asam amino, asam organik lainnya, dan garam. Bagian sebelah luar dari
vakoula ini dilapisi oleh membran yang bersifat semipermeabel, yang dikenal sebagai
tonoplast. Bersama dengan plamalemma yang bersifat semi permeable, tonoplast dapat
mempertahankan tekanan hidrostastik dari sel. Air dapat masuk, tetapi bila yang masuk
larutan akan terjadi seleksi terhadap zat yang terdapat di dalamnya.
Sitoplasma terdiri atas matriks protein, makro molekul lain, dan berbagai macam
larutan. Dalam sitoplasma, akan terjadi berbagai macam proses penting termasuk
terjadinya pemecahan karbohidrat. Pada sitoplasma terdapat organel (Gambar II. 3), yang
masing-masing mempunyai fungsi khusus.
Gambar II. 3. Sel tanaman (Wills et al., 1981)

Berbagai organel tersebut adalah sebagai berikut ini.


1. Inti (nucleus), merupakan organel utama dan terbesar dengan dinding yang berlipat-
lipat; mempunyai fungsi mengontrol aktivitas sel serta mengandung informasi genetik
dalam bentuk DNA (deoxyribonucleic acid).
2. Mitokhondria, mengandung enzim-enzim respirasi dari siklus asam trikarboksilat
/siklus Kreb (TCA cycle) dan sistem transport elektron yang dapat mensintesis
adenosin trifosfat (ATP), sebagai produk hasil glikolisis untuk menyimpan energi.
3. Khloroplas terdapat pada bagian sel hijau dan berfungsi sebagai alat fotosintesis
intrasel. Khloroplas mengandung pigmen khlorofil yang berwarna hijau dan terdapat
bagian yang dapat mengubah energi sinar matahari menjadi energi kimia. Enzim-
enzim yang terdapat didalamnya akan mengikat karbondioksida dari udara yang
dirubah menjadi gula dan senyawa karbon lain (asimilasi karbon)
4. Khromoplas merupakan perkembangan dari khloroplas yang sudah masak ketika
terjadi degradasi khlorofil. Khromoplas mengandung karotenoid yang menyebabkan
warna kuning pada buah-buahan /daun yang tua.
5. Amiloplas adalah tempat terdapatnya butir-butir pati walaupun butir-butir pati juga
terdapat pada khloroplas. Khloroplas, khromoplas, dan amiloplas bersama-sama
dikenal sebagai plastida.
6. Badan Golgi, berupa saluran pipih berfungsi mengekskresikan berbagai enzim dari
sel kemungkinan mensistesis dinding sel juga sebagai tempat akumulasi metabolit
sekunder
7. Retikulum endoplasma, berupa saluran tipis yang berhubungan satu dengan lainnya
dan sering menempel pada ribosom dapat mensintesis protein dan berfungsi sebagai
sistem transport pada sitoplasma. Ribosom mengandung asam ribonukleat dan
protein.

2. 3. Komposisi Kimia dan Nilai Gizi pada Buah dan Sayur- Sayuran
2. 3. 1. Air
Penyusun utama jaringan tanaman adalah air dan umumnya mencapai 70 -90 %
berat bahan segar kadang-kadang ada juga yang mencapai lebih besar dari 90 % berat
bahan segar seperti misalnya pada semangka, mentimun, dan lain-lainnya. Akan tetapi,
sebaliknya ada pula yang mempunyai kadar air lebih rendah yaitu 10 - 20 % seperti
misalnya pada padi-padian, kacang kacangan, dan lain-lainnya. Kadar air pada hasil
pertanian tergantung pada hari atau jam pemetikan, apakah pada waktu pagi atau siang
hari, yang dipengaruhi oleh fluktuasi suhu dan kelembaban. Sebagian besar komoditi
sayuran dan buah-buahan pada saat panen dikehendaki kandungan airnya maksimum,
sebab akan menghasilkan tekstur yang segar. Waktu panen memerlukan suatu
pertimbangan yang matang terutama untuk komoditi sayuran daun karena variasi
kandungan air sangat besar dan dipengaruhi oleh keadaan lingkungan.

2. 3.2. Karbohidrat
Karbohidrat merupakan hasil proses fotosintesis, yang mempunyai peran penting
dalam sistem biologi terutama dalam respirasi. Zat yang termasuk ke dalam golongan
karbohidrat antara lain gula, dekstrin, pati, selulosa, dan lain-lainnya. Kandungan
karbohidrat pada buah dan sayur-sayuran berkisar 2 - 40 %. Buah yang termasuk famili
Cucurbitaceae mempunyai kadar karbohidrat rendah, sedangkan beberapa sayuran
mengandung pati yang tinggi, misalnya pada kentang dan umbi ketela pohon (cassava).
Dalam buah yang sudah masak, ada karbohidrat yang terdapat dalam bentuk gula.
Karbohidrat dalam bentuk pati terdapat pada sayuran dan pada buah yang belum masak.
Gula utama yang terdapat pada buah-buahan adalah sukrosa, glukosa, dan
fruktosa, dan banyaknya gula-gula tersebut tergantung pada jenis buahnya ( Tabel II. 1.).
Pati biasanya dalam bentuk butir-butiran dengan struktur karakteristik yang terbentuk di
dalam sitoplasma dan biasanya mengisi seluruh sel. Gula dan pati dalam tubuh manusia
sebagai sumber energi.
Beberapa macam sayur-sayuran dan umbi-umbian misalnya wortel dan lobak,
mengandung karbohidrat antara 8 - 18 % dan relatif mengandung banyak gula. Beberapa
sayur-lain mengandung karbohidrat total kurang dari 9 % dari berat segar. Bagian yang
keras dari karbohidrat adalah serat yang sulit dicerna oleh perut manusia. Penyusun serat
adalah selulosa, hemiselulosa, dan zat pektat. Lignin juga merupakan penyusun dan sulit
dicerna dalam usus manusia. Tidak terdapat enzim yang dikeluarkan oleh saluran
pencernaan manusia untuk mendegradasi selulosa tersebut. Pati dan selulosa mempunyai
komponen yang sama dan tebentuk dari glukosa.
Pati yang mempunyai ikatan a 1,4 dapat dihidrolisis oleh enzim amilase. Selulosa
dengan ikatan b 1,4 dapat dihidrolisis oleh selulase, tetapi tubuh manusia tidak
menghasilkan enzim selulase. Begitu pula tubuh manusia tidak sanggup menghasilkan
enzim pektat dan hemiselulase, sehingga zat pektat tidak dapat dipecah menjadi asam
galakturonat dan hemiselulosa menjadi xilosa dan senyawa pentosa.
Tabel II. 1. Kadar gula pada beberapa macam buah masak
dan sayur-sayuran ( Wills et al., 1998)
Komoditi Gula ( g/100 g berat segar)
Glukosa Fruktosa Sukrosa
Apel 3 4 2
Pisang 4 4 10
Cabai 2 2 0
Cheri 6 4 0
Anggur 8 8 0
Bawang 2 2 1
Jeruk 2 2 4
Peach <1 <1 5
Pear 2 7 1
Nenas 1 2 5
Tomat 1 1 0
Kurma 32 24 8

Serat tidak diperhitungkan dalam gizi makanan tetapi penting untuk mencegah
terjadinya peradangan pada saluran pencernaan. Orang yang kurang makan serat
dikuatirkan akan dapat menderita tumor atau kanker pada usus besar (rektum)..
Struktur beberapa macam komponen serat dan pati terlihat pada Gambar II. 4.
Gambar II 4. Struktur komponen beberapa macam serat dan pati (Wills
et al., 1981)
2.3.3. Protein
Kandungan protein buah dan sayur-sayuran segar umumnya sangat rendah sekitar
1 sampai 2 %. Akan tetapi, pada tanaman leguminose, kadar protein buahnya lebih besar,
yaitu sekitar 5-8 %. Protein mempunyai fungsi sangat penting, misalnya sebagai enzim.
Hasil degradasi protein akan menghasilkan berbagai asam amino.
2. 3.4. Lemak
Kandungan lemak pada buah dan sayuran umumnya kurang dari 1 %, kecuali
pada buah alpukat yang kadar lemaknya sekitar 20 %. Selain itu, buah olive mengandung
lemak 15 % yang terdapat sebagai partikel pada sel dan dapat sebagai pelindung jaringan
permukaan tanaman misalnya terdapat pada epidermis buah. Lemak yang terdapat pada
buah maupun sayuran tersusun atas asam lemak tidak jenuh sehingga tidak berbahaya
bagi jantung manusia yang mengkonsumsinya.
2. 3. 4. Asam organik
Beberapa asam organik terbentuk dalam jaringan tanaman sewaktu proses
metabolisme yang berlangsung secara normal. Beberapa macam asam dapat dihasilkan
dari siklus Kreb (TCA= Tricarboxylic acid ), sedangkan asam aromatik seperti quinat dan
shikimat dianggap terbentuk pada biosintesis asam amino aromatis. Beberapa dari asam
ini dan asam yang lain seperti asam oksalat dan asam tartarat yang tidak dihasilkan dari
siklus metabolisme tertentu dapat terakumulasi dalam jaringan.
Asam yang banyak terbentuk pada jaringan tanaman yang dapat dimakan adalah
asam sitrat dan malat, yang kandungannya lebih dari 2 % dari berat segar. Pada jeruk,
terdapat asam sitrat lebih dari 3 %. Selain pada buah jeruk, asam sitrat juga terdapat pada
buah nenas, pear, dan lain-lainnya. Asam malat banyak terdapat pada buah apel, cherri,
apricot, pisang, dan lain-lainnya. Sayur-sayuran mengandung asam sitrat dan asam malat
dalam jumlah yang berbeda-beda. Pada kentang, biji leguminosa, tomat, dan lobak,
banyak terdapat asam malat Asam sitrat dan asam malat banyak terdapat pada lada,
kubis, bawang, wortel. Asparagus juga mengandung asam sitrat dan malat.
2. 3. 5. Vitamin dan Mineral
Vitamin C (asam askorbat ) umumnya terdapat sedikit dalam buah dan sayuran.
Vitamin ini sangat diperlukan untuk mencegah gusi berdarah pada manusia. Vitamin C
dalam gizi sebanyak 90 % diperoleh dari buah dan sayuran. Tiap hari seorang laki-laki
memerlukan vitamin C sebanyak 50 mg.
Buah dan sayuran merupakan sumber vitamin A dalam bentuk precursor vitamin
A (b-karoten) dan juga mengandung asam folat. Hanya 10 % karotenoid yang terdapat
pada buah dan sayuran merupakan precursor vitamin A. Karotenoid yang lain seperti
seperti likopen yang merupakan bagian utama pada buah tomat tidak aktif sebagai
pemebntuk vitamin A. Dalam Tabel II. 2., terlihat beberapa macam buah dan sayuran
yang mengandung vitamin C, A, dan asam folat
Pada buah dan sayuran, terdapat juga berbagai mineral yang diperlukan tubuh.
Beberapa macam mineral yang terdapat pada buah dan sayuran sulit diserap oleh tubuh
manusia. Misalnya, kalsium yang terdapat pada bayam dalam bentuk kalsium oksalat
tidak dapat diserap oleh tubuh manusia.
Nilai gizi berbagai macam buah dan sayuran tidak hanya tergantung pada
konsentrasi yang terdapat di dalamnya, tetapi juga tergantung dari jumlah yang
dikonsumsi.
Tabel II. 2. Kadar vitamin C, vitamin A, dan asam folat beberapa macam buah dan
sayuran ( Wills et al., 1998)
Komoditi Vit. C Komoditi Vit. A Komoditi Asam
(mg/100g) (ug folat
retinol/ (ug/100g)
100g).
Jambu biji. 200 Wortel 1000 Bayam 80
Cabai kecil 150 Bayam, ketela Broccoli 50
Broccoli. 100 rambat (merah) 500 Kubis,slada 20
Pepaya. 80 Mangga,tomat 400 Pisang 10
Jeruk, 40 Ketela rambat Kebanyakan
stroberri. 35 ( putih) 50 buah-
Kubis, slada. 30 Pisang 20 buahan <5
Mangga,wortel Kentang <5
Nenas,pisang, 20
kentang, tomat. 10
Apel,peach. 5
Lobak,bawang

2. 3.6. Senyawa Volatil (Senyawa yang mudah menguap)


Semua buah dan sayuran, mengandung senyawa yang mempunyai berat molekul
rendah (berat molekulnya kurang dari 250). Beberapa di antaranya dapat merupakan
senyawa yang mudah menguap (volatile) pada suhu biasa ( suhu kamar). Senyawa volatil
ini secara kuantitatif tidak begitu penting ( umumnya mempunyai berat kurang dari 100
mikrogram per gram berat segar), tetapi penting dalam pemnbentukan citarasa dan aroma
buah yang spesifik. Namun, pada sayur-sayuran pembentukan citarasa dan aroma kurang
begitu diperhatikan.
Buah dan sayur-sayuran masing masing mengandung lebih dari 100 macam
senyawa volatile, tetapi dalam jumlah yang sangat kecil. Senyawa volatil umumnya
tersusun dari senyawa-senyawa ester, alkohol, asam, dan karbonil (aldehida dan keton).
Banyak di antara senyawa -senyawa ini seperti etanol sangat umum terdapat pada buah
dan sayuran. Komponen khusus dari aroma yang terdapat pada beberapa macam buah
dan sayuran terlihat pada Tabel II. 3.

Tabel II. 3. Komponen khusus dari aroma pada beberapa macam buah dan sayuran (
Wills et al., 1998)

Produk Senyawa
Apel - masak Ethyl 2- metibutirat
--------hijau Hexanal, 2 hexanal
Pisang hijau 2-hexanal
masak Eugenol
kelewat masak Isopentanol
Anggur Nootakatone
Lemon Citral
Orange Valencene
Raspberry 1-(p-Hidroxyphenyl)-3-btanone
Mentimun 2, 6-Nonadienal
Kubis mentah Allyl isothiocyanate
dimasak Dimethyl disulphide
Jamur 1- Octen-3-ol, lenthionine
Kentang Methoxy-3-ethyl pyrazine, 2,5-
dimethyl pyrazine
Lobak 4-Methylthio-trans-3-butenyl
isothiocyanat
DAFTAR PUSTAKA

Anonimus. 1978. Postharvest Food Losses in Developing Countries. National Academy


Sciences, Washington, DC.

Hullme, A.C.. !971. The Biochemistry of Fruits and Their Products. Vol. 1 and 2.
Acadenmic Press, London and New York.

Pantastico, E. R. B. 1986. Fisiologi Pasca Panen, Penanganan dan Pemanfaatan Buah-


buahan dan Sayur-sayuran Tropika dan Sub Tropika. Penerjemah :
Prof. Ir. Kamarjani. Gadjah Mada University Press. Jogyakarta.

Soeharsono,M. 1983. Biokimia I, II. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Sudjatha, W. 1992. Peranan Penanganan Pascapanen Hasil Tanaman Pangan Dalam


Menunjang Industri Pengolahan Hasil Pertanian dan Pariwisata. Pidato
Pengenalan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Teknologi Pertanian Pada
Fakultas Pertanian Universitas Udayana di Denpasar. Universitas Udayana

Wills, R., B. Mc Glasson, D. Graham, and D. Joyce. 1998. Posthrvest, An Introduction to


the Physiology & Handling of Fruit, Vegetables & Ornamentals. Printed by Hyde
Park Press, Adelaide, South Australia

Wills, R. H., T. H. Lee, D. Graham, W. B. Mc. Glasson and E.G. Hall. 1981. Postharvest,
An Introduction to the Physiology and Handling of Fruit and Vegetables. New
South Wales University Press Limited, Australia.

Winarno, F. G. 1987. Pengembangan Kebijaksanaan Pemerintah dala Program


Pascapanen. Di dalam : Konsultasi Teknis Peningkatan Teknologi Pengeringan
dan Penyimpanan Biji-bijian, Bali 5-7 Oktober 1987. Yayasan Maha Bhoga
Marga Bali.
BAB III
PROSES FISIOLOGI DAN BIOKIMIA

Dalam melangsungkan proses kehidupan, diperlukan energi yang dalam sistem


biologi dapat diperoleh dengan cara fotosintesis, respirasi, atau fermentasi. Pada bagian
tanaman yang telah dipisahkan dari tanaman induknya, proses respirasi dan transpirasi
tetap berlangsung, sedangkan zat yang diperlukan untuk proses tersebut tidak dapat
diambil dari dalam tanah, melainkan dipergunakan dari bahan cadangan yang terdapat
pada buah dan sayuran tersebut. Karena itu, bila zat-zat dan air yang dipergunakan oleh
bagian tanaman yang terpotong untuk respirasi tidak mencukupi, maka akan terjadi
kerusakan atau dengan kata lain buah atau sayuran tersebut akan keriput atau rusak.
Air pada tanaman yang telah dipanen dapat hilang tidak hanya melalui proses
respirasi dapat pula terjadi karena terjadinya transpirasi (penguapan). Transpirasi adalah
kehilangan air dalam bentuk gas dari jaringan hidup dan itu berbeda dengan pengertian
evaporasi, yaitu penguapan air yang tidak melalui jaringan hidup.
3. 1. Fotosintesis.
Fotosintesis adalah suatu proses metabolisme dalam tanaman untuk membentuk
karbohidrat dari CO2 yang berasal dari udara dan air dari dalam tanah dengan bantuan
sinar matahari dan khlorofil.
Persamaan kimia fotosintesis dapat ditulis sebagai berikut:
6 CO2 + 6 H2O + 672 kcal C6 H12 O6 + 6 O2
Glukosa (C6H12O6) yang terbentuk dianggap sebagai hasil utama proses fotosintesis
walaupun berbagai senyawa organik yang lain juga dihasilkan (Wilson et a.l, 1966).
Karbondioksida yang dipergunakan dalam proses fotosintesis berasal dari udara, air dari
dalam tanah, dan energi dari sinar matahari. Oksigen yang terbentuk dilepaskan ke udara
sehingga bermanfaat bagi manusia maupun hewan. Sebenarnya reaksi yang ditulis di atas
tidaklah sesederhana itu melainkan jauh lebih kompleks.
Sebagai suatu ilustrasi, proses fotosintesis dapat digambarkan seperti pada
Gambar III. 1. (Wilson et al., 1966). Fotosintesis dikelompokkan menjadi tiga kelompok
reaksi. Dalam reaksi kelompok pertama, energi sinar digunakan untuk memecah air
menjadi hidrogen (H) dan oksigen (O). Dalam reaksi kelompok kedua, energi sinar
digunakan langsung maupun tidak langsung sebagai cadangan energi kimia yang terdapat
di dalam khloroplas. Selanjutnya dalam kelompok reaksi ketiga hidrogen dan energi
kimia dipergunakan untuk mengubah karbondioksida menjadi gula.

Gambar III. 1. Fotosintesis : sumber energi, bahan baku, dan produk. Bagian kiri
menunjukkan bagian fotosintesis, sedangkan sebelah kanan bagian
sintesis (Wilson et al.,1966 ).

Dalam reaksi pertama dari fotosintesis, energi sinar matahari atau radiasi lain
yang terlihat diserap oleh khlorofil dan digunakan untuk memecah air (H2O) menjadi
hydrogen, oksigen dan ATP. Hidrogen masuk ke dalam suatu sistem transport hidrogen
(elektron) yang terdapat dalam khloroplas dan kemudian digunakan dalam berbagai
reaksi yang lain. Oksigen yang berasal dari air terlepas sebagai gas (O2) yang merupakan
produk dari fotosintesis. Reaksi diatas dapat dimodifikasi yang menunjukkan bahwa
oksigen pada fotosintesis berasal dari air bukan dari karbon dioksida. Reaksinya dapat
dilukiskan sebagai berikut:
6 CO2 + 12 H2O + energi C6H12O6 + 6H 2O + 6O2
Perlu dicatat bahwa di samping molekul air baru yang dihasilkan terbentuk pula
molekul oksigen. Molekul air itu merupakan bagian yang sangat kecil dari total air yang
terdapat pada sel.
Reaksi sinar dalam fotosintesis membentuk hidrogen yang dapat digunakan lagi
dan proses ini berlangsung dalam khloroplas. Hidrogen ini digunakan dalam reaksi kimia
dalam langkah fotosintesis selanjutnya.
Dalam kelompok reaksi fotosintesis pertama, digunakan energi sinar matahari.
Dalam tingkat akhir kelompok reaksi sintesis, diperlukan energi kimia khusus. Energi ini
terbentuk dalam kelompok reaksi kedua oleh suatu proses yang disebut fotofosforilasi.
Energi kimia ini yang dipergunakan dalam sel-sel tanaman dan binatang berasal dari
energi tinggi dari senyawa fosfat yang disebut ATP ( Adenosin trifosfat ). ATP tebentuk
dalam khloroplas dengan dua cara. Salah satu di antaranya menggunakan energi sinar
matahari secara langsung menjadi energi kimia ATP. Namun, yang lain mengoksidasi
beberapa hidrogen yang terlepas dari air sehingga kembali menjadi air dan energi yang
terbebas dalam proses tersebut digunakan untuk membentuk lebih banyak ATP.
Dalam reaksi kelompok terakhir, hydrogen, energi kimia yang tersedia dan
karbondioksida akan diubah menjadi glukosa dan air Pada buah maupun sayuran yang
baru dipanen apabila masih terdapat khlorofil, air dan mendapat sinar matahari maka
proses fotosintesis masih dapat berlangsung.

3. 2. Respirasi
Pada buah atau sayuran yang baru dipetik, respirasi masih tetap berlangsung. Sel
tanaman maupun hewan menggunakan energi yang telah dihasilkan dan digunakan untuk
mempertahankan protoplasma, membran protoplasma, dan dinding sel. Dalam proses
respirasi, umumnya glukosa akan dirubah menjadi berbagai senyawa yang lebih
sederhana dan disertai dengan pembebasan energi. Persamaannya dapat ditulis sebagai
berikut :
C6H12O6 + 6O2 6CO2 + 6H2O + energi
Dalam fotosintesis energi dihasilkan dan disimpan sedangkan pada proses
respirasi energinya dilepaskan. Energi yang dilepaskan sebagian dapat dalam bentuk
panas dan sebagian lagi dalam bentuk energi yang digunakan untuk aktivitas sel-sel
hidup. Untuk jelasnya dapat dibedakan antara fotosintesis dengan respirasi (Tabel III. 1.)
sebagai berikut ini.
Tabel III. 1. Tabel perbandingan fotosintesis dengan respirasi (Wilson et al.,
1966).

Fotosintesis Respirasi
1. Hanya terjadi pada sel tanaman yang
mempunyai khlorofil
1. Terjadi pada setiap sel aktif dan hidup
pada tanaman maupun hewan.

2. Perlu adanya sinar matahari 2. Berlangsung selama sel tersebut


masih hidup baik pada tempat yang
terang (adanya sinar matahari)
maupun pada tempat yang gelap

3. Menggunakan air dan karbon dioksida 3. Menggunakan bahan pangan dan


oksigen
4. Terjadi pembebasan oksigen
4. Membebaskan air dan karbondioksida
5. Energi matahari diubah menjadi energi kimia.
5. Energi kimia diubah menjadi panas
dan energi yang bermanfaat bagi
6. Terjadi peningkatan berat tanaman atau hewan.

7. Dihasilkan zat makanan. 6. Mengakibatkan turunnya berat

7. Zat makanan yang terdapat pada


tanaman atau hewan akan dipecah
menjadi senyawa lebih sederhana.

Proses respirasi pada jalur pemecahan senyawa komplek menjadi senyawa


sederhana dengan terjadinya pelepasan energi dapat melalui 4 tingkat sebagai berikut ini.
1. Pada tingkat pertama, molekul besar dipecah menjadi molekul yang lebih sederhana.
Polisakarida dipecah menjadi gula sederhana seperti glukosa, protein menjadi asam-
asam amino dan lemak menjadi asam lemak. Pada tingkat ini, tidak terbentuk energi
2. Pada tingkat kedua, molekul yang sederhana (kecil) tersebut dipecah lebih lanjut
menjadi molekul-molekul yang lebih kecil lagi. Gula, asam lemak, gliserol, dan
beberapa asam amino dirubah menjadi asam piruvat dan asetil CoA.
3. Reaksi tingkat ketiga merupakan jalur yang disebut siklus Kreb”s (TCA=
Tricarboxylic Acid ). Pada tingkat ini senyawa-senyawa intermedier yang dihasilkan
akan teroksidasi menjadi C02 , H2O dan energi. Empat elektron ditransfer ke NAD+ (
Nicotinamide Adenine Dinucleotide) dan FAD ( Flavine Adenine Dinucleotide)
untuk setiap gugus asetil yang dioksidasi dengan disertai sedikit pembebasan energi.
4. Tingkat terakhir merupakan reaksi transport elektron dan fosforilasi oksidatif. Pada
transport, elektron yang diikat oleh NADH2 dan FADH2 ditransfer ke oksigen disertai
dengan pembebasan sejumlah energi. Energi ini dipergunakan untuk memacu
pembentukan ATP dengan proses fosforilasi oksidatif.
Untuk jelasnya, keempat tingkat proses tersebut di atas terlihat pada Gambar III. 2.
Protein dan lemak dapat pula berperan sebagai substrat dalam proses respirasi.
Berbagai hubungan antara substrat dengan hasil intermedier respirasi dapat dikemukakan
sebagai berikut :
1. Karbohidrat dapat dikonversikan menjadi asam lemak atau asam-asam amino. Lemak
dapat dirubah menjadi asam amino demikian sebaliknya, tetapi sukar untuk
ditransformasikan menjadi karbohidrat kembali.
2. Banyak senyawa penting yang disintesis dari hasil intermedier siklus glikolitik dan
siklus krebs. Glukosa 6 PO4 berperan sebagai substrat dalam pembentukan asam
askorbat; fosfoenolpiruvat dapat dikonversikan menjadi asam khlorogenat; asetil CoA
dapat diubah menjadi fenol atau zat -zat aromatik yang mudah menguap; atau suksinil
Co A menjadi khlorofil.
3. Glikolisis dan jalur pentosa fosfat berlangsung dalam sitoplasma. Siklus Kreb dan
sistem transport elektron berlangsung dalam mitokhondria.
Gambar III. 2. Skema jalur katabolik untuk menghasilkan enersi

Adapun enzim yang bekerja dalam siklus TCA terlihat pada Tabel III. 2.
Tabel III. 2. Enzim-enzim yang berperanan dalam TCA.

Perubahan Substrat Enzim yang berperanan


Pyruvat Asetil Co A Piruvat dehidrogenase
Oksaloasetat Asam sitrat Sitrat sintetase
Asam sitrat Asam Asonitat Akonitase
Asam Asonitat Asam Isositrat Akonitase
Asam isositrat Asam oksalosuksinat Isositrat dehidrogenase
Asam oksalosuksinat Asam a-Ketoglutarat Isositrat dehidrogenase
Asam a-Ketoglutarat Asam Suksinat a-Ketoglutarat dehidrogenase
Asam Suksinat Asam Fumarat Suksinat dehidrogenase
Asam Fumarat Asam Malat Fumarase
Asam Malat Asam Oksaloasetat Malat dehidrogenase

Ihwal skema sistem pengangkutan elektron terlihat pada Gambar III. 3. Rangkaian
dari reaksi enzim yang menyangkut oksidasi dari substrat dan reduksi molekul oksigen
disebut sistem pengangkutan elektron (Electron Transport System = ETS). Perlu
dikemukakan disini bahwa NAD ( Nicotinamide Adenine Dinucleotide) dan NADP
(Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphat) masing-masing disebut juga DPN
(Diphospho Pyridine Nucleotide) dan TPN ( Tri Phospho Pyridine Nucleotide).
Dalam sistem pengangkutan elektron, DPNH + H+ yang dihasilkan oleh reaksi-
reaksi biologis akan dioksidasi oleh flavoprotein, yaitu FAD (Flavin Adenine
Dinucleotide) menjadi DPN seperti berikut :
NADH + H+ + FAD NAD + FADH2
FADH2 (FAD yang tereduksi) akan mengalami oksidasi dengan memindahkan elektron
ke sitokhrom yang tersedia. Salah satu sitokhrom akan menerima elektron dari FADH2
sehingga sitochrom tersebut akan tereduksi dari bentuk sitochrom dengan inti besi
bervalensi tiga (ferri) menjadi sitochrom dengan inti besi berinti dua ( ferro) seperti
nampak pada reaksi berikut :
FADH2 + 2 Fe+++ FAD + 2 H+ + 2 Fe++ + 2e-
Elektron-elektron ini dipindahkan ke sitochrom yang lain dengan sistem yang sama.
Sitochrom yang terakhir akan memindahkan elektron ke oksigen sehingga terbentuk air.
Sebagai suatu contoh misalnya asam L Malat merupakan substrat menjadi produk
teroksidasi senyawa-senyawa pembawa elektron yang disebut koenzim seperti terlihat
pada Gambar III. 3.

Bila disimak kembali pada buah maupun pada sayuran yang mengandung
karbohidrat cukup tinggi dapat berupa pati (polisakarida) berasal dari hasil asimilasi
/fotosintesis pada saat buah maupun sayuran masih pada tanaman induknya. Kemudian
setelah dipanen, pati yang terdapat pada buah maupun sayuran merupakan sumber
energi yang diperlukan oleh buah ataupun oleh sayuran. Pati ini akan didegradasi (
dirombak ) atau terjadi proses katabolisma menjadi senyawa dengan molekul yang lebih
sederhana yaitu heksosa (glukosa). Mengenai perombakan pati terlihat pada Gambar III.
4. Pati dapat dipecah oleh α-amilase, β-amilase atau glukoamilase, menjadi
monosakarida, disakarida dan dekstrin. Tetapi dalam jalur lain pati dapat dirombak
menjadi maltosa dengan bantuan enzim maltase sedangkan oleh enzim fosforilase akan
dirombak menjadi glokosa 1 fosfat.
Gambar III. 4. Pemecahan Karbohidrat menjadi Heksosa (Wills et al., 1981)

Setelah terjadinya pemecahan pati menjadi heksosa atau glukosa, selanjutnya


glukosa tersebut akan dipecah menjadi asam piruvat ( glikolisis) melalui jalur EMP
(Embden Meyerhof Parnas). Jalur EMP ini dapat dilihat pada Gambar III. 5. Keseluruhan
reaksinya dapat dituliskan sebagai berikut :
Glukosa + 2 ADP + 2Pi + 2 NAD 2 piruvat + 2 ATP + 2 NADH2 + 2H2O
Energi yang dibebaskan dari reaksi ini akan ditangkap dan disimpan dalam bentuk ATP
dan NADH2 ( Nicotinamide Adenine Dinucleotide) dalam keadaan tereduksi. Tiap
molekul NADH2 memberikan 3 ATP. Total energi yang dibebaskan pada perubahan satu
molekul glukosa menjadi piruvat ekuivalen dengan 8 ATP, yaitu :
2 ATP + 2 x 3 ATP = 8 ATP.
Selanjutnya, energi dapat berguna bagi tanaman dengan terjadinya pemecahan ikatan
fosfat pada ATP menjadi ADP seperti berikut :
ATP ADP + Pi + energi.
Alternatif lain pemecahan glukosa menjadi fosfogiseraldehida mencakup pembentukan
dan perubahan gula (C5) seperti ribulosa, ribosa, dan xilulosa merupakan sistem jalur
samping dari EMP.
Gambar III. 5. Jalur Glikolisis (Embden Meyerhof Parnas).
Glukosa dapat pula mengalami pemecahan melalui reaksi katabolik sekunder
yaitu melalui jalur Pentosa fosfat. Jalur pentosa fosfat mencapai tiga hal penting dalam
sel hidup :
1. merupakan lintasan utama untuk menghasilkan NADPH, sebuah paket energi yang
diperlukan untuk biosintesis asam lemak dan steroid.
2. memberikan tempat pengumpulan ribosa 5- fosfat yang menyediakan komponen gula
lima karbon bagi biosintesis DNA ( Deoxyribose Nucleic Acid ) dan RNA ( Ribose
Nucleic Acid).
3. memberi bekal bagi perubahan non oksidatif diantara fosfat gula yang berkarbon tiga,
empat, lima, enam dan tujuh.
Jalur reaksi pentosa fosfat dapat dibagi menjadi reaksi-reaksi oksidatif dan reaksi
non oksidatif. (Gambar III. 6 ).

A. Tahap Reaksi Oksidatif dari Pentosa Fosfat


Oksidasi dari Glukosa 6 Fosfat
Glukosa 6 fosfat disimpangkan ke dalam jalur reaksi ini oleh enzim glukosa 6
fosfat dehidrogenase. Enzim ini menggunakan NADP+ sebagai koenzim
Glukosa 6 fosfat + NADP + H2O 6 fosfoglukonat NADPH + 2 H+
Oksidasi 6 fosfoglukonat dikatalisis oleh 6 fosfoglukonat dehidrogenase dan
menghasilkan D ribulosa 5 fosfat ( fosfat gula berkarbon lima) dan CO2. Enzim dalam
reaksi ini memerlukan koenzim NADP+ dan terbentuk NADPH.
6 fosfoglukonat + NADP+ D ribulosa 5 fosfat + NADPH + CO2.

B.Tahap Reaksi Non oksidatif dari Pentosa Fosfat


Pembentukan Ribosa 6 fosfat
Ribulosa 5 fosfat yang dihasilkan pada tahap oksidatif dapat mengalami berbagai
perubahan intermedier ( antara) yang pada akhirnya menuju kembali ke lintasan glikolitik
fruktosa 6 fosfat dan gliseraldehida 3 fosfat. Dapat juga dihasilkan D ribosa 3 fosfat.
D Ribulosa 5 fosfat D ribosa 5 fosfat
Gambar III. 6. Jalur Reaksi Pentosa Fosfat (Page, 1985).
Dalam jalur glikolisis sampai dengan terbentuknya asam piruvat, banyaknya
energi yang terbentuk sebesar 8 ATP ( Gambar III. 5.). Namun dalam siklus TCA, energi
yang terbentuk per satu molekul piruvat sebanyak 15 ATP. Selain itu, pada pemecahan
satu molekul gula akan terbentuk 2 molekul piruvat sehingga dalam TCA saja akan
terbentuk 30 ATP. Untuk jelasnya, dapat dilihat pada reaksi berikut :
Piruvat + 3O2 + 15 ADP + 15 Pi 3 CO2 + 2 H2O + 15 ATP
Dua molekul piruvat akan membentuk 30 ATP. Jadi banyaknya ATP yang terbentuk dari
proses glikolisis sampai ke siklus Kreb ( TCA) adalah sebanyak 38 ATP. Total energi
yang dilepaskan pada pemecahan sebuah molekul glukosa sekitar 1,6 megajoule. Sebesar
90 % dari energi yang dibebaskan ini tersimpan dalam tanaman, sedangkan sisanya
hilang sebagai panas. Respirasi merupakan suatu proses yang sangat efisien dalam
pemanfaatan energi dan itu berbeda dengan dengan mesin yang 50% energinya hilang
sebagai panas.

