Laporan Kasus Meningoensefalitis TB
Laporan Kasus Meningoensefalitis TB
Disusun oleh:
Tan, Margaretha Heidina Handoko (01073180052)
Patrick Putra Lukito (01073180017)
Penguji:
dr. Astra Dea Simanungkalit, Sp.S
I. Identitas Pasien
a. Nama : Hendra Wijaya
b. Jenis Kelamin : Laki-laki
c. Usia : 33 tahun
d. Status Perkawinan : Sudah menikah
e. Agama : Islam
f. No. Rekam Medis : RSUS.00-80-18-XX
g. Tanggal masuk RS : 22 Mei 2019
II. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan ibu pasien pada tanggal 29
Mei 2019 pukul 09:00 WIB di ISO lantai 3 Rumah Sakit Umum Siloam.
a. Keluhan Utama
Penurunan kesadaran sejak 1 hari SMRS.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien laki-laki berusia 33 tahun dibawa ke Rumah Sakit Umum Siloam
karena mengalami penurunan kesadaran sejak 1 hari SMRS. Pasien tinggal
di luar kota, dan menurut keterangan ibunya pasien sudah mengalami
penurunan kesadaran saat ia dijemput oleh keluarganya di Brebes. Saat
kejadian tersebut pasien menjadi tidak nyambung dan tidak dapat
mengenali keluarganaya saat diajak berbicara namun pasien masih dapat
berjalan dan membuka matanya. Pasien juga mengalami demam, namun
tidak diukur suhunya. Pasien tidak mengkonsumi obat untuk demamnya
tersebut. Pasien dikatakan sering mengalami sakit kepala. Pasien juga
mengalami batuk, tidak berdahak. Nafsu makan pasien menurun. Ibu
pasien meyangkal adanya kejang, muntah proyektil, dan riwayat jatuh.
Tidak ada gangguan BAB dan BAK.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat penyakit TB 7 bulan yang lalu, namun hanya
mengkonsumsi OAT selama 3 bulan lalu putus obat. 2 minggu SMRS
pasien dirawat di RS Brebes dengan diagnosa demam tifoid. Pasien tidak
pernah mengalami keluhan serupa. Riwayat HT, DM, jantung, asma,
maupun alergi disangkal oleh ibu pasien.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan serupa. Riwayat HT,
DM, jantung, asma, maupun alergi disangkal.
e. Riwayat Sosial, Kebiasaan, Pola Hidup
Pasien memiliki riwayat merokok kurang lebih 12 batang sehari selama 10
tahun. Pasien tidak mengkonsumsi alcohol atau pun obat-obatan terlarang.
III. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 29 Mei 2019
1. Keadaan Umum : Sakit sedang
2. Kesadaran : Stupor GCS 9 (E2M5V2)
3. Tanda Vital :
Blood Pressure 120/70mmHg
Heart Rate 89x/min
Respiration Rate 20x/min
Temperature 37.1℃
SpO2 97%
4. Status Generalis :
Sistem Deskripsi
Kepala Normosefali, lesi (-), perdarahan (-)
Mata Konjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-
THT Dalam batas normal
Leher KGB dalam batas normal
Thorax Vesikular, ronchi +/+, wheezing -/-
Abdomen Bising usus (+), nyeri tekan (-)
Extremitas Akral hangat, CRT <2 detik
5. Status Neurologis :
Meningeal sign
Neck Stiffness -
Laseque sign > 70°/> 70°
Kernig sign > 135°/> 135°
Brudzinski I sign -
Brudzinski II sign -
Brainstem reflex
Pupillary reflex +/+
Corneal reflex +/+
Doll’s eye +/+
Gag reflex +
Cranial nerve
I Tidak dilakukan
II Tidak dilakukan
III IV VI Dextra Sinistra
Motorik
Upper Extremity Atrofi (-), fasikulasi (-),
normotonus, gerakan
involunter (-)
Lower Extremity Atrofi (-), fasikulasi (-),
normotonus, gerakan
involunter (-)
Lateralisasi Kesan: lateralisasi sinistra
Physiologic reflex Dextra Sinistra
+2 +3
+2 +3
+2 +2
+2 +2
Patologic Reflex Dextra Sinistra
Babinski - -
Chaddock - -
Oppenheim - -
Gordon - -
Hoffman - -
Schaeffer - -
Sensorik
Tidak dilakukan
Coordination
Tidak dilakukan
Otonom
Miksi Normal
Defekasi Normal
Sekresi Keringat Normal
Fungsi luhur
MMSE tidak dilakukan
IV. Resume
Pasien laki-laki berusia 33 tahun datang dibawa keluarganya dengan
keluhan penurunan kesadaran sejak 1 hari SMRS. Pasien tidak nyambung
ketika berbicara dan tidak dapat mengenali keluarganya. Pasien juga
mengalami demam, namun tidak diukur suhunya. Pasien dikatakan sering
mengalami sakit kepala. Pasien juga mengalami batuk, tidak berdahak.
Pasien memiliki riwayat penyakit TB 7 bulan yang lalu, namun hanya
mengkonsumsi OAT selama 3 bulan lalu putus obat. Pasien memiliki
riwayat merokok. Pada pemeriksaan fisik pasien terlihat sakit sedang.
Pada kedua lapang paru ditemukan adanya ronchi. Terdapat kesan
lateralisasi sinistra, paresis CN VII sinistra, dan hiperrefleksia pada biceps
dan triceps sinistra.
V. Diagnosis
a. Klinis : penurunan kesadaran, hemiparesis sinistra, parese CN VII
sentral sinistra, hiperrefleksia biceps dan triceps sinistra, febris, cephalgia.
b. Topis : Meningens dan cerebri
c. Etiologis : Infeksi
d. Patologis : Inflamasi dan iritasi meningens dan cerebri
VI. Diagnosis Kerja
Meningoensefalitis TB dengan hidrosefalus dan vaskulitis.
VII. Diagnosis Banding
Meningoensefalitis bakterial
VIII. Prognosis
a. Ad Vitam : dubia ad malam
b. Ad Functionam : dubia ad malam
c. Ad Sanationam : dubia ad malam
IX. Saran Pemeriksaan Penunjang
a. CT scan kepala non kontras (22-05-2019/16:44 WIB)
Kesan:
Infark lacunar lama pada kapsula interna cruz posterior kanan
Ventrikel lateralis bilateral, III dan IV melebar ringan dengan system
sisterna menyempit suspek Meningitis
Sinusitis ringan maksilaris bilateral
Mastoiditis kiri
b. X-ray thorax (22-05-2019/11:50 WIB)
Gambar 2. X-ray thorax
Kesan:
Paru: Perselubungan inhomogen pada lapangan atas paru kanan,
infiltrate pada lapangan tengah dan bawah paru kanan, infiltrate pada
seluruh lapangan paru kiri
Mediastinum: Normal
Trakea dan bronkus: Trakea deviasi ke kanan
Hilus: Kanan tertarik ke superior
Pleura: Normal
Diafragma: Normal
Jantung: CTR <50%
Aorta: Normal
Vertebra thorakal dan tulang-tulang lainnya: Nornal
Jaringan lunak: Normal
Abdomen yang tervisualisasi: Normal
Leher yang tervisualisasi: Normal
Impression:
c. Laboratorium
22-05-2019
JENIS PEMERIKSAAN NILAI NILAI NORMAL
Compelete Blood Count
Hemoglobin 13.30 g/dL 13.20-17.30
Hematokrit 41.60 % 40.00-52.00
Erythrocyte 5.61 x 106 /μl 4.40-5.90
White Blood Cell 12.62 x 103/ μl 3.80-10.60
Differential Count
Basophil 0% 0-1%
Eosinophil 0% 1-3%
Band Neutrophil 3% 2-6%
Segment Neutrophil 85% 50-70%
Lymphocyte 4% 25-40%
Monocyte 8% 2-8%
Platelet Count 480 x 103/ μl 150.000-440.000
ESR 27 mm/hours 0-15
MCV, MCH, MCHC
SGOT – SGPT
SGOT (AST) 12 U/L 0 – 40
SGPT (ALT) 18 U/L 0 – 41
Electrolyte
Sodium (Na) 124 mmol/L 137-145
Potasium (K) 4.5 mmol/L 3.6 – 5.0
Chloride (Cl) 90 mmol/L 98– 107
Fungsi ginjal
Ureum 29 mg/dL < 50.00
Creatinin 0.75 mg/dL 0.5 – 1.3
eGFR 120.5 mL/mnt/ > 60
1.73 m2
X. Saran Terapi
OAT:
a. Isoniazid (INH) 300 mg/hari
b. Rifampisin 450 mg/hari
c. Pirazinamid 1,5g/hari
d. Etambutol 750mg/hari
Dexamethasone IV 2mg/hari
Omeprazole PO 2x40mg
Ceftriaxone IV
XI. Follow Up
Tanggal Follow Up
30/05/19 S Pasien buang air besar lebih dari 4 kali
dengan konsistensi cair.
O KU: Sakit sedang
Kesadaran: Stupor GCS 10 E3M5V2
BP 130/80 mmHg HR 104x/min RR
22x/min T 36.6
Kepala: KA -/- ,SI -/-
Thorax: vesikular, rh +/-, wh -/-
Abdomen: NT (-) BU (+)
Kesan lateralisasi sinistra
Refleks Fisiologis: biceps 2+/3+, triceps
2+/3+
Parese CN VII sinistra
Cegukan (+)
A Meningoensefalitis TB, hidrosefalus,
vaskulitis, diare
P Levofloxacin 1 x 750 mg IV
Omeprazole 2 x 40 mg IV
Streptomycin 1 x750 mg
Aspar K 2 x 600 mg
Domperidone 3 x 1 tab
Chlorpromazine 3 x 25 mg
Dexamethasone 2 x 10 mg IV
Glaucan 3 x 50 mg
Ceftriaxone 2 x 2 g IV
Etambutol 1 x 1000 mg
Pirazinamid 3 x 500 mg
Rifampicin 1 x 900 mg
Isoniazid 1 x 300 mg
Acetylcystein 2 x 200 mg
Aspilet 1 x 80 mg
New diatab 2 tab prn
Tanggal Follow Up
31/05/19 S Pasien buang air besar sebanyak 2 kali
dengan konsistensi cair
O KU: Sakit sedang
Kesadaran: Stupor GCS 10 E3M5V2
BP 130/80 mmHg HR 100x/min RR
21x/min T 36.5
Kepala: KA -/- ,SI -/-
Thorax: vesikular, rh +/-, wh -/-
Abdomen: NT (-) BU (+)
Kesan lateralisasi sinistra
Refleks Fisiologis: biceps 2+/3+, triceps
2+/3+
Parese CN VII sinistra
Cegukan (+)
A Meningoensefalitis TB, hidrosefalus,
vaskulitis, diare
P Levofloxacin 1 x 750 mg IV
Omeprazole 2 x 40 mg IV
Streptomycin 1 x750 mg
Aspar K 2 x 600 mg
Domperidone 3 x 1 tab
Chlorpromazine 3 x 25 mg
Dexamethasone 2 x 10 mg IV
Glaucon 3 x 50 mg
Ceftriaxone 2 x 2 g IV
Etambutol 1 x 1000 mg
Pirazinamid 3 x 500 mg
Rifampicin 1 x 900 mg
Isoniazid 1 x 300 mg
Acetylcystein 2 x 200 mg
Aspilet 1 x 80 mg
New diatab 2 tab prn
BAB II
ANALISA KASUS
Pasien laki-laki berusia 33 tahun datang dengan keluhan penurunan kesadaran sejak 1
hari SMRS. Menurut ibunya, saat kejadian tersebut pasien menjadi tidak nyambung
saat diajak berbicara. Pasien juga dikatakan pernah mengalami demam namun tidak
diketahui bagaiaman pola serta derajat demamnya. Ibu pasien meyangkal adanya
kejang, muntah proyektil, dan riwayat jatuh. Namun, anamnesis dilakukan secara
alloanamnesis kepada ibu pasien sehingga informasi yang diberikan bisa saja tidak
sepenuhnya akurat. Ibu pasien sesungguhnya tidak mengetahui apakah penurunan
kesadaran terjadi 1 hari SMRS atau sudah terjadi dari 2 hari sebelumnya dikarenakan
pasien berada di luar kota saat gejala tersebut muncul.
Sebelumnya, penting untuk diketahui apakah pasien terinfeksi HIV atau tidak karena
pasien dengan infeksi HIV harus menggunakan pendekatan yang berbeda baik dari
diagnosis ataupun penanganan. Meningitis pada pasien dengan HIV paling sering
disebabkan oleh infeksi tuberkulosis sehingga harus dipikirkan apakah pasien
terinfeksi HIV atau tidak. Terlebih lagi, pada pasien HIV sering juga terdapat massa
intracerebral yang disebabkan baik oleh infeksi Toxoplasma gondii, progressive
multifocal leukoencephalopathy, cryptococcoma, dan lymphoma. Semuanya memiliki
gejala yang mirip dengan meninoencephalitis tuberkulosis sehingga penting untuk
diketahui status HIV pasien guna menyingkirkan kemungkinan adanya kondisi-
kondisi tersebut. Pada pasien tidak ditemukan infeksi HIV sehingga penyakit-
penyakit tersebut dapat disingkirkan dan pendekatan diagnosis dapat menggunakan
algoritma di bawah ini:
Pada pasien ditemukan terjadi penurunan kesadaran sehingga diagnosis mengarah ke
meningoencephalitis, acute disseminated encephalomyelitis (ADEM), atau lesi
massa. Tahap selanjutnya adalah melakukan pemeriksaan kultur darah dan pemberian
terapi antibiotik empiris. Selanjutnya, dilakukan pemeriksaan CT-scan kepala non-
kontras dan ditemukan tidak ada abnormalitas pada substantia nigra sehingga
diagnosis mengarah ke encephalitis atau meningoencephalitis. Kemudian, untuk
menentukan etiologinya, dapat dilakukan analisa LSS. Interpretasi LSS dapat
menggunakan tabel di bawah ini:
Dari hasil analisa LSS pasien ditemukan cairan LSS jernih, jumlah sel yang
meningkat dengan predominansi sel PMN, penurunan glukosa dan chloride, serta
peningkatan protein. Dari analisa ini dapat disimpulkan bahwa etiologi
meningoencephalitis pasien adalah bakteri. Sebuah pedoman dari British Infection
Society menyatakan bahwa dapat dikatakan terjadi predominansi PMN bila jumlah
PMN mencapai lebih dari 90% total sel. Bila mengikuti pedoman ini, maka
sebenarnya belum bisa dikatakan terjadi predominansi PMN pada pasien ini.
Peningkatan jumlah leukosit yang terjadi pada LSS pasien menjadi 156 x 103 /mL
juga tidak setinggi yang biasa ditemukan pada infeksi bakteri. Dari riwayat pasien,
ditemukan bahwa pasien juga pernah menderita tuberkulosis paru dan tidak
menyelesaikan pengobatannya. Atas ketiga dasar ini, meningoencephalitis TB
sebaiknya tidak disingkirkan begitu saja. Sebuah penelitian menyatakan bahwa pada
36% pasien dengan meningoencephalitis TB dapat memiliki peningkatan sel dengan
predominansi sel PMN. Penelitian lain juga menyatakan bahwa pada fase awal
meningoencephalitis TB dapat terjadi predominansi PMN.
Tahap selanjutnya adalah melakukan kultur daripada LSS. Pada pasien dilakukan
kultur BTA dan bakteri. Kultur BTA membutuhkan waktu lebih dari dua minggu
untuk mendapatkan hasilnya. Pada pasien ini hasil kultur BTA belum selesai. Kultur
bakteri pada pasien menunjukkan bahwa ditemukan adanya Staphylococcus
epidermidis. Bakteri ini biasa menyebabkan infeksi pada pasien yang memiliki
ventriculoperitoneal shunt dan tanpa adanya alat prostetik seperti itu sangat jarang
ditemukan dapat menyebabkan infeksi sistem saraf pusat. Sebuah penelitian
menyatakan bahwa Staphylococcus epidermidis merupakan kontaminan yang paling
sering ditemukan pada kultur LSS. Bilamana Staphylococcus epidermidis
menyebabkan infeksi sistem saraf pusat, pada analisa LSS biasa perubahan yang
ditemukan minimal dengan penurunan kadar glukosa yang ringan. Atas dasar ini,
Staphylococcus epidermidis dapat disingkirkan dari etiologi. Masih dibutuhkan waktu
untuk mendapatkan hasil dari kultur BTA sehingga penyebab dapat benar-benar
diketahui namun karena pada kultur bakteri tidak ditemukan bakteri penyebab
meningoencephalitis pada pasien, maka penyebab yang memungkinkan sekarang
adalah infeksi tuberkulosis.
Untuk lebih menegakkan diagnosis, dapat digunakan skor dari British Infection
Society di bawah ini:
Menggunakan skor pertama, gejala pasien telah berjalan lebih dari 5 hari. LSS pasien
ditemukan jernih, jumlah leukosit 156 x103/mL, MN 26%, dan protein 326mg/dL.
Terdapat lebih dari 2 variabel pada pasien ini sehingga pasien dapat didiagnosis
menderita meningoencephalitis tuberkulosis. Jika menggunakan skor kedua, usia
pasien 33 tahun (0), leukosit darah 12,62 x 103 (0), gejala berjalan hari ke 7 (-5),
jumlah leukosit pada LSS 156 x 103 /mL (0), dan PMN 72% (0) dan didapat skor -5,
yang menandakan meningoencephalitis tuberkulosis. Pada tahap ini, diagnosis
meningoencephalitis tuberkulosis dapat ditegakkan.
Pada pasien ditemukan adanya hemiparesis sinistra. Hal ini dapat disebabkan oleh
komplikasi dari meningoencephalitis yaitu vaskulitis yang dapat bermanifestasi
sebagai “stroke like syndrome” yang ditemukan pada 20% pasien
meningoencephalitis tuberkulosis. Arteri yang berjalan melalui ruang subaraknoid
mengalami endarteritis dan penebalan intimal yang mengakibatkan penurunan aliran
darah. Akibatnya, terjadi iskemia dan infark pada jaringan yang diperdarahi oleh
pembuluh darah tersebut. Cabang perforata arteri serebri media adalah yang paling
sering terlibat dan menyebabkan infark pada ganglia basal dan kapsula interna. Pada
pemeriksaan CT-scan kepala non-kontras ditemukan adanya infark lama pada cruz
posterior kapsula interna kanan. Pasien sebelumnya tidak pernah mengeluhkan gejala
kelemahan anggota gerak sehingga kemungkinan besar infark yang terjadi adalah
akibat dari vaskulitisnya.
Salah satu komplikasi lain dari meningoencephalitis tuberkulosis yang cukup sering
adalah hydrocephalus. Hydrocephalus ditemukan pada 40% - 65% pasien
meningoencephalitis tuberkulosis dewasa. Hydrocephalus yang terjadi dapat bersifat
komunikans atau non-komunikans. Bila terjadi penyumbatan pada foramen Magendie
oleh eksudat atau inflamasi maka dapat terjadi hydrocephalus non-komunikans.
Namun, bila hanya penyerapan LSS saja yang terganggu akibat dari proses inflamasi
yang berjalan maka yang terjadi adalah hydrocephalus non-komunikans. Yang lebih
sering ditemukan adalah tipe komunikans. Hydrocephalus juga dapat menyebabkan
penurunan kesadaran pada pasien ini.