Laporan Kasus
Laporan Kasus
Oleh :
dr. Tutut Rachmawati
Pembimbing :
dr. Erwin Sutedjo, Sp. A
dr. Juliadhy Sony Kurniawan
1
LEMBAR PENGESAHAN
2
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN .............................................................. 2
DAFTAR ISI ..................................................................................... 3
BAB 1. PENDAHULUAN .............................................................. 4
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................... 5
2.1 Definisi ........................................................................................ 5
2.2 Epidemiologi .............................................................................. 5
2.3 Klasifikasi ................................................................................... 6
2.4 Cara Penularan ............................................................................ 6
2.5 Faktor Resiko .............................................................................. 6
2.6 Etiologi ........................................................................................ 7
2.7 Patogenesis dan Patofisiologi ...................................................... 8
2.8 Manifestasi Klinis ....................................................................... 10
2.9 Diagnosis ..................................................................................... 12
2.10 Tatalaksana ................................................................................ 16
2.11 Anemia ...................................................................................... 24
2.12 Definisi ....................................................................................... 25
2.13 Epidemiologi ............................................................................. 26
2.14 Etiologi ...................................................................................... 26
2.15 Patogenesis Anemia Defisiensi Besi ......................................... 29
2.16 Patofisiologi Anemia Defisiensi Besi ....................................... 30
2.17 Manifestasi Klinis ..................................................................... 30
2.18 Diagnosis ................................................................................... 31
2.19 Diagnosis Banding .................................................................... 33
2.20 Penatalaksanaan ........................................................................ 34
2.21 Prognosis ................................................................................... 37
BAB III. LAPORAN KASUS ........................................................... 38
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... 46
3
BAB 1
PENDAHULUAN
Diare masih merupakan salah satu penyebab utama morbilitas dan mortalitas anak di
negara yang sedang berkembang. Dalam berbagai hasil Survei kesehatan Rumah Tangga
diare menempati kisaran urutan ke-2 dan ke-3 berbagai penyebab kematian bayi di
Indonesia1. Sebagian besar diare akut disebabkan oleh infeksi. Banyak dampak yang terjadi
karena infeksi seluran cerna antara lain pengeluaran toksin yang dapat menimbulkan
gangguan sekresi dan reabsorpsi cairan dan elektrolit dengan akibat dehidrasi, gangguan
keseimbangan elektrolit dan keseimbangan asam basa. Invasi dan destruksi sel epitel,
penetrasi ke lamina propria serta kerusakan mikrovili dapat menimbulkan keadaan
malabsorpsi. Bila tidak mendapatkan penanganan yang adekuat pada akhirnya dapat
mengalami invasi sistemik (Subagyo, B. S. 2012.)
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DIARE (GASTROENTERITIS)
2.1 Definisi
Diare adalah buang air besar pada bayi atau anak lebih dari 3 kali perhari, disertai
perubahan konsistensi tinja menjadi cair dari biasanya dengan atau tanpa lendir dan darah.
Diare akut adalaha diare yang berlangsung kurang dari 14 hari (kurang dari 2 minggu),
sedangkan diare kronik adalah diare yang berlangsung lebih dari 14 hari (lebih dari 2
minggu) (Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010)
Pada bayi yang minum ASI sering frekuensi buang air besar lebih dari 3-4 kali perhari,
keadaan ini tidak dapat disebut diare, tetapi masih bersifat fisiologis atau normal. Selama
berat badan bayi meningkat normal, hal tersebut tidak tergolong diare, tetapi merupakan
intoleransi laktosa sementara akibat belum sempurnanya perkembangan saluran cerna.
Untuk bayi yang minum ASI secara eksklusif definisi diare yang praktis adalah
meningkatnya frekuensi buang air besar atau konsistesinya menjadi cair yang menurut
ibunya abnormal atau tidak seperti biasanya. Kadang-kadang pada seorang anak buang air
besar kurang dari 3 kali perhari, tetapi konsistesinya cair, keadaaan ini sudah dapat disebut
diare. (Subagyo, B. S. 2012)
2.2 Epidemiologi
Secara epidemiologi diare dapat ditemukan di seluruh dunia baik di negara yang telah
maju ataupun di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Di negara maju walaupun
sudah terjadi perbaikan kesehatan dan sosial ekonomi yang tinggi tetapi penyakit diare
masih menjadi masalah kesehatan selain karena morbiditasnya juga karena biaya perawatan
kesehatannya yang cukup besar.5 Berdasarkan data dari World Gastroenterology
Organisation Practice Guideline di seluruh dunia terdapat sekitar 1,5 miliar kasus diare
pertahun dengan angka kematian 1,5-2 juta terutama pada anak usia kurang dari 5 tahun
atau mencapai angka 18% dari seluruh dunia yang berarti lebih dari 5000 anak yang
menderita diare setiap harinya, dari semua kasus yang kematian akibat diare sekitar 78%
terjadi di kawasan Afrika dan Asia Tenggara dan pada negara berkembang anak-anak usia
dibawah 3 tahun mengalami diare kurang lebih 3 kali setiap tahunnya. (Farthing, M et al.
2008.)
5
Di Indonesia angka morbiditas dan mortalitas akibat diare masih tinggi. Pada tahun
2000-2010 terlihat kecenderungan insidens yang meningkat berdasarkan hasil survei dari
Departemen Kesehatan. Pada tahun 2000 incidence rate (IR) diare 310/1000 penduduk,
tahun 2003 menjadi 374/1000 penduduk, tahun 2006 naik menjadi 423/1000 penduduk dan
tahun 2010 menjadi 411/1000 penduduk.8 Kejadian Luar Biasa (KLB) diare juga masih
sering terjadi dengan jumlah kematian yang masih tinggi.9 Diare merupakan penyebab
kematian peringkat ke-13 berdasarkan pola penyebab kematian pada semua umur,
sedangkan berdasarkan dari hasil Riskesdas tahun 2007 diare masih sebagai penyebab
kematian nomor satu pada Balita.9 Dengan keadaan tersebut masalah diare menjadi
perhatian yang cukup serius demi mancapai target millennium development goals (MDGS)
poin ke empat yaitu menurunkan angka kematian balita (Agtini, M. D., & Soenarto, S. S.
2011)
2.3 Klasifikasi
Diare dapat diklasifikasikan berdasarkan : (Suratmaja Sudaryat. 2007.)
1. Lama waktu diare : diare akut dan diare kronik
2. Mekanisme patofisiologis : osmotik, sekretorik, malabsorbsi, inflamasi, infeksi, dan
gangguan peristaltik
3. Berat ringannya diare : berat atau ringan
4. Penyebabnya infeksi atau tidak : diare infektif atau diare non infektif
5. Penyebabnya organik atau tidak : diare organik atau diare fungsional
2.6 Etiologi
Diare dapat disebabkan oleh banyak penyebab, dimana dapat dikelompokkan menjadi :
1. Malabsorbsi : karbohidrat (intoleransi laktosa), lemak terutama trigliserida rantai
panjang, dan protein seperti beta-laktoglobulin.
2. Keracunan makanan, makanan mengandung zat kimia beracun atau makanan
mengandung mikroorganisme yang mengeluarkan toksin.
3. Alergi : susu sapi Cow’s milk protein sensitive enteropathy (CMPSE), atau makanan
tertentu.
4. Imonodefisiensi. Diare akibat imunodefisiensi ini sering terjadi pada penderita AIDS.
5. Atau infeksi baik yang disebabkan oleh bakteri, virus ataupun parasit (Gambar 1).
7
Tabel 2. Frekuensi Enteropatogen penyebab diare pada anka usia <5 tahun
8
pada mukosa usus halus, dalam 15-30 menit sesudah diproduksi, enterotoksin ini
menyebabkan kegiatan berlebihan nikotinamid adenine dinukleotid pada dinding sel
usus, sehingga meningkatkan kadar adenosin 3’5’- siklik monofosfat (siklik AMP)
dalam sel yang menyebabkan sekresi aktif anion klorida ke dalam lumen usus yang
diikuti oleh air, ion bikarbonat, kation natriu dan kalium.
b. Diare eksudatif (inflamatorik) : inflamasi akan mengakibatkan kerusakan mukosa baik
usus halus maupun usus besar. Inflamasi dan eksudasi dapat terjadi akibat infeksi
bakteri atau bersifat non infeksi seperti gluten sensitive enteropathy, inflamatory bowel
disease (IBD) atau akibat radiasi.
c. Kelompok lain : akibat gangguan motilitas yang mengakibatkan waktu tansit usus
menjadi lebih cepat. Hal ini terjadi pada keadaan tirotoksikosis, atau diabetes mellitus.
