Anda di halaman 1dari 14

Journal Reading

Early Manipulation of Arterial Blood Pressure in Acute Ischemic Stroke (MAPAS): Results
of a Randomized Controlled Trial

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat dalam Mengikuti Ujian Profesi Kedokteran

Bagian Ilmu Saraf


RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso

Disusun Oleh:

Fahrizal Mirza Wijayanto 16711003

Pembimbing:

dr.

SMF ILMU SARAF


RSUD DR. SOEDIRAN MANGUN SUMARSO KAB. WONOGIRI FAKULTAS
KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA
2020
UNIVERSITAS DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT SARAF
ISLAM
INDONESIA STATUS PASIEN UNTUK UJIAN
FAKULTAS Untuk Dokter Muda
KEDOKTERAN

Nama Dokter Muda Fahrizal Mirza Wijayanto Tanda Tangan

NIM 16711003

Tanggal Ujian November 2020

Rumah sakit RSUD dr. Soediran Wonogiri

Gelombang Periode

Manipulasi Awal dari Tekanan Darah Arteri pada Stroke Iskemi Akut: Hasil dari
Randomized Controlled Trial

Abstract
Introduksi: Terdapat ketidakpastian dari tingkat optimal tekanan darah
sistolik pada kasus stroke iskemi akut. Tujuan dari studi ii adalah menilai
efikasi dari manipulasi awal tekanan darah sistolik pada pasien non-
trombotik. Hipotesis dari penelitian ini adalah luaran klinis akan
bervariasi tergantung dengan tingkat tekanan darah sistolik pada stroke
iskemi akut.
Metode:. 218 pasien dilakukan randomisasi dengan 12 jam mengalami
stroke iskemi akut dan tekanan darah sistolik dipertahankan selama 24
jam dengan 3 kategori: Grup 1 140-160 mmHg, grup 2 161-180 mmHg,
dan grup 3 181-200 mmHg. Obat-obatan vasoaktif dan cairan digunakan
untuk mencapai target. Outcome baik didefinisikan sebagai Rankin score
0-2 dalam 90 hari.

Results: Median dari tekanan darah sistolik dalam 24 jam pada ketiga
kelompok adalah 153 mmHg, 163 mmHg, dan 178 mmHg (p<0,0001).
Outcome klinis yang baik tidak memiliki perbedaan yang signifikan
pada ketiga kelompok (51% vs 52% vs 39%, p=0,27). Perdarahan
intracranial simtomatik (SICH) lebih sering terjadi pada rentang tekanan
darah sistolik yang tinggi (1% vs 2,7% vs 9,1%, p=0,048) dengan
mortalitas yang mirip. Tidak terdapat pasien yang mengalami deteriorasi
neurologis akut yang berhubungan dengan penurunan tekanan darah
sistolik dalam 24 jam. Dengan analisis regresi ditemukan bahwa Grup 2
memiliki outcome klinis yang lebih baik (OR 2,83) setelah dilakukan
penyesuaian. Probabilitas outcome klinis yang baik terjadi pada 47%
pasien yang dilakukan manipulasi peningkatan tekanan darah, 42% pada
pasien yang dilakukan manipulasi penurunan tekanan darah, dan 62%
tidak dimanipulasi (p=0,1). Efek samping terjadi pada grup 2 (4%) dan
grup 3 (7,6%) dan berhubungan dengan penggunaan norepinefrin
(p=0,05)

Conclusions: Outcome klinis selama 90 hari tidak berbeda secara


signifikan pada 3 kelompok tekanan darah. Setelah dilakukan analisis
regresi, ditemukan bahwa Grup 2 memiliki outcome klinis yang lebih
baik (OR 2,83). SICH lebih sering terjadi pada Grup 3 (181-200mmHg)
Keywords: Stroke, Ischemic stroke, Acute stroke, Hypertension, Blood
pressure

Pendahuluan

Tekanan darah tinggi sering terjadi pada pasien dengan stroke iskemi akut dan
berhubungan dengan outcome buruk termasuk terjadinya kekambuhan. Meskipun manfaat
dari penurunan tekanan darah jangka panjang untuk pencegahan stroke dinilai baik, namun
manfaat dan risiko inisiasi awal dari pengobatan antihipertensi pada stroke iskemi akut belum
jelas.

