Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Model Konseling Spiritual
Terkadang seseorang mengalami resistensi dalam memenuhi tugas
perkembangannya. Untuk itu diperlukan model-model tertentu dalam
konseling spiritual yang dapat disesuaikan dengan pemenuhan kebutuhan
diri. Salah satu model yang diungkapkan oleh Burke (1999) dalam Hall
yang telah merumuskan satu model penggabungan spiritual dan agama
dalam kurikulum inti CACREP. Sedangkan ada empat model pengajaran
dalam materi spiritual dan konseling yang didesain, agar dapat membantu
individu, yaitu: 1). Meningkatkan keyakinan individu terhadap issu-issu
spiritual. 2). Memeberitahukan pada mereka bagaimana caranya
membantu mereka dalam menyikapi issu-issu spiritual tersebut.
3).Meningkatkan kesadaran mereka dalam berinteraksi terhadap konseli
melalui nilai-nilai spiritual yang mungkin juga berbeda dengan nilai-nilai
spiritual yang mereka miliki. 4). Mengakses kemampuan konselor dalam
menghindarkan nilai-nilai pribadi terhadap diri konseli.

Penyajian model tersebut berpolakan pada konteks nilai-nilai


multicultural, Sebagaimana diketahui bahwa konstruk paham multibudaya
yang selalu berkembang. Demikian juga yang terjadi pada ranah konseling
spiritual. Sebagaimana diketahui bahwa perkembangan agama sangatlah
penting dalam konstruk perkembangan dari individu. Perkembangan
tersebut dapat diketahui melalui cara mereka dalam berpikir agama
(religious thinking) tentang hal-hal yang bersifat abstrak (abstraction)
maupun keyakinan idiologi (ideological).

Halusinasi adalah gangguan atau perubahan persepsi dimana klien


mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi, suatu penerapan
panca indra tanpa ada rangsangan dari luar, suatu penghayatan yang
dialami suatu persepsi melalui panca indra tanpa stimulus eksteren:
persepsi palsu (Maramis, 2005).
Pendapat lain juga mengatakan halusinasi adalah sensai panca
indera tanpa adanya rangsangan klien merasa melihat, mendengar,
membau, ada rasa raba dan rasa kecap meskipun tidak ada sesuatu
rangsang yang tertuju pada kelima indera tersebut (Izzudin, 2005 dikutip
dari Harnawati, 2008).
Semakin banyak tanda dan gejala halusinasi yang muncul dan
semakin tinggi frekuensi halusinasi halusinasi, dan apabila halusinasi ini
mempengaruhi sikap dan perilaku pasien hal ini akan berakibat buruk dan
dapat menjurus kepada tindakan maladaptif seperti bunuh diri, perilaku
kekerasan, dan mencedrai diri sendiri dan orang lain (Leksikon, 2004).
Dalam mengatasi halusinasi dan mengurangi frekuensi halusinasi
yang timbul pada pasien halusinasi ini dapat diberikan terapi modalitas
yaitu terapi utama dalam keperawatan jiwa. Terapi ini diberikan dalam
upaya mengubah perilaku pasien dari perilaku maladaptif menjadi
perilaku adaptif. Tindakan terapi modalitas salah satunya meliputi terapi
individu (Keliat, 2006).
Terapi individu merupakan salah satu bentuk terapi yang dilakukan
secara individu oleh perawat kepada pasien secara tatap muka perawat-
pasien dengan cara yang terstruktur dan durasi waktu tertentu sesuai
dengan tujuan yang ingin dicapai (Akemat, 2004).
Pendekatan terapi individu yang sering digunakan adalah
pendekatan strategi pelaksanaan komunikasi diantaranya membina
hubungan saling percaya perawat-pasien, membantu mengenal halusinasi,
dilakukan dengan berdiskusi tentang isi halusinasi (apa yang didedengar,
dilihat), waktu terjadi halusinasi, frekuensi dan situasi penyebab
halusinasi serta respons pasien saat itu, melatih mengontrol halusinasi
menggunakan cara menghardik halusinasi, bercakap-cakap dengan orang
lain dan melakukan aktivitas terjadwal (Keliat, 2006).
Mendapat dukungan dari keluarga, menggunakan obat kemampuan
yang dilihat yaitu menjelaskan kembali pentingnya penggunaan obat pada
gangguan jiwa, menjelaskan kembali akibat bila obat tidak digunakan
sesuai program, menjelaskan kembali akibat bila putus obat, menjelaskan
kembali cara mendapatkan obat/berobat dan mampu menjelaskan kembali
cara menggunakan obat dengan prinsip 5 (lima) benar (Keliat, 2006).
Mengingat dampak yang ditimbulkan dari halusinasi, maka
masalah tersebut memerlukan penanganan lebih lanjut, yaitu dengan
memberikan terapi individu dengan pendekatan strategi pelaksanaan
komunikasi secara benar, komprehensif dan berkesinambungan, hal ini
akan membentuk perkembangan analisis hubungan (transference
relationship) antar individu sehingga membuat pasien melepaskan
tegangan dan menghidupkan kembali sejumlah kejadian yang
mengandung emosi dalam diri pasien (Yustinus. 2008).

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah defenisi dari halusinasi?

2. Apakah manifestasi klinis dari halusinasi?

3. Bagaimana proses terjadinya halusinasi?

4. Bagaimana rentang respon neurobiologis dari halusinasi?

5. Bagaimana tahapan-tahapan dari halusinasi?

6. Apa saja jenis-jenis halusinasi?

7. Bagaimana pohon masalah pada pasien dengan halusinasi?

8. Bagaimana terapi modalitas individu pada pasien halusinasi?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui defenisi dari halusinasi

2. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari halusinasi

3. Untuk mengetahui proses terjadinya halusinasi

4. Untuk mengetahui rentang respon neurobiologis dari halusinasi

5. Untuk mengetahui tahapan-tahapan dari halusinasi


6. Untuk mengetahui saja jenis-jenis halusinasi

7. Untuk mengetahui pohon masalah pada pasien dengan halusinasi

8. Untuk mengetahui terapi modalitas individu pada pasien halusinasi

1.4 Manfaat Penulisan

Manfaat dari penyusunan rumusan masalah tersebut untuk


mengetahui manfaat pemberian terapi modalitas individu pada pasien
dengan gangguan jiwa khususnya pasien yang mengalami halusinasi.

