PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Model Konseling Spiritual
Terkadang seseorang mengalami resistensi dalam memenuhi tugas
perkembangannya. Untuk itu diperlukan model-model tertentu dalam
konseling spiritual yang dapat disesuaikan dengan pemenuhan kebutuhan
diri. Salah satu model yang diungkapkan oleh Burke (1999) dalam Hall
yang telah merumuskan satu model penggabungan spiritual dan agama
dalam kurikulum inti CACREP. Sedangkan ada empat model pengajaran
dalam materi spiritual dan konseling yang didesain, agar dapat membantu
individu, yaitu: 1). Meningkatkan keyakinan individu terhadap issu-issu
spiritual. 2). Memeberitahukan pada mereka bagaimana caranya
membantu mereka dalam menyikapi issu-issu spiritual tersebut.
3).Meningkatkan kesadaran mereka dalam berinteraksi terhadap konseli
melalui nilai-nilai spiritual yang mungkin juga berbeda dengan nilai-nilai
spiritual yang mereka miliki. 4). Mengakses kemampuan konselor dalam
menghindarkan nilai-nilai pribadi terhadap diri konseli.
BAB II
LANDASAN TEORI
Adaptif Maladaptif
a. Wawancara
Teknik wawancara untuk mendapatkan data subjektif dan informasi
tentang permasalahan yang dihadapi klien gangguan persepsi sensori:
halusinasi pada skizofrenia serta perkembangan kondisi klien setelah
dilakukan tindakan keperawatan menghardik halusinasi.
b. Observasi Langsung
Melakukan pengamatan langsung pada keadaan klinis klien dan
mencatat hasil tindakan keperawatan menghardik halusinasi. Data
yang diperoleh meliputi mendengar suara yang pada dasarnya tidak
nyata, kurang konsentrasi dengan lingkungan sekitar, sulit
berkomunikasi dengan orang lain, ekspresi muka tegang, pergerakan
mata cepat, respon verbal yang lambat.
Analisa data dari perumusan masalah gangguan persepsi sensori:
halusinasi untuk mengatasi masalah tersebut penulis menggunakan tindakan
menghardik halusinasi. Melatih klien dengan mengontrol halusinasi dengan
cara mengendalikan halusinasi. Instrumen alat ukur yang digunakan pada
gangguan persepsi sensori: halusinasi adalah penulis itu sendiri, lembar atau
format fokus pengkajian pada klien dengan gangguan persepsi sensori:
halusinasi, lembar observasi penilaian (Damaiyanti, 2014).
Tindakan keperawatan pada klien gangguan persepsi sensori: halusinasi
yaitu dengan tindakan keperawatan menghardik halusinasi untuk mengusir
halusinasi. Untuk mengukur keberhasilan tindakan keperawatan menghardik
halusinasi menggunakan lembar observasi sebelum dan sesudah dilakukan
tindakan keperawatan menghardik halusinasi.
Upaya yang dilakukan untuk mengatasi halusinasi selama ini salah
satunya dengan menggunakan menghardik halusinasi (Dermawan, 2013).
Berdasarkan penulisan Ninik Retno (2016) yang dilakukan di RSJD Dr. Arif
Zainudin Surakarta pada salah satu klien yang mengalami halusinasi
pendengaran, untuk mengatasi halusinasi yang sudah dilakukan bahwa
intensitas halusinasi sudah berkurang ditandai dengan klien mengontrol rasa
takut saat halusinasi muncul setelah belajar pengontrolan halusinasi dan
halusinasi sudah tidak muncul ketika dimalam hari dengan melakukan ketiga
SP (Strategi Pelaksanan) yaitu, SP 1 menghardik halusinasi, SP 2
bercakapcakap dengan orang lain, SP 3 mengkonsumsi obat secara teratur.
Tindakan keperawatan klien halusinasi meliputi membantu klien
mengenali halusinasi tentang isi halusinasi (apa yang didengar/dilihat), waktu
terjadi halusinasi, frekuensi terjadinya halusinasi, situasi yang menyebabkan
halusinasi muncul dan respon klien saat halusinasi muncul. Latihan klien
mengontrol halusinasi dengan salah satu cara dapat mengendalikan halusinasi
yaitu menghardik halusinasi dengan cara menolak halusinasi yang muncul
(Dermawan, 2013). Tindakan keperawatan yang digunakan untuk mengatasi
halusinasi meliputi mengenal halusinasi, melatih klien mengontrol halusinasi
dengan cara menghardik atau menolak halusinasi.
Prinsip pelaksanaan dalam mengatasi masalah gangguan persepsi
sensori: halusinasi adalah salah satunya dengan melakukan menghardik
halusinasi. Menghardik halusinasi adalah upaya mengendalikan diri terhadap
halusinasi dengan cara menolak halusinasi yang muncul (Dalami, 2010).
Menghardik halusinasi bertujuan untuk mengusir halusinasi yang
dialami klien. Menurut hasil riset Karina (2013) saat melakukan terapi
menghardik responden menjadi lebih fokus dan berkonsentrasi pada
halusinasinya. Sehingga memungkinkan beberapa zat kimia di otak seperti
dopamine neurotransmitter tidak berlebihan. Klien dilatih untuk mengatakan
tidak terhadap halusinasi yang muncul atau tidak memperdulikan
halusinasinya. Jika bisa dilakukan dengan baik dan benar, maka klien akan
mampu mengendalikan diri dan tidak mengikuti halusinasi yang muncul.
Teknik untuk menghardik halusinasi itu sendiri adalah fokus pandangan lurus
ke depan kemudian konsentrasi, memilih kata yang akan digunakan untuk
menghardik, perawat mendemonstrasikan kemudian klien diberi kesempatan
mendemonstrasi kembali. Kata yang sudah dipilih diucapkan dengan sungguh-
sungguh dapat dilakukan dalam hati atau diucapkan langsung. Setelah latihan
menghardik memberikan reinforcement pada klien. Hasil perbedaan dari
tindakan yang dilakukan sebelum dan sesudah
Terapi individu adalah suatu hubungan yang terstruktur yang terjalin
antara perawat dan klien untuk mengubah perilaku klien. Dimana hubungan
yang terjalin merupakan hubungan yang disengaja dengan tujuan terapi,
dilakukan dengan tahapan sistematis (terstruktur) sehingga melalui hubungan
ini diharapkan terjadi perubahan tingkah laku klien sesuai dengan tujuan yang
ditetapkan di awal hubungan.
Hubungan terstruktur dalam terapi individual ini, bertujuan agar klien
mampu menyelesaikan konflik yang dialaminya. Selain itu klien juga
diharapkan mampu meredakan penderitaan (distress) emosional, serta
mengembangkan cara yang sesuai dalam memenuhi kebutuhan dasarnya.
a. Tujuan:
Bercakap-cakap merupakan kegiatan yang bertujuan untuk
mengurangi halusinasi klien dengan cara memfokuskan klien pada
percakapan yang dilakukan dalam kelompoknya dan mencegah
klien berinteraksi dengan halusinasinya. Ketika pasien bercakap-
cakap dengan orang lain maka terjadi distraksi, fokus perhatian
pasien akan beralih dari halusinasi ke percakapan yang dilakukan
orang lain tersebut (Yosep, 2010).
b. Faktor yang Memengaruhi
Faktor-faktor yang dapat memengaruhi kemampuan klien
dalam mengontrol halusinasi adalah sikap respon klien terhadap
halusinasi, kejujuran memberikan informasi, kepribadian klien,
pengalaman dan kemampuan mengingat (Noviandi, 2008),
c. Cara Pelaksanaan
Bercakap-cakap dilakukan bagi klien dengan kriteria
gangguan sensori persepsi halusinasi pendengaran atau penglihatan
yang sudah dapat mengidentifkasi halusinasinya atau telah
melewati SP 1 halusinasi. Terapi dengan bercakap-cakap terdiri
dari: mengevaluasi kegiatan terapi sebelumnya seperti menghardik
dan minum obat, melatih cara bercakap-cakap, serta memasukkan
dalam jadwal kegiatan pasien.
2. Terapi Seni Melukis
Menurut Anoviyanti (2008) Melukis sebagai terapi, berkaitan
dengan aspek kontemplatif atau sublimasi. Kontemplatif atau
sublimasi merupakan suatu cara atau proses yang bersifat
menyalurkan atau mengeluarkan segala sesuatu yang bersifat
kejiwaan, seperti perasaan, memori, pada saat kegiatan berkarya
seni berlangsung. Aspek ini merupakan salah satu fungsi seni yang
dimanfaatkan secara optimal pada setiap sesi terapi. Kontemplatif
dalam arti, berbagai endapan batin yang ditumpuk, baik itu berupa
memori, perasaan, dan berbagai gangguan persepsi visual dan
auditorial, diusahakan untuk dikeluarkan atau disampaikan.
Dengan demikian pasien tidak terjebak pada suatu situasi dimana
hanya diri sendiri terjebak pada realitas imajiner yang diciptakan
oleh diri sendiri. Aspek kontemplatif atau sublimasi inilah yang
kemudian dikenal dengan istilah katarsis dalam dunia psikoanalisa.
a. Manfaat Terapi Seni Melukis
Bedasarkan hasil studi Maftukha (2017) dengan pemberian
terapi seni melukis mampu sebagai katarsis atau saluran
pembuangan energi negatif untuk mengatasi tekanan hidup pada
penyandang gangguan kejiwaan. Untuk mengetahui sejauh
mana keberhasilan terapiseni melukis dalam mengatasi
halusinasi menggunakan tolak ukur berupa tanda dan gejala dari
halusinasi itu sendiri. Tolak ukur ini terdiri dari 10 tanda dan
gejala yang masing-masing diberi penilaian angka (score) antara
0-4 yang artinya adalah :
0: tidak menunjukkan
1: jarang menunjukkan
2: kadang-kadang menunjukkan
3: sering menunjukkan
4: secara konsisten menunjukkan
b. Kriteria Keberhasilan Terapi Seni Melukis
No Gejala halusinasi Nilai angka (score) 0 1 2 3 4
1. Melamun
2. Tertawa/Tersenyum Sendiri
3. Marah - Marah
4. Berbicara Sendiri
5. Menangis Tanpa Sebab
6. Curiga
7. Ketakutan
8. Berteriak
9. Menarik Diri Dari Orang Lain
10. Gelisah
Jumlah nilai angka (total score)
Apabila jumlah nilai angka (total score) :
0 - 10: berarti terapi seni melukisberhasil
11-20: terapi seni melukis sedikit berhasil
21-30: terapi seni melukiskurang berhasil
31-40: terapi seni melukis gagal
BAB III
PEMBAHASAN
Pembahasan :
Terapi individu merupakan salah satu bentuk terapi yang dilakukan secara
individu oleh perawat kepada pasien secara tatap muka perawat–pasien dengan
cara yang terstruktur dan durasi waktu tertentu sesuai dengan tujuan yang ingin
dicapai.
Pembahasan :
Salah satu terapi untuk mengubah perilaku isolasi sosial yaitu dengan
terapi individu sosialisasi. Terapi individu adalah pembentukan hubungan yang
terstruktur antara peneliti dengan pasien untuk mencapai perubahan pada diri
pasien. Pada hubungan satu per satu, perawat bekerjasama dengan pasien untuk
mengembangkan suatu pendekatan yang unik dalam rangka menyelesaikan
konflik, mengurangi penderitaan emosional dan mengembangkan cara-cara yang
tepat untuk memenuhi kebutuhan pasien. Hubungan terapeutik dibuat dalam tiga
fase yang saling berhubungan meliputu: fase orientasi, kerja dan terminasi (Copel,
2007).
Kriteria eksklusi :
pasien yang
mengalami
kesulitan dalam
berkomunikasi.
Pembahasan :
Pembahasan :
Analisis post test kelompok intervensi dan post test kelompok kontrol di
dapatkan hasil dengan uji statistik Mann-Whitney Test yaitu – 6.359, nilai negatif
menunjukkan kemampuan mengontrol halusinasi setelah dilakukan terapi individu
bercakap-cakap pada kelompok intervensi lebih tinggi daripada kemampuan
mengontrol halusinasi kontrol yang tidak diberikan terapi individu bercakap-
cakap.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
Semoga dengan memahami makalah tentang Terapi Modalitas Individu
Pada Pasien dengan Gangguan Jiwa (Halusinasi) ini. Sebagai calon seorang
perawat dimasa depan diharapkan dapat menerapkan dan berbagi ilmu dalam
menyelesaikan masalah terkait Gangguan Jiwa (Halusinasi) dengan
menerapkan Terapi Modalitas Individu.
DAFTAR PUSTAKA
Fresa, O., Dwi H.R., & Syamsul, A. S. (2015). Efektifitas Terapi Individu
Bercakap-Cakap Dalam Meningkatkan Kemampuan Mengontrol Halusinasi
Pada Pasien Halusinasi Pendengaran Di Rsj Dr. Amino Gondohutomo
Provinsi Jawa Tengah. 2 Jurnal Ilmu Keperawatan Dan Kebidanan (JIKK),
25, 1–10 Diakses pada tanggal 18 November 2020 pukul 17.00 WIB.
http://ejournal.stikestelogorejo.ac.id/index.php/ilmukeperawatan/article/view
/437
Hawari, Dadang. (2011). Manajemen Stres Cemas dan Depresi. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI
Jurnal Halusinasi Tokoh Utama Hagiyo Harumi Dalam Film Roommate Karya
Sutradara Takeshi Furusawa (Kajian Psiklogi Sastra) Mipha Andini
Aprilia, Budi Mulyadi S.Pd., M.Hum dan Arsi Widiandari S.S., M.Si