3. 3. Fermentasi
Fermentasi adalah suatu reaksi oksidasi reduksi yang menghasilkan energi,
dengan donor dan aseptor elektronnya berupa senyawa organik (umumnya karbohidrat
dalam bentuk glukosa).
Di dalam udara normal, tersedia cukup banyak oksigen sehingga proses respirasi
dapat berlangsung dengan baik. Namun, dalam jaringan tanaman (buah maupun sayur-
sayuran ) jumlah oksigen yang tersedia sangat terbatas yang segera berkurang sehingga
proses pembentukan energi akan berubah dan dapat terjadi fermentasi. Dalam
penyimpanan, dapat juga terjadi terbatasnya oksigen di udara sehingga tidak cukup untuk
dapat mempertahankan buah atau sayur-sayuran melangsungkan metabolisma yang
bersifat aerob. Dalam keadaan yang demikian akan dapat terjadi proses fermentasi (
metabolisme anaerob ) pada jaringan tanaman yaitu terjadinya pemecahan gula menjadi
piruvat melalui jalur EMP. Akan tetapi, piruvat tidak masuk ke siklus Kreb’s (TCA)
melainkan dimetabolisme menjadi asam laktat atau asetalaldehida dan etanol (Gambar
III. 5). Dalam proses fermentasi piruvat akan lebih banyak dirubah menjadi asam laktat,
asetaldehide selanjutnya menjadi alkohol. Secara ringkas dapat terlihat pada
Gambar III. 7.
Heksosa
CO2
Piruvat Asetaldehide Alkohol

Laktat
Gambar III. 7. Jalur metabolisme anaerob (fermentasi)

Konsentrasi oksigen ditempat terjadinya permulaan proses fermentasi bervaiasi


antara jaringan tanaman. Konsentrasi oksigen pada saat terjadinya fermentasi tergantung
pada beberapa factor, di antaranya adalah jenis, kultivar, kemasakan dan suhu.
Fermentasi menghasilkan energi jauh lebih rendah per molekul glukosa daripada respirasi
aerob.
3. 4. Pengukuran Respirasi
Besar kecilnya respirasi dapat diukur dengan menentukan jumlah substrat yang
hilang, O2 yang diserap, CO2 yang dikeluarkan dan panas yang dihasilkan / energi yang
timbul. Senyawa yang teroksidasi selama respirasi dapat diketahui dengan menganalisis
bahan tersebut. Jarang hanya gula saja yang dipakai sebagai substrat selama respirasi.
Berbagai bentuk zat lain dapat pula digunakan sebagai substrat dalam respirasi.. Zat
lainnya misalnya pati, selulosa, pektin, lemak, bahkan protein dapat sebagai substrat.
Respirasi ditentukan dengan pengukuran CO2 dan O2 yaitu dengan pengukuran laju
penggunaan O2 atau dengan penentuan laju pengeluaran CO2. Proses respirasi dengan
mengukur perubahan kandungan gula, jumlah ATP, jumlah CO2 yang dilkeluarkan, dan
jumlah O2 yang digunakan secara praktis sukar dapat diukur.
Terjadinya perubahan kandungan gula, karena gula yang terdapat dalam bahan
jumlahnya tidak tetap dan pembentukan gula yang merupakan pemecahan pati
(karbohidrat) dapat bersamaan dengan proses glikolisis ( pemecahan gula) sehingga sukar
dieketahui banyaknya gula yang terdapat.
Pengukuran kandungan ATP secara teoritis dapat dilakukan, tetapi secara praktis
jarang dilakukan. Untuk mengukur jumlah ATP yang terbentuk, dan diperlukan waktu
lama, ketelitian yang tinggi, dan alat-alat yang baik.
Produksi CO2 yang terbentuk dalam proses respirasi mudah diukur. Pengukuran
proses respirasi dengan mengukur terbentuknya CO2 tidak diketahui apakah berasal dari
proses aerob atau anaerob. Jumlah O2 yang digunakan di dalam proses respirasi relatif
sedikit, sukar dilakukan dalam pratek dan memerlukan peralatan yang dapat digunakan
untuk mengukur dengan teliti, misalnya dengan gas khromatografi. Di antara cara
pengukuran di atas cara yang paling praktis adalah dengan mengukur CO2 yang tebentuk.
3. 4. 1. Respiration Quotient (RQ ).
Respiration Quotient (RQ ) atau Koosien Respirasi adalah perbandingan antara
volume CO2 yang diproduksi dengan volume O2 yang diperlukan pada oksidasi.
Misalnya, untuk glukosa yang teroksidasi :
C6 H12 O6 + 6O2 6 CO2 + 6 H2O
Volume CO2 yang diproduksi
RQ =
Volume O2 yang diserap

6 CO2 6
RQ = = = 1
6 O2 6
Jadi, apabila substratnya adalah karbohidrat, maka RQ = 1
Apabila lemak sebagai substratnya, maka RQ nya lebih rendah dari satu sebab
jumlah oksigen lebih rendah daripada jumlah molekul karbon dalam substratnya sehingga
akan lebih banyak diperlukan oksigen dari luar untuk mengoksidasi lemak tersebut.
Misalnya, oksidasi tristearin:
2 C37 H110O6 + 163 O2 114 CO2 + 110 H2O
CO2 114
RQ = = = 0,70
O2 163

Oksidasi protein tidak dapat dinyatakan dengan tepat karena struktur kimia
protein bervariasi dan akan menghasilkan RQ sekitar 0,8. Apabila RQ antara 0,70 - 1,0,
itu berarti bahwa yang dioksidasi adalah campuran. Bila RQ lebih besar dari satu
menunjukan bahwa substrat yang digunakan untuk respirasi adalah asam-asam organik.
Jika RQ kurang dari satu ada beberapa kemungkinannya:
1. Substrat yang digunakan mempunyai jumlah molekul oksigen yang lebih rendah
daripada molekul karbonnya, sehingga diperlukan oksigen yang banyak dalam
oksidasinya.
2. Oksidasi belum tuntas, misalnya terhenti pada pembentukan asam suksinat atau zat-
zat intermedier lainnya.
3. CO2 yang dikeluarkan digunakan dalam proses sintesis/pembentukan misalnya untuk
pembentukan asam oksaloasetat dan asam malat dari piruvat dan CO2
Karena laju respirasi berubah dengan cepat, maka pengukuran RQ dilakukan pada
saat respirasi berlangsung dengan laju yang tetap. Pada waktu terjadinya proses
fotosintesis baik terjadi pada jaringan bagian luar maupun terjadi pada jaringan di bagian
dalam. Gas-gas yang dikeluarkan dapat mengganggu perimbangan O2 dan CO2 jadi
mengganggu RQ nya. RQ dapat berubah menurut perlakuan seperti gangguan masuknya
O2 , suhu, dan pengikatan CO2..
3. 4. 2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Respirasi
a. Faktor Internal
1. Tingkat Perkembangan Buah
Makin besar buahnya, jumlah CO2 yang dikeluarkan bertambah banyak pula.
Dengan membesarnya buah, laju respirasi yang dihitung berdasarkan unit berat terus
menurun. Buah yang menuju ke proses pematangan laju respirasinya meningkat sampai
puncak klimakterik, dan kemudian laju respirasi menurun.
2. Susunan Kimia Jaringan
Buah maupun sayur-sayuran mempunyai susunan kimia yang berbeda-beda
tergantung pada jenis maupun varietasnya. Misalnya, buah alpukat mempunyai
kandungan lemak lebih tinggi daripada buah jeruk. Jadi, substrat yang digunakan sebagai
bahan respirasi berbeda. Misalnya, buah jeruk pada suhu 37,5 0C RQ nya dapat sampai 2.

3. Ukuran Produk
Produk yang kecil mempunyai laju respirasi lebih besar daripada produk yang
besar. Misalnya, kentang yang kecil-kecil mempunyai laju respirasi yang lebih besar
daripada kentang yang besar per satuan berat. Hal ini disebabkan karena kentang yang
lebih kecil mempunyai luas permukaan lebih besar daripada kentang yang lebih besar
sehingga lebih banyak permukaannya bersentuhan dengan udara. Dengan demikian
berarti lebih banyak oksigen yang berdifusi ke dalam jaringan.
4. Pelapis Alami
Produk yang mempunyai lapisan lilin pada kulitnya menunjukan laju respirasi
yang lebih rendah dibandingkan produk yang tidak mempunyai lapisan lilin.
5. Jenis Jaringan
Jaringan muda yang lebih aktif mengadakan metabolisme akan menunjukkan
kegiatan respirasi yang lebih tinggi daripada organ-organ yang tidak aktif. Respirasinya
juga bervariasi tergantung pada organnya, misalnya kegiatan respirasi dalam kulit,
daging, dan biji berbeda-beda.

b. Faktor eksternal
1. Suhu
Suhu antara 0 - 35 0C menyebabkan laju respirasi buah dan sayuran meningkat 2
-2,5 kali untuk setiap kenaikan suhu 8 0C. Penurunan laju respirasi pada suhu tinggi
merupakan gejala bahwa :
• oksigen (O2 ) tidak berdifusi cukup cepat untuk dapat mempertahankan laju respirasi
yang ada.
• karbondioksida ( CO2 ) tertimbun di dalam sel sampai tingkat yang dapat
menghambat metabolisme, dan
• persediaan bahan makanan pada buah maupun pada sayuran yang dapat dioksidasi
tidak mencukupi untuk dapat mempertahankan laju respirasi yang tinggi.

2. Etilen ( C2H4 )
Pemberian etilen pada buah klimakterik pada tingkat praklimakterik menunjukkan
kenaikan respirasi lebih awal, sedangkan apabila diberikan setelah puncak klimakterik
tidak mengubah laju respirasi.
3. Oksigen
Pada beberapa komoditi respirasi meningkat dengan bertambahnya oksigen yang
diberikan, misalnya pada wortel. Akan tetapi, apabila konsentrasi oksigen melebihi 20 %,
respirasinya hanya terpengaruh sedikit saja.
4. Karbondioksida
Konsentrasi CO2 yang sesuai dapat mempertahankan mutu buah dan sayur
sayuran yang disimpan karena respirasinya terhambat sehingga perubahan-perubahan
pada bahan tersebut terhambat. Misalnya, pada jeruk konsentrasi 5 % menurunkan
aktivitas respirasi, akan tetapi dengan konsentrasi 10 % terjadi peningkatan respirasinya.
5. Kerusakan buah
Pada buah maupun sayuran yang mengalami kerusakan, laju respirasinya
tergantung pada jenis dan parahnya luka kerusakan. Hal ini mungkin disebabkan oleh
pengaruh etilen secara tidak langsung.
DAFTAR PUSTAKA

Fruton, J.S. and S. Simmonds. 1958. General Biochemistry. John Wiley & Sons, Inc.,
New York.

Harper, H.A., V.W. Rodwell and P.A. Mayes. 1979. Review of Physiological Chemistry.
Large Medical Publications, Los Altos, California.

Hulme, A.C.. !971. The Biochemistry of Fruits and Their Products. Vol. 1 and 2.
Acadenmic Press, London and New York.

Pantastico, E.R.B. 1986. Fisiologi Pasca Panen, Penanganan dan Pemanfaatan Buah-
buahan dan Sayur-sayuran Tropika dan Sub Tropika. Penerjemah :
Prof. Ir. Kamarjani. Gadjah Mada University Press. Jogyakarta.

Page, David S. 1985. Prinsip-Prinsip Biokimia Penerjemah R. Soendoro. Penerbit


Erlangga, Jakarta.

Soeharsono,M. 1983. Biokimia I, II. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Tranggono dan Sutardi. 1989. Biokimia dan Teknologi Pascapanen. Pusat Antar
Universitas - Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Wills, R., B. Mc Glasson, D. Graham and D. Joyce. 1998. Posthrvest, An Introduction to


the
Physiology & Handling of Fruit, Vegetables & Ornamentals. Printed by Hyde
Park Press, Adelaide, South Australia

Wills, R.H., T.H. Lee, D. Graham, W. B. Mc. Glasson and E.G. Hall. 1981. Postharvest,
An Introduction to the Physiology and Handling of Fruit and Vegetables. New
South Wales University Press Limited, Australia.

Wilson, C.L. and Walter E. Loomis. 1966. Botany. Holt, Rinehart and Winston, Inc,
New York.

Winarno, F.G. dan Moehammad Aman. 1981. Fisiologi Lepas Panen. Sastra Hudaya
Jakarta.
BAB IV
KLIMAKTERIK RESPIRASI DAN PEMATANGAN

Mutu buah yang baik diperoleh apabila pemanenan dilakukan saat buah sudah
matang. Buah yang belum masak apabila dipetik akan menghasilkan mutu yang jelek.
Demikian pula, sayur-sayuran yang dipetik terlalu awal akan menghasilkan mutu yang
jelek. Sebaliknya, apabila penundaan pemetikkan dilakukan, maka itu akan meningkatkan
kepekaannya terhadap kerusakan, mutu dan nilai jualnya akan turun.
Dalam beberapa hal, apabila komoditi dijual ke tempat jauh, maka buah dan
sayur-sayuran tersebut dipetik dalam keadaan tua tetapi belum masak. Saat yang tepat
untuk pemetikan buah atau sayur-sayuran dalam prakteknya agak mengalami kesukaran,
karena berbeda-beda tingkat kemasakannya. Keadaan masih muda dan sudah tua tidak
segera dapat diketahui. Pematangan terjadi akibat berbagai perubahahan yang kompleks
dan banyak di antaranya tidak tergantung satu dengan lainnya.

4. 1. Klimakterik
Pada prinsipnya buah maupun sayuran mengalami tahap-tahap pertumbuhan yang
meliputi pembelahan sel (cell division), pembesaran sel (cell enlargement),
pemasakan (ripening ), kelayuan (senescence) dan pembusukan (deterioration).
Pertumbuhan (growth) meliputi pembelahan dan pembesaran sel, sedangkan
pendewasaan sel ( maturation) mencakup pembesaran sel dan pemasakan (ripening)
.(Gambar IV. 1). Pendewasan umumnya terjadi sebelum pertumbuhan terhenti dan
aktivitasnya berbeda tergantung pada komoditinya. Pertumbuhan dan pendewasaan sel
merupakan fase perkembangan. Pemasakan adalah tingkat akhir dari pendewasaan tetapi
tingkat awal dari proses kelayuan. Kelayuan (senescence) sering pula disebut penuaan
adalah suatu periode dari proses anabolisme (sintesis) menuju ke proses katabolisme
(degradasi), selanjutnya akan terjadi proses penuaan dan akhirnya jaringan mati
Gambar IV. 1. Pertumbuhan, respirasi, pembentukan etilen, pola respirasi
klimakterik dan non klimakterik

Dalam proses respirasi, terjadi degradasi senyawa kompleks secara oksidatif


dalam sel. Misalnya, terjadi pemecahan pati, dan gula menjadi senyawa sederhana,
terbentuk CO2, H2O, dan energi. Respirasi dapat terjadi dengan adanya oksigen ( respirasi
aerob) dan dapat pula terjadi respirasi tanpa adanya oksigen ( respirasi anaerob atau
fermentasi).
Laju respirasi dari suatu produk merupakan indikator terjadinya aktivitas
metabolik jaringan; jadi, merupakan petunjuk yang sangat penting mengenai umur
simpan produk. Apabila laju respirasi buah dan sayur-sayuran diukur dengan oksigen
yang diserap atau CO2 yang dikeluarkan sewaktu proses pendewasaan sel, pematangan
(pemasakan), dan masa pelayuan, maka akan diperoleh pola respirasi yang karakteristik.
Laju respirasi per satuan berat adalah tertinggi pada buah atau sayur-sayuran yang belum
masak dan kemudian menurun sesuai dengan umurnya. Sekelompok buah -buahan
termasuk tomat, mangga, pisang, dan apel mempunyai suatu variasi pola respirasi, yaitu
terjadinya peningkatan respirasi berimpitan pada saat terjadinya pemasakan. Terjadinya
peningkatan respirasi tersebut sering pula dinamakan klimakterik respirasi (respiration
climacteric) (Gambar IV. 1).
Kata klimakterik dikemukakan oleh Kidd dan West (1925) yang melakukan
percobaan dengan menggunakan buah apel varietas Bramly Seedling pada suhu 54 0F.
Diamatinya bahwa produksi CO2 lambat dan agak konstan dalam waktu tertentu, tetapi
kemudian dengan tiba-tiba meningkat sampai pada suatu puncak (klimak) dan kegiatan
meningkat tersebut disebut klimakterik (Gambar IV. 2.).
Beberapa ahli ada yang mengatakan bahwa klimakterik adalah suatu fase kritis
dalam kehidupan buah dan banyak yang terjadi selama proses respirasi. Pendapat lain
mengatakan bahwa kilmakterik adalah suatu keadaan “auto stimulation” dari dalam buah
sehingga buah tersebut matang disertai dengan peningkatan proses respirasi. Ada juga
yang mengatakan bahwa kilimakterik adalah suatu masa peralihan dari proses
pertumbuhan menjadi layu.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa klimakterik adalah suatu pola
perubahan respirasi mendadak yang berlangsung dengan aktivitas sendiri bagi
buah-buah tertentu dan pada waktu terjadinya perubahan biologis diawali dengan
proses pembentukan etilen.
Buah-buahan yang mempunyai pola respirasi seperti dikemukakan di atas disebut
buah klimakterik. Buah yang tidak mempunyai pola respirasi seperti tersebut diatas
disebut buah non klimakterik
Tahap-tahap klimakterik pada buah dapat dibagi menjadi ( Gambar IV. 2. ):
1. pra klimakterik
2. klimakterik menaik
3. puncak klimakterik, dan
4. klimakterik menurun.

Jumlah CO2
Praklimakterik Puncak Klimakterik
Klimakterik menurun
a Klimakterik menaik
Non klimakterik

Waktu
Gambar IV. 2. Pola respirasi klimakterik dan non klimakterik.

Nilai RQ pada pra klimakterik lebih kecil daripada RQ pada puncak klimakterik.
hal ini disebabkan karena terjadinya dekarboksilasi. Bila RQ pada pra dan puncak
klimakterik sama, maka itu menunjukkan tidak terjadinya proses dekarboksilasi. Pada
beberapa macam buah-buahan klimakterik, intensitas dan lama respirasinya bervariasi
tergantung pada macam buahnya. Pada Gambar IV. 3,terlihat bahwa waktu untuk
mencapai puncak klimakterik pada buah apel lebih lama daripada buah apokat, pisang,
dan pear.

Gambar.IV. 3. Pola respirasi


beberapa macam buah klimakterik (Wills et al., 1981).
Beberapa macam buah yang termasuk buah non klimakterik antara lain buah
anggur, nenas, strawberry, dan lain sebagainya (Tabel IV. 1).

Tabel IV. 1. Beberapa contoh buah klimakterik dan non klimakterik


( Wills et al, 1998 dan Fenema, 1985).

Buah Klimakterik Buah Non Klimakterik


Apel (Malus sylvestris) Cherri (Prunus avium)
Apricot (Prunus armeniaca) Mentimun (Cucumis sativus)
Apokat (Persea americana) Buah anggur (Vitis vinifera)
Pisang (Musa sp) lemon (Citrus limon)
Cherimoya (Annona cherimola) Nenas (Ananas comosus )
Fig (Ficus carica) Strawberry (Fragaria sp. )
Mangga (Mangifera indica) Jeruk manis (Citus sinensis )
Pepaya (Carica papaya) Lechi (Litchi chinensis )
Markisa (Passiflora edulis) Cacao (Theobroma cacao )
Peach (Prunus persica) Olive (Oleo europei )
Pear (Pyrus communis)
Plum (Prunus sp.)
Tomat (Lycopersicum esculentum)

Terjadinya kenaikan respirasi secara mendadak dalam proses pematangan


menunjukkan terjadinya respirasi klimakterik seperti dikemukakan di atas. Selain
terjadinya peningkatan respirasi, dapat terjadi adanya perbedaan respon terhadap
pemberian etilen (C2 H4) pada buah yang bersifat klimakterik dan buah yang bersifat non
klimakterik. Menurut Biale (1954) dalam Pantastico (1986), buah non klimakterik
bereaksi dengan etilen yang diberikan pada setiap tingkat pra dan pascapanen, sedangkan
pada buah klimakterik hanya akan mengadakan reaksi respiratik bila etilen diberikan
dalam tingkat praklimakterik dan tidak lagi peka terhadap etilen setelah permulaan
kenaikan klimakterik dilampaui.
Beberapa macam buah sulit untuk dibedakan apakah buah tersebut klimakterik
atau non klimakterik. Misalnya, buah nenas, semangka, dan jambu biji menunjukkan
terjadinya kenaikan respirasi pada beberapa tingkat perkembangannya, tetapi perubahan-
perubahan biokimiawi yang menyertai pematangannya menyerupai buah non klimakterik,
hanya skala waktunya berbeda. Kenyataan bahwa terdapat contoh-contoh buah yang
semula tergolong non klimakterik, ternyata memperlihatkan bentuk klimakterik. Sukar
dibedakan secara tegas mekanisme pemasakan pada golongan buah klimakterik dan non
klimakterik. Kemungkinan perbedaannya adalah bahwa pada buah non klimakterik,
proses pemasakannya berlangsung lebih lambat tanpa terjadinya perubahan mendadak.
Variasi dalam arah pergeseran respirasi di antara buah-buahan mungkin
disebabkan oleh sifat strukturnya. Biale dan Barcus (1970) dalam Pantastico (1986)
menyatakan bahwa srikaya dan sirsak mempunyai lebih dari sebuah puncak klimakterik.
Buah-buah ini merupakan buah klimakterik ganda dan masing-masing buah mungkin
dalam tingkat kematangan yang berbeda.
Karena hal tersebut di atas, Iwata et al. (1969) dalam Pantastico (1986)
mengusulkan tiga tipe pola respirasi pada buah yang telah dipanen:
1. Tipe yang “menurun dengan lambat “, laju respirasinya menurun secara
lambat dalam proses pematangannya. Contohnya jeruk
2. Tipe “meningkat sementara “ yang laju respirasinya naik sementara saja.
Contohnya tomat, pisang, mangga, apokat
3. Tipe “ puncak lambat” yang laju respirasi maksimumnya terjadi setelah
matang penuh misalnya buah arbe, persik .
Klimakterik dapat terjadi di pohon tetapi ada juga buah yang tidak masak sepenuhnya
semasih buah tersebut di pohon. Misalnya, buah apokat dan mangga, yang akan
mengalami klimakterik setelah dipetik. Hal ini mungkin disebabkan oleh terdapatnya zat-
zat penghambat yang bereaksi dengn zat-zat penyebab kematangan misalnya etilen.
Beberapa zat yang dapat menghambat pematangan buah antara lain gibberilin dan
sitokhinin.
Pada proses pematangan buah, terjadi berbagai perubahan antara lain warna,
tekstur dan rasa yang dapat diterima oleh konsumen. Beberapa di antara perubahan
tersebut dapat diketahui dengan menganalisis perubahan warna pigmen, pektin,
karbohidrat, asam tannin, dan sebagainya. Perubahan tersebut tergantung pada macam
buahnya dan hubungan antara oksigen yang diserap, klimakterik, pectin, dan pematangan
buah, seperti yang terlihat pada Gambar IV. 4. Protopektin terdapat pada buah yang
masih mentah. Selanjutnya, pada saat terjadinya peningkatan respirasi (klimakterik
menaik), protopektin berubah menjadi pektin pada puncak klimakterik. Pada saat
menjelang terjadinya pemasakan buah, pektin berubah menjadi asam-asam pektat.
Protopektin merupakan karbohidrat yang tidak larut sedangkan pektin karbohidrat yang
dapat larut.
Gambar IV 4. Pola respirasi klimakterik dan kaitannya dengan
pematangan buah (Haard dan Salunkhe, 1975)

Terdapat dua faktor yang mempengaruhi terjadinya klimakterik, yaitu faktor fisik
dan kimia
1. Faktor Fisik
Faktor fisik ini terutama berhubungan dengan permeabilitas kulit terhadap gas.
Pada buah muda, epidermisnya dilapisi oleh lilin. Akan tetapi semakin dewasa buah
tersebut, kutikula menjadi makin tebal dan makin banyak mengandung lilin cair dan
minyak. Akibatnya, permeabelitasnya makin berkurang dengan makin bertambahnya
umur buah tersebut.
Proses klimakterik yang terjadi pada buah apel diperkirakan disebabkan karena
terjadinya perubahan permeabelitas pada selnya. Perubahan tersebut akan menyebabkan
enzim dan substrat dalam sel, yang dalam keadaan normal terpisah, akan bergabung dan
bereaksi satu dengan lainnya sehingga terjadi proses klimakterik. Akan tetapi masih
dipertanyakan apakah perubahan permeabelitas itu dapat menimbulkan proses
klimakterik, sebab beberapa buah tanpa mengalami permeabelitas dapat terjadi
klimakterik seperti misalnya buah apel.
2. Faktor Biokimia
Penelitian yang dilakukan oleh Pearson dan Robertson 1954 dalam Winarno
1981, pada buah apel yang mengalami proses pematangan kegiatan berlangsung di dalam
sel-sel dan dalam kegiatan tersebut akan memerlukan adanya energi. Energi diperoleh
dari ATP. Karena meningkatnya kebutuhan akan ATP, maka mitokhondria harus bekerja
lebih giat untuk memproduksi ATP. Meningkatnya kegiatan mitokhondria menyebabkan
terjadinya peningkatan respirasi, sehingga terjadi klimaktrerik. Karena itu, respirasi dapat
digunakan untuk mengontrol klimakterrik sehingga disebut “ respiratory control”.
Penelitian yang juga dilakukan pada buah apel yang diberi asam malat pada
berbagai tingkat pertumbuhan. Asam malat ini dibiarkan merembes ke kulit buah apel.
Ternyata terjadi peningkatan pembentukan CO2 pada buah yang mengalami fase
klimakterik. Kejadian ini disebut “mallate effect“ (Hulme, 1961 dalam Winarno, 1981).
Penambahan asam malat tidak akan menambah jumlah asam oksaloasetat dalam siklus
Kreb’s tetapi menambah jumlah asam piruvat. Asam piruvat tidak seluruhnya masuk ke
dalam siklus Kreb’s, dan sebagian menjadi asetaldehida dan etanol. Reaksi tersebut tidak
menggunakan oksigen, tetapi terjadi aktivitas enzim dekarboksilase yang disebut enzim
malat. Pada Gambar IV. 5. terlihat perubahan asam malat menjadi etanol.

Gambar IV.5. Perubahan asam malat menjadi etanol

Proses ini mengakibatkan produksi CO2 lebih besar daripada penggunaan O2,
sehingga RQ nya lebih besar dari satu (RQ = 2,3). Respiratory control dan malate effect
keduanya mempunyai persamaan, yaitu terjadinya kenaikan asetaldehide dan etanol tanpa
terjadinya fermentasi hal ini disebabkan karena aktivitas enzim piruvat dekarboksilase.
Hasil penelitian juga menunjukan bahwa terjadinya sintesis protein sangat penting
untuk proses klimakterik dan pematangan. Didapatkan bahwa protein tersebut adalah
enzim-enzim yang aktif, salah satu diantaranya adalah enzim malatase. Pada fase
sebelum klimakterik, terjadi kenaikan sintesis lemak, etilen, dan protein. Ternyata
permeabelitas sel tidak dipengaruhi oleh produksi enzim, sehingga dapat dikatakan
bahwa proses klimakterik atau pematangan terjadi sebagai hasil perubahan kimia jaringan
secara alami atau biologis.
4. 2. Kelayuan (Senescence)
Ketika masih muda, jika terjadi kerusakan pada buah, maka buah itu langsung
akan layu tanpa mengalami masa dewasa. Pada masa kelayuan, terjadi penurunan total
volume sel. Pada proses kelayuan, terjadi berbagai perubahan pada sel; dinding sel
menjadi lebih tipis, terjadi degradasi khlorofil, dan turunnya kadar protein. Pada daun,
menurunnya kadar khlorofil dan protein umumnya berlangsung bersamaan.
Pada waktu kelayuan, kegiatan respirasi dan fotosintesis menurun karena
terjadinya kerusakan mitochondria. Kerusakan mitokhondria dapat dihitung dengan harga
perbandingan produksi fosfat dengan konsumsi O2 yang disebut PO ratio

Produksi ATP
PO ratio =
Konsumsi O2

Pada buah tertentu, diketahui bahwa PO ratio saat pra klimakterik adalah 2,32
sedangkan PO ratio saat pascaklimakterik 0,66 karena pada pasca klimakterik,
mitokhondria telah banyak yang mengalami kerusakan sehingga produksi ATP tidak
sebesar pada saat praklimakterik.
Pada proses kelayuan, jaringan sel melemah, sehingga terjadi perubahan
permeabelitas dari membran sel. Karena terhambatnya sintesis protein, proses kelayuan
dapat dipercepat.
4. 3. Etilen (C2 H4 )
Etilen adalah senyawa karbon tidak jenuh dan pada suhu kamar berbentuk gas.
Etilen merupakan gas yang dalam kehidupan tanaman dapat digolongkan sebagai hormon
yang aktif dalam proses pematangan. Etilen dapat disebut sebagai hormon karena
dihasilkan oleh tanaman, bersifat mobil dalam jaringan tanaman, dan merupakan senyawa
organik. Jadi etilen dapat terbentuk pada buah itu sendiri, tetapi dapat pula berasal dari
luar buah. Gas etilen yang berasal dari luar buah-buahan dapat diperoleh dari hasil
pembakaran batu bara, hasil pembakaran minyak tanah (karosen).
Di Kalifornia pada permulaan abad ke 20 telah digunakan lampu minyak tanah
untuk mempercepat perubahan warna hijau menjadi warna kuning pada buah yang
dikumpulkan dalam suatu ruangan yang kemudian lampu minyak tanah dinyalakan.
Warna hijau pada buah tersebut berubah menjadi kuning. Menurut Denny (1924) dalam
Wills et al ( 1998) yang menyebabkan perubahan warna hijau tersebut adalah etilen dan
dinyatakan bahwa etilen dapat mempercepat pematangan buah. Etilen pada awalnya
dipandang sebagai zat yang berasal dari luar yang dapat mempercepat pematangan buah.
Akan tetapi kemudian Gane dalam tahun 1934, menemukan bahwa pada buah maupun
pada jaringan tanaman lainnya menghasilkan sejumlah kecil etilen.
Di Indonesia untuk mempercepat pematangan buah misalnya buah pisang
dilakukan pemeraman dengan mengasapi buah pisang tersebut denngan asap yang
dihasilkan dari pembakaran sekam atau daun-daun yang kemungkinan dapat
menghasilkan etilen. Akan tetapi sekarang lebih banyak menggunakan kalsium karbida
yang dapat membentuk asetilen ( C2 H2 ).
4. 3.1. Biosintesis Etilen
Dalam percobaan yang dilakukan dengan menggunakan buah tomat yang masih
hijau (muda) dan buah tomat yang sudah kuning (masak) Pada buah tomat yang masih
hijau pada mitokhondrianya tidak mengandung etilen sedangkan buah tomat yang sudah
masak dalam mitokhondrianya mengandung etilen. Hal ini disebabkan karena pada buah
tomat yang masih hijau terdapat zat penghambat (inhibitor) yang disebut
‘orthodehydrophenol” (fenolat) dan jumlah zat penghambat ini akan menurun seiring
dengan pemasakan buah tersebut.
Telah dilakukan percobaan dengan menggunakan isotop karbon, yang dicobakan
pada setiap atom C pada molekul glukosa berturut -turut mulai dari atom nomer 1, 2, 3, 4,
5 dan 6 (Gambar IV. 5.). Dari hasil percobaan ini, ternyata karbon no. 1, 2, 5, dan 6 dari
glukosa yang paling efektif dalam pembentukan etilen. Namun pada percobaan
menggunakan alanin, atom C no 2 dan no 3 yang paling efektif dalam pembentukan
etilen. Telah diketahui pula bahwa glukosa berubah menjadi etilen melalui asam piruvat
dengan asetil Co A. Penelitian dengan menggunakan isotop C pada glisin, aspartat, dan
glutamat menunjukan bahwa pembentukan etilen berkaitan dengan siklus Kreb’s.

4.3.2. Sintesis Etilen secara Enzimatis


4.3.2.1.Pembentukan Etilen dari Lipida
Proses sintesis etilen dilakukan dengan pendekatan secara enzimatis. Sebagai
substrat digunakan lemak, yaitu gliserida yang mengandung asam linolenat. Asam ini
dengan proses biologis dapat membentuk etilen dengan bantuan oksigen, enzim lipase
dan lipoksidase, serta Cu++ sebagai katalisator. Reaksi sintesis etilen dari asam linolenat
sebagai berikut (Pantastico,1986) adalah sebagai berikut (Gambar IV. 7).

Gambar IV.7. Sintesis etilen dari asam linolenat (Pantastico, 1986).


Menurut Rhode et al. (1968 b) dalam Hulme (1970), terjadi peningkatan
pembentukan etilen pada kulit buah apel sampai mencapai puncak setelah 6 jam dipanen.
Pola yang sama didapat pada irisan buah pisang yang dipotong beberapa hari sebelum
dipanen. Terdapatnya cycloheximida (1 ug/ml) sewaktu masa penuaan akan dapat
menghambat pembentukan etilen pada kulit buah apel. Akan tetapi, pemberian
cycloheximida setelah terjadi penuaan secara normal tidak mempunyai pengaruh.
Pada kulit buah apel, pembentukan etilen dikaitkan dengan metabolisme lipida
yang tersedia karena penambahan linolenat dan lipoksidase merangsang pembentukan
etilen dalam kulit buah apel (Galliard et al, 1968 b dalam Hulme , 1970). Galliard
mengekstrak enzim dari kulit buah apel yang memproduksi sejumlah besar etilen dan
etana dari linolenat dengan adanya oksigen dan asam askorbat. Methional dan propanal
membentuk lebih sedikit etilen jika dibandingkan dengan menggunakan linolenat sebagai
bahan dasarnya sedangkan penggunaan methionin tidak dapat membentuk etilen.
Menurut Lieberman dan Kunishi (1967) dalam Hulme (1970), propanal adalah suatu
produk peruraian (dekomposisi) dari linolenat peroksida, dan propanal tersebut dengan
menggunakan katalisator Cu++ sangat efektif sebagai prekursor etilen. Baur dan Yang
(1969) memperkuat hasil penelitian tersebut tetapi propanal tidak menjadi etilen pada
jaringan buah apel matang.
Pada buah fig, asam linolenat dapat sebagai prekursor etilen dan menyebabkan
terjadinya pematangan dalam waktu 5 hari. Selain itu, senyawa itu menyebabkan
meningkatnya respirasi dengan segera setelah perlakuan. Klimakterik akan tercapai
dalam waktu 2 hari. Thompson dan Spencer ( 1967) dalam Pantastico (1970) menyatakan
bahwa perubahan b Alanin menjadi etilen sebagai berikut (Gambar IV.8.)

4.3.2.2. Pembentukan Etilen dari b Alanin

Gambar IV.8. Perubahan b alanin menjadi etilen (Pantastico,1986


4.3.2.3. Sintesis Etilen dari Metionin
Menurut Lieberman et al. (1965) dalam Hulme (1970), sistem model Cu askorbat
dapat menghasilkan etilen dari metionin. Menurut mereka, dalam buffer fosfat pH 6,8
pada suhu 300C, ternyata etilen berasal dari atom karbon nomer 3 dan 4 dari D atau L
metionin. Hidrogen peroksida merupakan senyawa intermedier dalam reaksi yang
++
mendukung produksi etilen dalam keadaan anaerob. Ion Cu (ion kupri) merupakan
bentuk aktif dari Cu. Ion ferro juga efektif sebagai katalisator bila terdapat hidrogen
peroksida tetapi logam Co, Mg, Pb, Zn dan Mn tidak efektif. Metional sangat efektif
dalam pembentukan etilen dan merupakan senyawa intermedier, sedangkan kupri dan
asam askorbat sebagai katalisator. Metionin menstimulasi pembentukan etilen pada saat
terjadi kelayuan. Untuk jelasnya, reaksi pembentukan etilen dari metionin sebagai berikut
ini (Gambar IV.9.)
Enzim
D/L metionin + Cu++ + asam askorbat + H2O2 metional

etilen

Gambar IV.9. Reaksi pembentukan etilen dari metionin (Pantastico, 1986)).

