Anda di halaman 1dari 21

BAB 1

PENDAHULUAN

Mengidentifikasi penyakit praganas dan jinak pada serviks dan memilih jalur
pengobatan yang tepat dapat menjadi tantangan. Seringkali, penyakit serviks jinak tampak
ganas dan penyakit ganas dapat disembunyikan dari pandangan. Fokus pada tinjauan pustaka
ini adalah untuk menggambarkan kisaran penyakit jinak pada serviks dan menjelaskan opsi
untuk penatalaksanaan serta pedoman yang membantu mengidentifikasi mereka yang
memiliki penyakit yang berpotensi lebih serius atau invasif. (Korets & Cain., 2015)

Lesi serviks berkisar dari yang terlihat hanya dengan instrumen yang menambah
penglihatan seperti kolposkopi hingga kelainan berat. Diagnosis dan penatalaksanaan
memerlukan kompilasi visual (termasuk kolposkopi atau pewarnaan), dan laboratorium (tes
HPV, apusan Papanicolaou, biakan, biopsi, dll.). Kolposkopi, salah satu alat utama dalam
menggambarkan lesi ini. Memilih strategi manajemen secara global dapat dipengaruhi oleh
ketersediaan dokter terlatih, peralatan, dan dukungan laboratorium. (Korets & Cain., 2015)
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kista Nabothi


2.1.1 Definisi
Kista Nabothi merupakan kista jinak pada portio serviks dan diperkirakan muncul di area
metaplasia aktif. Umumnya kista serviks ini adalah kista retensi berdilatasi yang disebut kista
nabothi (Gambar 1). (Callahan & Caughey, 2013).

Gambar 1. Kista Nabothi (Callahan & Caughey, 2013)

2.1.2 Epidemiologi
Kista nabothi biasa ditemukan pada permukaan leher rahim wanita yangtelah memiliki
anak dan pada wanita menopause (akibat penipisan lapisanpermukaan serviks). Kadang-
kadang kista ini terjadi akibat radang kronikserviks(Callahan & Caughey, 2013).

2.1.3 Etiologi
Kista ini disebabkan oleh penyumbatan intermiten dari kelenjar endoserviks dan
biasanya berkembang dengan diameter tidak lebih dari 1 cm dan bisa berlipat ganda, namun,
terdapat pula kista dengan diameter hingga 5 cm atau lebih besar. Mereka memiliki
permukaan berkilau halus dengan isi yang kurang lebih seperti susu (Gbr. 2). (Callahan &
Caughey, 2013; Konar, 2016 ; Cain, 2015)
Gambar 2. Kista Nabothi dengan diameter besar (Cain, 2015)

2.1.4 Patofisiologi
Selama proses penyembuhan erosi serviks, epitel duktus mencakup pembukaanserviks
dan masuk ke dalam leher rahim, menyebabkan obstruksi. Jaringan yangmenghubungkan di
sekitar saluran meningkatkan tekanan saluran leher rahim,mengalami penyempitan yang akan
menyebabkan drainage sekresi kelenjardiblokir membentuk kista naboth. Lesi dipenuhi lendir
yang hampir dianggapsebagai bagian normal dari leher rahim dewasa. Kista ini tampak
seperti luka tembusatau buram, putih atau kuning beberapa mulai dari 2 mm sampai 10 mm.

2.1.5Gejala
Kista Nabothi lebih banyak ditemukan pada wanita menstruasi dan biasanya tidak
bergejala. Seringkali, kista nabothi ditemukan pada pemeriksaan ginekologi rutin dan tidak
memerlukan perawatan. Pada penyimpangan dari permukaan halus seperti erosi atau kelainan
pembuluh darah, perlu penyelidikan lebih lanjut dan dilakukan biopsi. Kista yang sangat
besar memiliki gejala sekunder (seperti penekanan, berat, atau retensi urin) tidak seperti tidak
bergejala yang menjadi ciri khas sebagian besar kista nabothi. (Callahan & Caughey, 2013;
Konar, 2016 ; Cain, 2015)

2.1.6 Stadium

Kista diklasifikasikan sebagai ‘‘rendah‘’ jika ditemukan dalam 1 cm dari os eksternal,


dan ‘‘ tinggi‘’ jika ditemukan superior dari tingkat ini. (Fogel et al., 1982)

2.1.7 Diagnosa
Seringkali kemunculan kista nabothi tidak disadari oleh para wanita, karena tidak
ada gejala yang dirasakan. Umumnya kista baru diketahui ketika ukurannya sudah membesar
atau saat dilakukan pemeriksaan USG panggul, CT scan atau MRI.Bila tampak benjolan yang
diduga sebagai kista nabothi, maka dapat dilakukan pemeriksaan lebih lanjut
yaitu kolposkopi. Tindakan ini dilakukan untuk memastikan kembali apakah benjolan di
mulut rahim yang muncul benar-benar kista nabothi atau bukan. Apabila dari hasil
pemeriksaan kolposkopi menunjukkan adanya kista nabothi, kemungkinan tidak diperlukan
pengobatan apapun, selama kista yang muncul tidak mengganggu dan menimbulkan rasa
sakit. Diameter kista berkisar antara 2 - 10 millimeter Kandungan mukusnya bisa berwarna
kuning pucat sampai kecoklatan (Callahan & Caughey, 2013; Konar, 2016 ; Cain, 2015).

2.1.8 Manajemen
Pada dasarnya secara alami kista nabothi dapat ruptur dengan bekas luka kecil
berwarna kuning. Oleh karena itu, sebagian besar kista nabothi tidak memerlukan perawatan,
dan diagnosisnya biasanya jelas secara klinis. Kista nabothi besar mungkin perlu dibuka
dengan Prosedur Elektroksisi Loop (LEEP) atau kauterisasi langsung. Kuncinya adalah
memastikan bahwa area tersebut sepenuhnya telah terdrainase, yang mungkin dapat dicapai
dengan memastikan bahwa lapisan skuamosa yang menutupi cukup direseksi atau dilakukan
kauterisasi pada dasarnya untuk mengurangi produksi lendir, cryofreezing dengan nitrogen
cair atau karbon dioksida padat juga dapat dilakukan (Callahan & Caughey, 2013; Konar,
2016 ; Cain, 2015).

2.1.9 Follow up
Nabothian kista dianggap tidak berbahaya dan biasanya menghilang sendiri,
walaupun beberapa akan bertahan tanpa batas waktu. Beberapawanita melihat mereka muncul
dan menghilang sehubungan dengansiklus menstruasi mereka.. Jika seorang wanita tidak
yakin tumor yang ditemukan pada leher rahim adalah kista nabothian, kunjungan ke
dokterdianjurkan untuk menyingkirkan kondisi lainnya. Jarang, kista nabothian
memilikikorelasi dengan servisitis kronis, infeksi peradangan leher rahim. Nabothian
kistatidak dianggap bermasalah kecuali timbul gejala sekunder yang menganggu. Follow up
menggunakan kolposkopi ataubiopsi dapat dilakukan saat dirasakan keluhan tambahan
(Callahan & Caughey, 2013; Konar, 2016 ; Cain, 2015).

2.2 Kista Mesonefrik


2.2.1 Definisi
Kista ini adalah sisa-sisa saluran mesonephric (wolffian) yang bisa menjadi kistik. Kista
berukuran jarang melebihi 2.5 cm Kista ini terdiri dari epitel kuboid dan cenderung terletak
lebih dalam di stroma serviks dan permukaan luar serviks(Konar, 2016).

2.2.2 Epidemiologi
Kista mesonefrik dapat terjadi pada semua wanita tanpa memandang usia. Faktor
predisposisi dan kejadian pastinya tidak diketahui (Konar, 2016).

2.2.3 Etiologi
Sisa-sisa saluran mesonephric pada fase tumbuh kembang janin yang tidak mengalami
regresi sepenuhnya dan terisi cairan dari saluran gartner yang terhubung (Konar, 2016).

2.2.4 Patofisiologi
Pada tahapan tumbuh kembang awal janin, saluran mesonephric dan paramesonephric
berhubungan. Duktus mesonephric kemudian akan mengalami diferensiasi sesuai dengan
jenis kelamin. Pada wanita, tidak adanya hormon testoteron menyebabkan duktus
mesonephric mengalami regresi, sebagian hilang total tetapi sebagian lagi masih menyisakan
sisa-sisa. Saluran gartner yang terhubung dengan sisa-sisa saluran mesonephric dapat
mengakibatkan terkumpulnya cairan sehingga menimbulkan kista mesonefrik (Konar, 2016).

2.2.6 Gejala
Akhir kata pada kasus yang jarang terjadi, endometriosis dapat ditemukan pada atau
dekat serviks dengan pemeriksaan inspekulo dan konfirmasi dengan biopsy eksisi. Kista ini
cenderung berwarna merah atau ungu dan pasien akan sering memiliki gejala seperti nyeri
pelvis siklik dan dispareunia. (Konar, 2016)

2.2.7 Diagnosa
Pada kista mesonefros dengan ukuran kecil biasanya tidak ditemukan keluhan. Seiring
dengan bertambahnya ukuran, keluhan seperti munculnya masa pada perut bagian bawah
dapat dirasakan. Biasanya pemeriksaan fisik bimanual akan dilakukan untuk menentukan
posisi dari kista mesonefros. Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan pemeriksaan
USG dan CT abdomen. Pada pemeriksaan biopsi dapat ditemukan gambaran kista berdinding
tipis dengan sel kuboid tipis dan dinding otot polos(Pushpalatha, 2015).
2.2.8 Manajemen
Kista berukuran kecil jarang sekali menjadi ganas sehingga sering kali kista mesonepros
diabaikan. Akan tetapi bila sampai mengganggu karena pertambahan ukuran yang cukup
besar, dapat dilakukan tindakan pembedahan untuk mengambil kista tersebut (Pushpalatha,
2015).

2.2.9 Follow up
Bila tidak dilakukan pembedahan, biasanya pasien tidak perlu melakukan follow up
selama tidak dirasakan adanya keluhan (Pushpalatha, 2015).

2.3 Polip Serviks


2.3.1 Definisi
Polip serviks sejati adalah pertumbuhan jinak yang mungkin bertangkai (Gambar. 3)
(Callahan & Caughey, 2013; Nguyen, 2018).

