Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH AKUNTANSI BIAYA

“Metode Harga Pokok Pesanan”

DISUSUN OLEH KELOMPOK 3 :

NAMA ANGGOTA :
1. Dita Maula Ningrum (1802106014)
2. Aris Ima Febriyanti (1802106016)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AKUNTANSI


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PGRI MADIUN
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah akuntansi biaya
tentang “Metode Harga Pokok Pesanan” ini dengan baik walaupun masih banyak kekurangan
didalamnya. Tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada Ibu Farida Styaningrum, M.Pd. selaku
Dosen pengampu mata kuliah Akuntansi Biaya.
Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat untuk menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai Metode Harga Pokok Pesanan. Kami menyadari bahwa di dalam
makalah masih banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap
adanya kritik, saran dan usulan untuk penyusunan makalah berikutnya, mengingat tidak ada
sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah ini dapat dipahami dan dapat memberikan wawasan yang lebih luas
kepada pembaca. Kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan
dan kami memohon kritik dan saran yang membangun.

Madiun, 23 Maret 2021

Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang..................................................................................................
Rumusan Masalah.............................................................................................
Tujuan...............................................................................................................
BAB II PEMBAHSAN
1.Karakteristik Penggunaan Metode Harga Pokok Pesanan.................
2.Kartu Harga Pokok............................................................................
3.Akuntansi Metode Harga Pokok Pesanan..........................................
4.Barang Rusak, Barang Cacat, Barang Sisa, dan
Barang Sampah dalam Metode Harga Pokok Pesanan .....................
5.Buku Pabrik.......................................................................................
BAB III PENUTUP
A.Kesimpulan...................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Setiap bidang kegiatan produksi pasti mempunyai tujuan yang ingin dicapai oleh
perusahaan tersebut. Umumnya tujuan utama suatu perusahaan adalah mendapatkan laba atau
keuntungan yang besar. Setiap kegiatan produksi membutuhkan biaya produksi karena biaya
produksi ditujukan untuk memperoleh nilai ekonomis produk yang lebih tinggi. Oleh karena itu,
setiap perusahaan membutuhkan biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung dan biaya
overhead pabrik.

Biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead pabrik sangat penting
karena merupakan salah satu teknik untuk menerapkan kebijakan-kebijakan dalam pembebanan
oleh suatu produk. Merupakan bagian dari proses perencanaan untuk menentukan tindakan bagi
kegiatan produksi dimasa yang akan datang. Memberikan informasi untuk menentukan tindakan
bagi kegiatan produksi. Memberikan gambaran bagi suatu perusahaan, di samping itu juga
perusahaan membutuhkan analisis selisih.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana karakteristik penggunaan metode harga pokok pesanan?

2. Apa yang dimaksud kartu harga pokok pesanan?

3. Bagaimana akuntansi metode harga pokok pesanan?

4. Bagaimana pencatatan dari barang cacat, barang rusak, barang sisa dan barang
sampah dalam metode harga pokok pesanan?

5. Bagaimana pencatatan yang dilakukan secara terpisah pada kantor pusat dan kantor
pabrik?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui karakteristik penggunaan metode harga pokok pesanan.

2. Untuk mengetahui kartu harga pokok pesanan.

3. Untuk mengetahui akuntansi metode harga pokok pesanan.

4. Untuk mengetahui pencatatan dari barang cacat, barang rusak, barang sisa dan barang
sampah dalam metode harga pokok pesanan.

5. Untuk mengetahui pencatatan yang dilakukan secara terpisah pada kantor pusat dan
kantor pabrik.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Karakteristik Penggunaan Metode Harga Pokok Pesanan

Metode harga pokok pesanan adalah suatu system akuntansi biaya perpetual yang menghimpun
biaya menurut pekerjaan-pekerjaan (jobs) tertentu. System ini cocok untuk elemen-elemen
pekerjaan yang unik dan biasanya mahal, di mana barang/jasa yang dibuat atau diproduksi
berdasarkan spesifikasi yang diminta oleh para pelanggan atau pemesan. Metode harga pokok
pesanan banyak yang digunakan dalam industry-industri, seperti konstruksi, percetakan, mebel,
pembuatan kapal dan pesawat terbang, dan lain-lain. Di samping itu, metode harga pokok
pesanan dapat pula digunakan dalam bidang manufaktur seperti perusahaan reparasi mobil,
konsultan, proyek penelitian, dan lain-lain.

Berdasarkan pekerjaan-pekerjaan dan pesanan yang telah disetujui, maka biaya produksi secara
terus menerus dicatat dan dibebankan kepada masing-masing pekerjaan yang sedang
dilaksanakan atau dihasilkan, seperti bahan langsung dan tenaga kerja langsung. Pekerjaan
pesanan merupakan suatu jumlah unit satuan produk, sehingga harga pokok produk per unit yang
dihasilkan dihitung dengan membagi total biaya produk untuk masing-masing pesanan dengan
jumlah satuan produk dari pesanan-pesanan tersebut.

Walaupun setiap pekerjaan memiliki karakteristik sendiri-sendiri, ada beberapa sifat yang umum
untuk semua pekerjaan pada system atau metode harga pokok pesanan, sebagai berikut:

1. Tiap pekerjaan harus dapat diidentifikasi menurut sifat fisiknya dan masing-masing
biayanya.
2. Dengan kata lain bahwa setiap pekerjaan harus dapat dibedakan secara fisik sehingga
pembebanan biaya dapat dibedakan dan dicatat dengan tepat untuk pekerjaan yang
bersangkutan.
3. Permintaan atau pemakaian bahan baku dan biaya-biaya tenaga kerja langsung
diidentifikasi menurut nomor dari masing-masing pekerjaan.
4. Overhead pabrik yang merupakan biaya produksi tidak langsung biasanya dibebankan
kepada masing-masing pekerjaan berdasarkan suatu tariff yang ditetapkan lebih dulu.
5. Setiap pekerjaan mempunyai daftar biaya atau kartu harga pokok yang menghimpun dan
mengikhtisarkan biaya-biaya yang dibebankan kepada masing-masing pekerjaan yang
bersangkutan.
6. Laba atau rugi serta biaya atau harga pokok persatuan produk ditentukan untuk masing-
masing pekerjaan.
B. Kartu Harga Pokok

Untuk menentukan biaya atau harga pokok dari masing-masing pekerjaan dalam metode harga
pokok pesanan digunakan kartu harga pokok. Kartu harga pokok ini adalah buku tambahan dari
akun barang dalam proses. Dalam mencatat arus biaya produksi biasanya menggunakan akun-
akun buku besar dan buku tambahan berikut ini.

