Anda di halaman 1dari 39

The Sources of International Law

Kelompok 5
Maichle Delpiero [110110190181]
Olwintra Sitorus [110110190184]
Zidna Sabrina [110110190165]
Muhammad Labib Wajdi [110110190193]
Quinnashya Pradipta Early Folanda [110110190205]

Abstract
The formal source of international law is contained in article 38 (1) of the Statute of the International Court of
Justice. In this article, the sources of international law are divided into 4 parts. The four sources of international
law do not have any hierarchy but they are divided into two types of sources, primary sources of international law
and subsidiary sources of international law. Primary sources of international law are international conventions,
international customs, and the general principles of international law. Meanwhile, subsidiary sources of
international law are judicial decisions and the teaching of the most highly qualified publicist or doctrines.
However, it should be noted that the position of subsidiary sources of law is to prove that there is a rule of
international law regarding an issue based on primary sources of international law.
Keywords: Sources of International Law, International Conventions, International Customs, General
Principles of International Law, Judicial Decisions, Doctrines

Sumber Hukum Internasional

Abstrak
Sumber hukum internasional secara formil tertuang di dalam pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional.
Pada pasal tersebut, sumber hukum internasional terbagi menjadi 4 bagian. Keempat sumber hukum
internasional tersebut tidak memiliki hierarki atau tingkatan kedudukan melainkan dibagi menjadi dua jenis
sumber, yaitu sumber hukum internasional primer dan sumber hukum internasional subsidier atau tambahan.
Sumber hukum internasional yang bersifat primer atau utama antara lain adalah perjanjian internasional,
kebiasaan internasional, dan prinsip-prinsip hukum internasional. Sedangkan sumber hukum internasional yang
bersifat subsidier adalah keputusan pengadilan serta doktrin. Namun, perlu diperhatikan, bahwa kedudukan
sumber hukum subsidier adalah untuk membuktikan adanya kaidah hukum internasional mengenai suatu
persoalan yang didasarkan atas sumber hukum internasional primer.

Kata kunci: Sumber Hukum Internasional, Perjanjian Internasional, Kebiasaan Internasional, Prinsip-
Prinsip Hukum Umum, Keputusan Pengadilan, Doktrin

A. Pendahuluan
Hukum internasional dapat didefinisikan sebagai keseluruhan hukum yang untuk
sebagian besar terdiri dari prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah perilaku yang terhadapnya negara-
negara merasa dirinya terikat untuk menaati, dan karenanya, benar-benar ditaati secara umum
dalam hubungan-hubungan mereka satu sama lain, dan yang meliputi juga :
a. Kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan berfungsinya lembaga-lembaga atau
organisasi-organisasi internasional, hubungan-hubungan mereka satu sama lain, dan hubungan
mereka dengan negara-negara dan individu-individu; dan
b. Kaidah-kaidah hukum tertentu yang berkaitan dengan individu-individu dan badan-badan
non-negara sejauh hak-hak dan kewajiban individu dan badan non-negara tersebut penting bagi
masyarakat Internasional.1
Dalam ketentuan pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional. Menurut ketentuan itu sumber-
sumber hukum internasional antara lain :2
a. International conventions, whether general or particular, establishing rules expressly
recognized by the contesting states;
Yakni konvensi internasional, baik umum atau khusus, menetapkan aturan yang secara
tegas diakui oleh negara peserta.
b. International custom as evidence of a general principle accepted as law;
Yakni kebiasaan internasional, sebagai bukti praktik umum yang diterima sebagai hukum.
c. General principles of law recognized by civilized nations;
Prinsip umum hukum yang diakui oleh negara-negara beradab.
d. The judicial decisions and the teachings of the most highlt qualified publicist of various
nations, as subsidiary means for the determination of the rules of law.
Keputusan yudisial dan ajaran dari cendekiawan terkemuka. 3
Didalam penerapan dan pengimplemantasiian dalam ranah Internesional sering terjadi
perdebatan, dapat dikatakan diterima untuk diterima sebagai hukum harus memenuhi beberapa
syarat. Apabila negara-negara menerimanya sebagai demikian, artinya tidak ada keberatan oleh
negara-negara apabila sumber tersebut dijadikan sebuah hukum kebiasaan. Keberatan dapat
dinyatakan dengan berbagai cara misalnya dengan jalan diplomatik, atau dengan jalan hukum
dengan mengajukan keberatan di hadapan suatu mahkamah. Dalam menilai apakah kebiasaan
tersebut dapat dimasukkan kedalam hukum Internasional.
Selain itu, dalam penyelesaian kasus yang ada pada hukum Internasional jika tidak dapat
terselesaikan hanya melalui hukum Internasional, atau ketika hukum internasional yang sudah
ada tidak mempunyai kapabilitas dalam menyeleselesaikan permasalahan seringkali
mengadopsi sumber hukum yang ada. Bagaimana sebenarnya penerapan sumber hukum yang
ada selain dari hukum Internasional seperti dari doktrin, konvesi Internasional, Hukum
Kebiasaan, prinsip prinsip hukum umum, putusan pengadilan, serta ajaran dari cendekiawan
terkemuka. Melihat lagi bahwa sebagai sebuah negara yang notabene merupakan salah satu
subjek hukum dan terus membuat hubungan hukum maka pasti akan timbul suatu
permasalahan dalam melakukan hubungan dengan negara-negara lain. Oleh karena itu kami
akan membahas mengenai penerapan sumber-sumber hukum dalam kasus yang terjadi di ranah
Internasional.

1
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, 2009, Sinar Grafika, Jakarta, hal: 3
2
Statute of the International Court of Justice, 1946, United Nations
3
Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agus, Pengatar Hukum Internasional, P.T. Alumni, Bandung, 2003.
B. Laporan Kasus-Kasus Sumber Hukum Internasional

1. Perjanjian International (International Convention)


Gabcyvoko Nagymaros (Cekoslovakia v. Hungaria) 1993
1. Fakta-Fakta Hukum

Sengketa Gabcikovo -Nagymaros bermula pada tahun 1960-an, ketika dua negara komunis,
Czechoslovakia dan Hungaria, memutuskan untuk meluncurkan program pembangunan
bersama dengan maksud untuk membangun serangkaian bendungan di bentangan bersama
Sungai Danube, sungai terpanjang kedua di benua Eropa [“1977 Treaty”].4 Inspirasi politik di
balik proyek tersebut adalah resolusi COMECOM (the communist bloc’s economic
cooperation body) tahun 1956, yang merencanakan pembangunan skala besar di Sungai
Danube dari delta Laut Hitam ke Bratislava, termasuk pembangunan serangkaian bendungan
untuk produksi energi, navigasi, militer, dan pembangunan ekonomi. Akses sungai ke
Bratislava juga memiliki manfaat signifikan secara geopolitik karena merupakan pusat kargo
air dan kereta api paling barat di blok Soviet di jalur air internasional terpenting di Eropa.5

1977 Treaty secara resmi diadopsi oleh kedua pemerintah pada tahun 1977, dimana isinya
mengatur operasi bersama dari dua bendungan terpisah: bendungan hulu di Gabcikovo

4
GabCikovo-Nagymaros Project (HungarylSlovakia), Judgment, 1. C. J. Reports 1997, hlm. 7.
5
Johan G. Lammers, Case Analysis: The Gabčíkovo-Nagymaros Case Seen in Particular From the Perspective
of the Law of International Watercourses and the Protection of the Environment, hlm. 2
(Czechoslovakia) dan bendungan hilir di Nagymaros (Hungaria). Pengoperasian kedua
bendungan tersebut adalah berupa ‘peak power mode’ di mana, selama jam-jam paling banyak
dibutuhkan listrik (peak hour demand), bendungan hulu Gabcikovo akan mengaliran saluran
air sungai. Bendungan hilir Nagymaros dimaksudkan untuk menyamakan variasi air yang
dilepaskan pada beban puncak dan beroperasi secara terus menerus.
Sejak awal pembangunan proyek, banyak terjadi kemunduran dan penundaan. Baru pada
pertengahan 1980-an infrastruktur yang sebenarnya mulai dibangun secara fisik. Hal ini
dikarenakan adanya permasalahan politik terhadap sistem komunis (terutama di Hungaria) dan
kesulitan secara finansial. Di Hungaria, proyek itu dianggap sebagai simbol dari korupsi
pemerintah dan mendapat perlawanan dari rakyat, terutama dalam aspek lingkungan. Karena
tekanan rakyat, pada bulan Mei 1989, Parlemen Hungaria memutuskan untuk menangguhkan
pekerjaan di Nagymaros dan pada bulan Oktober untuk sama sekali meninggalkan bagian
Hungaria dari proyek tersebut. Keputusan Hungaria juga dimotivasi oleh ketidakberlanjutan
ekonomi proyek-proyek tersebut.
Walaupun di Hungaria proyek tersebut tidak diterima dengan baik oleh rakyat karena
merusak lingkungan, di Czechoslovakia proyek tersebut sebenarnya dipandang bermanfaat
bagi lingkungan, mengingat banyaknya polusi dari pembangkit listrik bahan bakar batu bara
tersebar di Czechoslovakia. Selain itu, negara Czechoslovakia terdapat kemajuan dalam aspek
pembangunan bendungan tersebut dengan bagian-bagian dari bendungannya sendiri hampir
mencapai tahap selesai. Hal ini dikarenakan pemerintah Czechoslovakia, tidak seperti
Hungaria, tidak melakukan adanya korupsi dari dana pembanguan sehingga penundaan dalam
proses konstruksi tidak terlalu parah.
Oleh karena itu, mengingat posisi kedua belah pihak yang berbeda, Czechoslovakia
merancang sebuah rencana alternatif untuk mengoperasikan pabrik Gabcikovo (yang saat itu)
hampir selesai. Dalam rencana alternatifnya, pengaturan berjudul ‘Varian C’6 disetujui oleh
Czechoslovakia pada Juli 1991 yang berisi rencana pembangunan bendungan yang baru secara
eksklusif di wilayah Slovakia di Čunovo.

6
Gabor Baranyai, Anatomy of a deadlock: a systemic analysis of why the Gabčíkovo–Nagymaros dam dispute is
still unresolved, hlm. 40.
Karena para pihak gagal mencapai kesepakatan tentang nasib akhir proyek, Czechoslovakia
mulai menerapkan ‘Varian C’ secara unilateral pada November 1991. Sebagai tanggapan, pada
Mei 1992, pemerintah Hungaria memberi tahu Czechoslovakia tentang penghentian segera
kesepakatan 1977. Czechoslovakia menyelesaikan pengerjaan ‘Varian C’7 pada musim gugur
tahun itu dan mulai mengalihkan Danube dari dasar sungai umum (yang terdapat di perbatasan
internasional) dan cabang samping Hungaria, mengambil 90% dari persediaan air. Bendungan
Gabcikovo sedang dioperasikan dengan kapasitas terpasang yang sama seperti yang
direncanakan dalam perjanjian 1977, tetapi tidak sesuai ‘peak power mode’ seperti yang
dijanjikan semula.

2. Permasalahan Hukum (Legal Issues)

Pada bulan April 1991 Hungaria memulai negosiasi untuk penghentian total 1977 Treaty.
Slovakia menolak proposal ini dan malah memutuskan secara sepihak untuk mengadopsi
'provisional solution berupa ‘Varian C’ pada Juli 1991. Hungaria akhirnya mengakhiri 1977
Treaty dengan memeberi pernyataan pada tanggal 25 Mei 1992 [“1992 Notification”].
Slovakia menyelesaikan pembangunan bendungan Cunovo (hulu Dunakiliti) tidak lama
kemudian dan merencanakan pengalihan ke Sungai Danube utama pada akhir Oktober 1992.

7
Heiko Furst, The Hungarian-Slovakian Conflict over the Gabèíkovo-Nagymaros Dams: An Analysis, hlm. 2.
Pada 2 Juli 1993, Hungaria dan Slovakia mengajukan Special Agreementi kepada Mahkamah
Internasional untuk menindaklanjuti sengketa tersebut.