Menurut Wills et al. (1998), pembentukan etilen dari metionin adalah melalui
senyawa intermedier S-adenosyl-methionine (SAM) dan 1-aminocyclopropane-1-
carboxylic acid (ACC). Perubahan SAM menjadi ACC dilakukan oleh enzim ACC
sinthase dalam langkah pembentukan etilen. Akan tetapi, pada tanaman tingkat tinggi
ACC dapat terikat membentuk malonyl ACC atau glutamyl ACC. Pemberian ACC pada
buah yang belum masak atau pada fase praklimakterik umumnya menyebabkan
terjadinya peningkatan etilen sangat rendah sekali. Karena itu, diperlukan beberapa enzim
lain seperti ethylene -forming enzyme (EFE atau ACC oksidase) untuk mengubah ACC
menjadi etilen. ACC oksidase merupakan enzim yang labil dan sensitif terhadap oksigen.
Faktor yang mempengaruhi aktivitas ACC sintase mencakup proses pematangan buah,
senescence, aukxin, kerusakan fisik, dan cacat suhu dingin ( chilling injury.). Enzim ACC
sinthase ini dapat diyakini adalah suatu enzim piridoksal karena enzim ini memerlukan
fosfat piridoksal supaya aktivitasnya maksimal dan dihambat oleh asam aminooxyacetat
(AOA=aminooxyaceticacid), rhizobitoxine, dan aminoethoxyvinylglycine (AVG). ACC
oksidase dihambat pada bila keadaan anaerob, suhu di atas 35 0C, dan adanya ion kobal.
4.3.3. Pembentukan Etilen Secara Non Ezimatis
Etilen dapat disintesis secara non enzimatis, dan reaksi non enzimatis sedikit
sekali terjadi. Etilen dapat dihasilkan dari kalium etil sulfat dalam udara yang
mengandung nitrogen direaksikan dengan tetrabutilhidroperoksida dalam ferrosulfat
(Hulme, 1970) dan reaksinya sebagai berikut ini (Gambar IV.10).

R + HCH2 - CH2O -S2O-O- + Fe++ ( FeSO4 + tetrabutilhidroksida)

RH + CH2=CH2 + SO= 4 + Fe++


Gambar IV.10. Reaksi sintesis etilen dari kalium etil sulfat

Etilen dapat juga dibuat dengan campuran etanol dengan asam sulfat pekat maka
kebanyakan terjadi mula-mula adalah asam etilsulfat dan kemudian pecah menjadi etilen
dan asam sulfat. Jika dilakukan pemanasan suhu lebih tinggi, reaksinya sebagai berikut
(Gamnbar IV. 11).
C2H5 OH + H2SO4 C2H5SOH + H2O
C2H5SOH C2H4 + H2SO4
Gambar IV.11. Reaksi sintesis etilen dari campuran etanol dan asam sulfat

4.4. Peranan Etilen


Etilen merupakan gas yang dapat dihasilkan oleh tanaman dan merupakan
hormon yang aktif dalam proses pematangan. Pada buah yang termasuk klimakterik
respirasi, lebih banyak terbentuk etilen dari pada buah yang termasuk non klimakterik.
Konsentrasi etilen internal pada buah klimakterik kisarannya lebih besar jika
dibandingkan buah non klimakterik. (Tabel IV.2.). Misalnya pada buah apel yang
termasuk buah klimakterik, etilen yang terbentuk sebesar 25 - 2500 ul/l, kisarannya
sangat besar sekali. Jika dibandingkan dengan buah lemon yang merupakan buah non
klimakterik, dapat dihasilkan etilen 0,11 - 0,17 ul/l, jadi kisarannya 0,06.
Pemberian etilen 0,1 -1,0 mikroliter per liter selama satu hari cukup untuk
mempercepat pematangan pada buah yang termasuk kelompok klimakterik. Akan tetapi,
besarnya klimakterik tersebut relatif tidak tergantung pada konsentrasi etilen yang
digunakan. Sebaliknya dalam penggunaan etilen pada buah yang bersifat non klimakterik,
peningkatan respirasinya tergantung pada besarnya konsentrasi etilen (Gambar IV. 12.).

Tabel IV. 2. Konsentrasi etilen internal yang terdapat pada buah klimakterik dan non
klimakterik ( Wills et al., 1998 )

Buah-buahan Etilen ( ul/l )


Klimakterik
Apel 25 -2500
Pear 80
Peach 0,9 - 20,7
Apokat 28,9 - 74,2
Pisang 0,05 - 2,1
Mangga 0,04 - 3,0
Markisah 466- 530
Tomat 3,6 - 29,8

Non Klimakterik
Lemon 0,11 - 0,17
Limao 0,30 - 1,96
Orange 0,13 - 0,32
Nenas 0,16 - 0,40
Gambar IV. 12. Pengaruh etilen pada buah-buahan klimakterik dan
non klimakterik ( Wiils et al., 1998)

Menurut Mattoo dan Modi (1969) dalam Pantastico (1970), etilen dapat
meningkatkan kegiatan enzim-enzim katalase, peroksidase, dan amilase dalam irisan
mangga sebelum mencapai puncak kemasakannya. Sewaktu etilen meningkatkan
kegiatan enzim tersebut, zat berupa protein yang menghambat terjadinya pemasakan akan
hilang dalam waktu 45 jam. Pengaruh inaktivasi etilen terhadap zat penghambat
(inhibitor) yang menghambat peroksidase pada irisan mangga Alphonso dan peningkatan
kegiatan peroksidase terlihat pada Gambar IV. 13. dan Tabel IV. 3.

Gambar IV. 13. Pengaruh inaktivasi C2H4 terhadap penghambat peroksidase


pada irisan-irisan mangga alphonso (Pantastico, 1986).
= kontrol
= 10 ppm etilen
= 50 ppm etilen
Tabel IV. 3. Peningkatan kegiatan peroksidase dalam irisan-irisan
mangga yang diperlakukan dengan etilen (C2H4 ) ( Pantastico, 1986)

Kegiatan Peroksidase
C2H4 ppm 0 jam 17 jam 24 jam 45 jam 70 jam
0 0,22 0,200 0,256 0,352 0,12
10 0,22 0,446 0,580 0,660 0,40
50 0,22 0,546 0,657 0,600 0,59

Selanjutnya, Mattoo dan Modi menyampaikan pendapatnya mengenai peran etilen


dalam pematangan buah sebagai berikut :
1. Sebelum sampai pada puncak kemasakan buah mangga, etilen yang disintesis dalam
buah menstimulasi enzim-enzim oksidatif dan hidrolitik dan menginaktifkan zat
penghambat ( inhibitor) enzim.
2. Sesudah dan selama proses tersebut berlangsung, terjadi perubahan komponen sel
dari komponen yang tidak larut menjadi komponen larut. Akibatnya, terjadi
perubahan permeabelitas sel dan memungkinkan terjadinya interaksi yang lebih besar
antara substrat buah dan enzim-enzim yang terdapat.
3. Semua proses tersebut bersama dengan faktor lain ( belum diketahui) mengakibatkan
terjadinya proses metabolisme yang akhirnya akan mematangkan buah.

Dengan menggunakan gas khromatografi, ternyata jumlah etilen yang terbentuk


untuk berbagai macam buah-buahan adalah berbeda pada waktu pra klimakterik maupun
pada puncak klimakterik ( Tabel IV. 4. )
Tabel IV 4. Konsentrasi internal pada saat pra dan puncak klimakterik( Hulme, 1970)

Buah Varietas Konsentrasi ( ppm)


Pra klimakterik Puncak
Klimakterik
Apokat Choquette >0,5 -1,0 300-700
Pisang Gros Michel 1,5 40
Pisang Apple 1 25
Mangga Kent and Haden 0,04 -0,08 3
Semangka Cantaloupe PMR 45 >0,3 30-70
Semangka Honeydew 3.0 25
Tomat VC-243 -20 0,8 27
Dari Tabel IV. 4, terlihat bahwa konsentrasi etilen internal buah apokat >0,5 -1,0
ppm pada waktu pra klimakterik sedangkan pada puncak klimakterik konsentrasi
etilennya 300-700 ppm. Itu berarti bahwa untuk mencapai puncak klimakterik atau untuk
mematangkan buah apokat akan memerlukan etilen lebih besar dari 300 ppm. Namun,
pada buah mangga untuk sampai pada tingkat pemasakan (puncak klimakterik), cukup
diberikan etilen dari luar sebanyak 3 ppm, yang jauh lebih kecil daripada yang untuk
buah apokat. Dengan demikian, dapat pula dikatakan bahwa pemberian etilen dengan
konsentrasi kecil sudah menunjukkan terjadinya klimakterik pada buah mangga, yaitu
kulit buah mangga sudah nampak kuning.
Buah apokat yang disimpan dalam udara biasa dan tidak diberi etilen masak
setelah 11 hari. Akan tetapi, apabila disimpan dalam udara yang diberi etilen sebanyak 10
ppm selama 24 jam maka buah apokat itu akan masak pada hari ke-6. Pada buah pisang
yang disimpan dalam suatu ruangan dengan tekanan udara 0,3 atmosfir selama tiga bulan,
buah pisang tersebut tetap hijau. Akan tetapi setelah etilen dimasukan ke dalam ruangan,
maka warna pisang menjadi kuning. Pada buah non klimakterik jika diberi etilen
berulang-ulang, akan terjadi klimakterik berkali-kali.

4. 5. Pengaruh Suhu terhadap Produksi dan Aktivitas Etilen


Respon buah-buahan terhadap etilen akan menurun dengan rendahnya suhu. Buah
hijau ( masih mentah), misalnya buah apel, yang disimpan dengan konsentrasi etilen
yang tinggi pada suhu 3 0C respirasi ataupun proses penmatangan tidak terpengaruh. Pada
kisaran suhu 10- 25 0C, respirasi pada buah apokat menunjukkan kecepatan respon
terhadap etilen yang menurun. Pada suhu di atas 35 0C, sebagian besar buah-buahan tidak
membentuk etilen. Pada beberapa macam buah, suhu optimal pembentukan etilen adalah
32 0C (misalnya untuk buah tomat dan buah apel).

4. 6. Pengaruh Tekanan terhadap Produksi dan Aktivitas Etilen


Pembentukan etilen pada jaringan tanaman umumnya dirangsang karena
terjadinya kerusakan mekanis dan infeksi. Buah-buahan yang dipetik sebelum masak
penuh mengalami kerusakan mekanis yang dapat mempercepat pemasakan buah tersebut.
Pada irisan buah pisang yang masih hijau, satu sampai tiga jam setelah diiris terjadi
pembentukan etilen, yang dalam tiga sampai lima jam kemudian akan mencapai tingkat
tertinggi. Pembentukan etilen akan menurun sampai pada tingkat paling rendah setelah
irisan pisang matang.
Radiasi ionisasi dapat meningkatkan laju pembentukan etilen pada buah maupun
pada bagian jaringan lainnya pada tanaman. Pembentukan etilen sampai pada tingkat
puncak setelah beberapa jam radiasi. Pada kebanyakan buah-buahan, radiasi ini
menstimulasi pembentukan etilen, tetapi setelah dua hari radiasi pada fase pra klimakterik
terjadi penurunan etilen. Dosis radiasi dan pembentukan etilen bervariasi tergantung pada
varietas buahnya. Pada buah tomat yang masih mentah dan diradiasi dengan 400 krad,
ternyata dua hari sesudah diradiasi terdapat sekitar 1 ppm etilen. Buah yang dipetik pada
tingkat perkembangan 72 % dan diperlakukan dengan etilen 1 ppm selama dua hari, akan
mengalami pematangan tiga hari lebih awal daripada buah yang tidak diperlakukan
dengan etilen. Sebaliknya, akan terjadi penundaan pematangan pada buah yang dipetik
lebih tua daripada buah yang dipetik pada tingkat kematangan sekitar 83 % yang
diiradiasi dengan dosis 200-400 krad. Demikian juga, tidak akan terjadi penundaan
pematangan pada buah yang diiradiasi pada buah yang lebih muda.
Penggunaan sinar radioaktif dapat merangsang pembentukan etilen. Pada buah
peach yang disinari dengan sinar gamma sebesar 600 krad, dapat dipercepat pembentukan
etilen jika sinar tersebut diberikan pada saat praklimakterik. Akan tetapi, pemberian sinar
radioaktif tersebut pada saat klimakterik akan dapat menghambat produksi etilen.
Buah yang disimpan dalam suatu ruangan dengan konsentrasi CO2 ditingkatkan
sedangkan konsentrasi O2 dikurangi, ternyata proses pematangannya akan terhambat. Hal
ini dapat disebabkan karena dalam keadaan normal etilen akan aktif jika berikatan dengan
metalo enzim dan oksigen. Karbondioksida (CO2 ) yang berlebihan akan mengganti etilen
pada ikatan metalo enzim. Etilen menjadi inaktif sehingga menyebabkan tertundanya
pematangan buah yang disimapan dalam ruangan yang oksigennya dikurangi dan CO2
ditingkatkan . Reaksinya dapat digambarkan sebagai berikut ini (Gambar IV.14.)
(Winarno dan Aman, 1981).

Enzim Enzim
Metal + CO2 Metal + Etilen

O2 Etilen O2 CO2

Gambar IV.14. Reaksi penggantian posisi etilen pada metaloenzim karena konsentrasi
CO2 yang berlebih

DAFTAR PUSTAKA
Fruton, J.S., and S. Simmonds. 1958. General Biochemistry. John Wiley & Sons, Inc.,
New York.

Haard, N.F. and D.K. Salunkhe, 1975. Symposium : Postharvest Biology and Handling of
Fruits and Vegetables. The Avi Publishing Company, Inc. Wesport, Connecticut.

Harper, H.A., V.W. Rodwell and P.A. Mayes. 1979. Review of Physiological Chemistry.
Large Medical Publications, Los Altos, California.

Hulme, A.C.. !971. the Biochemistry of Fruits and Their Products. Vol. 1 and 2.
Acadenmic Press, London and New York.

Pantastico, ER.B. 1986. Fisiologi Pasca Panen, Penanganan dan Pemanfaatan Buah-
buahan dan Sayur-sayuran Tropika dan Sub Tropika. Penerjemah :
Prof. Ir. Kamarjani. Gadjah Mada University Press. Jogyakarta.
.
Page, David S. 1985. Prinsip-Prinsip Biokimia Penerjemah R. Soendoro. Penerbit
Erlangga, Jakarta.

Soeharsono,M. 1983. Biokimia I, II. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Tranggono dan Sutardi. 1989. Biokimia dan Teknologi Pascapanen. Pusat Antar
Universitas - Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Wills, R., B. Mc Glasson, D. Graham, D. Joyce. 1998. Posthrvest, An Introduction to the


Physiology & Handling of Fruit, Vegetables & Ornamentals. Printed by Hyde
Park Press, Adelaide, South Australia

Wills, R.H., T.H. Lee, D. Graham, W. B. Mc. Glasson and E.G. Hall. 1981. Postharvest,
An Introduction to the Physiology and Handling of Fruit and Vegetables. New
South Wales University Press Limited, Australia.

Winarno, F.G. dan Moehammad Aman. 1981. Fisiologi Lepas Panen. Sastra Hudaya
Jakarta.
BAB V
PERUBAHAN PADA PROSES PEMATANGAN BUAH

Di antara berbagai varietas buah dan sayur-sayuran, terdapat variasi yang besar
mengenai saat kemasakan , apakah cukup dipanen atau belum. Keadaan cukup tua untuk
dipanen dapat ditentukan antara lain sebagai berikut ini:
a. Secara visual adalah dengan melihat warna kulit, ukuran, masih adanya tangkai putik,
adanya daun daun tua di bagian luar yang kering, mengeringnya tubuh tanaman, dan
penuhnya buah.
b. Secara fisik dari mudahnya buah terlepas dari tangkai atau adanya absisi, ketegaran,
dan berat jenis.
c Dengan analisis kimia, yang meliputi kandungan zat padat, asam, perbandingan zat
padat dengan asam, dan kandungan zat pati.
d. Dengan perhitungan jumlah hari setelah berbunga mekar
e. Secara fisiologis : mengukur respirasi.
Pada proses pematangan buah, akan terjadi berbagai perubahan fisikokimia
setelah panen yang menentukan kualitas buah. Perubahan yang terjadi dalam proses
pematangan buah pada buah yang berdaging adalah sebagai berikut.:
• pendewasaan biji,
• perubahan warna,
• absesi ( secara fisik mudah lepas dari tanaman induknya),
• perubahan kecepatan respirasi,
• perubahan laju pembentukan etilen,
• perubahan permeabelitas jaringan,
• pelunakan yaitu perubahan komposisi zat-zat pektat
• perubahan komposisi karbohidrat
• perubahan asam-asam organik
• perubahan -perubahan protein
• pembentukan senyawa volatil ( senyawa mudah menguap), dan
• pembentukan lilin pada kulit buah.
Buah yang dikehendaki oleh konsumen adalah buah atau sayuran yang dalam
keadaan masak optimum untuk dimakan. Selama pematangan buah, terjadi perubahan
dalam susunannya. Untuk mencapai mutu konsumsi maksimal bagi buah atau sayuran,
diperlukan telah terjadinya perubahan kimia demikian itu. Hal ini dapat dicapai apabila
buah dipanen pada tingkat kematangan yang tepat. Buah yang belum tua dipanen akan
mempunyai mutu yang tidak memuaskan, walaupun telah terjadi perubahan pematangan
yang diinginkan.
5. 1. Perubahan Karbohidrat
5.1.1. Selulosa, Hemiselulosa, dan Pektin.
Penyusun dinding sel adalah selulosa, hemiselulosa, dan pektin. Pada buah atau
sayuran yang telah dipanen, akan terjadi pelunakan dinding sel karena terjadinya
degradasi selulosa, hemiselulosa dan protopektin. Selulosa akan dipecah oleh enzim
selulase dan hemiselulosa dipecah oleh enzim hemiselulase. Aktivitas selulase meningkat
selama proses pematangan buah tomat, tetapi pengaruhnya terhadap pelunakan tidak
kelihatan.
Terjadinya degradasi pada selulosa oleh keaktifan tanaman sendiri sangat terbatas
, tetapi beberapa jenis kapang dan bakteri dapat meghidrolisis selulosa menjadi senyawa
yang lebih sederhana.. Selulosa akan dirombak oleh enzim selulase menjadi selobiosa.
Selanjutnya selubiosa oleh enzim selubiosa akan diubah menjadi glukosa.
Protopektin merupakan pektin yang tidak larut sedangkan pektin merupakan
senyawa yang dapat larut dalam cairan buah-buahan. Protopektin akan dipecah oleh
enzim protopektinase menjadi pektin yang selanjutnya akan dipecah menjadi asam
pektinat, asam pektat, dan kemudian asam galakturonat ( Gambar V.1. ).
Terjadinya degradasi hemiselulosa dan perubahan protopektin menjadi pektin
yang larut menyebabkan terjadi keempukan pada buah. Hal ini dapat terjadi misalnya
pada buah apel yang disimpan selama empat bulan terjadi perubahan hemiselulosa dan
protopektin ( Winarno dan Aman, 1981). Laju degradasi zat-zat pektat pada buah
berkaitan langsung dengan terjadinya pelunakan pada buah.

Gambar V.1. Pemecahan senyawa pektin.


5.1.2. Perubahan Pati
Pada buah-buahan dan sayur-sayuran yang telah dipanen, pati yang terdapat di
dalamnya akan mengalami perombakan menjadi gula sederhana seperti sukrosa, glukosa
dan fruktosa. Karena pati dipecah, terjadi penurunan pati, tesebut tetapi terjadi
peningkatan sukrosa. Sukrosa yang terbentuk akan dipecah menjadi fruktosa dan glukosa.
Sebagian glukosa yang terbentuk digunakan untuk sumber energi. Proses ini berlangsung
pada buah apel (Gambar V.2.).

Gambar V. 2. Perubahan pati dan sukrosa menjadi


glukosa dan fruktosa pada buah apel (Winarno dan Aman,1981).

Pati, oleh enzim amilase dapat diubah menjadi maltosa kemudian oleh enzim
maltase akan dapat diubah menjadi glukosa. Selain pemecahan melalui maltosa dapat
juga terjadi pemecahan pati oleh enzim fosforilase sehingga berubah menjadi glukosa 1
fosfat yang kemudian oleh enzim fosfoglukomutase akan diubah menjadi glukosa 6
fosfat. Glukosa 6 fosfat akan berubah menjadi fruktosa 6 fosfat dan dari fruktosa 6 fosfat
menjadi sukrosa fosfat. Selanjutnya oleh enzim invertase sukrosa akan diubah menjadi
glukosa dan fruktosa. Mengenai perubahan pati menjadi gula dan fruktosa dapat dilihat
pada diagram alir Gambar V. 3

Gambar V. 3. Perubahan pati menjadi glukosa dan fruktosa


(Tranggono dan Sutardi, 1990)

Keterangan : ADP = Adenosin difosfat


ATP = Adenosin trifosfat
UDP= Uridin difosfat
UDPG = Uridin difosphoglucose
UTP = Uridn trifosfat
Pi = Pa= Inorganic phosphate = fosfat anorganik

Buah pisang dan apel mempunyai kandungan pati tinggi. Buah apel pada waktu
dipanen kandungan patinya sudah rendah dan selama penyimpanan akan habis sehingga
tidak lagi memberikan rasa manis. Sedangkan buah pisang pada saat pemanenan
kandungan patinya sebanyak 20-30 %, dan dalam penyimpanan selama 4-8 hari
kandungan patinya turun menjadi 4 % sedangkan jika disimpan selama 12 hari
kandungan patinya hampir habis (Winarno dan Aman, 1981). Perubahan pati menjadi
glukosa dan fruktosa akan memberikan rasa manis pada buah tersebut. Akan tetapi,
glukosa dan fruktosa yang terbentuk akan dirombak menjadi energi, air, dan
karbondioksida ( proses respirasi). Buah semangka dan buah anggur kandungan patinya
sangat rendah dan selama penyimpanan tidak terjadi penambahan gula sehingga buah
tidak menjadi lebih manis.
Sayur-sayuran yang mempunyai kadar pati tinggi misalnya sayuran dari buah
jagung. Jagung waktu masih muda mempunyai kadar disakarida tinggi tetapi apabila
dilakukan penyimpanan maka kadar disakaridanya akan turun dan jagung menjadi tidak
manis. Buah tomat mengandung zat pati rendah sehingga terbentuknya sukrosa juga
sangat rendah dan segera habis.

5. 2. Perubahan Protein
Pada umumnya, buah-buahan mempunyai kadar protein sangat rendah. Misalnya
buah apel mengandung protein 0,1% (dari berat basah) dan sebanyak 80-90% protein
tersebut terletak di kulit. Pada buah apel, kenaikan kandungan protein disertai dengan
kenaikan proses respirasi. Apabila sintesis protein itu dapat dicegah, maka kecepatan
respirasinya dapat dicegah yang berarti klimakteriknya juga dapat dicegah.
Pada buah mangga, selama pematangan terjadi kenaikan kandungan asam amino
seperti alanin, triptofan isoleusin,, valin, dan glisin, sedangkan lisin, prolin, dan treonin
mengalami katabolisme ( degradasi). Pada waktu klimakterik, pada buah mangga terjadi
kenaikan asam glutamat, glutamin, leusin dan arginin. Akan tetapi, pada awal klimakterik
kandungan asam-asam amino tersebut menurun.
Menurut Vines dan Grierson (1966) dalam Pantastico (1986), pada buah
belimbing, terjadi penurunan kandungan asam amino secara konsisten selama
pematangan buah terutama alanin, serin, dan asam glutamat. Pada buah semangka,
selama pematangan asam glutamat dan asam aspartat menurun sedangkan asam alanin
dan glisin meningkat.
Mengenai perubahan kandungan asam amino pada buah mangga selama
pematangan dapat dilihat pada Tabel V. 1.

Tabel V. 1. Perubahan kandungan asam amino pada mangga selama pematangan


(Pantastico, 1986)
Asam amino Mentah Setengah Masak Masak
mg % per berat buah
Asam glutamat 12 - 20 30 - 50 20 - 50
Glutamin 40 - 50 80 - 120 50 - 80
Asam aspartat 18 - 24 4-6 9 - 16
Asparagin 20 - 40 15 - 24 20 - 30
Triptofan 5-9 10 - 20 15 - 30
Arginin 35 - 42 45 - 60 13 - 16
Histidin 37,5 4,6 14,7
Valin 3,7 4 5,6
Lisin 16 T.D. 2,0
Prolin 3,5 T.D. Nol
Treonin 9,5 T.D. Nol
Sistein 3,6 1,6 6,2
Tirosin 2,2 1,7 3,7
Isoleusin 0,66 1,17 1,5
Leusin 2,0 6,8 4,5
Metionin 3,4 2,2 3,4
Fenilalanin 2,3 1,8 4,2
Glisin 2,7 T.D. 5,3
Alanin 10 - 15 T.D. 21,3

Keterangan. T.D. =Tidak ditentukan.

5. 3. Perubahan Lemak
Kandungan lemak pada buah dan sayur-sayuran adalah rendah tetapi mempunyai
peran penting dalam mempertahankan tekstur, bau, warna, dan lain-lainnya. Pada buah
tomat, sewaktu perkembangan warna terjadi penurunan kadar asam linolenat dan oleat.
Kandungan fosfolipidanya tampaknya meningkat pada fase permulaan pematangan,
tetapi kemudian berkurang sewaktu terjadi perubahan warna selama penyimpanan.
Pada buah mangga, selama pematangan, kandungan asam lemak tidak jenuh
meningkat lebih banyak daripada asam lemak jenuh.
Lipida pada sebagian besar buah-buahan kecuali buah apokat selama proses
pematangan kadarnya rendah dan kemungkinan besar tidak akan meningkat. Walaupun
demikian, dalam buah mangga nampak terjadi kenaikan lipida dan asam-asam lemak.
Pada buah pisang, kandungan asam lemaknya adalah asam isobutirat, butirat, dan
isovalerat, yang meningkat dengan cepat dan disertai dengan pembentukan aroma. Pada
kulit dan daging buah pisang, terjadinya kehilangan sebagian besar lemak-lemak tidak
jenuh.
5. 4. Perubahan Pigmen (Warna)
5. 4. 1. Warna Khlorofil
Perubahan warna terjadi pada sebagian besar buah-buahan dan ini sering
dijadikan kriteria oleh konsumen untuk membedakan buah masak dan yang belum masak.
Perubahan warna terjadi dengan berkurangnya atau hilangnya warna hijau. Buah apokat
dan buah apel varietas Grain Smith yang bersifat klimakterik, warna hijaunya hilang
dengan cepat setelah matang.
Khlorofil yang terdapat pada buah dan sayur-sayuran adalah khlorofil a dan
khlorofil b. Warna hijau disebabkan karena adanya khlorofil yang mengandung Mg.
Hilangnya warna hijau adalah karena terjadi degradasi struktur khlorofil. Penyebab
terjadinya degradasi adalah karena terjadi perubahan pH, perubahan enzim oksidatif, dan
adanya enzim khlorofilase. Khlorofil dipecah oleh enzim khlorofilase menjadi fitol dan
inti forfirin. Khlorofil dapat kehilangan Mg nya yang terdapat pada gugus porfirinnya,
sehingga akan berubah menjadi feofitin. Akibatnya terjadi perubahan warna.Ihwal
degradasi khlorofil dapat dilihat pada Gambar V. 4., sedangkan rumus khlorofil terlihat
pada Gambar V. 5.
Hasil pengamatan dengan mikroskop menunjukkan bahwa khloroplas mengalami
degradasi lebih dahulu jauh sebelum warna hijaunya hilang dari jaringan . Jadi
terdegradasinya warna hijau tersebut menyebabkan warna lain muncul karena warna ini
sebelumnya tertutup oleh warna hijau tersebut. Misalnya, warna kuning ( xanthofil ) pada
buah mangga pada saat buah belum matang warna kuning tertutup oleh warna hijau dan
baru nampak setelah warna hijau tersebut terdegradasi.
Gambar V. 4. Proses Degradasi khlorofil ( Wills et al., 1998)

Gambar V. 5. Struktur khlorofil a


Pada tanaman tinggi, kandungan khlorofilnya 0,1 % dari berat segar. Perbandingan
khlorofil a dengan khlorofil b adalah 2,5 : 1. Pada gagang coklat, terdapat khlorofil a dan
c, sedangkan pada ganggang merah terdapat khlorofila a dan d
Dengan asam lemah, Mg akan lepas maka akan terbentuk feofitin. Perlakuan
khlorofil dengan asam kuat, menyebabkan logamnya terlepas dan gugusan fitolnya
membentuk feoforbide.
Pada buah alpokat turunnya kandungan khlorofil disertai dengan terjadinya
peningkatan respirasinya. Kentang yang tersimpan di tempat yang kena sinar matahari
akan mengalami pembentukan khlorofil. Kentang yang berwarna hijau tidak disenangi
karena terasa pahit dan biasanya beracun. Racun yang terdapat pada kentang adalah
solanin. Rasa pahit tersebut mempunyai sifat stabil dan sukar dihilangkan. Racun solanin
terbentuk bersamaan dengan terbentuknya khlorofil. Faktor yang merangsang
pembentukan khlorofil merangsang pula pembentukan solanin. Dengan demikian, faktor
yang merangsang pembentukan warna hijau pada kentang harus dicegah.

5.4.2. Fenolat/Fenol
Senyawa fenolat terdapat hampir pada semua tanaman terutama pada buah-
buahan. Senyawa ini berperan dalam pembentukan warna dan cita rasa. Kadar fenolat
pada buah dapat lebih tinggi atau lebih rendah daripada bagian tanaman lainnya.
Senyawa fenol juga terdapat pada bagian tanaman yang lain seperti pada kulit pohonnya.
Konsentrasi fenol turun dengan makin masaknya buah, tetapi umumnya jumlah fenolat
per buah makin meningkat. Buah maupun bunga mengandung beberapa macam fenolat
seperti anthosianin, tetapi bagian lain dari tanaman misalnya daun, kulit kayu
mengandung sangat sedikit atau tidak terdapat sama sekali senyawa fenolat. Jumlah
fenolat dalam buah tergantung pada varietas, spesies, musim, dan lokasi. Penyakit yang
menyerang tanaman juga mempengaruhi konsentrasi fenolat dalam tanaman itu.

Senyawa -senyawa fenolat yang umum terdapat pada buah-buahan


a. Derivat Asam Sinamat
Asam sinamat dalam konsentrasi tinggi terdapat pada tanaman tinggi. Mengenai
struktur asam sinamat terlihat pada Gambar V. 6.

Gambar V.6. Kerangka dasar struktur


asam-sinamat (Hulme,1971).

Senyawa di atas jarang terdapat dalam bentuk bebas, tetapi umumnya sebagai ester.
Asam khlorogenat adalah derivat (turunan) asam sinamat dan merupakan asam
penting yang terdapat pada buah-buahan. Pada buah apel, terdapat asam khlorogenat
dalam konsentrasi yang cukup banyak. Asam khlorogenat kadang-kadang terdapat
banyak pada buah-buahan misalnya pada buah bilberry (Vaccinium myrtillus) yang
kadarnya mencapai 0,25 %.
Konsentrasi derivat (turunan) asam sinamat menurun pada waktu buah masak,
akan tetapi jumlah per buah meningkat karena buah bertambah besar sewaktu terjadi
pertumbuhan. Derivat asam sinamat dengan kadar tertinggi terdapat pada kulit buah
seperti halnya pada kebanyakan senyawa fenolat.
b. Flavan
Senyawa flavan paling banyak dalam bentuk senyawa isomeri dan dua bentuk
yang paling banyak terdapat pada tanaman tinggi adalah ( +) katechin dan ( - )
epikatechin. Walaupun kedua senyawa ini terbentuk bersama-sama pada buah-buahan
pada varietas yang sama kandungannya dapat berbeda. Misalnya pada buah pear (Pyrus
communis) varietas Barlett terdapat ( +) katechin dan ( - ) epikatechin, tetapi senyawa ini
tidak dijumpai pada buah pear varietas Perry.
Flavan 3,4 diol tidak dijumpai pada buah dan jarang terdapat pada tanaman.
Senyawa ini dipandang sebagai prekursor polimeri proanthocyanidin. Mengenai rumus
bangun flavan terlihat pada Gambar V. 7. Terdapatnya flavan pada berbagai macam buah
terlihat pada Tabel V. 2.

Gambar V. 7. Kerangka dasar struktur flavan (Hulme,1971)

Monomer dari flavan tidak dijumpai sebagai glikosida di dalam buah-buahan.


Pada the, terdapat sejumlah asam gallat, ester galloyl, (-) epikatechin, dan (-)
epigallokatechin. Falvan banyak terdapat pada kulit buah walaupun juga ada yang
terdapat pada daging buah. Pada buah flavan terdapat pada kulit dan daging buah dan
terdapatnya adalah hampir sama. Konsentrasi flavan pada buah yang belum masak lebih
besar daripada buah yang sudah masak.

Tabel V. 2. Flavan pada berbagai macam buah (Hulme,1971).


Macam Buah (+ ) Katechin (-)Epikatechin Lainnya
Apel (Malus pamila) + +
Apricot (Prunus armeniaca ) + +
Backberry (Rubus fructicosus) + +
Cherry, masam (Prunus cerasus) + +
Cherry, manis (Prunus avium) + +
Currant, merah (Ribes rubrum ) + (+) gallokatechin
Currant, hitam (Ribes nigrum) + (+) gallokatechin
Gooseberry (Ribes uva crispa ) + (+) gallokatechin
Grape ( Vitis sp) + + (-) katechin
(+) gallokatechin
(-) galokatechin
(-) epigalokatechin
3-galoylepikatechin

Peach (Prunus persica) +


Pear (Pyrus cummunis) + +
Plum (Prunus domestica) + + (+) gallokatechin
Quince (Cydonia oblonga) +
Rasberry, merah (Rubus idaeus) + +
Strawberry (Fragaria) + +

c. Antosianidin dan Antosianin


Warna merah dan ungu, dalam buah dan bagian tanaman lainnya biasanya
disebabkan oleh pigmen antosianin. Antosianin terdapat dalam vakuola. Pada buah-
buahan terdapat dalam lapisan epidermis seperti misalnya pada buah apel dan buah pear.
Akan tetapi, pada beberapa jenis apel misalnya pada apel varietas Barry, antosianin juga
terdapat pada daging buahnya. Jadi, pada beberapa macam buah, antosianin ada yang
terdapat pada kulit ada pula yang terdapat pada daging buah. Berbeda dengan asam
sinamat dan flavan, konsentrasi antosianin meningkat pada buah saat mendekati matang.
Konsentrasi antosianin yang rendah menyebabkan warna tidak merah melainkan
biru. Pada konsentrasi sangat tinggi, warnanya menjadi ungu tua atau bahkan berwarna
ungu kehitaman. Sintesis antosianin akan berlangsung lebih baik pada suhu rendah.
Misalnya jenis buah apel yang berwarna merah akan lebih berwarna merah apabila
disimpan di tempat yang lebih dingin. Demikian juga bunga mawar akan lebih cerah
warna merahnya apabila tumbuh di daerah yang lebih dingin (Hulme, 1971).
Warna yang ditimbulkan oleh antosianian, dipengaruhi oleh konsentrasinya, pH
media, dan adanya pigmen lain. Pada pH rendah, struktur antosianin adalah seperti pada
struktur I, larutan berwarna merah ( Gambar V. 8.).

Gambar V. 8. Rumus bangun antosianin pada. struktur yang


berbeda (Hulme, 1971)

Apabila pH meningkat, tampak struktur II tidak berwarna selama terbentuk


seperti pada struktur II tersebut. Pada tingkat pH yang lebih tinggi mendekati di atas
netral, timbul warna kebiru-biruan atau kehijau-hijauan tampak pada struktur III. Struktur
II dapat pula menjadi struktur IV. Dalam keadaan pH yang sangat tinggi rantai akan
pecah dan oksidasi dapat berlangsung dengan mudah dan antosianin dapat hilang.
Hilangnya ini bersifat irreversibel. Reaksi seperti di atas dapat terjadi apabila antosianin
struktur II berikatan dengan HSO3- sehingga terjadi struktur V yang merupakan zat tidak
berwarna. Natrium hidrosulfida juga dapat menyebabkan antosianin tidak berwarna.
Pada umumnya buah-buahan setelah dipanen tidak kehilangan antosianinnya.
Dengan terjadinya degradasi khlorofil, maka antosianin akan makin tampak. Pada daun,
terdapat antosianin dalam konsentrasi yang rendah tetapi tertutup oleh khlorofil.
Buah apel walaupun sudah dipanen masih memproduksi antosianin tergantung
adanya cahaya dan suhu ruangan penyimpanan. Suhu minimum untuk pembentukan
antosianin adalah 7 0C.

d. Flavonol dan Flavonol Glikosida


Flavonol distribusinya lebih besar daripada antosianin daripada antosianin, tetapi
tidak segera dapat dilihat karena tidak berwarna atau warnanya pucat. Struktur kimianya
hampir sama seperti pada antosianin ( Gambar V. 9.).

Gambar V. 9. Kerangka dasar struktur Flavonol (Hulme,1971)

Jumlah flavonol pada buah-buahan tergantung varietasnya. Pada kulit buah apel, flavonol
terdapat dengan kadar rata-rata 0,47 mg per 100 g berat segar., tetapi pada daging buah
tidak dijumpai adanya flavonol.Konsentrasi flavonol menurun pada kulit buah apel
seiring dengan semakin masaknya buah apel yang disertai dengan pembentukan flavonol
glikosida. Sinar matahari mempengaruhi pembentukan flavonol glikosida dan
terbentukanya dapat dua kali lipat daripada dalam tempat terlindung. Jumlah flavonol
glikosida tergantung pada varietas buahnya.
e. Polifenol Terkondensasi
Zat yang terkondensasi seperti flavan tersebar lebih merata pada jaringan tanaman
daripada antosianin dan flavonol glikosida, dan lebih terkonsentrasi pada kulit daripada
dalam daging buah. Mengenai rumus bangun flavan terkondensasi terlihat pada Gambar
V.10.

Gambar V. 10 Flavan terkondensasi (Hulme, 1971)

Beberapa flavan terkondensasi ini apabila dipanaskan dengan asam mineral lemah
akan dapat menghasilkan antosianidin. Flavan terkondensasi yang terdiri atas dua unit
flavan dalam bentuk murni terdapat pada daun strawberry, pada buah apokat, dan apel.
Polifenol Umum dalam jumlah kecil
a. Flavon
Senyawa ini tersebar secara luas pada tanaman tinggi. Akan tetapi, dalam jumlah
kecil umumnya terdapat sebagai glikosida dengan ikatan gula pada posisi atom C nomer
7, kadang-kadang pada posisi nomer 5 terutama terdapat pada jeruk. Struktur kimia
flavon terlihat pada Gambar V. 11
Gambar V.11. Kerangka dasar struktur Flavon (Hulme,1971)

b. Flavanon
Senyawa ini banyak terdapat pada jeruk. Beberapa di antaranya dapat memberi
rasa pahit , dan struktur kimianya terlihat pada Gambar V. 12.
c. Isoflavon
Senyawa ini mempunyai struktur yang berbeda dari flavanon dan pada posisi 7
adalah glikosida ( Gambar V. 13 ).
Senyawa polifenol yang banyak dikenal adalah tannin. Terdapat dua kelompok
tannin yaitu tannin yang dapat dihidrolisis yang disebut hydrolizable tannin dan
condensed tannin yaitu tannin yang tidak dapat dihidrolisis dan merupakan senyawa
komplek misalnya katechin dan leucoanthocyanin. Namun, kelompok hidrolizable dapat
dihidrolisis dengan asam, basa, atau enzim membentuk senyawa-senyawa sakarida, asam
gallat, asam elegat, atau asam-asam lainnya.
Tannin yang terdapat pada kulit tanaman dapat berasal dari getah tanaman atau
bagian tanaman lainnya. Akan tetapi, beberapa macam tanaman pada daun atau buahnya
lebih banyak mengandung tannin daripada bagian lainnya. Misalnya daun teh dan kulit
buah manggis banyak mengandung tannin. Sel kulit biji kakao mengandung tannin dan
tannin banyak terdapat pada kulit kayu pasang ( Quercus infectoria). Tannin terdapat
pada vakuola sel. Tannin mempunyai sifat dapat mengendapkan protein sehingga dapat
digunakan untuk penyamakan kulit. Tannin itu merupakan serbuk putih amorf terlarut
dalam air.
Besarnya konsentrasi tannin pada buah tergantung pada perkembangannya. Pada
umumnya, buah yang masih muda mengandung tannin yang lebih tinggi daripada buah
yang sudah masak. Akan tetapi, pada bagian tanaman lainnya kandungannya semakin
tinggi dengan semakin tua tanaman tersebut. Turunnya kandungan tannin pada buah
karena tannin tersebut mengalami degradasi. Mekanisme hilangnya tannin tersebut belum
diketahui.
Tannin memberikan rasa sepat ( astringency), yang dirasakan oleh selaput lendir
mulut, karena protein yang melapisi rongga mulut akan mengalami presipitasi. Tannin
berfungsi sebagai “growth inhibitor” yang dapat merupakan penghambat pertumbuhan
mikroba, dan dapat menyebabkan inaktifnya enzim yang dikeluarkan oleh mikroba,
karena enzim itu sendiri terdiri atas protein sehingga terjadi presipitasi.
5. 4. 3. Karotenoid
Karotenoid adalah kelompok senyawa yang tersusun dari isoprene dan derivatnya
(turunannya), dengan karoten dan isomer likopen termasuk di dalamnya. Karoten
merupakan hidrokarbon yang tidak jenuh, yang memberikan warna jingga sedangkan
likopen memberikan warna jingga agak merah pada tanam-tanaman. Pada mulanya
karotenoid itu dapat diisolasi dari wortel (Daucus carota ). Senyawa ini larut dalam
lemak, dan yang umum terdapat pada tumbuh-tumbuhan terutama berupa b karoten dan
derivatnya. Pada buah mangga jenis “Alphonso” yang matang, terdapat sampai 60 % b
karoten dari zat warna lainnya.
Sekarang telah dikenal sekitar tujuh puluh karotenoid yang paling banyak terdapat
pada tanaman dan hanya beberapa diantaranya terdapat pada hewan. Beberapa macam
karotenoid tersebut adalah :
1. Phytoene 25. Lycophyl
2. Phytofluene 26. Lutein
3. z Carotene 27. Zeaxanthin
4. Neurosporene 28. Cryptoxanthin
5. Lycopene 29. Rhodoxanthin
6. a Carotene 30. Aurochrome
7. b Carotene 31. Antheraxanthin
8. g Carotene 32. Mutatoxanthin
9. d Carotene 33. Flavoxanthin
10. e Carotene 34. Cryptochrome
11. b Zeacarotene 35. Capxanthin
12. Lycoxanthin 36. Trollixanthin
13. Rubixanthin 37. Violaxanthin
14. a Cryptoxanthin 38. Luteoxanthin
15. b Cryptoxnthin 39. Auroxanthin
16. b Carotene-5,6 epoxide 40. Neoxanthin
17. Mutatochrome( =ctroxanthin) 41. Capsorubin
18. Neochrome 42. Semi b Carotenone
19. Valenciaxanthin 43. b Carotenone
20. Valencichrome 44. Celaxanthin
21. Sinenisiaxathin 45. Luteochrome
22. Persicaxanthin 46. b Citraulin
23. Crocetin
24. Trollein

Perubahan warna dari hijau ke kuning pada buah jeruk ditandai dengan hilangnya
khlorofil dan muculnya zat warna karotenoid. Selama masih berwarna hijau dan pada
flavedo buah jeruk masih terdapat khlorofil masih terjadi kegiatan fotosintesis.
Pada buah tomat matang terdapat karotenoid di dalam khloroplas yang terbentuk
pada waktu terjadinya pematangan buah yang diikuti oleh degradasi khlorofil, saat itu
khloroplas berubah menjadi khromoplas. Pada kulit buah pisang selama proses
pematangan karotenoidnya tetap ada, demikian juga pada buah apel. Konsentrasi
karotenoid pada kulit buah apel lebih besar daripada yang terdapat pada dagingnya.
Pada jeruk jenis Valencia, jenis karotenoid yang terdapat pada pulp dan kulit
buahnya berbeda, yaitu pada kulit buahnya mengandung relatif lebih banyak violaxanthin
daripada dalam pulpnya. Pada buah anggur, sintesis karotenoid terjadi sebelum khlorofil
hilang ( Hulme, 1970). Khususnya pada flavedo buah anggur, tidak terjadi sintesis
karotenoid sewaktu pematangan setelah khlorofil terdegradasi, tetapi merupakan suatu
tanda terjadinya sintesis phytoene. Pada buah jeruk selama pematangan, jumlah xanthofil
menurun tetapi jumlah karotenoid yang lain meningkat. Pada buah tomat, selain karotein
terdapat pula likopen, sedangkan pada buah semangka sebagian besar pigmennya adalah
likopen.
Pada umumnya tanaman yang mengandung karbohidrat dengan kadar rendah juga
mengandung karotenoid yang rendah. Umbi-umbian umumnya karotenoidnya rendah
kecuali pada wortel dan ketela rambat.

Faktor yang mempengaruhi pembentukan karotenoid pada buah-buahan


yang mengalami pemasakan.
1. Oksigen
Tidak adanya oksigen tetapi terdapat N2, CO2, atau etilen akan menghambat
pembentukan pigmen pada buah tomat dalam proses pematangan, dan ini juga terjadi
pada buah jeruk. Etilen pada tingkat fisiologis menstimulasi karotenogenesis
sebagaimana halnya dengan meningkatnya kandungan oksigen di atmosfer.
2. Sinar matahari
Sinar matahari tidak begitu penting artinya dalam pembentukan karotenoid pada
buah tomat. Dalam keadaan tanpa sinar mataharipun dapat terjadi sintesis karetonoid
terutama pada buah tomat varietas Albino dan Golden. Jadi, pembentukan karotenoid
dalam keadaan tanpa sinar matahari dapat berlangsung pada beberapa varietas buah.
Sebaliknya pembentukan zat warna hijau sangat diperlukan adanya sinar matahari.
3. Suhu
Telah diteliti bahwa suhu di atas 30 0C menghambat pematangan buah tomat.
Akan tetapi, juga diketahui bahwa pengaruhnya hanya terbatas berupa penghambatan
terhadap pembentukan likopen dan tidak terhadap b karoten. Suhu optimal bagi
pembentukan likopen adalah 16-21 0C. Suhu di atas 29,40C menyebabkan terjadi
penghambatan terhadap pembentukan likopen. Buah tomat yang dipanen pada waktu
masih hijau dan disimpan pada suhu 100C atau lebih rendah warnanya akan tetap hijau.
Pada suhu 10 - 29 0C warna buah tomat merah atau merah jingga.
4. Hal-hal lain
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variasi nutrien mineral dalam tanah tidak
berpengaruh terhadap kandungan karotenoid pada buah tomat. Perlakuan dengan asam b
naphthoxyacetat tidak menyebabkan terjadinya perubahan kandungan karotenoid pada
buah tomat. Adanya karbohidrat sangat penting artinya karena karbohidrat merupakan
bahan pembentukan pigmen.
5. 5. Asam Organik dalam Buah
Asam organik terdapat pada daging dan kulit buah. Pada beberapa buah, misalnya
pada buah jeruk, asam organik yang terdapat pada kulitnya lebih sedikit daripada dalam
pulpnya. Pada buah pisang, asam organiknya naik dengan makin masaknya buah tersebut.
Pada buah apel, terdapat juga asam quinat. Pada buah apel yang masak dan selama
penyimpanan, pada pulpnya mengandung asam-asam organik dengan kadar yang lebih
tinggi dari pada kulit buahnya Asam organik tersebut terdapat pada vakuolanya. Asam
organik pada buah dianggap sebagai sumber enersi cadangan, sehingga jumlahnya akan
turun sewaktu terjadinya aktivitas metabolisma yang lebih besar dan hal tersebut terjadi
pada saat terjadinya proses pematangan buah.
Terjadinya aktivitas metabolisma yang tinggi pada saat proses pematangan buah
menyebabkan terjadinya penurunan kadar keasaman buah. Misalnya, buah mangga yang
mengalami pergeseran pH dari 2,0 menjadi 5,5 mengalami penurunan asam-asam sitrat,
malat dan askorbat masing-masing sebesar 10, 40, dan 2,5 kali. Asam malat adalah asam
yang mula-mula hilang disusul oleh asam sitrat karena kemungkinan terjadinya
katabolisme sitrat melalui asam malat. Pada buah tomat, jumlah asam sitrat dan asam
malat sekitar 60% dari jumlah asam keseluruhannya.
Asam -asam organik pada buah-buahan dapat dikemukakan sebagai berikut ini
( Tabel V. 3. )
Tabel V. 3. Asam-asam organik dan sumber terdapat pada buah-buahan ( Hulme, 1971)
Jenis Asam Rumus Kimia Sifat & Sumber
1. Asam Monokarboksilat
Alifatis H-COOH Volatil, konsentrasi rendah
a. Asam Formiat tersebar secara luas ; pada
buah anggur

Asam asetat CH3 -COOH Volatil, konsentrasi rendah


tersebar secara luas : pada
buah anggur.

Asam butirat CH2 -(CH3 ) 2 - Sebagian dalam bentuk


COOH volatil pada buah anggur

Asam parasorbat O
H 2C O Pada buah Sorbus

Asam Di oksigulonat COOH-(CO)2- Tersebar secara luas


(CHOH) 2 -CH2 OH
2. Asam Monokarboksilat
alifatis berikatan dengan
gugusan alkohol, keton, atau
gugusan aldehide

a. Berikatan dengan Alkohol


Asam glikolat CH2 OH-COOH Umum dalam konsentrasi
rendah pada buah anggur,
apel, dan pear yang belum
matang
Asam laktat CH3 -CHOH-COOH

Asam gliserat CH2OH-CHOH-


COOH Buah anggur

Asam mevalonat CH2OH-CH2-


C(OH)(CH2)-CH2-
COOH

Lnjutan Tabel V.3.


b. Berikatan dengan Keton
Asam piruvat CH3 -CO-COOH Terdapat dalam konentrasi
rendah
c. Berikatan dengan Aldehide
Asam glioksilat CHO-COOH Terdapat pada buah anggur
dan apel mentah.
3. Asam-asam Alifatis Di-dan
Tri Karboksilat

Asam Oksalat HOOC-COOH Pada pisang sebagai garam


terlarut; dapat dalam bentuk
asam oksalat tidak terlarut
pada beberapa macam buah
mentah.

Asam Suksinat HOOC- Terdapat dalam jumlah


(CH2)2COOH sedikit pada buah-buahan.

Asam Fumarat HOOC-CH=CH- Terdapat pada buah apel


COOH

L-Asam Malat HOOC-CH2 - Sangat umum terdapat pada


CHOH-COOH buah apel, pisang, dan oear.

D -Asam Tartarat HOOC-CHOH- Pada buah asam, buah


CHOH-COOH anggur dan kadang terdapat
pada buah apel.

AsamSitramalat- HOOC- Terdapat pada beberapa


C(OH)(CH3)-CH2- jenis jeruk
COOH

HOOC-CH2
Asam Sitrat C(OH)(COOH)- Sangat umum terdapat pada
CH2-COOH buah-buahan

HOOC-CH2-
Asam Isositrat CH(COOH)-CHOH- Terdapat dalam jumlah yang
COOH sedikit

Lanjutan Tabel V.3.


Asam Oksaloasetat HOOC-CH2-CO- Dalam jumlah sedikit tetapi
COOH umum terdapat pada buah-
buahan
4. Asam-asam yang berasal dari
Gula-gula
Asam Sakarat HOOC-(CHOH)4 - Pada nenas
COOH

Asam Galakturonat HOOC-(CHOH)4- Pada buah pear, peach,


CHO apricot, apel

Asam Glukuronat HOOC-(CHOH)4- Pada plum dan apel


CHO

5.Asam-asam Karbosiklis
Monokarboksilat
a. Asam-asam Aromatis
Asam benzoat C6H5-COOH Pada buah buah Vaccinium

Asam Salisilat HO- C6H4-COOH Pada buah Ribes, Fragaria,


Rubus
Asam p-Kumarat HO-C4H4-CH=CH- Apel, peach, plum dan
COOH cherri

Asam Kafeat (HO)2-C6H3- Apel, peach, plum dan


CH=CH-COOH cherri

Asam Khlorogenat
Apel muda, peach,plum dan
b. Asam -asam Alisiklis HO COOH cherri
Asam Quinat

Pada apricot, peach, pisang,


HO OH pear dan lain-lainnya.
HO

COOH

Asam Shikimat
Buah apel, pear, strowberi
dan pisang.
HO OH
HO

Selanjutnya asam-asam organik yang terdapat pada buah apel, pear, anggur pisang
dan strowberi terlihat dalam Tabel V. 4. Hampir semua macam asam organik terdapat
pada buah kecuali asam tartarat dan cis akonitat tidak terdapat
TabelV. 4. Keberadaan berbagai asam organik pada buah apel, pear, anggur, pisang
dan strowberi

Asam Apel Pear Anggur Pisang Strowberi


Glikolat + + + + Sedikit
Laktat + + + +
Gliserat + + + + Sedikit
Piruvat + + +
Glioksalat + + +
Oksalat + + +
Suksinat + + + + +
Fumarat + +
Malat ++ ++ ++ ++ +
Tartarat ++
Sitramalat + + +
Sitrat + + + + +++
Isositrat + +
Sis akonitat + +
Oksaloasetat + + +
a-Oksoglutarat + ++ + +
Galakturonat + +
Glukuronat + +
Kafeat + +
Khlorogenat + + +
p-Kumarilquinat +
Quinat + + + + +
Shikimat + + + + Sedikit

Sumber: Hulme, 1970.


Sel buah-buahan mampu menggunakan asam-asam organik sebagai substrat untuk
respirasi. Terbukti dalam hal ini terdapatnya RQ yang tinggi. Apabila gula yang
digunakan sebagai substrat dalam respirasi, maka RQ = 1, jika asam malat yang
digunakan RQ =1,33, sedangkan jika asam tartarat yang digunakan RQ nya = 1,6
Hasil penelitian Gerber (1897) dalam Hulme, (1970) menunjukkan bahwa buah
apel yang disimpan dalam suhu 18 0C selama 6 minggu dan RQnya = 0,95, menunjukkan
bahwa terjadi oksidasi gula, sedangkan pada suhu 33 0C dengan RQ = 1,39 menunjukkan
terjadinya oksidasi asam malat.
Dalam Gambar V. 14, terlihat bahwa pada buah anggur terdapat hubungan antara
respirasi, suhu, dan RQ. Pada ordinat, ditunjukkan volume O2 yang diambil dan volume
CO2 yang dikeluarkan. Buah anggur pada suhu 35 0C selama 4 - 5 hari memperlihatkan
aktivitas respirasi yang sangat tinggi. Selama waktu ini, setengahnya asam malat dan
asam tartarat hilang, sedangkan asam sitrat tetap ada.

Gambar V. 14. Perubahan respirasi pada


buah anggur pada berbagai suhu yang dinyatakan dalam volume CO2
dan O2 untuk 100 g berat daging buah segar dalam waktu 1 jam (Hulme,1971).

5. 6. Perubahan Citarasa ( Flavor)


Perkembangan citarasa menjadi enak pada buah-buahan antara lain karena
terjadinya penurunan derajat keasaman dan peningkatan kandungan gula. Perbandingan
kandungan gula dan asam sering digunakan sebagai indikator tingkat kematangan pada
sebagian dari buah-buahan. Akan tetapi, rasa khas dari buah-buahan adalah karena
terbentuknya berbagai senyawa komplek berupa senyawa mudah menguap (volatil) dan
minyak walaupun senyawa-senyawa tersebut terdapat dalam buah-buahan dalam jumlah
kecil. Senyawa fenolat juga memberikan citarasa pada buah-buahan seperti yang telah
dijelaskan di atas.
Zat-zat yang Menghambat Pematangan dan Kelayuan
Sitokinin
Zat ini dapat menghambat degradasi khlorofil dan proses kelayuan pada sayuran
daun dan buah-buahann seperti sayuran bayam, kangkung, cabai, buncis, mentimun, dan
lain-lainnya. Secara umum, cara kerjanya adalah menghambat proses penguningan
dengan mempertahankan kandungan protein dalam jaringan. Sitokinin kadang-kadang
digunakan bersamaan dengan zat pengatur tumbuh lainnya untuk memperkuat pengaruh
penghambat kelayuan.

Giberelin
Asam giberelat menghambat pematangan buah tomat pascapanen. Tampak
terjadinya penurunan laju respirasi, terlambatnya klimakterik, dan penundaan perubahan
warna.
Pemberian asam giberelat pada jeruk manis varietas Naval menyebabkan
lenyapnya khlorofil terhambat, peningkatan kekuatan kulit, tertundanya akumulasi
karotenoid, dan terjadinya peningkatan total zat terlarut dan asam askorbat. Asam
giberelat juga mempengaruhi keutuhan membran mitokhondria.

Auksin
Senyawa ini menghambat proses kelayuan, dengan cara menghambat kegiatan
poligalakturonase pada tingkat permulaan pematangan buah tomat. .

Zat-zat Penghambat Metabolisme


1. Sikloheksamida dan Aktinomisin D
Sikloheksamida ini menghambat pematangan buah pear apabila diberikan pada
pra klimakterik, dan tidak efektif pada tingkat selanjutnya. Sikloheksimida ini akan
menghambat pelunakan daging buah, degradasi khlorofil, dan sintesis etilen. Bila
sikloheksimida diberikan pada buah yang sudah mulai matang, pematangannya akan
berlangsung pada laju yang lebih rendah. Hal ini dapat juga terjadi apabila diperlakukan
dengan aktinomisin D pada saat klimakterik.

2. Vitamin K
Vitamin K1 atau vitamin K3 sampai pada suhu 14 0F dapat menghambat
pematangan buah pisang seperti telah dikemukakan oleh Beccari (1969) dalam Hulme
(1986). Buccari menduga Vitamin K1 itu merupakan penghambat proses sintesis etilen..
Vitamin K5 memperlihatkan daya hambat yang tinggi terhadap pertumbuhan mikroba.
Kadar vitamin K5 aktif berkisar 0,05 sampai 0,005 %, mempunyai sifat seperti germisida
sehingga dapat memperpang umur simpan buah dan sayuran.

DAFTAR PUSTAKA

Fruton, J.S., and S. Simmonds. 1958. General Biochemistry. John Wiley & Sons, Inc.,
New York.

Haard, N.F. and D.K. Salunkhe, 1975. Symposium : Postharvest Biology and Handling of
Fruits and Vegetables. The Avi Publishing Company, Inc. Wesport, Connecticut.

Harper, H.A., V.W. Rodwell and P.A. Mayes. 1979. Review of Physiological Chemistry.
Large Medical Publications, Los Altos, California.
Hulme, A.C.. !971. The Biochemistry of Fruits and Their Products. Vol. 1 and 2.
Acadenmic Press, London and New York.

Pantastico, E.R.B. 1986. Fisiologi Pasca Panen, Penanganan dan Pemanfaatan Buah-
buahan dan Sayur-sayuran Tropika dan Sub Tropika. (Penerjemah :Prof. Ir.
Kamarjani). Gadjah Mada University Press. Jogyakarta.
.
Page, David S. 1985. Prinsip-Prinsip Biokimia Penerjemah R. Soendoro. Penerbit
Erlangga, Jakarta.

Soeharsono,M. 1983. Biokimia I, II. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Tranggono dan Sutardi. 1989. Biokimia dan Teknologi Pascapanen. Pusat Antar
Universitas - Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Wills, R., B. Mc Glasson, D. Graham and D. Joyce. 1998. Posthrvest, An Introduction to


the Physiology & Handling of Fruit, Vegetables & Ornamentals. Printed by Hyde
Park Press, Adelaide, South Australia

Wills, R.H., T.H. Lee, D. Graham, W. B. Mc. Glasson and E.G. Hall. 1981. Postharvest,
An Introduction to the Physiology and Handling of Fruit and Vegetables. New
South Wales University Press Limited, Australia.

Winarno, F.G. dan Moehammad Aman. 1981. Fisiologi Lepas Panen. Sastra Hudaya
Jakarta.
BAB VI
PENGARUH SUHU

Respirasi pada buah-buahan dan sayuran melibatkan berbagai reaksi enzimatis.


Laju reaksi itu berlangsung dalam kisaran suhu fisiologis dan meningkat secara
eksponensial seiring dengan meningkatnya suhu, yang dapat dinyatakan secara
matematis dengan menggunakan quosien suhu (Q10). Untuk reaksi enzimatis, Q10 adalah
sekitar 2 untuk setiap kenaikan suhu 10 0C.
Van’t Hoff seorang ahli kimia Belanda mengemukakan rumus :

R2 10/( t2 Yt1 )
Q10 8 ( )
R1 = konstan sekitar 2

dengan t2 dan t1 adalah suhu (0C), R2 dan R1 adalah laju reaksi pada masing-masing
tingkat suhu tersebut. Dari rumus di atas, baik Q10 atau laju yang belum diketahui pada
perbedaan suhu tertentu dapat dihitung.
Akan tetapi, banyak proses fisiologis, Q10 tidak selalu tetap pada kisaran suhu
fisiologis dan Q10 merupakan fungsi suhu. Nilai Q10 umumnya tertinggi antara suhu 1 0C
sampai 10 0C yang dapat mencapai 7. Tetapi pada suhu di atas 10 0C nilai Q10 umumnya
menurun menjadi antara dua dan tiga.

6.1. Respon Fisiologis


Aktivitas enzim pada buah dan sayuran menurun pada suhu di atas 30 0C, tetapi
pada enzim-enzim tertentu menjadi tidak aktifnya bervariasi tergantung pada suhunya.
Banyak di antaranya masih aktif pada suhu 35 0C tetapi sebagian besar tidak aktif pada
suhu 40 0C. Buah yang bersifat klimakterik dan dibiarkan secara kontinyu pada suhu 30
0
C daging buahnya menjadi matang, tetapi tidak mencapai warna normal. Misalnya,
buah pisang jenis Cavendish kulitnya tetap hijau dan pada buah tomat akumulasi likopen
dihambat. Apabila komoditi ini disimpan pada suhu diatas 350C, metabolismenya
menjadi abnormal, yang berakibat pada kerusakan integritas dan struktur membran
sehingga terjadi kerusakan susunan sel dan akan cepat mengalami kerusakan. Perubahan
tersebut sering ditandai oleh hilangnya pigmen dan selanjutnya terjadinya penampakan
yang bening.
Pada umumnya, suhu 0-2 0C adalah titik beku jaringan, yang merupakan suhu
batas bawah untuk tejadinya metabolisme normal. Jaringan yang membeku menyebabkan
pertukaran metabolit diantara berbagai komponen seluler menjadi terhambat. Sebagian
besar air membeku di luar sel, dan menyebabkan desikasi permanen sel. Ekspansi dan
membesarnya volume air pada pembekuan akan meyebabkan kerusakan sel. Pada saat
pencairan (thawing), metabolisme dan tekstur jaringan tidak normal sebelum pembekuan.
Idealnya, jika penurunan respirasi dan metabolisme dilakukan akan memperpanjang umur
simpan dan ini akan diperoleh apabila disimpan pada suhu sedikit di atas titik beku.
Penurunan suhu akan menyebabkan terjadinya penurunan laju perubahan
berrbagai parameter seperti respirasi, perubahan tekstur, atau kehilangan vitamin C
(Gambar VI.1.). Namun, pengaruh penurunan suhu tidak sama untuk semua faktor
fisiologis.

Gambar VI. 1. Pengaruh suhu terhadap ketahanan kualitas buah dan


sayuran (Wills et al., 1998)

Hanya sedikit peningkatan umur simpan diperoleh bila terjadi penurunan suhu
yang kecil. Peningkatan umur simpan yang jauh lebih besar dapat diperoleh dengan
penurunan sedikit pada suhu lebih rendah. Malahan, perubahan suhu 1 0C mempunyai
pengaruh sangat nyata (Gambar VI. 2). Pendinginan pada suhu di bawah 10 0C kurang
menguntungkan bagi komoditi yang peka terhadap cacat suhu rendah ( chilling injury)
kecuali penyimpanan dalam waktu singkat. Keuntungan yang diperoleh dengan
penyimpanan pada suhu rendah adalah terjadi penurunan laju pertumbuhan mikroba.
Apabila suhu cukup rendah, spora fungi tidak dapat tumbuh.
Penurunan suhu untuk produk yang non klimakterik menurunkan laju kerusakan
sedangkan pada produk yang klimakterik, proses pematangannya akan tertunda.
Pengaruh penurunan suhu terhadap pematangan mengikuti hubungan eksponensial (
Gambar VI. 2.). Penurunan suhu tidak hanya menurunkan pembentukan etilen, tetapi juga
menunjukkan laju respon jaringan terhadap etilen. Karena itu pada suhu lebih rendah,
diperlukan waktu lebih lama agar konsentrasi etilen tersebut cukup untuk menimbulkan
pematangan. Pematangan normal terjadi dalam suatu kisaran suhu tertentu ( umumnya 10
-30 0C). Walaupun demikian, beberapa macam buah misalnya buah pear akan matang dan
kualitasnya bagus pada suhu di bawah 10 0C. Kualitas penyimpanan terbaik dalam buah-
buahan matang umumnya pada suhu sekitar 20 0C, suatu suhu yang dianggap optimal
untuk pematangan bagi sebagian besar buah buahan.

Gambar VI. 2. Pengaruh suhu terhadap umur simpan apel dan buah pear
1. Apel Delicious (bulan).
2 Apel kultivar yang peka terhadap suhu rendah (bulan).
3. Pear Williams Bon Chretien (Bartlett) (minggu).
Buah-buahan yang tidak peka terhadap chilling injury umur simpan
maksimumnya dapat diperoleh pada suhu di bawah kisaran suhu pematangan. Sebagai
contoh, buah pear Williiams Bon Chretien (WBC) atau (Bartlett) tidak akan matang pada
suhu dibawah 12 0C, tetapi umur simpan maksimum diperoleh dalam penyimpanan pada
suhu -1 0C. Bila diinginkan agar buah tersebut matang dipindahkan ke suhu di atas 12 0C
(Gambar VI. 2. dan Gambar VI. 3.). Apabila buah pear disimpan terlalu lama pada suhu
rendah atau pada suhu non pematangan, buah tersebut tidak akan matang dengan normal
walaupun kemudian dipindahkan ke sushu pematangan. Hal ini mungkin diakibatkan
karena enzim penyebab kematangan menjadi inaktif atau rusak. Di samping pematangan
yang abnormal penyimpanan pada suhu rendah dapat mengakibatkan abnormalitas
metabolisme yang menyebabkan rusaknya sel pada beberapa tempat.

Gambar VI. 3. Pengaruh suhu terhadap laju pematangan 4 kultivar buah


pear
Tidak akan matang normal di bawah suhu ini
6. 2. Umur Simpan
Tidak ada suhu penyimpanan yang ideal untuk semua macam buah dan sayuran
karena respon masing-masing terhadap penurunan suhu sangat berbeda-beda. Faktor
penting seperti pertumbuhan jamur dan cacat suhu rendah (chilling injury) harus
diperhitungkan seperti halnya kebutuhan akan lama penyimpanan. Pada buah dan sayur-
sayuran yang tidak peka terhadap suhu dingin, umur simpan maksimumnya dapat
diperoleh dengan penyimpanan pada suhu mendekati titk beku jaringan. Akan tetapi,
komoditi yang sensitif pada suhu rendah keuntungan karena menurunnya respirasi dan
pertumbuhan jamur perlu dibandingkan dengan kerugian akibat cacat suhu dingin
(chilling injury). Umur simpan komoditi sangat bervariasi dan dapat dikaitkan dengan
besarnya kisaran laju respirasi di antara jaringan yang berbeda (lihat Tabel VI. 1.). Pada
umumnya terdapat hubungan terbalik antara laju respirasi dan umur simpan. Karena itu,
komoditi dengan respirasi rendah umumnya lebih tahan lama.
Berbagai data tentang suhu yang dianjurkan dan umur simpan yang diharapkan
telah dikumpulkan oleh banyak peneliti dan lembaga. Data tersebut hanya dapat dipakai
sebagai gambaran kasar karena dikumpulkan dari berbagai sumber. Dalam Tabel V.2,
telah dikelompokkan menurut lamanya umur simpan yang diharapkan pada suhu optimal
untuk masing-masing komoditi. Pada umumnya, komoditi yang mempunyai umur simpan
pendek mempunyai laju respirasi yang tinggi (umumnya sayuran daun), yang dipanen
matang (buah beri), atau yang peka pada suhu dingin (buah pisang dan mentimun).
Faktor lain yang berpengaruh terhadap umur simpan adalah adanya pertumbuhan
jamur. Pertumbuhan mikroba perusak dihambat pada suhu rendah, tetapi komoditi segar
berangsur angsur akan kehilangan daya tahannya terhadap pertumbuhan mikroba
perusak. Jadi, lamanya umur simpan ditentukan oleh interaksi antara kelayuan
(senescens), pertumbuhan mikroba, dan kepekaan terhadap cacat suhu rendah.
Tabel VI . 1. Laju respirasi dari berbagai macam buah dan sayuran
( Wills et al., 1981)
Buah Laju Respirasi pada Sayur-sayuran Laju respirasi pada
suhu 15 0C ( ml. suhu 15 0C ( ml.
-1 -1
CO2 kg h CO2 kg -1 h-1
Apel 25 Kara 200
Pisang, hijau 45 Kubis 32
Pisang, masak 200 Wortel 45
Anggur 16 Slada 200
Lemon 20 Kapri 260
Orange 20 Kentang 8
Peach 50
Pear 70
Strawberry 75

Tabel VI. 2. Umur Simpan Buah dan Sayuran Segar ( Wills et al, 1981)
Komoditi Waktu pada suhu optimal ( Minggu)
-1 sampai - 5 sampai 9 0C 10 0C
40 C
Buah-buahan
Sangat mudah rusak (0- 4 minggu)
Aprikot 2
Pisang, matang 1-2
Pisang, hijau 1-2
Buah-buahan berry 1-2
Cherry 1-4
Fig 2-3
Loquat 1-2
Mangga 2-3
Strawberry 1-5 hari
Semangka 2-3

Mudah rusak ( 4 - 8 minggu)


Apokat 3 -5
Anggur 4-6
Mandarin 4 -6
Nectarin 5 -8
Buah markisah 3 -5
Peach 2-6
Nenas, matang 4 .5
Nenas, hijau 4 -5
Plum 2 -7

Semi mudah rusak ( 6- 12) minggu

Kelapa 8 -12
Orange 6 - 12

Tidak mudah rusak ( > 12 minggu)

Apel 6 -30
Anggur 12 - 16
Lemon 12 - 30
Pear 8 -30

Tabel VI. 2. (lanjutan)

Sayur-sayuran
Sangat mudah rusak 0 - 4 minggu)
Asparagus 2-4
Kara 1-3
Brokoli 1-2
Brussel sprout 2-4
Bunga kol 2-4
Mentimun 2-4
Selada 1-3
Kapri 1-3
Rhubarb 2-3
Bayam 1-2
Jagung manis 1-2
Tomat, berwarna 1-3
Jamur merang 2-4

Mudah rusak ( 4 - 8 minggu)


Kobis 4-8
Tomat ( hijau 3-6

Semi mudah rusak ( 6 - 12 minggu)


Seledri
Leek 6 -10
Marrow 8 - 12 6 - 10

Tidak mudah rusak ( 12 minggu )


Beet
Wortel 12 - 20
Bawang merah 12 - 20
Parsnip 12 - 28
Waluh 12 - 20 16 24 12 - 24
Kentang
Ubi jalar 16 -24
Swede turnip
16 - 24

6. 3. Pendinginan
Tujuan penyimpanan pada suhu dingin adalah untuk memperlambat terjadinya
kerusakan sekecil mungkin tanpa terjadinya pematangan abnormal atau perubahan lain
yang tidak diinginkan. Jadi, itu untuk mempertahankan komoditi agar tetap dalam
keadaan baik yang dapat diterima oleh konsumen selama mungkin.
Buah-buahan atau sayur-sayuran yang dipanen kadang-kadang dapat mencapai
suhu 40 0C dan pada suhu ini kecepatan respirasi sangat tinggi sehingga umur simpan
pendek. Oleh karena itu, buah-buahan maupun sayur- sayuran hendaknya dipanen sepagi
mungkin karena suhu udara pada waktu pagi hari lebih rendah daripada suhu pada siang
atau sore hari. Permasalahannya, untuk kebun yang luas, pemanenan pada waktu pagi-
pagi benar agak sulit dilakukan dan untuk di daerah tropis, suhu pada waktu pagi hari
juga relatif tinggi. Pendinginan sebaiknya dilakukan segera setelah pemanenan sebagai
pendinginan pendahuluan (precooling) terutama untuk buah dan sayur-sayuran yang
mudah rusak atau buah dan sayuran yang respirasinya berlangsung dengan cepat. Sebagai
suatu contoh, pengaruh terhadap kualitas penundaan pendinginan pada strawberry terlihat
pada Gambar VI. 4.

Gambar VI. 4. Pengaruh penundaan sebelum pendinginan terhadap kualitas


strawbwerry Shasta ( Wills et al.,1981 )

Metode pendinginan yang digunakan tergantung pada umur simpan komoditi.


Komoditi yang laju respirasinya cepat mempunyai umur simpan pendek. Maka, komoditi
yang demikian perlu pendinginan dengan segera setelah pemanenan. Komoditi yang
mempunyai umur simpan panjang umumnya tidak memerlukan pendinginan dengan
cepat, tetapi sangat baik apabila didinginkan dengan segera. Komoditi yang tidak tahan
terhadap chilling injury (cacat suhu dingin) harus didinginkan sesuai dengan keperluan
masing-masing produk terseebut, mungkin sekitar suhu 10 -12 0C. Penggunaan metode
pendinginan pendahuluan tergantung tiga faktor utama, yaitu suhu komoditi pada saat
panen, fisiologi komoditi, dan umur simpan yang diinginkan.

6. 4. Metode Pendinginan
Bahan dapat didinginkan dengan menggunakan udara dingin (pendinginan
kamar), pendinginan dengan hembusan udara (forced air cooling), air dingin
(hydrocooling), kontak langsung dengan es, dan evaporasi air dari produk (pendinginan
evaporativ dan pendinginan vakum). Buah-buahan umumnya didinginkan dengan udara
dingin walaupun buah batu lebih menguntungkan menggunakan pendinginan hidro.
Metoda pendinginan manapun dapat digunakan untuk sayur-sayuran tergantung pada
fisiologi dan kebutuhan konsumen.

6.5. Laju Pendinginan


Laju pendinginan terhadap produk tergantung terutama pada 5 faktor yaitu :
1. kecepatan pindah panas dari produk ke media pendingin, yang tergantung pada
bentuk dan ukuran produk,
2. perbedaan suhu antara produk dan pendingin,
3. kecocokan medium pendingin dan komoditi,
4. velocity medium pendingin,
5. sifat medium pendingin,
Laju pendinginan, biasanya dinyatakan sebagai koefisien pendinginan(cooling
coefficient = C ) atau waktu paruh pendinginan ( Z = half cooling time), adalah waktu
yang diperlukan untuk mengurangi perbedaan suhu antara bahan dan medium
pendinginan menjadi separuhnya. Secara teoritis, waktu paruh pendinginan tidak
tergantung kepada suhu awal bahan dan tetap konstan selama periode pendinginan.
Secara matematis, itu dapat dinyatakan sebagai berikut :
Z = ( loge ) 0,5/C Nilai C negatif.

Waktu paruh pendinginan untuk sejumlah komoditi tertentu dengan cara


pendinginan tertentu adalah sama, berapapun suhu awal dan suhu bahan pendinginnya;
yang penting adalah beda suhunya. Kurve untuk pendinginan bersifat eksponensial.
Secara sederhana, itu dapat dikemukakan dengan suatu contoh sebagai berikut.
Apabila suatu produk diberi perlakuan pendinginan pendahuluan misalnya suhu
produk 100 0F dan suhu pendingin 40 0F dengan cara tertentu mempunyai waktu paruh
pendinginan 12 jam, maka hasil tersebut akan turun suhunya sebagai berikut ini.
60
I. Untuk 12 jam pertama, 100 0F - 40 0F = 8 30
2
Jadi, suhunya dari 100 0F turun menjadi 100 0F - 30 0F = 70 0F
30
II. 12 jam berikutnya 70 F - 40 F = 8 15
2
Jadi suhu produk turun menjadi 70 0F - 15 0F = 55 0F
15
III 12 jam berikutnya, 55 0F- 40 0F -= 8 7,5
2
Jadi, suhunya menjadi 55 0F - 7,5 0F = 47,5 0F

Metode pendinginan, tipe kemasan, dan cara kemasan itu disusun semuanya akan
mempengaruhi kecepatan pendinginan bahan. Tabel VI. 3 menunjukkan perbedaan laju
pendinginan apel baik dalam keadaan bebas dalam peti atau dibungkus dan dikemas
dalam peti didinginkan dengan pendinginan kamar (room cooling), atau pendinginan
dengan udara kecepatan tinggi dan pendinginan hidro.

Tabel VI. 3. Waktu paruh pendinginan apel dalam peti 18 kg


( Wills et al.,1998)

Cara pendinginan Z (jam)


Apel tanpa dibungkus Apel dibungkus dan
dalam peti dikemas
Ruang pendinginan 12 22

Terowongan kecepatan udara 4 14


200 - 400 m/menit

Pendinginan dengan kecepatan 0,75


tinggi, velocity udara 740 m
/menit

Pendinginan Hidro 0,33

Buah tunggal
Kecepatan udara 40 m /menit 1,25
Kecepatan udara 400m /menit 0,5

Setiap macam produk memerlukan cara pendinginan tertentu. Pada Tabel VI. 4.
terlihat beberapa macam cara pendinginan dan produk yang didinginkan sesuai dengan
metode pendinginan yang diperlukan .

Tabel VI. 4. Produk dan Cara Pendinginan


Pendinginan kamar Hanya untuk produk yang mempunyai kerusakan
rendah
Pendinginan dengan Udara Buah-buahan, sayuran -sayuran buah, umbi-
Bertekanan umbian
Pendinginan Hidro Batang, sayuran daun, sayuran buah, dan beberapa
macam buah
Pendinginan Vakum Sayur-sayuran daun beberapa macam sayuran-
sayuran batang
Pengepakan dengan es Sayur-sayuran daun dan sayur-sayuran batang

Beberapa cara pendinginan dapat sesuai dengan sistim penanganan tertentu dan
dapat melebihi sistim yang lain sedangkan beberapa diantaranya memerlukan biaya yang
lebih besar daripada yang lainnya. Perlu diperhatikan bahwa pendinginan dan
penyimpanan dapat terjadi saling berlawanan. Suatu fasilitas pendinginan memerlukan
terjadinya pertukaran panas dengan cepat, dan panas yang tinggi memerlukan aliran
udara yang cepat. Suatu fasilitas penyimpanan mempunyai muatan panas yang sangat
rendah dan hanya memerlukan sirkulasi udara yang cukup untuk menghilangkan panas
yang berasal dari hasil respirasi. Karena itu, suatu fungsi pendinginan dan penyimpanan
secara teoritis sangat sesuai bila digunakan sistem pendinginan kamar. Demikian juga,
alasan ekonomis dan praktis sangat cocok dilakukan pendingin dan penyimpanan bila
menggunakan sistem pendinginan kamar.

1. Pendinginan Kamar (Room cooling)


Kemungkinan pendinginan yang paling umum digunakan adalah pendinginan
kamar dengan bahan segar di dalam kotak, karton, peti, atau kemasan lain diperlakukan
dengan udara dingin dalam ruang pendingin. Supaya pendinginan dapat berlangsung
dengan baik, laju udara di sekitar kemasan diatur minimal 60 meter per menit. Desain
dari operasi sistem ini sederhana. Pendinginan maupun penyimpanan produk dapat
dilakukan dengan pendinginan kamar. Pendinginan kamar relatif lambat sehingga tidak
cocok untuk produk yang mudah rusak.

2. Pendinginan dengan Udara Bertekanan ( Forced air Cooling )


Pendinginan dengan cara ini sangat umum digunakan di Australia. Pemasangan
alat ini sangat mudah dan murah dan sangat sesuai untuk komoditi sayur-sayuran. Udara
dingin dipakai sebagai pendingin. Udara dingin tersebut ditarik melalui pengemas dan
peti-peti yang mengenai langsung komoditi yang didinginkan. Dengan menekan udara
melalui kemasan dan sekeliling masing-masing produk, pendinginan dengan udara
bertekanan tersebut dapat mendinginkan bahan dalam waktu lebih kurang 1/4 sampai
1/10 dari lama waktu yang diperlukan untuk pendinginan kamar.
Ada beberapa metode pendinginan udara bertekanan. Salah satunya adalah
pendinginan terowongan (Tunnel cooling) yang banyak digunakan sejak lama di Afrika
Selatan dan di Amerika Serikat. Pendinginan terowongan menggunakan udara dengan
kecepatan antara 200 - 400 meter per menit. Pada permukaan buah pada saat kemasan
bahan itu bergerak melalui terowongan pada troli. Di Amerika Serikat, metode ini
sebagian besar telah diganti dengan tehnik yang memiperlakukan bahan segar dalam
wadah yang berventilasi khusus dengan menggunakan udara dengan tekanan tinggi pada
satu muka dari wadah tersebut (Gambar VI. 5.). Perbedaan tekanan antara dua muka yang
berlawanan berkisar antara 60 - 70 pascal (1 atm = 101 kPa= 760 mmHg) dan aliran
udara bervariasi antara 0,05 - 0,20 ml per menit per kg. Kecepatan pendinginan dapat
diatur dengan aliran udara dan waktu paruh pendinginan (half cooling times =Z) adalah
memungkinan antara 20-30 menit. Apabila pendinginan sudah mencukupi, produk segera
dilkeluarkan dari terowongan untuk menghindari kehilangan air yang berkelebihan.
Beberapa cara telah dikembangkan untuk mendinginkan dan melembabkan terowongan
sehingga kehilangan air selama operasi pendinginan dapat dicegah.

Gambar VI. 5. Pendinginan dengan Udara Bertekanan.

Udara ditekan melalui wadah dan produk yang terdapat di dalamnya wadah dan udara
tersebut ditarik oleh fan/kipas angin.

3. Pendinginan Hidro
Dalam pendinginan hidro, air berperan sebagai media pemindah panas merupakan
cara yang cepat untuk pendinginan produk segar karena air mempunyai kapasitas panas
yang lebih besar daripada udara. Pendinginan dengan cara ini dapat berlangsung lebih
cepat jika air kontak dengan sebagian besar permukaan bahan segar dan suhu diatur
mendekati 00C. Dalam kebanyakan sistem hidro, bahan segar digerakkan melalui
penyemprot air dingin pada konveyor yang bergerak. Dengan sisitim ini, produk menjadi
bersih, tetapi kemungkinan terjadi kontaminasi oleh mikroba apabila tanah yang terdapat
pada bahan tidak lepas. Airnya perlu dikhlorinasi. Dalam pendinginan hidro, susut berat
sangat kecil.

4. Pendinginan Kontak dengan Es


Kontak dengan es dipergunakan secara luas untuk pendinginan pendahuluan pada
buah dan sayuran dan suhunya dipertahankan selama dalam pengangkutan. Metode ini
terutama digunakan untuk produk yang mudah rusak seperti sayur-sayuran daun. Kontak
dengan es sekarang digunakan terutama sebagai suplemen pada bentuk lain pendinginan
pendahuluan . Bongkahan es kecil atau bubur es /slurry (es cair: 40 % air + 60 % es + 0,1
garam) disemprotkan pada bagian atas bahan pada kendaraan pengangkut. Hal ini disebut
top icing.
5. Pendinginan Vakum
Pendinginan vakum didasarkan pada pendinginan yang diperoleh dengan
penguapan air. Sayuran yang mempunyai rasio luas permukaan dan volume tinggi dapat
didinginkan dengan cepat dan seragam. Caranya dengan menguapkan sebagian airnya
dengan tekanan rendah. Cara ini disebut pendingin vakum dan dapat secepat pendinginan
hidro. Produk dimasukkan ke dalam wadah yang ditutup rapat dan tekanannya diturunkan
sampai 660 pascal ( 5 mmHg) Pada tekanan ini, air membuih pada suhu 1 0C dan produk
didinginkan oleh penguapan air dari permukaan jaringan. Untuk setiap penurunan suhu
5 0C, sekitar 1 persen berat produk menguap sebagai air. Susut berat ini dapat dikurangi
dengan penyemprotan produk dengan air sebelum penutupan ruangan vakum atau pada
akhir operasi pendinginan vakum ( hydrovacuum cooling ).
Pendinginan vakum sangat cocok digunakan untuk mendinginkan sayur daun dan
juga cocok untuk mendinginkan wortel, jagung manis, kubis bunga, cabai, seledri, jamur
merang, asparagus, dan lain-lainnya. Buah-buahan yang mempunyai rasio luas
permukaan dan volume rendah dan mempunyai lapisan lilin sehingga kehilangan airnya
berlangsung dengan lambat tidak cocok didinginkan dengan pendinginan vakum.
Keuntungan penggunaan pendinginan vakum adalah sebagai berikut ini:
a. Laju pendinginan berlangsung dengan cepat. Misalnya pada sayuran selada suhunya
dapat diturunkan mendekati suhu optimalnya 0 0C dalam waktu satu jam setelah
panen. Untuk produk yang sangat mudah rusak pendinginan vakum kualitasnya dapat
dipertahankan.
b. Karena terjadinya penguapan air dari tiap-tiap sel-pada produk sehingga dinginnya
produk tersebut merata.
c. Pendinginan vakum mampu mendinginkan produk yang menggunakan kemasan bagian
dalam.

6. Pendinginan dengan Penguapan


Pendinginan dengan penguapan merupakan proses pendinginan yang sederhana
dengan udara kering yang telah didinginkan dengan ditiupkan melalui permukaan buah
dan sayuran yang segar. Walaupun cara ini terbatas digunakan untuk daerah dengan
kelembaban relatif rendah, namun dengan adanya persediaan air yang berkualitas baik
cara ini mempunyai keuntungan menghemat energi. Komoditi dapat didinginkan dengan
udara dingin yang telah dilembabkan maupun dengan air yang telah dikabutkan dan
kemudian diikuti dengan mengalirkan udara kering ke buah-buahan basah. Kemampuan
udara untuk dapat didinginkan dengan penguapan dibatasi oleh kapasitas mengikat air
udara.

DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 1980. Postharvest Technology. The University of Queensland, Australia.

Haard, N.F. and D.K. Salunkhe, 1975. Symposium : Postharvest Biology and Handling of
Fruits and Vegetables. The Avi Publishing Company, Inc. Wesport, Connecticut.

Harper, H.A., V.W. Rodwell and P.A. Mayes. 1979. Review of Physiological Chemistry.
Large Medical Publications, Los Altos, California.

Hulme, A.C.. !971. The Biochemistry of Fruits and Their Products. Vol. 1 and 2.
Acadenmic Press, London and New York.

Pantastico, E.R.B. 1986. Fisiologi Pasca Panen, Penanganan dan Pemanfaatan Buah-
buahan dan Sayur-sayuran Tropika dan Sub Tropika. Penerjemah:
Prof. Ir. Kamarjani. Gadjah Mada University Press. Jogyakarta.
.
Page, David S. 1985. Prinsip-Prinsip Biokimia Penerjemah R. Soendoro. Penerbit
Erlangga, Jakarta.

Soeharsono,M. 1983. Biokimia I, II. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Tranggono dan Sutardi. 1989. Biokimia dan Teknologi Pascapanen. Pusat Antar
Universitas - Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Wills, R., B. Mc Glasson, D. Graham, and D. Joyce. 1998. Posthrvest, An Introduction to


the Physiology & Handling of Fruit, Vegetables & Ornamentals. Printed by Hyde
Park Press, Adelaide, South Australia

Wills, R.H., T.H. Lee, D. Graham, W. B. Mc. Glasson and E.G. Hall. 1981. Postharvest,
An Introduction to the Physiology and Handling of Fruit and Vegetables. New
South Wales University Press Limited, Australia.
BAB VII
KERUSAKAN FISIOLOGIS

Kerusakan fisiologis adalah kerusakan jaringan yang tidak disebabkan oleh


serangan patogen atau oleh kerusakan mekanis. Kerusakan ini dapat berkembang sebagai
respon terhadap keadaan lingkungan yang kurang menguntungkan terutama terhadap
suhu atau defisiensi zat makanan selama pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
7. 1. Kerusakan Akibat Suhu Dingin
Penyimpanan bahan segar pada suhu rendah akan menurunkan laju respirasi dan
metabolisme. Suhu penyimpanan rendah ternyata tidak menurunkan semua aspek
metabolisme sama besar. Beberapa reaksi peka terhadap suhu rendah, tetapi pada suhu di
bawah titik kritis, reaksi dapat terhenti. Pengaruh keseluruhannya adalah timbulnya
ketidakseimbangan metabolisme dan bila berlangsung cukup lama, dapat terjadi tidak
tersedianya substrat esensial atau dapat terjadi produk toksis terakumulasi dan sel akan
berhenti berfungsi dengan baik. Dapat terjadi kerusakan sel sehingga terlihat sebagai
daerah jaringan berwarna coklat. Gangguan metabolik yang berlangsung pada suhu
rendah umumnya adalah chilling injury (cacat suhu dingin) dan kerusakan fisologis.
7.2. Cacat Suhu Dingin (Chilling injury)
Cacat suhu dingin adalah kerusak pada jaringan tanaman terutama tanaman yang
berasal dari daerah tropis atau subtropis. Hal ini dapat disebabkan karena jaringan peka
pada suhu di bawah 15 0C, walaupun suhu kritis mengakibatkan gejala cacat suhu dingin
(chilling injury) bervariasi tergantung pada komoditinya.
Cacat suhu dingin berbeda dengan cacat suhu beku (freezing injury). Cacat suhu
beku adalah cacat yang disebabkan oleh karena terjadinya pembekuan pada jaringan dan
pembentukan kristal es pada suhu di bawah titik beku. Suhu terendah yang aman untuk
komoditi adalah suhu di atas suhu terendah tidak beku ( non freezing temperature ).
Pada Tabel VII , ditunjukkan gejala fisik cacat suhu dingin dan suhu paling aman
untuk penyimpanan berbagai macam buah-buahan. Gejala yang paling umum adalah
bintik-bintik pada kulit, yang biasanya diakibatkan oleh rusaknya sel-sel di bawah
permukaannya dan pada bintik-bintik tersebut terjadi perubahan warna. Kehilangan air
yang besar dapat terjadi sehingga dapat menyebabkan terjadinya perluasan bintik-bintik
tersebut. Pencoklatan daging buah merupakan tanda-tanda umum dan itu sering pertama
kali timbul di sekitar jaringan pengangkutan pada buah. Hal ini mungkin disebabkan
karena aktivitas enzim polifenol oksidase terhadap senyawa fenol yang dibebaskan dari
vakoula pada waktu pendinginan. Namun, hal ini belum dibuktikan.
Buah-buahan yang dipetik sebelum masak pematangannya tidak akan terjadi atau
lambat setelah dilakukan pendinginan. Hilangnya warna hijau pada jeruk akan
diperlambat dengan melakukan pendinginan walaupun pendinginan ini dilakukan pada
suhu yang tidak terlalu rendah. Gejala terjadinya cacat suhu dingin umumnya terjadi pada
penyimpanan suhu rendah, tetapi kadang -kadang hanya terlihat apabila komoditi ini
dipindahkan ke suhu yang lebih tinggi. Kerusakan dapat berlangsung cepat kadang-
kadang dalam waktu beberapa jam.

Tabel VII 1. Gejala cacat suhu dingin ( chilling injury ) pada beberapa macam
buah buahan (Wills et al., 1998)

Bahan segar Penyimpanan suhu Gejala


0
terendah yang aman ( C)
Apokat 5 -12 Bintik-bintik, pencoklatan pada
pulp dan jaringan vaskuler

Pisang 12 Bercak-bercak coklat pada kulit


Ketimun 7 Warna gelap banyak bagian berair
Terung 7 Busuk permukaan

Lemon 10 Bintik-bintik pada flavedo,


perwarnaan membran, dan bercak
merah
Lime 7 Bintik-bintik
Mangga 5 -12 Pencoklatan pada.areal terentu
Melon 7 -10 Bintik-bintik, busuk permukaan
Pepaya 7 Bintik-bintik berair pada tempat
tertentu
Nenas 6-10 Daging coklat atau hitam
Tomat 7-12 Bintik-bintik, serangan Alternaria.

Suhu yang tertera dalam Tabel VII. 1. menunjukkan batas bawah atau suhu kritis
saat beberapa gejala fisik cacat suhu dingin biasanya nampak. Apabila suhu ini tepat di
bawah suhu kritis, diperlukan waktu relatif lama sebelum luka itu kelihatan. Umumnya
luka akan lebih cepat dan lebih parah jika suhu tersebut semakin jauh di bawah suhu
kritis. Penyimpanan komoditi dapat dilakukan dalam waktu lebih lama pada suhu sedikit
di bawah suhu kritis karena terdapat sedikit kepekaan terhadap cacat suhu dingin.
Hubungan umur simpan pada berbagai macam suhu dan kepekaan terhadap suhu dingin
terlihat dalam Gambar VII 1.

Gambar VII. 1. Umur simpan produk pada berbagai macam suhu dengan
sensitivitas terhadap cacat suhu dingin ( chilling injury), dengan
A=tidak peka, B =sedikit peka, dan C =sangat peka (Wills et al.,
1998)

Cacat suhu dingin menyebabkan terbebasnya metabolit seperti berbagai asam


amino dan garam mineral dari sel dan bersama -sama dengan degradasi strukutur sel akan
menyebabkan tersedianya substrat yang sangat baik untuk pertumbuhan organisma
pathogen terutama fungi. Jamur dapat mengkontaminasi produk selama masa pemanenan,
transportasi, dan pada waktu pemasaran. Dalam penyimpanan dingin, dapat terjadi
penyimpangan citarasa atau dapat terjadi bau menyimpang. Kompleknya gejala
menunjukkan banyak faktor yang mempengaruhi cacat suhu dingin.
Cara pengendalian terhadap cacat suhu dingin adalah menetapkan suhu kritis
untuk perkembangannya dalam buah-buahan tertentu dan komoditi tersebut tidak
diperlakukan terhadap suhu di bawah suhu kritis. Perlakuan hanya dilakukan dalam
waktu yang pendek terhadap suhu dingin dan diikuti dengan penyimpanan pada suhu
yang lebih tinggi dapat mencegah bertambahnya cacat suhu dingin. .
7. 3. Mekanisme Cacat Suhu Dingin
Pengaruh utama suhu pada membran sel tanaman adalah pada fluiditas lipida
membran. Lipida membran yang dalam keadaan cair pada suhu tinggi berubah menjadi
seperti gel dan immobil di bawah suhu kritis. Hal ini mempengaruhi sifat-sifat membran,
terutama aktivitas membran yang berkaitan dengan enzim yang terlibat dalam produksi
energi (ATP) dan sintesis protein. Pengaruh ini berlangsung pada suhu sekitar 10 - 15 0C
bagi sebagian besar komoditi daerah tropis. Untuk jenis-jenis komoditi daerah dingin,
pengaruh ini berlangsung pada suhu yang lebih rendah ( 0 - 5 0C ). Menurut Wills et al.,
(1981), aspek cacat suhu dingin dapat dijelaskan sebagai berikut ini:
1. Meskipun pengaruh suhu rendah pada fluiditas membran berlangsung cepat,
namun gejala cacat suhu dingin memerlukan waktu ber jam-jam bahkan beberapa
bulan agar terlihat. Namun ada juga yang terlihat setelah periode berikutnya
ketika komoditi tersebut ditempatkan pada suhu yang lebih tinggi.
2. Perkembangan cacat suhu dingin suhunya tidak selalu sama dengan suhu kritis
3. Pengaruh suhu terhadap membran adalah cepat dan reversibel (bolak balik) dalam
arti bahwa membran akan berubah dari keadaan cair (pada suhu lebih tinggi)
menjadi gel (pada suhu yang lebih rendah) dan kembali ke keadaan cair dengan
menurunkan dan menaikkan suhunya. Sebaliknya, pengembangan cacat suhu
dingin umumnya bersifat irreversibel dan merupakan fungsi dari lama waktu pada
suhu dingin.
Cacat suhu dingin dapat pula terjadi karena terbentuknya senyawa toksis seperti
etanol dan asetaldehida yang terakumulasi pada suhu rendah dan mengakibatkan
kerusakan sel. Senyawa itu terbentuk karena ketidakmampuan enzim yang terikat pada
membran dalam mitochondria. Apabila tanaman memiliki sistem metabolisme yang baik,
maka akumulasi senyawa toksis dapat dicegah sehingga tanaman tersebut mampu hidup
dalam waktu lama pada suhu di bawah suhu batas.

7. 4. Kerusakan Fisiologis
Kerusakan fisiologis dapat terjadi pada semua produk. Telah dilakukan penelitian
terhadap buah apel, pear, dan buah batu dan sebagian besar buah jeruk telah
menunjukkan terjadinya kerusakan fisiologis setelah dilakukan penyimpanan. Sebagian
besar penyebab terjadinya kerusakan fisiologis adalah pengelolaan suhu yang tidak tepat
atau defisiensi nutrien selama tejadinya pertumbuhan dan perkembangan. Mudahnya
produk mengalami kerusakan fisiologis tergantung antara lain pada ;
• varietas,
• kematangan produk pada waktu panen,
• cara bercocok tanam,
• keadaan iklim selama pertumbuhannya,
• ukuran hasil panen, dan
• cara pemanenan.
Untuk mencegah meluasnya kerusakan, dapat dilakukan pengidentifikasian buah
yang peka terhadap kerusakan agar tidak ikut disimpan terutama penyimpanan dalam
waktu yang lama. Akan tetapi, pasar sering menghendaki buah yang rentan terhadap
kerusakan misalnya buah apel Jonathan. Konsumen memilih buah apel Jonathan yang
besar dan dengan warna merah yang intensif, tetapi buah ini tidak tahan terhadap cacat
suhu rendah. Karena itu, perlu dikembangkan metode yang menjamin bahan yang peka
dapat disimpan untuk memenuhi permintaan konsumen.
Kerusakan fisiologis buah apel telah diteliti secara lebih intensif jika
dibandingkan dengan buah lainnya Dalam Tabel VII. 2, terlihat terjadinya kerusakan
fisiologis dan gejala-gejalanya, sedangkan Tabel VII 3 memperlihatkan kerusakan
fisiologis pada buah buahan lainnya selain apel.

Tabel VII. 2. Beberapa kerusakan fisiologis buah apel ( Wills et al., 1998)
Kerusakan Gejala
Bercak cekung dangkal Pewarnaan kulit yang sedikit cekung dapat
berpengaruh pada buah keseluruhan

Luka bakar matahari Warna coklat sampai hitam pada daerah yang
rusak karena sinar matahari selama pertumbuhan
Kerusakan senescence Coklat, daging buah bertepung, terdapat pada buah
lewat masak, dan disimpan terlalu lama.

Kerusakan suhu rendah Pada kortek terjadi pencoklatan

Bercak lunak atau dalam Lunak, cekung, coklat sampai berwarna hitam
pada bagian permukaan tertentu dan meluas
sampai pada bagian dalam daging buah.

Bintik Jonathan Terjadi pada suhu tinggi, bintik dangkal pada lenti
sel

Noda senescen Noda dangkal abu-abu pada buah yang disimpan


terlalu lama.

Bagian pusat coklat Pencoklatan pada bagian tengah buah.

Bagian pusat berair Terdapat bagian tembus sinar dalam daging buah,
dapat menjadi coklat selama penyimpanan.

Hati coklat Terdapat bagian yang jelas dalam daging buah


berwarna coklat dan dapat berkembang menjadi
lubang.

Pada buah apel yang suhunya diturunkan dari 3 0C menjadi 00C, terjadi noda
lunak. Untuk mencegahnya, dapat dilakukan selama pertengahan periode penyimpanan,
0
peningkatan suhu menjadi 20 C selama beberapa hari dan kemudian buah itu
dikembalikan pada suhu rendah. Masalah yang timbul dalam penyimpanan ialah jika
terjadi kenaikan suhu ruang penyimpanan, dapat terjadi peningkatan respirasi sehingga
mengakibatkan umur simpan bahan tersebut lebih pendek.

Tabel VII. 3. Beberapa kerusakan fisiologis pada buah-buahan


selain buah apel ( Wills et al., 1998)

Peoduk Kerusakan Gejala


Buah pear Tengah coklat --Bagian tengah coklat, lembek
pada buah yang disimpan terlalu
lama
Kerusakan bagian leher, --Pewarnaan coklat sampai hitam
kerusakan vaskuler pada jaringan vaskuler yang
menghubungkan batang dan bagian
tengah.

Noda permukaan --Bercak berwarna abu-abu sampai


coklat pada buah yang disimpan .

Noda pada penyimpanan --Berwarna coklat pada kulit pada


lama buah yang disimpan lama

Hati coklat --Sama seperti pada buah apel

Anggur Noda simpan --Pewarnaan coklat seperti pada


varietas anggur putih

Jeruk Bintik simpan --Bintik berwarna coklat terendam


di bawah permukaan.

Noda dingin --Noda dangkal berwarna abu-abu


sampai coklat.-

Pencoklatan ujung batang --Bagian berkerut dekat ujung


batang berwarna coklat

Peach Mirip wool --Terdapat bagian kering yang


berwarna coklat.

Plum Penyimpanan dingin -Coklat, bersifat gelatin pada kulit


dan daging buah yang rusak

Penyimpanan buah apel dalam udara yang terkendali dapat menurunkan


kerusakan pada bagian tengah dan bagian daging buah. Akan tetapi, dalam beberapa hal,
itu justru dapat meningkatkan kerusakan. Penyimpanan dalam ruang tertutup dengan
atmosfer terkendali di dalamnya dapat menyebabkan kelembaban tinggi, terhambatnya
laju respirasi, dan terakumulasinya senyawa volatil pada buah. Kondisi yang demikian ini
mempercepat terjadinya kerusakan buah apel. Penyimpanan dengan udara terkendali
dengan menggunakan konsentrasi karbondioksida tinggi dapat menimbulkan kerusakan
pada buah apel. Sebaliknya, penyimpanan dengan kadar oksigen rendah dapat
menimbulkan cita rasa alkohol karena terjadinya metabolisme anaerobik dan terjadi
pencoklatan pada jaringan.
Cacat yang terjadi pada kulit buah umumnya tidak dikehendaki oleh konsumen
sedangkan yang terjadi pada bagian dalam buah masih dapat ditoleransi karena pada
waktu mengkonsumsi buah tidak mempermasalahkan adanya sedikit pencoklatan pada
bagian dalam buah. Buah nenas segar yang mengalami kerusakan fisiologis ditandai oleh
terbentuknya bintik-bintik berair pada pangkal buah dekat dengan inti buah. Bintik -
bintik ini dapat membesar dan berubah warna menjadi kecoklatan. Semakin meningkat
terjadinya kerusakan bintik bintik menjadi lebih gelap dan dapat menyatu menjadi masa
hitam pada pusat buah. Bercak coklat endogen dapat berkembang dalam buah bila suhu
dingin.
Kerusakan buah mangga dapat terjadi pada bagian dalam, jaringan yang seperti
spon atau lunak. Gangguan ini baru dapat terlihat setelah buah dibelah dua baik pada
buah yang belum masak maupun buah yang sudah matang. Jaringan yang rusak ditandai
oleh warna kuning pucat, teksturnya lunak dengan rasa yang dikehendaki. Penyebab
kerusakan ini belum diketahui.
Bila cara-cara pengendalian yang memuaskan tidak tersedia, maka untuk
mencegah kerusakan fisiologis bagi buah-buahan yang peka terhadap suhu tinggi, dapat
dilakukan penyimpanan pada suhu 30 - 5 0C. Namun beberapa di antaranya dapat
disimpan pada suhu di atas 5 0C.

7. 5. Kerusakan Karena Defisiensi Mineral


Buah dan sayuran sering menunjukkan berbagai macam gejala pencoklatan yang
disebabkan karena kekurangan beberapa macam mineral pada komoditi segar. Kerusakan
ini dapat dicegah dengan memberikan mineral-mineral tertentu yang diperlukan, baik
selama pertumbuhan maupun setelah panen walaupun peran mineral dalam pencegahan
kerusakan belum jelas diketahui. Tanaman memerlukan adanya keseimbangan mineral
dan apabila tanaman kekurangan salah satu mineral esensial tertentu, maka terjadi
pertumbuhan tidak normal. Kondisi demikian ini akan berpengaruh terhadap buah
maupun sayuran yang merupakan bagian dari tanaman tersebut.
Defisiensi kalsium sering dikaitkan dengan kerusakan yang lebih besar daripada
kerusakan karena kekurangan mineral yang lain. Beberapa contoh kerusakan tersebut
terlihat pada Tabel VII 4.
Tabel VII. 4. Kerusakan yang berkaitan dengan defisiensi kalsium pada buah dan sayur-
sayuran

Komoditi Kerusakan
Apel Lubang, pewarnaan lentisel, noda, pecah, retak,
kerusakan pada suhu rendah, kerusakan pada
bagian dalam, kerusakan pada senescens, noda pada
apel jenis Jonathan dan berair pada bagian dalam.

Apokat Noda pada bagian ujung


Kara buncis Nekrosis pada hipokotil
Brussel sprout Pencoklatan pada bagian dalam
Kobis Pencoklatan pada pucuk bagian dalam
Kobis cina Pencoklatan pada pucuk bagian dalam
Wortel Noda berlobang, pecah
Seladri Hitam bagian dalam
Cherry Retak
Chicory Hitam bagian dalam pencoklatan pucuk
Escarole Hitam bagian dalam pencoklatan pucuk
Selada Pencoklatan pucuk
Mangga Pelunakan bagian ujung
Parsnip Noda-noda
Pear Noda
Lombok Busuk pada ujung
Strawberry Pencoklatan pada bagian ujung
Tomat Busuk bagian ujung, biji hitam, retak
Semangka Busuk bagian ujung.

