Anda di halaman 1dari 55

BAB IV

KAJIAN PUSTAKA

Infertilitas merupakan masalah yang dihadapai oleh pasangan suami istri yang
telah menikah selama minimal satu tahun, melakukan hubungan sanggama teratur,
tanpa menggunakan kontrasepsi, tetapi belum berhasil memperoleh kehamilan. Pada
prinsipnya masalah yang terkait infertilitas ini dapat dibagi berdasarkan masalah yang
sering dijumpai pada perempuan dan masalah yang sering dijumpai pada lelaki
(Hendarto dan Pramono, 2012).
Prevalensi infertilitas berkisar antara 12-15%. Prevalensi ini bisa meningkat
pada daerah dengan risiko penyakit hubungan seksual (PHS) yang tinggi. Infertilitas
dipengaruhi banyak faktor, yang secara garis besar dibagi menjadi dua kelompok
besar (Strauss dan Barbieri, 2004) :
1. Faktor umum yang dapat menurunkan kesuburan pasutri
Faktor umum ini diantaranya adalah usia, lama pernikahan / lama
infertilitas, frekuensi sanggama, gaya hidup. Faktor umum ini penting
diketahui melalui anamnesa pada penanganan infertilitas.
2. Faktor organ reproduksi (faktor infertilitas)
Kehamilan terjadi apabila didapatkan :
1. Spermatozoa
2. Oosit
3. Fertilisasi
4. Nidasi
Kehamilan dapat terwujud apabila didapatkan faktor organ reproduksi baik
suami maupun istri yang mendukung.
Untuk dapat mengetahui gangguan dari faktor umum dan faktor organ
reproduksi ini penting diketahui untuk penanganan pada infertilitas. Untuk
melakukan penanganan infertilitas maka dilakukan pemeriksaan infertilitas terlebih
dahulu (NICE, 2004).

4
4.1 Pemeriksaan infertilitas
4.1.1 Pemeriksaan pada perempuan
Gangguan ovulasi terjadi pada sekitar 15% pasangan infertilitas dan menyumbang
sekitar 40% infertilitas pada perempuan. Pemeriksaan infertilitas yang dapat
dilakukan diantaranya (American society, 2006):
1. Anamnesis :
- Umur : Terutama terkait dengan cadangan ovarium.
- Pekerjaan : Risiko terhadap infertilitas
- Hubungan seksual : frekuensi hubungan seksual (2-3x/minggu)
- Riwayat haid : siklus haid, dismenorhea
- Riwayat pengobatan sebelumnya : adakah penggunaan pemicu ovulasi, tindakan
inseminasi atau fertilisasi in vitro (FIV)
- Riwayat operasi pelvik
- Penyakit sistemik : tuberkulosis
- Kelainan endokrinologi : hipo/hipertiroid, diabetes melitus

2. Pemeriksaan fisik
- Indeks massa tubuh
- Pembesaran kelenjar tiroid (bila ada keluhan)
- Galaktorea
- Hirsustisme
- Pemeriksaan vagina dengan spekulum

3. Pemeriksaan USG transvaginal : menilai anatomi uterus, kedua ovarium


(termasuk jumlah folikel antral basal) dan tuba falopii (terutama bila dijumpai
hidrosalping).

5
4. Pemeriksaan penunjang :
- Histerosalpingografi
- Pemeriksaan hormon :
- Pemeriksaan FSH, LH, estradiol, dan prolaktin dikerjakan pada pasien yang
memiliki riwayat gangguan haid
- Pemeriksaan AMH untuk menilai cadangan ovarium (atas indikasi)
Rekomendasi yang diberikan saat pemeriksaan infertilitas pada wanita (Konsensus,
2013):
4.1.1.1 Pemeriksaan ovulasi
1. Frekuensi dan keteraturan menstruasi harus ditanyakan kepada seorang
perempuan. Perempuan yang mempunyai siklus dan frekuensi haid yang
teratur setiap bulannya, kemungkinan mengalami ovulasi (Rekomendasi B).
2. Perempuan yang memiliki siklus haid teratur dan telah mengalami infertilitas
selama 1 tahun, dianjurkan untuk mengkonfirmasi terjadinya ovulasi dengan
cara mengukur kadar progesteron serum fase luteal madya (hari k-21-28)
(Rekomendasi B).
3. Pemeriksaan kadar progesteron serum perlu dilakukan pada perempuan yang
memiliki siklus haid panjang (oligomenorea). Pemeriksaan dilakukan pada
akhir siklus (hari ke 28-35) dan dapat diulang tiap minggu sampai siklus haid
berikutnya terjadi

4. Pengukuran temperatur basal tubuh tidak direkomendasikan untuk


mengkonfirmasi terjadinya ovulasi (Rekomendasi B)

5. Perempuan dengan siklus haid yang tidak teratur disarankan untuk melakukan
pemeriksaan darah untuk mengukur kadar hormon gonadotropin (FSH dan
LH).

6. Pemeriksaan kadar hormon prolaktin dapat dilakukan untuk melihat apakah


ada gangguan ovulasi, galaktorea, atau tumor hipofisis (Rekomendasi C)

6
7. Penilaian cadangan ovarium menggunakan inhibin B tidak direkomendasikan
(Rekomendasi C)

8. Pemeriksaan fungsi tiroid pada pasien dengan infertilitas hanya dilakukan jika
pasien memiliki gejala (Rekomendasi C)
9. Biopsi endometrium untuk mengevaluasi fase luteal sebagai bagian dari
pemeriksaan infertilitas tidak direkomendasikan karena tidak terdapat bukti
bahwa pemeriksaan ini akan meningkatkan kehamilan. (Rekomendasi B)

4.1.1.2 Pemeriksaan Chlamydia trachomatis


1. Sebelum dilakukan pemeriksaan uterus, pemeriksaan untuk Chlamydia
trachomatis sebaiknya dilakukan dengan teknik yang sensitif (Rekomendasi
B)
2. Jika tes Chlamydia trachomatis positif, perempuan dan pasangan seksualnya
sebaiknya dirujuk untuk mendapatkan pengobatan (Rekomendasi C)

3. Antibiotika profilaksis sebaiknya dipertimbangkan sebelum melakukan


periksa dalam jika pemeriksaan awal Chlamydia trachomatis belum
dilakukan.

4.1.1.3 Penilaian kelainan uterus


1. Pemeriksaan histeroskopi tidak dianjurkan apabila tidak terdapat indikasi,
karena efektifitas pembedahan sebagai terapi kelainan uterus untuk
meningkatkan angka kehamilan belum dapat ditegakkan. (Rekomendasi B)

4.1.1.4 Penilaian lendir serviks pasca sanggama


1. Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada pasien dengan infertilitas dibawah 3
tahun.

7
2. Penilaian lendir serviks pasca senggama untuk menyelidiki masalah fertilitas
tidak dianjurkan karena tidak dapat meramalkan terjadinya kehamilan.
(Rekomendasi A).

Tabel 4.1. Uji Mukus Serviks


0 1 2 3
Jumlah (ml) 0 0,1 0,2 ≥0,3
Spinbarkeit <1 1-4 5-8 >8
(cm)
Daya mendaun Tidak ada Bentuk tidak Ada cabang Ada cabang
Pakis (fern jelas pertama & ketiga dan
test) kedua keempat
Viskositas Sangat kental Kental sedang Kental ringan Encer
Jumlah sel >20 11-20 1-10 0
radang
Interpretasi Skor 15 : optimal Skor 10-14: baik Skor<10: jelek

Sediaan Jumlah Motalitas (%)


Sperma
Kuantitas Kualitas
0 1 2 3
Forniks
posterior
Endoserviks
Kualitas Kuantitas : 1+2+3
0 : Tidak Bergerak Memuaskan : 20sperma dengan skor 3
1 : Bergerak ditempat Jelek : <10 sperma
2 : Bergerak lambat lurus atau tidak lurus
3 : Bergerak maju cepat dan lurus

8
4.1.1.5 Penilaian kelainan tuba
1. Perempuan yang tidak memiliki riwayat penyakit radang panggul (PID),
kehamilan ektopik atau endometriosis, disarankan untuk melakukan
histerosalpingografi (HSG) untuk melihat adanya oklusi tuba. Pemeriksaan
ini tidak invasif dan lebih efisien dibandingkan laparaskopi. (Rekomendasi
B)
2. Pemeriksaan oklusi tuba menggunakan sono-histerosalpingografi dapat
dipertimbangkan karena merupakan alternatif yang efektif (Rekomendasi A)

3. Tindakan laparoskopi kromotubasi untuk menilai patensi tuba, dianjurkan


untuk dilakukan pada perempuan yang diketahui memiliki riwayat penyakit
radang panggul, (Rekomendasi B)
Tabel 4.2 Teknik Pemeriksaan Tuba
Teknik Keuntungan Kelemahan
HSG Visualisasi seluruh Paparan radiasi
panjang tuba dapat Reaksi terhadap zat
menggambarkan patologi kontras
seperti hidrosalping dan Peralatan dan staf khusus
SIN efek terapeutik Kurang dapat
menggambarkan
Adhesi pelvis
Saline infusion Visualisasi ovarium, Pelatihan khusus
sonography uterus dan tuba
Efek terapeutik belum
terbukti
Laparoskopi kromotubasi Visualisasi langsung Invasif
seluruh organ reproduksi
interna
Memungkinkan dilakukan Biaya tinggi
terapi sekaligus

4.1.2 Pemeriksaan infertilitas pada laki-laki


Penanganan kasus infertilitas pada laki-laki meliputi (Konsensus, 2013) :
4.1.2.1 Anamnesis

9
Anamnesis ditujukan untuk mengidentifikasi faktor risiko dan kebiasaan hidup pasien
yang dapat secara bermakna mempengaruhi fertilitas pria. Anamnesis meliputi : 1)
riwayat medis dan riwayat operasi sebelumnya, 2) riwayat pengunaan obat-obatan
(dengan atau tanpa resep) dan alergi, 3) gaya hidup dan riwayat gangguan sistemik, 4)
riwayat pengunaan alat kontrasepsi, dan 5) riwayat infeksi sebelumnya, misalnya
penyakit menular seksual dan infeksi saluran nafas.
4.1.2.2 Pemeriksaan fisik
1. Pemeriksaan fisik pada laki-laki untuk mengidentifikasi adanya penyakit
tertentu yang berhubungan dengan infertilitas. Penampilan umum harus
diperhatikan, meliputi tanda-tanda kekurangan rambut pada tubuh atau
ginekomastia yang menunjukkan adanya defisiensi androgen. Tinggi badan,
berat badan, IMT, dan tekanan darah harus diketahui.
2. Palpasi skrotum saat pasien berdiri diperlukan untuk menentukan ukuran dan
kosistensi testis. Apabila skrotum tidak terpalpasi pada salah satu sisi,
pemeriksaan inguinal harus dilakukan. Orkidometer dapat digunakan untuk
mengukur volume testis. Ukuran rata-rata testis orang dewasa yang dianggap
normal adalah 20ml.
3. Konsistensi testis dapat dibagi menjadi kenyal, lunak, dan keras. Konsistensi
normal adalah konsistensi kenyal. Testis yang lunak dan kecil dapat
mengindikasikan spermatogenesis yang terganggu.
4. Palpasi epididymis diperlukan untuk melihat adanya distensi atau indurasi.
Varikokel sering ditemukan pada sisi sebelah kiri dan berhubungan dengan
atrofi testis kiri. Adanya perbedaan ukuran testis dan sensasi seperti meraba “
sekantung ulat” pada tes valsava merupakan tanda-tanda kemungkinan adanya
varikokel.
5. Pemeriksaan kemungkinan kelainan pada penis dan prostat juga harus
dilakukan. Kelainan pada penis seperti mikropenis atau hipospadia dapat
menganggu proses transportasi sperma mencapai bagian proksimal vagina.

10
Pemeriksaan colok dubur dapat mengidentifikasi pembesaran prostat dan
vesikula seminalis.

Tabel 4.3. Referensi Hasil Analisa Sperma

PARAMETER BATAS REFERENSI 95% CONFIDENCE


INTERVAL
Volume sperma (ml) 1,5 1,4-1,7
Konsentrasi sperma 15 12-16
(105/ml)
Jumlah total (105/ejakulasi) 39 33-46
Motilitas (PR, NP, %) 40 38-42
Motilitas progresif (PR, %) 32 31-34
Morfologi (%) 4 3.0-4.0
Vitality 58 55-63
1. Penapisan antibodi sperma tidak dianjurkan karena tidak ada bukti pengobatan
yang dapat meningkatkan fertilitas.
2. Jika pemeriksaan analisa sperma dikatakan abnormal, pemeriksaan ulang untuk
konfirmasi sebaikanya dilakukan
3. Analisa sperma diulang untuk mengkonfirmasi pemeriksaan sperma yang
abnormal, dapat dilakukan 3 bulan pasca pemeriksaan sebelumnya sehingga
proses siklus pembentukan spermatozoa dapat terjadi secara sempurna. Namun
jika ditemukan azoospermia atau oligospermia berat pemeriksaan untuk
konfirmasi harus dilakukan secepatnya.
4. Pemeriksaan Computer – Aided Sperm Analysis (CASA)
Untuk melihat jumlah, motilitas dan morfologi sperma, pemeriksaan ini tidak
dianjurkan untuk dilakukan karena tidak memberikan hasil yang lebih baik
dibandingkan pemeriksaan secara manual.

11
5. Pemeriksaan fungsi endokrinologi
6. Dilakukan pada pasien dengan konsentrasi sperma < 10juta/ml
7. Bila secara klinik ditemukan bahwa pasien menderita kelainan endokrinologi.
Pada kelainan ini sebaikanya dilakukan pemeriksaan hormone testosterone dan
FSH serum.
8. Penilaian antibody sperma merupakan bagian standar analisis semen. Menurut
kriteria WHO, pemeriksaan ini dilakukan dengan pemeriksaan imunologi atau
dengan cara melihat reaksi antiglobulin. Namun saat ini pemeriksaan antibodi
antisperma tidak direkomendasikan untuk dilakukan sebagi penapisan awal
karena tidak ada terapi khusus yang efektif untuk mengatasi masalah ini.

4.2 Pemeriksaan kasus infertilitas idiopatik


Dalam tatalaksana infertilitas perbandingan antara biaya yang dikeluarkan dan
efektifitas pemeriksaan sangat penting dipertimbangkan dalam pengambilan
keputusan klinik. National Institute for Health and Clinical Excellence in the UK and
the American Society of Reproductive Medicine merekomendasikan pemeriksaan
yang penting sebagai berikut : analisis semen, penilaian ovulasi dan evaluasi patensi
tuba dengan histerosalpingografi atau laparoskopi. Peran HSG atau laparoskopi terus
menjadi perdebatan, laparoskopi perlu dipertimbangkan pada kecurigaan adanya
endometriosis berat, perlekatan organ pelvis atau kondisi penyakit pada tuba.
Pada penatalaksanaan infertilitas, faktor waktu mempunyai kontribusi
menentukan prognosis, faktor waktu tampak pada umur wanita, penatalaksanaan yang
berlarut larut menyebabkan umur wanita semakin lanjut. Selain itu lama infertilitas
semakin bertambah lama, yang pada akhirnya akan menambah ketegangan
kejiwaan/emosi. Semua keadaan diatas akan menurunkan angka kehamilan.
Penatalaksanaan yang baku, terarah dan seragam, sistem rujukan dengan alur yang
jelas dan berjalan baik akan menghindari penatalaksanaan yang berlarut larut.

12
Tabel 4.4. Skor Infertilitas
SKOR 1 2 3
Umur Istri (tahun) <30 30-35 >35
Lama kawin 1-2 >2 ≥3
Siklus haid Teratur Oligomenorea Amenorea
Nyeri panggul Negatif 1 jenis nyeri >2jenis nyeri
Nyeri infeksi - 1 kali / AKDR ≥ 2 kali
panggul/PHS/
AKDR/Operasi
panggul
Analisa sperma Nilai normal 1 kelainan ≥ 2 kelainan
Konsentrasi: 20jt/ml parameter mayor parameter mayor
Motilitas (a+b) :
50%
Morfologi : 30%
Skor Total
Skor 6 = yankes primer
Skor 7-12 = yankes sekunder
Skor >12 = yankes tersier

4.3 Tatalaksana pada gangguan ovulasi


Penanganan gangguan ovulasi berdasarkan WHO, yaitu:

SIKLUS HAID

REGULER IREGULER AMENOREA

KONFIRMASI OVULASI

PROGESTERON LUTEAL MADYA Cek FSH, LH, Estradiol, Prolaktin


OVULASI OVULASI
(+) (-)

WHO WHO WHO WHO


Grup I Grup II Grup III Grup IV

Gambar 4.1 : Klasifikasi gangguan ovulasi WHO 2005 (Sumber : Konsensus, 2010)

13
Gangguan ovulasi dijumpai sebagai faktor penyebab pada sekitar 30-40%
pasangan suami istri (pasutri) dengan keluhan infertilitas. Ovulasi merupakan hasil
kerja sama yang sangat komplek dan rapi beberapa organ reproduksi, mulai dari
hipotalamus, hipofisis, dan ovarium (sumbu H-P-O). Gangguan ovulasi bisa terjadi
pada salah satu atau lebih kerja sama organ reproduksi yang terlibat. WHO membagi
gangguan ovulasi berdasarkan letak kelainan pada tingkatan kerjasama organ
reproduksi tersebut. Pemahaman gangguan ovulasi akan lebih mudah apabila telah
dipahami dengan baik fisiologi ovulasi. Penatalaksanaan gangguan ovulasi pada
pasutri infertil tergantung pada penyebab / macam gangguan ovulasi yang ada.

4.3.1. Fisiologi ovulasi


Hipotalamus menghasilkan Gonadotropin releasing hormon (GnRH) yang
disekresi secara pulsasi. GnRH memicu pituitari untuk menghasilkan gonadotropin,
Folikel Stimulating Hormon (FSH) dan Lutheinizing Hormone (LH). Pada awal
siklus sekresi FSH lebih dominan dibanding LH, sehingga beberapa folikel tumbuh
membesar. Pada awal siklus kadar estrogen rendah, pertumbuhan folikel secara
perlahan akan meningkatkan sekresi estrogen. Pada hari ke 5 siklus haid, bersama
inhibin B yang disekresi oleh sel granulosa, kadar estrogen sudah cukup untuk
memberikan umpan balik negatif pada sekresi FSH, tetapi tidak untuk LH. Penurunan
sekresi FSH ini mengakibatkan hanya satu folikel yang paling siap, folikel dominan
yang tetap tumbuh membesar, folikel lainnya akan mengalami atresia.
Folikel dominan yang terus membesar, menyebabkan kadar estrogen semakin
tinggi. Pada kurang lebih hari ke-12 siklus haid, dan kadar estrogen mencapai 200
pg/mL, terjadi umpan balik positif pada sekresi gonadotropin, dan terjadilah lonjakan
gonadotropin, baik LH maupun FSH, yang penting untuk maturasi oosit dan
pecahnya folikel, ovulasi. Ovulasi kurang lebih terjadi 36 jam pasca awal lonjakan
LH. Pasca ovulasi, korpus luteum menghasilkan progesteron dan juga estrogen
(progesteron lebih dominan dari estrogen), dan mencapai puncaknya pada 7 hari
pasca ovulasi. Apabila tidak ada kehamilan sekresi progesteron dan estrogen perlahan

14
turun, yang akan diikuti haid pada kurang lebih hari 28. Hubungan umpan balik,
antara hipotalamus, pituitari dan ovarium tersebut, baik urutan, dan kadar setiap
hormon yang terlibat, sudah baku untuk menghasilkan ovulasi.
Pada saat haid, stratum fungsionalis endometrium terlepas, sebagian terbesar
tinggal stratum basalis. Pada awal siklus, sekresi estrogen yang semakin meningkat,
memicu pertumbuhan endometrium, semakin tebal kembali (fase proliferasi). Pasca
ovulasi sekresi progesteron yang tinggi, menekan dampak proliferasi estrogen,
endometrium berubah menjadi fase sekresi. Pada kurun waktu sekitar implantasi,
sekitar 7 hari pasca ovulasi, endometrium sangat siap untuk menerima buah
kehamilan, endometrium (fase implantasi). Bila tidak ada kehamilan, kurang lebih 3
hari sebelum awal menstruasi, hari ke 25 siklus mulai terjadi pelepasan endometrium,
(endometrium fase menstruasi). Endometrium merupakan organ target dari steroid
seks yang dihasilkan ovarium pada proses fisiologi ovulasi. Ovulasi yang teratur, bila
endometrium tidak ada kelainan, akan memberikan siklus haid yang teratur pula.
Dengan perkataan lain, siklus haid yang teratur, dengan variasi 2 hari, lebih dari 90%
menunjukkan adanya ovulasi yang teratur pula (Speroff dan Glass, 2005).

4.3.2 Gangguan Ovulasi WHO Grup I (Hipogonadotropin-Hipogonadisme)


Kelompok yang termasuk dalam WHO grup I adalah wanita yang mengalami
gangguan ovulasi akibat kelainan di pusat/sentral yaitu adanya gangguan di
hipotalamus atau hipofisis. Kelompok ini memiliki kadar gonadotropin dan estradiol
yang rendah sehingga disebut kelompok hipogonadotropin-hipogonadisme
(Konsensus, 2010).
A. Pasien dengan anovulasi pada WHO grup I dapat memiliki manifestasi klinis
berupa amenorea primer atau sekunder. Pada pemeriksaan hormon dijumpai
kadar FSH dan estradiol yang rendah.
B. Untuk mengetahui kerusakan terjadi di tingkat hipotalamus atau hipofisis
dapat dilakukan uji GnRH. Hasil uji GnRH positif berarti kerusakan terdapat
di hipotalamus dan kelompok ini dapat diberikan terapi dengan GnRH

15
berdenyut. Tata laksana ini dapat mengembalikan pengeluaran kedua
gonadotropin yaitu FSH dan LH ovarium. Bila uji GnRH negatif berarti
kerusakan terjadi di tingkat hipofisis. Pada kelompok ini pemberian GnRH
berdenyut tidak dapat diberikan. Tata laksana dilanjutkan dengan pemberian
hMG atau rFSH dan rLH
C. Kombinasi rFSH dan rLH merupakan pilihan tata laksana pada pasien
anovulasi WHO grup I. Rekombinan FSH 150 IU dan rLH 75 IU diberikan
selama 21 hari setiap bulan (selama 1-3 siklus). Setelah 5 hari pemberian,
dosis rFSH bisa dinaikan atau diturunkan sebesar 75 IU tergantung dari
respon pasien. Dilakukan pemantauan dengan USG sejak hari ke 6
penyuntikan gonadotropin untuk menilai respon ovarium yang dapat
digunakan untuk menyesuaikan dosis gonadotropin
D. Perkembangan folikel diberikan kesempatan selama tiga minggu
E. Untuk menilai gagal induksi ovulasi, pada hari ke 21 setelah pemberian
kombinasi rFSH dan rLH, dilakukan pemeriksaan USG. Apabila ditemukan
folikel yang >10mm maka induksi ovulasi dilanjutkan hingga tercapai folikel
berdiameter >18mm. Kemudian pasien diberikan hCG untuk pematangan
folikel atau memicu ovulasi.
F. Konsepsi alami dapat dilakukan setelah penyuntikan hCG
G. IUI atau IVF dapat dilakukan untuk meningkatkan angka kehamilan.
H. Bila pada hari ke-21 tidak tampak folikel >10mm maka induksi ovulasi
dihentikan kemudian dimulai siklus ke-2 dengan rFSH 225 IU dan rLH 75IU
selama 21 hari. Setelah 5 hari dosis rFSH bisa dinaikan atau diturunkan
sebesar 75IU tergantung dari respon pasien. Bila setelah 3 siklus induksi
ovulasi dengan rFSH dan rLH tidak ada respon adekuat, maka harus diberikan
konseling mengenai prognosis infertilitasnya.

16
Gambar 4.2. Gangguan Ovulasi WHO Grup I (Sumber : Konsensus 2010)

17
4.3.3 Gangguan Ovulasi WHO Grup II (Normogonadotropin-
Normogonadisme)
Kelompok yang termasuk dalam WHO grup II adalah wanita yang mengalami
gangguan ovulasi karena disfungsi ovarium, memiliki kadar gonadotropin dan
estradiol yang normal (normogonadotorpin-normogonadisme) (konsensus, 2010).
Kelainan terletak pada umpan balik sumbu H-P-O, didapatkan kelainan yang
menganggu umpan balik. Sekresi gonadotropin tetap ada (normogonadotropin) dan
ada respon dari ovarium (normo estrogenik), tetapi dengan pola yang berbeda dengan
fisiologi umpan balik yang baku. 80-90% gangguan ovulasi masuk pada kelompok
ini, masuk pula didalamnya sindrom ovarium poli kistik (SOPK). Pada kelompok ini
gangguan haid yang ada dapat, siklus yang memanjang (oligomenorea), amenorea,
ataupun perdarahan uterus abnormal (PUA) (Hestiantoro dan Karimah, 2012)
(Konsensus, 2013).
A. Pasien anovulasi atau oligoovulasi WHO grup II dapat memiliki manifestasi
klinis berupa amenorea sekunder atau oligomenorea. Yang termasuk dalam
kelompok ini adalah wanita dengan sindrom ovarium polikistik (SOPK) yang
diagnosisnya ditegakkan berdasarkan kriteria Rotterdam. Kelainan
hiperprolaktin dan hiperplasia adrenal kongenital harus disingkirkan terlebih
dahulu.
B. Penurunan berat badan antara 5-10% dari berat badan awal dapat memperbaiki
respon sistem reproduksi hingga 55-100% dalam kurun waktu 6 bulan.
C. Penurunan berat badan serta memperbaiki gaya hidup diketahui sebagai salah
satu penanganan dini dalam kasus ini. Penelitian membuktikan bahwa wanita
yang telah memperbaiki gaya hidupnya dan berhasil menurunkan berat badan
(5-10%) sebanyak 40% berhasil mengalami ovulasi dengan sendirinya.
D. Apabila pasien telah melakukan perbaikan gaya hidup serta penurunan berat
badan, tetapi tidak terjadi ovulasi, maka diperlukan pemeriksaan toleransi
glukosa.

18
E. Klomifen sitrat merupakan lini pertama induksi ovulasi wanita dengan SOPK.
Dosis awal pemberian klomifen sitrat adalah 50mg/hari, selama 5 hari. Apabila
ovulasi tidak terjadi, naikkan dosis bertahap menjadi 100mg/hari pada siklus ke
2. Maksimal dosis klomifen sitrat adalah 150mg/hari pada siklus ke-3.
F. Konfirmasi terjadinya ovulasi dapat dilakukan dengan pemeriksaan kadar
progesteron fase luteal madya (nilai batas minimal = 10ng/ml)
G. Gagal klomifen sitrat adalah kondisi dimana pasien mengalami ovulasi tetapi
tidak terjadi kehamilan. Pada kondisi ini induksi ovulasi dilakukan sesuai
dengan tata laksana lini kedua,
H. Angka kehamilan kumulatif pada pasien yang diinduksi dengan klomifen sitrat
dapat mencapai 23,9%
I. Bila tidak terjadi ovulasi, pemberian klomifen sitrat dapat diulang sampai tiga
siklus dengan dosis maksimal 150mg/hari.
J. Kurang lebih 10-30% tetap mengalami anovulasi walaupun sudah mendapatkan
klomifen sitrat selama 6 bulan. Kondisi ini dikenal sebagai resisten klomifen
sitrat.
K. Apabila kondisi resisten klomifen sitrat ditemukan maka pengecekan resistensi
insulin diperlukan.
L. Apabila pasien memiliki resistensi insulin, maka kombinasi klomifen sitrat
dengan metformin meningkatkan keberhasilan dalam menginduksi ovulasi.
M. Bila resistensi insulin tidak ditemukan, maka pemberian klomifen sitrat dengan
deksametason merupakan salah satu pilihan.
N. Pilihan kedua dalam terapi resisten atau gagal klomifen sitrat yaitu aromatase
inhibitor dengan dosis 1x2,5mg atau 2x2,5mg terbukti cukup untuk
menginduksi ovulasi.
O. Gonadotropin dosis rendah merupakan salah satu pilihan lini kedua dalam
induksi ovulasi. Dimulai dengan dosis rendah (25-50 IU/hari) selama 14-21 hari
dengan tujuan mencegah sindrom hiperstimulasi ovarium pada pasien SOPK.

19
P. Laparoscopic ovarian drilling (LOD) juga merupakan salah satu pilihan lini
kedua pada pasien dengan resistensi klomifen sitrat. Tindakan ini juga
dikerjakan pada pasien dengan hipersekresi LH. Empat sampai sepuluh tusukan
pada ovarium dapat dilakukan untuk meningkatkan kejadian ovulasi.
Q. Bila tatalaksana lini kedua tidak berhasil maka pilihan selanjutnya adalah FIV
apabila tetap anovulasi. Atau IUI apabila didapatkan ovulasi.

Gambar 4.3. Gangguan Ovulasi WHO Grup II (Sumber : Konsensus 2010)

20
4.3.4 Gangguan Ovulasi WHO Grup III (Hipergonadotropin-Hipogonadisme)
Kelompok yang termasuk dalam WHO Grup III adalah wanita yang
mengalami gangguan ovulasi karena rendahnya cadangan sel telur di ovarium.
Kelompok ini memiliki kadar gonadotropin yang tinggi (FSH > 40 mIU/mL) dan
estradiol yang rendah (<30 pg/mL) (Konsensus, 2010).
Kelainan terletak pada ovarium, stimulus gonadotropin tidak ada respon dari
ovarium, tidak pertumbuhan folikel, dan tidak ada steroidogenesis, estrogen rendah,
sehingga tidak ada umpan balik negatif untuk gonadotropin, gonadotropin semakin
tinggi, hipergonadotropin – hipogonadisme (Hiper-Hipog). Pada kelompok ini,
mempunyai gejala klinik amenore dan prognosis untuk infertilitasnya sangat jelek
(konsensus, 2013).
A. Pasien anovulasi pada kelompok WHO III dapat memiliki manifestasi klinis
amenorea primer, sekunder, atau oligomenorea. Dijumpai peningkatan kadar
FSH > 40 mIU/ml pada waktu 2x pemeriksaan yang berbeda serta rendahnya
kadar estradiol (< 20pg/ml)
B. Penilaian folikel antral basal yaitu folikel berukuran 2-5mm yang dapat dinilai
dengan USG transvaginal.
C. Bila dijumpai paling sedikit satu buah folikel antral berukuran diameter ≥ 5mm.
Adanya folikel antral berukuran diameter ≥5mm berhubungan dengan
prognosis dan respons yang lebih baik terhadap induksi ovulasi dengan
gonadotropin dosis tinggi (300 IU/hari)
D. Respons (+): bila dijumpai folikel dominan berdiameter ≥16mm dan kadar
estradiol ≥200 pg/ml.
E. Inseminasi intra uterine dapat dilakukan bila dijumpai folikel dominan.
Keberhasilan inseminasi intra uterin dipengaruhi oleh usia pasien (<40 tahun),
penggunaan soft cathether, teratozoospermia ≤ 70% pada male factor, kadar
estradiol ≥ 500 pg/ml pada saat pemberian hCG, adanya lebih dari satu folikel
berukuran > 16mm pada saat pemberian hCG, dan hitung sperma motil pada

21
saat sebelum washing ≥ 5 juta. Inseminasi dapat dilakukan sampai 4 kali
dengan angka kehamilan kumulatif yang meningkat.
F. Fertilisasi in Vitro merupakan pilihan selain inseminasi intra uterine dengan
angka keberhasilan yang lebih tinggi.
G. Respons (-) : bila tidak didapatkan pertumbuhan folikel pasca gonadotropin
dosis tinggi.
H. Supresi FSH dengan GnRH agonis 2-3x interval 4 minggu dilakukan supresi
gonadotropin dengan GnRH agonis sampai tercapai kadar FSH <20 mIU/ml
I. Periksa ulang kadar FSH (diharapkan nilai FSH rendah): setelah tercapai kadar
FSH <20 mIU/ml dilakukan pemberian gonadotropin eksogen, 150-300 IU per
hari.
J. Apabila tidak adanya respons terhadap induksi ovulasi dengan gonadotropin
dosis tinggi atau inseminasi intra uterin atau fertilisasi in vitro maka adopsi
merupakan pilihan.

22
Gambar 4.4. Gangguan Ovulasi WHO Grup III (Sumber : Konsensus 2010)
4.3.5 Gangguan Ovulasi WHO Grup IV (Hiperprolaktinemia)
Kelompok yang termasuk dalam WHO grup IV adalah wanita yang
mengalami gangguan ovulasi karena tingginya kadar prolaktin (>25ng/ml).
Diperkirakan terjadi pada 9-17% wanita usia reproduksi (Konsensus, 2010).
Prolaktin dihasilkan oleh pituitari, prolaktin yang tinggi dapat menekan
sekresi GnRH, sehingga akan menganggu sumbu H-P-O. Siklus haid pada kelompok
ini dapat siklus yang normal, siklus memanjang (oligomenore) ataupun amenore
tergantung lama dan kadar prolaktin yang ada(Konsensus, 2013).
A. Pasien anovulasi pada kelompok WHO IV dapat memiliki manifestasi klinis
amenorea primer, sekunder atau oligomenorea. Pada pemeriksaan dijumpai
kadar prolaktin melebihi normal (PRL > 25ng/ml)
B. Dilakukan pemeriksaan terhadap TSH karena hormon ini merupakan salah satu
PRF.

23
C. Kondisi hipotiroid menyebabkan tingginya TSH karena hilangnya umpan balik
negatif. Karena itu pada kondisi hiperprolaktin yang disertai dengan
peningkatan TSH harus dilakukan penanganan terhadap hipotiroid.
D. Bila TSH normal dilakukan pemeriksaan MRI untuk menilai kelenjar hipofisis.
E. Pada hipofisis yang normal, harus dicari penyebab lain terjadinya
hiperprolaktin seperti penggunaan obat antagonis reseptor H2, SSRI, atau
rangsangan terhadap payudara.
F. Mikroadenoma hipofisis : bila dijumpai tumor berukuran <10mm
G. Makroadenoma hipofisis : bila dijumpai tumor berukuran >10mm. Tindakan
operasi direkomendasikan bila dijumpai penekanan pada chiasma opticum stal
effect tumor akan terlihat apabila dijumpai tumor yang menekan tangkai
kelenjar hipofisis pada MRI.
H. Bromokriptin merupakan pilihan pertama agonis dopamin untuk menekan
sekresi prolaktin yang berlebihan. Pemberian bromokriptin dimulai dengan
dosis 2,5mg/hari, bertahap sesuai dengan keluhan dan respon pasien hingga
dosis maksimal 3x2,5mg/hari untuk penyesuaian dosis dilakukan pemeriksaan
hormon prolaktin secara berkala setiap minggu.
I. Bila dijumpai efek samping bromokriptin (mual atau muntah) atau respon yang
buruk, pemberian cabergoline sebesar 1 x 0,25mg / minggu merupakan pilihan.
J. Apabila kepatuhan pasien berobat baik dan tidak ada efek samping yang
menganggu dilakukan evaluasi dalam hal klinis (siklus haid), kadar prolaktin (6
bulan pasca pengobatan) dan MRI (1 tahun pasca pengobatan)
K. Bila kadar prolaktin normal tetapi tidak terjadi ovulasi, tatalaksana dengan
agonis dopamin tetap dilanjutkan. Pertimbangkan pemberian pemicu ovulasi.
L. Ovulasi akan terjadi bila kadar prolaktin normal. Biasanya kehamilan akan
terjadi secara alami.

24
Gambar 4.5. Gangguan Ovulasi WHO Grup IV (Sumber : Konsensus 2010)

25
4.4 CADANGAN OVARIUM
Pada penatalaksanaan infertilitas, induksi ovulasi atau stimulasi
ovarium sering digunakan untuk mengatasi gangguan ovulasi. Hiperstimulasi
ovarium terkontrol yang dilakukan pada teknologi reproduksi berbantu digunakan
untuk mendapatkan oosit matur multipel, sehingga akan meningkatkan angka
kehamilan. Untuk memprediksi respon atau kepekaan ovarium terhadap stimulasi
diperlukan pengetahuan tentang cadangan ovarium. Cadangan ovarium adalah potensi
reproduksi wanita yang digambarkan dengan kuantitas dan kualitas oosit pada
ovarium. Cadangan ovarium mempunyai beberapa kegunaan antara lain sebagai
prediksi respon ovarium terhadap stimulasi, atau digunakan juga sebagai prediksi
keberhasilan siklus teknologi reproduksi berbantu (TRB). Kemampuan ovarium
melakukan respon terhadap stimulasi dan berkembangnya beberapa folikel yang
berlanjut tumbuh menjadi embrio merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan
FIV. Penurunan cadangan ovarium atau penurunan respon ovarium sering
menyebabkan tertundanya siklus terapi. Karena itu pemahaman terhadap konsep
penurunan cadangan ovarium mutlak dipahami, termasuk didalamnya kemampuan
deteksi penurunan cadangan ovarium (Anantasika, 2009).
4.4.1 Pemeriksaan / deteksi cadangan ovarium
Pemeriksaan cadangan ovarium untuk melihat respon ovarium terhadap
stimulasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu statik dan dinamik. Pemeriksaan
cadangan ovarium secara statik dibagi menjadi dua yaitu memakai pemeriksaan
hormon endokrin dan alat ultrasonografi. Pemeriksaan hormon endokrin meliputi
pemeriksaan FSH, estradiol, inhibin B, dan Anti Mullerian Hormon (AMH). USG
digunakan untuk mengukur hitung folikel antral, dan volume ovarium. Pemeriksaan
dinamik meliputi Clomifen Citrate Challenge Test (CCT), GnRH agonist stimulation
test (CCT), GnRH agonist stimulation test (GAST), dan exogenous FSH Ovarian
Reserve Test (EFORT).

26
4.4.2 FSH Serum Basal
Hampir semua klinik fertilitas melakukan pemeriksaan FSH serum basal pada
hari ke 3 haid untuk memeriksa cadangan ovarium. Peningkatan FSH serum
berhubungan dengan respon ovarium yang buruk, FSH serum basal yang meningkat
juga merupakan petanda penurunan kualitas oosit (Maheswari dan Fowler, 2006).
Tabel 4.5 Korelasi kadar FSH dengan respon terhadap stimulasi ovarium
Kadar FSH Pembacaan
serum
basal
<9 Bagus, diramalkan mempunyai respon yang baik
9-10 Cukup bagus, respon normal atau mulai berkurang
10-12 Cadangan ovarium berkurang, Menurunnya angka lahir
hidup
12-17 Respon buruk dan angka lahir hidup rendah
>17 Respon sangat buruk, tidak ada respon, tidak ada angka
lahir hidup

4.4.3 Estradiol (E2) serum


Pada teknologi reproduksi berbantu (TRB), kadar E2 serum basal yang
meningkat, berhubungan dengan jumlah oosit dang angka kehamilan yang rendah.
Pada awalnya E2 serum basal diperkirakan merupakan petanda yang spesifik
terhadap cadangan ovarium dibandingkan dengan FSH atau LH, namun penelitian
selanjutnya menunjukkan hasil yang berbeda. Evaluasi kadar E2 serum basal pada
pasien FIV tidak menunjukkan hubungan yang jelas dengan angka kehamilan yang
didapat.
Kadar E2 basal rendah bersama dengan kadar FSH normal, dihubungkan
dengan respon ovarium yang baik, angka kehamilan yang lebih tinggi dan angka
pembatalan siklus yang rendah. Kadar E2 basal tinggi menunjukkan adanya

27
perkembangan folikel yang terlalu cepat, atau adanya kista folikel siklus haid
sebelumnya. Keadaan ini dapat mengakibatkan timbulnya respon yang kurang baik
pada penanganan induksi / stimulasi ovarium (Hendarto dan Pramono, 2012).
Tabel 4.5 Pembacaan kadar hormon basal
FSH (mIU/ml) E2 (pg/ml) Cadangan Ovarium
>10 >70 ↓
>10 <70 ↓
2-10 >70 ↓
2-10 <70 Normal

4.4.3 Uji biofisik (ultrasonografi / USG) hitung folikel antral


Hitung folikel antral adalah jumlah folikel yang sedang tumbuh yang
ditemukan di ovarium pada setiap awal siklus haid. Folikel tersebut berukuran 2-8mm
dan saat ini dapat digunakan sebagai petanda cadangan ovarium. Pemeriksaan hitung
folikel antral dilakukan dengan menggunakan USG transvagina yang dilakukan pada
awal haid sebalum stimulasi ovarium dimulai (Anantasika, 2009).
Penentuan nilai kualitas dan kuantitas pada cadangan ovarium sangat
dipengaruhi oleh usia. Makin bertambah usia wanita akan terjadi penurunan secara
bermakna kualitas dan kuantitas folikel ovarium. Suatu review sistematik
menunjukkan bahwa pemeriksaan hitung folikel antral lebih superior daripada kadar
FSH hari ke tiga untuk prediksi respon ovarium. Data dari studi menunjukkan bahwa
hitung folikel antral untuk prediksi respon ovarium terhadap stimulasi mempunyai
sensitivitas 0,89, spesivisitas 0,39 dan positif likelihood ratio 1,45.

28
Tabel 4.6 Hitung folikel antral dan respon ovarium

Hitung Folikel Respon Ovarium


Antral
<4 Respon sangat buruk
5-7 Respon buruk, perlu stimulasi ovarium dengan dosis
FSH tinggi
8-11 Respon kurang, angka pembatalan program relatif lebih
tinggi dari rata-rata
12-14 Respon normal terhadap stimulasi ovarium
15-30 Respon baik terhadap FSH dosis rendah
>30 SOPK, respon tinggi terhadap FSH dosis rendah

4.4.5 Penanganan cadangan ovarium berkurang


Pada cadangan ovarium berkurang dapat ditangani dengan hiperstimulasi
ovarium terkontrol, bersama IUI, IVF, atau donasi oosit (Konsensus, 2010).

FSH Basal

FSH 10-19 mIU/ml FSH >20mIU/mL

Induksi ovulasi
agresif dengan IIU

Respon Adekuat Respon tidak Konseling : Adopsi /


adekuat donor oosit

3 siklus IIU lalu FIV

Gambar 4.6 Cadangan Ovarium Berkurang (Sumber : Konsensus, 2010)

29
Untuk pemeriksaan cadangan ovarium, parameter yang dpat digunakan adalah
AMH dan folikel antral basal (FAB). Berikut nilai AMH dan FAB yang dapat
digunakan :
1. Hiper-responder (FAB > 20 folikel/ AMH >4,6 ng/ml)
2. Normo-responder (FAB > 6-8 folikel/ AMH 1,2-4,6 ng/ml)
3. Poor-responder (FAB <6-8 folikel/ AMH < 1,2 ng/ml)

Penilaian Cadangan

Ovarium
Perespon Normal Perespon Buruk

Faktor risiko Short Minimal Natural


Protocol Stimulation Cycle
hiperstimulasi

Ada Tidak ada

Short Long Short Long


Protocol protocol Protocol Protocol
(Antagonist) dosis awal
r FSH
rendah

Gambar 4.7 Stimulasi Ovarium Terkendali (Sumber : Konsensus, 2010)


Tabel 4.7. Pemeriksaan untuk melihat ovulasi dan cadangan ovarium
Ovulasi Cadangan ovarium
Riwayat menstruasi AMH
Progesteron serum
Hitung Folikel antral
Ultrasonografi transvaginal
Temperatur basal FSH dan estradiol hari ke-3
LH urine
Biopsi endometrium