3. Argumentasi Para Pihak

SUBMISSIONS
A. Hungaria
Dengan hormat meminta Pengadilan untuk memutuskan dan menyatakan:8
Pertama, bahwa Republik Hungaria memiliki hak untuk menangguhkan dan kemudian
meninggalkan pekerjaan pada Proyek Gabcikovo dan Proyek Nagymaros.
Kedua, Czech dan Slovakia tidak berhak melanjutkan ke 'provisional solution' (membendung
Sungai Danube di kilometer sungai 185 1.7 di wilayah Czechoslovakia dan mengakibatkan
konsekuensi pada jalur air dan navigasi);
Ketiga, bahwa dengan 1992 Notification, Hungaria secara resmi mengakhiri 1977 Treaty

Meminta Pengadilan untuk memutuskan dan menyatakan lebih lanjut


(1) bahwa 1977 Treaty tidak pernah berlaku antara Hungaria dan Slovakia
(2) bahwa Slovakia bertanggung jawab terhadap Hungaria untuk mempertahankan dalam
operasi ‘provisional solution’ yang disebutkan di atas.
(3) bahwa Slovakia secara internasional bertanggung jawab atas kerusakan dan kerugian
yang diderita oleh Republik Hungaria dan oleh warga negaranya sebagai akibat dari
'provisional solution' atau ‘Varian C’
(4) bahwa Slovakia berkewajiban untuk melakukan perbaikan sehubungan dengan
kerusakan tersebut, jumlah reparasi tersebut, dan jika tidak disetujui oleh Para Pihak
dalam waktu enam bulan sejak tanggal Putusan Pengadilan, akan ditentukan oleh
Pengadilan;
(5) bahwa Slovakia berada di bawah kewajiban berikut:
a. Untuk mengembalikan perairan sungai Danube ke jalurnya di sepanjang
perbatasan internasional antara Republik Hungaria dan Republik Slovakia,
yaitu saluran utama yang dapat dilayari sebagaimana ditentukan oleh perjanjian
yang berlaku;
b. Untuk mengembalikan Danube ke pra-berlakunya ‘provisional solution’;

8
GabCikovo-Nagymaros Project (HungarylSlovakia), Judgment, 1. C. J. Reports 1997, hlm. 15.
c. Untuk memberikan jaminan yang sesuai terhadap pengulangan kerusakan dan
kerugian yang diderita oleh Republik Hungaria dan oleh warga negaranya.
B. Slovakia
Dengan hormat meminta Pengadilan untuk memutuskan dan menyatakan9
(1) Bahwa 1977 Treaty antara Czechoslovakia dan Hungaria tanggal 16 September 1977
mengenai pembangunan dan pengoperasian bendungan Gabcikovo-Nagymaros, dan
instrumen terkait, dan di mana Slovakia adalah penerus yang diakui, dan bahwa
pemberitahuan penghentian oleh Hungaria pada tanggal 19 Mei 1992 tidak memiliki
pengaruh hukum.
(2) Bahwa Hungaria tidak memiliki hak untuk menangguhkan dan kemudian
meninggalkan pekerjaan pada Proyek Nagymaros dan bagian dari Proyek Gabcikovo
yang mana 1977 Treaty mengaitkan tanggung jawab dengan Republik Hungaria.
(3) Bahwa tindakan melanjutkan dan menjalankan Varian C, 'provisional solution', adalah
sah
(4) Bahwa Republik Hungaria harus segera menghentikan semua tindakan yang
menghalangi pelaksanaan 1977 Treaty secara penuh dan harus mengambil semua
langkah yang diperlukan untuk memenuhi kewajibannya sendiri berdasarkan Treaty
1977 tanpa penundaan lebih lanjut untuk memulihkan kepatuhan terhadap Traktat.
(5) Bahwa, sebagai akibat dari pelanggaran 1977 Treaty, Republik Hungaria diwajibkan
untuk membayar, dan Republik Slovakia berhak menerima, kompensasi penuh atas
kerugian dan kerusakan yang ditimbulkan oleh Republik Slovakia karena pelanggaran
tersebut, ditambah bunga dan kerugian. keuntungan, dalam jumlah yang akan
ditentukan Pengadilan pada tahap persidangan berikutnya dalam kasus ini.

ARGUMENTS
A. State of Necessity
Pasal 25 ILC Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts
[“ARSIWA”] berbunyi:10
“Necessity may not be invoked by a State as a ground for precluding the
wrongfulness of an act not in conformity with an international obligation of
that State unless the act:

9
Ibid, hlm. 16.
10
Art. 25, International Law Commission, Draft Articles on Responsibility of States for Internationally
Wrongful Acts, November 2001, Supplement No. 10 (A/56/10), chp.IV.E.1
(a) is the only way for the State to safeguard an essential interest against a
grave and imminent peril; and
(b) does not seriously impair an essential interest of the State or States
towards which the obligation exists, or of the international community as a
whole.”
Hungaria menyatakan bahwa mereka berhak untuk menangguhkan proyek Gabcikovo-
Nagymaros dikarenakan adanya state of necessity atau keadaan genting, dimana
essential interest miliknya terancam grave and imminent peril. Dalam kasus ini,
Hungaria berargumen bahwa essential interest mereka, berupa lingkungan di sekitar
Gabcikovo-Nagymaros, terancam bahaya apabila proyek tetap dilaksanakan. Sehingga
Hungaria menyatakan bahwa mereka berhak keluar dari 1977 Treaty.
B. Pembangunan ‘Varian C’
Czechoslovakia berargumen bahwa keputusan Hungaria untuk menangguhkan dan
kemudian menghentikan pembangunan pekerjaan di situs tersebut membuat
Czechoslovakia tidak mungkin melaksanakan pekerjaan yang diatur dalam 1977 Treaty.
Slovakia menggunakan apa yang digambarkannya sebagai "principle of approximate
application" untuk membenarkan konstruksi dan pengoperasian Varian C.

4. Putusan Badan Peradilan


Mengingat Pasal 2, ayat 1, Special Agreement,11
(1) Menemukan, dengan 14 suara berbanding 1, bahwa Hungaria tidak memiliki hak untuk
menangguhkan dan kemudian meninggalkan, pada tahun 1989, pekerjaan pada Proyek
Nagymaros dan pada bagian dari Proyek Gabcikovo yang mana 1977 Treaty dan
instrumen terkait mengatribusikan tanggung jawab padanya.
(2) Menemukan, dengan 14 suara dibanding 1, bahwa Hungaria tidak memiliki hak untuk
menangguhkan dan kemudian meninggalkan, pada tahun 1989, pekerjaan pada Proyek
Nagymaros dan pada bagian dari Proyek Gabcikovo yang mana 1977 Treaty dan
instrumen terkait mengatribusikan tanggung jawab padanya.
(3) Menemukan, dengan 9 suara dibanding 6, bahwa Czechoslovakia berhak melanjutkan,
pada November 1991, ke ‘provisional solution’ sebagaimana dijelaskan dalam
persyaratan Perjanjian Khusus

11
GabCikovo-Nagymaros Project (HungarylSlovakia), Judgment, 1. C. J. Reports 1997, hlm. 43.
(4) Menemukan, dengan 10 suara dibanding 5, bahwa Czechoslovakia tidak berhak
mengoperasikan sejak Oktober 1992, ‘provisional solution’ ini
(5) Menemukan, dengan 11 suara dibanding 4, bahwa pemberitahuan, pada 19 Mei 1992,
tentang penghentian 1977 Treaty dan instrumen terkait oleh Hungaria tidak memiliki
efek hukum untuk menghentikannya.

Mengingat Pasal 2, ayat 2, dan Pasal 5 Special Agreement.12


(1) Menemukan, dengan 12 suara banding 3, bahwa Slovakia, sebagai penerus
Czechoslovakia, adalah anggota 1977 Treaty sejak 1 Januari 1993
(2) Menemukan, dengan 13 suara dibanding 2, bahwa Hungaria dan Slovakia harus
bernegosiasi dengan niat baik mengingat keadaan yang berlaku, dan mengambil semua
langkah yang diperlukan untuk memastikan pencapaian tujuan 1977 Treaty, sesuai
dengan modalitas yang mungkin mereka sepakati.
(3) Menemukan, dengan 13 suara dibanding 2, bahwa, kecuali Para Pihak menyetujui
sebaliknya, rezim operasi bersama akan ditetapkan sesuai dengan 1977 Treaty.
(4) Menemukan, dengan 12 suara dibanding 3, kecuali Para Pihak setuju sebaliknya,
Hungaria akan memberikan kompensasi kepada Slovakia atas kerusakan yang diderita
oleh Czechoslovakia dan oleh Slovakia karena penangguhan dan pembatalan pekerjaan
yang menjadi tanggung jawab Hungaria; dan Slovakia untuk memberi kompensasi
kepada Hungaria atas kerusakan yang dideritanya dengan mempertimbangkan operasi
‘provisional solution’ Czechoslovakia dan pemeliharaannya oleh Slovakia.
(5) Menemukan, dengan 15 suara dibanding 2, bahwa penyelesaian perhitungan untuk
konstruksi dan operasi pekerjaan harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang relevan
dari 1977 Treaty dan instrumen terkait.

5. Dasar Pertimbangan
a. State of Necessity
Dalam ARSIWA, keadaan genting atau state of necessity dapat digunakan oleh
negara sebagai alasan penghapus kesalahan internasional (internationally wrongful
acts) apabila memang dalam keadaan yang mendesak. Pada kasus ini Hungaria
mengajukan adanya state of necessity dikarenakan pembangunan dari bendungan
Gabcikovo-Nagymaros dapat merusak keadaan lingkungan sekitar.

12
Ibid, hlm. 83.
Pengadilan mengamati bahwa, bahkan jika State of Necessity ditemukan ada,
itu bukan dasar untuk penghentian perjanjian. Ia hanya dapat diminta untuk
membebaskan dari tanggung jawab suatu negara yang telah gagal melaksanakan
suatu perjanjian.
b. Pembangunan ‘Varian C’
Argumen utama Hungaria untuk meminta pelanggaran material terhadap 1977
Treaty adalah konstruksi dan pengoperasian ‘Varian C’. Pengadilan menyatakan
bahwa Hungaria menemukan Czechoslovakia melanggar Perjanjian hanya ketika
terdapat pengalihan air sungai Danube pada Oktober 1992. Dalam konstruksi dan
pengoperasian ‘Varian C’, Czechoslovakia tidak mengambil tindakan melawan
hukum. Oleh karena itu, menurut Pengadilan, pemberitahuan penghentian Hungaria
tanggal 19 Mei 1992 tidak dapat diterima. Tidak ada pelanggaran 1977 Treaty oleh
Czechoslovakia yang terjadi dan sebagai akibatnya Hungaria tidak memiliki hak
untuk meminta pelanggaran 1977 Treaty sebagai dasar untuk menghentikannya jika
itu terjadi.

6. Analisis + Komentar
Dalam Pasal 38(1)(a) Statuta ICJ disebutkan bahwa salah satu sumber hukum
internasional adalah traktat internasional, dan dalam Pasal 38(1)(b) disebutkan juga hukum
kebiasaan internasional sebagai sumber hukum. 13 1977 Treaty sendiri masuk kedalam
traktat internasional, sedangkan state of necessity masuk ke dalam hukum kebiasaan
internasional.
Menurut saya, walaupun memang sudah terbukti bahwa state of necessity merupakan
hukum kebiasaan internasional yang memang dilaksanakan di seluruh dunia,14 dalam kasus
ini Hungaria tidak dapat mengajukan submission-nya bahwa mereka dapat meninggalkan
proyek karena state of necessity karena seperti yang dikatakan oleh Pengadilan, interpretasi
state of necessity yang berasal dari Pasal 25 ARSIWA tidak menghilangkan sebuah traktat,
namun hanya kesalahan apabila gagal melaksanakan kewajiban yang tertuang di dalamnya.
Tidak hanya itu, karena ‘Varian C’ tidak melanggar Treaty 1977 dan mengikuti prinsip
good faith, maka Slovakia berhak untuk membangun skema tersebut tanpa ada halangan
dari sisi Hungaria.

13
Art 38(1), Statute of the International Court of Justice, 18 April 1946
14
Malcolm Shaw, International Law (Cambridge University Press: New York, 2008), hlm. 798.
7. Daftar Pustaka

Buku

Shaw, M. (2008). International Law. New York: Cambridge University Press.

Jurnal
Baranyai, G. (2016). Anatomy of a deadlock: a systemic analysis of why the. Water Policy.

Furst, H. (n.d.). The Hungarian-Slovakian Conflict over the Gabèíkovo-Nagymaros Dams: An. Institute
for Peace Research and Security Policy, 2.

Lammers, J. G. (1998). Case Analysis: The Gabčíkovo-Nagymaros Case Seen in Particular From the
Perspective of the Law of International Watercourses and the Protection of the Environment.
Leiden Journal of International Law.

Dokumen Hukum
Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts. (2001). International Law
Commission.

Statute of the International Court of Justice.

