Anda di halaman 1dari 43

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Sedimen dan Sedimentasi


2.1.1 Sedimen
Menurut Afdhaliah et al. (2012), sedimen ialah bahan hasil endapan dari butiran tanah
baik yang terlarut dalam air maupun yang telah mengendap. Sedimen juga berasal dari hasil
keseluruhan erosi pada permukaan tanah, erosi parit, erosi jurang, serta erosi yang terjadi pada
tebing-tebing. Sedimen akan diangkut air limpasan permukaan dan sebagian darinya akan
diendapkan pada cekungan-cekungan seperti cekungan tanah. Tidak hanya pada cekungan,
sedimen juga akan mengendap pada tempat lainnya yang lebih rendah. Selain mengendap,
sedimen juga dapat masuk ke dalam sistem aliran sungai dan akan terbawa mengikuti arus
sungai. Sebagian dari sedimen yang terbawa aliran sungai akan terendapkan si sungai tersebut
dan sebagian lainnya akan terbawa sampai ke muara sungai dan akan terendapkan disana.
Sedimen dapat berada di berbagai lokasi dalam aliran. Tergantung pada keseimbangan
kecepatan menuju dasar dan kecepatan dari pengendapan partikel. Ada tiga macam dari
pergerakan pengangkutan sedimen, yaitu Bed load transport, wash load transport dan
suspended load transport. Pengertian secara umum mengenai angkutan sedimen ialah sebagai
pergerakan yang terjadi pada butiran material pada dasar perairan hasil dari erosi.
Menurut Rantung et al. (2013), sedimen ialah material yang berasal dari proses
pengikisan. Pengikisan/erosi berupa erosi permukaan, parit atau erosi lainnya yang kemudian
mengendap pada bagian bawah kaki bukit, pada daerah yang terdapat genangan air, aliran
sungai, serta waduk. Sedimentasi dapat menjadi penyebab utama dalam penurunan
produktivitas tanah serta penurunan pada kualitas air. Proses pengendapan sedimen akan
dapat membentuk delta. Sedimen pada umumnya dikenal sebagai partikel yang berwujud
padat dan digerakkan oleh fluida. Sedimen yang ada di sungai biasanya disebabkan oleh erosi
yang ada pada lahan kritis pada daerah dekat aliran sungai. Sedimen terpengaruhi oleh sifat-
sifat transportasinya sendiri dan mempengaruhi bentuk dari struktur sedimen yang akan
terbentuk. Umumnya, hasil langsung dari gerakan media pengangkut berasal dari proses
pembentukan sedimen itu sendiri. Sedimen memiliki dampak yang buruk jika terjadinya
sedimentasi yang menyebabkan naiknya dasar sungai sehingga terjadinya banjir. Tingginya
banjir seringkali menimpa lahan-lahan yang tidak dilindungi.
Pada estuari Sungai Marisa, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo telah dilakukan penelitian
mengenai kandungan pada sedimennya. Sedimen pada tempat ini mengandung Arsen (As).
Arsen ialah zat kimia beracun yang dapat menyebabkan kematian bagi organisme perairan
bahkan manusia. Zat ini berasal dari hasil limbah industri yang dibuang ataupun berasal dari
perut bumi. Walaupun mengandung Arsen, jika dibandingkan dengan standar baku mutu
logam sedimen secara internasional, kandungan Arsen pada sedimen sungai ini masih di
bawah ambang batas. Penelitian mengenai kandungan Arsen ini dilakukan untuk
mengantisipasi kandungan arsen yang berlebih pada sedimen di estuari Sungai Marisa.
Pengujiannya dilakukan pada Water Laboratory Nusantara (WLN) dengan inductively
Coupled Plasma Optical Emission Spectrometry (ICP-OES) instrument sebagai metodenya.
Penetapan kadar air sedimen dilakukan dengan cara memanaskan dalam oven. Sedimen yang
terdapat pada estuari Sungai Marisa pada umumnya memiliki ukuran sedimen yang kecil.
Konsentrasi alami Arsen dalam sedimen sungai berkisar antara 1-50 mg/kg. Konsentrasi
Arsen pada sedimen 2 kali lebih tinggi dibandingkan konsentrasinya pada tanah (Kasan et al.,
2015).
Kurva sedimen merupakan kurva yang menunjukkan hubungan antara aliran sungai
dengan nilai debit sedimen sehingga dapat digunakan untuk memprediksi besarnya proses
sedimentasi. Garis lengkung sedimen banyak digunakan sebagai metode untuk
menghubungkan konsentrasi sedimen. Suspended sediment terdiri dar pasir halus yang
melayang dalam aliran karena terkena pengaruh dari turbulensi aliran air. Sumber dari
suspended sediment bergantung pada keadaan dari lingkungan sekitad daerah aliran sungai.
Penelitian tentang suspended sediment telah mulai banyak dilakukan pada berbagai tempat.
Hal ini bertujuan untuk mengatasi berbagai macam permasalahan mengenai proses
pergerakan dari berbagai bahan penyebab polusi, penurunan kualitas air, prediksi dari waktu
pemakaian dari sebuah bendungan di sungai, serta untuk mengetahui laju erosi dari akibat
perubahan tataguna lahan. Sedimen yang merupakan hasil dari proses erosi juga dapat
mengendap pada area sekitar kaki bukit, daerah dari hasil genangan banjir, saluran perairan,
serta area sungai dan waduk. Para ahli sedimen (Sedimentologist), ahli teknik (engineers)
serta ahli hidrologi (Hydrologist) dapat memprediksi besarnya jumlah dari angkutan sedimen
dan menjadikannya sebagai sebagian kecil dari tujuan pekerjaan mereka. Ahli teknik
menggunakan nilai besarnya angkutan sedimen untuk memprediksi waktu pemakaian dari
sebuah bendungan sungai dan ilmuwan lain menggunakannya untuk mempelajari kecepatan
erosi serta perubahan lingkungan. Pengukuran debit sedimen dapat ditentukan dengan metode
pengukuran langsung maupun pengukuran konsentrasi sedimen (Koiter et al., 2013).
Transport mud sediment sangat berarti dalam kepentingan ekonomi serta ekologi dari
suatu daerah perairan. Sangat penting dalam hal keberhasilan prediksi gerakan atau
perpindahan sedimen berbutir halus atau yang biasanya disebut mud sediment. Hal ini mejadi
kepentingan utama bagi area perairan yang transparasi lingkungan airnya akan berkurang
maupun bertambah serta distribusi kontaminasi material kimiawi pada coastal area. Produksi
sedimen memerlukan durasi yang lebih lama. Akibat dari pasang surut, suspended sediment
transport menangkap sedikit lebih banyak sedimen atau terjadinya hal yang disebut
deposition. Hasil sedimen (sediment yield) ialah jumlah besarnya sedimen yang berasal dari
hasil erosi yang terjadi di area yang dapat ditangkap oleh air yang diukur pada waktu serta
tempat tertentu. Proses transpotasi dan pengendapan sedimen tidak hanya bergantung pada
sifat aliran air, tetapi juga pada sifat sedimen itu sendiri. Bentuk dari sungai secara fisik baik
itu aliran, pengangkutan sedimen, serta kekasaran dasar sungai selalu berubah-ubah. Hal ini
dikarenakan karena faktor sifat dari aliran air, sifat sedimen serta pengaruh timbal-balik
(inter-action). Akan tetapi, faktor tersebut akan berubah secara terus-menerus seiring dengan
kondisi curah hujan yang terjadi (Jansen, 2018).
Sedrainpond merupakan sistem yang terdapat saluran pembuang yang berfungsi sebagai
inlet dan pond yang berfungsi sebagai penampung air dan menambah resapan air serta
menampung sedimen tersuspensi sehingga akan mengurangi aliran air pada permukaan,
peningkatan penetrasi air ke dalam tanah dan sedimen yang ditangkap akan dipanen untuk
menjadi sumber pupuk alternatif. Salah satu model dari sedrainpond ialah model numeric
sedrainpond. Model ini dapat menampung sedimen sebanyak sekitar 30%-70%. Sedimen ini
tertangkap dan terjebak pada suatu sumuran sehingga dapat dipanen oleh petani dan akan
disebar lagi ke arah wilayah pertanian. Model sedrainpond ini telah pernah dikembangkan di
Wonogiri yang merupakan daerah wilayah daerah aliran sungai Kamplong. Dalam satu
musim hujan, pond-pond ini dapat menampung sekitar 25%-75% dari jumlah volume
sendrainpond. Debit inlet dari model sendrainpond akan ikut juga dalam mempengaruhi laju
sedimentasi pada model ini. Hubungan antara debit inlet dengan debit sedimen pada model ini
cukup baik dan terbilang dapat diandalkan. Seindrainpond terdiri dari saluran pembuangan
yang disebut inlet. Pond sendiri berfungsi untuk menampung air beserta sedimen di
dalamnya (Ammar dan Kridasantausa, 2016).
2.1.1 Sedimentasi
Menurut Baihaqi dan Dungga (2015), sedimentasi ialah peristiwa pengendapan sedimen
yang dihasilkan oleh proses dari pengikisan tanah atau erosi yang dibawa oleh aliran air dan
mengendap di suatu tempat yang kecepatan airnya cenderung melambat atau terhenti.
Sedimentasi juga sering dianggap bertanggung jawab atas pembentukan daratan alluvial yang
luas dan banyak tersebar di dunia. Hal ini termasuk suatu keuntungan karena memberikan
lahan untuk perluasan pertanian atau permukiman. Sedimentasi terjadi akibat pemanfaatan
lahan yang tidak sesuai sehingga tanah menjadi mudah tererosi. Oleh sebab itulah penelitian
mengenai erosi dan sedimentasi lahan perlu dilakukan. Meningkatnya jumlah sedimentasi
memberikan dampak yang cukup besar. Contoh dari dampaknya ialah pendangkalan
sungai/perairan. Dampak lainnya yang dirasakan ialah terjadi pengendapan di dasar
sungai/perairan yang menyebabkan naiknya dasar sungai kemudian menyebabkan tingginya
muka air sehingga akan berujung kepada peristiwa banjir yang menimpa lahan-lahan yang
tidak dilindungi. Pengurangan sedimentasi dapat dilakukan dengan cara meminimalisasi
jumlah sedimen yang akan masuk dengan membangun beberapa cek dam serta melakukan
pembersihan dengan mengeruk sedimen yang ada menggunakan alat pengeruk. Salah satu
penyebab terjadi sedimentasi ialah laju erosi yang terjadi pada wilayah sekitar daerah aliran
sungai.
Masalah mengenai proses erosi dan sedimentasi sangat penting dalam memecahkan
masalah dasar yang berkaitan dengan tingginya tingkat erosi serta sedimentasi dalam suatu
wilayah daerah aliran sungai. Sungai harus dilihat dari sudut pandang berbagai unit yang
terintegrasi dalam suatu ekosistem serta proses sedimentasi yang kompleks agar dapat dengan
mudah dipecahkan permasalahannya. Dengan perkiraan erosi dan sedimentasi yang secara
spasial diperoleh gambaran yang lebih jelas daerah-daerah mana saja yang terkena dampak
dari tingkat erosi serta sedimentasi yang lebih tinggi sehingga dapat diketahui daerah mana
saja dalam wilayah daerah alirah sungai yang memerlukan konservasi serta prioritas
penanggulangannya. Konservasi yang tepat akan menurunkan laju sedimentasi. Pada waduk,
dampak dari tingginya tingkat erosi dan sedimentasi ialah mengakibatkan pendeknya umur
pemakaian dari waduk itu sendiri dari yang telah direncanakan. Perkiraan angkutan
sedimentasi dan pengendapannya pada daerah aliran sungai diperlukan untuk pengetahuan
mengenai sedimentasi lebih mendalam. Adanya sedimentasi di waduk berakibat pada jumlah
kapasitas tampungannya berkurang serta sedimen akan mudah menyebar pada setiap bagian
kedalaman dari waduk bahkan sampai ke yang paling rendah. Hal-hal yang harus diperhatikan
dalam analisa sedimetasi ialah rata-rata debit sedimen pada setiap tahun, efisiensi dari jumlah
tangkapan waduk, kerapatan dari bongkahan sedimen, sedimen deposit serta distribusi
sedimen dalam waduk. Jika sedimentasi pada waduk mengisi lebih besar dari 5% dalam 100
tahun, maka pengelola dari waduk harus memperhatikan efek sedimentasi secara menyeluruh
terutama laju sedimentasidi sepanjang waduk. Perkiraan umur dari waduk dapat ditentukan
dari lamanya sedimentasi mencapai setengah bagian dari waduk tersebut (Rizal et al., 2017).
Perhitungan laju erosi serta sedimentasi dapat dilakukan dengan berbagai metode, salah
satu metode yang dapat digunakan ialah metode USLE dan MUSLE. Metode ini diawali
dengan analisis dari beberapa faktor yang menjadi penyebab dari terjadinya erosi contohnya
curah hujan, jenis tanah yang menentukan kredibillitas tanah topografi yang akan digunakan
untuk menghitung faktor dari kemiringan lereng serta faktor dari cara pengelolaan tanaman.
Pada analisis jumlah banyaknya sedimentasi dapat dilakukan dengan menghitung debit
puncak serta total dari volume limpasan permukaan. Dalam hal memperoleh laju erosi serta
jumlah sedimentasi, dapat dilakukan analisis data sekunder agar dapat diperoleh beberapa dari
parameter yang diperlukan seperti jenis tanah, jenis pengelolaan dari lahan, jenis tanaman,
serta kemiringan lereng yang terjadi pada wilayah tersebut. Jenis tanah pada suatu wilayah
tata guna lahan dapat ditentukan dengan cara menggabungkan atau tumpang tindih peta tata
guna lahan dengan peta jenis tanah. Sama juga halnya dengan menentukan kemiringan lereng
suatu tata guna lahan, dapat dilakukan dengan menggabungkan antara peta tata guna lahan
dengan peta dari kemiringan lereng. Data curah hujan juga digunakan dalam hal untuk
menghitung nilai erosivitas hujan itu sendiri, menghitung nilai dari debit puncak serta volume
limpasan permukaan. Metode USLE dipakai untuk menghitung laju erosi sedangkan metode
MUSLE dipakai untuk menghitung jumlah sedimentasi. Pertemuan dari arus juga dapat
menjadi salah satu penyebab terjadinya sedimentasi. Tidak hanya itu, banyaknya aktivitas
manusia yang bermacam-macam jenisnya di sekitar wilayah sungai/perairan dapat
menimbulkan permasalahan lingkungan seperti penurunan kualitas air serta peningktan
sedimentasi pada mulut muara (Susanto et al., 2017).
Menurut Toriman et al., (2018), berbagai sungai di dunia mulai mengalami penurunan
kualitas airnya disebabkan oleh adanya proses sedimentasi serta ketidakseimbangan pada
pembangunan di sekitarnya. pentingnya analisis mengenai sedimentasi ialah salah satunya
untuk memperkirakan jumlah penghasilan muatan sedimen pada setiap tahunnya, membuat
model hidrolik berdasarkan kapasitas dari sungai serta cadangan informasi terhadap
kepengurusan sedimentasi. Erosi dan sedimentasi merupakan akar dari berbagai permasalahan
dalam kasus terjadinya penurunan produktivitas lahan-lahan pertanian serta penurunan
kualitas air. Erosi meliputi proses pelepasan partikel tanah (detachment), partikel tanah yang
telah lama hanyut (transportation) serta pengendapan dari pertikel tanah yang telah
dihanyutkan seperti yang telah disebutkan sebelumnya (deposition). Penyebab utama
terjadinya erosi apalagi di daerah tropis seperti Indonesia ialah air. Hal tersebut sesuai dengan
keadaan iklim tropis yang mempunyai kelembaban serta rata-rata curah hujan per tahun yang
cukup terbilang tinggi. Sedimentasi menyebabkan terjadinya penyempitan, pendangkalan
ataupun tertutupnya alur yang diakibatkan oleh sedimentasi yang menjadi permasalahn
tersendiri pada sebuah bendungan. Sedimentasi biasanya terjadi pada muara sunagi dengan
jumlah sedimentasi yang terbilang tinggi pada debit yang memiliki fluktuasi besar pada saat
musim hujan sedangkan pada saat musim kering debit akan mengalami penurunan sehingga
akan berjumlah relatif kecil serta kemampuan mengangkut sedimen juga akan sangat rendah.
Hal ini akan semakin parah ketika angkutan sedimen telah sampai ke bendungan kemudian
mengakibatkan pendangkalan dari waduk. bahkan pada beberapa wilayah yang telah
dilakukan pengerukan sedimen sejak lama hasilnya masih dirasa kurang maksimal.
Salah satu usaha yang dapat dilakukan dalam mengalami permasalahan sedimentasi pada
bendungan ialah melakukan pembilasan atau penggelontoran sedimen secara hidrolis yang
terdapat dalam saluran floodway. Pembilasan atau penggelontoran sedimen ini terjadi secara
hidraulis. Pembilasan atau penggelontoran sedimen ini ialah cara yang lebih baik untuk
mengembalikan kapasitas reservoir jika dibandingkan dengan cara lain seperti penggalian
atau pengerukan yang dilakukan secara manual. Hal ini juga dapat menjadi referensi dalam
penelitian pengerukan sedimen dengan konsep flushing conduit yang relatif sangat murah
serta ramah terhadap lingkungan. penyebab utama dari erosi di daerah tropis seperti Indonesia
ialah air. Erosi dapat terjadi baik secara alamiah maupun non alamiah. Secara alamiah, erosi
terjadi karena faktor alam seperti curah hujam yang tinggi, kepekaan tanah serta vegetasi.
Erosi juga terjadi secara alamiah pada tanah dengan melalui tahapan penghancuran,
pengangkutan serta pengendapan. Sedangkan erosi yang terjadi secara non alamiah bisa saja
disebabkan karena kegiatan manusia seperti pembukaan lahan baru di sekitar wilayah daerah
aliran sungai. Erosi yang akan berujung pada sedimentasi ini memiliki dampak yang kurang
baik bagi kehidupan manusia (Lai et al., 2018).
2.1.2 Struktur Laminasi
Struktur laminasi merupakan satu dari banyaknya temuan geologi mengenai batuan
metasedimen yang cukup menarik perhatian. Kondisi yang seperti ini menjadi suatu tantangan
pada kegiatan peledakan yang disebabkan oleh struktur laminasi yang juga merupakan lapisan
lemah (weak layer) pada suatu massa batuan yang akan menjadi suatu kendala dikarenakan
akan menimbulkan energi peledakan yang tidak terdistribusi secara merata sehingga
menghasilkan fragementasi peledakan yang tidak optimal. Penelitian mengenai hal ini perlu
dilakukan dengan tujuan untuk menentukan langkah perbaikan dari peledakan terhadap
batuan metasedimen dengan struktur laminasi. Penelitian tersebut dapat dilakukan dengan
pengamatan langsung terhadap struktur laminasi yang terdapat pada massa batuan yang ada di
lapangan. Fish-bone analysis ialah salah satu metode analisa yang dapat digunakan dalam
menentukan akar permasalahan (root causes) dengan memperhatikan aspek 4M+1E. Pada
umumnya, akar permasalahan didominasi oleh aspek lingkungan yang disebabkan dari batuan
metasediment dengan struktur laminasi yang menyebabkan terganggunya distribusi energi
sehingga energi yang tersalurkan tidak sempurna. Gradiasi ukuran butir yang telah menjadi
pasir halus yang kaya akan kandungan material karbon kan membentuk suatu struktur
sedimen laminasi sejajar maupun sedimen laminasi silang-siur. Batu pasir berwarna abu-abu,
non karbonatan, kaya akan kandungan fragmen mika di dalamnya serta material-material
karbon yang berupa fragmen batu bara akan membentuk struktur laminasi sejajar, laminasi
silang-siur serta juga dapat membentuk gelembur gelombang. Litofasies laminasi sejajar dapat
ditemukan pada Lintasan Lofin, Niner, Oseil serta Bula berupa batupasir berwarna abu-abu
terang, non karbonatan, pemilahan baik, membundar, tertutup sering dijumpai dan berjumlah
banyak pada mineral mika, carbon string yang sejajar dengan struktur sedimen laminasi
sejajar. Jika terjadi perubahan struktur sedimen dari lentikuler hingga ke flaser, maka hal
tersebut menunjukkan bahwa perubahan kecepatan arus aliran yang semakin cepat mengarah
ke atas (Gibran dan Kusworo, 2020).
Laminasi parallel, laminasi konvolut, gradasi normal, flute cast, load coast, slump serta
bioturbasi merupakan bentuk dari struktur sedimen yang dominan berkembang. Struktur-
struktur ini tentunya mempunyai ciri khas dan asal terbentuknya tersendiri. Struktur load
coast pada umunya ditemukan pada batu pasir dan biasanya dengan sementasi yang cukup
kuat. Load cast terbentuk dari akibat pembebanan dari batu pasir atau material sedimen
lainnya yang berukuran cukup kasar. Laminasi dapat berbentuk pengendapan partikel yang
ukurannya halus dari suspensi serta trasnportasi traksi pasir pada kondisi yang cenderung
sama. Gradasi normal muncul dikarenakan penurunan kekuatan aliran selama sedimentasi,
akan tetapi biasanya disperse butir dan buoyancy effect terjadi pada endapan dengan
konsentrasi sedimen yang lebih rendah. Flute cast terjadi akibat erosi dan kemudian terisi
pasir dengan bentuk memanjang. Struktur slump terjadi karena adanya luncuran gravitasi
melalui suatu bidang. Salah satu contoh dari bioturbasi ialah ichnofasies yang ciri khasnya
ditemukan dari fosil jejaknya yang dominan berbentuk horizontal baik dengan bentuk
memanjang maupun bentuk kompleks. Struktur sedimen ini digunakan untuk menetukan arus
saat pengendapan/sedimentasi terjadi (Aditama et al., 2013).
Laminasi merupakan struktur sedimen dengan pelapisan (bedding) yang mempunyai
ketebalan pada masing-masing lapisannya sekitar kurang dari 1 cm. Pelapisan/laminasi ialah
suatu bidang persamaan waktu yang dapat dilihat dari perbedaan ukuran butir ataupun dari
perbedaan warna bahan penyusunnya. Sedimen dikatakan perlapisan jika tebalnya melebihi 1
cm, jika tebalnya kurang dari 1 cm, maka disebut dengan laminasi. Perlapisan/laminasi sendiri
terdiri dari 4 jenis. Jenis pertama ialah pelapisan/laminasi sejajar atau yang biasa disebut
palalel bedding/lamination yang bentuknya lapisan atau laminasi batuannya tersusun secara
horizontal dan saling sejajar satu sama lain. Jenis kedua ialah perlapisan/laminasi silang siur
atau yang biasa disebut cross bedding/lamination yang bentuk lapisan atau laminasinya telah
terpotong pada bagian atas oleh lapisan ataupun laminasi lain yang sudutnya berlainan dalam
satuan perlapisan sedimen. Jenis ketiga ialah perlapisan bersusun atau yang biasa disebut
graded bedding yang terbentuk karena adanya gradasi butir yang makin halus ke arah atas
atau gradasi butir yang makin kasar kebawah. Jenis keempat ialah gelembur gelombang atau
yang biasa disebut current ripple yang bentuk permukaannya berupa perlapisan yang
bergelombang karena adanya arus sedimentasi. Dalam geologi, laminasi merupakan urutan
dati skala kecil lapisan-lapisan halus yang terjadi pada batuan sedimen. Laminasi sering
dianggap sebagai struktur planar yang mempunyai ketebalan satu (Fan et al., 2011).
2.2 Klasifikasi Sedimen
 Ada tabel klasifikasi berdasarkan ukuran butir
Tabel 1. Klasifikasi Ukuran Butir Sedimen

Interval/range Nama Interval/range Nama


(mm) (mm)
4096 - 2048 Very large boulders 1/2 - 1/4 Medium sand
(Batu sangat besar) (Pasir sedang)
2048 - 1024 Large boulders 1/4 - 1/8 Fine sand
(Batu besar) (Pasir halus)
1024 - 512 Medium boulders 1/8 - 1/16 Very fine sand
(Batu sedang) (Pasir sangat halus)
512 - 256 Small boulders 1/16 - 1/32 Coarse silt
(Batu kecil) (Lumpur kasar)
256 - 128 Large cobbles 1/32 - 1/64 Medium silt
(Kerakal besar) (Lumpur sedang)
128 - 64 Small cobbles 1/64 - 1/128 Fine silt
(Kerakal kecil) (Lumpur halus)
64 - 32 Very coarse gravel 1/128 - 1/256 Very fine silt
(Kerikil sangat (Lumpur sangat
32 - 16 besar) 1/256 - 1/ 512 halus)
Coarse gravel Coarse clay
16 - 8 (Kerikil kasar) 1/512 - 1/1024 (Lempung kasar)
Medium gravel Medium clay
8-4 (Kerikil sedang) 1/1024 - 1/ 2048 (Lempung sedang)
Fine gravel Fine clay
4-2 (Kerikil halus) 1/2048 - 1/ 4096 (Lempung halus)
Very fine gravel Very fine clay
2-1 (Kerikil sangat (Lempung sangat
halus) halus)
1 - 1/2 Very coarse sand
(Pasir sangat kasar)
Coarse sand
(Pasir kasar)
Sumber: Hambali dan Apriyanti 2016
2.3 Mekanisme transport sedimen
 Pengertian transport sedimen
Transport sedimen ialah pengangkutan sedimen sebagai pergerakan butiran material-
material dasar saluran hasil dari erosi yang disebabkan oleh gaya serta kecepatan dari aliran
sungai. Pada transport sedimen, hitungan sifat-sifat yang dipakai ialah ukuran,
kerapatan/kepadatan, kecepatan jatuh serta yang terakhir ialah porositas. Jika sifat
sedimennya telah diketahui, maka laju transport sedimen atau perubahan morfologi dapat
diketahui. Indikator terjadinya sedimentasi bisa ditinjau dari besar atau kecilnya kadar lumpur
yang terdapat di dalam air yang terangkut oleh aliran air sungai atau banyak sedikitnya
endapan sedimen pada badan-badan air atau waduk. Makin kecil kadar sedimen yang terbawa
oleh aliran air, artinya akan semakin sehat kondisi daerah aliran sungai, begitu pula
sebaliknya. Besarnya kadar muatan sedimen pada aliran air dinyatakan dalam besaran laju
sedimentasi dalam satuan ton atau mm per tahun. Pengikisan serta pengangkutan tanah terjadi
disebabkan oleh media alami yaitu media air dan media angin. Pengikisan oleh angin
disebabkan oleh kekuatan angin sedangkan pengikisan oleh air ditimbulkan oleh kekuatan
yang disebabkan oleh air. Proses pengikisan tanah yang disebabkan oleh air meliputi tiga
tahapan. Tahapan pertama ialah pemecahan bongkahan kedalam bentuk butiran kecil atau
partikel-partikel. Tahapan kedua ialah pemindahan atau pengangkutan serta yang biasa
disebut transport sedimen. Tahapan ketiga ialah pengendapan dari partikel di tempat yang
lebih rendah atau pada dasar sungai/waduk/perairan (Astuti et al., 2016).
Menurut Petra et al. (2012), transport sedimen juga dapat dipengaruhi oleh kerapatan
mangrove. Ketika kerapatan mangrove tinggi maka laju sedimen transport akan rendah, begitu
pula sebaliknya ketika kerapatan mangrove rendah maka laju sedimen transport juga akan
tinggi. Transportasi sedimen di pantai dapat terjadi karena adanya gelombang, arus laut
maupun kombinasi antara keduanya. Suatu pantai akan mengalami erosi atau sedimentasi
bergantung pada keseimbangan sedimen yang masuk ataupun keluar dan pantai tersebut.
Tingginya tingkat sedimentasi pada lokasi disebabkan oleh rendahnya tingkat kerapatan hutan
mangrove. Laju sedimen yang terjadi berlawanan dengan kecepatan arus. Kecepatan arus
paling rendah memiliki nilai laju sedimen transport paling tinggi. Sedangkan kecepatan arus
paling tinggi memiliki laju sedimen transport yang terjadi lebih rendah. Laju sedimen
transport dapat dianalisis dengan menggunakan korelasi pearson digunakan untuk
menganalisa hubungan antara kerapatan mangrove dengan laju sedimen transport. Hubungan
antara kerapatan mangrove dengan laju sedimen transport menunjukkan korelasi negatif
ketika kerapatan mangrove tinggi maka laju sedimen transport akan rendah dan sebaliknya
ketika kerapatan mangrove rendah maka laju sedimen transport akan tinggi.
 Bed load transport
Menurut Gemilang et al. (2018), partikel kasar yang bergerak pada sepanjang wilayah
dasar sungai/perairan secara hampir keseluruhan disebut bed load transport. Adanya transport
jenis ini ditandai oleh adanya gerakan-gerakan partikel pada dasar sungai/perairan yang
ukurannya cukup besar. Gerakan dari partikel tersebut dapat berupa bergeser, menggelinding
ataupun meloncat-loncat. Akan tetapi, mereka tidak pernah lepas dari dasar sungai/perairan.
Pada kondisi ini, pengangkutan dari material yang terjadi pada aliran mempunyai kecepatan
aliran yang terbilang relatif lambat sehingga material yang terbawa arus sifatnya hanya
menggelinding pada sepanjang saluran. Analisis transport sedimen dasar (bed load) dapat
dilakukan dengan metode MeyerPeter dan Muller, metode Einstein serta Metode Frijlink.
Angkutan dasar (bed load) terdiri dari partikel-partikel kasar yang terdiri dari kerikil atau
pasir yang bergerak secara teratur ataupun acak dan akan selalu berada pada area menyentuh
dasar sungai. Angkutan dasar (bed load) bergerak melayang tanpa menyentuh dasar sungai
atau setidaknya mempunyai lintasan yang panjang sebelum menyentuh dasar sungai. Muatan
material angkutan dasar (bed load) maupun dari angkutan melayang (suspended load) dan
ditentukan oleh kondisi dari dasar gerakan aliran. Angkutan sedimen pada garis besarnya
dibedakan antara angkutan dasar (bed load) dan angkutan sedimen suspensi (suspended load).
 Wash load transport
Wash load transport ialah pengangkutan partikel halus yang dapat berupa lempung (silk),
serta debu (dust) yang terbawa oleh aliran sungai. Partikel ini akan terbawa aliran untuk
sampai ke laut atau juga dapat mengendap pada aliran yang cenderung tenang ataupun pada
perairan yang tergenang. Sumber utama dari wash load ialah hasil dari pelapukan lapisan atas
batuan ataupun tanah di area aliran sungai. Pada kondisi seperti ini, pengangkutan material
terjadi pada aliran yang relatif cepat sehingga material yang terbawa oleh arus menyebabkan
loncatan-loncatan akibat dari gaya dorong materialnya. Selain berasal dari bahan dasar
perairan, sedimen juga berasal dari wash load. Yang artinya material sedimen yang sangat
halus, ukurannya bahkan lebih halus dari 0,062 mm dan jumlahnya sangat sedikit. Wash load
sebenarnya diperhitungkan sebagai bagian dari suspended load sediment. Dalam hal yang
berkaitan dengan pengukuran sedimen, debit pengangkutan sedimen ialah debit pengangkutan
sedimen dasar dan debit pengangkutan sedimen tersuspensi. Hasil dari pengukuran
pengangkutan sedimen tersuspensi mengandung seluruh wash load dan bisa saja terdapat
kandungan bed load di dalamnya. Jika hasil pengukuran pengangkutan sedimen dijumlahkan,
maka kemungkinannya tidak sama dengan debit dari sedimen total (Li et al., 2020).
 Suspended load transport
Suspended load transport ialah material pada dasar sungai/perairan (bed material) yang
melayang pada aliran air dan terutama terdiri dari butiran pasir halus yang terombang-ambing
serta mengambang di atas dasar sungai karena turbulensi aliran selalu mendorongnya ke atas.
Apabila kecepatan aliran air semakin cepat, maka gerakan loncatan dari material juga akan
semakin sering terjadi sehingga jika material tersebut tergerus oleh aliran turbulen ke arah
permukaan, maka material tersebut akan tetap bergerak melayang dalam aliran pada jangka
waktu tertentu. Suspended load dapat dihitung debit muatannya dengan menggunakan metode
lapangan, pendekatan Lane dan Kalinske dengan pendekatan Einstein serta membandingkan
hasil perhitungan dengan hasil yang berada di lapangan. Waduk-waduk yang ada di Indonesia
tidak terlepas dengan adanya proses sedimentasi yang terangkut dengan muatan melayang
(suspended load) dan dasar (bed load). Hal ini berpotensi menjadi permasalahan
meningkatnya produksi sedimen dan berdampak pada pengurangan kapasitas maupun umur
serta fungsi dari waduk. Beberapa waduk di Indonesia umumnya mengalami masalah
operasional seperti ini, dibuktikan dengan meningkatnya sedimentasi sepanjang tahun
(Marhendi dan Ningsih et al., 2018).
 Beserta gambar/skema pergerakan sedimen

Gambar 1. Pergerakan sedimen secara Longshore current di laut Jawa.


Sumber: Yudhowaty et al., 2012

Gambar 2. Skema pergerakan sedimen


Sumber: Rahardjo dan Faturachman, 2016

2.4 Analisa Butir Sedimen


Analisa butir sedimen salah satunya dapat dilakukan di laboratorium menggunakan
Malven Mastesizer 2000, yaitu sebuah instrument laser diffraction yang bisa digunakan untuk
mengukur material dimulai dari ukuran 0,02 μm hingga ukuran 2000 μm. Besar butir ini
ditentukan berdasarkan parameter mean grain, size, sorting, skewness, serta kurtosis yang
dihitung dengan menggunakan software Grandistat dengan menggunakan metode logaritmik
Folk dan Ward. Salah satu ciri yang menandakan bahwa air dan angin dalam membawa
sedimen dapat ditentukan dengan nilai rata-rata ukuran butir. Dalam menentukan
keseragaman ukuran butir, dapat ditunjukkan oleh sortasi atau yang biasa disebut pemilahan.
Apabila pemilihan butir sampel masuk kedalam kategori buruk, itu berarti terdapat banyak
sedimen dengan berbagai macam ukuran butir pada daerah Samudera Hindia, ukuran butir
sedimen yang mendominasi ialah sedimen dengan ukuran lanau dan lempeng. Biasanya,
analisa ukuran butir sangat dipengaruhi oleh proses-proses oseanografi (disekitar kawasan
pengambilan sedimen). Salah satu faktor oseanografi yang penting dalam distribusi sedimen-
sedimen pada suatu perairan ialah arus, terkhususnya untuk suspended sediment. Daerah yang
memiliki arus yang lebih tinggi biasanya memilikiukuran butiran yang cenderung lebih besar
pula. Hal tersebut terjadi dikarenakan sifat arus yang memilih atau menyeleksi ukuran butiran
dalam proses transport sedimen. Pada daerah yang memiliki turbulensi tinggi, fraksi
makroskopis contohnya kerikil dan pasir akan cenderung lebih cepat mengendap daripada
fraksi mikroskopis seperti lumpur. Sedimen dengan ukuran lebih halus juga akan lebih mudah
dan lebih cepat untuk berpindah daripada sedimen yang berukuran besar dan asar. Fraksi yang
halus akan terangkut dalam bentuk suspensi dan yang kasar akan tenggelam lebih awal
daripada partikel yang berukuran kecil (Jones et al., 2011).
Menurut Ardyastuti (2019), terdapat 3 faktor yang akan berpengaruh terhadap ukuran
butiran sedimen, yaitu Variasi ukuran butir sedimen asal, proses transportasi serta energi
pengendapan. Data hasil analisa ukuran sedimen biasanya digunakan untuk mengetahui ketiga
faktor yang telah disebutkan sebelumnya. Analisa besaran butir ialah proses dari pemisahan
butiran-butiran sedimen ataupun batuan dimulai dari butiran yang sangat kasar sampai ke
butiran yang sangat halus. Analisa ukuran butir sedimen bertujuan untuk mengetahui
komposisi serta tekstur dari butiran sedimen agar dapat ditentukan jenis ataupun nama dari
sedimen tersebut. Analisa ukuran butir juga bertujuan untuk mengetahui jenis penyebaran dari
padatan tersuspensi serat sedimen-sedimen yang berada pada dasar perairan dan untuk
mengetahui kecepatan pengendapannya. Batuan yang mengalami proses penggerusan serta
pengikisan oleh gelombang serta arus laut akan berlangsung cukup lama sampai membentuk
rupa batuan sedimen yang terdiri dari butiran pasir halus berbentuk oval dan bundar. Proses
sedimenasi pada daerah muara sungai dipengaruhi oleh hasil rombakan dari daerah dataran
tinggi. Sedimen dengan ukran lebih halus akan cenderung lebih mudah berpindah dan lebih
cepat daripada sedimen yang berukuran kasar. Fraksi halus akan terangkut dalam bentuk
suspense sedangkan fraksi kasar akan tersangkut pada derah dekat dasar laut. Partikel yang
lebih besar akan cenderung lebih cepat tenggelamnya daripada partikel yang lebih kecil.
2.4.1 Analisa Ukuran Butir
 Analisis granulometri
Analisa granulometri ialah suatu metode analisa yang menggunakan ukuran butir sebagai
objek dari analisanya. Analisis granulometri hanya berkaitan dengan ukuran butirnya saja,
tidak berkaitan dengan bentuk, atau kandungannya karena hal tersebut aka nada bentuk
pengamatannya tersendiri. Pola penyebaran dari sedimen dapat dianalisa dengan
menggunakan metode besar butir atau biasa disebut dengan analisa granulometri dengan
sistem pengayakan serta penyaringan atau bisanya disebut sieving. Saringan (sieve) yang
digunakan ada 5 dengan besar diameter saringan yang berbeda serta batas jenis butir berbeda.
Saringan yang memiliki lebar dari bukaan 0,5 mm menghasilkan sedimen berupa pasir kasar
(coarse sand) beserta kerikil-kerikil. Saringan yang memiliki lebar dari bukaan 0,125 mm
akan menghasilkan pasir halus (fine sand). Saringan yang lebar dari bukaannya sebesar 0,063
mm akan menghasilkan pasir yang sangat halus (very fine sand). Saringan yang lebar
bukaannya sebesar 0,002 mm akan menghasilkan material terlarut. Metode analisa
granulometri juga dapat dilakukan untuk analisa perubahan yang spasial dalam analisis
karakteristik ukuran butir yang merupakan salah satu cara untuk mengidentifikasi dari jenis
jalur transport sedimen. Karakteristik ukuran butiran sedimen digunakan untuk menentukan
sebaran, cara kerja transportasi serta pengendapan sedimen pada suatu wilayah. Analisis
ukuran sedimen atau analisis granulometri berdasarkan 3 parameter, yaitu rata-rata dari
ukuran, sortasi serta kemiringan. Analisis granulometri digunakan untuk mengetahui
kombinasi dari jalur pengangkutan sedimen. Analisis granulometri penting untuk dilakukan
untuk mengetahui jenis dari cara kerja jalur pengangkutan atau transportasi dari sedimentasi
serta mengetahui batuan asal sampai menghasilkan bahan endapan dengan kelimpahan
tertentu yang cenderung cukup besar. Analisis granulometri dilakukan menggunakan mesh-
mesh dengan ukuran tertentu (Pratiwi et al., 2015).
 Metode analisis granulometri
Menurut Arif et al. (2020), analisis granulometri memiliki 4 metode, yaitu pengeringan
sampel, splitting, shieving serta pipetting. Splitting ialah suatu metode analisis granulometri
yang bertujuan untuk menentukan distribusi butir serta parameter statistikanya, menamakan
sedimen yang telah dianalisa dan memprediksi dari proses kejadian sedimen yang
bersangkutan. Shieving ialah suatu metode analisa granulometri yang bertujuan untuk
mengetahui cara menentukan ukuran butir sedimen dengan parameter statistiknya dengan
menggunakan sieve shaker sebagai alat penyaringnya untuk mempermudah pengamatan dan
agar tejadi keseragaman ukuran sedimen. Hal ini diperkuat oleh jurnal Gemilang et al. (2017)
yang juga mengatakan bahwa metode shieving termasuk ke dalam metode kering. Pipetting
ialah suatu metode analisis granulometri yang bertujuan untuk menentukan ukuran butir
sedimen yang tidak dapat tersaring pada metode shieving. Pipetting merupakan uji yang
dilakukan untuk mengetahui distriusi dari ukuran butir lanau dan lempung. Pada pipetting
harus menggunakan aquadest dan tidak menggunakan larutan lain dikarenakan aquadest
memiliki pH yang netral, tidak bersifat korosif massa jenisnya bernilai 1. Jika menggunakan
larutan lain yang bersifat korosif terhadap sampel, misalnya larutan asam maka akan
mempengaruhi jumlah sampel sedimen serta hal lainnya. Jika menggunakan larutan lain yang
massa jenisnya buka 1, maka dikhawatirkan akan terjadi perbedaan dengan apa yang telah ada
di tabel panduan, misalnya waktu dan jarak tenggelamnya, waktu pengadukannya bisa saja
akan berkurang maupun bertambah. Metode pipetting termasuk kedalam metode kering
karena meskipun menggunakan aquadest dalam prosesnya, penghitungannya tetap pada saat
keadaan sampel kering (Apriyantoro et al., 2016).
Cara kerja dari pipetting yang pertama ialah alat dan bahan disiapkan. Kedua, sampel
yang telah dikeringkan dimasukkan ke dalam plastik. Ketiga, karton yang telah disiapkan
selanjutnya disilangkan kemudian bagian tengahnya dipotong menggunakan gunting dan
ditegakkan diatas alas. Keempat, corong diletakkan di atas silangan karton yang telah
ditegakkan tadi. Kelima, sampel pasir dituangkan melewati corong menuju karton. Keenam,
sampel pasir didistribusikan ke 4 kuadran dari karton splitting. Ketujuh, sampel pada kuadran
1 digabungkan dengan sampel dari kuadran 3, kemudian sampel kuadran 2 digabungkan
dengan sampel dari kuadran 4. Kedelapan, mulai menganalisa ukuran dari butir sedimen.
Kesembilan, sampel pasir ditimbang sampai 200 gram kemudian masukkan kembali dalam
plastik klip. Terakhir, lakukan pengulangan pada sampel lainnya jika terdapat lebih dari satu
jenis sampel yang dianalisa (Ockajova et al., 2018).
Cara kerja dari shieving yang pertama ialah alat dan bahan disiapkan terlebih dahulu.
Kedua, siapkan sampel yang akan didistribusi pada setiap ayakan. Ketiga, sampel dituang dan
ditimbang sampai 200 gram. Keempat, bersihkan mesh size dengan menggunakan sikat halus.
Kelima, susun mesh size dimulai dengan ukuran terkecil. Keenam, sampel sedimen diletakkan
pada mesh size paling atas dan pasangkan penutupnya secara perlahan serta kencangkan baut
pengunci. Ketujuh, nyalakan sieve shaker dengan cara menekan tombol on. Kedelapan, atur
metode getara, frekuensi getaran serta lama waktu pengayakan dengan cara menekan tombol
runselama 10-15 menit. Selanjutnya, mesh ditutup rapat. Kemudian ukur ziplock mengikuti
berat massanya untuk agar mempermudah saat penghitungan. Penghitungan dilakukan dengan
menggunakan rumus berat sedimen awal dibagi dengan berat sedimen akhir, kemudian
dikalikan 100% (Polakowski et al., 2014).
Sampel pipetting ialah sampel yang terdapat pada mesh paling bawah pada proses
shieving. Cara kerja pipetting yang pertama ialah alat dan bahan dipersiapkan. Kedua,
Tuangkan sampel ke dalam gelas ukur. Ketiga, tuangkan larutan aquadest ke dalam gelas ukur
yang berisi sampel sedimen. Keempat, homogenkan sampel sedimen dengan aquadest secara
vertical dengan menggunakan batang pengaduk dan mulai jalankan stopwatch. Selanjutnya,
mulai lakukan pipetting sesuai dengan tabel panduan. Kemudian, pada setiap pengambilan
sampel butir dimasukkan ke dalam botol yang berbeda. Pada setiap sampel diberi nama
beserta keterangan waktu dengan menggunakan kertas tagging. Kertas whatman dibungkus
dengan menggunakan aluminium foil dan masukkan ke dalam oven selama 5 menit dengan
suhu 105°C. Setelah kering, kertas whatman dikeluarkan dari oven dan didinginkan.
Selanjutnya, kertas whatman ditimbang dengan menggunakan neraca digital sebagai berat
awal. Sambungkan membran filter holder dengan vacuum pump. Selanjutnya letakkan kertas
whatman dalam filter holder dan tuang sampel. Nyalakan vacuum pump sampai kertas
whatman kering kemudian matikan. Masukkan kertas whatman kembali ke dalam oven untuk
dikeringkan kembali. Terakhir, hitung massa sedimen dengan cara mengurangi antara berat
akhir dengan berat awal (Buurman, et al., 2016).
 Skala wentworth
Skala wentworth merupakan sebuah skala yang digunakan sebagai acuan untuk
menentukan jenis sedimen berdasarkan ukuran partikelnya. Skala wentworth ada karena
ukuran dari partikel sedimen ialah salah satu faktor yang penting dalam analisis sedimen.
Skala wentworth digunakan dalam pengklasifikasian sedimen terutama pada batuan sedimen
klastik dengan berdasarkan ukuran dari butir sedimen. Pola dari penyebaran sedimen dapat
dianalisis dengan menggunakan analisa granulometri dengan sistem pengayakan dan
penyaringan. Penyaringan dapat dilakukan dengan menggunakan 5 buah ayakan (mesh)
dengan berbagai ukuran serat diameter berdasarkan skala wentworth. Salah satu contoh
metode lainnya yang menggunakan skala wentworth ialah dengan cara sedimen diambil
dengan berat dari persen tertentu untuk kemudian diayak dengan ayakan AFNOR.
Selanjutnya, untuk medapatkan berat dari tiap kelompok butiran sedimen lalu dikonversikan
ke skala wentworth. Tujuan dari pengkonversian ke skala wenthworth ialah untuk
mendapatkan nilai rataan, penyortiran kemencengan serta peruncingan. Tidak hanya itu, skala
wentworth juga dipakai untuk menentukan nilai-nilai peubah distribusi granulometri. Pada
penggunaan ayakan AFNOR, skala yang dipakai dapat menggunakan berdasarkan AFNOR,
maupun wentworth (Radista et al., 2013).
 Klasifikasi butir sedimen
Ukuran butir sedimen merupakan salah satu dari ciri khas sedimen yang dapat diukur
secara nyata. Klasifikasi yang biasanya digunakan ialah klasifikasi berdasarkan standar dari
U. S Army Corps Engineer (USACE) untuk analisis klasifikasi sampel. Teknik analisis
ayakan (Shieving) yang menggunakan saringan dengan ukuran mesh yang bertingkat dengan
diameter yang berbeda pula. Beberapa dari ahli Hidraulika menggunakan klasifikasi ukuran
butiran yang di cetus oleh AGU (American Geophysical Union). Pada klasifikasi tersebut,
menyatakan bahwa batu besar dan krakal dapat diukur langsung ataupun dengan
menggunakan ayakan. Pasir diukur menggunakan ayakan. Ayakan yang memiliki nomor 200
digunakan untuk memisahkan material pasir dari material yang ukurannya lebih halus seperti
lumpur. Lempung dan lanau, pada akhirnya akan dipidahkan kembali untuk dilakukan proses
selanjutnya yaitu pipetting. Pipetting dilakukan karena partikel yang lebih halus seperti lanau
dan lempung memiliki ukuran yang terlalu halus sehingga tidak bisa hanya menggunakan
ayakan. Ayakan dan pipetting pada dasarnya memiliki konsep yang sama yaitu sama-sama
memisahkan sedimen dengan ukuran berbeda (Hambali dan Apriyanti, 2016).
2.4.2 Analisa Distribusi Sedimen
 Mean, sortasi, skewness dan kurtosis
Mean ialah nilai rataan dari ukuran sampel yang telah diamati. Mean ialah nilai rata-rata
ukuran butiran sedimen. Hasil dari penentuan nilai mean digunakan untuk mengetahui nilai
rataan dari ukuran butir yang dominan pada setiap lokasi pengamatan sehingga besaran butir
yang akan dikomparasikan menggunakan data dari pengukuran penampang stratigrafi dapat
diketahui. Dari perhitungan statistik sedimentasi, akan diperoleh nilai mean atau rataan
sedimen. Analisa data dari ukuran material sedimen ialah mean dengan rumus nilai persentil
ke-16 dijumlahkan dengan nilai persentil ke-50 dan nilai persentil ke-84. Sortasi ialah nilai
standar deviasi dari ukuran butir atas distribusi normal dari sedimen. Kondisi sortasi dapat
diketahui nilai standar deviasinya yang dilakukan dengan mengklasifikasikan jenis-jenis
fraksi yang berbeda. Sortasi dihitung dengan menggunakan rumus nilai persentil ke-84
dikurangi dengan nilai persentil ke-16 kemudian dibagi dengan 4. Selanjutnya nilai persentil
ke-95 dikurangi dengan nilai persentil ke-5 kemudian dibagi dengan 6,6. Terakhir, kedua hasil
penjumlahan yang telah dibagi tadi kemudian dijumlahkan (Arisa et al., 2014).
Skewness ialah penyimpangan distribusi kuran butir pada distribusi normal serta kurtosis
sedimen. Nilai dari skewness ialah data statistik yang memiliki tujuan untuk
mengklasifikasikan jenis-jenis dari bebagai ukuran butir sedimen. Nilai skewness dihitung
dengan menggunakan rumus nilai persentil ke-84 dijumlahkan dengan nilai persentil ke-16
dan dikurangi dengan nilai persentil ke-50. Kemudian nilai persentil ke-84 dikurang dengan
niali persentil ke-16 dan dikalikan dua. Selanjutnya, hasil penjumlahan pertama dibagi dengan
hasil penjumlahan kedua. Kemudian, nilai persentil ke-95 dijumlahkan dengan nilai persentil
ke-5 dan dijumlahkan dengan nilai persentil ke-50 yang dikalikan 2. Selanjutnya, nilai
persentil ke-95 dikurangi dengan nilai persentil ke-5 dan dikalikan dengan dua. Terakhir,
Hasil penjumlahan pertama ditambahkan dengan hasil penjumlahan kedua. Kurtosis ialah
derajat keruncingan dari suatu distribusi yang mengarah kepada bentuk kurva dan tinggi
maupun rendahnya suatu kurva. Nilai kurtosis merupakan nilai yang dapat mendefinisikan
kurva kumulatif aritmetik dengan tujuan mengetahui besaran nilai kurtosis sampai ke puncak
kurva. Nilai-nilai ini penting dalam penentuan analisa granulometri sedimen. Kurtosis
dihitung dengan menggunakan rumus nilai persentil ke-95 dikurangi dengan nilai persentil ke-
5. Kemudian nilai persentil ke-75dikurangi dengan nilai persentil ke-25 dikalikan dengan
2,44. Selanjutnya hasil penjumlahan pertama dibagi dengan hasil penjumlahan kedua (Cain et
al., 2017).
 Rumus dan klasifikasinya
Menurut Handayani dan Priohandono (2020), rumus mean ialah sebagai berikut :
Mean (𝑋̅ø)
(𝑋̅ø) = 𝛴𝑓𝑚∅
100
Table 2. Klasifikasi Sortasi

Nilai Sortasi Klasifikasi


< 0,25 Very well sorted
0,35 - 0,50 Well sorted
0,50 - 0,71 Moderately well sorted
0,71 - 1,0 Moderately sorted
1,0 - 2,0 Poorly sorted
2,0 - 4,0 Very poorly sorted
>4,0 Extremely poorly sorted
Sumber : Handayani dan Priohandono, 2020
Table 3. Klasifikasi Skewness

Nilai Skewness Klasifikasi


>1,30 Very fine skewed
0,43 - 1,30 Fine skewed
-0,34 - 0,43 Simetrically
-0,43 - (-1,30) Coarse skewed
<-1,30 Very coarse skewed
(Sumber : Handayani dan Priohandono, 2020)
Table 4. Klasifikasi kurtosis

Nilai kurtosis Klasifikasi


<1,70 Very platycurtic
0,70 - 2,55 Platycurtic
2,55 - 3,70 Mesocurtic
3,70 - 7,40 Leptocurtic
>7,40 Very leptokurtic
(Sumber : Handayani dan Priohandono, 2020)
2.4.3 Analisa Bentuk Butir
2.4.3.2 Sphericity
 Pengertian sphericity menurut para ahli
Sphecity ialah ukuran dari seberapa dekat suatu sampel atau benda ke bentuk bulat/bola
sempurna. Sphrecity dapat menentukan kualitas dari suatu benda dengan beban yang dapat
ditahannya ataupun kecepatannya dalam berbelok dengan sempurna tanpa kegagalan.
Sphrecity ialah contoh spesifik dimana ukuran keseragaman dari suatu bentuk. Sphrecity juga
dapat diartikan dengan sebuah partikel luas permukaan bola dengan volume yang sama
dengan partikel yang diberikan terhadap luas permukaan partikel. Analisis sphrecity biasanya
banyak digunakan pada berbagai sektor untuk mengidentifikasi benda 3 dimensi, misalnya
mengukur kebulatan dari sebuah apel pada sektor pertanian dan untuk meneliti struktur
morfologi sedimen batuan pada sektor geologi. Sphrecity juga dapat diartikan sebagai ukuran
untuk menunjukkan kebulatan dari suatu objek yang diamati. Sphrecity dari suatu partikel
ialah rasio dari luas permukaan sebuah bola yang memiliki volume yang sama dengan partikel
itu dengan luas permukaan dari partikel tersebut. Jika nilai sphrecity suatu benda semakin
mendekati satu, maka benda tersebut semakin memiliki bentuk menyamai bola. Terdapat
beberapa metode untuk menentukan sphrecity, salah satunya yaitu dalam bentuk 2 dimensi
dengan membandingkan diameter terpendeknya dengan diameter terpenjangnya. Saat ini,
telah banyak penerapan software yang digunakan untuk menentukan nilai sphrecity (Khairina
dan Andiwijayakusuma, 2012).
 Rumus sphericity
Rumus sphericity ialah sebagai berikut :
ψ = π^⅓ (6Vp)^⅔
Ap

dimana Vp ialah volume. Volume yang dimaksudkan ialah volume partikel/sampel yang
dijadikan bahan penelitian/pengamatan. Ap ialah luas permuakaan dari suatu sampel/partikel
yang dijadikan sebagai bahan pengamatan. Sphericity suatu bola ialah 1 dan partikel yang
bukan bola bernilai kurang dari 1. Metode sphericity dengan rumus ini lebih banyak
digunakan pada benda yang berbentuk tiga dimensi. Pada benda dua dimensi, sphericity dapat
dihitung dengan menggunakan rumus pada metode Riley. Suatu partikel/sampel dapat
dikatakan bulat sempurna jika sphericity-nya bernilai 1. Contohnya, kentang memiliki nilai
sphericity 0,86 yang artinya kentang tersebut tidak berbentuk bulat sempurna melainkan
mendekati bulat sempurna. Bentuk kebulatan/bulat berlaku dalam bentuk tiga dimensi. Oleh
karena itulah metode penghitungan dengan sphericity diperlukan. Analogi kebulatan dalam
tiga dimensi pada dua dimensi ialah seperti lingkaran penampang melintang pada sepanjang
benda silinder yang berbentuk kebulatan (Ramadhani et al., 2016).
 Tabel sphericity
Table 5. Klasifikasi Sphericity

Nilai sphericity Klasifikasi


0,60 Very elongate
0,60 - 0,63 Elongate
0,63 - 0,66 Subelongate
0,66 - 0,69 Intermediate shape
0,69 - 0,72 Subequant
0,72 - 0,75 Equant
>0,75 Very Equant
(Sumber :
 Metode analisa sphericity
Sifat fisik suatu butiran sedimen diidentifikasikan dengan metode sphericity. Pengukuran
dimensi butiran sedimen dapat menggunakan jangka sorong. Untuk menentukan sphericity,
dapat menggunakan persamaan tertentu dengan a, b, dan c yang merupakan permisalan dari
diameter mayor, intermediet serta minor. Pengukuran volume sedimen dapat dilakukan
dengan 2 cara. Pertama, sedimen diasumsikan berbentuk elips maka volumenya dapat
ditentukan dengan cara mencari volume bola. Kedua, volume ditentukan dengan
menggunakan metode perpidahan air dimana diasumsikan Vb ialah volume bahan yang
diukur. V akhir ialah volume dari cairan setelah bahan-bahan dimasukkan. V awal ialah
volume cairan sebelum dimasukkan bahan. Suatu material sedimen akan disebut bulat
sempurna jika nilai sphericity nya berjumlah 1. Jika mendekati 1, maka material sedimen
tersebut dapat dikategorikan dengan bulat (Mustofa, 2019).
 Perbedaan sphericity dengan roundness
Menurut Mustofa (2019) sphecity ialah ukuran dari seberapa dekat suatu sampel atau
benda ke bentuk bulat/bola sempurna. Sphrecity dapat menentukan kualitas dari suatu benda
dengan beban yang dapat ditahannya ataupun kecepatannya dalam berbelok dengan sempurna
tanpa kegagalan. Sphrecity ialah contoh spesifik dimana ukuran keseragaman dari suatu
bentuk. Sphrecity juga dapat diartikan dengan sebuah partikel luas permukaan bola dengan
volume yang sama dengan partikel yang diberikan terhadap luas permukaan partikel. Analisis
sphrecity biasanya banyak digunakan pada berbagai sektor untuk mengidentifikasi benda 3
dimensi, misalnya mengukur kebulatan dari sebuah apel pada sektor pertanian dan untuk
meneliti struktur morfologi sedimen batuan pada sektor geologi. Sedangkan Roundness
merupakan suatu bentuk morfologi butiran yang berupa tajam pada pinggir beserta pada sudut
suatu sedimen klastik. Roundness juga merupakan nilai rataan aritmatik dari roundness pada
masing-masing sudut butiran terhadap bidang pengukuran. Butiran roundness pada suatu
endapan sedimen akan ditentukan oleh komposisi dari butiran, ukuran butir, proses
pengangkutan serta jarak yang ditempuh dalam pengangkutannya. Butiran pasir yang
memiliki karateristik keras dan resisten sperti kuarsa dan zirkon akan lebih sulit untuk
membentuk bulat selama proses pengangkutannya dibandingkan dengan butiran yang agak
lunak seperti feldspar. Ukuran butir yang lebih kecil juga akan mengalami kesulitan saat
proses pembulatan (Rorato et al., 2019).
2.4.3.2 Roundness
 Pengertian roundness menurut para ahli
Roundness merupakan suatu bentuk morfologi butiran yang berupa tajam pada pinggir
beserta pada sudut suatu sedimen klastik. Roundness juga merupakan nilai rataan aritmatik
dari roundness pada masing-masing sudut butiran terhadap bidang pengukuran. Butiran
roundness pada suatu endapan sedimen akan ditentukan oleh komposisi dari butiran, ukuran
butir, proses pengangkutan serta jarak yang ditempuh dalam pengangkutannya. Butiran pasir
yang memiliki karateristik keras dan resisten sperti kuarsa dan zirkon akan lebih sulit untuk
membentuk bulat selama proses pengangkutannya dibandingkan dengan butiran yang agak
lunak seperti feldspar. Ukuran butir yang lebih kecil juga akan mengalami kesulitan saat
proses pembulatan. Akan tetapi, mineral yang resisten dengan ukuran yang agak kecil tidak
akan menunjukkan perubahan roundness oleh semua jenis pengangkutan sedimen. Sifat dari
bentuk butiran sedimen dilakukan dengan cara memanfaatkan penggunaan mikroskop.
Analisa bentuk sedimen dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran perjalanan
butiran sedimen. Semakin membundar bentuk suatu butiran sedimen, maka itu artinya
semakin jauh perjalanan yang telah ditempuhnya. Analisis ini sesuai dengan analisis yang
didasari dengan tingkatan roundness. Komposisi kimia dari sampel sedimen dianalisa dengan
menggunakan XRF (Sui and Zhang, 2012).
Menurut Alexandri (2013), bentuk dari butiran magnetit pada wilayah aliran sungai atau
muara cenderung lebih runcing atau berbentuk angular dan subangular. Ketika menuju
wilayah kawasan pantai, bentuk dari butiran sedimen akan menjadi lebih membulat
(roundness). Hal ini terjadi akibat pengikisan pada saat butiran diangkut. Sehingga, kondisi
ini dikategorikan dengan kondisi rounded/roundness. Semakin jauh jarak yang telah ditempuh
oleh butiran sedimen pada saat ia terlepas dari batuan induknya, maka nilai roundness yang
dimiliki oleh butiran sedimen tersebut akan lebih tinggi. Geometri dari pori bisa berupa
ukuran tubuh berpori, peretakan, serta permukaan butir (surface roundness) yang
mempengaruhi besar ataupun kecilnya porositas serta permeabilitas. Tekstur terdiri dari
ukuran besar butir, derajat kebundaran (roundness), derajat pemisahan, kemas, fragmen,
matrik serta semen. Roundness ialah derajat kebundarat bagian pinggiran dari fragmen suatu
butiran sedimen. Kebundaran dapat dilihat dari bentuk butiran sedimen yang terdapat pada
sedimen tersebut. Ada 4 jenis pengelompokan roundness, yaitu wellrounded, rounded,
subrounded, subangular serta angular.
 Metode pengukuran roundness
Metode pengukuran roundness biasanya menggunakan metode perbandingan. Metode
perbandingan yang digunakan ialah perbandingan tabel visual ataupun sketsa, atau tabel
visual dalam bentuk foto. Morfometri dari butiran sedimen meliputi indeks kebundaran
Wadell. Data yang digunakan untuk menghitung roundness ialah ukuran jari-jari
kelengkungan butir. Rumus indeks roundness Wadell ialah sebagai berikut : Kebundaran
(roundness) = (Σ = 1 r i/R)/n. Dengan ri sebagai jari-jari kelengkungan batuan, R sebagai jari-
jari kelengkungan batuan terbesar, serta n sebagai jari-jari kelengkungan batuan. Nilai indeks
roundness butiran sedimen pada setiap titik sampel juga digunakan untuk membuat grafik
beserta kurva yang berhubungan dengan nilai indeks roundness butir sedimen pada dasar
perairan. Nilai indeks roundness butir sedimen dasar perairan memiliki kecenderungan
semakin naik menuju hilir. Kecenderungan dari roundness butiran sedimen teridentifikasi
oleh pengangkutan yang dilakukan oleh aliran sungai. Proses pengangkutan butiran batuan
secara pergeseran, melompat, ataupun menggelinding (Ardianto dan Dibyosaputro, 2013).
 Tabel visual roundness

Gambar 3. Tabel Visual Roundness secara Foto


(Sumber : Ardianto dan Dibyosaputro, 2013.)
Gambar 4. Tabel Visual Roundness secara Sketsa
Sumber : Ardianto dan Dibyosaputro, 2013
Table 6. Klasifikasi Kelas Indeks Kebundaran Wadell

Interval Kelas Kelas


0,12 - 0,17 Sangat tidak teratur
0,17 - 0,25 Tidak teratur
0,25 - 0,35 Cukup tidak teratur
0,35 - 0,49 Cukup bundar
0,49 - 0,70 Bundar
0,70 - 1,00 Sangat bundar
Sumber : Ardianto dan Dibyosaputro,
2013
2.5 Metode Penamaan Sedimen
 Segitiga Sheppard
Menurut Hobson et al. (2020), segitiga Sheppard ialah metode pengelompokan sedimen-
sedimen permukaan. Segitiga Sheppard memiliki suatu perhitungan yang berdasarkan pada
jumlah kandungan dari ukuran partikel sedimen. Sistem klasifikasi segitiga Sheppard
disajikan dalam bentuk diagram. Salah satu contoh dari segitiga Sheppard ialah diagram
rangkap tiga yang merupakan sistem komponen yang berjumlah 100%. Pada pengamatan ini,
komponen yang dimaksud ialah jumlah persentase dari sedimen (kerikil, pasir, lumpur serta
benda lainnya yang mengisi sedimen). Pada setiap sampel, perlu di plotkan atau dipisahkan
dengan tanda yang telah diberikan sebagai suatu titik pada sepanjang sisi diagram yang
bergantung pada komposisi yang spesifik dari ukuran butiran sampel. Untuk menggolongkan
sedimen, diagram rangkap tiga Sheppard terbagi ke dalam sepuluh kelas. Diagram Sheppard
berdasarkan pada konvensi dari keseluruhan diagram rangkap tiga. Seperti, lumpur yang
berisi sebanyak 75% partikel berukuran lumpur. Silt sand dan Candy silt berisi sebanyak 20%
ukuran partikel clay. Sand-silt-clays berisi 20% dari setiap ketiga komponen tersebut. Di
dalam metadata untuk pengaturan, tergambarkan batasan yang tepat dari keluruhan kelas
sehinggan digunakan untuk menyusun peta dari distribusi sedimen. Berikut ialah gambar dari
segitiga sheppard.

Gambar 5. Segitiga Sheppard


Sumber: Pratiwi et al, 2015

Menurut Gemilang et al., (2017), pada analisa ukuran butiran dari sedimen dapat
digunakan metode Shieving dan metode hydrometer. Sedimen yang telah melalui kedua tahap
ini akan dicari nilai persentase sedimennya dengan menggunakan segitiga sheppard. Segitiga
sheppard dilakukan dengan tujuan untuk menentukan jenis teksturnya. Parameter statistik
yang digunakan pada analisa sedimen ialah kortasi, skewness dan kurtosis. Segitiga sheppard
menjelaskan bahwa ukuran butiran sedimen atau yang biasa disebut fraksi sedimen pada saat
menggunakan segitiga sheppard akan didapatkan suatu fraksi. Contohnya ialah fraksi pasir
berkerikil (gravelly sand) atau pasir dengan campuran lumpur (slightly gravelly sand).
Tekstur dari sedimen didasarkan pada perbandingan pasir atau kerikil ataupun lumpur yang
dijadikan atau diubah ke dalam bentuk nilai persen menggunakan segitga sheppard.
Sedangkan fraksi lumpur contohnya mean size, sorting, skewness serta kurtosis dilakukan
dengan bertujuan untuk mengetahui ciri dari sedimen menggunakan tabel probablitas. Pada
segitiga sheppard, perhitungan yang dilakukan berdasarkan pada jumlah dari proporsi
kandungan partikel pada sedimen. Kemudian dilakukan penggolongan/ pengklasifikasian
sedimen. Diagram sheppard juga merupakan diagram yang memiliki 3 rangkap dengan sistem
komponennya yang berjumlah 100%.

2.6 Analisa Kandungan Karbonat Dalam Sedimen


 Teori sedimen karbonat
Fasies pada sedimen karbonat memiliki ciri yang khas dan sangat menarik untuk diamati.
Pertumbuhan sedimen karbonat terjadi karena perubahan muka air laut yang menjadi
penyebab utamanya. Hal ini diketahui dengan analisis dari sikuen stratigrafi. Fase awal
terbentuknya sedimen karbonat ialah adanya fase Lowstand System Tract (LST). Sedimen
karbonat menyimpan sebagian besar hidrokarbon sumber minyak bumi di dalamnya. Pada
produksi minyak bumi di Indonesia sendiri didominasi oleh sedimen karbonat yang berbentuk
cekungan. Sedimen karbonat umumnya terbentuk pada lingkungan tropis. Sangat penting
untuk dilakukan rekonstruksi serta reposisi dari pertumbuhan sedimen karbonat dikarenakan
tidak semua bagian dari sedimen karbonat merupakan bagian dari perangkap hidrokarbon
sumber minyak bumi. Rekonstruksi pengendapan sedimen karbonat berdasarkan pada konsep
sikuen stratigrafi. Hal ini dilakukan dengan tujuan dapat memberikan pemahaman tentang
sifat sedimen karbonat syang berperan sebagai reservoir pada proses eksplorasi dalam aspek
terjadinya pengendapan. Sedimen karbonat merupakan batuan yang mengandung material
karbonat sebanyak lebih dari 50% dan biasanya tersusun oleh karbonat klastik yang
tersemenkan ataupun karbonat kristalin yang merupakan hasil presipitasi langsung. Batu
gaping mengandung kalsium karbonat sebanyak 95%. Hal ini berarti tidak semua batu
karbonat merupakan batu gamping (Pricilla et al., 2020).
 Sumber karbonat pada sedimen
Menurut Hartanto (2018), sumber sedimen yang terdapat pada dasar perairan berasal dari
daratan yang terdiri dari pecahan batuan, mineral ataupun material organik yang diangkut dari
berbagai macam sumber. Sedimen juga dapat bersumber dari laut itu sendiri yang berupa
mineral ataupun batuan hasil dari presipitasi kimiawi atau bahkan dari sisa biota laut.
Biasanya, kalsium karbonat yang ada di perairan akan terakumulasi dan mengendap di dasar
perairan sehingga sedimen ini dikategorikan sebagai sedimen biogeneus. Keberadaan
karbonat di dalam laut memiliki peranan yang sangat penting meskipun jumlahnya terbatas.
Secara teori, keberadaan sedimen karbonat berasal dari dua proses yaitu pembentukan melalui
deposisi organik bentik dengan cara insitu atau adanya penambahan karbonat pada suatu
wilayah perairan. Sedimentasi pada suatu wilayah berkaitan dengan transportasi sedimen yang
berasal dari daratan, transport sedimen yang berasal dari sepanjang pantai, maupun berasal
dari sumber biota laut. Untuk mengetahui kandungan karbonat pada sedimen dapat dilakukan
dengan cara menganalisi kandungan karbinat secara langsung terhadap sedimen. Hal tersebut
dilakukan dengan cara merendam sampel pada larutan HCl hingga karbonat terlarut dalam
larutan. Selisih dari massa perendaman sebelumnya dengan massa karbonat yang dimaksud
dapat dihitung stelah melalui beberap proses lebih lanjut.Kandungan karbonat dalam sedimen
merupakan persentase massa karbonat terhadap massa sedimen totalnya.
 Sumber bahan organik pada sedimen
Pada umumnya, beberapa jenis organisme mampu menghasilkan sedimen. Akan tetapi,
sedimen yang dihasilkan dalam bentuk pecahan cangkang atau material skeletal dan berbagai
bahan organik lainnya. Sedimen organik berasal dari bahan organik dari hewan maupun
tumbuhan yang telah mati yang juga disebut sebagai sedimen organogen atau biolit.
Biasanya, pendeposisian bahan organik karbon serta material karbon yang berasal dari
cangkang atau karang banyak terdapat pada dearah dekat pantai dan juga pada daerah laut
lepas. Kandungan bahan organik pada keseluruhan jenis sedimen termasuk tinggi. Biasanya,
sedimen yang memiliki persentase bahan organik yang tinggi terletak pada daerah teluk yang
menghadap pada muara sungai. Hal ini terjadi dikarenakan wilayah tersebut berada dari
daratan yang merupakan sumber dari bahan sedimen organik terbanyak. Sedimen tidak hanya
berasal dari bahan organik, akan tetapi juga berasal dari bahan anorganik. sedimen paling
banyak terdapat di laut karena sekitar dari 70,8% permukaan bumi tertutupi oleh laut.
Sedimen di laut berasal dari berbagai proses baik secara fisika, kimiawi, maupun bahan-bahan
organik (Hahn-Scofl et al., 2011).
 Metode-metode untuk analisis karbonat
Metode analisis karbonat menurut jurnal Yushra et al. (2020) (Jurnal 1) terbagi ke dalam
2 tahapan. Tahapan yang pertama yaitu persiapan studi pendahuluan mengenai kondisi
regional, software yang digunakan serta mengumpulkan literatur. Dalam proses pengerjaan
analisis ini, data yang diperoleh ialah data sumur, laporan deskripsi side wall core dan data
log serta beberapa data seismik 2D. Tahap kedua ialah penelitian/pengamatan/analisa serta
tahap pengolahan data. Pada tahap ini meliputi analisa karakteristik batuan melalui deskripsi
side wall core dan mud log untuk melakukan analisis litofasies serta analisis hasil well log
yang akan menghasilkan elektrofasies suatu keterkaitan parameter validasi lingkungan
pengendapan yang akan menjadi acuan dalam korelasi setiap sumur sebelum dikaitkan dengan
data seismik. Analisa pola pertumbuhan sedimen karbonat juga dilakukan dengan tujuan
untuk mengetahui bentuk pengendapan sedimen karbonat dengan melakukan interpretasi pola
pertumbuhan. Hal tersebut juga akan disertai dengan analisis paket sedimen berdasarkan
konsep sikuen stratigrafi. Analisis pada litofasies dilakukan dengan menggunakan data sumur
berdasarkan letak stratigrafi dari clay interbedded sandstone, interclastic, wackestone
interbedded clay, clay interbedded limestone, wackestone, clay serta packstone. Analisis
elektrofasies dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui keadaan pertumbuhan karbonat.
Secara umum, pola log gamma ray menunjukkan pola serrated, cylindrical serta funnel.
Metode analisis karbonat menurut jurnal Permanawati et al., (2016) (Jurnal 2) terbagi ke
dalam dua jenis metode. Yaitu metode destructive dan metode non destructive. Metode non
destructive merupakan metode dengan pengamatan makroskopis serta metode pemindaian
yang biasa disebut scanning. Sedangkan metode destructive ialah metode dengan cara
pencuplikan secara sistematis. Metode dengan pemindaian dianggap lebih efektif dan lebih
banyak digunakan dibandingkan dengan metode lainnya. Metode pencuplikan secara
sistematis dilakukan dengan cara pada setiap 2 cm pada interval 4 cm yang bertujuan untuk
mendapatkan gambar dari sedimen, MS (Magnetik Susceptibility) serta XRF (X-Ray
Fluorescence) yang beresolusi tinggi agar tidak merusak sedimen. Tidak hanya itu, metode ini
juga akan terukur secara terus menerus setiap 1 cm dalam waktu yang cenderung relatif
singkat. Pencuplikan pada setiap 2 cm pada interval 4 cm bertujuan untuk memperoleh hasil
data biogenic carbonate. Hal ini berdasarkan pada hasilnya yang mikroskopis, besaran butiran
sedimen, kandungan karbonat, total karbon organik serta total dari keseluruhan nitrogen. Hal
tersebut dilakukan untuk mendapatkan rasio.
 Perbandingan metode menurut jurnal
Perbandingan diantara metode menurut jurnal 1 dan jurnal 2 ialah terletak pada
metodenya. Pada jurnal 1 terdapat 2 langkah dalam melaksanakan metodenya secara umum.
Sedangkan pada jurnal 2, terdapat 2 jenis metode lagi, yaitu destructive dan non destructive.
Pada jurnal 2 hanya dibahas mengenai langkah pertama mempersiapkan alat dan bahan dan
langkah kedua melakukan pengamatan/ analisa. Jurnal 1 menggunakan metode analisa dengan
cara menganalisa pola. Sedangkan pada jurnal 2 lebih banyak menjelaskan mengenai metode
pencuplikan. Disanalah letak perbedaan secara garis besar mengenai perbedaaan metode
diantara kedua jurnal tersebut. Metode 1 dengan analisa pola memiliki tujuan untuk
mengetahui kandungan sedimen. Sedangkan pada jurnal 2 metode pemindaian bertujuan
untuk memotret sedimen. Akan tetapi, antara kedua jurnal ini memiliki tujuan secara garis
besar yang sama yaitu untuk menganalisis sedimen.
2.7 Analisa Kandungan Magnetik dalam Sedimen
 Sumber logam magnetik pada sampel sedimen
Logam berat magnetik pada sampel sedimen biasanya berasal dari kandungan logam
berat. Metode magnetik dikembangkan untuk mengidentifiksi adanya logam berat. Pada
metode ini, identifikasi kandungan magnetik dan logam berat ditentukan melalui pengukuran
suseptibilitas magnetik. Biasanya, mineral magnetik yang terkandung dalam sampel sedimen
yang mengandung logam berat mempunyai jumlah nilai suseptibilitas yang tinggi. Sampel
sedimen yang mengandung logam berat mempunyai nilai suseptibilitas yang lebih tinggi
dibandingkan dengan yang tidak mengandung logam berat. Sebenarnya, Kandungan logam
berat pun tidaklah memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap nilai suseptibilitas
magnetik. Akan tetapi, logam berat memiliki cukup pengaruh yang dapat digunakan dalam
hal menghitung nilai suseptibilitas magnetik. Pengukuran suseptibilitas magnetik dapat
dilakukan di laboratorium dengan cara menggunakan alat yang dinamakan Bartington
Susceptibility Meter MS2 dengan tambahan sensor MS2B. Kandungan dari logam berat juga
diukur dengan menggunakan metode X-Ray Fluoresence (XRF). Hal-hal yang dapat
berpengaruh terhadap nilai suseptibilitas magnetik ialah area geologi, sedimentasi serta
kandungan mineral magnetik pada suatu sampel. Salah satu hal yang dapat menjadi sumber
logam magnetik pada sampel sedimen ialah input dari mineral magnetik yang terangkut oleh
aliran proses pembuangan limbah yang kemudian akan terendapkan dan juga akan
berpengaruh terhadap nilai suseptibilitas magnetik pada sedimen (Putri dan Afdal, 2017).
Kandungan logam berat yang terdapat pada sedimen dapat dilihat dari peningkatan
jumlah mineral magnetik pada metode yang disebut metode magnetik. Penelitian mengenai
kandungan magnetik telah banyak dilakukan di Indonesia. Tapi, kebanyakan dari penelitian
tersebut dilakukan di daerah sungai. Sementara itu, penelitian yang dilakukan pada daerah
gambut sangat jarang dilakukan. Nilai suseptibilitas magnetik ini biasanya menurun dari hulu
ke hilir. Pada umumnya, daerah dengan lingkungan vulkanik yang batuan dasarnya ialah
batuan beku banyak mengandung mineral magnetik daripada daerah gambut. Sedimen yang
berasal dari hasil proses pelapukan batuan ultrabasa yang juga berasal dari batuan beku juga
memiliki sifat magnetik yang sangat tinggi. Sementara itu, sedimen yang berada tidak jauh
dari daerah pemukiman penduduk yang berkemungkinan besar menghasilkan limbah rumah
tangga tidak mengandung mineral magnetik dan memiliki nilai suseptibilitas yang sangat
rendah. Sedimen yang terdapat pada daerah pertaambangan juga mengandung magnetik dan
memiliki nilai suseptibilitas yang tinggi. Bahan magnetik juga biasa disebut dengan
feromagnetik. Feromagnetik ialah benda yang dapat ditarik dengan kuat oleh magnet. Apabila
benda yang berjenis feromagnetik berada dekat dengan magnet, maka magnet akan menarik
benda tersebut. Benda feromagnetik sendiri juga dapat dijadikan sebagai magnet. Contoh
bahan feromagnetik antara lain, baja, besi, nikel serta kobalt (Chu et al., 2020).
 Metode pengukuran/analisis magnetik berdasarkan para ahli
Menurut Nurpadillah (2019), analisis magnetik pada sedimen dapat dilakukan dengan
menggunakan metode kemagnetan batuan. Analisis dengan metode ini dilakukan dengan cara
menggunakan suseptibilitimeter, XRD serta analisis kimia cair tersuspensi. Metode ini
dilakukan karena identifikasi logam berat dengan metode kimia, metode biokimia ataupun
metode geokimia menghabiskan anggaran yang sangat besar dan membutuhkan waktu yang
relatif lama. Oleh karena itulah metode kemagnetan batuan ini dikembangkan sebagai metode
alternatif. Metode kemagnetan batuan ini juga sering digunakan dalam penelitian mengenai
lingkungan dengan analisis perubahan serta variasi dari sifat mineral magnetik pada sedimen
sebagai indikator dari suatu proses yang telah terjadi pada lingkungan. Metode ini juga
bertujuan untuk analisis sifat-sifat dari mineral magnetik dari sedimen. Analisis ini
diharapkan agar dapat digunakan dalam mengenali jejak-jejak perubahan lingkungan di
sekitar suatu wilayah perairan. Penelitian mengenai sifat magnetik ini juga dapat memberikan
informasi mengenai awal terbentuk serta sejarah magnetisasinya. Sifat-sifat magnetik dari
suatu sampel sedimen berkaitan dengan batuan yang telah mengalami pelapukan. Dengan
mengenali karakteristik dari suatu sedimen serta buliran magnetiknya akan diketahui kondisi
pencemaran apa yang akan terjadi. Hal ini dapat terjadi karena sifat magnetisme yang
teradapat pada sedimen yang berhubungan dengan suatu polutan tertentu contohnya logam
berat.
Menurut Pernawati et al. (2016), analisis sedimen juga dapat dilakukan secara vertikal
dengan tujuan untuk memprediksi perubahan-perubahan yang telah terjadi pada sedimen.
Salah satu contoh metode analisis sedimen ialah dengan metode destructive. Metode ini
dilakukan dengan cara pencuplikan dan pemindaian sistematis menggunakan setiap 2 cm
setiap interval 4 cm. Hal ini memiliki tujuan untuk mendapatkan data biogenic carbonate
berdasarkan hasil mikroskopis, ukuran butir sedimen, karbonat, jumlah total karbon organik,
serta total nitrogen. Metode pemindaian ini cukup efektif karena untuk mendapatkan foto
digital inti, warna kecerahan, suseptibilitas kemagnetan serta XRF dengan resolusi yang tinggi
dan tidak merusak. Pada metode ini juga dilakukan pengukuran terus menerus dalam waktu
yang relatif cepat. Pemindaian dilakukan dengan cara mendapatkan foto digital sedimen, L,
MS serta XRF. Alat yang digunakan dalam metode ini ialah alat sensor Multi Sensor Core
Logger (MSCL), Geotek Handheld Type S., sensor data L dengan Konica-Minolta CM2600d.
Sensor yang digunakan untuk data XRF dengan menggunakan Olympus Innov-X handheld
XRF Spectrometer. Sensor yang digunakan untuk data MS ialah Bartington MS2E point
sensor dengan intensitas yang cukup rendah. Perlakuan pada setiap sampel saat melakukan
pemindaian harus sesuai dnegan peruntukan dari masing-masing jenis sedimen. Berbagai
macam alat telah digunakan untuk melakukan metode ini baik yang megaskopis, mikroskopis
maupun mikroskop jenis binokuler.
Menurut Basuki (2017), salah satu metode yang efektif dalam eksplorasi mineral logam
magnetik ialah dengan cara eksplorasi geofisika dengan menggunakan metode geomagnet.
Pada metode ini, penghitungan serta pengolahan data dilakukan dengan menghitung nilai dari
anomali magnetik yang ada pada suatu medan magnetik total. Tidak hanya itu, penghitungan
ini juga telah dilakukan suatu koreksi yang dilakukan setiap harinya serta koreksi dari IGRF.
Selanjutnya, metode inversi data juga dapat dilakukan sebagai sebuah model. Selain itu,
interpretasi kualitatif serta interpretasi kuantitatif juga dapat dilakukan. Interpretasi kualitatif
dilakukan pada data yang telah diberi suatu model dengan menggunakan software surfer 11.
Jika suatu data terdapat anomali magnetik yang bernilai rendah ataupun terdapat perubahan
pada suatu nilai anomali, maka akan dilakukan proses interpretasi secara kuantitatif.
Interpretasi kuantitatif dilakukan dengan suatu deliniasi berupa proses menyayat pada
perbedaan nilai anomali yang terjadi secara signifikan. Kemudian, setelah melakukan proses
menyayat, akan dilakukan modeling dengan menggunakan software mag2dc. Hal ini
dilakukan untuk mengetahui jumlah serta data-data sebaran dari sedimen magnetik yang
terdapat pada suatu wilayah.
 Rumus perhitungan analisis magnetik sedimen
Menurut Hatfield et al. (2013), hasil analisis magnetik sedimen menggunakan rumus :
Berat magnet x 100%
Berat awal sampel

2.8 Analisa Kandungan Mineral Berat dalam Sedimen


 Sumber mineral berat dalam sedimen
Mineral berat dalam sedimen dapat bersumber dari pulau-pulau di sekitarnya maupun
dari rombakan sedimen suatu sistem paparan. Kumpulan mineral berat, dapat dijadikan
sebagai penentuan sumber sedimen. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara
membandingkan kumpulan mineral berat yang ada di wilayah penelitian dengan mineral berat
yang ada pada batuan di sekitarnya yang diperkirakan menjadi sumber dari sedimen pada
wilayah tersebut. Jenis mineral berat yang terdapat pada suatu sedimen sangat berguna dalam
penentuan sumber sedimen dikarenakan kumpulan dari mineral berat tertentu cenderung hadir
dalam satu jenis sumber batuan saja. Dalam penelitian mengenai mineral berat, perlu
dilakukan analisis mengenai jenis kelimpahan mineral berat yang terdapat dalam suatu
sedimen yang ada di dasar laut. Proses pemisahan dari mineral berat dan mineral ringan dapat
dilaksanakan dengan metode pemisahan larutan berat. Larutan berat yang digunakan iaah
bromoform, CHBr3, serta larutan yang memiliki berat jenis 2,85 pada suhu 20°C. Selanjutnya,
hasil analisis tersebut akan dapat digunakan untuk menafsirkan suatu batuan sumber dari
suatu sedimen yang terdapat pada wilayah penelitian. Kumpulan dari mineral-mineral berat
yang terdapat pada suatu sedimen yang terdapat pada suatu wilayah berbeda-beda dengan
wilayah lainnya. Mineral-mineral berat dapat berasal dari sungai hasil erosi (Setiady dan
Sarmili, 2016).
 Contoh mineral berat dalam sedimen
Contoh mineral berat yang terdapat dalam suatu sedimen ialah magnetit, kasiterit, zirkon,
monasit, hornblende, turmalin, pirit, ilmenit, hematit, leokosen, augit serta diopsid.
Kandungan mineral magnetit dan kasiterit yang tinggi pada suatu sedimen menunjukkan
bahwa sumber mineral berasal dari wilayah tersebut. Selain itu, niobium dan tantalum juga
termasuk ke dalam jenis mineral berat. Konsentrasi kandungan unsur yang jarang seperti
niobium dapat menunjukkan keberadaan mineral berat ekonomis. Yaitu, mineral berat yang
resisten terhadap pelapukan serta mengandung unsur titanium seperti mineral ilmenit serta
mineral rutil. Telah terbukti bahwa di alam, keberadaan unsur niobium dan tantalium hampir
elalu berasosiasi. Pada daerah selidikan asosiasi terdapat mineral-mineral berupa columbit
tantalit serta pirokhlor. Selain itu, asosiasi dari kedua unsur yang telah disebutkan sebelumnya
dapat diketahui dari batuan sumber dari sedimen-sedimen dimana mineral dapat
terakumuluasi. Hal ini dikarenakan asosiasi diantara unsur niobium dan tantalum ialah suatu
penciri dari suatu wilayah dimana terdapat suatu sedimen. Mineral berat seperti kasiterit dan
wolframit yang merupakan asosiasi dari suatu mineral tertentu dapat menjadi penciri dari
wilayah metasomatik kontak (Aryanto et al., 2016).
 Metode analisis mineral berat berdasarkan para ahli
Analisis mineral berat merupakan suatu metode yang seringkali digunakan dalam
menentukan asal batuan. Mineral berat ialah mineral yang mempunyai berat jenis yang besar
daripada suatu medium yang digunakan untuk memisahkannya dari mineral ringan. Mineral
berat sebenarnya tidak merujuk kepada mineral dengan suatu batasan berat jenis tertentu.
Pemisahan mineral berat biasanya dilakukan dengan menggunakan larutan berat seperti
bromoform. Analisis batuan dasar berdasarkan suatu asumsi bahwa setiap tipe dari kelompok
batuan sumber memiliki kumpulan dari mineral tertentu. Sehingga adanya suatu mineral yang
terdapat pada suatu sedimen mengindikasikan tipe batuan dari sumbernya. Walaupun
demikian, komposisi dari suatu sedimen tidak hanya dipengaruhi oleh batuan sumbernya tapi
juga dipengaruhi oleh suatu proses pelapukan, proses transportasi, proses diagenesis, serta
proses pendauran ulang partikel mineral. Berdasarkan pada hal-hal yang telah disebutkan,
maka dirasa perlu adanya suatu pendekatan terkhususnya pada kumpulan mineral berat.
Konsentrat mineral berat yang akan didapat, dianalisis unsur jejaknya untuk mengetahui
darimana mineralnya berasal. Contohnya saat pirit dipisahkan dengan sedimen sungai serta
dianalisis kandungan Cu-nya (Saksama dan Ngadenin, 2013).
Mineral berat mempunyai tingkat stabilitas yang sangat bervariasi tergantung pada
pengangkutan serta pelapukan. Efek antara gabungan dari pelapukan kimiawi, pengangkutan
serta diagenesis cenderung menurunkan persentasenya pada keseluruhan batuan. Oleh karena
itulah jumlah mineral berat yang terdapat di pasir sangat sedikit, sekitar 1%. Analisis mineral
berat pertama kali dianggap sebagai kajian mengenai bukit pasir yang menggabungkan
petrografi, kimiawi mineral berat serta analisis butir mineral sedimen tunggal secara kimia
yang bertujuan untuk menilai pola asal pada cekungan. Mineral berat seringkali diekstraksi
terlebih dahulu dari sampel karena sampel tersebut mewakili sebagian kecil dari batupasir
yang tua dan mulai lapuk. Analisa mineral berat ini ialah suatu metode analisis terhadap
kandungan mineral berat yang terdapat pada suatu sedimen. Analisis ini dilakukan dengan
tujuan untuk mengetahui variasi mineral berat yang terdapat pada sedimen. Telah banyak
penelitian yang menggunakan metode analisis mineral berat untuk mengetahui kandungan
atau asal batuan dari suatu sedimen. Analisis dari mineral berat dapat dikerjakan dengan
menghitung mineral secara kuantitatif berdasarkan pada persentase mineral berat pada tiap-
tiap sampel. Hasil analisis yang diperoleh dapat bervariasi sesuai dengan ciri batuan asal dari
suatu sedimen (Ando, et al., 2012).
2.9 Material Padatan Tersuspensi (2 lembar)
 Pengertian menurut para ahli
Menurut Jiyah et al. (2016) material padatan tersuspensi ialah material yang berbentuk
padatan yang mencakup bahan organik maupun bahan anorganik yang tersuspensi pada suatu
wilayah perairan. Material padatan tersuspensi dapat menjadi parameter akan tingginya
tingkat sedimentasi pada suatu wilayah. Nilai konsentrasi suatu material padatan tersuspensi
yang tinggi dapat menyebabkan turunnya aktivitas fotosintesis dari tumbuhan laut baik
tumuhan mikro maupun makro. Hal ini menyebabkan berkurangnya jumlah oksigen yang
dilepaskan sehingga dapat mengakibatkan kematian dari biota-biota laut lainnya. Sehingga,
jika jumlah material padatan tersuspensi yang ada pada suatu badan sungai akan terus
bertambah dan mengalir ke lautan lepas pada jangka waktu yang lama akan dapat
menurunkan suatu kualitas perairan. Tingginya tingkat sedimentasi atau material padatan
tersuspensi dapat menjadi suatu indikasi bahwa perairan tersebut telah tercemar. Material
padatan tersuspensi juga merupakan tempat terjadinya suatu reaksi heterogen yang memiliki
fungsi sebagai bahan yang membentuk endapan pada saat paling awal serta dapat
menghalangi suatu kemampuan produski zat organik pada suatu perairan. Sedimen
tersuspensi ialah hal yang dapat dikatakan cukup berperan dalam hal transportasi maupun
pengendapan sedimen. Material endapan ini melayang pada kolom perairan dan bergerak
pada jangka waktu tertentu dengan tidak menyentuh dasar dari suatu perairan. Salah satu
contoh hal yang dapat mempengaruhi sebaran dari sedimen tersuspensi ialah sirkulasi aliran
air, arus serta pengaruh pasang surut.
 Jenis-jenis MPT
Menurut material padatan tersuspensi merupakan suatu partikel – partikel zat padat yang
tersuspensi pada suatu perairan. Material padat tersuspensi adalah salah satu unsur dalam
pembentukan bidang rekayasa pantai. Sedimen tersuspensi sendiri merupakan indikator dalam
menentukan kualitas perairan. Jumlah sedimen tersuspensi yang banyak dapat menyebabkan
kekeruhan pada suatu perairan. Kadar kekeruhan yang tinggi tentunya akan mengganggu
organisme di dalam perairan. Sedimen tersuspensi terbagi menjadi dua jenis, yaitu organik
dan anorganik. Material padat tersuspensi organik di dalamnya terdapat organisme seperti
fitoplankton, fungi, zooplankton dan bakteri. Material padat tersuspensi anorganik di
dalamnya mengandung material mineral. Komponen – komponen di dalam sedimen
tersuspensi akan terendap bersama dengan sedimen yang ada di dalam perairan. Persebaran
dari material padat tersuspensi dapat disebabkan oleh sumber yang ada di wilayah daratan.
Material padat tersuspensi merupakan komponen sedimen yang terendapkan di perairan
dengan jangka waktu yang cukup lama. Komposisi dari material padat tersuspensi di suatu
perairan biasanya mempunyai variasi secara temporal dan juga spasial (Suhendar et al., 2020).
 Faktor fisis distribusi MPT
Proses distribusi MPT dipengaruhi oleh faktor-faktor fisika oseanografi yang terjadi di
lautan/perairan. Contohnya ialah, pasang-surut air, arus serta gelombang. Sedimen yang
bergerak di kolom perairan berperan sebagai muatan dasar yang akan berpindah dengan cara
bergeser mapun menggelinding sepanjang dasar saluran. Pada daerah muara, Air sungai akan
bercampur dengan air laut yang disebabkan oleh aktivitas pasang surut serta gelombang yang
juga berpengaruh terhadap distribusi MPT. Salah satu peran penting dari muara sungai ialah
sebagai tempat penyaluran kandungan material yang terdapat di sungai yang berasal dari darat
menuju laut. Material-material tersebut sebagian akan mengendap di wilayah sungai dan
sebagian lainnya akan diteruskan dan mengendap di laut. Suplai air pada muara sungai
bergantung kepada pasang yang mendominasi pada sirkulasi air di wilayah tersebut. Arus
pasang pada umumnya mampu mengaduk MPT yang ada di perairan. Adanya arus di laut
disebabkan oleh karena adanya perbedaan densitas massa air laut, angin yang bertiup secara
terus menerus di atas permukaan laut serta pasang surut yang terjadi di laut terutama yang
terjadi pada wilayah pantai. Oleh karena itulah arus yang ada di sekitar wilayah pantai terjadi
dikarenakan adanya gelombang pasang surut (Subardjo et al., 2018),
 Rumus MPT
Menurut Riniatsih (2015), hasil analisis magnetik sedimen menggunakan rumus :

gr
( a−b ) x 100( )
Konsentrasi MPT = t
C
Keterangan :
a = Berat filter dan residu setelah pemanasan
b = Berat filter setelah pemanasan
c = Volume sampel
 Alat sampling dan lab
Alat-alat sampling dan lab serta bahan yang digunakan dalam analisis MPT ialah sebagai
berikut :
1. Water sampler, merupakan alat sampling yang digunakan sebagai alat untuk
mengambil sampel MPT.

Gambar 6. Bottle sampler


Sumber : Dorgham 2016.
2. Vacuum pump dan membrane filter holder, merupakan alat lab yang digunakan untuk
menyaring sampel MPT.

Gambar 7. 1. Vacuum pump, 2. Vacuum flask, 3. Filter holder, 4. Inkubator dan 5. Hasil
Sumber : Utomo et al., 2020.

 Metode sampling MPT


Menurut Hikmawati et al. (2014), penelitian mengenai MPT dapat dilakukan dengan
menggunakan metode kuantitatif. Metode kuantitatif yang digunakan ialah metode yang telah
memenuhi kaidah-kaidah ilmiah serta dapat memberikan data penelitian yang disajikan dalam
bentuk angka dan juga analisisnya menggunakan statistik atau model. Penentuan dari lokasi
tempat penelitian yang tepat juga dapat dilakukan dengan metode purposive sampling.
Metode purposive sampling ialah netode yang diguanakan dalam penentuan titik sampling
yang akan mewakili keadaan sutu wilayah perairan pada suatu lokasi penelitian. Pengambilan
data arus yang diperlukan dapat dengan menggunakan suatu metode yang biasa disebut
dengan metode langrage. Analisis konsentrasi MPT yang dilakukan di laboratorium dapat
dilakukan dengan menggunakan metode gravimetri. Metode penelitian juga dilakukan secara
eksploratif dan metode samplingnya dilakukan dengan metode purposive random sampling.
Pengambilan sampel air dapat dilakukan di permukaan air. Hasil yang diperoleh nantinya
akan dapat menentukan pengaruh terhadap hasil tangkapan nelayan. Hasil yang diperoleh
nantinya juga akan dapat digunakan untuk menggambarkan kualitas suatu wilayah perairan.
 Metode analisis lab MPT
Menurut Paramitha et al. (2016), analisis konsentrasi MPT yang dilakukan di
laboratorium dapat dilakukan dengan menggunakan metode gravimetri. Metode gravimetri ini
dilakukan dengan cara menyaring dan mengeringkan kertas whatman. Pengeringan kertas ini
dilakukan dengan bantuan oven. Selanjutnya dimasukkan ke dalam desikator dan ditimbang
untuk mengetahui massa awal kertas. Kemudian sampel dikocok dan disaring dalam alat
penyaringan. Sehingga partikel yang akan dianalisis akan ditampung pada kertas whatman.
Kertas saring selanjutnya kembali dikeringkan di dalam oven dan dimasukkan ke dalam
desikator. Terakhir sebelum dilakukan perhitungan, kertas ditimbang pada neraca analitik.
Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan berat akhir dan lakukan secara berulang
agar hasil yang didapatkan konstan. Tujuan dari analisis MPT ini ialah untuk mengetahui nilai
konsentrasi serta suatu pola sebaran dari MPT yang terdapat pada suatu wilayah perairan.

2.10 Teknik Pengambilan Sampel


 Macam-macam teknik pengambilan sampel
Menurut Rumhayati (2019), jenis sampel yang akan diambil serta lokasi pengambilan
sampel sedimen merupakan salah satu hal penting yang harus diperhatikan dalam melakukan
teknik pengambilan sampel. Sedimen adalah endapan yang didapatkan dari proses
sedimentasi. Biasanya sedimen berasal dari proses pelapukan, pengangkutan serta
pengendapan. Lokasi pengendapan dari sedimen terletak dari berbagai macam lokasi.
Contohnya adalah dasar laut, atau sungai dan lain sebagainya. Jenis sedimen yang akan
diambil biasanya merupakan sedimen dasar dan juga sedimen yang melayang atau material
padatan tersuspensi. Metode coring adalah salah satu metode yang cukup sering digunakan
dalam melakukan pengambilan sampel sedimen. Metode coring merupakan teknik
pengambilan sampel sedimen yang dilakukan pada dasar suatu perairan terutama laut. Lokasi
dari pengambilan sampel ini biasanya telah ditentukan dahulu menggunakan metode yang
dinamakan point integrated. Metode point integrated merupakan suatu metode yang bertujuan
guna mendapatkan sampel sedimen di suatu titik secara vertikal. Metode point integrated ini
lebih sering digunakan untuk pengambilan sampel sedimen yang ada pada dasar sungai.
Selain metode coring dan metode point integrated, ada metode lain yang biasa digunakan.
Metode tersebut ialah metode purposive sampling. Metode purposive sampling merupakan
suatu metode yang bertujuan untuk mengambil atau mendapatkan sampel sedimen yang
representatif. Sampel sedimen yang representative artinya adalah sampel tersebut dapat
mewakili sampel – sampel lainnya yang ada pada lokasi pengambilan
 Sedimen grab
Menurut Rugner et al. (2019), alat yang paling sering digunakan dalam teknik
pengambilan sampel sedimen ialah grab sampler, core sampler, serta dredge sampler. Grab
sampler dapat disebut juga dengan sedimen grab. Alat ini merupakan alat yang digunakan
untuk mengambil sampel yang ada di dasar laut. Alat ini terbuat dari bahan dasar besi. Grab
sampler atau sedimen grab terbagi menjadi beberapa jenis. Jenis dari sediment grab yaitu
bottom sediment grab sampler, benthic sediment bottom sampler yang kemudian terbagi lagi
menjadi ekman bottom grab sampler, ponar type grab sampler, van veen grab sampler dan
wash stand serta grab sampler. Sedimen grab digunakan dengan langkah pertama yaitu
menarik tali untuk membuka bagian grabnya. Selanjutnya sedimen grab diturunkan ke dasar
permukaan. Ketika sedimen grab telah mencapai dasar perairan maka tali akan menjadi
longgar, seketika itu sedimen grab ditarik kembali menuju permukaan. Setelah sampel
sedimen berhasil didapatkan, sampel sedimen tersebut kemudian disimpan ke dalam kantong
ziplock. Sampel sedimen yang telah diambil selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk di
analisis. Analisis sedimen sendiri biasanya menggunakan metode analisis granulometri.
Sedimen grab sebenarnya merupakan alat yang mudah untuk digunakan. Namun dalam
pemakaiannya sedimen grab membutuhkan beberapa orang untuk menarik alat tersebut.

Gambar 16. Sedimen grab


Sumber : Rahmat dan Koderi, 2018.
 Sediment coring
Menurut Gong et al. (2019), alat yang direkomendasikan untuk pengambilan sampel
sedimen yang ada di dasar laut adalah sediment coring. Dalam pemakaian sediment coring
harus dilakukan sesuai dengan prosedurnya. Sebelum mulai melakukan pengambilan sampel,
kedalaman dari suatu lokasi perairan harus sudah diukur dengan suatu perangkat. Langkah
selanjutnya yaitu sediment coring dimasukkan ke dalam air. Saat sediment coring telah
mencapai dasar, sediment coring digerakan secara perlahan dan ditarik serta didorong agar
sedimen yang ada di dalam permukaan dapat terambil secara menyeluruh. Sediment coring
kemudian diangkat ke permukaan. Sediment coring terbagi menjadi HAPS corer, box corer,
dan spade corer. Metode coring adalah salah satu metode yang cukup sering digunakan dalam
melakukan pengambilan sampel sedimen. Metode coring merupakan teknik pengambilan
sampel sedimen yang dilakukan pada dasar suatu perairan terutama laut. Lokasi dari
pengambilan sampel ini biasanya telah ditentukan terlebih dahulu.

Gambar 17. Sediment coring


Sumber : Gong et al., 2019
 Sediment trap
Sediment trap merupakan alat yang unik. Hal ini dikarenakan sediment trap dapat
digunakan untuk mengamati fluks dari partikel yang mengendap di kolom air. Sediment trap
sering digunakan untuk mengetahui informasi jumlah bahan organik ataupun anorganik yang
ada pada suatu endapan sedimen. Sediment trap adalah alat yang terdiri atas corong atau botol
yang menghadap ke arah atas. Mekanisme dari sediment trap sendiri membutuhkan waktu
yang cukup lama guna mengambil sampel sedimen. Sediment trap dapat digunakan untuk
menentukan laju sedimentasi pada suatu ekosistem terumbu karang dengan cara melakukan
suatu pengukuran. Tabung sediment trap dapat dibuat dari pipa PVC yang memiliki ukuran
diameter sebesar 5 cm dan tingginya sebesar 11,5 cm. Selain itu, bagian atas dari pipa harus
memiliki sekat sebagai penutup. Tabung sediment trap dapat dipasang pada sebuah tiang yang
terbuat dari besi yang memiliki diameter 12 cm dan memiliki ketinggian 20 cm dari dasar
perairan. Sediment trap nantinya akan dipasang selama 20 hari, setelah itu dapat sediment
trap dapat diangkat untuk diambil sampel sedimen yang telah diperoleh. (Adriman, et al.,
2013).
Gambar 18. Sedimen Trap
Sumber : Petra et al., 2012.
 Bottle sampler
Pengukuran sedimen juga dapat dilakukan dengan cara mengambil sampel dari air pada
suatu wilayah perairan. Pengambilan sampel juga dapat dilakukan dengan cara menggunakan
bottle sampler. Bottle sampler yang biasanya digunakan dalam mengambil sampel sedimen
juga biasanya dinamakan botol Nansen. Botol Nansen ini tersusun atas tali dan juga botol
yang akan terpasang di kapal. Botol Nansen berbahan dasar logam sederhana. Selain logam,
botol Nansen juga dapat berbahan dasar dari plastik. Botol Nansen memiliki cara pakai yang
mudah. Langkah pertama yaitu botol Nansen dimasukkan ke dalam air dengan posisi terbalik.
Kemudian saat botol sudah terisi penuh oleh air, botol tersebut akan menutup secara otomatis.
Dengan bantuan dari messenger yang ada pada botol, botol kemudian dapat ditarik kembali ke
atas (Newyeara et al., 2014).

Gambar 19. Bottle sampler


Sumber : Dorgham 2016.
DAFTAR PUSTAKA

Aditama, G., H. Pudjihardjo dan A. S. Hidayatillah. 2018. Relasi Kualitas Batubara dengan
…………Lingkungan Pengendapan pada Pit South Pinang dan Sekitarnya, PT. Kaltim Prima
…………Coal, Sangatta Utara, Kutai Timur, Kalimantan Timur. Jurnal Geosains dan
…………Teknologi., 7 (1) : 34-40.
Adriman, A., A. Purbayanto, S. Budiharso dan A. Damar. 2013. Pengaruh Sedimentasi
…………terhadap Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah Bintan Timur
…………Kepulauan Riau. Berkale Perikanan Terubuk., 41 (1) : 90-101.
Afdhaliah, N., Faridah dan A. Munir. 2017. Analisis Perhitungan Debit Muatan Sedimen
…………(Suspensed load) pada Daerah Irigasi Lekopancing Kabupaten Maros. Jurnal
…………AgriTechno., 10 (2) : 167-179.
Alexandri, A. 2013. Studi Perencanaan Pola Penyebaran Sumur Produksi terhadap Pengaruh
…………Heterogenitas Reservoir. Forum Teknologi., 3 (3) : 29-39.
Ammar, M. dan I. Kridasantausa. 2016. Hubungan Debit Inler terhadap Debit Sedimen pada
…………Uji Model Fisik Sedrainpond. Jurnal Rekayasa Teknologi Nusa Putra., 2 (2) : 10-
…………14.
Ando, S., E. Garzanti, M. Padoan and M. Limonta. 2012. Corrosion of Heavy Mineral During
…………Weathering and Diagenesis : S Catalog for Optical Analysis. Seidmentary Geology.,
…………280 : 165-178.
Apriyanto, K., S. Saputro dan Hariadi. 2016. Studi Sebaran Sedimen Dasar di Perairan
…………Muara Sungai Kluwut, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Jurnal Oseanografi., 5 (4)
…………: 435-440.
Ardianto, Y. W. dan S. Dibyosaputro. 2016. Analisis Morfometri Butir Material Dasar
…………Sungai Jali, Jawa Tengah. Jurnal Bumi Manusia., 5 (3) :1-10.
Arif, S., P. F. Adibrata, N. Dzakia. 2020. Karakteristik Endapan Sedimen : Studi Kasus
…………Pantai Parangkusumo Daerah Istimewa Yogyakarta. Newton-Maxwell Journal of
…………Physics., 1 (1) : 25-31.
Arisa, R. R. P., E. W. Kushartono dan W. Atmodjo. 2014. Sebaran Sedimen dan Kandungan
…………Bahan Organik pada Sedimen Dasar Perairan Pantai Slamaran Pekalongan. Journal
…………of Marine Research., 3 (3) : 342-350.
Aryanto, N. C. D., J Widodo dan P. Raharjo. 2016. Keterkaitan Unsur Tanah Jarang Terhadap
…………Mineral Berat Ilmenit dan Rutil Perairan Pantai Gundu, Bangka Barat. Jurnal
…………Geologi Kelautan., 1 (2) : 13-18.
Astuti, E. H., A. Ismanto dan S. Saputro. 2016. Studi Pengaruh Gelombang terhadap
…………Transport Sedimen di Perairan Timbulsloko Kabupaten Demak Jawa Tengah.
…………Jurnal Oseanografi., 5 (1) : 77-85.
Baihaqi, A. dan C. M. A. Dungga. 2015. Distribusi Butiran Sedimen di Pantai Dalegan,
…………Gresik, Jawa Timur., 4 (3) : 153-159.
Basuki, T. B. 2017. Water and Sediment Yields from Two Catchments with Different Land
…………Cover Areas. Journal of Degraded and Mining Lands Management., 4 (4) : 853-861.
Buurman, P., T. Pape, J. A. Reijneveld, F. D. Jong and E. V. Gelder. 2016. Laser-Diffraction
…………and Pipette-Method Grain Sizing of Dutch Sediments : Correlations for Fine
…………Fractions of Marine, Fluvial, and Loess Samples. Netherlands Journal of …………
Geosciences., 80 (2) : 49-57.
Cain, M. K., Z. Zhang and K. H. Yuan. 2017. Univariate and Multivariate Skewness and
…………Kurtosis for Measuring Nonnormality : Prevalence, Influence and Estimation.
…………Behavior Research Methods., 49 (5) : 1716-1735.
Chu, N., Q. Yang, F. Liu, X. Luo, H. Cai, L. Yuan, J. Huang and J. Li. 2020. Distribution of
…………Magnetic Properties of Surface Sediment and Its Implications on Sediment
…………Provenance and Transport in Pearl River Estuary. Marine Geology., 424 : 1-12.
Dorgham, M., M. El-Sherbiny and M. Hanafi. 2016. Environmental Properties of the
…………Southern Gulf of Aqaba. Red Sea, Egypt, 323 pages.
Fan, D., H. Qi, X. Sun, Y. Liu and Z. Yang. 2011. Annual Lamination and ITS Sedimentary
…………Implications in the Yangtze River Delta Inferred from High-Resolution Biogenic
…………Silica and Sensitive Grain-Size Records. Continental Shelf Research., 31 (2) : 129-
…………137.
Gemilang, W. A., G. Kusumah, U. J. Wisha dan A. Arman. 2017. Laju Sedimentasi di
…………Perairan Brebes, Jawa Tengah menggunakan Metode Isotop 210Pb. Jurnal Geologi
…………Kelautan., 15 (1) : 11-22.
Gemilang, W. A., U. J. Wisha dan G. Kusumah. 2017. Distribusi Sedimen Dasar sebagai
…………Identifikasi Erosi Pantai di Kecamatan Brebes menggunakan Analisis …………
Granulometri. Jurnal Kelautan., 10 (1) : 54-66.
Gemilang, W. A., U. J. Wisha, G. A. Rahmawan dan R. Dhiauddin. 2018. Karakteristik
…………Sebaran Sedimen Pantai Utara Jawa Studi Kasus : Kecamatan Brebes Jawa
…………Tengah. Jurnal Kelautan Nasional., 13 (2) : 65-74.
Gibran, A. K. dan A. Kusworo. 2020. Fasies dan Lingkungan Pengendapan Formasi
…………Kanikeh, Cekungan Bula, Maluku. Riset Geologi dan Pertambangan., 30 (2) : 171-
…………186.
Gong, D. X. Fan, Y. Li, B. Li, N. Zhang, R. Gromig and P. Talalay. 2019. Coring of Antarctic
…………Subglacial Sediments. Journal of Marine Science and Engineering., 7 (6) : 194-205.
Hahn-Schofl, M., D. Zak, M. Minke, J. Gelbrecht, J. Augustin and A. Freibauer. 2011.
…………Organic Sediment Formed Durung Inundation of a Degraded Gen Grassland Emits
…………Large Fluxes of CH4 and CO2. Biogeosciences., 8 (6) : 1539-1550.
Hambali, R. dan Y. Apriyanti. 2016. Studi Karakteristik Sedimen dan Laju Sedimentasi
…………Sungai Daeng - Kabupaten Bangka Barat. Jurnal Fropil., 4 (2) : 165-174.
Hartanto, B. 2018. Menganalisa Kualitas Perairan melalui Kandungan Karbonat pada
…………Sedimen Dasar Muara Sungai Serang Kulonprogo. Majalah Ilmiah Bahari Jogja.,
…………16 (2) : 98-118.
Hatfield, R. G., J. S. Stoner, A. E. Carlson, A. V. Reyes and B. A. Housen. 2013. Source as a
…………Controlling Factor on the Quality and Interpretation of Sediment Magnetic Records
…………from the Northern North Atlantic. Earth and Planetary Science Letters., 368 : 69-77.
Hikmawati, N., A. Hartoko dan B. Sulardiono. 2014. Analisa Sebaran MPT, Klorofil-a dan
…………Plankton terhadap Tangkapan Teri (Stolephorus spp.) di Perairan Jepara. …………
Diponegoro Journal of Maquares., 3 (2) : 109-118.
Hobson, C., H. V. Kulkarni, K. H. Johannesson, A. Bednar, R. Tappero, T. J. Mohajerin, P.
…………R. Sheppard, M. L. Witten. G. M. Hettiarachchi. and Saugatta Datta. 2020. Origin
…………of Tungsten and Geochemical Controls on its Occurence and Mobilization in
…………Shallow Sediments from Fallon, Nevada, USA. Chemosphere., 260 : 127-157.
Jansen, T. 2018. Trend Sedimen Transport pada Laut Ariake Utara, Japan. Jurnal Ilmiah
…………Media Engineering., 8 (2) : 1127-1131.
Jiyah, B. Sudarsono dan A. Sukmono. 2016. Studi Distribusi Total Suspended Solid (TSS) di
…………Perairan Pantai Kabupaten Demak menggunakan Citra Landsat. Jurnal Geodesi
…………Undip., 6 (1) : 41-47.
Jones, J. I., J. F. Murphy, A. L. Collins, D. A. Sear, P. S. Naden and P. D. Armitage. 2011.
…………The Impact of Fine Sediment on Macro-Invertebrates. River Research and
…………Applications., 201 : 133-150.
Kasan, R. M., R. M. Rompas dan N. D. C. Rumampuk. 2015. Telaah Kandungan Arsen pada
…………Sedimen di Estuari Sungai Marisa, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo. Jurnal Pesisir
…………dan Laut Tropis. 7 (5) : 62-68.
Khairina, N. S. dan D. Andiwijayakusuma. 2012. Komputasi Sphrecity Berbasis Image
………..…Processing pada Kernel Bahan Bakar HTGR. Lokakarya Komputasi dalam Sains
…………dan Teknologi Nuklir., 10 (12) : 263-271.
Koiter, A. J., P. N. Owens, E. L. Petticrew and D. A. Lobb. 2013. The Behavioural …………
Characteristics of Sediment Properties and Their Implications for Sediment …………
Fingerprinting as an Approach for Identifying Sediment Sources in Rivers Basins. …………
Earth-Science Reviews. 125 : 24-42.
Lai, H., H. Fai, L. Huang, G. He and D. Reible. 2018. A Review on Sediment …………
Bioflocculation: dynamics, Influencing Factors and Modelling. Science of the …………Total
Environment., 624 : 1184-1200.
Li, T., S. Wang, Y. Liu, B. Fu and D. Gao. 2020. Reversal of the Sediment Load Increase in
…………the Amazon Basin Influenced by Divergent Trends of Sediment Transport from the
…………Solimoes and Madeira Rovers. Catena., 195 : 1289-1294.
Marhendi, T. dan D. L. S. Ningsih. 2018. Prediksi Peningkatan Sedimentasi dengan Metode
…………Angkutan Sedimen (Studi Kasus Sedimentasi di Waduk Mrica). Techno., 19 (2) :
…………87-94.
Mustofa, 2019. Penentuan Sifat Fisik Kentang (Solanum tuberosum L.) : Sphericity, Luas
…………Permukaan Volume dan Densitas. Jurnal Teknologi Pertanian Gorontalo., 4 (2) :
…………46-51.
Newyeara, J. E. W. Atmodjo dan H. Hariadi. 2014. Sebaran Sedimen Tersuspensi di Perairan
…………Kamal Muara, Penjaringan, Jakarta Utara. Journal of Oceanography., 3 (2) : 210-
…………219.
Nurpadilah, S. 2019. Kajian Sebaran Mineral Magnetik Sedimen Sungai menggunakan
…………Metoda Kemagnetan Batuan. Jurnal Pendidikan Fisika., 7 (1) : 36-47.
Ockajova, A., M. Kucerka, L. Kristak and R. Igaz. 2018. Granulometri Analysis of Sanding
…………Dust from Selected Wood Species. Bioresources., 13 (4) : 7481-7495.
Paramitha, V. K., M. Yusuf dan L. Maslukah. 2016. Sebaran Muatan Padatan Tersuspensi
………… (MPT) di Perairan Karangsong, Kabupaten Indramayu. Jurnal Oseanografi., 5 (2) :
…………293-300.
Permanawati, Y., T. Prartono, A. S. Atmadipoera, R. Zuraida dan Y. Chang. 2016. Rekam
…………Sedimen Inti untuk Memperkirakan Perubahan Lingkungan di Perairan Lereng
…………Kangean. Jurnal Geologi Kelautan., 14 (2) : 65-78.
Petra, J. L., S. Sastrawibawa dan I. Riyantini. 2012. Pengaruh Kerapatan Mangrove terhadap
…………Laju Sedimen Transpor di Pantai Karangsong Kabupaten Indramayu. Jurnal
…………Perikanan dan Kelautan., 3 (3) : 329-337.
Polakowski, C., A. Sochan, A. Bieganowski, M. Ryzak, R. Foldenyi dan J. Toth. 2014.
…………Influence of the Sand Particle Shape on Particle Size Distribution Measured by
…………Laser Diffraction Method. International Agrophysics., 28 (2) : 195-200.
Pricilla, S. A., I. Syafri dan F. Mohamad. 2020. Pola Pertumbuhan Karbonat pada Formasi
…………Parigi, Cekungan Jawa Barat Utara. Padjadjaran Geoscience Journal., 4 (1) : 74-83.
Putri, D. dan Afdal. 2017. Identifikasi Pencemaran Logam Berat dan Hubungannya dengan
…………Suseptibilitas Magnetik pada Sedimen Sungai Batang Ombilin Kota Sawahlunto.
…………Jurnal Fisika Unand., 6 (4) : 341-347.
Rahardjo, P. dan A. Faturachman. 2016. Estimasi Kecepatan Sedimentasi di Perairan
…………Astanajapura, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Pusat Penelitian dan …………
Pengembangan Geologi Kelautan., 19 (4) : 9-16.
Rahmat, E. dan Koderi. 2018. Teknik Pengambilan Contoh Sedimen di Laut Cina Selatan
dengan …………Menggunakan Ponar Grab. Buletin Teknik Litkayasa Sumber Daya dan
…………Penangkapan., 16 (1) : 27-31.
Ramadhani, A., Darsono, A. Budianto dan Suhartono. 2016. Penentuan Sphrecity dan
…………Distribusi Intensitas Berkas Elektron dari Sumber Elektron Tipe Pierce Berbasis
…………Matlab. Jurnal Forum Nuklir. 12 (2) : 53-64.
Rantung, M. M., A. Binilang, E. M. Wuisan dan F. Halim. 2013. Analisis Erosi dan …………
Sedimentasi Lahan di Sub DAS Panasen Kabupaten Minahasa. Jurnal Sipil …………
Statistik. 1 (5) : 309-317.
Riniatsih, I. 2015. Distribusi Muatan Padatan Tersuspensi (MPT) di Padang Lamun di
…………Perairan Teluk Awur dan Pantai Prawean Jepara. Jurnal Kelautan Tropis. 18 (3) :
…………121-126.
Rizal, A. C., Y. N. Ihsan, E. Afrianto dan L. P. S. Yuliadi. 2017. Pendekatan Status Nutrien
…………pada Sedimen untuk Mengukur Struktur Komunitas Makrozoobentos di Wilayah
…………Muara Sungai dan Pesisir Pantai Rancabuaya, Kabupaten Garut. Jurnal Perikanan
…………dan Kelautan., 8 (2) : 7-16.
Rorato, R., M. Arroyo, E. Ando and A. Gens. 2019. Sphericity Measures of Sand Grains.
…………Engineering Geology., 254 : 43-53.
Rugner, H., M. Schwientek, R. Milacic, T. Zuliani, J. Vidmar, M. Paunovic and P. Grathwohl.
…………2019. Particle Bound Pollutants in Rivers : Result from Suspended Sediment
…………Sampling in Globaqua River Basins. Science of the Total Environment., 647 : 645-
…………652.
Rumhayati, B. 2019. Sedimen Perairan : Kajian Kimiawi, Analisis, dan Peran. Universitas
…………Brawijaya Press, Malang, 121 hlm.
Saksama, K. D. dan Ngadenin. 2013. Geologi Daerah Muntok dan Potensi Granit Menumbing
…………sebagai Sumber Uranium (U) dan Thorium (Th). Eksplorium., 34 (2) : 137-149.
Setiady, D. dan L. Sarmili. 2016. Proses Akurasi dan Abrasi Berdasarkan Pemetaan …………
Karakteristik Pantai dan Data Gelombang di Teluk Pelabuhan Ratu dan Ciletuh, …………
Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Jurnal Geologi Kelautan., 13 (1) : 37-48.
Subardjo, P., A. A. D. Suryo, I. Pratikno, G. Handoyo dan K. P. Diani. 2018. Distribusi
…………Material Padatan Tersuspensi di Muara Sungai Sambas, Kalimantan Barat. Buletin
…………Oseanografi Marina., 7 (1) : 22-28.
Suhendar, D. T., S. I. Sachoemar dan A. B. Zaidy. 2020. Hubungan Kekeruhan Terhadap
…………Suspended Particulated Matter (SPM) dan Klorofil dalam Tambak Udang. Journal
…………of Fisheries and Marine Research. 4 (3) : 332-338.
Sui, W. and D. Zhang. 2012. Four Methods for Roundness Evaluation. Physics Procedia., 24
…………: 2159-2164.
Susanto, E., B. I. Setiawan, Y. Suharnoto dan Liyantono. 2017. Kajian Sedimen Melayang
…………pada Sub DAS Sel Kalembah (DAS Padang), Studi Kasus : Perkebunan Kelapa
…………Sawit PTPN 4 Kebun Pabatu. Jurnal Keteknikan Pertanian., 5 (2) : 121-128.
Toriman, M. E., M. K. A. Kamarudin, M. H. Idris, M. B. Gasin and N. R. Jamil. 2018.
…………Sedimentation Issue and ITS Dilution Through Environmental Management
…………Approach : A Cade Study in Sungai Chini, Pahang. Journal e-Bangi., 3 (3) : 1-14.
Utomo, S. W. E., D. P. Anggriani, A. Rusminanda dan N. S. Drastiawati. 2020. Analisis
…………Pengaruh Tekanan Vacuum pada Proses Pembuatan Komposit Carbon Fiber
…………menggunakan Metode Vacuum Infusion. Jurnal Teknik Mesin., 6 (2) : 1-6.
Yudhowaty, S. O., W. Atmodjo dan S. Y. Wulandari. 2012. Studi Transpor Sedimen si
…………Pantai Slamaran Pekalongan. Journal of Oceanography., 1 (2) : 197-204.
Yushra, G. S. Adiguna, L. W. Sasongko dan R. P. Widyastuti. 2020. Estimasi Stok Karbon
…………Sedimen pada Area Padang Lamun di Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan.
…………Manfish Journal., 1 (1) : 43-57.

Anda mungkin juga menyukai