30
4.5 INSEMINASI INTRA UTERIN (IIU)
Inseminasi intra uterine adalah salah satu prosedur teknologi reproduksi
berbantu untuk mengatasi masalah infertilitas yang dilakukan dengan cara
memasukkan dan menempatkan sperma yang sudah dipersiapkan dan diproses
sebelumnya kedalam uterus pada saat diperkirakan terjadi ovulasi. Prosedur IIU
dilakukan untuk mengurangi pengaruh faktor yang menghalangi fungsi sperma,
misalnya keasaman vagina dan pengaruh lendir serviks yang tidak menguntungkan.
Prosedur IIU juga mengambil keuntungan dengan deposisi sperma dengan
konsentrasi, motilitas, serta morfologi normal sedekat mungkin dengan oosit
(Hendarto, 2009).
Indikasi untuk dilakukan IIU adalah :
1. Faktor serviks
2. Gangguan ovulasi
3. Endometriosis ringan
4. Faktor imunologi
5. Faktor suami
6. Unexplained infertility
Kontraindikasi untuk dilakukan IIU adalah :
1. Patologi tuba
2. Infeksi traktus genitalia
3. Abnormalitas semen yang berat
4. Abnormalitas genetik suami
5. Perdarahan yang tidak diketahui penyebabnya
6. Massa pelvis
7. Wanita tua
8. Infertilitas dengan penyebab multipel
9. Pelvic surgery
10. Keadaan dimana kehamilan merupakan kontraindikasi

31
11. Penyakit berat pada pasangan atau keduanya
12. Mendapat kemoterapi atau radioterapi
13. Kegagalan IIU yang berulang (lebih dari 6 siklus).
Terdapat 5 langkah untuk melakukan IIU, yaitu sebagai berikut :
1. Stimulasi ovarium / Induksi ovulasi
2. Pemantauan pertumbuhan folikel dan perkembangan endometrium
3. Penentuan saat inseminasi
4. Preparasi sperma
5. Pelaksanaan IIU dengan sperma yang sudah dipreparasi.
4.5.1 Stimulasi Ovarium pada Inseminasi Intra Uterin
Prosedur IUI dapat dilaksanakan dengan stimulasi (stimulated cycle) maupun
tanpa stimulasi (natural cycle) tergantung dari umur dan faktor penyebab infertilitas.
IUI tanpa stimulasi dapat dilakukan pada wanita usia muda dan pada pasangan
infertilitas yang idsebabkan karena faktor sperma. Pada acuan ini pemantauan
pertumbuhan folikel dibahas bersama dengan stimulasi ovarium (Konsensus, 2013).
4.5.2 IUI dengan siklus natural / tanpa stimulasi
Selain dapat dilakukan pada pasangan infertil dengan faktor sperma, di
beberapa negara dilakukan pada prosedur inseminasi dengan menggunakan donor
sperma dimana di Indonesia tidak dilakukan. IUI dengan siklus natural sebaiknya
dilakukan pada wanita dengan siklus haid teratur, sehingga penentuan masa ovulasi
lebih gampang dilakukan. IUI tanpa stimulasi tidak dianjurkan dilakukan pada wanita
dengan disfungsi ovulasi. Pemantauan saat ovulasi dilakukan dengan menggunakan
LH urine (kit prediksi ovulasi) atau menggunakan USG atau kombinasi keduanya.
Pasien diinstruksikan mulai memeriksa LH urin secara serial 3-4 hari sebelum
perkiraan saat ovulasi. Pada wanita dengan siklus haid 28-30 hari pemeriksaan LH
urin dimulai pada hari ke 11 siklus haid. Apabila hasil tes LH urin menjadi positif,
pasien diinstruksikan datang ke klinik esok harinya untuk inseminasi (Hendarto,
2009).

32
Pemantauan perkembangan folikel secara serial dengan menggunakan USG
transvagina dimulai sama seperti menggunakan LH urin. Bila ukuran diameter folikel
telah mencapai 17-18 mm dan endometrium telah mencapai tebal 9 mm dengan
gambaran trilaminar maka mulai dilakukan pemantauan dengan menggunakan
paramter LH urine secara serial. Inseminasi dilakukan 24 – 36 jam kemudian setelah
pemantauan didapatkan gambaran linjakan LH.

USG LH

11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28

IUI

Gambar 4.8 IUI dengan siklus natural (Sumber : Hendarto, 2009)


1. Pemantauan USG serial dimulai pada hari 11-12 siklus haid
2. Bila didapatkan diameter folikel 17-18mm dan tebal endometrium ≥ 9mm dengan
gambaran trilaminar, dilakukan pemantauan dengan tes LH urine serial.
3. IUI dikerjakan 24-36 jam setelah didapatkan lonjakan LH.

4.5.3 IUI dengan siklus stimulasi


Rasionalisasi dari penggunaan stimulasi ovarium pada IUI ada 2 hal, yaitu
meningkatkan jumlah oosit yang tersedia untuk IUI dan meningkatkan produksi
hormon steroid yang berguna untuk meningkatkan kemungkinan terjadinya fertilisasi
dan implantasi.
Obat – obat yang digunakan untuk stimulasi ovarium dapat diberikan dalam
bentuk oral, yaitu : klomifen sitrat (KS) dan aromatase inhibitor (AI), dapat pula secar
injeksi, misalnya gonadotropin, dalam bentuk human menopausal (hMG), Follicle
Stimulating Hormone-urine (u-FSH) atau FSH-rekombinan (r-FSH).

33
Pemilihan penggunaan obat stimulasi ovarium diatas tergantung beberapa hal,
yaitu harga obat, tersedianya obat dan kondisi pasien. KS dipilih untuk pasien usia
muda, pada sisa kasus lain lebih dipilih memakai hMG atau FSH. Tidak ada
keuntungan yang didapat dengan penggunaan rutin GnRH agonis bersama
gonadotropin pada stimulasi ovarium. Prosedur stimulasi ovarium lebih tepat bila
dimulai dengan obat yang tidak terlalu mahal dahulu.
Tujuan stimulasi ovarium pada IUI adalah mendapatkan 2 sampai 4 folikel
dengan diameter 17-18mm, kadar estradiol 150-250 pg/ml per folikel dan
endometrium tebal 9 mm dengan gambaran trilaminar. Penelitian mengemukakan
bahwa angka kehamilan IUI dengan stimulasi ovarium monofolikel berkisar 8,4%
sedangkan bila dengan stimulasi multifolikel angka kehamilannya lebih tinggi yaitu
15%. Bila stimulasi ovarium ditingkatkan menjadi 3 folikel angka kehamilannya
meningkat menjadi 8%. Sbaiknya siklus IUI ditunda bila didapatkan > 6 folikel
dengan ukuran >14mm dan kadar estradiol ;ebih dari 1500 pg/ml.
4.5.4 Stimulasi ovarium dengan klomifen sitrat
KS dengan dosis 50-100 mg diberikan selama 5 hari mulai hari ke 3 sampai
ke 7. Pasien diinstruksikan mulai melakukan pemeriksaan LH urine (kit prediksi
ovulasi) secara serial mulai hari ke 11-12. Bila hasil kit prediksi ovulasi menjadi
positif, prosedur IUI dilaksanakan esok harinya (Samsulhadi, 2012).
Apabila menggunakan TVS, pemantauan serial dimulai hari ke 12. Injeksi
human chorionic gonadotropin (hCG) 1000 IU atau ovidrel (hCG rekombinan) 250µg
diberikan secara subkutan bila diameter folikel mencapai 17-18mm dan tebal
endometrium mencapai ≥ 9 mm, selanjutnya 36 jam kemudian dijadwalkan dilakukan
IUI.

34
USG

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17

IUI

Gambar 4.9: IUI menggunakan stimulasi dengan klomifen sitrat (Sumber : Hendarto,
2009)
1. Pemberian KS 50-100 mg mulai hari ke 3 sampai 5 hari
2. Pemantauan USG dimulai hari ke 11-12 sampai didapatkan folikel dengan
diameter 17 – 18 mm dan endometrium dengan tebal ≥ 9mm
3. Dilakukan juga tes LH urin serial
4. IUI dilakukan 24 – 36 jam setelah didapatkan lonjakan LH

4.5.5 Stimulasi ovarium dengan injeksi FSH


Penentuan dosis awal FSH tergantung beberapa hal, antara lain usia wanita
dan respon ovarium sebelumnya. Secara umum untuk stimulasi ovarium siklus
pertama dibutuhkan dosis awal FSH 75-150IU. Dengan bertambahnya usia, terutam
pada usia lebih dari 40 tahun dengan asumsi kemungkinan besar telah terjadi
penurunan cadangan ovarium, dosis awal sebaiknya dinaikkan sampai 225-300IU.
Tujuan stimulasi menggunakan injeksi FSH pada wanita usia muda seperti
yang telah disebutkan sebelumnya yaitu untuk mendapatkan 2-4 folikel matang
dengan diamter 17 mm atau lebih. Jika didapatkan lebih dari 5 folikel dominan, risiko
terjadinya kehamilan ganda akan meningkat. Pada kondisi demikian sangat bijaksana
bila prosedur IUI ditunda atau dikonversi ke prosedur FIV. Berbeda dengan wanita
usia lebih 40 tahun kejadian kehamilan rendah, sebaiknya tidak usah ditunda
(Wardoyo, 2009).
Injeksi FSH untuk stimulasi ovarium dimulai pada hari ke 3 siklus haid,
dilanjutkan sampai folikel berkembang menjadi matur. Pemeriksaan kadar estradiol
serum dan USG transvagina dilakukan 5 hari setelah injeksi dosis awal. Dosis FSH

35
disesuaikan, dinaikkan atau diturunkan tergantung dari respon pasien. Tujuannya
adalah didapatkan kadar estradiol yang meningkat sampai 50-100% setiap 2-3 hari.
Pemeriksaan USG dilakukan untuk menentukan jumlah dan diameter folikel.
Stimulasi ovarium menggunakan injeksi FSH selanjutnya akan dijelaskan secara
lengkap pada gambar. Diameter folikel matur berkisar 17 mm atau lebih, bila ukuran
tersebut tercapai dilakukan penyuntikan hCG. Prosedur IUI dilakukan 36 jam setelah
penyuntikan hCG (Hendarto, 2009).

USG
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17

Gambar 4.10. IUI menggunakan stimulasi ovarium dengan injeksi FSH (Sumber:
Hendarto 2009)

1. Injeksi FSH dimulai hari ke-3 dengan dosis 75IU/hari


2. Dilakukan pemantauan USG setelah 5 hari injeksi FSH, yaitu hari ke 8, bila
diameter folikel : 1. > 12 mm : lanjutkan FSH dengan dosis tetap, lakukan
pemantauan USG tiap 2-3 hari
2. < 12 mm : naikkan dosis FSH 150 IU/hari, berikan selama 2 hari
3. Dilakukan pemantauan USG pada hari ke 10, bila diameter folikel :
1. > 15mm : pertahankan dosis FSH, ulang USG tiap 2-3 hari
2. < 15mm : naikkan dosis FSH 225 IU/hari, lakukan USG serial
4. Bila diameter folikel mencapai 17-18 mm & tebal endometrium 9mm,
injeksikan hCG
5. IUI dilakukan 36 jam setelah injeksi hCG

4.5.6 Penentuan saat inseminasi


Rasionalisasi dibalik penentuan saat inseminasi adalah sperma yang sudah
disiapkan sebelumnya hadir dan berada di uterus tepat pada saat ovulasi. Terdapat

36
beberapa metode untuk menentukan saat inseminasi baik untuk siklus natural maupun
saat stimulasi. Penentuan temperatur tubuh basal telah dicoba dilakukan tetapi
hasilnya tidak akurat. Pemantauan perubahan lendir serviks juga bisa dikerjakan
namun hasilnya tidak terlalu bisa dipercaya. Sampai saat ini yang sering dilakukan
adalah deteksi adanya lonjakan LH urin dan pemantauan pertumbuhan folikel dengan
USG serial. Deteksi lonjakan LH urin lebih murah dan tidak invasif, namun
didapatkan hasil negatif palsu sampai 25% dan positif palsu sampai 4%. Pemantauan
dengan USG memberikan hasil penentuan saat inseminasi yang lebih tepat
(Samsulhadi, 2012).