(Setiawan, B. 2009)
Pada dasarnya mekanisme terjadinya diare akibat kuman enteropatogen
meliputi penempelan bakteri pada sel epitel dengan atau tanpa kerusakan mukosa,
invasi mukosa, dan produksi enterotoksin atau sitotoksin. Satu bakteri dapat
menggunakan satu atau lebih mekanisme tersebut untuk dapat mengatasi pertahanan
mukosa usus.
Simadibrata & Daldiyono (2009) serta Setiawan (2009) patogenesis diare
karena infeksi bakteri terdiri atas :
1. Diare karena bakeri non-invasif (enterotoksigenik)
Diare yang disebabkan oleh bakteri-bakteri non invasif disebut juga diare
sekretorik atau watery diarrhea. Pada diare tipe ini disebabkan oleh bakteri yang
memproduksi enterotoksin yang bersifat tidak merusak mukosa. Misalnya S. aureus, C.
perfringens, V cholera eltor, Enterotoxigenic E. coli (ETEC). Misalnya pada V.
cholerae eltor, bekteri ini mengeluarkan toksin yang terikat pada mukosa usus halus,
dalam 15-30 menit sesudah diproduksi, enterotoksin ini menyebabkan kegiatan
berlebihan nikotinamid adenine dinukleotid pada dinding sel usus, sehingga
meningkatkan kadar adenosin 3’5’- siklik monofosfat (siklik AMP) dalam sel yang
menyebabkan sekresi aktif anion klorida ke dalam lumen usus yang diikuti oleh air, ion
bikarbonat, kation natriu dan kalium.
2. Diare karena bakteri invasif (enteroinvasif)
Bakteri-bakteri yang bersifat merusak (invasif) diantaranya S. enteritidis, S.
typhimurium, S. paratyphi, S. choleraesuis, Shigella, Yersinia, C. perfringens tipe C,
Enteroinvasive E coli (EIEC). Diare disebabkan oleh kerusakan dinding usus berupa
9
nekrosis dan ulserasi. Sifat diarenya sekretorik eksudatif. Cairan diare dapat tercampur
lendir dan darah.
2.8 Manifestasi Klinis
Infeksi usus menimbulkan tanda dan gejala gastrointestinal serta gejala lainya
dapat terjadi komplikasi ekstraintestinal termasuk manifestasi neurologik. Gejala
gastrointestinal bisa berupa diare, keram perut, dan muntah. Sedangkan manifestasi
sistemik bervariasi tergantung pada penyebabnya. (Subagyo, B. S. 2012.)
Penderita dengan diare cair mengeluarkan tinja yang mengandung sejumlah ion
natrium, klorida dan bikarbonat. Kehilangan air dan elektrolit ini bertambah bila ada
muntah dan kehilangan air juga akan meningkat bila ada panas. Hal ini dapat
menyebabkan dehidrasi, asidosis metabolik, dan hipokalemia. Dehidrasi merupakan
keadaan yang paling berbahaya karena dapat menyebabkan hipovolemia, kolaps
kardiovaskular dan kematian bila tidak diobati dengan tepat. Dehidrasi yang terjadi
menurut tonisistas plasma dapat berupa dehidrasi isotonik, dehidrasi hipertonik
(hipernatremik) atau dehidrasi hipotonik. Menurut derajat dehidrasinya bisa tanpa
dehidrasi, dehidrasi ringan, dehidrasi sedang, dehidrasi berat. (Subagyo, B. S. 2012.)
Muntah juga sering terjadi pada non inflammatory diare. Biasanya penderita
tidak panas atau hanya subfebris, nyeri perut periumbilikal tidak berat, watery diare,
menunjukan bahwa saluran makan bagian atas yang terkena. Oleh karena pasien
10
immunocompromise memerlukan perhatian khusus, informasi tentang adanya
imunodefisiensi atau penyakit. (Subagyo, B. S. 2012.)
11
2.9 Diagnosis
1. Anamnesis
Pada anamnesis perlu ditanyakan hal-hal sebagai berikut : lama diare, frekuensi,
volume, konsistensi tinja, warna, bau, ada/tidak lendir dan darah. Bila disertai muntah
volume dan frekuensinya. Kencing: biasa, berkurang, jarang atau tidak kencing dalam
6-8 jam terakhir. Makanan dan minuman yang diberikan selama diare. Adakah panas
atau penyakit lain yang menyertai seperti: batuk, pilek, otitis media,. Tindakan yang
telah dilakukan ibu selama anak diare: memberi oralit, membawa berobat ke puskesmas
atau ke rumah sakit dan obat-obatan yang diberikan serta riwayat imunisasinya.
(Subagyo, B. S. 2012.)
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik perlu diperiksa : berat badan, suhu tubuh, frekuensi
denyut jantung dan pernapasan serta tekanan darah. Selanjutnya perlu dicari tanda-
tanda tambahan lainya: ubun-ubun besar cekung atau tidak, mata: cowong atau tidak,
ada atau tidak adanya air mata, bibir, mukosa mulut dan lidah kering atau basah.
Pernapasan yang cepat dan dalam indikasi adanya asiodosis metabolik. Bising
usus yang lemah atau tidak, ada bila terdapat hipokalemia. Pemeriksaan ekstremitas
perlu karena perfusi dan capillary refill dapat menentukan derjat dehidrasi yang terjadi.
Penilaian beratnya atau derajat dehidrasi dapat ditentukan dengan cara: objektif yaitu
dengan membandingkan berat badan sebelum dan sesudah diare. Subjektif dengan
menggunakan criteria WHO atau maurice king. (Subagyo, B. S. 2012.)
Penilaian A B C
Lihat:
12
Mulut dan Minum *haus ingin *malas minum atau tidak
lidah biasa,tidak haus minum banyak bias minum
Rasa haus
3. Pemeriksaan laboratrium
✓ darah : darah lengkap, serum elektrolit, analisa gas darah, glukosa darah, kultur dan tes
kepekaan terhadap antibiotika
✓ tinja:
a. Pemeriksaan makroskopik
Pemeriksaan makroskopik tinja perlu dilakukan pada semua penderita dengan
diare meskipun pemeriksaan labotarium tidak dilakukan. Tinja yang watery dan tanpa
mukus atau darah biasanya disebabkan oleh enteroksin virus, protozoa, atau disebabkan
oleh infeksi diluar saluran gastrointestinal. Tinja yang mengandung darah atau mukus
13
bisa disebabkan infeksi bakteri yang menghasilkan sitotoksin bakteri enteroinvasif
yang menyebabkan peradangan mukosa atau parasit usus seperti : E. hystolitica, B.coli
, T.trichiura. Apabila terdapat darah biasanya bercampur dalam tinja kecuali pada
infeksi dengan E.hystolitica darah sering terdapat pada permukaan tinja dan pada
infeksi dengan Salmonella, Giardia, Cryptosporidium dan Strongyloides. (Subagyo, B.
S. 2012.)
Pemeriksaan makroskopik mencakup warna tinja, konsistesi tinja, bau tinja,
adanya lendir, adanya darah, adanya busa. Warna tinja tidak terlalu banyak berkolerasi
dengan penyebab diare. Warna hijau tua berhubungan dengan adanya warna empedu
akibat garam empedu yang dikonjugasi oleh bakteri anaerob pada keadaan bacterial
overgrowth. Warna merah akibat adanya darah dalam tinja atau obat yang dapat
menyebabkan warna merah dalam tinja seperti rifampisin. Konsistensi tinja dapat cair,
lembek, padat. Tinja yag berbusa menunjukan adanya gas dalam tinja akibat fermentasi
bakteri. Tinja yang berminyak, lengket, dan berkilat menunjukan adanya lemak dalam
tinja. Lendir dalam tinja menggambarkan kelainan di kolon, khususnya akibat infeksi
bakteri. Tinja yang sangat berbau menggambarkan adanya fermentasi oleh bakteri
anaerob dikolon. Pemeriksaan pH tinja menggunakan kertas lakmus dapat dilakukan
untuk menentukan adanya asam dalam tinja. Asam dalam tinja tersebut adalah asam
lemak rantai pendek yang dihasilkan karena fermentasi laktosa yang tidak diserap di
usus halus sehingga masuk ke usus besar yang banyak mengandung bakteri komensial.
Bila pH tinja<6 dapat dainggap sebagai malabsorbsi laktosa. (Ikatan Dokter Anak
Indonesia. 2010.)
Pada diare akut sering terjadi defisiensi enzim lactose sekunder akibat rusaknya
mikrofili mukosa usus halus yang banyak mengandung enzim lactase. Enzim laktsae
merupakan enzim yang bekerja memecahkan laktosa menjadi glukosa dan galaktosa,
yang selanjutnya diserap di mukosa usus halus, Salah satu cara menentukan
malabsorbsi laktosa adalah pemeriksaan clinitest dikombinasi dengan pemeriksaan pH
tinja. Pemeriksaan clinitest dilakukan dengan prinsip melihat perubahan reaksi warna
yang terjadi antara tinja yang diperiksa dengan tablet clinitest. Prinsipnya adalah
terdapatnya reduktor dalam tinja yang mengubah cupri sulfat menjadi cupri oksida.
Pemeriksaan dilakukan dengan cara mengambil bagian cair dari tinja segar (sebaiknya
tidak lebih dari 1 jam). Sepuluh tetes air dan 5 tetes bagian cair dari tinja diteteskan
kedalam gelas tabung, kemudian ditambah 1 tablet clinitest. Setelah 60 detik maka
perubahan warna yang terjadi dicocokan dengan warna standart. Biru berarti negatif,
14
kuning tua berarti positif kuat (++++=2%), antara kuning dan biru terdapat variasi
warna hijau kekuningan (+=1/2%), (++=3/4%), (+++=1%). Sedangkan terdapatnya
lemak dalam tinja lebih dari 5 gram sehari disebut sebagai steatore. (Ikatan Dokter
Anak Indonesia. 2010.)
b. Pemeriksaan mikroskopik :
• bila terdapat 5-10 leukosit per lapang pandang besar disebut (+)
• bila terdapat 10-20 leukosit per lapang pandang besar disebut (++)
• bila terdapat leukosit lebih dari ½ lapang pandang besar disebut (+++)
Adanya lemak dapat diperiksa dengan cara perwanaan tinja dengan sudan III
yang mengandung alcohol untuk mengeluarkan lemak agar dapat diwarnai secara
mikroskopis dengan pembesarn 40 kali dicari butiran lemak dengan warna kuning atau
jingga. Penilaian berdasarkan 3 kriteria : (Subagyo, B. S. 2012.)
• (+) bila tampak sel lemak kecil dengan jumlah kurang dari 100 buah per lapang
pandang atau sel lemak memenuhi 1/3 sampai ½ lapang pandang
• (++) bila tampak sel lemak dnegan jumlah lebih 100 per lapang pandang atau
sel memenuhi lebih dari ½ lapang pandang
Pemeriksaan parasit paling baik dilakukan pada tinja segar. Dengan memakai
batang lidi atau tusuk gigi, tinja diambil sedikit dan diemulsikan dalam tetesan NaCl
fisiologis, demikian juga dilakukan dengan larutan Yodium. Pengambilan tinja cukup
sedikit saja agar kaca penutup tidak mengapung tetapi menutupi sediaan sehingga tidak
terdapat gelembung udara. Sediaan tak berwarna (NaCL fisiologis) diperiksa dahulu,
15
karena telur cacing dan bentuk trofozoid dan protozoa akan lebih mudah dilihat. Bentuk
kista lebih mudah dilihat dengan perwanaan yodium. Pemeriksaan dimulai dengan
pembesaran objekstif 10x, lalu 40x untuk menentukan spesiesnya. (Subagyo, B. S.
2012.)
2.10 Tatalaksana
Terdapat lima pilar penting dalam tatalaksana diare yang telah ditetapkan
Departemen Kesehatan baik untuk yang dirawat dirumah maupun yang dirawat di
rumah sakit : (Subagyo, B. S. 2012.)
1. Rehidrasi
2. Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut
3. ASI dan makanan tetap diteruskan
4. Antibiotik selektif
5. Nasihat kepada orang tua
Tujuan pengobatan diatas dapat dicapai dengan cara mengikuti rencana terapi
yang sesuai, seperti yang tertera dibawah ini: (Suratmaja Sudaryat. 2007.)
1. Rencana terapi A : penanganan diare di rumah Jelaskan kepada ibu tentang 4 aturan
perawatan di rumah:
- pada bayi muda, pemberian ASI merupakan pemberian cairan tambahan yang
utama. Beri ASI lebih sering dan lebih lama pada setiap kali pemberian.
- jika anak memeperoleh ASI eksklusif, beri oralit, atau air matang sebagai
tambahan
- jika anak tidak memperoleh ASI eksklusif, beri 1 atau lebih cairan berikut ini:
oralit, cairan makanan (kuah sayur, air tajin) atau air matang jumlah cairan yang
diberikan adalah 10 ml/kgbb dan katakan pada ibu
- jika anak muntah, tunggu 10 menit. kemudia lanjutkan lagi dengan lebih lambat.
16
- lanjutkan pemberian cairan tambahan sampai diare berhenti.
Pada anak berumur 2 bulan keatas, beri tablet zinc selama 10 hari dengan dosis :
(Subagyo, B. S. 2012.)
2. Rencana terapi B
Penanganan dehidrasi sedang/ ringan dengan oralit. Beri oralit di klinik sesuai
yang dianjurkan selama periode 4 jam. Jumlah oralit yang diperlukan 75 ml/kgBB.
Kemudian setelah 4 jam ulangi penilaian dan klasifikasikan kembali derajat
dehidrasinya, dan pilih rencana terapi yang sesuai untuk melanjutkan pengobatan.
Setelah rehidrasi kebutuhan cairan yang diperlukan untuk mencegah dehidrasi 10-20
ml/kgBB. Jika ibu memaksa pulang sebelum pengobatan selesai tunjukan cara
menyiapkan oralit di rumah, tunjukan berapa banyak larutan oralit yang harus
diberikan dirumah untuk menyelesaikan 4 jam pertama. Beri bungkus oralit yang
cukup untuk rehidrasi dengan menambah 6 bungkus lagi sesuai yang dainjurkan. Jika
anak menginginkan oralit lebih banyak dari pedoman diatas, berikan sesuai
kehilangan cairan yang sedang berlangsung. Untuk anak berumur kurang dari 6 bulan
yang tidak menyusu, beri juga 100-200 ml air matang selama periode ini. Mulailah
memberi makan segera setelah anak ingin makan. Lanjutkan pemberian ASI.
Tunjukan pada ibu cara memberikan larutan oralit. berikan tablet zinc selama 10 hari.
(Suratmaja Sudaryat. 2007.)
Beri cairan intravena secepatnya. Jika anak bisa minum, beri oralit melalui
mulut, sementara infuse disiapkan. Beri 100 ml/kgBB cairan ringer laktat atau ringer
asetat (atau jika tak tersedia, gunakan larutan NaCl) yang dibagi sebagai berikut.
(Subagyo, B. S. 2012)
17
Umur Pemberian pertama Pemebrian berikut
30ml/kgBB selama 70ml/kgBB selama
ulangi sekali lagi jika denyut nadi sangat lemah atau tidak teraba
Periksa kembali anak setiap 15-30 menit. Jika status hidrasi belum membaik,
beri tetesan intravena lebih cepat. Juga beri oralit (kira-kira 5ml/kgBB/jam) segera
setelah anak mau minum, biasanya sesudah 3-4 jam (bayi) atau 1-2 jam (anak) dan
beri anak tablet zinc sesuai dosis dan jadwal yang dianjurkan. Periksa kembali bayi
sesudah 6 jam atau anak sesudah 3 jam (klasifikasikan dehidrasi), kemudian pilih
rencana terapi) untuk melanjutkan penggunaan. (Subagyo, B. S. 2012)
Prinsip pemberian terapi cairan pada gangguan cairan dan elektrolit ditujukan
untuk memberikan pada penderita: (Suratmaja Sudaryat. 2007.)