Data observasional seperti analisis post-hoc mengindikasikan bahwa terdapat bentuk


U pada hubungan tekanan darah dan outcome klinis; dengan peningkatan mortalitas dan
disabilitas pada tekanan darah rendah dan tinggi. Sedangkan penelitian RCT menyatakan
bahwa terdapat hasil bervariasi tentang penurunan tekanan darah segera pada stroke iskemia
akut. Guideline klinis stroke menjelaskan bahwa risiko meningkat pada tekanan darah yang
sangat tinggi (>220 mmHg) tetapi tidak direkomendasikan untuk melakukan penurunan
tekanan darah secara cepat pada pasien stroke iskemi akut, kecuali pada konteks trombolisis
dengan tekanan darah <185 mmHg. Pada kasus hipotensi sistemik pada stroke iskemi akut
dengan gejala neurologis, agen vasopresor direkomendasikan untuk meningkatkan aliran
darah otak (CBF) dengan pemantauan neurologis dan jantung pasien. Uji coba CHHIPS
adalah satu-satunya uji coba yang dilakukan untuk secara khusus menilai efek perbandingan
langsung dari manipulasi tekanan darah, baik penurunan atau peningkatan, untuk
mempertahankan target SBP yang ideal dalam fase hiperakut (24 jam pertama) stroke iskemi
akut. Meskipun penelitian dihentikan karena masalah pada perekrutan sampel.

Uji coba Manipulasi Awal Tekanan Darah Arteri pada Stroke Iskemik Akut
(MAPAS) dilakukan dengan tujuan untuk menentukan efektivitas manipulasi dini tekanan
darah sistolik dalam 24 jam pertama pada pasien stroke iskemia akut. Hipotesis yang diteliti
adalah bahwa hasil klinis bervariasi di seluruh rentang tekanan darah sistolik pada stroke
iskemi akut.

Metode Penelitian

Desain Penelitian

Penelitian ini memiliki desain RCT, prospektif, label terbuka, blinded outcome
assesed, penelitian RCT yang melibatkan pasien ≥18 tahun dengan stroke iskemi akut dalam
waktu 12 jam setelah onset gejala. Pasien potensial yang memenuhi syarat dianggap tidak
sesuai untuk terapi trombolitik menurut pedoman saat ini, dan tidak ada indikasi yang
ditetapkan atau kontraindikasi untuk manipulasi tekanan darah sistolik. Pasien dengan salah
satu kondisi berikut dieksklusi: harapan hidup yang buruk, kehamilan, gagal jantung akut,
kejadian koroner akut dalam 3 bulan sebelumnya, perdarahan intrakranial sebelumnya, stroke
iskemik sebelumnya dengan modifikasi premorbid Rankin score >1, Riwayat perdarahan
diathesis atau koagulopati (termasuk penggunaan warfarin), trombositopenia
(<100.000/mmk), operasi mayor dalam 6 minggu, dan gagal ginjal. Pasien dilakukan
pengacakan menggunakan komputer kemudian dikelompokkan menjadi 3 kelompok: Grup 1
140-160 mmHg, grup 2 161-180 mmHg, dan grup 3 181-200 mmHg. Penelitian ini telah
lolos etik dengan Komite Etik RS de Clinicas Porto Alegre. Semua pasien telah dilakukan
persetujuan.

