Epidemiologi
1. Global
Brazil dan Thailand merupakan negara endemik dengan tingkat infeksi tertinggi. Brazil
memiliki prevalensi infeksi Strongyloides stercoralis sebesar 13%. Prevalensi strongyloides
di Thailand mencapai 23,7%.
Infeksi pada negara selain tropis dan subtropis dapat terjadi dengan dukungan faktor
sanitasi dan kondisi hidup yang buruk, sehingga prevalensi strongyloidiasis ditemukan tinggi
pada imigran, pengungsi, wisatawan, veteran perang, dan pasien imunodefisiensi.
2. Indonesia
Larva filariform menembus kulit inang manusia untuk memulai siklus parasit, Larva
filariform generasi kedua ini tidak dapat matang menjadi dewasa yang hidup bebas
dan harus mencari inang baru untuk melanjutkan siklus hidupnya.
2. Siklus parasit:
Larva filariform di tanah yang tercemar menembus kulit manusia saat kulit
bersentuhan dengan citra tanah, dan bermigrasi ke usus halus.
Diperkirakan bahwa larva L3 bermigrasi melalui aliran darah dan limfatik ke paru-
paru, di mana mereka akhirnya tertelan. Namun, larva L3 tampaknya mampu
bermigrasi ke usus melalui rute alternatif (misalnya melalui lapisan viscera abdomen
atau jaringan ikat).
Di usus halus, larva berganti kulit dua kali dan menjadi cacing betina dewasa. Betina
hidup tertanam di submukosa usus halus dan menghasilkan telur melalui
partenogenesis (parasit jantan tidak ada), yang menghasilkan larva rhabditiform.
Larva rhabditiform dapat ditularkan melalui tinja, atau dapat menyebabkan
autoinfeksi.
3. Autoinfeksi
Larva noninfektif akan berkembang menjadi larva infektif dalam tubuh inang dengan
melanjutkan siklus migrasi tanpa perlu keluar dari tubuh inang. Larva infektif dapat
menyebabkan autoinfeksi internal dengan masuk ke aliran darah melalui mukosa usus besar
atau usus halus.
Larva juga dapat menyebabkan autoinfeksi eksternal dengan menembus kulit perianal
dan masuk ke aliran darah. Setelah masuk ke aliran darah, larva akan bermigrasi menuju
paru-paru dan mengulang siklus hidup. Pengulangan siklus hidup inilah yang dapat
menyebabkan kekambuhan dan lama sembuh pada penderita strongyloidiasis di wilayah
endemik.
Autoinfeksi umumnya dapat dicegah oleh sistem imun tubuh, kecuali pada penderita
dengan penurunan cell-mediated immunity. Autoinfeksi meningkatkan kemungkinan
perkembangan strongyloidiasis menjadi bentuk yang lebih berat, yaitu strongyloidiasis
hyperinfection syndrome (HIS) dan disseminated strongyloidiasis (DS).
TETANUS
Ada tiga sasaran penatalaksanaan tetanus, yakni: (1) membuang sumber tetanospasmin;
(2) menetralisasi toksin yang tidak terikat; (3) perawatan penunjang (suportif) sampai
tetanospasmin yang berikatan dengan jaringan telah habis dimetabolisme.
Luka harus dibersihkan secara menyeluruh dan didebridement untuk mengurangi muatan
bakteri dan mencegah pelepasan toksin lebih lanjut. Antibiotika diberikan untuk mengeradikasi
bakteri, sedangkan efek untuk tujuan pencegahan tetanus secara klinis adalah minimal. Pada
penelitian di Indonesia, metronidazole telah menjadi terapi pilihan di beberapa pelayanan
kesehatan. Metronidazole diberikan secara iv dengan dosis inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan dosis
30 mg/kgBB/hari setiap 6 jam selama 7-10 hari. Metronidazole efektif mengurangi jumlah
kuman C. tetani bentuk vegetatif.
Sebagian dosis diberikan secara infi ltrasi di tempat sekitar luka; hanya dibutuhkan sekali
pengobatan karena waktu paruhnya 25-30 hari. Makin cepat pengobatan diberikan, makin
efektif. Kontraindikasi HTIG adalah riwayat hipersensitivitas terhadap immunoglobulin atau
komponen human immunoglobulin sebelumnya; trombositopenia berat atau keadaan koagulasi
lain yang dapat merupakan kontraindikasi pemberian intra muskular. Bila tidak tersedia maka
digunakan ATS dengan dosis 100.000-200.000 unit diberikan 50.000 unit intramuscular dan
50.000 unit intravena pada hari pertama, kemudian 60.000 unit dan 40.000 unit intramuskuler
masing-masing pada hari kedua dan ketiga. Setelah penderita sembuh, sebelum keluar rumah
sakit harus diberi immunisasi aktif dengan toksoid, karena seseorang yang sudah sembuh dari
tetanus tidak memiliki kekebalan.
Pengobatan suportif
Penatalaksanaan lebih lanjut terdiri dari terapi suportif sampai efek toksin yang telah
terikat habis. Semua pasien yang dicurigai tetanus sebaiknya ditangani di ICU agar bisa
diobservasi secara kontinu. Untuk meminimalkan risiko spasme paroksismal yang dipresipitasi
stimulus ekstrinsik, pasien sebaiknya dirawat di ruangan gelap dan tenang. Pasien diposisikan
agar mencegah pneumonia aspirasi. Cairan intravena harus diberikan, pemeriksaan elektrolit
serta analisis gas darah penting sebagai penuntun terapi.
Penanganan jalan napas merupakan prioritas. Spasme otot, spasme laring, aspirasi, atau
dosis besar sedatif semuanya dapat mengganggu respirasi. Sekresi bronkus yang berlebihan
memerlukan tindakan suctioning yang sering. Trakeostomi ditujukan untuk menjaga jalan nafas
terutama jika ada opistotonus dan keterlibatan otot-otot punggung, dada, atau distres pernapasan.
Kematian akibat spasme laring mendadak, paralisis diafragma, dan kontraksi otot respirasi tidak
adekuat sering terjadi jika tidak tersedia akses ventilator.