18
❖ diare akut dehidrasi berat dengan penyulit
4 jam pertama : 60 cc/KgBB
20 jam kedua : 190 cc/KgBB
Beberapa penyulit diare diantaranya :
✓ KKP
✓ Bronkopneumonia
✓ Ensefalitis
✓ Meningitis
✓ Meteorismus
✓ AKI
✓ Impending decom cordis
Pengobatan Dietik
19
sementara bila pemberian susu menyebabkan diare timbul kembali atau bertambah
hebat sehingga terjadi dehidrasi lagi, atau dibuktikan dengan pemeriksaan terdapat tinja
yang asam (pH<6) dan terdapat bahan yang mereduksi dalam tinja>0,5%. Setelah diare
berhenti, pemberian tetap dilanjutkan selama 2 hari kemudian coba kembali dengan
susu atau formula biasanya diminum secara bertahap selama 2-3 hari. (Subagyo, B. S.
2012.)
Ke 1 150 50
Ke 2 100 100
Ke 3 50 150
Ke 4 0 200
Tabel 6. Tabel panduan kembali ke susu normal ( untuk setiap 200 ml)
Bila anak berumur 4 bulan atau lebih dan sudah mendapatkan makanan lunak
atau padat, makanan ini harus diteruskan. Paling tidak 50% dari energi diet harus
berasal dari makanan dan diberikan dalam porsi kecil atau sering (6kali atau lebih) dan
anak dibujuk untuk makan. Kombinasi susu formula dengan makanan tambahan seperti
serealia pada umunya dapat ditoleransi dengan baik pada anak yang telah disapih.
Makanan padat memiliki keuntungan, yakni memperlambat pengosongan lambung
pada bayi yang minum ASI atau susu formula, jadi memperkecil jumlah laktosa pada
usus halus per satuan waktu. Pemberian makanan lebih sering dalam jumlah kecil juga
memberikan keuntungan yang sama dalam mencernakan laktosa dan penyerapanya.
Pada anak yang lebih besar, dapat diberikan makanan yang terdiri dari:makanan pokok
setempat misalnya nasi, kentang, gandum, roti, atau bakmi. Untuk meningkatkan
kandungan energinya dapat ditambahkan 5-10 ml minyak nabati untuk setiap 100 ml
makanan. Minyak kelapa sawit sangat bagus dikarenakan kaya akan karoten. Campur
makanan pokok tersebut dengan kacang-kacangan dan sayur-sayuran, serta
ditambahkan tahu, tempe, daging atau ikan. Sari buah segar atau pisang baik untui
menambah kalium. Makanan yang berlemak atau makanan yang mengandung banyak
gula seperti sari buah manis yang diperdagangkan, minuman ringan, sebaiknya
dihindari. (Suratmaja Sudaryat. 2007.)
20
Pemberian makanan setelah diare
Meskipun anak diberi makanan sebanyak dia mau selama diare, beberapa
kegagalan pertumbuhan mungkin dapat terjadi teruatama bila terjadi anorexia hebat.
Oleh karena itu perlu pemberian ekstra makanan yang akan zat gizi beberapa minggu
setelah sembuh untuk memperbaiki kurang gizi dan untuk mencapai serta
mempertahankan pertumbuhan yang normal. Berikan ekstra makanan pada saat anak
merasa lapar, pada keadaan semacam ini biasanya anak dapat menghabiskan tambahan
50% atau lebih kalori dari biasanya. (Suratmaja Sudaryat. 2007.)
Zinc
Zinc mengurangi lama dan beratnya diare. Zinc juga dapat mengembalikan
nafsu makan anak. Zinc termasuk mikronutrien yang mutlak dibutuhkan untuk
memelihara kehidupan yang optimal. Dasar pemikiran penggunaan zinc dalam
pengobatan diare akut didasarkan pada efeknya terhadap imun atau terhadap struktur
dan fungsi saluran cerna dan terhadap proses perbaikan epitel saluran cerna selama
diare. Pemberian zinc pada diare dapat meningkatkan absorbs air dan elektrolit oleh
usus halus meningkatkan kecepatan regenerasi epitel usus, meningkatkan jumlah brush
border apical, dan meningkatkan respon imun yang mempercepat pembersihan patogen
di usus. Pengobatan dengan zinc cocok ditetapkan di negara-negara berkembang seprti
Indonesia yang memiliki banyak masalah terjadinya kekurangan zinc di dalam tubuh
karena tingkat kesejahteraan yang rendah dan daya imunitasnya yang kurang memadai.
Pemberian zinc dapat menurunkan risiko terjadinya dehidrasi pada anak. Dosis zinc
untuk anak-anak : (Subagyo, B. S. 2012.)
Zinc diberikan selama 10-14 hari berturut-turut, meskipun anka telah sembuh
dari diare. Untuk bayi tablet zinc diberikan dalam air matang, ASI atau oralit. Untuk
anak lebih besar, zinc dapat dikunyah atau dilarutkan dalam air matang atau oralit.
Terapi medikamentosa
21
mikroflora usus. Beberapa obat mempunyai lebih dari satu mekanisme kerja, banyak
diantaranya mempunyai efek toksik sistemik dan sebagian besar tidak
direkomendasikan untuk anak umur kurang dari 2-3 tahun. Secara umum dikatakan
bahwa obat-obat tersebut tidak diperlukan untuk pengobatan diare akut. (Subagyo, B.
S. 2012.)
Antbiotik pada umunya tidak diperlukan pada semua daire akut oleh karena
sebagian besar diare infeksi adalah rotavirus yang sifatnya self limited dan tidak dapat
dibunuh dengan antibiotic. Hanya sebagian kecil (10-20%) yang disebabkan oleh
bakteri pathogen seperti V,cholera, Shigella, Enterotoksigenik E.coli, Salmonella,
Campilobacter, dan sebagainya. (Subagyo, B. S. 2012.)
Ceftriaxone 50-100
mg/kgBB
Obat Antidiare
22
obat ini berbahaya. Produk yang termasuk dalam kategori ini adalah : (Suratmaja
Sudaryat. 2007.)
• Adsorben
• Antimotilitas
• Bismuth subsalicylate
Bila diberikan setiap 4 jam dilaporkan dapat mengurangi keluaran tinja pada
anak dngan diare akut sebanya 30% akan tetapi, cara ini jarang digunakan.
obat-obat lain:
• Anti muntah
Termasuk obat ini seperti prochlorperazine dan chlorpromazine yang dapat
menyebabkan mengantuk sehingga mengganggu pemberian terapi rehidrasi oral. Oleh
karena itu obat anti muntah tidak digunakan pada anak dengan diare, muntah biasanya
berhenti bila penderita telah terehidrasi
Probiotik
23
probiotik dalam waktu yang panjang terutama untuk bayi yang tidak minum ASI.
Kemungkinan efek probiotik dalam pencegahan diare melalui perubahan lingkungan
mikrolumen usus , kompetisi nutrient, mencegah adhesi kuman pathogen pada
enterosit, modifikasi toksin atau reseptor toksin efek trofik terhadap mukosa usus
melalui penyediaan nutrient dan imunomodulasi. Mekanisme kerja probiotik untuk
menghambat pertumbuhan bakteri patogen dalam mukosa usus belum sepenuhnya jelas
tetapi beberapa laporan mneunjukan adanya kompetisi untuk mengadakan perlekatan
dengan enterosit (sel epitel mukosa). Enterosit yang telah jenuh dengan bakteri
probiotik tidak dapat lagi dilekati bakteri yang lain. Jadi dengan adanya bakteri
probiotik di dalam mukosa usus dapat mencegah kolonisasi oleh bakteri patogen.
