Anda di halaman 1dari 12

Laporan Praktikum Ke-2 Tanggal mulai : 30 September 2016

MK. Evaluasi Nilai Gizi (GIZ311) Tanggal selesai: 30 September 2016

PENENTUAN DAYA CERNA PATI IN VITRO

Oleh :

Kelompok 5 E4
I Komang Gede Widiana I14140088
Muthia Farah Diba D. I14140091
Khodijah I14150096
Arfira Deli Malinda I14140097
Marestry Nuzul Annur I14140111
Yenita I14154013

Asisten Praktikum:
I Putu Agus Mahendra Yasa, S.Gz
Kevin Arthur
Reisya Rizki R, S.Gz

Penanggung Jawab Praktikum:


Prof. Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS.

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2016
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Karbohidrat adalah polihidroksida aldehid atau polihidroksiketon dan


meliputi kondensat polimer – polimernya yang terbentuk (Winarno 2004).
Menurut Tejasari (2005) Glukosa (hasil karbohidrat yang sudah di cerna)
berfungsi sebagai penyedia energi satu-satunya bagi sistem saraf pusat dan otak.
Karbohidrat lainnya, seperti polisakarida berfungsi dalam pengaturan gerak
peristaltik usus, dan member muatan dan bentuk pada sisa makanannya
Pati merupakan sumber utama karbohidrat dalam pangan. Pati adalah
bentuk penting polisakarida yang tersimpan dalam jaringan tanaman, berupa
granula dalam kloroplas daun serta dalam amiloplas pada biji dan umbi. Pati
merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik yang terdiri dari dua
fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi yang larut air disebut
amilosa (polimer linear), sedangkan polimer yang tidak larut air disebut
amilopektin (polimer bercabang) (Sajilata et al. 2006). Amilosa memberikan sifat
keras (pera) sedangkan amilopektin menyebabkan sifat lengket. Komposisi
amilosa dan amilopektin berbeda dalam pati berbagai bahan makanan.
Amilopektin pada umumnya terdapat dalam jumlah lebih besar. Sebagian besar
pati mengandung antara 15% dan 30% amilosa (Almatsier 2011).
Daya cerna pati merupakan aspek mutu karbohidrat yang penting. Daya
cerna pati adalah persentase pati yang dapat dipecah oleh enzim dan asam menjadi
maltosa. Enzim pemecah pati dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu endo-
amilase dan ekso-amilase. Enzim alfa-amilase termasuk ke dalam golongan endo-
amilase yang bekerja memutus ikatan di dalam molekul amilosa dan amilopektin
(Tejasari 2005). Penentuan daya cerna pati dapat dilakukan secara in vivo maupun
in vitro. Penentuan pati secara in vitro relatif lebih mudah dibandingkan analisis
secara in vivo dimana pada analisis in vivo pati biasanya sudah diubah menjadi
energi (proses berlangsung didalam tubuh manusia) sehingga sulit untuk dianalisis
daya cernanya. Sedangkan pada in vitro analisis yang dilakukan itu diluar tubuh
akan tetapi dikondisikan seperti dalam tubuh manusia.
Daya cerna pati dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah
ukuran partikel, kadar serat, kandungan protein dan lemak, kandungan amilosa
dan amilopektin, proses pengolahan, dan zat anti gizi. Oleh karena itu, penting
dilakukan praktikum mengenai daya cerna pati dalam pangan agar dapat
mengetahui daya cerna pati beberapa jenis pangan sehingga kita sebagai calon ahli
gizi dapat membantu memilih bahan makanan sebagai anjuran bagi seseorang
untuk dapat mengonsumsi jenis pangan yang sesuai untuk kondisi tertentu.

Tujuan
Praktikum daya cerna pati in vitro ini bertujuan untuk mengetahui daya
cerna pati dari beberapa jenis bahan pangan (tepung kanju, tepung beras, tepung
meizena, oatmeal, tepung ketan dan pati murni) dengan menggunakan enzim.
TINJAUAN PUSTAKA

Pati dan Daya Cerna Pati

Pati merupakan zat tepung dari karbohidrat dengan suatu polimer senyawa
glukosa yang terdiri dari dua komponen utama, yaitu amilosa dan amilopektin.
Polimer linier dari D-glukosa membentuk amilosa dengan α 1,4-glukosa
sedangkan polimer amilopektin adalah terbentuk ikatan α 1,4-glukosida dan
membentuk cabang pada ikatan dari ikatan α 1,6-glukosida (Almatsier 2004).
Daya cerna pati adalah tingkat kemudahan suatu jenis pati untuk dapat
dihidrolisis oleh enzim pemecah pati menjadi unit-unit yang lebih kecil. Sampel
dihidrolisis oleh enzim α-amilase menjadi unit-unit sederhana seperti maltosa.
Kandungan maltosa sampel ditentukan berdasarkan kurva standar maltosa. Daya
cerna pati dihitung sebagai persentase relatif terhadap pati murni (Gustiar 2009).
Daya cerna pati dipengaruhi oleh komposisi amilosa atau amilopektin.
Amilosa dicerna lebih lambat dibandingkan dengan amilopektin karena amilosa
merupakan polimer dari gula sederhana dengan rantai lurus, tidak bercabang.
Rantai yang lurus ini menyusun ikatan amilosa yang kuat sehingga tidak mudah
tergelatinasi. Oleh karena itu amilosa lebih sulit dicerna dibandingkan dengan
amilopektin (Behall & Hallfrisch 2002). Pati yang mengandung kadar amilopektin
lebih tinggi akan lebih cepat dicerna dibanding dengan kadar amilosa tinggi.
Amilopektin memiliki area permukaan yang lebih luas tiap molekulnya sehingga
lebih mudah dipecah oleh enzim amilolitik menjadi bentuk yang lebih sederhana.
Selain itu, amilopektin juga merupakan polimer gula sederhana, bercabang dan
struktur terbuka.
Daya cerna pati pada masing-masing bahan pangan berbeda-beda satu
dengan lainnya. Tepung maizena memiliki daya cerna sebesar 95.8%, tepung
beras memiliki daya cerna sebesar 97.9% dan pada tepung kanji sebesar 97.4%
(Ramadhan 2009). Daya cerna pada oatmeal yaitu 32.4% (FSANZ 2015). Tepung
ketan merupakan beras ketan berwarna putih, tidak transparan, seluruh atau
hampir seluruh patinya merupakan amilopektin.Tepung ketan memiliki
kandungan amilopektin lebih tinggi daripada amilosanya (Almatsier 2010).
Struktur kimia amilopektin yang bercabang menyebabkan struktur gel yang
terbentuk lebih kuat daripada amilosa sehingga pati lebih lambat dicerna. Pati
murni diasumsikan dapat dicerna dengan sempurna dalam saluran pencernaan.
Daya cerna pati merupakan parameter yang menunjukkan kemampuan pati untuk
dapat dicerna dan diserap dalam tubuh. (Ratnaningsih 2010).

Faktor yang Mempengaruhi Daya Cerna Pati

Proses penggilingan menyebabkan struktur dalam bahan pangan menjadi


halus sehingga pangan tersebut mudah dicerna. Ukuran partikel dapat
mempengaruhi proses gelatinisasi pati. Ukuran pati yang semakin kecil maka
semakin mudah pati tersebut terdegradasi oleh enzim. Apabila pati dipanaskan,
granula pati akan membengkak dan pecah sehingga pati tergelatinasi. Pati yang
sudah masak lebih mudah tercerna dibandingkan pati yang masih mentah.
Semakin rendah tingkat gelatinisasinya maka semakin lambat daya cerna pati
tersebut(Calixto dan Abia 1991).
Keberadaan lemak dan protein dapat memperlambat pengosongan
lambung sehingga pencernaan pati pun lambat. Kadar serat kasar maupun larut
dalam bahan pangan dapat meningkatkan viskositas pangan di dalam usus
sehingga interaksi antar enzim akan terhambat. Amilosa adalah polimer gula
sederhana yang tidak bercabang, sedangkan amilopektin adalah polimer glukosa
sederhana yang bercabang dan memiliki ukuran molekul lebih besar. Amilosa
lebih lambat dicerna karena amilosa memiliki struktur rantai lurus yang
mengandung ikatan solid sehingga sulit tergelatinasi(Singh et al. 2010). Zat anti
gizi dalam bahan pangan dapat tetap aktif setelah melalui proses pemasakan.
Contoh zat anti gizi adalah fitat dan tanin. Kedua senyawa tersebut dapat
memperlambat daya cerna pati(Harijono et al. 2012).

Metode In Vitro

Penentuan daya cerna pati dapat dilakukan secara in vivo maupun in vitro.
Teknik in vitro atau yang dikenal dengan dengan teknik mengukur daya secara
laboratoris adalah suatu teknik alternatif untuk memecahakan permasalahan yang
terdapat pada teknik in vivo (Soebarinoto et al.1990).Penelitian secara in vitro
merupakan penelitian yang dilakukan dengan meniru keadaan langsung yang
berada dalam lapang. Hal ini dapat dilakukan dengan bahan-bahan dan alat-alat
yang dapat disetting sedemikian rupa sehinggaa dapat menyerupai keadaan di
lapangan.
Prinsip penentuan daya cerna pati secara in vitro dilakukan dengan
memberikan perlakuan tertentu agar pati dalam bahan pangan terhidrolisis oleh
enzim α-amilase menjadi unit-unit yang lebih kecil (gula sederhana). Menurut
Winarno (2002) hidrolisis enzim α-amilase pada amilosa melalui dua tahap.
Tahap pertama yaitu degradasi amilosa menjadi maltosa dan maltotriosa yang
terjadi secara acak. Tahap selanjutnya yaitu  pembentukan glukosa dan maltosa
sebagai akhir secara tidak acak dan berjalan lebih lambat.

METODOLOGI

Waktu dan Tempat

Praktikum dilakukan pada hari Jumat, 30 September 2016 pukul 08.00-


11.00 WIB di Laboratorium Kimia dan Analisis Makanan, Departemen Gizi
Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam praktikum penentuan daya cerna pati in viitro
adalah tabung reaksi, pipet volumetrik, bulb, inkubasi, dan spektrofotometer.
Bahan yang digunakan adalah sampel (tepung kanji, tebung beras, tepung
maizena, oatmeal, tepung ketan, dan tepung pati), 3 ml air destilasi, 2 ml sampel
yang telah dipanaskan, 5 ml larutan buffer, 5 ml larutan alfa amylase, dan 2 ml
pereaksi DNS.

Prosedur Kerja

Praktikum penentuan daya cerna pati in vitro ini menggunakan enzim alfa-
amilase yang memecah pati menjadi maltosa. Maltosa kemudian diukur
jumlahnya dengan spektrofotometer. Berikut ini adalah prosedur percobaan dari
praktikum ini.

Dicampurkan 3 ml air destilasi dengan 2 ml sampel yang sudah dipanaskan



Ditambahkan 5 ml larutan buffer

Diinkubasi pada suhu 37oC dalam waktu 15 menit

Setelah diinkubasi 15 menit, dimasukkan enzim alfa amylase sebanyak 5 ml

Diinkubasi pada suhu 37oC selama 30 menit

Diambil 1 ml larutan

Ditambah 2 ml pereaksi DNS

Dipanaskan pada suhu 100oC selama 10 menit

Ditambah 10 ml air destilasi

Dibaca absorbansinya pada panjang gelombang 520 nm
Gambar 1 Diagram alir proses mengukur daya cerna pati

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pati merupakan zat tepung dari karbohidrat dengan suatu polimer senyawa
glukosa yang terdiri dari dua komponen utama, yaitu amilosa dan amilopektin
(Almatsier 2004). Sampel dihidrolisis oleh enzim α-amilase menjadi unit-unit
sederhana seperti maltosa. Kandungan maltosa sampel ditentukan berdasarkan
kurva standar maltosa. Kurva standar maltosa diperoleh dari pembacaan
absorbansi spektrofotometer. Daya cerna pati dihitung sebagai persentase relatif
terhadap pati murni (Gustiar 2009).
Penentuan daya cerna pati secara in vitro dilakukan terhadap sampel
tepung kanji, tepung beras, oatmeal, tepung maizena, tepung maizena dan tepung
pati (kontrol). Berikut ini adalah tabel hasil perhitungan daya cerna pati pada
masing-masing sampel.
Tabel 1 Daya cerna pati masing-masing sampel
Sampel Daya Cerna
Tepung Kanji 76,45%
Tepung Beras 98,55%
Oatmeal 79,36%
Tepung Maizena 178,20%
Tepung Ketan 150,58%

Hasil praktikum menunjukkan bahwa daya cerna tertinggi hingga terendah


berturut-turut adalah tepung maizena, tepung ketan, tepung beras, oatmeal dan
tepung kanji. Menurut Ramadhan (2009), daya cerna pada tepung maizena sebesar
95.8% sedangkan pada tepung beras yaitu sebesar 97.9%. Pada kedua sampel
tersebut didapatkan persentase daya cerna sampel praktikum lebih besar
dibandingkan dengan literatur. Pada sampel tepung kanji, persentase lebih besar
dibandingkan dengan literatur yaitu sebesar 76.45% sedangkan menurut
Ramandhan (2009) persentase daya cerna tepung kanji sebesar 97.4%. Sampel
oatmeal memiliki persentase daya cerna lebih besar dibandingkan dengan
literatur. Menurut FSANZ (2015) daya cerna pada oatmeal adalah 32.4%. Daya
cerna tepung ketan lebih tinggi bandingkan dengan pati murni yaitu sebesar
150.58% yang berarti tepung ketan lebih cepat dicerna dibandingkan pati
sedangkan menurut (Almatsier 2010) tepung ketan memiliki kadar amilopektin
yang lebih tinggi dibandingkan dengan kadar amilosa. Struktur kimia amilopektin
yang bercabang menyebabkan struktur gel yang terbentuk lebih kuat daripada
amilosa sehingga pati lebih lambat dicerna.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi daya cerna pati antara lain kadar
amilosa dan amilopektin, kadar protein dan lemak, kadar zat anti gizi, kadar serat,
serta proses pengolahan. Kandungan amilosa pada beberapapati sumber bahan
pangan yaitu tepung kanji17%, beras 28.60%, oat 29.40%, maizena 28.70%, dan
ketan 1.43% (Eliasson dan Gudmundsson 1996). Pati dengan kandungan amilosa
yang rendah dapat lebih cepat dicerna dibandingkan dengan kandungan amilosa
yang tinggi. Amilosa lebih sulit dicerna oleh tubuh karena amilosa memiliki
struktur yang lurus dan solid yang sulit tergelatinisasi (Singhet al. 2010). Hal ini
berarti tepung ketan memiliki daya cerna pati yang tinggi dibandingkan tepung
lainnya.
Proses pengolahan dapat meningkatkan maupun menurunkan daya cerna
pati. Proses pendinginan pati yang telah tergelatinisasi akan mengakibatkan
perubahan pada struktur pati tersebut. Perubahan struktur tersebut akan
membentuk pati teretrogradasi yaitu pati dengan kristal baru yang tidak larut.
Gelatinisasi dan retrogradasi pada proses pengolahan pati memiliki pengaruh
terhadap daya cerna pati pada proses pencernaan oleh enzim amilase di dalam
usus halus. Apabila pati dipanaskan, granula pati akan membengkak dan pecah
sehingga pati tergelatinasi. Pati yang sudah masak lebih mudah tercerna
dibandingkan pati yang masih mentah. Semakin rendah tingkat gelatinisasinya
maka semakin lambat daya cerna pati tersebut (Calixto dan Abia 1991).
Kadar protein pada tepung kanji, tepung beras, tepung maizena, oat, dan
tepung ketan masing-masing adalah 0.5 g, 7 g, 9.2 g, 4 g, dan 7.4 g. Sedangkan
kadar lemak secara berurutan masing-masing 0.3 g, 0.5 g, 3.9 g, 3.5 g, dan 0.8 g.
Keberadaan protein dan lemak yang tinggi dalam bahan pangan dapat
menyebabkan pencernaan pati menjadi lambat. Hal ini menunjukkan bahwa
secara umum tepung maizena merupakan sampel yang memiliki daya cerna pati
terendah, sedangkan tepung kanji tercepat (Tester dan Karkalas 1996). Kadar serat
pada sampel tepung kanji, tepung beras, tepung maizena, oat, dan tepung ketan
masing-masing adalah 0 g, 2.4 g, 0.9 g, 3 g, dan 1.7 g. Keberadaan serat dalam
bahan pangan mempengaruhi viskositas di dalam usus sehingga daya cerna pati
dapat terhambat. Hal ini menunjukkan bahwa oat memiliki daya cerna pati
terendah dibandingkan sampel lainnya (Tester dan Karkalas 1996). Zat anti gizi
juga dapat menghambat pencernaan pati. Contoh zat anti gizi adalah fitat dan
tanin. Tepung jagung dan oat mengandung fitat. Fitat dapat terdenaturasi apabila
dilakukan pemanasan pada suhu 65oC. Tanin merupakan senyawa fenolik yang
larut dalam air. Sampel yang mengandung tanin adalah tepung kanji, tepung
ketan, dan oat (Harijono et al. 2012).
Penentuan daya cerna pati dilakukan secara in vitro, hal ini dilakukan
karena penentuan pati secara in vitro relatif lebih mudah dibandingkan analisis
secara in vivo dimana pada analisis in vivo pati biasanya sudah diubah menjadi
energi (proses berlangsung didalam tubuh manusia) sehingga sulit untuk dianalisis
daya cernanya, sedangkan pada in vitro analisis yang dilakukan itu diluar tubuh
akan tetapi dikondisikan seperti dalam tubuh manusia (Soebarinoto et al.1990).
Kelebihan lain dari teknik in vitro adalah dapat dilakukan secara tepat
dalam waktu yang singkat dan tidak menggunakan terlalu banyak biaya karena
jumlah sampel yang digunakan sedikit, kondisi mudah dikontrol dan dapat
mengevaluasi lebih dari satu macam kecernaan bahan dalam waktu yang sama.
Kelemahan teknik in vitro sendiri adalah memerlukan persyaratan-persyaratan
yang khusus, baik dari alat, bahan atau pun sampel. Sedikit kesalahan pada teknik
in vitro akan berakibat kegagalan dalam meniru kondisi selular secara tepat,
dimana penelitian in vitro dapat menghasilkan kesimpulan yang tidak sesuai
dengan keadaan organisme hidup.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Praktikum ini menggunakan dua jenis makanan uji berupa nasi dan roti,
sedangkan standar yang digunakan adalah glukosa. Indeks glikemik pada roti
dengan metode perhitungan polinomial diperoleh sebesar 65, dengan metode
trapezoid diperoleh sebesar 105, dan dengan menggunakan metode luas bangun
diperoleh sebesar 59. Indeks glikemik pada nasi dengan metode polinomial
diperoleh sebesar 27, dengan metode trapezoid diperoleh sebesar 146, dan dengan
metode luas bangun diperoleh sebesar 27. Metode yang paling baik digunakan
sesuai dengan hasil perhitungan indeks glukosa makanan khususnya untuk nasi
dan roti adalah metode trapezoid. Hasil perhitungan indeks glikemik pada
praktikum yang berbeda dari literatur disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain
cara pengolahan makanan, jumlah pati, keberadaan komponen pangan lainnya
seperti zat antigizi, dan sebagainya.
Saran

Praktikanyang menjadi responden sebaiknya diperbanyak agar data yang


didapat lebih akurat.Praktikan juga sebaiknya menjaga suasana praktikum lebih
kondusif agar praktikum dapat berjalan lancar.

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka.


Almatsier S. 2010. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka.
Almatsier S. 2011. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka
Behall KM, Hallfrisch J. 2002. Plasma glucoce and insulin reduction
after consumption of bread varying in amylose content. Eur J Clin Nutr 56
(9):913-920.
Calixto FS dan Abia R. 1991. Perancangan Percobaan untuk Menganalisis Data
Biometri. Medan (ID) : Universitas Sumatera Utara.
Eliasson AC dan Gudmundsson M. 1996. Starch : Physicochemical and functional
aspects. Carbohydrates In Food. New York (US) : Marcel Dekker Inc.
[FSANZ] Food Standard Australia New Zeland. 2015. Biscuit, sweet, oatmeal,
commercial [Internet]. Diunduh 2016 Oktober 5. Tersedia pada
http://www.foodstandards.gov.au./science/monitoringnutrients/ausnut/ausn
utdata/pages/foodnutrient.aspx
Gustiar H. 2009. Sifat Fisiko-Kimia dan Indeks Glikemik Produk Cookies
Berbahan Baku Pati Garut (Maranta arundinacea L.) Termodifikasi. Bogor
: IPB.
Harijono, Susanto WH, dan Ismet F. 2012. Studi Penggunaan Proporsi Tepung
(Sorgum Ketan dengan Beras Ketan) dan Tingkat Kepekatan Santan yang
Berbeda terhadap Kualitas Kue Semprong. Malang (ID) : Universitas
Brawijaya.
Ramadhan K. 2009. Aplikasi pati sagu termodifikasi heat moisture treatment
untuk pembuatan bihun instan [Skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Ratnaningsih. 2010. Pembuatan Tepung Komposit dari Jagung, Ubikayu, Ubijalar
dan Terigu (Lokal dan Impor) untuk Produk Mi. Bogor : Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian.
Rickard JE, Blanshard JMV dan Asaoka M.1992. Effects of cultivar and growth
season on the gelatinization properties of cassava (Manihot esculenta)
starch. J. Sci. Food Agric. (59): 53–58
Sajilata MG, Rekha SS dan Puspha RK. 2006. Resistant starch-a review. J.
Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety. Vol. 5
Singh J, Anne D, Lovedeep K. 2010. Starch Digestibility in Food Matrix: a
review. Trends in Food Science & Technology21 :168-180
Soebarinoto, Chuzaemi S dan Mashudi. 1990. Praktikum Gizi Ruminansia.
Malang (ID): Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan
Universitas Brawijaya.
Tejasari. 2005. Nilai Gizi Pangan. Yogyakarta (ID): Graha Ilmu.
Tester RF dan Karkalas. 1996. Swelling and Gelatinization of Oat Starches. New
York (US) : American Association of Cereal Chemists Inc.
Winarno FG. 2002.Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka
Utama.
Winarno FG. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka
Utama.

LAMPIRAN

Tabel Hasil Pengamatan


Tabel 2 Hasil absorbansi daya cerna pati
Bahan Absorbansi
Sampel Kontrol
Tepung kanji 0.339 0.170
Tepung beras 0.410 0.174
Tepung maizena 0.650 0.172
Oatmeal 0.374 0.196
Tepung ketan 0.616 0.222
Tepung pati 0.435 0.194

Tabel 3 Hasil absorbansi daya cerna pati


Standar
Konsentrasi Absorbansi
0 0
0.2 0.09
0.4 -
0.6 0.321
0.8 0.734
1.0 0.839
Contoh perhitungan
Tepung ketan
Selisih absorbansi (y) = 0.616-0.222
= 0.394

Selisih absorbansi pati (y) = 0.435-0.194


= 0.241

Rumus mencari X pada masing-masing bahan


Tepung ketan
Y = 0.8819x – 0.0628
0.394 = 0.08819x – 0.0628
X = 5.2

Pati
Y = 0.8819x – 0.0628
0.241 = 0.8819x – 0.0628
X = 3.4

Kadar maltosa sampel setelah reaksi enzim


% Daya cerna pati = x 100
kadar maltosa pati murni setelah reaksi enzim
5.2
= 3.4 x 100
= 152.9 %

1.2

0.8

0.6 Konsentrasi
Absorbansi
0.4

0.2

0
1 2 3 4 5
Grafik 1 Kurva absorbansi daya cerna pati
Pembagian tugas

Tabel 4 Pembagian tugas


No Nama NIM Tugas Ttd
1 I Komang Gede I1414008 Editor, simpulan, dan
Widiana 8 saran
2 Muthia Fara Diba I1414009
Pembahasan
0
4 Khodijah I1414009
Pembahasan
6
5 Arfira Deli Malinda I1414009
Lampiran dan metode
7
6 Marestry Nuzul I1414011
Pembahasan
Annur 1
7 Yenita I1415401
Pendahuluan
3

Anda mungkin juga menyukai