Penilaian dan Treatment

Penelitian dilakukan di Rumah Sakit de Clínicas de Porto Alegre, rumah sakit umum
universitas yang terletak di wilayah selatan Brasil. Pasien dinilai dan dirawat di Unit
Vaskular, bagian dari Departemen Darurat dengan fasilitas pemantauan perawatan intensif
dan tim terlatih untuk membantu gangguan vaskular akut, termasuk stroke (Unit Stroke
Akut). Karakteristik demografis dan klinis dicatat pada saat pendaftaran. Computed
tomography (CT) non-kontras dilakukan untuk memastikan diagnosis stroke iskemi akut.
Seorang ahli saraf stroke berpengalaman dilakukan blinded untuk meninjau semua hasil CT
scan dan menghitung Alberta Stroke Program CT Score (ASPECTS) dan untuk
mengklasifikasikan perluasan hipodensitas pada ≤ atau > 1/3 dari arteri serebri media (MCA)
untuk setiap peserta. Satu dari tiga ahli saraf stroke melakukan semua penilaian keparahan
defisit neurologis menggunakan National Institute of Health stroke scale (NIHSS) saat
masuk, 24 jam setelah dimasukkan dalam penelitian, dan saat keluar. Kami menggunakan
ketidaksesuaian klinis-radiologis sebagai dugaan ketidakcocokan perfusi di antara pasien
dengan stroke MCA. Pasien dengan ketidakcocokan positif memiliki NIHSS awal ≥ 10 dan
ASPEK ≥ 7. Klasifikasi TOAST digunakan untuk mengklasifikasikan etiologi dari stroke
iskemi akut.

Satu dari empat ahli saraf stroke lain dilakukan blinded kemudian melakukan
pengobatan dan menilai status disabilitas pasien menurut mRS, yang dinilai secara langsung
atau melalui telepon, pada 90 hari setelah penelitian dimulai. Tekanan darah sistolik
dipertahankan sesuai dengan target selama 24 jam pertama menggunakan salah satu dari
strategi berikut ini: (a) SBP yang sudah dalam rentang target: tidak ada intervensi khusus
untuk memanipulasi BP; (b) SBP lebih rendah dari target: bolus 500-1000 ml intravena (IV)
larutan saline 0,9% dan jika perlu diikuti dengan norepinefrin IV; dan (c) SBP lebih tinggi
dari target: esmolol IV diikuti oleh nitroprusside, jika perlu, untuk menurunkan SBP ke level
target. SBP diukur setiap 15 menit dalam satu jam pertama, dan kemudian setiap 60 menit
selama 24 jam pertama, dengan tensimeter digital (Siemens AG, Erlangen, Jerman). SBP
target harus dicapai dalam 3 jam pertama setelah penelitian dimulai. Jika gejala
kardiovaskular atau ketidakstabilan hemodinamik terjadi selama manipulasi, dilakukan
pemeriksaan elektrokardiogram dan kadar troponin. Perubahan hemodinamik selama
pemberian obat vasoaktif diikuti dengan pencatatan efek samping dan perawatan pasien
sesuai dengan standar terbaik. Kerusakan neurologis dievaluasi oleh ahli saraf stroke dan
diklasifikasikan sebagai terkait atau tidak terkait dengan manipulasi tekanan darah. Setelah
24 jampertama, pasien diresepkan terapi antihipertensi oral sesuai dengan rekomendasi
pedoman, untuk pencegahan sekunder. Semua pasien menerima perawatan medis terbaik
untuk stroke iskemi akut non-trombotik, termasuk statin, agen antiplatelet (Aspirin atau
Clopidogrel) dan enoxaparin untuk pencegahan deep vein thrombosis setelah CT scan
pertama. Para pasien dengan stroke kardioemboli menerima antikoagulasi untuk pencegahan
sekunder secepat mungkin tergantung pada ukuran stroke.

Outcome

Outcome primer yang baik didefinisikan sebagai mRS 0-2 pada 90 hari. Outcome
sekunder adalah perubahan dalam distribusi skor mRS dalam tiga kelompok tekanan darah
(pergeseran tingkat disabilitas), terjadinya gejala perdarahan intrakranial (SICH) selama
rawat inap (menurut definisi standar yang memerlukan penurunan NIHSS skor ≥4 poin dari
baseline dan perdarahan intraparenkim tipe 2 dalam CT scan tindak lanjut) dan efek samping
obat vasoaktif.
Analisis Statistik

Dengan asumsi frekuensi 50% fungsional independent (mRS 0-2) pada pasien dengan
pengobatan reperfusi (pasien yang mengalami trombolisasi) sebagai hasil terbaik dan
menggunakan simulasi dalam R (versi 3.3.0) dan Gpower (versi 3.1.9.2) peneliti berasumsi
bahwa untuk parameter noncentrality Chi square 10,0, α = 0,05 dan proporsi hasil yang baik
(skor Rankin 0-2) 0,25, 0,375 dan 0,50, ukuran sampel 75 pasien per kelompok ( total ukuran
sampel 225 pasien) akan memberikan CI 80% untuk menolak hipotesis nol bahwa tidak ada
perbedaan antara ketiga kelompok perlakuan.

Analisis didasarkan pada prinsip niat untuk mengobati. Perbandingan antara variabel
kategori dilakukan analisis menggunakan Chi square atau uji Fisher. Analisis variansi
digunakan untuk variabel. Perbedaan antara tiga kelompok acak dan perbedaan antara
manipulasi atau tidak ada manipulasi SBP dilakukan analisis. Perubahan dalam distribusi
pasien pada seluruh rentang skor mRS dinilai dalam tiga kelompok menggunakan analisis
ordinal (uji van Elteren). Sebuah analisis regresi logistik digunakan untuk mengevaluasi
hubungan independen antara kelompok tekanan darah dan hasil, dengan penyesuaian
ketidakseimbangan dalam karakteristik dasar. Data dianalisis dengan SPSS 20.0 (SPSS, Inc).

Hasil

Terdapat 1.033 pasien stroke iskemi akut yang datang dalam waktu 12 jam sejak onset
gejala antara Desember 2009 dan Desember 2013. Di antaranya, 36% dieksklusikan karena
melakukan terapi trombolitik; 23% karena mRS sebelumnya> 1; 8% karena gagal jantung
akut dan 10,7% karena alasan lain. Ada 231 pasien yang dilakukan randomisasi, tetapi 5,6%
dieksklusikan karena diagnosis akhir adalah non-stroke setelah asesmen selanjutnya. Dengan
demikian, total 218 pasien sebagai sampel kemudian dikelompokkan ke dalam 3 kelompok
tekanan darah: 77 pasien di Grup 1 (140-160 mmHg), 75 pasien di Grup 2 (161-180 mmHg),
dan 66 pasien di Grup 3 (181–200 mmHg). Rerata waktu yang dibutuhkan dari onset gejala
sampai mencapai target SBP adalah 7 jam 6 menit; 5 jam dari onset gejala sampai
randomisasi; dan 2 jam 6 menit dari randomisasi sampai mencapai target SBP.

Karakteristik dasar dari peserta tidak terdapat perbedaan signifkan pada ketiga
kelompok, meskipun Grup 1 memiliki kadar glukosa darah yang sedikit lebih tinggi. Tidak
ada perbedaan yang signifikan dalam waktu rata-rata dari onset gejala hingga pengacakan.
Sekitar sepertiga pasien di setiap kelompok memiliki infark besar yang melibatkan lebih dari
1/3 distribusi wilayah MCA dan stroke sirkulasi anterior paling sering terjadi.

Median tekanan darah sistolik selama 24 jam pada setiap kelompok adalah: 153
mmHg (IQR 147-160), 163 mmHg (IQR 151-170), dan 178 mmHg (IQR 167-184), di Grup
1, 2 dan 3, masing-masing (P <0,0001). Median tekanan darah sistolik di Grup 3 lebih rendah
dari yang diharapkan karena kesulitan dalam mempertahankan SBP di kisaran 181-200
mmHg. Tekanan darah dipertahankan dengan baik selama 24 jam pada 70% pasien di Grup 1,
61% di Grup 2 dan 60% di Grup 3.

Dilakukan manipulasi TD pada 176 pasien (90 ditingkatkan dan 86 diturunkan).


Pasien dengan terapi vasopressor menerima norepinefrin sebagai tambahan larutan saline.
Pada 23 pasien, digunakan esmolol dan nitroprusside untuk menurunkan TD.

Terdapat outcome yang lebih baik selama 90 hari pasa Grup 1 dan 2 dibandingkan
dengan Grup 3, tetapi perbedaan ini tidak signifikan secara statistik. Selain itu, tidak ada
perbedaan mortalitas di ketiga kelompok, tetapi frekuensi SICH terbesar terjadi pada Grup 3.
Tidak ada perbedaan outcome di antara ketiga kelompok pada pasien dengan SBP awal <
atau ≥160 mmHg. Analisis ordinal dari distribusi skor mRS di ketiga kelompok tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan secara statistik (P = 0,51). Ketika hasil dievaluasi
menurut asesmen TOAST, stroke kardioemboli menunjukkan hasil yang lebih baik di Grup 2.
Hasil stroke lacunar serupa di ketiga Grup.

Dalam analisis regresi logistik setelah disesuaikan dengan usia, glukosa darah, skor
NIHSS baseline, hipodensitas> 1/3 wilayah MCA, klasifikasi TOAST dan status manipulasi
TD, kemungkinan outcome baik lebih besar pada Grup 2 jika dibandingkan dengan Grup 3.

Outcome baik lebih tinggi pada pasien yang tidak dimanipulasi dibandingkan dengan
yang dimanipulasi (44 vs 62%; P = 0.04). Outcome baik terjadi pada 47% pada pasien yang
tekanan darahnya dinaikkan, 42% pada pasien yang tekanan darahnya diturunkan dan 62%
pada pasien non-manipulasi (P = 0,1). SICH terjadi pada 8% pasien yang tekanan darahnya
dinaikkan dan 2% dari pasien yang tekanan darahnya diturunkan, P = 0.06, dan mortalitas
masing-masing adalah 14 vs 19%, P = 0.23.

Sebanyak 31 pasien dengan stroke MCA memiliki ketidaksesuaian klinis-radiologis


positif dan 164 memiliki negatif. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam hasil yang baik
di tiga Grup BP terkait ketidaksesuaian klinis-radiologis positif atau negatif. Di antara pasien
dengan ketidakcocokan negatif, proporsi hasil yang baik adalah 56% di Grup 1, 47% di Grup
2 dan 39% di Grup 3, P = 0.15. Pada pasien dengan ketidakcocokan positif, tingkat outcome
baik masing-masing adalah 43, 57 dan 30%, P = 0,47. Analisis hasil menurut status
manipulasi tidak memiliki perbedaan antara pasien dengan ketidakcocokan negatif. Namun,
peneliti menemukan hasil yang lebih buruk pada pasien dengan ketidakcocokan positif yang
menjalani penurunan TD, P = 0,043.

Efek samping terkait manipulasi SBP muncul pada Grup 2 dan 3; yang berkaitan
dengan infus norepinefrin. Sindrom koroner akut terjadi pada 5 pasien (1,3% pada Grup 2
dan 6,0% pada Grup 3) dan bradikardia simtomatik terjadi pada 1 pasien (1,5%) pada Grup 3.
Pada semua kasus, pengobatan dihentikan dan gejala tidak kambuh. Tidak ada pasien yang
mengalami kerusakan neurologis akut terkait dengan penurunan TD dalam 24 jam. Satu
pasien di Grup 3 dianggap memiliki hipotensi terkait dengan infark MCA maligna.

Diskusi

Penelitian ini menunjukkan manipulasi SBP menggunakan obat-obatan atau strategi


cairan dapat dilakukan dalam 24 jam pertama stroke iskemi akut tetapi tidak menunjukkan
hasil secara signifikan setelah 90 hari. Frekuensi SICH lebih tinggi pada pasien yang
dikeompokkan pada target TD yang lebih tinggi dan efek samping kardiovaskular hanya
terjadi pada pasien yang TD-nya ditingkatkan dengan norepinefrin. Efek samping ini bersifat
sementara dan sembuh dengan penghentian obat. Dalam analisis regresi logistik kami, pasien
dengan SBP yang dipertahankan dalam kisaran 161-180 mmHg memiliki hasil neurologis
yang lebih baik daripada pasien dengan SBP yang lebih tinggi (181-200 mmHg), dengan OR
2,8. Beberapa penelitian telah membahas penurunan tekanan darah setelah stroke akut, tetapi
penelitian tersebut tidak cukup kuat untuk mendeteksi perbedaan penting pada kematian dan
kecacatan. Hanya uji coba CHHIPS (yang mencakup pasien iskemik dan hemoragik) yang
secara khusus dirancang untuk menguji efek dari kenaikan TD dan penurunan TD hingga 36
jam stroke iskemi akut dihubungkan kematian dan ketergantungan. Namun, karena percobaan
hanya melibatkan 1 pasien di lengan untuk meningkatkan tekanan darah, tidak ada
kesimpulan yang bisa ditarik tentang efek intervensi ini. Studi lain, percobaan CATIS, tidak
menunjukkan manfaat penurunan SBP dalam 48 jam pertama setelah stroke iskemik akut.

Sebuah meta-analisis terbaru dengan 26 percobaan yang melibatkan 17.011 peserta


menunjukkan bahwa tidak ada cukup bukti bahwa penurunan tekanan darah selama fase akut
stroke (48 jam) meningkatkan hasil fungsional. Meskipun demikian, pengobatan dini dalam 6
jam setelah stroke tampak efektif dalam mengurangi kematian atau ketergantungan (OR 0,86,
95% CI 0,76-0,99) tetapi tidak pada kematian. Meta-analisis ini memperkuat kriteria inklusi
pasien hingga 12 jam dalam penelitian kami, dengan waktu rata-rata 5 jam, berbeda dari
kriteria yang digunakan di sebagian besar penelitian yang menyertakan pasien di kemudian
hari, dalam 24-48 jam setelah onset gejala. Periode 12 jam dipilih berdasarkan estimasi
bahwa interval waktu dari onset gejala sampai penyelesaian stroke iskemik adalah 10 jam
(berkisar dari 6 sampai 18 jam) pada infark non-lacunar.

Hipertensi sering terjadi setelah stroke iskemi akut dan sering dianggap sebagai
kompensasi fisiologis yang berhubungan dengan iskemia otak. Namun, penurunan TD secara
cepat tidak direkomendasikan karena kekhawatiran tentang penurunan perfusi penumbra.
Sebuah studi dengan tomografi yang mengukur CBF sebelum dan setelah penurunan TD
tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam ukuran perfusi di dalam area infark,
regio peri-infark, atau di tempat lain di belahan otak ipsilateral. Namun, dalam penelitian ini,
dua pasien mengalami penurunan CBF di kedua belahan, salah satunya dengan perburukan
sementara dari defisit neurologis fokal, kemungkinan terkait dengan pergeseran ke atas dari
batas autoregulasi karena hipertensi kronis. Namun demikian, kerusakan regional selektif
autoregulasi di hemisfer yang terkena tidak diamati. Dalam penelitian ini, pasien dengan
ketidakcocokan klinis-radiologis yang dilakukan penurunan tekanan darah memiliki hasil
yang buruk (53% dari pasien yang dimanipulasi oleh up memiliki hasil yang baik vs 21% dari
pasien yang dimanipulasi ke bawah, P = 0.043). Pada pasien dengan tanpa ketidakcocokan
klinis-radiologis, tidak ada perbedaan dalam hasil terkait dengan manipulasi TD.

Penelitian sebelumnya menunjukkan pasien dengan stroke iskemia akut dengan


ketidakcocokan difusi-perfusi yang besar untuk mengevaluasi efek peningkatan TD (9
'diobati' dan 6 'tidak diobati'), dan menyimpulkan bahwa hasilnya lebih baik di antara pasien
yang 'diobati'. Studi lain menyatakan hipertensi pada 13 pasien dengan stroke iskemi akut
bahwa tujuh pasien mengalami peningkatan neurologis dalam 30 menit setelah terapi
vasopressor. Ambang batas tekanan darah untuk perbaikan ditemukan pada enam pasien: dua
dengan aterosklerosis arteri besar, tiga dengan stroke emboli, dan satu dengan oklusi arteri
kecil (3 pasien dengan perbaikan neurologis tidak memiliki pembuluh darah besar yang
tersumbat pada CT angiogram).

Kelebihan penelitian ini adalah hasil dinilai oleh ahli saraf stroke yang tidak
mengetahui alokasi pengobatan pada pasien. Kisaran SBP terbaik masih belum pasti dalam
manajemen pasien ini. Dalam analisis regresi logistik kami, hasil fungsional yang baik lebih
besar di Grup 2 (SBP 161-180 mmHg), dengan OR 2,8.
Namun, penelitian kami memiliki keterbatasan mengingat ini adalah uji coba terbuka
pusat tunggal dengan ukuran sampel yang relatif kecil dan kurang kuat untuk mendeteksi
perbedaan yang diusulkan. Batasan lain adalah pada Grup 1, BP tidak berada dalam kisaran
target 30% dari total waktu, dan pada dua grup lainnya 40%. Hal ini mungkin disebabkan
oleh kesulitan dalam menjaga kontrol BP dalam kisaran yang sempit, terutama ketika
vasopressor dosis tinggi diperlukan untuk meningkatkan SPB ke rentang yang lebih tinggi
karena efek samping yang terkait dengannya.

Pada beberapa pasien, TD memiliki variabilitas yang besar selama 24 jam pertama.
Meskipun demikian, kami percaya bahwa batasan ini tidak berdampak pada hasil karena ada
perbedaan yang signifikan pada median TD di antara 3 kelompok dalam 24 jam pertama.
Batasan lain adalah tidak adanya evaluasi daerah penumbra sebelum dilakukan penelitian.
Sebagai alternatif kami menggunakan ketidakcocokan klinis-radiologi sebagai pengganti
penumbra.

Kesimpulan

Kesimpulannya, hasil uji coba MAPAS menunjukkan bahwa hasil neurologis yang
dinilai oleh mRS pada 90 hari tidak berbeda secara signifikan di antara tiga kelompok SBP.
Tidak ada pasien yang mengalami kerusakan neurologis akut terkait dengan penurunan TD
dalam 24 jam. SICH terjadi lebih sering pada kelompok pasien dengan SBP yang lebih tinggi
(181-200 mmHg). Setelah menyesuaikan faktor perancu, kemungkinan outcome baik dalam
90 hari lebih besar pada kelompok pasien dengan kisaran SBP 161-180 mmHg dalam 24 jam
pertama setelah stroke. Diperlukan uji klinis lanjutan untuk menentukan peran evaluasi
penumbra dalam manajemen BP pada stroke iskemi akut.

PICO

Judul: Central Corneal Thickness Changes Following Manual Small Incision Cataract
Surgery Versus Phacoemulsification For White Cataract

Penulis: Kongsap Pipat

Tahun: 2019

 Patient and Clinical Problem: Pasien dengan katarak


 Intervention: Operasi MSICS
 Comparison: Operasi phacoemulsification
 Outcome: Perbedaan ketebalan kornea
Critical Appraisal

Penelitian menunjukkan dengan jelas populasi, intervensi, komparasi, dan outcome.

Bukti:

Studi ini merupakan clinical trial non-randomized.

Bukti:
Tidak ada peserta, investigator, maupun orang yang menilai dilakukan blinded.

Keadaan pasien tidak memiliki perbedaan signifikan

Bukti:
Outcome dilakukan analisa dan disajikan dalam bentuk tabel yang jelas

Bukti:

Tidak disebutkan confidence interval


Tidak dijelaskan mengenai kelebihan dan kekurangan tiap intervensi.

Ya, penelitian ini dapat diterapkan pada populasi Indonesia karena prevalensi katarak di
Indonesia cukup tinggi dan tindakan MSICS maupun phacoemulsification sudah tersedia di
Indonesia.

Intervensi MSICS dan phacoemulsification telah dilakukan oleh spesialis mata di Indonesia.
Namun, dibutuhkan skill dan peralatan yang memadai untuk melakukan tindakan.

Anda mungkin juga menyukai