Anda di halaman 1dari 8

Laporan Praktikum ke 1 Hari, tanggal : Kamis, 22 Februari 2018

Teknik Dasar Nekropsi Hewan Dosen Praktikum : drh. Vetnizah Juniantito, Ph.D
drh. Evy
drh. Heryudianto
Vibowo, MsI

SISTEM RESPIRASI PADA BABI


Kelompok 5

Nama NIM Tanda Tangan


1. Alexsandra Cipta K B J3P216103 1.
2. Aulia Fildzah R J3P116012 2.
3. Chairul Hardian P J3P216080 3.
4. Ferhat Nadian Saputra R J3P116019 4.
5. Harits N F J3P116028 5.
6. Hafidz F J3P216106 6.
7. Nabila Amalia Z J3P216096 7.
8. Ranny Nurtasya D J3P216092 8.
9. Surya Hapsara A J3P116061 9.

PROGRAM KEAHLIAN PARAMEDIK VETERINER


PROGRAM DIPLOMA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2018
1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Babi merupakan hewan yang sering diujikan dalam dunia kedokteran dan pengobatan
manusia karena memiliki anatomi dan fisiologi tubuh yang mirip dengan manusia yaitu
sebesar 80-90 %. Sistem pernapasan atau sistem respirasi adalah sistem organ yang
digunakan untuk pertukaran gas. Respirasi merupakan mekanisme yang sangat penting
untuk memenuhi kebutuhan oksigen (O2) dan mengeluarkan karbon dioksida (CO2).
O2 merupakan  aseptor  elektron dan hidrogen akhir pada rangkaian sitokrom dalam 
fosforilasi oksidasi di mitokondria. Pada hewan berkaki empat, sistem pernapasan
umumnya termasuk saluran yang digunakan untuk membawa udara ke dalam paru-
paru di mana terjadi pertukaran gas. Diafragma menarik udara masuk dan juga
mengeluarkannya. Berbagai variasi sistem pernapasan ditemukan pada berbagai jenis
makhluk hidup.

Secara makro anatomi, sistem respirasi dapat dibedakan menjadi 2 (dua) bagian
yaitu: pars konduktoria (saluran respirasi) dan pars respiratorius (alveolus). Pars
konduktoria tersusun atas: hidung → rongga hidung → pharynx → larynx → trachea →
bronchus → bronchiolus. Pars konduktoria berfungsi sebagai saluran udara respirasi dari
atmosfer ke dalam alveoli. Epitel respirasi tersusun atas epitel kolumner (toraks)
bertingkat bersilia, dan diantaranya banyak terdapat sel goblet.

1.2 Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui anatomi sistem respirasi pada babi
serta mengetahui kelainan-kelainan pada sistem respirasi babi.

2. METODOLOGI

2.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan


Hari, tanggal : Kamis, 22 Februari 2018
Waktu : 08.00 – 12.00 WIB
Tempat : Klinik Hewan Pendidikan Diploma IPB

2.2 Metode
Metode yang digunakan pada praktikum ini yaitu studi literatur dengan internet
dan jurnal.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Sistem pernapasan pada babi umunya sama pada sistem pernapasan


manusia,bahkan sistem pernapasan pada babi tidak sebanyak pada manusia. Pada fetus,
paru-paru pada babi berukuran lebih kecil dan padat. Saluran pernapasan pada babi yaitu
yaitu mulai dari hidung-faring (pangkal tenggorokan) - trakea (batang tenggorokan) -
bronkus - pulmo.
Hidung Termasuk alat pernapasan paling luar dilengkapi dua lubang, tedapat
rambut halus yang akan menyaring dan menahan kotoran berupa debu dan bakteri yang
masuk bersamaan dengan udara, selaput lendir berguna untuk mengatur kelembapan
udara, saraf-saraf (sel olfaktori), dan terdapat kapiler darah yang akan menyesuaikan
suhu udara dengan tubuh.

Faring Udara dari rongga hidung masuk ke faring. Faring merupakan


percabangan 2 saluran, yaitu saluran pernapasan (nasofarings) pada bagian depan dan
saluran pencernaan (orofarings) pada bagian belakang. Pada bagian depan saluran
pernapasan dan begian belakang saluran pencernaan. Bagian ini berhubungan dengan
hidung dan rongga mulut dan terdiri dari nasofaring, orofaring, dan hypofaring. Pada
hypoofaring, sistem pernapasan terpisah dari sistem pencernaan, udara akan memasuki
laring, sedangkan makanan akan memasuki esophagus melalui gotis. Di bagian belakang
faring terdapat laring yang tersusun dari tulang rawan.

Trakea Setelah melewati faring, udara akan masuk ke batang trakea yang terletak
di depan esofagus yang tersusun atas cicin kartilago. Trakea dilengkapi dengan silia dan
selaput lendir yang akan mencegah udara kotor yang lolos dari saringan atau proses
pembersihan udara di hidung masuk ke paru-paru.

Bronkus Bronkus merupakan percabangan dari trakea yang terletak di depan dada
dan bronkus masih tersusun oleh tulang rawan namun jumlahnya lebih sedikit
dibandingan dengan faring. Bronkus bercabang menjadi dua yaitu bronkus kanan dan kiri
paru-paru dn masing- masing cabang bronkus bercabang lagi menjadi bronkiolus.

Pulmo (paru-paru) Paru-paru dibungkus oleh selaput (pleura) dan paru-paru


terletak diatas diafragma. Di dalam paru-paru, percabangan masing-masing bronkus akan
bercabang lagi menjadi bronkiolus dan selanjutnya akan bercabang lagi menjadi saluran
yang lebih halus yang terhubung dengan alveolus (gelembung paru-paru).

Pada saat babi menghirup udara (inspirasi), udara pertama-tama masuk ke hidung
dan terjadi proses penyaringan udara dari kotoran dan bakteri, setelah itu udara akan
melewati faring dan menuju trakea. Udara akan masuk ke paru-paru karena tekanan di
dalam paru-paru lebih rendah dibandingkan dengan tekanan di luar, disebabkan otot
interkostalis eksternal (otot antartulang rusuk) berkontraksi menyebabkan tulang rusuk
terangkat serta kontraksi diafragma yang menyebabkan diafragma mendatar sehinggah
rongga dada membesar dan udara langsung masuk ke paru-paru hingga tekanan sama.
Sebelum masuk ke paru- paru. Pada trakea terdapat silia yang akan akan membersihkan
udara kotor yang lolos dari penaringan di hidung. Kepekaan silia terhadap iritasi atau
kotoran pada udara membangkitkan implus saraf yang dihantarkan oleh saraf vagus ke
pusat  pernapasan di batang otak sehinggah menyebabkan batuk. Percabangan trakea atau
bronkus akan menyalurkan udara masuk ke dalam paru-paru. Di dalam paru- paru
bronkus berkembang menjadi bronkiolus, bronkuolus terminal, bronkiolus respiratori,
duktus alveolus dan akhirnya akan menjadi alveoli. Pertukaran gas terjadi di membran
respiratorik yang disusun oleh dinding alveolar dan dinding kapiler yang saling
bergabung. Pengeluaran karbon dioksida (ekspirasi) terjadi karena rongga dada mengecil
akibat otot diafragma berelaksasi sehingga posisi diafragma mengembang dan juga akibat
dari otot antartulang rusuk bereleksasi sehingga tulang rusuk turun kembali. Rongga dada
yang mengecil menyebabkan tekanan udara di dalam paru-paru lebih besar dari pada di
luar tubuh sehingga udara yang kaya karbondioksida terdorong keluar tubuh.

Pada babi terdapat banyak sekali penyakit yang menyerang saruran pernapasan.
Diantaranya mycoplasma pneumonia dan athropic rhinitis. Pada awalnya pneumonia
pada babi dikenal sebagai enzootic pneumonia diduga disebabkan oleh virus. Tetapi
pada tahun 1965 kuman penyebab enzootic pneumonia tersebut diidentiikasi sebagai
Mycoplarma hyopneumoniae. Dengan mikroskopelektron mikoplasmatersebut tampak
berada di dalam epitel bronkhiolus dan bronkhus. Kerusakan pada epitel akan
mempermudah infektor sekunder seperti Pasteurella multocida, Actinobacillus
(Haemophilus) pneumoniae don Bordetella bronchiseptica masuk ke jaringan paru-paru
yang lebih dalam.

Kelainan mycoplasma pneumonia pada babi (porcine enzootic pneumonia)


merupakan infeksi akut atau peradangan pada sitem respirasi. Mycoplasma berasal dari
bahasa latin ‘mollis’ yang berarti lembut dan ‘cutis’ yang beraarti kulit. Mycoplasma
merupakan bakteri gram negatif yang bersifat fakultatif anaerob, kelas mollicutes, ordo
mycoplasmatales dan genus mycoplasma. Terdiri dari tiga family antara lain
mycoplasma, ureaplasma, dan acholeplasma Organisme ini merupakan pleomorfik
terkecil dengan ukuran 0.2 mm sampai 0.3 mm yang tidak memiliki dinding sel tetapi
dikelilingi oleh membran plasma, hal ini menyebabkan mycoplasma sangat sensitif
terhadap perubahan tekanan osmotic. Membrane plasmanya tersusun atas lipid
(phospolipid, glycolipid, lipoglycan, sterol) dan protein. Mikroorganisme ini bereplikasi
dengan cara pembelahan sel. Menurut Bailao et al (2007) meskipun mikroorganisme ini
memiliki genom yang sederhana akan tetapi penyakit yang ditimbulkannya sangat
kompleks dan belum banyak diketahui. Selain itu, mycoplasmosis biasanya berjalan
kronis dikarenakan mycoplasma mampu bertahan dari antibody inang serta mudah
disertai infeksi sekunder dari mikroorganisme lain. Ada beberapa spesies mycoplasma
dengan host yang berbeda-beda, salah satunya yaitu mycoplasma yang menyerang babi.

Patogenesa infeksi Mycoplasma hyopneumoniae pada babi dapat menyebabkan


gangguan pada saluran pernapasan terutama di paru-paru. Salah salah satu penyakit yang
diketahui sebagai akibat dari infeksi mikroorganisme ini adalah Porcine Enzootic
Pneumonia. Penyakit ini sangat kontagius dan penularannya dapat melalui kontak
langsung dengan babi yang terinfeksi (Lopes 1995). Dampak yang dapat muncul akibat
enzootic pneumonia antara lain penurunan bobot badan dari hewan serta kerugian
ekonomi yang sangat signifikan. Peyakit ini dapat menyerang semua kelompok umur
akan tetapi hewan muda akan lebih peka. Menurut Melintira et all (2003), pada hewan
yang sebelumnya belum pernah terpapar akan mengalami infeksi saluran pernapasan akut
berupa kesulitan beernapas yang akut dan kematian. Jika penyakit ini telah berjalan
kronis maka gejala klinis hanya akan terlihat jika hewan penurunan daya tahan tubuh.

Mikroorganisme masuk ke dalam jaringan paru-paru melalui saluran pernapasan


atas dengan cara membentuk koloni di silia saluran pernapasan, melekat di epitel trachea
dan menuju lobus bagian cranial paru-paru untuk selanjutnya menuju alveolus sekitarnya.
Perlekatan pada epitel saluran pernapasan dapat menyebabkan masuknya neutrofil ke
dalam mukosa trcheobronchial, berkurangnya silia epitel, menstimulasi hiperplasia
limfosit Broncho Assosiated Limfoid Tissue (BALT), dan mengganti komposisi kimia
mukus di saluran pernapasan. Mycoplasma hyopneumoniae umumnya menyerang babi
yang berumur enam minggu. Masa inkubasi tergantung banyaknya agen yang masuk ke
dalam tubuh. Jika agen yang masuk tubuh jumlahnya sangat tinggi maka masa
inkubasinya akan berlangsung selama 11 hari sedangkan jika jumlahnya masih dalam
batas ambang toleransi maka masa inkubasinya akan berlangsung selama 4-6 minggu
(Melintira et all 2003). Selain itu jika Mycoplasma hyopneumoniae yang masuk ke dalam
tubuh jumlahnya sangat sedikit maka kemungkinan akan infeksi kronis yang bersifat
subklinis.

Mycoplasma pneumoniae merupakan mikroorganisme ekstraselular tetapi


umumnya dapat menyebabkan kerusakan silia dan sel mukosa saluran pernapasan babi,
antara lain di silia epitel paru-paru (Bailao et al 2007). Silia epitel saluran pernapasan
kehilangan kemampuan memproduksi mucous, terjadi ciliostasis, nekrosa epitel paru-
paru, dan muncul lesio-lesio di paru-paru. Membran selaput lendir juga rusak karena
reduksi mikroorganisme ini, akibatnya organ-organ saluran pernapasan mudah
mengalami infeksi sekunder berupa infeksi virus (seperti PCV2) dan infeksi bakteri
(seperti pasteurella multocida S. suis, H. Parasuis, A. pyogenes). Mycoplasma
pneumoniae juga memiliki kemampuan untuk mengatur respon kekebalan dari inangnya
sehingga menyebabkan kondisi immunosupresive dan stimulasi pembentukan sel radang
(Lopes 1995).

Patologi anatomi dan histopatologi pada babi yang terinfeksi Mycoplasma


pneumonia bentukan patologi anatomi yang ditemukan berupa hepatisasi kelabu paru-
paru, pleuritis, lesio-lesio di lobus paru-paru (umumnya di lobus cranial dan lobus
acsesorius) dan seringkali disertai eksudat supuratif. Bentukan perubahan yang khas
mencirikan infeksi dari mikroorganisme ini yaitu bronchopneumonia supuratif (Lopes
1995). Kehadiran eksudat supuratif sering kali terkait dengan adanya infeksi sekunder
dari mikroorganisme lain seperti Pasteurella multocida S. suis, H. Parasuis dan A.
Pyogenes. Temuan histopatologi yang dijumpai berupa akumulasi sel radang makrofag
dan neutrofil di alveolar dan jaringan peribronchial, mengaktivasi sel mast, hilangnya
silia sel epitel, desquamasi epitel paru-paru dan oedema di alveoli. (Kwon et all 2002).

Severe pneumonia in SEW pigs that were coinfected with PCV2 and M. hyo.
Photo credit: Iowa State University (Alex Ramirez). 
http://www.pigprogress.net/Health/Health-Tool/diseases/Enzootic-Pneumonia-
EP/

Selain mycoplasma pneumonia, penyakit yang menyerang sistem respirasi pada


babi adalah atropic rhinitis. Atropic rhinitis adalah penyakit menular pada babi ditandai
dengan adanya sekresi hidung yang bersifat purulen, disertai perubahan bentuk hidung
berupa moncong hidung membengkok, atrofi tulang turbinatum dan penurunan
produktifi tas. Atropic rhinitis kemungkinan telah tersebar diseluruh dunia. Pada bentuk
parah dan progresif, penyebab penyakit ini adalah Pasteurella multocida yang
toksigenetik disertai atau tidak disertai oleh Bordetella bronchoseptica. Bentuk ringan
sampai sedang, disebabkan oleh Bordetella bronchoseptica saja, atau disertai oleh fl ora
normal pada hidung. Bordetella bronchoseptica adalah bakteri berbentuk batang atau
coccobacillus, Gram negatif. Bakteri ini motil, tidak membentuk spora dan bersifat aerob.
Secara eksperimental telah dibuktikan bahwa B.bronchoseptica sendiri dapat
menimbulkan atrofi turbinatum bila ditularkan secara intra nasal pada anak babi Specifi c
Pathogenic Free (SPF) umur di bawah tiga minggu. Pasteurella multocida adalah bakteri
yang pada awalnya dianggap sebagai bakteri penyebab kedua pada atropic rhinitis, tetapi
belakangan diketahui P.multocida merupakan penyebab utama atropic rhinitis pada babi.
Rhinitis ini menyebabkan peradangan pada jaringan di dalam hidung yang
umumnya bersifat ringan. Selama proses infeksi secara perlahan tulang turbinatum
hidung akan rusak dan dapat mengecil (atrofi ) atau menjadi terdistorsi. Kondisi ini jarang
menyebabkan penyakit klinis pada hewan dewasa, tetapi jika babi terinfeksi sejak lahir
akan menyebabkan distorsi pada muka di masa dewasanya. Ada dua bentuk penyakit
yaitu ringan dan non-progresif di mana infeksi atau iritasi terjadi selama 2 sampai 3
minggu, namun radang tidak berkembang sehingga tulang turbinatum dapat kembali ke
bentuk normal. Penyakit serius menyebabkan rhinitis atrofi progresif (PAR) di mana
bakteri P.multocidia akan memproduksi racun, menyebabkan peradangan yang terus-
menerus dan progresif sehingga menyebabkan terjadinya atrofi jaringan dan distorsi
hidung. PAR dapat menyerang baik pada babi yang sedang menyusui atau pada babi
yang sedang tumbuh. Bila kelompok babi telah terinfeksi, semua ternak akan
menunjukkan beberapa derajat non-progresif rhinitis atrofi .
Apabila dari luar batang hidung sudah terlihat membengkok, maka kelainan
tulang turbinatum mudah diduga. Dalam hal kelainan bentuk batang hidung tidak terlihat,
maka perlu dilakukan pemotongan memanjang (cross section) rongga hidung setinggi
gigi premoral kedua. Patologi yang mencolok adalah hipoplasia turbinatum nasalis.
Dalam mukosa lubang hidung ditemukan eksudat mukopurulen.

Gambar : Atropic Rhinitis pada babi.

Babi ini mengalami destruksi total pada tulang turbinatum hidung setelah infeksi
alami oleh kuman tipe D toksigenik P.multocida (Sumber : Departemen Patologi,
Universitas Guelph) (Sumber : http://www.merckvetmanual.com/mvm/htm/bc/resrp
01.htm)

Bailao AM, Parente JA, Pereira M & Maria C. 2007. Kinases of two strains of
mycoplasma hyopneumoniae and strain of mycoplasma synoviae. Copyright by the
Brazilian Society of Genetics : Brazil. Jurnal Genetic and Molecular Biology. 30(1).
Hal. 219-224.

Melintira I, Yunus F, Wiyono WH. 2003. Peranan Infeksi Chlamydia pneumoniae dan
Mycoplasma pneumonia terhadap Eksaserbasi Asma. Universitas Indonesia :
Jakarta. Cermin Dunia kedokteran No 141.

Kwon D, Choi C & Chae C. 2002. Chronologic Localization of Mycoplasma


hyopneumoniae in Experimentally Infected Pigs. Seoul National University :
Republic of Korea. Vet Pathol 39 : 584-587.

Lopes A, 1995. Respiratory System di dalam Thomson Special Veterinary Pathatology


2nd Ed. USA: Mosby Year Book Inc.
Staf Pengajar Bagian Patologi Anatomi. 1973. Kumpulan Kuliah Patologi. Editor:
Himawan S. Universitas Indonesia : Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai