Anda di halaman 1dari 22

MANAJEMEN NYERI NON FARMAKOLOGI

Dosen Pengampu : Hasrianti Risna S.ST, M. Keb

KELOMPOK 2 :

1. NURHIKMAH/320.085

2. Ajeng retno anggraeni/320.053

3. Alvira Damayanti /320.054

4.A.Nurul Nabila Putri.A/320.056

5 Nurfadilah/320.083

6. Aisyah Chairunnisaa/320.052

7. Amriyani/ 320.055

INSTITUT ILMU KESEHATAN PELAMONIA


MAKASSAR
2021
Kata Pengantar

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah Keterampilan Klinik
Praktik Kebidanan ini dengan judul " MANAJEMEN NYERI NON FARMAKOLOGI "
Makalah ini di susun dalam rangka memenuhi tugas kelompok mata kuliah Keterampilan
Klinik Praktik Kebidanan Program Studi DIII Kebidanan Fakultas Kesehatan Masyrakat Institut
Ilmu Kesehatan Pelamonia Makassar.

Dalam penyusunan makalah ini, kami banyak memperoleh bantuan serta bimbingan berbagai
pihak. Oleh karena itu, kami ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Hasrianti Risna, S.ST, , M. Keb selaku dosen mata kuliah “Keterampilan Klinik
Praktik Kebidanan”

2. Orang tua tercinta yang selalu mendukung, mendoakan, dan memberikan bantuan
baik moril maupun materi.

3. Seluruh teman-teman yang telah banyak membantu

Kami menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun guna sempurnanya
makalah ini. Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya bagi
pembaca umumnya.

Makassar , 21 Mei 2021

Penulis

DAFTAR ISI
Sampul

Kata Pengantar

Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Nyeri
B. Klasifikasi nyeri
C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nyeri
D. Manajemen Nyeri Secara Nonfarmakologi

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Nyeri merupakan pengalaman sensori dan emosional yang dirasakan mengganggu dan
menyakitkan, sebagai akibat adanya kerusakan jaringan aktual dan potensial yang menyebabkan
seseorang mencari perawatan kesehatan ( Smeltzer & Bare, 2012). Pengkajian dan pemahaman
yang menyeluruh tentang nyeri sangat penting bagi pemberi perawatan kesehatan dalam
penanganan nyeri yang efektif karena nyeri tidak bisa diobservasi secara langsung, pengukuran
nyeri hanya berdasar pada laporan pasien akan adanya nyeri beserta kondisi fisiologis yang
menyertainya (Potter & Perry, 2005).

Berbagai stimulasi penyebab nyeri diolah oleh otak yang kemudianmenyampaikan pesan adanya
nyeri, untuk itu jika persepsi nyeri diubaholeh adanya penatalaksanaan nyeri dengan atau tanpa
obat, maka tidak ada lagi nyeri yang dirasakan pasien, dengan kata lain kenyamanan sebagai
kebutuhan dasar klien dapat terpenuhi (Potter & Perry, 2005). Salah satu stimulasi penyebab
nyeri adalah karena adanya pembedahan. Pembedahan atau operasi adalah semua tindak
pengobatan yang menggunakan cara invasive dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh
yang akan ditangani, pembukaan bagian tubuh ini umumnya dilakukan dengan membuat sayatan
( Sjamsuhidayat & Jong, 2004).

Pembedahan merupakan suatu kekerasan atau trauma bagi penderita, dan salah satu keluhan
yang sering dikemukakan setelah pembedahan adalah adanya nyeri. Nyeri tersebut disebabkan
karena rusaknya jaringan akibat sayatan operasi sebagai stimulus sehingga menyebabkan
pelepasan substansi kimia seperti histamin, bradikinin, asetilkolin, dan substansi P.Postaglandin
yang bergabung dengan lokasi nosiseptor untuk memulai transmisi neural yang berawal dari
serabut perifer memasuki medula spinalis dan menjalani salah satu dari beberapa rute saraf dan
akhirnya sampai di dalam massa berwarna abu-abu di medula spinalis. Pesan nyeri dapat
berinteraksi dengan sel-sel saraf inhibitor, mencegah stimulus nyeri sehingga tidak mencapai
otak atau bisa juga ditransmisi tanpa hambatan ke korteks serebral yang akan diinterpretasikan
otak sebagai nyeri (Potter & Perry, 2005).

Menurut studi yang dilakukan oleh asosiasi penelitian untuk nyeri (IASP), nyeri hebat / severe
pain setelah pembedahan mayor dialami oleh 10 % pasien, nyeri sedang / moderate pain dialami
sekitar 30 % pasien (Boni, 2010). Studi yang dilakukan di Indonesia oleh Megawati di tahun
2010, menyatakan bahwa pasien post laparotomy yang mengeluhkan nyeri berat sebanyak
15,38%, nyeri sedang 57,7% dan nyeri ringan sebanyak 26,92%. Studi lain yang dilakukan oleh
Chanif, Petpichetchian & Chongchaeron (2013) mengatakan bahwa pasien setelah menjalani
bedah abdomen mengalami nyeri sedang dengan nilai rata-rata (mean) 5,3 pada skala nyeri.

Nyeri setelah operasi merupakan nyeri akut yang secara serius mengancam proses penyembuhan
klien, harus menjadi prioritas perawatan. Nyeri yang dialami pasien setelah pembedahan
menghambat kemampuan pasien untuk terlibat aktif dan meningkatkan risiko komplikasi akibat
imobilisasi. Rehabilitasi dapat tertunda dan hospitalisasi menjadi lama jika nyeri akut tidak
dikontrol. Kemajuan fisik atau psikologis tidak dapat terjadi selama nyeri akut masih dirasakan
karena pasien memfokuskan semua perhatiannya pada upaya untuk mengatasi nyeri.
Penatalaksanaan nyeri yang efektif tidak hanya mengurangi ketidaknyamanan fisik tetapi juga
meningkatkan mobilisasi lebih awal dan membantu pasien kembali bekerja lebih dini, megurangi
kunjungan klinik, memperpendek masa hospitalisasi dan mengurangi biaya kesehatan (Potter &
Perry, 2005).

Untuk mengatasi nyeri diperlukan penatalaksanaan manajemen nyeri melalui cara farmakologi
dan non-farmakologi (Smeltzer & Bare, 2012). Pereda nyeri farmakologi dibedakan menjadi tiga
kategori yakni golongan opioid, non-opioid, dan anesthetic. Walaupun analgesik dapat
menghilangkan nyeri dengan efektif, jenis analgesik opioid mempunyai efek samping yang harus
dipertimbangkan dan diantisipasi, yakni diantaranya depresi pernapasan, mual, muntah,
konstipasi, pruritus, dan efek toksik pada pasien dengan gangguan hepar atau ginjal. Ketorolak
(toradol) merupakan analgesik yang kemanjurannya dapat dibandingkan dengan morfin, lazim
diresepkan sebagai pereda nyeri setelah operasi di rumah sakit, begitu juga dengan rumah sakit
PKU Muhammadiyah

Roemani, Semarang, yang menerapkan terapi farmakologi sebagai lini pertama dalam
pengelolaan nyeri pasien setelah operasi. Terapi non-farmakologi diperlukan sebagai
pendamping terapi farmakologi untuk mempersingkat episode nyeri yang hanya berlangsung
beberapa detik atau menit. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa relaksasi efektif dalam
menurunkan nyeri setelah operasi, diantaranya yaitu dengan latihan pernapasan diafragma,
teknik relaksasi progresif, guided imagery, meditasi dan relaksasi napas dalam (Smeltzer & Bare,
2012).Beberapa penelitian tentang penerapan foot message pada pasien setelah operasi juga telah
dibuktikan dalam menurunkan nyeri (Chanif, Petpichetchian & Chongchaeron, 2013).

Salah satu jenis relaksasi yang digunakan dalam menurunkan intensitas nyeri setelah operasi
adalah dengan relaksasi genggam jari yang mudah dilakukan oleh siapapun yang berhubungan
dengan jari tangan dan aliran energi di dalam tubuh kita. Menggenggam jari sambil mengatur
napas (relaksasi) dapat mengurangi ketegangan fisik dan emosi, karena genggaman jari akan
menghangatkan titik-titik keluar dan masuknya energy meridian (energy channel) yang terletak
pada jari tangan kita. Titik-titik refleksi pada tangan akan memberikan rangsangan secara refleks
(spontan) pada saat genggaman. Rangsangan tersebut akan mengalirkan gelombang listrik
menuju otak yang akan diterima dan diproses dengan cepat, lalu diteruskan menuju saraf pada
organ tubuh yang mengalami gangguan, sehingga sumbatan di jalur energi menjadi lancar
(Puwahang, 2001). Hal ini pernah dibuktikan oleh Pinandita, Purwanti & Utoyo (2012) , yang
menyatakan terdapat perbedaan penurunan skala nyeri rata-rata sebesar 4,88% pada 17 pasien
kelompok eksperimen yang mendapat perlakuan relaksasi genggam jari.

B. Rumusan Masalah

1. Apa itu nyeri?


2. Bagaimanakah klasifikasi nyeri ?
3. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri?
4. Manajemen nyeri secara nonfarmakologi

A. Tujuan

Tujuan umum

1. Untuk mengetahui tentang apa itu manajemen nyeri secara nonfarmakologi

Tujuan khusus

1. Untuk mengetahui pengertian nyeri


2. Untuk mengetahui bagaimanakah klasifikasi nyeri
3. Untuk mengetahui apa saja tanda dan gejala nyeri
4. Untuk mengetahui manajemen nyeri secara nonfarmakologi

B. Manfaat

Makalah ini di buat oleh penulis agar meminimalisir kesalahan dalam tindakan praktik
kebidanan yang di sebabkan oleh ketidakpahaman dalam Keterampilan Klinik Praktik Kebidanan
dalam sehingga manajemen nyeri secara nonfarmakologi berpengaruh besar terhadap kehidupan
klien.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Nyeri

Menurut The International Association for the Study of Pain (IASP), nyeri merupakan
pengalaman sensoris dan emosional tidak menyenangkan yang disertai oleh kerusakan jaringan
secara potensial dan aktual. Nyeri sering dilukiskan sebagai suatu yang berbahaya (noksius,
protofatik) atau yang tidak berbahaya (non noksius, epikritik) misalnya: sentuhan ringan,
kehangatan, tekanan ringan.

Definisi tersebut menjelaskan konsep bahwa nyeri adalah hasil kerusakan struktural, bukan saja
tanggapan sensorik dari suatu proses nosisepsi, tetapi juga merupakan tanggapan emosional
(psikologik) yang didasari atas pengalaman termasuk pengalaman nyeri sebelumnya. Persepsi
nyeri menjadi sangat subjektif tergantung kondisi emosi dan pengalaman emosional sebelumnya.
Toleransi terhadap nyeri meningkat bersama pengertian, simpati, persaudaraan, pengetahuan,
pemberian analgesik, anisolitik, antidepresan dan pengurang gejala. Sedangkan toleransi nyeri
menurun pada keadaaan marah, cemas, bosan, kelelahan, depresi, penolakan sosial, isolasi
mental dan keadaan yang tidak menyenangkan.

Menurut Smeltzer & Bare (2002) nyeri sebagai pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial. Rasa nyeri adalah
alasan utama seseorang untuk mencari bantuan perawat kesehatan. Nyeri terjadi bersama banyak
proses penyakit atau bersamaan dengan beberapa pemeriksaan diagnostik atau pengobatan. Nyeri
dikatakan sebagai sensasi yang rumit, unik, universal, dan bersifat individual (Asmadi, 2008).

Menurut Potter & Perry (2010) nyeri merupakan sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan,
bersifat subjektif dan berhubungan dengan panca indra. Sedangkan, menurut (Black & Hawks,
2014 dalam Mulyanto dkk, 2014) nyeri merupakan fenomena multidimensional sehingga sulit
untuk didefinisikan.

B. Klasifikasi nyeri

Menurut (Asmadi, 2008 ; Potter & Perry, 2006 ; Lusianah dkk, 2012) nyeri dapat
diklasifikasikan kedalam beberapa golongan berdasarkan pada tempat, sifat, berat ringannya
nyeri, dan waktu lamanya serangan.

I. Nyeri berdasarkan tempatnya


 Pheriperal pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh misalnya pada kulit,
mukosa.
 Deep pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh yang lebih dalam atau pada
organ organ tubuh visceral.
 Refered pain, yaitu nyeri dalam yang disebabkan karena penyakit organ/struktur dalam
tubuh yang ditransmisikan kebagian tubuh didaerah yang berbeda, bukan daerah asal
nyeri.
 Central pain, yaitu nyeri yang terjadi karena perangsangan pada sistem saraf pusat, spinal
cord, batang otak, thalamus, dan lain-lain.
 Nyeri akibat kanker merupakan nyeri yang dirasakan pada klien yang menderita kanker.
Nyeri yang dirasakan biasanya bersifat akut atau kronis. Nyeri kanker disebabkan oleh
berkembangnya tumor dan berhubungan dengan proses patologis, prosedur invasif,
toksin-toksin dari pengobatan, infeksi dan keterbatasan secara fisik. Nyeri ini dirasakan
pada lokasi dimana tumor berada atau tidak jauh dari tumor atau kanker.
II. Nyeri berdasarkan sifatnya

 Incidental pain, yaitu nyeri yang timbul sewaktu-waktu lalu menghilang.


 Steady pain, yaitu nyeri yang timbul dan menetap serta yang dirasakan dalam waktu yang
lama.
 Paroxymal pain, yaitu nyeri yang dirasakan berintensitas tinggi dan kuat. Nyeri tersebut
biasanya menetap ± 10-15 menit, lalu menghilang, kemudian timbul lagi.

III. Nyeri berdasarkan berat ringannya

 Nyeri ringan, yaitu nyeri dengan intensitas rendah.


 Nyeri sedang, yaitu nyeri yang menimbulkan reaksi.
 Nyeri berat, yaitu nyeri dengan intensitas yang tinggi.

IV. Nyeri berdasarkan waktu lamanya serangan


 Nyeri akut, yaitu nyeri yang dirasakan dalam waktu yang singkat dan berakhir kurang
dari enam bulan, sumber dan daerah nyeri diketahui dengan jelas. Rasa nyeri mungkin
sebagai akibat dari luka, seperti luka operasi, ataupun pada suatu penyakit arteriosclerosis
pada arteri koroner. Nyeri akut merupakan nyeri yang bersifat sementara, mendadak, area
nyeri teridentifikasi. Gejala nyeri muncul seperti berkeringat, pucat, peningkatan tekanan
darah, nadi dan pernapasan.
 Nyeri kronis, yaitu nyeri yang dirasakan lebih dari enam bulan. Nyeri kronis ini polanya
beragam dan berlangsung berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Ragam pola tersebut
ada yang nyeri timbul dengan periode yang diselingi interval bebas dari nyeri lalu timbul
kembali nyeri, dan begitu seterusnya. Ada pula pola nyeri kronis yang konstan, artinya
rasa nyeri tersebut terus-menerus terasa makin lama semakin meningkat intensitasnya
walaupun telah diberikan pengobatan. Misalnya, pada nyeri karena neoplasma.
Nyeri kronis merupakan nyeri yang berlangsung lebih dari 5 bulan, lokasi nyeri tidak
teridentifikasi, sulit dihilangkan, tidak ada perubahan pada tanda-tanda vital tubuh.
 Nyeri kronis yang tak teratur merupakan nyeri yang sesekali terjadi dalam jangka wakru
tertentu. Nyeri berlangsung selama beberapa jam, hari atau minggu.
C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nyeri
Faktor yang mempengaruhi nyeri diantaranya persepsi nyeri, usia, jenis kelamin, faktor
sosiobudaya, pengalaman masa lalu (Black & Hawks, 2014 dalam Mulyanto dkk, 2014;
Potter & Perry, 2010 ; Lusianah dkk, 2012).
 Persepsi nyeri
Persepsi nyeri merupakan persepsi individu menerima dan menginterpretasikan nyeri
berdasarkan pengalaman masing-masing. Nyeri yang dirasakan tiap individu berbeda-
beda. Persepsi nyeri dipengaruhi oleh toleransi individu terhadap nyeri.

 Faktor sosiobudaya
Faktor sosiobudaya merupakan faktor penting dalam respons individu terhadap nyeri.
Respon terhadap nyeri cenderung merefleksikan moral dan budaya masing-masing.

 Usia
Usia dapat mengubah persepsi dan pengalaman nyeri. Individu yang berumur lebih tua
mempunyai metabolisme yang lebih lambat dan rasio lemak tubuh terhadap masa otot
lebih besar dibanding individu berusia lebih muda, sehingga analgesik dosis kecil
mungkin cukup untuk menghilangkan nyeri.

 Jenis kelamin
Jenis kelamin dapat menjadikan faktor yang dapat mempengaruhi respon nyeri. Pada
dasarnya pria lebih jarang melaporkan nyeri dibandingkan wanita.

 Pengalaman masa lalu


Pengalaman sebelumnya mengenai nyeri mempengaruhi persepsi akan nyeri yang
dialami saat ini. Individu yang memiliki pengalaman negatif dengan nyeri pada masa
kanak-kanak dapat memiliki kesulitan untuk mengelola nyeri.
 Ansietas (kecemasan)
Hubungan antara nyeri dengan kecemasan bersifat kompleks Kecemasan terkadang
meningkatkan persepsi terhadap nyeri, tetapi nyeri juga menyebabkan perasaan cemas.
Dalam teorinya melaporkan bahwa stimulus nyeri yang mengaktivasi bagian dari sistem
limbic dipercaya dapat mengontrol emosi, terutama kecemasan. Sistem limbic
memproses reaksi emosional terhadap nyeri, apakah dirasa mengganggu atau berusaha
untuk mengurangi nyeri.

 Perhatian
Tingkat perhatian seseorang terhadap nyeri akan mempengaruhi persepsi nyeri yang
dirasakan, sedangkan upaya pengalihan (distraksi) dihubungkan dengan respon nyeri.
Konsep inilah yang mendasari berbagai terapi untuk menghilangkan nyeri, seperti
relaksasi, teknik imajinasi terbimbing (guided imagery), dan masase. Dengan
memfokuskan perhatian dan kosentrasi klien terhadap stimulus lain, kesadaran mereka
akan adanya nyeri menjadi menurun.

 Respon terhadap nyeri


Menurut Potter & Perry (2006) ada dua respons terhadap nyeri, yaitu
respons fisiologis dan respons perilaku. Kedua respons ini timbul ketika
seseorang terpapar dengan nyeri, dan masing – masing individu mempunyai
karakteristik yang berbeda dalam merespons nyeri tersebut. Respons nyeri fisiologis
terhadap nyeri dapat sangat membahayakan individu. Pada saat impuls nyeri naik ke
medula spinalis menuju batang otak dan talamus, sistem saraf otonom menjadi
tersimulasi sebagai bagian dari respons stress. Nyeri dengan intensitas ringan hingga
sedang dan nyeri yang superfisial menimbulkan reaksi “flight-atau-fight”, yang
merupakan sindrom adaptasi umum. Stimulus pada cabang simpatis pada
saraf otonom menghasilkan respons fisiologis.

Apabila nyeri berlangsung terus – menerus, berat, atau dalam, dan secara
tipikal melibatkan organ–organ viseral (seperti nyeri pada infark
miokard, kolik akibat kandung empedu atau batu ginjal), sistem saraf
parasimpatis menghasilkan suatu aksi. Kecuali pada kasus–kasus nyeri traumatik
yang berat, yang menyebabkan individu mengalami syok, kebanyakan individu
mencapai tingkat adaptasi, yaitu ketika tanda– tanda fisik kembali normal. Dengan
demikian, seseorang yang mengalami nyeri tidak akan selalu memperlihatkan tanda–
tanda fisik. Berikut ini tabel yang menunjukkan respons fisiologis terhadap nyeri:

Respons Penyebab atau efek

Stimulus simpatik

Dilatasi saluran bronkiolus dan Menyebabkan peningkatan asupan oksigen


peningkatan frekuensi pernapasan

Peningkatan frekuensi denyut nadi Menyebabkan peningkatan transport


oksigen

Vasokontriksi perifer (pucat, Meningkatkan tekanan darah disertai


peningkatan tekanan darah) perpindahan suplai darah dan perifer dan
visera ke otot – otot skelet dan otak

Peningkatan kadar glukosa darah Menghasilkan energi tambahan

Diaforesis Mengontrol temperatur tubuh selama stres

Peningkatan ketegangan otot Mempersiapkan otot untuk melakukan aksi

Dilatasi pupil Memungkinkan penglihatan yang lebih


baik

Penurunan motilitas saluran cerna Membebaskan energi untuk melakukan


aktivitas dengan lebih baik
Stimulus parasimpatik

Pucat Menyebabkan suplai darah berpindah ke


perifer
Ketegangan otot Akibat keletihan

Penurunan denyut jantung dan Akibat stimulasi vagal


tekanan darah

Pernapasan yang cepat dan tidak Menyebabkan pertahanan tubuh gagal


teratur akibat nyeri yang terlalu lama

Mual dan muntah Mengembalikan fungsi saluran cerna


Kelemahan atau kelelahan Akibat pengeluaran energi fisik
(Sumber : Potter & Perry, 2006)\\

 Respons perilaku
Apabila nyeri dibiarkan tanpa penanganan yang tepat, hal tersebut dapat
mengancam kesejahteraan seseorang, baik secara fisik maupun psikologis.
Beberapa pasien memilih untuk tidak mengekspresikan nyeri yang dirasakan,
karena mereka menganggap bahwa ekspresi tersebut akan membuat orang lain
merasa tidak nyaman atau merupakan salah satu tanda bahwa mereka
kehilangan kontrol terhadap diri mereka sendiri. Pasien yang memiliki
toleransi yang tinggi terhadap nyeri mampu menahan rasa nyeri tanpa bantuan
atau pertolongan dari orang lain. Sedangkan, seseorang yang memiliki
toleransi nyeri yang rendah dapat mencari upaya untuk menghilangkan rasa
nyeri sebelum nyeri terjadi. Gerakan tubuh dan ekspresi wajah dapat
mengindikasikan adanya nyeri, seperti mengatubkan gigi-gigi, memegang
tubuh yang terasa sakit, postur tubuh yang membungkuk, dan ekspresi wajah
yang meringis. Beberapa klien bahkan menangis atau mengerang kesakitan
dan biasanya terlihat gelisah atau meminta sesuatu secara terus-menerus
kepada perawat. Hal ini menjadi penting bagi seseorang perawat untuk
mengenali dan mengamati respon yang ditunjukkan oleh pasien terutama pada
pasien yang tidak mampu atau tidak bisa melaporkan adanya rasa nyeri yang
dirasakan, contohnya pasien dengan gangguan kognitif.
Respons perilaku nyeri dapat dilihat pada tabel berikut:
Respons Perilaku
1. Merintih
Vokalisasi 2. Menangis
3. Sesak napas/terengah-engah
4. Mendengkur
1. Meringis
Ekspresi wajah 2. Menggeletukkan gigi
3. Mengerutkan dahi
4. Menutup mata atau mulut dengan rapat atau
membuka mata atau mulut dengan lebar
5. Menggigit bibir
1. Gelisah
2. Imobilisasi
Gerakan tubuh 3. Ketegangan otot
4. Peningkatan pergerakan tangan dan jari
5. Aktivitas melangkah atau berjalan bolak balik
6. Gerakan ritmik atau gerakan menggosok
7. Gerakan melindungi bagian tubuh tertentu
1. Menghindari percakapan
2. Fokus hanya pada aktivitas untuk menghilangkan
Interaksi sosial nyeri
3. Menghindari kontak sosial
4. Penurunan rentang perhatian
5. Mengurangi waktu perhatian
6. Mengurangi interaksi dengan lingkungan
D. Manajemen Nyeri Secara Nonfarmakologi
Manajemen nyeri non farmakologi merupakan strategi penyembuhan nyeri tanpa
menggunakan obatobatan tetapi lebih kepada perilaku caring Metode terapi non-
farmakologi dalam menurunkan rasa nyeri pada pasien saat persalinan dapat beragam.
Selain menurunkan rasa nyeri, terapi non-farmakologi diduga juga dapat mendorong
komponen psikoemosional dan spiritual

Tindakan Non Farmakologis.


Saat ini marak dikembangkan terapi tambahan untuk mengatasi nyeri, seperti:

 Kompres hangat/dingin.
 Latihan nafas dalam.
 Musik.
 Imajinasi terbimbing.
 Hipnosis.
Menurut Tamsuri (2006), selain tindakan farmakologis untuk menanggulangi nyeri ada
pula tindakan nonfarmakologis untuk mengatasi nyeri terdiri dari beberapa tindakan
penaganan berdasarkan :
 Penanganan fisik/stimulasi fisik meliputi :
 Stimulasi kulit.
Massase kulit memberikan efek penurunan kecemasan dan ketegangan otot.
Rangsangan masase otot ini dipercaya akan merangsang serabut berdiameter
besar, sehingga mampu mampu memblok atau menurunkan impuls nyeri.
 Stimulasi electric (TENS).
Cara kerja dari sistem ini masih belum jelas, salah satu pemikiran adalah cara ini
bisa melepaskan endorfin, sehingga bisa memblok stimulasi nyeri. Bisa dilakukan
dengan massase, mandi air hangat, kompres dengan kantong es dan stimulasi
saraf elektrik transkutan (TENS/ transcutaneus electrical nerve stimulation).
TENS merupakan stimulasi pada kulit dengan menggunakan arus listrik ringan
yang dihantarkan melalui elektroda luar.

 Akupuntur.
Akupuntur merupakan pengobatan yang sudah sejak lama digunakan untuk
mengobati nyeri. Jarum – jarum kecil yang dimasukkan pada kulit, bertujuan
menyentuh titik-titik tertentu, tergantung pada lokasi nyeri, yang dapat memblok
transmisi nyeri ke otak.
 Plasebo.
Plasebo dalam bahasa latin berarti saya ingin menyenangkan merupakan zat tanpa
kegiatan farmakologik dalam bentuk yang dikenal oleh klien sebagai “obat”
seperti kaplet, kapsul, cairan injeksi dan sebagainya.
 Intervensi perilaku kognitif meliputi :
Relaksasi.
Relaksasi otot rangka dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan merelaksasikan
keteganggan otot yang mendukung rasa nyeri. Teknik relaksasi mungkin perlu diajarkan
bebrapa kali agar mencapai hasil optimal. Dengan relaksasi pasien dapat mengubah
persepsi terhadap nyeri.
Latihan Relaksasi
1. Ambil posisi senyaman mungkin, jangan silangkan tangan dan kaki anda.
2. Mulailah dengan konsentrasi untuk menarik nafas dalam.
3. Jika pikiran anda terpecah, kembalilah dengan konsentrasi pada nafas anda.
4. Jadikan diri anda menyadari dan merasakan irama nafas anda.
5. Rasakan setiap tarikan nafas anda melalui seluruh tubuh anda, memberikan energi
yang dapat membantu menyembuhkan diri anda.
6. Saat anda menghembuskan nafas, lepaskan ketegangan diri anda, lepaskan semua
keluhan anda.
7. Lemaskan seluruh serat otot anda mulai dari atas, kepala anda menjadi lemas dan
relaks, turunkan kebawah keleher anda, kedua tangan, dada, dan punggung anda.
8. Lanjutkan untuk melemaskan serat otot paha nada, betis dan kaki anda.
9. Hal ini akan menjadikan diri anda menjadi relaks lebih dalam, kenyamanan anda
mulai anda rasakan lebih baik.
10. Anda dapat mulai membayangkan hal yang dapat membuat anda lebih senang dan
nyaman, lanjutkan dengan lebih menikmati kondisi tersebut, resapi dan hayati,
dan nikmati lebih mendalam.
11. Kondisi relaks dan nyaman ini dapat anda rasakan dan anda dapatkan kapanpun
anda menginginkannya.

 Gate Control dan Masase Kutanus.


Teori gate control nyeri bertujuan menstimulasi serabut-serabut yamg
menstransmisikan sensasi tidak nyeri memblok atau menurunkan transmisi,
impuls nyeri. Beberapa strategi penghilang nyeri nonfarmakologis. Termasuk
menggosok kulit dan menggunakan panas dan dingin, adalah berdasarkan
mekanisme ini.
Masase adalah stimulasi kuteneus tubuh secara umum, sering dipusatkan pada
punggung dan bahu. Masase tidak secara spesifik menstimulasi reseptor yang
sama seperti reseptor nyeri tetapi dapat mempunyai dampak melalui sistem
control desenden. Masase dapat membuat pasien lebih nyaman karena masase
membuat relaksasi otot.

 Terapi Es dan Panas.


Terapi es (dingin) dan panas dapat menjadi strategi pereda nyeri yang efektif pada
beberapa keadaan, namun begitu, keefektifannya dan mekanisme kerjanya
memerlukan studi lebih lanjut. Diduga bahwa terapi es dan panas bekerja dengan
menstimulasi reseptor tidak nyeri (non-noniseptor) dalam reseptor yang sama
seperti pada cedera.
Terapi es dapat menurunkan prostaglandin, yang memperkuat sensivitas reseptor
nyeri dan subkutan lain [ada tempat cedera dengan menghambat proses inflamasi.
Agar efektif, es harus diletakkan pada tempat cedera segera setelah cedera terjadi.
Penggunaan panas mempunyai keuntungan meningkatakan aliran darah ke suatu
area dan kemungkinan dapat turut menurunkan nyeri dengan mempercepat
penyembuhan. Namun demikian, menggunakan panas kering dengan lampu
pemanas tampak tidak seefektif penggunaan es. Baik terapi panas kering dan
lembab kemungkinan memberi analgesia tetapi penelitian tambahan diperlukan
untuk memahami mekanisme kerjanya dan indikasi penggunaannya yang sesuai.
Baik terapi es maupun panas harus digunakan dengan hati-hati dan dipantau
dengan cermat untuk menghindari cedera kulit.

 Stimulasi Saraf Elektris Transkutan.


Stimulasi saraf transkutan (TENS) menggunakan unit yang dijalankan oleh
baterai dengan elektroda yang dipasang pada kulit untuk menghasilkan sensasi
kesemutan , menggetar atau menegung pada area nyeri. TENS telah digunakan
baik pada nyeri akut dan kronik. TENS diduga dapat menurunkan nyeri dengan
menstimulasi reseptor tidak nyeri (non-nosiseptor) dalam area yang sama seperti
pada serabut yang menstrasmisikan nyeri. Mekanisme ini sesuai dengan teori
nyeri gate control. Reseptor tidak nyeri diduga memblok transmisi sinyal nyeri
ke otak pada jaras asendens saraf pusat.
Mekanisme ini akan menguraikan keefekitan stimulasi kutan saat digunakan
pada araea yang asama seperti pada cedera. Sebagai contoh, saat TENS
digunakan apda pasien pasca operatif elektroda diletekkan disekitar luka bedah.
Penjelasan lain untuk keefektifan TENS adalah efek placebo (pasien
mengharapkannya agar efektif) dan pembentukan endorphin, yang juga
memblok transmisi nyeri

 Distraksi.
Distraksi, yang mencakup memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu selai
pada nyeri, dapat menjadi stategi yang sangat berhasil dan mungkin merupakan
mekanisme yang bertanggung jawab pada teknik kognitif efektif lainnya ( Arntz
dkk., 1991; Devine dkk., 1990). Seseorang, yang kurang menyadari adanya nyeri
atau memberikan sedikit perhatian pada nyeri, akan sedikit terganggu oleh nyeri
dan lebih toleransi terhadap nyeri. Distraksi diduga dapat menurunkan persepsi
nyeri dengan menstimulasi sistem control desenden, yang mengakibatkan lebih
sedikit stimuli nyeri yang ditransmisikan ke otak.
Keefektifan distraksi tergantung pada kemampuan pasien untuk menerima dan
membangkitkan input sensori selain nyeri. Peredaan nyeri secara umum
meningkat dalam hubungan langsung engan parsitipasi aktif individu, banyaknya
modalitas sensori yang dipakai dan minat individu dalam stimuli. Karenanya,
stimuli penglihatan, pendengaran, dan sentuhan mungkin akan efektif dalam
menurunkan nyeri disbanding stimuli satu indera saja.
 Imajinasi Terbimbing. (guided imagery)
Imajinasi terbimbing adalah menggunakan imajinasi seseorang dalam suatu cara
yang dirancang secara khusus untuk mencapai efek positf tertentu. Jika imajinasi
terpadu diharapkan agar efektif, doibutuhkan waktu yang banyak untuk
menjelaskan tekniknya dan waktu untuk pasien mempraktekkannya. Biasanya,
pasien diminta untuk mempraktikkan imajinasi terbimbing selama sekitar 5
menit, tiga kali sehari. Beberapa hari praktik mungkin diperlukan sebelum
intensitas nyeri dikurangi. Banyak pasien mulai mengalami efek rileks dari
imajinasi terbimbing saat pertama kali meraka mencobanya. Nyeri mereda dapat
berlanjut selam berjam-jan setelah imajinasi digunakan.
Pasien harus diinformasikan bahwa imajinasi terbimbing hanya dapat berfungsi
pada beberapa orang. Imajinasi terbimbing harus digunakan hanya sebagai
tambahan dari bentuk pengobatan yang telah terbukti, sampai riset telah
menunjukkan apakah dan bilakah tekinik ini efektif.

 Hipnosis.
Hipnosis efektif dalam meredakan nyeri atau menurunkan jumlah analgesik yang
dibutuhkan pada nyeri akut dan kronis. Teknik ini mungkin membantu dalam
memberikan peredaan pada nyeri terutama dalam situasi sulit. Mekanisme
bagaimana kerjanya hipnosis tidak jelas tetapi tidak tampak diperantari oleh
sistem endorfin. Keefektifan hipnosis tergantung pada kemudahan hipnotik
individu.
Hipnosis dapat membantu mengubah persepsi nyeri melalui
pengaruh sugesti positif. Suatu pendekatan kesehatan holistik, hipnosisdiri
menggunakan sugesti-diri dan kesan tentang perasaan yang rileks
dengan menggunakan berbagai ide pikiran dan kemudian kondidi-kondisi
yang menghasilkan respon tertentu. Hipnosis-diri sama seperti dengan
melamun. Konsentrasi yang intensif mengurangi ketakutan dan stress
karena individu hanya berkonsentrasi hanya pada satu pikiran (Potter &
Perry, 2006).
 Sentuhan terapeutik
Pendekatan ini menyatakan bahwa pada individu yang sehat, terdapat
ekuilibrium antara aliran energi didalam dan diluar tubuh. Sentuhan terapeutik
meliputi penggunaan tangan untuk secara sadar melakukan pertukaran energi.
Terdapat empat langkah dasar dalam melakukan teknik ini, yaitu pemusatan,
pengkajian, terapi, dan evaluasi. Setiap tahap umumnya melaju kelangkah
berikutnya dan proses secara keseluruhan berlangsung sekitar 25 menit (Potter &
Perry, 2006).

 Biofeedback
Biofeedback merupakan terapi perilaku yang dilakukan dengan memberikan
individu informasi tentang respon fisiologis (misalnya, tekanan darah dan
ketegangan otot) dan cara untuk melatih control volunter terhadap respon
tersebut. Terapi ini digunakan untuk menghasilkan keadaan yang rileks dan
sangat efektif untuk mengatasi ketegangan otot dan nyeri kepala migren (Potter
& Perry, 2006).

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Setiap individu membutuhkan rasanyaman, kebutuhan rasa nyaman ini dipersepsikan berbeda oleh
setiap 42 Jurnal Wawasan Kesehatan, orang. Informasi yang didapatkan dari pengkajian nyeri digunakan
untuk mengidentifikasi tujuan dari manajemen nyeri. Tujuan ini diberikan dan divalidasi bersama perawat
dan pasien. Pasien dengan masalah kesehatan yang serius memiliki resiko yang lebih besar mengalami
efek buruk dari nyeri. Nyeri pasien mungkin dapat berkurang dengan pemberian intervensi farmakologis
tetapi intervensi nonfarmakologis berperan penting untuk mendukung bukan menggantikan intervensi
farmakologis. Pada penyakit tahap akut, pasien mungkin tidak mampu berpartisipasi dalam tindakan
manajemen nyeri, tetapi ketika mental dan kemampuan fisik pasien baik maka kita bisa ajarkan teknik
manajemen nyeri non farmakologi untuk mengurangi nyeri. Oleh karena itu, Peran perawat yang nota
bene cukup dominan dalam manajemen non farmakologi mesti tetap mengembangkan kompetensi dan
pemahaman yang terus menerus tentang manjemen nyeri non farmakologi.

B.     Saran

Untuk semua mahasiswa kebidanan disarankan agar belajar lebih memahami dan
mendalami lagi tentang manajemen nyeri non farmakologi. Karena, lebih banyak belajar kita
lebih banyak tau lagi tentang manajemen nyeri non farmakologi. Dan semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.

DAFTAR PUSTAKA

 Mayasari, Criatiani Dewi. " Pentingnya Pemahaman Manajemen Nyeri Non Farmakologi
Bagi Seorang Perawat". https://stikessantupaulus.e-
journal.id/JWK/article/download/13/5#:~:text=Manajemen%20nyeri%20non
%20farmakologi%20merupakan,bersentuhan%20langsung%20dengan%20tugas
%20keperawatan . 22 Mei 2021. Download
 Dr. Darmawan, Josephine. " Tata Laksana Non- Farmakologi Pada Nyeri Persalinan"
https://www.alomedika.com/tatalaksana-non-farmakologi-nyeri-persalinan . 22 Mei
2021. Download
 Nurmahida,Elisa.2018. MANAJEMEN NYERI NON FARMAKOLOGI.
https://www.scribd.com/presentation/374513954/Manajemen-Nyeri-Non-Farmakolog :
22 Mei 2021
 Trifiana, Azelia. Manajemen Nyeri, Prosedur Saat Rasa Sakit Tak Tertahankan.
https://www.sehatq.com/artikel/manajemen-nyeri-prosedur-saat-rasa-sakit-tak-
tertahankan . 22 Mei 2021
 Widyasitanggang. SAP & Leaflet Manajemen Nyeri Non Farmakologi.
https://notesputih.wordpress.com/2015/06/11/sap-leaflet-manajemen-nyeri-
nonfarmakologi/ . 22 Mei 2021

Anda mungkin juga menyukai