Anda di halaman 1dari 47

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teori

2.1.1 Balita

2.1.1.1 Pengertian Balita

Balita adalah anak yang berusia lebih dari satu tahun atau lebih dikenal

dengan anak usia dibawah 5 tahun.1 Balita tergolong menjadi 2 yakni anak usia 1-

3 tahun yang disebut dengan batita dan anak usia 3-5 tahun yang disebut anak

prasekolah. Saat usia batita, anak masih bergantung penuh kepada orang tua untuk

melakukan kegiatan penting, seperti mandi, buang air, dan makan. Perkembangan

berbicara dan berjalan seduah bertambah baik. Namun kemampuan lain masih

terbatas.

Anak dikategorikan dalam kelompok balita jika berusia 12-59 bulan. 2

Masa balita menjadi penentu tumbuh kembang di usia ini merupakan masa yang

berlangsung cepat dan tidak akan pernah terulang kembali. Masa balita

merupakan periode penting dalam proses tumbuh kembang manusia.

perkembangan dan pertumbuhan di masa itu menjadi penentu keberhasilan

perkembangan dan pertumbuhan anak di periode selanjutnya. masa tumbuh

kembang di usia ini merupakan masa yang berlangsung cepat dan tidak akan

pernah terulang, karena itu sering disebut Golden Age atau masa keemasan.3

2.1.1.2 Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Balita


Pertumbuhan (Growth) adalah perubahan yang bersifat kuantitatif, yaitu

bertambahnya jumlah, ukuran, dimensi pada tingkat sel, organ, maupun individu.

Anak tidak hanya bertambah besar secara fisik, melainkan juga bertambahnya

ukuran dan struktur organ-organ tubuh maupun otak. Sebagai contoh, hasil dari

pertumbuhan otak adalah anak yang mempunyai kapasitas lebih besar untuk

belajar, mengingat, dan mempergunakan akalnya. Jadi anak tumbuh baik secara

fisik maupun mental. Pertumbuhan fisik dapat dinilai dengan ukuran berat (gram,

pound, kilogram), ukuran panjang (cm, meter), umur tulang, dan tanda-tanda seks

sekunder.4

Pada setiap kelompok umur memiliki tingkat pertumbuhan yang berbeda-

beda.5 Usia anak 24-59 bulan pertumbuhan anak mulai terjadi perlambatan dan

konstan, dan akan meningkat ketika masa remaja. Terlihat perubahan secara

signifikan baik dari ukuran kepala, lingkar dada, dan kaki sehingga sosok tubuh

anak semakin tinggi. Perubahan ukuran tubuh sudah dimulai sejak tahun pertama.

Kebutuhan asupan gizi akan lebih tinggi dibutuhkan tubuh pada usia 24-59 bulan,

dikarenakan pada usia ini anak lebih banyak melakukan aktifitas fisik, seperti

bermain dan lainnya. Dalam pertumbuhan anak dipengaruhi oleh beberapa faktor

yaitu asupan gizi, ras, pola asuh, infeksi dll.

2.1.1.3 Perkembangan Balita

Perkembangan (Development) adalah perubahan yang bersifat kuantitatif

dan kualitatif yaitu bertambahnya kemampuan (skill), struktur, dan fungsi tubuh

yang lebih kompleks, dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil
dari proses pematangan. Perkembangan menyangkut proses diferensiasi sel tubuh,

jaringan tubuh, organ, dan sistem organ yang berkembang sedemikian rupa

sehingga masing-masing dapat memenuhi fungsinya. Termasuk juga

perkembangan kognitif, bahasa, motorik, emosi, dan perkembangan perilaku

sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya. Perkembangan merupakan

perubahan yang bersifat progresif, terarah dan terpadu.4

Pada usia 24-59 bulan atau masa usia prasekolah terbentuk dasar-dasar

kepribadian manusia, kemampuan penginderaan, berpikir, keterampilan

berbahasa, berbicara, bertingkah laku sosial dan sebagainya. 6 Untuk mencapai

keberhasilan pada periode penting anak tersebut, maka setiap orang tua akan

melakukan berbagai upaya yang maksimal untuk memenuhi semua kebutuhan

anak demi tercapainya perkembangan anak yang optimal.

Perkembangan pada masa prasekola dapat berlangsung stabil dan masih

terjadi peningkatan pertumbuhan dan perkembangan, khususnya pada aktivitas

fisik dan kemampuan kognitif.7 Menurut teori Erikson, anak usia sekola belajar

mengendalikan diri dan memanipulasi lingkungan, rasa insiatif mulai menguasai

anak, anak menuntut melakukan tugas tertentu, misalnya merapikan tempat tidur

atau merapikan mainannya.7,8 Pada masa ini, rasa ingin tahu (courius) dan adanya

imajinasi anak berkembang, sehingga anak banyak bertanya mengenai segala

sesuatu di sekelilingnya yang tidak diketahuinya. Apabila orang tua mematikan

inisiatifnya maka hal tersebut membuat anak merasa bersalah. Sedangkan menurut

teori Sigmund Freud, anak berada pada fase phalik, dimana anak mulai mengenal

perbedaan jenis kelamin perempuan dan laki-laki. Anak juga akan


mengidentifikasi figur atau perilaku kedua orang tuanya sehingga kecenderungan

untuk meniru tingkah laku orang dewasa disekitarnya. Pada masa usia prasekolah

anak mengalami proses perubahan dalam pola makan dimana pada umunya anak

mengalami kesulitan untuk makan. Proses eliminasi pada anak sudah

menunjukkan proses kemandirian dan perkembangan kognitif sudah mulai

menunjukkan perkembangan, anak sudah mempersiapkan diri untuk memasuki

sekolah.7

Faktor perkembangan anak dapat dipengaruhi oleh faktor genetik, faktor

hormon, faktor nutrisi dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan dalam hal

stimulus perkembangan perilaku di pengaruhi oleh lingkungan dan interaksi anak

dengan orang tua/orang dewasa lain. Orang tua berperan sebagai pembimbing,

pengarah dan pengawas setiap pertumbuhan dan perkembangan anak. 6 Keluarga

merupakan lingkungan perkembangan anak yang pertama dan utama sebagai

pelaku aktif dalam perkembangan motorik halus.8

2.1.2 Stunting

Stunting atau balita pendek adalah balita dengan masalah gizi kronik,

yang memiliki status gizi berdasarkan panjang atau tinggi badan menurut umur

balita jika dibandingkan dengan standar baku WHO-MGRS (multicenter Growth

reference Study), memiliki nilai Z-scorenya kurang dari -2SD dan apabila nilai Z-

scorenya kurang dari -3SD dikategorikan sebagai balita sangat pendek. Stunting

adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang

dalam waktu yang cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai
dengan kebutuhan gizi. Stunting dapat dimulai sejak janin masih dalam

kandungan dan baru tampak saat anak berusia dua tahun.9

Kondisi stunting menunjukkan ketidak cukupan gizi dalam jangka waktu

yang lama (kronis, yang dimulai sebelum kehamilan, saat kehamilan, dan

kehidupan setelah dilahirkan). Ibu hamil dengan status gizi yang tidak baik dan

asupan gizi yang tidak mencukupi dapat menyebabkan retardasi pertumbuhan

pada masa janin. Pertumbuhan yang terhambat tersebut dapat terus berlanjut

apabila anak tidak mendapatkan asupan gizi yang cukup.10

2.1.2.1 Klasifikasi Stunting

Penilaian status gizi balita yang paling sering dilakukan adalah dengan

metode antropometri. Secara umum antropometri berhubungan dengan berbagai

macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat

umur dan tingkat gizi. Antropometri digunakan untuk melihat ketidak seimbangan

asupan protein dan energi.11

Beberapa indeks antropometri yang sering digunakan adalah berat badan

menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), berat badan menurut

tinggi badan (BB/TB) yang dinyatakan dengan standar deviasi unit Z (Z-score). 11

Untuk mengetahui balita stunting atau tidak, indeks yang digunakan adalah indeks

panjang badan/tinggi badan menurut umur. Tinggi badan merupakan parameter

antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan tulang. Tinggi badan

menurut umur adalah ukuran dari pertumbuhan linear yang dicapai, dapat

digunakan sebagai indeks status gizi atau kesehatan masa lampau.11


Berikut klasifikasi status gizi stunting berdasarkan indikator tinggi badan

per umur (TB/U)12 :

Indeks Kategori Status Gizi Ambang Batas


Tinggi badan Sangat pendek Z-score < -3,0
menurut umur Pendek Z-score ≥ -3,0 s/d Z-score < -2,0
(TB/U) atau panjang Normal Z-score ≥ -2,0
badan menurut umur Tinggi Z-score > 2,0
Sumber : Peraturan Menteri Kesehatan RI No.2 Tahun 2020

Pengukuran tinggi badan merupakan pengukuran dasar dari pengukuran

linear dan mereflesikan pertumbuhan skeletal. Alat ukur untuk melakukan

pengukuran tinggi badan harus memiliki ketelitian 0,1 cm. Untuk anak berusia 0-2

tahun diukur menggunakan alat infantometer, sedangkan anak 2-5 tahun

menggunakan alat microtoice.

2.1.2.1.1 Pengukuran Tinggi Badan

Prinsip dari pengukuran tinggi badan adalah mengukur jaringan skeletal.

Tulang skeletal merupakan tulang yang terdiri dari tulang kaki, panggul, tulang

belakang dan tulang tengkorak. Pengukuran tinggi badan yang dihubungkan

dengan umur dapat digunakan sebagai indikator gizi masa lalu.11,13 Pengukuran

tinggi badan menggunakan microtoice yang memiliki tingkat ketelitian 0,1 cm.

Kelebihan menggunakan alat ini yaitu gampang digunakan dan harga yang

terjangkau. Kelemahannya adalah alat ini membutuhkan dinding ketika

menggunakannya. Cara atau prosedur pengukuran tinggi badan menggunakan

microtoise sebagai berikut:

2.1.2.1.1.1 Cari lantai datar atau jika tidak ada dapat meletakkan papan alas

pada permukaan yang rata dan kerasa sebagai pijakan.


2.1.2.1.1.2 Pasang microtoice pada dinding atau tiang yang tegak lurus dengan

lantai atau papan alas.

2.1.2.1.1.3 Pastikan microtoice sudah terpasang dengan stabil dan titik 0 (nol)

tepat pada lantai atau papan alas.

2.1.2.1.1.4 Lepas sepatu atau alas kaki dan aksesoris lainnya yang mengganggu

pengukuran. Kemudian persilahkan untuk naik ke papan alas (jika

menggunakan papan alas) dan menempel membelakangi dinding.

2.1.2.1.1.5 Atur telapak kaki agar menapak sempurna pada lantai atau papan

alas dan tumit menyentuh sudut dinding, kemudian pastikan bahwa

kaki serta tumit dan betis sudah menempel pada dinding.

2.1.2.1.1.6 Atur pandangan supaya lurus ke depan dan berdiri tegak lurus. Lalu

letakkan tangan kiri pengukur pada dagu, pastikan bahu sudah lurus

dan tegak, tangan disamping, serta bagian belakang kepala, rentang

bahu dan bokong menempel pada dinding.

2.1.2.1.1.7 Secara perlahan turunkan batas kepala microtoice sampai pada

puncak kepala, pastikan pengukur sudah menekan (dengan lembut)

rambut.

2.1.2.1.1.8 Periksa posisi, apabila diperlukan ulangi satu per satu.

2.1.2.1.1.9 Apabila posisi telah benar, baca dan tentukan tinggi badan dengan

akurasi 0,1 cm.

2.1.2.1.1.10 Catat hasil pengukuran dan persilahkan turun dari papan alas.

2.1.2.1.1.11 Untuk anak berusia 2 tahun yang belum dapat berdiri tegak karena

kondisi tubuhnya, tinggi badan dapat diukur dengan alat ukur


panjang badan dengan hasil dikurangi 0,7 cm.

2.1.2.2 Faktor-Faktor yang Menyebabkan Stunting

Menurut UNICEF faktor-faktor yang dapat mempengaruhi stunting

terbagi atas dua faktor yaitu faktor langsung dan faktor tidak langsung.

2.1.2.2.1 Faktor Langsung

2.1.2.2.1.1 Karakteristik Balita

2.1.2.2.1.1.1 Umur Balita

Beberapa penelitian menunjukkan faktor usia merupakan salah satu faktor

yang turut menentukan kebutuhan gizi seseorang. Salah satunya hasil penelitian

yang dilakukan oleh Zottare et al,.14 balita yang mengalami stunting lebih banyak

terjadi pada balita dengan usia ≥12 bulan dibandingan dengan balita usia <12

bulan. Hal tersebut disebabkan karena semakin tinggi usia anak maka akan

semakin meningkat kebutuhan zat gizi yang diperlukan untuk pembakaran energi

dalam tubuh.

Menurut Suharni anak usia ≥ 24-60 bulan paling banyak mengalami

stunting karena pada usia 24 bulan, anak memasuki fase penyapihan dan masa

tingginya keaktifan dalam menjelajahi lingkungan sekitar. Selain itu, motorik

kasar balita juga tumbuh dan berkembang pesat. ditahap ini, beberapa balita akan

menghadapi beberapa kemungkinan yang menyebabkan kekurangan zat gizi, yaitu

nafsu makan anak yang menurun, asupan gizi rendah, jam tidur yang menurun,

mudah terkena infeksi saat ibu/pengasuh kurang memperhatikan higiene dan

sanitasi.15
2.1.2.2.1.1.2 Jenis Kelamin Balita

Jenis kelamin dapat menentukan besar kecilnya kebutuhan gizi bagi

seseorang. Menurut Setyawati15 masalah stunting lebih banyak diderita oleh anak

laki-laki. Sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kismul, dkk

menyatakan prevalensi stunting jauh lebih tinggi pada anak laki-laki sebesar

45,2% dibandingkan dengan anak perempuan sebesar 40,2%.16 Beberapa yang

menjadi penyebabnya adalah perkembangan motorik kasar anak laki-laki lebih

cepat dan beragam sehingga membutuhkan energi lebih banyak. peningkatan

resiko kejadian stunting pada balita laki-laki berkaitan dengan pemberian makan

tambahan yang terlalu dini dan kejadian diare yeng lebih sering daripada balita

perempuan. Selain itu, diduga adanya diskriminasi gender dimana orang tuan

cenderung lebih besar perhatiannya terhadap anak perempuan.17

2.1.2.2.1.1.3 Berat Badan Lahir Rendah

Menurut WHO, berat badan lahir rendah (BBLR) dapat mendefinisikan

sebagai berat badan ketika lahir kurang dari 2500 gram dengan batas atas 2499

gram, sedangkan berdasarkan dokumen data RISKESDAS 2018, kategori berat

badan lahir dikelompokkan menjadi tiga, yaitu <2500 gram (BBLR), 2500-3999

gram (berat normal), dan 4000 gram (berat lebih). 18 Anak dengan riwayat BBLR

akan meningkatkan risiko kejadian gizi kurang sebesar 10 kali lebih besar

dibandingkan anak yang tidak memiliki riwayat BBLR.19 Hali tersebut mungkin

terjadi karena anak yang lahir dengan BBLR, berpeluang mengalami gangguan
pada sistem Syaraf sehingga pertumbuhan dan perkembangannya akan lebih

lambat dibandingkan dengan anak yang lahir berat badan normal. 20 Bayi dengan

berat lahir rendah memiliki daya tahan tubuh yang lebih rendah dibandingkan

dengan bayi yang lahir normal dengan demikian maka bayi dengan berat badan

rendah akan mudah terserang penyakit terutama penyakit infeksius. 20 Penelitian

yang dilakukan di Brazil menyimpulkan riwayat BBLR secara signifikan

berhubungan dengan gizi kurang, stunting dan wasting pada balita.21

2.1.2.2.1.2 Penyakit Infeksi

Pengaruh infeksi terhadap pertumbuhan linier anak didapat melalui

mekanisme dengan terlebih dahulu mempengaruhi status gizi anak yang kemudian

mempengaruhi pertumbuhan linier anak. Infeksi dapat menurunkan asupan

makanan, mengganggu penyerapan zat gizi, menyebabkan hilangnya zat gizi

secara langsung, meningkatkan kebutuhan metabolik atau menurunnya proses

katabolik zat gizi sehingga akan mempengaruhi pola konsumsi yang selanjutnya

akan mempengaruhi status gizi balita. Apabila kondisi ini berlangsung lama maka

akan mempengaruhi pertumbuhan linier anak.22

Infeksi menjadi faktor penyebab langsung karena infeksi dapat

menyebabkan zat gizi digunakan untuk proses perbaikan jaringan atau sel

yang mengalami kerusakan. Infeksi yang sering terjadi terutama pada infeksi

saluran cerna (diare akibat virus, bakteri maupun parasit), infeksi saluran napas

(ISPA) dan infeksi akibat cacing (kecacingan). Penyakit infeksi dapat

menurunkan intake makanan, mengganggu absorpsi zat gizi, menyebabkan


hilangnya zat gizi secara langsung dan meningkatkan kebutuhan metabolik. Pada

kondisi ini terdapat interaksi bolak-balik antara status gizi dengan penyakit

infeksi. Malnutrisi dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit infeksi

sedangkan infeksi dapat menyebabkan malnutrisi. Apabila hal ini tidak segera

diatasi dan terjadi dalam waktu yang lama, maka dapat mengganggupengolahan

asupan makan sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya stunting pada anak.

Pada infeksi diare, anak akan mengalami malabsorbsi zat gizi dan durasi

serta frekuensi diare yang berlangsung lama (>4 hari) dapat membuat anak

menjadi semakin mengalami kehilangan zat gizi. Kondisi ini dapat berlangsung

apabila tidak segera ditindaklanjuti dan diimbangi dengan asupan makan yang

sesuai. Hal ini sejalan dengan penelitian Desyanti yang mendapatkan hasil

penelitian yaitu terdapat hubungan yang signifikan antara riwayat penyakit diare

dengan kejadian stunting (p = 0,025 ) dengan balita yang sering mengalami diare

berisiko mengalami stunting 3,619 kali lebih besar daripada balita yang jarang

mengalami diare.23 Pada infeksi saluran napas akut (ISPA), sejalan dengan

penelitian Puspita dengan hasil penelitian yaitu terdapat hubungan yang bermakna

secara statistik antara riwayat ISPA dengan balita yang mengalami ISPA berisiko

mengalami stunting 4,01 kali lebih besar daripada balita yang tidak mengalami

ISPA.24 Cacingan berdampak pada penurunan asupan zat gizi semisal karbohidrat,

protein dan kehilangan darah. Cacingan pada anak usia sekolah menyebabkan

kondisi fisik yang lemah dan memiliki risiko yang tinggi untuk terinfeksi

penyakit. Cacingan merupakan salahsatu faktor penyebab stunting. Pemberian

obat cacing dapat menurunkan risiko stunting sebanyak 30%.25


2.1.2.2.1.3 Asupan Zat Gizi

Asupan zat gizi pada anak yang tidak adekuat dapat berakibat pada

terganggunya pertumbuhan dan perkembangan anak, bahkan apabila kondisi

tersebut tidak ditangani dengan baik akan beresiko pada kesakitan dan kematian

anak. Tidak terpenuhinya zat gizi dalam tubuh anak dapat berpengaruh terhadap

sistem kekebalan tubuh. Sistem kekebalan tubuh yang lemah menyebabkan anak

rentan terkena penyakit menular dari lingkungan sekitarnya. Status Gizi yang

buruk dikombinasikan dengan infeksi dapat menyebabkan keterlambatan

pertumbuhan.26

Kekurangan salah satu zat gizi juga dapat menyebabkan kekurangan zat

gizi lainnya. Sebagai contoh kekurangan zat besi, magnesium dan zink dapat

menyebabkan anoreksia yang berakibat tidak terpenuhinya zat gizi yang lain

seperti protein. Kekurangan protein dapat mengganggu tumbuh kembang anak

sehingga dapat menimbulkan komplikasi jangka panjang. Tidak terpenuhinya zat

gizi juga berdampak pada perkembangan otak dan kapasitas intelektual dimasa

kritis pertumbuhannya yang menyebabkan penurunan kecerdasan.19

Asupan zat gizi yang di konsumsi oleh balita termasuk ASI ekslusif dan

makanan pendampingASI (MP-ASI).27

2.1.2.2.2 Faktor Tidak Langsung

2.1.2.2.2.1 ASI Ekslusif

ASI ekslusif menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.33

tahun 2012 tentang Pemberian ASI ekslusif adalah pemberian ASI tanpa
menambahkan dan atau mengganti dengan makanan atau minuman lain yang