Akun Buku Besar Buku Tambahan


Akun Persediaan Bahan Kartu Persediaan Bahan
Gaji dan Upah Daftar Gaji dan Upah
Biaya Overhead Pabrik Kartu Biaya Overhead Pabrik
Barang dalam Proses Kartu Harga Pokok (Metode Harga Pokok
Pesanan)
Laporan Biaya Produksi (Metode Harga Pokok
Proses)
Barang Jadi Kartu Persediaan Barang Jadi

Kartu harga pokok sebagai buku pembantu dari akun barang dalam proses, mencatat biaya
produksi secara terperinci yaitu: biaya bahan, biaya tenaga kerja langsung, dan biaya overhead
pabrik yang diberikan.

Untuk memudahkan pencatatan atau pembebanan biaya-biaya tersebut kepada masing-masing


pekerjaan, setiap kartu harga pokok harus diberikan satu nomor pekerjaan. Demikian pula atas
dokumen sumber yang bersangkutan dengan pekerjaan tersebut, seperti bukti permintaan bahan
dank upon waktu tenaga kerja. Dengan pengidentifikasian seperti itu maka biaya bahan dan
biaya tenaga kerja langsung dapat secara langsung dicatat dalam kartu harga pokok yang
bersangkutan. Sedangkan biaya overhead pabrik yang mana merupakan biaya tidak langsung
dicatat dan dibebankan berdasarkan tariff yang ditetapkan lebih dahulu dan disebut dengan biaya
overhead pabrik yang dibebankan.

Format dan isi dari kartu harga pokok sering kali berbeda antara satu jenis usaha dengan jenis
usaha yang lain. Demikian pula untuk suatu pabrik di mana operasi produksinya melalui
beberapa departemen, maka kartu harga pokok ini akan mencatat dan menghitung biaya bahan,
biaya tenaga kerja langsung, dan biaya overhead pabrik untuk masing-masing departemen atau
pusat biaya.Berikut ini adalah contoh kartu harga pokok untuk operasi non departementalisasi.
C. Akuntansi Metode Harga Pokok Pesanan

Dalam perusahaan manufaktur seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, seluruh biaya produksi
dicatat dalam suatu akun pengendali barang dalam proses. Transaksi-transaksi yang dicatat
sebagai biaya produksi dalam akun barang dalam proses ini biasanya berasal dari pemakaian
bahan langsung, pendistribusian dan pengalokasian biaya tenaga kerja ke pekerjaan-pekerjaan
yang bersangkutan, dan pembebanan biaya overhead pabrik dengan menggunakan tarif tertentu.
Rincian biaya produksi atau harga pokok untuk masing-masing pekerjaan dapat ditunjukkan
pada kartu harga pokok. Pada akhir periode akuntansi jumlah rupiah akun barang dalam proses
harus sama dengan jumlah rupiah dari seluruh kartu harga pokok atas pekerjaan yang masih
belum selesai pada tanggal tersebut. Arus biaya dan pencatatan untuk biaya bahan, tenaga kerja
langsung dan overhead pabrik akan diuraikan dalam lajutan bab ini pada subtopic-subtopik
akuntansi bahan, akuntansi tenaga kerja, dan akuntansi overhead pabrik.

Akuntansi Biaya Bahan

Prosedur akuntansi biaya yang berkaitan dengan akun bahan juga tenaga kerja dan overhead
pabrik, tidak berbeda dengan apa yang telah diuraikan dalam bab2. Pada dasarnya ada dua (2)
jenis transaksi utama yang mempengaruhi persediaan bahan, yaitu 1) pembelian dan penerimaan
bahan, 2) pengeluaran dan pemakaian bahan.

Pencatatan pembelian dan penerimaan bahan. Setiap pencatatan persediaan yang biasanya
digunakan dalam perusahaan manufaktur adalah system perpetual. Disamping itu kita kenal
system yang lainnya, yaitu system periodic yang banyak sekali digunakan pada perusahaan
dagang.

Pada system perpetual pembelian dan penerimaan bahan dicatat dengan mendebit akun
persediaan bahan sedangkan pada system periodic mendebit akun pembelian.

Ayat jurnal dalam system perpetual adalah sebagai berikut.

(Dr) Persediaan Bahan xx

(Cr) Utang Dagang xx

Setiap transaksi pembelian dan penerimaan bahan juga dicatat dalam kartu persediaan bahan
untuk masing-masing jenis bahan. Kartu persediaan bahan ini merupakan buku tambahan dari
akun persediaan bahan yang mencatat banyak unit, biaya per unit, dan jumlah dari masing-
masing pembelian.

Pencatatan pengeluaran dan pemakaian bahan. Setiap pengeluaran bahan dari gudang untuk
pemakain di pabrik, harus didasarkan pada bukti permintaan bahan (BPB) yang dibuat oleh
karyawan bagian produksi. Untuk memudahkan pencatatan secara langsung kepada kartu-kartu
harga pokok dari masing-masing pekerjaan yang bersangkutan, maka dokumen sumber ini diberi
nomor pekerjaan-pekerjaan yang tercantum dalam kartu-kartu harga pokok tersebut. Di samping
itu, dalam dokumen ini juga terdapat keterangan mengenai jenis dan banyak bahan yang diminta,
biaya per unit, dan jumlah biayanya. Data atau keterangan dari jumlah biaya masing-masing
jenis bahan tersebut banyak, biaya per unit, dan jumlah biaya dari masing-masing jenis bahan
akan dibukukan dalam kartu persediaan bahan. Secara harian atau mingguan jumlah bukti
permintaan bahan menurut nomor-nomor pekerjaan tersebut dijumlahkan dan dibuat ayat
jurnalnya sebagai berikut.

(Dr) Barang dalam Proses xx

(Cr) Persediaan Bahan xx

Pada akhir periode jumlah bahan dari seluruh kartu-kartu persediaan sama dengan jumlah bahan
dalam akun persediaan bahan, di mana semua transaksi pembelian dan penerimaan bahan
maupun pengeluaran dan pemakaian bahan telah dicatat atau dimasukkan ke akun tersebut, dan
kartu-kartu persediaan bahan, menurut masing-masing elemen bahan dari setiap transaksi
tersebut secara lengkap dan akurat. Terhadap pengeluaran dan pemakaian bahan, khususnya
bahan baku atau bahan langsung akan disortir menurut nomor pekerjaan yang bersangkutan.

Seperti yang telah dijelaskan dalam Bab 2 bahwa transaksi pembelian maupun pemakain bahan
baku dan bahan tidak langsung atau perlengkapan pabrik dicatat dalam suatu akun pengendali
yaitu akun persediaan bahan. Kendati demikian, sebenarnya bahan tidak langsung atau
perlengkapan dapat pula dicatat secara terpisah dan tersendiri dalam akun bahan tidak langsung
atau akun perlengkapan. Bukti permintaan bahan juga digunakan untuk pemakaian bahan tidak
langsung atau perlengkapan.