Kasus
Gabcikovo-Nagymaros Project (International Court of Justice 1997).
2. Hukum Kebiasaan Internasional (Customary International Law)

Asylum Case (Colombia v. Peru) 1950


1. Fakta-Fakta Hukum (5W +1H)
Pada tanggal 3 Oktober 1948, terjadi pemberontakan militer di Peru. Namun, peristiwa
pemberontakan ini dapat dilumpuhkan pada hari yang sama, dan dilangsungkan proses
investigasi segera. Pada tanggal 4 Oktober 1948, Presiden Republik Peru mengeluarkan dekrit
atas deklamasi partai politik, American People’s Revolutionary Alliance (APRA), yang
dituduh telah merencanakan dan melangsungkan pemberontakan. Hal ini mengakibatkan
APRA telah ditempatkan di luar hukum, sehingga tidak diberikan izin untuk melakukan
aktivitas apapun dan pemimpinnya akan dibawa ke Mahkamah Internasional sebagai
penghasut pemberontakkan. Tak berselang lama, pimpinan dari Departemen Kehakiman
Angkatan Laut memberikan sebuah perintah agar dibukanya pengujian Magistrat, yakni untuk
menyimpulkan berupa fakta-fakta yang mendukung bahwa kejahatan militer dilakukan oleh
pemberontak.
Victor Raul Haya de la Torre, yang merupakan pimpinan partai APRA, melarikan diri dari
Peru dan mendapatkan suaka dari Duta Besar Kolombia di Lima. Pada tanggal 3 Januari 1949,
Perwakilan Kolombia mengumumkan suakanya kepada Menteri Luar Negeri Peru, dan
meminta dengan adanya safe conduct pass untuk Victor Raul Haya de la Torre agar dapat
keluar dari negaranya. Peru menolak safe conduct pass, dan menyatakan bahwa kejahatan Haya
de la Torre termasuk tindakan teroris yang tidak bisa mendapatkan suaka. Dalam kebuntuan
ketika pemerintahan Kolombia membujuk agar Peru melaksanakan perjanjian damai, pilihan
terakhirnya adalah mengajukannya ke Mahkamah Internasional.
2. Permasalahan Hukum (Legal Issues)
Pemberian suaka diplomatik di Kedutaan Besar Kolombia di Lima, pada 3 Januari 1949,
kepada seorang warga negara Peru, Victor Raúl Haya de la Torre, seorang pemimpin politik
yang dituduh menghasut pemberontakan militer, menjadi subjek perselisihan antara Peru dan
Kolombia yang Para Pihak setuju untuk menyerahkan ke Pengadilan. 15 Konvensi Pan-
American Havana tentang Suaka (1928) menetapkan bahwa, dengan syarat-syarat tertentu,
suaka dapat diberikan di kedutaan asing kepada seorang pengungsi politik yang merupakan
warga negara dari Negara teritorial.16 Pertanyaan yang diperdebatkan adalah apakah Kolombia,
sebagai Negara pemberi suaka, berhak secara sepihak untuk “memenuhi syarat” pelanggaran
yang dilakukan oleh pengungsi17 dengan cara yang mengikat Negara teritorial, selanjutnya
untuk memutuskan apakah itu merupakan pelanggaran politik18 atau kejahatan umum. Lebih
lanjut, Pengadilan diminta untuk memutuskan apakah Negara teritorial terikat untuk
memberikan jaminan yang diperlukan untuk memungkinkan pengungsi meninggalkan negara
dengan aman.
3. Argumentasi para pihak

15
Article 36 (1) of International Court of Justice Statute
16
Article 2 of Convention on Asylum (Signed in Havana, February 20, 1928, at the Sixth International
Conference of American States)
17
Article 1 of the Geneva Convention relating to the Status of Refugees
18
Eain v. Wilkes, 1981 (9th Circuit Court of Appeals)
a. Kolumbia
Pemerintah Kolombia telah mengajukan dua pengajuan kepada Pengadilan untuk
memutuskan dan mendeklarasikan, yakni sebagai berikut.19
[1] “Bahwa Republik Kolombia, sebagai negara pemberi suaka, kompeten untuk memenuhi
syarat pelanggaran untuk tujuan suaka tersebut, dalam batas-batas kewajiban yang dihasilkan
khususnya dari Perjanjian Bolivarian tentang Ekstradisi tanggal 18 Juli 1911, dan Konvensi
tentang Suaka tanggal 20 Februari 1928, dan hukum internasional Amerika pada umumnya.”
Republik Kolombia mendasarkan pengajuan ini pada aturan yang dihasilkan dari
kesepakatan, dan kebiasaan.
a. Perjanjian Bolivarian 1911, Pasal 18:20
“Aside from the stipulations of the present Agreement, the signatory States recognize
the institution of asylum in conformity with the principles of international law.”
Pemerintah Kolombia berargumen bahwa semua negara yang telah menandatangani
perjanjian bolivarian mengakui adanya “institution of asylum”. Namun, ketentuan
selanjutnya dalam pasal ini menjelaskan bahwa pengakuan terhadap “institution of
asylum” harus disertakan pada prinsip-prinsip hukum internasional. Dalam
kenyataannya tidak ada prinsip-prinsip hukum internasional yang mengakui aturan
kualifikasi sepihak dan definitif oleh Negara pemberi suaka diplomatik.
b. Perjanjian Bolivarian 1911, Pasal 4:21
“Extradition of a criminal refugee from the territory of the State in which he has
sought refuge.”
Pemerintah Kolombia berargumen bahwa Victor Raul Haya de la Torre, berhak atas
suaka territorial (ekstradisi). Dengan argumen yang dipaparkan oleh pemerintah
Kolombia, menimbulkan kebingungan antara suaka territorial (ekstradisi) dengan suaka
diplomatik. Dalam teorinya, suaka territorial dapat diberikan apabila pengungsi berada
di wilayah yang akan diberikan suaka, sedangkan suaka diplomatik diberikan pada saat
pengungsi berada di wilayah pelanggaran terjadi. Pada kenyataanya Victor Raul Haya
de la Torre melakukan pelanggaran di wilayah Peru dan kemudian dilindungi oleh
pemerintah Kolombia maka seharusnya yang harus diterapkan adalah suaka diplomatik
bukan suaka territorial. Oleh karenanya argumen ini tidak dapat menarik kesimpulan
mengenai suaka territorial tersebut.
c. Konvensi Havana tentang Suaka 192822

19
Ibid, p. 8
20
Article 18 of Bolivarian Agreement (Signed the Bolivarian Extradition Agreement on 18 July 1911 in
Caracas)
21
Article 4 of Bolivarian Agreement (Signed the Bolivarian Extradition Agreement on 18 July 1911 in Caracas)
22
Convention on Asylum (Signed in Havana, February 20, 1928, at the Sixth International Conference of
American States)
Pemerintah Kolombia berargumen bahwa konvensi ini menetapkan aturan-aturan
tertentu yang berkaitan dengan suaka diplomatik. Memang benar adanya bahwa
mengatur aturan-aturan tertentu tersebut, tetapi pada konvensi tersebut tidak memuat
ketentuan apa pun yang menganugerahkan kepada Negara yang memberikan suaka
secara sepihak untuk memenuhi syarat pelanggaran dengan definitif, dan kekuatan
mengikat untuk Negara teritorial. Akan tetapi, Pemerintah Kolombia berpendapat
bahwa kompetensi semacam itu tersirat dalam Konvensi itu dan melekat dalam
lembaga suaka.
Selain itu, Pemerintah Kolombia berargumen bahwa di dalam pembukaan konvensi ini
tercantum tentang “memperbaiki aturan” yang harus dipatuhi oleh Pemerintah Amerika
Serikat untuk pemberian suaka. Namun setelah ditelusuri, pada akhir pembukaan
tersebut memiliki maksud untuk mencegah pelanggaran yang telah muncul dalam
praktek sebelumnya maka harus adanya pembatasan pemberian suaka. Hal itu juga
ditegaskan dalam beberapa pasal dalam konvensi ini. ("Tidak diperbolehkan bagi
Negara ...."; "Suaka tidak boleh diberikan kecuali dalam kasus-kasus mendesak dan
untuk jangka waktu yang sangat diperlukan. ... ", dll.).
d. Konvensi Havana tentang Suaka 1928, Pasal 2, Paragraf 1:23
“Asylum granted to political offenders in legations, warships, military camps or
military aircraft, shall be respected to the extent in which allowed as a right or
through humanitarian toleration, by the usages, the conventions or the laws of the
country in which granted and in accordance with the following provisions :”
Ketentuan ini telah ditafsirkan oleh Pemerintah Kolombia dalam arti penggunaan,
bahwa konvensi dan hukum Kolombia yang berkaitan dengan pelanggaran, dapat
diberlakukan terhadap Peru. Penafsiran ini tidak dapat diterima karena ketentuan
tersebut harus dianggap sebagai batasan sejauh mana suaka harus dihormati. Ketentuan
yang berlaku adalah bahwa Negara Perlindungan tidak boleh menjalankan suaka lebih
luas daripada yang dijamin oleh penggunaannya sendiri, konvensi atau undang-undang
dan bahwa suaka yang diberikan harus dihormati oleh Negara teritorial hanya jika
suaka itu diizinkan. Oleh karena itu, tidak ada kesimpulan yang didapatkan dari
argumen ini.
e. Konvensi Montevideo tentang Suaka Politik 193324
Konvensi Montevideo belum diratifikasi oleh Peru, dan tidak dapat digunakan dalam
kasus ini.
f. Hukum Internasional Amerika pada Umumnya

23
Article 2 (1) of Convention on Asylum (Signed in Havana, February 20, 1928, at the Sixth International
Conference of American States)
24
The Montevideo Convention on the Rights and Duties of States (signed at Montevideo, Uruguay, on
December 26, 1933, during the Seventh International Conference of American States)
[2] “Bahwa Republik Peru, sebagai Negara teritorial, terikat dalam kasus ini sekarang di
hadapan Pengadilan, untuk memberikan jaminan yang diperlukan untuk kepergian M. Victor
Raul Haya de la Torre dari negara itu, dengan memperhatikan keniscayaan dari orangnya.”

b. Peruvian
Untuk mengesampingkan pengajuan Pemerintah Republik Kolombia, Pemerintah Peru untuk
memutuskan dan mendeklarasikan, yakni sebagai berikut.25
[1] “Sebagai gugatan balik, berdasarkan Pasal 63 Peraturan Pengadilan, dan dalam keputusan
yang sama, bahwa pemberian suaka oleh Duta Besar Kolombia di Lima kepada Victor Raúl
Haya de la Torre dibuat dengan melanggar Pasal 1, paragraf 1, dan Pasal 2, paragraf 2, item 1
(inciso primero), Konvensi Suaka ditandatangani di Havana pada tahun 1928, dan bahwa dalam
hal apapun pemeliharaan suaka pada saat ini merupakan pelanggaran perjanjian itu.”

Pemerintah Peru kemudian menanggapi pengajuan yang diberikan oleh Pemerintah Kolumbia
dengan mengajukan dan mendeklarasikan bahwa sebagai berikut.
26

a. Konvensi Havana tentang Suaka 1928, pasal 1, paragraf 1


“It is not permissible for States to grant asylum .... to person accused or
condemned for common crimes...”
Pemerintah Peru berargumen bahwa tidak dibenarkan kepada Negara yang memberikan
suaka kepada orang yang dituduh atas kejahatan biasa. Namun, pengadilan menolak
argumen ini dikarenakan, Pemerintah Peru sebelumnya tidak membuktikan bahwa
tindakan yang dilakukan oleh Victor Haya de la Torre merupakan kejahatan biasa.

b. Konvensi Havana tentang Suaka 1928, Pasal 2, paragraf 2, item 1


“Asylum may not be granted except in urgent cases and for the period of time strictly
indispensable for the person who has sought asylum to ensure in some other way his
safety.”
Pemerintah Peru berargumen bahwa, suaka tidak dapat diberikan kecuali dalam waktu
yang sangat mendesak. Namun, argumen ini menyebabkan Pemerintah Kolumbia
berargumentasi bahwa kapan tepatnya durasi untuk memberikan suaka kepada pengungsi.
Kemudian pengadilan merujuk pada tujuan dari Konvensi Havana tentang Suaka, yang
terdapat didalam pembukaan, yakni dari tujuannya adalah untuk mencegah pelanggaran
praktik pemberian suaka yang akan menimbulkan pelanggaran lain. Hal ini juga didukung
dengan substansi dari Pasal 1 dan Pasal 2 Konvensi Havana tentang Suaka, yakni untuk
membatasi pemberian suaka.
Selanjutnya Pengadilan menjelaskan bahwa pada pasal 2 juga mengacu pada pemberian
suaka yang diberikan kepada pelanggar politik harus memenuhi syarat, salah satunya