diberikan kepada bayi sejak baru dilahirka sampai usia 6 bulan.28

Air susu ibu (ASI) merupakan makanan terbaik bagi bayi. ASI eksklusif

mampu menurunkan angka kesakitan dan kematian anak. ASI eksklusif adalah

ASI yang diberikan kepada bayi sejak dilahirkan selama enam bulan tanpa

menambahkan dan atau mengganti dengan makanan atau minuman lain. Dwi

Sunar Prasetyo dalam bukunya menyebutkan ASI Eksklusif adalah bayi hanya

diberi ASI saja selama enam bulan tanpa tambahan cairan lain seperti susu

formula, jeruk, madu, air teh, dan air putih serta tanpa tambahan makanan padat

seperti pisang, bubur susu, biskuit, bubur nasi dan nasi tim kecuali vitamin,

mineral, dan obat. 29

ASI eksklusif dimulai dengan proses inisiasi menyusu dini (IMD), yaitu

membiarkan bayi untuk dapat menyusu sendiri segera setelah kelahiran. Penelitian

membuktikan penundaan IMD meningkatkan resiko kematian bayi baru lahir

yang disebabkan oleh infeksi. Lebih lanjut IMD pada satu jam pertama kelahiran

mampu menurunkan kematian neonatus sebesar 22% (Cunha et al., 2015). Hasil

penelitian yang dilakukan oleh Septikasari menunjukan bahwa status gizi anak

secara langsung dipengaruhi oleh asupan nutrisi dalam hal ini ASI. ASI

merupakan makanan paling ideal untuk bayi baru lahir sampai dengan 6 bulan

karena mengandung nutrisi esensial untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi. 19

Penenlitian lain yang dilakukan pada anak usia 6-24 bulan yang tidak diberikan

ASI eksklusif memiliki risiko stunting 1,282 kali dibandingkan anak yang
diberikan ASI eksklusif sehingga riwayat ASI ekskulusif menjadi faktor yang

berhubungan dengan kejadian stunting.30

ASI eksklusif mampu memenuhi semua kebutuhan nutrisi bayi dari lahir

sampai dengan usia 6 bulan. Clostrum dalam ASI merupakan antibodi terbaik

yang dapat melindungi bayi dari infeksi dan penyakit.31

2.1.2.2.2.2 Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)

MP-ASI adalah makanan yang diberikan bersamaan dengan pemberian

ASI sampai dengan anak berusia dua tahun. Asupan MP-ASI yang baik secara

langsung akan mempengaruhi status gizi anak.32 Hasil penelitian tentang

pengaruh asupan MP-ASI terhadap status gizi anak menunjukan terdapat

pengaruh yang kuat asupan MP-ASI terhadap risiko kejadian gizi kurang anak

usia 6-12 bulan. Anak dengan asupan MP-ASI tidak adekuat akan meningkatkan

resiko kejadian gizi kurang sebesar 4 kali lebih besar dibandingkan anak yang

mendapat asupan MP-Asi adekuat.20 Hasil penelitian tersebut sejalan dengan

penelitian yang dilakukan Widaryanti didapatkan bahwa responden dengan MP-

ASI yang tidak tepat sebagian besar mengalami stunting yaitu 47 % dan

responden yang memberikan MP-ASI secara tepat status gizinya normal sebanyak

45%. Hasil analisis menunjukan bahwa terdapat hubungan antara pemberian MP-

ASI terhadap kejadian stunting pada balita dengan p value <0,05, dan hasil r 0,643

menunjukan hubungan antara praktik pemberian MP-ASI dengan kejadian

stunting memiliki keeratan yang kuat. Kurangnya pemberian MP-ASI membuat

anak tidak maksimal mendapatkan asupan gizi sehingga anak memiliki status gizi
kurang bahkan menjadi stunting. Pemberian MP-ASI yan tepat dan baik adalah

supaya kebutuhan gizi dan anak terpenuhi sehingga tidak terjadi gagal tumbuh.

MP-ASI yang diberikan juga harus beraneka ragam, diberikan bertahap dari

bentuk lumat, lembek sampai menjadi terbiasa dengan makanan keluarga.33

WHO merekomendasikan MP-ASI harus memenuhi 4 syarat yaitu: tepat

waktu, adekuat, aman dan diberikan dengan cara yang benar. Sejak Usia 6 bulan

ASI saja sudah tidak mencukupi kebutuhan energy, protein, zat besi, vitamin D,

seng, vitamin A sehingga diperlukan makanan pendamping ASI yang dapat

melengkapi kekurangan zat besi mikro maupun makro tersebut.33

2.1.2.2.2.3 Pelayanan Kesehatan

Pelayanan kesehatan adalah akses atau keterjangkauan anak dan keluarga

terhadap upaya pencegahan penyakit dan pemeliharaan kesehatan seperti

imunisasi, pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, penimbangan anak,

penyuluhan kesehatan dan gizi, serta sarana kesehatan yang baik seperti

posyandu, puskesmas, praktek bidan atau dokter, dan rumah sakit. Tidak

terjangkaunya pelayanan kesehatan (karena jauh dan atau tidak mampu

membayar), kurangnya pendidikan dan pengetahuan merupakan kendala

masyarakat dan keluarga memanfaatkan secara baik pelayanan kesehatan yang

tersedia. hal ini berdampak juga pada status gizi anak.34

Upaya pemeliharaan status gizi balita dapat dilakukan dengan

memanfaatkan akses pelayanan kesehatan dan penatalaksaan kasus secara benar

dan tepat dengan cara memonitoring pertumbuhan balita setiap bulan secara rutin
dan teratur. Aktifnya balita ke posyandu mempunyai pengaruh yang signifikan

terhadap perkembangan tumbuh kembang dan kesehatannya. Balita yang aktif ke

posyandu akan mendapatkan penimbangan berat badan, pengukuran tinggi badan,

pemeriksaan kesehatan serta makanan tambahan. Pemantauan kesehatan balita ke

posyandu merupakan indikator terjangkaunya pelayanan kesehatan bagi balita.

Dengan melakukan pemantauan kesehatan ke posyandu balita akan mendapatkan

imunisasi, dan pemberian kapsul vitamin A.35

Pada penelitian yang dilakukan Dewi dkk, yang menyatakan balita yang

kurang memanfaatkan pelayanan kesehatan memiliki proporsi tertinggi

mengalami kejadian stunting dengan jumlah balita 30 balita. Sementara balita

yang cukup memanfaatkan sarana kesehatan memiliki proporsi tertinggi tidak

mengalami kejadian stunting dengan jumlah 18 balita. Sehingga dapat

disimpulkan ada hubungan antara pemanfaatan pelayanan kesehatan dengan

kejadian stunting pada balita.34

2.1.2.2.2.4 Karakteristik Keluarga

Karakteristik keluarga yang mempengaruhi stunting terdiri atas :

2.1.2.2.2.4.1 Pendidikan

Tingkat pendidikan sangat mempengaruhi seseorang untuk memahami

dan menerima informasi.36 Orang tua dengan pendidikan yang rendah akan lebih

mempertahankan tradisi-tradisi yang berhubungan dengan makanan seperti

pantang makan tertentu sehingga sulit menerim pengetahuan baru mengenai gizi. 36
Orang tua dengan pendidikan yang baik akan mengerti bagaimana mengasuh anak

dengan baik dan menjaga kebersihan lingkungan.37

Pendidikan ibu erat kaitannya dengan status gizi anak karena ibu yang

secara langsung mengasuh anak termasuk dalam menyiapkan dan memberikan

makanan pada anak. Ibu dengan tingkat pendidikan tinggi cenderung memiliki

pengetahuan yang luas dan mudahnya menangkap informasi baik dari pendidikan

formal yang mereka tempuh maupun dari media massa (cetak dan elektronik)

untuk menjaga kesehatan anak dalam mencapai status gizi yang baik sehingga

perkembangan anaknya menjadi lebih optimal.38 Pendidikan pada ibu pada satu

sisi mempunyai dampak positif yaitu ibu semakin mengerti akan pentingnya

memelihara kesehatan seperti pemenuhan gizi keluarga, tetapi di sisi lain

pendidikan yang semakin tinggi juga berdampak pada adanya perubahan nilai

sosial yang dapat berpengaruh pada pola hidup sehat termasuk konsumsi

makanan.20 Ibu dengan pendidikan tinggi memiliki peluang untuk bekerja di luar

rumah sehingga waktu untuk menyiapkan makanan bergizi menjadi berkurang.

Hal ini berdampak pada pemilihan makanan cepat saji yang sering diberikan

kepada anak dengan nilai gizi yang tidak memenuhi kebutuhan nutrisi anak.

Menurut Anisa kecenderungan kejadian stunting pada balita lebih banyak

terjadi pada ayah yang berpendidikan rendah. Pendidikan yang tinggi dapat

mencerminkan pendapatan lebih tinggi dan ayah akan lebih memperhatikan gizi

istri saat hamil. Ibu hamil yang mengalami kurang gizi akan mengakibatkan janin

yang dikandung juga mengalami kekurangan gizi.39 Kekurangan gizi pada

kehamilan yang terjadi terus menerus akan melahirkan anak yang mengalami
kurang gizi. Kondisi ini jika berlangsung dalam kurun waktu yang relative lama

akan menyebabkan anak mengalami kegagalan dalam pertumbuhan (stunting).40

Keluarga dengan ayah yang berpendidikan rendah dengan pendapatan yang

rendah biasanya memiliki rumah yang tidak layak, kurang dalam memanfaatkan

fasilitas kesehatan dan kebersihan lingkungan kurang terjaga, selain itu konsumsi

makanan tidak seimbang, keadaan ini dapat menghambat perkembangan anak.41

Menurut UU RI NO.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,

pendidikan formal terdiri dari pendidikan dasar (SD, MI, SMP, dan MTS),

pendidikan menengah pertama (SMA, MA, SMK), dan pendidikan tinggi

(diploma, sarjana, magister, spesialis dan dokter). Pemerintah di Indonesia

mewajibkan belajar 9 tahun untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia

dihitung mulai dari sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah pertama (SMP).

Masyarakat yang sudah menempuh pendidikan minimal 9 tahun tersebut dianggap

sudah mempunyai kualitas yang layak untuk menjalankan kehidupannya.42

2.1.2.2.2.4.2 Pengetahuan

Tingkat pengetahuan ibu tentang gizi balita sangat mempengaruhi

keadaan gizi balita tersebut karena ibu adalah seorang yang paling besar

keterkaitannya terhadap anak. Kebersamaan ibu dengan anaknya lebih besar

dibandingkan dengan anggota keluarga yang lain sehingga lebih mengerti segala

kebutuhan yang dibutuhkan anak. Pengetahuan yang dimiliki ibu menjadi kunci

utama kebutuhan gizi balita terpenuhi. Pengetahuan yang didasiri dengan

pemahaman yang baik dapat menumbuhkan perilaku baru yang baik pula.
Pengetahuan ibu tentang kebutuhan gizi yang dipahami dengan baik akan diiringi

dengan perilaku pemberian makanan bergizi bagi balita.43

Pengetahuan ibu tentang gizi adalah yang diketahui ibu tentang pangan

sehat, pangan sehat untuk golongan usia tertentu dan cara ibu memilih, mengolah

dan menyiapkan pangan dengan benar. Pengetahuan gizi ibu yang kurang akan

berpengaruh terhadap status gizi balitanya dan akan sukar memilih makanan yang

bergizi untuk anaknya dan keluarganya. Kurangnya pengetahuan gizi dan

kesehatan orangtua, khususnya ibu merupakan salah satu penyebab kekurangan

gizi pada anak balita.44

2.1.2.2.2.4.3 Pekerjaan

Balita yang ibunya bekerja akan lebih mungkin mengalami stunting

daripada ibu balita yang tidak bekerja, dikarenakan bertemunya ibu dan anak

sangat jarang. Pada umur balita yang masih harus diberikan ASI ekslusif dan

makanan pendamping terkadang tidak tepat sehingga memiliki efek yang besar

pada pertumbuhan anak.45

Menurut Marmi pekerjaan adalah sesuatu yang harus dilakukan terutama

untuk menunjang kehidupan keluarganya.46 Pekerjaan orang tua merupakan

kegiatan atau tindakan yang dilakukan oleh setiap orang tua untuk mendapatkan

uang. Pekerjaan tersebut akan memengaruhi pendapatan keluarga, dan akhirnya

akan berpengaruh pada konsumsi pangan anak. Konsumsi pangan dan gizi pada

anak balita yang rendah akibat tingkat pendapatan keluarga dengan status

ekonomi menengah kebawah dapat mempengaruhi status gizi pada anak balita.13
Ibu yang bekerja tidak lagi dapat memberikan perhatian penuh terhadap

anak balitanya karena kesibukan dan beban kerja yang ditanggungnya sehingga

menyebabkan ibu dan anak jarang bertemu sehingga anak terkadang tidak

mendapatkan ASI eksklusif dan makanan pendamping yang tidak tepat yang

memiliki efek besar pada pertumbuhan anak. Faktor ibu yang bekerja nampaknya

belum berperan sebagai penyebab utama masalah gizi pada anak, namun

pekerjaan ini lebih disebut sebagai faktor yang mempengaruhi dalam pemberian

makanan, zat gizi, dan pengasuhan anak.39

2.1.2.2.2.4.4 Pendapatan Keluarga

Pendapatan keluarga adalah jumlah penghasilan riil dari seluruh anggota

rumah tangga yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan bersama maupun

perseorangan dalam rumah tangga.47 Tingkat pendapatan yang tinggi memberi

peluang lebih tinggi bagi keluarga dalam memilih dan menyediakan bahan

pangan, baik jumlah maupun jenisnya. Karena pendapatan akan memenuhi

kebutuhan pangan sesuai daya belinya. Rendahnya daya beli terhadap pangan ini

yang kemudian akan menyebabkan terjadinya masalah gizi terutama pada anak,

jika dibiarkan dalam jangka waktu yang lama. 48 Pendapatan keluarga rendah

dianggap memiliki pengaruh yang dominan terhadap kejadian kurus dan pendek

pada anak. Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh kembang

anak, karena orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik yang

primer seperti makanan maupun yang sekunder.49


2.1.3 Pola Asuh

2.1.3.1 Definisi

Pola asuh anak adalah kegiatan membesarkan anak yang berkaitan

dengan cara merawat anak dalam kehidupan sehari-hari. Mengasuh anak adalah

mendidik, membimbing dan memelihara anak, mengurus makanan, minuman,

pakaian, kebersihannya, atau pada segala perkara yang seharusnya diperlukannya,

sampai batas bilamana si anak telah mampu melaksanakan keperluannya yang

vital, seperti makan, minum, mandi dan berpakaian. 8 Pola asuh merupakan

bagaiman cara orang tua atau pengasuh berinteraksi dengan anak secara total yang

meliputi proses pemeliharaan, perlindungan dan pengajaran bagi anak-anak. 50

Dalam pola asuh, ibu memiliki peran yang sangat penting untuk memenuhi

kebutuhan emosi atau kasih sayang yang diwujudkan dalam bentuk kontak fisik

dan psikis. Oleh karena itu, pola asuh dapat digunakan sebagai faktor risiko

terjadinya kurang gizi dan gangguan perkembangan pada anak.51

Berdasarkan kerangka konsep yang dikemukakan oleh UNICEF pola

asuh meliputi tiga hal yaitu: praktik pemberian makan, rangsangan psikososial

terhadap asuhan, dan perawatan kesehatan balita.11

2.1.3.1.1 Praktik Pemberian Makan (Kebiasaan Pemberian Makan)

Pemberian makan adalah tata cara atau penatalaksanaan makanan yang

akan diasup untuk mencukupi kebutuhan gizi perorangan setiap hari. Pola

pemberian makan yang baik ini dapat berdampak pada tumbuh kembang dan

kecerdasan anak sejak bayi.52 Niga dalam penelitiannya menyatakan anak yang
penerapan praktik pemberian makan kurang beresiko mengalami kejadian

stunting dibandingkan anak yang mendapat penerapan praktik pemberian makan

baik. Hal ini berarti peran orang tua terutama ibu sangat penting mencukupi

kebutuhan nutris anak, peran ibu dalam praktik pemberian makan anak sangat

menentukan status gizi anak.53

Menurut Depkes RI, telah menetapkan standar emas pemberian makan

balita yang terdiri dari 1) Inisiasi menyusui dini (IMD) segera setelah bayi lahir

(kolostrum) 2) Pemberian ASI ekslusif selama 0-6 bulan, frekuensi sesering

mungkin minimal 8 kali sehari 3) Pemberian MP-ASI makanan lumat, 2 kali

sehari, 2 sendok makan setiap kali makan mulai usia 6-9 bulan 4) Pemberian MP-

ASI makanan lembek 3 kali sehari, ditambah 2 kali makanan salingan usia 9-12

bulan 5) Lanjutkan pemberian ASI hingga usia 2 tahun atau lebih.54

Mulai dari pemberian ASI pertama (kolostrum) yang keluar dari ibu

sejak hari pertama kelahiran sampai hari kesepuluh setelah melahirkan.

Kandungan tertinggi kolostrum adalah antibody yang siap melindungi bayi ketika

kondisi bayi masih sangat lemah dan melindungi bayi hingga usia 6 bulan.55

Setelah kelahiran terkadang ASI ibu tidak langsung keluar selama 1-2

hari, keadaan seperti ini masyarakat seringkali memberikan makanan atau

minuman pralakteal untuk bayi selama ASI belum keluar. Makanan pralakteal ini

seperti air kelapa, susu, air putih, madu, air tajin, air gula, teh, pisang dan

sebagainya.56 Makanan atau minuman pralakteal berbahaya bila diberikan kepada

bayi karena makanan atau minuman tersebut dapat menggantikan kolostrum, yang

seharusnya diberikan kepada bayi sebagai makanan bayi yang pertama. Selain itu,
beberapa bahaya makanan pralakteal adalah masih kurang cukup kuatnya

pencernaan bayi untuk mencerna makanan, makanan atau minuman tercemar

menyebabkan diare, meningitis, dan septisemia, bayi bingung puting susu, dan

menyebabkan bayi kekenyangan sehingga bayi malas menyusui.57

Selain itu, pemberian makan atau minum ASI ekslusif juga beperan

penting dalam tumbuh kembang anak. Inisiasi menyusui dini dan ASI ekslusi

selama enam bulan usia bayi mencegah terjadinya infeksi gastrointestinal yang

dapat menyebabkan berkurangnya zat gizi. Adriani dalam penelitiaannya

menuliskan bahwa bayi yang tidak ASI ekslusif rentan mengalami gangguan

pencernaan pada bayi yang dapat mengakibatkan gangguan gastrointestinal seperti

diare dan beberapa masalah gastrointestinal lainnya. Hal ini akan berdampak pada

asupan makanan yang juga menurun sehingga kebutuhan zat gizi tidak terpenuhi

yang berakibat pada gangguan pertumbuhan balita menjadi kurang gizi ( balita

BGM).31

Pada usia balita 6-24 bulan balita mulai diberikan makanan pendamping

air susu ibu (MP-ASI) yang dapat memenuhi kebutuhan gizi anak sesuai usia.

Menurut Depkes RI, jenis makanan yang baik adalah terbuat dari bahan makanan

yang segar. Jenis-jenis makanan yang tepat diberikan sesuai dengan usia anak

adalah sebagai berikut54 :

2.1.2.1.1 Makanan lumat

Makanan lumat merupakan makanan yang dihancurkan, dihaluskan atau

disaring dan bentuknya lebih lembut atau halus atau tanpa ampas.Biasanya

makanan lumat diberikan saat anak berusia 6 sampai 9 bulan.


2.1.2.1.2 Makanan Lunak

Makanan lunak adalah makanan yang dimasak dengan banyak air atau

teksturnya lebih kasar dari makanan lumat. Makanan lunak ini diberikan pada

anak usia sembilan sampai 12 bulan.

2.1.2.1.3 Makanan Padat

Makanan padat adalah makanan lunak yang tidak nampak berair dan

biasanya disebut makanan keluarga. Makanan ini mulai dikenali pada anak saat

berusia 12-24 bulan.

Pengaturan makanan dan perencanaan menu harus disesuaikan dengan

usia, kebutuhan gizi dan keadaan kesehatannya. Balita yang usianya memasuki 1

tahun perlu dibuatkan jadwal harian pola makan (food diary) oleh ibu/pengasuh,

sehingga terbiasa dengan pola makan teratur. Pengaturan penyusunan menu

makanan keluarga yang dikonsumsi harus diatur dengan benar agar balita tidak

bosan dengan jenis makanan tertentu.12

Tahap Anak Usia 24-59 bulan merupakan tahapan dimana anak

mengalami tumbuh kembang dan aktivitas yang pesat sehingga asupan nutrisi

akan meningkat. Anak di usia ini masih bergantung pada orang tua khususnya ibu

dalam hal pemberian makan, anak sudah bisa memilih makanan yang disukainya.

Disamping makanan dari segi fisik, hal yang lain juga dibutuhkan anak untuk

mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal yaitu, perhatian serta

sikap (asuhan) orang tua dalam memberi makan. Kesalahan dalam memilihkan

makanan akan berakibat buruk pada anak baik di masa kini maupun masa yang

yang akan datang.58


Kualitas nutrisi dapat dipenuhi melalui kebiasaan pemberian makan

balita yang diartikan sebagai upaya ibu memberikan makanan kepada anak balita

baik penyusunan menu, pemilihan bahan makanan, pengolahan bahan makanan,

frekuensi makan, cara menyajikan makanan, serta cara pemberian makanan yang

bertujuan memenuhi zat gizi yang dibutuhkan dalam proses tumbuh kembang.59

Cara pemberian makan pada balita dengan porsi kecil, teratur dan tidak

dipaksa. Waktu makan dapat sebagai kesempatan belajar bagi balita. Menurut

beberapa kajian frekuensi pola pemberian makan balita ideal adalah tiga kali

sehari dengan pola waktu pagi,siang, dan sore. Frekuensi makan digunakan untuk

menghitung jumlah zat gizi yang didapatkan dalam sehari, sehingga diketahui

angka kecukupan gizinya sudah terpenuhi atau belum.60

Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan untuk anak dibagi

berdasarkan kelompok umur.

Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan untuk Anak Indonesia


(Per Orang Perhari)61
Kelompo Energi Protein Lemak Karbohidrat
k (kkal) (g) (g) (g)
Umur
0-5 bulan 550 9 31 59
6-11 bulan 800 15 35 105
1-3 tahun 1350 20 45 215
4-6 tahun 1400 25 50 220
7-9 tahun 1650 40 55 250
Sumber : Angka Kecukukupan Gizi

Bertambahnya usia anak, makanan yang diberikan harus lebih beragam

serta bergizi dan seimbang guna menunjang status gizi serta tumbuh kembang
anak. Ibu dalam hal ini sangat berperan penting untuk menentukan jenis makanan

yang akan dikonsumsi oleh anak.

Dalam pemberian makanan selain memperhatikanan beragam makanan

begizi seimbang, tetapi proses pengolahan makananpun perlu diperhatikan. Proses

pengolahan makanan memberikan beberapa keuntungan, misalnya memperbaiki

nilai gizi dan daya cerna, memperbaiki cita rasa maupun aroma, serta

memperpanjang daya simpan.62 Cara pengolahan makanan yang tidak tepat dapat

menyebabkan makanan menjadi rusak.63

Disamping itu cara penyajian makanan merupakan salah satu cara

meningkatkan selera makan balita. Penyajian makanan untuk balita dibuat

semenarik mungkin, mulai dari variasi bentuk, warna, dan rasa makanan, tempat

atau peralatan makanan yang dipakai serta juga kebersihan alat makan dan tangan

ibu perlu juga diperhatikan saat penyajian makanan.64,65

Menurut Depkes RI, pemberian makan pada anak yang tepat dan benar

adalah 1) Selalu mencuci tangan sebelum memulai mempersiapkan makanan pada

balita, sebelum memberikan makanan pada balita, dan juga mencuci tangan balita.

2) Sebelum diolah menjadi makanan yang akan diberikan kepada balita, bahan

makanan harus dicuci dahulu. 3) Peralatan masak dicuci dahulu sebelum dan

sesudah digunakan. 4) Cuci perlatan makan balita sebelum digunakan. 5) Berikan

makanan sesuai usia balita. 6) Makanan sisa bekas balita tidak boleh disimpan

karena akan menyebarkan bakteri.54

Cara pemberian makan pada balita dengan porsi kecil, teratur dan tidak

dipaksa. Waktu makan dapat sebagai kesempatan belajar bagi balita. Menurut
beberapa kajian frekuensi pola pemberian makan balita ideal adalah tiga kali

sehari dengan pola waktu pagi,siang, dan sore. Frekuensi makan digunakan untuk

menghitung jumlah zat gizi yang didapatkan dalam sehari, sehingga diketahui

angka kecukupan gizinya sudah terpenuhi atau belum.60

Pentingnya membiasakan anak untuk mengkonsumsi makanan sehat dan

bergizi berguna bagi anak agar dapat memahami pentingnya gizi bagi tubuh,

sehingga memberikan pengetahuan anak dalam mengkonsumsi makanan sehat

sehari-hari. Mengingat, pada usia 24-59 bulan adalah masa yang kritis dalam

membantu anak mengadopsi perilaku hidup sehat66 salah satunya melalui

kebiasaan makan karena perilaku yang ditetapkan pada masa kritis cenderung

akan bertahan hingga dewasa kelak.67 Orang tua juga pendorong langsung kualitas

makanan anak, dan akibatnya memiliki tanggung jawab untuk membangun

lingkungan makan anak dengan cara yang baik.68 Mengasuh anak memerlukan

kemampuan secara interpersonal dan tuntutan emosional dalam memenuhi

kebutuhan dasar anak seperti dalam pemenuhan gizi.69

Pola pemberian makan yang memadai berhubungan dengan baiknya

kualitas konsumsi makanan anak yang pada akhirnya akan meningkatkan

kecukupan zat gizi pula. Tingkat kecukupan zat gizi merupakan salah satu faktor

yang dapat mempengaruhi status gizi pada balita.70 Hasil penelitian yang

dilakukan oleh Sari & Ratnawati menyatakan bahwa ada hubungan antara praktik

pemberian makan kepada balita dengan status gizi. Praktik pemberian makan

berhubungan dengan kualitas konsumsi makanan yang pada akhirnya akan


meningkatkan kecukupan zat gizi. Tingkat kecukupan zat gizi merupakan salah

satu faktor yang dapat mempengaruhi status gizi balita.71

2.1.3.1.2 Rangsangan Psikososial (Kebiasaan Pengasuhan)

Rangsangan psikososial adalah rangsangan dari peristiwa-peristiwa sosial

atau psikologis yang datang dari lingkungan luar diri seseorang atau anak yang

dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak.72 Rangsangan stimuli

berguna dalam pertumbuhan dan perkembangan organ- organ. Rangsangan yang

diberikan ibu akan memperkaya pengalaman dan berpengaruh terhadap

perkembangan kognitif, visual, verbal, serta mental anak.73 Hasil penelitian

menunjukkan bahwa stimulasi yang diberikan oleh orangtua dengan baik dapat

memberikan hasil perkembangan motorik halus serta kasar yang baik.74

Kebutuhan psikososial balita meliputi kebutuhan kasih sayang, rasa aman, harga

diri, rasa memiliki, mendapat pengalaman dan stimulasi.75 Stimulasi adalah

sebuah rangsangan dari luar atau dari lingkungan yang merupakan hal penting

dalam tumbuh kembang anak.72 Ketika usia 12-24 bulan, perawatan psikososial

yang dapat diberikan oleh orang tua berupa aktivitas mendongeng, merespon anak

ketika bercerita, mendampingi atau menyuapi ketika anak makan, menyediakan

mainan untuk anak, membiarkan anak bermain dengan teman sebaya, melatih

anak untuk naik tangga apabila anak sudah bisa berjalan, mengajak anak untuk

melakukan pekerjaan rumah yang sederhana seperti membersihkan meja/kursi,

menyapu lantai/halaman, membereskan mainannya sendiri, dan menyebutkan

bagian tubuhnya.76
Untuk anak berusia 25-36 bulan rangsangan psikososial yang dapat

diberikan yaitu melatih anak untuk berpakaian dan makan sendiri, mengajak anak

untuk membaca buku cerita bergambar, memberikan pelajaran anak untuk

mencuci tangan, buang air besar/kecil sesuai tempatnya serta ajak anak untuk

mencoret-coret di kertas.76

Sedangkan untuk anak berusia 37-59 bulan, rangsangan psikososial yang

harus diberikan pada anak yaitu mendorong anak untuk bercerita apa yang sedang

dikerjakan, menjadi pendengar yang baik untuk anak dan membiarkan anak untuk

bermain serta mencoba hal yang baru dengan tetap dibawah pengawasan orang

tua, dan menganjurkan anak untuk tidur siang.77 Anjuran tidur siang bagi balita

merupakan salah satu bentuk rangsangan psikososial yang mempengaruhi

pertumbuhan anak karena berhubungan dengan Human Growth Hormone (HGH)

yang merupakan hormon yang bertanggung jawab atas pertumbuhan manusia

yang dihasilkan oleh kelenjar Pituitary harus terproduksi dalam jumlah yang

cukup, salah satu cara untuk menjaga hormon ini tetap terproduksi dengan baik

dibutuhkan istirahat yang cukup dan berkualitas.74

Dalam hal rangsangan psikososial anak, hal yang perlu dilakukan orang

tua adalah selalu memberikan pujian kepada anak ketika anak berhasil melakukan

kegiatan rangsangan psikososial yang sesuai dengan tingkat usianya.77

2.1.3.1.3 Perawatan Kesehatan (Pelayanan Kesehatan)

2.1.3.1.3.1 Praktik Hygiene

Pola asuh orang tua dalam praktik higiene perorangan berkaitan dengan
kemampuan orang tua dalam menjaga kebersihan anak, berusaha mendapatkan

lingkungan yang sehat untuk anak dan menjauhkan anak dari bahaya. Lingkungan

sehat seperti sanitasi lingkungan yang memadai dapat mencegah terjadinya

kesakitan dan kematian pada anak. Kematian pada anak umumnya dikaitkan

dengan sanitasi yang tidak baik dan sumber air minum yang tercemar. Sumbet air

minum yang bersih merupakan faktor penting untuk kesehatan tubuh dan

mengurangi resiko serangan berbagai penyakit seperti diare, kolera dan tipus.74

Anak-anak yang berasal dari keluarga yang mempunyai fasilitas air bersih

memiliki prevalensi diare dan stunting lebih rendah daripada anak-anak dari

keluarga yang tanpa fasilitas air bersih dan kepemilikan jamban.4

Orang tua perlu terlibat dalam menjaga kebersihan anak seperti

memandikan anak, menjaga kebersihan badan serta pakaiannya, mengganti popok

saat anak akan tidur, menjaga kebersihan kamar dan tempat tidur anak dan tempat

bermain anak.35

Menurut Kemenkes RI, upaya untuk menjaga kebersihan anak agar

terhindar dari penyakit, adalah:

2.1.3.1.3.1.1 Memandikan anak menggunakan sabun minimal 2 kali sehari,

yaitu pagi dan sore hari

2.1.3.1.3.1.2 Mencuci rambut anak menggunakan shampoo minimal 2 kali

dalam seminggu.

2.1.3.1.3.1.3 Mengajak anak mencuci tangan sebelum makan dan sesudah buang

air besar.

2.1.3.1.3.1.4 Mengajarkan anak untuk sikat gigi setelah sarapan dan sebelum
tidur.

2.1.3.1.3.1.5 Menjaga kebersihan perlengkapan makan dan minum.

2.1.3.1.3.1.6 Menggunting kuku anak ketika mulai panjang (satu minggu 1 kali).

2.1.3.1.3.1.7 Rutin membersihkan rumah.

2.1.3.1.3.1.8 Menjauhkan anak dari paparan asap rokok dan dapur.

2.1.3.1.3.2 Perawatan Anak dalam Keadaan Sakit

Salah satu aspek dalam pola asuh yang dapat mempengaruhi status gizi

anak yang berkaitan dengan menjaga status kesehatan anak dan menjauhkan anak

dari penyakit adalah perawatan kesehatan. Perawatan kesehatan pada anak

dilakukan dengan mengamati status gizi, pemenuhan imunisasi, kebersihan anak

dan lingkungan (sanitasi lingkungan), melakukan penimbangan balita secara

teratur serta tindakan ibu untuk pada saat mencari pengobatan melakukan

penimbangan balita atau pada saat anak sakit. Aspek preventif yang dapat

dilakukan ibu berupa imunisasi.35 Imunisasi merupakan usaha untuk membangun

atau meningkatkan kekebalatan tubuh anak terhadap suatu penyakit suatu

melakukan penimbangan balita atau akan mengalami sakit sakit atau akan

mengalami sakit yang ringan. Imunisasi dasar yang perlu diberikan dan diterima

oleh balita antara lain Hepatitis B0, BCG, DPT HB/DPT-HB-Hib 1- 3, Polio 1-4

dan Campak.57

Pemberian imunisasi harus dilakukan sedini mungkin sesuai dengan usia

balita. Berdasarkan Kemenkes RI, usia pemberian imunisasi dasar untuk balita

adalah sebagai berikut:


2.1.3.1.3.2.1 Umur 0-6 hari : Hepatitis O

2.1.3.1.3.2.2 Umur 1 bulan : BCG dan Polio 1

2.1.3.1.3.2.3 Umur 2 bulan : DPT-HB-HIB 1 dan Polio 2

2.1.3.1.3.2.4 Umur 3 bulan : DPT-HB-HIB 2 dan Polio 3

2.1.3.1.3.2.5 Umur 4 bulan : DPT-HB-HIB 3, Polio 4 dan IPV

2.1.3.1.3.2.6 Umur 9 bulan : Campak

Salah satu pelayanan kesehatan yang dapat dimanfaatkan untuk

memantau pertumbuhan dan perkembangan balita setiap bulannya adalah

posyandu. Orang tua yang aktif membawa anaknya ke posyandu memiliki

manfaat terhadap kesehatan anak, karena beberapa kegiatan yang bisa didapatkan

di posyandu seperti penimbangan berat badan, pemeriksaan kesehatan, pemberian

makanan tambahan dan vitamin A serta penyuluhan kesehatan dan gizi.

Akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan sangat berpengaruh

terhadap status gizi anak balita, terbukti hasil penelitian Rahmayana yang

diperoleh adanya hubungan bermakna antara pemanfaatan pelayanan kesehatan

dengan kejadian stunting pada anak usia 24-59 bulan.78 Sejalan dengan hasil

penelitian Hairunis yang memperoleh akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan

yang kurang baik berisiko 4,3 kali memiliki status gizi stunting pada anak balita.76

2.1.3.2 Teori Perilaku Kesehatan

Berdasarkan teori dasar yang dikembangkan oleh Lawrence Green,

kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok yaitu
faktor perilaku (behavior causes) dan faktor diluar perilaku (non- behavior

causes).

Perilaku seorang ibu dalam memberikan pola asuh kepada anaknya

berdasarkan pendekatan teori Lawrence Green dipengaruhi oleh 3 faktor, Antara

lain79:

2.1.3.2.1 Faktor Predisposisi (predisposing factors)

Faktor-faktro yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya

perilaku seseorang antara lain sikap, keyakinan, pengetahuan, kepercayaan, nilai

dan norma (kebudayaan). Contohnya seorang ibu tidak memberikan ASI pertama

(kolostrum) kepada bayinya karena nilai budaya yang dianut di daerah tinggalnya

mengganggap ASI pertama adalah ASI yang kotor dan mendatangkan penyakit.

Namun sebaliknya pada ibu yang memberikan ASI pertama (kolostrum) ke

bayinya karena tahu tentang kandungan dan nilai gizi yang ada di dalam ASI

pertama (kolostrum). Tanpa adanya pengetahuan-pengetahuan tersebut mungkin

tidak akan memberikan ASI ekslusif ke bayinya.

2.1.3.2.2 Faktor Pendukung (enabling factors)

Faktor-faktor yang mungkin atau memfasilitasi perilaku atau tindakan.

Faktor-faktor tersebut yaitu adanya sarana kesehatan, terjangkaunya sarana

kesehatan, peraturan kesehatan, dan keterampilan terkait kesehatan. Seperti,

Puskesmas, posyandu, tempat buang air, tempat pembuangan, kartu jaminan

kesehatan, makanan bergizi dan sebagainya. Contohnya, sebuah keluarga yang

sudah tahu masalah kesehatan, mengupayakan keluarganya untuk menggunakan


air bersih, buang air di WC, makan makanan yang bergizi, dan sebagainya. Tetapi

apakah keluarga tersebut tidak mampu untuk mengadakan fasilitas itu semua,

maka dengan terpaksa buang air besar di kali/kebun menggunakan air kali untuk

keperluan sehari-hari, dan sebagainya.

2.1.3.2.3 Faktor Pendorong (reingforcing factors)

Faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku. yaitu

keluarga, guru, sebaya/teman, petugas kesehatan, tokoh masyarakat dan

pengambil keputusan. Kadang-kadang meskipun orang tahu dan mampu untuk

berperilaku sehat, tetapi tidak melakukannya. Contohnya seorang ibu yang

memiliki balita tau manfaat posyandu dan setiap bulan ada kegiatan posyandu di

lingkungan tempat tinggalnya. Namun, ia tidak mau membawa anaknya ke

posyandu karena ibu lurah yang kebetulan memiliki anak balita dan ibu tokoh-

tokoh lain tidak pernah ke posyandu membawa anak-anaknya tetap sehat. Hal ini

berarti bahwa untuk berperilaku sehat memerlukan contoh dari para tokoh

masyaraka.79

2.2 Kerangka Teori dan Kerangka Konsep Penelitian


2.2.1 Kerangka teori Penelitian

Stunting

Karakteristik balita
1. Umur
Zat Gizi Penyakit infeksi 2. Jenis kelamin
3. BBLR

Pola Asuh
ASI Pelayanan kesehatan
Ketersediaan pangan MP-ASI dan kesehatan
dan pola konsumsi Pelayanan Kesehatan
rumah tangga lingkungan

Pendapatan
Keluarga Faktor Pendukung Faktor Pendorong
Faktor Predisposisi 1. Adanya sarana 1. Keluarga
1. Pengetahuan kesehatan 2. Petugas
2. Kepercayaan 2. terjangkaunya kesehatan
3. Sikap sarana kesehatan 3. Masyarakat
4. Nilai dan Norma3 3. Peraturan 4. Pengambil
(Kebuudayaan) 4 kesehatan keputusan
4. keterampilan
terkait kesehatan

Pekerjan Pendidikan 5

Gambar 2.3 Kerangka Teori


Modifikasi UNICEF (1990), Lawrance Green (1980) dan McClelleand.11,79,80

2.2.2 Kerangka Konsep Penelitian

Pola Asuh
Kebiasaan Pemberian makan
Sunting
Kebiasaan Pengasuhan
Pelayanan Kesehatan Perhatikan
masukan
sebelumnya
Gambar 2.4 Kerangka Konsep Penelitian
2.3 Hipotesis Penelitian

2.3.2 Terdapat hubungan antara kebiasaan pemberian makan terhadap kejadian

stunting pada balita 24-59 bulan di Wilayah kerja Puskesmas Kilo

Kabupaten Dompu.

2.3.3 Terdapat hubungan antara kebiasaan pengasuhan terhadap kejadian

stunting pada balita 24-59 bulan di Wilayah kerja Puskesmas Kilo

Kabupaten Dompu.

2.3.4 Terdapat hubungan antara pelayanan kesehatan dengan kejadian stunting

pada balita 24-59 bulan di Wilayah kerja Puskesmas Kilo Kabupaten

Dompu.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ajie DP. Pengaruh Pemberian Asupan Gizi Seimbang terhadap Tumbuh

dan Perkembangan Anak Usia 1-5 Tahun di Pos Paud Permata Jayengan

Surakarta. Universitas Muhammadiyah Surkarta; 2014.

2. Kementerian Kesehatan RI. Kesehatan dalam Kerangka Sustainablee

Development Goals (SDGs). Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik

Indonesia; 2015.

3. Uripin. Menu Sehat Untuk Balit. Jakarta: Puspasuara; 2004.

4. Soetjiningsih G, Ranuh. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC; 2014.

5. Yani S, Wibsono H. Gambaran Tumbuh Kembang Anak Didik PAID di

Jajaran Kelurahan Pekayon Kecamatan Pasara rebo. Prosoding Semin Nas.

2018;1(1).

6. Nurhidayah I, Mediani HS HS. Tingkat Perkembangan Balita Usia 1

Bulan-6 Tahun di Kecamatan Cibiuk Kabupaten Garut. J Keperawatan

Komprehensip. 2018;4(1):47–57.

7. Aprilia D. Gambaran Tumbuh Kembang Anak Usia Balita di Pusat

Perawatan Anak Sehat (puspa sehat) Universitas Padjadjaran. Universitas

Padjadjaran Bandung; 2017.

8. Handayanti A. Pola Asuh pada Komunikasi Orang Tua Anak untuk

Menanamkan Disiplin pada Anak Menurut Islam. J Ilmu Komun.

2020;5(2).

9. Kementerian Kesehatan RI. Situasi Balita Pendek (Stunting) di Indonesia.


Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2018. 56 p.

10. Kusharisupeni. Peran Status Kelahiran Terhadap Stunting Pada Bayi :

Sebuah Studi Prospektif. J Kedokt Trisakti. 2011;23(3):73–80.

11. Harjatmo TP, Par’i HM, Wiyono S. Penilaian Status Gizi. Badan

Pengembangan Dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan.

2017.

12. Rahmawati F. Hubungan Pengetahuan Ibu, Pola Pemberian Makan, dan

Pendapatan Keluarga Terhadap Status Gizi Balita di Desa Pajerukan

Kecamatan Kalibogor. Universitas Muhammadiyah Purwokerto; 2016.

13. Supariasa I. Pendidikan dan Konsultasi Gizi. Jakarta: EGC; 2012.

14. Suharni. Gambaran Kejadian Stunting Pada Balita di Puskesmas

Mantrijeron Kota Yogyakarta. J Ilmu Kebidanan. 2017;7(14).

15. Setyawati VAV. Kajian Stunting Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin Di

Kota Semarang. University Research Colloqium; 2018.

16. Kismul H, Acharya P, Mapatano MA, Hatloy A. Determinants of childhood

stunting in the Democratic Republic of Congo: further analysis of

Demographic and Health Survey 2013–2014. BMC Public Health.

2017;18(74).

17. Izzawati IS. Hubungan Jenis Kelamin, Usia dan Riwayat Penyakit infeksi

dengan Kejadian Stunting Anak di RSUD Tugurejo Semarang. Universitas

Muhammadiyah Semarang; 2018.

18. Kementerian Kesehatan RI. Hasil Utama Riset Kesehatan Dasar

(RISKESDAS) [Internet]. Vol. 44, Journal of Physics A: Mathematical and


Theoretical. 2018. Available from:

http://arxiv.org/abs/1011.1669%0Ahttp://dx.doi.org/10.1088/1751-

8113/44/8/085201%0Ahttp://stacks.iop.org/1751-8121/44/i=8/a=085201?

key=crossref.abc74c979a75846b3de48a5587bf708f

19. Septikasari M, Septiyaningsih. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Orang

Tua dalam Pemenuhan Nutrisi Pada Balita Gizi Kurang di Wilayah Kerja

Puskesmas cilacap Utar 1 Kabupaten Cilacap. J Kesehat Al Irsyad.

2016;9(2):25–30.

20. Septikasari M, Ahyar M, Wiboworini B. Effect of Gestational Biological,

Social, Ekonomic Factors on Undernutrition in Infants 6-12 Months in

Cilacap. Indones J Med. 2016;1(3):184–94.

21. Correia LL, Silvia AC, Campos JS, Andrade FM, Machando MMT,

Lindsay AC, Leite AJM E al. Prevalence and Determinants of Child

Undernutrition and Stunting in Semiarid Region of Brazil. Rev Saude

Publica. 2014;48(1):19–28.

22. Suiraoka IP, Kusumajaya AAN, Larasati N. Perbedaan Konsumsi Energi,

Protein, Vitamin A dan Frekuensi Sakit Karena Infeksi Pada Anak Balita

Status Gizi Pendek (Stunted) dan Normal Di Wilayah Kerja Puskesmas

Karangasem I. J Ilmu Gizi. 2011;2(1):74–82.

23. Desyanti C, Nindya TS. Hubungan Riwayat Penyakit Diare dan Praktik

Higiene dengan Kejadian Stunting pada Balita Usia 24-59 Bulan di

Wilayah Kerja Puskesmas Simolawang, Surabaya. Amerta Nutr.

2017;1(3):243–51.
24. Puspita Y. Hubungan Riwayat Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut

dengan KejadianStunting pada Anak Balitadi Kabupaten Rejang Lebong,

Provinsi Bengkulu. Universitas Gajah Mada; 2015.

25. Kementerian Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia No 15 Tahun 2017 Tentang Penanggulangan Cacingan.

Kementerian Kesehatan RI. 2017.

26. Majestika S. Status Gizi Anak dan Faktor yang Mempengaruhi.

Yogyakarta: UNY Press. 2018. 74 p.

27. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Umum Pemberian Makan

Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) Lokal. Jakarta: Kementerian

Kesehatan RI; 2006.

28. Kementerian Kesehatan RI. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia.

Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2012.

29. Septikasari M. Pengaruh Dukungan Bidan terhadap Kebersihan ASI

Eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Cilacap Selatan 1 Kabupaten

Cilacap. Universitas Negeri Semarang; 2014.

30. Nugraheni D, Nuryanto, Wijayanti HS, Panunggali B, Syauqi A. ASI

Ekslusif dan Asupan Energi Berhubungan dengan Kejadian Stunting Pada

Usia 6-24 Bulan di Jawa Tengah. J Nutr Coll. 2020;9(2):106–13.

31. Adriani M, Wirjatmadi B. Peranan Gizi dalam Siklus Kehidupan. Jakarta:

Kencana Pramadamedia; 2014.

32. Septikasari M. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemberian Makanan

Pendamping (MP-ASI) Dini di Desa Sidamulya, Kecamatan Kemrajen


Kabupaten Banyumas. Universitas Padjadjaran; 2008.

33. Widaryanti R. Makanan Ppendamping ASI Menurunkan Kejadian Stunting

pada Balita Kabupaten Sleman. JIKA. 3(2):23–8.

34. Dewi I, Suhartatik, Suriani. Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Stunting

pada Balita 24-60 Bulan di Wilayah kerja Puskesmas Lakudo Kabupaten

Buton Tengah. J Imiah Kesehat Diagnosis. 2019;14(1).

35. Kahfi A. Gambaran Pola Asuh Baduta Stunting usia 13-24 Bulan Di

Wilayah Kerja Puskesmas Neglasari Kota Tangerang. Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta; 2015.

36. Sebataraja LR, Oenzeil F, Asterina. Hubungan Status Gizi dengan Status

Sosial Ekonomi Keluarga Murid Sekolah Dasar di Daerah Pusat dan

Pinggiran Kota Padang. J Kesehat Andalas. 2015;3(2):182–7.

37. Rosha BC, Putri DSK, Putri IYS. Determinan Status Gizi Pendek anak

Balita dengan Riwayat Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) di Indonesia

(Analisis Data Riskesdas 2007-2010). J Ekol Kesehat. 2013;12(3):195–205.

38. Astuti EP. Status Gizi Balita di Posyandu Melati Desa Sendangadi Mlati

Sleman Yogyakarta. J Permata Indones. 2017;8(1):18–23.

39. Anisa P. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Stunting Pada

Balita Usia 25-60 Bulan di Kelurahan Kalibaru Depok. Universitas

Indonesia; 2012.

40. Lailatul M, Ni’mah. C. Hubungan Tingkat Pendidikan, Tingkat

Pengetahuan dan Pola Asuh Ibu dengan Wasting dan Stunting pada Balita

Keluarga Miskin. Media Gizi Indones. 2015;10(2015):84–90.


41. Mugianti S, Mulyadi A, Anam AK, Najah ZL. Faktor Penyebab Anak

Stunting Usia 25-60 Bulan di Kecamatan Sukorejo Kota Blitar. J Ners dan

Kebidanan. 2018;5(3):268–78.

42. Dewan Perwakilan Rakyat RI dan Presiden RI. UNDANG-UNDANG

REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG

SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL [Internet]. 2003. Available from:

http://pendis.kemenag.go.id/file/dokumen/uuno20th2003ttgsisdiknas.pdf

43. Susilowati E, Himawati A. Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu tentang

Gizi Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Gajah 1 Demak. J Kebidanan.

2017;6(13).

44. Nurmaliza, Herlina S. Hubungan Pengetahuan dan Pendidikan Ibu terhadap

Status Gizi Balita. J Kebidanan. 2019;1(2):106–15.

45. Lainua MYW. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Balita Stunting di

Kelurahan Sidorejo Kidul Salatiga. Universitas Kristen Satya Wacana

Salatiga; 2016.

46. Marni. Gizi Dalam Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar;

2013.

47. Badan Pusat Statistik. Pengeluaran Untuk Konsumsi Penduduk Indonesia

Per Provinsi. BPS. Jakarta; 2017.

48. Septikasari M. Status Gizi Anak dan Faktor Yang Mempengaruhi.

Yogyakarta: UNY Press; 2018.

49. Adriani W. Gizi dan Kesehatan Balita. Jakarta: Kencana Pramadamedia;

2015.
50. Situmeang NSD, Sudaryat E, Jumirah. Correlation of Parenting and

Nutrient Intake with Stunting in Children 24-59 Months. Britain Int Exact

Sci J. 2020;2(1):280–5.

51. Putri AR. Aspek Pola Asuh, Pola Makan, dan Pendapatan Keluarga pada

Kejadian Stunting. Heal Tadulako J. 6(1).

52. Hanani Z, Susilo R. Hubungan Praktik Pemberian Makan dan Konsumsi

Pangan Keluarga dengan Kejadian Stunting Balita di Wilayah Kerja

Puskesmas Kalibagor. J Kesehat. 2020;13(2).

53. Niga DM, Purnomo W. Hubungan antara praktik pemberian makan,

perawatan kesehatan dan kebersihan anak dengan kejadian stunting pada

anak usia 1-2 tahun di wilayah kerja puskesmas oebobo kota kupang. J

Wiyata. 2016;3(2).

54. Ditjen Departemen Kesehatan RI. Bina Kesehatan Masyarakat. Jakarta:

Direktorat Bina Gizi Masyarakat; 2007.

55. Fika S, Ahmad S,Khaula K. Gizi Ibu dan Bayi. Jakarta: PT. Raja Gafindo

Persada; 2015. 58 p.

56. Departemen Kesehatan RI. Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI).

Jakarta: Departemen Kesehatan Ri; 2010.

57. Kementerian Kesehatan RI. Situasi dan Analisis ASI Ekslusif. Jakarta:

Kementrian Kesehatan RI; 2014.

58. Sulistyoningsih. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak dan Remaja.

Jakarta: TIM; 2011.

59. Sari MRN, Ratnawati LY. Hubungan Pengetahuan Ibu tentang Pemberian
Makanan dengan Status Gizi Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Gapura

Kabupaten Sumenep. Amerta Nutr. 2018;2(2):182–8.

60. Sihombing KM. Pengetahuan Keluarga Batak Toba dalam Pemberian

Makanan Balita di Desa Muliorejo Kecamatan Sunggal Kabupaten Serdang

Provinsi Sumatera Utara. Universitas Sumatera Utara; 2018.

61. CBNS. AKG 2019 untuk Bayi dan Anak [Internet]. 2019. Available from:

https://nutrition.web.id/akg-2019-untuk-bayi-dan-anak/

62. Sundari D, Almasyhuri, Lamid A. Pengaruh Proses Pemasakan terhadap

Komposisi Zat Gizi Bahan Pangan Sumber Protein. Media Litbangkes.

2015;25(4):235–42.

63. Nugraheni EP. Hubungan Pengetahuan Ibu tentang Penyusunan Menu

Balita dengan Status Gizi Balita di Desa Kemiri, Kecamatan Kaloran,

Kabupaten Temanggung. Universitas Negeri Yogyakarta; 2015.

64. Julianti S. Pengetahuan Praktik Ibu dalam Menyediakan Makanan Gizi

Seimi Seimbang Untuk Anbang Untuk Anaak Usia 1-5 Tahun di Desa

Sendang Soko Jakenan Pati. Universitas Diponegoro; 2017.

65. Departemen Kesehatan RI. Pegangan Fasilitator Kelas Ibu Balita. Jakarta:

Departemen Kesehatan Ri; 2009.

66. Hansen AR, Alfonso ML, Hackney AA, Luque JS. Preschool Children’s

SelfReports of Fruit and Vegetable Knowledge, Preference, and Messages

Encouraging Consumption. J Sch Health. 2015;85(6):355–64.

67. Arlinghaus KR, Vollrath K, Hernandez DC, et all. Authoritative Parent

Feeding Style is Associated with Better Child Dietary Quality at Dinner


Among Low-Income Minority Families. Am J Clin Nutr. 2018;108(4):730–

6.

68. Savage JS, Fisher JO, Birch LL. Parental influence on eating behavior:

Conception to adolescence. J Law, Med Ethics. 2007;35(1):22–34.

69. JW S. Educational Psychology, 5th Edition [Internet]. Ryan M, editor.

McGraw-Hill Education; 2016. 699 p. Available from:

https://silo.pub/educational-psychology-5th-edition.html

70. Yulia C. Pola Asuh Makan dan Kesehatan Anak Balita pada Keluarga

Wanita Pemetik Teh di PTPN VIII Pengalengan. IPB; 2008.

71. Sari MRN, Ratnawati LY. Hubungan Pengetahuan Ibu tentang Pola

Pemberian Makan dengan Status Gizi Balita di Wilayah Kerja Puskesmas

Gapura Kabupaten Sumenep. Amerta Nutr. 2018;182–8.

72. Ulfah E, Rahayuningsih SE, Herman H, et all. Asuhan Nutrisi dan

Stimulasi dengan Status Pertumbuhan dan Perkembangan Balita Usia 12-36

Bulan. Glob Med Heal Commun. 2018;6(1):12–20.

73. Kholifah SN, Fadillah N, As’ari H, Hidayat T. Perkembangan Motorik

Kasar Bayi Melalui Stimulasi Ibu di Kelurahan Kemayoran Surabaya. J

Sumber Daya Mns Kesehat. 2014;1(1).

74. Rita W, Anita B, Hidayah N, et all. Hubungan Pola Asuh Dengan Kejadian

Stunting (Rekomendasi Pengendaliannya di Kabupaten Lebong). Ris Inf

Kesehat. 2019;8(2).

75. Hidayat A. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan Kebidanan.

Jakarta: Salemba Medika; 2008.


76. Kementerian Kesehatan RI. Buku Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta:

Departemen Kesehatan RI dan JICA; 2015.

77. Kementerian Kesehatan RI. Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta: Kemenkes

RI dan JICA; 2016.

78. Rahmayana, Ibrahim IA, Damayati DS. Hubungan Pola Asuh Ibu Dengan

Kejadian Stunting Anak Usia 24-59 Bulan Di Posyandu Asoka II Wilayah

Pesisir Kelurahan Barombong Kecamatan Tamalate Kota Makassar Tahun

2014. Al-Sihah Public Heal Sci Journa. 2014;6(2).

79. Nursalam. Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Surabaya: Salemba

Medika; 2013. 133 p.

80. Irawati E. Burnout Syndrome pada Mahasiswa Profesi Berdasarkan

Analisis Faktor Person dan Faktor Lingkungan dari Teori Maslach.

Universitas Airlangga; 2012.

Anda mungkin juga menyukai