4.5.7 Preparasi sperma


Pengambilan sampel sperma dilakukan pada hari pelaksanaan IUI, dilakukan
dengan cara masturbasi setelah 2-3 hari abstinensia. Sebaiknya dilakukan di lokasi
klinik tempat pelaksanaan IUI, apabila dilakukan di rumah dalam waktu 60 menit
sampel sperma sebaiknya telah sampai di laboratorium klinik tempat IUI dilakukan.
Selanjutnya sampel sperma akan dilakukan pencucian dan preparasi yang bertujuan
untuk membuang prostaglandin dan bakteria serta mengkonsentrasikan sperma
dengan memisahkan dari cairan plasma seminal.

4.5.8 Pelaksanaan IUI dengan sampel sperma yang sudah dipreparasi


Sebelum inseminasi dilakukan nama pasien peserta IUI diverifikasi. Petugas
melakukan konfirmasi nama pasien harus cocok dengan label di tabung yang berisi
sampel hasil preparasi sperma. Prosedur inseminasi dikerjakan dengan menggunakan
spekulum bivalve untuk visualisasi serviks, hindari pemakaian tenakulum dan
selanjutnya permukaan serviks dibersihkan (Jacoeb, T.Z. 2012).
Sampel sperma dimasukkan kedalam kateter dengan cara aspirasi dan
kemudian kateter dimasukkan ke dalam rongga uterus melalui kanalis servikalis
secara halus dan hindari trauma, selanjutnya sampel sperma didorong masuk.
Prosedur pelaksanaan IUI (Konsensus, 2010):

37
A. Penilaian cadangan ovarium dengan menilai FSH, estradiol, AMH dan folikel
antral basal. Responden baik apabila didapatkan FSH < 10 mIU/ml, Estradiol : 30-80
pg/ml, AMH >3ng/ml, folikel antral basal : 8-10 folikel dan jumlah sperma motil 5
juta.
B. Dilakukan stimulasi ovarium dengan klomifen sitrat dengan dosis mulai
50mg/hari sampai maksimal 150 mg/hari.
C. Pemantauan stimulasi dilakukan dengan USG pada hari ke 12 apabila terpenuhi
syarat : a. Tampak folikel dominan >18mm, b. Tebal endometrium >8mm, c.
Kadar estradiol > 200 pg/ml, dilakukan penyuntikan hCG 24-36 jam sebelum
inseminasi.
D. Apabila tidak tampak folikel dominan > 18mm, tebal endometrium <8mm, dan
kadar estradiol < 200 pg/ml, dilakukan stimulasi dengan obat pemicu ovulasi
lini kedua.
E. Stimulasi ovarium dapat dilakukan dengan kombinasi klomifen sitrat 2x50mg
(hari ke 2 sampai hari ke 6) dan rFSH 75-150IU (hari ke 7 sampai hari ke 9)
F. Alternatif obat pemicu ovulasi adalah penghambat aromatase yang diberikan
dengan dosis 1 x 2,5mg atau 2 x 2,5mg pada hari ke 2 sampai hari ke 6.
G. Pemantauan stimulasi dilakukan dengan USG pada hari ke 12 untuk melihat
folikel dominan dan tebal endometrium serta dilakukan pemeriksaan kadar
estradiol.
H. Bila tampak a. Folikel dominan >18mm, b. Tebal endometrium > 8mm, dan
kadar estradiol >200pg/ml dapat dilakukan prosedur inseminasi.
I. Bila tidak tampak folikel dominan > 18mm, tebal endometrium < 8mm, dan
kadar estradiol <200pg/ml, stimulasi dihentikan. Tindakan stimulasi ovarium
selanjutnya dilakukan dengan rFSH mulai dosis 75 IU boleh dinaikkan bertahap
dengan pemberian agonis GnRH 0,5mg mulai hari ke 2 atau antagonis GnRH
mulai hari ke 9 apabila folikel berdiameter 14mm.

38
HCG (malam) Inseminasi Support luteal

Support luteal
Induksi Ovulasi 34-36 jam

1 2 3 12 Haid Hari “0” 14 “+4” “+7”

TVS Lab hormon


Lab : LH, FSH, E2 Β hCG, E2

TVS
Lab : E2

Gambar 4.11. Inseminasi Intra Uteri

39
4.6 FERTILISASI IN VITRO DAN TRANSFER EMBRIO
Fertilisasi in virto dan transfer embrio (FIV-TE) yaitu usaha pembuahan sel
telur dengan spermatozoa secara laboratorik, diikuti pemindahan embrio sebagai hasil
pembuahan ke rongga rahim (Soebijanto dan Muharam, 2009).
Beberapa tindakan FIV yang dilakukan :
1. FIV-TE yaitu usaha pembuahan secara laboratorik sel telur yang diaspirasi
dengan spermatozoa suami diikuti pemindahan embrio (hasil pembuahan) hasil
pembuahan ke rongga rahim.
2. Tandur alih gamet intratuba (TAGIT) yaitu penempatan sel telur yang
diaspirasi bersama dengan sejumlah spermatozoa langsung ke dalam tuba falopii.
3. Tandur alih zigot intratuba (TAZIT) yaitu usaha pembuahan secara
laboratorik sel telur yang diaspirasi, dengan spermatozoa diikuti pemindahan hasil
pembuahan ke dalam tuba falopii. Pada prosedur ini memerlukan prasyarat bahwa
dalam tuba falopii masih baik dan tidak tersumbat.
4. Simpan beku yang dilakukan terhadap sel telur, spermatozoa atau hasil
pembuahan pada keadaan tertentu.
5. Mikromanipulasi dan suntik mikro, yaitu usaha mempermudah pembuahan
dengan teknik inseminasi memakai alat mikro manipulator pada keadaan tertentu
(gangguan spermatozoa berat atau kegagalan FIV beberapa kali sebelumnya.
Indikasi FIV :
1. Kerusakan kedua tuba
2. Faktor suami
3. Faktor serviks abnormal
4. Faktor imunologik
5. Infertilitas yang tidak diketahui penyebabnya
6. Infertilitas karena endometriosis

40
Syarat FIV:
1. Telah dilakukan pengelolaan infertilitas selengkapnya
2. Indikasi jelas
3. Telah memahami secara umum langkah – langkah FIV
4. Informed consent
5. Mampu mmembiayai prosedur, dan jika berhasil mampu menjaga kehamilan,
membiayai persalinan dan membesarkan bayi.
Tahapan penatalaksanaan :
1. Pemeriksaan penyaring pasutri
2. Pemilihan protokol stimulasi
3. Stimulasi indung telur yang dijadwalkan
4. Pemantauan perkembangan folikel
5. Pengambilan oosit
6. Persiapan dan prosedur lab
7. Perkembangan embrio dalam medium biakan
8. Transfer embrio
9. Pemantauan dan support fase luteal
10. Diagnosis kehamilan
11. Analisa sebab kegagalan
12. Perawatan obstetrik

4.6.1 Tatalaksana fertilisasi in vitro


Pada penatalaksanaan fertilisasi in vitro ada 4 tahapan dasar yaitu :
1. Penapisan dan persiapan pasien
2. Stimulasi ovarium terkendali (SOT)
3. Pengambilan sel telur dan kultur embrio
4. Transfer embrio, pemberian penunjang fase luteum dan evaluasi.

41
4.6.2 Penapisan dan persiapan pasien
Penapisan dan persiapan pasien pada program fertilisasi in vitro memegang
peranan penting dalam menunjang hasil yang optimal dalam keberhasilan program ini
(Konsensus, 2013) (Wiweko dan Tania, 2012).
1. Penapisan infeksi
Tujuannya untuk melindungi pasien, bayi dan tenaga medik dari transmisi
penyakit menular. Beberapa pemeriksaan antara lain : hepatitis B, hepatitis C,
HIV dan Chlamydia trachomatis.
2. Pemeriksaan antibodi antisperma
3. Penapisan umur pasien
Harus diinformasikan mengenai keberhasilan program FIV yang bervariasi
mengikuti usia, usia optimal bagi seorang wanita untuk mengikuti FIV adalah 23-39
tahun, mengingat : kemungkinan kehamilan pada wanita yang berusia 23-35 tahun
adalah >20%, sedangkan bagi wanita usia 36-38 tahun adalah 15%, 10% bagi wanita
berusia 39 tahun dan 6% bila wanita telah berusia >40 tahun.
4. Jumlah siklus FIV
Pasien harus dijelaskan bahwa keberhasilan FIV akan sama pada 3 siklus
pertama tetapi sesudah itu tidak dapat dipastikan. Riwayat kegagalan dan komplikasi
pada siklus sebelumnya dapat menentukan prognosis siklus selanjutnya.
5. Riwayat kehamilan
Program FIV akan lebih efektif bila dilakukan pada wanita yang pernah hamil
atau melahirkan sebelumnya.
6. Kebiasaan minum minuman beralkohol, merokok harus dihentikan.
7. Berat badan
Wanita yang akan mengikuti program FIV seharusnya memiliki indeks massa
tubuh (IMT) antara 19-30. Wanita yang memiliki IMT di luar rentang angka tersebut
keberhasilan FIV menjadi lebih rendah.
8. Ultrasonografi transvaginal perlu dilakukan untuk menilai

42
1. Bentuk uterus, adanya kelainan anatomi seperti mioma, polip atau
hidrosalping.
2. Ovarium, adakah gambaran SOPK atau endometrioma
3. Hitung folikel antral
4. Ovarian blood flow (RI dan PI)
9. Kelainan uterus dan tuba
Adanya polip endometrium, hidrosalping harus dilakukan koreksi sebelum
dilakukan prosedur FIV.
10. Analisa semen
Sebelum melakukan program FIV harus dilakukan pemeriksaan analisa
sperma ulang minimal 2 kali untuk memastikan kualitas sperma (sperm
recovery and survival test)
11. Indikasi untuk melakukan FIV-ICSI adalah
1. Kualitas sperma yang sangat buruk (Sperm recovery < 500.000/ml)
2. Obstructive dan Non obstructive azoospermia
3. Siklus FIV sebelumnya memberikan hasil fertilisasi yang buruk
4. Frozen sperm yang tidak adekuat
5. Antibodi antisperma
12. Pemeriksaan dan penangan infertilitas dapat menyebabkan stress
1. Konseling harus dilakukan pada semua pasien yang mengikuti program
FIV
2. Konseling harus dilakukan sepanjang siklus FIV
3. Konseling yang baik dapat menurunkan stress
4. Bila perlu dokter dapat bertindak sebagai konselor.
13. Persetujuan tindakan medik
Pasien harus mendapatkan informasi yang jelas termasuk mengenai efek
samping program FIV seperti SHSO, kehamilan ganda, sperm freezing, embryo
freezing.

43
Bila direncanakan akan dilakukan pemeriksaan genetik (seperti PGD) maka
pasien harus mendapatkan penjelasan mengenai seluruh prosedur dan risiko yang
mungkin terjadi.
14. Cadangan ovarium
Pemeriksaan cadangan ovarium memiliki sensitivitas dan spesifisitas terbatas
tetapi wanita yang memiliki nilai FSH yang tinggi kemungkinan besar fertilitasnya
menurun.
15. Prediksi poor ovarian response
Prosedur ini digunakan untuk memprediksi prognosis dan penetapan protokol
stimulasi, walaupun sampai saat ini belum ada pemeriksaan yang ideal, beberapa
batasan dapat digunakan untuk menilai adanya poor responder antara lain :
1. Tidak ada tes yang ideal
2. Usia pasien > 40 tahun
3. Nilai basal FSH > 12 atau > 15 mIU/ml
4. Nilai basal E2 >30 atau 75 pg/ml
5. Nilai basal inhibin <45 pg/ml
6. Nilai AMH yang rendah
7. Tidak ada respon pada CCCT
8. Penurunan volume ovarium
9. Hitung folikel antral <5
10. Rasio FSH : LH sebelum stimulasi >3
11. Jumlah folikel selama stimulasi (2-5 folikel saat pemberian hCG)
12. Nilai puncak E2 selama stimulasi (<300pg/ml - <500pg/ml)
13. Nilai E2 pada hari ke-5 stimulasi <100 pg/ml
14. Pemakaian gonadotropin >44 ampul
15. Dosis gonadotropin >300 IU/hari.

44
4.6.3 Stimulasi ovarium terkendali (SOT)
Stimulasi ovarium terkendali (SOT) adalah stimulasi ovarium yang dilakukan
bersamaan dengan menekan kadar LH endogen
Secara umum, SOT dapat dibagi menjadi 3, yaitu (Konsensus, 2013) (Julian dan
Coleman, 2008):
a) Protokol agonis GnRH (protokol panjang)
b) Protokol antagonis GnRH
c) Stimulasi ringan (Mild stimulation)

a. Protokol agonis (Protokol panjang/ Long protocol)


Protokol ini merupakan protokol yang paling banyak digunakan sebelum
diperkenalkannya antagonis GnRH pada pusat-pusat FIV di dunia. Penyuntikan
agonis GnRH (Buserelin 0.5 mg) dimulai 10 – 14 hari sebelum dimulainya pemberian
gonadotropin. Biasanya pemberian agonis GnRH dimulai pada fase luteal madya.
Penyuntikan gonadotropin dimulai setelah down regulation tercapai dan dosis agonis
GnRH diturunkan menjadi 0.2 mg. Stimulasi dengan gonadotropin dilanjutkan
sampai diameter folikel mencapai 17 – 18 mm pada minimal 3 folikel. Petik oosit
dilakukan kurang lebih 36 jam setelah maturasi oosit dengan menggunakan hCG
(Konsensus, 2010).

Long Protocol
A. Penekanan ovarium pada long protokol dengan GnRH agonis dosis 0,5mg
dimulai pada hari ke 21 siklus haid atau pada fase luteal madya.
B. GnRH agonis suntik / nasal spray.
C. Evaluasi pasca agonis GnRH dilakukan pada siklus haid hari ke 1 atau hari ke
2 haid selanjutnya. Target yang diharapkan adalah kadar FSH < 5mIU/ml, LH< 5
mIU/ml, estradiol < 50 pg/ml dan endometrium < 5mm, dan tidak ada folikel yang
berukuran > 5mm. Bila tidak tercapai target, maka pemberian GnRH agonis
diperpanjang sampai dengan 7 hari.

45
D. Bila target terpenuhi, dilakukan stimulasi dengan rFSHdimulai dengan dosis
225 IU pada hari ke 1 siklus haid. Dosis GnRH agonis diturunkan menjadi 0,25 mg
sampai hari pemberian hCG.
E. Penyuntikan rFSH mulai dengan dosis 225 IU dilakukan bila tidak ada risiko
hiperstimulasi ovarium. Bila ada risiko hiperstimulasi pemberian rFSH dimulai
dengan dosis 150 IU.
F. Dilakukan pemantauan pasca penyuntikan rFSH 8 kali, pada hari ke 9. Target
yang dicapai adalah terdapat minimal 3 folikel dengan diameter 12 – 13 mm, kadar
estradiol ≥300 pg/ml dan tebal endometrium ≥ 7mm.
G. Bila memenuhi target, stimulasi dilanjutkan dengan dosis rFSH yang sama.
H. Tidak memenuhi target apabila ukuran folikel 5-10mm dan kadar estradiol
100-300pg/ml, maka dosis rFSH dinaikkan 75 IU.
I. Naikkan dosis rFSH 75 IU menjadi 300 IU.
J. Bila tidak terdapat perkembangan folikel dan kadar estradiol < 100 pg/ml,
maka terjadi failed stimulation dan dilakukan penundaan siklus.
K. Dilakukan pemantauan ke 2 pada hari ke 11 siklus haid. Target yang dilihat
adalah diameter folikel dan tebal endometrium.
L. Target dicapai bila didapatkan minimal satu folikel berdiameter ≥17mm, dan
tebal endometrium ≥ 9mm
M. Bila target tercapai maka stimulasi dilanjutkan dosis rFSH yang sama sampai
pemberian hCG.
N. Bila target pada pemantauan hari ke 11 tidak tercapai, maka naikkan dosis
rFSH 75IU menjadi 375 IU. Dosis maksimal stimulasi dilakukan dengan rFSH 450
IU/hari.
O. Naikkan dosis rFSH 75 IU
P. Pemantauan ke III hari ke 12 siklus haid adalah pemantauan terakhir sebelum
dilakukan OPU, dimana respon baik bila mencapai target, yaitu adanya minimal 3
folikel berdiameter ≥ 18mm, kadar estradiol ≥600 pg/ml, dan tebal endometrium ≥
10mm.

46
Q. Pada pemantauan terakhir dapat dibedakan respon pasien. Bila target tidak
tercapai dimana didapatkan < 3 folikel dengan diameter ≥ 18mm, dan kadar estradiol
< 600 pg/ml, dapat dinyatakan bahwa respon pasien masuk dalam kelompok perespon
buruk dengan angka kehamilan lebih rendah.
R. 36-40 jam setelah penyuntikan hCG, pengambilan sel telur dapat dilakukan.

Gambar 4.12 Stimulasi Ovarium Long Protocol (Sumber : Julian dan Coleman, 2008)

47
B. Protokol antagonis
Antagonis GnRH menghambat pengeluaran gonadotropin secara cepat (hanya
beberapa jam) dengan menduduki reseptor GnRH di hipofisis secara kompetitif.
Pemakaian antagonis GnRH pada protokol FIV memiliki beberapa keuntungan
dibandingkan dengan agonis GnRH, seperti tidak menyebabkan kondisi hipo-
estrogen dan flare up, berkurangnya jumlah injeksi serta rendahnya kejadian
hiperstimulasi ovarium derajat berat dibandingkan dengan protokol agonis GnRH.
Cara penyuntikan antagonis GnRH dapat dilakukan secara tetap (0.25 mg per-hari
mulai hari ke-6 atau ke-7 stimulasi), atau fleksibel (0.25 mg perhari saat folikel
terbesar berukuran 14 – 15 mm). Penyuntikan dosis tunggal antagonis GnRH sebesar
3 mg juga dapat dilakukan pada hari ke-7 dan ke-8 stimulasi dengan atau tanpa
penambahan pil kontrasepsi oral (Konsensus, 2010).

Short Antagonis Protokol


A. Protokol pendek dengan menggunakan GnRH antagonis akan dimulai pada
haid hari ke 2
B. Penyuntikan rFSH (dengan dosis awal 225 IU) akan dimulai pada haid hari
ke 2
C. Pada hari ke 6 (pasca penyuntikan 5x), maka pemantauan pertama akan
dilakukan menggunakan USG dan kadar E2 dalam darah.
D. Target yang diharapkan adalah >3 folikel berdiameter 10mm, dengan 1 folikel
berdiameter 14 mm, minimal kadar estradiol 200-300 pg/ml, dan kadar LH darah <
10 mIU/mL.
E. Apabila target tercapai, maka pemberian rFSH akan dilanjutkan dengan dosis
yang sama, dan akan ditambahkan dengan pemberian antagonis GnRH sebanyak 0,25
mg.
F. Akan tetapi bila target tidak terpenuhi, maka akan ada dua kemungkinan

48
G. Setelah pemeriksaan dengan USG, didapati ukuran folikel antara 5-10mm
atau estradiol 100-200 pg/ml, pemberian rFSH harus dinaikkan 75 IU sampai dengan
pemantauan ke II yang akan dilakukan pada hari ke 8 siklus haid.
H. Apabila perkembangan folikel tidak tampak pada pemeriksaan USG dan pada
pemeriksaan laboratorium didapati bahwa kadar estradiol < 100 pg/ml, maka siklus
ini harus ditunda.
I. Pemantauan kedua pasca lanjutan stimulasi akan dilakukan pada hari ke 8
siklus haid.
J. Target yang diharapkan yaitu diameter folikel berukuran 12 – 14 mm dan
tebal endometrium 8 mm. Apabila target tercapai, maka stimulasi dapat dilanjutkan
dengan dosis rFSH dan antagonis GnRH yang sama.
K. Tetapi apabila target tidak terpenuhi maka dosis rFSH akan dinaikan 75 IU
L. Pemantauan ketiga akan dilakukan kembali pada hari ke 10 siklus haid.
Dimana pada pemantauan ini diharapkan folikel akan berkembang lebih besar dan
mencapai diameter 16-18mm dan tebal endometrium 10mm
M. Apabila memenuhi target, maka stimulasi akan tetap dilanjutkan dengan dosis
yang sama.
N. Apabila target tidak tercapai, pemberian rFSH akan dinaikkan kembali
sebanyak 75 IU
O. Pemantauan terakhir akan terjadi pada hari ke 11 siklus haid. Dimana target :
1. >3 folikel berdiameter 18-20mm, 2. Tebal endometrium > 10mm, 3. Estradiol
>600 pg/ml, 4. LH < 5 mIU/mL
P. Apabila target tercapai, maka penyuntikan uhCG / rhCG dapat dilakukan.
Akan tetapi, apabila didapati < 3 folikel dan kadar estradiol < 600 pg/mL maka dapat
dinyatakan pasien mempunyai rrespon yang buruk terhadap protokol ini dengan
angka kehamilan yang rendah.
Q. 36-40 jam setelah penyuntikan uhCG / rhCG maka pengambilan sel telur
dapat dilakukan.

49
Gambar 4.13 Stimulasi Ovarium Short Antagonis Protocol (Sumber : Julian dan
Coleman, 2008)

50
4.6.4 Pengambilan sel telur (Ovum pick up)
Tujuan prosedur ini adalah untuk mengambil sel telur dari ovarium. Teknik
yang digunakan dapat digunakan dengan pendekatan per vaginam (tuntunan
ultrasonografi vagina) atau pendekatan perabdominam (bagi kasus sulit dari
pervaginam, perlekatan berat). Tahapan dari pengambilan sel telur ini adalah
(Soebijanto dan Muharam, 2009) :

4.6.5 Persiapan ovum pick up


OPU dilakukan 32 – 36 jam setelah pemberian HCG pada induksi ovulasi.
Beberapa persyaratan OPU harus dipenuhi antara lain (Rabe dan Diedrich, 1997):
1. Pelaksana dan pembantu pelaksana
Pelaksana utama pada FIV-PE adalah ahli kebidanan dan penyakit kandungan
yang sudah terlatih, seorang dokter ahli embriologi, Kemudian dibantu oleh 3
orang paramedis, 1 orang sebagai asisten OPU, 1 orang penghubung dan
pengantar tabung yang berisi materi OPU dari operator ke dokter ahli
embriologi, 1 orang pembantu umum yang menyiapkan premedikasi,
menyiapkan USG, aspirator, dll.
2. Tempat dan lokasi
Sebaiknya ruangan untuk OPU dan ruang laboratorium embriologi steril
berdampingan sedemikian rupa sehingga operator dan ahli embriologi dapat
berkomunikasi dengan mudah untuk memastikan apakah hasil pungsi folikel betul
berhasil mendapatkan ovum atau tidak. Tempat ini sebaiknya merupakan ruang
operasi steril dengan suhu dan kelembaban tertentu. Suhu di ruangan sebaiknya 25-
260C dan kelembaban udara 50-60%.
Sterilisasi ruangan jangan menggunakan zat yang toksik terhadap
ovum/embrio. Sebaiknya sterilisasi dengan menggunakan ultraviolet atau ozon.
Apabila diperlukan bisa menggunakan Cidex (glutaraldehyde) atau neoresiguard
untuk sterilisasi lantai. Kamar operasi harus bebas dari cat yang toksik, bau – bauan
dari cat, furniture, dinding dari porselen yang mudah dibersihkan. Meja kursi yang

51
mudah dibersihkan dari bahan stainless steel, cahaya lampu sorot vagina yang mudah
diatur dan cahaya laboratorium embriologi yang mudah disesuaikan.
3. Peralatan
1. Meja operasi yang mudah disesuaikan untuk mendapatkan posisi
pasien yang dikehendaki.
2. USG transvaginal yang sudah dipersiapkan sebelumnya untuk OPU
atau set laparoskopi apabila menggunakan laparoskopi.
3. Jarum pungsi set No 17, 30 cm, single / double lumen
4. Automatic flushing system dan aspiration pump
5. Warmer set untuk penghangat tabung berisi media dan hasil aspirasi
folikel yang bisa stabil pada suhu 370C
6. Laminar air flow
7. CO2 inkubator
8. Bahan media habis pakai : petri, spuit disposibel 20cc, 10cc, 5cc, dll.
4. Pakaian
Pakaian operasi atau pakaian petugas laboratorium yang steril sekaligus tidak
toksik dan tidak menimbulkan kontaminasi bau dan debu dari serat kain yang
dipakai. Sarung tangan yang tidak mengandung bahan toksik dan bebas
serbuk (non powdered gloves). Beberapa ahli tidak menggunakan sarung
tangan waktu melakukan manipulasi ovum dan embrio, tetapi cuci tangan
bersih dengan habiscrub dengan bilasan propanol absolut (90%).
5. Media kultur

4.6.6 Teknik pelaksanaan


4.6.6.1 OPU dengan laparoskopi
Aspirasi folikel dengan laparoskopi sekarang hanya digunakan pada keadaan
keadaan tertentu saja. Misalnya bersamaan dengan tujuan diagnosis evaluasi
endometriosis, setelah dilakukan operasi mikro koreksi tuba atau bagian dari program
tandur alih gamet intratuba (TAGIT) (Rabe dan Diedrich, 1997).

52
1. Persiapan rutin sebelum operasi dikerjakan, pasien sudah dipuasakan,
lavamen, cukur pubis.
2. Dinding perut luar didisinfeksi rutin mulai dari lipat paha keatas
pertengahan umbilikus-proc xyphoideus.
3. Umbilikus dibersihkan sebaik mungkin.
4. Jarum verres dites apakah sudah benar benar lancar tidak buntu dan
pegasnya sudah berjalan baik
5. Melalui fossa umbilikalis dibuat irisan untuk lewat tusukan jarum
verres kedalam rongga abdomen.
6. Gas CO diinsuflasikan kedalamnya sekitar 2-3 liter dengan alat
insuflator.
7. Setelah gas cukup, jarum verres dilepas diikuti memasukan trokar
10mm untuk kemudian diikuti laparoskopi operatif
8. Dibuat kembali 2 buah lubang tusukan dengan laprokator 5mm. Yang
pertama untuk lewat instrumen dan yang ke dua untuk lewat jarum
pungsi folikel.
9. Ovarium difiksasi dengan forsep ovarium lewat saluran ke 2 melalui
bimbingan laparoskop yang dimasukan lewat saluran pertama di fossa
umbilikus.
10. Folikel folikel sekitar puncak ovarium kita tusuk dan hisap yang
pertama kali dengan vakum 100-150 mmHg, kita kuras (flushing)
sesuai volume cairan folikel yang kita hisap. Dicari bagian yang
avaskular. Apabila mengalami kebocoran, cairan kavum douglas
dikuras untuk mencari ovum yang mungkin terdapat disitu.
11. Evaluasi apakah terjadi perdarahan atau tidak dengan melakukan
eksplorasi sekitar daerah alat genital dalam.
12. Setelah evaluasi aman, trokar dan selongsong 5 mm ditarik satu
persatu, sambil dimonitor melalui laparoskop apakah terjadi
perdarahan dinding perut atau tidak, diikuti pengeluaran udara CO dan

53
akhirnya laparoskop dan selongsong trokar 10 mm dicabut. Kemudian
bekas luka tusukan dijahit dan diplester.
13. Perawatan post operatif ditujukan pada komplikasi vaskular dan
perdarahan selama 6-24 jam postoperatif.
14. Setelah 6-24 jam post operatif pasien diijinkan pulang dengan pesan :
kemungkinan komplikasi perdarahan, kemungkinan komplikasi
infeksi, risiko hiperstimulasi dengan bertambahnya cairan abdomen.
15. Dipesan segera kembali ke rumah sakit apabila mengalami keluhan
perut, tegang mengeras, gangguan peranapasan, gangguan trombosis
dan sirkulasi, demam.
4.6.6.2 Teknik OPU pervaginam
Peralatan pada OPU pervaginam adalah (NICE, 2013) :
1. USG khusus
USG yang diprogram untuk aspirasi folikel dengan transduser vaginal.
Khusus untuk aspirasi folikel yang dilengkapi selongsong khusus untuk lewat
dan fiksasi jarum pungsi secara manual. Aspirasi folikel yang dihubungkan
dengan sistem penghisap automatik.
2. Transduser vaginal
Transduser vaginal dilengkapi selingsong untuk lewat dan pengarah jarum
kedalam vagina siap dihubungkan dengan sistem penghisap automatik atau
OPU secara manual. Transduser ini diatur pada :
1. Lapangan pandang >1150
2. 5-7,5 MHz
3. Dapat penetrasi 10 cm
4. Transduser elektronik / kristal memberikan gambaran ekogenik (image)
yang terbaik dibandingkan dengan transduser mekanik.
3. Penghisap automatik dengan jarum manual
4. Penghisap automatik dengan sistim pengarah jarum penghisap automatik
5. Jarum penghisap.

54
Prosedur OPU pervaginam :
1. Pasang kondom pada probe tansvagina
2. Pasang needle guide pada probe
3. Masukan probe dan needle guide pada vagina
4. Ovarium harus nampak jelas pada layar USG
5. Masukan jarum ke dalam needle guide, usahakan agar jangan
mengkontaminasi jarum.
6. Masukan jarum ke dalam folikel. Peringatkan pasien bahwa ada sensasi
tertusuk benda tajam dan usahakan agar tidak bergerak.
7. Ketika jarum sudah masuk kedalam folikel, maka selanjutnya dilakukan
aspirasi pada cairan folikel.
8. Flushing folikel selanjutnya dilakukan secara manual atau melalui pompa
suction.
9. Ujung jarum harus selalu terlihat pada layar USG
10. Jarum harus dibilas setelah pengambilan setiap 2 folikel agar tidak
tersumbat.
11. Saat seluruh folikel sudah terambil maka selanjutnya diletakan pada
warmer set.
12. Seluruh folikel dan ukurannya dicatat pada rekam medis.
13. Setelah seluruh prosedur dilakukan. Maka selanjutnya dilakukan evaluasi
adanya perdarahan.
14. Setelah prosedur selesai maka pasien dipindahkan ke ruang recovery
15. Pasien dapat pulang bila pasien sudah dapat melakukan mobilisasi,
makan, minum, berkemih dan tidak ada tanda kehilangan darah.
4.6.7 Transfer embrio
Tujuan dari tindakan ini adalah untuk menempatkan embryo di dalam uterus
(NICE, 2013).
1. Pasien dalam posisi litotomi
2. Pasang spekulum dalam vagina untuk memvisualisasi servik

55
3. Serviks dibersihkan dengan saline solution
4. Kateter yang sudah berisi embryo dikonfirmasi kembali identitas pasien
tersebut.
5. Kateter dimasukan kedalam kanalis servikalis dan diteruskan hingga
memasuki kavum uteri.
6. Masuknya kateter ini dipandu dengan panduan USG transabdominal
7. Ujung kateter diletakan pada 1-2 cm dari fundus uteri.
8. Setelah ujung kateter terletak 1-2 cm dari fundus uteri maka embryo
dikeluarkan dari kateter.
9. Kateter dikeluarkan oleh operator kemudian diserahkan ke embryologis untuk
memastikan bahwa tidak ada embryo yang tersisa didalam kateter.
10. Setelah seluruh prosedur dilakukan maka dilakukan pencatatan pada rekam
medis.
11. Diperlukan penunjang fase luteum pasca tindakan untuk mempertahankan
penerimaan embrio di uterus, akibat prosedur down regulation dan ovum pick
up yang mengurangi sel granulosa. Beberapa preparat obat yang digunakan
adalah hCG 1500-5000 IU, Progesteron (Cygest®, Crynone®).

56
Pasangan suami istri dengan
Singkirkan :
infertilitas Amenore
Poliklinik infertilitas Galaktore

Terapi sesuai
Siklus haid spontan
temuan
Sperma Analisa

normal Abnormal

Post coital test Ulang SA

terjadwal
normal Abnormal Abnormal

Ulang 1 siklus Konsul


dengan EE Andrologi
Usia < 30 tahun Usia > 30 tahun

Induksi dengan CC 3 siklus


Monitoring folikel (TVS) Lendir serviks Pentrasi sperma
Senggama terjadwal (-)
jelek
Tidak hamil Laparoskopi Laparoskopi

normal Abnormal normal

Konservatif IUI 6 siklus

Hamil (-) IVF Hamil (-)

Gambar 4.14 Penanganan pasutri dengan infertilitas

57
58

Anda mungkin juga menyukai