Anda di halaman 1dari 26

ASUHAN KEPERAWATAN

KOLELITIASIS

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK VI

MOCHAMAD KUSNAN NIM : 7315013


SULASTINI NIM : 7315068
IWANLUDDIN SUHARTONO NIM : 7315076
TRIVENTININGTYAS NIM : 7315088

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PESANTREN TINGGI DARUL ‘ULUM
2015/2016

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadiran Alloh SWT Yang Maha kuasa atas segala
limpahan rahmat, hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas Asuhan
Keperawatan dalam waktu yang telah direncanakan.
Dalam proses penyelesaian tugas Asuhan Keperawatan ini, banyak pihak yang telah
memberikan bantuan berupa ilmu, saran, serta kritik yang positif dan menunjang dalam
penyelesaian tugas ini.
Penulis menyadari bahwa tugas Asuhan Keperawatan ini masih jauh dari sempurna,
maka penulis mengharapkan saran dan kritik yang konstruktif dari semua pihak untuk dapat
penyempurnaan selanjutnya.
Dan hanya pada Alloh SWT kita kembalikan semua dan semoga Tugas Asuhan
Keperawatan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi kami sebagai penulis.

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penyakit batu empedu sudah merupakan masalah kesehatan yang penting di negara
barat sedangkan di Indonesia baru mendapatkan perhatian di klinis, sementara publikasi
penelitian batu empedu masih terbatas.

Sekitar 5,5 juta penderita batu empedu ada di Inggris dan 50.000 kolesistektomi
dilakukan setiap tahunnya. Kasus batu empedu sering ditemukan di Amerika, yaitu pada 10
sampai 20% penduduk dewasa. Setiap tahun beberapa ratus ribu penderita ini menjalani
pembedahan. Dua per tiga dari batu empedu adalah asimptomatis dimana  pasien tidak
mempunyai keluhan dan yang berkembang menjadi nyeri kolik tahunan hanya 1-4%. 
Sementara pasien dengan gejala simtomatik batu empedu mengalami komplikasi 12% dan
50% mengalami nyeri kolik pada episode selanjutnya. Risiko penderita batu empedu untuk
mengalami gejala dan komplikasi relatif kecil. Walaupun demikian, sekali batu empedu
menimbulkan masalah serangan nyeri kolik yang spesifik maka resiko untuk mengalami
masalah dan penyulit akan terus meningkat.

Insiden batu kandung empedu di Indonesia belum diketahui dengan pasti, karena
belum ada penelitian. Banyak penderita batu kandung empedu tanpa gejala dan ditemukan
secara kebetulan pada waktu dilakukan foto polos abdomen, USG, atau saat operasi untuk
tujuan yang lain

Batu empedu umumnya ditemukan di dalam kandung empedu, tetapi batu tersebut
dapat bermigrasi melalui duktus sistikus ke dalam saluran empedu menjadi batu saluran
empedu dan disebut sebagai batu saluran empedu sekunder. Pada beberapa keadaan, batu
saluran empedu dapat terbentuk primer di dalam saluran empedu intra-atau ekstra-hepatik
tanpa melibatkan kandung empedu.  Batu saluran empedu primer lebih banyak ditemukan
pada pasien di wilayah Asia dibandingkan dengan pasien di negara Barat.

Perjalanan batu saluran empedu sekunder belum jelas benar, tetapi komplikasi akan
lebih sering dan berat dibandingkan batu kandung empedu asimtomatik. Pada sekitar 80%
dari kasus, kolesterol merupakan komponen terbesar dari batu empedu. Biasanya batu - batu
ini juga mengandung kalsium karbonat, fosfat atau bilirubinat, tetapi jarang batu- batu ini
murni dari satu komponen saja.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian :
Kolelitiasis adalah adanya batu yang terdapat didalam kandung empedu atau saluran
empedu (duktus koledokus) atau keduanya (Muttaqin dan Sari, 2011). Istilah kolelitiasis
dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu.  Batu kandung empedu
merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip batu yang
terbentuk di dalam kandung empedu. Batu Empedu adalah timbunan kristal di dalam
kandung empedu atau di dalam saluran empedu. Batu yang ditemukan di dalam kandung
empedu disebut kolelitiasis, sedangkan batu di dalam saluran empedu disebut koledokolitiasis
(Nucleus Precise Newsletter, edisi 72, 2011).

Kolelitiasis adalah material atau kristal tidak berbentuk yang terbentuk dalam
kandung empedu. Komposisi dari kolelitiasis adalah campuran dari kolesterol, pigmen
empedu, kalsium dan matriks inorganik. Lebih dari 70% batu saluran empedu adalah tipe
batu pigmen, 15-20% tipe batu kolesterol dan sisanya dengan komposisi yang tidak diketahui.
Di negara-negara Barat, komponen utama dari batu empedu adalah kolesterol, sehingga
sebagian batu empedu mengandung kolesterol lebih dari 80% (Majalah Kedokteran
Indonesia, volum 57, 2007).

B. Etiologi

Empedu normal terdiri dari 70% garam empedu (terutama kolik dan asam
chenodeoxycholic), 22% fosfolipid (lesitin), 4% kolesterol, 3% protein dan 0,3% bilirubin.
Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna namun yang paling penting
adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis
empedu dan infeksi kandung empedu. Sementara itu, komponen utama dari batu empedu
adalah kolesterol yang biasanya tetap berbentuk cairan. Jika cairan empedu menjadi jenuh
karena kolesterol, maka kolesterol bisa menjadi tidak larut dan membentuk endapan di luar
empedu.

Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun,
semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk
terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain :
1.      Wanita (beresiko dua jadi lebih besar dibanding laki-laki)

2.      Usia lebih dari 40 tahun .


3.      Kegemukan (obesitas).

4.      Faktor keturunan

5.      Aktivitas fisik

6.      Kehamilan (resiko meningkat pada kehamilan)

7.      Hiperlipidemia

8.      Diet tinggi lemak dan rendah serat

9.      Pengosongan lambung yang memanjang

10.  Nutrisi intravena jangka lama  

11.  Dismotilitas kandung empedu

12.  Obat-obatan antihiperlipedmia (clofibrate)

13.  Penyakit lain (seperti Fibrosis sistik, Diabetes mellitus, sirosis hati, pankreatitis dan
kanker kandung empedu) dan  penyakit ileus (kekurangan garam empedu)
14.  Ras/etnik (Insidensinya tinggi pada Indian Amerika, diikuti oleh kulit putih, baru orang
Afrika)

C. Klasifikasi
Menurut Lesmana L, 2000 dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I gambaran
makroskopis dan komposisi kimianya, dan Menurut Hadi (2002), batu empedu
Batu empedu di golongkan atas 3 (tiga) golongan:
1. Batu kolesterol
Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari 70% kolesterol. 
Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang mengandung > 50%
kolesterol).
2. Batu pigmen
Merupakan 10% dari total jenis baru empedu yang mengandung <20% kolesterol. 
Jenisnya antara lain:
 Batu pigmen kalsium bilirubinat (pigmen coklat)

 Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan mengandung
kalsium-bilirubinat sebagai komponen utama.  Batu pigmen cokelat terbentuk akibat
adanya faktor stasis dan infeksi saluran empedu. Stasis dapat disebabkan oleh
adanya disfungsi sfingter Oddi, striktur, operasi bilier, dan infeksi parasit. Bila
terjadi infeksi saluran empedu, khususnya E. Coli, kadar enzim B-glukoronidase
yang berasal dari bakteri akan dihidrolisasi menjadi bilirubin bebas dan asam
glukoronat. Kalsium mengikat bilirubin menjadi kalsium bilirubinat yang tidak larut.
Dari penelitian yang dilakukan didapatkan adanya hubungan erat antara infeksi
bakteri dan terbentuknya batu pigmen cokelat. Umumnya batu pigmen cokelat ini
terbentuk di saluran empedu dalam empedu yang terinfeksi.

 Batu pigmen hitam.


Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti bubuk dan kaya
akan sisa zat hitam yang tak terekstraksi.  Batu pigmen hitam adalah tipe batu yang
banyak ditemukan pada pasien dengan hemolisis kronik atau sirosis hati. Batu
pigmen hitam ini terutama terdiri dari derivat polymerized bilirubin. Potogenesis
terbentuknya batu ini belum jelas. Umumnya batu pigmen hitam terbentuk dalam
kandung empedu dengan empedu yang steril.

3. Batu campuran

Batu campuran antara kolesterol dan pigmen dimana mengandung 20-50% kolesterol.
Dapat berupa batu soliter atau multiple. Permukaanya mungkin licin atau multifaset,
bulat, berduri, da nada yang seperti buah murbei.

D. Patofisiologi

Pembentukan batu empedu dibagi menjadi tiga tahap: (1) pembentukan empedu
yang supersaturasi, (2) nukleasi atau pembentukan inti batu, dan (3) berkembang karena
bertambahnya pengendapan. Kelarutan kolesterol merupakan masalah yang terpenting dalam
pembentukan semua batu, kecuali batu pigmen. Supersaturasi empedu dengan kolesterol
terjadi bila perbandingan asam empedu dan fosfolipid (terutama lesitin) dengan kolesterol
turun di bawah harga tertentu. Secara normal kolesterol tidak larut dalam media yang
mengandung air.empedu dipertahankan dalam bentuk cair oleh pembentukan koloid yang
mempunyai inti sentral kolesterol, dikelilingi oleh mantel ( kulit)yang hidrofilik dari garam
empedu dan fosfolipd ( lesitin), jadi sekresi kolesterol yang berlebihan ( karena empedu
adalah saluran utama yang mengeluarkan bahan inti dari badan), atau kadar asam empedu
rendah, atau trjadi sekresi lesitin, merupakan keadaan yang litogenik.
Batu pigmen sangat beresiko terjadi pada seseorang yang mengalami sirosis,
hemolisis, infeksi pada percabangan bilier.dan batu ini tidak bias dilarutkan dan
pengeluaranya harus dengan oprasi. (KMB:1205)
Batu pigmen komposisinya terdiri dari kalsium bilirubinat merupakan urutan berikutnya yang
penting setelah batu kolesterol.tidak seperti batu kolesterol, batu ini seringkali murni,
berwarna hitam pekat, disebut “ jack stones” ( batu: jack), atau bila campur, berbentuk bola
biasanya berdiameter dibawah 1 cm.hampir tidak pernah terjadi tunggal dan mungkin ada
dalam jumlah yang besar.kalsium karbonat yang cukup, ditemukan pada10-20 % dari semua
batu empedu, menunjukan radio opak ( tidak tembus cahaya),tetapi batu kalsium karbonat
murni jarang. ( buku ajar patologi Robin Kumar hal 338).
Batu pigmen merupakan 10% dari total jenis batu empedu yang mengandung <20%
kolesterol.

E. Gejala Klinis

 Asimtomatik
Kurang dari 25% akan merasakan gejala yang membutuhkan intervensi setelah lima
tahun. Karena tidak menyebabkan rasa nyeri, tetap hanya menyebabkan gejala
gastrointestinal ringan
 Rasa nyeri dan kolik bilier
Pasien akan mengalami kolik bilier disertai nyeri hebat pada abdomen kwadran kanan
atas, terasa panas, teraba massa padat abdomen rasa nyeri ini biasanyan disertai mual
dan muntah, dan bertambah hebat dalam waktu beberapa jam setelah makan.
Serangan ini disebabkan oleh kontraksi kandung empedu yang tidak dapat
mengalirkan empedu keluar akibat tersumbat oleh batu.
 Ikterus
Obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam duodenum akan menimbulkan gejala
yang khas, yaitu getah empedu yang tidak lagi dibawa ke duodenum akan diserap oleh
darah dan penyerapan empedu ini membuat kulit dan membran mukosa berwarna
kuning.
 Perubahan warna feses dan urine
Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat urin berwarna sangat gelap.
Feses yang tidak lagi diwarnai oleh pigmen empedu akan tampak kelabu, dan
biasanya pekat yang disebut dengan “ clay-colored ”.
 Defisiensi vitamin
Obstruksi aliran empedu juga mempengaruhi absorbsi vitamin A, D, E, K yang larut
lemak. Karena itu, pasien dapat menunjukkan gejala defisiensi vitamin-vitamin ini
jika defisiensi bilier berjalan lama. Defisiensi vitamin K dapat mengganggu proses
pembekuan darah normal.

F. Pemeriksaan Penunjang

  Pemeriksaan Laboratorium
Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu didalam duktus
koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya
meningkat sedang setiap kali terjadi serangan akut. Enzim hati AST (SGOT), ALT
(SGPT), LDH agak meningkat
 Pemeriksaan sinar-X abdomen
Pemeriksaan sinar-X abdomen bisa dilakukan jika ada kecurigaan akan penyakit
kandung empedu dan untuk menyingkirkan penyebab gejala yang lain. Namun
demikian, hanya 15-20% batu empedu yang mengalami cukup kalsifikasi untuk dapat
tampak melalui pemeriksaan sinar-X.

Gambar 1: hasil
sinar–X pada
kolelitiasis

 Foto polos
abdomen
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya
sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung
empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat
dengan foto polos. Kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di
kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar di fleksura
hepatika. Walaupun teknik ini murah, tetapi jarang dilakukan pada kolik bilier sebab
nilai diagnostiknya rendah.
Gambar 2: Hasil
foto polos
abdomen pada
kolelitiasis

 Ultrasonografi
(USG)
Pemeriksaan USG
telah
menggantikan kolesistografi oral sebagai prosedur diagnostik pilihan karena
pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat dan akurat,
USG merupakan metode non-invasif yang sangat bermanfaat dan merupakan
pilihan pertama untuk mendeteksi kolelitiasis dengan ketepatan mencapai 95%.

Gambar 3:
hasil USG pada
kolelitiasis

 
Kolesistografi

Meskipun sudah digantikan dengan USG sebagai pilihan utama, namun untuk
penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif murah,
sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat dihitung
jumlah dan ukuran batu.
Pemeriksaan kolesistografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung
empedu. Cara ini juga memerlukan lebih banyak waktu dan persiapan dibandingkan
ultrasonografi.
Gambar 4:
Hasil
pemeriksaan
kolesistografi

 
Endoscopic
Retrograde

Cholangiopnacreatography (ERCP)
   Pemeriksaan ERCP memungkinkan visualisasi struktur secara langsung yang
hanya dapat dilihat pada saat melakukan laparotomi. Pemeriksaan ini meliputi
insersi endoskop serat-optik yang fleksibel ke dalam esophagus hingga mencapai
duodenum pasrs desenden.Sebuah kanula dimasukkan ke dalam duktus koledokus
dan duktus pankreatikus, kemudian bahan kontras disuntikkan ke dalam duktus
tersebut untuk memungkinkan visualisasi serta evaluasi percabangan bilier. ERCP
juga memungkinkan visualisasi langsung struktur ini dan memudahkan akses ke
dalam duktus koledokus bagian distal untuk mengambil batu empedu.

Gambar 5:
hasil ERCP pada
kolelitiasis

 Percutaneou
s
Transhepatic
Cholangiography (PTC)
  Pemeriksaan kolangiografi ini meliputi penyuntikan bahan kontras secara langsung
ke dalam percabangan bilier. Karena konsentrasi bahan kontras yang disuntikkan
relative besar, maka semua komponen dalam system bilier tersebut, yang mencakup
duktus hepatikus dalam hati, keseluruhan panjang doktus koledokus, duktus sistikus
dan kandung empedu, dapat dilihat garis bentuknya dengan jelas.

  Computed Tomografi (CT)


 CT scan juga merupakan metode pemeriksaan yang akurat untuk
menentukan adanya batu empedu, pelebaran saluran empedu dan koledokolitiasis.
Walaupun demikian, teknik ini jauh lebih mahal dibanding US.

Gambar 6: Hasil
CT pada kolelitiasis

  Magnetic
resonance
imaging
(MRI) with
magnetic
resonance

cholangiopancreatography (MRCP)
     

G. Penatalaksanaan

1. Diet
 Rendah lemak dalam usaha mencegah nyeri lebih lanjut
 Pemberian vitamin yang larut dalam lemak (ADEK)
 Infuse dan makanan bila ada masalah mual muntah

2. Terapi obat
 Analgesic/narkotika (meperidine hydrochloric/Demerol)
 Antispasme dan anti colinergik (prophateline bromide/probanthine) untuk
relaksasi otot polos dan menurunkan tonus dan spasme saluran empedu.
 Anti muntah untuk mengontrol mual muntah.
 Terapi asam empedu untuk melarutkan batu empedu yang kecil (chenodiol)
 Cholesteramine untuk menurunkan gatal yang sangat karena penumpukan
yang berlebihan empedu pada kulit.

3. ESWL (Extracorporeal Shock Wave Lithoterapy)


Prosedur non invasive ini menggunakan gelombang kejut berulang (Repeated
Shock Wave) yang diarahkan pada batu empedu didalam kandung empedu atau
duktus koledokus dengan maksud memecah batu tersebut menjadi beberapa
sejumlah fragmen. (Smeltzer,SC dan Bare,BG 2002).
ESWL sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu. Analisis biaya-manfaat
pada saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada pasien yang
telah benar-benar dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.

4. Kolesistektomi

Kolesistektomi terbuka

Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien denga


kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi adalah
cedera duktus biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas yang
dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk
kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.

Kolesistektomi laparaskopi
Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan sekarang
ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopi. 80-90% batu empedu di
Inggris dibuang dengan cara ini karena memperkecil resiko kematian dibanding
operasi normal (0,1-0,5% untuk operasi normal) dengan mengurangi komplikasi pada
jantung dan paru. Kandung empedu diangkat melalui selang yang dimasukkan lewat
sayatan kecil di dinding perut.
Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya
kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah mulai
melakukan prosedur ini pada pasien dengan kolesistitis akut dan pasien dengan batu
duktus koledokus. Secara teoritis keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur
konvensional adalah dapat mengurangi perawatan di rumah sakit dan biaya yang
dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali bekerja, nyeri menurun dan perbaikan
kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah keamanan dari prosedur ini,
berhubungan dengan insiden komplikasi seperti cedera duktus biliaris yang mungkin
dapat terjadi lebih sering selama kolesistektomi laparoskopi.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Reancana Asuhan Keperawatan


Asuhan keperawatan adalah pendekatan penyelesaian masalah yang sistematik untuk
merencanakan dan memberikan asuhan keperawatan yang melalui lima fase berikut yaitu
pengkajian, identifikasi masalah, perencanaan, implementasi, evaluasi.
1. Pengkajian
Data yang dikumpulkan meliputi:
a. Identitas
Meliputi nama, umur, jenis kelamin suku/bangsa, agama pendidikan, pekerjaan,
tanggal masuk, tanggal pengkajian, no register, diagnose medic, alamat, semua
data mengenai identitas klien tersebut untuk tindakan selanjutnya.

b. Identitas penanggung jawab


Identitas penanggung jawab ini sangat perlu untuk memudahkan dan jadi
penanggung jawab klien selama perawatan, data yang terkumpul meliputi nama,
umur, pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan klien dan alamat.

2. Riwayat Kesehatan
 Keluhan utama
 Merupakan keluhan yang paling utama yang dirasakan oleh klien saat
pengkajian. Biasanya keluhan utama yang klien rasakan adalah nyeri abdomen
pada kuadran kanan atas.

 Riwayat kesehatan sekarang


Merupakan pengembangan diri dari keluhan utama melalui metode PQRST,
paliatif atau provokatif (P) yaitu fokus utama keluhan klien, quality atau kualitas
(Q) yaitu bagaimana nyeri/gatal dirasakan oleh klien, regional (R) yaitu
nyeri/gatal menjalar kemana, Safety (S) yaitu posisi yang bagaimana yang dapat
mengurangi nyeri/gatal atau klien merasa nyaman dan Time (T) yaitu sejak kapan
klien merasakan nyeri/gatal tersebut.

(P): Nyeri setelah makan, terutama makanan yang berlemak


(Q): Nyeri dirasakan hebat
R): Nyeri dirasakan pada abdomen kuadran kanan atas dan menjalar ke punggung
atau bahu kanan.
(S): Nyeri terasa saat melakukan inspirasi
(T): Nyeri dirasakan sejak dua hari yang lalu

 Riwayat kesehatan yang lalu


Perlu dikaji apakah klien pernah menderita penyakit sama atau pernah di riwayat
sebelumnya.
 Riwayat kesehatan keluarga
Mengkaji ada atau tidaknya keluarga klien pernah menderita penyakit kolelitiasis.

3. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum klien, biasanya pada penyakit ini kandung empedu dapat
terlihat dan teraba oleh tangan karena terjadi pembengkakan pada kandung
empedu

4. Pola aktivitas
Dikaji tentang pola makan, nafsu makan, aktivitas sehari-hari, aspek psikologis klien
tentang emosi klien, pengetahuan tentang penyakit dan suasana hati klien

Diagnosa-NANDA
 Nyeri Akut b.d Agen Cedera Biologis: Obstruksi Kandung Empedu
  Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang Dari Kebutuhan Tubuh b.d Ketidakmampuan
Pemasukan Nutrisi
  Mual b.d Iritasi Lambung
  Kekurangan Volume Cairan b.d Kehilangan Volume Cairan Aktif
  Insomnia b.d Ketidaknyamanan Fisik: Nyeri
  Hambatan Mobilitas Fisik b.d Nyeri
 Ketidakefektifan Pola Nafas b.d Nyeri
  Ansietas b.d Ancaman Kematian

  Kerusakan Integritas Kulit b.d Faktor mekanik


  Risiko Perdarahan
 Risiko Infeksi b.d Kerusakan Integritas Kulit: Prosedur Invasif

Prioritas Diagnosa
No Priorotas Diagnosa
1 Nyeri Akut b.b Agen Cedera Biologis: Obstruksi Kandung
Empedu.
2 Ketidakefektifan Pola Nafas b.d Nyeri
3 Kekurangan Volume Cairan b.d Kehilangan Volume Cairan
Aktif
4 Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang Dari Kebutuhan Tubuh
b.d Ketidakmampuan Menelan Makanan
5 Mual b.d Iritasi Lambung
6 Ansietas b.d Ancaman Kematian
7 Insomnia b.d Ketidaknyamanan Fisik: Nyeri
8 Hambatan Mobilitas Fisik b.d Nyeri
9 Kerusakan Integritas Kulit
10 Risiko Perdarahan
11 Risiko Infeksi b.d Kerusakan Integritas Kulit: Prosedur
Invasif
Diagnosa
NOC NIC Rasional
Keperawatan
Nyeri akut Nyeri: Efek Merusak : efek merusak Penatalaksanaan Nyeri : 1.     Membantu membedakan
dari nyeri terhadap emosi dan Meringankan atau mengurangi penyebab nyeri dan
perilaku yang diamati atau nyeri sampai pada tingkat memberikan informasi tentang
dilaporkan. kenyamanan yang dapat diterima kemajuan/perbaikan penyakit,
Dibuktikan dengan indikator berikut : oleh pasien. terjadinya komplikasi dan
1.     Pasien akan melapor bahwa nyeri 1.  Lakukan pengkajian nyeri yang keefektifan intervensi.
akan hilang komprehensif meliputi lokasi, 2.     Meningkatkan istirahat,
2.     Pasien akan menunjukkan karakteristik, awitan/durasi, memusatkan kembali
penggunaan keterampilan relaksasi frekuensi, kualitas, intensitas atau perhatian, dan meningkatkan
dan aktifitas hiburan sesuai keparahan nyeri, dan faktor koping dalam mengatasi nyeri.
indikasi untuk situasi individual presipitasinya.
2.   Ajarkan penggunaan teknik
nonfarmakologi (misalnya,
umpan balik biologis,
transcutaneous electrical nerve
stimulation (TENS), hipnosis,
relaksasi, imajinasi terbimbing,
terapi musik, distraksi, terapi
bermain, terapi aktivitas,
akupresur, kompres
hangat/dingin, dan masase)
sebelum, setelah dan jika
3.     Penurunan penampilan peran atau memungkinkan, selama aktivitas
hubungan interpersonal yang menyakitkan; sebelum nyeri
4.      Gangguan kerja, kepuasan hidup terjasi atau meningkat; dan 3.    Meringankan nyeri akibat
atau kemampuan untuk selama penggunaan tindakan pascaoperasi (manajemen
mengendalikan pengurangan nyeri yang lain. nyeri).
3.    Kelola nyeri pascaoperasi awal 4.     Meminimalkan ketidaknyaman
dengan pemberian opiat yang akibat nyeri.
terjadwal (misalnya, setiap 4 jam
atau 36 jam) atau PCA.
4.    Berikan perubahan posisi, masase
punggung, dan relaksasi.

Ketidakefektifan Status Respirasi: Pergerakan Pengelolaan jalan nafas:


Pola Nafas udara ke dalam dan ke luar paru- Fasilitasi untuk kepatenan jalan
paru. nafas. 1.     Kedalaman inspirasi dan
ditandai dengan indikator: 1. Pantau kecepatan,irama, kemudahan bernafas merupakan
1.     Kedalaman inspirasi dan kedalaman dan usaha indicator efektif atau tidaknya
kemudahan bernafas respirasI. pola nafas.
2.      Tidak ada otot bantu 2.     Tidak adanya otot bantu
3.      Bunyi nafas tambahan tidak 2.  Informasikan kepada pasien dan pernafasan menandakan pola
ada keluarga tentang tehnik relaksasi nafas dalam keadaan normal
4.      Nafas pendek tidak ada untuk meningkatkan pola 3.      Pada pernafasan normal tidak
pernafasan terdengar suara nafas tambahan.
3.     Berikan obat nyeri untuk 4.      Nafas pendek menandakan pola
pengoptimalan pola pernafasan. nafas terganggu.
4.     Posisikan pasien untuk
mengoptimalkan pernafasan.
Kekurangan Keseimbangan Elektrolit dan Pengelolaan Cairan:
volume cairan Asam-Basa: Keseimbangan Peningkatan keseimbangan
elektrolit dan nonelektrolit dalam cairan dan pencegahan
ruang intrasel dan ekstrasel tubuh. komplikasi akibat kadar cairan
yang tidak normal atau tidak 1.     Untuk dijadikan bahan
Ditunjukkan dengan indikator: diinginkan. pertimbangan
1.     Elektrolit serum (misalnya, Aktivitas: dasar/indikator/mengidentifikasi
natrium, kaliun, kalsium, dan 1.      Pantau hasil laboratorium kebutuhan penggantian dan dalam
magnesium) dalam batas normal yang relevan dengan memberikan asuhan keperawatan.
2.      Serum dan pH urine dalam batas keseimbangan cairan
normal (misalnya, kadar hematokrit, 2.      Memenuhi kebutuhan cairan
BUN, albumin, protein total, tanpa tertunda untuk memenuhi
3.      Tidak memiliki konsentrasi urine osmolalitas serum, dan berat keseimbangan asupan cairan oral.
yang berlebihan. BJ urine normal: jenis urine). 3.      Menggantikan haluaran lewat
1003-1030 2.     Anjurkan pasien untuk nasogastrik jika pasien tidak
menginformasikan perawat dapat menerima secara oral.
bila haus. 4.      Untuk pasien post-pembedahan
3.      Berikan ketentuan biasanya mengalami gangguan
penggantian nasogastrik eliminasi. Dengan pemasangan
berdasarkan haluaran, sesuai kateter urine akan memudahkan
dengan kebutuhan. pasien untuk berkemih.
4.      Pasang kateter urine, bila
perlu.
Ketidakseimban Status Gizi: Nilai Gizi : Keadekuatan Pengelolaan Nutrisi : Bantuan atau
gan nutrisi zat gizi yang dikonsumsi tubuh. pemberian asupan diet makanan
kurang dari Dibuktikan dengan indikator berikut : dan cairan yang seimbang. 1.      Berguna untuk memberikan nutrisi
kebutuhan 1.      Asupan mkanan dan cairan oral 1.      Pantau kandungan nutrisi dan yang tepat sesuai kebutuhan pasien.
tubuh 2.      Mempertahankan massa tubuh dan kalori pada catatan asupan. 2.     Agar klien mengetahui tentang
berat badan dalam batas normal 2.      Berikan informasi yang tepat kebutuhan nutrisi yang tepat dan
3.   Melaporkan keadekuatan tingkat tentang kebutuhan nutrisi dan bagaimana harus memenuhinya.
energi bagaimana memenuhinya. 3.     Klien pascaoperasi membutuhkan
3.      Tentukan—dengan melakukan asupan nutrisi/makanan yang tepat
kolaborasi bersama ahli gizi, sesuai kebutuhannya agar
secara tepat—jumlah kalori dan mempercepat proses penyembuhan
jenis zat gizi yang dibutuhkan juga, sehingga dengan kolaborasi
untuk memenuhi kebutuhan akan lebih memudahkan dalam
nutrisi (khususnya untuk pasien menentukan jenis makanan/nutrisi
dengan kebutuhan energi tinggi, yang tepat untuk klien.
seperti pasien pascoperasi dna 4.     Membantu klien untuk
luka bakar, trauma, demam, dan mendapatkan makanan sampingan
luka). yang juga tetap sesuai kebutuhan
4.     Berikan pasien minuman dan nutrisi klien.
camilan bergizi, tinggi protein,
tinggi kalori yang siap
dikonsumsi, bila memungkinkan.
Kesimpulan

 Kolelitiasis merupakan adanya batu yang terdapat didalam kandung empedu.


atau saluran empedu (duktus koledokus) atau keduanya. Kandung empedu mampu
menyimpan sekitar 45 ml empedu yang dihasilkan hati. Empedu normal terdiri dari
70% garam empedu (terutama kolik dan asam chenodeoxycholic), 22% fosfolipid
(lesitin), 4% kolesterol, 3% protein dan 0,3% bilirubin.

Beberapa faktor yang berperan dalam pembentukan batu:. Wanita (beresiko dua
jadi lebih besar dibanding laki-laki), Usia lebih dari 40 tahun, Kegemukan (obesitas), 
Faktor keturunan Aktivitas fisik,Kehamilan (resiko meningkat pada kehamilan),
Hiperlipidemia, Diet tinggi lemak dan rendah serat, Pengosongan lambung yang
memanjang, Nutrisi intravena jangka lama, Dismotilitas kandung empedu, Obat-obatan
antihiperlipedmia (clofibrate), Penyakit lain (seperti Fibrosis sistik, Diabetes mellitus,
sirosis hati, pankreatitis dan kanker kandung empedu) dan  penyakit ileus (kekurangan
garam empedu), Ras/etnik (Insidensinya tinggi pada Indian Amerika, diikuti oleh kulit
putih, baru orang Afrika). Ukuran batu empedu bisa bervariasi, bisa sekecil butiran pasir
atau sebesar bola golf.

Penatalaksanaan keperawatan yang dapat dilakukan pada klien dengan


kolelitiasis dapat berupa penatalaksanaan nyeri, pengelolaan jalan nafas, pengaturan
keseimbangan cairan dan elektrolit dan asam basa, pengaturan status gizi.
Daftar Pustaka

Cahyono, Suharjo B. 2009. Batu Empedu. Yogyakarta: Kanisus

Hadi, Sujono. 2002. Gastroenterologi. Bandung: Alumni

Herdman, T.Heather. 2010. NANDA Internasional Diagnosis Keperawatan : Definisi dan


Klasifikasi 2009-2011. Jakarta : EGC

Kurnia, Nila Ramdani. “Kolelitiasis” (Online)


http://bedahmataram.org/index.php?
option=com_content&view=article&id=104:kolelitiasis-ur&catid=43:regfrat-
urologi&Itemid=81. (Diakses 22 November 2012; 18.00).

Muttaqin, Arif dan Sari, Kumala. 2011. Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika

Sanjaya, Arif. “Patofisiologi Pembentukan Batu Empedu” (Online)


http://penyuluhan-kesehatan.blogspot.com/2011/12/patofisiologi-pembentukan-batu-
empedu.html (Diakses 23 November 201; 10.30)

Schwartz, Seymour I. 2000. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Jakarta: EGC

Sherlock, Sheila. 1990. Penyakit Hati dan Sistem Saluran Empedu. Jakarta: Widya Medika.

Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah: Buku Saku dari Brunner &
Suddarth. Jakarta : EGC

Sulaiman, Ali dkk. 1990. Gastroenterologi Hepatologi. Jakarta : CV.Sagung Seto

Suratun dan Lusianah. 2010. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Gastrointestinal. Jakarta: Trans Info Media

Tjokronegoro, Arjatmo dan Utama, Hendra. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan
Kriteria Hasil NOC. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai