Anda di halaman 1dari 11

Nama : Yohanes

NIM : 140716

Mata Kuliah : Dogmatika

Dosen : Pdt. Dr. Johannes Setiawan

PERANAN GEREJA DALAM MEMBANGUN PERTUMBUHAN

SPIRITUALITAS JEMAAT

A. Pendahuluan

Banyak sekali gereja hanya melakukan pelayanan di dalam gereja saja. Gereja lebih
memfokuskan pelayanan mimbar (berkhotbah), sakramen (perjamuan kudus dan baptisan kudus),
dan mengajarkan jemaat untuk dapat memberikan persembahan syukur dan perpuluhan. Namun,
tampa menyentu pribadi jemaat. Sering kali gereja mengabaikan pelayanan diakonia atau
melakukan perkunjungan lansung ke tempat jemaat. Gereja kelihatan tidak terlalu memperdulikan
kehidupan jemaat jikalau sudah berada di luar gereja. Seolah-olah ketika jemaat berada di luar
gereja atau sudah berada di tempat tinggal mereka, segala urusan dan permasalahan jemaat
merupakan tanggung jawab sendiri jemaat itu.

Sebenarnya gereja memiliki peranan yang sangat penting bagi pertumbuhan spiritualitas
jemaat. Karena pertumbuhan iman jemaat diberikan atau difasilitasi oleh gereja. Gereja harus bisa
memberikan waktunya kepada jemaat, baik di dalam gereja maupun di luar gereja.

Oleh karena itu, penulis tertarik untuk menelusuri bagaimana keberadaan gereja itu yang
sebenarnya? Dan bagaimana perannya terhadap jemaat?

B. Definisi Gereja

Ada banyak definisi gereja yang kita kenal, tergantung dari perspektif mana orang
mendefinisikannya. Berdasarkan asal-usul kata atau etimologinya, “gereja” (Port: igerija) berarti
“umat kepunyaan Allah sendiri”, atau “ekklesia” (Yunani) berarti “yang dipanggil keluar”. Gereja
juga sering kali didefinisikan sebagai “persekutuan orang-orang percaya”, dan tampaknya definisi

1
inilah yang paling sering kita denganr dan kita pergunakan.1 Pandangan ini sama dengan
pandangan Th. van den End2, G.C. van Niftrik dan B.J. Boland,3 Ichwei G. Indra4 dan Harun
Hadiwijono.5

Andreas Untung Wijono dan Sukardi, di dalam bukunya Manajemen Gereja,


mendefinisikan gereja sebagai sebuah “kehidupan bersama religius yang berpusat pada Yesus
Kristus, yang merupakan buah pekerjaan penyelamatan Allah dan sekaligus jawaban manusia
terhadap penyelamatan Allah, yang di dalamnya Roh Kudus bekerja dalam rangka pekerjaan
penyelamatan Allah”. Definisi gereja ini dirumuskan berdasarkan pendekatan soteriologis yaitu
cara berfikir teologi yang berorientasi pada tindakan penyelamatan Allah terhadap manuisa dan
dunia.6 Bandingkan dengan pandangan Louis Berkhof, yang menjelaskan bahwa sebagai satu
kesatuan yang mempunyai banyak segi, gereja juga dapat didefinisikan dari berbagai sudut
pandang, yakni sudut pandang pemilihan, panggilan yang efektif dan baptisan dan pengakuan. 7

Untuk pemahaman lebih lanjut untuk memahami definisi gereja ialah dengan melihat
pandangan Alkitab:

1. Dalam Perjanjian Lama

Dalam Perjanjian Lama, memakai dua istilah untuk menunjukan gereja, yaitu qahal (atau
kahal), yang diturunkan dari akar kata yang sudah tidak dipakai lagi yaitu qal (atau kal), yang
artinya “memanggil”; dan ‘edhah yang berasal dari kata ya’adh yang artinya “memilih” atau
“menunjuk” atau “bertemu bersama-sama di satu tempat yang telah ditunjuk”. Kedua kata ini
kadang-kadang dipakai tanpa dibedakan artinya, tetapi pada mulanya tidak dianggap bersinonim
sepenuhnya. ‘Edhah sebenarnya berarti berkumpul karena sudah ada perjanjian, dan jika kata itu
diterapkan pada masa Israel, maka kata itu menunjuk pada masyarakat bangsa itu sendiri, yang
dibentuk oleh anak-anak Israel atau oleh kepala perwakilan mereka, baik bergabung bersama
maupun tidak. Di pihak lain kata Qahal dengan tepat menunjukkan arti yang sesungguhnya dari

1
Andreas Untung Wijono dan Sukardi, Manajemen Gereja: Dasar Teologis dan Implementasi Praktisnya (Bandung:
BMI, 2010), 21.
2
Th. van den End, Harta dalam Bejana (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), 1-2.
3
G.C. van Niftrik dan B.J. Boland, Dogmatika Masa Kini (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2014), 359.
4
Ichwei G. Indra, Teologi Sistematis (Bandung: Lembaga Literatur Baptis, 1999), 175.
5
Harun Hadiwijono, Iman Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 362-364.
6
Andreas Untung Wijono dan Sukardi, 21.
7
Louis Berkhof, 30-31.

2
pertemuan bersama suatu umat. Jadi, kita sering juga menjumpai kedua kata itu dipakai bersama
qehel’edhah yang artinya “kumpulan jemaah”, Keluaran 12:6; Bilangan 14:5; Yeremia 26:17.
Akan tetapi dalam Kitab-kitab dalam Perjanjian Lama bagian akhir qahal diterjemahkan menjadi
ekklesia oleh Septuaginta.8

2. Dalam Perjanjian Baru

Perjanjian Baru juga memiliki dua kata yang diambilnya dari Septuaginta, yaitu ekklesia
yang berasal dari kata –ek dan kaleo, yang artinya “memanggil ke luar”, dan kata sunagoge, dari
kata sun dan ago yang berarti “datang atau berkumpul bersama”. Kata sunagoge ini secara
eksklusif menunjukan kepada arti pertemuan ibadah orang Yahudi atau juga bisa menunjukan
kepada arti bangunan di mana mereka berkumpul untuk beribadah secara umum, Matius 4:23;
Kisah Para Rasul 13:14; Wahyu 2:9; 3:9. Akan tetapi, dalam Perjanjian Baru, istilah ekklesia9
secara umum menunjukan kepada gereja, walaupun dalam beberapa bagian kata itu sekedar
menunjukkan pertemuan secara umum, Kisah Para Rasul 19:32, 39, 41. Tuhan Yesus adalah yang
pertama kali memakai kata ekklesia dalam Perjanjian Baru, dan Ia memakai kata itu untuk
menunjuk murid-murid yang ada bersama dengan Dia, Matius 16:18, dan para murid itu mengenal
Dia sebagai Tuhan, serta menerima prinsip-prinsip Kerajaan Allah.10

3. Istilah Alkitab yang Lain untuk Gereja

Perjanjian Baru berisi sejumlah kiasan untuk menunjukkan gereja, yang masing-masing
menekankan beberapa aspek tertentu dari gereja, gereja itu disebut:11

a. Tubuh Kristus. Sebagian orang jaman sekarang tampaknya menganggap istilah ini sebagai
suatu definisi lengkap dari gereja Perjanjian Baru. Akan tetapi maksud sesungguhnya tidaklah
demikian. Istilah itu bukan saja dipakai untuk menunjukan gereja secara universal, seperti
dalam Efesus 1:23; Kolose 1:18, tetapi juga untuk menunjukan satu jemaat tunggal, 1 Korintus
12:27. Kata ini menekankan kesatuan dari gereja, baik lokal maupun universal, dan terutama

8
Louis Berkhof, Teologi Sistematika, vol 5 (Surabaya: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1997), 5-6.
9
Dieter Becker, Pedoman Dogmatika: Suatu Kompendium Singkat (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 171. Di dalam
buku ini, menjelaskan bahwa kata Yunani ekklesia dapat berarti “sidang rakyat” maupun “gereja”. Dalam Perjanjian
Baru, istilah ekklesia sering muncul dengan kata tambahan genetif tou theou (dari Allah), misalkan Kisah Para Rasul
20:28; 1 Korintus 1:2; 10:32; 11:22; 1 Tesalonika 2:14.
10
Louis Berkhof, 6-9.
11
Louis Berkhof, 9-11.

3
kenyataan bahwa kesatuan ini bersifat organis, dan organisme gereja mempunyai hubungan
yang vital dengan Tuhan Yesus Kristus sebagai yang Mulia.
b. Bait Roh Kudus atau Bait Allah. Gereja di Korintus disebut sebagai “bait Allah” di mana Roh
Kudus tinggal, 1 Korintus 3:16. Gambaran yang seperti ini menekankan kenyataan bahwa
gereja adalah kudus dan tidak dapat digagalkan. Roh Kudus yang tinggal memberikan sifat-
sifat yang mulia kepada gereja.
c. Yerusalem yang di atas, Yerusalem yang baru atau Yerusalem sorgawi. Ketiga istilah ini dapat
kita jumpai di dalam Galatia 4:26; Ibrani 12:22; Wahyu 21:2, 9, 10. Dalam Perjanjian Lama,
Yerusalem disebut sebagai tempat di mana Allah berdiam di antara kerubim dan secara
simbolis meneguhkan hubungan dengan umat-Nya. Perjanjian Baru jelas menganggap gereja
sebagai pendamping spiritual dari Yerusalem Perjanjian Lama, sehingga oleh karena itu diberi
sebutan yang sama. Menurut penjelasan ini gereja adalah tempat kediaman Allah, di mana
umat Allah dibawa untuk bersekutu dengan Dia; dan tempat kediaman ini, walaupun sebagian
masih ada di dalam dunia, adalah milik dari sesuatu yang bersifat sorgawi.
d. Tiang atau dasar kebenaran. Hanya ada satu bagian di mana istilah ini dipakai untuk menunjuk
kepada gereja, yaitu dalam 1 Timotius 3:15. Ayat ini jelas menunjuk pada gereja secara umum,
dan dengan demikian juga mmenyangkut setiap bagian daripadanya. Istilah ini menyatakan
dengan jelas bahwa gereja adalah penjaga kebenaran, benteng kebenaran, dan pembela
kebenaran terhadap musuh-musuh dari Kerajaan Allah.
C. Ciri-ciri Gereja yang Sejati
a. Gereja adalah kudus

Perjanjian Baru jelas menunjukan bahwa gereja adalah kudus (2 Korintus 1:1). Kata kudus
berarti disendirikan, diasingkan. Kata ini dapat diterapkan terhadap barang-barang, tetapi juga
terhadap manusia. Pengudusan atau pengasingan itu diarahkan kepada suatu tujuan tertentu (band.
Bilangan 16:4). Oleh karena itu kekudusan adalah suatu nisbah, yang menunjukan kepada suatu
hubungan, yaitu hubungan orang yang diasingkan itu dengan tujuan tertentu. Gereja adalah kudus
didasarkan dengan keadaan gereja Tuhan adalah sebagai berikut:12

• Gereja berdiri di atas dasar kenyataan kuasa kasih karunia Allah;


• Gereja dipimpin pada suatu jalan di bawah pemerintahan Kristus yang membebaskannya;

12
Harun Hadiwijono, 375-376.

4
• Jalan itu dengan jelas ditandai sebagai jalan hidup di dunia yang tanpa noda dan tanpa cacat.

Jadi, hidup gereja yang dikuduskan atau diasingkan, disendirikan diarahkan kepada suatu
hidup yang lain, yang berbeda dengan hidup yang lama.

Persoalan yang timbul terhubungan dengan kekudusan gereja ialah persoalan tentang
“tertib gerejani” (atau yang dahulu sering disebut “siasat” atau pamerdi, dalam bahasa Jawa). Latar
belakang tertib gerejani adalah gagasan tentang kekudusan gereja. “Kamu adalah bangsa terpilih,
imamat rajani, bangsa yang kudus” (1 Petrus 2:9-10). Maka ada hubungan timbal-balik antara
kekudusan dan penertiban.13 Artinya gereja adalah kudus, begitu juga dengan setiap orang Kristen
adalah kudus, berdasarkan persekutuannya dengan Kristus. Karena persatuan dengan Kristus juga
menyangkut kehidupan kudus secara nyata. Hubungan gereja dengan Kristus sebagai kepalanya
akan nyata dari sifat maralnya dan kualitas kehidupannya sehari-hari.14

b. Gereja adalah am

Semua gereja menganggap dirinya bersifat am. Oleh karena itu pada masa kini ada
anggapan tentang perlunya mempunyai suatu penafsiran yang lebih kongkrit tentang arti “am” itu.
Dalam Pengakuan Iman Rasuli, kepercayaan akan gereja yang bersifat am itu di dahului oleh
kepercayaan kepada Roh Kudus: “Aku percaya kepada Roh Kudus; gereja yang kudus dan am”.
Oleh karena itu sifat am gereja harus dikaitkan dengan Roh Kudus. Sifat am gereja mengandung
pernyataan, bahwa keselamatan Allah bukanlah hanya diperuntukkan bagi gereja saja, akan tetapi
diperuntukan bagi gereja saja, akan tetapi diperuntukkan bagi seluruh dunia (Yohanes 3:16), dan
bahwa yang didamaikan dengan Allah oleh Kristus bukan hanya gereja saja melainkan juga dunia
(2 Korintus 5:19), dan bahwa Allah di dalam Kristus adalah Juru Selamat dunia (1 Timotius 4:100,
dan bahwa yang didamaikan adalah suatu zaman sesuatu, baik yang ada di bumi, maupun yang
ada di surga (Kolose 1:20).15

Menurut Bruce, gereja adalah am, berarti gereja yang menerima kepelbagaian, dalam arti
gereja yang tidak memberi tempat pada diskriminasi ras, warna kulit, status sosial, kecakapan
intelektual atau moral, asal saja ada bukti pertobatan.16

13
Harun Hadiwijono, 376-378.
14
Bruce Milne, Mengenal kebenaran (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), 300-301.
15
Harun Hadiwijono, 378-380.
16
Bruce Milne, 301.

5
c. Gereja adalah persekutuan orang kudus

Kata yang diterjemahkan dengan “persekutuan orang kudus” adalah communio sanctorum.
Kata sanctorum dapat berasal dari kata sancta, yaitu barang-barang kudus (sakramen), atau dari
kata sanctus, yaitu orang-orang kudus. Kata persekutuan (communio) di sini kiranya harus
dipandang sebagai sama dengan kata koinonia di dalam Alkitab. Jadi gereja bukan terdiri dari
orang-orang yang telah sempurna, melainkan masih terdiri dari orang-orang yang berdosa,
sekalipun telah dikuduskan.17 Namun pun demikian, dari keberdosaan manusia, gereja
mengajarkan tentang keselamatan di dalam Kristus. Di sinilah dapat terlihat kekudusan gereja,
yaitu dalam pemberitaan keselamatan (Injil).

d. Gereja adalah satu

Yohanes 17:20, 21 Tuhan Yesus berdoa, supaya semua orang milik-Nya menjadi satu,
sama seperti Bapa di dalam Anak dan Anak di dalam Bapa. Dalam Yohanes 17:9, mencoba
memberikan pemahaman bahwa yang dimaksud oleh Kristus di dalam doa-Nya ini adalah kesatuan
yang dapat dilihat, diteliti, diamati dibaca oleh dunia (bandingkan 2 Korintus 3:2), bukan kesatuan
yang mistis, yang bersifat rohani, yang tampak. Oleh karena itu maka setiap orang yang beriman
harus rindu akan kesatuan itu serta mengusahakannya.18

Bruce memandang bahwa kesatuan itu perlu diungkapkan sepenuhnya di dalam gereja oleh
umat Allah, namun diterapkan juga bahwa jika yang menjadi taruhan adalah hakikat kekeritenan,
maka pemisahan adalah sesuai sepenuhnya dengan kehendak Allah (Galatia 1:6-12 dan Markus
7:1-13).19

D. Peranan Gereja bagi Jemaat

Sebelum menelaah lebih jauh tentang peran gereja, kita dapat melihat empat fungsi gereja
yang diajarkan di dalam Alkitab: berbakti dan bersekutu, bersaksi, mendidik, serta melayani.
Bersaksi dan bersekutu (bahasa Yunani: Koinonia) adalah suatu pengalaman rohani ketika
manusia menyadari kehadiran Roh Kudus, mengakui kesucian dan keagungan Allah, serta

17
Harun Hadiwijono, 380-381.
18
Harun Hadiwijono, 381-383.
19
Bruce Milne, 299.

6
mempercayakan diri kepada Allah dalam kasih dan ketaatan (Matius 6:10; Yohanes 4:23-24;
Roma 15:6). Bersaksi (Yunani: marturia) adalah menyatakan yang telah diperbuat oleh Allah di
dalam dan melalui Yesus Kristus bagi keselamatan manusia (Matius 28:19-20; Kisah 1:8).
Mendidik (Yunani: didache) adalah memimpin orang kepada pengetahuan dan penerimaan akan
iman Kristen. Melatih anggota-anggota gereja dalam melaksanakan tugas pelayanan di gereja,
mengarahkan mereka kepada pekerjaan dan kehidupan Kristen yang berkelimpahan (Yohanes
8:32; Kisah 2:42; Kolose 2:7). Melayani (Yunani: diakonia) adalah suatu usaha untuk memenuhi
kebutuhan manusia secara rohani dan jasmani (Matius 20:26-28; 25:40-46; Kisah 2:42-44; 6:7).20
Dengan melihat fungsi gereja ini, dapat membuka kembali wawasan gereja menyangkut apa yang
seharusnya gereja lakukan terhadap jemaatnya.

Persekutuan dengan Kristus melibatkan persekutuan dengan umat-Nya. Gereja bukan


hanya sarana penyaluran anugerah yang bermanfaat untuk pertumbuhan orang Kristen, melainkan
merupakan bagian hakiki pengalaman Kristen. Menurut pengertian ini, setiap orang Kristen sudah
terhisap dalam gereja, yang merupakan konteks kehidupannya yang tak terelakkan.

Kasih dan kepedulian Allah terhadap umat-Nya yang membawa Kristus sampai ke salib-
Nya di Golgota (Efesus 5:25). Karena itu, tingkat penyesuaian kita dengan pemikiran Kristus akan
menentukan sejauh mana kita memperhatikan gereja, panggilannya dan penyebarannya,
kehidupan dan semangatnya, pengertian dan keyakinannya, perkembangan dan persatuannya,
kemurnian dan kekudusannya di seluruh dunia maupun di dalam situasi diri kita setempat.21

Gereja memiliki peran dalam menumbuhkan iman jemaat. Jadi, gereja harus menyatakan
kehidupannya kepada jemaat dengan memberikan wadah bagi setiap orang yang ingin dan berlum
mengenal Injil tentang Kristus.

Kehidupan gereja sama halnya dengan apa yang dijelaskan oleh Bruce dalam bukunya
ialah terbagi menjadi empat, yaitu:22

a. Ibadah. Gereja adalah persekutuan orang-orang yang beribadah. Orang Kristen perlu
menegaskan komitmennya untuk beribadah secara umum dan memeriksa sikap kita
terhadapnya. Sebagai imam-iman kita mempunyai hak istimewa dan juga tanggung jawab

20
Ichwei G. Indra, 176.
21
Bruce Milne, 340.
22
Bruce Milne, 340-341.

7
untuk membawa kurban syukur kita kepada Allah (Ibrani 13:15) sewaktu kita berkumpul setiap
minggu.
b. Persekutuan. Gereja adalah persekutuan dalam Roh. Orang Kristen perlu menegaskan
komitmennya kepada persekutuan gereja setempat dan sikapnya terhadap teman seiman
Kristen.
c. Pelayanan. Gereja adalah persekutuan pelayanan. Orang Kristen perlu memeriksa sikapnya
dan menegaskan komitmennya untuk melayani gereja dan dunia dalam nama Kristus.
d. Kesaksian. Gereja adalah persekutuan yang bersaksi. Orang Kristen perlu menegaskan
komitmennya dan memeriksa sikapnya sebagai saksi bagi Kristus di dunia.

Dalam kita melihat peran gereja kehidupan jemaat Kristen, gereja harus menduduki tempat
yang penuh berkat dan hormat. Seperti yang dinyatakan oleh Thiessen. Ia mengatakan bahwa
Alkitab menyediakan ajaran yang tegas tentang hal itu, di antaranya:23

1. Gereja akan dipersatukan dengan Kristus. Gereja disebut sebagai mempelai perempuan Kristus
(2 Korintus 11:2; Efesus 5:27), dan kitab Wahyu menubuatkan persekutuannya dengan Kristus
pada saat pernikahan Anak Domba Allah (Wahyu 19:7). Semua ini hanya bisa berarti bahwa
gereja akan mengalami hubungan yang sangat dekat dengan Tuhan. Gagasan persekutuan dan
milik bersama tersirat dalam konsepsi tersebut (Roma 8:16-17).
2. Gereja akan memerintah bersama Kristus. Sebagai mempelai wanita-Nya, gereja akan berada
di samping Kristus serta mengambil wewenang-Nya dalam Kerajaan Allah di muka bumi ini (1
Korintus 6:2: Wahyu 1:6; 2:26-27). Gereja bahkan akan ikut berperan dalam menghakimi para
malaikat (1 Korintus 6:3). Jadi, gereja memerintah bersama-sama dengan Kristus selama-
lamanya.
3. Gereja akan merupakan saksi abadi. Gereja akan bersaksi tentang kebaikan dan hikmat Allah
selama kekekalan (Efesus 3:10, 21). Kehadiran gereja sendiri bersama Kristus merupakan suatu
kesaksian tentang kasih karunia dan kuasa-Nya dalam menyelamatkan serta memelihara gereja
di tengah-tengah angkatan yang jahat. Demikianlah, Kristus akan dimuliakan selama-lamanya
di dalam gereja.

23
Henry C. Thiessen, Teologi Sistematika (Malang: Gandum Mas, 1979), 515-516.

8
Gereja memiliki peran yang sangat penting bagi pertumbuhan kerohanian jemaat, maka gereja
memainkan empat peranan khusus, di antaranya:24

1. Ibadah. Kita dirancang oleh Allah untuk bertumbuh dalam persekutuan dengan sesama orang
beriman. Tuhan mengumpulkan kita seperti batu-batu yang hidup untuk membangun suatu
rumah yang di dalamnya, Ia berkenan untuk tinggal (1Petrus 2:5). Dalam Kitab Efesus, Paulus
mengatakan bahwa kita adalah anggota keluarga Allah dan menjadi suatu rumah kudus. Waktu
kita berkumpul bersama, kita menjadi "tempat kediaman Allah, di dalam Roh" (Efesus 2:19-
22). Ketika kita berkumpul dengan sesama orang Kristen untuk beribadah, cakrawala kita
diperluas dan kita semakin dikuatkan.
2. Pengasuhan. Jemaat mendapatkan makanan dan vitamin rohani yang hanya dapat diperoleh
dalam kelompok yang lebih besar. Gereja adalah Stasiun Pusat tempat karunia dibagikan,
penghiburan diberikan satu kepada yang lain, dan nasihat disampaikan. Kita bukan penyelam
laut dalam secara rohani yang masing-masing memakai tabung oksigen sendiri yang
dihubungkan dengan Allah. Allah telah merancang kita untuk saling membagi pengalaman dan
saling memberi dorongan antara sesama orang Kristen. Tugas gereja adalah mencari karunia
rohani dari setiap anggotanya supaya setiap orang mengetahui kasih karunia yang harus ia
berikan kepada orang lain. Sayangnya, banyak pendeta dan kaum awam bertindak seakan-akan
karunia-karunia rohani hanya dimiliki oleh para pekerja Kristen yang bekerja purna waktu.
Setiap jemaat harus mengusahakan perkembangan dan pemanfaatan karunia rohani setiap
anggotanya agar gereja dapat menerima berkat-berkat Allah.
3. Nasihat. Kalau kita sendirian, maka kita mudah berjalan menyimpang. Di dalam kelompok
yang lebih besar, kita dapat saling bertanggung jawab dan saling membagi hikmat kita. Amsal
27:17 menyebutkan, "Besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya." Kita hanya
seperti bongkahan arang yang akan kehilangan tenaga bila dikeluarkan dari api. Untuk terus
menyala, kita membutuhkan orang Kristen lainnya. Kebutuhan kita ini tidak akan terpenuhi
dengan sendirinya; kebudayaan kita memupuk sifat individualisme yang tidak sehat. Tetapi
tinggal di dalam Kristus berarti tetap berhubungan dengan anggota-anggota lain dari tubuhnya.

24
http://c3i.sabda.org/30/nov/1999/konseling_peranan_gereja_dalam_pertumbuhan_rohani.
(diakses 23 November 2016).

9
Bila kita bersekutu dengan sesama orang Kristen, kita memperoleh kekuatan dari mereka, dan
hidup kita diperkaya oleh karunia-karunia rohani mereka.
4. Pelayanan. Di dalam jemaat, kita dapat menyatukan dana dan kemampuan kita untuk
menjangkau orang lain agar datang kepada Kristus. Kita dapat berhubungan dengan orang
Kristen lain yang juga melayani, entah itu kepada mahasiswa internasional, kepada anak-anak
belasan tahun, kepada para tunawisma, atau dalam misi dunia. Misalnya, melayani dua puluh
orang mahasiswa internasional sangat sulit untuk dikerjakan oleh satu orang saja, tetapi
sekelompok orang dari satu gereja dapat bekerjasama dengan mudah merencanakan dan
melaksanakan berbagai kegiatan.

E. Kesimpulan

Dapat disimpulkan berbagai ulasan di atas ialah bahwa gereja merupakan alat untuk dapat
menolong setiap warga gereja untuk dapat mengenal Kristus dan mengenal karya-karya-Nya.
Sehingga warga gereja akan mengalami pemulihan spiritualitas di dalam dirinya. Gereja harus
menyaksikan kebaikan dan hikmat Allah serta menyaksikan kasih karunia dan kuasa Allah bagi
kehidupan manuisa di bumi ini. Seperti halnya dengan keempat fungsi gereja: berbakti dan
bersekutu, bersaksi, mendidik, serta melayani. Dengan gereja dapat memenuhi keempat fungsi ini,
maka sangat dimungkinkan pertumbuhan spiritualitas jemaat akan semakin bertumbuh.

Gereja yang harusnya menjadi dampak bagi pertumbuhan spiritualitas jemaat. Bukan
hanya sebagai pemberita Firman, tetapi melainkan menjadi teladan bagi warga gereja. Dengan kata
lain, gerejalah tempat Injil atau Kabar Baik itu didapat oleh warga gereja.

Melalui pembahasan ini, penulis melihat kondisi gereja yang sekarang ini tidak sedikit
sudah melibatkan diri dalam berpolitik. Baik politik di dalam gereja maupun di luar gereja. Oleh
karena itu, pembahasan ini berupaya untuk mengingatkan gereja supaya dapat menyadari
bagaimana seharusnya gereja berlaku atau berkarya di tengah-tengah dunia yang tidak teratur ini.
Dengan gereja dapat menyadari karyanya maka diharapkan gerejalah yang bisa menjadikan dunia
ini teratur dan menjadi garam dan terang di tengah-tengah dunia ini.

10
DAFTAR PUSTAKA

Becker, Dieter. Pedoman Dogmatika: Suatu Kompendium Singkat. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
1996.

Berkhof, Louis. Teologi Sistematika, vol 5. Surabaya: Lembaga Reformed Injili Indonesia. 1997.

End, Th. van den. Harta dalam Bejana. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2007.

Hadiwijono, Harun. Iman Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2006.

Indra, Ichwei G. Teologi Sistematis. Bandung: Lembaga Literatur Baptis. 1999.

Milne, Bruce. Mengenal kebenaran. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1993.

Niftrik, G.C. van dan B.J. Boland. Dogmatika Masa Kini. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2014.

Thiessen, Henry C. Teologi Sistematika. Malang: Gandum Mas. 1979.

Wijono, Andreas Untung dan Sukardi. Manajemen Gereja: Dasar Teologis dan Implementasi
Praktisnya. Bandung: BMI. 2010.

Internet:

http://c3i.sabda.org/30/nov/1999/konseling_peranan_gereja_dalam_pertumbuhan_rohani.

11

Anda mungkin juga menyukai