Anda di halaman 1dari 6

STRONGYLOIDIASIS

Strongyloidiasis adalah infeksi parasit yang disebabkan oleh Strongyloides stercoralis.


Parasit ini dibedakan dari jenis infeksi cacing lainnya karena kemampuannya dalam
menyebabkan hiperinfeksi pada orang dengan penurunan daya tahan
tubuh. Strongyloides spp juga unik karena memiliki kemampuan sebagai organisme free-
living dan bisa menyebabkan autoinfeksi.

Strongyloidiasis merupakan infeksi parasit yang masih termasuk dalam daftar Neglected


Tropical Diseases (NTDs). Data epidemiologi menunjukkan hasil beragam, yaitu sekitar 30
hingga 100 juta orang di seluruh dunia diperkirakan terinfeksi Strongyloides stercoralis, dengan
prevalensi lebih tinggi di wilayah tropis dan subtropis. 

Larva Strongyloides stercoralis masuk ke dalam tubuh manusia melalui kontak kulit atau


membran mukus dengan tanah yang terkontaminasi feses. Parasit ini bermigrasi melalui aliran
darah dan limfatik menuju paru-paru dan menaiki saluran pernafasan menuju trakea dan faring,
menyebabkan batuk. Strongyloides stercoralis kemudian tertelan dan masuk saluran pencernaan,
kemudian bereproduksi di usus halus. Larva Strongyloides stercoralis dapat keluar melalui feses
atau masuk ke aliran darah dan limfatik untuk mengulangi proses infeksi melalui saluran
pernafasan.

Epidemiologi

Epidemiologi strongyloidiasis lebih tinggi di wilayah tropis dan subtropis. Strongyloidiasis


merupakan penyakit endemis di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

1. Global

Strongyloides stercoralis diperkirakan menginfeksi 10-40% populasi pada negara tropis


dan subtropis. Pada negara dengan sumber daya terbatas, serta kondisi alam dan
sosioekonomi yang mendukung, tingkat infeksi dilaporkan dapat mencapai 60%.

Brazil dan Thailand merupakan negara endemik dengan tingkat infeksi tertinggi. Brazil
memiliki prevalensi infeksi Strongyloides stercoralis sebesar 13%. Prevalensi strongyloides
di Thailand mencapai 23,7%.
Infeksi pada negara selain tropis dan subtropis dapat terjadi dengan dukungan faktor
sanitasi dan kondisi hidup yang buruk, sehingga prevalensi strongyloidiasis ditemukan tinggi
pada imigran, pengungsi, wisatawan, veteran perang, dan pasien imunodefisiensi.

2. Indonesia

Indonesia, sebagai bagian dari Asia Tenggara, merupakan negara endemik


strongyloidiasis. Tidak banyak studi yang membahas tentang prevalensi nasional
strongyloidiasis di Indonesia. Pada sebuah tinjauan yang membahas 6 studi epidemiologi di
Indonesia, prevalensi strongyloidiasis diperkirakan mencapai 7,6%.

Siklus Hidup dan Patofisiologi


1. Dalam siklus hidup bebas:

 Larva Rhabditiform ditularkan melalui tinja inang definitif yang terinfeksi,


berkembang menjadi larva filariform infektif (perkembangan langsung) atau jantan
dan betina dewasa yang hidup bebas yang kawin dan menghasilkan telur, dimana
larva rhabditiform menetas dan akhirnya menjadi infective filariform (L3) slarvae.

 Larva filariform menembus kulit inang manusia untuk memulai siklus parasit, Larva
filariform generasi kedua ini tidak dapat matang menjadi dewasa yang hidup bebas
dan harus mencari inang baru untuk melanjutkan siklus hidupnya.

2. Siklus parasit:

 Larva filariform di tanah yang tercemar menembus kulit manusia saat kulit
bersentuhan dengan citra tanah, dan bermigrasi ke usus halus.

 Diperkirakan bahwa larva L3 bermigrasi melalui aliran darah dan limfatik ke paru-
paru, di mana mereka akhirnya tertelan. Namun, larva L3 tampaknya mampu
bermigrasi ke usus melalui rute alternatif (misalnya melalui lapisan viscera abdomen
atau jaringan ikat).

 Di usus halus, larva berganti kulit dua kali dan menjadi cacing betina dewasa. Betina
hidup tertanam di submukosa usus halus dan menghasilkan telur melalui
partenogenesis (parasit jantan tidak ada), yang menghasilkan larva rhabditiform.
Larva rhabditiform dapat ditularkan melalui tinja, atau dapat menyebabkan
autoinfeksi.

3. Autoinfeksi

Strongyloides stercoralis merupakan spesies yang unik dibandingkan dengan spesies


parasit gastrointestinal lain karena kemampuannya dalam menginfeksi ulang tubuh inangnya.

Larva noninfektif akan berkembang menjadi larva infektif dalam tubuh inang dengan
melanjutkan siklus migrasi tanpa perlu keluar dari tubuh inang. Larva infektif dapat
menyebabkan autoinfeksi internal dengan masuk ke aliran darah melalui mukosa usus besar
atau usus halus.
Larva juga dapat menyebabkan autoinfeksi eksternal dengan menembus kulit perianal
dan masuk ke aliran darah. Setelah masuk ke aliran darah, larva akan bermigrasi menuju
paru-paru dan mengulang siklus hidup. Pengulangan siklus hidup inilah yang dapat
menyebabkan kekambuhan dan lama sembuh pada penderita strongyloidiasis di wilayah
endemik.

Autoinfeksi umumnya dapat dicegah oleh sistem imun tubuh, kecuali pada penderita
dengan penurunan cell-mediated immunity. Autoinfeksi meningkatkan kemungkinan
perkembangan strongyloidiasis menjadi bentuk yang lebih berat, yaitu strongyloidiasis
hyperinfection syndrome (HIS) dan disseminated strongyloidiasis (DS).
TETANUS

Ada tiga sasaran penatalaksanaan tetanus, yakni: (1) membuang sumber tetanospasmin;
(2) menetralisasi toksin yang tidak terikat; (3) perawatan penunjang (suportif) sampai
tetanospasmin yang berikatan dengan jaringan telah habis dimetabolisme.

Membuang Sumber Tetanospasmin

Luka harus dibersihkan secara menyeluruh dan didebridement untuk mengurangi muatan
bakteri dan mencegah pelepasan toksin lebih lanjut. Antibiotika diberikan untuk mengeradikasi
bakteri, sedangkan efek untuk tujuan pencegahan tetanus secara klinis adalah minimal. Pada
penelitian di Indonesia, metronidazole telah menjadi terapi pilihan di beberapa pelayanan
kesehatan. Metronidazole diberikan secara iv dengan dosis inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan dosis
30 mg/kgBB/hari setiap 6 jam selama 7-10 hari. Metronidazole efektif mengurangi jumlah
kuman C. tetani bentuk vegetatif.

Sebagai lini kedua dapat diberikan penicillin procain 50.000-100.000 U/kgBB/hari


selama 7-10 hari, jika hipersensitif terhadap penicillin dapat diberi tetracycline 50 mg/kgBB/hari
(untuk anak berumur lebih dari 8 tahun). Penicillin membunuh bentuk vegetatif C. tetani.
Sampai saat ini, pemberian penicillin G 100.000 U/kgBB/hari iv, setiap 6 jam selama 10 hari
direkomendasikan pada semua kasus tetanus. Sebuah penelitian menyatakan bahwa penicillin
mungkin berperan sebagai agonis terhadap tetanospasmin dengan menghambat pelepasan asam
aminobutirat gama (GABA).

Netralisasi toksin yang tidak terikat

Antitoksin harus diberikan untuk menetralkan toksin-toksin yang belum berikatan.


Setelah evaluasi awal, human tetanus immunoglobulin (HTIG) segera diinjeksikan intramuskuler
dengan dosis total 3.000- 10.000 unit, dibagi tiga dosis yang sama dan diinjeksikan di tiga tempat
berbeda. Tidak ada konsensus dosis tepat HTIG. Rekomendasi British National Formulary
adalah 5.000-10.000 unit intravena. Untuk bayi, dosisnya adalah 500 IU intramuskular dosis
tunggal.

Sebagian dosis diberikan secara infi ltrasi di tempat sekitar luka; hanya dibutuhkan sekali
pengobatan karena waktu paruhnya 25-30 hari. Makin cepat pengobatan diberikan, makin
efektif. Kontraindikasi HTIG adalah riwayat hipersensitivitas terhadap immunoglobulin atau
komponen human immunoglobulin sebelumnya; trombositopenia berat atau keadaan koagulasi
lain yang dapat merupakan kontraindikasi pemberian intra muskular. Bila tidak tersedia maka
digunakan ATS dengan dosis 100.000-200.000 unit diberikan 50.000 unit intramuscular dan
50.000 unit intravena pada hari pertama, kemudian 60.000 unit dan 40.000 unit intramuskuler
masing-masing pada hari kedua dan ketiga. Setelah penderita sembuh, sebelum keluar rumah
sakit harus diberi immunisasi aktif dengan toksoid, karena seseorang yang sudah sembuh dari
tetanus tidak memiliki kekebalan.

Pengobatan suportif

Penatalaksanaan lebih lanjut terdiri dari terapi suportif sampai efek toksin yang telah
terikat habis. Semua pasien yang dicurigai tetanus sebaiknya ditangani di ICU agar bisa
diobservasi secara kontinu. Untuk meminimalkan risiko spasme paroksismal yang dipresipitasi
stimulus ekstrinsik, pasien sebaiknya dirawat di ruangan gelap dan tenang. Pasien diposisikan
agar mencegah pneumonia aspirasi. Cairan intravena harus diberikan, pemeriksaan elektrolit
serta analisis gas darah penting sebagai penuntun terapi.

Penanganan jalan napas merupakan prioritas. Spasme otot, spasme laring, aspirasi, atau
dosis besar sedatif semuanya dapat mengganggu respirasi. Sekresi bronkus yang berlebihan
memerlukan tindakan suctioning yang sering. Trakeostomi ditujukan untuk menjaga jalan nafas
terutama jika ada opistotonus dan keterlibatan otot-otot punggung, dada, atau distres pernapasan.
Kematian akibat spasme laring mendadak, paralisis diafragma, dan kontraksi otot respirasi tidak
adekuat sering terjadi jika tidak tersedia akses ventilator.

Anda mungkin juga menyukai