25
Article 1 (1) of Convention on Asylum (Signed in Havana, February 20, 1928, at the Sixth International
Conference of American States)
26
Article 2 (2) (1) of Convention on Asylum (Signed in Havana, February 20, 1928, at the Sixth International
Conference of American States)
adalah dihormati oleh Negara Territorial (Peru). Menurut Pengadilan juga paling penting
adalah mengacu pada Pasal 2 Paragraf 2 Pemerintah Kolumbia harus membuktikan bahwa
pengungsi dalam keadaan bahaya sehingga diizinkan untuk diberikan suaka tersebut.
Kemudian Pemerintah Kolumbia menjelaskan keadaan bahaya yang dimaksud, namun
ditolak karena argumennya didasari dengan tujuan Pemerintah Kolumbia adalah untuk
membenarkan suaka yang diberikannya.
4. Putusan badan peradilan
Pada tanggal 20 November 1950, Mahkamah Internasional memutuskan beberapa putusan-
putusan mengenai Asylum Case (Colombia v. Peruvian) 1950, adalah sebagai berikut.27
a. Dengan empat belas suara berbanding dua, menyatakan bahwa Kolombia tidak berhak
untuk memenuhi syarat secara sepihak dan dengan cara yang mengikat bahwa Peru
melakukan pelanggaran;
b. Dengan lima belas suara berbanding satu, menyatakan bahwa Pemerintah Peru tidak
terikat untuk memberikan perilaku aman atau jaminan kepada pengungsi.
c. Dengan lima belas suara pengadilan menolak untuk satu pendapat dengan Peru bahwa
Haya de la Torre dituduh melakukan kejahatan umum
d. Dengan sepuluh banding enam, Pengadilan, tanpa mengkritik sikap Duta Besar
Kolombia di Lima, menilai bahwa persyaratan suaka yang akan diberikan sesuai
dengan perjanjian terkait tidak terpenuhi pada saat ia menerima Haya de la Torre.
5. Dasar pertimbangan
a. Kolombia tidak berhak untuk memenuhi syarat secara sepihak dan dengan cara yang
mengikat bahwa Peru melakukan pelanggaran .
Dasar pertimbangannya adalah karena dalam argumen Pemerintah Kolumbia bahwa
Peru telah melakukan pelanggaran dari perjanjian yang disepakati, tidak terbukti
kebenarannya. Argumen pemerintah Kolumbia merujuk pada tentang Suaka Havana,
Perjanjian Bolivarian, dan Konvensi Montevideo. Untuk argumen mengenai Peru telah
melanggar Konvensi tentang Suaka Havana 1928 dan Perjanjian Bolivarian tidak
memenuhi syarat yang ada. Sementara, untuk Konvensi Montevideo, tidak dapat
diambil kesimpulan karena Peru tidak meratifikasi Konvensi Montevideo tersebut.
Terakhir, Pemerintah Kolumbia juga merujuk pada kebiasaan atau adat Amerika-Latin,
namun tidak dapat dibuktikan bahwa kebiasaan tersebut memang benar benar sifatnya
mengikat bagi negara negara di Amerika Latin.
b. Pemerintah Peru tidak terikat untuk memberikan perilaku aman kepada pengungsi.
Dasar pertimbangannya adalah karena dalam argumen Pemerintah Kolumbia yang
merujuk pada pasal Pasal 2 Konvensi tentang Suaka Havana dimana,
“Third: The Government of the State may require that the refugee be sent out of
the national territory within the shortest time possible ; and the diplomatic agent
of the country who has granted asylum may in turn require the guarantees

27
Colombian-Peruvian Asylum Case, Loc.Cit.
necessary for the departure of the refugee from the country with due regard to the
inviolability of his person.”
Namun, dalam kasus ini, Pemerintah Peru tidak meminta Haya de la Torre
meninggalkan Peru. Itu telah memperebutkan legalitas suaka yang diberikan kepadanya
dan telah menolak untuk memberikan perilaku yang aman. Dalam keadaan seperti itu,
Pemerintah Kolombia tidak berhak mengklaim bahwa Pemerintah Peru harus
memberikan jaminan yang diperlukan untuk kepergian Haya de la Torre dari negara itu,
dengan memperhatikan keniscayaan dirinya.
c. Haya de la Torre tidak melakukan kejahatan umum
Dasar pertimbangannya adalah karena Pemerintah peru tidak membuktikan bahwa
tindakan pemberontakan militer yang dilakukan oleh Victor Haya de la Torre
merupakan kejahatan biasa. Pengadilan juga merujuk pada Pasal 248 KUHP Peru tahun
1939 yang cenderung membuktikan sebaliknya, karena ia membedakan antara
pemberontakan militer dan kejahatan umum dengan menyatakan bahwa
“Common crimes committed during the course of, and in connexion with, a
rebellion, shall be punishable in conformity with the laws, irrespective of the
rebellion.”28
Pengadilan berkesimpulan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Haya de la Torre
adalah pemberontakan militer dan bukanlah kejahatan umum.
d. Persyaratan suaka yang akan diberikan sesuai dengan perjanjian terkait tidak terpenuhi
pada saat ia menerima Haya de la Torre.
Dasar pertimbangannya adalah karena Pemerintah Kolumbia gagal untuk membuktikan
bahwa pemberian suaka kepada Victor Haya de la Torre sesuai dengan peraturan-
peraturan hukum yang ada.
6. Komentar – Analisis
Pemerintah Kolombia beargumen dengan merujuk pada “Hukum internasional
Amerika secara umum” yang kemudian di dalam argumennya mengandalkan pada
kebiasaan yang berkembang di Amerika Latin. Menanggapi hal demikian, pengadilan
menyatakan bahwa pihak yang bertumpu pada kebiasaan semacam ini harus membuktikan
bahwa kebiasaan tersebut didirikan sedemikian rupa sehingga mengikat Pihak lainnya.
Dengan kata lain, pemerintah Kolombia harus membuktikan bahwa aturan yang
diberlakukan olehnya sesuai dengan penggunaan yang konstan dan seragam yang
dipraktikkan oleh Negara-Negara yang bersangkutan dan bahwa penggunaan ini adalah
ekspresi dari hak yang berlaku bagi Negara yang memberikan suaka dan tugas yang
diemban oleh Negara teritorial. Hal ini merupakan tindak lanjut dari Pasal 38 Statuta
Mahkamah yang mengacu pada kebiasaan internasional “sebagai bukti dari praktik umum
yang diterima sebagai hukum”
a. Komentar

28
Colombian-Peruvian Asylum Case, Op.Cit., p. 282; See Also Article 248 of the Peruvian Code of Military
Justice 1939
Saya satu pendapat dengan pengadilan, yang mana mengatakan bahwa kebiasaan harus
dapat dibuktikan bahwa kebiasaan tersebut mengikat dengan pihak lainnya. Hal ini juga
secara formil tertuang dalam Pasal 38 (1) (b) Statuta Mahkamah Internasional
“international custom, as evidence of a general practice accepted as law.” 29 Dimana
kebiasaan internasional adalah sebuah bukti dari praktik negara yang diterima sebagai
hukum.
b. Analisis
1. Unsur-unsur dalam kebiasaan internasional
Pada umumnya, terdapat dua unsur utama pembentuk kebiasaan internasional agar
dapat diterima sebagai hukum, yakni sebagai berikut.30
a. Unsur material
Unsur material ini merujuk pada “state practice” dalam Bahasa Inggris, yakni
didalamnya terdapat keseragaman dan konsistensi. Keseragaman disini memiliki arti
dalam praktek kebiasaan negara-negara tersebut sama, oleh negara satu dengan negara
lain. Sedangkan konsistensi mengisyaratkan bahwa tidak ada kontradiksi,
ketidaksesuaian, maupun pertentangan norma dalam praktek negara-negara satu dengan
yang lain.31
b. Unsur psikologis
Unsur psikologis ini menghendaki bahwa kebiasaan internasional dirasakan memenuhi
suruhan kaidah atau kewajiban hukum, atau seperti dikatakan dalam bahasa Latin
“opinio juris sive necessitatis”32 Opinio juris sive necessitatis mempunyai arti bahwa
adanya kehendak negara untuk mengakui atau menerima kebiasaan Internasional
sebagai suatu hukum kebiasaan internasional. Praktek tertentu yang sudah dilakukan
oleh negara-negara secara umum tersebut dianggap sebagai hukum.33
Dalam Asylum Case ini, dapat kita lihat bahwa pengadilan mempertegas bahwa
pengadilan mengakui bahwa kebiasaan internasional itu harus dibuktikan, melalui
pernyataannya:
“The Party which relies on a custom of this kind must prove that this custom is
established in such a manner that it has become binding on the other Party. The
Colombian Government must prove that the rule invoked by it is in accordance with
a constant and uniform usage practised by the States in question, and that this

29
Article 38 (1) (b) of International Court of Justice Statute
30
Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, P.T. Alumni, Bandung, 2010, h.
144
31
Enny Narwati, Aturan Perang di Laut: San Remo Manual Sebagai Internasional, Mimbar Hukum, Volume 20,
No.3, 2008, h. 411-588, h. 454; See Also Shaw, Malcolm N. International Law. Cambridge, UK: Cambridge
University Press, 2008, p. 76-77.
32
Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, Op.Cit., h. 145
33
Enny Narwati, Op.Cit., h. 453
usage is the expression of a right appertaining to the State granting asylum and a
duty incumbent on the territorial State.”34
Pembuktian bahwa kebiasaan internasional dapat diterimanya sebagai sumber hukum
internasional adalah salah satunya adalah melalui “a constant and usage” atau unsur
material yakni konsistensi dan keseragaman.
2. Hubungan Kebiasaan Internasional dengan Perjanjian Internasional
Perlu diketahui bahwa kebiasaan internasional tidak dapat berdiri sediri, kebiasaan
internasional memiliki hubungan yang erat dengan sumber hukum internasional, terutama
kepada perjanjian internasional. Hubungan tersebut adalah hubungan yang bersifat timbal
balik. 35 Pertama, kebiasaan internasional dapat diteguhkan dalam bentuk perjanjian
internasional/konvensi. Hubungan ini dapat kita lihat melalui Konvensi Den Haag tahun
1899 dan 1907, yang melalui pendekatan historis berasal dari kebiasaan perang di darat
kemudian diatur dalam bentuk konvensi untuk menjamin orang sipil yang bukan termasuk
dalam golongan belligerent. 36 Hubungan kedua, yakni perjanjian internasional dapat
membentuk kaidah hukum kebiasaan internasional. Dapat kita ambil contoh misalnya
mengenai Hubungan Konsuler yang ditimbulkan melalui perjanjian bilateral, yang
kemudian diadakan berulang kali sehingga menjadi sebuah praktik negara yang dapat
disebut sebagai suatu kebiasaan hukum internasional.37
Dalam kasus ini kita juga dapat melihat adanya hubungan dari kebiasaan internasional
dengan perjanjian internasional, pada saat pemerintah Kolombia menanggapi pernyataan
pengadilan untuk membuktikan adanya kebiasaan yang juga mengikat. Dimana
permerintah Kolombia membuktikan bahwa adanya kebiasaan yang mengikat terhadap
Peru melalui beberapa perjanjian yakni, diantaranya adalah perjanjian bolivarian 1911,
Konvensi Havana 1928, dan kemudian ditambahkan bahwa terutama pada konvensi
Montevideo tahun 1933. Pada konvensi Montevideo tahun 1933 dianggap mengkodifikasi
prinsip-prinsip yang telah diakui oleh kebiasaan Amerika Latin, dan berlaku pada Peru.
Namun, sayangnya argumen ini ditolak karena pembuktian tersebut invalid (tidak sah),
karena pertama, Peru tidak meratifikasi Konvensi Montevideo tahun 1933 tersebut dan
yang kedua, kebiasaan internasional tersebut tidak memenuhi unsur unsur sebagai subjek
hukum internasional karena untuk konvensi Montevideo tahun 1933, hanya diratifikasi
oleh tidak lebih dengan 11 negara, sedangkan konvensi Montevideo tahun 1939 hanya
diratifikasi oleh 2 negara.38 Hal ini dibuktikan bahwa unsur material maupun psikologis
tidak terpenuhi.
Walaupun, dapat dilihat bahwa Republik gagal membuktikan kebiasaan tersebut
mengikat kepada Peru melalui perjanjian internasional/konvensi, tetapi penulis ingin
menjelaskan bahwa pada praktiknya kebiasaan internasional dapat dibuktikan melalui

34
Colombian-Peruvian Asylum Case, Op.Cit., p. 14
35
Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, Op.Cit., h. 147
36
Levina Yustitianingtyas, Jurnal Komunikasi Hukum: Perlindungan Orang Sipil Dalam Hukum Humaniter
Internasional, Vol. II, Nomor 1, 2016, h. 73
37
Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, Loc.Cit.
38
Colombian-Peruvian Asylum Case, Op.Cit., p. 277
konvensi atau perjanjian internasional dan dapat disimpulkan terdapat hubungan antara
kebiasaan internasional dengan perjanjian internasional tersebut.

7. Daftar Pustaka

Buku
Martin Dixon & Robert McCorquodale, Cases & Materials on International Law, 4th
edition, Oxford, Oxford University Press, 2003.
Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, P.T. Alumni,
Bandung, 2010
Shaw, Malcolm N. International Law. Cambridge, UK: Cambridge University Press, 2008.
Print.

Jurnal
Enny Narwati, Aturan Perang di Laut: San Remo Manual Sebagai Internasional, Mimbar
Hukum, Volume 20, No.3, 2008.

Dokumen Hukum
Bolivarian Agreement (Signed the Bolivarian Extradition Agreement on 18 July 1911 in
Caracas)
Convention on Asylum (Signed in Havana, February 20, 1928, at the Sixth International
Conference of American States)
Geneva Convention relating to the Status of Refugees (1951)
International Court of Justice Statute
The Montevideo Convention on the Rights and Duties of States (Signed at Montevideo,
Uruguay, on December 26, 1933, during the Seventh International Conference of American
States)

Kasus
Colombia v. Peru, 1949 (Assylum Case)
Eain v. Wilkes, 1981
3. Prinsip-Prinsip Hukum Umum (The General Principle of Law)

Case Concerning The Temple Of Preah Vihear (Cambodia v. Thailland)

1. Fakta Fakta Hukum (5W +1H)


Pada Case Concerning The Temple Of Preah Vihear antara Kamboja dan
Thailand,sengketa muncul pada awalnya dikarenakan peta berbeda yang digunakan masing-
masing pihak dalam penetapan batas nasional. Pada sebelum kemerdekaan Kamboja Perancis,
yang merupakan pelindung Kamboja pada waktu itu, setuju dengan Siam dalam perjanjian
perbatasan Perancis-Siam pada tahun 1907 yang dibentuk komisi Campuran yang dibentuk
pada tahun 1905, dan akan melaksanakan penetapan batas antara Siam dan Kamboja. Kamboja
menggunakan peta yang diterbitkan oleh ahli geografi Perancis tersebut pada tahun 1907
(disebut "peta Annex I") yang menunjukkan Kuil di wilayah Kamboja. Sedangkan Thailand
menggunakan ketentuan perjanjian tahun 1904 yang berbunyi:
"Perbatasan antara Siam dan Kamboja dimulai, di pantai kiri Danau Besar, dari muara
sungai Stung Roluos, mengikuti garis paralel dari titik itu ke arah timur sampai bertemu dengan
sungai Prek Kompong Tiam, lalu, berbelok ke utara, itu menyatu dengan meridian dari titik
pertemuan sejauh rantai pegunungan Pnom Dang Rek. Dari sana ia mengikuti aliran sungai
antara cekungan Nam Sen dan Mekong, di satu sisi, dan Nam Moun, di sisi lain, dan bergabung
dengan rantai Pnom Padang yang puncaknya mengikuti ke timur sejauh Mekong. Di hulu dari
titik itu, Mekong tetap menjadi perbatasan Kerajaan Siam, sesuai dengan Pasal 1 Perjanjian 3
Oktober 1893. " Berdasar kepada kentetuan perjanjian tersebut mengatakan bahwa kuil
tersebut terdapat diatas wilayah Thailand. Sehingga kedua Negara ini memperebutkan kuil
ini.39
2. Permasalahan Hukum
Berdasarkan putusan konflik tentang Kuil dari Preah Vihear yang telah dibawa ke Mahkamah
Internasional (ICJ) oleh Kamboja pada tahun 1959 untuk pertama kalinya. Menghasilakan
putusan pertama tanggal 26 Mei 1961 (ICJ 1961a:17), selanjutnya keputusan decision of merits
15 Juni 1962, ICJ akhirnya memutuskan - dengan hasil suara sembilan banding tiga -
mendukung Kamboja Itu memutuskan bahwa Kuil Preah Vihear berada di wilayah di bawah
kedaulatan Kamboja sehingga Thailand mempunyai kewajiban untuk menarik pasukan militer

39
Sven. A Legal View of the Case of the Temple Preah Vihear In: World Heritage Angkor and Beyond:
Circumstances and Implications of UNESCO Listings in Cambodia
atau polisi atau lainnya penjaga yang ditempatkan olehnya di Kuil, atau di sekitarnya Wilayah
Kamboja.40
Meski pengadilan telah menyelesaikan masalah teritorial, konflik politik masih berlanjut.
Setelah Kamboja menerapkan kuil tersebut untuk diakui sebagai Situs Warisan Dunia
UNESCO pada tahun 2008, Konflik baru memanas antara Kamboja dan Thailand tentang Kuil
Preah Vihear tidak hanya berdimensi politik tetapi juga berdampak langsung terhadap Kondisi
infrastruktur, pariwisata, ekonomi dan budaya lokal di daerah tersebut dan berdampak parah
pada stabilitas kawasan. Pertempuran di area yang terjadi setelah prasasti Kuil Preah Vihear
sebagai Situs Warisan Dunia yang diperebutkan pada tahun 2008 .41
Seperti yang telah disebutkan di atas, prasasti Kuil Preah Vihear oleh Komite Warisan Dunia
UNESCO (WHC), yang berlangsung pada tahun 2008, menghasilkan eskalasi baru konflik
Proses pengambilan keputusan WHC telah dilakukan disertai protes dari pihak Thailand dan,
sebagai konsekuensi langsung dari prasasti kuil sebagai "karya asli dan unik Khmer
arsitektur ”(UNESCO 2008: 221), bentrokan baru muncul di area kuil dengan beberapa orang
tewas di kedua sisi. Sejak saat itu, konflik terus berlanjut membara dan meningkat menjadi
konflik bersenjata lokal yang nyata pada tahun 2011.
3. Argumentasi Para Pihak
a. Kamboja
Kamboja mengatakan jika ia mengikuti perjanjian yang ada di tahun 1907 antara Siam dan
Perancis (disebut "peta Annex I") yang dengan jelas mengatakan bahwa kuil tersebut berada
di wilayah Kamboja. Karena sebelum Kamboja mencapai kemerdekaannya pada tahun 1953
dia adalah bagian dari Indo-Cina yang ada dibahwah pimpinan Perancis sebagai protecting
power. Kamboja mennyatakan bahwa seharusnya Thailand tidak mengakui kuil tersebut berada
di wilayah kepemilikannya dikarnakan batas dibuat pada periode 1904-1908, antara Prancis
dan Siam dan, secara khusus kedaulatan Thailand atas kuil tersebut telah berakhir pada saat
keluarnya perjanjian pada tahun 1907 antara Perancis dan Kerajaan Siam.
b. Thailand
Jika melihat letak kuil di Preah Vihear sendiri, dimana bangunan utama Kuil berdiri di puncak
dari sebidang tanah tinggi berbentuk segitiga yang menonjol ke dataran. Dari tepi lereng curam,
kemiringan umum dari tanah di arah utara kemudian turun ke Nam Moun sungai, yang ada di

40
Ibid halaman 3
41
Inna Uchkunova Oleg Temnikov Mapping the Peace: The Request for Interpretation in the Temple of Preah
Vihear Case (https://www.ejiltalk.org/mapping-the-peace-the-request-for-interpretation-in-the-temple-of-preah-
vihear-case/ diakses pada tanggal 4 Oktober 2020)
Thailand.Thailand telah mendesak agar tepi lereng curam ini merupakan garis yang alami dan
jelas untuk sebuah perbatasan di wilayah ini. Selain itu menurut Thailand putusan Mahkamah
Internasional ini sebenarnya hanya menafsirkan dan menegaskan putusan dalam kasus yang
sama pada 1962. Kala itu, Thailand menilai putusan tersebut hanya menyangkut kepemilikan
kuil, bukan kepemilikan areal di sekitar kuil tersebut.
Dalam dukungan dari pandangan ini Thailand merujuk pada bukti documenter indikasi
keinginan Para Pihak untuk menetapkan perbatasan yang tidak hanya menjadi "alami", tetapi
terlihat dan tidak salah lagi telah melewati dan berada diatas sungai, pegunungan, dan dan
lereng curam tempat mereka berada. Thailand berpandangan bahwa kawasan kuil itu bakal
menjadi milik Thailand jika perbatasan garis telah ditarik secara tegas dengan kata-kata Pasal
1 tahun 1904 perjanjian batas dan mengikuti garis batas air geografis diwilayah tersebut.
Seperti yang tertulis didalam perjanjian 1904 :
"Perbatasan antara Siam dan Kamboja dimulai, di pantai kiri Danau Besar, dari muara sungai
Stung Roluos, mengikuti garis paralel dari titik itu ke arah timur sampai bertemu dengan sungai
Prek Kompong Tiam, lalu, berbelok ke utara, itu menyatu dengan meridian dari titik pertemuan
sejauh rantai pegunungan Pnom Dang Rek. Dari sana ia mengikuti aliran sungai antara
cekungan Nam Sen dan Mekong, di satu sisi, dan Nam Moun, di sisi lain , dan bergabung
dengan rantai Pnom Padang yang puncaknya mengikuti ke timur sejauh Mekong. Di hulu dari
titik itu, Mekong tetap menjadi perbatasan Kerajaan Siam, sesuai dengan Pasal 1 Perjanjian 3
Oktober 1893. " Berdasar kepada kentetuan perjanjian tersebut mengatakan bahwa kuil
tersebut terdapat diatas wilayah Thailand.Sehingga kedua Negara ini memperebutkan kuil ini.
Thailand menyatakan dengan tidak adanya batasan apapun disetujui dan diadopsi oleh Komisi
Campuran, maka Instruksi, garis perbatasan tentu harus-berdasarkan Pasal I Perjanjian 1904
yang menyatakan dengan tegas perbatsan dilihat melalui garis batas daerah aliran sungai dan
di dalam garis ini, Kuil Preah Vihear, berada diatas wilayah Thailand.
Dalam putusannya, Mahkamah menemukan bahwa Komisi Campuran, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 dari perjanjian itu, memang didirikan pada tahun 1905, pada waktunya mulai
bekerja dan sepenuhnya dimaksudkan untuk membatasi perbatasan sesuai dengan ketentuan
perjanjian. Pengadilan jugasampai pada kesimpulan bahwa perbatasan antara dua wilayah telah
disurvei danditetapkan oleh Komisi Campuran itu. Namun karena kekurangan menit atau
lainnya dari hasil kesaksian tertulis KPU, ICJ bisa menemukan jawaban atas pertanyaan
tentang apakah perbatasan itu (ICJ 1962b: 18)
4. Putusan Peradilan
ICJ dengan suara bulat menolak permintaan Thailand untuk menghapus kasus tersebut pada l
18 Juli 2011, dan selanjutnya disebutkan tindakan sementara berikut:
1) Dengan sebelas banding lima, Kedua Pihak harus segera menarik personel militernya
saat ini hadir di zona demiliterisasi sementara dan menahan diri atas hadirnya militer
di dalam zona itu mengunakan senjata atau melakukan aktivitas bersenjata pada zona
itu.
2) Dengan lima belas suara berbanding satu, Thailand tidak akan menghalangi akses bebas
Kamboja ke Temple of Preah Vihear atau menghalangi personel non-militernya di
Kuil.
3) Dengan lima belas suara berbanding satu, Kedua Pihak akan melanjutkan kerja sama
yang mereka miliki masuk ke dalam ASEAN dan, secara khusus, mengizinkan
pengamat yang ditunjuk oleh organisasi itu untuk memiliki akses ke zona demiliterisasi
sementara.
4) Dengan lima belas suara berbanding satu, Pandangan Hukum tentang Kasus Bait Suci
Preah Vihear Kedua Pihak harus menahan diri dari tindakan apa pun yang dapat
memperburuk keadaan atau memperpanjang sengketa ke Pengadilan atau membuatnya
lebih sulit untuk menyelesaikan.42

ICJ memutuskan pada 11 November 2013 bahwa keputusan 1962 memberikan semua
tanjung Preah Vihear ke Kamboja, dan memerintahkan penarikan tentara Thailand.
Dalam putusannya yang terbaru, Mahkamah menegaskan bahwa Kuil Preah Vihear
merupakan tempat relijius dan budaya yang sangat penting bagi masyarakat di region tersebut.
Kuil itu bahkan sudah terdaftar sebagai salah satu tempat warisan dunia.
Karena itu, Mahkamah menyatakan berdasarkan Pasal 6 World Heritage Convention, dua
belah pihak –baik Kamboja dan Thailand harus bekerja sama dengan masyarakat internasional
untuk melindungi warisan dunia itu. Selain itu, dua negara ini juga berkewajiban “untuk tidak
mengambil langkah-langkah yang dapat merusak kuil itu secara langsung maupun tidak
langsung”.

42
Richard Turcsanyi. P.hd, Thai-Cambodian Conflict: The Final Stage at Preah Vihear? (Legal Review)
5. Dasar Pertimbangan
Pengadilan mendasarkan keputusannya
pada interpretasi perbatasan Perancis-
Siam perjanjian yang dibuat padatahun
1904 dan peta terkait, yang disebut "Peta
Anex I" yang diterbitkan, bersama
dengan sepuluh peta lainnya, oleh ahli
geografi Prancis di Paris pada tahun
1907 dan dikomunikasikan kepada
Pemerintah Siam (ICJ 1962b: 20-21).
Berdasarkan kepada peta tersebut maka
sudah jelas bahwa Preas Vihear berada di atas wilayah Kamboja dan bukan berada diatas
wilayah Thailand.43
Sebagai interpretasi, “sekitar” Kuil berarti seluruh tanjung Preah Vihear tetapi tidak
termasuk bukit Phnom Trap. Pengadilan mencapai kesimpulan ini dengan memperhatikan
bukti-bukti di hadapan Pengadilan pada tahun 1962. Dengan demikian, kewajiban untuk
menarik hanya dapat merujuk pada tempat yang sebenarnya ditempati oleh Thailand. Pada saat
Penghakiman 1962 dijatuhkan, ini persis merupakan tanjung Preah Vihear.44
Pengadilan juga menemukan fakta bahwa Thailand terikat oleh “Peta Annex I”
karenaPemerintah Siam, yang telah meminta pengelaborasiaan , tidak pernah tidak setuju atau
keberatan terhadap hasil para ahli geografi Prancis didalam perjanjian pada tahun 1907, “peta
Annex I” dan sepuluh peta lainnya yang terkait kemudian telah dicetak dan diterbitkan oleh
seorang kartografi terkenal Perusahaan Prancis pada saat berkomunikasi dengan pemrintah
Siam. (ICJ 1962b: 20). ICJ berpendapat bahwa perilaku Pemerintah Siam, menurut pandangan
sikap Siam yang tidak mengatakan seseuatu atau akan dianggap sebagai “pengakuan melalui
perilaku” dan, dengan demikian,akan dianggap sebagai persetujuan (ICJ 1962b: 23)
“to suggest that the map did not represent the outcome of the work of delimitation or
that it was in any way inaccurate” (ICJ 1962b:24) had undoubtedly to be considered
as being “acknowledgement by conduct” and, thereby, must be held to be
acquiesced “ (ICJ 1962b:23)

43
Sven, Op.cit halaman
44
Request for Interpretation of the Judgment of 15 June 1962 in the Case Concerning the Temple of
Preah Vihear (Cambodia v. Thailand), Request by the Kingdom of Cambodia for the Indication of
Provisional Measures, to be found at http://www.icj-cij.org/docket/index.php?p1=3&p2=1&k=
89&case=151&code=ct2&p3=1 diakses pada tanggal 5 Oktober 2020
6. Komentar dan Analisis
Jika kita melihat dari pemaparan kasus diatas dan penyelesaiaanya masalah dari kasus ini
dapat dikatakan bahwa bahkan setelah ICJ sampai pada penilaian interpretatif tidak ada
kepastian keputusan peradilan tidak akan memicu konflik antara dua negara bagian. di masa
yang akan datang. Nampaknya, dalam kasus ini, potensi hukum internasional untuk
menyelesaikan konflik yang sudah lama ada antara dua Negara sangat terbatas, dan sudah
seharusnya terdapat solusi berkelanjutan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak serta
menuju ke sebuah perdamaian maka membutuhkan solusi politik lebih dari satu yudisial. Oleh
karena itu, harus dimulainya kembali negosiasi politik antara Thailand dan Kamboja. Jika kita
melihat dalam penyelesaian kasus sebelumnya dapat dikatakan telah menggunakan prinsip
prinsip hukum umum.
Prinsip hukum umum tersebut dapat bersumber dari prinsip-prinsip hukum yang
berkembang dalam suatu negara atau prinsip hukum nasional yang terdapat di sebuah Negara.
Tentang prinsip hukum umum tersebut Brierly juga mengatakan bahwa pasal 38 ayat 1 bagian
c SMI, mempunyai kandungan yang luas, yang meliputi asas asas hukum privat yang diurus
oleh pengadilan nasional, di mana asas asas itu diterapkan pada hubungan-hubungan
internasional. Hukum privat lebih berkembang dari pada hukum internasional kemudian
membentuk semacam persedian cadangan asas asas yang lazim di ambil oleh hukum
internasional. Beberapa contoh prinsip hukum umum yang diambil dari cabang hukum di luar
hukum intemasional antara lain asas pacta sun servanda;,res judicata; verjaaring dan lainya.
Dapat dilihat dari kasus itu telah menarapkan asas Pacta Sun Servanda. Pacta sunt servanda
(dalam bahasa Latin berarti "perjanjian harus ditepati") merupakan asas dasar pada hukum
perdata dan hukum internasional.. Asas ini mendasari prinsip yang menyatakan jika perjanjian
mengikat pihak-pihak yang melakukan perjanjian, oleh karena itu kewajiban-kewajiban yang
ditetapkan oleh perjanjian ini harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Asas ini secara resmi
ditetapkan pada Pasal 26 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian 1969. 45 Hakim(ICJ)
memberikan putusan berdasarkan asas Pacta Sun Servanda yang dimana Thailand harus
mengikuti perjanjian yang telah dibuat oleh Perancis dan Siam pada tahun 1907 yang
menetapkan bahwa Kamboja adalah pemegang wilayah The Temple Of Preah Vihear. Oleh
karena itu jika seandainya Thailand dan Kamboja kembali berkonflik mungkin jika Hukum
Internasional tidak bisa menyelesaikan masalah ini dapat menerapkan prinsip prinsip hukum
umum yang dapat menjadi sumber hukum Internasional.

45
Aust, Anthony (2007), Modern Treaty Law and Practice (edisi ke-2), Cambridge: Cambridge University Press
7. Daftar Pustaka
Buku
Brierly, Hukum Bangsa Bangsa Terjemahan Bung Radjab, Bhatara, Jakarta.
Aust, Anthony (2007), Modern Treaty Law and Practice (edisi ke-2), Cambridge:
Cambridge University Press
Dokumen Hukum
Sven. A Legal View of the Case of the Temple Preah Vihear In: World Heritage Angkor
and Beyond: Circumstances and Implications of UNESCO Listings in Cambodia
Request for Interpretation of the Judgment of 15 June 1962 in the Case Concerning the
Temple of Preah Vihear (Cambodia v. Thailand), Request by the Kingdom of Cambodia for
the Indication of Provisional Measures, (http://www.icj-
cij.org/docket/index.php?p1=3&p2=1&k=89&case=151&code=ct2&p3=1 diakses pada
tanggal 5 Oktober 2020 )
Richard Turcsanyi. P.hd, Thai-Cambodian Conflict: The Final Stage at Preah Vihear?
(Legal Review)
Artikel
Inna Uchkunova Oleg Temnikov Mapping the Peace: The Request for Interpretation in
the Temple of Preah Vihear Case (https://www.ejiltalk.org/mapping-the-peace-the-request-
for-interpretation-in-the-temple-of-preah-vihear-case/ diakses pada tanggal 4 Oktober 2020)
Kasus
Case Concerning The Temple Of Preah Vihear (Cambodia and Thailland)
4. Keputusan Pengadilan Internasional (Judicial Decision)

Reparation for Injuries Suffered in the Service of the United Nations

1. Fakta-Fakta Hukum

Sumber hukum internasional yang berasal dari keputusan pengadilan/judicial decisions


sifatnya adalah sebagai sumber hukum subsider atau tambahan. Keputusan pengadilan dapat
dikemukakan untuk membuktikan adanya kaidah hukum internasional mengenai suatu
persoalan yang didasarkan atas sumber hukum primer.
Peran hakim dalam mengadili kasus internasional tentu tidak berima dengan peran
hakim di negara yang menganut sistem hukum baik common law atau civil law, akan tetapi
judicial making dalam ruang lingkup internasional dapat dikatakan sebagai sui generis,
memilki jenisnya sendiri.46 Lalu, bagaimana kedudukan dari judicial decisions yang diciptakan
oleh pengadilan ini? Maka hal ini dijawab pada Pasal 59 Statuta Mahkamah Internasional yang
mengatakan, “The decision of the Court has no binding force except between the parties and
in respect of that particular case.” 47 Yang berartikan bahwa keputusan Mahkamah
Internasional tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, namun berlaku bagi pihak yang
terlibat. Hal ini memiliki tujuan untuk melindungi negara yang tidak terlibat di dalam proses
sengketa.
Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional 48 mengatur bahwa eksistensi putusan
hakim dalam pengadilan dapat diterapkan sebagai sumber hukum tambahan untuk menentukan
aturan hukum. Kemudian, jika dengan posisi seperti ini, maka apa fungsi dari judicial decisions
sebagai sumber hukum internasional, fungsi dan tujuan dari adanya keputusan pengadilan
sebagai sumber hukum internasional dijadikan sebagai peran penting dalam perkembangan
hukum internasional, maka kasus-kasus yang bersengketa dan diselesaikan melalui Mahkamah
Internasional dan memiliki dampak untuk perkembangan hukum internasional, dijadikan
sebagai sebuah precedents.49
Keputusan pengadilan nasional juga dapat memberikan kontribusi terhadap
perkembangan hukum internasional. Mengapa demikian? Karena meskipun dalam praktiknya,
peradilan tersebut merefleksikan bagaimana hukum di negara tersebut berlaku dan diakui di
negara itu, namun dapat juga memberi contoh bagaimana negara-negara sebenarnya
berperilaku.50

46
Andrew Guzman and Andrew T Guzman, Understanding International Law, How International Law Works,
2008, https://doi.org/10.1093/acprof:oso/9780195305562.003.0006. Hal.95
47
Ademola Abass and Ademola Abass, “15. The International Court of Justice,” Complete International Law,
2014, 523–74, https://doi.org/10.1093/he/9780199679072.003.0015.
48
Peter Malanczuk, Akehurst ’ S Modern Introduction To, Erasmus, 1997.
49
Guzman, Op. Cit., Hal.96
50
Malcolm Shaw, International Law (Sixth Edition), Journal of Visual Languages & Computing, vol. 11, 2008,
https://www.m-
culture.go.th/mculture_th/download/king9/Glossary_about_HM_King_Bhumibol_Adulyadej’s_Funeral.pdf.
2. Permasalahan Hukum (Legal Issues)
Reparation Case 1949 tentang Injuries Case mengangkat masalah tentang bagaimana
jika ada seorang agen Organisasi Internasional atau indiidu yang bekerja di bawah naungan
Organisasi, melaksanakan pekerjaannya di suatu Negara, lalu agen tersebut mengalami
penderitaan yang melibatkan tanggung jawab Negara yang ia tempati sebagai tempat ia
bertugas. Apakah, Organisasi yang dinaunginya berhak dan memiliki kapasitas untuk
membawa klaim internasional atas masalah ini dan bagaimana jika korban merupakan warga
negara dari Negara tergugat, serta bagaimana tindakkan PBB untuk didamaikan dengan hak-
hak yang mungkin dimiliki oleh Negara di mana korban menyandang status kewarganegaraan
Negara tergugat.51
3. Argumentasi Masalah
Kasus ini menunjukkan adanya personalitas hukum dari organisasi internasional. Kasus ini
mempertanyakan poin-poin sebagai berikut:52
I. In the event of an agent of the United Nations in the performance of his duties
suffering injury in circum- stances involving the responsibility of a State, has the
United Nations, as an Organization, the capacity to bring an international claim
against the responsible de jure or de facto government with a view to obtaining
the reparation due in respect of the damage caused (a) to the United Nations, (b)
to the victim or to persons entitled through him
II. In the event of an affirmative reply on point I (b), how is action by the United
Nations to be reconciled with such rights as may be possessed by the State of
which the victim is a national?
4. Putusan Badan Peradilan
Pada tanggal 11 April 1949, International Court of Justice memutuskan putusan-
putusan terkait dengan kasus Reparation for Injuries Suffered in The Service of The United
Nations, sebagai berikut:53
a. Pada pertanyaan I (b) dalam proses peradilan, mendapatkan 11 suara melawan 4 yang
menyatakan bahwa Organisasi memiliki kapasitas untuk mengajukkan klaim
internasional terlepas dari Negara yang bertanggungjawab adalah anggota PBB atau
bukan.
b. Pada pertanyaan II, terdapat 10 suara melawan 5 suara yang menyatakan bahwa ketika
PBB sebagai sebuah organisasi mengajukan tuntutan untuk perbaikan atas kerusakan
yang disebabkan kepada agennya, hanya dapat dilakukan dengan mendasarkan
klaimnya pada pelanggaran kewajiban agen itu sendiri.
c. Jika kasus terjadi pada Negara yang bukan merupakan anggota organisasi, anggota PBB
berpendapat bahwa anggota PBB menciptakan suatu entitas yang memiliki objective
international personality dan bukan kepribadian yang mereka akui sendiri.

51
International Court of Justice, “Requête Pour Avis Consultatif Request for Advisory Opinion and Documents
of the Written,” ICJ Reports, 1948.
52
International Court of Justice, “Advisory Opinion of 11 April 1949 (Reparation for Injuries Suffered in the
Service of the United Nations),” ICJ Reports 1949 (1949).
53
Ibid.,
d. Keputusan pengadilan menyatakan bahwa risiko persaingan antara Organisasi dan
Negara nasional dapat dikurangi atau dihilangkan baik dengan konvensi umum atau
dengan kesepakatan yang disepakati dalam kasus tertentu.
e. Keputusan pengadilan pada akhirnya mengeluarkan putusan bahwa di mana agen
menanggung kewarganegaraan Negara tergugat. Karena klaim yang diajukan oleh
Organisasi tidak didasarkan pada kewarganegaraan korban melainkan pada statusnya
sebagai agen Organisasi.
5. Dasar Pertimbangan
Dasar pertimbangan berdasarkan dissenting opinion beberapa pihak:54
a. Advisory opinion disampaikan secara oral statement oleh representatif Sekretaris
Jenderal PBB, dibantu oleh counsel, dan oleh representatif Belgia, Perancis, dan
Pemerintah United Kingdom. Serta, adanya advisory opinion yang berbentuk
tulisan yang disampaikan oleh India, China, USA, United Kingdom of great Britain
dan Northern Ireland, juga Perancis. Dalam prosesnya, request for opinion
ditujukan untuk pertanyaan “capacity to bring an international claim” kapasitas ini
tentu milik suatu Negara, apakah kapasitas itu juga dimiliki oleh organisasi
sekaligus mempertanyakan apakah Organisasi memiliki International Legal
Personality.
b. Di dalam proses Pengadilan menyatakan bahwa Charter menganugerahkan hak dan
kewajiban organisasi yang berbeda dari Anggota. Pengadilan menekankan tugas-
tugas politik penting Organisasi: pemeliharaan perdamaian dan keamanan
internasional.
c. dalam proses ini Pengadilan menyimpulkan bahwa Organisasi yang memiliki hak
dan kewajiban pada saat yang sama memiliki a large measure of international
personality dan kapasitas untuk beroperasi di ranah internasional.
d. Request for Opinion untuk poin I (a) mendapatkan sebuah konklusi bahwa
Organisasi memiliki kapasitas untuk membawa klaim internasional terhadap
Negara. Lalu untuk poin I (b) mencapai konklusi bahwa Organisasi memiliki
kapasitas untuk melaksanakan perlindungan fungsional sehubungan dengan
agennya. Maka, untuk pertanyaan II mengenai bagaimana jika korbannya adalah
warga negara dari Negara tergugat, maka request for opinion untuk pertanyaan ini
mencapai kesimpulan bahwa klaim yang diajukan merupakan klaim yang dibawa
oleh Organisasi tidak didasarkan pada status nasional korban tapi sebagai status dia
sebagai agen organisasi, maka tidak menjadi masalah ketika klaim dibawa untuk
menggugat Negara yang ternyata menjadi kewarganegaraan korban.

6. Komentar – Analisis

Kasus “Reparation for Injuries Suffered in the Service of the United Nations” ini pada
dasarnya merupakan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh United Nations dalam
rangka menjalankan fungsinya untuk melindungi agen-agen internasional di bawah
naungan organisasi. Pertanyaan-pertanyaan yang timbul, mendapatkan jawaban berupa
advisory of opinion di meja International Court of Justice. Para pihak mengeluarkan opini
dan sepakat bahwa dalam hal ini maka, Organisasi memiliki kapasitas untuk membawa

54
Leyden Société D’éditions, A W Si Jthoff’, and S A W Sijthoff, “Reparations for Injuries Advisory Opinion,”
1949.
klaim internasional jika agennya mengalami penderitaan dalam bentuk apa pun yang
dialami selama bertugas dan melibatkan tanggung jawab Negara terkait. Dan, klaim atas
itu tidak melihat kewarganegaraan agen tersebut, karena klaim yang digugat atas agen
tersebut adalah statusnya sebagai agen Organisasi bukan sebagai warga negara suatu
Negara.

a. Komentar

Menurut saya, adanya pengajuan oleh United Nationas ke muka ICJ dan dunia
internasional mengenai masalah ini adalah hal yang sangat baik. Karena, adanya kasus
ini merupakan bentuk kontribusi dari perkembangan Hukum Internasional. Adanya
perlindungan bagi individu yang bekerja di bawah naungan Organisasi Internasional
serta menunjukkan bahwa Organisasi memiliki international legal personality. Bahwa,
Organisasi dapat bertindak secara individu dan memiliki kapasitas untuk membawa
klaim internasional. Bentuk dari kasus ini adalah sebuah Advisory of Opinion di mana,
dalam General Assembly UN, UN memutuskan untuk mengirimkan legal questions
kepada International Court of Justice untuk advisory opinion mengenai pertanyaan-
pertanyaan yang hendak diajukan mengenai kapasitas klaim atas Organisasi.55

Bentuk hasil dari kasus yang berbentuk Advisory of Opinion ini tidak legally
binding atau tidak mengikat secara hukum, tetapi Advisory of Opinion diklasifikasin
sebagai judicial decision karena tidak mengikat dan hanya bersifat consultative. Dan,
lahirnya penyelesaian kasus ini maka dianggap mengikat bagi pihak yang mengajukan
kasus ini. Sesuai, dengan Pasal 59 Statuta Mahkamah Internasional, “The decision of
the Court has no binding force except between the parties and in respect of that
particular case.”56

b. Analisis

1. Advisory of Opinion as a Judicial Decision

Putusan pada kasus ini yang berbentuk dalam Advisory of Opinion dapat
dikategorikan dalam Judicial Decisions dan tidak mengikat secara hukum kecuali pada
pihak-pihak terkait. Berdasarkan, Pasal 38 (1) poin d Statuta Mahkamah Internasional,
“subject to the provisions of Article 59, judicial decisions and the teachings of the most
highly qualified publicists of the various nations, as subsidiary means for the
determination of rules of law.”57

2. Kedudukan Judicial Decision sebagai Sumber Hukum Internasional

55
International Court of Justice, “Requête Pour Avis Consultatif Request for Advisory Opinion and Documents
of the Written.”
56
Article 59 of Statute of the International Court of Justice
57
Article 38 of Statute of the International Court of Justice
Secara teoritis, Hakim menerapkan hukum tetapi tidak membentuk hukum dan
Pasal 59 Statuta Mahkamah Internasional menunjukkan ide awal dari pembentukannya.
Mahkamah Internasional dibentuk untuk menyelesaikan perkara dan tidak untuk
membentuk hukum. Putusan yang dibuat melalui hakim di Mahkamah Internasional
hanya bisa diterapkan atau berlaku bagi para pihak yang mengajukan. Hal ini bertujuan
untuk melindungi negara-negara yang tidak terlibat dan pada dasarnya Judicial
Decisions dapat dikemukakan untuk membuktikan adanya kaidah Hukum Internasional
mengenai suatu persoalan yang didasarkan atas sumber hukum primer. Maka, sifatnya
hanyalah consultative dan digunakan sebagai referensi untuk kasus-kasus serupa yang
mungkin akan datang di masa depan.

7. Daftar Pustaka

Buku

Guzman, Andrew, and Andrew T Guzman. Understanding International Law. How


International Law Works, 2008.
https://doi.org/10.1093/acprof:oso/9780195305562.003.0006.
Malanczuk, Peter. Akehurst ’ S Modern Introduction To. Erasmus, 1997.
Shaw, Malcolm. International Law (Sixth Edition). Journal of Visual Languages & Computing.
Vol. 11, 2008. https://www.m-
culture.go.th/mculture_th/download/king9/Glossary_about_HM_King_Bhumibol_Adul
yadej’s_Funeral.pdf.

Dokumen Hukum
Abass, Ademola, and Ademola Abass. “15. The International Court of Justice.” Complete
International Law, 2014, 523–74. https://doi.org/10.1093/he/9780199679072.003.0015.
International Court of Justice. “Advisory Opinion of 11 April 1949 (Reparation for Injuries
Suffered in the Service of the United Nations).” ICJ Reports 1949 (1949).
———. “Requête Pour Avis Consultatif Request for Advisory Opinion and Documents of the
Written.” ICJ Reports, 1948.
Société D’éditions, Leyden, A W Si Jthoff’, and S A W Sijthoff. “Reparations for Injuries
Advisory Opinion,” 1949.

Kasus

Reparation for Injuries Suffered in The Service of The United Nations, 1949
5. Doktrin (Highly Qualified Publicist)

The Paquete Habana (Spanyol v. Amerika) 1900

1. Fakta-Fakta Hukum (5W + 1H)

Paquete Habana merupakan sebuah sekoci (kapal kecil penangkap ikan) yang panjangnya
empat puluh tiga kaki dengan berat dua puluh lima ton.58 Sekoci ini dimiliki oleh Justa Galban,
seorang wanita keturunan Spanyol yang tinggal di Havana, dan dikapteni oleh Juan Pasos, yang
juga seorang Kuba keturunan Spanyol. Termasuk Pasos, sekoci tersebut membawa tiga awak.
Baik Pasos maupun kapal tidak memiliki komisi apapun, keduanya hanya memiliki izin dari
pemerintah Spanyol untuk menangkap ikan. Kapal ini meninggalkan Havana pada tanggal 25
Maret 1898, dan melanjutkan pelayaran di sepanjang pantai Kuba ke Cape San Antonio selama
dua puluh lima hari dan berlayar kembali ke Havana dengan muatan empat puluh kwintal, atau
sekitar 8.800 pon, ikan hidup.
Pada saat para nelayan memulai perjalanan pulang mereka, Amerika Serikat
memberlakukan blokade terhadap pantai utara Kuba. Sehingga pada tanggal 25 April 1898,
yang merupakan hari pertama perang antara Spanyol dan Amerika Serikat, sekitar dua mil dari
Mariel dan sebelas mil dari Havana, Paquete Habana ditangkap oleh kapal perang Amerika
Serikat yaitu Castine.59 Tidak dapat disangkal bahwa, pada saat penangkapan, awak Paquete
Habana tidak mengetahui apa-apa terkait blokade atau perang. Hal ini terbukti dari ukuran
kapal dan awak kapal, upah awak kapal dari sebagian hasil tangkapan daripada uang, dan
jawaban Kapten Pasos ketika ditanya apakah dia telah menulis sesuatu tentang penangkapan
itu. Jawabannya adalah, "Saya tidak bisa menulis banyak".60 Meskipun kru tidak menghiraukan
blokade dan kapal tidak cocok untuk pertempuran laut, baik kru maupun kapal tetap dibawa ke
Key West untuk diadili. Pada 27 April 1898, pencemaran nama baik atas penghukuman kapal
dan muatannya sebagai hadiah perang diajukan terhadap kapal tersebut. Klaim ini diajukan
oleh atas nama kaptennya dan anggota kru lainnya, beserta pemiliknya. Namun, keputusan
akhir mengatakan bahwa, “the court not being satisfied that as a matter of law, without any
ordinance, treaty or proclamation, fishing vessels of this class are exempt 'from seizure”.61
Dan akhirnya Paquete Habana dijual melalui pelelangan dengan harga dari sejumlah 490 dollar.

58
The Paquate Habana (1900), 175 U.S. 677; 20 S.Ct.290.
59
Scott W. Stucky, “The Paquate Habana: A Case History in the Development of International Law”,
University of Baltimore Law Review: Vol, 15, Issue 1, Article 2, 1985, P. 14
60
Affidavit of Juan Pasos at 11, The Paquate Habana
61
The Paquate Habana (1900), 175 U.S. 677; 20 S.Ct.290.
2. Permasalahan Hukum (Legal Issues)

Karena tidak merasa melakukan kesalahan, kapal Paquate Habana melaporkan hal tersebut
ke Pengadilan Sirkuit (pengadilan banding). Laporannya didasarkan pada tradisi yang
dilakukan oleh Negara-negara untuk membebaskan kapal penangkap ikan sebagai hadiah masa
perang. Tradisi yang dimaksud ini merupakan tradisi yang dilakukan oleh Henry IV pada 1403.
Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah sudah sepantasnya pengadilan mengeluarkan
keputusan penghukuman dan pelelangan terhadap kapal penangkap ikan?62

3. Argumentasi Para Pihak


a. Mr. J. Parker Kirlin for appellant

Dalam bandingnya, Kirlin mengeluarkan 4 poin utama:63


1) Poin pertama terkait dengan dasar hukum internasional yang mana kapal penangkap
ikan tidak dikecam sebagai hadiah yang sah sebagai bentuk penghukuman. 64 Ia
mengutip proklamasi Presiden McKinley pada tanggal 26 April 1898, termasuk
kepatuhannya pada Deklarasi Paris, sebagai bukti bahwa Amerika Serikat bermaksud
untuk mengikuti prinsip-prinsip hukum internasional modern dalam berperang, yaitu
bahwa perang harus dilakukan sesuai dengan praktik negara-negara terkini, yang
menurut Kirlin tidak termasuk penyitaan kapal penangkap ikan karena kapten serta
awak kapal tidak memiliki pengetahuan tentang blokade dan perang yang terjadi pada
hari itu sehingga tidak memiliki maksud untuk berpartisipasi dalam pembantuan musuh.
2) Poin kedua mengklaim resolusi bersama pada 20 April 1898, yang mana Kongres telah
mengakui kemerdekaan Kuba. Oleh karena itu, kapal penangkap ikan ini bersifat netral,
bukan milik musuh.
3) Poin ketiga mencakup status dari pemilik, yaitu sebagai musuh atau bukan musuh. Ia
mengatakan bahwa operasi kapal Paquate Habana di bawah bendera Spanyol tidak
menimbulkan praduga permusuhan, karena awak kapal tidak ada niat bermusuhan.
4) Poin keempatnya adalah terkait dengan masalah ganti rugi.

62
Law School Case Brief, accessed from https://www.lexisnexis.com/community/casebrief/p/casebrief-the-
paquete-habana
63
Scott W. Stucky, “The Paquate Habana: A Case History in the Development of International Law”,
University of Baltimore Law Review: Vol, 15, Issue 1, Article 2, 1985, P. 19
64
The Paquate Habana, Brief for Appelants at 7
b. Assistant Attorney General Henry M. Hoyt who argued the case for United States65

Hoyt membantah argument Kirlin, bahwa orang Kuba, yang tidak diakui oleh Eksekutif,
adalah netral atau sekutu. Hoyt mengutip sejumlah kasus Perang Saudara untuk proposisi
bahwa semua orang yang tinggal di wilayah musuh dan tidak menyingkir saat perang adalah
musuh dan akan diperlakukan seperti itu, tanpa pertanyaan tentang sentimen individu. Karena
Kuba tidak merdeka, ia tetap menjadi Spanyol dan, karenanya, menjadi wilayah musuh.
Sehingga menurut Hoyt, proklamasi Presiden McKinley 26 April 1898 tidak mengubah
kebijakan Amerika Serikat.

c. Justice Gray

Pendapat Justice Gray dilakukan dengan meninjau proklamasi Presiden McKinley pada 26
April 1898 serta korespondensi antara Rear Admiral Sampson dan Long Secretary 66 .
Pembukaan proklamasi tersebut ditafsirkan sebagai bukti niat Amerika untuk melakukan
blockade sesuai dengan hukum internasional. Pengiriman Rear Admiral Samson diyakini
sebagai bukti bahwa nelayan pesisir tidak boleh ditangkap apabila tidak ada perintah yang
bertentangan. Dan berpendapat lebih lanjut bahwa kapal penangkap ikan pesisir dilarang untuk
ditangkap dan dihukum kecuali kapal tersebut kemungkinan besar akan membantu musuh.
Yang mana pada faktanya, Paquate Habana merupakan kapal kecil tidak bersenjata yang
dikategorikan melakukan penangkapan ikan di pesisir dan kapal ini tidak membantu musuh,
sehingga keputusan pengadilan distrik dibatalkan dan pengadilan memerintahkan hasil
penjualan dikembalikan dengan kerusakan dan biaya.

d. Chief Justice Fuller

Beliau bergabung dengan John Marshall Harlan dan Joseph McKenna67, memiliki pendapat
yang berbeda dengan Justice Gray. Menurut beliau, tindakan eksekutif atau legislative adalah
hal yang diperlukan untuk membatasi aktivitas angkatan laut oleh aturan hukum internasional.
jika tidak ada aturan yangmengatur, maka eksekutif memiliki kekuatan untuk memberikan
suatu pengecualian.

4. Putusan Badan Peradilan

Pada 8 Januari 1900, the case of the Paquate Habana diputuskan. Dengan persetujuan
umum dari negara-negara beradab di dunia, dan terlepas dari perjanjian tertulis atau tindakan

65
Scott W. Stucky, Op. cit, P. 22.
66
Ibid, P. 27.
67
The Paquate Habana (1900), 175 U.S. 677; 20 S.Ct.290.
publik lainnya, adalah aturan hukum internasional yang ditetapkan bahwa kapal penangkap
ikan pantai, dengan peralatan dan perlengkapannya, kargo dan awak, tidak bersenjata, dan
dengan jujur mengejar panggilan damai mereka untuk menangkap dan membawa ikan segar,
dibebaskan dari penangkapan sebagai hadiah perang. Dan aturan ini adalah salah satu yang
memberi penghargaan kepada pengadilan, yang mengelola hukum negara, terikat untuk
mengambil pemberitahuan yudisial, dan memberikan efek, jika tidak ada perjanjian atau
tindakan publik lainnya dari pemerintah mereka sendiri terkait dengan masalah tersebut.68

5. Dasar Pertimbangan

Justice Grey merupakan seorang sejarawan hukum yang diberikan kesempatan untuk
memberikan pendapat mayoritas dalam kasus The Paquate Habana 69 . Dengan mengikuti
pertumbuhan dan dinamisme hukum internasional Justice Grey membantah pernyataan
pemerintah bahwa tidak akan ada pengecualian tanpa tindakan eksekutif yang positif dan
menyelesaikan argumen ini dengan menyatakan,
“The opinion begins by admitting the known custom in former wars not to capture such
vessels; adding, however, "but this was a rule of comity only, and not of legal
decision." Assuming the phrase "legal decision" . . . . as equivalent to "judicial
decision," it is true that, so far as appears, there had been no such decision on the point
in England. The word "comity" was apparently used by Lord Stowell as synonymous
with courtesy or goodwill. But the period of a hundred years which has since elapsed
is amply sufficient to have enabled what originally may have rested in custom or
comity. . . to grow, by the general assent of civilized nations, into a settled rule of
international law.”70
Selain daripada itu, Justice Grey melakukan pemeriksaan penyeluruh terhadap tulisan dan
praktik di abad ke-19 untuk menggambarkan telah terjadinya pertumbuhan. Hal ini dimulai
dengan tindakan Inggris pada 1806, yang memulihkan pengecualian kuno, kemudian Amerika
dalam Perang Meksiko, kebiasaan Perancis, dsb. Beliau memeriksa tulisan-tulisan para ahli
hukum kontemporer dan mengeluarkan pernyataan,

68
Ibid
69
Justice Gray was educated at Harvard, earning an A.B. in 1845 and an LL.B. in 1849. He was admitted to the
bar in 1851, and in 1854 became Reporter of the State Supreme Judicial Court. a position he held until 1860. In
1864. he was appointed an Associate Justice of the Supreme Judicial Court. and in 1873, Chief Justice. He
remained on the state court until 1881. when he was appointed an Associate Justice of the United States
Supreme Court.
Lowell, Biographical Note on Horace Gray, 1904, P. 39
70
The Paquate Habana (1900), 175 U.S. 677; 20 S.Ct.290
“International law is part of our law, and must be ascertained and administered by the
courts of justice of appropriate jurisdiction as often as questions of right depending
upon it are duly presented for their determination. For this purpose, where there is no
treaty and no controlling executive or legislative act or judicial decision, resort must be
had to the customs and usages of civilized nations, and, as evidence of these, to the
works of jurists and commentators who are peculiarly well acquainted with the subjects
of which they treat. Such works are resorted to by judicial tribunals, not for the
speculations of their authors concerning what the law ought to be, but for trustworthy
evidence of what the law really is.”71
Pernyataan tersebut merupakan penolakan yang sangat jelas terhadap argumen pemerintah
yang menyatakan pengadilan harus menolak “spekulasi” ahli teori karena bukan merupakan
sumber hukum yang dapat diterima.
6. Komentar dan Analisis

Dalam pemutusan kasus The Paquate Habana, terjadi perdebatan pendapat antara banyak
ahli hukum. Yang mana salah satu ahli yang berperan sangat penting dalam kasus ini, yakni
Justice Gray yang merupakan seorang sejarawan dan peneliti hukum yang sangat terkenal. Ia
menyebutkan banyak fakta-fakta hukum dan menganalisisnya seingga mengeluarkan pendapat
yang menyatakan bahwa apabila tidak ada perjanjian yang mengatur dan tidak ada tindakan
eksekutif atau legislative yang mengendalikan suatu masalah terkait, haruslah digunakan adat
istiadat dan kebiasaan Negara-negara beradab dengan bukti yang dikemukakan para ahli
mengenai kasus yang mereka bahas.
Pendapat Justice Gray tersebut menjadi dasar pertimbangan putusan ini hingga akhirnya
dapat membebaskan Paquate Habana dari penghukuman sebagai hadiah. Mengapa pendapat
Justice Gray menjadi dasar pertimbangan yang cukup besar dalam putusan ini? Berdasarkan
article 38 (1) of the Statute of the ICJ72 , pendapat sarjana hukum internasional terkemuka
adalah merupakan sumber tambahan sebagai pedoman hakim untuk memutuskan suatu

71
Ibid
72
The Court whose function is to decide in accordance with international law such disputes as are submitted to
it shall aplly:
1) International conventions, whether general or particular, establishing rules expreselly recognized by the
contesting states;
2) International customs, as evidence of general practice accepted as law;
3) The general principles of law recognized by civilized nations;
4) Subject to the provision of article 59, judicial decisions and the teaching of the most highly qualified
publicist of the various nations, as subsidiary means for the determination of rule of law
perkara73. Karena hal ini, maka pendapat Justice Gray, walaupun tidak menimbulkan hukum74,
dapat dipakai sebagai pegangan atau pedoman pemutusan perkara.

7. Daftar Pustaka

Buku
Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: P.T.
ALUMNI, 2003
Shaw, Malcolm N, International Law, Cambridge: UK: Cambridge University Press, 2008
Jurnal
Scott W. Stucky, “The Paquate Habana: A Case History in the Development of International
Law”, University of Baltimore Law Review: Vol, 15, Issue 1, Article 2, 1985
Dokumen Hukum
Lowell, Biographical Note on Horace Gray, 1904
Affidavit of Juan Pasos at 11, The Paquate Habana
International Court of Justice Statute
Artikel
Law School Cae Brief, accesed from
https://www.lexisnexis.com/community/casebrief/p/casebrief-the-paquete-habana
Kasus
The Paquate Habana (1900), 175 U.S. 677; 20 S.Ct.290.

C. Kesimpulan
Pada dasarnya sumber hukum internasional secara tertulis terdapat pada Pasal 38 ayat (1)
Statuta Mahkamah Internasional. Terdapat dua sumber hukum internasional, yaitu sumber
hukum internasional primer dan subsidier atau tambahan. Kita mengenal perjanjian
internasional sebagai bentuk sumber hukum yang paling terkenal, perjanjian internasional
dibuat antara negara dalam rangka menetapkan peraturan yang berlaku dan mengikat bagi
seluruh negara di mana perjanjian tersebut merupakan kesepakatan bersama. Kemudian, kita
mengenal adanya hukum kebiasaan internasional atau customary law, sumber ini terdiri dari
dua unsur yaitu unsur material dan unsur psikologis. Unsur material meliputi adanya

73
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, 2003, “Pengantar Hukum Internasional”, Bandung: P.T.
ALUMNI, Hal.152
74
Ibid
keseragaman dan konsistensi dalam praktik kebiasaan negara-negara atau dalam arti lain tidak
adanya pertentangan norma dalam praktik negara satu dan yang lainnya.
Sedangkan, unsur psikologis menghendaki bahwa kebiasaan internasional memenuhi
kaidah atau kewajiban hukum, negara-negara mengakui kebiasaan internasional sebagai suatu
hukum kebiasaan internasional. Lalu, kita berangkat kepada sumber hukum internasional yang
berasal dari prinsip-prinsip hukum umum, sumber dari prinsip hukum umum internasional
berasal dari prinsip hukum umum yang berkembang dalam suatu negara atau prinsip hukum
nasional yang ada di sebuah negara. Dari situ, maka dikembangkan dan diimplementasikan
prinsip hukum tersebut ke dalam praktiknya dalam hukum internasional.
Tidak selesai di situ, hukum internasional mengakui adanya sumber hukum yang berasal
dari pengadilan internasional maupun nasional serta doktrin juga sumber lainnya. Eksistensi
sumber hukum subsidier ini memiliki peran konstribusi dalam perkembangan hukum
internasional. Dalam penyelesaian kasus-kasus sengketa internasional di muka pengadilan
internasional, maka meskipun keputusan pengadilan tidak mengikat dan hanya mengikatkan
diri pada pihak-pihak yang bersengketa, tetapi putusan pengadilan dapat dijadikan sumber
hukum internasional tambahan dalam menentukan aturan hukum. Juga, doktrin atau High
Qualified Publicist memiliki peran penting untuk menjadi sumber hukum internasional di mana
dalam penyelesaian suatu sengketa internasional, pendapat ahli hukum terkemuka merupakan
sumber hukum tambahan sebagai pedoman hakim untuk memutuskan suatu perkara.
Dapat disimpulkan, baik sumber hukum primer maupun subsidier memiliki perannya
masing-masing dalam memberikan kontribusi pada perkembangan hukum internasional.
Eksistensi dari berbagai macam sumber hukum internasional mencerminkan bahwa hukum
internasional meliputi segala hal yang hidup dan berlaku dalam kehidupan masyarakat
bernegara.

Anda mungkin juga menyukai