Gambar 3. Polip serviks (Cain, 2015)

2.3.2Epidemiologi
Faktor risiko memiliki polip serviks meningkat pada wanita dengan diabetes mellitus dan
vaginitis berulang dan servisitis. polip serviks tidak pernah benar-benar terjadi sebelum onset
menstruasi. Hal ini biasanya terlihat pada wanita usia reproduksi. Yang paling rentan terhadap
penyakit ini adalah perempuan usia 40 sampai 50 tahun. Hal ini juga mengatakan bahwa polip
serviks dapat ditemukan pada insiden yang memicu produksi hormon. Wanita hamil memiliki
risiko yang lebih tinggi karena perubahan tingkat hormon, mungkin dari peningkatan
produksi hormon beredar juga(Callahan & Caughey, 2013; Nguyen, 2018).
2.3.3 Etiologi
Penyebab pasti timbulnya polip serviks belum diketahui, namun diduga akibat infeksi
yang tidak ditangani dengan baik, atau memang jaringan tersebut mempunyai sifat tumbuh
yang berlebihan(Callahan & Caughey, 2013; Nguyen, 2018).

2.3.4 Patofisiologi
Patofisiologi pasti dari polip serviks belum diketahui Hipotesis yang ada menduga bahwa
polip bermulai dari inflamasi kronis pada jaringan serviks (Callahan & Caughey, 2013;
Nguyen, 2018).

2.3.5 Klasifikasi
Klasifikasi berdasarkan jenis jaringan adalah cara lain untuk mengkategorikan polip.
Beberapa kategori telah disebutkan untuk menggambarkan spesies ini seperti: adenomatosa
(paling umum), kistik, berserat, vaskular, inflamasi, dan fibromiomatosa. (Tanos et al., 2017)

2.3.6 Gejala
Polip ini dapat muncul di mana saja pada serviks dan seringkali tanpa gejala. Saat
bergejala, polip serviks biasanya menyebabkan flek intermenstrual atau postcoital daripada
rasa sakit.(Callahan & Caughey, 2013 ; Nguyen, 2018)

2.3.7 Diagnosa

Penggunaan luas USG transvaginal (TVU) selama pemeriksaan ginekologi rutin telah
berkontribusi pada peningkatan akurasi dan jumlah pasien yang didiagnosis dengan polip.
Hari ke 10 siklus menstruasi adalah yang paling tepat untuk mendeteksi polip.(Tanos et al.,
2017)

Diagnosis selanjutnya dikonfirmasi dengan penggunaan sonografi infus saline kontras


(SIS), sonografi pemasangan gel (HyCoSy) atau histeroskopi. Histeroskopi dianggap sebagai
standar emas untuk diagnosis dan pengobatan polip pada wanita premenopause dan
postmenopause. (Tanos et al., 2017)

2.3.8 Manajemen
Meskipun polip serviks biasanya tidak dianggap sebagai kondisi pre-malignant, mereka
umumnya diangkat untuk mengurangi kemungkinan penyamaran penyebab perdarahan dari
sumber lain seperti kanker serviks, fibroid, adenomiosis, polip endometrium, hiperplasia
endometrium, dan kanker endometrium. Terlalu, mereka muncul sebagai struktur polipoid
khas yang menonjol dari os serviks. Kadang-kadang, polip endometrium menonjol melalui os
serviks. Mereka tidak dapat dibedakan berdasarkan penampilan kasar. Secara mikroskopis,
berbagai pola histologis yang diamati, meliputi (1) khas mukosa endoserviks, (2) inflamasi
(jaringan granulasi), (3) berserat, (4) vaskular, (5) pseudodecidual, (6) campuran endoserviks
dan endometrium, dan (7) pseudosarkoma. Pengangkatan polip serviks bertangkai biasanya
cepat dan mudah dilakukan di klinik. Namun, polip sessile (berbasis luas) atau polip yang
lebih besar mungkin memerlukan pengangkatan dengan electrokauter di klinik atau di operasi
kamar. Histeroskopi juga dapat membantu dalam membedakan polip serviks dari polip
endometrium. (Callahan & Caughey, 2013 ; Nguyen, 2018)

Gambar 4. Spesimen kasar polip endoservikal (Jain, 2014)

Patologi polip endoserviks sering menunjukkan berbagai tingkat peradangan dan edema,
dan kadang-kadang metaplasia skuamosa di ujung, terhitung dari penampilan epitel pembuluh
darah dan acetowhite yang bercabang tetapi berlimpah yang terlihat pada kolposkopi lesi ini.
(Cain, 2015)

2.3.9 Follow up

Opsi tindak lanjut dan memantau polip kecil diterima dengan baik. Salim et al.
menemukan bahwa ukuran polip berkorelasi dengan kemungkinan regresi ketika
ditindaklanjuti setelah 1 tahun. Jika tidak ada gejala, manajemen konservatif dengan tindak
lanjut teratur dapat dipilih.(Tanos et al., 2017)

2.4 Fibroid Servikal


2.4.1 Definisi

Leiomioma (mioma atau fibroid) adalah tumor jinak umum korpus uterus yang dapat
timbul juga di serviks atau prolaps ke saluran serviks dari rongga endometrium. (Callahan &
Caughey, 2013; Konar, 2016)

