Disusun Oleh :
FITRIL WALIDA
H1AP14052
Pembimbing:
dr. Ety Febrianti, Sp.PD., FINASIM
KEPANITRAAN KLINIK
BAGIAN PENYAKIT DALAM TERINTEGRASI
RSUD DR. M.YUNUS BENGKULU
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2021
1
HALAMAN PENGESAHAN
2
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan refrat dengan judul “Peran Tirosin
Kinase Inhibitor Sebagai Terapi Pada Karsinoma Hepatoseluler”.
Refrat ini disusun untuk memenuhi salah satu komponen penilaian Kepaniteraan
Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr. M. Yunus, Fakultas Kedokteran
Universitas Bengkulu.
Pada kesempatan ini, penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. Ety
Febrianti, Sp.PD., FINASIM sebagai pembimbing yang telah bersedia membimbing
penulis, meluangkan waktu dan telah memberikan masukan, petunjuk serta bantuan
dalam penyusunan tugas ini.
Penulis menyadari bahwa refrat ini belum sempurna, oleh karena itu penulis
mengharapkan kritikan dan saran sehingga refrat ini dapat menjadi lebih baik lagi. Akhir
kata semoga refrat ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Fitril Walida
3
Daftar Isi
HALAMAN PENGESAHAN...........................................................................................2
KATA PENGANTAR.......................................................................................................3
BAB I.................................................................................................................................6
PENDAHULUAN.............................................................................................................6
BAB II................................................................................................................................8
Karsinoma Hepatoseluler...................................................................................................8
2.1.1. Definisi.............................................................................................................8
2.1.2. Epidemiologi....................................................................................................8
2.1.3. Etiologi.............................................................................................................8
2.1.4. Patofisiologi...................................................................................................13
2.1.6. Diagnosis........................................................................................................14
2.1.7. Tatalaksana....................................................................................................16
2.1.8. Prognosis........................................................................................................18
BAB III............................................................................................................................20
3.1.1. Definisi...........................................................................................................20
4
3.2. Tirosin Kinase Inhibitor..............................................................................25
3.2.1. Definisi...........................................................................................................25
3.2.7. Generasi Baru TKI dan Imunoterapi untuk Terapi Kanker Hati...................28
BAB IV............................................................................................................................32
KESIMPULAN................................................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................33
5
BAB I
PENDAHULUAN
Karsinoma hepatoselular atau yang lazim disebut hepatoma atau KHS adalah
kanker primer pada hati yang berkembang dari sel-sel utama hati yang disebut hepatosit.
Hepatoma merupakan kanker pada hati yang paling banyak ditemukan, sekitar 75 persen
dari semua keganasan hati.38 Hepatoma atau karsinoma hepatoseluler adalah masalah
kesehatan utama yang menduduki peringkat keenam sebagai kanker yang paling sering
didiagnosis dan sekaligus peringkat keempat sebagai penyebab kematian akibat kanker
di seluruh dunia.4
Hepatoma terbentuk melalui proses hepatokarsinogenesis, dimana terjadi
transformasi sel-sel hati yang tidak ganas menjadi karsinoma hepatoseluler secara
bertahap.34 Pada pertumbuhan kanker hati, beberapa pasien mungkin mengalami gejala
seperti nyeri di perut sebelah kanan atas meluas ke bagian belakang dan bahu, bloating,
berat badan menurun, kehilangan nafsu makan, kelelahan, mual, muntah, demam, dan
ikterus.12 Mekanisme molekuler dan seluler yang mendasari transformasi sel-sel yang
semula tidak ganas menjadi hepatoma belum sepenuhnya diketahui. Faktor risiko yang
diduga memicu hepatoma bervariasi pada satu individu dengan individu lain.4
Salah satu faktor yang berperan dalam perkembangbiakan sel kanker ialah
adanya aktivitas tidak terkendali dari persinyalan tirosin kinase dalam tubuh. Reseptor
tirosin kinase berperan dalam pertumbuhan sel, motilitas, dan diferensiasi. Ketiganya
merupakan ciri khas dari kanker yaitu pertumbuhan yang tidak terkendali serta invasi ke
jaringan sekitar atau metastasis.23
Terdapat beberapa modalitas pengelolaan karsinoma hepatosleuler. Pada
dasarnya modalitas tersebut dapat dibagi menjadi modalitas yang bertujuan untuk
kuratif, paliatif, dan suportif. Terapi karsinoma hepatoseluler tergantung dari stadium
penyakit dan fungsi hati. Pada hepatoma yang tidak dapat direseksi, baik pasien dengan
tahap intermediat (BCLC B) maupun stadium lanjut (BCLC C) digunakan terapi
sistemik berupa Tirosin Kinase Inhibitor (TKI).7
Trosin Kinase Inhibitor adalah molekul atau zat yang menghambat aktivitas
enzimatik dari protein tirosine kinase. TKI akan menghambat sinyal pertumbuhan dalam
sel kanker yang diproduksi oleh tirosine kinase. Generasi pertama TKI untuk terapi
6
karsinoma hepatoseluler adalah Sorafenib. Sorafenib merupakan obat inhibitor
multikinase sistemik pertama yang disetujui oleh FDA untuk dipakai dalam terapi HCC
stadium lanjut Dengan demikian, diharapkan Sorafenib dapat menurunkan sinyal
pertumbuhan dalam sel kanker sehingga menghambat perkembangan dari sel kanker.24
7
BAB II
Karsinoma Hepatoseluler
2.1.2. Epidemiologi
8
2.1.3. Etiologi
9
karsinogenesis dalam hati dengan mengintegrasikan genom inang. Ini juga
dapat menginduksi perubahan yang bersifat karsinogenik dengan memodulasi
ekspresi mikro-RNA spesifik-hati seperti miR-155. Integrasi fragmen DNA
HBV dalam genom inang mengubah telomerase reverse transcriptase, yang
mengatur ekspresi gen inang. Mekanisme lain yang diusulkan termasuk
sekresi protein onkogenik dari virus seperti HBX dan protein pra-S2 / S
mutan. HBX secara khusus telah dipelajari dengan seksama dan sekarang
dianggap penting untuk replikasi HBV. Bagian ini akan mengaktifkan
berbagai target seperti jalur RAS / MAPK1 dan PI3k / AKT dan menambah
potensi invasif sel yang terinfeksi HBx. Ia juga dapat bertindak sebagai
transaktivator gen onkogenik lainnya sepertic-myc protooncogene dan dapat
juga memperbanyak diri dengan meningkatkan replikasi HBV.49
B. Infeksi Hepatitis C
Virus ini cenderung menyebabkan infeksi kronis pada 70% -80% dari
kasus yang terinfeksi dibandingkan dengan HBV yang menginduksi
kronisitas hanya pada 10% dari kasus yang terinfeksi. Karsinogenesis HCV
dimediasi oleh faktor yang diinduksi oleh virus dan respons imunologis yang
dihasilkan oleh inang. Replikasi virus tidak menyebabkan kematian sel, tetapi
10
virus cenderung berada di retikulum endoplasma hepatosit, mereplikasi RNA-
nya dan menginduksi sintesis protein nonstrukturalnya seperti NS2, NS3,
NS4A, NS5A, dan NS5B, yang membentuk RNA polimerase yang
bergantung pada RNA dan protein selubung virus.9
Tidak seperti HBV, HCV adalah virus RNA yang tidak
mengintegrasikan materi genomiknya ke dalam genom inang.Produk gen
HCV seperti protein inti mengubah jalur pensinyalan MAPK, sehingga
memengaruhi proliferasi sel. Protein NS5A menghambat jalur p53 yang
memengaruhi siklus sel, proliferasi sel, dan mekanisme antitumor. Agen
antivirus yang lebih barudirancang untuk bertindak langsung terhadap
protease virus HCV. Viremia HCV dikaitkan dengan peningkatan risiko
perkembangan KHS dengan penelitian dari dekade terakhir menunjukkan
penurunan risiko KHS oleh hampir 57% -75% di antara pasien HCV yang
diobati IFN. Dengan agen yang lebih baru tersebut, kejadian keseluruhan dari
KHS yang diinduksi HCV kemungkinan akan berkurang secara signifikan.9
Replikasi HCV menginduksi respon imunologis host yang unik dalam
setiap individu. Respons ini dimediasi oleh faktor-faktor seperti tumor
necrosis factor (TNF-α) dan IFNs dan mengakibatkan cedera sel, kematian,
dan regenerasi. Hepatosit mengalami beberapa siklus kematian dan regenerasi
sel seperti itu, yang mengarah ke jaringan parut dan fibrosis. Tingkat
keparahan fibrosis telah dikaitkan dengan kemungkinan menyembunyikan
KHS meskipun ada penelitian yang menunjukkan perkembangan KHS, yang
tidak berpengaruh terhadap ada tidaknya atau yang memiliki tingkat
keparahan fibrosis yang rendah. Lebih lanjut, tekanan oksidatif pada hepatosit
oleh pembentukan spesies oksigen reaktif (ROS) yang disebabkan oleh virus
dan respons imun inang menyebabkan kematian dan regenerasi sel, yang
kemudian mengarah pada mutasi pada hepatosit dan dengan demikian
memicu perkembangan KHS.9
C. Alkohol
Alkohol telah dikenal oleh banyak orang dapat menyebabkan berbagai
penyakit seperti gangguan pada jantung, vaskular, dan juga pada hati. Hati
11
terkait dengan konsumsi alkohol yang berlebihan dapat menyebabkan sirosis
maupun kanker.9 Sirosis terkait alkohol dianggap sebagai penyebab paling
umum ketiga untuk KHS. Alkohol bekerja secara sinergis dengan virus
hepatotropik untuk meningkatkan kemungkinan perkembangan kanker hati.
Efek ini lebih jelas pada orang-orang yang mengonsumsi lebih dari 60 g
alkohol per hari. Sebuah studi yang meneliti risiko perkembangan KHS di
kalangan pengguna alkohol berat dengan infeksi HCV kronis menunjukkan
bahwa individu memiliki risiko 2,3 (interval kepercayaan 95%: 1,67-3,26)
kali lebih tinggi terkena KHS jika mereka pengguna alkohol berat
(didefinisikan sebagai penggunaan alkohol dari 210–560 g / minggu).39
Mengenai penyakit yang dikaitkan dengan alkohol (ALD), konsumsi
alkohol berat memiliki efek langsung terhadap derajat keparahan dari
penyakit. Oleh sebab itu, alkohol dapat secara independen menyebabkan KHS
dengan perkembangan sirosis terlepas dari adanya virus hepatitis.
Karsinogenesis KHS yang diinduksi oleh alkohol dikaitkan dengan
peradangan berulang dan siklus nekrosis hepatosit dan regenerasi dengan
stres oksidatif, yang akhirnya mengakibatkan sirosis.39
D. Aflatoxin B1
Aflatoxin B1 adalah kimia yang diketahui paling berpotensi
membentuk kanker hati. Ia adalah suatu produk dari suatu jamur yang disebut
Aspergillus flavus, yang ditemukan dalam makanan yang telah tersimpan
dalam suatu lingkungan yang panas dan lembab. Jamur ini ditemukan pada
makanan seperti kacang-kacang tanah, beras, kacang-kacang kedelai, jagung,
dan gandum. Aflatoxin B1 telah dilibatkan pada perkembangan kanker hati di
China Selatan dan Afrika Sub-Sahara. Ia diperkirakan menyebabkan kanker
dengan menghasilkan perubahan-perubahan (mutasi-mutasi) pada gen p53.
Mutasi-mutasi ini bekerja dengan mengganggu fungsi-fungsi penekan tumor
yang penting dari gen.39
E. Sirosis
12
Faktor risiko utama untuk perkembangaan KHS adalah sirosis,
penyebab utama di antaranya adalah infeksi HBV dan HCV. Memang ada
bukti yang menunjukkan bahwa 50% dari semua kasus KHS di seluruh dunia
dikaitkan dengan infeksi HBV, dengan 25% yang lain terkait dengan HCV.
Walaupun insidensi dari penyakit yang mendasari tersebut memberikan
kontribusi timbulnya sirosis yang menyebabkan perkembangan KHS,
perkembangan sirosis dan perkembangan menjadi KHS adalah hal yang
kompleks dan melibatkan kombinasi etiologi, misalnya, pasien koinfeksi
dengan HCV dan HBV. Sirosis berkembang setelah periode panjang penyakit
hati kronis dan ditandai oleh penurunan proliferasi hepatosit, yang
menunjukkan kelelahan kapasitas regeneratif hati.39
13
2.1.4. Patofisiologi
14
yang diatur secara negatif oleh mekanisme umpan balik. Mekanisme umpan balik
yang ada pada sel normal tidak terjadi pada HCC dikarenakan inaktivasi p53 yang
disebabkan oleh kelainan kromosom, mutasi genetik dan kerusakan DNA.23
2.1.6. Diagnosis
15
Terdapat beberapa panduan yang dikeluarkan, salah satunya adalah
panduan yang dikeluarkan oleh Asosiasi Amerika yang Mempelajari tentang Liver
(AASLD). Berdasarkan AASLD skrining dilakukan terhadap orang yang
memiliki risiko tinggi menjadi KHS. Skrining awal yang dilakukan adalah US
perut setiap 6 bulan. Nodul lebih kecil dari 1cm perlu dievaluasi dengan US setiap
3 bulan. Nodul yang lebih besar dari 1cm disarankan untuk dievaluasi
menggunakan multifase CT atau MRI.4
16
sistem reproduksi sering disertai dengan peningkatan AFP yang kecil. Pada orang
yang normal, AFP diproduksi dalam kadar yang rendah. Nilai AFP akan
meningkat terutama pada pasien KHS seperti yang dijelaskan di atas. Oleh karena
itu, pasien KHS dengan AFP negatif atau positif lemah dalam serum biasanya
konsisten dengan karakteristik kanker dengan diferensiasi tinggi.42
2.1.6.2. USG
2.1.6.3. Biopsi
Histopatologi dari tumor, selain menjadi alat diagnostik yang penting, juga
memiliki banyak kegunaan lain seperti membedakkan antara tumor primer dengan
tumor sekunder, memengaruhi prognosis dan penentuan pengobatan yang tidak
dapat digantikkan dengan pencitraan ataupun penanda tumor.8 Penting untuk
diketahui bahwa biopsi bukan merupakan kontraindikasi terhadap KHS. Pada
KHS stadium lanjut, biopsi dapat dilakukan untuk menentukan pengobatan yang
tepat melalui metode terapi molekular.11
17
2.1.7. Tatalaksana
18
Gambar 2.9 Tatalaksana KHS berdasarkan staging BCLC.27
19
karsinoma hepatoseluler stadium awal yang tidak cocok untuk reseksi (tumor
multifocal, sirosis yang disertai disfungsi hati berat).5
2.1.8. Prognosis
20
dan ensefalopati. Hasil interpretasi dari CTP score dibagi 3 yaitu (BCLC staging
system and the Child-Pugh system, 2019):
Gambar 2.3 Child-Pugh Score(The Child-Pugh score: Prognosis in chronic liver disease
and cirrhosis
21
BAB III
TIROSIN KINASE INHIBITOR
3.1.1. Definisi
Tirosin kinase adalah sebuah enzim yang dapat mentransfer fosfat dari
ATP ke protein dalam sel. Kelompok fosfat melekat pada asam amino tirosin pada
protein. Tirosin kinase merupakan subkelompok dari kelas yang lebih besar
protein kinase yang menempel gugus fosfat pada asam amino lain (serin dan
treonin). Fosforilasi protein oleh kinase merupakan mekanisme penting dalam
komunikasi sinyal dalam sel (transduksi sinyal) dan mengatur aktivitas selular,
seperti pembelahan sel.37
Gambar 3.1. Struktur dasar reseptor tyrosine kinase dan mekanisme akitvasinya
22
perkembangan kanker. Oleh karena itu, inhibitor kinase, seperti imatinib, sering
dimanfaatkan sebagai pengobatan kanker efektif.37
Selain itu, aktivitas tirosin kinase telah ditentukan dan harus dikaitkan
dengan transformasi seluler . ini juga menunjukkan bahwa fosforilasi dari antigen
T-tengah pada tirosin juga berkaitan dengan transformasi sel, perubahan yang
mirip dengan pertumbuhan sel atau reproduksi.37
Aktivasi reseptor tirosin kinase memerlukan minimal dua reseptor yang
akan terdimerisasi jika suatu ligan (hormon) terikat pada tempat ikatannya. Ketika
dua reseptor terdimerisasi (reseptor insulin teraktivasi), maka tirosin kinase
domain akan saling memfosforilasi ujung C pada residu tirosin, sehingga disebut
autofosforilasi karena terjadi pada reseptor yang sejenis. Selanjutnya tirosin yang
terfosforilasi akan bertindak sebagai tempat ikatan berafinitas tinggi bai suatu
adaptor protein yaitu protein yang memiliki SH2 domain (SH2= Src homology
regions 2). Adaptor protein ini berikatan dengan suatu guanyl nucleotide-releas
protein (GNRP). Jika GNRP teraktivasi, dia menyebabkan protein G bernama Ras
(suatu protein yang termasuk GTPase monomerik, dan merupakan protein yang
penting dalam transduksi signal melalui reseptor tirosin kinase) untuk melepaskan
GDP dan menukarnya dengan GTP. Transduksi sinyalnya dapat dilihat sebagai
berikut:
23
Signal transduksi pada reseptor tirosin kinase ada dua jalur yaitu:
a.Jalur Ras/Raf/MAP kinase, yaitu jalur yang berperan dalam pembelahan
sel, pertumbuhan dan prliferasi sel. Contohnya adalah reseptor growth
factor seperti: reseptor EGF, reseptor VEGF, reseptor insulin, dll.
b. Jalur Jak/Stat, yang diaktivasi oleh berbagai cytokines dan mengontrol
sintesis dan pelepasan berbagai mediator inflamasi. Contohnya adalah
pada reseptor sitokin.
24
Gambar 3.3. Transduksi Signal pada Reseptor Growth Factor Melalui Jalur Ras/Raf/MAP Kinase
25
3.1.4. Peranan Reseptor Tirosin Kinase pada Penyakit Kanker
Tentu dalam konsep perkembangan dari sel kanker, yang paling berkaitan
adalah fungsi jalur persinyalan reseptor tyrosine kinase pada proliferasi,
diferensiasi, dan motilitas dari sel. Untuk lebih memahami, di bawah ini adalah
contoh skema mengenai jalur sinyal yang dibawahi oleh reseptor tirosin kinase
yang berperan dalam perkembangan sel kanker:40
Gambar 3.4. Jalur persinyalan reseptor tirosine kinase yang berperan pada perkembangan
sel kanker
Dari gambar di atas, tampak bahwa reseptor tirosin kinase ini berperan
dalam sinyal pertumbuhan sel, motilitas, dan diferensiasi. Ketiganya merupakan
ciri khas dari kanker adalah pertumbuhan yang tidak terkendali serta invasi ke
jaringan sekitarnya atau metastasis. Sifat-sifat dari sel kanker tadi muncul salah
satunya adalah mutasi dari anggota protein yang terlibat dalam persinyalan yang
dibawa oleh tirosin kinase. Mutasi ini menyebabkan munculnya sinyal kuat untuk
sel kanker berkembang biak.37
Dikarenakan terjadinya aktivitas tidak terkendali dari persinyalan tirosine
kinase berperan dalam perkembangbiakan dan survival dari sel kanker, maka
beralasan untuk menghambat sinyal tyrosine-kinase untuk menghambat
26
pertumbuhan sel kanker. Di sinilah kerja dari tyrosine-kinase inhibitor (TKI). TKI
akan menghambat sinyal pertumbuhan dalam sel kanker yang diproduksi oleh
tyrosine kinase. Dengan demikian, diharapkan TKI dapat menurunkan sinyal
tumbuh sehingga menghambat perkembangan dari sel kanker.40
3.2.1. Definisi
Tirosin Kinase Inhibitor adalah molekul atau zat yang menghambat
aktivitas enzimatik dari protein tirosin kinase. Tirosin kinase merupakan
sekelompok keluarga reseptor yang memiliki ciri memiliki domain tyrosine kinase
27
di sisi intraseluler dari reseptor tersebut. Kelompok reseptor ini memiliki banyak
anggota dan terlibat dalam proses metabolisme, pertumbuhan sel, diferensiasi sel,
dan pergerakan atau motilitas sel.8
28
3.2.4. Farmakokinetika Sorafenib
Bioavailibilitas oral dari sorafenib adalah 38-49%. Puncak kadar obat
dalam plasma tercapai dalam ~3 jam dan kadar steady state dicapai setelah 7 hari
mulai konsumsi obat. Bioavailibilitas ini berkurang 29% apabila sorafenib
dikonsumsi bersama-sama dengan makanan berkadar lemak tinggi. Dalam darah,
sorafenib terikat 99,5% pada protein plasma.8
Metabolisme sorafenib dilakukan oleh oksidasi CYP3A4 dan
glukuronidasi oleh UGT1A9. Di usus, glukuonidase bakteri dapat memecah obat
yang telah terkonjugasi sehingga obat akan menjadi aktif kembali dan mengalami
reabsorpsi. Sebanyak 77% obat diekskresikan atau dieliminasi melalui feses
sedangkan 19% melalui urin dalam bentuk metabolit terglukuronidasi. Adapun
waktu paru eliminasi adalah ~25-48 jam.
Disebabkan sorafenib dimetabolisme oleh CYP3A4, maka tidak boleh
dikonsumsi bersama-sama dengan obat-obatan lain yang mneginduksi CYP3A4
seperti karbamazepin, deksametason, fenobarbital, fenitoin, rifampicin, rifabutin,
dll. Selain itu, hati-hati pula pemakaian sorafenib bersamaan dengan docetaxel.8
29
3.2.6. Efek Samping Sorafenib
Secara umum sorafenib dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien. Efek
samping yang umum terjadi adalah gangguan saluran pencernaan seperti diare
kemudian anoreksia, alopesia, kelelahan, dan disfungsi hati. Adapun efek samping
spesifik berupa reaksi kulit di tangan dan kaki, hipertensu, perdarahan, infark
miokard, dan pemanjangan QT.8
3.2.7. Generasi Baru TKI dan Imunoterapi untuk Terapi Kanker Hati
Selain sorefenib, saat ini juga diteliti obat inhibitor TKI lainnya. Adapun
obat-obatan tersebut adalah sebagai berikut:2
Gambar 3.5. Terapi Sistemik Karsinoma Hepatoseluler Lini Pertama dan Lini Kedua
Berdasarkan Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG) 2020.
30
Lenvatinib bekerja pada beberapa target molekuler, termasuk reseptor
VEGFR1–3, FGFR1–4, PDGFR, KIT (reseptor faktor sel induk), dan RET (diatur
ulang selama transfeksi). Karena target ini bertindak sebagai pendorong masuk
kanker, lenvatinib menunjukkan aktivitas antitumor dan imunomodulator dalam
berbagai model kanker praklinik terutama di HCC.3
31
3.2.10. Sorafenib dan Lenvatinib sebagai Terapi Sistemik Lini Pertama pada
Karsinoma Hepatoseluler Stadium Lanjut
Saat ini lenvatinib dan sorafenib adalah pengobatan lini pertama pasien
karsinoma hepatoseluler. Namun, strategi terapeutik untuk pasien klinis harus
diformulasikan sesuai dengan ciri khasnya sedemikian rupa pasien dapat
menerima manfaat terbesar dari pengobatan. Disini kita menyimpulkan parameter
yang dapat membantu kita membuat pilihan yang tepat antara lenvatinib dan
sorafenib.4
Menurut bukti terkini dari penelitian REFLECT, dibandingkan dengan
penyakit yang disebabkan oleh HCV dan konsumsi alkohol, lenvatinib sebaiknya
dipilih untuk pasien dengan latar belakang HBV. karena khasiatnya lebih besar
dari sorafenib. Dibandingkan dengan di negara-negara Barat, pasien di kawasan
Asia-Pasifik mendapat manfaat lebih dari pengobatan dengan menggunakan
lenvatinib. Analisis subkelompok menunjukkan bahwa sorafenib seharusnya
merupakan pilihan pertama untuk pasien dengan etiologi HCV, fungsi hati
terlindungi dan tidak ada penyebaran ekstrahepatik, sementara lenvatinib kurang
efektif untuk pasien karsinoma hepatoseluler yang disebabkan oleh HCV.4
Selain itu, untuk lenvatinib dan sorafenib, pasien dengan konsentrasi AFP
awal <200 ng/ml memiliki harapan hidup lebih lama dari pasien dengan
konsentrasi AFP ≥200 ng/ml. Hal ini bukan berarti pasien dengan konsentrasi
AFP ≥200 ng/ml tidak dapat memperoleh manfaat pengobatan.4
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yan Zhou (2020), penderita
dengan konsentrasi AFP ≥ 200 ng/ml dapat memperoleh manfaat yang lebih besar
dengan penggunaan lenvatinib jika dibandingkan dengan sorafenib, meskipun
subjek penelitian tidak dikelompokkan menurut tingkat AFP sejak awal.4
Pasien dengan VEGF lebih tinggi, angiopoietin-2 (Ang2), dan tingkat
dasar FGF21 dikaitkan dengan harapan hidup yang lebih buruk pada kelompok
lenvatinib dan sorafenib. Namun, memilih pengobatan lenvatinib dapat membawa
manfaat yang lebih lama untuk pasien dengan FGF21 awal yang tinggi
dibandingkan sorafenib (median, 10,9 vs 6,8 bulan).20
32
Makoto dkk. juga membuktikan bahwa perubahan awal pada kedua
FGF19 yang beredar dan tingkat Ang-2 selama pengobatan mungkin berguna
untuk memprediksi keadaan klinis pasien. Peneliti telah menunjukkan bahwa
Ang2 dapat memprediksi pengurangan tumor.20
33
BAB IV
KESIMPULAN
34
DAFTAR PUSTAKA
35
10. Kenwal K, Richardson P, El serag H. A new laboratory based algorithm to
predict developmentof hepatocelluler carcinoma patients with hepatic and
chirosis. Gastroenterology. 2016;146:1249–55.
11. Kew MC. Hepatocelluler carcinoma: Epidemology and riskfactor. J
Hepatocelluler Carcinoma. 2017;115–25.
12. Kumar V., Kato N., Urabe Y., Takahashi A., Muroyama R., Hosono N.,
Otsuka M., Tateishi R., Omata M., Nakagawa H., Koike K., Kamatani N.,
Kubo M., Nakamura Y., Matsuda K. Genome-wide association study
identifies a susceptibility locus for HCV-induced hepatocellular
carcinoma. Nat. Genet. 2011;43(5):455–458. doi: 10.1038/ng.809
13. Llovet JM, Ricci S, Mazzaferro V, Hilgard P, Gane E, Blanc JF, et al.
Sorafenib in advanced hepatocellular carcinoma. N Engl J Med
2008;359:378-390.
14. Marrero JA, Kulik LM, Sirlin CB, et al. Diagnosis, Staging, and
Management of Hepatocellular Carcinoma: 2018 Practice Guidance by the
American Association for the Study of Liver Diseases. Hepatology
2018;68(2): 723-50
15. Misradji J, Yerian L, Deshpande V, Kim, GE, MIno-Kenidson M, Kakar S, et
al. Diagnostic pathology hepatobiliary and pancreatic.Canada: Amirys:2018
16. Park Y. Update on precursor and early lesions of hepatocellular
carcinoma.2017;135:704–15.
17. Raoul JL, Kudo M, Finn RS, Edeline J, Reig M, Galle PR. Systemic therapy
for intermediate and advanced hepatocellular carcinoma: Sorafenib and
beyond. Cancer Treat Rev. 2018;68(January):16–24..
36
20. R.S. Finn, M. Kudo, A.-L. Cheng, L. Wyrwicz, R. Ngan, J.F. Blanc, et al.,
59PD - Final analysis of serum biomarkers in patients (pts) from the phase III
study of lenvatinib (LEN) vs sorafenib (SOR) in unresectable hepatocellular
carcinoma (uHCC) [REFLECT], Ann. Oncol. 29 (2018) viii17–viii18.
21. Yumi Kosaka, Kawaoka Tomokazu, Kazuaki Chayama. A Case of
Advidanced HCC Treated with Lenvatinib After Hepatic Arterial Infusion
Chemotherapy Combined with Radiation Therapy Treatment For Portal Vein
Tumor Thrombosis In The Main Trunk. Clinical Journal Of Gastroenterology.
(2020) 13, 839-843.
22. Zhaonan Liu, Xingjie Li, Xuequn He, Yingchun Xu, Xi Wang. Complete
Response To The Combination of Lenvatinib and Pembrolizumab In An
Advanced Hepatocellular Carcinoma Patient. BMC Cancer. (2019) 19:1062.
https://doi.org/10.1186/s12885-019-6287-8
37