Anda di halaman 1dari 8

TEKS SASTRA DALAM PERSPEKTIF SEMIOTIKA PRAGMATIS CHARLES

SANDERS PEIRCE

Oleh:
Dian Nurrachman
Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Sunan Gunung Djati Bandung
diannurrachman@gmail.com

ABSTRAK

Sudah banyak orang yang menjelaskan semiotika, terutama dalam


kaitannya dengan teks sastra. Tapi tidak banyak yang membincangkan dan
menuliskannya dalam tulisan yang mudah dicerna. Ini karena sifat
semiotika yang memang cukup rumit untuk dipahami, terutama jika
landasan filosofisnya tidak terlalu terjelaskan dengan baik. Dalam konteks
semiotika Charles Sanders Peirce, banyak orang langsung membahasnya
dalam situasi penandaan, dan ini memunculkan sedikit banyak
problematika dalam memahami teori semiotika Peirce itu sendiri. Tulisan
ini mencoba memberikan gagasan bahwa memahami sebuah teori tidak
boleh dilepaskan dari landasan filosofisnya, dan untuk kasus Peirce,
landasan filosofis semiotika nya adalah Pragmatisme, yang tentunya
sangat khas Amerika Serikat.

Kata Kunci: Sastra, Semiotika, Pragmatisme, Charles Sanders Peirce


.

A. Pendahuluan membangun prinsip-prinsip


Semiotika modern akan selalu Semiotikanya.
merujuk pada dua orang pendirinya, Peirce dikenal luas karena
yaitu Charles Sanders Peirce dan teorinya tentang tanda. Bagi Peirce,
Ferdinand de Saussure. Peirce adalah tanda adalah yang mewakili sesuatu
filsuf Amerika yang mendirikan aliran bagi seseorang (lihat Lechte, 2001:
filsafat Pargmatisme sedangkan 227). Konsep ini jelas merujuk pada
Saussure adalah ahli bahasa dari konsep filsafat Pragmatisnya, bahwa
Swiss yang kemudian hari dikenal Pragmatisme adalah cara
sebagai Bapak Linguistik. Keduanya menggambarkan objek berdasarkan
tidak saling kenal mengenal; beberapa efeknya terhadap pikiran dan/atau
pemikiran keduanya jelas pengalaman, walaupun konsep ini
merefleksikan semiotika yang direvisi kemudian penekanananya
berbeda karena perbedaan objek dari objek ke simbol (lihat Adams,
kajian, tapi pemikiran keduanya 1986: 637). Argumen Peirce,
berkontribusi besar terhadap sebagaimana dijelaskan Adams (1986:
Semiotika modern. Tulisan ini tidak 638) dimulai dengan premis bahwa
bermaksud membahas keduanya, kognisi suatu benda selalu bergantung
namun akan difokuskan pada pada pengurangan kesan atas
bagaimana filsafat Pragmatisme kesatuan proposisi, sedangkan
Peirce berkontribusi dalam kapasitas untuk menentukan identitas
suatu benda selalu tergantung pada
Jurnal al-Tsaqafa Volume 14, No. 01, Januari 2017

‘kemampuan memutuskan predikat ‘Thirdness,’ yang menghubungkan


secara terbatas’. “Wujud/Being” ide-ide untuk teori tanda-tanda
dalam skema ini hanya kopula, ‘is’ sebagai terdiri dari ‘Icon/Ikon’,
predikasi, dan sebagai konsep seperti ‘Index/Index’, dan ‘Symbol/ Simbol’.
‘wujud’ tidak memiliki konten. Jadi, Oleh karena itu, suatu tanda tidak
menurut Peirce, jika kita mengatakan, pernah berupa suatu entitas yang
“kompor berwarna hitam” (The stove sendirian, tetapi memiliki ketiga
is black), kompor adalah substansi, kategori tersebut. Ketiga kategori itu
yang mana ‘kehitaman/warna’ belum kemudian dijelaskan oleh Peirce
dibedakan, dan is, menjelaskan (dalam Adams, 1986: 639) sebagai
confusedness (keterbingungan) nya berikut:
dari aplikasi warna hitam itu sebagai Firstness is the mode of being of
predikat, sambil meninggalkan that which is such as it is, positively
substansi itu seperti terlihat apa and without reference to anything
else. Secondness is the mode of
adanya.
being of that which is such as it is,
Lebih lanjut Adams (1986: 638)
with respect to a second but
menjelaskan, jika cara argumen ini
regardless of any third. Thirdness is
meninggalkan pembaca dalam the mode of being of that which is
keadaan ‘confusedness’ such as it is, in bringing a second
(keterbingungan), itu karena Peirce and third into relation to each
membedakan ‘substansi’ dan ‘wujud’: other.
“Substansi tidak dapat diterapkan
untuk predikat dan begitu pula wujud (Firstness adalah moda wuujud itu
tidak bisa diterapkan untuk subjek”. apa adanya, positif dan tanpa
mengacu pada hal lain. Secondness
Titik pentingnya adalah ini: konsepsi
adalah moda wujud itu apa adanya,
dari ‘wujud’ bergantung pada
sehubungan dengan yang kedua
pembentukan proposisi, yang
tapi terlepas dari yang ketiga.
menghubungkan subjek dan predikat; Thirdness adalah moda wujud itu
tapi benda/objek apapun dengan apa adanya, kaitannya dengan yang
sendirinya representasi mediasi yang kedua dan ketiga dalam
dimengerti hanya oleh aktivitas hubungannya satu sama lain.)
mental dari kesadaran yang
membangun representasi mediasi Dengan kata lain, Peirce
lain, dan Peirce menyebutnya sebagai mengatakan bahwa tanda itu sendiri
“Interpretant/penafsir”. Hasilnya merupakan Kepertamaan (Firstness),
objeknya adalah Kekeduaan
adalah bahwa ‘substansi’ sebuah
(Secondness), dan penafsirnya—
subjek dan “wujud” dari predikat sebagai unsur pengantara—adalah
bergabung dalam objek yang Keketigaan (Thirdness). Tiga kategori
proposisinya, dan “realitas tanda tersebut kemudian diistilahkan
tertinggi”nya milik tanda atau simbol. kembali oleh Peirce sebagai
Inilah awal dari sebuah proyek Representamen/Ground, sebagai yang
memiliki kulaitas Firstness); Object
spekulatif besar dalam studi tanda-
sebagai yang memiliki kualitas
tanda, atau “semiotika”. Peirce Secondness; dan Interpretant, sebagai
menjelaskan teorinya tentang yang memiliki kualitas Thirdness
kategori ‘Firstness’, ‘Secondness,’ dan (lihat Sobur, 2003: 41). Bagi Peirce,

88
TEKS SASTRA DALAM PERSPEKTIF SEMIOTIKA PRAGMATIS
CHARLES SANDERS PEIRCE

tanda merupakan bagian yang tidak tanda yang dipahami oleh seseorang
terpisahkan dari objek referensinya akan berasosiasi dengan tanda lain di
serta pemahaman subjek atas tanda benaknya melalui persepsi dan
(Representamen). Sedangkan apa yang
pengalaman seseorang itu. Sekali lagi,
ditunjuknya atau diacunya disebut
Object. Kemudian, tanda yang inilah yang merupakan kontribusi
diartikan sebagai ‘sesuatu yang besar dari Pragmatisme, sehingga
mewakili sesuatu yang lain’ bagi Semiotika Peirce sering disebut juga
seseorang berarti menjadikan tanda sebagai Semiotika Pragmatis, karena
bukan sebagai entitas otonom, dan ini berhubungan langsung dengan
yang disebut penafsir atau persepsi dan pengalaman seseorang.
Interpretant. Ketiganya
Dalam konteks ini pula, kita dapat
(Representamen, Object, Interpretant)
menjadikan semiotik sebagai sesuatu memahami bahwa sebuah tanda tak
yang tidak terbatas. Selama gagasan akan menjadi apa-apa dan/atau tak
penafsir tersebut dipahami oleh akan bermakna apa-apa jika tidak
penafsir lainnya, maka posisi penafsir pernah ada penafsiran atas tanda itu.
ini pun penting sebagai agen yang Oleh karenanya, dalam proses
mengaitkan tanda dengan objeknya. semiosis di atas, interpretant menjadi
Pemahaman akan konteks semiotik
relasi yang paling penting untuk
tersebut menjadi hal mendasar yang
tidak dapatb diabaikan oleh seorang membuka tabir representamen yang
penafsir. Gambar berikut akan tentunya akan berkaitan dengan
menunjukan segitiga hubungan antara object sekaligus. Relasi triadik
ketiganya (lihat Rusmana, 2006: 53). semiosis di atas juga
merepresentasikan cara kerja
persepsi dan pengalaman interpretant
Interpretant sebagai bahan untuk membuktikan
keterkaitan ketiganya.
Dalam teks sastra misalnya,
atau lebih spesifik lagi puisi, setiap
kata dapat menjadi ketiganya
bergantung pada bagian mana yang
kemudian lebih dominan untuk
menunjukan penafsiran atas tanda itu.
Sebagai contoh, satu larik puisi Sitor
Representamen/ Ground
Situmorang yang berjudul “Malam
Object
Lebaran” berikut ini (dalam Esten,
Dengan demikian Peirce 1995: 38):
memandang adanya relasi triadik Malam Lebaran
dalam semiotik. Semiosis adalah Bulan di atas kuburan.
proses pemaknaan tanda yang Larik puisi di atas tentu
bermula dari persepsi atas dasar memunculkan persepsi yang beragam,
(ground/representamen), kemudian bergantung pada kata apa yang
dasar itu merujuk pada object, dan menurut pembaca lebih dominan
akhirnya terjadi proses penafsiran menunjukan dirinya sebagai tanda.
tanda melalui persepsi seseorang Akan tetapi, proses semiosis memang
(interpretant). Bagi Peirce, setiap akan selalu bermula dari
89
Jurnal al-Tsaqafa Volume 14, No. 01, Januari 2017

representamen sebagai dasar tanda, Lebaran” berfungsi; bahwa kata


maka kita bisa memulai proses ‘bulan’ dan kata ‘kuburan’ kemudian
pemahaman tanda itu, misalnya dari menjadi bagian yang tak terpisahkan
hubungan antara judul dengan isi. dari interpretant. Sehingga makna
Judul “Malam Lebaran” merupakan interpretant kemudian menjadi
representamen/ground yang memuat meluas seiring dengan persepsi
kualitas kepertamaan, dan karenanya ketidakmungkinan bulan muncul di
berdiri sendiri. Object dari “Malam malam tanggal 1 Syawal/malam
Lebaran” tentunya adalah suatu lebaran, terlebih lagi, kemunculannya
satuan waktu yang merujuk pada ditengarai di atas kuburan. Perluasan
malam hari menjelang tanggal 1 persepsi dan pengalaman interpretant
Syawal dalam penanggalan Islam, oleh inilah yang secara komprehensif
karenanya satuan waktu ini dapat memahami tanda “Malam
merupakan kualitas kekeduaan. Lebaran”, bahwa, malam Lebaran
Sedangkan interpretant dari malam yang sejatinya memunculkan
lebaran adalah—bagi umat Muslim— kegembiraan, kebahgiaan, dan
sebuah malam yang memunculkan keceriaan justru terdistorsi oleh
beragam kegembiraan setelah sebulan ketidakmungkinan kehadiran bulan
lamanya (Ramadhan) umat Muslim sebagai bentuk ketidakmungkinan
menjalankan ibadah puasa. Sehingga, hadirnya rangkaian kegembiraan itu;
bisa dikatakan bahwa penafsiran ini dan ini karena ada kesedihan
merupakan kualitas keketigaan. Jadi, (kuburan bukan sebagai objek tapi
“Malam Lebaran” adalah tanda kuburan sebagai bagian dari
kebahagiaan, kegembiraan, dan interpretant) yang memungkinkan
keceriaan. kegembiraan itu mustahil terjadi.
Namun, isi larik puisi yang Inilah yang kemudian menjadi proses
memang cuma satu larik tersebut semiosis atau cara kerja semiotik
memuat tanda-tanda lain yang dalam ranah tanda sebagaimana
kemudian secara semiosis menjadi terhubung melalui kategori tanda itu
bagian yang tak terpisahkan dari sendiri: Representamen/Ground,
interpretant. Tanda-tanda lain yang Object, dan Interpretant (relasi triadik
dimaksud adalah kata ‘bulan’ dan kata R-O-I).
‘kuburan’, yang secara langsung Tidak cukup sampai di relasi
merujuk pada objek bulan dan triadik R-O-I, Peirce kemudian
kuburan. Secara representamen, bulan membentuk sejumlah besar trikotomi,
akan muncul (kelihatan secara kasat sampai pada titik, dalam kasus
mata) biasanya setelah tanggal tiga pembagian tanda, di mana ia
pada setiap penanggalan Islam dan membentuk suatu trikotomi dasar
akan hilang (tidak kelihatan secara dari berbagai trikotomi. Sebagaimana
kasat mata) pada akhir bulan. Oleh yang dijelaskan Rusmana (2006: 54-
karena itu, bulan tidak mungkin 56), trikotomi tanda ini selalu
muncul pada malam tanggal 1 di berkaitan dengan
setiap bulan/penanggalan Islam. representamen/ground, yang masing-
Dalam konteks inilah kemudian masing terdiri atas tiga bagian:
pemahaman tanda atas judul “Malam

90
TEKS SASTRA DALAM PERSPEKTIF SEMIOTIKA PRAGMATIS
CHARLES SANDERS PEIRCE

1. Hubungan Representamen (R) ditafsirkan lagi); Dicent Sign


dengan jenis representamen itu (hubungan yang tidak memiliki
sendiri yang terdiri atas tiga probabilitas tinggi karena sudah
bagian, yaitu qualisign menjadi eksistensi aktual/fakta
(representamen yang berkaitan ril); dan Argument (hubungan yang
dengan kualitas atau warna); dikaitkan dengn
Sinsign (representamen yang kaidah/aturan/proposisi/konsep).
berkaitan dengan fakta ril); dan Trikotomi dasar tersebut di atas dapat
Legisign (representamen yang dirangkum dalam tabel yang dibuat
berkaitan dengan kaidah atau oleh Peirce sendiri (lihat Lechte,
aturan). 2001: 229; lihat juga Rusmana, 2006:
2. Hubungan Object (O) dengan jenis 56) sebagai berikut:
representamen yang memunculkan Kategori/
trikotomi bentuk tanda yang Hubunga Firstness Secondness Thirdness
berkaitan dengan acuan (referent), n
yaitu: Icon/Ikon (hubungan
kemiripan, seperti ‘jejak kaki Qualisign
R-R Sinsign Legisign
kucing’ memunculkan acuan
terhadap objek kucing atau
foto/lukisan/peta yang masing- O-R Icon Index Symbol
masing memunculkan acuan objek
dalam foto/lukisan/peta tersebut); Dicent
I-R Rheme Argument
Index/Indeks (hubungan Sign
kausalitas, seperti ‘asap tebal’
sebagai representamen yang
Puji Santosa (1993: 11)
mengacu pada objek ‘kebakaran’,
menjelaskan bahwa trikotomi tanda
atau bau daging yang dibakar
tersebut dapat digunakan sebagai
sebagai representamen mengacu
dasar kombinasi antara satu dengan
pada objek ‘warung sate’); dan
yang lainnya. Dengan kata lain, cara
Symbol/Simbol (hubungan yang
kerja semiosis melalui trikotomi
terbentuk karena adanya konvensi
tanda bisa dikomninasi satu sama
atau kesepakatan sosial, seperti
lain, misalnya kombinasi Rhematic
dalam kode-kode Morse, rambu-
Indexical Sinsign untuk menjelaskan
rambu lalu lintas, atau kata-kata
tanda dari “tertawa tiba-tiba”.
dan objek-objek tertentu yang
Tertawa tiba-tiba itu menandai
disepakati sebagai simbol, seperti
kenyataan (Sinsign/fakta ril) tertawa.
mawar merah sebagai simbol cinta,
Ekspresi tertawanya yang tiba-tiba itu
bendera kuning simbol berkabung,
mengisyaratkan sesuatu, mungkin
dan lain-lain).
lucu atau perubahan pikiran
3. Hubungan Interpretant (I) dengan
(pengaruh/kausalitas/indexical).
jenis representamen yang
Mungkin juga tertawa tiba-tiba itu
memunculkan trikotomi
adalah bentuk dari pemahaman
penafsiran, yaitu: Rheme
seseorang terhadap apa yang dilihat
(hubungan yang memiliki tingkat
atau didengarnya (rheme).
probabilitas yang tinggi untuk
91
Jurnal al-Tsaqafa Volume 14, No. 01, Januari 2017

Di dalam teks-teks sastra, di


mana tanda-tanda muncul dalam
kata-kata, seorang penafsir tentu
harus memiliki kepekaan tertentu
dalam menafsirkan tanda-tanda itu.
Ini karena kata-kata tidak memiliki
bentuk; bahwa satu-satunya bentuk
yang diacu oleh kata hanyalah
persepsi atas kata itu berdasarakan
pengalaman penafsir. Pola-pola narasi
misalnya, dapat dianalisis dalam
kaitannya dengan struktur
tanda/bahasa itu sendiri (bersifat
heuristik atau denotatif, misal:
bagaimana sebuah cerita diceritakan,
siapa saja tokoh yang terlibat
pembunuhan, dan lain-lain) dan/atau
dalam kaitannya dengan struktur
dalam/makna dari tanda itu (bersifat
hermeneutik atau konotatif, misal:
mengapa naratornya laki-laki,
petunjuk apa yang membongkar
kebusukan seorang tokoh, dan lain-
lain). Yang terpenting dalam proses
semiosis, terutama yang berkaitan
dengan gejala bahasa, adalah bahwa
“kita harus mampu membedakan
unsur-unsur dan gejala-gejala tekstual
yang patut dianggap sebagai tanda
yang bermakna” (van Zoest dalam
Sudjiman dan van Zoest, 1996: 24).

92
DAFTAR PUSTAKA

Adams, Hazard. 1986. Critical Theory Since 1965. Florida: University Presses of

Florida.

Lechte, John. 2001. 50 Filsuf Kontemporer. Yogyakarta: Kanisius.

Peirce, Charles Sanders. 1904. “Letter to Lady Viola Welby” dalam Adams, Hazard.
1986. Critical Theory Since 1965. Florida: University Presses of Florida. (Hal.
639)

Rusmana, Dadan. 2006. Tokoh dan Pemikiran Semiotik Kontemporer: Dari Semiotik
Struktural Hingga Dekonstruksi. Bandung: Tazkiya Mandiri Utama.

Santosa, Puji. 1993. Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra. Bandung: Angkasa

Situmorang, Sitor. “Malam Lebaran” dalam Esten, Mursal. 1995. Memahami Puisi.
Bandung: Penerbit Angkasa. (Hal. 38)

Sobur, Alex. 2003. Semiotika Komunikasi. Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya.

Van Zoest, Aart. “Interpretasi dan Semiotika” dalam Sudjiman, Panuti dan Aart Van
Zoest. 1996. Serba-serbi Semiotika. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. (Hal.
24).
Jurnal al-Tsaqafa Volume 14, No. 01, Januari 2017

Halaman sengaja untuk dikosongkan

94

Anda mungkin juga menyukai