Untuk bahan yang diminta khususnya bahan baku, tetapi tidak dipakai, maka akan dikembalikan
ke gudang dengan membuat slip pengembalian bahan. Transaksi pengembalian bahan dijurnal
sebagai berikut.

(Dr) Persediaan Bahan xx

(Cr) Barang dalam Proses xx

Selanjutnya atas transaksi ini juga dilakukan pencatatan dalam kartu persediaan bahan dan kartu
harga pokok. Pemakaian atas bahan tidak langsung dan perlengkapan pabrik dibebankan kepada
akun biaya overhead pabrik. Ayat jurnal pada saat bahan tidak langsung atau perlengkapan
pabrik dikeluarkan dari gudang dapat dilihat berikut ini.

(Dr) Biaya Overhead Pabrik xx

(Cr) Persediaan Bahan xx


Transaksi ini juga dicatat dalam buku tambahan dari akun biaya overhead pabrik yaitu kartu
biaya overhead pabrik dan buku tambahan dari akun persediaan bahan, dilakukan oleh
perusahaan untuk pembelian dan penerimaan bahan serta pengeluaran dan pemakaiannya maka
dapat ditunjukkan secara lengkap dalam contoh berikut ini.

Pada tanggal 2 Januari 2011 PT Indah membeli bahan baku A dan bahan tidak langsung B secara
kredit masing-masing Rp16.000.000 dan Rp8.000.000. Pada tanggal 4 Januari 2011 dipakai
untuk Pekerjaan No. 101 dan No. 102, bahan baku A Rp15.000.000 dan bahan tidak langsung B
Rp7.250.000.

Pencatatan dalam jurnal:

02 Jan 2011 : (Dr) Persediaan Bahan 24.000.000

(Cr) Utang Dagang 24.000.000

04 Jan 2011 : (Dr) Barang dalam Proses 15.000.000

(Dr) Biaya Overhead Pabrik 7.250.000

(Cr) Persediaan Bahan 22.250.000


Akuntansi Biaya Tenaga Kerja

Pencatatan dan pembebanan biaya tenaga kerja untuk penentuan harga pokok dan pekerjaan-
pekerjaan yang dilaksanakan, pada dasarnya dilakukan dalam dua tahap pencatatan atau
penjurnalan, sebagai berikut.

1. Mencatat total gaji dan upah (payroll) untuk tenaga-tenaga kerja langsung (direct labor)
dan tenaga-tenaga kerja tidak langsung (indirect labor) yang dihimpun dari kartu-kartu
waktu (time cards). Kartu-kartu waktu ini menyediakan data atau catatan mengenai
jumlah jam yang dipekerjakan setiap hari menurut masing-masıng tenaga kerja yang
dibayar berdasarkan upah per jam.
2. Mengalokasikan biaya tenaga kerja, yaitu biaya tenaga kerja langsung dibebankan ke
akun barang dalam proses dan tenaga kerja tidak langsung dibebankan ke akun biaya
overhead pabrik. Data-data ini dapat dikumpulkan dari kupon-kupon waktu pekerjaan
(labor time tickets) dari masing-masing tenaga kerja untuk berbagai pekerjaan. Jumlah
jam dari kupon-kupon waktu tersebut seharusnya dicocokkan atau direkonsiliasikan
dengan jumlah jam yang dihimpun dari kartu-kartu waktu, sehingga daftar gaji dan upah
dapat ditentukan dengan akurat, demikian pula dengan pajak penghasilan karyawan dapat
dihitung, dicatat, dan dibayarkan dengan semestinya.

Secara teratur, harian atau mingguan biaya tenaga kerja langsung untuk masing-masıng
pekerjaan dicatat dalam kartu harga pokok. Total penghasilan karyawan, potongan-potongan,
dan utang gaji serta upah dijurnal dan selanjutnya dipindahbukuan ke buku besar. Hal ini dapat
dilakukan menurut periode pembayaran gaji dan upah, yaitu mingguan, dua minggu atau
bulanan.

Sebagai ilustrasi dalam mencatat biaya tenaga kerja, secara lengkap dapat dilihat dari contoh
yang berikut ini.

Pencatatan gaji dan upah dalam jurnal dilakukan secara total dan bulanan oleh PT Indah. Biaya
tenaga kerja untuk bulan Januari 2011 Rp22.000.000, terdiri atas tenaga kerja langsung
Rp16.000.000 dan sisanya Rp6.000.000 adalah untuk tenaga kerja tidak langsung. Pajak
penghasilan karyawan 15% dari penghasilan bruto (tanpa pendapatan tidak kena pajak).

Jurral yang akan dibuat adalah:

(Dr) Gaji dan Upah 22.000.000

(Cr) Utang Pajak Penghasilan 3.300.000

(Cr) Utang Gaji dan Upah 18.700.000

(Dr) Utang Gaji dan Upah 18.700.000

(Cr) Kas 18.700.000

(Dr) Barang dalam Proses 16.000.000

(Dr) Biaya Overhead Pabrik 6.000.000

(Cr) Gaji dan Upah 22.000.000


Akuntansi Biaya Overhead Pabrik

Dalam metode harga pokok pesanan, pembebanan biaya overhead pabrik pada pekerjaan atau
produk tidak menggunakan biaya yang sesungguhnya terjadi seperti halnya biaya bahan
langsung dan tenaga kerja langsung, tetapi dengan menggunakan suatu tarif biaya overhead yang
ditentukan di muka (predetermined overhead rate), tarif ini diperoleh dengan membagi taksiran
total biaya overhead pabrik dengan basis alokasi tertentu yaitu kapasitas atau volume produksi
dalam bentuk jumlah jam tenaga kerja langsung, jumlah jam mesin, biaya tenaga kerja langsung,
atau dalam satuan lain yang mempunyai hubungan dengan biaya overhead pabrik. Dengan
menggunakan tarif dalam mengalokasikan biaya overhead pabrik, maka perhitungan harga
pokok menjadi lebih mudah. Di samping itu, penggunaan tarif biaya overhead pabrik yang
ditentukan di muka juga berguna dalam meningkatkan pengendalian biaya (cost control).

Ada beberapa alasan mengapa biaya overhead pabrik yang sesungguhnya tidak digunakan dalam
penentuan harga pokok dari pekerjaan atau produk.

1. Dalam biaya overhead pabrik ada elemen biaya tetap (fixed) yang tidak tergantung
dengan besarnya volume produksi dan elemen biaya variabel yang berubah dengan
adanya perubahan jumlah barang yang diproduksi. Dengan adanya elemen biaya tetap
akan menyebabkan harga pokok akan bervariasi tergantung dari besarnya volume
produksi. Contoh: biaya overhead pabrik tetap adalah penyusutan gedung, sewa gedung,
asuransi, dan lain-lainnya.
2. Banyak biaya overhead pabrik yang belum dapat diketahui pada akhir periode tersebut,
sedangkan pekerjaan-pekerjaan tersebut sudah selesai jauh sebelumnya atau ada
keputusan yang diambil tidak mungkin ditunda hingga akhir periode akuntansi. Contoh
keputusan yang harus diambil dengan segera adalah penetapan harga.
3. Adanya biaya overhead pabrik yang sesungguhnya tidak dapat dibebankan berdasarkan
pekerjaan atau produk secara tepat waktu. Contoh: biaya keamanan pabrik.

Berikut ini adalah contoh perhitungan biaya overhead PT Indah yang mengambil basis alokasi
biaya jumlah jam tenaga kerja langsung. Berdasarkan taksiran jumlah jam tenaga kerja langsung
sebanyak 60.000 jam dan biaya overhead pabrik sebesar Rp180.000.000, maka tarif biaya
overhead pabrik adalah Rp180.000.000/60.000 = Rp3.000 per jam tenaga kerja langsung. Biaya
overhead pabrik lainnya adalah yang dibayar tunai Rp2.650.000, dan yang masih terutang
Rp1.850.000, sedangkan penyusutan mesin dan asuransi yang harus dibebankan masing-masing
Rp400.000 dan Rp350.000.

Jumlah biaya overhead pabrik yang dibebankan (applied factory overhead) pada suatu pekerjaan
adalah jumlah jam tenaga kerja langsung yang sesungguhnya dikali dengan tarif biaya overhead
pabrik.

Jika PT Indah melaksanakan dua pekerjaan yaitu Pekerjaan No. 101 dan Pekerjaan No. 102
dengan waktu aktual yang digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan masing-masing adalah
3.600 jam dan 2.400 jam. Maka biaya overhead pabrik yang dibebankan untuk pekerjaan No.
101 adalah 3.600 x Rp3.000 = Rp10.800.000 dan untuk Pekerjaan No. 102 adalah 2.400 x
Rp3.000 = Rp7.200.000. Jumlah biaya overhead pabrik ini dimasukkan ke dalam masing-masing
kartu harga pokok.

Pencatatan biaya overhead pabrik yang dibebankan kepada pekerjaan atau produk berdasarkan
tarif dihimpun dalam akun biaya overhead pabrik yang dibebankan (applied factory overhead),
sedangkan biaya overhead pabrik yang sesungguhnya terjadi seperti bahan tidak langsung,
penyusutan, dan lain-lain dihimpun dalam akun biaya overhead pabrik (factory overhead
control). Pada akhir periode akuntansi, akun biaya overhead pabrik yang dibebankan ditutup ke
akun biaya overhead pabrik dengan membuat ayat jurnal sebagai berikut.

(Dr) Biaya Overhead Pabrik yang Dibebankan xx

(Cr) Biaya Overhead Pabrik xx

Jurnal yang harus dibuat untuk contoh kasus PT Indah secara lengkap adalah dapat dilihat
sebagai berikut.

Pembayaran biaya overhead secara tunai dan kredit

(Dr) Biaya Overhead Pabrik 4.500.000

(Cr) Kas 2.650.000

(Cr) Biaya yang Masih Harus Dibayar 1.850.000


Pembebanan biaya overhead karena asuransi dan penyusutan

(Dr) Biaya Overhead Pabrik 750.000

(Cr) Asuransi Dibayar di Muka 350.000

(Cr) Akumulasi Penyusutan 400.000

Pembebanan biaya overhead pabrik yang dibebankan (applied FOH)

(Dr) Barang dalam proses 18.000.000

(Cr) Biaya Overhead Pabrik yang Dibebankan 18.000.000

Menutup akun biaya overhead pabrik yang dibebankan (applied FOH)

(Dr) Biaya Overhead Pabrik yang Dibebankan 18.000.000

(Cr) Biaya Overhead Pabrik 18.000.000


Saldo debit sebesar Rp500.000 dalam akun biaya overhead pabrik menunjukkan bahwa biaya
overhead pabrik yang sesungguhnya melebihi biaya overhead yang dibebankan kepada
pekerjaan-pekerjaan yang bersangkutan.

Akuntansi untuk Pekerjaan Selesai dan Penjualan

Saldo akun barang dalam proses pada akhir periode sama dengan jumlah biaya bahan langsung,
biaya tenaga kerja langsung, dan biaya overhead pabrik yang dibebankan (applied factory
overhead) yang terdapat pada kartu-kartu harga pokok (cost sheet) dari seluruh pekerjaan yang
sedang dilaksanakan. Kartu-kartu harga pokok untuk pekerjaan yang telah selesai ini dapat
digunakan sebagai buku tambahan dari barang jadi dan segera dipindahkan ke berkas pekerjaan
selesai. Akan tetapi, untuk pekerjaan yang akan menjadi persediaan pada saat selesainya maka
dapat pula digunakan buku tambahan tersendiri bagi akun barang jadi. Sebagai contoh dari
pekerjaan untuk persediaan, anggaplah jumlah biaya dari pekerjaan yang selesai adalah
Rp78.000.000 maka pencatatan dalam jurnal umum atau buku harian memorial adalah sebagai

berikut.

(Dr) Barang Jadi 78.000.000

(Cr) Barang dalam Proses 78.000.000

Apabila barang jadi dan faktur telah diserahkan ke para pelanggan maka penjualan dan harga
pokok penjualan segera dicatat. Dengan anggapan jumlah penjualan Rp90.000.000 dan jumlah
harga pokok Rp72.000.000, pencatatan dalam jurnal unum sebagai berikut.

(Dr) Piutang Dagang 90.000.000

(Cr) Penjualan 90.000.000

(Dr) Beban Pokok Penjualan 72.000.000

(Cr) Barang Jadi 72.000.000

Akan tetapi, jika pekerjaan dilakukan dan dibuat untuk para pelanggan tertentu, maka penjualan
dapat dicatat pada saat pekerjaan selesai. Sebagai contoh jika PT Indah menyelesaikan Pekerjaan
No. 101, dan jumlah biaya pada saat selesai adalah Rp35.250.000 serta harga jual Rp40.000.000.
Maka pencatatan dalam jurnal umum adalah sebagai berikut.

(Dr) Piutang Dagang 40.000.000

(Cr) Penjualan 40.000.000

(Dr) Beban Pokok Penjualan 35.250.000

(Cr) Barang dalam Proses 35.250.000


D. Barang Rusak, Barang Cacat, Barang Sisa, dan Barang Sampah dalam Metode
Harga Pokok Pesanan

Dalam proses produksi, perusahaan manufaktur selalu berusaha agar terjadi zero defect (tidak
ada barang rusak), namun sulit untuk menghindar dari hal-hal terjadinya barang rusak (spoiled
goods), barang cacat (defective goods), barang sisa (scrap), dan barang sampah (waste). Untuk
meminimumkan kerugian yang akan terjadi dari hal- hal seperti itu maka diperlukan keterlibatan
dan kerja sama semua tingkat manajemen dan para pegawai yang bersangkutan. Setiap
departemen atau bagian harus bekerja sama untuk mewujudkan pengendalian mutu (quality
control) yang baik. Di samping itu, kerugian-kerugian yang terjadi harus dipertanggungjawabkan
melalui suatu system pelaporan, sehingga pengendalian yang lebih baik dapat dilaksanakan atas
kerugian-kerugian tersebut.

Akuntansi untuk Barang Rusak

Istilah barang rusak (spoiled goods) tidak sama dengan barang cacat (defective goods). Definisi
dari barang rusak adalah barang-barang yang tidak memenuhi standar produksi dan tidak
memerlukan proses lebih lanjut untuk memperbaiki barang-barang tersebut. Biasanya barang
seperti ini dapat dijual seharga nilai sisanya atau dibuang karena tidak mempunyai nilai sama
sekali.

Perlakuan akuntansi untuk barang rusak dapat dilakukan dengan cara:

A. Biaya kerusakan setelah dikurangi nilai bersih yang dapat direalisir dibebankan kepada
biaya overhead pabrik (factory overhead control). Perlakuan akuntansi seperti ini dapat
dilakukan apabila sifat kerusakannya adalah:
1. normal, tetapi tidak terjadi pada tingkat yang sama untuk masing-masing pekerjaan,
dan
2. abnormal, disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak diharapkan yang sebetulnya
dapat dihindarkan, dengan demikian biaya kerusakan sudah diperhitungkan dalam
tarif biaya overhead pabrik yang ditetapkan di muka (predetermined factory
overhead).

Sebagai ilustrasi: PT Restu selama bulan Juni 2011 menghasilkan 10.000 unit produk
berdasarkan pesanan dari pelanggan. Biaya bahan langsung Rp600 per unit, biaya tenaga kerja
langsung Rp400 per unit, dan biaya overhead pabrik yang dibebankan ke produksi adalah 125%
dari biaya tenaga kerja langsung. Hal ini berarti biaya per unit adalah Rp1.500 (Rp600 + Rp400
+ (Rp400 x 125%)). Dalam tarif biaya overhead pabrik ini sudah termasuk taksiran biaya
kerusakan sebesar Rp50 per unit produk. Pencatatan atas biaya-biaya pekerjaan selama bulan
Juni adalah sebagai berikut.

(Dr) Barang dalam Proses 15.000.000


(Cr) Persediaan Bahan 6.000.000

(Cr) Gaji dan Upah 4.000.000

(Cr) Biaya Overhead Pabrik yang Dibebankan 5.000.000

Anggaplah terjadi kerusakan sejumlah 200 unit sebagai akibat dari kejadian kerugian yang
normal, namun demikian barang yang rusak ini diperkirakan masih dapat dijual dengan harga Rp
100 per unit. Maka pencatatan untuk kerugian atas barang yang rusak adalah sebagai berikut.

(Dr) Barang Rusak 20.000

(Dr) Biaya Overhead Pabrik 280.000

(Cr) Barang dalam Proses 300.000 (200*1.500)

Apabila harga jual dari barang rusak ini berbeda dengan taksiran harga persediaan yang telah
dicatat, maka selisihnya akan ditambahkan atau dikurangi ke akun biaya overhead pabrik.
Sebagai contoh, seluruh barang rusak tersebut dijual secara tunai dengan harga Rp22.000.
Pencatatan dalam jurnal adalah sebagai berikut.

(Dr) Kas 22.000

(Cr) Biaya Overhead Pabrik 2.000

(Cr) Barang Rusak 20.000

Dari biaya produksi yang terjadi selama bulan Juni 2011 sebesar Rp 15.000.000, produk yang
selesai hanya 9.800 unit sebagai akibat adanya kerusakan sebanyak 200 unit. Dengan demikian
harga pokok produk menjadi Rp14.700.000 setelah dikurangi dengan biaya produksi dari 200
unit yang rusak. Pencatatan atas barang yang selesai adalah sebagai berikut.

(Dr) Barang Jadi 14.700.000

(Cr) Barang dalam Proses 14.700.000

Dalam biaya dari jumlah unit yang selesai tersebut, terdapat biaya overhead pabrik yang
dibebankan atas unit yang rusak sebesar Rp 490.000 (9.800 x Rp50). Apabila dilakukan analisis
biaya overhead, maka akan menghasilkan selisih yang menguntungkan sebesar Rp250.000, maka
dalam jumlah ini termasuk selisih yang diakibatkan oleh jumlah unit yang rusak sebesar
Rp210.000 (Rp280.000 - Rp490.000) yaitu selisih antara biaya overhead pabrik yang
sesungguhnya dan biaya overhead pabrik yang dibebankan (applied).

B. Biaya kerusakan setelah dikurangi nilai bersih yang dapat direalisir dibebankan secara
langsung kepada pekerjaan yang bersangkutan. Perlakuan akuntansi seperti ini dapat
dilakukan jika sifat kerusakannya adalah sebagai berikut.
1. Normal, terjadi pada suatu tingkat yang sama dengan masing-masing pekerjaan.
Dalam kondisi ini, maka taksiran biaya kerusakan dapat diperhitungkan sebagai
elemen dari tarif biaya overhead pabrik yang ditetapkan di muka (the predetermined
overhead rate), dengan demikian masing-masing pekerjaan akan dibebankan dengan
biaya kerusakan pada saat pembebanan biaya overhead kepada pekerjaan-pekerjaan
tersebut. Alternatif lain adalah tidak membebankan biaya kerusakan dalam
perhitungan overhead pabrik, hal ini untuk memudahkan pengendalian biaya.
2. Disebabkan adanya persyaratan secara langsung oleh pelanggan. Biaya-biaya
kerusakan setelah dikurangi nilai bersih yang dapat direalisasi untuk barang rusak
tersebut dibebankan kepada pekerjaan yang bersangkutan dan taksiran mengenai
biaya kerusakan juga tidak dimasukkan dalam perhitungan tarif biaya overhead
pabrik.

Sebagai ilustrasi. PT Restu menerima pesanan khusus sejumlah 800 unit produk dari PT Hasta.
Biaya bahan per unit produk adalah lebih mahal daripada produksi yang biasa yaitu sebesar
Rp750 karena adanya permintaan atas kualitas yang lebih tinggi dari PT Hasta. Spesifikasi
pesanan ini memerlukan teknik produksi yang sulit sekali, dan karena itu kerusakan normal akan
dibebankan kepada pesanan ini. Tarif biaya overhead pabrik 112,5% dari biaya tenaga kerja
langsung atau Rp 150, tidak termasuk biaya kerusakan per unit. Berdasarkan uji coba yang
dilakukan oleh PT Restu dari 10 unit produk yang dihasilkan hanya bisa diperoleh 8 unit yang
sesuai dengan pesanan khusus tersebut. Dengan demikian, untuk memenuhi pesanan 800 unit
harus dikeluarkan biaya untuk memproduksi sebanyak 1.000 unit. Pencatatan dalam jurnal
adalah sebagai berikut.

(Dr) Barang dalam Proses 1.600.000

(Cr) Persediaan Bahan 750.000

(Cr) Gaji dan Upah 400.000

(Cr) Biaya Overhead Pabrik yang Dibebankan 450.000

Untuk 200 unit yang tidak memenuhi spesifikasi pesanan dapat dijual dengan harga Rp400 per
unit. Pencatatan untuk jumlah unit yang rusak adalah sebagai berikut.

(Dr) Barang Rusak 80.000

(Cr) Barang dalam Proses 80.000

Pekerjaan yang sudah selesai sebanyak 800 unit langsung dikirim ke PT Hasta. Pencatatan dalam
jurnal adalah sebagai berikut.

(Dr) Beban Pokok Penjualan 1.520.000

(Cr) Barang dalam Proses 1.520.000


Biaya per unit produk dari pesanan PT Hasta menjadi lebih tinggi karena adanya pembebanan
kerugian dari unit yang rusak sebesar Rp240.000 (Rp320.000-Rp80,000). Biaya per unit produk
yang selesai untuk pesanan PT Hasta adalah sebesar Rp1.900 (Rp1.520.000 : 800 unit).

Apabila persediaan barang rusak dijual dengan harga yang lebih tinggi rendah daripada harga
persediaan semula, maka selisih tersebut dalam ilustrasi ini dikredit atau dibebankan ke akun
beban pokok penjualan. Akan tetapi, apabila penjualan terjadi pada saat pekerjaan belum selesai
atau sudah selesai tetapi belum diserahkan ke pelanggan maka dapat dikoreksi ke akun biaya
overhead pabrik (factory overhead control) yang sesungguhnya.

Akuntansi Barang Cacat

Barang cacat (defective goods) adalah barang-barang yang tidak memenuhi standar produksi
karena kesalahan dalam bahan, tenaga kerja atau mesin dan harus diproses lebih lanjut agar
memenuhi standar mutu yang ditentukan, sehingga barang-barang tersebut dapat dijual.
Perbedaan barang cacat dengan barang rusak (spoile goods) adalah bahwa barang cacat harus
diolah kembali atau memerlukan pekerjaan tambahan untuk menjadi barang yang dapat dijual,
sedangkan barang rusak tidak memerlukan lagi pekerjaan tambahan.

Seperti halnya dengan akuntansi untuk barang rusak, ada dua metode akuntansi yang dapat
digunakan untuk mencatat biaya tambahan atas proses penyempurnaan unit-unit yang cacat dari
suatu pekerjaan pesanan, adalah sebagai berikut.

1. Biaya tambahan untuk menyempurnakan unit-unit yang cacat dibebankan ke akun biaya
overhead pabrik (factory overhead control) jika sifat cacat barang adalah normal, tetapi
tidak terjadi pada tingkat yang sama antara pekerjaan yang satu dengan yang lainnya atau
kecacatan ini dikarenakan oleh suatu kejadian luar biasa yang tidak diharapkan akan
terjadi lagi. Jika cacatnya bersifat normal maka berdasarkan pengalaman yang lalu
jumlah biaya tambahan tersebut dapat diperhitungkan dalam tarif biaya overhead pabrik.
Sebagai ilustrasi, anggaplah bahwa PT Wahana menerima pesanan dari yayasan Multi
Karya sebanyak 100 unit produk. Biaya bahan adalah Rp2.000 per unit, biaya tenaga
kerja langsung sebesar Rp1.500 per unit, sedangkan biaya overhead pabrik dibebankan ke
produksi dengan tarif 150% dari biaya tenaga kerja langsung. Dalam tarif ini sudah
diperhitungkan biaya tambahan atas unit-unit yang cacat sebesar 10%. Selama
pengolahan pekerjaan pesanan ini ditemukan 8 unit yang cacat dan akan diolah kembali
dengan jumlah biaya bahan langsung dan tenaga kerja langsung sebesar Rp 10.000 dan
Rp12.000 dan biaya overhead pabrik adalah 150% dari biaya tenaga kerja langsung,
Pencatatan dalam jurnal untuk transaksi-transaksi tersebut adalah sebagai berikut.
a. Untuk biaya produksi dari pekerjaan pesanan
(Dr) Barang dalam Proses 575.000

(Cr) Persediaan Bahan 200.000


(Cr) Gaji dan Upah 150.000

(Cr) Biaya Overhead Pabrik yang Dibebankan 225.000

b. Untuk biaya tambahan atas unit-unit yang cacat

(Dr) Biaya Overhead Pabrik 40.000

(Cr) Persediaan Bahan 10.000

(Cr) Gaji dan Upah 12.000

(Cr) Biaya Overhead Pabrik yang Dibebankan 18.000

c. Untuk pekerjaan pesanan yang selesai

(Dr) Barang Jadi 575.000

(Cr) Barang dalam Proses 575.000

2. Biaya tambahan untuk menyempurnakan unit-unit yang cacat dibebankan ke pekerjaan


yang bersangkutan. Hal ini diperlakukan jika sifat cacat barang adalah normal dan terjadi
pada tingkat yang sama antara masing-masing pekerjaan, atau jika sifat cacat barang ini
juga disebabkan oleh persyaratan khusus yang diinginkan oleh pelanggan.
Sebagai ilustrasi, anggaplah bahwa PT Wahana seperti contoh di atas menerima pesanan
khusus 100 unit dengan ketentuan yang dinyatakan dalam perjanjian bahwa biaya atas
unit-unit yang cacat dapat dibebankan kepada kontrak atau pekerjaan yang bersangkutan.
Dalam hal ini penyisihan sebesar 10% untuk biaya tambahan tidak dimasukkan ke dalam
tarif biaya overhead pabrik. Jumlah unit yang cacat adalah 8 unit dengan jumlah biaya
tambahan bahan langsung dan tenaga kerja langsung untuk menyempurnakan masing-
masing sebesar Rp10.000 dan Rp12.000. Tarif biaya overhead pabrik tidak termasuk
penyisihan biaya tambahan adalah 140% dari biaya tenaga kerja langsung. Pencatatan
dalam jurnal adalah sebagai berikut.
a. Untuk biaya produksi pekerjaan pesanan khusus

(Dr) Barang dalam Proses 560.000

(Cr) Persediaan Bahan 200.000

(Cr) Gaji dan Upah 150.000

(Cr) Biaya Overhead Pabrik 210.000

b. Untuk biaya tambahan atas unit-unit yang cacat

(Dr) Barang dalam Proses 38.800


(Cr) Persediaan Bahan 10.000

(Cr) Gaji dan Upah 12.000

(Cr) Biaya Overhead Pabrik yang Dibebankan 16.800

c. Untuk pekerjaan atas pesanan khusus yang selesai

(Dr) Barang Jadi 598.800

(Cr) Barang dalam Proses 598.800

Kedua metode akuntansi yang digunakan atas barang cacat menghasilkan biaya atau harga pokok
per unit barang Jadi yang berbeda. Dengan biaya tambahan untuk menyempurnakan unit-unit
barang cacat ke akun biaya overhead pabrik, maka biaya per unit adalah Rp5.750 (Rp575.000 :
100 unit).

Sebagaimana dalam ilustrasi kedua, pembebanan biaya tambahan untuk penyempurnaan barang
cacat langsung kepada pekerjaan, maka biaya atau harga pokok per unit barang jadi meningkat
menjadi sebesar Rp5,988 (Rp598.800 : 100 unit), walau dalam kondisi tersebut penyisihan atas
biaya tambahan untuk menyempurnakan barang cacat dihilangkan dari tarif biaya overhead
pabrik.

Akuntansi Barang Sisa dan Barang Sampah

Barang sisa (scrap) berbeda dengan barang sampah (waste) adalah pada nilainya. Barang sisa
masih mempunyai nilai dan langsung dapat dijual atau dimasukkan ke dalarn proses produksi
untuk tujuan yang berbeda, misalnya diproses sebagai salah satu bahan baku untuk proses
produksi tertentu. Sedangkan barang sampah tidak mempunyai manfaat lagi dan dengan
demikian tidak mempunyai nilai jual.

Barang sisa dan barang sampah dapat terjadi dari (1) pengolahan bahan, (2) persediaan barang
yang sudah kuno, (3) aset tetap yang dijadikan besi tua/loak, (4) alat-alat suku cadang yang cacat
atau pecah, dan (5) proyek-proyek percobaan.

Pada saat terjadinya barang sisa tidak ada pencatatan dalam jurnal. Pencatatan hanya dilakukan
pada saat penjualan terjadi. Sebagai contoh, barang sisa dijual secara tunai dengan harga
Rp125.000 maka pencatatan dalam jurnal adalah sebagai berikut.

(Dr) Kas 125.000

(Cr) Pendapatan Lain-lain 125.000

Apabila nilai penjualan dari barang sisa ini telah diperhitungkan dalam menentukan tarif biaya
overhead pabrik, maka pencatatan dalam jurnal dapat dilakukan sebagai berikut.
(Dr) Kas 125.000

(Cr) Biaya Overhead Pabrik 125.000

Apabila barang sisa berasal dari suatu pekerjaan atau departemen di mana taksiran harga jual dari
barang sisa diperhitungkan dalam tarif biaya overhead pabrik, maka pencatatan dalam jurnal
adalah sebagai berikut.

(Dr) Kas 125.000

(Cr) Barang dalam proses 125.000

Sehubungan dengan aspek pengendalian yang baik atas persediaan barang sisa, terutama apabila
barang sisa ini relatif sangat banyak dan nilainya juga cukup tinggi, maka sebaiknya disimpan
pada suatu tempat yang terpisah dan aman, serta ada satu orang yang ditunjuk bertanggung
jawab atas pengawasan dan pencatatan atas barang sisa tersebut.

Dalam hal pencatatan dapat pula digunakan dua jenis kartu persediaan barang sisa, adalah
berikut ini.

1. Kartu yang hanya mencatat masuk dan keluarnya barang sisa dalam kuantitas saja. Jenis
kartu ini untuk dasar pencatatan dalam jurnal dan pengakuan pendapatan sesuai dengan
ilustrasi sebelumnya, yaitu pada saat barang sisa tersebut dijual.
2. Kartu yang mencatat kuantitas maupun nilai rupiah dari barang sisa. Jenis kartu yang
kedua ini menggunakan akun. Persediaan barang sisa sebagai akun pengendali
(controlling account). Untuk nilai dari persediaan barang sisa ditetapkan sesuai harga
pasar pada waktu barang sisa diterima dan dicatat oleh petugas gudang. Masih
menggunakan contoh sebelumnya, maka pencatatan dalam jurnal adalah sebagai berikut.
Pada saat penerimaan barang sisa oleh gudang
(Dr) Persediaan Barang Sisa 125.000
(Cr) Pendapatan Lain-lain 125.000
(atau dapat juga ke akun: biaya overhead pabrik atau barang dalam proses)
Pada saat pengakuan pendapatan (penjualan barang sisa)

(Dr) Kas 125.000

(Cr) Persediaan Barang Sisa 125.000

Akan tetapi, bila harga jual yang sesungguhnya berbeda dengan harga pasar pada waktu
pencatatan persediaan barang sisa, maka selisih harga tersebut akan dikoreksi tergantung akun
apa yang semula dikredit. Sebagai contoh, harga jual adalah Rp120.000. Pencatatan dalam jurnal
atas penjualan barang sisa tersebut adalah sebagai berikut.

(Dr) Kas 120.000


(Dr) Pendapatan Lain-lain

(Biaya Overhead Pabrik Barang dalam Proses) 5.000

(Cr) Persediaan Barang Sisa 125.000

Prosedur pencatatan dengan menggunakan akun persediaan barang sisa dan kartu-kartu
persediaan sebagai buku tambahan (subsidiary ledger) akan menjadi mahal, sehingga aspek
pengendalian ini menjadi tidak berarti terutama apabila barang sisa tersebut nilainya relatif kecil.

E. Buku Pabrik

Yang dimaksud dengan buku pabrik di sini adalah penyelenggaraan pencatatan akuntansi yang
terpisah di setiap pabrik. Hal ini dilakukan dalam kondisi di mana kantor pusat dan pabrik letak
atau lokasinya berjauhan satu sama lain atau dalam hal suatu perusahaan mempunyai beberapa
pabrik pada tempat yang berbeda, maka fungsi akuntansi dapat diselenggarakan secara
desentralisasi. Seiring dengan kemajuan teknologi informasi maka bisa saja pencatatan akuntansi
dilakukan secara web based (berdasarkan jaringan) sehingga buku pabrik tidak lagi diperlukan.

Melalui buku pabrik, masing-masing pabrik menyelenggarakan buku pabrik (factory ledger)
secara terpisah dan pada akhir periode laporan yang dihasilkan oleh pabrik akan digabungkan
dengan laporan kantor pusat dalam rangka menghasilkan laporan keuangan secara keseluruhan.
Dengan adanya buku pabrik maka pencatatan dan pelaporan biaya dapat dilaksanakan dengan
segera, sehingga laporan keuangan perusahaan akan dapat dihasilkan secara tepat waktu.

Seberapa banyak kegiatan akuntansi dilakukan dalam suatu pabrik, hal ini bergantung pada
organisasi dan operasi bisnis dari perusahaan yang bersangkutan. Apabila pabrik di samping
melakukan fungsi produksi juga melakukan fungsi lainnya seperti penjualan dan personalia,
maka kegiatan akuntansi yang dilakukan tentu akan lebih banyak. Semakin luas desentralisasi di
mana kewenangan yang diberikan kepada pabrik semakin banyak maka meningkat pula aktivitas
fungsi akuntansi yang ada di pabrik.

Setiap transaksi yang dibuat oleh pabrik baik yang berkaitan dengan kantor pusat dicatat dalam
buku pabrik, demikian pula pembebanan-pembebanan dari kantor pusat terhadap pabrik dengan
menerima bukti-bukti pembebanan, maka transaksi ini juga dicatat dalam buku pabrik. Proses
akuntansi di pabrik sama seperti akuntansi keuangan di mana transaksi-transaksi yang dicatat
dalam buku harian atau jurnal selanjutnya dipindahbukukan ke buku besar pabrik. Dalam buku
besar pabrik terdapat akun rekening koran kantor pusat (R/K kantor pusat): Akun ini
menunjukkan kekayaan kantor pusat di pabrik. Dalam catatan akuntansi atau buku kantor pusat
diadakan akun tandingan (reciprocal account), yaitu akun R/K pabrik yang menunjukkan
investasi atau penyertaan dari kantor pusat di pabrik. Setiap transaksi yang mempunyai
hubungan antara pabrik dan kantor pusat, maka jika terjadi pencatatan pada sisi debit atas akun
R/K kantor pusat pada buku pabrik akan selalu diikuti dengan pencatatan pada sisi kredit atas
akun R/K pabrik pada buku kantor pusat, dan begitu juga sebaliknya pencatatan pada sisi kredit
atas akun R/K kantor pusat akan diikuti dengan pencatatan pada sisi debit atas akun R/K pabrik.

Sebagai ilustrasi dalam penggunaan buku pabrik, dapat dilihat transaksi-transaksi dan pencatatan
dalam jurnal untuk PT Indah Graham yang disajikan berikut ini,

Pencatatan dalam jurnal dilakukan dengan anggapan bahwa:

1. Akun bahan diselenggarakan di pabrik, sedangkan semua faktur dibuatkan voucher-


vouchernya dan dibayrakan di kantor pusat;
2. Daftar gaji dan upah disiapkan di pabrik, tetapi pembayaran gaji dan upah serta pajak
penghasilan karyawan dilaksanakan oleh kantor pusat;
3. Akun asset tetap diselenggarakan di kantor pusat.

Transaksi Buku Kantor Buku Pabrik


Pusat
1. Pembelian bahan secara R/K Pabrik 55.000.000 Persediaan Bahan
kredit sebesar Utang Dagang 55.000.000 55.000.000
Rp55.000.000 R/K Kantor 55.000.000
Pusat
2. Diminta bahan sebagai Tidak ada pencatatan Barang dalam
berikut: proses
Bahan Baku 48.000.000
Rp48.000.000 Biaya overhead
Bahan Tidak langsung pabrik 3.200.000
(bahan langsung) Persediaan 51.200.000
Rp3.200.000 bahan
3. Pabrik menyusun daftar R/K Pabrik 56.000.000 Gaji dan Upah
gaji dan upah serta Utang PPh Kary. 8.400.000 56.000.000
menyerahkan ke kantor Utang Gaji dan 47.600.000 R/K Kantor 56.000.000
pusat dengan rincian Upah Pusat
sebagai berikut:
-tenaga kerja langsung
Rp47.000.000
-tenaga kerja tidak
langsung Rp9.000.000
-tarif PPh 15% tanpa
PTKP
4. Pembayaran gaji dan upah Utang gaji dan upah Tidak ada
pabrik 47.600.000 pencatatan
Kas 47.600.000
5. Mengalokasikan gaji dan Tidak ada pencatatan Barang dalam
upah kepada barang dalam proses 47.000.000
proses dan biaya overhead Biaya overhead
pabrik pabrik 9.000.000
Gaji dan Upah 56.000.000
6. Pembebanan biaya-biaya R/K Pabrik 19.500.000 Biaya overhead
pabrik yang terjadi dari Biaya yang masih pabrik 19.500.000
kantor pusat sebesar harus dibayar R/K kantor pusat 19.500.000
Rp19.500.000 19.500.000
7. Dikirim jurnal voucher R/K Pabrik 7.280.000 Biaya overhead
dari kantor pusat ke pabrik Akm Penyusutan 3.600.000 pabrik 7.280.000
sebagai berikut: asuransi dibayar 930.000 R/K kantor pusat 7.280.000
Penyusutan Rp3.600.000 dimuka
Asuransi dibayar dimuka Biaya yang masih 2.750.000
930.000 harus dibayar
Rupa-rupa biaya overhead
pabrik yang masih
terutang 2.750.000
8. Mengalokasikan biaya Tidak ada pencatatan Barang dalam
overhead pabrik ke akun proses 38.980.000
barang dalam proses Biaya 38.980.000
Overhead Pabrik
9. Rincian biaya dari produk Tidak ada pencatatan Barang Jadi
yang selesai dan ditransfer 118.300.000
ke gudang barang jadi: Barang Dalam 118.300.000
Bahan langsung Proses
Rp45.000.000
Tenaga kerja langsung
44.062.000
Overhead pabrik
29.238.000
10. Penjualan yang terjadi Piutang dagang R/K Kantor Pusat
secara kredit adalah 110.000.000 77.000.000 77.000.000
sebesar 110.000.000 harga Penjualan 110.000.000
pokok 70% dari harga jual Harga Pokok Barang Jadi
110.000 Penjualan77.000.000
R/K Pabrik 77.000.000

Anda mungkin juga menyukai