Anda di halaman 1dari 16

Glomerulonefritis

A. Definisi

Glomerulonefritis adalah nefritis akut atau kronik yang berkaitan dengan


inflamasi pada pembuluh darah glomeruli ginjal. Penyakit ini bisa disebabkan oleh
bermacam hal seperti infeksi, autoimun, vaskulitis, dan idiopatik.Glomerulonefritis
ditemukan berkaitan dengan penyakit ginjal tahap akhir (PGTA) yang membutuhkan
dialisis, hospitalisasi, dan kematian yang cukup tinggi. Glomerulonefritis dapat
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu glomerulonefritis yang berasal dari ginjal itu
sendiri atau glomerulonefritis primer, dan yang berasal dari gangguan sistemik atau
glomerulonefritis sekunder. Berdasarkan onset, glomerulonefritis dapat dibagi
menjadi akut dan kronik.

B. Epidemiologi

Data epidemiologi menunjukkan bahwa glomerulonefritis merupakan salah


satu penyebab utama terjadinya penyakit ginjal tahap akhir (PGTA). Dahulu, post
streptococcal glomerulonephritis (PSGN) merupakan tipe glomerulonefritis yang
paling sering ditemukan. Akan tetapi, pada beberapa dekade terakhir ini insidennya
cenderung menurun.

Global
Insiden glomerulonefritis primer di seluruh dunia memiliki rentang antara 0,2-
2,5 per 100.000 penduduk per tahun. Glomerulonefritis tipe IgA nefropati merupakan
tipe yang paling sering ditemukan pada pasien dewasa, yaitu sebanyak 2,5 per
100.000 penduduk per tahun. Pada anak-anak, glomerulonefritis tipe minimal change
disease memiliki insiden tertinggi, yaitu sebesar 2,0 per 100.000 penduduk per tahun.
Insiden glomerulonefritis primer dan sekunder di Amerika Serikat adalah sebesar 57
dan 134 per 100.000 penduduk per tahun. Di benua Afrika, tiga tipe glomerulonefritis
primer yang paling sering ditemukan adalah minimal change disease (16,5%), focal
segmental glomerulosclerosis (15,9%), dan mesangiocapillary
glomerulonephritis   (11,8%). Penyakit glomerular akibat hepatitis B (8,4%) dan lupus
eritematosus sistemik (LES) (7,7%) merupakan tipe glomerulonefritis sekunder
dengan prevalensi tertinggi di Afrika. Di Singapura, tiga tipe glomerulonefritis yang
paling sering ditemukan adalah lupus nefritis (20,4%), IgA nefropati (17,2%), dan
glomerulosklerosis diabetik (10,9%).
Indonesia
Studi mengenai epidemiologi glomerulonefritis di Indonesia masih sangat terbatas.
Studi oleh Himawan S et al di Jakarta melaporkan berdasarkan total 729 biopsi ginjal
pasien sindrom nefrotik, sebanyak 276 kasus (48,9%) merupakan glomerulonefritis
jenis minimal change. Glomerulonefritis tipe mesangial proliferatif dan focal
segmental glomerulosclerosis dilaporkan pada 81 kasus (14,4%) dan 62 kasus (11%). 
Pada studi ini juga ditemukan 124 kasus lupus nefritis dan 97 kasus nefropati IgA.
Selain itu, studi oleh Albar H et al  melaporkan terdapat 509 kasus anak dengan
glomerulonefritis akut di rumah sakit pendidikan di Indonesia dari tahun 1997-2002.
Sebanyak 66,6% pasien memiliki peningkatan titer anti-streptolisin O (ASO) dan
60,4% memiliki penurunan konsentrasi C3. Hal ini mengindikasikan bahwa mayoritas
pasien mengalami post streptococcal glomerulonephritis (PSGN).

Mortalitas
Tingkat mortalitas pasien glomerulonefritis sekunder dan primer adalah 3,9 dan 2,7
kali lipat lebih tinggi dibandingkan pasien tanpa glomerulonefritis. Lupus nefritis
merupakan tipe glomerulonefritis dengan mortalitas paling tinggi

C. Etiologi dan Faktor Resiko

Secara garis besar, etiologi glomerulonefritis adalah segala hal yang dapat
mencetuskan respons imun pada glomerulus. Etiologi ini dapat dibagi menjadi dua,
yaitu glomerulonefritis yang diperantarai antibodi dan yang tidak diperantarai
antibodi.
Beberapa penyakit sistemik juga dapat mencetuskan terjadinya
glomerulonefritis. Berikut ini merupakan beberapa penyakit sistemik dan obat yang
dapat menyebabkan glomerulonefritis:
 Penyakit imunologi: lupus eritematosus sistemik, granulomatosis dengan poliangitis,
penyakit jaringan ikat campuran, Henoch-Schonlein purpura

 Penyakit metabolik-genetik: diabetes mellitus, amiloidosis, penyakit sel sabit


 Penyakit hematoonkologi: multipel myeloma, macroglobulinemia, krioglobulinemia,
trombositopenia trombotik purpura, sindroma hemolitik-uremik, limfoma, leukemia,
dan karsinoma
 Obat-obatan: obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS), captopril, siklosporin,
tacrolimus, bifosfonat, penicillamine

Glomerulonefritis Diperantarai Antibodi


Glomerulonefritis yang diperantarai dengan antibodi mencakup
glomerulonefritis post infeksi, nefropati IgA, dan nefritis lupus.

Glomerulonefritis Post Infeksi


Glomerulonefritis post infeksi umumnya disebabkan oleh infeksi Streptokokus
grup A yang mengeluarkan eksotoksin pirogenik B. Berikut ini merupakan organisme
yang bisa menyebabkan glomerulonefritis post infeksi:
 Bakteri: Streptococcus sp, Diplococcus sp, Staphylococcus sp, Mycobacterium sp,
Salmonella typhi, Brucella suis, Treponema pallidum, dan Corynebacterium bovis
 Virus: Cytomegalovirus, Coxsakie virus, Epstein-Barr virus, hepatitis B, rubella,
parvovirus B19, dan virus mumps
 Jamur: Coccidioides immitis
 Parasit: Plasmodium malariae, Plasmodium falciparum, Schistostoma
mansoni, Toxoplasma gondii, filariasis, tripanosoma
Nefropati IgA
Nefropati IgA umumnya disebabkan oleh gabungan antara disregulasi respons
imun dan faktor lain seperti infeksi. Infeksi saluran pernapasan atas dan
gastrointestinal paling sering ditemukan pada pasien nefropati IgA.
Penyakit Antiglomerular Basement Membrane (Anti-GBM)
Etiologi penyakit anti-GBM sampai sekarang belum diketahui secara pasti.
Akan tetapi, ekspresi gen HLA-DR telah dihubungkan dengan terjadinya reaktivitas
antibodi dan sel T terhadap peptida asam amino-13 pada rantai α3 dari kolagen tipe
IV pada nefritis anti-GBM.
ANCA-Associated Vasculitis (AAV)
AAV disebabkan oleh autoantibodi yang disebut antineutrophil cytoplasmic
antibody  (ANCA). Serologi positif ANCA telah dihubungkan dengan penyakit infeksi
seperti penyakit paru supuratif, endokarditis bakteri subakut, dan
infeksi Pseudomonas, Klebsiella, E. coli, S. aureus, dan virus Ross River.
Nefritis Lupus
Nefritis lupus disebabkan oleh penyakit lupus eritematosus sistemik (LES).
Infeksi virus, terutama virus Epstein-Barr, telah ditemukan dapat menstimulasi
terjadinya LES dan nefritis lupus.
Glomerulonefritis Membranoproliferatif Tipe 1
Infeksi virus hepatitis C telah ditemukan berhubungan dengan terjadinya
glomerulonefritis membranoproliferatif tipe 1.
Nefropati Membranosa
Etiologi nefropati membranosa umumnya idiopatik. Akan tetapi, beberapa
etiologi infeksi, seperti virus hepatitis B dan hepatitis C telah dihubungkan dengan
terjadinya nefropati membranosa

Glomerulonefritis Tidak Diperantarai Antibodi


Salah satu penyebab glomerulonefritis tidak diperantarai antibodi adalah tipe
nefropati C3. Nefropati C3 disebabkan oleh disfungsi CRegPs yang diperantarai oleh
kelainan genetik. Hal ini menyebabkan aktivasi jalur alternatif komplemen dan
deposisi komplemen C3.

Faktor Risiko
Berikut ini merupakan faktor risiko terjadinya glomerulonefritis:
 Hipertensi
 Diabetes mellitus
 Keganasan
 Riwayat infeksi Streptokokal, baik faringitis maupun impetigo
 Menggunakan obat-obatan jangka panjang atau dosis lebih tinggi dari yang
disarankan, terutama obat golongan OAINS seperti ibuprofen
 Infeksi virus seperti HIV, hepatitis B, dan hepatitis C
 Riwayat penyakit imun, seperti lupus eritematosus sistemik
 Vaskulitis
D. Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya glomerulonefritis sampai sekarang belum diketahui secara
pasti. Akan tetapi beberapa studi telah menyimpulkan bahwa penyebab tersering
terjadinya glomerulonefritis adalah akibat respons imun.
Glomerulonefritis merupakan suatu proses kompleks yang umumnya berkaitan
dengan respons imun humoral maupun cell-mediated. Patofisiologi dasar dari
glomerulonefritis adalah deposisi kompleks antigen-antibodi pada membran basal
glomerular. Secara kasat mata, ginjal akan tampak membesar hingga 50%. Secara
histopatologi, akan terlihat infiltrasi sel polimorfonuklear dan edema pada sel ginjal.
Pada post streptococcal glomerulonephritis (PSGN), neuraminidase Streptokokus
dapat menyebabkan terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang akan menumpuk di
glomeruli. Hal ini akan memicu respon imun lebih lanjut dan pelepasan sitokin
proinflamasi.
Antigen yang terperangkap pada glomerulus dapat beragam, seperti nukleosom pada
lupus nefritis. Lupus nefritis merupakan salah satu penyebab terjadinya sindrom nefrotik.
Kompleks imun dapat berbentuk linear seperti pada tipe anti-basement membrane.
Namun, ada pula yang berbentuk deposit granular pada dinding kapiler atau
subendothelial, seperti yang ditemukan pada mesangium-capillary
glomerulonephritis tipe 1.
Glomerulonefritis juga dapat terjadi tanpa terbentuknya kompleks imun, seperti pada
glomerulonefritis tipe ANCA positive necrotizing glomerular nephritis dimana terjadi
inflamasi berat dan vaskulitis. Pada keadaan noninflamatori, seperti pada berbagai
penyakit metabolik, kerusakan imun dapat menyebabkan peningkatan permeabilitas
protein dan menginduksi terjadinya glomerulonefritis.
Patogenesis Sindrom Nefritik :

Patogenesis Sindrom Nefrotik


E. Diagnosis

Diagnosis glomerulonefritis dapat ditentukan secara pasti dengan biopsi ginjal.


Anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat membantu klinisi dalam menentukan etiologi
glomerulonefritis.

Anamnesis

Gejala pasien glomerulonefritis bervariasi, mulai dari asimtomatik sampai sakit berat.
Glomerulonefritis dapat dibedakan berdasarkan onset menjadi akut dan kronik. Salah
satu kasus glomerulonefritis akut yang sering ditemukan adalah post streptococcal
glomerulonephritis (PSGN). PSGN lebih sering terjadi pada laki-laki, berusia 2-14 tahun,
1-2 minggu post faringitis atau 2-5 minggu post infeksi kulit. Gejala dapat berupa edema
pada wajah dan periorbital, urin berwarna gelap, dan gejala nonspesifik lain seperti
demam, nyeri abdomen, dan lemah.

Pada pasien glomerulonefritis kronik, umumnya sudah terjadi penyakit ginjal


kronis dan sudah ada tanda uremia seperti fatigue, pruritus, mual-muntah saat pagi hari,
hilang nafsu makan, penurunan berat badan, gangguan pola tidur, kejang, dan tremor.

Gejala sistemik juga dapat ditemukan pada pasien glomerulonefritis tergantung pada
penyebab yang mendasari. Sebagai contoh, gejala hemoptisis dapat ditemukan pada
pasien sindroma Goodpasture atau glomerulonefritis idiopatik progresif. Ruam purpura
juga dapat ditemukan pada glomerulonefritis akibat vaskulitis hipersensitif dan
krioglobulinemia.
Berikut ini merupakan beberapa kumpulan gejala sistemik yang dapat ditemukan pada
pasien glomerulonefritis:
 Konstitusional: demam, menggigil, penurunan berat badan, keringat malam, lemas
 Neurologi: nyeri kepala, kejang
 Oftalmologi: penurunan tajam penglihatan, nyeri mata
 Telinga, hidung, dan tenggorok: epistaksis, batuk, pilek, hidung tersumbat, luka pada
mulut
 Kardiovaskular: nyeri dada
 Paru-paru: sesak napas, hemoptisis
 Abdomen: ascites, nyeri abdomen
 Kulit: purpura atau ruam
 Muskuloskeletal: artralgia, myalgia

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien glomerulonefritis dilakukan secara menyeluruh untuk
mencari penyebab yang mendasari. Penemuan tanda uremia umumnya menunjukkan
glomerulonefritis dengan onset kronik.

Tanda Vital
Pemeriksaan fisik dapat diawali dengan pemeriksaan tanda-tanda vital
pasien. Hipertensi dan demam dapat ditemukan pada glomerulonefritis.
Tanda Akumulasi Cairan
Berikut ini merupakan tanda akumulasi cairan yang dapat ditemukan pada pasien
glomerulonefritis:
 Edema periorbital
 Edema pitting pada tungkai
 Peningkatan tekanan vena jugularis
 Suara crackles pada paru
 Ascites
 Efusi pleura

Tanda Uremia

Tanda-tanda uremia merupakan salah satu karakteristik dari glomerulonefritis kronik.


Berikut ini merupakan tanda-tanda uremia yang dapat ditemukan pada glomerulonefritis
kronik:
 Hipertensi

 Peningkatan tekanan vena jugularis

 Tanda edema paru yaitu ditemukan suara rales pada paru

 Friction rub perikardial

 Gastritis uremik enteropati yang ditandai nyeri tekan regio epigastrik atau darah pada
feses
 Penurunan sensasi dan asterixis atau flapping tremor

Tanda Lainnya
Berikut ini merupakan tanda klinis lain yang dapat ditemukan pada pasien
glomerulonefritis:
 Mata: konjungtiva anemis, retinitis, uveitis, xantelasma

 Telinga, hidung, tenggorok: faringitis, ulkus mulut, sinusitis, epistaksis

 Kulit: ruam atau purpura

 Pemeriksaan dada: murmur jantung

 Urogenitalia: hematuria makroskopik atau mikroskopik, nyeri ketok daerah


kostovertebra

 Neurologi: penurunan kesadaran, kejang, neuropati perifer

 Ekstremitas: iskemia atau infark digital

 Muskuloskeletal: arthritis, nyeri tekan dan pembengkakan sendi

 Metabolik : peningkatan berat badan, anoreksia.

Diagnosis Banding
Beberapa penyakit urogenital dapat menyerupai tanda dan gejala glomerulonefritis
seperti batu ginjal, kanker ginjal, dan kanker buli.
Batu Ginjal
Batu ginjal atau nefrolitiasis dapat menyebabkan gross hematuria yang juga dapat
ditemukan pada pasien glomerulonefritis. Akan tetapi, pada nefrolitiasis umumnya
hematuria diiringi dengan gejala nyeri berkemih dan nyeri alih sesuai dengan posisi batu.
Pemeriksaan ultrasonografi ginjal dapat membedakannya dengan glomerulonefritis.
Kanker Buli
Kanker buli dan glomerulonefritis dapat memiliki gejala yang serupa, yaitu hematuria
tanpa rasa nyeri. Pada kanker buli umumnya dapat ditemukan riwayat merokok pada
pasien. Kanker buli dapat dibedakan dengan glomerulonefritis dengan pemeriksaan
sistoskopi dan biopsi pada lesi.
Kanker Ginjal
Kanker ginjal dapat memiliki gejala yang mirip dengan glomerulonefritis, seperti
nyeri flank, demam, dan hematuria. Akan tetapi, pada pemeriksaan urinalisis umumnya
hanya ditemukan hematuria tanpa kelainan lainnya dan pada pemeriksaan computed
tomography dapat ditemukan massa renal.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dapat membantu klinisi mengetahui penyebab yang
mendasari glomerulonefritis.
Pemeriksaan Darah Lengkap
Anemia dapat ditemukan pada pasien glomerulonefritis, ditandai dengan penurunan
hemoglobin dan hematokrit. Pada keadaan glomerulonefritis akibat infeksi dapat
ditemukan leukositosis. Penurunan hitung platelet dapat menunjukkan mikroangiopati
trombotik.
Peningkatan kreatinin, blood urea nitrogen (BUN), dan penurunan laju filtrasi
glomerulus (LFG) dapat ditemukan pada keadaan gagal ginjal. Laju endap darah juga
umumnya ditemukan meningkat pada pasien glomerulonefritis.
Urinalisis dan Studi Urin 24 Jam
Urin pada pasien glomerulonefritis umumnya memiliki warna gelap dengan gravitasi
spesifik melebihi 1.020. Selain itu, juga dapat ditemukan adanya sel darah merah pada
urin.
Proteinuria juga umum ditemukan pada glomerulonefritis yang memiliki presentasi
klinis sindroma nefrotik dan sindroma nefritik. Pada sindroma nefrotik, umumnya
ekskresi protein urin lebih dari 3500 mg/24 jam atau perbandingan protein dengan
kreatinin lebih dari 3000 mg/g pada dewasa. Proteinuria dengan hematuria umumnya
ditemukan pada glomerulonefritis dengan presentasi klinis sindroma nefritik. Akan
tetapi, proteinuria juga dapat ditemukan pada pasien muda keadaan sesaat, yang disebut
sebagai isolated proteinuria.
Serum Albumin
Pemeriksaan serum albumin dilakukan untuk mengetahui kerusakan pada filtrasi
glomerulus. Semakin rendah serum albumin, maka semakin besar peningkatan
permeabilitas glomerulus terhadap albumin. Pada glomerulonefritis umumnya terjadi
penurunan serum albumin dan peningkatan proteinuria. Akan tetapi apabila serum
albumin rendah disertai dengan kadar protein urine yang normal, maka kemungkinan
penurunan kadar albumin disebabkan oleh penurunan produksi albumin akibat penyakit
hati.
Lactic Acid Dehydrogenase
Pemeriksaan lactic acid dehydrogenase (LDH) dilakukan untuk mendeteksi adanya
hemolisis, atau kerusakan otot. Tanpa kerusakan otot atau organ viseral, peningkatan
LDH dapat menunjukkan hemolisis yang disebabkan oleh etiologi glomerulonefritis
seperti trombotik mikroangiopati.
Kadar Komplemen
Pemeriksaan kadar komplemen dapat membantu klinisi dalam menentukan etiologi
glomerulonefritis. Kadar komplemen serum rendah dapat ditemukan pada
krioglobulinemia, lupus eritematosus sistemik, nefritis shunt, dan endokarditis bakterial.
Kadar komplemen serum normal dapat ditemukan pada poliarteritis nodosa, sindroma
Goodpasture, Henoch-schonlein purpura, dan abses viseral. Penurunan kadar komplemen
C3 dan C4 dapat ditemukan pada nefritis akut post streptokokal.
Antibodi Streptolisin-O
Peningkatan antibodi streptolisin-O (ASTO) dapat ditemukan pada 75-80%
pasien post streptococcal glomerulonephritis (PSGN) yang tidak mendapatkan antibiotik
setelah 10-14 hari infeksi.
Pemeriksaan Laboratorium Lain
Beberapa pemeriksaan laboratorium tambahan juga dapat dilakukan sesuai dengan
etiologi yang dicurigai. Berikut ini merupakan beberapa pemeriksaan laboratorium lain
yang dapat dilakukan:
 Antineutrophil cytoplasmic autoantibodies (ANCA) : dapat dilakukan pada pasien
glomerulonefritis dengan vaskulitis.
 Autoantibodi antiglomerular basement membrane (GBM) : autoantibodi anti-GBM
dapat ditemukan meningkat pada glomerulonefritis akibat sindroma Goodpasture
 Antibodi antinuklear : dapat digunakan untuk mendeteksi lupus eritematosus sistemik
(LES) dan penyebab autoimun lain
 Hitung retikulosit : peningkatan hitung retikulosit yang disertai dengan penurunan
hitung platelet dapat ditemukan pada hemolisis intravaskular akibat trombotik
mikroangiopati.
 Antibodi anti-dsDNA : peningkatan anti-dsDNA dapat ditemukan pada pasien
glomerulonefritis akibat LES.
 Serologi virus hepatitis B, hepatitis C, dan HIV : deteksi infeksi hepatitis B, hepatitis
C, dan HIV disarankan dilakukan pada pasien glomerulonefritis untuk pencarian etiologi
dan untuk rencana terapi imunosupresif
 Faktor rheumatoid : untuk skrining krioglobulinemia tipe 2 dan 3 serta penyakit
autoimun lain
 D-dimer : peningkatan D-dimer menunjukkan peningkatan risiko penggumpalan
darah, yang dapat ditemukan pada sindroma nefrotik berat dengan mikroangiopati
trombotik
 Aktivitas ADAMTS-13 : digunakan untuk mendeteksi glomerulonefritis akibat
trombotik trombositopenia purpura (TTP

Radiologi
Pemeriksaan rontgen thoraks dilakukan pada pasien glomerulonefritis untuk
mendeteksi sindrom pulmonari-renal dan komplikasi pulmonal lain seperti efusi pleura
dan kardiomegali.
CT scan kepala dilakukan pada pasien dengan hipertensi maligna dan gangguan
kesadaran. CT scan abdomen dapat dilakukan apabila terdapat kecurigaan abses viseral.
Ultrasonografi ginjal dilakukan untuk mengetahui bentuk ginjal dan evaluasi adanya
obstruksi dan fibrosis. Bentuk ginjal kurang dari 9 cm menunjukkan adanya jaringan
parut dan penyakit ginjal kronis.
Pemeriksaan ekokardiografi dilakukan pada pasien glomerulonefritis dengan
kecurigaan endokarditis atau efusi perikardium.
Biopsi Ginjal
Pemeriksaan biopsi ginjal disarankan untuk menentukan diagnosis glomerulonefritis
primer, dan pada pasien dengan riwayat keluarga penyakit ginjal dengan presentasi klinis
atipikal. Berdasarkan hasil biopsi, glomerulonefritis dapat dibagi menjadi:
 Immune complex-mediated glomerulonephritis : nefropati IgA, lupus nefritis,
glomerulonefritis yang terkait infeksi, fibrillary glomerulonephritis
 ANCA-associated glomerulonephritis : PR3-ANCA positif, MPO-ANCA positif
 Anti-GBM glomerulonephritis
 Monoclonal Ig-glomerulonephritis : proliferative glomerulonephritis with monoclonal
Ig deposits (PGNMD), monoclonal Ig deposition disease (MIDD)
 Glomerulopati C3 : C3 glomerulonefritis, dense deposit disease (DDD)
F. Tatalaksana
Prinsip penatalaksanaan glomerulonefritis sekunder adalah menangani penyakit
sistemik yang  mendasari. Pada glomerulonefritis primer, tata laksana umumnya bersifat
suportif yang disertai dengan terapi imunosupresif.
Medikamentosa
Beberapa golongan obat yang dapat diberikan antara lain antibiotik, antihipertensi,
kortikosteroid, imunosupresan, dan penurun lipid.
Antibiotik
Terapi antibiotik digunakan pada pasien glomerulonefritis akibat infeksi bakteri. Pada
pasien post streptococcal glomerulonephritis (PSGN) dapat diberikan antibiotik golongan
penicillin, yaitu penicillin V 500 mg dua kali sehari per oral selama 10 hari. Pilihan lain
adalah penicillin G 900.000 unit intramuskular sekali sehari.
Apabila pasien alergi penicillin, dapat digunakan azithromycin 500 mg sekali sehari per
oral selama 5 hari atau clarithromycin 250-500 mg dua kali sehari per oral selama 7-10
hari.
Antihipertensi
Target tekanan darah yang diharapkan pada pasien dengan penyakit ginjal adalah 130/80
mmHg. Pada beberapa studi, target tekanan darah di bawah 125/75 mmHg
direkomendasikan pada pasien dengan proteinuria > 1 g/hari.
Lini pertama antihipertensi yang disarankan adalah golongan angiotensin converting
enzyme inhibitors (ACE-I) dan angiotensin receptor blockers (ARB). Selain menurunkan
tekanan darah, antihipertensi golongan ACE-I dan ARB dapat menurunkan proteinuria
sebanyak 40-50%.
Obat antihipertensi yang dapat dipakai adalah:
 Ramipril 5 mg sekali sehari per oral
 Lisinopril 10 mg sekali sehari per oral
 Enalapril 5 mg sekali sehari per oral
 Candesartan 8-16 mg sekali sehari per oral
 Irbesartan 150-300 mg sekali sehari per oral
Apabila ACE-I dan ARB tidak efektif dalam menurunkan tekanan darah, maka dapat
digunakan antihipertensi golongan diuretik, yaitu furosemide 40-120 mg sekali sehari per
oral. Selain itu pemberian diuretik juga dapat mengurangi edema pada pasien.[6,7,9,10]
Kortikosteroid
Kortikosteroid dan imunosupresan umumnya diberikan pada pasien glomerulonefritis
sedang sampai berat, yaitu dengan klinis hematuria, proteinuria, dan penurunan laju
filtrasi glomerulus (LFG). Pilihan kortikosteroid pada pasien sindroma
nefrotik adalah prednison dengan dosis 1 mg/kg/hari per oral, dengan penurunan dosis
bertahap.
Pada pasien glomerulonefritis rapidly progressive akibat kompleks imun, dapat
digunakan methylprednisolone 1 gram intravena sekali sehari selama 3 hari, kemudian
ubah ke prednison 1 mg/kg/hari per oral dan turunkan dosis secara perlahan setelah
terjadi remisi
Terapi Imunosupresan
Terapi imunosupresan umumnya diberikan pada glomerulonefritis derajat sedang sampai
berat. Pada beberapa tipe glomerulonefritis dengan presentasi klinis sindroma nefritik,
seperti minimal change disease, focal and segmental glomerulosclerosis, dan
glomerulonefritis mesangioproliferatif, dibutuhkan gabungan terapi imunosupresif 
dengan kortikosteroid. Selain itu, pada glomerulonefritis rapidly progressive tipe anti-
GBM, imun kompleks dengan lupus eritematosus sistemik, dan pauci-imun juga
disarankan menggunakan terapi imunosupresan.
Agen imunosupresan yang dapat digunakan adalah:
 Siklofosfamid 2 mg/kg sekali sehari per oral selama 2-3 bulan
 Myocophenolate mofetil 1–1,5 gram dua kali sehari per oral
 Azatioprin 1-2 mg/kg/hari per oral
Penggunaan imunosupresan harus diikuti dengan pemberian profilaksis
antibiotik kotrimoksazol 80-160 mg sekali sehari per oral untuk mencegah pneumocystis
pneumonia.
Agen Penurun Lipid
Agen penurun lipid dapat digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit kardiovaskular
pada pasien glomerulonefritis dengan hiperlipidemia. Statin merupakan obat yang umum
digunakan dan memiliki efikasi dalam memperbaiki profil lipid. Selain itu, statin juga
dapat memberikan efek proteksi terhadap penurunan LFG pada pasien. Simvastatin dapat
diberikan 10-20 mg sekali sehari per oral.
Tindakan
Terapi plasmaferesis dan penggantian ginjal dapat dipertimbangkan pada pasien
glomerulonefritis derajat berat.
Plasmaferesis
Terapi plasmaferesis disarankan pada glomerulonefritis rapidly progressive tipe anti-
GBM. Plasmaferesis dapat dilakukan setiap hari dengan penggantian 4 liter dan albumin
sebagai cairan pengganti selama 2-3 minggu.
Terapi Pengganti Ginjal
Terapi pengganti ginjal dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi
ginjal. Terapi ini merupakan pilihan akhir pada tata laksana glomerulonefritis.
Indikasi dilakukannya dialisis adalah saat LFG <15 ml/min/1,73 m2, asidosis berat,
hiperkalemia, gangguan elektrolit, uremia, dan overload cairan > 10%.

G. Komplikasi dan Prognosis


Komplikasi
Komplikasi sangat umum terjadi pada pasien glomerulonefritis. Hipertensi
merupakan komplikasi yang paling umum ditemukan pada pasien glomerulonefritis.
Hipertensi
Pada glomerulonefritis yang mengganggu fungsi ginjal dan menyebabkan retensi
cairan serta supresi sistem renin-angiotensin-aldosterone (RAAS), dapat terjadi
komplikasi berupa hipertensi.
Gagal Ginjal Akut
Sebanyak 9,8% gagal ginjal akut disebabkan oleh kasus glomerulonefritis. Pada
glomerulonefritis akut berat terjadi kerusakan glomerular berat yang kemudian
mengganggu fungsi ginjal dan menyebabkan gagal ginjal akut.
Gagal Jantung Kongestif
Gagal jantung kongestif menjadi salah satu komplikasi yang umum ditemukan pada
glomerulonefritis akut berat. Gagal jantung kongestif pada glomerulonefritis
umumnya terjadi akibat penumpukan cairan.
Prognosis
Prognosis glomerulonefritis bergantung pada tipe penyakit. Pada
glomerulonefritis akut post streptococcal glomerulonephritis (PSGN) dan nefropati
immunoglobulin A (IgA) umumnya jarang terjadi penyakit ginjal kronik. PSGN pada
pasien pediatri mayoritas akan sembuh total.
Glomerulonefritis tipe lainnya secara umum memiliki prognosis lebih buruk. Pada
pasien glomerulonefritis akibat penyakit membranoproliferatif, apabila tidak ditangani
maka sebesar 50-60% pasien akan mengalami penyakit ginjal tahap akhir (PGTA).
Selain itu, 20-25% pasien glomerulonefritis akibat granulomatosis poliangitis
memiliki risiko mengalami PGTA.

Anda mungkin juga menyukai