Lactobacillus strain pada manusia mempunyai kemampuan melekat pada Caco-2 cells
dan sel goblet HT 29-MTX pada sel epitel mukosa usus. Lactobacillus acidophilus LA1
dan LA3 mempunyai kemampuan melekat yang kuat, tidak tergantung pada calcium,
sedangkan Lactobacillus strain LA10 dan LA18 kemampuan melekatnya rendah.
Kemampuan perlekatan tersebut dapat dihilangkan dengan adanya tripsin. Strain LA1
mempunyai kemampuan untuk mencegah perlekatan entero patogenic Eschercia coli
(EPEC) dan bakteri enteroinvasif seperti Salmonella typhymurium, Yersinia
tuberculosis. Kemampuan mencegah perlekatan strain LA1 lebih efektif bila diberikan
sebelum atau bersamaan dengan infeksi E coli daripada setelah infeksi E coli.
Disamping mekanisme perlekatan dengna reseptor pada epitel usus untuk mencegah
pertumbuhan bakteri patogen melalui kompetisi, bakteri probiotik memberi manfaat
pada pejamu oleh karena produksi substansi antibakteri misalnya, asam organik,
bacteriocin, microcin, reuterin, volatile fatty acid, hidrogen peroksida dan ion hidrogen.
(Arimbawa dkk. 2007:100-111)
2.11 Anemia
Secara epidemiologi, prevalensi tertinggi ditemukan pada akhir masa bayi dan
awal masa kanak-kanak diantaranya karena terdapat defisiensi besi saat kehamilan dan
24
percepatan tumbuh masa kanak-kanak yang disertai rendahnya asupan besi dari
makanan, atau karena penggunaan susu formula dengan kadar besi kurang. Selain itu
ADB juga banyak ditemukan pada masa remaja akibat percepatan tumbuh, asupan besi
yang tidak adekuat dan diperberat oleh kehilangan darah akibat menstruasi pada remaja
puteri. Data SKRT tahun 2007 menunjukkan prevalens ADB. Angka kejadian anemia
defisiensi besi (ADB) pada anak balita di Indonesia sekitar 40-45%. Survai Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan prevalens ADB pada bayi 0-6 bulan,
bayi 6-12 bulan, dan anak balita berturutturut sebesar 61,3%, 64,8% dan 48,1%.
(Özdemir, N. (2015)
Insidensi defisiensi besi terkait dengan aspek mendasar dari metabolisme besi
dan nutrisi. Tubuh dari neonatus cukup bulan mengandung 0,5 gram besi, pada tubuh
dewasa terkandung 5 gram besi. Perubahan kuantitas besi dari lahir ke dewasa berarti
bahwa sekitar 0,8 mg besi harus diabsorbsi tiap harinya selama 15 tahun kehidupan
seorang anak. Sejumlah kecil besi dibutuhkan untuk menggantikan jumlah yang hilang
pada proses kerusakan sel. Sehingga perlu untuk dilakukan absorbs kurang lebih 1 mg
tiap harinya untuk menjaga jumlah positif pada usia anak. Karena hanya kurang dari 10
% jumlah besi yang diserap setiap harinya, asupan gizi 8-10 mg besi per hari dibutuhkan
untuk menjaga jumlah besi dalam tubuh. Selama usia bayi, ketika pertumbuhan paling
pesat, kurang lebih 1 mg/L besi dari susu sapi dan ASI menyebabkan sulitnya
mempertahankan kadar besi dalam tubuh. Bayi yang mendapatkan ASI memiliki
keuntungan karena jumlah besi yang diserap 2-3 kali lebih efisien dibandingkan dari
bayi yang mendapat asupan susu sapi. (Abdulsalam, M., & Daniel, A. 2002.)
Fungsi zat besi yang paling penting adalah dalam perkembangan sistem saraf
yaitu diperlukan dalam proses mielinisasi, neurotransmitter, dendritogenesis dan
metabolisme saraf. Kekurangan zat besi sangat mempengaruhi fungsi kognitif, tingkah
laku dan pertumbuhan seorang bayi. Besi juga merupakan sumber energi bagi otot
sehingga mempengaruhi ketahanan fisik dan kemampuan bekerja terutama pada
remaja. Bila kekurangan zat besi terjadi pada masa kehamilan maka akan meningkatkan
risiko perinatal serta mortalitas bayi.
2.12 Definisi
Defisiensi besi adalah berkurangnya jumlah total besi di dalam tubuh. Anemia
defisiensi besi terjadi ketika defisiensi besi yang terjadi cukup berat sehingga
25
menyebabkan eritropoesis terganggu dan menyebabkan terbentuknya anemia. Keadaan
ini akan menyebabkan kelemahan sehingga menjadi halangan untuk beraktivitas dan
juga mengganggu pertumbuhan dan perkembangan pada anak. (Muhammad, A. 2005.)
2.13 Epidemiologi
Prevalensi ADB tinggi pada bayi, hal yang sama juga dijumpai pada anak usia
sekolah dan anak praremaja. Angka kejadian ADB pada anak usia sekolah (5-8 tahun)
di kota sekitar 5,5%, anak perempuan 2,6% dan gadis remaja yang hamil 26%. Di
Amerika serikat sekitar 6% anak berusia 1 – 2 tahun diketahui kekurangan besi, 3 %
menderita anemia. Lebih kurang 9% gadis remaja di Amerika serikat kekurangan besi
dan 2% menderita anemia, sedangkan pada anak laki-laki sekitar 50% cadangan besinya
berkurang saat pubertas. 1 Prevalensi ADB lebih tinggi pada anak kulit hitam dibanding
kulit putih. Keadaan ini mungkin berhubungan dengan status sosial ekonomi anak kulit
hitam yang lebih rendah. 1 Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan di indonesia
prevalensi ADB pada anak balita sekitar 25-35%. Dari hasil SKRT tahun 1992
prevalensi ADB pada anak balita di indonesia adalah 55,5%.1 Hasil survai rumah
tangga tahun 1995 ditemukan 40,5% anak balita dan 47,2% anak usia sekolah menderita
ADB. (Özdemir, N. (2015)
2.14 Etiologi
Terjadinya ADB sangat ditentukan oleh kemampuan absorpsi besi, diit yang
mengandung besi, kebutuhan besi yang meningkat dan jumlah yang hilang1 Berikut
tabel penyebab anemia defisiensi berdasar umur : (Abdulsalam, M., & Daniel, A. 2002.)
26
• Kehilangan berlebihan karena perdarahan antara lain karena infeksi parasite
dan deventrikulum mackeli
3. Anak berusia 2-5 tahun
• Masukan besi kurang karena jenis makanan kurang
• Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang atau menahun
• Kehilangan berlebihan karena perdarahan antara lain karena infestasi parasite
dan deventrikulum meckeli
4. Anak berumur 5 tahun-masa remaja
• Kehilangan berlebihan karena perdarahan anatara lain karena infestasi parasit
dan polyposis
5. Usia remaja-dewasa
• Pada wanita antara lain karena menstruasi berlebihan
Kekurangan besi dapat disebabkan oleh :
b. Menstruasi
Penyebab kurang besi yang sering terjadi pada anak perempuan adalah
kehilangan darah lewat menstruasi. (Muhammad, A. 2005.)
27
dibandingkan susu yang terkandung susu formula. Diperkirakan sekitar 40% besi dalam
ASI diabsropsi bayi, sedangkan dari PASI hanya 10% besi yang dapat diabsropsi
(Özdemir, N. 2015)
Pada bayi yang mengkonsumsi susu sapi lebih banyak dari pada ASI lebih
berisiko tinggi terkena anemia defisiensi besi. (Muhammad, A. 2005.)
3. Malabsorpsi besi
Keadaan ini dijumpai pada anak kurang gizi yang mukosa ususnya mengalami
perubahan secara histologis dan fungsional. Pada orang yang telah mengalami
gastrektomi parsial atau total sering disertai ADB walaupun penderita mendapat
makanan yang cukup besi. Hal ini disebabkan berkurangnya jumlah asam lambung dan
makanan lebih cepat melalui bagian atas usus halus, tempat utama penyerapan besi
heme dan non heme.
4. Perdarahan
Kehilangan darah akibat perdarahan merupakan penyebab penting terjadinya
ADB. Kehilangan darah akan mempengaruhi keseimbangan status besi. Kehilangan
darah 1 ml akan mengakibatkan kehilangan besi 0,5 mg, sehingga darah 3-4 ml/hari
(1,5 – 2 mg) dapat mengakibatkan keseimbangan negatif besi.
5. Transfusi feto-maternal
Kebocoran darah yang kronis kedalam sirkulasi ibu akan menyebabkan ADB
pada akhir masa fetus dan pada awal masa neonatus.
6. Hemoglobinuria
Keadaan ini biasanya dijumpai pada anak yang memiliki katup jantung buatan.
Pada Paroxismal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH) kehilangan besi melaui urin rata-
rata 1,8 – 7,8 mg/hari.
28
Pada anak yang banyak bisa diambil darah vena untuk pemeriksaan laboratorium
berisiko untuk menderita ADB
a. Tahap pertama: Kekurangan besi (deplesi besi) Secara umum pada tahap ini
tidak menunjukkan gejala, pada tahap ini persediaan besi di sumsum tulang berkurang.
Feritin serum akan menurun akibat meningkatnya penyerapan zat besi oleh mukosa
usus sebagai kompensasinya hati akan mensintesis lebih banyak transferin sehingga
akan terjadi peningkatan TIBC. Pada keadaan ini tidak menyebabkan anemia (CBC
normal) dan morfologi eritrosit normal, distribusi sel darah merah biasanya masih
normal. (Özdemir, N. 2015)
b. Tahap kedu: Disebut juga tahap eritropoiesis yang kekurangan besi. Pada tahap
ini kandungan hemoglobin (Hb) pada retikulosit mulai menurun, hal ini merefleksikan
omset dari eritropoiesis yang kekurangan besi. Tetapi karena sebagian besar eritrosit
yang bersirkulasi merupakan eritrosit yang diproduksi saat ketersediaan besi masih
adekuat, maka total pengukuran Hb masih dalam batas normal, anemia masih belum
tampak. Akan tetapi Hb akan terus mengalami penurunan, Red Blood Cell distribution
Widths (RDW) akan meningkat karena mulai ada eritrosit yang ukurannya lebih kecil
dikeluarkan oleh sumsum tulang. Serum iron dan feritin akan menurun, TIBC dan
transferin akan meningkat. Reseptor transferrin akan meningkat pada permukaan sel-
sel yang kekurangan besi guna menangkap sebanyak mungkin besi yang tersedia.
Seperti pada tahap pertama, pada tahap kedua ini juga bersifat subklinis, sehingga
biasanya tidak dilakukan pemeriksaan laboratorium. (Özdemir, N. 2015)
c. Tahap ketiga Tahap ini anemia defisiensi besi menjadi jelas, nilai Hb dan
hematokrit (Ht) menurun, karena terjadi deplesi pada simpanan dan transport besi maka
prekursor eritrosit tidak dapat berkembang secara normal. Eritrosit kemudian akan
menjadi hipokromik dan mikrositik. Pada tahap ini terjadi eritropoesis inefektif akibat
29
kurangnya cadangan besi dan transport besi. Pasien akan menunjukkan tanda-tanda
anemia dari yang tidak spesifik hingga tanda-tanda anemia berat. (Özdemir, N. 2015)
Pada tahap deplesi besi di sumsum tulang, gambaran darah tepi masih dalam
batas normal. Pada tahap defisiensi besi kadar Hb mulai berkurang tapi gambaran
eritrosit masih normal. Oksigenasi yang berkurang akibat anemia menyebabkan
kebutuhan eritropoetin yang besar dan merangsang sumsum tulang untuk memproduksi
eritrosit, Peningkatan Jumlah lekosit pada anemia defisiensi besi t sangat jarang terjadi,
paling sering dijumpai nilai Mean Corpuscular volume (MCV) yang rendah dari
eritrosit. Pada morfologi darah tepi dijumpai anisositosis dan poikilositosis (target sel).
Nilai feritin serum yang rendah merupakan diagnosis untuk defisiensi besi, tapi kadang
beberapa kasus nilai feritin serum masih dijumpai normal, Feritin serum dapat
meningkat pada kondisi inflamasi akut. Serum besi yang rendah dapat ditemui pada
beberapa penyakit, sehingga serum besi, transferrin tidak bisa menjadi indikator yang
tetap untuk defisiensi besi. Khasnya bila serum besi berkurang maka TIBC di serum
juga akan meningkat. Rasio besi dan TIBC kurang dari 20% ditemukan pada tahap
defisiensai besi tapi akan meningkat pada tahap anemia defisiensi besi. Soluble
Transferrin reseptor (sTfR) akan dilepaskan oleh prekursor erythroid dan meningkat
pada tahap defisiensi besi. Rasio yang tinggi antara TfR terhadap ferritin bisa
memprediksi defisiensi besi karena ferritin merupakan nilai diagnosis yang kecil.(
Gejala Penyebab Dan Cara Mengatasi. 2014)
- Koilonychias /spoon nail/ kuku sendok: kuku berubah menjadi rapuh dan bergaris-garis
vertical dan menjadi cekung sehingga mirip dengan sendok.
30
- Akan terjadi atropi lidah yang menyebabkan permukaan lidah tampak licin dan
mengkilap yang disebabkan oleh menghilangnya papil lidah
- Angular cheilitis yaitu adanya peradangan pada sudut mulut sehingga tampak sebagai
bercak berwarna pucat keputihan.
- Disfagia yang disebabkan oleh kerusakan epitel hipofaring
2.18 Diagnosis
Diagnosis ADB ditegakkan berdasarkan hasil temuan dari anamnesis, pemeriksaan fisik
dan laboratorium yang dapat mendukung sehubungan dengan gejala klinis yang sering
tidak khas. (Özdemir, N. 2015)
Pemeriksaan Laboratorium
Pada defisiensi besi yang progresif akan terjadi perubahan pada nilai hematologi
dan biokimia. Hal yang pertama terjadi adalah menurunnya simpanan besi pada
jaringan. Penurunan ini akan ditunjukkan melalui menurunnya serum ferritin, sebuah
protein yang mengikat besi dalam tubuh sebagai simpanan. Kemudian jumlah serum
besi akan menurun, kapasitas pengikatan besi dari serum (serum transferrin) akan
meningkat, dan saturasi transferrin akan menurun di bawah normal. Seiring dengan
menunrunnya simpanan, besi dan protoprofirin akan gagal untuk membentuk heme.
Free erythrocyte protoporphyrins (FEP) terakumulasi, dan kemudian sintesis
hemoglobin terganggu. Pada titik ini, defisiensi besi berlanjut menjadi anemia
defisiensi besi. Dengan jumlah hemoglobin yang berkurang pada tiap sel, sel merah
menjadi lebih kecil. Perubahan morfologi ini paling sering tampak beriringan dengan
berkurangnya mean corpuscular volume (MCV) dan mean corpuscular hemoglobin
(MCH). Perubahan variasi ukuran sel darah merah terjadi dengan digantikkannya sel
normositik dengan sel mirkositik, variasi ini ditunjukkan dari peningkatan red blood
cell distribution width (RDW). Jumlah sel darah merah juga akan berkurang. Jumlah
persentase retikulosit akan meningkat sedikit atau dapat normal. Sapuan darah akan
menunjukkan sel darah merah yang hipokrom dan mikrositik dengan variasi sel yang
tetap. Bentuk sel darah elips atau seperti cerutu sering terlihat. Deteksi peningkatan
reseptor transferrin dan berkurangnya konsentrasi hemoglobin retikulosit mendukut
terhadap penegakkan diagnosis. (Abdulsalam, M., & Daniel, A. 2002)
31
Jumlah sel darah putih normal, trombositosis juga sering tampak. Trombositopenia
terkadang muncul pada defisiensi besi yang sangat berat, sehingga akan menimbulkan
sebuah kerancuan dengan gangguan pada sumsum tulang. Pemeriksaan pada feses
untuk melihat perdarahan pada sistem gastrointestinal harus selalu dilakukan untuk
eksklusi perdarahan sebagai penyebab defisiensi besi. (Abdulsalam, M., & Daniel, A.
2002)
Pada umumnya, hitung darah lengkap akan menunjukkan anemia mikrositer dengan
peningkatan RDW, berkurangnya RBC, WBC normal, dan jumlah platelet yang
meningkat atau normal. Pemeriksaan laboratorium lainnya, seperti penurunan ferritin,
penurunan serum besi, dan peningkatan kapasitas pengikatan besi total, biasanya belum
dibutuhkan kecuali terdapat anemia berat yang membutuhkan penegakan diagnosis
cepat, terdapat komplikasi atau pada anemia yang tidak memberikan respon terhadap
terapi besi. (Abdulsalam, M., & Daniel, A. 2002)
Ada beberapa kriteria diagnosis yang dipakai untuk menentukan ADB1
- Pemeriksaan apus darah tepi hipokrom mikrositer yang dikonfirmasi dengan MCV,
MCH, dan MCHC yang menurun.
32
- Feritin serum menurun
- Fe serum menurun, TIBC meningkat, ST < 10%
- Respon terhadap pemberian preparat besi
• Retikulositosis mencapai pundak pada hari ke 5 – 10 setelah pemberian besi
• Kadar hemolobin meninkat rata-rata 0,25 – 0,4 g/dl/ hari atau PCV mengkat
1% / hari.
- Sumsum tulang
• Tertundanya maturasi sitoplasma
• Pada perwarnaan sumsum tulang tidak ditemukan besi atau besi berkurang
Cara lain untuk menentukaan adanya ADB adalah dengan trial pemberian preparatbesi.
Penentuan ini penting untuk mengetahui adanya ADB subklinis dengan melihat
responshemoglobin terhadap pemberian peparat besi. Prosedur ini sangat mudah,
praktis, sensitive dan ekonomis terutama pada anak yang berisiko tinggi menderita
ADB. Bila dengan pemberian preparat besi dosis 6 mg/kgBB/hari selama 3 – 4 minggu
terjadi peningkatan kadar Hb 1-2 mg/dl maka dapat dipastikan bahwa yang
bersangkutan menderita ADB. (Özdemir, N. 2015)
33
Total Iron Naik Normal Turun
Banding
Capacity
Transferrin Turun Normal Turun
Saturation
FEP Naik Normal Naik
Transferin Naik Normal Naik
Reseptor
Reticulocyte Turun Normal Normal-turun
haemoglobin
concentration
Tabel 7 Perbandingan nilai laboratorium
2.20 Penatalaksanaan
Garam ferous diabsorpsi sekitar 3 kali lebih baik dibandingkan garam feri. Preparat
terseda berupa ferous glukonat, fumarat, dan suksinat. Yang sering dipakai adalah
ferrous sulfat karena harganya yang lebih murah. Ferous glukonat, ferous fumarat, dan
ferrous suksinat diabsropsi sama baiknya. Untuk bayi tersedia preparat besi berupa tetes
(drop). (Özdemir, N. 2015)
34
pencernaan dan tidak memberikan efek penyembuhan yang lebih cepat. Absropsi besi
yang terbaik adalah pada saat lambung kosong, diantara dua waktu makan, akan tetapi
dapat menimbulkan efek samping pada saluran cerna. Untuk mengatasi hal tersebut
pemberian besi dapat dilakukan pada saat makan atau segera setelah makan meskipun
akan mengurangi absropsi obat sekitar 40 – 50%. Obat diberikan dalam 2 – 3 dosis
sehari. Tindakan tersebut lebih penting karena dapat diterima tubuh dan akan
meningkatkan kepatuhan penderita. Preparat besi ini harus terus diberikan selama 2
bulan setelah anemia pada penderita teratasi. (Özdemir, N. 2015)
Respon terapi dari pemberian preparat besi dapat dilihat secara klinis dan dari
pemeriksaan
Efek samping pemberian preparat besi peroral lebih sering terjadi pada orang dewasa
diabndingkan bayi dan anak. Pewarnaan gigi yang berifat sementara dapat dihindari
dengan meletakkan larutan tersebut ke bagian belakang lidah dengan cara tetesan.
35
Cukup bulan
2-5 (balita) 1mg/kg/bb 2x/minggu selama 3 bulan
berturut-turut setiap tahun
>5-12 (usia sekolah) 1mg/kgbb/hari 2x/minngu selama 3 bulan
berturut-turut setiap tahun
12-18 (remaja) 60mg/hari 2x/minggu selama 3 bulan
Berturut-turut setiap tahu
Preparat yang sering dipakai adalah dekstran besi. Larutan ini mengandung 50 mg besi/
ml.Dosis dihitung berdasarkan :
Transfusi darah
Transfusi darah jarang diperlukan. Transfusi darah hanya diberikan pada keadaan
anemia yang sangat berat atau yang disertai infeksi yang dpaat mempengaruhi respon
terapi. Koreksi anemia berat dengan transfusi tidak perlu secepatnya, malah akan
membahayakan karena dapat menyebabkan hipervolemia dan dilatasi jantung.
Pemberian PRC dilakukan secara perlahan dalam jumlah yang cukup untuk menaikkan
kadar Hb sampai tingkat aman sambil menunggu respon terapi besi. Secara umum,
untuk penderita anemia berat dengan kadar Hb < 4 g/dl hanya diberi PRC dengan dosis
2 – 3 mg/kgBB persatu kali pemberian disertai pemberian diuretik seperti furosemide.
Jika terdapat gagal jantung yang nyata dapat dipertimbangkan pemberian transfusi tukar
menggunakan PRC yang segar (Medlinux. 2007)
36
2.21 Prognosis
Prognosis baik bila penyebab anemianya hanya karena kekuarnagn besi saja dan
diketahui penyebab serta kemudian dilakukan penanganan yang adekuat. Gejala anemia
dan manifestasi klinis lainnya akan membaik dengan pemberian preparat besi.
- Diagnosis salah
- Dosis obat tidak adekuat
- Preparat Fe yang tidak tepat dan kadaluarsa
- Perdarahan yang tidak teratasi atau perdarahan yang tidak tampak berlansgung
menetap
- Disertai penyakit yang mempengaruhi absorpsi dan pemakaian besi (seperti : infeksi,
keganasan, penyakit hati, penyakit ginjal, penyakit tiroid, penyakit karena defisiensi
vitamin B12, asam folat)
- Gangguan absorpsi saluran cerna (seperti pemberian antasid yang berlebihan pada
ulkus peptikum dapat menyebabkan pengikatan terhadap besi).
37
BAB III
LAPORAN KASUS
• Riwayat TB : Disangkal
e. Riwayat Pengobatan
• Andansentron syr, anadex syr, Triaminic
• Mata
Alis : Normal
Konjungtiva : Normal
Sklera : Normal
Pupil : bulat, isokor 3/3 mm, reflex cahaya +/+
39
• Hidung
Bentuk pyramid, inflamasi (-), nyeri tekan (-), deformitas (-)
• Mulut
sianosis (-), lidah kotor (-), bibir dan lidah terlihat agak kering
• Tenggorokan
Mukosa bukal : Warna merah muda, Hiperemi (-)
Mukosa faring : Hiperemi (-), edema(-), ulkus (-), granul(-)
Tonsil : kanan Hiperemi (-), ukuran T1, kiri Hiperemi (-), ukuran T1
• Leher
Umum : Normal
Kel. Limfe : tidak didapatkan pembesaran KGB
Trakea : Ditengah
Tiroid : tidak didapatkan pembesaran kelenjar
Vena jugularis : tidak dievaluasi
e.Thoraks
Inspeksi : simetris (+/+), retraksi (-/-), IC tidak tampak
Palpasi : ketertinggalan gerak (-/-), fremitus raba normal, IC ictus cordis
teraba di ICS V linea midclavicula sinistra
Perkusi : sonor (+/+), pelebaran batas jantung (-)
Auskultasi : vesikuler seluruh lapang paru, rhonki (-/-), wheezing (-/-), S1S2
tunggal e/g/m (-/-/-)
f. Abdomen
Inspeksi : datar/Flat, konsistensi soeple, jaringan parut bekas operasi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) meningkat
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani
Turgor pada kulit di abdomen sedikit menurun
g. Inguinal-Genitalia-Anus
Tidak dievaluasi
h. Ekstremitas :
Atas : Akral hangat kering merah
CRT< 2 detik
Tidak didapatkan petechiae, purpura, dan echimosis
Tidak didapat deformitas
40
Kulit : normal
Kuku : normal
Jari : tidak didapat kelainan
Edema : tidak didapatkan
Bawah : Akral hangat kering merah
CRT <2 detik
Tidak diapatkan petechiae, purpura, dan echimosis
Kulit : normal
Kuku : normal
Jari : Tidak didapatkan kelainan
Edema : Tidak diapatkan
41
Lender Positif
MIKROSKOPIS
Eritrosit 1-2
Lekosit 2-3
Kista Negative
Amoeba Negative
Telur cacing Negative
Sisa makanan Positif
Bakteri/gist Bakteri (+)
Lain-lain Negatif
3.5 Diagnosis
Diagnosis Primer : Gastroenteritis Akut
Diagnosis Sekunder : Anemia
42
3.6 Planning
• Inf. Rl 700 cc/3 jam maintenance 900 cc/24 jam
• Inj. Ranitidine 3x10 mg
• Inj. Ondasentrone 2x1,5 mg
• Interzink 1x5 ml
• Pamol 3x1 ml bila demam
• Oralit 25-50 ml bila diare atau muntah
• Rycef 3x250 mg
3.7 Prognosis
Ad Vitam : Dubia ad bonam
Ad Functionam : Dubia ad bonam
Ad Sanationam : Dubia ad bonam
3.8 Follow-up
Tanggal 08-05-2021 (H2MRS)
Subjektif Demam (-), mual (-), muntah (-), BAB cair (-)
Objektive KU: cukup Planning:
Kes: CM - KaEn 3B 900 cc/24
TD : - jam
Nadi : 103x/min - Rycef 3x250 mg
RR : 20x/min - Ranitidin 3x10 mg
Tax : 36,7°C - Ondansentrone 2x1,5
mg
K/L: a (-)/ I (-)/ C (-), D (+), pembesaran - Interzink 1x5 ml
KGB (-), mata cowong -/- - Probiokid 1x1
Tho: Simetris - UL
Pulmo: ves/ves, rh ( +)/(+), wh ( -)/(-)
(+)/(+), wh (-)/(-)
(+)/(+), wh (-)/(-)
Cor : s1 s2 tunggal, Murmur (-), Monitor:
Gallop(-) • Vital Sign
Abd : Soepel, BU(+ )meningkat, • TTV
Nyeri tekan(-), turgor kulit normal
Eks : Akral AHKM, CRT<2 “,
edema (-)/(-)
Assesment:
Gastroenteritis Akut + Vomitting
Anemia Defisiensi Besi
43
Tanggal 09-05-2021 (H2MRS)
Subjektif BAB cair 5x hari ini, disertai ampas (+)
sedikit, darah (-), lender (-), mual (+), muntah
(+) 1x
Objektive KU: cukup Planning:
Kes: CM - Inf. RL 900 cc/24 jam
TD : - - Rycef 3x250 mg
Nadi : 130x/min - Ranitidin 3x10 mg
RR : 24x/min - Ondansentrone 2x1,5
Tax : 36,8°C mg
Spo2 : 98% - Interzink 1x5 ml
- Probiokid 1x1
K/L: a (-)/ I (-)/ C (-), D (+), pembesaran - Drip metronidazole
KGB (-), mata cowong -/- 3x150 mg
Tho: Simetris - Oralit 25-50 ml
Pulmo: ves/ves, rh ( +)/(+), wh ( -)/(-)
(+)/(+), wh (-)/(-)
(+)/(+), wh (-)/(-) Monitor:
Cor : s1 s2 tunggal, Murmur (-), • Vital Sign
Gallop(-) • TTV
Abd : Soepel, BU(+)N, Nyeri
tekan(-), turgor kulit normal
Eks : Akral AHKM, CRT<2 “,
edema (-)/(-)
Assesment:
Gastroenteritis Akut + Vomitting
Anemia Defisiensi Besi
44
Cor : s1 s2 tunggal, Murmur (-), Monitor:
Gallop(-) • Vital Sign
Abd : Soepel, BU(+) meningkat, • TTV
Nyeri tekan(-), turgor kulit normal
Eks : Akral AHKM, CRT<2 “,
edema (-)/(-)
Assesment:
Gastroenteritis Akut + Vomitting +
Anemia Defisiensi Besi
Assesment:
Gastroenteritis Akut + Anemia
Defisiensi Besi
45
DAFTAR PUSTAKA
1. Subagyo, B. S. 2012. Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi. Jilid 1, Edisi 1. Jakarta:
IDAI.
2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010. Pedoman pelayanan medis. jilid 1. Jakarta :
pengurus pusat IDAI
3. Lindberg, G., Salam, M., Farthing, M., Khalif, I., Lind, E. S., Ramakrishna, B. S., et al.
2012. Acute diarrhea in adults and children : a global perspective. World
Gastroenterology Organisation Global Guidelines.
4. Farthing, M., Lindberg, G., Dite, P., Khalif, I., Lindo, E. S., Ramakrishna, B. S., et al.
2008. acute diarrhea. World Gastroenterology Organisation practice guideline.
8. Arimbawa dkk. Peranan probiotik pada keseimbangan flora normal usus dalam Kapita
Selekta Gastroenterologi Anak. Jakarta: Sagung Seto. 2007:100-111
9. Rahajoe. NN, dkk. 2008. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi 1 cetakan Pertama. Jakarta.
IDAI. h.350-365
10. Latief, abdul, dkk. 2009. Pelayanan kesehetan anak di rumah sakit standar WHO.
Jakarta : Depkes
12. R Bernadette FG, K Elaine. Disorder of Iron and Heme Metabolism. Dalam: Wurm E,
editor. Hematology Clinical Principles and Applications. Edisi ke-4. St Louis:
Missouri, Elsevier Saunder: Andrew Allen; 2012. hlm. 254-8
46
13. Kattalin A. Optimal Management of Iron Deficiense Anemia do to poor dietary.
International Journal of General medicine. 2011:741-50
15. Adamson JW. Iron Deficiency and other Hypoproliferative Anemias. In : KLongo DL.
Harrisons’s Hematology and Oncology. Edisi ke-17. New York: Mc Graw Hill, 2010.
hlm. 70-80.
16. Hoffbrand AV, Moss PA, Pettit JE. Erythropoiesis and General Aspects of Anaemia.
Dalam : Essential Haematology. Edisi ke5. Massachusetts: Blackwell
17. Koulaouzidis A, Said E, Cottier R, Saeed AA. Soluble Transferrin Receptors and Iron
Deficiency, a Step beyond Ferritin. A Systematic Review. The Journal of
Gastrointestinal Liver Disease. 2009;18:345-52. [Diunduh 30 Januari 2012].
18. Abdulsalam, M., & Daniel, A. (2002). Diagnosis, Pengobatan dan Pencegahan Anemia
Defisiensi Besi. Sari Pediatri, 4(2), 2–5.
19. Setiawan, B. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (5 ed.). Jakarta: Interna Publishing.
20. Özdemir, N. (2015). Iron deficiency anemia from diagnosis to treatment in children.
Türk Pediatri Arşivi, 50(1), 11–9. doi:10.5152/tpa.2015.2337
21. Abdulsalam, M., & Daniel, A. (2002). Diagnosis, Pengobatan dan Pencegahan Anemia
Defisiensi Besi. Sari Pediatri, 4(2), 2–5.
23. Endang, W. (2013). IDAI - ANEMIA DEFISIENSI BESI PADA BAYI DAN ANAK.
Retrieved February 28, 2016, from http://idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-
anak/anemia-defisiensi-besi-pada-bayi-dan-ana
24. Medlinux. (2007). Anemia Pada Anak ~ Seputar Kedokteran. Retrieved February 28,
2016, from http://medlinux.blogspot.co.id/2007/09/anemia-pada-anak.htm
47