Anda di halaman 1dari 42

SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN

ILMU EKONOMI PERTANIAN

A. Pengertian dan Ruang Lingkup Pertanian


Sebelum teknologi pertanian berkembang seperti yang kita alami
dewasa ini, teknologi pertanian masih sangat sederhana. Mungkin sekali
secara kebetulan beberapa biji-bijian yang terbuang sewaktu kaum ibu
menyiapkan makanan berkecambah dan tumbuh menjadi tanaman yang
menghasilkan. Kejadian seperti itu menimbulkan keinginan pada kaum ibu
untuk menanam kembali sebagian biji-bijian yang mereka kumpulkan dari
lapangan dan muncullah usaha bercocok tanam sebagai salah satu kegiatan
pertama pertanian. Demikian pula sebagian hewan yang tertangkap sebagai
hasil perburuan mungkin sekali tidak dibunuh untuk dimakan karena ada
anggota keluarga yang menggunakannya sebagai permainan. Akhirnya hewan
yang dipelihara itu berkembang biak dan lahirlah usaha peternakan yang
pertama sebagai imbangan bercocok tanam dalam kegiatan pertanian.
Di dalam kepustakaan kuno terdapat cerita bahwa penemu kegiatan
pertanian ialah Kaisar Cina Shen Nung. Ketika itu ia melihat rakyatnya
senang makan daging sapi dan ayam yang diperoleh dari hasil perburuan,
serta mengumpulkan buah-buahan, biji-bijian dan kacang-kacangan. Akan
tetapi semakin lama rakyatnya bertambah banyak dan lingkungannya tidak
dapat memberikan hasil alam yang cukup untuk mendukung kehidupan, maka
ia mencetuskan gagasan membuat suatu alat pengolah tanah dari sebilah kayu
yang ditajamkan dan ditempelkan pada suatu tongkat. Itulah model bajak
yang pertama dan dengan bajak tersebut ia menyuruh rakyatnya mengolah
tanah dan bertanam jawawut. Jawawut tidak hanya digunakan langsung
sebagai makanan rakyatnya tetapi juga dapat digunakan untuk makanan sapi
dan ayam.
Usaha bercocok tanam buah-buahan pertama yang tercatat dalam
sejarah mungkin dapat dikemukakan melalui orang Babilonia Kuno yang
telah mengetahui bahwa pohon kurma akan lebih banyak buahnya apabila
semacam tepung yang dihasilkan bunga pohon yang mandul dipukul-
pukulkan ke tandan bunga pohon yang mampu berbuah. Pada waktu itu
belum jelas bagi petani kurma bahwa pohon yang mandul itu bukannya
mandul, melainkan pohon yang berbunga jantan.
Terungkapnya pengetahuan bahwa pohon kurma itu ada dua jenis,
yang sekarang kita namakan berumah dua, mungkin sekali terjadi karena
pada mulanya mereka memusnahkan semua tanaman yang tidak
menghasilkan buah. Hal ini mengakibatkan pohon-pohon yang biasanya
berbuah, berguguran putiknya, dan tahulah mereka bahwa pohon yang
mereka sangka tidak berguna karena mandul itu memegang peranan penting
dalam pembentukan buah. Hal itu menyebabkan naluri petani bekerja dan
berusaha membuat lebih banyak bunga pohon yang “subur” dapat berubah
menjadi buah dengan memukul-mukulkan tandan bunga dari pohon “mandul”
ke tandan bunga pohon “subur”. Pekerjaan yang dilakukan petani ini
sekaligus mengubah status pohon kurma dari sekumpulan tumbuhan yang
hanya dimanfaatkan hasilnya, menjadi sekumpulan tanaman yang
ditingkatkan pemanfaatan hasilnya melalui pemeliharaan. Usaha
pemeliharaan terhadap makhluk hidup lain yang dilakukan manusia ini adalah
ciri utama kegiatan pertanian.
Di mana-mana di seluruh dunia, pada suatu tahap dalam peradaban
kuno, orang akan beralih dari usaha berburu dan mengumpulkan hasil alam
ke usaha bercocok tanam. Dengan bercocok tanam keperluan akan bahan
makanan dapat diperoleh sewaktu-waktu dari tempat yang letaknya dekat ke
tempat bermukim. Dengan demikian setiap hari dan selama keadaan cuaca
mengizinkan dapat tersedia bahan makanan segar yang tidak perlu diawetkan.
Apalagi ketika itu cara-cara mengawetkan makanan belum banyak diketahui
orang selain cara-cara mengeringkan dan mengasapkan makanan.
Atas dasar berbagai pengamatan kepurbakalaan, diduga usaha
pertanian di berbagai masyarakat primitif diprakarsai oleh kaum wanita
dengan maksud untuk lebih mudah menyediakan makanan bagi keluarganya.
Karena itu pertanian dapat dianggap sebagai suatu usaha untuk mengadakan
suatu ekosistem buatan yang bertugas menyediakan bahan makanan bagi
manusia.
Pertanian sebagai sumber kehidupan manusia merupakan lapangan
kerja yang bersumber dari ilmu pertanian. Sudah selayaknya kalau kita lebih
dahulu mengetahui apa yang dimaksud dengan pertanian. Pertanyaan ini agak
ganjil untuk didengarkan oleh setiap orang yang mengetahui, bahwa yang
dimaksud dengan pertanian itu tidak lain adalah “bercocok tanam”. Memang
demikian arti pertanian dalam percakapan sehari-hari. Arti sehari-hari sering
disebut dengan nama “pertanian dalam arti sempit”. Arti pertanian yang lebih
luas daripada pengertian sehari-hari adalah bahwa pertanian meliputi bidang
bercocok tanam (pertanian dalam arti sempit), perikanan, peternakan,
perkebunan, kehutanan, pengolahan hasil bumi dan pemasaran hasil bumi.
Berdasarkan atas pengertian tersebut, maka dalam ilmu pertanian lazim
dilakukan pembedaan pengertian antara pertanian dalam arti sempit, yakni
kegiatan bercocok tanam dengan pengertian pertanian dalam arti luas yang
mencakup bidang pertanaman, perikanan, peternakan, perkebunan dan
kehutanan.
Dengan sendirinya akan timbul pertanyaan ciri-ciri atau patokan
“apakah yang dipergunakan oleh ilmu pertanian untuk menentukan apakah
suatu sumber kehidupan masuk dalam bidang pertanian?” Pertanyaan yang
sangat sederhana ini nyatanya tak mudah untuk dijawab secara tegas, artinya
jawaban yang diberikan masih mengandung kelemahan, khususnya dalam
penentuan batas-batasnya. Namun demikian sebagai pedoman atau patokan-
patokan suatu kegiatan pertanian dapat kita pergunakan syarat-syarat berikut:
1. Dalam proses produksi harus terbentuk bahan-bahan organik yang berasal
dari zat-zat anorganik dengan bantuan tumbuh-tumbuhan atau hewan
seperti, tumbuh-tumbuhan, ternak, ikan, ulat sutera, laba-laba, dan
sebagainya;
2. adanya usaha manusia untuk memperbaharui proses produksi yang
bersifat “reproduktif” dan/atau “usaha pelestarian/budidaya”.
Kedua syarat itu harus dipenuhi. Jika hanya satu dari dua syarat itu
yang terpenuhi, maka usaha produksi itu belum dapat digolongkan menjadi
pertanian. Contoh: pengumpulan bahan makanan seperti, umbi-umbian, daun-
daunan, buah-buahan, ikan dan hewan dari hutan, padang rumput, sungai,
rawa, dan sebagainya oleh suku-suku yang masih hidup mengembara belum
dapat dianggap sebagai usaha pertanian, karena usaha “reproduktif dan
budidaya belum dilakukan”. Usaha tersebut dinamakan usaha pengumpulan.
Sebaliknya penangkapan ikan dari laut, sungai, rawa, danau, empang, tambak
yang diiringi dengan penjagaan kelestarian hidup dari hewan-hewan tersebut
dapat digolongkan ke dalam pengertian pertanian dalam arti luas.
Produk yang dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan dan hewan itu tidak
selalu dapat langsung dipergunakan atau dimakan oleh manusia, umumnya
perlu dilakukan pengolahan terlebih dahulu. Pengolahan hasil pertanian dan
terlebih lagi bahwa pengolahan itu masih merupakan satu mata rantai dari
kegiatan pertanian, maka pada umumnya masih digolongkan dalam pertanian.
Contoh kegiatan pengolahan tersebut adalah pembuatan gula mangkok, gula
tanjung, penumbukan padi, pembuatan keju di rumah, dan sebagainya.
Bahkan usaha pemasaran hasil pertanian yang dilakukan oleh petani-petani
kecil di desa-desa atau pasar desa, lazimnya masih digolongkan dalam bidang
pertanian.

B. Sejarah Perkembangan Pertanian


1. Perkembangan Pertanian
Penemuan api dan perkembangan pertanian merupakan dua
inovasi yang membentuk dasar kebudayaan. Api merupakan landasan dari
eksistensi kita dan sukarlah membayangkan manusia tanpa api.
Penggunaan api oleh manusia tidak hanya menandai awal kehidupan
sosial tetapi akhirnya melahirkan serentetan teknologi yang saling
berhubungan. Hasil langsung dari adanya api yang paling penting adalah
pemanfaatan persediaan pangan menjadi lebih luas, karena sejumlah
pangan adalah tak termakan (unedible), tidak enak rasanya (unpalatable)
atau tidak sehat kalau tidak dimasak dulu.
Perkembangan setiap masyarakat secara berkesinambungan
bersendi pada ketersediaan suatu sumber pangan yang cukup. Pada
masyarakat primitif yang bersendi pada pengumpulan pangan atau
perburuan, setiap individu harus terlibat secara total dengan kepastian
ketersediaan sumber pangan. Keberlimpahan hanyalah bersifat sementara
dan merupakan kekecualian. Pemecahan masalah ini terjadi dengan
penciptaan suatu rentetan teknologi yang berhubungan dan kompleks,
mencakup hubungan yang serasi antara tanaman pertanian dan ternak,
yaitu perkembangan pertanian.
Sejarah perkembangan pertanian secara relatif merupakan inovasi
yang belum lama berselang bila dibanding dengan sejarah manusia,
karena manusia semula dalam masa yang lama hanya bertindak sebagai
pengumpul makanan. Produksi pangan yang pertama dengan penanaman
dan pembudidayaan yang sesungguhnya baru terjadi pada 7.000-10.000
tahun yang silam (pada zaman Neolitik). Di dunia, pertanian nampaknya
berkembang secara sendiri-sendiri, pada waktu yang jauh terpisah pada
beberapa tempat berlainan.
Perkembangan pertanian lambat laun membawa keberuntungan
dan surplus pangan yang meyakinkan. Keadaan surplus demikian dapat
membebaskan beberapa orang yang trampil dengan keahlian lain dari
tugas memproduksi pangan. Perkembangan keahlian baru hanyalah
mungkin bila kenaikan efisiensi pertanian mengizinkan penggunaan
waktu-waktu senggang yang baru diperoleh. Hingga kini, keadaan ini
masih berlaku. Hasil akhir pada kenaikan taraf hidup ditandai dari hal –
ihwal yang dulu dianggap sebagai suatu kemewahan akhirnya telah
menjadi kebutuhan sehari-hari.
Asal-usul kebudayaan dapat ditelusur pada penemuan bahwa
persediaan pangan berlebihan dapat tercapai dengan penanaman biji atau
bagian-bagian tanaman. Tanaman-tanaman yang cepat tumbuh dan
menghasilkan dalam semusim mungkin merupakan tanaman yang
pertama kali diusahakan. Teknologi yang menyangkut budidaya tanaman
berumur panjang seperti pohon buah-buahan, memakan waktu dan
menuntut teknologi lebih tinggi, karenanya pada masa itu buah-buahan
hanya dipanen dari tanaman liar.
Secara praktis, setiap tanaman telah dikembangkan pada zaman
prasejarah. Pengembangan tanaman ini dicapai dengan dua cara yang
berbeda: 1) penjinakan (domestication), yaitu dengan membawa beberapa
spesies liar ke dalam budidaya atau pengelolaan, dan 2) seleksi
(selection), yaitu penangkaran yang berbeda-beda dari spesies tersebut.
Manusia primitif menunjukkan kecerdikan luar biasa pada proses
penjinakan tanaman liar dan persiapan kebutuhan pangannya. Misalnya
tanaman singkong yang mengandung racun yang dapat mematikan (asam
sianida, HCN), telah lama diketahui bahwa racun dapat dihilangkan
dengan proses pemasakan. Ini merupakan suatu teknik yang tak mudah
diketahui dengan begitu saja.
Seleksi kadang-kadang mengakibatkan terciptanya suatu tipe baru
dan untuk banyak tanaman sangat efektif. Dari tanaman yang ada dewasa
ini kebanyakan sangat berbeda nyata dengan nenek moyangnya yang
masih liar, dan banyak yang telah sangat berubah sehingga garis
turunannya telah kabur. Manusia purba merupakan pemulia tanaman
(plant breeder) yang efektif, walaupun tanpa pengetahuan genetika sedikit
pun.
Tanaman pertanian telah menyertai manusia dalam pengembaraan
dan migrasinya. Introduksi spesies baru kepada habitatnya yang baru,
merupakan salah satu wajah penting dalam perkembangan pertanian.
Belakangan ini pusat produksi dari hampir semua tanaman pertanian
sangat jauh berpindah dari pusat asal-usulnya.
Tinggi rendahnya kebudayaan terletak pada penemuan-penemuan
oleh orang-orang yang dilupakan sejarah. Tidak diketahui secara tepat di
manakah suatu tanaman pertama dibudidayakan. Menurut bukti-bukti
arkeologi, tercatat 7.000 – 8.000 tahun berselang, peninggalan sejarah
didapatkan pada dataran-dataran tinggi yang terairi secara baik dari
sungai-sungai Indus, Tigris, Eufrat dan Nil. Peristiwa yang
mendahuluinya tentu berlangsung ribuan tahun sebelum itu.
Asia Tenggara, dengan geografinya yang beraneka ragam yang
mengakibatkan diversifikasi vegetasi, dengan iklim yang lembut, dan
kemampuan untuk mempertahankan populasi yang stabil dengan ekonomi
dari perburuan dan penangkapan ikan, telah diduga merupakan lokasi
yang layak sebagai tempat lahirnya pertanian primitif. Daerah ini,
teristimewa kaya akan tanaman-tanaman yang membiak secara vegetatif.
Kemungkinan penanaman bagian vegetatif mendahului penanaman biji.
Asal-usul pertanian primitif mungkin pada beberapa tempat di dunia
secara tersendiri dan berkembang lewat penyebaran dan penyimpangan
bentuk-bentuk tanaman baru pada lingkungan baru. Ketika pertanian
pindah ke daerah iklim lebih dahsyat, penanaman dengan biji merupakan
teknik yang dominan, menggantikan penanaman secara vegetatif.
Ketika pertanian datang pada Dunia Lama (Asia, Afrika dan
Eropa), gerakan mengarah ke lembah sungai, di mana dua bahaya yang
sama yaitu kekeringan dan kebanjiran harus diatasi. Perubahan-perubahan
raksasa dipercepat dengan inovasi yang diperlukan untuk irigasi dan
budidaya tanaman serealia. Teknologi baru menambah kebutuhan akan
tingkatan sosial yang lebih tinggi, karya-karya besar dibutuhkan untuk
membuat sungai menjadi berfaedah bukannya menjadi ancaman pada
manusia. Keberhasilan teknologi ini dapat diukur dari populasi manusia
yang didukungnya yang selalu meningkat.
2. Sejarah Perkembangan Pertanian Dunia
Pertanian adalah manifestasi kebudayaan/peradaban manusia
yang keberadaannya dewasa ini tidak lepas dari sejarah perkembangan
kebudayaan/ peradaban manusia sejak zaman purbakala. Kegiatan Belajar
ini menguraikan tinjauan sejarah perkembangan pertanian di dunia dan
sejarah perkembangan pertanian di Indonesia, sehingga pertanian
Indonesia menjadi seperti yang ada sekarang. Perkembangan pertanian
sangat erat kaitannya dengan perkembangan peradaban manusia. Ada
baiknya kita mengenal beberapa model pertanian yang berhubungan
dengan sejarah manusia.
Peradaban kuno Mesopotamia melahirkan kebudayaan yang
mempengaruhi kemajuan yang pesat di bidang pertanian kuno. Pada saat
itu ekonomi kota berkembang dengan berlandaskan teknologi pertanian
yang berkiblat pada kuil-kuil sebagai pusat kekuasaan. Surplus yang
terjadi telah menciptakan lembaga ekonomi dan mengembangkan sistem
administrasi dan akuntansi yang didukung oleh terciptanya tulisan-tulisan
yang merupakan awal kebudayaan. Pengaruh perkembangan pertanian
yang menciptakan surplus tersebut merembes ke Siria, Mesir, India, dan
Cina. Komoditas yang diusahakan ketika itu antara lain gandum, barlai,
kurma, zaitun, dan anggur. Kebudayaan kuno dari Mesopotamia, Sumeria,
Babilonia, Asiria, Chaldea, telah merangsang perkembangan pertanian
yang lebih kompleks dengan penggunaan teras-teras dan saluran irigasi.
Reruntuhan menunjukkan sisa teras-teras, taman-taman dan kebun-kebun
yang beririgasi. Empat ribu tahun yang lalu saluran irigasi dari bata
dengan sambungan beraspal membantu mengairi areal seluas 10.000 mil
persegi tetap ditanami untuk memberi pangan penduduknya. Pada tahun
700 SM sudah dikenal 900 tanaman.
Mesir kuno mengembangkan sistem drainase dan irigasi yang
efektif serta mengembangkan alat pengolahan tanah berupa bajak kuno
yang ditarik oleh tenaga manusia dan juga mengembangkan arit sebagai
alat pemotong pada saat panen. Di sepanjang sungai Nil diciptakan
kebun-kebun luas, penuh dengan tanaman-tanaman hias eksotik dan
kolam-kolam berisi ikan dan teratai. Di kebun buah (orchards), kurma,
anggur, ara, lemon dan delima diusahakan. Kebun sayur berisi mentimun,
andewi, lobak, dan berbagai labu. Pada saat yang bersamaan berkembang
pula teknologi penyimpanan dan pengolahan pangan termasuk fermentasi,
pembuatan acar, pengeringan, pengasapan dan pemberian garam; suatu
kemajuan yang lebih merangsang berkembangnya budidaya beragam
komoditas pangan. Kebudayaan Mesir kuno tersebut menyebar ke Yunani
dan kemudian diserap oleh bangsa Romawi.
Walaupun orang Yunani hanya sedikit menambahkan kemahiran
praktik, sikap analitik dan keingintahuannya terhadap alam dan benda
memberi pengaruh besar pada kemajuan teknologi di masa mendatang.
Dua buah tulisan terkenal History of Plants dan Causes of Plants dari
Theophratus murid Aristoteles mempengaruhi Ilmu Botani hingga abad
17. Tulisan tersebut mencakup morfologi, klasifikasi, pembiakan dengan
biji dan secara vegetatif, geografi tumbuhan, kehutanan, hortikultur,
farmakologi, hama, bau dan rasa tanaman.
Kebudayaan Yunani diserap oleh bangsa Romawi. Kekaisaran
Romawi dibangun dari dasar sumber alam yang kokoh dan kuat. Bangsa
Romawi sangat tertarik pada aspek praktis dari pertanian. Pertanian
merupakan bagian yang sangat penting dari ekonomi bangsa Romawi.
Sumber penghasilan utama dari kekaisaran Romawi adalah pajak tanah
yang diatur oleh undang-undang dan rencana agraria yang matang.
Praktik pertanian Romawi dibukukan dengan baik. Tulisan
mengenai pertanian adalah De agricultura karangan Marcus Porceus Cato
(234 – 149 SM ), yang menulis aspek-aspek praktis dari pengelolaan
tanaman dan ternak. Dalam kebudayaan Romawi telah berkembang teknik
penyambungan (grafting dan budding), penggunaan pupuk kandang,
pengembalian kesuburan tanah, penyimpanan dingin untuk buah-buahan
dan rumah kaca dari mika untuk menanam sayuran pada musim dingin.
Pada abad pertengahan, runtuhnya kekaisaran Romawi dan invasi
negara Barat mendorong teknologi budidaya merambat ke Timur Dekat
dan Timur Jauh. Berkebun merupakan bagian integral dari kehidupan
biara, yang dapat mendatangkan pangan, anggur, dan obat-obatan.
Timbulnya kebudayaan Islam telah menjadi penguat keberadaan teknologi
budidaya pertanian tersebut, yang kemudian berkembang lebih pesat pada
zaman kebangkitan kembali bangsa – bangsa Eropa.
Tanaman tebu yang berasal dari Asia Timur tidaklah umum
digunakan di Eropa hingga diperkenalkan oleh orang-orang Arab ke
Palestina, Sisilia, Spanyol dan kepulauan Yunani. Kedelai merupakan
tanaman yang paling baru dari daftar tanaman yang diperkenalkan dari
Timur Jauh. Salah satu penemuan penting yang dibawa dari Timur adalah
kendali kuda yang efisien yang tidak mencekik kuda waktu ditarik kuat.
Kejayaan Timurlah yang memikat orang-orang Eropa mencari jalan ke
Timur yang akhirnya menemukan benua-benua baru dan diikuti tanaman-
tanaman baru.
Penemuan Dunia Baru (benua Amerika) menimbulkan harapan-
harapan besar di Eropa. Bahan-bahan pangan ditemui dalam bentuk
tanaman asing dan istimewa antara lain: jagung, kentang, tomat, ubijalar,
labu, kacang tanah, buncis, alpokat, jambu mete, nenas , coklat, panili,
lada, cabai, kina, kakao, karet dan tembakau.
Perubahan keadaan pertanian pada abad ke 17 dan 18 di Eropa
dimulai dengan runtuhnya sistem feodal yang berbarengan dengan
tumbuhnya kota-kota dan munculnya negara nasionalis yang kuat.
Kenaikan populasi dari kota-kota dan perluasan perdagangan serta sistem
keuangan juga telah menarik berkembangnya ekonomi pedesaan. Industri-
industri baru telah menciptakan pasar untuk tanaman-tanaman industri
seperti tebu, rosela, linen, tanaman minyak dan tanaman zat pewarna.
Perbaikan sistem pertanian di Eropa diikuti secara cepat oleh
Amerika Serikat, terutama di bidang mekanisasi. Alat pemanen yang
sekarang umumnya dipakai, awalnya diciptakan oleh Mc Gormick di
Virginia pada tahun 1831. Kekurangan tenaga kerja dan harga serealia
yang tinggi pada zaman perang saudara telah mempercepat
pengembangan dan adopsi alat mesin pertanian. Hal ini telah menjadikan
Amerika Serikat sebagai pusat pengembangan mekanisasi pertanian yang
telah menjadi landasan pengembangan sistem pertanian secara modern.
Perkembangan ilmu pertanian terapan yang pesat di negara maju
telah menyebabkan terjadinya perbedaan yang makin besar dengan
negara-negara sedang berkembang di dalam kemampuan memberi makan
penduduknya. Hal ini disebabkan oleh adanya kesenjangan antara
kenaikan efisiensi teknologi pertanian dengan kenaikan jumlah penduduk.
Di Amerika Serikat, pada tahun 1910, setiap petani mampu menghasilkan
untuk dirinya sendiri dan tujuh orang lain. Kemampuan ini berkembang
dengan pesat, yaitu pada tahun 1967 setiap petani dapat menyongkong 40
orang lainnya. Besarnya peningkatan kemampuan tersebut disebabkan
oleh adanya peningkatan efisiensi tenaga kerja akibat perbaikan teknologi.
Hal ini berujung pada melimpahnya surplus dengan harga relatif murah.
Keadaan ini berlainan dengan keadaan di negara sedang berkembang yang
kecukupan produksi belum tercapai dan masih banyak limbah hasil
pertanian belum dimanfaatkan karena teknologi belum berkembang
sepesat negara maju.
Teknologi baru dalam pertanian, yang ada pada awalnya
berkembang secara perlahan, menunjukkan pengaruh nyata sejak tahun
1930-an. Pada tahun 1880 – 1920 peningkatan produksi yang sangat
mengesankan di Amerika Serikat terjadi karena peningkatan pembiayaan
(belanja) untuk tanah dan tenaga kerja. Kemudian tahun-tahun berikutnya
pengeluaran bagi kedua aspek tersebut menurun sangat cepat.
Penggantian tenaga hewan oleh tenaga mesin pada tahun 1920-an
merupakan langkah utama dalam revolusi teknologi di abad 20. Di
samping itu, penggunaan penemuan-penemuan Mendel di dalam
pemuliaan tanaman menciptakan varietas-varietas unggul baru dengan
produktivitas tinggi. Pada tahun 1940-an, penemuan-penemuan
agrokemikalia dalam bentuk herbisida, fungisida dan insektisida organik,
telah memberikan hasil komersial yang gemilang di bidang pertanian.
Penemuan ini telah dapat meningkatkan produksi per satuan luas,
sekaligus meningkatkan efisiensi melalui pengurangan tenaga kerja.
Kemajuan selanjutnya terjadi karena adanya perbaikan sistem irigasi dan
penggunaan pupuk secara ekonomi. Kemudian sejak tahun 1950-an
banyak kemajuan yang dihasilkan sebagai akibat penelitian-penelitian
dasar.
Perkembangan pertanian dari suatu negara berjalan sesuai dengan
tahapan perkembangan masyarakat, mekanisme pasar yang berlaku,
perkembangan teknologi dan perkembangan ekonomi serta perkembangan
kelembagaan sosial.
Ada tiga tahapan perkembangan pertanian berdasarkan tingkat
kemajuan dan tujuan pengelolaan sektor pertanian tersebut. Tahap
pertama adalah pertanian tradisional yang dicirikan dengan tingkat
produktivitas sektor pertanian yang rendah. Tahap kedua adalah tahapan
komersialisasi dari produk pertanian mulai dilakukan tetapi penggunaan
teknologi dan modal relatif masih rendah. Tahap ketiga adalah tahap
seluruh produk pertanian ditujukan untuk melayani keperluan pasar
komersial dengan ciri penggunaan teknologi serta modal yang tinggi dan
mempunyai produktivitas yang tinggi pula.
Pada tahapan pertama atau tahap pertanian tradisional, para petani
biasanya menggarap tanah hanya sebatas yang dapat dikelola oleh tenaga
kerja keluarga tanpa memerlukan tenaga kerja bayaran. Keadaan
lingkungan statis, penggunaan teknologi sangat terbatas, sistem
kelembagaan sosial kaku, pasar terpencar-pencar serta jaringan
komunikasi antardaerah pedesaan dan perkotaan kurang memadai dan
cenderung menghambat perkembangan produksi.
Proses perkembangan pertanian pada umumnya berkaitan dengan
upaya transformasi dari sistem pertanian yang mempunyai produktivitas
rendah kepada sistem lebih modern yang mempunyai produktivitasnya
relatif tinggi dan yang mungkin menimbulkan dampak sampingan
terhadap lingkungan akibat penggunaan teknologi dan asupan (input)
pertanian modern. Dampak sampingan tersebut tidak hanya ditemui pada
pertanian modern tetapi juga ditemui pada pertanian tradisional, sebagai
akibat dari pertumbuhan penduduk yang meningkat cepat. Meskipun
selama ini pertanian tradisional telah sukses mengelola sumberdaya
pertanian tanpa melahirkan kerusakan sumberdaya yang tidak dapat
diperbaiki, tetapi permasalahan lingkungan akan timbul akibat tekanan
populasi penduduk terhadap lahan yang tersedia relatife sempit sehingga
daya dukungnya rendah.
Pertanian tradisional di daerah tropik dicirikan khususnya oleh
adanya tekanan untuk terus melakukan perluasan areal yang
menyebabkan kerusakan lingkungan. Pengaruh langsung dari perluasan
areal tersebut termasuk terjadinya pencucian hara yang relatif cepat dan
adanya degradasi dari kualitas lahan karena pembukaan hutan. Kerusakan
kualitas lahan karena pertanaman yang bersifat permanen pada lahan yang
relatif miskin sehingga tidak dapat dimanfaatkan lagi tanpa adanya upaya
peningkatan kesuburan tanah. Juga terjadi erosi tanah akibat hujan deras
dan musim kering yang panjang atau banjir, dan hilangnya sumberdaya
hutan akibat adanya ladang berpindah. Meskipun kerusakan sumberdaya
alam tersebut dapat dicegah dan diperbaiki jika dana tersedia, tetapi
beberapa diantaranya relatif sangat mahal, sehingga lama kelamaan
menjadi tidak dapat diperbaiki sama sekali.
Kerentaan dari ekosistem tropis telah menyebabkan kerusakan
sumberdaya alam berjalan dengan cepat, dan yang lebih memprihatinkan
adalah perbaikannya berjalan dengan lambat. Namun demikian masih ada
celah untuk pencegahan kerusakan sumberdaya alam dengan menyusun
perencanaan yang tepat dan tindakan antisipasi. Misalnya tenaga kerja di
pedesaan yang bekerja tidak penuh atau setengah pengangguran dapat
dimobilisasi untuk membuat terasering di daerah pegunungan atau
dilibatkan dalam program reboisasi atau penghutanan kembali hutan-
hutan yang telah rusak. Pada banyak daerah di Afrika, lahan yang
marginal dapat direklamasi dengan menggunakan teknik pengelolaan
yang mutakhir.
Kerusakan sumber daya alam pada pertanian modern timbul
terutama akibat dari penggunaan pestisida untuk pengendalian hama dan
penyakit serta rerumputan, dan dari kegiatan irigasi. Pengaruh sampingan
dari penggunaan pestisida perlu dilihat secara hati- hati. Daya racunnya
terhadap ikan dan burung serta persistensi dan daya jelajahnya di alam
membuatnya menjadi berbahaya jauh melampaui sasaran areal dari
penggunaan pestisida tersebut. Sedangkan proyek konstruksi sistem
irigasi, apabila tidak sesuai dengan fasilitas drainasenya kemungkinan
besar dapat meningkatkan salinasi dari air irigasi tersebut. Bahkan
penggunaan varietas unggul baru baik pada komoditas padi, jagung, dan
gandum kadangkala menimbulkan efek samping, baik karena penanaman
varietas unggul tersebut membutuhkan pestisida dalam jumlah banyak
maupun karena varietas unggul baru tersebut menggantikan spesies lokal
yang telah mengalami seleksi alami yang lebih cocok dengan lingkungan
setempat dan yang diperlukan untuk proses persilangan. Pengolahan tanah
secara terus menerus yang dipermudah dengan adanya mekanisasi
pertanian juga dapat merusak struktur tanah. Pertanian modern tidak dapat
melepaskan ketergantungannya pada produk kimia (pupuk dan pestisida),
varietas unggul baru yang mempunyai produktivitas tinggi dan irigasi.
Harus diupayakan agar efek sampingannya dapat dicegah atau
diminimalkan dengan perencanaan pembangunan pertanian yang
komprehensif.
Memperhatikan dampak ikutan dari proses transformasi pertanian
tradisional menjadi pertanian modern yang berorientasi pasar atau
komersial itu mungkin merupakan tindakan yang tidak realistis, jika kita
mendesain suatu perubahan yang terlalu cepat. Sebagai contoh dapat
disimak upaya untuk mengintroduksikan tanaman perdagangan dalam
pertanian tradisional yang seringkali gagal membantu petani untuk
meningkatkan taraf hidupnya. Menggantungkan diri pada tanaman
perdagangan bagi para petani kecil lebih mengandung risiko daripada
pertanian subsisten, karena fluktuasi harga membuat keadaan menjadi
lebih tidak menentu.
Pengalaman menunjukkan bahwa diversifikasi usahatani
merupakan suatu langkah transisi yang efektif. Dengan langkah ini
tanaman pokok tidak lagi mendominasi karena tanaman perdagangan
yang baru diintroduksikan seperti buah-buahan, kopi dan tanaman lainnya
sudah mulai dijalankan bersama dengan usaha peternakan atau perikanan
secara sederhana. Upaya diversifikasi tersebut relatif telah meningkatkan
produktifitas usahatani yang sebelumnya sering menyebabkan terjadinya
pengangguran tidak kentara.
Usaha diversifikasi ini sangat diperlukan mengingat angkatan
kerja di pedesaan sering berlimpah dan dengan diversifikasi angkatan
kerja tersebut dapat dimanfaatkan dengan lebih optimal. Pada tahapan ini,
pemakaian alat dan mesin pertanian mulai diintroduksi, demikian pula
penggunaan benih varietas unggul baru, serta pupuk, pestisida dan irigasi.
Dengan demikian para petani mampu memperoleh surplus produksi yang
dapat dijual serta mengurangi risiko kegagalan panen.

3. Sejarah Perkembangan Pertanian Indonesia


Perkembangan pertanian Indonesia sebelum Belanda datang,
ditentukan oleh adanya sistem pertanian padi dengan pengairan yang
merupakan praktik turun menurun petani Jawa. Sistem pertanian padi
sawah merupakan upaya untuk membentuk pertanian menetap.
Pada saat ini di Indonesia dapat kita temukan berbagai sistem
pertanian yang berbeda, baik efisiensi teknologinya maupun tanaman
yang diusahakannya, yaitu sistem ladang, sistem tegal pekarangan, sistem
sawah dan sistem perkebunan.
Sistem ladang merupakan suatu bentuk peralihan dari tahap
pengumpul ke tahap penanam. Pengolahan tanah dilakukan secara sangat
minimum, produktivitas bergantung pada lapisan humus yang terbentuk
dari sistem hutan. Tanaman yang diusahakan umumnya tanaman pangan,
misalnya padi, jagung maupun umbi-umbian.
Sistem tegal pekarangan berkembang di tanah-tanah kering yang
jauh dari sumber air. Sistem ini dikembangkan setelah menetap dengan
tingkat pengelolaan yang juga rendah dan tanaman yang diusahakan
terutama tanaman yang tahan kekeringan dan pohon-pohonan.
Sistem sawah, merupakan sistem dengan pengolahan tanah dan
pengelolaan air yang baik sehingga tercapai stabilitas biologi yang tinggi
dan kesuburan tanah dapat dipertahankan. Sawah merupakan potensi
besar untuk produksi pangan, baik untuk padi maupun palawija. Di
beberapa daerah sawah juga diusahakan untuk tanaman tebu, tembakau
atau tanaman hias.
Sistem perkebunan baik perkebunan rakyat maupun perkebunan
besar milik swasta maupun perusahaan negara, berkembang karena
kebutuhan tanaman ekspor seperti karet, kopi, teh, kakao, kelapa sawit,
cengkeh dan lain-lain.
Bertani adalah kehidupan pokok rakyat dan pemerintah
memperoleh sumber penerimaannya semata-mata dari pertanian.
Penerimaan negara terutama terdiri atas pembayaran innatura dan jasa-
jasa tenaga kerja penggarap tanah. Ini berarti bahwa sebagai kawula,
petani harus menyisihkan sebagian hasil panen dan waktunya bagi
keperluan raja, kerajaan dan atasan. Pembayaran ini sebagai bukti bahwa
mereka sebagai kawula (warga negara) dari suatu negara dan dianggap
sebagai imbalan untuk perlindungan pemerintah dari serangan musuh atau
gangguan keamanan lainnya.
Dalam mengerjakan tanah pertaniannya petani mempergunakan
peralatan sederhana berupa pacul, bajak, garu, dan parang yang dibuat
masyarakat setempat. Ternak merupakan tenaga pembantu yang paling
penting untuk mengolah tanah. Hampir tidak ada keluarga tani yang
mengupah buruh tani untuk mengerjakan sawah. Meskipun kecil, hampir
setiap keluarga memiliki tanah sawah atau tegalan yang mereka tanami
bahan makanan berupa padi, jagung, jagung cantel (shorgum), jewawut,
ubi, dan ketela. Dalam istilah ekonomi pertanian usaha semacam ini
dinamakan usahatani subsisten yang hasil produksinya diutamakan untuk
keperluan keluarga sendiri; sedangkan sarana produksi dicukupi dari
dalam keluarga. Perdagangan hampir tidak ada. Organisasi ekonomi yang
ada sangat sederhana dengan sedikit sekali perdagangan antarmereka.
Campur tangan pemerintah kerajaan secara langsung tidak ada, namun
demikian karena pertanian merupakan sumber pendapatan paling penting,
semua tingkatan pemerintah memperoleh pendapatannya dari pajak-pajak
sektor pertanian baik berupa pajak atas hasil produksi atau dari
perdagangan hasil-hasilnya.
Setiap barang yang bergerak menjadi sasaran pemajakan oleh
penguasa. Pungutan dikenakan di semua pelabuhan, di pedalaman
peredaran barang-barang dipaksa melewati pintu-pintu gerbang tempat
membayar pajak.
Pasar tidak hanya merupakan tempat pembeli dan penjual
bertemu, tetapi lebih-lebih lagi merupakan arena yang empuk bagi para
penguasa untuk mempermudah penerimaan pajak. Tidak boleh ada
perdagangan di luar pasar, dan monopoli ini kadang-kadang berlaku
sejauh 30 km atau lebih. Monopoli pemerintah ini berpengaruh buruk
pada persediaan pangan. Pungutan baik yang resmi maupun tidak resmi
benar-benar membuat masyarakat pertanian tertekan karena yang diterima
petani menjadi teramat kecil bila dibandingkan dengan yang dibayar oleh
konsumen terakhir.
Campur tangan pemerintah dalam hal seperti ini merupakan
campur tangan yang tidak positif karena telah mengurangi atau
menghilangkan sama sekali gairah untuk berproduksi. Keadaan yang
demikian merupakan bibit-bibit timbulnya involusi pertanian ala Clifford
Geertz, suatu ciri pertanian di Jawa abad kedua puluh. Oleh karena itu,
involusi pertanian yang negatif tersebut tidak sepenuhnya bersumber dari
kebijakan kolonialisme Belanda yang baru muncul belakangan.
Sifat-sifat kelambanan dan apatisme petani Indonesia rupanya
sudah mulai terbentuk pada zaman feodalisme abad ke 16 dan 17,
sebelum Belanda datang di Indonesia. Penekanan terhadap petani dan
kehidupan petani ternyata bukan hal yang baru. Secara teoritis, apabila di
dalam suatu negara, pertanian hampir merupakan satu-satunya sektor
yang rakyatnya menggantungkan hidupnya. Hanya di sanalah negara
menggantungkan sumber pendapatannya. Dalam hal ini, tidak dapat
dihindarkan bahwa petani menjadi semacam sapi perahan. Hal ini terlihat
lebih jelas pada zaman revolusi kemerdekaan, terutama di daerah-daerah
pertanian monokultur yang petaninya harus membayar berbagai pungutan
resmi untuk membantu jalannya pemerintahan setempat dan dalam
banyak hal membantu menghidupi pejabat – pejabat pemerintah daerah.
Pada zaman kolonial Belanda, pembahasan mengenai pertanian
secara lebih rinci dapat dibagi dalam beberapa periode sebagai berikut:
a. Zaman VOC 1600 – 1800,
b. Zaman kekacauan dan ketidakpastian 1800 – 1830 atau masa sewa
tanah,
c. Zaman Tanam Paksa 1830 – 1850,
d. Zaman peralihan ke liberalisme 1850 – 1870,
e. Zaman liberalisme 1870 – 1900,
f. Zaman politik etik 1900 – 1930, dan
g. Zaman depresi dan perang 1930 – 1945.
Meskipun kondisi petani pada masing-masing periode berbeda,
tetapi perkembangan pertanian dalam seluruh periode tersebut ditandai
oleh perbedaan dari metode penggalian sumberdaya pertanian Indonesia
yang semuanya ditujukan untuk memberi keuntungan sebesar-besarnya
bagi penjajah. Tujuan utama kebijaksanaan pembangunan pertanian pada
zaman kolonial adalah memberikan pemasukan yang lebih besar kepada
kas penjajah di atas pengeluaran bagi biaya pemerintahan kolonial. Sistem
inilah yang diyakini akan mendatangkan uang paling cepat dan paling
banyak bagi kas pemerintah jajahan dibanding dengan tanam sukarela. Di
atas kertas sistem ini dapat dikatakan netral dibanding dengan
kebijaksanaan sewa tanah yang diterapkan oleh Raffles pada periode
pemerintahannya (1811 – 1816).

4. Sistem Sewa Tanah (Tanah Partikulir)


Dalam sistem pemerintahan tradisional (adat) di Indonesia, rakyat
mempunyai kebebasan penuh untuk menentukan jenis komoditi yang
ditanam. Meskipun demikian rakyat membayar (menyetorkan) sebagian
hasil usahataninya kepada penguasa. Hal ini ditafsirkan oleh pemerintah
kolonial Belanda bahwa pemilik tanah yang sebenarnya adalah
pemerintah. Pemikiran yang menganggap pemerintah sebagai pemilik
tanah dan petani sebagai penyewa tanah milik, menyebabkan petani
diwajibkan membayar pajak bumi sebesar duaperlima dari hasil tanah
garapannya. Sistem sewa tanah yang diberikan kepada partikelir (swasta)
itu telah melepaskan rakyat dari ikatan – ikatan adatnya dan terhapusnya
kewajiban rakyat untuk menyerahkan hasil bumi kepada Bupati.
Sejak masa sewa tanah diberlakukan, peredaran uang telah
menyebabkan semakin ditingkatkannya produksi hasil dengan cara
memperluas areal tanam. Sistem pertanian kontrak ternyata telah
berkembang masa ini. Hasil-hasil pertanian, khususnya beras telah
memasuki lalu lintas perekonomian dalam sistem kontrak. Pada saat Du
Buis berkuasa (1826 – 1830) kebijaksanaan sebelumnya yang cenderung
mengeksploitasi sumberdaya manusia tanpa dukungan modal diubah
dengan kebijaksanaan yang cenderung menyertakan modal dan
ekstensifikasi. Ia memberikan kesempatan yang lebih banyak kepada
pengusaha Eropa untuk menanamkan modalnya guna meningkatkan
produksi ekspor. Kebijaksanaan ini didasari oleh kenyataan kondisi
masyarakat Jawa saat itu yang terlalu miskin untuk menghasilkan
tanaman ekspor.
Dari hasil pengamatannya, Du Buis melihat susunan masyarakat
Jawa menunjukkan kehidupan kolektif yang sukar berubah sehingga
kemiskinan tampak merata. Ia berkesimpulan bahwa tanah-tanah komunal
merupakan sumber penyebab kemiskinan di Jawa. Selain itu,
ketidakmampuan membuka tanah-tanah baru akibat lemahnya penguasaan
sumberdaya manusia, ternyata telah menyebabkan ketidakseimbangan
jumlah penduduk dan luas tanah. Akibatnya, penduduk semakin miskin.
Ketidak mampuan secara ekonomi terlihat dari keadaan stagnasi ekonomi
subsisten, kemiskinan dan homogenitas masyarakat di pedesaan Jawa.
Atas dasar itu, ia berupaya menaikkan ekspor, menerapkan kebijakan
menghilangkan tanah-tanah komunal menjadi tanah milik perseorangan,
dan membuka peluang penanaman modal secara besar-besaran melalui
perluasan tanah yang belum dibuka oleh penguasa Eropa menjadi
pertanian besar. Dampaknya, eksploitasi tenaga kerja secara besar-besaran
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari penerapan kebijkan kolonisasi
Du Buis. Petani-petani tuna wisma di desa-desa yang padat penduduk
dengan mudah direkrut menjadi buruh di pertanian (perkebunan) besar.
Implikasi dari struktur hubungan kerja ini adalah munculnya stratifikasi
sosial buruh – majikan yang amat tajam pada masa itu.

5. Sistem Tanam Paksa


Sistem sewa tanah (tanah partikulir) yang berlangsung hampir dua
puluh tahun (1810 – 1830) dengan segala pembaharuannya ternyata tidak
menghasilkan kemakmuran sedikitpun di Jawa, walaupun sebelumnya
Raffles pernah berpendapat bahwa Jawa adalah gudang beras. Sementara
itu, sejak kekuasaan kolonial kembali ke tangan Belanda, anggaran
pemerintah Belanda semakin memburuk. Sebagai solusinya, sebagaimana
telah diuraikan sebelumnya, untuk menolong keuangan pemerintah
kolonial Belanda tersebut di bawah pemerintahan Van den Bosch
menerapkan sistem tanam paksa yang merupakan pemulihan eksploitasi
seperti halnya penyerahan-penyerahan wajib yang pernah dilaksanakan
oleh VOC. Teori domein Raffles bahwa tanah adalah milik raja atau
pemerintah diterapkan kembali. Para kepala desa diharuskan menyewa
tanah kepada pemerintah, kemudian mereka menyewakannya kembali
kepada petani. Dengan sistem ini pemilik tanah tidak lagi membayar
pajak bumi (landrente) sebesar dua per lima dari hasil, tetapi diwajibkan
menyediakan seperlima dari luas tanahnya untuk ditanami tanaman
ekspor yang telah ditentukan, seperti kopi, gula, teh, tembakau, dan nila
yang merupakan komoditas yang dari penanaman sampai ke
pengolahannya di pabrik-pabrik sangat berpengaruh bagi kehidupan
petani. Kebijakan tanam paksa mengatur bahwa kegagalan tanaman akan
ditanggung oleh pemerintah selama tidak diakibatkan oleh kelalaian
penduduk itu sendiri.
Ketetapan kebijakan tanam paksa yang mewajibkan seperlima
luas tanah pertanian ditanami komoditas ekspor tersebut, pada
kenyataannya banyak petani yang diwajibkan menanam lebih dari
ketentuan yang ada. Mereka juga diwajibkan melakukan kerja wajib yang
pada akhirnya menyebabkan pekerjaan usahatani subsisten mereka
terabaikan. Mengenai pajak tanah yang seharusnya tidak dikenakan, justru
pada periode ini pendapatan pajak pemerintah meningkat.
Kerja paksa merupakan alternatif yang paling murah untuk
mengurangi biaya produksi pabrik-pabrik gula. Untuk itu rakyat dipaksa
dan dikerahkan secara besar-besaran untuk bekerja dari awal penanaman
sampai ke proses produksi di pabrik-pabrik. Petani yang pada mulanya
mempunyai kebebasan untuk menanam dan bekerja di tanahnya sendiri
terpaksa harus bekerja sesuai dengan aturan kolonial yang terawasi
dengan ketat.
6. Zaman Liberal
Gerakan liberal di Eropa pada pertengahan abad ke 19 menjalar
pula ke Indonesia. Setelah melalui masa transisi untuk menghapuskan
tanam paksa, maka dengan undang-undang Agraria 1870, di Indonesia
dibuka modal swasta dari Belanda, Inggris dan modal-modal swasta lain
dari Eropa. Titik tolak undang-undang agraria adalah pernyataan
pemilikan tanah umum oleh warga negara. Semua tanah dinyatakan milik
negara, kecuali bila pihak-pihak lain, misalnya Kesultanan Mataram,
menyatakan lain dengan alasan-alasan dan bukti-bukti tertentu. Dengan
cara demikian pemerintah Belanda dapat menyewakan tanah-tanah
pertanian yang tidak dituntut pihak lain kepada perkebunan-perkebunan
dan pemilik modal bangsa Eropa dalam jangka panjang, yaitu 75 – 99
tahun. Yang terpenting dari sistem hak tanah ini dinamakan hak erfpacht,
yaitu hak penguasaan tanah selama 75 tahun dengan kemungkinan
diwariskan dan diperpanjang. Manfaat terbesar sistem ini adalah untuk
pengusahaan tanaman tahunan seperti teh, coklat, dan kina, baik di Jawa
maupun luar Jawa. Bentuk sistem penguasaan tanah inilah yang memberi
ciri khas pada perkebunan besar di Indonesia, yaitu terdapat kompleks
perkebunan yang amat luas dan dilengkapi sarana dan prasarana baik
untuk kebun maupun untuk aktivitas sosial.
Di Sumatera Timur berkembang perkebunan tembakau, karet dan
kelapa sawit yang mendatangkan kuli kontrak dari Cina dan Jawa. Mereka
terikat kontrak menjadi semacam budak yang di dalam literatur disebut
sebagai pure proletariat. Dari sinilah kemudian muncul poenale sanctie
atau sistem kontrak kerja, yang ancaman hukuman atas pelanggarannya
sangat berat. Hukuman bukan berupa hukuman administrasi tetapi
hukuman sebagai penjahat.
Sistem penguasaan yang kedua yang lebih banyak melibatkan
petani terutama di Jawa adalah sistem persewaan jangka pendek dengan
maksimum persewaan lima tahun untuk pertanaman tebu, tembakau, dan
agave. Inilah permulaan dari sistem yang dianggap menjadi sumber
kemunduran petani Jawa. Petani diperkenalkan dengan sistem kapitalisme
tetapi tidak diperbolehkan menjadi kapitalis sendiri. Kapitalisnya adalah
para penguasa Belanda atau bangsa Eropa lain yang membawa modal dan
ilmu teknologi maju. Inilah yang menurut Boeke menjadi asal mula
lahirnya dualisme, karena sistem kapitalisme yang sudah matang dari
Eropa ditimpakan pada sistem tradisional yang juga sudah matang di
Jawa. Bagaimana petani memberikan reaksi pada intervensi modal
Belanda ini? Mereka mundur menyusun benteng pertahanan dengan
sistem sosial budaya asli Jawa. Inilah involusi pertanian menurut Clifford
Geertz.
7. Era Abad XX
Pendirian Departemen Pertanian Hindia Belanda pada tahun
1905 merupakan awal perbaikan kebijaksanaan pembangunan tanaman
pangan dan hortikultura. Pendirian Departemen Pertanian itu merupakan
tindak lanjut dari keputusan Kerajaan Belanda (1904) untuk membina
pertanian rakyat sebagai prioritas utama. Selanjutnya pemerintah kolonial
mengangkat para penasehat pertanian (1908) dan membentuk dinas
penyuluhan Pertanian (1910), yang diikuti dengan adanya kegiatan
penyuluhan berupa pengenalan varietas-varietas baru padi dan tanaman
lainnya tahun 1908 dan Organisasi Pengatur Penyebaran Benih dibentuk
pada tahun 1916.
Pendirian kebun-kebun benih semakin digalakkan sejak
dibentuknya seksi Kebun-kebun Seleksi dan Benih di Bagian Pertanian,
Departemen Pertanian tahun 1920. Kebun-kebun benih tersebut
diantaranya Kebun Bibit Kentang di Tosari, Kebun Benih Crotalaria di
Yogyakarta (1924), kebun Benih Padi di Karawang, Kebun Benih
Sayuran di Pacet, dan Kebun Bibit Buah – buahan di Pasuruan.
Di zaman penjajahan Jepang, pembangunan pertanian kurang
mendapat perhatian karena pemerintah disibukkan oleh situasi
peperangan. Dilaporkan bahwa penyuluhan tidak berjalan dengan baik
sehingga terjadi penurunan produksi beras (32%), kedelai (60%), dan
jagung (56%). Di zaman merdeka, pembangunan pertanian dapat
ditelusuri berdasarkan periodisasi sejak Prapelita (1945 – 1969),
dilanjutkan di setiap Pelita sejak Pelita I sampai dengan pertengahan
Pelita VI di bawah Kabinet Reformasi (1998 – 1999), hingga di bawah
Kabinet Gotong Royong.
C. Makna Ekonomi Pertanian
Mengapa ilmu ekonomi pertanian penting untuk dipelajari? Ada dua
M sebab utama yaitu pertama, kebutuhan manusia akan produk-produk
(barang dan jasa) pertanian tidak terbatas baik dalam kuantitas maupun
kualitas. Kedua, sumber daya pertanian yang biasa disebut dengan faktor
produksi seperti lahan, modal, tenaga kerja dan manajemen, yang dapat
digunakan untuk memproduksi barang dan jasa guna memenuhi kebutuhan
yang sifatnya tidak terbatas tersebut tersedia dalam jumlah yang terbatas
(langka).
1. Area Disiplin Ekonomi Pertanian
Setiap saat kita selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan ekonomi.
Setiap individu harus memilih barang-barang, jasa-jasa dan kegiatan-
kegiatan yang terbaik. Di sisi lain kita dihadapkan pada keterbatasan
sumber daya yang akan digunakan untuk memperoleh barang, jasa dan
kegiatan yang kita inginkan. Permasalahannya adalah bagaimana kita
menggunakan sumber daya yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan
yang tidak terbatas yang biasa disebut juga sebagai proses ekonomi. Sejak
kecil kita sebenarnya sudah biasa melakukan pilihan di antara dua atau
lebih kegiatan: apakah pergi dengan ayah ke rumah saudara atau pergi
dengan ibu ke pertokoan. Membuat pilihan seperti itu merupakan
keputusan ekonomi karena memilih kegiatan yang satu berarti harus
mengorbankan kegiatan yang lainnya. Saat tumbuh menjadi dewasa,
keputusan-keputusan ekonomi menjadi lebih kompleks misalnya
menempuh pendidikan di perguruan tinggi atau bekerja, membeli traktor
atau membeli ternak, memperbaiki rumah atau memperluas lahan yang
akan disewa. Dalam hal ini secara terus menerus tanpa disadari kita telah
menerapkan ekonomi sebagai seni, meskipun kita tidak mempelajari atau
memahami ilmu ekonomi.
Ahli di bidang pertanian, pelaku agribisnis, kepala pemerintahan
setiap saat juga dihadapkan pada permasalahan ekonomi. Mempelajari
penerapan prinsip-prinsip ekonomi di bidang pertanian tidak menjamin
keberhasilan pengambilan keputusan ekonomi, tetapi akan memberikan
pemahaman tentang proses ekonomi dan mengarahkan pengambilan
keputusan ekonomi yang lebih baik (Sjo, 1976).
Karena setiap individu harus melakukan tindakan ekonomi setiap
waktu, maka pemahaman mengenai praktek ekonomi akan lebih banyak
daripada pemahaman tentang teori ekonomi. Setiap waktu kita
menggunakan gagasan atau konsep-konsep dan istilah-istilah ekonomi,
seperti permintaan (demand), penawaran (supply), kesejahteraan (wealth),
harga (price), persaingan (competition).
Oleh karena itu, untuk mengetahui area disiplin ekonomi
pertanian perlu dipahami terlebih dahulu arti atau definisi dari ilmu
ekonomi dan ekonomi pertanian itu sendiri. Berikut ini akan dijelaskan
mengenai definisi kedua bidang ilmu tersebut. Menurut Sjo (1976), untuk
mendefinisikan ilmu ekonomi kita harus mempertimbangkan empat hal,
yaitu:
a. Tidak terbatasnya keinginan manusia;
b. Terbatasnya sumber daya;
c. Alokasi sumber daya;
d. Jangka waktu.
Dengan mengombinasikan keempat hal tersebut maka ilmu
ekonomi dapat didefinisikan sebagai studi tentang bagaimana masyarakat,
baik individu maupun kelompok, mengalokasikan sumber daya-sumber
daya yang terbatas di antara berbagai keinginan untuk memaksimumkan
kepuasan pada waktu tertentu.
Menurut Abbot dan Makeham (1979), ilmu ekonomi merupakan
ilmu yang digunakan untuk menganalisis penggunaan sumber daya yang
terbatas untuk memenuhi kebutuhan dasar. Seperti halnya dengan disiplin
ilmu pada umumnya, diperlukan keahlian dalam menggunakan prinsip-
prinsip ekonomi untuk memecahkan berbagai permasalahan. Aplikasi-
aplikasi tersebut meliputi:
a. Menentukan alternatif cara penggunaan sumber daya;
b. Memenuhi berbagai kebutuhan dan keinginan pada berbagai tingkat
preferensi;

berkaitan dengan butir 1 dan 2, berarti ilmu ekonomi mempelajari


perilaku manusia antara lain pengambilan keputusan yang terbaik tentang
penggunaan sumber daya.
Dengan demikian, ilmu ekonomi merupakan ilmu yang berkenaan
dengan upaya pemenuhan kebutuhan jasmani yang tidak berhubungan
langsung dengan uang. Selanjutnya dikemukakan bahwa secara umum,
ilmu ekonomi berguna untuk membantu masyarakat suatu negara untuk
memilih barang dan jasa yang lebih baik, barang dan jasa yang lebih
banyak dan kualitas (taraf) hidup yang lebih tinggi.
Berdasarkan uraian di atas dan pengertian mengenai ilmu
ekonomi, maka ekonomi pertanian dapat didefinisikan sebagai ilmu sosial
terapan, yang prinsip-prinsip dan metode analitis ilmu ekonomi
digunakan untuk mencari solusi bagi permasalahan ekonomi dalam
bidang pertanian. Pada umumnya terdapat dua jenis permasalahan yang
dihadapi oleh para ahli di bidang pertanian. Pertama, ahli ekonomi
pertanian harus mampu menentukan kebutuhan dan keinginan konsumen.
Kedua, ahli ekonomi pertanian harus menghadapi persoalan produksi dan
distribusi produk-produk pertanian. Secara tradisional, ahli ekonomi
pertanian lebih berorientasi pada dua jenis permasalahan tersebut. Saat
ini, ekonomi lebih berorientasi pada konsumen sehingga ahli ekonomi
pertanian dituntut untuk mencoba lebih memahami keinginan-keinginan
konsumen.
Berikut ini akan disajikan gambaran mengenai pentingnya
ekonomi pertanian bagi pemecahan permasalahan suatu negara. Uraian ini
dimulai dengan menunjukkan pentingnya pertanian bagi perekonomian
negara yang bersangkutan, sistem perekonomian yang dianut, penggunaan
prinsip ekonomi dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi. Pada
akhirnya semuanya itu akan menunjukkan area disiplin ekonomi
pertanian.
Amerika Serikat merupakan salah satu negara maju yang
senantiasa meningkatkan perhatiannya pada kebijakan-kebijakan ekonomi
yang dapat meningkatkan kesejahteraan hidup bagi rakyatnya, negara dan
hubungannya dengan negara-negara lain di seluruh dunia. Yang menjadi
persoalan adalah sumber daya manusia dan sumber daya fisik potensial
tidak cukup tersedia baik dalam kuantitas maupun kualitas untuk
menyuplai pangan yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dunia
yang terus meningkat.
Secara spesifik, produksi pangan dan serat serta distribusinya
merupakan bagian yang penting dalam perekonomian Amerika Serikat.
Sebagai produsen terbesar dari berbagai komoditi pertanian, Amerika
Serikat memegang peranan penting dalam situasi pangan dunia. Karena
pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, semua negara
akan selalu memperhatikan pertumbuhan, perkembangan dan stabilitas
produksi dan distribusi pangan. Oleh karena itu pemahaman terhadap
prinsip-prinsip ekonomi untuk diaplikasikan pada produksi, distribusi dan
konsumsi di bidang pertanian dan komoditi pangan adalah penting. Selain
itu, gambaran tentang pertanian dan kebijakan pangan Amerika Serikat
yang berkesinambungan memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat
Amerika Serikat.
Pada dasarnya, Amerika Serikat menganut sistem ekonomi pasar
bebas (free enterprise economic system). Sistem ekonomi ini memberikan
tingkat kebebasan yang besar bagi setiap individu untuk memilih atau
membeli barang dan jasa, memasuki atau keluar dari kegiatan bisnis dan
memanfaatkan sumber daya (tanah, tenaga kerja, modal dan manajemen).
Istilah ekonomi campuran (mixed economy) kadang-kadang digunakan
untuk menggambarkan ekonomi Amerika Serikat berkaitan dengan
kepemilikan sumber daya produktif oleh pihak swasta dan pihak
pemerintah. Amerika Serikat juga digambarkan sebagai negara dengan
sistem ekonomi yang berorientasi pasar (market-oriented economy) yang
berbeda dengan sistem ekonomi yang kegiatan ekonominya direncanakan
oleh pemerintah. Pemahaman mengenai sistem ekonomi suatu negara
memerlukan studi tentang sistem harga pasar, peran penawaran dan
permintaan dalam pengalokasian barang dan jasa, serta sumber daya di
antara berbagai kegiatan ekonomi.
Agar memahami kekuatan-kekuatan pokok yang menentukan
penawaran suatu komoditi yang tersedia di pasar, produsen harus
mengetahui hubungan fisik dan ekonomi dalam proses produksi. Adapun
aspek penting dalam proses produksi meliputi:
a. jenis produk;
b. kombinasi sumber daya terbaik yang akan digunakan dalam proses
produksi; pengetahuan tentang macam-macam biaya produksi;
berproduksi pada tingkat output yang memaksimumkan keuntungan
(Donald dan Malone, 1981).

Di balik permintaan akan berbagai macam barang dan jasa yang


ingin dibeli oleh konsumen, terdapat kekuatan-kekuatan yang
mempengaruhi pilihan-pilihan konsumen dalam rangka memenuhi
keinginannya. Konsumen akan berusaha memaksimumkan kepuasannya
dengan memilih kombinasi barang dan jasa yang lebih baik atau lebih
disukai dibandingkan kombinasi lainnya, dengan tunduk pada kendala
pendapatan atau anggaran yang terbatas.
Pasar yang merupakan tempat pertukaran secara ekonomis dalam
sistem ekonomi pasar bebas, dapat dipelajari untuk menentukan
bagaimana sumber daya-sumber daya dan produk-produk (barang dan
jasa) dialokasikan dalam sistem ekonomi sebagai respons terhadap
perubahan harga. Kegagalan pasar dapat terjadi dalam pasar bebas.
Diyakini bahwa industri-industri tertentu mengalami keuntungan secara
ekonomis atau kerugian secara ekonomis dalam hubungannya dengan
industri lainnya. Pada kasus-kasus tertentu, ada kemungkinan tidaklah
cukup untuk mengandalkan mekanisme harga di pasar sebagai alat
pendistribusian sumber daya ekonomi. Dalam situasi semacam ini perlu
dilakukan intervensi atau campur tangan pemerintah dalam sistem harga
melalui penetapan harga, pengaturan produksi, dan/atau konsumsi serta
perkiraan implikasinya secara ekonomis terhadap berbagai sektor
ekonomi.
Kebijakan di bidang pertanian dan pangan berhubungan erat
dengan kebijakan ekonomi internasional dan sangat penting terutama bagi
konsumen dan produsen dalam negeri (domestik) maupun konsumen dan
produsen luar negeri di seluruh dunia. Analisis terhadap kebijakan di
bidang pertanian dan pangan serta evaluasi terhadap aspek-aspek yang
mempengaruhi perekonomian domestik dan dunia dapat dilakukan setiap
saat.
Pada akhirnya, hubungan antara penggunaan sumber daya alam,
kebijakan dan produksi pertanian dapat diuji melalui suatu studi atau
penelitian. Persoalan-persoalan berhubungan dengan konservasi sumber
daya yang digunakan dalam kegiatan ekonomi, adanya persaingan
(competition) atau saling melengkapi (complementary) di antara sumber
daya seperti tanah dan air untuk produksi pangan atau untuk penggunaan
lainnya dapat dianalisis dan dicari penyelesaiannya.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, dapat dikatakan
bahwa disiplin ekonomi pertanian memiliki ruang lingkup (area) yang
luas. Namun demikian, menurut Soekartawi (1987), pada prinsipnya
ruang lingkup ini dapat diklasifikasikan mulai dari kegiatan berproduksi,
konsumsi dan pemasaran serta aspek-aspek lain yang mempengaruhi
kegiatan produktif tersebut.

2. Hubungan Ilmu Ekonomi Pertanian Dengan Ilmu Lain


Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa ekonomi
pertanian pada dasarnya merupakan penerapan prinsip-prinsip ekonomi
dalam pemecahan permasalahan di bidang pertanian. Sebagai ilmu sosial
yang mempelajari perilaku manusia, maka ilmu ekonomi tidak dapat
dipelajari tanpa memahami ilmu-ilmu sosial lainnya seperti sosiologi,
ilmu politik, psikologi, dan antropologi.
Ilmu ekonomi melakukan penyelidikan tentang berbagai perilaku
manusia, antara lain:
a. Bagaimana masyarakat memperoleh penghasilan;
b. Bagaimana masyarakat memproduksi barang dan jasa;
c. Bagaimana masyarakat melakukan pertukaran barang dan jasa;
d. Bagaimana masyarakat mencapai kesejahteraan.
Setiap jenis perilaku manusia akan dipengaruhi oleh jenis perilaku
lainnya. Perilaku ekonomi dipengaruhi oleh perilaku politik.
Pendistribusian energi, keputusan politik akan memiliki konsekuensi-
konsekuensi ekonomi yang besar. Kebiasaan masyarakat misalnya
preferensi makanan sangat mempengaruhi keputusan-keputusan ekonomi
dalam usaha tani.
Mahasiswa pertanian mempelajari ekonomi pertanian agar
mengetahui bahwa ilmu ekonomi tidak dapat diterapkan di bidang
pertanian secara terpisah dengan ilmu pengetahuan lainnya. Keefektifan
penggunaan ilmu-ilmu pengetahuan tertentu tergantung pada kemampuan
pengguna untuk mengintegrasikan ilmu pengetahuan tersebut dengan ilmu
pengetahuan lainnya yang telah diperoleh. Sebagai contoh, keuntungan
dari pemasaran yang efektif akan hilang karena ketidakefektifan cara
pemberian makanan dalam usaha peternakan.
Menurut Mubyarto (1979), ilmu ekonomi pertanian dapat
didefinisikan sebagai bagian dari ilmu ekonomi umum yang mempelajari
fenomena-fenomena yang berhubungan dengan pertanian baik mikro
maupun makro. Analisis ilmu ekonomi mikro dalam pertanian meliputi
analisis ekonomi terhadap proses (teknis) produksi dan hubungan-
hubungan sosial dalam proses produksi pertanian, hubungan antara
faktor-faktor produksi, hubungan antara produksi dan hasil produksi, dan
hubungan antara beberapa hasil produksi dalam suatu proses produksi.
Analisis ilmu ekonomi makro dalam pertanian mencakup kemampuan
mahasiswa yang mempelajari ilmu ekonomi pertanian untuk
menganalisis, menginterpretasikan, dan menghubungkan persoalan-
persoalan ekonomi makro seperti masalah pendapatan nasional, konsumsi,
investasi, kesempatan kerja dan pembangunan ekonomi berkenaan dengan
bidang pertanian.
Sesuai dengan perkembangannya di Indonesia, ilmu ekonomi
pertanian bisa ditinjau dari dua sudut pandang. Pertama, ilmu ekonomi
sebagai cabang dari ilmu pertanian, dipelajari oleh mahasiswa Fakultas
Pertanian. Aspek sosial ekonomi dari petani menjadi pusat perhatian para
mahasiswa pertanian. Bidang ilmu lainnya yang terkait antara lain ilmu
ekonomi, fisika, matematika, biologi, dan ilmu-ilmu lainnya. Kedua, ilmu
ekonomi pertanian sebagai cabang dari ilmu ekonomi, dipelajari oleh
mahasiswa Fakultas Ekonomi. Dalam hal ini, ilmu ekonomi pertanian
merupakan ilmu ekonomi yang diterapkan pada bidang pertanian. Dengan
dasar teori ekonomi mikro dan teori ekonomi makro serta ilmu lainnya
seperti akuntansi, statistika, matematika dan ekonometrika, para
mahasiswa mempelajari aplikasi teori ekonomi pada permasalahan di
bidang pertanian dan implikasinya bagi perekonomian nasional.
Secara sederhana, hubungan ilmu ekonomi pertanian dengan
ilmu-ilmu lainnya disajikan dalam bentuk skema pada Gambar 1.1.
D. Aplikasi Ilmu Ekonomi pada Pertanian
Penerapan prinsip-prinsip ekonomi di bidang pertanian termasuk
pemasaran produk-produk pertanian dimaksudkan untuk tujuan-tujuan
tertentu yang berkaitan dengan beberapa aspek, antara lain:
1. Penentuan harga: menggambarkan faktor-faktor yang mempengaruhi
tingkat harga dan menunjukkan bagaimana perbedaan harga dapat terjadi
antarwaktu, antartempat dan dimensi lainnya.
2. Penjelasan peran sistem pemasaran: untuk mengetahui tempat penjualan
dan saluran pemasaran bagi produk-produk pertanian (hasil tanaman dan
ternak).
3. Pengujian permasalahan dan kelemahan dalam organisasi dan cara
pemasaran serta menunjukkan cara-cara untuk memperbaikinya.
4. Perubahan ekonomi produksi pertanian dan manajemen usaha tani:
menunjukkan bagaimana tanah, tenaga kerja, modal dan risiko dapat
dikombinasikan pada berbagai proporsi. Juga menunjukkan bagaimana
petani memilih kombinasi produk yang memberikan keuntungan terbesar
(Abbot dan Makeham, 1979).
Untuk dapat mencapai tujuan-tujuan aplikasi ilmu ekonomi pada
pertanian diperlukan pendekatan-pendekatan umum atau pendekatan-
pendekatan yang biasa digunakan dalam teori ekonomi. Berikut ini akan
dijelaskan mengenai beberapa pendekatan yang biasa digunakan untuk
memecahkan permasalahan ekonomi di bidang pertanian serta organisasi dan
peranan pertanian dalam pembangunan ekonomi.

1. Pendekatan Teori Ekonomi Untuk Pertanian


Ekonomi pertanian dapat diartikan sebagai penerapan teori
ekonomi di bidang pertanian atau pendekatan secara teoritis terhadap
permasalahan-permasalahan di bidang pertanian (Ritson, 1977 dalam
Peters, 1995). Pada prinsipnya kutipan ini memberikan gambaran
bagaimana ekonomi pertanian diorganisasikan dan diajarkan di berbagai
perguruan tinggi di seluruh dunia.
Meskipun polanya terus mengalami perubahan, program studi
ekonomi pertanian sering kali ditempatkan dalam fakultas pertanian
daripada dalam fakultas ekonomi. Implikasinya, para mahasiswa lebih
difokuskan pada pengetahuan teknis tentang pertanian dan peternakan
serta teori-teori dasar bidang pertanian. Selanjutnya, para dosen
mengajarkan ilmu ekonomi agar mahasiswa dapat menerapkan teori
ekonomi ke bidang pertanian. Dalam arti yang sempit, ilmu ekonomi
dianggap relevan untuk keberhasilan pelaksanaan bisnis di bidang
pertanian. Berdasarkan pandangan ini, para mahasiswa yang diarahkan
untuk berprofesi sebagai ahli bidang pertanian, pengelola dalam bidang
pertanian, pelaku agribisnis dan agropolitis, perlu memahami ilmu
ekonomi untuk diterapkan secara lebih luas dalam bidang pertanian.
Dengan kata lain, para mahasiswa perlu memahami “pendekatan teoritis
terhadap permasalahan ekonomi pertanian”.
Suatu mata kuliah disusun dan diajarkan berdasarkan pada
kerangka dasar pengetahuan yang mengarah pada teori. Ada kalanya
mahasiswa mempelajari teori (ilmu) murni dan pada saat yang lain
mereka mempelajari teori yang diaplikasikan untuk memecahkan
permasalahan tertentu (ilmu terapan). Dalam ekonomi pertanian, harus
dipahami terlebih dahulu konsep-konsep atau teori ekonomi sebelum
menggunakannya untuk memecahkan permasalahan di bidang pertanian.
Perlu diketahui bahwa ilmu terapan mempunyai kegunaan yang lebih
terbatas dibandingkan ilmu murni.
Teori merupakan kerangka pengetahuan umum yang berusaha
menggambarkan fenomena tertentu. Teori dibangun melalui observasi
(pendekatan induktif) dan pemikiran logis (pendekatan deduktif). Teori
merupakan abstraksi dari dunia nyata (fakta). Kebenaran suatu teori
adalah bagaimana teori tersebut dapat menggambarkan fakta dengan baik
dan bagaimana kegunaan teori tersebut dalam memecahkan permasalahan
dalam dunia nyata. Penggunaan kedua pendekatan ini dalam kerangka
pengujian kebenaran teori secara ilmiah disajikan di Gambar 1.2.

Gambar 1.2.
Pendekatan Deduktif Induktif dalam Kerangka Teori

Dalam usahanya menggambarkan fenomena tertentu, terdapat


adanya keterbatasan yang mungkin disebabkan oleh keterbatasan yang
melekat pada teori yang akan digunakan maupun keterbatasan pengguna.
Keinginan mahasiswa untuk memahami perilaku manusia secara
individual dalam rangka memenuhi kebutuhannya dibatasi oleh
pemahaman mahasiswa itu sendiri tentang ilmu ekonomi. Para ahli
ekonomi juga sering kali dibatasi oleh kemampuan mereka dalam
mengukur variabel-variabel ekonomi secara akurat. Sebagai contoh:
bagaimana mengukur kepuasan? Mengukur variabel ini tidak semudah
mengidentifikasi dan mengukur variabel dalam penelitian yang dilakukan
di laboratorium. Pengamatan tentang perilaku manusia akan memberikan
hasil yang umumnya berbeda dengan perilaku manusia yang sebenarnya
(cenderung bias). Untuk memperkecil bias yang terjadi dan untuk
mempermudah penerapan teori ke dalam kehidupan nyata yang kompleks,
diperlukan asumsi.
Untuk menyederhanakan situasi dan hubungan yang kompleks,
ilmuwan sering menggunakan asumsi-asumsi. Ahli fisika biasanya
menggunakan asumsi “ruang hampa” dalam berbagai kegiatan penelitian
mereka. Ahli ekonomi mengasumsikan bahwa tujuan suatu bisnis adalah
memaksimumkan keuntungan. Tujuan dari penggunaan asumsi adalah
untuk mengurangi jumlah variabel yang diteliti sehingga lebih mudah
untuk menentukan hubungan di antara variabel yang diamati. Karena ahli
ilmu sosial jarang atau hampir tidak pernah melakukan penelitian di
laboratorium seperti yang banyak dilakukan oleh ahli ilmu eksakta
(misalnya fisika dan biologi) di mana variabel-variabel yang diamati lebih
terukur dan bisa dikondisikan, maka ahli ilmu sosial membuat lebih
banyak asumsi dibandingkan ahli ilmu eksakta.
Selain pendekatan induktif dan deduktif yang banyak digunakan
dalam disiplin ilmu pada umumnya, ekonomi pertanian juga
menggunakan pendekatan yang biasa digunakan dalam ilmu ekonomi,
yaitu:
a. Mikro-makro sebagai bagian utama dari ilmu ekonomi umum,
b. Konsumsi-produksi yang merupakan kegiatan pokok yang dilakukan
dua pelaku utama dalam perekonomian yang paling sederhana, dan
c. Positif-normatif sebagai pendekatan yang biasa digunakan dalam ilmu
ekonomi umum. Berikut ini akan dijelaskan mengenai pendekatan-
pendekatan tersebut.

a. Pendekatan Mikro-Makro
Dua bagian pokok dari ilmu ekonomi adalah mikro ekonomi dan
makro ekonomi. Dalam dua bidang ilmu ini, ahli ekonomi mengamati
dan mempelajari kegiatan-kegiatan ekonomi baik individu maupun
kelompok. Dalam mikro ekonomi, dipelajari kegiatan konsumen dan
produsen secara individual serta pasar yang merupakan interaksi
antara konsumen dan produsen. Sedangkan makro ekonomi
memperhatikan unit ekonomi sebagai suatu keseluruhan, yang
menghadapi permasalahan yang lebih luas seperti pendapatan nasional
(national income), kesempatan kerja (employment), tabungan
(savings), investasi (investment) dan inflasi (inflation). Secara umum,
ahli ekonomi pertanian mempelajari pengorganisasian bisnis di bidang
pertanian secara individual dalam penggunaan sumber daya yang
optimal. Konsekuensinya, pengajaran mata kuliah ekonomi pertanian
lebih ditekankan pada pendekatan mikro ekonomi, Tetapi sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti saat
ini, berbagai sektor ekonomi mempunyai keterkaitan yang erat
sehingga permasalahan makro seperti kesempatan kerja, inflasi dan
investasi mempunyai dampak yang besar terhadap petani dan pelaku
agribisnis. Oleh karena itu, penting bagi mahasiswa yang mempelajari
ekonomi pertanian untuk memahami tidak hanya bagaimana
mengorganisasikan suatu bisnis untuk memperoleh penerimaan yang
optimum tetapi juga bagaimana pengaruh perubahan perekonomian
secara keseluruhan terhadap keputusan-keputusan ekonomi dalam
bisnis di bidang pertanian.

b. Pendekatan Konsumsi-Produksi
Dalam ilmu ekonomi, terdapat dua aspek yang sangat penting
berkaitan dengan pelaku kegiatan ekonomi pokok yaitu konsumen dan
produsen. Keduanya mempunyai hubungan yang tidak terpisahkan
dan saling tergantung satu sama lain. Produsen menghasilkan barang
dan jasa untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Konsumen
bergantung pada produsen atas barang dan jasa untuk memuaskan
kebutuhan dan keinginannya. Dua aspek ini penting dalam ilmu
ekonomi karena perilaku masing-masing akan menentukan
karakteristik pasar melalui permintaan oleh konsumen dan penawaran
oleh produsen. Bagi para ahli pertanian yang lebih menekankan pada
ekonomi produksi pertanian (sisi produksi) akan mengalami kesulitan
untuk menjelaskan bagaimana petani atau pelaku agribisnis
memahami keinginan atau preferensi konsumen atas produk-produk
pertanian yang akan mereka hasilkan. Interaksi kedua pelaku utama
ini dalam perekonomian yang sederhana disajikan pada Gambar 1.3.

Gambar 1.3.
Interaksi Konsumen dan Produsen

c. Pendekatan Positif-Normatif
Menurut pendekatan ekonomi positif, ahli ekonomi membuat
laporan mengenai apa yang ditemukannya tanpa membuat penilaian
apakah temuannya tersebut baik atau buruk. Dalam pendekatan ini
ahli ekonomi hanya menentukan alternatif-alternatif penyelesaian
masalah tanpa mencoba untuk mengidentifikasi alternatif mana yang
terbaik. Dengan demikian pendekatan ekonomi positif menghindari
adanya penilaian. Menurut pendekatan ekonomi normatif, ahli
ekonomi dapat membuat penilaian mengenai fakta ekonomi yang
diamati.
Hasil pengamatan yang menunjukkan bahwa pendapatan usaha
tani lebih rendah daripada pendapatan di luar usaha tani merupakan
ekonomi positif. Kesimpulan hasil penelitian bahwa pendapatan usaha
tani berdasarkan pengamatan lebih rendah daripada pendapatan usaha
tani yang seharusnya merupakan ekonomi normatif.

2. Organisasi dan Peranan Pertanian Dalam Pembangunan


Sistem pertanian dalam perekonomian suatu negara yang tergolong
sebagai negara maju sangatlah kompleks. Sistem tersebut dapat dibentuk
oleh berbagai macam perusahaan mulai dari yang kecil hingga yang besar,
dengan bentuk-bentuk organisasi yang berbeda-beda seperti perusahaan
swasta milik perorangan, perusahaan-perusahaan milik keluarga,
perusahaan berbadan hukum milik pemerintah atau swasta, koperasi tani
dan koperasi konsumsi.
Saluran pemasaran yang dibentuk dalam rangka pengalokasian
input atau sarana produksi pertanian dari para pemasok (pemilik sumber
daya) sampai ke para petani atau peternak, dan dalam rangka
pengalokasian produk-produk pertanian dari petani atau peternak sampai
kepada pengecer atau konsumen, akan berbeda-beda baik untuk produk-
produk pertanian yang sama maupun produk-produk pertanian yang
berbeda. Input-input pertanian seperti pupuk, benih dan mesin-mesin
pertanian dapat dibeli oleh petani atau peternak melalui perusahaan
perorangan atau perusahaan besar (dealer) yang mewakili perusahaan
pemasok bagi sektor pertanian (farm supply firm). Produk-produk
makanan yang dijual di tingkat pengecer (retailer) dapat mengurangi dua
fungsi pemasaran yang biasanya dilakukan oleh perusahaan. Bila
perusahaan di tingkat pengecer memproduksi roti-roti itu sendiri, maka
pembelian tepung akan dilakukan langsung ke perusahaan penggilingan
tepung. Sedangkan pengecer lainnya dapat memperoleh barang tersebut
dengan membelinya langsung ke perusahaan roti yang mengolah gandum
menjadi roti dan kue-kue lainnya.
Sektor pertanian dan peternakan dengan organisasinya yang
kompleks mulai dari pemasok input (sumber daya) – petani/peternak –
konsumen dalam berbagai bentuk mempunyai peranan yang penting
dalam pembangunan. Terdapat banyak alternatif jalur atau strategi
pembangunan. Strategi yang digunakan oleh tiap-tiap negara ditentukan
oleh kepemilikan sumber daya dan tingkat pembangunan negara-negara
yang bersangkutan. Beberapa negara dengan kepemilikan sumber daya
minyak dan mineral yang sangat besar nilainya dapat membentuk modal
untuk pembangunan melalui ekspor sumber daya tersebut. Beberapa
negara lainnya menekankan pada ekspor hasil tanaman perdagangan
seperti kopi, cokelat dan teh. Sedangkan negara lainnya lagi
memfokuskan pada ekspor hasil-hasil industri dan sementara yang lainnya
menekankan pada peningkatan produksi pangan pokok. Jalur
pembangunan yang optimal berbeda-beda antara satu negara dengan
negara lainnya. Kesalahan dalam memilih jalur pembangunan dengan
kepemilikan sumber daya dan tingkat pembangunan tertentu dapat
mengakibatkan stagnasi ekonomi dalam jangka panjang.
Berikut ini disajikan beberapa contoh negara yang salah memilih
jalur pembangunan. Argentina, negara yang memiliki sumber daya lahan
yang subur, pada tahun 1940-an dan 1950-an memilih jalur pembangunan
yang menekankan pada industrialisasi yang mengabaikan sektor
pertanian. Akibatnya, ekspor pertanian yang sebelumnya merupakan
komponen penting dalam pertumbuhan ekonomi mengalami stagnasi
dalam tahun 1950-an, dan devisa yang berkurang menghambat Argentina
untuk melakukan impor terhadap barang-barang modal yang dibutuhkan
dalam industrialisasi. Akibat selanjutnya pertumbuhan ekonomi menurun
tajam. India juga merupakan contoh negara lainnya yang potensial untuk
sektor pertanian, pertumbuhan ekonominya juga merosot karena
penekanannya pada industrialisasi yang tidak proporsional dalam tahun
1950-an dan 1960-an.
Pertanian di sebagian besar negara-negara berpendapatan rendah
sangat tidak produktif. Awalnya dalam proses pembangunan banyak
penduduk yang bekerja di sektor pertanian, dan persentase pendapatan
nasional berasal dari sektor tersebut. Selama pembangunan berlangsung,
pertumbuhan penduduk dan pendapatan per kapita meningkat. Selama
pendapatan tumbuh, lebih banyak pangan akan diminta atau dengan kata
lain produksi dan impor produk-produk pertanian dipastikan meningkat.
Karena pertanian menggerakkan banyak sumber daya dalam sebagian
besar negara-negara berpendapatan rendah, maka sejumlah dana
diperlukan untuk membiayai impor pangan kecuali kalau output (produk)
pertanian berkembang pesat.
Kapasitas sektor pertanian untuk mempekerjakan tenaga kerja yang
lebih besar sangatlah terbatas. Saat pendapatan terus meningkat,
permintaan akan komoditi non-pertanian juga bertambah. Oleh karena itu,
pembangunan ekonomi mensyaratkan transformasi ekonomi atau
struktural yang melibatkan pengembangan sektor non-pertanian. Sektor
pertanian selain memberikan kontribusi dalam pengembangan pangan,
tenaga kerja dan modal, juga menyediakan pasar bagi barang-barang non-
pertanian. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa nilai awal dan
rendahnya produktivitas pertanian di sebagian besar negara yang sedang
berkembang memberikan peluang bagi upaya peningkatan pendapatan
nasional melalui pembangunan pertanian. Karena nilai awal tersebut dan
rendahnya pendapatan per kapita di sektor pertanian, terdapat kesempatan
riil untuk memperbaiki distribusi pendapatan dan meningkatkan
kesejahteraan sebagian besar penduduk melalui pembangunan pertanian.
DAFTAR PUSTAKA

Abd. Rahim, Suprapti Supardi dan Diah Retno Dwi Hastuti. Model Analisis
Ekonomika Pertanian. Makasar: Badan Penerbit UNM. 2012.

Alisabeth Lenny Marid, dkk. Pengantar Ilmu Ekonomi. Medan: Yayasan Kita
Menulis. 2021.

Bappenas. Kajian Evaluasi Revitalisasi Pertanian Dalam Rangka Peningkatan


Kesejahteraan Petani. Jakarta, Desember 2012.

Jabal Tarik Ibrahim. Metode Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Malang:


UMM Press. 2020.

Rini Dwiastuti, Metode Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian: Dilengkapi


Pengenalan Berbagai Perspektif Pendekatan Metode Penelitian. Malang:
UB Press. 2017.

Anda mungkin juga menyukai