2.4.2 Epidemiologi

Fibroid sangat umum. Pembelahan serial uteri dari 100 wanita secara berturut-turut yang
mengalami histerektomi menemukan fibroid di 77%, beberapa di antaranya sekecil 2 mm.
Pengambilan sampel acak dari wanita berusia 35 hingga 49 tahun, yang disaring oleh laporan
diri, tinjauan rekam medis, dan sonografi, menemukan bahwa di antara wanita Afrika-
Amerika pada usia 35 kejadian fibroid adalah 60%, dan itu lebih dari 80% pada usia 50.
Wanita kulit putih memiliki insidensi 40% pada usia 35 dan hampir 70% pada usia 50.
(Jonathan, 2017)

2.4.3 Etiologi

Meskipun penyebab pasti dari fibroid tidak diketahui, kemajuan telah dibuat dalam
memahami biologi molekuler dari tumor jinak ini dan faktor hormonal, genetik, dan
pertumbuhannya.(Jonathan, 2017)

Genetik

Fibroid bersifat monoklonal dan terdiri dari serat otot polos konsentris dan jaringan ikat
fibrosa yang dikelilingi oleh pseudokapsul vaskular. Beberapa penulis berpendapat bahwa
kondisi hipoksia, mungkin berhubungan dengan menstruasi, menginduksi mutasi pada sel
induk otot polos miometrium tunggal. Sekitar 40% hingga 50% fibroid menampilkan
penyusunan ulang kromosom nonrandom dan spesifik tumor yang sebagian besar melibatkan
penghapusan, duplikasi, dan translokasi kromosom 6, 7, 12, dan 14. Perubahan molekuler
yang kompleks ini memengaruhi metabolisme energi, remodeling matriks ekstraseluler, dan
estrogen dan status reseptor progesteron. (Jonathan, 2017)

Hormon

Estrogen dan progesteron muncul untuk mendorong perkembangan fibroid. Fibroid


jarang diamati sebelum pubertas, paling banyak terjadi selama tahun-tahun reproduksi, dan
mengalami kemunduran setelah menopause. Faktor-faktor yang meningkatkan paparan
estrogen seumur hidup secara keseluruhan, seperti obesitas dan menarche dini, meningkatkan
insiden. Mengurangi paparan estrogen yang ditemukan dengan merokok, olahraga, dan
peningkatan paritas adalah perlindungan. (Jonathan, 2017)

Faktor Pertumbuhan

Faktor pertumbuhan, protein, atau polipeptida, yang diproduksi secara lokal oleh sel-sel
otot polos dan fibroblast, tampaknya merangsang pertumbuhan fibroid terutama dengan
meningkatkan matriks ekstraseluler. Banyak dari faktor pertumbuhan ini diekspresikan secara
berlebihan dalam fibroid dan meningkatkan proliferasi otot polos (TGF-β, bFGF),
meningkatkan sintesis DNA (faktor pertumbuhan epidermis [EGF], PDGF), merangsang
sintesis matriks ekstraseluler (TGF-β), mempromosikan mitogenesis (TGF-β, EGF, IGF,
prolaktin [PRL]), atau mempromosikan angiogenesis (bFGF, VEGF). (Jonathan, 2017)

2.4.4 Patofisiologi

Beberapa faktor patogenetik seperti genetika, microRNA, steroid, faktor pertumbuhan,


sitokin, kemokin, dan komponen matriks ekstraseluler telah terlibat dalam pengembangan dan
pertumbuhan leiomioma. (Ciavattini et al, 2013)

2.4.5 Klasifikasi

Sistem klasifikasi FIGO mempertahankan hubungan submukosa original tipe 0-2, tetapi
memperluas stadium ke enam kategori tambahan. Fibroid tipe 3 berbatasan dengan
endometrium tetapi sepenuhnya intramural. Tipe 4 menggambarkan fibroid sepenuhnya
intramural; tipe 5 dan 6 didefinisikan oleh hubungan dengan lapisan serosal; tipe 7
menggambarkan fibroid yang bertangkai pada permukaan sub-serosal; dan tipe 8 mengacu
pada fibroid yang ditemukan di lokasi ektopik seperti serviks. Selain itu, pementasan FIGO
memungkinkan berbagai tahap jika fibroid melintasi beberapa lapisan; misalnya, fibroid
dengan kurang dari setengah volume di rongga rahim dan meluas ke lapisan sub-serosal dapat
diberi label tipe 2-5. (Laughlin‐Tommaso et al, 2017)

2.4.6 Gejala

Leiomioma dapat menyebabkan gejala perdarahan intermenstrual mirip dengan kedua


fibroid rahim dan polip serviks. Tergantung pada lokasi dan ukurannya, polip ini juga dapat
menyebabkan dyspareunia dan tekanan padda kandung kemih atau dubur. Fibroid pada
serviks dapat menyebabkan masalah dalam kehamilan dan dapat menyebabkan perdarahan,
dilatasi serviks yang buruk, malpresentasi, atau obstruksi kanal kelahiran.(Callahan &
Caughey, 2013; Konar, 2016)

2.4.7 Diagnosa

Biasanya, fibroid ditemukan selama kunjungan ginekologi rutin dengan pemeriksaan


panggul. Pemeriksaan panggul memungkinkan dokter untuk merasakan ukuran dan bentuk
rahim; jika membesar atau berbentuk tidak teratur, fibroid mungkin dapat ditemukan.
(Ciavattini et al, 2013)

2.4.8 Manajemen

Ketika mengevaluasi fibroid serviks tanpa gejala, kemungkinan kanker serviks pada
pasien harus disingkirkan, dan kemudian fibroid dapat diikuti dengan perawatan ginekologi
rutin. Fibroid bergejala dapat diangkat dengan operasi tetapi, tergantung pada lokasinya.
Manajemen bedah lesi ini paling baik dilakukan di ruang operasi dengan perencanaan yang
memadai untuk menentukan potensi pendekatan perut dan vagina. Pengangkatan umumnya
melibatkan prosedur pembedahan yang dirancang khusus untuk pasien individu karena
bertabrakan pada kandung kemih, usus, ureter, dan bahkan uretra. Penggunaan peralatan
endoskopi atau LEEP dengan lingkaran yang pas dapat membantu dalam pengangkatan.
Merencanakan kontrol yang memadai terhadap cabang arteri serviks dari uterus penting.
Pengangkatan fibroid bertangkai pada settk klinik umumnya tidak dianjurkan, karena batas
atas lesi jarang dapat divisualisasikan atau mudah diakses, dan hubungan vascular leiomioma
serviks jarang bersifat langsung. (Callahan & Caughey, 2013; Konar, 2016)

2.4.9 Follow up

Tindak lanjut dilakukan untuk melihat gejala yang mungkin masih ada setelah tindakan
dilakukan. (Ciavattini et al, 2013)

2.5 Kondiloma akuminata

2.5.1 Definisi

Kondiloma akuminata adalah lesi jinak yang terjadi karena infeksi virus human
papilloma (HPV) tipe 6 dan 11. (Jones,2015)
2.5.2 Epidemiologi

Kondiloma serviks ditemukan pada kurang dari 6% wanita dengan kutil kelamin pada
setiap pemeriksaan spekulum. (Cain, 2015)

2.5.3 Etiologi

Kondiloma akuminatamengacu pada kutil anogenital yang disebabkan oleh human


papillomavirus (HPV). Strain HPV yang paling umum yang menyebabkan kutil anogenital
adalah 6 dan 11. HPV adalah virus DNA untai ganda yang terutama menyebar melalui kontak
seksual. Usia, gaya hidup, dan praktik seksual semuanya memainkan peran dalam kerentanan
seseorang untuk mengembangkan terjadinya kondiloma akuminata. (Pennycook&
McCready., 2019)

2.5.4 Patofisiologi

HPV merupakan virus DNA untai ganda yang terutama menginfeksi inti sel epitel
skuamosa yang berdiferensiasi. Virus DNA dapat tetap dalam fase laten selama beberapa
bulan, menghasilkan masa inkubasi satu bulan hingga dua tahun. Genom HPV mengandung
onkogen, yang mengkode protein yang merangsang proliferasi sel. Protein ini memungkinkan
virus untuk bereplikasi melalui DNA polimerase sel inang sementara sel inang mengalami
pembelahan sel. Ketika jumlah sel inang yang terinfeksi virus tumbuh, lapisan basal,
spinosus, dan granular dari epidermis menebal, menyebabkan acanthosis dan penampakan
kutil secara makroskopis. Kondyloma akuminata umumnya membutuhkan waktu tiga hingga
empat bulan untuk terbentuk. Pada orang yang sehat, respon imun yang memadai dapat
menghentikan replikasi virus dan menyelesaikan infeksi seiring waktu. Namun, infeksi HPV
yang berkepanjangan meningkatkan risiko mengembangkan transformasi ganas.
(Pennycook& McCready., 2019)

2.5.5 Klasifikasi

Diklasifikasikan sebagai klinis atau subklinis, bergantung pada infektivitas virus dan
respons epitel yang terkena. (Horbeltand Delmore., 2008)
2.5.6 Gejala

Kondyloma akuminata biasanya tidak menunjukkan gejala, meskipun kadang-kadang


dapat menyebabkan perdarahan, pruritus, dan nyeri. Pasien umumnya akan datang dengan
tekanan psikologis dan psikoseksual akibat adanya lesi. Kondyloma akuminata juga dapat
ditemukan secara tidak sengaja selama pemeriksaan ginekologi wanita rutin. Munculnya lesi
tergantung pada jenis HPV dan tempat infeksi. Sementara kondyloma akuminata umumnya
terjadi di daerah anogenital, lesi juga dapat hadir di rongga mulut. Lesi simultan pada regio
anogenital menunjukkan penularan seksual, tetapi fomites juga dapat menjadi sumber
kondyloma akuminata yang ada di rongga mulut. (Pennycook& McCready., 2019)

2.5.7 Diagnosa

Kondiloma serviks secara histologis menunjukkan papillomatosis, acanthosis,


parakeratosis, dan hiperkeratosis. Pada perbesaran yang lebih tinggi, perubahan koilocytik
merupakan fitur yang menonjol dengan keratinisasi sel individu dan multinukleasi. Seringkali
terdapat infiltrat inflamasi pada stroma serviks yang mendasarinya. Kondiloma sering
dikaitkan dengan perubahan CIN. Lesi kecil hanya dapat terlihat melalui tampilan kolposkopi
dan aplikasi asam asetat setelah hasil sitologi atipikal sel-sel signifikansi yang tidak pasti
(ASCUS). Lesi yang lebih besar biasanya rapuh dan dapat memiliki gejala perdarahan
postcoital yang akan meningkatkan kepedulian terhadap keganasan. Jika seorang pasien
memiliki vulva condylomata, berhati-hatilah inspeksi epitel vagina dan serviks untuk
kondilomata subklinis atau klinis jelas diperlukan. Evaluasi menyeluruh dari lesi ini
memerlukan skrining serviks (HPV / sitologi) dan biopsi lesi khas dengan atau tanpa
kolposkopi pada evaluasi awal. Sementara condylomata paling sering dikaitkan dengan HPV
tipe 6, 11, 42, 43, dan 44 dan potensi keganasan rendah, kehadiran mereka menunjukkan
bahwa jenis HPV lain mungkin hadir dengan potensi yang lebih tinggi untuk berkembang
menjadi penyakit preinvasive atau ganas. (Cain, 2015)

2.5.8 Manajemen

Manajemen pada serviks berbeda dari area vulva di mana aplikasi langsung agen seperti
TCA (asam trichloroacetic) atau imiquimod dapat dicapai dengan sedikit penyerapan
langsung. mengingat sifat kulit vagina dan serviks, Manajemen lesi ini cenderung sangat
bergantung pada pengangkatan langsung melalui penggunaan forsep biopsi, kauterisasi,
LEEP, atau laser sesuai dengan ukuran dan lokasi lesi serta ketersediaan modalitas ini.
Manajemen bermasalah pada wanita yang sedang hamil, yang imunosupresan, atau yang
memiliki kondilomata rekuren kronis. Selama kehamilan lebih diutamakan dilakukan
observasi. Pengangkatan dengan terapi berbasis LEEP dapat dipertimbangkan hanya bila ada
kekhawatiran tentang perdarahan signifikan yang berhubungan dengan serviks dan atau
dilatasi vagina pada saat proses persalinan tetapi membawa risiko yang tidak pasti. Terdapat
proporsi regresi kondilomata secara signifikan setelah kehamilan, jadi terapi lebih ditargetkan
untuk penilaian postpartum jika kondiloma tidak dianggap mengganggu persalinan secara
signifikan. Penggunaan obat topikal umumnya dilarang dalam kehamilan bahkan untuk lesi
eksternal. (Jain, 2014)

Gambar 5. A. Kondilomata B. Kondilomata tidak terlihat setelah pengaplikasian asam


asetat (Cain, 2015)

2.5.9 Follow up

Diharapkan pada pasien dilakukan skrining kanker serviks menurut pedoman skrining
kanker serviks berasal dari pedoman American Cancer Society dan tidak memerlukan
modifikasi dengan ada atau tidak adanya kutil kelamin. Tidak ada indikasi untuk wanita
berusia di bawah 21 tahun untuk diskrining kanker serviks. Wanita berusia 21 hingga 29
harus menerima skrining dengan pap smear sitologi sendirian setiap tiga tahun. Antara usia 30
hingga 65 tahun, wanita harus menjalani tes sitologi setiap tiga tahun, atau kombinasi tes
virus HPV dan tes sitologi setiap lima tahun. Skrining kanker serviks setelah usia 65 bukan
merupakan rekomendasi jika pasien memiliki tes negatif yang memadai. (Pennycook&
McCready., 2019)

2.6 Endometriosis

2.6.1 Definisi

Endometriosis didefinisikan sebagai adanya jaringan seperti-endometrium (kelenjar dan /


atau stroma) di luar rahim. Situs implantasi yang paling sering adalah viscera panggul dan
peritoneum tetapi, meskipun jarang, itu juga dapat ditemukan di perikardium, pleura, paru-
paru, dan bahkan otak. (Jonathan, 2012)

2.6.2 Epidemiologi

Endometriosis ditemukan terutama pada wanita usia reproduksi tetapi dilaporkan pada
remaja dan pada wanita pascamenopause yang menerima terapi penggantian hormon. Hal ini
ditemukan pada wanita dari semua kelompok etnis dan sosial. Perkiraan frekuensi
endometriosis sangat bervariasi, tetapi prevalensi kondisi ini diperkirakan sekitar 10% wanita
usia reproduksi. (Jonathan, 2012)

2.6.3 Etiologi

Endometriosis serviks (Gambar 7) dapat meniru beberapa lesi, termasuk penyakit


trofoblas gestasional (PTG), karena sifatnya yang sangat vaskular. Etiologi endometriosis
pada serviks tidak jelas, tetapi trauma sebelumnya pada serviks dan riwayat endometriosis
adalah petunjuk potensial.(Cain, 2015)

Gambar 7. Endometriosis serviks (Cain, 2015)

2.6.4 Patofisiologi

Teori yang paling banyak dipegang melibatkan refluks retrograde jaringan menstruasi
dari tuba falopi selama menstruasi. Dua kemungkinan lain adalah metaplasia selomik dan
teori-teori embrionik rest. Metaplasia coelomic berhipotesis bahwa mesothelium yang
menutupi indung telur invaginasi ke dalam indung telur, kemudian mengalami metaplasia ke
dalam jaringan endometrium. Teori sandaran embrionik berhipotesis bahwa sisa-sisa
Mullerian di wilayah rektovaginal berdiferensiasi menjadi jaringan endometrium. (Nelson.,
2018)

2.6.5 Klasifikasi

Diklasifikasikan menjadi 4 stadium : I-minimal, II-ringan, III-sedang, dan IV-parah


berdasarkan lokasi, luas, dan kedalaman implan endometriosis yang tepat serta keberadaan
dan tingkat keparahan jaringan parut serta keberadaan dan ukuran implan endometrium di
ovarium. (Nelson., 2018)

2.7.6 Gejala

Endometriosis biasanya merupakan temuan insidental apabila ditemukan di serviks.


Namun, endometriosis dapat bermanifestasi sebagai massa atau perdarahan abnormal,
terutama pascakoitus. Endometriosis mungkin muncul sebagai lesi biru-kebiru-biruan
berdiameter 1-3 mm.(Nguyen, 2018)

Gejala dari lesi serviks umumnya terkait dengan perdarahan atau keputihan, dan nyeri
panggul lebih mungkin disebut dari implan endometriotic pada tempat lain di panggul.
Daerah-daerah ini berespon dengan terapi umum untuk endometriosis (contohnya penggunaan
Lupron), dan bila tidak berespons harus dilakukan biopsi untuk memastikan diagnosis.(Cain,
2015)

2.7.7 Diagnosa

Riwayat dan pemeriksaan fisik untuk mengevaluasi kemungkinan sifat lesi, termasuk
penilaian laboratorium terhadap human chorionic gonadotropin semuanya perlu
dipertimbangan untuk biopsi atau perawatan. Biopsi daerah penyakit trofoblas umumnya
dihindari, karena neovaskularisasi invasif yang menyertai lesi ini dapat menyebabkan
perdarahan yang signifikan, tidak seperti implan endometriotik yang kecil kemungkinannya
mengalami perdarahan postbiopsi. (Cain, 2015)

Diagnosis dibuat dengan kolposkopi dan kolposkopi dengan biopsi tetapi kadang-kadang
hal ini sulit dilakukan. Secara mikroskopis, implan adalah endometriosis yang khas, terdiri
dari kelenjar endometrium, stroma endometrium. (Nguyen, 2018)
2.7.8 Manajemen

Penatalaksanaan endometriosis harus dilakukan secara individual, dengan


mempertimbangkan masalah klinis secara keseluruhan, termasuk dampak penyakit dan efek
perawatannya terhadap kualitas hidup. Rekomendasi berbasis bukti yang terus diperbarui
dapat ditemukan dalam pedoman ESHRE untuk manajemen klinis endometriosis. Pada
kebanyakan wanita dengan endometriosis, pemeliharaan fungsi reproduksi diinginkan.
(Jonathan, 2012) Pilihan perawatan medis dilakukan berdasarkan profil efek samping, biaya
dan preferensi pribadi. Obat antiinflamasi non steroid (NSAID) dan pil kontrasepsi oral
kombinasi dosis rendah (COCP) seperti etil estradiol dan progestin adalah obat pilihan
pertama. Jika pasien tidak merespons NSAID dalam tiga bulan, pengobatan lini kedua
digunakan yang mencakup progestin (oral, injeksi dan intra-uterin), androgen, dan agonis
hormon pelepas gonadotropin (GnRH) yang mengurangi nyeri sedang hingga berat
endometriosis. (Parasar et al., 2017)

Pasien endometriosis dengan simptomatik dapat diobati dengan analgesik, hormon,


operasi, atau kombinasi dari modalitas ini. Terlepas dari profil klinis (infertilitas, nyeri,
temuan asimptomatik), pengobatan endometriosis dapat dibenarkan karena endometriosis
tampaknya berkembang pada 30% hingga 60% pasien dalam satu tahun. (Jonathan, 2012)

Bergantung pada keparahan penyakit, diagnosis dan pengangkatan endometriosis harus


dilakukan secara bersamaan pada saat operasi, asalkan persetujuan pra operasi diperoleh.
Tujuan pembedahan adalah untuk membuang semua lesi endometriotik yang terlihat dan
adhesi yang terkait seperti lesi peritoneum, kista ovarium, endometriosis rektovaginal yang
dalam dan untuk mengembalikan anatomi yang normal. Pada kebanyakan wanita, laparoskopi
dapat digunakan, dan teknik ini mengurangi biaya, morbiditas, dan kemungkinan perulangan
adhesi pasca operasi. Laparotomi harus disediakan untuk pasien dengan penyakit stadium
lanjut yang tidak dapat menjalani prosedur laparoskopi dan bagi mereka yang tidak
memerlukan konservasi kesuburan. (Jonathan, 2012)

2.7.9 Follow up

Tindak lanjut dilakukan untuk melohat adanya rekurensi dan gejala. (Jonathan, 2012)

2.8 Adenomyoma serviks

2.8.1 Definisi
Adenomyoma serviks adalah tumor biphasic jinak langka yang menunjukkan kelenjar
endoserviks dan proliferasi otot polos dan kadang-kadang dapat dikacaukan dengan adenoma
malignum. (Hauptmann et al, 2015)

2.8.2 Epidemiologi

Tumor ini jarang terjadi di dalam serviks.(Hauptmann et al, 2015)

2.8.3 Etiologi

Ketidakseimbangan hormon, terutama estrogen atau prolaktin, berperan dengan


menginduksi diferensiasi dan proliferasi miofibroblastik (Hauptmann et al, 2015)

2.8.4 Patofisiologi

Patogenesis Adenomyoma serviks tidak jelas (Hauptmann et al, 2015)

2.8.5 Klasifikasi

Tiga kategori umum adenomioma diketahui: (i) adenomioma tipe endoserviks, (ii)
adenomioma polipoid atipikal dan (iii) adenomioma tipe endometrium. Adenomioma tipe
endoserviks memiliki kelenjar berlendir, kadang-kadang mikrokistik, biasanya tanpa atypia
epitel.(Hauptmann et al, 2015)

2.8.6 Gejala

Adenomioma serviks biasanya berupa lesi polipoid dengan bagian permukaan yang
tegas.(Hauptmann et al, 2015)

2.8.7 Diagnosa

Tumor ini terdiri dari komponen kelenjar jinak dan komponen mesenchymal jinak yang
dominan atas otot polos.(Hauptmann et al, 2015)
2.8.8 Manajemen

Polipektomi sederhana atau eksisi lokal menyembuhkan sebagian besar adenomioma


serviks.(Hauptmann et al, 2015)

2.8.9 Follow up

Tindak lanjut dilakukan untuk melihat adanya komplikasi. (Hauptmann et al, 2015)

DAFTAR PUSTAKA
Cain JM. 2015. Diagnosis and Therapy of Benign and Preinvasive Disease of the Cervix.
Glob Libr Women’s Med, pp 1–12.

Callahan, T. and Caughey, A.B., 2013. Blueprints obstetrics and gynecology (Vol. 6).


Lippincott Williams & Wilkins.

Ciavattini, A., Di Giuseppe, J., Stortoni, P., Montik, N., Giannubilo, S.R., Litta, P., Islam, M.,
Tranquilli, A.L., Reis, F.M. and Ciarmela, P., 2013. Uterine fibroids: pathogenesis and
interactions with endometrium and endomyometrial junction. Obstetrics and gynecology
international, 2013.

Fogel, S.R. and Slasky, B.S., 1982. Sonography of nabothian cysts. American Journal of
Roentgenology, 138(5), pp.927-930.

Hauptmann, S., Mohr, K. and Grosse, R., 2015. Adenomyoma of Endocervical Type of the
Cervix Uteri with Reactive Atypia and Goblet Cell Differentiation–A Case Report and
Review of the Literature. Obstet Gynecol Cases Rev., 2, p.6.

Jain A, Jain R, Iqbal B. 2014. Benign and Malginant Lesions of the cervix, Spectrum of
Cervical Neoplasms, pp 400.

Jonathan S.. Berek, 2012. Berek & Novak's Gynecology. Lippincott Williams & Wilkins.

Jones I. 2015. A GP’s guide to benign vulvar lesions. Med Today, 16(3):19–22.

Konar, H., 2016. DC Dutta's textbook of gynecology. JP Medical Ltd.


Korets, S, Cain, J., 2015. Diagnosis and Therapy of Benign and Preinvasive Disease of the
Cervix. Glob. libr. women's med.

Laughlin‐Tommaso, S.K., Hesley, G.K., Hopkins, M.R., Brandt, K.R., Zhu, Y. and Stewart,
E.A., 2017. Clinical limitations of the International Federation of Gynecology and Obstetrics
(FIGO) classification of uterine fibroids. International Journal of Gynecology &
Obstetrics, 139(2), pp.143-148.

Nelson, P., 2018. Endometriosis presenting as a vaginal mass. Case Reports, 2018, pp.bcr-


2017.

Nguyen, K.H.D., 2018. Benign Cervical Lesions

Parasar, P., Ozcan, P. and Terry, K.L., 2017. Endometriosis: epidemiology, diagnosis and
clinical management. Current obstetrics and gynecology reports, 6(1), pp.34-41.

Pennycook, K.B. and McCready, T.A., 2019. Condyloma Acuminata. In StatPearls.


StatPearls Publishing.

Pushpalatha, K., Mishra, P. and Bag, N.D., 2015. An unprecedented large mesonephric cyst
posing diagnostic dilemma and surgical challenge. Int. J. Reprod. Contracept. Obstet.
Gynecol, 4, pp.905-907.

Tanos, V., Berry, K.E., Seikkula, J., Abi Raad, E., Stavroulis, A., Sleiman, Z., Campo, R. and
Gordts, S., 2017. The management of polyps in female reproductive organs. International
Journal of Surgery, 43, pp.7-16.

Anda mungkin juga menyukai