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Definisi Halusinasi


Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana klien
mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan
pancaindra tanpa ada rangsangan dari luar atau suatu penghayatan yang
dialami suatu persepsi melalui pancaindra tanpa stimulus eksternal: persepsi
palsu (Maramis, 2009).
Halusinasi adalah pengalaman pancaindra tanpa adanya rangsangan
(stimulus) misalnya penderita mendengar suara-suara, bisikan ditelinganya
padahal tidak ada sumber dari suara bisikan itu (Hawari, 2012).
Halusinasi juga merupakan gejala dari beberapa gangguan psikiatrik,
seperti skizofrenia, gangguan skizoniform, gangguan skizoafektif, mania,
depresi psikotik, gangguan kepribadian ambang, psikosis reaktif sejenak, dan
gangguan psikotik yang disengaja (Nevid, 2005).
Halusinasi pada orang-orang yang tidak mengalami kondisi psikiatri
sering kali dipicu oleh stimulasi sensoris dalam tingkat rendah yang tidak
biasa (berbaring dalam kegelapan diruangan yang kedap suara untuk waktu
yang lama) atau tingkat pengaktifan yang rendah. Tidak seperti individu yang
psikotik, orang-orang tersebut menyadari bahwa halusinasi mereka tidak nyata
dan merasa dapat mengontrolnya (Nevid, 2005).
2.2 Manifestasi Klinis
Menurut (Kusumawati, 2010), tanda dan gejala halusinasi yang
mungkin muncul yaitu: Menarik diri, Tersenyum sendiri, Duduk terpaku,
Bicara sendiri, Memandang satu arah, Menyerang, Tiba-tiba marah, Gelisah.
Berdasarkan jenis dan karakteristik halusinasi tanda dan gejalanya sesuai.
Berikut ini merupakan beberapa jenis halusinasi dan karakteristiknya menurut
(Stuart, 2007) meliputi :
A. Halusinasi pendengaran
Karakteristik : Mendengar suara atau bunyi, biasanya suara orang. Suara
dapat berkisar dari suara yang sederhana sampai suara orang bicara
mengenai klien. Jenis lain termasuk pikiran yang dapat didengar yaitu
pasien mendengar suara orang yang sedang membicarakan apa yang
sedang dipikirkan oleh klien dan memerintahkan untuk melakukan
melakukan sesuatu yang kadang-kadang berbahaya.
B. Halusinasi penglihatan
Karakteristik : Stimulus penglihatan dalam kilatan cahaya, gambar
geometris, gambar karton atau panorama yang luas dan kompleks.
Penglihatan dapat berupa sesuatu yang menyenangkan atau sesuatu yang
menakutkan seperti monster.
C. Halusinasi penciuman
Karakteristik : Membau bau-bau seperti darah, urine, feses umumnya bau-
bau yang tidak menyenangkan. Halusinasi penciuman biasanya
berhubungan dengan stroke, tumor, kejang dan demensia.
D. Halusinasi pengecapan
Karakteristik : Merasakan sesuatu yang busuk, amis dan menjijikan seperti
darah, urine, atau feses.
E. Halusinasi perabaan
Karakteristik : Mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus
yang jelas, rasa tersetrum listrik yang datang dari tanah, benda mati atau
orang lain.
F. Halusinasi senestetik
Karakteristik : Merasakan fungsi tubuh seperti darah mengalir melalui
vena dan arteri, makanan dicerna, atau pembentukan urine.
G. Halusinasi kinestetik
Karakteristik : Merasa pergerakan sementara bergerak tanpa berdiri.
2.3 Proses Terjadinya Halusinasi

A. Fase comforting (ansietas sebagai halusinasi menyenangkan)

Klien mengalami ansietas sedang dan halusinasi yang


menyenangkan. klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas,
kesepian, rasa bersalah, takut dan mencoba untuk berfokus pada pikiran
yang menyenangkan, untuk meredakan ansietas. Individu mengalami
bahwa pikiran dan pengalaman sensori berada dalam kendali kesadaran.

Perilaku klien: Menggerakkan bibir tanpa suara, pergerakan mata


yang cepat, diam dan asyik sendiri, respon verbal yang lambat jika sedang
asyik.

B. Fase Condemning (ansietas berat halusinasi memberatkan)


Pengalaman sensori yang menjijikkan dan menakutkan. Klien
mulai lepas kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya
dengan sumber yang di persiapkan. Klien mungkin mengalami
dipermalukan oleh pengalaman sensori dan menarik diri dari orang lain
psikotik ringan.

Perilaku klien: Meningkatnya tanda-tanda sistem syaraf otonom


akibat ansietas seperti penigkatan denyut jantung, pernafasan dan tekanan
darah. Rentang perhatian menyempit, asyik dengan pengalaman sensori
dan kehilangan kemampuan membedakan halusinasi dan realita.

C. Controling (ansietas berat pengalaman sensori menjadi berkuasa)

Klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan


menyerah pada halusinasi tersebut. Isi halusinasi menjadi menarik, klien
mungkin mengalami pengalaman kesepian jika sensori halusinasi berhenti
psikotik.

Perilaku klien: Kemampuan yang dikendalikan halusinasi akan


lebih diikuti kesukaran berhubungan dengan orang lain. Rentang perhatian
hanya beberapa detik atau menit adanya tanda-tanda fisik. Ansietas berat:
berkeringat, tremor, tidak mampu mematuhi peraturan.

D. Conquering panik (umumnya menjadi lebur dalam halusinasi)

Pengalaman sensori jadi mengancam jika klien mengikuti perintah


halusinasi. Halusinasi berakhir dari beberapa jam atau hari jika tidak ada
intervensi terapeutik psikotik berat.

Perilaku klien: Perilaku tremor akibat panik, potensi kuat


suicida/nomicide aktifitas fisik merefleksikan isi halusinasi seperti
perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri atau katatonia tidak mampu
berespon terhadap perintah yang kompleks, tidak mampu berespons lebih
dari 1 orang (Stuart dan Laraia, 2001).

2.4 Rentang Respon Neurobiologis


Rentang respon neurobiologist yang paling adaptif yaitu adanya
pikiran logis, persepsi akurat, emosi yang konsisten dengan pengalaman,
perilaku cocok, dan terciptanya hubungan sosial yang harmonis. Sedangkan,
respon maladaptive meliputi waham, halusinasi, kesukaran proses emosi,
perilaku tidak terorganisasi, dan isolasi sosial. Rentang respon neurobiologis
halusinasi digambarkan sebagai berikut (Stuart, 2013).

Adaptif Maladaptif

Pikiran kadang menyimpang Gangguan proses


pikir:
Ilusi
Waham
Emosi tidak stabil
Halusinasi
Menarik diri
Ketidakmampuan
untuk mengalami
Gambar 1. Rentang Respon Neurobiologis
emosi
Halusinasi
Ketidakteraturan
2.5 Tahapan Halusinasi
Isolasi sosial
Ada beberapa tahap-tahap atau fase halusinasi menurut
Stuart (2007), yaitu:
1. Fase I : Comforting (halusinasi tahap cemas sedang);

2. Fase II: Complementing (halusinasi tahap cemas tingkat berat);

3. Fase III: Controlling (halusinasi tahap cemas tingkat berat,


pengalaman sensori menjadi penguasa);

4. Fase IV: Conquering (halusinasi tahap cemas tingkat panic, tahapan


yang dapat melebur menjadi satu dalam halusinasi).

2.6 Jenis Halusinasi


Menurut Farida (2010) halusinasi terdiri dari tujuh jenis :
A. Halusinasi Pendengaran (Auditorik)
Mendengar suara atau kebisingan, paling sering suara orang. Suara
berbentuk kebisingan yang kurang jelas samapi kata-kata yang jelas
berbicara tentang klien, bahkan sampai pada percakapan lengkap antara
dua orang yang mengalami halusinasi. Pikiran yang terdengar dimana
klien mendengar perkataan bahwa klien disuruh untuk melakukan sesuatu
kadang dapat membahayakan.
B. Halusinasi Penglihatan (Visual)
Stimulus visual dalam bentuk kilatan cahaya, gambar geometris,
gambar kartun, bayangan yang rumit atau kompleks. Bayangan bisa yang
menyenangkan atau menakutkan.
C. Halusinasi Penghidu atau penciuman (Olfaktory)
Membau bau-bauan tertentu seperti bau darah, urin, dan fases, farfum
atau bau yang lain. Ini sering terjadi pada seseorang pasca serangan stroke,
kejang atau dimensia.
D. Halusinasi Pengecap (Gustatory)
Merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses.
E. Halusinasi Perabaan (Tactile)
Merasa mengalmi nyeri atau ketidaknyamnan tanpa stimulus yang
jelas. Rasa tersetrum listrik yang datang dari tanah, benda mati atau orang
lain.
F. Halusinasi Sinestetik (Cenesthetic)
Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau arteri,
perncernaan makan atau pembentukan urine.
G. Halusinasi Kinestetika (Kinesthetic)
Meraskan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.

2.7 Pohon Masalah Pada Halusinasi

Efek/ Akibat Risiko Perilaku Kekerasan

Masalah Utama Gangguan Sensori Persepsi:


Halusinasi
Penyebab Isolasi Sosial

2.8 Terapi Modalitas Individu Pada Pasien Halusinasi


Terapi individu merupakan salah satu bentuk terapi yang dilakukan
secara individu oleh perawat kepada pasien secara tatap muka perawat–pasien
dengan cara yang terstruktur dan durasi waktu tertentu sesuai dengan tujuan
yang ingin dicapai (Akemat, 2004).
Pendekatan terapi individu yang sering digunakan adalah pendekatan
strategi pelaksanaan komunikasi diantaranya membina hubungan saling
percaya perawat–pasien, membantu mengenal halusinasi, dilakukan dengan
berdiskusi tentang isi halusinasi (apa yang didengar, dilihat), waktu terjadi
halusinasi, frekuensi dan situasi penyebab halusinasi serta respons pasien saat
itu, melatih mengontrol halusinasi menggunakan cara menghardik halusinasi,
bercakap–cakap dengan orang lain dan melakukan aktivitas terjadwal,
mendapat dukungan dari keluarga, menggunakan obat, kemampuan yang
dilihat yaitu menjelaskan kembali pentingnya penggunaan obat pada gangguan
jiwa, menjelaskan kembali akibat bila obat tidak digunakan sesuai program,
dan mampu menjelaskan kembali akibat bila putus obat, menjelaskan kembali
cara mendapatkan obat/berobat dan mampu menjelaskan kembali cara
menggunakan obat dengan prinsip 5 (lima) benar (Keliat, 2006).
Aspek yang terpenting tindakan keperawatan ini adalah menjadikan
individu mampu menilai dirinya sendiri tanpa merusak suasana psikologisnya,
melepaskan pikiran yang membebani serta memahami pikiran dan perilaku
salahnya (Videbeck, 2008).
Dalam studi kasus ini teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah sebagai
berikut:

a. Wawancara
Teknik wawancara untuk mendapatkan data subjektif dan informasi
tentang permasalahan yang dihadapi klien gangguan persepsi sensori:
halusinasi pada skizofrenia serta perkembangan kondisi klien setelah
dilakukan tindakan keperawatan menghardik halusinasi.
b. Observasi Langsung
Melakukan pengamatan langsung pada keadaan klinis klien dan
mencatat hasil tindakan keperawatan menghardik halusinasi. Data
yang diperoleh meliputi mendengar suara yang pada dasarnya tidak
nyata, kurang konsentrasi dengan lingkungan sekitar, sulit
berkomunikasi dengan orang lain, ekspresi muka tegang, pergerakan
mata cepat, respon verbal yang lambat.
Analisa data dari perumusan masalah gangguan persepsi sensori:
halusinasi untuk mengatasi masalah tersebut penulis menggunakan tindakan
menghardik halusinasi. Melatih klien dengan mengontrol halusinasi dengan
cara mengendalikan halusinasi. Instrumen alat ukur yang digunakan pada
gangguan persepsi sensori: halusinasi adalah penulis itu sendiri, lembar atau
format fokus pengkajian pada klien dengan gangguan persepsi sensori:
halusinasi, lembar observasi penilaian (Damaiyanti, 2014).
Tindakan keperawatan pada klien gangguan persepsi sensori: halusinasi
yaitu dengan tindakan keperawatan menghardik halusinasi untuk mengusir
halusinasi. Untuk mengukur keberhasilan tindakan keperawatan menghardik
halusinasi menggunakan lembar observasi sebelum dan sesudah dilakukan
tindakan keperawatan menghardik halusinasi.
Upaya yang dilakukan untuk mengatasi halusinasi selama ini salah
satunya dengan menggunakan menghardik halusinasi (Dermawan, 2013).
Berdasarkan penulisan Ninik Retno (2016) yang dilakukan di RSJD Dr. Arif
Zainudin Surakarta pada salah satu klien yang mengalami halusinasi
pendengaran, untuk mengatasi halusinasi yang sudah dilakukan bahwa
intensitas halusinasi sudah berkurang ditandai dengan klien mengontrol rasa
takut saat halusinasi muncul setelah belajar pengontrolan halusinasi dan
halusinasi sudah tidak muncul ketika dimalam hari dengan melakukan ketiga
SP (Strategi Pelaksanan) yaitu, SP 1 menghardik halusinasi, SP 2
bercakapcakap dengan orang lain, SP 3 mengkonsumsi obat secara teratur.
Tindakan keperawatan klien halusinasi meliputi membantu klien
mengenali halusinasi tentang isi halusinasi (apa yang didengar/dilihat), waktu
terjadi halusinasi, frekuensi terjadinya halusinasi, situasi yang menyebabkan
halusinasi muncul dan respon klien saat halusinasi muncul. Latihan klien
mengontrol halusinasi dengan salah satu cara dapat mengendalikan halusinasi
yaitu menghardik halusinasi dengan cara menolak halusinasi yang muncul
(Dermawan, 2013). Tindakan keperawatan yang digunakan untuk mengatasi
halusinasi meliputi mengenal halusinasi, melatih klien mengontrol halusinasi
dengan cara menghardik atau menolak halusinasi.
Prinsip pelaksanaan dalam mengatasi masalah gangguan persepsi
sensori: halusinasi adalah salah satunya dengan melakukan menghardik
halusinasi. Menghardik halusinasi adalah upaya mengendalikan diri terhadap
halusinasi dengan cara menolak halusinasi yang muncul (Dalami, 2010).
Menghardik halusinasi bertujuan untuk mengusir halusinasi yang
dialami klien. Menurut hasil riset Karina (2013) saat melakukan terapi
menghardik responden menjadi lebih fokus dan berkonsentrasi pada
halusinasinya. Sehingga memungkinkan beberapa zat kimia di otak seperti
dopamine neurotransmitter tidak berlebihan. Klien dilatih untuk mengatakan
tidak terhadap halusinasi yang muncul atau tidak memperdulikan
halusinasinya. Jika bisa dilakukan dengan baik dan benar, maka klien akan
mampu mengendalikan diri dan tidak mengikuti halusinasi yang muncul.
Teknik untuk menghardik halusinasi itu sendiri adalah fokus pandangan lurus
ke depan kemudian konsentrasi, memilih kata yang akan digunakan untuk
menghardik, perawat mendemonstrasikan kemudian klien diberi kesempatan
mendemonstrasi kembali. Kata yang sudah dipilih diucapkan dengan sungguh-
sungguh dapat dilakukan dalam hati atau diucapkan langsung. Setelah latihan
menghardik memberikan reinforcement pada klien. Hasil perbedaan dari
tindakan yang dilakukan sebelum dan sesudah
Terapi individu adalah suatu hubungan yang terstruktur yang terjalin
antara perawat dan klien untuk mengubah perilaku klien. Dimana hubungan
yang terjalin merupakan hubungan yang disengaja dengan tujuan terapi,
dilakukan dengan tahapan sistematis (terstruktur) sehingga melalui hubungan
ini diharapkan terjadi perubahan tingkah laku klien sesuai dengan tujuan yang
ditetapkan di awal hubungan.
Hubungan terstruktur dalam terapi individual ini, bertujuan agar klien
mampu menyelesaikan konflik yang dialaminya. Selain itu klien juga
diharapkan mampu meredakan penderitaan (distress) emosional, serta
mengembangkan cara yang sesuai dalam memenuhi kebutuhan dasarnya.

Tahapan hubungan dalam terapi individual meliputi:


a. Tahapan Orientasi
Tahap orientasi dilakukan ketika perawat pertama kali
berinteraksi dengan klien. Dilaksanakan pada tahap ini, tindakan
yang pertama kali harus dilakukan adalah membina hubungan
saling percaya dengan klien. Hubungan saling percaya antara
perawat dan klien sangat penting terjalin, karena dengan
terjalinnya hubungan saling percaya, klien dapat diajak untuk
mengekspresikan seluruh permasalahannya dan ikut bekerja
sama dalam menyelesaikan masalah yang dialami, sepanjang
berhubungan dengan perawat. Bila hubungan saling percaya
telah terbina dengan baik, tahapan berikutnya adalah klien
bersama perawat mendiskusikan apa yang menjadi penyebab
timbulnya masalah yang terjadi pada klien, jenis konflik yang
terjadi, juga dampak dari masalah tersebut terhadap klien.
Tahapan orientasi diakhiri dengan adanya kesepakatan antara
perawat dan klien tentang tujuan yang hendak dicapai dalam
hubungan perawat-klien dan bagaimana kegiatan yang akan
dilaksanakan untuk mencapai tujuan tersebut.
b. Tahapan Kerja
Pada tahaap ini perawat memiliki peran yang sangat penting
sebagai seorang terapis dalam memberikan berbagi intervensi
keperawatan. Keberhasilan pada tahap ini ditandai dengan
kemampuan perawat dalam mengali dan mengeksplorasiklien
untuk mengungkapkan permasalahan yang dialami. Pada tahap
ini juga sangat penting seorang terapis Pada tahap ini, klien
dibantu untuk dapat mengembangkan pemahaman tentang
dirinya, dan apa yang terjadi dengan dirinya. Selain itu klien
didorong untuk berani mengubah perilaku dari perilaku
maladaptive menjadi perilaku adaptif.
c. Tahapan Terminasi
Tahap terminasi terjadi bila klen dan perawat menyepakati
bahwa masalah yang mengawali terjalinnya hubungan
terapeutik telah terselesaikan dan klien telah mempu mengubah
perilaku dari maladaptif menjadi adaptif. Pertimbangan lain
untuk melakukan terminasi adalah apabila klien telah merasa
lebih baik, terjadi peningkatan fungsi diri, social dan pekerjaan,
serta yang terpenting adalah tujuan terapi telah tercapai.
1. Terapi Individu dengan Bercakap-Cakap
Salah satu cara kontrol halusinasi adalah bercakap-cakap. Menurut
Dermawan & Rusdi (2013), bercakap-cakap merupakan salah satu
yang efektif untuk mengontrol halusinasi, yaitu dengan menganjurkan
pasien untuk bercakap-cakap dengan orang lain.

a. Tujuan:
Bercakap-cakap merupakan kegiatan yang bertujuan untuk
mengurangi halusinasi klien dengan cara memfokuskan klien pada
percakapan yang dilakukan dalam kelompoknya dan mencegah
klien berinteraksi dengan halusinasinya. Ketika pasien bercakap-
cakap dengan orang lain maka terjadi distraksi, fokus perhatian
pasien akan beralih dari halusinasi ke percakapan yang dilakukan
orang lain tersebut (Yosep, 2010).
b. Faktor yang Memengaruhi
Faktor-faktor yang dapat memengaruhi kemampuan klien
dalam mengontrol halusinasi adalah sikap respon klien terhadap
halusinasi, kejujuran memberikan informasi, kepribadian klien,
pengalaman dan kemampuan mengingat (Noviandi, 2008),
c. Cara Pelaksanaan
Bercakap-cakap dilakukan bagi klien dengan kriteria
gangguan sensori persepsi halusinasi pendengaran atau penglihatan
yang sudah dapat mengidentifkasi halusinasinya atau telah
melewati SP 1 halusinasi. Terapi dengan bercakap-cakap terdiri
dari: mengevaluasi kegiatan terapi sebelumnya seperti menghardik
dan minum obat, melatih cara bercakap-cakap, serta memasukkan
dalam jadwal kegiatan pasien.
2. Terapi Seni Melukis
Menurut Anoviyanti (2008) Melukis sebagai terapi, berkaitan
dengan aspek kontemplatif atau sublimasi. Kontemplatif atau
sublimasi merupakan suatu cara atau proses yang bersifat
menyalurkan atau mengeluarkan segala sesuatu yang bersifat
kejiwaan, seperti perasaan, memori, pada saat kegiatan berkarya
seni berlangsung. Aspek ini merupakan salah satu fungsi seni yang
dimanfaatkan secara optimal pada setiap sesi terapi. Kontemplatif
dalam arti, berbagai endapan batin yang ditumpuk, baik itu berupa
memori, perasaan, dan berbagai gangguan persepsi visual dan
auditorial, diusahakan untuk dikeluarkan atau disampaikan.
Dengan demikian pasien tidak terjebak pada suatu situasi dimana
hanya diri sendiri terjebak pada realitas imajiner yang diciptakan
oleh diri sendiri. Aspek kontemplatif atau sublimasi inilah yang
kemudian dikenal dengan istilah katarsis dalam dunia psikoanalisa.
a. Manfaat Terapi Seni Melukis
Bedasarkan hasil studi Maftukha (2017) dengan pemberian
terapi seni melukis mampu sebagai katarsis atau saluran
pembuangan energi negatif untuk mengatasi tekanan hidup pada
penyandang gangguan kejiwaan. Untuk mengetahui sejauh
mana keberhasilan terapiseni melukis dalam mengatasi
halusinasi menggunakan tolak ukur berupa tanda dan gejala dari
halusinasi itu sendiri. Tolak ukur ini terdiri dari 10 tanda dan
gejala yang masing-masing diberi penilaian angka (score) antara
0-4 yang artinya adalah :
0: tidak menunjukkan
1: jarang menunjukkan
2: kadang-kadang menunjukkan
3: sering menunjukkan
4: secara konsisten menunjukkan
b. Kriteria Keberhasilan Terapi Seni Melukis
No Gejala halusinasi Nilai angka (score) 0 1 2 3 4
1. Melamun
2. Tertawa/Tersenyum Sendiri
3. Marah - Marah
4. Berbicara Sendiri
5. Menangis Tanpa Sebab
6. Curiga
7. Ketakutan
8. Berteriak
9. Menarik Diri Dari Orang Lain
10. Gelisah
Jumlah nilai angka (total score)
Apabila jumlah nilai angka (total score) :
0 - 10: berarti terapi seni melukisberhasil
11-20: terapi seni melukis sedikit berhasil
21-30: terapi seni melukiskurang berhasil
31-40: terapi seni melukis gagal

