Anda di halaman 1dari 37

Tinjauan Pustaka

PERAN TIROSIN KINASE INHIBITOR SEBAGAI TERAPI PADA


KARSINOMA HEPATOSELULER

Disusun Oleh :
FITRIL WALIDA
H1AP14052

Pembimbing:
dr. Ety Febrianti, Sp.PD., FINASIM

KEPANITRAAN KLINIK
BAGIAN PENYAKIT DALAM TERINTEGRASI
RSUD DR. M.YUNUS BENGKULU
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2021

1
HALAMAN PENGESAHAN

Nama Mahasiswa : Fitril Walida


NPM : H1AP14052
Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Judul : Peran Tirosin Kinase Inhibitor Sebagai Terapi pada Karsinoma
Hepatoseluler
Bagian : Ilmu Penyakit Dalam
Pembimbing : dr. Ety Febrianti, Sp.PD., FINASIM

Bengkulu, 8 April 2021


Pembimbing

dr. Ety Febrianti, Sp.PD., FINASIM

2
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan refrat dengan judul “Peran Tirosin
Kinase Inhibitor Sebagai Terapi Pada Karsinoma Hepatoseluler”.
Refrat ini disusun untuk memenuhi salah satu komponen penilaian Kepaniteraan
Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr. M. Yunus, Fakultas Kedokteran
Universitas Bengkulu.
Pada kesempatan ini, penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. Ety
Febrianti, Sp.PD., FINASIM sebagai pembimbing yang telah bersedia membimbing
penulis, meluangkan waktu dan telah memberikan masukan, petunjuk serta bantuan
dalam penyusunan tugas ini.
Penulis menyadari bahwa refrat ini belum sempurna, oleh karena itu penulis
mengharapkan kritikan dan saran sehingga refrat ini dapat menjadi lebih baik lagi. Akhir
kata semoga refrat ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bengkulu, 10 April 2021


Penulis

Fitril Walida

3
Daftar Isi

HALAMAN PENGESAHAN...........................................................................................2

KATA PENGANTAR.......................................................................................................3

BAB I.................................................................................................................................6

PENDAHULUAN.............................................................................................................6

BAB II................................................................................................................................8

Karsinoma Hepatoseluler...................................................................................................8

2.1. Karsinoma Hepatoseluler..............................................................................8

2.1.1. Definisi.............................................................................................................8

2.1.2. Epidemiologi....................................................................................................8

2.1.3. Etiologi.............................................................................................................8

2.1.4. Patofisiologi...................................................................................................13

2.1.5. Gejala Klinis..................................................................................................14

2.1.6. Diagnosis........................................................................................................14

2.1.7. Tatalaksana....................................................................................................16

2.1.8. Prognosis........................................................................................................18

BAB III............................................................................................................................20

TIROSIN KINASE INHIBITOR.....................................................................................20

3.1. Tirosin Kinase.............................................................................................20

3.1.1. Definisi...........................................................................................................20

3.1.2. Mekanisme Kerja Tirosin Kinase..................................................................20

3.1.3. Reseptor Tirosin kinase..................................................................................22

3.1.4. Peranan Reseptor Tirosin Kinase pada Penyakit Kanker..............................24

3.1.5. Mutasi Jalur Persinyalan Tirosine Kinase pada Kanker Hati........................25

4
3.2. Tirosin Kinase Inhibitor..............................................................................25

3.2.1. Definisi...........................................................................................................25

3.2.2. Sorafenib: Generasi Pertama TKI untuk Terapi Kanker Hati........................26

3.2.3. Inhibisi Tirosine Kinase dari Sorafenib.........................................................26

3.2.4. Farmakokinetika Sorafenib............................................................................27

3.2.5. Bukti Klinis Sorafenib...................................................................................27

3.2.6. Efek Samping Sorafenib................................................................................28

3.2.7. Generasi Baru TKI dan Imunoterapi untuk Terapi Kanker Hati...................28

BAB IV............................................................................................................................32

KESIMPULAN................................................................................................................32

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................33

5
BAB I
PENDAHULUAN

Karsinoma hepatoselular atau yang lazim disebut hepatoma atau KHS adalah
kanker primer pada hati yang berkembang dari sel-sel utama hati yang disebut hepatosit.
Hepatoma merupakan kanker pada hati yang paling banyak ditemukan, sekitar 75 persen
dari semua keganasan hati.38 Hepatoma atau karsinoma hepatoseluler adalah masalah
kesehatan utama yang menduduki peringkat keenam sebagai kanker yang paling sering
didiagnosis dan sekaligus peringkat keempat sebagai penyebab kematian akibat kanker
di seluruh dunia.4
Hepatoma terbentuk melalui proses hepatokarsinogenesis, dimana terjadi
transformasi sel-sel hati yang tidak ganas menjadi karsinoma hepatoseluler secara
bertahap.34 Pada pertumbuhan kanker hati, beberapa pasien mungkin mengalami gejala
seperti nyeri di perut sebelah kanan atas meluas ke bagian belakang dan bahu, bloating,
berat badan menurun, kehilangan nafsu makan, kelelahan, mual, muntah, demam, dan
ikterus.12 Mekanisme molekuler dan seluler yang mendasari transformasi sel-sel yang
semula tidak ganas menjadi hepatoma belum sepenuhnya diketahui. Faktor risiko yang
diduga memicu hepatoma bervariasi pada satu individu dengan individu lain.4
Salah satu faktor yang berperan dalam perkembangbiakan sel kanker ialah
adanya aktivitas tidak terkendali dari persinyalan tirosin kinase dalam tubuh. Reseptor
tirosin kinase berperan dalam pertumbuhan sel, motilitas, dan diferensiasi. Ketiganya
merupakan ciri khas dari kanker yaitu pertumbuhan yang tidak terkendali serta invasi ke
jaringan sekitar atau metastasis.23
Terdapat beberapa modalitas pengelolaan karsinoma hepatosleuler. Pada
dasarnya modalitas tersebut dapat dibagi menjadi modalitas yang bertujuan untuk
kuratif, paliatif, dan suportif. Terapi karsinoma hepatoseluler tergantung dari stadium
penyakit dan fungsi hati. Pada hepatoma yang tidak dapat direseksi, baik pasien dengan
tahap intermediat (BCLC B) maupun stadium lanjut (BCLC C) digunakan terapi
sistemik berupa Tirosin Kinase Inhibitor (TKI).7
Trosin Kinase Inhibitor adalah molekul atau zat yang menghambat aktivitas
enzimatik dari protein tirosine kinase. TKI akan menghambat sinyal pertumbuhan dalam
sel kanker yang diproduksi oleh tirosine kinase. Generasi pertama TKI untuk terapi

6
karsinoma hepatoseluler adalah Sorafenib. Sorafenib merupakan obat inhibitor
multikinase sistemik pertama yang disetujui oleh FDA untuk dipakai dalam terapi HCC
stadium lanjut Dengan demikian, diharapkan Sorafenib dapat menurunkan sinyal
pertumbuhan dalam sel kanker sehingga menghambat perkembangan dari sel kanker.24

7
BAB II
Karsinoma Hepatoseluler

2.1. Karsinoma Hepatoseluler


2.1.1. Definisi

Karsinoma hepatoseluler adalah kanker yang berasal dari sel-sel hati.


