Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN KASUS

KEPANITERAAN KLINIK KEGAWATDARURATAN NEUROLOGI

MENINGOENSEFALITIS TB DENGAN HIDROSEFALUS DAN


VASKULITIS

Disusun oleh:
Tan, Margaretha Heidina Handoko (01073180052)
Patrick Putra Lukito (01073180017)

Penguji:
dr. Astra Dea Simanungkalit, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK KEGAWATDARURATAN NEUROLOGI


SILOAM HOSPITALS LIPPO VILLAGE – RUMAH SAKIT UMUM SILOAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE 20 MEI – 14 JUNI 2019
TANGERANG
BAB I
TINJAUAN KASUS

I. Identitas Pasien
a. Nama : Hendra Wijaya
b. Jenis Kelamin : Laki-laki
c. Usia : 33 tahun
d. Status Perkawinan : Sudah menikah
e. Agama : Islam
f. No. Rekam Medis : RSUS.00-80-18-XX
g. Tanggal masuk RS : 22 Mei 2019
II. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan ibu pasien pada tanggal 29
Mei 2019 pukul 09:00 WIB di ISO lantai 3 Rumah Sakit Umum Siloam.
a. Keluhan Utama
Penurunan kesadaran sejak 1 hari SMRS.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien laki-laki berusia 33 tahun dibawa ke Rumah Sakit Umum Siloam
karena mengalami penurunan kesadaran sejak 1 hari SMRS. Pasien tinggal
di luar kota, dan menurut keterangan ibunya pasien sudah mengalami
penurunan kesadaran saat ia dijemput oleh keluarganya di Brebes. Saat
kejadian tersebut pasien menjadi tidak nyambung dan tidak dapat
mengenali keluarganaya saat diajak berbicara namun pasien masih dapat
berjalan dan membuka matanya. Pasien juga mengalami demam, namun
tidak diukur suhunya. Pasien tidak mengkonsumi obat untuk demamnya
tersebut. Pasien dikatakan sering mengalami sakit kepala. Pasien juga
mengalami batuk, tidak berdahak. Nafsu makan pasien menurun. Ibu
pasien meyangkal adanya kejang, muntah proyektil, dan riwayat jatuh.
Tidak ada gangguan BAB dan BAK.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat penyakit TB 7 bulan yang lalu, namun hanya
mengkonsumsi OAT selama 3 bulan lalu putus obat. 2 minggu SMRS
pasien dirawat di RS Brebes dengan diagnosa demam tifoid. Pasien tidak
pernah mengalami keluhan serupa. Riwayat HT, DM, jantung, asma,
maupun alergi disangkal oleh ibu pasien.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan serupa. Riwayat HT,
DM, jantung, asma, maupun alergi disangkal.
e. Riwayat Sosial, Kebiasaan, Pola Hidup
Pasien memiliki riwayat merokok kurang lebih 12 batang sehari selama 10
tahun. Pasien tidak mengkonsumsi alcohol atau pun obat-obatan terlarang.
III. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 29 Mei 2019
1. Keadaan Umum : Sakit sedang
2. Kesadaran : Stupor GCS 9 (E2M5V2)
3. Tanda Vital :
Blood Pressure 120/70mmHg
Heart Rate 89x/min
Respiration Rate 20x/min
Temperature 37.1℃
SpO2 97%

4. Status Generalis :
Sistem Deskripsi
Kepala Normosefali, lesi (-), perdarahan (-)
Mata Konjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-
THT Dalam batas normal
Leher KGB dalam batas normal
Thorax Vesikular, ronchi +/+, wheezing -/-
Abdomen Bising usus (+), nyeri tekan (-)
Extremitas Akral hangat, CRT <2 detik

5. Status Neurologis :
 Meningeal sign
Neck Stiffness -
Laseque sign > 70°/> 70°
Kernig sign > 135°/> 135°
Brudzinski I sign -
Brudzinski II sign -

 Brainstem reflex
Pupillary reflex +/+
Corneal reflex +/+
Doll’s eye +/+
Gag reflex +

 Cranial nerve
I Tidak dilakukan
II Tidak dilakukan
III IV VI Dextra Sinistra

Celah Palpebral Normal Normal


Pupil PBI 3mm PBI 3mm
RCL + +
RCTL + +
Nystagmus Tidak dilakukan
Pergerakan bola Tidak dilakukan
mata
V Sensoris; dalam batas normal
VII Motorik; sudut mulut kiri tertinggal
Sensoris; tidak dilakukan
VIII Tidak dilakukan
IX X Gag reflex +
XI Tidak dilakukan
XII Tidak dilakukan

 Motorik
Upper Extremity Atrofi (-), fasikulasi (-),
normotonus, gerakan
involunter (-)
Lower Extremity Atrofi (-), fasikulasi (-),
normotonus, gerakan
involunter (-)
Lateralisasi Kesan: lateralisasi sinistra
Physiologic reflex Dextra Sinistra
+2 +3
+2 +3
+2 +2
+2 +2
Patologic Reflex Dextra Sinistra
 Babinski - -
 Chaddock - -
 Oppenheim - -
 Gordon - -
 Hoffman - -

 Schaeffer - -

 Sensorik
Tidak dilakukan
 Coordination
Tidak dilakukan
 Otonom
Miksi Normal
Defekasi Normal
Sekresi Keringat Normal

 Fungsi luhur
MMSE tidak dilakukan
IV. Resume
Pasien laki-laki berusia 33 tahun datang dibawa keluarganya dengan
keluhan penurunan kesadaran sejak 1 hari SMRS. Pasien tidak nyambung
ketika berbicara dan tidak dapat mengenali keluarganya. Pasien juga
mengalami demam, namun tidak diukur suhunya. Pasien dikatakan sering
mengalami sakit kepala. Pasien juga mengalami batuk, tidak berdahak.
Pasien memiliki riwayat penyakit TB 7 bulan yang lalu, namun hanya
mengkonsumsi OAT selama 3 bulan lalu putus obat. Pasien memiliki
riwayat merokok. Pada pemeriksaan fisik pasien terlihat sakit sedang.
Pada kedua lapang paru ditemukan adanya ronchi. Terdapat kesan
lateralisasi sinistra, paresis CN VII sinistra, dan hiperrefleksia pada biceps
dan triceps sinistra.
V. Diagnosis
a. Klinis : penurunan kesadaran, hemiparesis sinistra, parese CN VII
sentral sinistra, hiperrefleksia biceps dan triceps sinistra, febris, cephalgia.
b. Topis : Meningens dan cerebri
c. Etiologis : Infeksi
d. Patologis : Inflamasi dan iritasi meningens dan cerebri
VI. Diagnosis Kerja
Meningoensefalitis TB dengan hidrosefalus dan vaskulitis.
VII. Diagnosis Banding
Meningoensefalitis bakterial
VIII. Prognosis
a. Ad Vitam : dubia ad malam
b. Ad Functionam : dubia ad malam
c. Ad Sanationam : dubia ad malam
IX. Saran Pemeriksaan Penunjang
a. CT scan kepala non kontras (22-05-2019/16:44 WIB)
Kesan:
 Infark lacunar lama pada kapsula interna cruz posterior kanan
 Ventrikel lateralis bilateral, III dan IV melebar ringan dengan system
sisterna menyempit  suspek Meningitis
 Sinusitis ringan maksilaris bilateral
 Mastoiditis kiri
b. X-ray thorax (22-05-2019/11:50 WIB)
Gambar 2. X-ray thorax

Kesan:
 Paru: Perselubungan inhomogen pada lapangan atas paru kanan,
infiltrate pada lapangan tengah dan bawah paru kanan, infiltrate pada
seluruh lapangan paru kiri
 Mediastinum: Normal
 Trakea dan bronkus: Trakea deviasi ke kanan
 Hilus: Kanan tertarik ke superior
 Pleura: Normal
 Diafragma: Normal
 Jantung: CTR <50%
 Aorta: Normal
 Vertebra thorakal dan tulang-tulang lainnya: Nornal
 Jaringan lunak: Normal
 Abdomen yang tervisualisasi: Normal
 Leher yang tervisualisasi: Normal

Impression:

TB paru aktif dengan komponen atelektasis paru kanan atas.

c. Laboratorium
22-05-2019
JENIS PEMERIKSAAN NILAI NILAI NORMAL
Compelete Blood Count
Hemoglobin 13.30 g/dL 13.20-17.30
Hematokrit 41.60 % 40.00-52.00
Erythrocyte 5.61 x 106 /μl 4.40-5.90
White Blood Cell 12.62 x 103/ μl 3.80-10.60
Differential Count
Basophil 0% 0-1%
Eosinophil 0% 1-3%
Band Neutrophil 3% 2-6%
Segment Neutrophil 85% 50-70%
Lymphocyte 4% 25-40%
Monocyte 8% 2-8%
Platelet Count 480 x 103/ μl 150.000-440.000
ESR 27 mm/hours 0-15
MCV, MCH, MCHC

MCV 74.20 fL 80.00-100.00


MCH 23.70 pg 26.00-34.00
MCHC 32.00 g/dL 32.00-36.00
Biochemistry

SGOT – SGPT
SGOT (AST) 12 U/L 0 – 40
SGPT (ALT) 18 U/L 0 – 41

Electrolyte
Sodium (Na) 124 mmol/L 137-145
Potasium (K) 4.5 mmol/L 3.6 – 5.0
Chloride (Cl) 90 mmol/L 98– 107
Fungsi ginjal
Ureum 29 mg/dL < 50.00
Creatinin 0.75 mg/dL 0.5 – 1.3
eGFR 120.5 mL/mnt/ > 60
1.73 m2

Random Blood Glucose 110 mg / dL < 200


Blood gas analysis
pH 7.410 7.350 – 7.450
pO2 75.0 mmHg 83 - 108
pCO2 45.3 mmHg 35.0 – 48.0
HCO3 28.0 mmol/L 21.0 – 28.0
Total CO2 29.4 mmol/L 24.0 – 30.0
Base excess 3.2 mmol/L (-) 2.4 – (+) 2.3
O2 saturation 95.2 95.0 – 98.0
Immunology/serology
Anti HIV (Rapid) Non-reactive Non-reactive
28-05-2019
JENIS PEMERIKSAAN NILAI NILAI NORMAL
Electrolyte

Sodium (Na) 131 mmol/L 137-145


Potasium (K) 3.4 mmol/L 3.6 – 5.0
Chloride (Cl) 99 mmol/L 98– 107

d. Lumbal Pungsi (22-05-2019/15:13 WIB)

Observation Value Unit H/L Ref. range


Macroscopic
Color Colourless Colourless
Clarity Clear Clear
Clot Negative Negative
Sediment Negative Negative
Microscopic
Cell count 156 H <10
PMN 77 %
MN 23 %
Chemicals
Glucose 16.0 mg/dL L 40.0-76.0
Chloride (Cl) 109 mmol/L L 115-130
Protein (Quantitative) 3.26 g/dL H 0.15-0.45
Random Blood 110 mg / dL < 200
Glucose darah
Rasio glukosa LSS : 0.15 L >0.4-0.5
darah
e. Kultur LSS (22/05/2019)
Ditemukan adanya Staphylococcus epidermidis.

X. Saran Terapi
 OAT:
a. Isoniazid (INH) 300 mg/hari
b. Rifampisin 450 mg/hari
c. Pirazinamid 1,5g/hari
d. Etambutol 750mg/hari

Regimen diatas diberikan selama 2 bulan, dilanjutkan dengan pemberian


Isoniazid dan Rifampicin selama 12 bulan.

 Dexamethasone IV 2mg/hari
 Omeprazole PO 2x40mg
 Ceftriaxone IV
XI. Follow Up
Tanggal Follow Up
30/05/19 S Pasien buang air besar lebih dari 4 kali
dengan konsistensi cair.
O KU: Sakit sedang
Kesadaran: Stupor GCS 10 E3M5V2
BP 130/80 mmHg HR 104x/min RR
22x/min T 36.6
Kepala: KA -/- ,SI -/-
Thorax: vesikular, rh +/-, wh -/-
Abdomen: NT (-) BU (+)
Kesan lateralisasi sinistra
Refleks Fisiologis: biceps 2+/3+, triceps
2+/3+
Parese CN VII sinistra
Cegukan (+)
A Meningoensefalitis TB, hidrosefalus,
vaskulitis, diare
P  Levofloxacin 1 x 750 mg IV
 Omeprazole 2 x 40 mg IV
 Streptomycin 1 x750 mg
 Aspar K 2 x 600 mg
 Domperidone 3 x 1 tab
 Chlorpromazine 3 x 25 mg
 Dexamethasone 2 x 10 mg IV
 Glaucan 3 x 50 mg
 Ceftriaxone 2 x 2 g IV
 Etambutol 1 x 1000 mg
 Pirazinamid 3 x 500 mg
 Rifampicin 1 x 900 mg
 Isoniazid 1 x 300 mg
 Acetylcystein 2 x 200 mg
 Aspilet 1 x 80 mg
 New diatab 2 tab prn
Tanggal Follow Up
31/05/19 S Pasien buang air besar sebanyak 2 kali
dengan konsistensi cair
O KU: Sakit sedang
Kesadaran: Stupor GCS 10 E3M5V2
BP 130/80 mmHg HR 100x/min RR
21x/min T 36.5
Kepala: KA -/- ,SI -/-
Thorax: vesikular, rh +/-, wh -/-
Abdomen: NT (-) BU (+)
Kesan lateralisasi sinistra
Refleks Fisiologis: biceps 2+/3+, triceps
2+/3+
Parese CN VII sinistra
Cegukan (+)
A Meningoensefalitis TB, hidrosefalus,
vaskulitis, diare
P  Levofloxacin 1 x 750 mg IV
 Omeprazole 2 x 40 mg IV
 Streptomycin 1 x750 mg
 Aspar K 2 x 600 mg
 Domperidone 3 x 1 tab
 Chlorpromazine 3 x 25 mg
 Dexamethasone 2 x 10 mg IV
 Glaucon 3 x 50 mg
 Ceftriaxone 2 x 2 g IV
 Etambutol 1 x 1000 mg
 Pirazinamid 3 x 500 mg
 Rifampicin 1 x 900 mg
 Isoniazid 1 x 300 mg
 Acetylcystein 2 x 200 mg
 Aspilet 1 x 80 mg
 New diatab 2 tab prn
BAB II

ANALISA KASUS

Pasien laki-laki berusia 33 tahun datang dengan keluhan penurunan kesadaran sejak 1
hari SMRS. Menurut ibunya, saat kejadian tersebut pasien menjadi tidak nyambung
saat diajak berbicara. Pasien juga dikatakan pernah mengalami demam namun tidak
diketahui bagaiaman pola serta derajat demamnya. Ibu pasien meyangkal adanya
kejang, muntah proyektil, dan riwayat jatuh. Namun, anamnesis dilakukan secara
alloanamnesis kepada ibu pasien sehingga informasi yang diberikan bisa saja tidak
sepenuhnya akurat. Ibu pasien sesungguhnya tidak mengetahui apakah penurunan
kesadaran terjadi 1 hari SMRS atau sudah terjadi dari 2 hari sebelumnya dikarenakan
pasien berada di luar kota saat gejala tersebut muncul.

Penurunan kesadaran merupakan manifestasi klinis dari defisit neurologis yang


bersifat global. Hal ini juga menandakan bahwa sedang terjadi proses gangguan di
otak yang sedang berlangsung. Terdapat beberapa penyebab dari penurunan
kesadaran yaitu:

 Intoksikasi alkohol, peningkatan ammonia (ensepalopati hepatika)


 Gangguan endokrin, seperti hipertiroid, hipotiroid, dan DKA.
 Iatrogenik, contoh steroid, antikolinergik, dan opiat.
 Uremikum ensepalopati
 Trauma
 Kejang
 Keganasan
 Iskemia / perdarahan intraserebral
 Infeksi, contoh sepsis, encephalitis, dan meningitis.
 Gangguan elektrolit, terutama hipoglikemia, hiponatremia berat, dan
hiperkalsium.

Menurut pengakuan ibunya, pasien tidak mengkonsumsi minum minuman beralkohol


secara rutin sehingga intoksikasi alkohol dapat disingkirkan. Pasien juga tidak
memiliki riwayat penyakit hipertiroidisme, hipotiroidisme, ataupun diabetic
ketoacidosis yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran. Menurut ibunya pasien
juga tidak mengkonsumsi obat-obatan ataupun NAPZA sehingga penyebab iatrogenic
dapat disingkirkan. Pada pasien juga tidak ditemukan adanya bau ammonia ataupun
kelainan ginjal sehingga uremikum ensepalopati dapat disingkirkan. Pasien juga tidak
memiliki riwayat trauma pada bagian kepala dan pada pemeriksaan fisik juga tidak
ditemukan adanya tanda-tanda trauma. Ibu pasien mengatakan pasien juga tidak
pernah mengalami kejang sebelumnya. Pasien juga tidak memiliki riwayat keganasan.
Penurunan kesadaran yang dialami pasien juga tidak akut sehingga
iskemia/perdarahan intraserebral dapat disingkirkan. Pada pemeriksaan penunjang,
ditemukan pasien mengalami hiponatremia berat sehingga gangguan elektrolit masih
dapat menjadi penyebab penurunan kesadaran. Untuk infeksi, pasien ditemukan
pernah mengalami demam. Pada pemeriksaan fisik juga pernah ditemukan adanya
kaku kuduk sehingga infeksi masih memungkinkan untuk menjadi penyebab
penurunan kesadaran yang dialami pasien.

Infeksi yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran adalah encephalitis,


meningitis, dan meningoencephalitis. Encephalitis adalah inflamasi parenkim otak
yang dapat disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, atau parasite. Trias yang khas dari
encephalitis adalah demam, kejang, dan penurunan kesadaran. Meningitis adalah
inflamasi pada lapisan meninges otak. Trias yang khas dari meningitis adalah kaku
kuduk, demam, dan nyeri kepala. Pada meningitis, jarang ditemukan adanya kejang
dan penurunan kesadaran juga relatif lebih ringan. Sedangkan pada
meningoencephalitis, terdapat inflamasi baik pada parenkim otak dan lapisan
meninges sehingga gejala dan tanda-tanda yang muncul adalah gabungan dari
keduanya. Pada pasien yang ditemukan mengalami demam, penurunan kesadaran,
dan kaku kuduk.

Sebelumnya, penting untuk diketahui apakah pasien terinfeksi HIV atau tidak karena
pasien dengan infeksi HIV harus menggunakan pendekatan yang berbeda baik dari
diagnosis ataupun penanganan. Meningitis pada pasien dengan HIV paling sering
disebabkan oleh infeksi tuberkulosis sehingga harus dipikirkan apakah pasien
terinfeksi HIV atau tidak. Terlebih lagi, pada pasien HIV sering juga terdapat massa
intracerebral yang disebabkan baik oleh infeksi Toxoplasma gondii, progressive
multifocal leukoencephalopathy, cryptococcoma, dan lymphoma. Semuanya memiliki
gejala yang mirip dengan meninoencephalitis tuberkulosis sehingga penting untuk
diketahui status HIV pasien guna menyingkirkan kemungkinan adanya kondisi-
kondisi tersebut. Pada pasien tidak ditemukan infeksi HIV sehingga penyakit-
penyakit tersebut dapat disingkirkan dan pendekatan diagnosis dapat menggunakan
algoritma di bawah ini:
Pada pasien ditemukan terjadi penurunan kesadaran sehingga diagnosis mengarah ke
meningoencephalitis, acute disseminated encephalomyelitis (ADEM), atau lesi
massa. Tahap selanjutnya adalah melakukan pemeriksaan kultur darah dan pemberian
terapi antibiotik empiris. Selanjutnya, dilakukan pemeriksaan CT-scan kepala non-
kontras dan ditemukan tidak ada abnormalitas pada substantia nigra sehingga
diagnosis mengarah ke encephalitis atau meningoencephalitis. Kemudian, untuk
menentukan etiologinya, dapat dilakukan analisa LSS. Interpretasi LSS dapat
menggunakan tabel di bawah ini:

Dari hasil analisa LSS pasien ditemukan cairan LSS jernih, jumlah sel yang
meningkat dengan predominansi sel PMN, penurunan glukosa dan chloride, serta
peningkatan protein. Dari analisa ini dapat disimpulkan bahwa etiologi
meningoencephalitis pasien adalah bakteri. Sebuah pedoman dari British Infection
Society menyatakan bahwa dapat dikatakan terjadi predominansi PMN bila jumlah
PMN mencapai lebih dari 90% total sel. Bila mengikuti pedoman ini, maka
sebenarnya belum bisa dikatakan terjadi predominansi PMN pada pasien ini.
Peningkatan jumlah leukosit yang terjadi pada LSS pasien menjadi 156 x 103 /mL
juga tidak setinggi yang biasa ditemukan pada infeksi bakteri. Dari riwayat pasien,
ditemukan bahwa pasien juga pernah menderita tuberkulosis paru dan tidak
menyelesaikan pengobatannya. Atas ketiga dasar ini, meningoencephalitis TB
sebaiknya tidak disingkirkan begitu saja. Sebuah penelitian menyatakan bahwa pada
36% pasien dengan meningoencephalitis TB dapat memiliki peningkatan sel dengan
predominansi sel PMN. Penelitian lain juga menyatakan bahwa pada fase awal
meningoencephalitis TB dapat terjadi predominansi PMN.

Tahap selanjutnya adalah melakukan kultur daripada LSS. Pada pasien dilakukan
kultur BTA dan bakteri. Kultur BTA membutuhkan waktu lebih dari dua minggu
untuk mendapatkan hasilnya. Pada pasien ini hasil kultur BTA belum selesai. Kultur
bakteri pada pasien menunjukkan bahwa ditemukan adanya Staphylococcus
epidermidis. Bakteri ini biasa menyebabkan infeksi pada pasien yang memiliki
ventriculoperitoneal shunt dan tanpa adanya alat prostetik seperti itu sangat jarang
ditemukan dapat menyebabkan infeksi sistem saraf pusat. Sebuah penelitian
menyatakan bahwa Staphylococcus epidermidis merupakan kontaminan yang paling
sering ditemukan pada kultur LSS. Bilamana Staphylococcus epidermidis
menyebabkan infeksi sistem saraf pusat, pada analisa LSS biasa perubahan yang
ditemukan minimal dengan penurunan kadar glukosa yang ringan. Atas dasar ini,
Staphylococcus epidermidis dapat disingkirkan dari etiologi. Masih dibutuhkan waktu
untuk mendapatkan hasil dari kultur BTA sehingga penyebab dapat benar-benar
diketahui namun karena pada kultur bakteri tidak ditemukan bakteri penyebab
meningoencephalitis pada pasien, maka penyebab yang memungkinkan sekarang
adalah infeksi tuberkulosis.

Untuk lebih menegakkan diagnosis, dapat digunakan skor dari British Infection
Society di bawah ini:
Menggunakan skor pertama, gejala pasien telah berjalan lebih dari 5 hari. LSS pasien
ditemukan jernih, jumlah leukosit 156 x103/mL, MN 26%, dan protein 326mg/dL.
Terdapat lebih dari 2 variabel pada pasien ini sehingga pasien dapat didiagnosis
menderita meningoencephalitis tuberkulosis. Jika menggunakan skor kedua, usia
pasien 33 tahun (0), leukosit darah 12,62 x 103 (0), gejala berjalan hari ke 7 (-5),
jumlah leukosit pada LSS 156 x 103 /mL (0), dan PMN 72% (0) dan didapat skor -5,
yang menandakan meningoencephalitis tuberkulosis. Pada tahap ini, diagnosis
meningoencephalitis tuberkulosis dapat ditegakkan.

Pada pasien ditemukan adanya hemiparesis sinistra. Hal ini dapat disebabkan oleh
komplikasi dari meningoencephalitis yaitu vaskulitis yang dapat bermanifestasi
sebagai “stroke like syndrome” yang ditemukan pada 20% pasien
meningoencephalitis tuberkulosis. Arteri yang berjalan melalui ruang subaraknoid
mengalami endarteritis dan penebalan intimal yang mengakibatkan penurunan aliran
darah. Akibatnya, terjadi iskemia dan infark pada jaringan yang diperdarahi oleh
pembuluh darah tersebut. Cabang perforata arteri serebri media adalah yang paling
sering terlibat dan menyebabkan infark pada ganglia basal dan kapsula interna. Pada
pemeriksaan CT-scan kepala non-kontras ditemukan adanya infark lama pada cruz
posterior kapsula interna kanan. Pasien sebelumnya tidak pernah mengeluhkan gejala
kelemahan anggota gerak sehingga kemungkinan besar infark yang terjadi adalah
akibat dari vaskulitisnya.

Salah satu komplikasi lain dari meningoencephalitis tuberkulosis yang cukup sering
adalah hydrocephalus. Hydrocephalus ditemukan pada 40% - 65% pasien
meningoencephalitis tuberkulosis dewasa. Hydrocephalus yang terjadi dapat bersifat
komunikans atau non-komunikans. Bila terjadi penyumbatan pada foramen Magendie
oleh eksudat atau inflamasi maka dapat terjadi hydrocephalus non-komunikans.
Namun, bila hanya penyerapan LSS saja yang terganggu akibat dari proses inflamasi
yang berjalan maka yang terjadi adalah hydrocephalus non-komunikans. Yang lebih
sering ditemukan adalah tipe komunikans. Hydrocephalus juga dapat menyebabkan
penurunan kesadaran pada pasien ini.

Pasien mengalami hiponatremia dengan nilai natrium 124mmol/L pada tanggal 22


Mei 2019 dan 131mmol/L pada tanggal 28 Mei 2019. Hiponatremia adalah salah satu
komplikasi meningoencephalitis tuberkulosis yang menandakan adanya proses
syndrome of inappropriate secretion of antidiuretic hormone (SIADH) atau cerebral salt
wasting syndrome (CSWS). Hiponatremia adalah salah satu gangguan metabolik yang
dapat menyebabkan penurunan kesadaran.

Untuk penanganan, pemberian obat anti tuberkulosis dapat mengikuti rekomendasi di


bawah ini:
Isoniazid adalah obat yang dapat menembus sawar darah otak dan memiliki efek
bakterisidal yang kuat. Rifampicin ditemukan memiliki kemampuan menembus
sawar darah otak yang relatif lebih lemah namun berdasarkan hasil temuan bahwa
pasien tuberkulosis yang resisten terhadap Rifampicin memiliki tingkat mortalitas
yang lebih tinggi, maka Rifampicin tetap menjadi obat kunci dalam penanganan
penyakit ini. Untuk Pyrazinamide, belum ada data yang mendukung bahwa
Pyrazinamide memperbaiki kondisi pasien meningoencephalitis tuberkulosis namun
obat ini dapat diserap dengan baik dan mencapai tingkat konsentrasi yang tinggi di
otak sehingga dipilih menjadi obat ketiga. Untuk pemilihan obat keempat, sebenarnya
belum ada data yang adekuat. Obat yang sering direkomendasikan adalah
Streptomycin atau Ethambutol. Streptomycin harus dihindari pada pasien dengan
gangguan ginjal dan Ethambutol sebaiknya dihindari pada pasien koma karena dapat
menyebabkan neuropati optik. Pada pasien ini diberikan Rifampicin 1x900mg,
Isoniazid 1x300mg, Pyrazinamide 3x500mg, Ethambutol 1x1000mg, dan
Streptomycin 1x750mg.

Pemberian kortikosteroid direkomendasikan bagi semua pasien meningoensefalitis


tuberkulosis. Pemberian kortikosteroid pedomannya berdasarkan derajat keparahan
penyakit yaitu:

1. MRC Derajat 1: GCS 15 tanpa defisit neurologis fokal


2. MRC Derajat 2: GCS 11-14 atau GCS 15 dengan defisit neurologis fokal
3. MRC Derajat 3 : GCS ≤10, dengan atau tanpa defisit neurologis fokal
Pemberian kortikosteroid dapat menggunakan pedoman berikut ini:
Pada pasien ini derajat keparahannya adalah MRC derajat 3 dan berusia di atas 14
tahun sehingga obat yang sebaiknya diberikan adalah Dexamethasone dengan dosis
sesuai pedoman tersebut. Pada pasien ini diberikan Dexamethasone IV 2x10mg.
Dosis ini sesuai dengan yang direkomendasikan.

Untuk menangani hydrocephalus, sebaiknya dilakukan pemeriksaan MRI untuk


membedakan apakah hydrocephalus yang diderita oleh pasien termasuk dalam tipe
komunikans atau non-komunikans. Indikasi pemasangan ventriculoperitoneal shunt
adalah hydrocephalus non-komunikans dan juga hydrocephalus komunikans yang
tidak membaik dengan penanganan medikamentosa. Hydrocephalus komunikans
dapat ditangani terlebih dahulu dengan Furosemide (40mg/24j) dan Acetazolamide
(10-20mg/kg). Pada pasien ini diberikan Glaucan 3x50mg, lebih rendah dari dosis
yang dianjurkan.

Untuk menangani vaskulitis, diberikan corticosteroid sesuai dengan rekomendasi


sebelumnya. Pemberian aspilet pada pasien meningoencephalitis tuberkulosis masih
kontroversial dikarenakan baru ada 1 penelitian yang menyatakan bahwa terdapat
penurunan risiko dan mortalitas. Pada pasien ini diberikan Aspilet 1x80mg.

Untuk menangani hyponatremia, perlu diketahui sebelumnya penyebab dari kondisi


tersebut. Pada penderita meningoencephalitis tuberkulosis, komplikasi yang dapat
menyebabkan hyponatremia adalah SIADH atau CSW. Ditemukan penyebab yang
lebih sering adalah CSW. Untuk menangani hyponatremia pada pasien ini dapat
menggunakan algoritma di bawah ini:

Perlu dilakukan pemeriksaan osmolalitas serum untuk menentukan penyebab dari


hyponatremia. Pada pasien ini ditemukan osmolalitasnya adalah 273 mOsm/kg yang
menandakan adanya CSW. Penanganan CSW meliputi penggantian cairan,
penggunaan hypertonic saline, dan pemberian Fludrocortisone acetate pada kasus
refraktori. Pada pasien ini dapat diberikan hypertonic saline (NaCl 3%) dikarenakan
adanya defisit neurologis. Penanganan juga bergantung pada perjalanan penyakit.
Pada pasien ini hyponatremia telah berjalan lebih dari 48 jam sehingga dapat
dikategorikan sebagai kronik. Batas peningkatan kadar natrium dalam darah bagi
pasien hyponatremia kronik adalah 10 – 12mmol/L dalam 24 jam pertama dan tidak
melebihi 18mmol/L dalam 2 hari. Pada pasien natrium diberikan melalui infus normal
saline (NaCl 0,9%). Pemberian NaCl 3% tidak diberikan karena pemberian normal
saline serta terapi lainnya sudah bisa memperbaiki kadar natrium pada pasien.
Pemberian NaCl 3% ditakutkan akan menimbulkan efek samping yang tidak
diinginkan seperti osmotic demyelination syndrome. Terlebih lagi, tidak ditemukan
edema pada otak pasien sehingga koreksi natrium tidak perlu dilakukan dengan
agresif.

Obat-obatan lain yang diberikan pada pasien adalah Levofloxacin, Ceftriaxone,


Omeprazol, Domperidone, Aspar K, Chlorpromazine, dan Acetylcysteine. Pemberian
antibiotik diberikan untuk menangani kemungkinan adanya infeksi bakteri baik di
sistem saraf pusat atau di tempat lain. Infeksi bakterial di tempat lain perlu dicurigai
karena nilai leukosit dalam darah pasien yang tinggi. Bila menganut rekomendasi,
terapi empiris antibiotik diberikan sampai kultur darah dan LSS negatif untuk bakteri
selama lebih dari 48 jam. Pada pasien ini tidak dilakukan kultur darah dan juga kultur
LSS belum diulang namun karena dicurigai adanya infeksi di tempat lain maka terapi
antibiotik tetap dilanjutkan. Omeprazole dan Domperidone diberikan untuk mengatasi
mual dan muntah. Aspar K diberikan pada pasien karena pasien mengalami
hipokalemia serta diare. Chlorphromazine diberikan untuk mengatasi cegukan pada
pasien sedangkan Acetylcysteine untuk mengurangi jumlah dahak pada pasien.
Pasien juga diberikan New Diatap untuk mengatasi diarenya.

Prognosis pada pasien meningoencephalitis tuberculosis tergantung pada derajat


keparahannya. Sebuah penelitian menemukan tingkat mortalitas pasien derajat 1
adalah 18%, derajat II 34%, dan derajat III 72%. Periode pasien mengalami gejala
juga mempengaruhi dimana pasien dengan gejala lebih dari 4 minggu memiliki
tingkat mortalitas setinggi 80% sedangkan pasien dengan gejala kurang dari 2
minggu memiliki tingkat mortalitas setinggi 40%. Bagi mereka yang sembuh dari
meningoencephalitis tuberkulosis, ditemukan sebanyak 20% sampai 30% memiliki
defisit neurologis yang menetap seperti paresis nervus kranialis, ophthalmoplegia,
kejang, gangguan kejiwaan, ataxia, hemiparesis, kebutaan, gangguan pendengaran,
dan retardasi mental. Penelitian yang ada menunjukkan bahwa faktor lain yang
mempengaruhi prognosis adalah infeksi HIV, resistensi Isoniazid dan Rifampicine,
tingkat laktat yang tinggi pada LSS, leukopenia LSS, dan tingkat glukosa yang
rendah pada LSS. Pasien ini berada pada derajat III yang menandakan prognosis yang
buruk.
DAFTAR PUSTAKA

1. Van de Beek D; de Gans J; Spanjaard L; Weisfelt M; Reitsma JB; Vermeulen M.


Clinical features and prognostic factors in adults with bacterial meningitis. N Engl J
Med. 2004; 351(18):1849-59.
2. Walter JK, Morton NS. Chapter 41 Chronic and Recurrent Meningitis. Harrison's
Neurology in Clinical Medicine. McGrawHill. 3rd Edition. 2013.
3. Darma I. Bab 14 Infeksi Tuberkulosis pada Susunan Saraf Pusat. Buku Ajar
Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku 1. 2017.
4. Thwaites G, Fisher M, Hemingway C, Scott G, Solomon T, Innes J. British Infection
Society guidelines for the diagnosis and treatment of tuberculosis of the central
nervous system in adults and children. J Infect. 2009;59(3):167-87
5. Duus P. Diagnosis Topik Neurologi Duus Anatomi, Fisiologi, Tanda, Gejala Ed.5.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2010
6. Artal F. Clinical management of infectious cereral vasculitides. Expert Review of
Neurotherapeutics. 2016;16(2):205-21
7. Rock R, kin M, Baker C, Molitor T, Peterson P. Central Nervous System
Tuberculosis: Pathogenesis and Clinical Aspects. Clinical Microbiology Reviews.
2008;21(2):243-61.
8. Chin J. Tuberculous meningitis: Diagnostic and therapeutical challenge. Neuro Clin
Pract. 2014;4(3):199-205.
9. Torok M. Tuberculous meningitis: advance in diagnosis and treatment. British
Medical Bulletin. 2015;113(1):117-31.
10. Olson D, Hoeprich P. Analysis of bacterial isolates from cerebrospinal fluid. J Clin
Microbiol. 1984;19(2):144-46.
11. Etienne J et al. Characterisation of clinically significant isolates of Staphylococcus
epidermidis from patients with cerebrospinal fluid shunt infection. Epidemiol infect.
1991;106:467-75.
12. Upadhyay U, Gormley W. Etiology and management of hyponatremia in
neurosurgical patient. J Intensive Care Med. 2012;27(3):139-44.

Anda mungkin juga menyukai