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 PENGARUH TERAPI INDIVIDU GENERALIS DENGAN


PENDEKATAN STRATEGI PELAKSANAAN KOMUNIKASI
TERHADAP FREKUENSI HALUSINASI PADA PASIEN
HALUSINASI
Peneliti Sampel Metode Hasil

Efrayanti, 13 orang pasien Penelitian ini - komunikasi


E. halusinasi di menggunakan mampu
RSJ H.B Saanin rancangan penelitian mendukung
Padang Quasi-eksperimental stabilitas emosi
nonequivalen(pretest pasien
and posttest) group - Terapi ini juga
design. dapat membentuk
kepercayaan
pasien dengan
perawat
- Pasien menyadari
bahwa yang
dialamanya tidak
ada obyeknya dan
harus diatasi
- Pasien mampu
mengontrol
halusinasinya

Pembahasan :

Terapi individu merupakan salah satu bentuk terapi yang dilakukan secara
individu oleh perawat kepada pasien secara tatap muka perawat–pasien dengan
cara yang terstruktur dan durasi waktu tertentu sesuai dengan tujuan yang ingin
dicapai.

Pendekatan terapi individu yang sering digunakan adalah pendekatan


strategi pelaksanaan komunikasi diantaranya membina hubungan saling percaya
perawat–pasien, membantu mengenal halusinasi, dilakukan dengan berdiskusi
tentang isi halusinasi (apa yang didengar, dilihat), waktu terjadi halusinasi,
frekuensi dan situasi penyebab halusinasi serta respons pasien saat itu, melatih
mengontrol halusinasi menggunakan cara menghardik halusinasi, bercakap–cakap
dengan orang lain dan melakukan aktivitas terjadwal, mendapat dukungan dari
keluarga, menggunakan obat, kemampuan yang dilihat yaitu menjelaskan kembali
pentingnya penggunaan obat pada gangguan jiwa, menjelaskan kembali akibat
bila obat tidak digunakan sesuai program, menjelaskan kembali akibat bila putus
obat, menjelaskan kembali cara mendapatkan obat/berobat dan mampu
menjelaskan kembali cara menggunakan obat dengan prinsip 5 (lima) benar.

Selain itu, dalam pendekatan strategi pelaksanaan komunikasi ini lebih


menekankan kepada teknik menggali perasaan secara dalam dan komprehensif,
diantaranya teknik katarsis, teknik sugesti, teknik reassurance, teknik humor,
teknik empati, teknik klarifikasi, dan teknik genuineness (Stuart, 2009). Aspek
yang terpenting tindakan keperawatan ini adalah menjadikan individu mampu
menilai dirinya sendiri tanpa merusak suasana psikologisnya, melepaskan pikiran
yang membebani serta memahami pikiran dan perilaku salahnya

3.2 PENGARUH TERAPI INDIVIDU SOSIALISASI TERHADAP


PERUBAHAN PERILAKU ISOLASI SOSIAL PADA PASIEN
SKIZOFRENIA DI RUMAH SAKIT GRHASIA PROVINSI DAERAH
ISTIMEWA YOGYAKARTA

Peneliti Sampel Metode Hasil

Nurfitriana 15 sampel pasien Penelitan - Mayoritas


dan skizofrenia dari eksperimen responden
Mamnu’ah total populasi 29 Quasi skizofrenia
pasien skizofrenia Eksperiment mengalami
dengan penurunan perilaku
rancangan one isolasi sosial
group pretest menjadi lebih baik
postest design - Terapi ini juga
membentuk
kepercayaan pasien
dengan peneliti
- Pasien mampu
bekerjasama
dengan baik
bersama peneliti
untuk
menyelesaikan
konflik,
penderitaan
emosional serta
cara yang tepat
untuk pemenuhan
kebutuhannya

Pembahasan :

Skizofrenia adalah suatu gangguan yang mempengaruhi otak dan


mengakibatkan terjadinya pikiran, persepsi, emosi, gerakan, dan perilaku yang
aneh dan terganggu. Gejala skizofrenia terdiri dari gejala positif (nyata) dan gejala
negatif (samar). Salah satu gejala negatifnya adalah isolasi sosial, yaitu keadaan
ketika seorang individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak
mampu berinterkasi dengan orang lain disekitarnya.

Salah satu terapi untuk mengubah perilaku isolasi sosial yaitu dengan
terapi individu sosialisasi. Terapi individu adalah pembentukan hubungan yang
terstruktur antara peneliti dengan pasien untuk mencapai perubahan pada diri
pasien. Pada hubungan satu per satu, perawat bekerjasama dengan pasien untuk
mengembangkan suatu pendekatan yang unik dalam rangka menyelesaikan
konflik, mengurangi penderitaan emosional dan mengembangkan cara-cara yang
tepat untuk memenuhi kebutuhan pasien. Hubungan terapeutik dibuat dalam tiga
fase yang saling berhubungan meliputu: fase orientasi, kerja dan terminasi (Copel,
2007).

Sebelum pemberian perlakuan terapi individu sosialisasi, diketahui bahwa


dari 15 pasien skizofrenia sebanyak 14 responden (93, 3%) diantaranya memiliki
perilaku isolasi sosial yang tinggi. Hanya terdapat 1 responden (6, 7%) yang
memiliki perilaku isolasi sosial yang sedang. Adapun mayoritas perilakunya
adalah menyendiri dan kesulitan membuka komunikasi. Pasien juga tidak mampu
mengungkapkan perasaan saat komunikasi bersama dengan peneliti dan pasien
mengalami kesulitan konsentrasi dengan baik.

Sesudah pemberian terapi individu sosialisai ini mayoritas responden


mengalami penurunan perilaku isolasi sosial menjadi lebih baik. Kesuksesan
terapi ini kemungkinan terjadi karena adanya kerjasama yang baik bersama
peneliti untuk menyelesaikan konflik, penderitaan emosional serta cara yang tepat
untuk pemenuhan kebutuhan pasien.

Hasil penelitian ini memberikan gambaran bahwa terapi individu


sosialisasi bisa memberikan pengaruh terhadap perubahan perilaku sosial pada
pasien skizofrenia. Terapi individu sosialisasi ini sekaligus dapat digunakan
sebagai altermatif terapi selain terapi aktivitas kelompok sosialisasi.

3.3 PEMBERIAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK PADA PASIEN


SKIZOFRENIA DALAM MENGONTROL HALUSINASI DI RS JIWA
MENUR SURABAYA

Peneliti Sampel Metode Hasil

Yosi Pada 2 (dua) Studi kasus setelah dilakukannya


Apriliania , pasien skizofrenia dengan komunikasi terapeutik
Esti yang berdasarkan menggunakan dengan frekeunsi 6 sesi
Widiania pengkajian dua subjek. selama 6 hari kedua subjek
memiliki mengalami :
halusinasi serta 1. peningkatan
memenuhi kriteria kemampuan dalam
inklusi dan mengontrol
eksklusi yang telah halusinasi.
ditetapkan. 2. peningkatan
kemampuan dalam
Kriteria inklusi : mengenali
pasien pria maupun halusinasi.
wanita yang Komunikasi terapeutik
dirawat di RSJ dapat meningkatkan
Menur Surabaya kemampuan mengontrol
yang telah halusinasi subjek jika
dilakukan dilakukan bertahap sesuai
pengkajian prosesdur yang bisa
keperawatan digunakan
dengan masalah
utama keperawatan
halusinasi.

Kriteria eksklusi :
pasien yang
mengalami
kesulitan dalam
berkomunikasi.

Pembahasan :

Halusinasi merupakan keadaan hilangnya kemampuan individu dalam


membedakan rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar).
Klien memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa objek atau
rangsangan yang nyata. Sebagai contoh klien mengatakan mendengar suara
padahal tidak ada orang yang berbicara. Gejala gangguan jiwa dimana klien
mengalami perubahan persepsi sensori: merasakan sensori palsu berupa suara,
penglihatan, pengecapan atau penghiduan (Yusuf et al., 2015).

Pelaksanaannya adalah dengan menggunakan komunikasi terapeutik yang


dilakukan perawat dengan pasien yang mempunyai tujuan yaitu klien mampu
mengontrol halusinasi. Dengan teknik komunikasi terapeutik ini berguna untuk
membangun hubungan terapeutik perawat dan klien, mengidentifikasi masalah
klien, mengkaji persepsi klien tentang masalah yang dihadapinya. Teknik
komunikasi terapeutik merupakan salah satu teknik dalam proses penyembuhan
pasien terutama dengan masalah keperawatan gangguan jiwa tak terkecuali pasien
gangguan jiwa dengan halusinasi (Stuart, 2013).

Menurut penulis klien dengan gangguan persepsi sensori halusinasi


pendengaran salah satunya akan mengalami gelisah, ngomel-ngomel sendiri,
mendengar suara/bisikan yang memberikan persepsi atau pendapat tentang
lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata. Berdasarkan hasil di atas
penelitian ini sejalan dengan teori menurut (Afnuhazi, 2015), manusia sebagai
makhluk holistik dipengaruhi oleh lingkungan dalam dirinya dan lingkungan dari
luar, baik keluarga, kelompok maupun komunitas. Dalam berhubungan dengan
lingkungan, manusia harus mengembangkan strategi koping yang efektif agar
dapat beradaptasi. Lingkungan interaksi akan mempengaruhi komunikasi yang
efektif, suasana yang bising, tidak ada privasi yang tepat akan menimbulkan
ketegangan dan ketidaknyamanan.

Komunikasi terapeutik dalam penelitian ini dilakukan sebanyak 6 kali


dalam seminggu, satu hari selama 15-30 menit setiap satu kali pertemuan.
Komunikasi terapeutik pada penelitian ini menggunakan tahapan strategi
pelaksanaan halusinasi di mana untuk 1 kali perlakuan SP dilakukan 1 kali dalam
1 hari. Tujuan dari penelitian ini melihat ada pengaruh tahapan strategi
pelaksanaan komunikasi terapeutik pada pasien halusinasi. Untuk berkomunikasi
dengan klien halusinasi sebaiknya bersikap tenang, bicara lembut, bicara tidak
dengan cara menghakimi, bicara netral dan dengan cara konkrit, tunjukkan rasa
hormat, kontak mata langsung, demonstrasikan cara mengontrol halusinasi,
fasilitasi pembicaraan klien dan dengarkan klien, jangan terburu-buru
menginterpretasikan dan jangan buat janji yang tidak bisa ditepati. Hal ini
diperkuat dengan penelitian (Azizah et al., 2013) membuktikan bahwa
komunikasi terapeutik adalah hubungan antara perawat dan pasien dalam proses
komunikasi perilaku orang lain yang tujuannnya merubah perilaku dalam
pencapaian kesehatan yang optimal.

Setelah dilakukan penerapan komunikasi terapeutik selama 6 kali


pertemuan yang dilakukan peneliti sesuai dengan Standar Operasional Prosedur
(SOP) terhadap kedua subjek gangguan persepsi sensori halusinasi dengan latar
belakang permasalahan berbeda menunjukan adanya kemajuan kemampuan dalam
mengontrol halusinasinya yang dapat dibuktikan dengan hasil wawancara, hasil
observasi dan tahap pelaksanaannya. Jadi dapat disimpulkan bahwa komunikasi
terapeutik dapat meningkatkan hubungan perawat dengan klien dan bisa
membantu pasien untuk mengontrol halusinasinya sehingga dapat mengurangi
frekuensi munculnya halusinasi.

3.4 EFEKTIFITAS TERAPI INDIVIDU BERCAKAP-CAKAP DALAM


MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENGONTROL HALUSINASI
PADA PASIEN HALUSINASI PENDENGARAN DI RSJ DR. AMINO
GONDOHUTOMO PROVINSI JAWA TENGAH

Peneliti Sampel Metode Hasil


Fresa, O. Sampel dalam Penelitian ini 1. Karakteristik responden
penilitian ini menggunakan
˗ Responden halusinasi pendengaran
adalah sebanyak desain
sebagian besar berjenis kelamin perempuan
54 responden di penelitian
yaitu sebanyak 29 responden (53.7%) dan
RSJD dr. Amino Quasy
paling sedikit laki-laki hanya 25 responden
Gondohutomo Eksperimen
(46.3%).
Provinsi Jawa (Eksperimen
Tengah dengan Semu) dengan ˗ Usia responden terbanyak yaitu usia
tehnik random rancangan One dewasa sebesar 24 responden (44.4%),
sampling. Group Pretest dewasa awal 11 responden (20.4%), dewasa
Posttest with akhir 7 responden (13.0%), lansia 7
Pada penelitian ini
control group. responden (13.0%) dan paling sedikit usia
di bagi menjadi 2
remaja akhir 5 responden (9.3%).
kelompok.
Kelompok yang ˗ Pendidikan responden paling banyak adalah
pertama yaitu SD dengan jumlah 20 responden (37.0%),
kelompok SMP 17 responden (31.5%), SMU 14
intervensi yang responden (25.9%), perguruan tinggi 2
terdiri dari 27 responden (3.7%) dan paling sedikit tidak
responden, sekolah 1 responden (1.9%).
kelompok kedua
˗ Pekerjaan responden paling banyak adalah
adalah kelompok tidak bekerja dengan jumlah 25 responden
kontrol yang (46.3%), buruh 23 responden (42.6%),
terdiri dari 27 wiraswasta 5 responden (9.3%) dan paling
responden. sedikit PNS hanya 1 responden (1.9%).