Hepatoma merupakan kanker hati primer yang paling sering ditemukan. Tumor
ini merupakan tumor ganas primer pada hati yang berasal dari sel parenkim atau
epitel saluran empedu atau metastase dari tumor jaringan lainnya27

2.1.2. Epidemiologi

Menurut “Global cancer statistics 2018” yang dikeluarkan oleh American


Cancer Society, kanker hati menduduki peringkat keenam sebagai kanker yang
paling sering didiagnosis dan peringkat keempat sebagai penyebab kematian
akibat kanker di seluruh dunia. Terdapat sekitar 841.000 kasus baru dan 782.000
kematian setiap tahunnya. Insidensi dan mortalitasnya pada pria 3 kali lebih tinggi
dibanding pada wanita di sebagian besar wilayah dunia dengan insidensi tertinggi
pada usia 45-65 tahun.21

8
2.1.3. Etiologi

Gambar 2.1. Etiologi Karsinoma Hepatoseluler


A. Infeksi Hepatitis B

Virus hepatitis B adalah virus DNA sirkular untaian ganda yang


memiliki selubung, dari genus Orthohepadnaviridae dari famili
Hepadnaviridae. HBV memiliki tropisme untuk hepatosit, yang masuk
melalui reseptor polipeptida natrium taurocholate cotransporting. Setelah
masuk, nukleokapsidnya dilepaskan ke dalam sitosol dan kemudian
ditranslasikan bersama mikrotubulus ke nukleus, di mana DNA HBV
dilepaskan dari nukleokapsid. DNA HBV kemudian dikonversi menjadi DNA
melingkar tertutup secara kovalen (cccDNA), yang disusun menjadi
kromosom mini dalam inti sel yang terinfeksi dengan mengikat histon dan
non-histon seperti protein HBX dan protein inti HBV.49

Struktur minikromosom cccDNA dihipotesiskan akan resisten


terhadap terapi antivirus dan dengan demikian bertanggung jawab terhadap
kekambuhan setelah pengobatan dengan obat antivirus. HBV memulai proses

9
karsinogenesis dalam hati dengan mengintegrasikan genom inang. Ini juga
dapat menginduksi perubahan yang bersifat karsinogenik dengan memodulasi
ekspresi mikro-RNA spesifik-hati seperti miR-155. Integrasi fragmen DNA
HBV dalam genom inang mengubah telomerase reverse transcriptase, yang
mengatur ekspresi gen inang. Mekanisme lain yang diusulkan termasuk
sekresi protein onkogenik dari virus seperti HBX dan protein pra-S2 / S
mutan. HBX secara khusus telah dipelajari dengan seksama dan sekarang
dianggap penting untuk replikasi HBV. Bagian ini akan mengaktifkan
berbagai target seperti jalur RAS / MAPK1 dan PI3k / AKT dan menambah
potensi invasif sel yang terinfeksi HBx. Ia juga dapat bertindak sebagai
transaktivator gen onkogenik lainnya sepertic-myc protooncogene dan dapat
juga memperbanyak diri dengan meningkatkan replikasi HBV.49

Kerusakan hati kronis menginduksi fibrogenesis dan respon inflamasi


menginduksi fibrosis di hati yang mengarah ke sirosis dan adanya sirosis dan
infeksi HBV semakin meningkatkan risiko perkembangan KHS. Menariknya,
orang-orang yang terinfeksi HBV yang nonsirosis juga terbukti
mengembangkan KHS. Dalam sebuah studi pada 44 pasien dengan individu
KHS nonsirosis positif HBV dibandingkan dengan pembawa HBV kronis
tanpa KHS untuk faktor risiko KHS, Liu et al. menunjukkan risiko yang lebih
tinggi untuk berkembang menjadiKHS yang terkait dengan jenis kelamin
laki-laki, konsenterasi virus yang lebih tinggi, atau mutasi BCP T1762 /
A1764. Diantara pasien yang didiagnosis dengan KHS, sirosis HBV memiliki
konsenterasi virus yang lebih tinggi dibandingkan HBV nonsirosis.50

B. Infeksi Hepatitis C
Virus ini cenderung menyebabkan infeksi kronis pada 70% -80% dari
kasus yang terinfeksi dibandingkan dengan HBV yang menginduksi
kronisitas hanya pada 10% dari kasus yang terinfeksi. Karsinogenesis HCV
dimediasi oleh faktor yang diinduksi oleh virus dan respons imunologis yang
dihasilkan oleh inang. Replikasi virus tidak menyebabkan kematian sel, tetapi

10
virus cenderung berada di retikulum endoplasma hepatosit, mereplikasi RNA-
nya dan menginduksi sintesis protein nonstrukturalnya seperti NS2, NS3,
NS4A, NS5A, dan NS5B, yang membentuk RNA polimerase yang
bergantung pada RNA dan protein selubung virus.9
Tidak seperti HBV, HCV adalah virus RNA yang tidak
mengintegrasikan materi genomiknya ke dalam genom inang.Produk gen
HCV seperti protein inti mengubah jalur pensinyalan MAPK, sehingga
memengaruhi proliferasi sel. Protein NS5A menghambat jalur p53 yang
memengaruhi siklus sel, proliferasi sel, dan mekanisme antitumor. Agen
antivirus yang lebih barudirancang untuk bertindak langsung terhadap
protease virus HCV. Viremia HCV dikaitkan dengan peningkatan risiko
perkembangan KHS dengan penelitian dari dekade terakhir menunjukkan
penurunan risiko KHS oleh hampir 57% -75% di antara pasien HCV yang
diobati IFN. Dengan agen yang lebih baru tersebut, kejadian keseluruhan dari
KHS yang diinduksi HCV kemungkinan akan berkurang secara signifikan.9
Replikasi HCV menginduksi respon imunologis host yang unik dalam
setiap individu. Respons ini dimediasi oleh faktor-faktor seperti tumor
necrosis factor (TNF-α) dan IFNs dan mengakibatkan cedera sel, kematian,
dan regenerasi. Hepatosit mengalami beberapa siklus kematian dan regenerasi
sel seperti itu, yang mengarah ke jaringan parut dan fibrosis. Tingkat
keparahan fibrosis telah dikaitkan dengan kemungkinan menyembunyikan
KHS meskipun ada penelitian yang menunjukkan perkembangan KHS, yang
tidak berpengaruh terhadap ada tidaknya atau yang memiliki tingkat
keparahan fibrosis yang rendah. Lebih lanjut, tekanan oksidatif pada hepatosit
oleh pembentukan spesies oksigen reaktif (ROS) yang disebabkan oleh virus
dan respons imun inang menyebabkan kematian dan regenerasi sel, yang
kemudian mengarah pada mutasi pada hepatosit dan dengan demikian
memicu perkembangan KHS.9
C. Alkohol
Alkohol telah dikenal oleh banyak orang dapat menyebabkan berbagai
penyakit seperti gangguan pada jantung, vaskular, dan juga pada hati. Hati

11
terkait dengan konsumsi alkohol yang berlebihan dapat menyebabkan sirosis
maupun kanker.9 Sirosis terkait alkohol dianggap sebagai penyebab paling
umum ketiga untuk KHS. Alkohol bekerja secara sinergis dengan virus
hepatotropik untuk meningkatkan kemungkinan perkembangan kanker hati.
Efek ini lebih jelas pada orang-orang yang mengonsumsi lebih dari 60 g
alkohol per hari. Sebuah studi yang meneliti risiko perkembangan KHS di
kalangan pengguna alkohol berat dengan infeksi HCV kronis menunjukkan
bahwa individu memiliki risiko 2,3 (interval kepercayaan 95%: 1,67-3,26)
kali lebih tinggi terkena KHS jika mereka pengguna alkohol berat
(didefinisikan sebagai penggunaan alkohol dari 210–560 g / minggu).39
Mengenai penyakit yang dikaitkan dengan alkohol (ALD), konsumsi
alkohol berat memiliki efek langsung terhadap derajat keparahan dari
penyakit. Oleh sebab itu, alkohol dapat secara independen menyebabkan KHS
dengan perkembangan sirosis terlepas dari adanya virus hepatitis.
Karsinogenesis KHS yang diinduksi oleh alkohol dikaitkan dengan
peradangan berulang dan siklus nekrosis hepatosit dan regenerasi dengan
stres oksidatif, yang akhirnya mengakibatkan sirosis.39

D. Aflatoxin B1
Aflatoxin B1 adalah kimia yang diketahui paling berpotensi
membentuk kanker hati. Ia adalah suatu produk dari suatu jamur yang disebut
Aspergillus flavus, yang ditemukan dalam makanan yang telah tersimpan
dalam suatu lingkungan yang panas dan lembab. Jamur ini ditemukan pada
makanan seperti kacang-kacang tanah, beras, kacang-kacang kedelai, jagung,
dan gandum. Aflatoxin B1 telah dilibatkan pada perkembangan kanker hati di
China Selatan dan Afrika Sub-Sahara. Ia diperkirakan menyebabkan kanker
dengan menghasilkan perubahan-perubahan (mutasi-mutasi) pada gen p53.
Mutasi-mutasi ini bekerja dengan mengganggu fungsi-fungsi penekan tumor
yang penting dari gen.39
E. Sirosis

12
Faktor risiko utama untuk perkembangaan KHS adalah sirosis,
penyebab utama di antaranya adalah infeksi HBV dan HCV. Memang ada
bukti yang menunjukkan bahwa 50% dari semua kasus KHS di seluruh dunia
dikaitkan dengan infeksi HBV, dengan 25% yang lain terkait dengan HCV.
Walaupun insidensi dari penyakit yang mendasari tersebut memberikan
kontribusi timbulnya sirosis yang menyebabkan perkembangan KHS,
perkembangan sirosis dan perkembangan menjadi KHS adalah hal yang
kompleks dan melibatkan kombinasi etiologi, misalnya, pasien koinfeksi
dengan HCV dan HBV. Sirosis berkembang setelah periode panjang penyakit
hati kronis dan ditandai oleh penurunan proliferasi hepatosit, yang
menunjukkan kelelahan kapasitas regeneratif hati.39

Hal ini terkait dengan peningkatan jaringan fibrosa dan penghancuran


sel-sel hati, yang berperan sebagai dasar untuk perkembangan nodul pada
kanker.5 Karena sirosis hati memiliki dampak yang signifikan pada cadangan
hati dan sering merupakan bagian integral dari morbiditas dan mortalitas yang
terkait dengan KHS, keberadaan dan keparahan sirosis harus dijelaskan pada
semua pasien untuk menilai prognosis dan membuat rekomendasi
pengobatan.39

13
2.1.4. Patofisiologi

Gambar 2.2. Patofisiologi Karsinoma Hepatoseluler

Mekanisme karsinogenesis KHS belum sepenuhnya diketahui.


Transformasi maligna hepatosit dapat terjadi melalui peningkatan turnover sel hati
yang diinduksi oleh cedera (injury) dan regenerasi kronik dalam bentuk inflamasi
dan kerusakan oksidatif DNA. Hal ini dapat menimbulkan perubahan genetik
seperti perubahan kromosom, aktivasi onkogen selular, inaktivasi gen supresor
tumor, aktivasi telomerase, serta induksi faktor-faktor pertumbuhan maupun
angiogenik. Hepatitis virus kronis, alkohol dan penyakit metabolik seperti
hemokromatosis dan defisiensi antitrypsin-alfa 1 berpotensi menginflamasi sel
hati kemudian berkembang menjadi sirosis hati yang pada akhirnya
bertransformasi menjadi KHS.23

Selama masa hidupnya, sel normal sering terpapar dengan berbagai


tekanan (stress) endogen maupun eksogen yang dapat menyebabkan mutasi dan
mengarah ke pembentukan neoplasma. Gen p53 merupakan suatu gen supresor
tumor yang berfungsi menghentikan siklus G1 checkpoint dan G2 checkpoint
dengan menghambat CDK (Cyclin D Kinase) serta menginduksi proses apoptosis

14
yang diatur secara negatif oleh mekanisme umpan balik. Mekanisme umpan balik
yang ada pada sel normal tidak terjadi pada HCC dikarenakan inaktivasi p53 yang
disebabkan oleh kelainan kromosom, mutasi genetik dan kerusakan DNA.23

Metastasis intrahepatik KHS dapat melalui pembuluh darah, saluran limfe


atau infiltrasi langsung. Metastasis ekstrahepatik dapat melibatkan vena hepatika,
vena porta atau vena kava. Pada beberapa kasus dapat terjadi metastasis pada
varises oesophagus dan paru. Metastasis sistemik tersering ialah ke kelenjar
limfoid hingga mediastinum. Bila metastasis sampai di peritoneum, dapat
menimbulkan asites hemoragik, yang berarti sudah memasuki stadium terminal.23

2.1.5. Gejala Klinis

Pada permulaannya penyakit ini berjalan perlahan, dan banyak tanpa


keluhan. Lebih dari 75% tidak memberikan gejala-gejala khas. Ada penderita
yang sudah ada kanker yang besar sampai 10 cm pun tidak merasakan apa-apa.
Keluhan utama yang sering adalah keluhan sakit perut atau rasa penuh ataupun
ada rasa bengkak di perut kanan atas dan nafsu makan berkurang, berat badan
menurun, dan rasa lemas. Keluhan lain terjadinya perut membesar karena ascites,
mual, tidak bisa tidur, nyeri otot, berak hitam, demam, bengkak kaki, kuning,
muntah, gatal, muntah darah, perdarahan dari dubur, dan lain-lain.6

2.1.6. Diagnosis

Evaluasi laboratorium pada pasien dengan karsinoma hepatoseluler yang


baru didiagnosis KHS harus dilakukan pemeriksaan untuk menentukan tingkat
keparahan penyakit hati yang mendasarinya dan untuk menjelaskan etiologi
penyakit yang mendasarinya. Studi laboratorium harus mencakup hitung darah
lengkap, elektrolit, tes fungsi hati, studi koagulasi (misalnya, rasio normalisasi
internasional (INR) dan waktu tromboplastin parsial (PTT), dan penentuan alfa-
fetoprotein (AFP).

15
Terdapat beberapa panduan yang dikeluarkan, salah satunya adalah
panduan yang dikeluarkan oleh Asosiasi Amerika yang Mempelajari tentang Liver
(AASLD). Berdasarkan AASLD skrining dilakukan terhadap orang yang
memiliki risiko tinggi menjadi KHS. Skrining awal yang dilakukan adalah US
perut setiap 6 bulan. Nodul lebih kecil dari 1cm perlu dievaluasi dengan US setiap
3 bulan. Nodul yang lebih besar dari 1cm disarankan untuk dievaluasi
menggunakan multifase CT atau MRI.4

2.1.6.1. Tumor Marker

Alfa-fetoprotein (AFP), merupakan serum glikoprotein adalah tumor


marker yang umum digunakan untuk KHS. Kandungan AFP dalam serum janin
tinggi dan secara bertahap menurun pada orang dewasa setelah lahir. Rendahnya
kadar AFP dalam darah orang dewasa terutama disebabkan oleh hilangnya
kemampuan untuk mensintesis AFP pada hepatosit dewasa. Ketika sel hati
berubah, sel-sel kanker hati dapat memperoleh kembali kemampuan untuk
mensintesis AFP. Selain kanker hati, tumor ganas dari lambung, pankreas, dan

16
sistem reproduksi sering disertai dengan peningkatan AFP yang kecil. Pada orang
yang normal, AFP diproduksi dalam kadar yang rendah. Nilai AFP akan
meningkat terutama pada pasien KHS seperti yang dijelaskan di atas. Oleh karena
itu, pasien KHS dengan AFP negatif atau positif lemah dalam serum biasanya
konsisten dengan karakteristik kanker dengan diferensiasi tinggi.42

2.1.6.2. USG

Ultrasonografi adalah tes noninvasif yang memungkinkan menentukan


ukuran, lokasi, morfologi dan keterlibatan vaskular pada lesi. Penampilan KHS
pada US bervariasi dan tidak spesifik mulai dari lesi hipo atau hiperekhoik dengan
atau tanpa heterogenitas atau area nekrotik. Modalitas pencitraan ini terbatas
dalam mendeteksi tumor <2 cm dan tumor pada dasar hati dengan pola nodular
difus yang heterogen.43

2.1.6.3. Biopsi

Histopatologi dari tumor, selain menjadi alat diagnostik yang penting, juga
memiliki banyak kegunaan lain seperti membedakkan antara tumor primer dengan
tumor sekunder, memengaruhi prognosis dan penentuan pengobatan yang tidak
dapat digantikkan dengan pencitraan ataupun penanda tumor.8 Penting untuk
diketahui bahwa biopsi bukan merupakan kontraindikasi terhadap KHS. Pada
KHS stadium lanjut, biopsi dapat dilakukan untuk menentukan pengobatan yang
tepat melalui metode terapi molekular.11

17
2.1.7. Tatalaksana

Gambar 1. Tatalaksana berdasarkan Klasifikasi Barcelona Clinic Liver Cancer (BCLC).

Terdapat beberapa modalitas pengelolaan karsinoma hepatosleuler. Pada


dasarnya modalitas tersebut dapat dibagi menjadi modalitas yang bertujuan untuk
kuratif, paliatif, dan suportif. Pemilihan pengelolaan didasarkan pada penyakit
hati yang mendasari, status kapasitas fungsi hati, status fisik pasien, ukuran dan
jumlah nodul. Staging system tersebut sangat penting selain untuk menilai
keberhasilan terapi juga berguna untuk menilai prognosis.5 Beberapa staging
system yang dikenal saat ini adalah klasifikasi TNM, Okuda Staging, The Chinese
University Prognostic Index (CUPI), Cancer of the Liver Italian Program (CLIP),
French staging system, dan The Barcelona-Clinic Liver Cancer (BCLC) staging .
Sistem BCLC merupakan sistem yang banyak dianut saat ini. 16 Sistem
BCLC ini telah disahkan oleh beberapa kelompok di Eropa dan Amerika Serikat,
dan direkomendasikan sebagai klasifikasi yang terbaik sebagai pedoman
pengelolaan, khususnya untuk pasien dengan stadium awal yang bisa
mendapatkan terapi kuratif. Sistem ini menggunakan variabel-variabel yang
berhubungan dengan stadium tumor, status fungsional hati, status fisik pasien, dan
gejala-gejala yang berhubungan kanker. Hubungan antara keempat variabel
tersebut akan menggambarkan hubungannya dengan algoritma pengelolaan.40

18
Gambar 2.9 Tatalaksana KHS berdasarkan staging BCLC.27

Pada stage 0, pasien karsinoma hepatoseluler stadium sangat awal


merupakan kandidat yang tepat untuk reseksi. Untuk stage A, pasien karsinoma
hepatoseluler stadium awal mendapatkan terapi radikal (reseksi, transplantasi hati,
atau pengobatan perkutan). Stage B, pasien dengan stadium menengah dapat
dilakukan terapi kemoembolisasi. Stage C, pasien dengan stadium lanjut
kemungkinan mendapatkan agen baru dalam randomized controlled trials (RCTs).
Sedangkan pada stage D, pasien dengan stadium akhir akan menerima pengobatan
simptomatik.40

Terapi karsinoma hepatoseluler tergantung dari stadium penyakit dan


fungsi hati. Pembedahan merupakan satu-satunya terapi yang mempunyai potensi
sembuh. Pada kasus yang terseleksi dengan baik, angka ketahanan hidup dapat
mencapai 70%. Reseksi merupakan terapi pilihan bagi penderita karsinoma
hepatoseluler tanpa sirosis. Transplantasi hati merupakan pilihan bagi penderita

19
karsinoma hepatoseluler stadium awal yang tidak cocok untuk reseksi (tumor
multifocal, sirosis yang disertai disfungsi hati berat).5

Ablasi lokal atau ablasi radiofrekuensi biasanya diberikan pada penderita


karsinoma hepatoseluler stadium awal yang tidak cocok untuk tindakan
pembedahan. Kemudian transarterial chemoembolization (TACE) merupakan
terapi pilihan bagi penderita karsinoma hepatoseluler stadium menengah yang
tidak dapat dilakukan reseksi, tidak ditemukan adanya invasi vascular maupun
penyebaran ekstrahepatik.5

Terapi lainnya adalah dengan terapi sistemik yang ditujukan pada


hepatoma yang tidak dapat direseksi, baik pasien dengan tahap intermediat
(BCLC B) maupun stadium lanjut (BCLC C). Beberapa pasien akan datang
dengan tanda-tanda lanjut yang khas seperti metastasis ekstrahepatik dan invasi
makrovaskular. Umumnya status pasien sering bermigrasi dari tahap
intermediat(BCLC B) ke tahap lanjut (BCLC C).11

Sorafenib merupakan tirosin kinase inhibitor yang merupakan terapi


sistemik pada pasien hepatoma lanjut dengan invasi vaskular dan/atau metastasis
ekstrahati dengan OS yang meningkat secara signifikan dibandingkan dengan
perawatan suportif. Sorafenib merupakan inhibitor multikinase oral yang
menunjukkan kenaikan angka bertahan hidup.12

2.1.8. Prognosis

Prognosis pada pasien KHS dapat diperoleh melalui staging maupun


grading. Staging yang dapat digunakan pada pasien KHS untuk menentukan
prognosis yaitu Child-Turcotte-Pugh (CTP) score. CTP ini dapat digunakan pada
pasien KHS sebelum atau setelah melakukan tindakan tatalaksana(Fukuda,
2005).Yang dinilai pada CTP score ini ada 5 yaitu bilirubin, albumin, PT, ascites,

20
dan ensefalopati. Hasil interpretasi dari CTP score dibagi 3 yaitu (BCLC staging
system and the Child-Pugh system, 2019):

1. CTP A : Memiliki score 5-6 (Funsi hati normal)


2. CTP B : Memiliki score 7-9 (Kerusakan hati ringan-sedang)
3. CTP C : Memiliki score 10-15 (Kerusakan hati berat)

Gambar 2.3 Child-Pugh Score(The Child-Pugh score: Prognosis in chronic liver disease
and cirrhosis

21
BAB III
TIROSIN KINASE INHIBITOR

3.1. Tirosin Kinase

3.1.1. Definisi
Tirosin kinase adalah sebuah enzim yang dapat mentransfer fosfat dari
ATP ke protein dalam sel. Kelompok fosfat melekat pada asam amino tirosin pada
protein. Tirosin kinase merupakan subkelompok dari kelas yang lebih besar
protein kinase yang menempel gugus fosfat pada asam amino lain (serin dan
treonin). Fosforilasi protein oleh kinase merupakan mekanisme penting dalam
komunikasi sinyal dalam sel (transduksi sinyal) dan mengatur aktivitas selular,
seperti pembelahan sel.37

3.1.2. Mekanisme Kerja Tirosin Kinase

Gambar 3.1. Struktur dasar reseptor tyrosine kinase dan mekanisme akitvasinya

Tirosina kinase banyak ditemukan pada faktor pertumbuhan, terutama


pada domain sitoplasmiknya. Protein kinase dapat bermutasi menyebabkan
pertumbuhan yang tidak diatur di sel, yang merupakan faktor utama bagi

22
perkembangan kanker. Oleh karena itu, inhibitor kinase, seperti imatinib, sering
dimanfaatkan sebagai pengobatan kanker efektif.37
Selain itu, aktivitas tirosin kinase telah ditentukan dan harus dikaitkan
dengan transformasi seluler . ini juga menunjukkan bahwa fosforilasi dari antigen
T-tengah pada tirosin juga berkaitan dengan transformasi sel, perubahan yang
mirip dengan pertumbuhan sel atau reproduksi.37
Aktivasi reseptor tirosin kinase memerlukan minimal dua reseptor yang
akan terdimerisasi jika suatu ligan (hormon) terikat pada tempat ikatannya. Ketika
dua reseptor terdimerisasi (reseptor insulin teraktivasi), maka tirosin kinase
domain akan saling memfosforilasi ujung C pada residu tirosin, sehingga disebut
autofosforilasi karena terjadi pada reseptor yang sejenis. Selanjutnya tirosin yang
terfosforilasi akan bertindak sebagai tempat ikatan berafinitas tinggi bai suatu
adaptor protein yaitu protein yang memiliki SH2 domain (SH2= Src homology
regions 2). Adaptor protein ini berikatan dengan suatu guanyl nucleotide-releas
protein (GNRP). Jika GNRP teraktivasi, dia menyebabkan protein G bernama Ras
(suatu protein yang termasuk GTPase monomerik, dan merupakan protein yang
penting dalam transduksi signal melalui reseptor tirosin kinase) untuk melepaskan
GDP dan menukarnya dengan GTP. Transduksi sinyalnya dapat dilihat sebagai
berikut:

Gambar 3.2. Transduksi Signal pada Reseptor Tirosin Kinase.40

23
Signal transduksi pada reseptor tirosin kinase ada dua jalur yaitu:
a.Jalur Ras/Raf/MAP kinase, yaitu jalur yang berperan dalam pembelahan
sel, pertumbuhan dan prliferasi sel. Contohnya adalah reseptor growth
factor seperti: reseptor EGF, reseptor VEGF, reseptor insulin, dll.
b. Jalur Jak/Stat, yang diaktivasi oleh berbagai cytokines dan mengontrol
sintesis dan pelepasan berbagai mediator inflamasi. Contohnya adalah
pada reseptor sitokin.

3.1.3. Reseptor Tirosin kinase


Reseptor tirosin kinase (RTK) merupakan keluarga reseptor yang memiliki
struktur yang mirip satu sama lain. Keluarga reseptor ini memiliki satu tyrosin
kinase domain, yaitu yang akan memfosforilasi protein pada residu tirosin, satu
hormone binding domain, yaitu tempat ikatan dengan ligan atau hormon, dan satu
segmen karboksil terminal dengan tirosin ganda untuk autofosforilasi.contoh
reseptor yang tergolong reseptor tirosin kinase antara lain adalah reseptor-reseptor
faktor pertumbuhan seperti:40
 EGFR (epithelial growth factor receptor)
 VEGFR (vaskular endothelial growth factor receptor)
 Reseptor sitokin
 Reseptor insulin
a. Reseptor Faktor Pertumbuhan (Growth Factor)
Reseptor growth factor merupakan reseptor yang tergolong reseptor tirosin
kinase yang memiliki peran yang sangat penting bagi pertumbuhan sel. Dengan
adanya ikatan antara suatu growth factor dengan reseptornya, maka akan terjadi
serangkaian peristiwa molekuler yang berujung pada transkripsi gen, seperti
ditunjukkan pada gambar dibawah.

24
Gambar 3.3. Transduksi Signal pada Reseptor Growth Factor Melalui Jalur Ras/Raf/MAP Kinase

Setelah transkripsi gen terjadi, sintesis protein tertentu yang dibutuhkan


pun akan diatur untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan dan proliferasi sel.
Banyak obat dikembangkan dengan growth factor reseptor target aksi, obat kanker
adalah salah satunya. Pada banyak jenis kanker seperti kanker paru, kanker
payudara, kanker prostate, kanker otak dan kanker usus, reseptor growth factor
terekspresi hingga 100 kali lebih banyak dibanbing sel normal. Efek yang
berlebihan ini akan menginisiasi pertumbuhan yang tidak terkontrol dari sel-sel
kanker maupun tanda-tanda seperti penghambatan apoptosis, migrasi sel,
metastase, dan resistensi terhadap terapi standar. Beberapa obat yang beraksi
pada reseptor growtnh factor adalah erlotinib dan gefitinib , suatu inhibitor
reseptor EGF. Selain itu, bevasizumab (avastin) juga merupakan obat antibody
monoclonal terhadap VEGF (vascular endhothelial growth factor), suatu faktor
pro-angiogenesis. Angiogenesis adalah proses pembentukan pembuluh darah baru
disekitar tumor untukm menyuplai kebutuhan nutrisi sel. Penghambatan
angiogenesis merupakan salah satu pendekatan terapi kanker dengan cara
menghentikan suplai darah ketempat terjadinya kanker.40

25
3.1.4. Peranan Reseptor Tirosin Kinase pada Penyakit Kanker
Tentu dalam konsep perkembangan dari sel kanker, yang paling berkaitan
adalah fungsi jalur persinyalan reseptor tyrosine kinase pada proliferasi,
diferensiasi, dan motilitas dari sel. Untuk lebih memahami, di bawah ini adalah
contoh skema mengenai jalur sinyal yang dibawahi oleh reseptor tirosin kinase
yang berperan dalam perkembangan sel kanker:40

Gambar 3.4. Jalur persinyalan reseptor tirosine kinase yang berperan pada perkembangan
sel kanker

Dari gambar di atas, tampak bahwa reseptor tirosin kinase ini berperan
dalam sinyal pertumbuhan sel, motilitas, dan diferensiasi. Ketiganya merupakan
ciri khas dari kanker adalah pertumbuhan yang tidak terkendali serta invasi ke
jaringan sekitarnya atau metastasis. Sifat-sifat dari sel kanker tadi muncul salah
satunya adalah mutasi dari anggota protein yang terlibat dalam persinyalan yang
dibawa oleh tirosin kinase. Mutasi ini menyebabkan munculnya sinyal kuat untuk
sel kanker berkembang biak.37
Dikarenakan terjadinya aktivitas tidak terkendali dari persinyalan tirosine
kinase berperan dalam perkembangbiakan dan survival dari sel kanker, maka
beralasan untuk menghambat sinyal tyrosine-kinase untuk menghambat

26
pertumbuhan sel kanker. Di sinilah kerja dari tyrosine-kinase inhibitor (TKI). TKI
akan menghambat sinyal pertumbuhan dalam sel kanker yang diproduksi oleh
tyrosine kinase. Dengan demikian, diharapkan TKI dapat menurunkan sinyal
tumbuh sehingga menghambat perkembangan dari sel kanker.40

3.1.5. Mutasi Jalur Persinyalan Tirosine Kinase pada Kanker Hati


Pada KHS, mutasi yang melibatkan jalur persinyalan tyrosine kinase
berperan dalam proses proliferasi sel kanker dan angiogenesis. Adapun jenis
reseptor tyrosine kinase yang bermutasi pada HCC meliputi epidermal growth
factor receptor (EGFR), vascular endothelial growth factor receptor
(VEGFR), platelet derived growth factor receptor (PDGFR), fibroblast growth
factor receptor (FGFR), hepatocyte growth factor (HGF)/c- mesenchymal-
epithelial transition factor (c-Met), dan insulin growth factor receptor (IGFR).40
Selain mutasi pada reseptor terdapat pula mutasi jalur intraseluler yang
melibatkan tyrosine kinase yaitu jalur Ras/Raf – mitogen-activated protein
kinases (MAPK) dengan faktor transkripsi yang terlibat adalah extracellular
signal-regulated kinase (ERK) (Ras/Raf – MEK – ERK) serta
jalur phosphatidylinositol 3-kinase (PI3K)/Akt (protein kinase B,
PKB)/mammalian target of rapamycin (mTOR) (PI3K – Akt/PKB – mTOR).
Untuk jalur Ras/Raf – MEK – ERK nantinya akan mengaktivasi gen Jun,
Fos, dan activator protein-1 (AP-1). Gen-gen ini terlibat dalam mendorong
proliferasi dan angiogenesis. Sedangkan jalur PI3K – Akt/PKB – mTOR akan
menyebabkan peningkatan translasi atau sintesis perotein yang berperan dalam
regulasi pertumbugan sel melalui pengaruh mTOR terhadap 4E-RNA binding
protein (4E-BP) dan p70S6 kinase (p70S6K).37

3.2. Tirosin Kinase Inhibitor

3.2.1. Definisi
Tirosin Kinase Inhibitor adalah molekul atau zat yang menghambat
aktivitas enzimatik dari protein tirosin kinase. Tirosin kinase merupakan
sekelompok keluarga reseptor yang memiliki ciri memiliki domain tyrosine kinase

27
di sisi intraseluler dari reseptor tersebut. Kelompok reseptor ini memiliki banyak
anggota dan terlibat dalam proses metabolisme, pertumbuhan sel, diferensiasi sel,
dan pergerakan atau motilitas sel.8

3.2.2. Sorafenib: Generasi Pertama TKI untuk Terapi Kanker Hati


Sorafenib adalah obat inhibitor multikinase yang diberikan secara oral.
Obat ini merupakan obat sistemik pertama yang disetujui oleh FDA untuk dipakai
dalam terapi HCC stadium lanjut. Struktur sorafenib ini dapat dilihat di gambar di
bawah ini:8

3.2.3. Inhibisi Tirosine Kinase dari Sorafenib


Sorafenib menghambat baik reseptor tyrosine kinase di permukaan sel
seperti vascular endothelial growth factor receptor (VEGFR)-1, VEGFR-
2, platelet-derived growth factor receptor (PDGFR)-β, KIT, FLT-3, RET,
RET/PTC dan juga alur downstream dari sinyal intraseluler pada kaskade MAPK
seperti wild-type BRAF, mutan BRAF dan CRAF. Dengan menghambat berbagai
sinyal ini, secara in vitro sorefenib menghambat proliferasi sel HCC dan
menginduksi apoptosis tumor di model binatang dari HCC.8
Pada penelitian, diketahui bahwa inhibitor TKI lain gagal memberi efek
inhibisi pada HCC seperti sorafenib. Hal ini mengindikasikan terdapat mekanisme
tambahan lain disamping inhibisi kinas, seperti downregulation dari p-
STAT3, downregulation dari protein antiapoptotik Bcl-2 yaitu Mcl-1, dan
peningkatan ekspresi p53-upregulated- modulator-of-apoptosis (PUMA).
Disamping itu, diperkirakan sorafenib juga memiliki efek imunomodulator seperti
meningkatkan aktivitas efektor sel T spesifik tumor dan mengurangi populasi sel
imun supressor.8

28
3.2.4. Farmakokinetika Sorafenib
Bioavailibilitas oral dari sorafenib adalah 38-49%. Puncak kadar obat
dalam plasma tercapai dalam ~3 jam dan kadar steady state dicapai setelah 7 hari
mulai konsumsi obat. Bioavailibilitas ini berkurang 29% apabila sorafenib
dikonsumsi bersama-sama dengan makanan berkadar lemak tinggi. Dalam darah,
sorafenib terikat 99,5% pada protein plasma.8
Metabolisme sorafenib dilakukan oleh oksidasi CYP3A4 dan
glukuronidasi oleh UGT1A9. Di usus, glukuonidase bakteri dapat memecah obat
yang telah terkonjugasi sehingga obat akan menjadi aktif kembali dan mengalami
reabsorpsi. Sebanyak 77% obat diekskresikan atau dieliminasi melalui feses
sedangkan 19% melalui urin dalam bentuk metabolit terglukuronidasi. Adapun
waktu paru eliminasi adalah ~25-48 jam.
Disebabkan sorafenib dimetabolisme oleh CYP3A4, maka tidak boleh
dikonsumsi bersama-sama dengan obat-obatan lain yang mneginduksi CYP3A4
seperti karbamazepin, deksametason, fenobarbital, fenitoin, rifampicin, rifabutin,
dll. Selain itu, hati-hati pula pemakaian sorafenib bersamaan dengan docetaxel.8

3.2.5. Bukti Klinis Sorafenib


Dasar disetujuinya penggunaan sorafenib adalah penelitian SHARP dan
dan Sorafenib Asia–Pacific (AP) Trial (lihat referensi di bawah). Pada penelitian
tersebut pasien dirandomisasi mendapatkan obat sorafenib 400 mg dua kali sehari
atau plasebo. Adapun hasil dari RCT tersebut adalah sebagai berikut:

Tabel 3.1.Rangkuman RCT sorafenib (SHARP dan AP trial)

29
3.2.6. Efek Samping Sorafenib
Secara umum sorafenib dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien. Efek
samping yang umum terjadi adalah gangguan saluran pencernaan seperti diare
kemudian anoreksia, alopesia, kelelahan, dan disfungsi hati. Adapun efek samping
spesifik berupa reaksi kulit di tangan dan kaki, hipertensu, perdarahan, infark
miokard, dan pemanjangan QT.8

3.2.7. Generasi Baru TKI dan Imunoterapi untuk Terapi Kanker Hati
Selain sorefenib, saat ini juga diteliti obat inhibitor TKI lainnya. Adapun
obat-obatan tersebut adalah sebagai berikut:2

Gambar 3.5. Terapi Sistemik Karsinoma Hepatoseluler Lini Pertama dan Lini Kedua
Berdasarkan Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG) 2020.

3.2.8. Lenvatinib: Terapi Sistemik Karsinoma Hepatoseluler Lini Pertama

Pada Agustus 2018, FDA menyetujui lenvatinib, penghambat faktor


pertumbuhan endotel vaskular (VEGF), untuk pengobatan lini pertama kanker hati
yang tidak dapat dioperasi. Persetujuan didasarkan pada uji coba REFLECT fase
III, yang menunjukkan bahwa lenvatinib tidak lebih rendah dari sorafenib untuk
pengobatan lini pertama HCC.  Median OS adalah 13,6 bulan dengan lenvatinib
vs 12,3 bulan dengan sorafenib.

30
Lenvatinib bekerja pada beberapa target molekuler, termasuk reseptor
VEGFR1–3, FGFR1–4, PDGFR, KIT (reseptor faktor sel induk), dan RET (diatur
ulang selama transfeksi). Karena target ini bertindak sebagai pendorong masuk
kanker, lenvatinib menunjukkan aktivitas antitumor dan imunomodulator dalam
berbagai model kanker praklinik terutama di HCC.3

3.2.9. Pengaruh Lenvatinib terhadap Ukuran Tumor

Pada penelitian yang dilakukan oleh Yumi et al (2020) didapatkan tidak


adanya perubahan ukuran tumor pada Karsinoma Hepatoseluler yang sudah
diterapi dengan Lenvatinib 12 mg/hari selama 1 bulan.21
Pada penelitian yang dilakukan oleh Lieu et al (2019) didapatkan adanya
penurunan lesi tumor yang signifikan setelah pemberian lenvatinib yang
dikombinasikan dengan pembrolizumab selama 9 bulan pada pasien dengan
karsinoma hepatoseluler stadium lanjut. CT Scan menunjukan adanya penyusutan
ukuran tumor dan kadar AFP juga mengalami penurunan.22

31
3.2.10. Sorafenib dan Lenvatinib sebagai Terapi Sistemik Lini Pertama pada
Karsinoma Hepatoseluler Stadium Lanjut

Saat ini lenvatinib dan sorafenib adalah pengobatan lini pertama pasien
karsinoma hepatoseluler. Namun, strategi terapeutik untuk pasien klinis harus
diformulasikan sesuai dengan ciri khasnya sedemikian rupa pasien dapat
menerima manfaat terbesar dari pengobatan. Disini kita menyimpulkan parameter
yang dapat membantu kita membuat pilihan yang tepat antara lenvatinib dan
sorafenib.4
Menurut bukti terkini dari penelitian REFLECT, dibandingkan dengan
penyakit yang disebabkan oleh HCV dan konsumsi alkohol, lenvatinib sebaiknya
dipilih untuk pasien dengan latar belakang HBV. karena khasiatnya lebih besar
dari sorafenib. Dibandingkan dengan di negara-negara Barat, pasien di kawasan
Asia-Pasifik mendapat manfaat lebih dari pengobatan dengan menggunakan
lenvatinib. Analisis subkelompok menunjukkan bahwa sorafenib seharusnya
merupakan pilihan pertama untuk pasien dengan etiologi HCV, fungsi hati
terlindungi dan tidak ada penyebaran ekstrahepatik, sementara lenvatinib kurang
efektif untuk pasien karsinoma hepatoseluler yang disebabkan oleh HCV.4
Selain itu, untuk lenvatinib dan sorafenib, pasien dengan konsentrasi AFP
awal <200 ng/ml memiliki harapan hidup lebih lama dari pasien dengan
konsentrasi AFP ≥200 ng/ml. Hal ini bukan berarti pasien dengan konsentrasi
AFP ≥200 ng/ml tidak dapat memperoleh manfaat pengobatan.4
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yan Zhou (2020), penderita
dengan konsentrasi AFP ≥ 200 ng/ml dapat memperoleh manfaat yang lebih besar
dengan penggunaan lenvatinib jika dibandingkan dengan sorafenib, meskipun
subjek penelitian tidak dikelompokkan menurut tingkat AFP sejak awal.4
Pasien dengan VEGF lebih tinggi, angiopoietin-2 (Ang2), dan tingkat
dasar FGF21 dikaitkan dengan harapan hidup yang lebih buruk pada kelompok
lenvatinib dan sorafenib. Namun, memilih pengobatan lenvatinib dapat membawa
manfaat yang lebih lama untuk pasien dengan FGF21 awal yang tinggi
dibandingkan sorafenib (median, 10,9 vs 6,8 bulan).20

32
Makoto dkk. juga membuktikan bahwa perubahan awal pada kedua
FGF19 yang beredar dan tingkat Ang-2 selama pengobatan mungkin berguna
untuk memprediksi keadaan klinis pasien. Peneliti telah menunjukkan bahwa
Ang2 dapat memprediksi pengurangan tumor.20

33
BAB IV
KESIMPULAN

Karsinoma Hepatoseluler adalah tumor hati primer yang paling sering


didapat. Saat ini, pengobatan secara sistemik KHS sangat terbatas dan satu-
satunya obat sistemik yang dapat diberikan adalah sorafenib. Sorafenib
merupakan kelompok obat Tirosin Kinase Inhibitor multitarget dan digunakan
pada karsinoma hepatoseluler stadium lanjut. Saat ini mulai bermunculan TKI
generasi terbaru dalam terapi untuk karsinoma hepatoseluler. Penelitian untuk
TKI generasi terbaru ini beberapa sudah masuk uji klinis fase 3 dan menunggu
hasil dari penelitian-penelitian tersebut yang menentukan apakah akan ada lini
pengobatan terbaru selain sorafenib untuk kasus KHS stadium lanjut.

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Bray F, Ferlay J, Soerjomataram I, Siegel RL, Torre LA, Jemal A. Global


Cancer Statistics 2018: GLOBOCAN Estimates of Incidence and Mortality
Worldwide for 36 Cancers in 185 Countries. CA: a cancer journal for
clinicians. 2018 Sep 12; doi: 10.3322/caac.21492
2. Bruix J, da Fonseca LG, Reig M. Insights into the success and failure of
systemic therapy for hepatocellular carcinoma. Nat Rev Gastroenterol
Hepatol. 2019;16:617-630
3. Y. Kato, X. Bao, S. MacGrath, K. Tabata, Y. Hori, S. Tachino, M. Matijevici,
Y. Funahashi, J. Funahashi, Lenvatinib mesilate (LEN) enhanced antitumor
activity of a PD-1 blockade agent by potentiating Th1 immune response, Ann.
Oncol. 27 (2019).
4. Yan Zhou, Ya-Ni Zhang, Kai Ting Wang, Lei Chen. Lenvatinib for
hepatocellular carcinoma: From preclinical mechanisms to anti-cancer
therapy. BBA Review Cancer. 2020. 18(8)3:91
5. Piñero F, Silva M, Iavarone M. Sequencing of systemic treatment for
hepatocellular carcinoma: Second line competitors. World J
Gastroenterol 2020; 26(16)
6. Du Z, Lovly CM. Mechanisms of receptor tyrosine kinase activation in
cancer. Mol Cancer. 2018 Dec 19;17(1):58.

7. Feldman B. Gastrointestinal and Liver Disease. 9th ed. Elsevier S, editor.


Canada; 2018.
8. Hirlan. Gastroenterohepatology : From Theory to Clinical Practice.
Semarang: Univeristas Dipenogoro; 2018.
9. Jemal A, BRAY F, Melissa M, Parkin D, Ferlay J, Ward E, et al. Global
Cancer Statistics. A Cancer J Clin. 2017;61–90.

35
10. Kenwal K, Richardson P, El serag H. A new laboratory based algorithm to
predict developmentof hepatocelluler carcinoma patients with hepatic and
chirosis. Gastroenterology. 2016;146:1249–55.
11. Kew MC. Hepatocelluler carcinoma: Epidemology and riskfactor. J
Hepatocelluler Carcinoma. 2017;115–25.
12. Kumar V., Kato N., Urabe Y., Takahashi A., Muroyama R., Hosono N.,
Otsuka M., Tateishi R., Omata M., Nakagawa H., Koike K., Kamatani N.,
Kubo M., Nakamura Y., Matsuda K. Genome-wide association study
identifies a susceptibility locus for HCV-induced hepatocellular
carcinoma. Nat. Genet. 2011;43(5):455–458. doi: 10.1038/ng.809
13. Llovet JM, Ricci S, Mazzaferro V, Hilgard P, Gane E, Blanc JF, et al.
Sorafenib in advanced hepatocellular carcinoma. N Engl J Med
2008;359:378-390.
14. Marrero JA, Kulik LM, Sirlin CB, et al. Diagnosis, Staging, and
Management of Hepatocellular Carcinoma: 2018 Practice Guidance by the
American Association for the Study of Liver Diseases. Hepatology
2018;68(2): 723-50
15. Misradji J, Yerian L, Deshpande V, Kim, GE, MIno-Kenidson M, Kakar S, et
al. Diagnostic pathology hepatobiliary and pancreatic.Canada: Amirys:2018
16. Park Y. Update on precursor and early lesions of hepatocellular
carcinoma.2017;135:704–15.
17. Raoul JL, Kudo M, Finn RS, Edeline J, Reig M, Galle PR. Systemic therapy
for intermediate and advanced hepatocellular carcinoma: Sorafenib and
beyond. Cancer Treat Rev. 2018;68(January):16–24..

18. Xu H, Yun-PengLiu, Guleng B, Ren J-L. Hepatitis B Virus-Related


Hepatocellular Carcinoma: Pathogenic Mechanisms and Novel Therapeutic
Interventions. Gastrointest Tumors. 2016;1:135–45.
19. Benhenda, S., Cougot, D., Buendia, M.-A. and Neuveut, C. 2019, 'Chapter 4
Hepatitis B Virus X Protein', in Advances in cancer research, pp. 75–109. doi:
10.1016/S0065-230X(09)03004-8.

36
20. R.S. Finn, M. Kudo, A.-L. Cheng, L. Wyrwicz, R. Ngan, J.F. Blanc, et al.,
59PD - Final analysis of serum biomarkers in patients (pts) from the phase III
study of lenvatinib (LEN) vs sorafenib (SOR) in unresectable hepatocellular
carcinoma (uHCC) [REFLECT], Ann. Oncol. 29 (2018) viii17–viii18.
21. Yumi Kosaka, Kawaoka Tomokazu, Kazuaki Chayama. A Case of
Advidanced HCC Treated with Lenvatinib After Hepatic Arterial Infusion
Chemotherapy Combined with Radiation Therapy Treatment For Portal Vein
Tumor Thrombosis In The Main Trunk. Clinical Journal Of Gastroenterology.
(2020) 13, 839-843.
22. Zhaonan Liu, Xingjie Li, Xuequn He, Yingchun Xu, Xi Wang. Complete
Response To The Combination of Lenvatinib and Pembrolizumab In An
Advanced Hepatocellular Carcinoma Patient. BMC Cancer. (2019) 19:1062.
https://doi.org/10.1186/s12885-019-6287-8

37

Anda mungkin juga menyukai