Kalsium berkaitan dengan zat pektat yang terletak di lamella tengah dan dengan
membran sel dapat mencegah terjadinya kerusakan oleh karena memperkuat komponen-
komponen struktur sel. Senyawa toksis sering menyebabkan kerusakan sel sehingga
diperlukan konsentrasi kalsium yang lebih tinggi. Penyemprotan kalsium pada buah apel
dapat mengurangi terjadinya kerusakan/pecahnya lentisel pada buah yang disimpan.
Pecahnya lentisel berarti rusaknya daging buah pada lentisel tersebut dan terjadinya
pencoklatan dengan diameter sekitar 3 -4 mm.
Peran kalsium seperti halnya mineral lain tidak diketahui dengan jelas, tetapi
sangat penting untuk dinding sel dan kekurangan kalsium akan menyebabkan terjadinya
kelunakan pada buah. Menurut Doesburg (1957) dalam Hulme (1970), fraksi kalsium
tidak larut dalam alkohol tetapi pektin yang disimpan lama larut dalam alkohol.
Selanjutnya, dikatakan bahwa beberapa kalsium akan terbebaskan semasa terjadinya
kerusakan dinding sel.
Kekurangan boron pada buah apel menyebabkan kondisi buah yang kurang baik
yang disebut sebagai gabus internal. Keadaan ini ditandai dengan berlubangnya daging
buah. Kerusakan gabus internal dapat dicegah dengan penyemprotan boron.
Metabolisme abnormal dapat terjadi apabila kandungan kalium terlalu tinggi atau
terlalu rendah. Kalium tinggi berkaitan dengan terjadinya lubang pada buah apel sehingga
K maupun Ca rendah berkorelasi dengan perkembangan lubang. Kalium rendah
mempunyai hubungan dengan perubahan pematangan tomat dan dapat menghambat
timbulnya warna merah penuh pada buah tomat karena terjadinya penghambatan
biosintesis likopen.
Injeksi tembaga, besi, dan kobalt pada buah tomat menimbulkan gejala serupa
dengan cacat suhu dingin dan noda cekung dangkal pada permukaan buah, tetapi tidak
selalu berarti bahwa mineral-mineral ini mempunyai peran dalam pengembangan
kerusakan pada buah apel secara alami. Logam berat terutama Cu berperan sebagai
katalisator dalam sistem enzim yang menyebabkan pencoklatan enzimatik.

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. 1980. Postharvest Technology. The University of Queensland, Australia.

Haard, N.F. and D.K. Salunkhe, 1975. Symposium : Postharvest Biology and Handling of
Fruits and Vegetables. The Avi Publishing Company, Inc. Wesport, Connecticut.

Harper, H.A., V.W. Rodwell and P.A. Mayes. 1979. Review of Physiological Chemistry.
Large Medical Publications, Los Altos, California.

Hulme, A.C.. !971. The Biochemistry of Fruits and Their Products. Vol. 1 and Vol. 2.
Acadenmic Press, London and New York.
Pantastico, E.R.B. 1986. Fisiologi Pasca Panen, Penanganan dan Pemanfaatan Buah-
buahan dan Sayur-sayuran Tropika dan Sub Tropika. Penerjemah :
Prof. Ir. Kamarjani. Gadjah Mada University Press. Jogyakarta.
.
Tranggono dan Sutardi. 1989. Biokimia dan Teknologi Pascapanen. Pusat Antar
Universitas - Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Wills, R., B. Mc Glasson, D. Graham, D. Joyce. 1998. Posthrvest, An Introduction to the


Physiology & Handling of Fruit, Vegetables & Ornamentals. Printed by Hyde
Park Press, Adelaide, South Australia

Wills, R.H., T.H. Lee, D. Graham, W. B. Mc. Glasson and E.G. Hall. 1981. Postharvest,
An Introduction to the Physiology and Handling of Fruit and Vegetables. New
South Wales University Press Limited, Australia.
BAB VIII
ATMOSFER PENYIMPANAN

Proses penyimpanan dengan udara terkendali mungkin merupakan cara yang


sangat baik dalam penyimpanan buah dan sayur-sayuran sejak penggunaan pendinginan
mekanik. Pengaturan konsentrasi oksigen dan karbon dioksida dapat memperpanjang
umur simpan. Sangat baik sekali bila itu dikombinasikan dengan pendinginan yang dapat
menghambat kegiatan respirasi dan dapat menunda pelunakan, penguningan, perubahan
mutu, dan proses perombakan lainnya dengan mempertahankan atmosfer yang
mengandung lebih banyak CO2 dan lebih sedikit O2.
Udara atau atmosfer terkendali (Udara Terkendali =UT) merupakan istilah
untuk penambahan CO2, penurunan O2, dan kandungan N2 tinggi jika dibandingkan
dengan udara biasa. Lebih lanjut, istilah udara atau atmosfer termodifikasi (Udara
Termodifikasi = UM) digunakan bila komposisi atmosfer penyimpanan tidak
dikendalikan dengan ketat misalnya dalam kemasan plastik di mana perubahan komposisi
atmosfer timbul sesuai dengan tujuan maupun tidak. Istilah yang ketiga adalah
penyimpanan dengan gas merupakan istilah yang kurang tepat digunakan. Apabila
menggunakan satu jenis gas saja, lebih tepat bila disebutkan gas yang bersangkutan.
Misalnya, bila udara biasa diganti dengan 100 % N2, maka metoda itu disebut
“penyimpanan dalam nitrogen.” Penyimpanan dalam hampa udara parsial atau hipobarik
adalah cara penyimpanan dalam udara terkendali yang ditekankan pada penurunan
tekanan pada bahan yang disimpan. Cara ini tidak hanya mengurangi konsentrasi O2,
tetapi mempercepat difusi C2H4 (etilen) keluar dari jaringan buah sehingga buah dapat
diperpanjang umur simpannya.

8. 1. Pengaruh Metabolik Udara Terkendali


Penyimpanan dalam udara terkendali sangat mempengaruhi respirasi. Udara
terkendali mempengaruhi respirasi dalam tiga tingkat, yaitu respirasi aerobik, anaerobik
dan kombinasi keduanya. Respirasi aerob dengan adanya oksigen menghasilkan karbon
dioksida dan air, sedangkan respirasi anaerobic yang berlangsung tanpa adanya oksigen
menghasilkan karbon dioksida dan etil alkohol. Jika kadar oksigen sedikit, kedua bentuk
respirasi berlangsung dan tergantung pada besarnya konsentrasi relatif oksigen.
Selanjutnya, bila oksigen habis, berlangsung respirasi anaerobik.
Peningkatan konsentrasi karbon dioksida dan penurunan konsentrasi oksigen
berpengaruh besar terhadap respirasi dan reaksi metabolik lainnya. Pada umumnya
konsentrasi oksigen harus diturunkan sampai kurang dari 10 persen sebelum
penghambatan respirasi tercapai. Untuk menghambat laju respirasi sebesar 50 persen
pada buah apel yang disimpan pada suhu 50C, dapat dilakukan penurunan kadar oksigen
menjadi sebesar 2,5 persen. Dalam penyimpanan ini, oksigen dalam jumlah kecil tetap
dipertahankan agar tidak terjadi respirasi anaerob yang dapat menimbulkan citarasa yang
menyimpang.
Besarnya penurunan konsentrasi oksigen agar terjadi penghambatan respirasi
tergantung pada suhu penyimpanan. Penurunan suhu memerlukan konsentrasi oksigen
yang lebih rendah. Tingkat kritis oksigen saat respirasi anaerob berlangsung ditentukan
terutama oleh laju respirasi sehingga lebih besar pada suhu yang lebih tinggi. Toleransi
terhadap kadar oksigen yang rendah bervariasi tergantung pada komoditasnya. Kadar
kritis oksigen ini juga bervariasi dengan lamanya waktu; kadar yang lebih rendah
mempunyai toleransi terhadap waktu yang lebih pendek. Hal ini juga dipengaruhi oleh
kadar karbon dioksida. Kadar oksigen yang lebih rendah mempunyai toleransi yang lebih
baik apabila karbon dioksida tidak ada atau kandungannya kecil.
Panambahan karbon dioksida dalam jumlah beberapa persen saja ke dalam udara
pada penyimpanan akan berpengaruh yang sangat besar terhadap respirasi. Kandungan
karbon dioksida yang terlalu tinggi mempunyai pengaruh seperti yang disebabkan oleh
anaerobiosis (kekurangan oksigen). Respon terhadap peningkatan kadar karbon dioksida
bervariasi bahkan lebih besar daripada respon terhadap penurunan oksigen. Buah cherry
dan strawberry yang disimpan dalam udara dengan kadar karbon dioksida 30 persen,
lebih tahan pada penyimpanan dalam waktu pendek. Nampaknya banyak sayuran
mempunyai respon terbaik terhadap oksigen rendah jika karbon dioksida dipertahankan
pada kadar rendah atau tidak ada sama sekali.
Data percobaan menunjukkan bahwa buah pisang yang disimpan dalam udara
yang tersusun dari 5 persen karbon dioksida, 3 persen oksigen dan 92 persen nitogen
tanpa adanya etilen mempunyai peningkatan umur simpan dua belas kali daripada dalam
udara biasa. Peningkatan umur simpan yang besar itu disebabkan karena terjadinya
penurunan laju pembentukan etilen alami oleh buah pisang.
Pada sayuran warna hijau, peningkatan ketahanan warna hijau pada kadar
oksigen udara yang rendah dalam udara diakibatkan oleh rendahnya laju kerusakan
khlorofil pada kondisi tersebut. Menurut Hill (1913) dalam Pantastico (1986), laju
respirasi buah persik tidak kembali normal setelah disimpan dalam karbon dioksida
dalam beberapa hari. Namun, menurut Mc Kenze (1931) dalam Pantastico (1986). pada
selada dengan peningkatan karbon dioksida selama penyimpanan, laju pembebasan
karbon dioksida berkurang. Apabila kandungan oksigen selama waktu peralihan
diturunkan dibawah tingkat udara atmosferik biasa, laju respirasi buah-buahan seperti
buah anggur, pear, dan plum berkurang. Bila brokoli disimpan pada suhu 75 0F dengan
berbagai konsentrasi oksigen terutama bila oksigennya diturunkan dari 20,9 % sampai 0
%, terrjadi penurunan respirasi. Menurut Young et al (1975) dalam Pantastico (1986),
karbondioksioda menunda permulaan peningkatan respirasi pada buah apokat dan
menurunkan laju penyerapan oksigen pada puncak klimakterik. Selanjutnya, dikatakan
bahwa penurunan oksigen dapat menunda klimakterik dengan penurunan jumlah ATP
yang tersedia untuk sintesis.

8. 2. Pengaruh terhadap Pertumbuhan Mikroba


Apabila kadar karbon dioksida diturunkan menjadi 10 persen atau lebih, aktivitas
mikroba pembusuk akan menurun asalkan pada konsentrasi tersebut komoditi tidak
mengalami kerusakan. Banyak peneliti menunjukkan bahwa konsentrasi karbon dioksida
yang tepat dapat menghambat perkecambahan dan pertumbuhan beberapa jenis jamur
yang menyerang buah-buahan dalam penyimpanan, seperti Rhizopus, Botrytis dan
Trichothecium (Paulin, 1966 dalam Pantastico, 1986). Banyak komoditi tidak
mempunyai toleransi terhadap konsentrasi karbon dioksida tinggi sehingga udara
terkendali tidak selalu dapat mencegah kerusakan komoditi. Pengaturan karbon dioksida
dan oksigen menghambat terjadinya pematangan dan senescence sehingga dapat
mengurangi terjadinya kerusakan, karena buah yang mengalami pematangan dan penuaan
peka terhadap patogen. Beberapa macam buah seperti buah pisang dan mangga
mempunyai respon yang baik terhadap udara terkendali, tetapi peka terhadap penyakit
anthranose sehingga umur simpannya menjadi sangat terbatas.
Buah strawberry mempunyai toleransi terhadap kadar karbon dioksida tinggi
sehingga dalam pengangkutannya dilakukan pengaturan udara sehingga dapat
menurunkan kerusakan dan memperpanjang umur pemasaran dan kualitas (Tabel VIII.
1.).

Tabel VIII. 1. Kerusakan strawberry akibat konsentrasi karbon dioksida (Wills et al.,
1998)

Kondisi Penyimpanan Strawberry rusak (%)


Udara 0% 10 % CO2 20 % CO2 30 % CO2
CO2
3 hari pada 5o C dalam 11,4 4,5 1,7 1,3
atmosfer penyimpanan
Ditambah 1 hari pada 35,4 8,5 4,7 4,0
15o C dalam udara
Ditambah 2 hari pada 64,4 26,2 10,8 8,3
15o C dalam udara

8. 3. Metode Memodifikasi CO2 dan O2


Komposisi penyimpanan umumnya diatur dalam kisaran karbon dioksida 2-5
persen dan oksigen 11-16 persen. Penimbunan karbon dioksida merupakan faktor yang
dapat meningkatkan umur simpan. Ruang penyimpanan diventilasi secara teratur
sehingga akan dapat mempertahankan konsentrasi karbon dioksida tersebut. Kadar
oksigen rendah lebih menguntungkan tetapi beberapa macam buah seperti buah apel dan
pear sensitif terhadap kadar karbon dioksida diatas 3 persen. Untuk mempertahankan
kadar oksigen rendah dalam penyimpanan perlu untuk membuat gudang pendinginan
yang kedap gas dan mensirkulasikan sebagian udara gudang melalui penyerap untuk
mengurangi kelebihan karbon dioksida. Gudang hendaknya rapat untuk mengurangi
terjadinya kondensasi pada isolasi dalam kondisi kelembaban relatif tinggi yang
dibutuhkan dalam penyimpanan bahan segar.
Perkembangan menggunakan generator ekternal telah meningkatkan penggunaan
udara terkendali dalam penyimpanan bahan segar. Generator ini membakar bahan bakar
seperti gas propana atau petroleum dan dengan cepat mengurangi oksigen dalam gudang
sampai pada kadar yang dikehendaki yang kemudian dipertahankan dalam kadar tersebut.
Kelebihan karbon dioksida dipisahkan dengan menggunakan alat penyerap (scrubber).
Dengan perkembangan desain dan operasi gudang pendingin maka dapat dicapai
atmosfer oksigen rendah dan lebih efektif yaitu mengandung 2-5 persen karbon dioksida
dan oksigen 2- 3 persen dan itu dapat dicapai dengan mudah dan cepat.

8. 4. Pengendalian Udara dengan Nitrogen Cair dan Karbon dioksida Padat


Dewasa ini, banyak orang tertarik pada pengendalian udara untuk transportasi
jarak jauh bagi komoditi yang mudah rusak. Salah satu faktor yang mempengaruhinya
adalah tersedianya alat tersebut dibanyak negara dan karena di Amerika Serikat nitrogen
cair harganya murah. Penggunaan nitrogen cair sebagai refrigeran dalam tansportasi
komoditi yang mudah rusak telah menstimulasi penggunaan 100 persen nitrogen dan
kadar oksigen yang rendah untuk buah dan sayuran, baik pada suhu dingin maupun pada
suhu yang lebih tinggi.
Selada dan buah strawberry tahan beberapa hari dalam 100 persen nitrogen pada
suhu 0 0C, tetapi untuk sayuran bayam mempunyai citarasa pahit sesudah 4 hari. Pisang
hijau dan buah tomat yang disimpan dalam 100 persen nitrogen pada suhu 15 0C selama
4 - 7 hari tidak mengalami pematangan dan sesudahnya juga tidak mengalami
pematangan walaupun ditempatkan dalam udara pada suhu 21 0C. Pisang hijau dan tomat
itu tahan pada kadar oksigen 1 persen dan nitrogen 99 persen seperti halnya pada buah
peach, tetapi pematangan berikutnya terhambat. Ryall ( 1963) dalam Wills et al ( 1998)
menyimpulkan bahwa pendinginan dengan nitrogen cair dalam serana pengangkutan di
jalan raya tidak merusak kebanyakan bahan segar, karena untuk mencapai bebas oksigen
sulit dan dengan kadar oksigen 1 persen sudah cukup untuk mempertahankan komoditi
dalam keadaan segar untuk beberapa hari.

8. 5 Penyimpanan Dalam Plastik


Penggunaan lapisan plastik untuk memperoleh udara terkendali tidak hanya dalam
kemasan tetapi juga dalam gudang penyimpanan. Kotak polietilen yang terbuka maupun
tertutup telah sejak lama digunakan untuk penyimpanan buah pear, apel, dan buah-
buahan lain. Kantong yang tertutup maupun yang dilubangi umumnya digunakan untuk
mengurangi susut berat dan mengurangi kerusakan luka lecet. Penggunaan kantong yang
tertutup rapat menghadapi masalah utama, yaitu udara yang terdapat di dalamnya
tergantung pada suhu; permeabelitas plastik terhadap gas tidak tergantung pada suhu
sedangkan bahan segar respirasinya dipengaruhi oleh suhu. Apabila suhu didalam
kantong plastik yang tertutup rapat bervariasi beberapa derajat akan terjadi resiko besar,
kecuali komoditi di dalam kantong tersebut laju respirasinya rendah atau toleran terhadap
konsentrasi karbon dioksida dan oksigen yang bervariasi besar. Umumnya lapisan plastik
yang digunakan adalah polietilen densitas rendah yang mempunyai ketebalan 0,04 mm
(0,0015 inchi). Untuk mencegah noda coklat dan luka akibat karbon dioksida, kapur
kering dapat dimasukkan ke dalam kantong tersebut untuk mengurangi konsentrasi
karbon dioksida yang terdapat di dalamnya; diberikan sebesar 100 200 gram per 10 kg
buah, misalnya untuk buah pear dan apel yang sensitif terhadap karbon dioksida dalam
gudang pendinginan.
Kantong plastik yang telah diisi dengan produk segar untuk mempercepat
tercapainya udara terkendali dapat dilakukan dengan menurunkan tekanan antara 50
sampai 80 kilopascal (380- 635 mmHg) kemudian ditutup rapat. Karena kantong plastik
polietilen permeabel terhadap nitrogen, oksigen, dan karbon dioksida maka tekanan di
dalam kantong akan kembali ke tekanan atmosfer, namun pengurangan konsentrasi
oksigen awal dengan cepat biasanya lebih menguntungkan. Kadang-kadang komposisi
udara tersebut dapat dicapai tanpa melakukan pengurangan tekanan. Agar buah-buahan
mencapai masak yang normal, dapat dilakukan dengan mengeluarkan buah itu dari
kantong plastik. Apabila penyimpanan dilakukan dalam waktu lama dalam udara
termodifikasi, setelah dikeluarkan dari kantong plastik tidak akan terjadi pematangan
secara memuaskan.

8. 6. Penyimpanan Hipobarik
Penyimpanan hipobarik merupakan sebuah bentuk penyimpanan dengan udara
terkendali dimana bahan segar disimpan dalam keadaan vakum parsial. Ruangan vakum
diventilasi secara kontinyu dengan udara jenuh uap air untuk mempertahankan kadar
oksigen dan untuk mengurangi kehilangan air. Pematangan buah-buahan dihambat oleh
penyimpanan hipobarik karena terjadi penurunan tekanan parsial oksigen. Untuk
beberapa macam buah karena terjadinya penurunan etilen. Penurunan tekanan udara
sebesar 10 kilopascal (0,1 atmosfer) equivalen dengan penurunan oksigen sekitar 2 %
pada tekanan normal. Tempat penyimpanan hipobarik mahal karena tidak mudah
mempertahankan tekanan internal yang rendah.

8. 7. Etilen
8. 7. 1.Pengaruh terhadap buah dan sayur-sayuran
Mulanya diketahui pematangan buah secara alami pada buah klimakterik ditandai
oleh peningkatan produksi etilen. Perlakuan buah-buahan pada tahap sebelum klimakterik
dengan pemberian etilen dari luar menyebabkan saat terjadinya pematangan menjadi
lebih awal. Respon ini banyak digunakan dalam praktek komersial untuk mengendalikan
proses pematangan buah-buahan seperti misalnya pada buah pisang. Akan tetapi,
aktivitas etilen dihindari untuk buah-buahan selama waktu penyimpanan dan transportasi
untuk mencegah terjadinya pematangan awal. Sebaliknya pengaruh etilen pada buah dan
sayur-sayuan non klimakterik akan menurunkan kualitas pascapanennya yaitu hilangnya
warna hijau, perubahan tekstur dan citarasa, dan mudah mengalami cacat suhu dingin
yang memicu serangan mikroba.
Etilen yang dihasilkan oleh buah-buahan lain atau sumber luar lainnya dapat
terakumulasi dalam ruang penyimpanan yang berisi buah-buahan yang belum matang. Ini
akan menyebabkan buah tersebut matang sebelum waktunya. Saat pemasaran, beberapa
jenis komoditi disimpan bersama-sama sehingga komoditi yang membentuk etilen dapat
berpengaruh kurang baik terhadap komoditi yang lain. Gas dari batubara, bensin, dan gas
yang dikeluarkan oleh mesin mengandung etilen dan mengkontaminasi buah-buah yang
disimpan sehingga memacu terjadinya pematangan dan senescen sehingga dapat
menurunkan umur simpan komoditas.

8.7.2. Menghindari akumulasi etilen


Penurunan kadar etilen dalam ruang penyimpanan dapat tercapai dengan baik
jika penyimpanan buah yang masak dan belum masak disimpan dalam ruangan terpisah.
Secara teratur bahan yang rusak dihilangkan. Selain itu dijaga agar pipa gas, silender gas
dan gas yang dikeluarkan oleh motor bakar ditempatkan jauh dari ruang penyimpanan.
Metode fisik sederhana untuk mengurangi akumulasi etilen adalah adanya
ventilasi yang baik pada ruang penyimpanan dengan udara dari luar penyimpanan.
Konsentrasi etilen dalam atmosfer normalnya kurang dari 0,005 ul /l, kecuali bila ada
kontaminasi dari industri sekitarnya atau dari lalu lintas mobil yang padat. Ventilasi
dengan udara luar dapat dilakukan jika tidak terdapat perbedaan suhu yang besar antara
udara di dalam dan di luar ruangan. Bila suhu udara di luar lebih besar perlu dilakukan
pendinginan terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam ruang penyimpanan.

8. 7. 3. Oksidasi dengan Kalium Permanganat


Etilen dalam udara dapat dioksidasi menjadi karbon dioksida dan air dengan
menggunakan kalium permanganat (KMnO4). Kalium permanganat adalah senyawa tidak
mudah menguap dan dapat diletakkan terpisah dari bahan segar sehingga dapat
meniadakan resiko kerusakan komoditi oleh zat kimia ini. Untuk menjamin terjadinya
oksidasi etilen secara efisien, luas permukaan kalium permanganat perlu diperbesar. Hal
ini dapat dilakukan dengan jalan melapisi bahan anorganik inert dan berongga seperti
alumina atau mika dengan larutan kalium permanganat jenuh. Kalium permanganat ini
dapat digunakan untuk menghambat pematangan buah-buahan. Dalam Tabel VIII. 2.
menunjukan keuntungan yang diperoleh pada buah pisang apabila kalium permanganat
digunakan bersama dengan udara termodifikasi dalam kantong polietilen.

Tabel VIII. 2. Umur simpan pisang yang disimpan pada suhu 20 0C


dalam udara termodifikasi dengan kalium permanganat (Wills et al.,
1998).

Perlakuan Umur simpan ( hari )


Udara ( kontrol) sampai 7 hari
Kantong polietilen yang tertutup rapat 14
Kantong polietilen yang tertutup rapat +
kalium permanganat 21
Udara dengan kadar karbon dioksida tinggi dan kadar oksigen rendah yang
terbentuk dalam kantong tertutup rapat menurunkan respon buah buahan terhadap etilen
sehingga pematangannya dapat terhambat. Penambahan kalium permanganat akan
mempertahankan konsentrasi etilen tetap rendah sehingga umur simpan buah dapat
diperpanjang. Cara ini telah digunakan untuk menunda pematangan tandan utuh pisang
selama pertumbuhan pada tanamannya.

8.7. 4. Oksidasi dengan Ozon


Ozon (O3) merupakan oksidator untuk memecah etilen dan ozon ini dapat
terbentuk langsung dari oksigen udara dengan tenaga listrik atau radiasi ultraviolet.
Karena ozon ini berupa gas maka mudah bercampur dengan etilen. Suatu jenis oksidan
mungkin suatu kombinasi ozon dengan atom oksigen, suatu radikal bebas yang sangat
reaktif terbentuk dari ozon. Penggunaan ozon harus secara hati-hati karena merupakan
bahan reaktif yang dapat menyebabkan korosi pipa logam dan penyambungannya. Di
samping itu, ozon juga dapat bereaksi dengan produk kertas yang digunakan untuk
pengemasan dan dapat menyebabkan kerusakan bahan segar dan dapat bersifat toksis
pada manisia dalam konsentrasi yang relative rendah. Penggunaan ozon telah
menimbulkan kesukaran dalam mengendalikan konsentrasinya. Masalah ini dapat diatasi
dengan menggunakan sistem perputaran kembali (recycling system) seperti pada Gambar
VIII. 1.
Dalam wadah, ozon dihasilkan dengan menggunakan radiasi ultraviolet. Udara
yang mengadung etilen dialirkan ke dalam ruangan sehingga etilen teroksidasi dan ozon
yang terbentuk tereduksi dalam suatu substrat seperti misalnya wool baja. Beberapa
penyerap utraviolet komersial ukuran kecil telah diproduksi tetapi tidak digunakan secara
luas.
Gambar VIII. 1. Sistem untuk menghilangkan etilen dengan atom oksigen
yang ditimbulkan oleh radiasi Ultraviolet (Wills et al., 1998).

8. 8. Gas lain
Karbon monoksida (CO) tidak dilepaskan oleh bahan segar, tetapi dapat berasal
dari hasil pembakaran motor bakar, yang dapat mengkontaminasi udara penyimpanan.
Karbon monoksida dalam tingkat tertentu berbahaya bagi pekerja di ruang penyimpanan
dan untuk beberapa macam produk memberi pengaruh seperti pengaruh yang ditimbulkan
oleh etilen. Akan tetapi ada beberapa contoh yang menguntungkan dengan pemberian gas
karbon monoksida, seperti pengaturan perubahan warna dan penghambatan pertumbuhan
Botrytis pada slada. Pemberian karbon monoksida 5 persen ke dalam wadah berbagai
buah buahan yang mudah rusak dalam udara terkendali sekarang dianggap
menguntungkan dan dalam penggunaan terbatas untuk ekspor buah-buahan dengan kapal
laut.
DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. 1980. Postharvest Technology. The University of Queensland, Australia.

Haard, N.F. and D.K. Salunkhe, 1975. Symposium : Postharvest Biology and Handling of
Fruits and Vegetables. The Avi Publishing Company, Inc. Wesport, Connecticut.

Harper, H.A., V.W. Rodwell and P.A. Mayes. 1979. Review of Physiological Chemistry.
Large Medical Publications, Los Altos, California.

Hulme, A.C.. !971. The Biochemistry of Fruits and Their Products. Vol. 1 and Vol. 2.
Acadenmic Press, London and New York.

Pantastico, E.R.B. 1986. Fisiologi Pasca Panen, Penanganan dan Pemanfaatan Buah-
buahan dan Sayur-sayuran Tropika dan Sub Tropika. Penerjemah :
Prof. Ir. Kamarjani. Gadjah Mada University Press. Jogyakarta.
.
Tranggono dan Sutardi. 1989. Biokimia dan Teknologi Pascapanen. Pusat Antar
Universitas - Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Wills, R., B. Mc Glasson, D. Graham, D. Joyce. 1998. Posthrvest, An Introduction to the


Physiology & Handling of Fruit, Vegetables & Ornamentals. Printed by Hyde
Park Press, Adelaide, South Australia

Wills, R.H., T.H. Lee, D. Graham, W. B. Mc. Glasson and E.G. Hall. 1981. Postharvest,
An Introduction to the Physiology and Handling of Fruit and Vegetables. New
South Wales University Press Limited, Australia.
BAB IX
KERUSAKAN PATOLOGIS
Kerusakan komoditi hortikultura yang disebabkan oleh mikroba dapat terjadi
mulai saat dipanen sampai setelah panen, terutama di daerah tropik dimana suhu dan
kelembaban tinggi mendorong pertumbuhan mikroba dengan cepat. Etilen yang terbentuk
akibat kerusakan komoditi menyebabkan terjadinya pematangan sebelum waktunya dan
senescence pada komoditi lainnya yang disimpan pada tempat yang sama dan bahkan
dapat terkontaminasi oleh komoditi yang rusak itu.
9. 1. Mikroba Penyebab Kerusakan Pascapanen
Banyak bakteri dan fungi dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pascapanen
buah dan sayur-sayuran. Kehilangan bobot hasil yang sangat tinggi pada buah dan
sayuran pascapanen disebabkan oleh beberapa jenis fungi sepereti Alternaria, Botrytis,
Diplodia, Monilia, Penicillium, Phomopsis, Rhizopus, dan Sclerotinia dan dari bakteria
Erwinia dan Pseudomonas ( Tabel IX. 1.). Sebagian besar mikroba ini hanya menyerang
produk yang sudah rusak. Sebaliknya, sebagian kecil seperti Colletotrichum mampu
memasuki kulit produk yang masih sehat. Sering terdapat hubungan khusus antara
tanaman inang dan pathogen. Sebagai contoh Penicillium digitatum hanya merusak jeruk
sedangkan P. expansum menyebabkan busuk pada apel dan buah pear, tetapi tidak pada
buah jeruk. Kerusakan komoditi dapat terjadi secara sempurna apabila diserang oleh
sebuah atau beberapa mikroba pathogen dan merusak jaringan. Serangan awal ini dengan
segera diikuti oleh serangan pathogen dengan spektrum inang yang luas (broad spectrum
).
9. 2. Proses Infeksi
Pembusukan oleh mikroba dapat terjadi pada buah dan sayur-sayuran yang belum
masak dan masih melekat pada tanaman induknya atau terjadi pada waktu pemetikan,
penanganan, dan pemasaran. Proses infeksi terutama pada komoditi pasaca panen
sebagian besar karena adanya kerusakan mekanis pada kulit produk seperti tergores kuku,
dan lecet, luka terserang insekta, dan terpotong. Keadaan fisiologis produk dan suhu juga
mempengaruhi proses infeksi.
Tabel IX. 1. Beberapa contoh penyakit pada buah dan sayur-sayuran ( Wills et al.,
1981)

Komoditi Kerusakan Pathogen


Apel, pear Busuk lentiel Phlyctaena vagabunda Desm.
( = Gloeosporium album Osterw.)

Busuk jamur biru Penicillium expansum Thom

Pisang Busuk mahkota Colletotrichum musae (Berk. and Curt.)


Arx (=Gloeosporium musarum Cke. and
Mass)
Fusarium roseum Link emend. Synd. and
Hans.
Verticillium theobromae Hughes
Ceratocystis paradoxa (Dade) Moreau
(= Thielavieopsis paradoxa Hohn)
Anthracnose Colletotrichum musae (Berk. and
Curt.)Arx (=Gloeosporium musarum Cke.
and Mass)
Buah jeruk Busuk ujung batang Phomopsis citri Fawe
Diplodia natalensis P. Evans
Alternaria citri Ell. and Pierce
Busuk jamur hijau Penicillium digitatum Sacc.
Busuk jamur biru Penicillium italicum Wehmer
Anggur, apel, pear, Busuk jamur abu-abu Botrytis cinerea Pers.ex Fr.
strawberry,
sayuran daun

Pepaya, mangga Anthracnose Colletotrichum gloeosporiodes Sacc

Peach, cherry Busuk coklat Monilinia fructicola Honey


(= Sclerotinia fructicola Rehm)
Peach, cherry, Busuk rhizopus Rhizopus stolonifer (Ehr. ex Fr.
strawberry
Nenas Busuk coklat Ceratocytis paradoxa Moreau
(= Thielaviopsis paradoxa Hohn)
Kentang, sayuran Busuk lunak bakteri Erwinia caratovora Holland dan species
daun lain
Busuk kering Fusarium spp.
Ketela rambat Busuk hitam Ceratocyistis fimbriata Ellis and Haist
(= Endocomidiophora fimbriata Daidson)

Sayuran daun, busuk lunak berair Sclerotinia sclerotiorum de Bary


wortel
Mengenai tingkat-tingkat proses infeksi dapat dijelaskan sebagai berikut ini:
9.2. 1. Infeksi Prapanen
Infeksi pada buah dan sayur-sayuran prapanen dapat terjadi melalui beberapa cara
seperti penetrasi langsung pada kulit, melalui tempat-tempat terbuka alami, dan dapat
pula melalui bagian yang rusak. Beberapa jenis fungi yang bersifat pathogen mampu
menginfeksi bagian permukaan bagian tanaman dan bagian yang sehat dari buah yang
sedang berkembang. Infeksi itu tampaknya seperti tidak berkembang dan baru
berkembang setelah dipanen sehingga daya resistensi buah atau sayuran menurun. Infeksi
laten yang demikian sangat penting untuk buah-buahan pascapanen tropis dan subtropis,
misalnya penyakit anthracnose pada buah mangga dan pepaya, busuk mahkota dan busuk
ujung batang pada jeruk. Sebagai contoh, spora Collectotrichum tumbuh pada permukaan
buah yang basah dan dalam waktu beberapa jam pada bagian ujung hipe mikkroba ini
membesar membentuk badan buah yang disebut appressorium menembus kulit buah atau
sayur-sayuran dan kemudian infeksi meluas.
Fungi dan bakteri yang bersifat kurang parasitis pada buah dan sayur-sayuran
yang belum masak dapat masuk ke dalam daging buah melalui stomata, lentisel, dan
bagian -bagian lain yang pecah karena pertumbuhan. Suatu contoh mekanisme infeksi ini
adalah masuknya spora Phlyctaena vagabunda melalui lentisel pada buah sebelum
dipanen yang kemudian menimbulkan pembusukan sekitar lentisel dalam penyimpanan
komoditi tersebut. Kebanyakan mikroba pathogenik yang terdapat pada jaringan tanaman
yang mati atau dalam tanah hanya dapat menginfeksi melalui permukaan komoditi yang
luka, dan sering pula pada keadaan cuaca yang cocok saat buah mengalami pematangan
mendukung proses tersebut.
Pecegahan infeksi pada prapanen dapat dilakukan dengan menghilangkan sumber
infeksi dengan penyemprotan dengan menggunakan fungisida atau memotong bagian
yang mengandung fungi. Penyemprotan dengan bahan kimia untuk mencegah fungi atau
bakteri pada buah-buahan atau sayur-sayuran sebelum panen umumnya tidak seefektif
penyemprotan pada pascapanen. Walaupun demikian, beberapa fungisida yang bersifat
sistemik sangat baik untuk mencegah infeksi laten, misalnya busuk lentisel pada buah
apel dan busuk coklat pada buah peach. Penyemprotan dengan menggunakan fungisida
gusgusan bendazol sangat baik untuk mencegah Penicillium sp. pada buah jeruk yang
belum dipanen. Pada waktu panen diperlukan perlakuan dan penanganan yang hati-hati
untuk mencegah kerusakan mekanis, sehingga pembusukan oleh mikroba dapat dicegah.

9.2. 2. Infeksi Pascapanen.


Serangan yang dilakukan fungi dapat menimbulkan kerusakan yang tidak tampak
dari luar tetapi terus menimbulkan kerusakan pada komoditi yang dikemas dan dalam
penyimpanan. Sering pula mikroba masuk melalui bagian batang yang terpotong dan
busuk ujung batang sering terdapat pada buah dan sayuran pascapanen. Infeksi
pascapanen dapat juga terjadi langsung melalui kulit komoditi, misalnya fungi
Sclerotinia dan Colletotrichum.
Pencegahan mikroba pada buah dan sayur-sayuran pascapanen dapat dilakukan
secara fisik dan kimia. Keefektifan perlakuan yang digunakan tergantung kepada:
• kemampuan perlakuan atau zat yang digunakan untuk mencapai pathogen.
• tingkat dan sensitifitas infeksi, dan
• sensitivitas produk sebagai inang terhadap patogen.
Waktu dan perkembangan dari infeksi merupakan hal yang kritis untuk dapat
dilakukan pengendaliannya. Misalnya, Penicillium dan Rhizopus menyerang luka pada
waktu pemetikan dan terus berlanjut dalam pananganannya, Pengendalian dengan
fungisida terhadap kapang yang menyerang permukaan komoditi jauh lebih mudah
daripada memberantas kapang hijau yang menyerang buah strawberry beberapa minggu
sebelum panen.

9.3. Perlakuan Fisik


Kerusakan komoditi pascapanen dapat dikendalikan dengan mengatur suhu,
memodifikasi komposisi udara, kelembaban yang sesuai, radiasi ionisasi, sanitasi yang
baik, dan mencegah terjadinya luka yang lebih besar. Penanganan dan penyimpanan pada
suhu rendah merupakan metoda fisik yang sangat penting untuk pengendalian kerusakan
pascapanen. Suhu rendah dan modifikasi lingkungan dapat digunakan untuk mencegah
kerusakan, dan hal ini tergantung kepada kemampuan toleransi komoditi terhadap
lingkungan. Misalnya, produk daerah tropis dan subtropis peka terhadap cacat suhu
dingin dan karena itu tidak disimpam pada suhu rendah.
Penggunaan perlakuan panas, udara panas berair, maupun perendaman dengan air
panas penggunaannya terbatas secara komersial digunakan untuk mencegah kerusakan
pada pepaya dan buah-buahan keras. Perendaman dengan air panas dilakukan untuk
mencegah infeksi pada permukaan dan menghilangkan residu zat -zat kimia yang
terdapat pada komoditi. Biasanya suhu yang digunakan antara 50 -55 0C. Radiasi ionisasi
efektif menghambat pertumbuhan mikroba, tetapi dapat menimbulkan kerusakan
fisiologis.

9. 4. Perlakuan Kimia.
Pengendalian secara kimia terhadap kerusakan pascapanen telah dikembangkan
sejak 25 tahun yang lalu, terutama untuk buah jeruk, pisang, dan anggur. Tingkat
pengendalian kerusakan tergantung pada strategi pemasaran komoditi dan jenis infeksi.
Untuk buah jeruk yang mempunyai umur simpan lama, dilakukan perlakuan dengan
bahan kimia untuk mencegah infeksi dan pertumbuhan spora sehingga buah tersebut
tidak terkontaminasi. Buah strawberry mempunyai umur simpan pendek sehingga tujuan
dari perlakuan kimia adalah mencegah penyebaran kapang hijau yang dapat menyerang
strawberry di kebun.
Keberhasilan perlakuan secara kimia untuk mencegah kerusakan tergantung pada :
1. banyaknya spora awal
2. tingkat infeksi pada jaringan tanaman inang
3. laju perkembangan infeksi
4. suhu dan kelembaban
5. kemampuan bahan kimia menembus jaringan.
Bahan kimia yang digunakan tidak bersifat fitotosik, yaitu tidak menyebabkan luka pada
jaringan inang dan tidak bertentangan dengan syarat penggunaan food additive.
Pada Tabel IX. 2. disajikan beberapa senyawa, nama umum, pathogen penyebab
kerusakan, efektivitas, dan buah yang dirusak. Zat kimia yang tercantum dalam tabel ini
lebih bersifat fungistatik daripada bersifat fungisidal. Zat kimia ini lebih bersifat
menghambat perkembangan spora atau mengurangi laju perkecambahan dan
pertumbuhan kecambah daripada menyebabkan kematian mikroba. Beberapa zat kimia
seperti khlorin dan belerang oksida ( SO2 ) adalah zat kimia bersifat fungisidal tidak
bersifat fungistatik. Fungisidal adalah zat yang dapat membunuh mikroba (jamur) dan
sangat efektif apabila zat tersebut kontak langsung dengan mikroba. Khlorin umumnya
ditambahkna pada air pencuci untuk membunuh bakteri dan fungi. Belerang oksida
digunakan untuk membunuh Botrytis pada buah anggur. Zat kimia ini dapat digunakan
sebagai fumigan, larutan, dan suspensi atau dapat digunakan dalam pelilinan.

9. 5. Pengendalian Kerusakan pada Buah Jeruk dengan Zat kimia


Fungi berwarna hijau ( Penicillium digitatum ) dan fungi berwarna biru
(Penicillium italicum ) merupakan penyebab penyakit pada jeruk pascapanen. Fungi hijau
lebih banyak menyerang jeruk daerah pantai dan busuk ujung batang juga menyebabkan
kerusakan komoditi pascapanen di daerah beriklim lebih lembab. Borak dan natrium
karbonat merupakan bahan kimia yang pertama digunakan untuk mencegah kerusakan
buah jeruk. Kedua zat kimia ini kemudian diganti dengan senyawa yang lebih efektif
berupa sodium o-phenylphenate (SOPP) sejak tahun 1950. Bentuk SOPP yang tidak
berdisosiasi adalah o-phenylphenol (HOPP) untuk mengendalikan kerusakan pada buah
jeruk, tetapi dapat menimbulkan luka bakar pada kulit buah. Penggunaan SOPP lebih
menguntungkan karena tidak bersifat fitotoxis tetapi diubah sifatnya menjadi fungitoxis
dengan membebaskan fenol. Anion o-phenylphenate (OPP) berdifusi secara selektif ke
tempat-tempat luka dan berubah menjadi bentuk tidak terdisosiasi sehingga mencegah
terjadinya kerusakan dalam penyimpanan maupun dalam pemasaran. SOPP-OPP bersifat
spektrum luas dan dapat mencegah kerusakan oleh Penicillium dan busuk ujung batang.
Akan tetapi beberapa Penicillium digitatum resisten terhadap OPP terutama pada jeruk
yang disimpan dalam waktu yang lama. Suatu cara perlakuan khusus terhadap jeruk
adalah perendaman selama dua menit dalam larutan 2 persen SOPP tetrahydrat pada
suhu 32 0C dan pH 11,7 atau lebih tinggi. SOPP dapat dibuat dalam bentuk buih dan
dapat dicampur dengan lilin
Ada pula fungistatik biphenyl untuk mencegah Penicillium dan beberapa jenis
pathogen yang merusak buah. Biphenyl membantu pengembangan dunia perdagangan
jeruk lebih dari 30 tahun. Biphenyl meresap ke dalam pembungkus buah atau dalam
kertas yang ditempatkan dalam wadah, bersublimasi ke udara sekeliling buah, dan dapat
mencegah perkecambahan Penicillium. Pembungkus biphenyl sering digunakan sebagai
perlakuan pelengkap pada buah-buahan yang diekspor yang telah diperlakukan dengan
SOPP. Beberapa masalah timbul dalam kaitan perlakuan dengan biphenyl yaitu buah
berbau hidrokarbon dan baru hilang beberapa hari setelah dikeluarkan dari pembungkus.
Residu yang diperkenankan pada permukaan buah antara adalah 70 - 100 mikrogram per
gram. Walaupun SOPP mencegah kerusakan pada jeruk, kondisi penggunaannya
mengenai pH harus tetap, dan dilakukan pembilasan dengan air setelah penggunaan
SOPP dan harus melekat dengan sempurna untuk menghindari luka pada kulit.
Sepuluh tahun kemudian muncul kelompok benzimidazole. Thiobendazole
(TBZ), benomyl, thiophanate methyl, dan methyl benzimidazolecarbamate (MBC)
bersifat broad spectrum terhadap fungi dan penggunaannya dalam konsentrasi rendah.
Akan tetapi senyawa-senyawa ini inaktif terhadap Rhizopus, Alternaria, Geotrichum, dan
bakteri-bakteri pembusuk lunak. TBZ dan MBC tidak bersifat fitotoksis dan toksisitasnya
rendah terhadap manusia.
Thiobendazole terserap dan ditransportasi sebagai TBZ tetapi benomyl dan
thiophanate methyl terhidrolisis menjadi MBC. MBC mempunyai aktivitas sebagai
fungiside. Benzimidazole menghambat perkecambahan spora, menggangu pertumbuhan
miselia dan mempengaruhi pembentukan konidia. Benzimidazole mengganggu sintesis
DNA dan pembelahan sel.
Benzimidazole sukar larut dalam air dan diperdagangkan dalam bentuk bubuk
basah. Buah jeruk diberikan dalam suspensi dengan konsentrasi natara 0,05 - 0,1 persen
selama 30 detik. Benzimidzole mempunyai residu yang aktif misalnya benomyl masih
dapat mencegah kerusakan pada jeruk yang disimpan dalam waktu 6 bulan pada suhu 13
0
C.

Tabel IX. 2. Zat-zat kimia yang dipergunakan sebagai fungiside pada komoditi pascapanen
Nama dan formulasi Pathogen Tanaman inang Keterangan
Garam anorganik
bersifat alkalis
-natrium tetraborat Penicillium Jeruk efektif
(borax)
-natrium karbonat Penicillium Jeruk agak efektif
-natrium hidroksida Penicillium Jeruk agak efektif

Amoniak dan amine


alifatis
- Gas amoniak Penicillium,diplodia Jeruk baik untuk fumigasi
Rhizopus Peach untuk pengendalian
- Butilamin Penicillium,busuk Jeruk fumigasi,perendaman
ujung batang
Amine aromatis
-Dichloran Rhizopus,Monilia,Bo Wortel, ketela sangat efektif
trytis rambat efektif konsentrasi
rendah
Bezimidazole
benomil,thiabendazol, Penicillium Jeruk efektif konsentrasi
thiofanate methil, Colletotrichum,fungi Pisang,apel, rendah
methilbenzimidazolekar lain pear,nenas
bamat

imazalil Penicillium, busuk Jeruk bau yang tidak enak


ujung batang menghambat spora
Hydrokarbon dan
derivat-derivatnya
bifenil Penicillium,diplodia Jeruk tidak memasuki luka
metilkhloroform Penicillium,busuk Jeruk
batang
Zat-zat teroksidasi
asam-asam hipokhlorit Bakteri,fungi Produk hidrolisis menjadi
iodium Bakteri,fungi Jeruk,anggur hipokhlorit
nitrogen trikhlorida Penicillium Tomat,jeruk

Aldehida dan asam-


asam organik
asam dehidroasetat Botrytis,fungi lain Strawberry sebagai sterilant
asam sorbat Alternaria,,Cldospo Fig
rium
formaldehida Fungi

Tabel IX. 2. (lanjutan)

Fenol-fenol
o-phenylphenol
Penicillium Jeruk Menyebabkan luka pada
(HOPP)
buah
sodium o-phenyl -
Penicillium, bakteri Produk pH diatur
phenate(SOPP)

Salisilanilida Penicillium, Jeruk,pisang


Phomop pengendalian agak
sis,Nigrospora rendah
Belerang
(anorganik)
Monilia Peach
abu belerang
Sclerotinia
kapur belerang
Botrytis Anggur
gas belerang
dioksida, bisulfit diperlukan
gas belerang oksida
Belerang (
Busuk Berbagai
organik)
Clasporium,busuk produk
captan ujung batang dan Strawberry,
thiram mahkota pisang
Altenaria
,busukujung batang
ziram dan mahkota
Spora Penicillium Pisang
Diplodia Jeruk
thiourea toksis untuk manusia.
thioacetamida

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. 1980. Postharvest Technology. The University of Queensland, Australia.

Haard, N.F. and D.K. Salunkhe, 1975. Symposium : Postharvest Biology and Handling of
Fruits and Vegetables. The Avi Publishing Company, Inc. Wesport, Connecticut.
Harper, H.A., V.W. Rodwell and P.A. Mayes. 1979. Review of Physiological Chemistry.
Large Medical Publications, Los Altos, California.

Hulme, A.C.. !971. The Biochemistry of Fruits and Their Products. Vol. 1 and Vol. 2.
Acadenmic Press, London and New York.

Pantastico, E.R.B. 1986. Fisiologi Pasca Panen, Penanganan dan Pemanfaatan Buah-
buahan dan Sayur-sayuran Tropika dan Sub Tropika. Penerjemah :
Prof. Ir. Kamarjani. Gadjah Mada University Press. Jogyakarta.
.
Tranggono dan Sutardi. 1989. Biokimia dan Teknologi Pascapanen. Pusat Antar
Universitas - Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Wills, R., B. Mc Glasson, D. Graham, D. Joyce. 1998. Posthrvest, An Introduction to the


Physiology & Handling of Fruit, Vegetables & Ornamentals. Printed by Hyde
Park Press, Adelaide, South Australia

Wills, R.H., T.H. Lee, D. Graham, W. B. Mc. Glasson and E.G. Hall. 1981. Postharvest,
An Introduction to the Physiology and Handling of Fruit and Vegetables. New
South Wales University Press Limited, Australia.
BAB X
PERLAKUAN TERHADAP KOMODITI

Sebelum dilakukan penanganan pascapanen, telah dilakukan penanganan


prapanen yang dilaksanakan di lapangan atau di kebun terhadap buah dan sayur-sayuran.
Itu termasuk perlakuan yang dilakukan menggunakan senyawa kimia untuk mencegah
pembusukan yang disebabkan oleh mikroba terhadap komoditi. Bentuk-bentuk kerusakan
lain seperti perkecambahan, kehilangan air, kerusakan dalam penyimpanan, dan serangan
insekta dapat diperkecil dengan perlakuan kimia. Perlakuan dengan zat kimia selain
untuk pengendalian kerusakan adalah penggunaan etilen untuk proses pematangan buah,
terutama pada buah pisang dan penguningan buah jeruk.

10. 1. Pengaturan pematangan buah


Buah klimakterik terutama jenis buah tropis dan subtropis sering dipetik sebelum
masak penuh dan diangkut jauh ke tempat pemasaran. Di tempat ini, buah-buahan
dimatangkan untuk mencapai kualitas yang optimum dengan cara pengaturan suhu,
kelembaban relatif, dan untuk buah-buahan tertentu diperlukan gas pematangan. Suatu
keuntungan dalam pengaturan pematangan adalah diperolehnya kematangan buah secara
seragam. Penggunaan suhu pematangan yang relatif tinggi dapat juga memperkecil
terjadinya pembusukan pada buah tropik. Sebaliknya, buah yang bersifat non klimakterik
umumnya sedikit mengalami perubahan komposisi setelah dipanen dan tidak dipanen
sebelum buah cukup masak untuk dikonsumsi
Telah lama diketahui bahwa pematangan buah pisang dilakukan dengan menutup
buah dalam suatu ruangan dengan ventilasi terbatas. Selanjutnya, di atasnya diletakkan
kayu atau batubara dengan nyala kecil, yang akan mempercepat pematangan buah pisang.
Sekarang diketahui bahwa etilen berasal hasil pembakaran yang tidak sempurna dari
suatu bahan bakar. Namun, asetilen (C2H2) terbentuk dari reaksi air dengan kalsium
karbida (2H2O + CaC2 C2H2 + Ca (OH)2) dan dapat mematangan buah. Akan tetapi
diperlukan kosentrasi 100 kali lebih tinggi. Konsentrasi etilen yang efektif untuk
pematangan buah pisang (Tabel X. 1.). Dalam praktek, konsentrasi lebih tinggi
dipertahankan karena ruangan yang digunakan untuk pematangan sering tidak tertutup
rapat.

Tabel X. 1. Keadaan pematangan untuk beberapa macam buah dengan


menggunakan etilen (Wills et al., 1981)

Buah Suhu ( 0C ) Konsentrasi etilen Waktu perlakuan


( ul/l ( jam)
Apokat 18 -21 100 24 -72
Pisang 15 -21 10 24
Mangga 29 -31 10 24
Pepaya 21 -27 10 24
Pear 15 -18 10 24
Tomat 16 -21 10 24

Buah pisang dapat dimatangkan secara batch ( terputus) dalam suatu ruangan
yang diberi gas etilen dengan konsentrasi antara 20 sampai 200 mikroliter per liter.
Ruangan diberi udara setelah 24 jam pertama untuk mencegah konsentrasi karbon
dioksida melebihi 1 %, yang dapat menghambat pematangan buah. Apabila ruangan
penutupannya kurang baik, perlu diberikan kembali etilen setelah 12 jam. Apabila tingkat
warna sudah baik sesuai dengan yang dikehendaki, komoditi dapat dipindahkan dari
ruang penyimpanan.
Kehilangan air dalam proses pematangan terjadi pada suhu tinggi sehingga perlu
diusahakan agar kelembaban dipertahankan relatif tinggi. Kelembaban dapat ditingkatkan
dengan penyemprotan lantai penyimpanan dengan air. Pengaturan kelembaban relatif
sewaktu proses pematangan sangat penting untuk pemtangan buah pisang. Kelembaban
relatif 85 -90 persen disarankan dalam proses pematangan pada buah yang tingkat
warnanya hijau dan sedikit berwarna kuning. Akan tetapi harus diturunkan kelembaban
relatifnya, yaitu antara 70 -75 persen jika tingkatan warnanya lebih banyak hijau daripada
kuning. Walaupun warna kulit terbaik diperoleh pada kelembaban relatif tertinggi, kulit
akan cenderung sangat lunak dan dapat lepas, sehingga buah menjadi jelek. Jika
kelembaban sangat rendah, akan terjadi kehilangan air yang sangat banyak selama proses
pematangan dan warna menjadi kurang baik. Kelembaban tinggi menyebabkan jamur
mudah tumbuh termasuk pada dinding ruangan. Perlu dilakukan pembersihan dinding
ruangan secara teratur dengan menggunakan larutan natrium hidrokhlorit ( khlorin ) yang
disertai fumigasi dengan menggunakan gas formaldehida.
Pematangan pada buah klimakterik lain yang dipanen sebelum matang dapat
dipercepat dengan menggunakan etilen, tetapi sebaliknya pada buah pisang dan apokat
kualitasnya akan jelek jika dipanen pada tingkat hijau matang. Sangat baik sekali apabila
dilakukan pemanenan pada saat matang penuh, misalnya pada buah pepaya nampak
adanya tanda kekuning-kuningan, dan tingkat hijau matang pada buah tomat.

10. 2. Pengaturan Peniadaan Warna Hijau


Peniadaan warna hijau sedikit demi sedikit merupakan perlakuan yang disebut
dengan istilah perlakuan kosmetik yang memberikan penampakan buah matang tetapi
bagian dalam belum terjadi perubahan. Lama waktu yang diperlukan untuk
menghilangkan warna hijau tergantung kepada derajat perubahan warna alami dan
kerusakan buah. Makin muda warna hijaunya dan makin tua buahnya makin pendek
waktu yang diperlukan untuk mengurangi warna khlorofilnya. Untuk jeruk jenis Florida,
peniadaan warna hijau perlu dipertahankan pada suhu 28 - 29 0C , etilen 1 - 5 ppm, dan
relative humidity (RH) 90 sampai 95 %. Kadar CO2 diusahakan sekecil mungkin dengan
ventilasi pada tingkat penggantian udara sekali untuk setiap jam dan kondisi distabilkan
dengan peredaran udara ruang sekali setiap menit.
Warna hijau dapat dihilangkan di dalam suatu ruangan khusus dengan
menggunakan suhu dan kelembaban terkendali dan diberi etilen kadar rendah sekitar 1 :
50.000 . Etilen dapat diberikan dalam bentuk gas atau dengan menggunakan asap hasil
pembakaran minyak tanah. Pemberian gas etilen dapat dilakukan dengan metode
tembak. Melalui sebuah silender, gas dimasukkan ke dalam ruangan kedap gas,
dimasukkan sebanyak 200 - 250 ppm gas sekali setiap 6 - 8 jam. Ruang diberi ventilasi
untuk mempertahankan CO2 pada kadar di bawah 1 % sehingga tidak menghambat
perubahan warna.
Cara lain adalah dengan metode tetes yaitu dengan menambahkkan etilen terus
menerus ke dalam udara yang bersirkulasi dengan laju sebanyak 20 - 30 ppm. Waktu
untuk menghilangkan warna hijau dengan sistem ini adalah waktu 24 - 28 jam. Dengan
menggunakan asap minyak, tanah dihasilkan warna yang lebih baik daripada
menggunakan etilen murni. Suhu yang paling baik 27 0C. Kelembaban Relatif (RH)
berkisar antara antara 85 - 92 % dan RH yang tinggi mengakibatkan pengembunan
sehingga hilangnya warna hijau lambat dan dapat meningkatkan pembusukan.
Kelembaban yang rendah dapat mengakibatkan penyusutan yang berkelebihan,
pengkeriputan, dan kerusakan kulit.
Peniadaan warna hijau dapat dilakukan dengan menggunakan ethephon yang
bersifat seperti etilen. Ethepon diserap oleh jaringan buah dan pada pH 4,6 dapat
melepaskan etilen.

10. 3. Pelapisan dengan Lilin


Buah dan sayur-sayuran secara alami mempunyai lapisan lilin pada permukaanya.
Lapisan lilin dapat hilang karena pencucian. Pemberian lapisan lilin pada buah dan sayur-
sayuran bertujuan untuk :
1. memberikan perlindungan buah dari mikroba pembusuk.
2. menutup kerusakan kecil misalnya luka -luka kecil dan goresan.
3. memberikan penampakan yang lebih baik, seperti lebih mengkilat dan menarik bagi
konsumen.
4. mengurangi laju kehilangan air 30 - 50 %, dan
5. memperpanjang umur simpan dan sangat sesuai untuk daerah-daerah yang tidak
mempunyai fasilitas penyimpanan dingin.
Tidak semua buah cocok diberi lapisan lilin. Misalnya, buah sukun yang diberi
lapisan lilin, umur simpannya menjadi lebih pendek. Diantara pelarut lilin yang baik
adalah emulsi lilin dalam air, dan ini lebih baik daripada menggunakan pelarut lilin yang
mudah terbakar. Beberapa macam jenis lilin yang biasa digunakan adalah lilin tebu, resin
terpen, selak, dan sebagainya. Untuk pengemulsi biasa digunakan trietanolamine dan
asam oleat dan dapat pula ditambahkan fungisida atau baktersida.
Pemberian lapisan lilin dapat dilakukan dengan penyemprotan, pencelupan,
pengolesan, atau pembuihan. Penyemprotan emulsi lilin dapat dilakukan dengan
menggunakan nozzle hidrolik atau pneumatik yang dipasang di atas alat beroda atau
konveyor. Laju penyemprotan dapat diatur dengan mengganti ukuran pipa atau
mengubah tekanan.
Pencelupan dapat dilakukan dengan membenamkan buah atau sayur-sayuran ke
dalam tangki pencelupan berisi emulsi lilin selama 30 detik. Dengan cara pencelupan;
lilin terlalu tebal pada kulit komoditi.
Pengolesan dengan kuas merupakan pemberian lapisan yang efisien. Emulsi lilin
diberikan dengan kuas yang dipasang di atas konveyor. Untuk mencegah terjadinya
kerusakan buah gerakan kuas harus dipertahankan pada kecepatan minimun yang masih
efektif.
Pemberian lilin dengan pembuihan akan dapat meninggalkan lapisan lilin yang
sangat tipis setelah airnya menguap. Alat pembuihan di pasang diatas sikat yang sesuai.
Keenceran emulsi tergantung pada keperluannya. Emulsi yang terdiri atas 3 bagian lilin
dan 1 bagian air digunakan untuk pelilinan dengan pembuihan. Untuk menetapkan emulsi
yang paling baik dapat dicoba terlebih dahulu dengan berbagai macam pengenceran.
Pelilinan dengan sistim pencelupan lebih sering terjadinya pecah daripada pelilinan
dengan pembuihan. Apabila emulsi pecah, partikel lilin lepas dari emulsi dan mengapung
dalam bak menyebabkan buah tidak mengkilat. Pecahnya emulsi disebabkan karena
hilangnya sifat alkalinitas larutan tersebut. Pemberian SOPP ( Sodium Ortho Fenyl
Fenat), masuknya CO2 dari udara, dan CO2 dari buah dapat mengurangi terjadinya
alkalinitas emulsi tersebut.
Emulsi dingin dapat digunakan untuk berbagai macam buah dan emulsi dingin ini
dapat disimpan beberapa lama. Emulsi dingin dapat digunakan untuk buah yang kulitnya
lunak, misalnya untuk buah anggur. Lilin yang digunakan sebagai emulsi dingin lebih
baik adalah lilin alami misalnya lilin lebah.
Pembuatan emulsi dingin adalah sebagai berikut ini:
Untuk membuat emulsi lilin 1 liter
1. Lilin dipanaskan dalam panci ( untuk membuat konsentrasi 6 %, digunakan 60 gram
lilin alami ).
2. Dimasukkan asam oleat perlahan-lahan 20 ml dan diaduk rata.
3. Ditambahkan tri etanolamine 40 ml, diaduk, dan dipertahankan pada suhu 90 - 95 0C.
4. Ditambahkan aquadest yang telah dididihkan sampai volume emulsi mencapai 1 liter.
5. Didinginkan pada air kran mengalir dan kalau diperlukan ditambahkan fungisida.
6. Buah yang segar tidak memar dicelupkan ke dalam emulsi tersebut dalam waktu
sekitar 2 menit.
7. Diangin-anginkan .
Untuk menghitung jumlah emulsi yang ditambahkan dapat digunakan rumus
berikut :

( AxB ) Y(CxD)
X=
E
A= Emulsi larutan awal dalam tangki setelah diencerkan dilihat dengan
refraktometer ( hidrometer).
B = Volume total larutan dalam tangki ( galon )
C = Emulsi lilin di dalam tangki setelah digunakan dilihat dengan
refraktometer ( hidrometer )
D = Volume emulsi yang tersisa di dalam tangki setelah digunakan
(galon)
E.= Emulsi pekat dilihat dengan refraktometer ( hidrometer)
X = Volume emulsi pekat yang akan ditambahkan
Misalnya :
Sebuah tangki dengan volume 50 galon diisi dengan 25 galon emulsi larutan pekat
yang dilihat dengan refraktometer menunjukkan angka 16. Selanjutnya, ditambahkan air
25 galon sehingga refraktometer menunjukkan angka 8. Kemudian dilakukan pelilinan
sehingga tersisa 40 galon dan refraktometer menunjukan angka 6,5.

(8 x50) Y(6,5x 40) 400 Y260


X= 8 8 8,75
16 16
Karena diperlukan 10 galon larutan untuk mencapai volume 50 galon, sedangkan
X diperoleh sebesar 8,75 galon emulsi lilin pekat sehingga diperlukan penambahan air
sebanyak 1,25 galon. Apabila ternyata diperoleh nilai X lebih besar dari yang diperlukan
untuk diisikan ke dalam tangki sehingga volume tangki tersebut penuh, ini menunjukkan
banyak air yang berasal dari buah masuk ke dalam tangki, atau masuknya air ke dalam
tangki dengan cara lain.
10. 4. Zat Penghambat Pertunasan
Kentang atau berambang dalam keadaan yang tidak sesuai dengan keadaan
lingkungan tunas-tunasnya mengalami dormansi. Masa dormansi pada kentang
tergantung pada suhu tempat penyimpanan. Pertunasan umbi kentang jarang terjadi
apabila umbi kentang disimpan pada suhu di bawah 4 0C. Akan tetapi, penyimpanan pada
suhu ini kurang praktis sebab akan terjadi perubahan pati menjadi gula. Pada suhu lebih
tinggi dari 4 0C dalam masa penyimpanan dua sampai tiga bulan, kemungkinan akan
terjadi pertunasan.
Penggunaan zat kimia dan radiasi sangat efektif untuk mencegah pertunasan pada
umbi kentang atau berambang yang disimpan pada suhu lebih tinggi. Maleac Hydrazid
(MH) nonil alcohol 3-khloroisopropil-N-phenilcarbamate (CIPC), isopropil -N-
phenilcarbamate (IPPC), asam methil naphthaleneacetic (MENA) dan 2,3,4,6,-
tetrachloronitrobenzena (TCNB) adalah zat penghambat pertunasan, tetapi izin
penggunaan dan residunya tergantung pada negara pemakai. CIPC merupakan zat
penghambat yang kuat dan secara luas dipergunakan untuk menghambat pertunasan umbi
kentang. CIPC dapat digunakan dalam bentuk tepung, cairan, uap atau dalam bentuk
aerosol. Di Amerika Serikat penggunaan CIPC untuk kentang adalah sebanyak 50
mikrogram per gram. Penggunaan Maleat Hidrazide (MH) menghambat pertumbuhan
berambang dan digunakan beberapa minggu sebelum panen.

10.5. Desinfestasi (Penyucihamaan)


Beberapa jenis insekta terutama lalat buah menyerang produk hortikultura dan
dapat mengganggu komoditi perdagangan antar negara. Pencegahan penyebaran insekta
antar negara dapat dilakukan dengan melakukan karantina.
Beberapa cara disinfestasi telah digunakan untuk mengurangi insekta pada buah
atau pada sayur-sayuran, yaitu dengan menggunakan bahan kimia, perlakuan fisis, atau
dengan perlakuan irradiasi. Di antara perlakuan ini, ada tiga cara yang digunakan secara
komersial, yaitu fumigasi dengan gas yang dapat mensterilkan (sterilant), penyimpanan
pada suhu rendah, dan perlakuan pada suhu tinggi dalam waktu yang singkat. Perlakuan
dengan penyinaran memerlukan izin dari lembaga-lembaga pemerintah yang berwenang.
Fumigasi dengan menggunakan gas sterilant merupakan cara penting untuk
menyucihamakan komoditi. Zat sterilant yang dapat digunakan sebagai disinfestasi
antara lain akrilonitril, karbondisulfida, karbon tetrakhlorida, etilendibromida (EDB),
etilenoksida, hidrogen sianida, metil bromida, fosfin, dan sulfuril fluorida. Diantaranya
yang paling banyak digunakan adalah EDB dan metilbromida. Penggunaan
karbondisulfida dan hidrogen sianida efektif, tetapi menimbulkan keracunan pada
manusia. Fumigasi dengan EDB dalam waktu 2 sampai 4 jam dengan konsentrasi 18 - 22
gram per meter kubik ( konsentrasi akan lebih tinggi pada suhu yeng lebih rendah )
sangat efektif sebagai disinfestan pada komoditi terutama terhadap lalat buah yang
terdapat pada buah jeruk.
Buah pepaya yang dikemas dalam peti, pertama-tama dibenamkan dalam air
panas ( 110 0F) selama 20 menit, kemudian didinginkan dalam air yang mengalir selama
20 menit. Selanjutnya buah tersebut diperlakukan dengan EDB dengan ukuran 0,5 lb
untuk tiap ruang yang berukuran 1000 ft kubik selama 2 jam pada suhu tidak lebih dari
70 0F (Pantastico, 1986). Buah pepaya dapat pula diperlakukan dengan panas uap
ditempatkan dalam peti. Mula-mula diberi perlakuan dengan pemanasan pada suhu 110
0
F selama 11 jam dengan RH 40 %. Ini akan dapat meningkatkan terbunuhnya serangga
pada buah pepaya tersebut. Setelah perlakuan pendahuluan, kemudian buah diperlakukan
dengan keadaan jenuh uap air (RH 100 %), selama 8,75 jam pada suhu 110 0F.
Selanjutnya buah diangin-anginkan sampai suhunya sama dengan suhu udara, baru
dilakukan pengemasan.
Penanganan buah dan sayuran dengan radiasi mempunyai dua tujuan yaitu untuk
menginfestasi buah dari lalat dan insekta lain. Tujuan lain adalah membatasi mikroba liar
dan membatasi terjadinya metabolisme seperti halnya pematangan dan perkecambahan
buah.
Beberapa kriteria yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut :
1. Tanaman inang mempunyai toleransi yang lebih tinggi terhadap radiasi daripada
organisme yang menimbulkan kerusakan.
2. Perlakuan radiasi harus lebih ekonomis daripada perlakuan lainnya.
3. Perlakuan dengan radiasi hendaknya tidak membahayakan kesehatan manusia.
Disinfestasi buah-buahan terutama buah-buahan tropis seperti buah mangga dan
pepaya dengan radiasi secara teknis dapat dipertangguangjawabkan, tetapi dari segi
ekonomis kurang dapat dipertanggungjawabkan. Insekta dalam fase bentuk telur lebih
sensitif terhadap radiasi daripada dalam bentuk larva, pupa, atau dalam keadaan dewasa.
Kebanyakan serangga dalam dosis 50 sampai 200 Gy ( Gray) steril, tetapi beberapa
insekta dewasa masih hidup pada radiasi 1 kGy. Ulat pada buah pepaya dapat dibunuh
dengan sinar 1 kGy. (1 Gray = 100 rad ).
Komoditi terutama buah-buahan yang diradiasi dengan dosis sebesar 0,5 sampai 2
kGy tujuannya adalah untuk mencegah pertumbuhan organisme, tetapi dengan dosisi
sebesar ini akan merusak jaringan buah. Umumnya pengaruh radiasi ionisasi terhadap
komoditi adalah mudah rusaknya komoditi sewaktu penanganan termasuk dalam
transportasi.
DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. 1980. Postharvest Technology. The University of Queensland, Australia.

Haard, N.F. and D.K. Salunkhe, 1975. Symposium : Postharvest Biology and Handling of
Fruits and Vegetables. The Avi Publishing Company, Inc. Wesport, Connecticut.

Harper, H.A., V.W. Rodwell and P.A. Mayes. 1979. Review of Physiological Chemistry.
Large Medical Publications, Los Altos, California.

Hulme, A.C.. !971. The Biochemistry of Fruits and Their Products. Vol. 1 and Vol. 2.
Acadenmic Press, London and New York.

Long K, D. Leggo, and J.A. Seberry. 1965. Washing, Sterilzing, and Waxing Citrus
Fruits. New South Wales Department of Agriculture and Csiro, Division of Food
Preservation. Australia.

Pantastico, E.R.B. 1986. Fisiologi Pasca Panen, Penanganan dan Pemanfaatan Buah-
buahan dan Sayur-sayuran Tropika dan Sub Tropika. Penerjemah :
Prof. Ir. Kamarjani. Gadjah Mada University Press. Jogyakarta.
.
Tranggono dan Sutardi. 1989. Biokimia dan Teknologi Pascapanen. Pusat Antar
Universitas - Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Wills, R., B. Mc Glasson, D. Graham, and D. Joyce. 1998. Posthrvest, An Introduction to


the Physiology & Handling of Fruit, Vegetables & Ornamentals. Printed by Hyde
Park Press, Adelaide, South Australia

Wills, R.H., T.H. Lee, D. Graham, W. B. Mc. Glasson and E.G. Hall. 1981. Postharvest,
An Introduction to the Physiology and Handling of Fruit and Vegetables. New
South Wales University Press Limited, Australia.
BAB XI
PENGEMASAN
Dengan adanya kemajuan dalam pengemasan, konsumen akan dapat menerima
komoditi dalam keadaan lebih segar, kerusakan yang lebih sedikit, potensi ketahanan
yang lebih baik daripada sebelumnya. Sebelum adanya pengemasan yang lebih baik serta
fasilitas pengangkutan dan pendinginan, maka tidak ada kemungkinan dilakukan
distribusi komoditi yang mudah rusak secara luas. Dua fungsi utama pengemasan adalah :
1. merakit bahan produk dalam kesatuan yang mudah untuk dibawa dan
2. melindungi terhadap kerusakan selama pemasaran dan penyimpanan.
Semula bahan pengemas hanya dibuat dari bahan tanaman seperti daun, bambu
dan lain-lainnya serta didesain untuk mudah dibawa oleh orang. Sekarang di negara -
negara maju produk diangkut dan dijual ke tempat-tempat jauh sehingga alat pengemas
harus baik misalnya terbuat dari kayu ( papan) yute atau plastik.
Keuntungan menggunakan pengemas :
1. Merupakan unit penanganan yang efisien
Kemasan yang merupakan unit yang efisien akan memudahkan produk tersebut
dibawa, misalnya dari kebun ke gudang. Bila produk tidak dikemas, pengangkutannya
akan sulit. Berat bahan yang dikemas adalah berat yang mudah diangkut dan efisien.
2. Merupakan unit penyimpanan yang mudah disimpan di gudang atau dirumah
Wadah yang digunakan merupakan unit penyimpanan yang kuat, tidak mudah
rusak selama dalam penyimpanan baik di rumah maupun di gudang, sampai menunggu
saat penggunaan komoditi tersebut. Misalnya, kemasan plastik digunakan untuk
penyimpanan wortel atau sayur-sayuran daun, yang disimpan di dalam lemari es.
3. Melindungi mutu dan mengurangi pemborosan
a. Memberi perlindungan terhadap kerusakan mekanis
b. Memberi perlindungan terhadap kehilangan air
c. Memungkinkan penggunaan udara termodifikasi yang menguntungkan
d. Membuat komoditi bersih dan memenuhi persyaratan kesehatan.

4. Memberikan pelayanan dan motivasi penjualan


Untuk beberapa komoditi sebelum dikemas, dilakukan sortasi/pemilihan yang
baik; dipilih komoditi yang baik untuk dikemas, dan bagian yang jelek dibuang.
Selanjutnya yang baik dimasukkan ke dalam plastik dan diberi label. Konsumen akan
membelinya dalam kemasan yang baik.
5. Mengurang biaya pengangkutan dan pemasaran
Karena bagian komoditi yang jelek atau bagian yang tidak dapat dimanfaatkan
dibuang, sedangkan bagian yang baik dikemas, biaya pengangkutan dapat dihemat.
Misalnya, pucuk-pucuk lobak atau wortel yang tidak berguna dibuang.
6. Memungkinkan penggunaan cara-cara pengangkutan baru
Penggunaan kemasan yang baik misalnya wadah dari papan serat
(fiberboard) yang ringan, mudah ditumpuk, dan mudah dibongkar memungkinkan
pengangkutan dengan kapal udara. Pengemasan modern bahan segar diharapkan
memenuhi berbagai persyaratan dan dapat disimpulkan sebagai berikut ini:
1. Bahan pengemas harus mempunyai kekuatan mekanis yang cukup untuk melindungi
isinya selama penanganan, pengangkutan, dan saat dilakukan penumpukan.
2. Bahan untuk pembuatannya tidak mengandung bahan kimia yang dapat
mengkontaminasi dan beracun.
3. Bahan pengemas harus memenuhi persyaratan penanganan dan pemasaran dalam
berat, ukuran dan bentuk pengemas. Penanganan mekanis membuat standarisasi
penting dari segi ekonomis.
4. Kemasan memungkinkan pendinginan secara cepat terhadap isinya. Perlu pula
diperhatikan permeabelitas film plastik terhadap gas respirasi.
5. Kekuatan mekanis tidak dipengaruh oleh kandungan airnya bila basah atau pada
kelembaban yang tinggi. Kemasan mungkin perlu dipersyaratkan menarik air dari
bahan atau dapat pula mencegah dehidrasi dari bahan.
6. Keamanan kemasan atau kemudahan membuka dan menutupnya mungkin penting
pada beberapa situasi pasar.
7. Kemasan mungkin dapat dipersyaratkan baik memantulkan cahaya ataupun
transparan
8. Kemasan dapat dipersyaratkan membantu penampilan pada penjualan eceran
9. Kemasan perlu didesain sedemikian rupa agar mudah dibuang atau digunakan
kembali.
10. Harga kemasan hendaknya semurah mungkin.

11. 1. Pengaruh Pengemasan Terhadap Produk


1. Mencegah Kerusakan Mekanis
Buah dan sayur-sayuran sangat mudah mengalami kerusakan mekanis. Kerusakan
dapat berupa terpotong, tertekan, benturan, dan gesekan. Terpotongnya komoditi harus
dihindari. Untuk sayur-sayuran seperti labu, diperlukan bahan pengemas yang cukup kuat
sebab dalam pengangkutan dapat terjadi penumpukan sehingga kemungkinan besar akan
memar. Luka benturan dapat terjadi karena peti kemasnya jatuh atau terjadi benturan
dalam pengangkutan. Luka karena gesekan tidak hanya lepasnya kulit luar tetapi juga
terkoyaknya daging buah. Semua luka dapat menyebabkan terjadinya oksidasi tannin.
Melalui luka akan terjadi infeksi, peningkatan respirasi, terjadi laju pembusukan sehingga
bagian yang rusak harus dipotong atau dibuang. Akibatnya, terjadinya susut berat yang
lebih besar dan nilai komoditi menurun.
Komoditi dalam wadah diupayakan tidak mengalami gesekan satu dengan yang
lainnya atau dengan dinding wadah. Dapat juga dilakukan agar komoditi lebih terlindung
msing -masing komoditi diberi pembungkus. Cara ini menaikan biaya tetapi mengurangi
kerusakan
2. Kekuatan mekanis kemasan
Agar terus menerus dapat melindungi produk terhadap kerusakan mekanis,
kemasan harus dapat mempertahankan kekuatannya dalam seluruh rantai pemasaran. Di
bawah kondisi kelembaban tinggi setelah terjadi kondensasi atau sesudah menjadi basah
karena hujan, maka kekuatan kemasan harus tidak tergantung pada kadar airnya.
Contohnya, kayu, jute, atau material pembungkus lain. Bahan kemasan itu harus tidak
menyerap air. Kerdus-kerdus papan serat kekuatannya segera hilang karena menyerap air
dan kurang memuaskan digunakan di daerah tropis dan ditempat yang mempunyai
kelembaban tinggi. Untuk menghindari hal ini komoditi dapat diberi lapisan lilin.
3. Pendinginan bahan dalam kemasan
Sifat produk dan perlakuan setelah pembungkusan perlu diperhatikan. Panas yang
timbul karena proses respirasi harus dapat hilang dengan segera. Pada komoditi yang
dibungkus sendiri-sendiri ( di dalam kotak kayu maupun karton) dan di dalam keranjang,
kantong atau kemasan lain yang berisi komoditi dalam jumlah kecil seperti kacang-
kacangan, sayuran daun, kemasannya hendaknya kuat. Padatnya isi kemasan, sehingga
ukuran kemasan yang minimum akan beresiko merusak komoditi dan keadaan ini
tergantung pada laju respirasi dari komoditi tersebut. Apabila kepadatan berkelebihan,
produk di dekat kemasan akan paling cepat menjadi panas karena panas akibat respirasi
terhambat keluar dari dalam kemasan. Jadi, panas terjadi karena produk berespirasi baik
yang dibungkus sendiri-sendiri maupun yang ditumpuk rapat. Masalah yang demikian
dapat dihindari apabila dilakukan pembungkusan lebih kecil atau pengemasan dalam
jumlah besar hendaknya diberi ventilasi.
4. Pengaruh Kemasan Terhadap Susut Berat
Umumnya pengemasan mengurangi susut berat atau pengkerutan yang terjadi
pada bahan segar selama pemasaran, seperti pembungkusan individual atau bersama-
sama dalam satuan yang kecil dalam kantong plastik atau kertas lilin, pelapisan kemasan
dengan lilin. Dalam keadaan kering, peti kayu atau keranjang komoditi dapat disemprot
dengan air. Perlakuan dengan pembasahan tersebut dimaksudkan untuk membantu
pendinginan komoditi oleh karena terjadinya penguapan air yang disemprotkan itu.

11. 2. Pengemasan dan Penyimpanan


1. Ukuran Kemasan
Ukuran dan bentuk kemasan harus ekonomis, mudah dibawa dan terjamin tetap
baik bila diangkut atau ditumpuk. Perbandingan panjang dan lebar optimal sekitar 1,5 : 1.
Kemasan dapat lebih kecil sesuai dengan rekomendasi International Labour Organization
bahwa berat maksimum hendaknya berat yang enak diangkut oleh seseorang. Kemasan
volume 30 liter (yang dapat didisi dengan 20 kg produk ) dan kemasan 15 liter
merupakan kemasan standar untuk buah-buahan. Namun ,untuk komoditi sayur-sayuran,
kemasannya dapat lebih besar, yaitu 36 liter.
Ukuran kemasan harus distandarisasi untuk memperoleh efisiensi yang lebih
besar. Di negara berkembang, keranjang yang dipergunakan terlalu besar dan sering
terjadi pembusukan. Beberapa komoditi seperti kentang, berambang, sayur-sayuran umbi,
dan buah jeruk tahan terhadap beban tekanan sehingga dapat digunakan kemasan yang
lebih murah. Penyimpanan dalam gudang atau penumpukan kemasan hendaknya terjamin
adanya aliran udara untuk melepaskan panas yang terjadi akibat proses respirasi.
Diharapkan terjadinya pendinginan yang cukup.
Untuk transportasi komoditi ke tempat-tempat yang jauh dan memerlukan waktu
yang lama, diperlukan kemasan yang kuat. Di negara maju, wadah yang digunakan untuk
pengiriman komoditi hanya untuk sekali pemakaian dan tidak dikembalikan ke pada
sipengirim. Akan tetapi, sebaliknya ada pula keranjang-keranjang atau peti-peti yang
digunakan sering dikirim kembali atau dijual untuk digunakan kembali.
2. Penumpukan
Sifat-sifat kemasan dan cara penumpukan merupakan faktor penting yang
mempengaruhi pendinginan dalam penyimpanan dan pengangkutan. Penumpukan yang
kurang baik menghalangi aliran udara. Tumpukan harus ekonomis dalam arti ruangan dan
mudah dicapai.
Komoditi yang terdapat di dalam kardus sering lebih panas dari udara sekitarnya
maka perlu adanya ventilasi. Sering kardus yang ditumpuk menggelembung atau pecah
sehingga diperlukan adanya penguat atau bilah-bilah dari kayu.
3. Pengemasan untuk konsumen
Dengan bertambahnya pasar swalayan, maka penggunaan kemasan kecil untuk
konsumen makin meningkat. Dalam bentuk sederhana, kemasan dapat berupa kantong
plastik. Unit dengan ukuran yang telah dibakukan dikemas setelah dicuci dan disortir
menurut ukurannya. Misalnya, 12 buah jeruk manis ditempatkan dalam satu kantong
polietilen.

11. 3. Jenis-jenis Bahan Kemasan yang berupa Plastik


Plastik berasal dari kata Yunani plastikos artinya untuk membentuk; jadi bahan
sintetis yang dapat dibentuk menjadi produk yang berguna dengan jalan pemanasan,
penggilingan, dan pencetakan. Resin sulit dibedakan dengan plastik. Plastik merupakan
bahan sintetis sedangkan resin dapat berupa bahan alami atau bahan sintetis yang
dihasilkan secara kimiawi. Contoh resin alami adalah balsam, damar, terpentin, ter kayu,
oleoresin, dan lain-lainnya. Resin sintetis antara lain selofan, akrilikseluloid, formika,
penular ion, nylon, fenilformaldehida dan lain-lain. Plastik merupakan senyawa-senyawa
polimer dan apabila dipanaskan rantainya akan merenggang tetapi tidak akan lepas
karena adanya ikatan kohesi antarmonomernya. Apabila kemudian didinginkan maka
plastik tersebut akan mengeras kembali dan karena sifat tersebut maka plastik mudah
dibentuk sesuai dengan kemauan kita. Untuk pencetakannya, plastik memerlukan suhu
sekitar 150 - 250 0C. Sebagian besar plastik polimer tersebut bersifat thermoplastis yaitu
dapat direkat dengan panas, misalnya polyetilen.
1. Polyetilen
Polietilen ada dua macam, yaitu polietilen dengan densitas tinggi dan densitas
rendah. Polietilen dengan densitas rendah dipolimerisasi dengan tekanan 9 000 sampai
45.000 psi, sedangkan dengan densitas tinggi memerlukan katalis khusus dengan tekanan
250.500 psi. Polietilen dengan densitas tinggi bersifat kristal, tahan pemanasan berulang
ulang pada suhu 120 0C dan oleh karena itu dapat tahan pada suhu sterilisasi dan dapat
dibuat menjadi drum yang kuat. Polietilen densitas rendah memiliki titik lunak 20 0C dan
banyak diproduksi dalam bentuk lembaran atau kantong dalam berbagai bentuk ukuran.
2. Polipropilen
Bahan ini banyak digunakan untuk wadah komoditi ringan misalnya slada,
bayam, dan sayur-sayuran hijau lainnya. Polipropilin dapat digunakan pada kisaran suhu
- 50 0C sampai 70 0C. Bahan ini permeabel terhadap senyawa yang mudah menguap
tetapi tidak permeabel terhadap air.
3. Selofan
Selofan dapat digunakan untuk pembuatan kantong atau untuk menutup
keranjang. Selofan biasa ( tidak berlapis) murah, tetapi tidak kedap terhadap udara dan
minyak. Bahan ini tidak dapat ditembus oleh gas kering tetapi dapat ditembus oleh gas-
gas lembab. Selofan tidak dapat direkatkan dengan panas. Selulose asetat dan polistiren
tembus cahaya dan tidak dapat menjadi buram.
4. Pliofilm
Bahan ini kedap terhadap air, udara, dan berbagai cairan.
5. Polivinil khlorida (PVC)
Polivinil khlorida banyak digunakan untuk membungkus komoditi segar dan
relatif mudah ditembus oksigen dan uap air. PVC ini mempunyai tebal 0,00005 sampai
0,100 inchi, transparan sampai tampak buram dan berat jenisnya 1,20 - 1,80. Batas
penggunaan maksimum pada suhu 66 0C sampai pada suhu 93 0C sedangkan minimum
pada suhu -290 sampai - 46 0C. Bahan ini tahan terhadap sinar matahari, suhu perekatan
300 0F - 420 0F. PVC mempunyai daya tahan yang baik terhadap asam maupun alkali.
Penyusutan pada suhu 212 0C selama 2 menit berkisar antara 30 % - 50 %.
11. 4. Sifat-sifat Permeabelitas Plastik
Terjadinya fluktuasi kelembaban menyebabkan terjadinya perubahan sifat
beberapa macam plastik. Kenaikan RH (Relative Humidity) biasanya terjadi pada buah-
buahan dan sayur-sayuran yang dibungkus dan mengakibatkan laju penetrasi gas tinggi.
Akibatnya, terjadi pengembangan pori-pori beberapa pengemas seperti PVC dan selulosa
asetat.
11.5. Perpindahan Gas dan Uap melalui plastik.
Makin besar lubangnya, makin pendek jaraknya, dan makin kecil molekul zat-zat
yang berdifusi, maka makin besar pula gerak molekul-molekul yang melewati plastik (
Tabel XI. 1. ). Oksigen dan nitrogen merupakan gas yang tidak bereaksi dengan bahan
plastik. Zat-zat cair biasanya mempunyai daya permeabelitas yang lebih tinggi daripada
uapnya. Uap zat organik mempunyai daya tembus berbeda-beda. Beberapa jenis zat
dengan daya tembus yang semakin besar berturut -turut alkohol, asam, keton ester, dan
hidrokarbon. Polimer jenuh mempunyai laju difusi yang lebih rendah daripada polimer
jenuh.
Walaupun beberapa kemasan mempunyai sifat permeabelitas tinggi seperti
polietilen, selulosa asetat, dan PVC, tetapi kurang cocok digunakan sebagai bahan
kemasan tertutup untuk komoditi yang berespirasi pada suhu tinggi. Kemasan harus
dilubangi untuk menghindari terjadinya akumulasi karbon dioksida, dan penyusutan
oksigen yang mengakibatkan kerusakan terbentuk bau dan rasa yang tidak diinginkan.
Kemasan yang tidak dilubangi akan mengakibatkan pematangan atau penguningan buah
dan sayur-sayuran lebih awal. Kemasan yang kedap oksigen, oksigen yang terdapat di
dalalm kemasan akan segera habis sehingga pada komoditi tersebut akan terjadi respirasi
anaerob terbentuk alkohol dan CO2.
Bila suatu komoditi mempunyai laju respirasi tinggi misalnya buncis hijau
dikemas dengan polietilen yang ditutup rapat dan diperlakukan dengan 5 macam suhu
yang berbeda, udara yang terdapat di dalamnya akan berubah dengan cepat. Kandungan
CO2 nya akan melebihi 20 % bila disimpan pada suhu 70 0F dalam waktu 3 hari,
sedangkan O2 menjadi 1 % atau mungkin lebih kecil dalam waktu satu hari bila dilakukan
penyimpanan pada suhu 70, 60, atau 50 0F. Udara yang memuai pada suhu tinggi segera
dapat menimbulkan kerusakan.

Tabel XI. 1. Diameter Molekul Gas dan Uap dan Diameter Pori
beberapa jenis Plastik ( Pantastico, 1986)
Gas Atau Uap L* Diameter molekul
-6
( 10 - Cm ) (A0 )
Helium 1,9
H2 11,5 2,74
CH4 4,51 4,43
N2 6,28 3,75
O2 6,79 3,61
Argon 6,66 3,64
CO2 4,19 4,56
Udara 6,40 3,72
H2 O 4,18 4,60

Berat Molekul Diameter molekul (A0 )


Pada umumnya untuk non 10 2,9
elektrolit 100 6,2
1000 13,2
10000 28,5

Plastik Tebal ( Cm) Diameter pori (A0 )


Selofan 0,00191 -0,00356 35 - 40
Kertas perkamen 60 lb 0,009 25
Selulosa 0,005- 0,009 35

* L = jalur bebas rata-rata pada tekanan satu atmosfer A0 = 1 x 10 -8 Cm.


DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 1980. Postharvest Technology. The University of Queensland, Australia.

Haard, N.F. and D.K. Salunkhe, 1975. Symposium : Postharvest Biology and Handling of
Fruits and Vegetables. The Avi Publishing Company, Inc. Wesport, Connecticut.

Harper, H.A., V.W. Rodwell and P.A. Mayes. 1979. Review of Physiological Chemistry.
Large Medical Publications, Los Altos, California.

Hulme, A.C.. !971. The Biochemistry of Fruits and Their Products. Vol. 1 and Vol. 2.
Academic Press, London and New York.

Long K, D. Leggo, and J.A. Seberry. 1965. Washing, Sterilzing, and Waxing Citrus
Fruits. New South Wales Department of Agriculture and Csiro, Division of Food
Preservation. Australia.

Pantastico, E.R.B. 1986. Fisiologi Pasca Panen, Penanganan dan Pemanfaatan Buah-
buahan dan Sayur-sayuran Tropika dan Sub Tropika. Penerjemah :
Prof. Ir. Kamarjani. Gadjah Mada University Press. Jogyakarta.
.
Tranggono dan Sutardi. 1989. Biokimia dan Teknologi Pascapanen. Pusat Antar
Universitas - Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Wills, R., B. Mc Glasson, D. Graham, D. Joyce. 1998. Posthrvest, An Introduction to the


Physiology & Handling of Fruit, Vegetables & Ornamentals. Printed by Hyde
Park Press, Adelaide, South Australia

Wills, R.H., T.H. Lee, D. Graham, W. B. Mc. Glasson and E.G. Hall. 1981. Postharvest,
An Introduction to the Physiology and Handling of Fruit and Vegetables. New
South Wales University Press Limited, Australia.
BAB XII
PENYIMPANAN

Tujuan utama penyimpanan adalah pengendalian laju transpirasi, respirasi, infeksi


penyakit, dan mempertahankan produk dalam bentuk paling bermanfaat bagi konsumen.
Di negara yang beriklim tropik, penyimpanan dalam udara terkendali, pemberian lilin dan
penggunaan kantong-kantong polietilen, tidak dianjurkan tanpa dikombinasikan dengan
pendinginan, oleh karena kerusakan akan berlangsung lebih cepat karena penimbunan
panas dan karbondioksida.

12. 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyimpanan


1. Faktor-faktor prapanen
Keadaan iklim dan cara bercocok tanam menentukan mutu komoditi. Banyaknya
infeksi pada waktu panen akan mempengaruhi umur simpan.
2. Cara pemanenan dan penanganan
Kedua cara ini mempengaruhi mutu komoditi. Buah yang jatuh pada waktu
pemetikan mengakibatkan laju pembentukan CO2 meningkat. Begitu juga buah luka,
lecet akan dapat menyebabkan terjadinya kerusakan-kerusakan yang lebih besar. Oleh
karena itu penangannya harus lebih berhati-hati.
3. Pendinginan
Pendinginan pendahuluan merupakan faktor penting sebelum penyimpanan.
Misalnya buah jeruk yang diperlakukan dengan pendinginan pendahuluan dalam udara
dengan suhu 32 0F - 35 F selama 16 jam, disimpan pada suhu 68 0F - 70 0F selama 19 hari
kehilangan berat 14 % karena aktivitas fisiologi, sedangkan yang tidak diperlakukan
dengan pendinginan pendahuluan kehilangan berat 18 %. Sebaliknya, tomat hijau yang
diperlakukan dengan pendinginan pendahuluan pada udara dengan suhu 320 - 35 0F
selama 24 jam dan disimpan pada suhu 520 sampai 55 0F selama 4 minggu kehilangan
berat 2,9 % akibat aktivitas fisiologisnya, sedangkan tomat yang tidak mengalami
pendinginan pendahuluan kehilangan 6 %.

4. Kebersihan
Ruang penyimpanan yang tidak bersih akan dapat meningkatkan besarnya
kehilangan yang disebabkan oleh organisme penyebab kerusakan. Sebelum digunakan
perlu ruang penyimpanan disemprot terlebih dahulu dengan menggunakan 5 % lisol atau
2 % formalin. Pengecatan dinding gudang dengan cat anti jamur sangat baik.

5. Varietas dan tingkat kerusakan pada pemanenan.


Varietas mempengaruhi umur simpan dari buah dan sayur-sayuran. Misalnya
jeruk varietas Calamondi dapat disimpan kurang dari dua minggu, sedangkan jeruk manis
varietas Sathgudi dapat disimpan sampai empat bulan. Buah yang terlalu muda dipanen
umur simpannya lebih pendek daripada buah yang dipanen mendekati masak.

12. 2. Penyimpanan dalam ruang di bawah tanah


Ruang di bawah tanah mempunyai atap menurun yang ditutup oleh tanah dan
tumpukan jerami. Ruang di bawah tanah dapat pula dibuat sejuk, agak basah, dan diberi
ventilasi yang baik. Pemanasan dan pendinginan yang berlebihan harus dihindari. Ruang
dibawah tanah lebih baik dialam terbuka daripada terdapat dibawah rumah-rumah.
Kentang, bit, wortel dan sayur-sayuran umbi yang lain dapat disimpan dalam
ruang di bawah tanah dengan RH tinggi. Di tanah yang bersalju, bit dapat disimpan pada
suhu 330-40 0F. Di India, buah-buahan disimpan di ruang-ruang bawah tanah dalam
waktu pendek sampai buah-buahan tersebut matang dan cukup untuk dijual.

12. 3. Penyimpanan dalam gudang di permukaan tanah


Merupakan bangunan biasa yang didirikan di atas tanah, rumah tempat tinggal
dapat digunakan. Sifat dan jenis bangunan tergantung pada daerah dan sifat komoditi
yang hendak disimpan. Di daerah dingin memerlukan isolasi yang lebih tebal sedangkan
di daerah panas memerlukan ventilasi. Bangunan gudang penyimpanan di atas tanah
mempunyai keuntungan :
1. Konstruksi khusus tidak diperlukan asal dilengkapi dengan peralatan yang diperlukan
untuk komoditi tersebut.
2. Mudah ditangani selama di dalam penyimpanan.
3. Mempermudah sortasi menurut ukuran, penyimpanan, dan pengemasan komoditi.
12. 4. Penyimpanan dengan Udara Terkendali
Komposisi udara dalam tempat penyimpanan mempengaruhi umur komoditi.
Perubahan komposisi gas yang terbentuk karena respirasi, O2 dan CO2 mempengaruhi
umur simpan komoditi. Senyawa yang mudah menguap baik yang berasal dari produk
maupun yang berasal dari sumber lain dapat terakumulasi dalam udara tempat
penyimpanan, misalnya etilen. Peningkatan CO2 sebagai akibat respirasi dapat diturunkan
konsentrasinya dengan NaOH. Kadar CO2 yang terlalu tinggi dapat pula diturunkan
dengan air. Cara ini lebih murah dan kurang berbahaya daripada menggunakan NaOH
Pembakaran metana dan propana akan menghasilkan CO2, O2, dan N2.
Pembakaran ini akan mengurangi pencemaran oleh CO (karbon monoksida). Gas yang
terbentuk dialirkan ke ruang penyimpanan. Gas tersebut akan mengurangi penimbunan
gas etilen. Udara terkendali konvensional menggunakan air dan kapur tohor untuk
mempertahankan kandungan CO2. Udara terkendali dari luar dihasilkan oleh pembangkit
Tectrol (Total Environment Control = Pengendalian lingkungan menyeluruh). Tectrol
mempunyai kelebihan daripada udara yang dihasiklkan oleh komoditi, yaitu :
• ruangan penyimpanan tidak perlu ditutup rapat,
• susunan udara terkendali ( penurunn oksigen) lebih cepat dicapai pada permulaan
penyimpanan,
• ruang dapat ditutup dan dibuaka selama masa penyimpanan,
• tidak diperlukan analisis gas setiap hari, dan
• berfungsi baik pada ruang yang hanya diisi separuhnya.
Konsentrasi CO2 dan O2 dapat diukur dengan mengendalikan laju difusinya . Bila
kapur tohor bereaksi dengan CO2, air dikeluarkan dan panas diserap. Dengan demikian,
kelembaban ruangan penyimpanan dapat dipertahankan.

12. 5. Rancangan dan Konstruksi Penyimpanan dengan Udara Terkendali


Pada penyimpanan buah apel dan pear dengan udara terkendali dalam suatu
ruangan, akumulasi karbon dioksida berasal dari hasil respirasi dari buah-buah tersebut.
Konsentrasinya dapat diatur dengan memasukkan udara dari luar dengan melalui
ventilasi. Udara di tempat penyimpanan yang demikian itu mengandung 5-20 % CO2 dan
11 -16 % O2. Beberapa kultivar buah-buahan akan rusak pada konsentrasi karbon dioksda
melebihi 3 %. Udara dengan konsentrasi karbon dioksida 2-3 % dan juga oksigen dengan
konsentrasi 2-3 % dalam penyimpanan suhu dingin sangat sesuai dengan sebagian besar
kultivar apel dan pear. Untuk dapat mempertahankan udara dengan konsentrasi oksigen
rendah, diperlukan ruangan kedap terhadap gas. Dalam pengaturan konsentrasi CO2,
diperlukan zat penyerap atau alat penyerap (scrubber). Zat penyerap karbon dioksida
dapat berupa larutan alkali, seperti KOH atau Ca (OH)2. Selanjutnya, dikembangkan pula
penyerapan karbon dioksida secara fisis dan atau kimia dengan menggunakan kapur
kering.
Jadi, tempat penyimpanan dengan udara terkendali relatif harus kedap gas dan
dilengkapi dengan berbagai alat termasuk termometer dan alat untuk mengukur dan
mengatur konsentrasi oksigen dan karbondioksida.
Pada awal tahun 1970-an digunakan sebuah generator yang dipasang di luar
menggunakan oksigen dari udara. Generator yang digunakan merupakan pembakar
khusus, dengan bahan bakar gas menghasilkan udara dengan oksigen dengan konsentrasi
rendah. Oksigen yang terdapat akan didesak keluar oleh karbon dioksida dari hasil
pembakaran. Penyerap karbondioksida juga diperlukan untuk menyerap karbondioksida
yang berkelebihan yang terbentuk karena pembakaran dan hasil respirasi. Pemasukan
nitrogen ke dalam ruangan juga dapat menurunkan konsentrasi oksigen dengan segera.
Sistem generator dapat dikembangkan karena dalam penggunaannya relatif sederhana. (
Gambar XII. 1.).
Gambar XII. 1. Diagram sebuah generator nyala terbuka. ( Wills, et al, 1981).
Udara diambil dari atmosfer dicampur dengan gas bakar cair
(LPG= Liquefied Petroleum Gas ) dan hasil pembakaran :
CH4 + 2O2 CO2 + 2H2O
Gas hasil pembakaran didinginkan dengan menyemprotan air
dan ditiupkan ke tempat penyimpanan udara terkendali.
Penyimpanan ini dilengkapi dengan alat pengatur dan
penyelamat

Konstruksi
Ciri utama penyimpanan udara terkendali adalah terdapatnya penghalang gas
yang efektif, terletak langsung pada bagian dalam dari permukaan penyekat. Apabila
penghalang uap bagian luar rusak, uap lembab akan menembus penghalang tersebut
kemudian akan memasuki penghalang gas bagian dalam yang akan dapat merusakkan
penyekat. Untuk mengatasi ini, perlu adanya selubung (jacket) ruangan sehingga
penghalang gas tetap dapat berfungsi. Sistem ini menghasilkan ruangan dingin kedap
terhadap gas, dengan sebuah ruangan antara dinding isolasi dan lapisan bagian dalam.
Udara dingin disirkulasikan dalam ruangan sempit ini untuk menghilangkan panas.
Kejelekan sistem ini adalah perlunya saluran udara dibawah lantai. Jenis lapisan
penyimpanan adalah suatu variasi dari jenis selubung, dan mempunyai lantai biasa untuk
mengurangi biaya. (Gambar XII. 2 ). Udara dingin disirkulasi ke bagian atas dan
sekeliling dinding ruangan.
Suatu sistem yang lebih baik telah dikembangkan, yang dapat menjamin ruangan
penyimpanan sejuk, udara dapat diatur, konstruksi mudah dan murah, dan bagian dalam
ruangan terbuat dari metal dan polyurethane. Polyurethane berfungsi sebagai isolasi dan
penghalang gas.

Gambar XII. 2. Bagian dari lapisan penyimpanan


dingin ( Wills et al.,1981)

Jenis Generator
Flushing generator yaitu generator yang digunakan untuk membakar LPG untuk
menghilangkan oksigen dari udara dalam ruangan secara kontinyu. Generator resirkulasi
cara bekerjanya sama dengan flushing generator, hanya di sini atmosfer dalam ruangan
disirkulasi melalui generator. Menggunakan generator resirkulasi biaya pokoknya sampai
tiga kali daripada menggunakan flushing generator (disebut juga generator nyala
terbuka). Generator nyala terbuka ekonomis jika digunakan pada ruang berlapis yang
bersifat kedap gas.
Karbondioksida yang terbentuk berlebihan akan diserap oleh penyerap (scrubber)
dengan menggunakan reagen seperti Ca(OH)2, KOH, ethanolamine, atau air, atau
menggunakan karbon aktif. Scrubber tersebut mahal, tetapi scrubber yang biasa
digunakan adalah dari sekantong kapur gamping.

12. 6. Pengelolaan Penyimpanan Produk


12. 6.1. Pendinginan Pendahuluan ( precooling ) ruangan
Ruang penyimpanan sebelum digunakan untuk penyimpanan umumnya suhunya
diturunkan dan dibiarkan beberapa hari. untuk ruangan yang mempunyai isolasi penuh.
Namun, untuk ruangan yang lantainya tidak berisolasi pendinginan pendahuluan
dilakukan satu minggu agar lantai tersebut dingin. Pendinginan pendahuluan yang tidak
baik sering menyebabkan suhu yang dikehendaki tidak sesuai, pendinginan lambat dan
dapat menyebabkan buah-buahan yang disimpan akan mengkerut.

12. 6. 2. Pengaturan Suhu


Udara yang mengalir mengambil panas dari buah-buahan dengan cara sirkulasi
konveksi dalam ruangan. Ruangan didinginkan dengan menggunakan batteri yang
dipasang di luar Tumpukan bahan dalam ruangan hendaknya sedemikian rupa sehingga
udara dapat bergerak melalui ruangan antar tumpukan sehingga semua bagian tumpukan
bahan menjadi dingin dengan segera dan merata.
Variasi suhu dalam ruangan penyimpanan yang baik tidak lebih dari 1 0C di atas
atau dibawah suhu penyimpanan. Salah satu faktor yang diperlukan untuk memperoleh
suhu produk yang merata adalah pendinginan ke seluruh bagian atas tumpukan tersebut.
Dalam hal ini, diharapkan meratanya distribusi udara ke semua lapisan yang mengelilingi
ruangan.

12. 6. 3. Seleksi, sortasi, dan penanganan Produk


Sebelum dimasukkan ke dalam ruangan penyimpanan, lebih baik dilakukan
seleksi dan sortasi produk. Tidak semua komoditi dimasukkan ke dalam ruangan
penyimpanan. Beberapa diantaranya mempunyai kualitas yang lebih baik daripada yang
lainnya. Diantaranya ada yang dapat langsung dijual ke pengolah, tetapi ada juga yang
tidak baik untuk dipasarkan. Karena pendinginan itu sangat mahal dan tidak ekonomis,
produk yang tidak baik sebaiknya tidak didinginkan dan dijual segera.

DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 1980. Postharvest Technology. The University of Queensland, Australia.

Haard, N.F. and D.K. Salunkhe, 1975. Symposium : Postharvest Biology and Handling of
Fruits and Vegetables. The Avi Publishing Company, Inc. Wesport, Connecticut.

Harper, H.A., V.W. Rodwell and P.A. Mayes. 1979. Review of Physiological Chemistry.
Large Medical Publications, Los Altos, California.

Hulme, A.C.. !971. The Biochemistry of Fruits and Their Products. Vol. 1 and Vol. 2.
Acadenmic Press, London and New York.

Long K, D. Leggo, and J.A. Seberry. 1965. Washing, Sterilzing, and Waxing Citrus
Fruits. New South Wales Department of Agriculture and Csiro, Division of Food
Preservation. Australia.

Pantastico, ER.B. 1986. Fisiologi Pasca Panen, Penanganan dan Pemanfaatan Buah-
buahan dan Sayur-sayuran Tropika dan Sub Tropika. Penerjemah :
Prof. Ir. Kamarjani. Gadjah Mada University Press. Jogyakarta.
.
Tranggono dan Sutardi. 1989. Biokimia dan Teknologi Pascapanen. Pusat Antar
Universitas - Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Wills, R., B. Mc Glasson, D. Graham, D. Joyce. 1998. Posthrvest, An Introduction to the


Physiology & Handling of Fruit, Vegetables & Ornamentals. Printed by Hyde
Park Press, Adelaide, South Australia

Wills, R.H., T.H. Lee, D. Graham, W. B. Mc. Glasson and E.G. Hall. 1981. Postharvest,
An Introduction to the Physiology and Handling of Fruit and Vegetables. New
South Wales university Press Limited, Australia.

Anda mungkin juga menyukai