2. Gambaran kemampuan mengontrol


halusinasi
Kriteria inklusi :
pasien halusinasi ˗ Dari 27 responden didapatkan hasil
pendengaran; sebelum diberikan terapi yang kemampuan
pasien yang belum kurang berjumlah 27 responden (100.0 %)
diberikan tehnik dan sesudah diberikan terapi individu
mengontrol bercakap-cakap didapatkan hasil yang
halusinasi; kemampuan cukup 1 responden (3.7%),
keadaan kemampuan baik 26 responden (96.3%).
kooperatif; usia Untuk kelompok intervensi, didapatkan
19-55 tahun; tidak nilai mean pre test 17.93 dan nilai mean
ada gangguan post test sebesar 40.67, sedangkan standar
dalam berbicara. deviasi 0.550 dan 2.236, nilai minimum 16
dan 36, dan nilai maximum 19 dan 45.

˗ Dari 27 responden pada Sebelum di ukur


Kriteria eksklusi :
kemampuan mengontrol halusinasi
pasien drop out didapatkan hasil kemampuan kurang 27
(baik karena responden (100.0%) dan Sesudah
pulang, sakit fisik didapatkan hasil kemampuan cukup 18
atau kondisi lain responden (66.7%), kemampuan baik 9
yang tidak responden (33.3%). Untuk kelompok
memungkinkan kontrol, didapatkan nilai mean pre test
untuk melanjutkan 17.33 dan nilai mean post test sebesar
kegiatan 17.41, sedangkan standar deviasi 2.184 dan
penelitian; pasien 2.358, nilai minimum 12, dan nilai
yang tidak maximum 20 dan 22.
mentaati peraturan
akan dikeluarkan ˗ Hasil dari Perbedaan kemampuan
sebagai mengontrol halusinasi sebelum dan sesudah
responden. dilakukan terapi individu bercakap-cakap
pada kelompok intervensi di RSJ Dr.
Amino Gondohutomo Provinsi Jawa
Tengah tahun 2015), menunjukkan bahwa
nilai p = 0.000 (p kurang dari 0.05) yang
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
kemampuan mengontrol halusinasi sebelum
dan sesudah dilakukan terapi individu
bercakap-cakap tidak terdistribusi normal
pada kelompok intervensi.

˗ Didapatkan hasil signifikan dengan nilai p


= 0.646 (p > 0.05) yang menunjukkan
bahwa tidak terdapat perbedaan
kemampuan mengontrol halusinasi minggu
pertama dan minggu kedua pada kelompok
kontrol tidak diberikan terapi individu
bercakap-cakap, hasil yang didapatkan
tidak terdistribusi normal pada kelompok
kontrol.

˗ Hasil Mann-WhitneyTest menunjukkan


adanya perbedaan antara kemampuan
mengontrol halusinasi setelah dilakukan
terapi individu bercakap-cakap pada
kelompok intervensi dan tidak diberikan
terapi pada kelompok kontrol, terlihat dari
nilai p = 0.000 (p kurang dari 0.05). di
dapatkan hasil dengan uji statistik Mann-
Whitney Test yaitu – 6.359, nilai negatif
menunjukkan kemampuan mengontrol
halusinasi setelah dilakukan terapi individu
bercakap-cakap pada kelompok intervensi
lebih tinggi daripada kemampuan
mengontrol halusinasi kontrol yang tidak
diberikan terapi individu bercakap-cakap.

Pembahasan :

Halusinasi pendengaran adalah gangguan stimulus dimana pasien


mendengar suara-suara terutama suara-suara orang, biasanya pasien mendengar
suara orang yang sedang membicarakan apa yang dipikirkannya dan
memerintahkan untuk melakukan sesuatu (Prabowo, 2014, hlm. 129). Salah satu
contoh cara mengontrol yang pernah digunakan untuk pasien halusinasi
pendengaran adalah dengan cara bercakap-cakap. Bercakap-cakap dengan orang
lain dapat membantu mengontrol halusinasi, ketika pasien bercakap-cakap dengan
orang lain terjadi distraksi, fokus perhatian pasien akan beralih dari halusinasi ke
percakapan yang dilakukan dengan orang lain. Melakukan aktivitas yang
terjadwal untuk mengurangi risiko halusinasi muncul lagi adalah dengan
menyibukkan diri melakukan aktivitas yang teratur. Minum obat secara teratur
dapat mengontrol halusinasi, Pasien juga harus dilatih untuk minum obat secara
teratur sesuai dengan program terapi dokter (Keliat & Akemat, 2012, hlm. 115).

Penelitian ini bertolak belakang dengan penelitian sebelumnya yang


dilakukan oleh Purba (2013) bahwa paling banyak yang mengalami halusinasi
adalah laki-laki dibandingkan perempuan dimana laki-laki mengalami perubuahan
peran dan penurunan interaksi sosial, kehilangan pekerjaan. Usia remaja dan
dewasa memang beresiko, akan tetapi lebih berisiko tinggi terjadinya gangguan
jiwa terutama halusinasi adalah usia dewasa karena pada tahap ini kehidupan
penuh stressor (Kaplan, Benjamin, & Grebb, 2004, hlm. 70). Pada penelitian ini
didukung oleh penelitian Hidayati (2014, hlm. 57) dengan responden terbanyak
usia 27 – 34 tahun sebanyak 35 orang. Pada usia tersebut seseorang secara besar-
besaran memodifikasi aktivitas kehidupannya dan memikirkan tujuan masa depan.
Penelitian ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan Isnaeni (2008, hlm.
34) mengatakan tingkat pendidikan yang paling banyak pada pasien responden
halusinasi pendengaran adalah sekolah dasar sebanyak 21 responden (70%).
Dengan latar pendidikan responden yang sebagian besar SD menjadi
pertimbangan bagi perawat dalam memberikan informasi. Menurut Yosep (2007,
hlm. 14) penyebab stressor yang dilingkungan meliputi saingan pekerjaan,
penghasilan kurang dari kebutuhan.

Sebelum dilakukan terapi individu bercakap-cakap responden berada


dalam tahap comforting, condeming, controlling (Direja, 2011, hlm. 110). Setelah
dilakukan terapi individu bercakap-cakap pada kelompok intervensi pasien mulai
mampu mengontrol halusinasinya. Hal ini sesuai dengan teori yosep yang telah
disebutkan diatas, bahwa terapi individu bercakap-cakap ini akan terjadi distraksi
dan fokus perhatian pasien akan beralih dari halusinasi kepercakapan.

Kemampuan mengontrol halusinasi pada kelompok kontrol sebelum


kategorik kemampuan kurang berjumlah 27 responden (100.0%) dan sesudah
kategorik kemampuan cukup 18 responden (66.7%) dan kemampuan baik 9
responden (33.3%). Responden berada pada fase comforting, condemming,
controlling dimana pada fase ini responden masih dikuasai oleh halusinasi dan
kemampuan responden masih kurang, setelah sesudah di ukur kembali
kemampuan mengontrolnya didapatkan hasil kemampuan cukup dan baik, pada
kelompok kontrol ini tidak diberikan terapi individu bercakap – cakap karena
kelompok kontrol ini hanya sebagai pembanding saja.

Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa kemampuan mengontrol


halusinasi pada kelompok intervensi ada perbedaan bermakna antara sebelum dan
sesudah diberikan terapi mengalami peningkatan dalam mengontrol halusinasinya.
Hasil ini menggunakan uji wilcoxon yang menunjukkan bahwa nilai p = 0,000 (p
kurang dari 0.05). Penelitian ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan
oleh Qodir (2013) dengan judul pengaruh terapi aktivitas kelompok orientasi
realitas sesi I-III terhadap kemampuan mengontrol halusinasi pada klien
halusinasi di RSJD Dr. Amino Gondohutomo Provinsi Jawa Tengah p-Value
0.000 yang berarti ada pengaruh terapi aktivitas kelompok orientasi realitas sesi I-
III terhadap kemampuan mengontrol halusinasi pada klien halusinasi.
Sedangkan, pada kelompok kontrol dengan 27 responden menunjukkan
bahwa tidak terdapat perbedaan kemampuan mengontrol halusinasi sebelum dan
sesudah. Hasil ini menggunakan uji paired sample T-test yang menunjukkan
bahwa nilai p = 0,646 (p > 0.05) maka tidak terdapat perbedaan kemampuan
mengontrol halusinasi antara sebelum dan sesudah yang tidak diberikan terapi
individu bercakap-cakap. Pada penelitian ini kelompok kontrol hanya sebagai
pembanding saja, dimana kelompok kontrol tidak diberikan terapi individu
bercakap-cakap, melainkan hanya diukur sebelum dan sesudah.

Analisis post test kelompok intervensi dan post test kelompok kontrol di
dapatkan hasil dengan uji statistik Mann-Whitney Test yaitu – 6.359, nilai negatif
menunjukkan kemampuan mengontrol halusinasi setelah dilakukan terapi individu
bercakap-cakap pada kelompok intervensi lebih tinggi daripada kemampuan
mengontrol halusinasi kontrol yang tidak diberikan terapi individu bercakap-
cakap.

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana klien


mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi, suatu penerapan
panca indra tanpa ada rangsangan dari luar, suatu penghayatan yang dialami
suatu persepsi melalui panca indra tanpa stimulus eksteren: persepsi palsu.
Pendapat lain juga mengatakan halusinasi adalah sensasi panca indera tanpa
adanya rangsangan.

Masalah halusinasi memerlukan penanganan lebih lanjut, salah satunya


dengan memberikan terapi individu. Terapi individu merupakan salah satu
bentuk terapi yang dilakukan secara individu oleh perawat kepada pasien
secara tatap muka antara perawat dan pasien dengan cara yang terstruktur
dandurasi waktu tertentu sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, dengan
pendekatan strategi pelaksanaan komunikasi secara benar, komprehensif dan
berkesinambungan, hal ini akan membentuk perkembangan analisis hubungan
(transference relationship) antar individu sehingga membuat pasien
melepaskan tegangan dan menghidupkan kembali sejumlah kejadian yang
mengandung emosi dalam diri pasien

4.2 Saran
Semoga dengan memahami makalah tentang Terapi Modalitas Individu
Pada Pasien dengan Gangguan Jiwa (Halusinasi) ini. Sebagai calon seorang
perawat dimasa depan diharapkan dapat menerapkan dan berbagi ilmu dalam
menyelesaikan masalah terkait Gangguan Jiwa (Halusinasi) dengan
menerapkan Terapi Modalitas Individu.

DAFTAR PUSTAKA

Adi, Seno P. (2016). Asuhan Keperawatan Jiwa Gangguan Persepsi Sensori:


Halusinasi Pendengaran Pada Tn. S di Wisma Antareja RSJ Prof. Dr.
Soerojo Magelang. Stikes Muhammadiyah Pekajangan Pekalongan.

Ambarwati, Wahyu N. (2010). Kefektifan Cognitive Behaviour Therapi


(CBT)Sebagai Terapi Tambahan Pasien Skizofrenia Kronis Di Panti
Rehabilitasi Budi Makarti Boyolali. Fakultas Kedokteran Universitaas
Sebelas Maret Surakarta.

Apriliani, Y., & Widiani, E. (2020). Pemberian Komunikasi Terapeutik Pada


Pasien Skizofrenia Dalam Mengontrol Halusinasi Di RS Jiwa Menur
Surabaya. NERS Jurnal Keperawatan, 16(2), 61-74.
Efrayanti, E. (2012). Pengaruh Terapi Individu Generalis Dengan Pendekatan
Strategi Pelaksanaan Komunikasi Terhadap Frekuensi Halusinasi Pada
Pasien Halusinasi. NERS Jurnal Keperawatan, 8(1), 1.
https://doi.org/10.25077/njk.8.1.1-6.2012

Farida. (2010). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : Selemba Medika

Fresa, O., Dwi H.R., & Syamsul, A. S. (2015). Efektifitas Terapi Individu
Bercakap-Cakap Dalam Meningkatkan Kemampuan Mengontrol Halusinasi
Pada Pasien Halusinasi Pendengaran Di Rsj Dr. Amino Gondohutomo
Provinsi Jawa Tengah. 2 Jurnal Ilmu Keperawatan Dan Kebidanan (JIKK),
25, 1–10 Diakses pada tanggal 18 November 2020 pukul 17.00 WIB.
http://ejournal.stikestelogorejo.ac.id/index.php/ilmukeperawatan/article/view
/437

Hawari, Dadang. (2011). Manajemen Stres Cemas dan Depresi. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI

Jurnal Halusinasi Tokoh Utama Hagiyo Harumi Dalam Film Roommate Karya
Sutradara Takeshi Furusawa (Kajian Psiklogi Sastra) Mipha Andini
Aprilia, Budi Mulyadi S.Pd., M.Hum dan Arsi Widiandari S.S., M.Si

Kusumawati F dan Hartono Y. (2010). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta :


Salemba Medika.

Maramis. (2009). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2. Surabaya: Airlangga

Muhayarti, Wan, dkk. (2012). Pengaruh Terapi Individu Generalis dengan


Pendekatan Strategi Pelaksanaan Komunikasi Terhadap Frekueni
Halusinasi pada Pasien Halusinasi. Ners Jurnal Keperawatan volume 8,
No 1 Juni 2012: 1-6.

Nevid, Jeffrey S. 2005. Psikologi abnormal jilid 1 / Jeffrey S. Nevid, Spencer A.


Rathus, Beverly Greene. Jakarta: Erlangga

Nurfitriana dan Mamnu’ah. (2011). Pengaruh Terapi Individu Sosialisasi terhadap


Perubahan Perilaku Isolasi Sosial pada Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit
Grhasia Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam
http://digilib.unisayogya.ac.id/1159/, diakses tanggal 18 November 2020.

Nurhalimah. (2016). Modul bahan Ajar Keperawatan Jiwa.Jakarta: Pusdik SDM


Kesehatan

Struart, G. W. And Laraia, M.T. (2001). Prinsip dan Praktik Keperawatan


Psikiatrik. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai