Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN DIAGNOSA DIABETES


MELITUS DI POLI PENYAKIT DALAM

VIRGINIA PIPIT DAMAYANTI

18102

AKADEMI KEPERAWATAN POLRI

JAKARTA

2021
A. Pengertian
Diabetes melitus merupakan sekumpulan gangguan metabolik yang
ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) akibat
kerusakan pada sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya (Smelzel & Bare,
2015). Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit atau
gangguan metabolik dengan karakteristik hipeglikemia yang terjadi
karena kelainan sekresi urin, kerja insulin, atau kedua –duanya
(ADA, 2017).
Diabetes mellitus adalah penyakit kronik yang terjadi ketika pankreas
tidak cukup dalam memproduksi insulin atau ketika tubuh tidak efisien
menggunakan insulin itu sendiri. Insulin adalah hormon yang mengatur
kadar gula darah. Hiperglikemia atau kenaikan kadar gula darah, adalah
efek yang tidak terkontrol dari diabetes dan dalam waktu panjang dapat
terjadi kerusakan yang serius pada beberapa sistem tubuh, khususnya pada
pembuluh darah jantung (penyakit jantung koroner), mata (dapat
terjadi kebutaan), ginjal (dapat terjadi gagal ginjal) (WHO, 2011).

B. Etiologi
Menurut Smeltzer (2015), Diabetes Melitus dapat diklasifikasikan
kedalam 2 kategori klinis yaitu:
a. Diabetes Melitus tergantung insulin (DM TIPE 1)
1) Genetik
Umunya penderita diabetes tidak mewarisi diabetes type 1 namun
mewarisi sebuah predisposisis atau sebuah kecendurungan
genetik kearah terjadinya diabetes type 1. Kecendurungan genetik ini
ditentukan pada individu yang memiliki type antigen HLA
(Human Leucocyte Antigen) tertentu. HLA ialah kumpulan gen
yang bertanggung jawab atas antigen tranplantasi & proses
imunnya (Smeltzer & Bare, 2015).
2) Imunologi
Pada diabetes type 1terdapat fakta adanya sebuah respon
autoimum.Ini adalah respon abdomal dimana antibodi terarah pada
jaringan normal tubuh secara bereaksi terhadap jaringan tersebut
yang dianggapnya sebagai jaringan asing (Smeltzer & Bare, 2015)
3) Lingkungan Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses
otoimun yang menimbulkan destruksi selbeta.(Smeltzer & Bare, 2015)
b. Diabetes melitus tidak tergantung insulin (DM TIPE 2)
Menurut Smeltzel 2015 Mekanisme yang tepat yang menyebabkan
resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe II
masih belum diketahui. Faktor genetik memegang peranan dalam
proses terjadinya resistensi insulin. Faktor-faktor resiko : Usia (resistensi
insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 th), obesitas, riwayat
keluarga.

C. Manifestasi Klinis
Menurut PERKENI (2015), penyakit diabetes melitus ini pada awalnya
seringkali tidak dirasakan dan tidak disadari penderita. Tanda awal yang dapat
diketahui bahwa seseorang menderita DM atau kencing manis yaitu
dilihat langsung dari efek peningkatan kadar gula darah, dimana
peningkatan kadar gula dalam darah mencapai nilai 160-180 mg/dL dan air
seni (urine) penderita kencing manis yang mengandung gula (glucose),
sehingga urine sering dilebung atau dikerubuti semut.
Menurut PERKENI (2015), gejala dan tanda tanda DM dapat digolongkan
menjadi 2 yaitu:
a. Gejala akut penyakit DM
Gejala penyakit DM bervariasi pada setiap, bahkan mungkin tidak
menunjukan gejala apapun sampai saat tertentu. Pemulaan gejala
yang ditunjukan meliputi:
1) Lapar yang berlebihan atau makan banyak (poliphagi)
Pada diabetes, karena insulin bermasalah pemaasukan gula kedalam
sel sel tubuh kurang sehingga energi yang dibentuk pun kurang
itun sebabnya orang menjadi lemas. Oleh karena itu, tubuh
berusaha meningkatkan asupan makanan dengan menimbulkan rasa
lapar sehingga timbulah perasaan selalu ingin makan.
2) Sering merasa haus (polidipsi)
Dengan banyaknya urin keluar, tubuh akan kekurangan air atau
dehidrasi. Untuk mengatasi hal tersebut timbulah rasa haus sehingga
orang ingin selalu minum dan ingin minum manis, minuman
manis akan sangat merugikan karena membuat kadar gula semakin
tinggi.
3) Jumlah urin yang dikeluarkan banyak (poliuri)
Jika kadar gula melebihi nilai normal, maka gula darah akan keluar
bersama urin,untu menjaga agar urin yang keluar, yang mengandung
gula,tak terlalu pekat, tubuh akan menarik air sebanyak mungkin ke
dalam urin sehingga volume urin yang keluar banyak dan kencing pun
sering. Jika tidak diobati maka akan timbul gejala banyak minum,
banyak kencing, nafsu makan mulai berkurang atau berat badan
turun dengan cepat (turun 5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu),
mudah lelah dan bila tidak lekas diobati, akan timbul rasa mual.
b. Gejala kronik penyakit DM
Gejala kronik yang sering dialami oleh penderita DM menurut
PERKENI (2015), adalah:
1) Kesemutan.
2) Kulit terasa panas atau seperti tertusuk tusuk jarum.
3) Rasa tebal dikulit.
4) Kram.
5) Mudah mengantuk.
6) Mata kabur.
7) Biasanya sering ganti kaca mata.
8) Gatal disekitar kemaluan terutama pada wanita.
9) Gigi mudah goyah dan mudah lepas.
10) Kemampuan seksual menurun.
11) Dan para ibu hamil sering mengalami keguguranatau kematian
janin dalam kandungan atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4kg.

D. Patofisiologi dan Pathway


Menurut Smeltzer (2015), Diabetes tipe I. Pada diabetes tipe I
terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena sel sel
beta prankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun. Hiperglikemi
puasa terjadi akibat produksi glukosa yang tidak terukur oleh hati.
Disamping glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dihati
meskipun tetap berada dalam darah menimbulkan hiperglikemia
prospandial. Jika kosentrasi glukosa daram darah cukup tinggi maka
ginjal tidak dapat menyerap kembali glukosa yang tersaring keluar,
akibatnya glukosa tersebut muncul dalam urine (glikosuria). Ketika
glukosa yang berlebihan dieksresikan kedalam urine, ekresi ini akan disertai
pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan, keadaan ini dinamakan
diuresis ostomik, sebagai akibat dari kehilangan cairan berlebihan, pasien
akan mengalami peningkatan dal berkemih (poliurea), dan rasa haus
(polidipsi) (Smeltzer & Bare, 2015). Difisiensi insulin juga akan
menganggu metabilisme protein dalam lemak yang menyebabkan
penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan selera
makan (polifagia), akibat menurunan simpanan kalori. Gejala lainya
kelelahan dan kelemahan. Dalam keadaan normal insulin mengendalikan
glikogenolisis (pemecahan glikosa yang tersimpan) dan glukoneogenesis
(pembentukan glukosa baru dari asam asam amino dan subtansi lain).
Namun pada penderita difisiensi insulin, proses ini akan terjadi tampa
hambatan dan lebih lanjut akan turut menimbulkan hipergikemia.
Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak yang mengakibatkan
peningkatan produksi badan keton yang merupakan produk smping
pemecahan lemak. Badan keton merupakan asam yang menganggu
keseimbangan asam basa tubuh apabila jumlahnya berlebih. Ketoasidosis
yang disebabkan dapat menyebabkan tanda tanda gejala seperti nyeri
abdomen mual, muntah, hiperventilasi, nafas berbau aseton dan bila
tidak ditangani akan menimbulkan penurunan kesadaran, koma bahkan
kematian. Pemberian insulin bersama cairan dan elektrolit sesuai kebutuhan
akan memperbaiki dengan cepat kelainan metabolik tersebut dan
mengatasi gejala hiperglikemi serta ketoasidosis. Diet dan latihan disertai
pemantauan kadar gula darah yang sering merupakan komponen terapi yang
penting (Smeltzer & Bare,2015).
DM tipe II merupakan suatu kelainan metabolik dengan karakteristik
utama adalah terjadinya hiperglikemia kronik. Meskipun pula pewarisannya
belum jelas, faktor genetik dikatakan memiliki peranan yang sangat
penting dalam munculnya DM tipe II. Faktor genetik ini akan berinterksi
dengan faktor faktor lingkungan seperti gaya hidup, obesitas, rendah
aktivitas fisik, diet, dan tingginya kadar asam lemak bebas (Smeltzer &
Bare, 2015). Mekanisme terjadinya DM tipe II umunya disebabkan karena
resistensi insulin dan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terkait
dengan reseptor khusus pada permukaan sel.sebagai akibat terikatnya
insulin dengan reseptor tersebut,terjadi suatu rangkaian reaksi dalam
metabolisme glukosa didalam sel. Resistensi insulin DM tipe II disertai
denganpenurunan reaksi intra sel. Dengan demikian insulin menjadi tidak
efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk
mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa
dalam darah, harus terjadi peningkatan jumlah insulin yang
disekresikan (Smeltzer & Bare, 2015). Pada penderita toleransi glukosa
terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan
kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkatyang normal atau sedikit
meningkat. Namun demikian, jika sel sel B tidak mampu
mengimbangipeningkatan kebutuhan insulin, maka kadar glukosa akan
meningkat dan terjadinya DM tipe II. Meskipun terjadi gangguan sekresi
insulin yang berupakan ciri khas DM tipe II, namun masih terdapat
insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak
dan produksi badan keton yang menyertainya, karena itu ketoasidosis
diabetik tidak terjadi pada DM tipe II, meskipun demikian, DM tipe II
yang tidak terkontrol akan menimbulkan masalah akut lainya seperti
sindrom Hiperglikemik Hiporosmolar Non-Ketotik (HHNK). (Smeltzer &
Bare, 2015). Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat(selama
bertahun tahun) dan progesif, maka DM tipe II dapat berjalan tanpa
terdeteksi. Jika gejalannya dialami pasien, gejalatersebut sering bersifat
ringan, seperti: kelelahan, iritabilitas, poliuria,polidipsia, luka pada kulit
yang lama sembuh, infeksi vagina atau pandangan kabur (jika kadar
glukosanya sangat tinggi.) (Smeltzer & Bare, 2015).
Gambar WOC Diabetes Melitus (Smeltzer & Bare , 2015)

Reaksi Autoimun Obesitas, usia, genetik

DM Tipe 1 DM Tipe 2

Sel Beta Sel Beta


pankrease hancur pankrease rusak

Anabolisme Defisiensi Insulin Penurunan


proses pemakaian glukosa

Liposis meningkat
Kerusakan pada antibodi Hiperglikemi
a
Gliserol asam lemak bebas

Kekebalan tubuh poliphagi viskolita


Aterosklerosis Katogenesis

Neuropati sensori perifer Polidipsi Darah


Ketonuria

Aliran
Merasa sakit pada luka Ketoasidosis Poliuri
darah
melambat

makrovaskuler mikrovaskuler Nyeri abdomen, Ketidak


Nyeri efektifan Iskemik
mual, muntah,
Akut gula darah jaringan
koma
Jantung
selebral Retina Ginjal
Ketidak
efektifan
perfusi
Retina Neuropati jaringan
Miokard Penyumbatan perifer
infark

Gangguan
Nekrosis luka kerusakan
integritas kulit dan
jaringan
gangren
Aktivitas
terganggu

Intoleransi aktivitas
E. Klasifikasi
Klasifikasi diabetes melitus menurut Smeltzeret al, (2013) ada 3 yaitu:
a. Tipe 1 (Diabetes melitus tergantung insulin)
Sekitar 5% sampai 10% pasien mengalami diabetes tipe 1. Diabetes
melitus tipe 1 ditandai dengan destruksi sel-sel beta pankreas akibat faktor
genetik, imunologis, dan juga lingkungan. DM tipe 1 memerlukan injeksi
insulin untuk mengontrol kadar glukosa darah.
b. Tipe 2 (Diabetes melitus tak –tergantung insulin)
Sekitar 90% sampai 95% pasien mengalami diabetes tipe 2. Diabetes tipe
2 disebabkan karena adanya penurunan sensitivitas terhadap
insulin (resistensi insulin) atau akibat penurunan jumlah insulin yang
diproduksi.
c. Diabetes mellitus gestasional
Diabetes gestasional ditandai dengan intoleransi glukosa yang muncul
selama kehamilan, biasanya pada trimester kedua atau ketiga. Risiko
diabetes gestasional disebabkan obesitas, riwayat pernah
mengalami diabetes gestasional, glikosuria, atau riwayat keluarga
yang pernah mengalami diabetes.

F. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemertiksaan darah
Menurut WHO (2015), yaitu:
1) Gula darah sewaktu = < 200 mg/dl
2) Gula darah 2 jam post pragial = < 140 mg/dl
3) Gula darah puasa = 70-110 mg/dl
b. Pemeriksaan fungsi tiroid
Peningkatan aktivitas hormon tiroid dapat meningkatkan glukosa
darah dan kebutuhan akaninsulin.
c. Urine
Pemeriksaan didapatkan adanya glukosa dalam urine. Pemeriksaan
dilakukan dengan cara Benedict ( reduksi ). Hasil dapat dilihat melalui
perubahan warna pada urine: hijau ( + ), kuning ( ++ ), merah ( +++ ), dan
merah bata ( ++++ ).
d. Kultur pusMengetahui jenis kuman pada luka dan memberikan
antibiotik yang sesuai dengan jenis kuman.

G. Komplikasi
Kadar glukosa darah yang tidak terkontrol pada penderita DM tipe II
akan menyebabkan berbagai komplikasi. Komplikasi DM tipe II terbagi
menjadi dua berdasarkan lama terjadinya yaitu komplikasi akut dan
komplikasi kronik (Smeltzel dan Bare, 2015; PERKENI, 2015):
a. Komplikasi Akut
1) Ketoasidosis Diabetik (KAD)
KAD merupakan komplikasi akut DM yang di tandai dengan
peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dl),
disertai dengan adanya tanda dan gejala asidosis dan plasma keton
(+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/Ml) dan
terjadi peningkatan anion gap (PERKENI, 2015).
2) Hipoglikemi
Hipoglikemi ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah
hingga mencapai <60 mg/dL. Gejala hipoglikemia terdiri dari
gejala adrenergik (berdebar, banyak keringat, gemetar, rasa
lapar) dan gejala neuro-glikopenik (pusing, gelisah, kesadaran
menurun sampai koma) (PERKENI, 2015).
3) Hiperosmolar Non Ketonik (HNK)
Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi
(600-1200 mg/dl), tanpa tanda dan gejala asidosis,osmolaritas
plasma sangat meningkat (330-380 mOs/ml),plasma keton (+/-),
anion gap normal atau sedikit meningkat (PERKENI, 2015).
b. Komplikasi Kronik (menahun)
Menurut Smeltzer (2015), kategori umum komplikasi jangka panjang
terdiri dari:oMakroangiopati: pembuluh darah jantung, pembuluh
darah tepi, pembuluh darah otak.
1) Mikroangiopati: pembuluh darah kapiler retina mata (retinopati
diabetik) dan Pembuluh darah kapiler ginjal (nefropati diabetik).
2) Neuropatid: suatu kondisi yang mempengaruhi sistem saraf, di
mana serat-serat saraf menjadi rusak sebagai akibat dari cedera atau
penyakit.
3) Komplikasi dengan mekanisme gabungan: rentan infeksi,
contohnya tuberkolusis paru, infeksi saluran kemih,infeksi kulit
dan infeksi kaki dan disfungsi ereksi.

H. Penatalaksanaan Medis
Menurut PERKENI (2015), komponen dalam penatalaksan DM yaitu:
Diet, olahraga, edukasi/penyuluhan, pemantauan gula darah, dan pemberian
obat-obatan, perawatan luka.
a. Terapi dengan Insulin
Terapi farmakologi untuk pasien diabetes melitus geriatri tidak
berbeda dengan pasien dewasa sesuai dengan algoritma, dimulai dari
monoterapi untuk terapi kombinasi yang digunakan dalam
mempertahankan kontrol glikemik. Apabila terapi kombinasi oral gagal
dalam mengontrol glikemik maka pengobatan diganti menjadi insulin
setiap harinya. Meskipun aturan pengobatan insulin pada pasien lanjut
usia tidak berbeda dengan pasien dewasa, prevalensi lebih tinggi dari
faktor-faktor yang meningkatkan risiko hipoglikemia yang dapat
menjadi masalah bagi penderita diabetespasien lanjut usia. Alat yang
digunakan untuk menentukan dosis insulin yang tepat yaitu dengan
menggunakan jarum suntik insulin premixed atau predrawn yang dapat
digunakan dalam terapi insulin. 16 Lama kerja insulin beragam antar
individu sehingga diperlukan penyesuaian dosis pada tiap pasien.
Oleh karena itu, jenis insulin dan frekuensi penyuntikannya
ditentukan secara individual. Umumnya pasien diabetes melitus
memerlukan insulin kerja sedang pada awalnya, kemudian
ditambahkan insulin kerja singkat untukmengatasi hiperglikemia
setelah makan. Namun, karena tidak mudah bagi pasien untuk
mencampurnya sendiri, maka tersedia campuran tetap dari kedua jenis
insulin regular (R) dan insulin kerja sedang. Idealnya insulin
digunakan sesuai dengan keadaan fisiologis tubuh, terapi insulin
diberikan sekali untuk kebutuhan basal dan tiga kali dengan insulin
prandial untuk kebutuhan setelah makan. Namun demikian, terapi
insulin yang diberikan dapat divariasikan sesuai dengan kenyamanan
penderita selama terapi insulinmendekati kebutuhan fisiologis.
b. Obat antidiabetik oral
1) Sulfonilurea
Pada pasien lanjut usia lebih dianjurkan menggunakan OAD
generasi kedua yaitu glipizid dan gliburid sebab resorbsi lebih
cepat, karena adanya non ionic-binding dengan albumin sehingga
resiko interaksi obat berkurang demikian juga resiko hiponatremi
dan hipoglikemia lebih rendah. Dosis dimulai dengan dosis
rendah. Glipizid lebih dianjurkan karena metabolitnya tidak aktif
sedangkan 18 metabolit gliburid bersifat aktif.Glipizide dan
gliklazid memiliki sistem kerja metabolit yang lebih pendek atau
metabolit tidak aktif yang lebih sesuai digunakan pada pasien
diabetes geriatri. Generasi terbaru sulfoniluera ini selain
merangsang pelepasan insulin dari fungsi sel beta pankreas juga
memiliki tambahan efek ekstrapankreatik.
2) Golongan Biguanid Metformin
Pada pasien lanjut usia tidak menyebabkan hipoglekimia jika
digunakan tanpa obat lain, namun harus digunakan secara hati-
hati pada pasien lanjut usia karena dapat menyebabkan
anorexia dan kehilangan berat badan. Pasien lanjut usia harus
memeriksakan kreatinin terlebih dahulu. Serum kretinin yang
rendah disebakan karena massa otot yang rendah pada orangtua.
3) Penghambat Alfa Glukosidase/Acarbose
Obat ini merupakan obat oral yang menghambat alfaglukosidase, suatu
enzim pada lapisan sel usus, yang mempengaruhi digesti sukrosa
dan karbohidrat kompleks. Sehingga mengurangi absorb
karbohidrat dan menghasilkan penurunan peningkatan glukosa
postprandial. Walaupun kurang efektif dibandingkan golongan obat
yanglain, obat tersebut dapat dipertimbangkan pada pasien lanjut
usia yang mengalami diabetes 19 ringan. Efek samping
gastrointestinal dapat membatasi terapi tetapi juga bermanfaat bagi
mereka yang menderita sembelit. Fungsi hati akan terganggu pada
dosis tinggi, tetapi hal tersebut tidak menjadi masalah klinis.
4) Thiazolidinediones
Thiazolidinediones memiliki tingkat kepekaan insulin yang baik
dan dapat meningkatkan efek insulin dengan mengaktifkan PPAR
alpha reseptor. Rosiglitazone telah terbukti aman dan efektif untuk
pasien lanjut usia dan tidak menyebabkan hipoglekimia. Namun,
harus dihindari pada pasien dengan gagal jantung.
Thiazolidinediones adalah obat yang relatif.

I. Pengkajian
Menurut NANDA (2013), fase pengkajian merupakan sebuah
komponen utama untuk mengumpulkan informasi, data, menvalidasi data,
mengorganisasikan data, dan mendokumentasikan data. Pengumpulan data
antara lain meliputi :
a. Biodata
1) Identitas Pasien (nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan,
pekerjaan, agama, suku, alamat,status, tanggal masuk, tanggal
pengkajian, diagnose medis)
2) Identitas penanggung jawab (nama,umur,pekerjaan, alamat, hubungan
dengan pasien)
b. Riwayat kesehatan
1) Keluhan utama, biasanya keluhan utama yang dirasakan pasien
saat dilakukan pengkajian. Pada pasien post debridement ulkus
kaki diabetik yaitu nyeri 5 –6 (skala 0 -10)
2) Riwayat kesehatan sekarang
Data diambil saat pengkajian berisi tentang perjalanan penyakit
pasien dari sebelum dibawa ke IGD sampai dengan
mendapatkan perawatan di bangsal.
3) Riwayat kesehatan dahulu
Adakah riwayat penyakit terdahulu yang pernah diderita oleh
pasien tersebut, seperti pernah menjalani operasi berapa kali, dan
dirawat di RS berapa kali.
4) Riwayat kesehatan keluarga Riwayat penyakit keluarga, adakah
anggota keluarga dari pasien yang menderita penyakit Diabetes
Mellitus karena DM ini termasuk penyakit yang menurun.
c. Pola Fungsional Gordon
1) Minuman, waktu berapa kali sehari, nafsu makan menurun / tidak,
jenis Pola persepsi kesehatan: adakah riwayat infeksi
sebelumnya,persepsi pasien dan keluarga mengenai pentingnya
kesehatan bagi anggota keluarganya.
2) Pola nutrisi dan cairan : pola makan dan minum sehari –hari,
jumlah makanan dan minuman yang dikonsumsi, jeni makanan dan
makanan yang disukai, penurunan berat badan.
3) Pola eliminasi : mengkaji pola BAB dan BAK sebelum dan selama sakit
, mencatat konsistensi,warna, bau, dan berapa kali sehari, konstipasi,
beser.
4) Pola aktivitas dan latihan : reaksi setelah beraktivitas (muncul
keringat dingin, kelelahat/ keletihan), perubahan pola nafas setelah
aktifitas, kemampuan pasien dalam aktivitas secara mandiri.
5) Pola tidur dan istirahat : berapa jam sehari, terbiasa tidur siang,
gangguan selama tidur (sering terbangun), nyenyak, nyaman.
6) Pola persepsi kognitif : konsentrasi, daya ingat, dan kemampuan
mengetahui tentang penyakitnya
7) Pola persepsi dan konsep diri : adakah perasaan terisolasi diri atau
perasaan tidak percaya diri karena sakitnya.
8) Pola reproduksi dan seksual
9) Pola mekanisme dan koping : emosi, ketakutan terhadap
penyakitnya, kecemasan yang muncul tanpa alasan yang jelas.
10) Pola hubungan : hubungan antar keluarga harmonis,
interaksi , komunikasi, car berkomunikasi11)Pola keyakinan dan
spiritual : agama pasien, gangguan beribadah selama sakit, ketaatan
dalam berdo’a dan beribadah.
d. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum
Penderita post debridement ulkus dm biasanya timbul nyeri akibat
pembedahanskala nyeri (0 -10), luka kemungkinan rembes pada
balutan. Tanda-tanda vital pasien (peningkatan suhu, takikardi),
kelemahan akibat sisa reaksi obat anestesi.
2) Sistem pernapasan
Ada gangguan dalam pola napas pasien, biasanya pada pasien post
pembedahan pola pernafasannya sedikit terganggu akibat
pengaruh obat anesthesia yang diberikan di ruang bedah dan pasien
diposisikan semi fowler untuk mengurangi atau menghilangkan sesak
napas.
3) Sistem kardiovaskuler
Denyut jantung, pemeriksaan meliputi inspeksi, palpasi, perkusi dan
auskultasi pada permukaan jantung, tekanan darah dan nadi
meningkat.
4) Sistem pencernaan
Pada penderita post pembedahan biasanya ada rasa mual akibat
sisa bius,setelahnya normal dan dilakukan pengkajian tentang
nafsu makan, bising usus, berat badan.
5) Sistem musculoskeletal
Pada penderita ulkus diabetic biasanya ada masalah pada sistem ini
karena pada bagian kaki biasannya jika sudah mencapai stadium 3 –4
dapatmenyerang sampai otot. Dan adanya penurunan aktivitas pada
bagian kaki yang terkena ulkus karena nyeri post pembedahan.
6) Sistem intregumen
Turgor kulit biasanya normal atau menurun akibat input dan
output yang tidak seimbang. Pada luka post debridement
kulit dikelupas untuk membuka jaringan mati yang tersembunyi di
bawah kulit tersebut.

J. Diagnosa Keperawatan
Menurut Nanda, (2013), diagnosa keperawatan yang muncul antara lain :
a. Nyeri akut berhubungan dengan insisi pembedahan.
b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan luka post operasi
debridement.
c. Resiko infeksi berhubungan dengan adanya luka post debridement
d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan imobilitas.
e. Ketidakstabilan kadar glukosa darah berhubungan dengan penurunan
berat badan.

K. Perencanaan Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan insisi pembedahan.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam
diharapkan masalah keperawatan nyeri akut dapat menurun.
Keriteria hasil: tidak ada keluhan nyeri, skala nyeri 0, tidak berikap
pritektif, pola tidur membaik, kemampuan menuntaskan aktivitas
meningkat.
Rencana Keperawatan:
- Identifikasi lokasi, karakteristik, intensitas, kualitas nyeri.
- Identifikasi skala nyeri.
- Identifikasi respon nyeri non verbal.
- Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri.
- Monitor efek samping penggunaan analgetik.
- Berikan teknik relaksasi napas dalam.
- Fasilitasi istirahat dan tidur.
- Anjurkan monitor nyeri secara mandiri.

Kolaborasi:

- Beri obat analgetik.


b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan luka post operasi
debridement.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam
diharapkan masalah keperawatan kerusakan integritas kulit dapat
membaik.
Keriteria hasil: kerusakan jaringan menurun, kerusakan lapisan kulit
menurun, tidak nyeri, tidak ada tanda-tanda perdarahan, tidak ada tanda-
tanda infeksi, elastisitas meningkat.
Rencana Keperawatan:
- Monitor karakteristik luka (mis. Drainase, warna, ukuran, bau).
- Monitor tanda-tanda infeksi.
- Lepaskan balutan dan plaster secara perlahan.
- Bersihkan dengan cairan NaCl atau pembersih nontoksik sesuai
kebutuhan.
- Bersihkan jaringan nekrotik.
- Berikan salep yang sesuai.
- Pasang baluan sesuai jenis luka.
- Pertahankan teknik steril jika perawatan luka.
- Mencuci tangan sebelum dan sesuadah melakukan perawatan luka.

Kolaborasi:

- Beri Antibiotik.
c. Resiko infeksi berhubungan dengan adanya luka post debridement.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam
diharapkan masalah keperawatan resiko infeksi tidak dapat terjadi.
Keriteria hasil: TTV normal TD 100-140/60-90 mmHg, N 60-100 x/menit,
RR 12-20 x/menit, T 36,5-37,50C, tidak ada tanda dan gejala infeksi, hasil
lab darah leukosit normal 5000-10000/ul, pola tidur membaik, tidak ada
abses, tidak ada cairan berbau busuk.
Rencana Keperawatan:
- Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik.
- Batasi jumlah pengunjung.
- Berikan perawatan kulit pada area edema.
- Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan paien dan lingkungan
pasien.
- Jelaskan tanda dan gejala infeksi.
- Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar.
- Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi dan cairan.
d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan imobilitas.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam
diharapkan masalah keperawatan intoleransi aktivitas dapat meningkat.
Keriteria hasil: TTV normal TD 100-140/60-90 mmHg, N 60-100 x/menit,
RR 12-20 x/menit, T 36,5-37,50C, tidak mengeluh lelah, kemudahan dalam
melakukan aktivitas sehari-hari meningkat.
Rencana Keperawatan:
- Identifikasi defisit tingkat aktivitas.
- Moitor respons emosional, fisik, sosial, dan spiritual terhadap aktivitas.
- Fasilitasi fokus pada kemampuan, bukan defisit yang dialami.
- Fasilitasi aktifitas fisik rutin (mis. Ambulasi, mobilisasi, dan
perawatan diri).
- Libatkan keluraga dalam aktivitas.
e. Ketidakstabilan kadar glukosa darah berhubungan dengan penurunan
berat badan.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam
diharapkan masalah keperawatan ketidakstabilan kadar glukosa darah
dapat membaik.
Keriteria hasil:
Rencana Keperawatan:
- Identifikasi kemungkinan penyebab hiperglikemia.
- Identifikasi situasi yang menyebabkan kebutuhan insulin meningkat
(mis. Penyakit kambuhan).
- Monitor kadar glukosa darah.
- Monitor tanda dan gejala hiperglikemia (mis.poliuri, polifagia,
polidipsia, kelemahan, malise, pandangan kabur, sakit kepala).
- Monitor intake dan output cairan.
- Berikan asupan cairan oral.
- Anjurkan monitor kadar glkosa darah secra mandiri.
- Ajarkan kepatuhan terhadap diit dan olahraga.

Kolaborasi:

- Beri insulin.
- Beri cairan kalium.
- Beri cairan IV.

L. Pelaksanaan Keperawatan
Implementasi keperawatan merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan
oleh perawat maupun tenaga medis lain untuk membantu pasien dalam
proses penyembuhan dan perawatan serta masalah kesehatan yang
dihadapi pasien yang sebelumnya disusun dalam rencana keperawatan
(Nursallam, 2011).

M. Evaluasi Keperawatan
Menurut Nursalam (2011), evaluasi keperawatan terdiri dari dua jenis yaitu :
a. Evaluasi formatif
Evaluasi ini disebut juga evaluasi berjalan dimana evaluasi dilakukan
sampai dengan tujuan tercapai.
b. Evaluasi somatif
Merupakan evaluasi akhir dimana dalam metode evaluasiini
menggunakan SOAP.
N. Daftar Pustaka
American Diabetes Association (ADA), (2013). Diakses tgl 11 juni 2017
Diabetes bacic. Http://www.diabetes.org/ diabetes-bacics.
PERKERNI. (2015). Konsensus pengelolaan dan pencegahan Diabetes
Melitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta : PERKERNI
PPNI. (2018). Standar luaran keperawatan indonesia: definisi dan kriteria
hasil keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar intervensi keperawatan indonesia: definisi dan
tindakan keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2016). Standar diagnosis keperawatan indonesia:definisi dan
indikator diagnostik. Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
Shadine, M. (2010). Mengenal penyakit diabetes melitus. Jakarta : Keenbooks
Smeltzer, S. C. & Bare, B. G. (2015). Baru ajar keperawatan medikal bedah.
Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai