Anda di halaman 1dari 47

LAPORAN STUDENT CENTER LEARNING ILMU GIZI

Dosen : Mizna Sabilla, SKM, M.Kes

Disusun oleh :

1. Aisyah Nur Fauziyyah 2017710085


2. Fini Cahyani 2017710090
3. Rahma Amalia NMP 2017710096
4. Mitha Nurjannah 2017710098
5. Isna Indah Sari 2017710116
6. Ardilla Larasatie 2017710127
7. Fadila Zurli 2017710132
8. Ghina Suryani 2017710137
9. Annisa Aprilyanti 2017710142
10. Ananda Cahyani Mochtar 2017710145

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

TAHUN 2019/2020
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb

Puji Syukur kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan nikmat-Nya kepada
Kita semua, sehingga kita dapat selalu menimba ilmu-Nya. Dan tidak lupa shalawat serta
salam, kita curahkan kepada Nabi Muhammad SAW. beserta para sahabatnya, yang telah
mengantarkan kita kepada dunia yang terang akan Ilmu Pengetahuan. Sehingga dengan
rahmat-Nya, laporan Student Center Learning Mata Kuliah Ilmu Gizi Kesmas dapat
diselesaikan. Laporan ini diajukan untuk memenuhi tugas Student Centered Learning.
Kami ucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan Laporan ini. Dalam proses penyusunan laporan ini tidaklah mudah, ada
beberapa hambatan yang telah penulis lalui. Namun kendala-kendala yang penulis alami
adalah sesuatu yang harus diatasi agar laporan ini dapat terselesaikan. Karena itu, pada
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membimbing, mengarahkan serta membantu dalam penulisan laporan ini, terutama
kepada:
1. Allah SWT. yang telah memberikan kenikmatan berupa nikmat sehat dan iman.

2. Kedua orang tua tercinta atas ketulusan cinta, kasih sayang, dukungan moril dan
materiil serta kepercayaan dan doa yang selalu mengalir tanpa henti kepada penulis,
semoga selalu dalam lindungan Allah SWT.

3. Kepada Ibu Mizna Sabilla, SKM, M.Kes selaku tutor yang telah membimbing kami,
sehingga penulis mampu menuliskan laporan ini.

4. Terima kasih kepada teman-teman Kesehatan Masyarakat angkatan 2017 yang telah
mendukung serta dorongan kepada penulis.

Penulis menyadari, bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran positif yang membangun agar
laporan ini menjadi lebih baik dan berdaya guna di masa yang akan datang.

Wassalamu’alaikum wr.wb
1. SKENARIO I

MASALAH GIZI DI INDONESIA MASIH PERLU PENANGANAN


Dari berbagai sumber data, perkembangan masalah gizi di Indonesia dapat
dikelompokkan menjadi 3, yaitu: Masalah gizi yang secara public health sudah
terkendali; Masalah yang belum dapat diselesaikan (un-finished); dan Masalah gizi yang
sudah meningkat dan mengancam kesehatan masyarakat (emerging).

Disparitas masalah gizi kurang menurut propinsi sangat lebar. Beberapa propinsi
mengalami kemajuan pesat dan prevalensinya sudah relatif rendah, tetapi beberapa
propinsi lain prevalensi gizi kurang masih sangat tinggi, kata Menkes.

Salah satu provinsi yang masih yang progresif menangani gizi buruk atau Kekurangan
Energi Protein (KEP) adalah DI Yogyakarta.

Puskesmas Kasihan I, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul menyadari bahwa angka gizi buruk
di wilayah kerja mereka merupakan yang tertinggi di Bantul, meskipun letaknya tak
begitu jauh dari pusat kota.

"Tahun 2009 kami menemukan balita dengan gizi buruknya mencapai 21 anak," ungkap
Kepala Puskesmas Kasihan I, dr Bambang Sulistriyanto saat ditemui, Kamis (21/5/2015).
Namun gizi buruk bukanlah satu-satunya masalah di Kasihan. Dr. Bambang juga
dihadapkan pada tingginya angka anak penderita anemia. Lewat sebuah riset yang timnya
lakukan bersama Mercy Crop di tahun 2010 dengan mengambil sampel 150 anak, ia
mendapati bahwa 50-55 persen anak di wilayah kerja Puskesmas Kasihan I terserang
anemia.

Hasil Riset Kesehatan Dasar mengungkapkan bahwa faktor pengetahuan, perilaku


masyarakat sangat berpengaruh terhadap kejadian gizi buruk di masyarakat. Data lain
menunjukkan bahwa prevalensi gizi buruk juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan.
"Penyebabnya bisa perilaku dan kurangnya pengetahuan orang tua. Jadi bapaknya lebih
mementingkan beli rokok daripada susu anaknya, atau mereka tidak tahu kalau anemia
itu dampaknya panjang, sehingga anak menjadi bodoh dan tidak berkembang. Tapi
karena ekonomi juga ada," paparnya.

Anemia Defisiensi Besi (ADB) pada anak akan memberikan dampak yang negatif
terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak, yaitu dapat menurunkan sistem
kekebalan tubuh sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi. Selain itu
berkurangnya kandungan besi dalam tubuh juga dapat menyebabkan gangguan
pertumbuhan organ tubuh akibat oksigenasi ke jaringan berkurang.

ADB juga berdampak buruk pada otak karena dapat menyebabkan transfer oksigen
terhambat, kecepatan hantar impuls syaraf terganggu, serta gangguan perilaku dan
konsentrasi sehingga anak akan, mengalami penurunan daya konsentrasi, daya ingat
rendah, dan tingkat IQ yang rendah. Akibatnya penurunan prestasi belajar dan
kemampuan fisik pada anak.

Melihat dampak anemia yang cukup serius pada anak, perlu pendeteksi dini agar dapat
segera diatasi dengan lebih baik.

Sumber Artikel:
https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-2922025/atasi-gizi-buruk-dan-anemia-pada-
anak-kabupaten-bantul-bikin-terobosan
https://www.fimela.com/beauty-health/read/3775724/anemia-juga-bisa-menyerang-anak-
anak-kenali-gejala-dan-dampaknya
http://www.depkes.go.id/article/print/2136/menkes-ada-tiga-kelompok-permasalahan-
gizi-di-indonesia.html
2. SKENARIO II

PILIH-PILIH MAKANAN SEBABKAN MASALAH GIZI MIKRO


Meskipun anak sering rewel saat disuruh makan sayur, tapi orangtua harus tetap
memastikan agar asupan nutrisi seimbang diterima oleh anak. Terutama asupan vitamin
dan mineral yang penting bagi pertumbuhan fisik dan mentalnya. Mereka yang memiliki
alergi, pastinya tidak bisa mengonsumsi makanan tertentu. Sayangnya, batasan makanan
untuk mencegah alergi justru menjadi bumerang bagi anak. Masalah yang mungkin
timbul adalah masalah gizi mikro akibat kekurangan vitamin dan mineral.

MASALAH PERTUMBUHAN DAN KERUSAKAN OTAK


Beberapa jenis sayuran juga memiliki kandungan iodium yang baik. Terutama sayuran
yang ditanam pada tanah yang kaya akan iodium atau tumbuh di tepi pantai. Rumput laut
menghimpun iodium dari air laut, sehingga menjadi sumber makanan yang kaya akan
mineral ini. Secara umum, rumput laut dan makanan laut merupakan sumber iodium yang
baik. Makanan laut yang menjadi sumber iodium di antaranya berbagai jenis ikan, cumi,
udang, dan kerang. Rata-rata kandungan iodium pada tumbuhan laut berkisar 0,7-4,5
g/kg. “Kandungan iodium pada rumput laut bisa mencapai 2.400-155 ribu kali lebih
banyak dibandingkan dengan sayuran yang tumbuh di daratan,” ujar Prof. Made.
Warga Jepang banyak mengonsumsi rumput laut, sehingga jarang yang mengidap
penyakit gondok. Banyak orang kurang memahami bahwa gangguan akibat kekurangan
iodium (GAKY), terlebih bagi anak, berpotensi menurunkan tingkat intelektual hingga
10-15 poin. Menurut Medical Journal of Australia 1999, iodium merupakan zat gizi
esensial bagi tubuh supaya kelenjar tiroid berfungsi dengan baik. Kelenjar tiroid
berfungsi membantu pertumbuhan dan metabolisme tubuh. Iodium juga berkaitan dengan
proses pertumbuhan neuron pada sel otak. Itu sebabnya, menurut Prof. DR. Made
Astawan, MS, ahli teknologi pangan dan gizi IPB, kurangnya iodium pada masa
kehamilan dan awal masa kehidupan anak, akan menurunkan jumlah sel neuron. Ini
berarti akan menyebabkan kerusakan otak anak yang sebenarnya bisa dicegah.
KERUSAKAN PENGLIHATAN
Ada seorang anak memiliki alergi makanan yang bisa mengakibatkan eksim parah
sehingga ibunya membatasi asupan makanan anak, agar alerginya tidak muncul. Selain
itu, si anak juga termasuk pemilih soal makanan. Ia hanya makan daging kambing,
kentang, apel, timun dan sereal. Namun, asupan menu tersebut membuat si anak
kekurangan nutrisi penting lain, yakni vitamin yang bersumber dari buah dan sayuran.
Karena akibat konsumsi vitamin yang kurang, ia mengalami tanda-tanda kekurangan
vitamin A (KVA) yaitu gangguan penglihatan yang memburuk sebagai berikut: tidak bisa
melihat secara jelas, rabun malam, sensitivitas tinggi terhadap cahaya, dan mata kering.
Apabila tidak ditangani lebih lanjut, maka dapat berakibat pada kebutaan.
Saat anak tidak cukup mendapatkan beragam diet berupa buah, sayur, atau makanan
sumber hewani yang mengandung mikronutrien dalam jumlah besar, kekurangan zat gizi
tidak bisa dielakkan lagi.

Sumber artikel:
https://lifestyle.kompas.com/read/2010/03/29/08091625/Kurang.Iodium..IQ.Anak.Jongko
k.?page=all
https://id.theasianparent.com/dampak-kurang-vitamin-a
3. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masalah gizi pada hakekatnya adalah masalah kesehatan masyarakat, namun
penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan
kesehatan saja. Penyebab timbulnya masalah gizi adalah multifaktor, oleh karena itu
pendekatan penanggulangannya melibatkan berbagai sektor yang terkait. Masalah
gizi di Indonesia dan di negara berkembang masih didominasi oleh masalah kurang
energi protein (KEP), anemia besi, gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY),
kurang vitamin A (KVA) dan obesitas terutama di kota-kota besar yang perlu
ditanggulangi. Disamping masalah tersebut, ada masalah gizi mikro lainnya seperti
defisiensi zink yang sampai saat ini belum terungkapkan, karena adanya keterbatasan
iptek gizi. Secara umum masalah gizi di Indonesia, terutama KEP masih lebih tinggi
dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya (Supariasa, 2002).
Kekurangan energi protein (KEP) adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan
oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan seharihari sehingga
tidak memenuhi angka kecukupan gizi. Orang yang mengidap gejala klinis KEP
ringan dan sedang pada pemeriksaan hanya nampak kurus. Gejala klinis KEP berat
secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga, adalah marasmus, kwashiorkor, dan
marasmik kwashiorkor. Kwashiorkor disebabkan karena kurang protein. Marasmus
disebabkan kurang energi dan marasmik kwashiorkor disebabkan karena kurang
energi dan protein (Supariasa, 2002).
Berdasarkan data Depkes RI (2004), pada tahun 2003 terdapat sekitar 5 juta anak
(27,5%) kurang gizi, 3,5 juta anak (19,2%) dalam tingkat gizi kurang, dan 1,5 juta
anak gizi buruk (8,3%). WHO (1999), mengelompokkan wilayah berdasarkan
prevalensi gizi kurang ke dalam 4 kelompok adalah : rendah (di bawah 10%), sedang
(10-19%), tinggi (20-29%), sangat tinggi (30%). Gizi buruk merupakan kondisi
kurang gizi yang disebabkan rendahnya konsumsi energi dan protein (KEP) dalam
makanan sehari-hari (Palupi, 2008).
Di Indonesia, prevalensi balita gizi kurang (underweight) secara nasional
memberikan gambaran yang fluktuatif dari 18,4 % pada tahun 2007 menurun menjadi
17,9 % pada tahun 2010 kemudian meningkat lagi menjadi 19,6 % pada tahun 2013.
Sementara itu, prevalensi balita pendek (stunting) secara nasional pada tahun 2013
adalah 37,2% yang menunjukkan peningkatan dari 35,6% pada tahun 2010 dan 36,8%
pada tahun 2007. Prevalensi balita kurus (wasting) secara nasional pada tahun 2013
adalah sebesar 12,1%, angka ini menurun dari 13,3% pada tahun 2010 (Riskesdas,
2013).
Anemia defisiensi besi merupakan masalah umum dan luas dalam bidang
gangguan gizi di dunia. Kekurangan zat besi bukan satu-satunya penyebab anemia.
Secara umum penyebab anemia yang terjadi di masyarakat adalah kekurangan zat
besi. Prevalensi anemia defisiensi besi masih tergolong tinggi sekitar dua miliar atau
30% lebih dari populasi manusia di dunia. Prevalensi ini terdiri dari anak-anak,
wanita menyusui, wanita usia subur, dan wanita hamil di negara-negara berkembang
termasuk Indonesia (WHO, 2011). Anemia merupakan salah satu masalah gizi utama
di Indonesia khususnya anemia defisiensi besi, yang cukup menonjol pada anak-anak
sekolah khususnya remaja (Bakta, 2006). Prevalensi yang mengalami anemia di
Indonesia yaitu 21,7 %, laki-laki 18,4% dan perempuan lebih tinggi yaitu 23,9%.
Proporsi anemia menurut usia 15-24 tahun yaitu 18,4% (Riskesdas, 2013).
Masalah GAKY merupakan masalah yang sangat serius karena dampaknya secara
langsung ataupun tidak langsung dapat mempengaruhi kelangsungan hidup dan
kualitas sumber daya manusia. Dampak GAKY terhadap siklus hidup manusia
dimulai sejak dalam kandungan, bayi, anak sekolah, remaja dan orang dewasa.
Dampak serius GAKY menyebabkan gangguan perkembangan kecerdasan,
menurunkan produktivitas, kegagalan ekonomi, menurunkan daya tahan,
meningkatkan kesakitan dan kematian (Depkes RI, 2004).
Data WHO (2005), menyatakan ada 130 negara di dunia mengalami masalah
GAKY, sebanyak 48 % tinggal di Afrika, sedangkan di Asia Tenggara terdapat 41%
dan sisanya di Eropa dan Pasifik Barat. Pemetaan GAKY pada anak sekolah yang
dilakukan melalui survey nasional GAKY oleh Departemen Kesehatan menunjukkan
angka TGR di Indonesia mencapai 11,1% (Depkes RI, 2004).
Kekurangan Vitamin A (KVA) masih menjadi masalah gizi di Indonesia.
Kekurangan Vitamin A (KVA) ini adalah kondisi kurangnya asupan zat gizi makro
yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi vitamin A dalam makanan sehari-hari
(Supariasa, 2001). Berdasarkan Rencana Kerja Pembinaan Gizi Masyarakat, 2013
yaitu Prevalensi KVA sub klinis mengalami penurunan secara signifikan yaitu dari
14,6% pada tahun 2007 menjadi 0,8% pada tahun 2011. Penurunan ini masih berada
di atas ketetapan WHO yaitu tidak lebih dari 0,5% sehingga KVA dapat dianggap
sebagai masalah kesehatan masyarakat (Ridwan, 2013).
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk membahas keempat
masalah gizi yang akan dibahas dalam laporan student center learning.
B. Tujuan SCL

1. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami definisi KEP, ADB, GAKY,


KVA
2. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami etiologi KEP, ADB, GAKY,
KVA
3. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami patofisiologi KEP, ADB,
GAKY, KVA
4. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami gejala KEP, ADB, GAKY, KVA
5. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami faktor risiko KEP, ADB,
GAKY, KVA
6. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami dampak yang ditimbulkan dari
KEP, ADB, GAKY, KVA
7. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami pencegahan dan
penanggulangan KEP, ADB, GAKY, KVA
4. HASIL BELAJAR
A. Kata Sulit
Scenario 1 :
 Emerging
 Disparitas
 Defisiensi
 Oksigenasi
 Impuls

Scenario 2 :

 Eksim
 Asupan
 Nutrisi
 Vitamin
 Mikronutrien
 Zat gizi
 Zat gizi essensial
 Sel neuron
 Iodium
 Kelenjar tiroid
B. Kata Kunci
Scenario 1 :
1. Kurang Energi Protein (KEP)
2. Anemia Defisiensi Besi (ADB)

Scenario 2 :

1. Kekurangan Vitamin A (KVA)


2. Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI)
C. Mind Mapping
 Mind Mapping Kurang Energi Protein (KEP)
 Mind Mapping Anemia Defisiensi Besi (ADB)
 Mind Mapping Kekurangan Vitamin A (KVA)
 Mind Mapping Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI)

D. Tujuan Belajar
1. Mengetahui penyakit KEP, ADB, GAKY, KVA
2. Mengetahui akar masalah terjadinya KEP, ADB, GAKY, KVA
3. Mengetahui dan mampu menjelaskan proses terjadinya masalah KEP, ADB,
GAKY, KVA berdasarkan determinan penyebabnya
4. Pohon Masalah
 Pohon MasalahKurang Energi Protein (KEP)
 Pohon Masalah Anemia Defisiensi Besi (ADB)
 Pohon Masalah Kekurangan Vitamin A (KVA)
 Pohon Masalah Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI)
5. Pembahasan
1. Kata kunci 1 : KEP
a. Definisi
KEP adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya
konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak mampu
memenuhi kebutuhan gizi makro (zat tenaga, zat pembangun dan lemak) yang
biasanya disertai kekurangan zat gizi mikro (Vitamin A, Besi, Seng, Vitamin B
dan sebagainya) sesuai dengan angka kecukupan gizi (AKG) (Dep.Kes RI, 2005).
Istilah KEP digunakan apabila berat badan anak kurang dari 80% indeks berat
badan menurut umur (BB/U) baku yang bila di ukur nilai z-scorenya terletak
dibawah-2 Standart Deviasi (SD) menurut rujukan World Health Organisation-
National Center For Health Statistic (WHO-NCHS) (Kepmenkes RI, 2002).
Kurang Energi Protein (KEP) adalah seseorang yang kurang gizi yang
disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-
hari dan atau gangguan penyakit tertentu. Pada umumnya KEP berasal dari
keluarga yang berpenghasilan rendah. Anak disebut KEP apabila berat badannya
kurang dari 80% indeks berat badannya menurut umur (BB/U) baku WHCS-
NCHS. KEP merupakan defisiensi gizi (energi dan protein) yang paling berat dan
meluas terutama pada balita. Manifestasi KEP dari diri penderitanya ditentukan
dengan mengukur status gizi anak atau orang yang menderita KEP (Kementerian
Kesehatan RI, 2011: 3).
b. Etiologi
Penyebab langsung dari KEP adalah defisiensi kalori mapun protein
dengan berbagai gejala-gejala. Sedangkan penyebab tidak langsung KEP sangat
banyak, sehingga penyakit ini sering disebut juga dengan kausa multifaktorial.
Salah satu penyebabnya adalah keterkaitan dengan waktu pemberian Air Susu Ibu
(ASI) dan makanan tambahan setelah disapih (Arisman, 2009: 35). Selain itu KEP
merupakan penyakit lingkungan, karena adanya beberapa faktor yang bersama-
sama berinteraksi menjadi penyebab timbulnya penyakit ini, antara lain yaitu
faktor diet, faktor sosial, kepadatan penduduk, infeksi, kemiskinan dan lain-lain.
Peran diet menurut konsep klasik terdiri dari dua konsep. Pertama yaitu diet yang
mengandung cukup energi, tetapi kurang protein akan menyebabkan anak menjadi
penderita kwashiorkor, sedangkan konsep yang kedua adalah diet kurang energi
walaupun zat gizi (esensial) seimbang akan menyebabkan marasmus. Peran faktor
sosial, seperti pantangan untuk menggunakan bahan makanan tertentu yang sudah
turun temurun dapat mempengaruhi terjadinya KEP. Ada pantangan yang
berdasarkan agama, tetapi ada juga pantangan yang berdasarkan tradisi yang
sudah turun temurun, tetapi apabila pantangan tersebut berdasarkan pada agama,
maka akan sulit untuk diatasi. Jika pantangan berdasarkan pada kebiasaan atau
tradisi, maka dengan pendidikan gizi yang baik dan dilakukan dengan terus-
menerus hal ini akan dapat diatasi (Saputra, 2009:2).
Jellife (1998) dalam (Arisman, 2009:36), menyatakan bahwa keadaan gizi
seseorang merupakan hasil interaksi dari semua aspek lingkungan termasuk
lingkungan fisik, biologik, dan faktor kebudayaan. Secara garis besar, faktor-
faktor yang menentukan keadaan gizi masyarakat, khususnya anak-anak adalah
tingkat pendidikan orang tua, keadaaan ekonomi, tersedianya cukup makanan
serta aspek-aspek kesehatan. Tiap-tiap faktor tersebut dapat berpengaruh pada
keadaan gizi masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung.
KEP pada dasarnya sangat ditentukan oleh dua faktor. Faktor-faktor yang secara
langsung dapat mempengaruhi terjadinya KEP pada balita adalah makanan dan
ada atau tidaknya penyakit infeksi. Kedua faktor ini dipengaruhi oleh kualitas dan
kuantitas makanan yang dimakan oleh seorang anak, antara lain ditentukan oleh
beberapa faktor penyebab yaitu: zat-zat gizi yang terkandung di dalam makanan,
daya beli keluarga (penghasilan, harga bahan makanan dan pengeluaran keluarga
untuk kebutuhan lain selain makanan), kepercayaan ibu tentang makanan serta
kesehatan, ada atau tidaknya pemeliharaan kesehatan kebersihan, dan fenomena
sosial dan keadaan lingkungan (Saputra, 2009:7).
Menurut Departemen Kesehatan RI dalam buku pedoman tata laksana
KEP pada anak di puskesmas dan di rumah tangga, KEP berdasarkan gejala klinis
ada tiga tipe yaitu KEP ringan, sedang, berat (gizi buruk). Untuk KEP ringan dan
sedang, gejala klinis yang ditemukan hanya anak tampak kurus. Gejala klinis KEP
berat atau secara garis besar dapat dibedakan sebagai marasmus, kwashiorkor, dan
marasmus-kwashiorkor. Salah satu penyebab terjadinya marasmus adalah
kehamilan berturut-turut dengan jarak kehamilan yang masih terlalu dini. Selain
itu marasmus juga disebabkan karena pemberian makanan tambahan yang tidak
terpelihara kebersihannya serta susu buatan yang terlalu encer dan jumlahnya
tidak mencukupi karena keterbatasan biaya, sehingga kandungan protein dan
kalori pada makanan anak menjadi rendah. Keadaan perumahan dan lingkungan
yang kurang sehat juga dapat menyebabkan penyajian yang kurang sehat dan
kurang bersih. Demikian juga dengan penyakit infeksi terutama saluran
pencernaan. Pada keadaan lingkungan yang kurang sehat, dapat terjadi infeksi
yang berulang sehingga menyebabkan anak kehilangan cairan tubuh dan zat-zat
gizi sehingga anak menjadi kurus serta turun berat badannya Khomsan (2003).
Kwashiorkor dapat ditentukan pada anak-anak yang setelah mendapatkan ASI
dalam jangka waktu lama, kemudian disapih dan langsung diberikan makanan
seperti anggota keluarga yang lain. Makanan yang diberikan pada umunya rendah
protein. Kebiasaan makan yang kurang baik dan diperkuat dengan adanya tabu
seperti anak-anak dilarang makan ikan dan memprioritaskan makan sumber
protein hewani bagi anggota keluarga laki-laki yang lebih tua dapat menyebabkan
terjadinya kwashiorkor. Selain itu tingkat pendidikan orang tua yang rendah dapat
juga mengakibatkan terjadinya kwashiorkor karena berhubungan dengan tingkat
pengetahuan ibu tentang gizi yang rendah (Depkes RI).
Gejala klinis KEP berat/ gizi buruk yang dapat ditemukan:
 Kwashiorkor
1) Adanya edema diseluruh tubuh terutama kaki, tangan atau anggota badan
lain
2) Wajah membulat dan sembab
3) Pandangan mata sayu
4) Rambut tipis, kemerahan seperti rambut jagung
5) Perubahan status mental: cengeng, rewel
6) Pembesaran hati
7) Otot mengecil
8) Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas
9) Diare
10) Anemia
 Marasmus
1) Tampak sangat kurus
2) Wajah seperti orang tua
3) Cengeng
4) Kulit keriput
5) Perut cekung
6) Tekanan darah, detak jantung dan pernafasan berkurang
 Marasmus- Kwashiorkor
1) Gambaran klinik merupakan campuran dari beberapa gejala klinik
kwashiorkor dan marasmus, disertai dengan edema yang tidak mencolok
(Saputra, 2009:8).
c. Patofisiologi
Adapun energi dan protein yang diperoleh dari makanan kurang, padahal
untuk kelangsungan hidup jaringan, tubuh memerlukan energy yang didapat,
dipengaruhi oleh makanan yang diberikan sehingga harus didapat dari tubuh
sendiri, sehingga cadangan protein digunakan juga untuk memenuhi kebutuhan
energi tersebut.
Kekurangan energi protein dalam makanan yang dikonsumsi akan
menimbulkan kekurangan berbagai asam amino essensial yang dibutuhkan untuk
sintesis, oleh karena dalam diet terdapat cukup karbohidrat, maka produksi insulin
akan meningkat dan sebagai asam amino di dalam serum yang jumlahnya sudah
kurang tersebut akan disalurkan ke otot.
Berkurangnya asam amino dalam serum merupakan penyebab kurangnya
pembentukan alkomin oleh heper, sehingga kemudian timbul edema perlemahan
hati terjadi karena gangguan pembentukan lipo protein beta sehingga transport
lemak dari hati ke hati dapat lemak juga terganggu dan akibatnya terjadi akumuasi
lemak dalam heper. (Ilmu kesehatan anak, 1998).
d. Klasifikasi
Klasifikasi kurang energi protein menurut Departement Kesehatan RI, 1999:
1) KEP ringan bila hasil penimbangan berat badan pada KMS pada pita warna
kuning.
2) KEP sedang bila hasil penimbangan berat badan pada KMS terletak di bawah
garis merah (BBM).
3) KEP berat / gizi buruk bila hasil penimbangan BB / 4 < 60% baku median WHO
– NCNS. Pada KMS tidak ada garis pemisah KEP berat / gizi buruk dan KEP
sedang, sehingga untuk menentukan KEP berat / gizi buruk digunakan table BB /
4 baku median WHO - NCNS.
e. Faktor-faktor yang berhubungan dengan KEP
1. Umur
Faktor umur sangat penting dalam penentuan status gizi. Kesalahan
penentuan umur akan meyebabkan kesalahan dalam interpretasi satatus gizi.
Hasil tinggi dan berat badan yang akurat akan menjadi tidak berarti bila tidak
disertai dengan penentuan umur yang tepat (Supariasa, 2002).
Dalam keadaan normal, dimana keadaan kesehatan baik dan
keseimbangan antara intake dan kebutuhan zat gizi terjamin, berat badan akan
berkembang mengikuti laju pertumbuhan umur. Sebaliknya dalam keadaan
abnormal, terdapat dua kemungkinan perkembangan berat badan, yaitu dapat
berkembang lebih cepat atau lebih lambat dari keadaan normal (Abunaim,
1990). Berdasarkan sifat-sifat inilah maka indeks BB/U digunakan sebagai
salah satu indikator status gizi (KEP) dank arena sifat BB yang labil, maka
indeks BB/U lebih menggambarkan status seseorang saat kini
(Reksodikusumo, 1989)
2. Jenis Kelamin
Jenis kelamin merupkan faktor gizi internal yang menentukan kebutuhan
gizi, sehingga pada gilirannya ada keterkaitan antara jenis kelamin dengan
keadaan gizi balita (Apriaji dalam Lismartina, 2000). Persentase balita laki-
laki yang berstatus gizi kurang/buruk sebesar 16.23%, sedangkan pada balita
perempuan sebesar 12,5%. (BPS, 1999). Sedangkan hasil SKRT tahun 2001
menunjukan balita yang berstatus gizi kurang dan buruk (Z-score <-2SD)
persentasenya relatif lebih tinggi pada anak laki-laki (32,0%) dibandingkan
dengan balita perempuan (29,8%) (Dep.Kes RI, 2002)
Hasil penelitian Astuti (2004) menunjukan presentasi balita laki-laki
berstatus gizi baik cenderung lebih tinggi di bandingkan balita perempuan
sejalan dengan hasil penelitian Leonita ( Tesis, 2007) walaupun perbedaan
status gizi anak laki-laki dan perempuan secara statistik tidak bermakna. Hal
yang berbeda di tunjukan oleh hasil penelitian Sihadi (1998), dimana
prevalensi gizi kurang/buruk lebih banyak terdapat pada perempuan yaitu
sebesar 58,1% dibandingkan laki-laki yaitu sebesar 41,9%.
3. Asupan Makanan
Penilaian mengenai asupan makanan dan zat gizi sangat penting dalam
penelitian gizi. Data menegnai kecukupan makanan dan menyediakan
informasi jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi oleh individu untuk
mengetahui jumlah zat gizi yang dikonsumsi. Metode penilaian yang umum
dilakukan adalah : dietary reccal, food frequency, dietary history, weighed
food record (Gibson, 2005; wolper, 1995).
Penelitian yang dilakukan di kabupaten Padang Pariaman menunjukan
bahwa ada hubungan yang bermakna antara konsumsi energi dan protein
dengan status gizi balita. balita dengan konsumsi energi kurang mempunyai
risiko untuk KEP sebesar 3,92 kali dibanding balita yang konsumsi energinya
cukup. Sedangkan balita dengan konsumsi protein yang kurang mempunyai
risiko 2,07 kali untuk menderita KEP dibandingkan balita yang konsumsi
proteinnya cukup (Amos, 1999). Hal berbeda di tunjukan oleh hasil penelitian
Leonita (Tesis, 2007), tidak ada hubungan yang bermakna antara kejadian
KEP pada balita dengan jumlah makanan yang dikonsumsi balita.
4. Penyakit Infeksi
Hubungan antara KEP dengan penyakit infeksi dapat dijelaskan melalui
mekanisme pertahanan tubuh yaitu pada balita yang KEP terjadi kekurangan
masukan energi dan protein dalam tubuh sehingga kemampuan tubuh untuk
membentuk protein baru berkurang. Hal ini kemudian menyebabkan
pembentukan kekebalan tubuh seluler terganggu, sehingga tubuh menderita
rawan serangan infeksi (Jeliffe,1989).
Dari studi yang dilakukan di Peru, bahwa kejadian diare pada balita
terutama dalam 6 bulan pertama berhubungan erat dengan tinggi tubuh balita
(Checkly et al, 2003). Anak yang pernah mengalami kegagalan pertumbuhan
karena kurang gizi dan kemudian terus hidup dengan asupan makanan yang
tidak cukup memiliki kemungkinan kecil untuk kejar tumbuh (catch-up
growth) (Pipes et al, 1993). Hasil penelitian yang dilakukan di Jakarta Timur
menunjukan tidak adanya hubungan yang bermakna antara anak yang
menderita infeksi dengan status KEP. Berbeda dengan hasil penelitian di
wilayah miskin Jakarta dan Banggai, penyakit infeksi merupakan salah satu
faktor yang berhubungan dengan status gizi pada balita menurut indeks
BB/TB. Selain itu di Alor-Rote penyakit infeksi behubungan dengan status
gizi balita menurut indeks TB/U (Bardosono, 2003)
5. Pendidikan Orang Tua
Tingkat pendidikan merupakan faktor yang juga dapat mempengaruhi
kualitas dan kuantitas makanan, karena dengan tingkat pendidikan yang lebih
tinggi, diharapkan pengetahuan/informasi yang dimilki tentang gizi menjadi
lebih baik (Berg, 1986).
Selain itu rendahnya rendahnya pendidikan ibu dapat menyebabkan
rendahnya pemahaman ibu terhadap apa yang dibutuhkan demi
perkembangan optimal anak (Mutmainah, 1996). Penelitian Sukmadewi
(2003), menyatakan proporsi balita gizi buruk lebih tinggi terjadi pada ibu
dengan pendidikan ≤ 9 tahun. Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan Alibbriwin (2001) yang mendapatkan hubungan yang bermakna
antara pendidikan ibu dengan status KEP pada balita. menurutnya ibu
dengan pendidikan ≤ SMP berpeluang lebih tinggi terhadap terjadinya balita
KEP dibandingkan ibu dengan pendidikan > SMP, sejalan juga dengan
penelitian yang dilakukan Leonita (Tesis, 2007) yang menunjukan balita
dengan ibu yang memiliki pendidikan ≤ SMP mempunyai peluang 1.51 kali
lebih besar menderita KEP dibandingkan dengan balita yang ibunya
berpendidikan lulus SMP atau lebih. Hal berbeda ditemukan pada penelitian
yang dilakukan Onylinda (2000) yang menunjukan bahwa tingkat pendidikan
ibu tidak mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian KEP pada
balita.
6. Pekerjaan Ayah
Pekerjaan orang tua sangat berpengaruh besar pada keadaan perekonomian
keluarga sehingga dapat melangsungkan perawatan pada anak mereka dengan
baik. Tingkat pekerjaan orang tua pun sangat dipengaruhi oleh keadaan
bangsa Indonesia yang sudah beberapa tahun ini mengalarni gejolak pada
perekonomian (Puslitbang, 2005).
Hasil penelitian Alibbriwin (2001) menemukan hubungan yang bermakna
antara pekerjaan ayah dan status gizi balita dan menyatakan pekerjaan ayah
sebagai buruh memiliki resiko lebih besar mempunyai balita KEP dibanding
dengan balita yang ayahnya bekerja sebagai wiraswasta. Pekerjaan ayah
sangat mempengaruhi pendapatan keluarga yang pada akhirnya akan
menyebabkan kurangnya konsumsi makanan keluarga. Hal ini sesuai dengan
tabulasi silang antara pekerjaan ayah dengan pendapatan keluarga yang
menemukan bahwa ayah yang bekerja bukan sebagai buruh memiliki
penghasilan yang tinggi (86,9%) dibandingkan dengan ayah yang bekerja
sebagai buruh (68,8%).
7. Penghasilan Keluarga
Di Indonesia masih banyak penduduk yang hidup dibawah garis
kemiskinan. Kemiskinan tidak hanya menjadi akar masalah sosial dan
ekonomi bahkan menjadi akar masalah kesehatan gizi. Tingkat pengeluaran
dapat dianggap sebagai proxy pendapatan keluarga. Proporsi pengeluaran
untuk makan terhadap total pengeluaran dapat digunakan sebagai petunjuk
kemiskinan karena kebutuhan dasar tidak hanya makan (Mulyati, 2002).
Analisis terhadap data susenas tahun 1992 oleh Soekirman (1994),
mengungkapkan adanya keterkaitan yang erat antara status gizi balita dengan
pendapatan keluarga. Makin rendah pendapatan keluarga maka semakin
besar peluang keluarga tersebut mempunyai balita yang berstatus KEP.
Soekirman (1991) menyatakan bahwa pendapatan riil suatu rumah tangga
merupakan salah satu faktor yang menentukan konsumsi makanan keluarga.
Di samping itu konsumsi makanan keluarga sangat dipengaruhi oleh harga
pangan dan bukan pangan. Orang tua yang berpenghasilan rendah cenderung
memiliki anak kurang gizi dan tidak sehat (Mutmainah, 1996). Hal ini di
dukung oleh Sihadi (1999) yang menyatakan bahwa ada kaitan antara keadaan
gizi balita dengan status ekonomi rumah tangga. Dikatakan bahwa rata-rata
persen BB/U pada kelompok ekonomi rendah selalu lebih rendah daripada
kelompok ekonomi tinggi tinggi, situasi ini akan diperburuk lagi pada
golongan masyarakat dengan jumlah anggota keluarga yang besar.
8. Ketersediaan Pangan
Penyebab tidak langsung KEP pada balita adalah ketersediaan pangan di
tingkat keluarga yang tidak mencukupi, pola konsumsi yang kurang baik.
Untuk mengatasi kejadian KEP pada balita deperlukan berbagai upaya antara
lain dilakukan secara lintas sektor dan lintas program yaitu peningkatan
pendapatan, pemanfaatan pekarangan keluarga, peningkatan perilaku hidup
bersih dan sehat (PHBS), peningkatan ketahanan dan keamanan pangan,
penyuluhan gizi dan kesehatan (Dep.Kes RI, 1997).
Sejalan dengan penelitian Lismartina (2000) dan Indriyati (2006), yang
menemukan hubungan bermakna antara konsumsi energi dan kejadian KEP
pada balita. Penelitian Afrita (2000) menunjukan sebaliknya, kejadian KEP
pada balita lebih di pengaruhi oleh faktor lain seperti keturunan, penghasilan
orang tua dan penyakit infeksi.
9. Jumlah Anggota Keluarga
Jumlah anggota keluarga yang besar akan mempengaruhi distribusi
makanan terhadap anggota keluarga, terutama pada keluarga miskin yang
terbatas kemampuannya dalam penyediaan pangan. Hal ini berisiko terhadap
KEP. Suatu studi di Nigeria melaporkan bahwa insiden kwashiorkor
meninggi pada keluarga yang mempunyai anak tujuh atau lebih (Moesley
dalam Pudjiaji, 2000).
Memiliki anak lebih dari 4 akan meningkatkan resiko terhadap kesehatan
terhadap ibu dan bayi, sehingga dapat menimbulkan berbagai masalah seperti
ibu yang anemia, kekurangan gizi pada ibu dan anaknya (Soetjiningsih, 1995)
Rumah tangga yang mempunyai anggota keluarga besar berisiko mengalami
kelaparan 4 kali lebih besar dibandingkan dengan rumah tangga yang anggota
keluarganya kecil, dan berisko 5 kali lebih besar mengalami kurang gizi dari
keluarga yang mempunyai anggota keluarga kecil (Berg, 1986).
Jumlah anggota keluarga yang banyak akan memperburuk keadaan ini dan
akan menimbulkan banyak masalah kesehatan lainnya yang berhubungan
dengan ketidakcukupan pangan dan gizi (Suharjo, 1996). Jumlah anggota
keluarga akan mempengaruhi tingkat konsumsi makanan dalam hal jumlah
dan distribusi makanan terhadap anggota keluarga, sehingga beresiko terhadap
kejadian KEP. Hal ini di dukung oleh penelitian Yusril (2002) dan Indriyati
(2006), yang menyatakan bahwa adanya kecenderungan semakin bertambah
anggota keluarga maka semakin menurun status gizi balita dalam keluarga
tersebut.
f. Dampak
Banyak dampak merugikan yang diakibatkan oleh KEP, antara lain yaitu
merosotnya mutu kehidupan, terganggunya pertumbuhan, gangguan
perkembangan mental anak, serta merupakan salah satu penyebab dari angka
kematian yang tinggi (Sihadi, 2000). Anak yang menderita KEP apabila tidak
segera ditangani sangat berisiko tinggi, dan dapat berakhir dengan kematian anak.
Hal ini akan menyebabkan meningkatnya kematian bayi yang merupakan salah
satu indikator derajat kesehatan (Latinulu, 2000).
Menurut Jalal (1998) dikatakan bahwa dampak serius dari kekurangan gizi
adalah timbulnya kecacatan, tingginya angka kecacatan dan terjadinya percepatan
kematian. Dilaporkan bahwa lebih dari separuh kematian anak di negara
berkembang disebabkan oleh KEP. Anak-anak balita yang menderita KEP ringan
mempunyai resiko kematian dua kali lebih tinggi dibandingkan anak normal. Hal
ini didukung oleh Sihadi (1999) yang menyatakan bahwa kekurangan gizi
diantaranya dapat menyebabkan merosotnya mutu kehidupan, terganggunya
pertumbuhan, gangguan perkembangan mental anak, serta merupakan salah satu
sebab dari angka kematian yang tinggi pada anak-anak.
Hubungan antara KEP dengan penyakit infeksi dapat dijelaskan melalui
mekanisme pertahanan tubuh yaitu pada balita yang KEP terjadi kekurangan
masukan energi dan protein ke dalam tubuh sehingga kemapuan tubuh untuk
membentuk protein baru berkurang. Hal ini kemudian menyebabkan
pembentukan kekebalan tubuh seluler terganggu, sehingga tubuh menderita rawan
serangan infeksi (Jeliffe, 1989).
KEP menimbulkan efek pada perkembangan mental dan fungsi
intelegensia (Jalal dan Atmaja, 1998). Hal ini didukung oleh penelitian Husaini
(1997) yang menyatakan bahwa keadaan kurang gizi pada waktu dalam
kandungan dan masa bayi akan menyebabkan perkembangan intelektual rendah.
Fakta menunjukkan bahwa bayi KEP berat mempunyai ukuran besar otak 15-20%
lebih kecil dibandingkan dengan bayi normal. Apabila terjadi kurang gizi sejak
dalam kandungan, maka defisit volume otak bisa mencapai 50%. Hasil penelitian
Azwar (2001) menemukan bahwa pada anak sekolah yang mempunyai riwayat
gizi buruk pada masa balita, IQ-nya lebih rendah sekitar 13-15 poin dibandingkan
dengan yang normal.
g. Pencegahan
Cara pencegahan yang terbaik yaitu dengan melakukan penimbangan
balita.Menimbang begitu pentingnya menjaga kondisi gizi balita untuk
pertumbuhan dankecerdasannya, maka sudah seharusnya para orang tua
memperhatikan hal-hal yang dapatmencegah terjadinya kondisi gizi buruk pada
anak.Berikut beberapa cara untuk mencegah terjadinya gizi buruk pada anak:
1. Memberikan ASI eksklusif (hanya ASI) sampai anak berumur 6 bulan.
2. Anak diberikan makanan yang bervariasi, seimbang antara kandungan
protein, lemak,vitamin dan mineralnya.
3. Rajin menimbang dan mengukur tinggi anak dengan mengikuti program
Posyandu.
4. Pemberian Informasi mengenai penanggulangan gizi buruk (Jafar, Nurhaedar.
2004).
h. Penanggulangan
Penanggulangan KEP Penanggulangan KEP diprioritaskan daerah
tertinggal/miskin baik dipedesaan/perkotaan. Kegiatan ini pelaksanaannya
diintegrasikan kedalam program penanggulangan kemiskinan secara nasional.
Kegiatan penanggulangani KEP meliputi:
1. Pemantapan UPGK dengan: meningkatkan upaya pemantauan
pertumbuhandan perkembangan balita melalui kelompok dan dasa wisma.
2. Penanganan khusus KEP berat secara lintas program dan lintas sektoral.
3. Pengembangan sistem rujukan pelayanan gizi di Posyandu dalam rehabilitasi
gizi terutama di daerah miskin.
4. Peningkatan gerakan sadar pangan dan gizi melalui KIE yang
berkesinambungan.
5. Peningkatan pemberian ASI secara eksklusif.
6. Penanggulangan KEK (Kurang Energi Kronik) pada ibu hamil didasarkan
hasil penilaian dengan alat ukur LILA (Lingkar Lengan Atas) ( Evawany,
2010 ).
2. Kata kunci 2 : Anemia Defisiensi Besi
a. Definisi
Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin (Hb) dalam darah
kurang dari normal. Sedangkan Anemia defisiensi besi adalah anemia yang
timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena
cadangan besi kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya
mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang. Menurut Evatt dalam
penelitian Masrizal (2007), Anemia Defisiensi besi adalah anemia yang
disebabkan oleh berkurangnya cadangan besi tubuh. Keadaan ini ditandai
dengan menurunnya saturasi transferin, berkurangnya kadar feritin serum atau
hemosiderin sumsum tulang. Secara morfologis keadaan ini diklasifikasikan
sebagai anemia mikrositik hipokrom disertai penurunan kuantitatif
pada sintesis hemoglobin.
Menurut WHO seseorang dikatakan anemia bila :
 Laki-laki dewasa memiliki kadar haemoglobin < 13 g/dl
 Wanita dewasa tak hamil memiliki kadar haemoglobin < 12 g/dl
 Wanita hamil memiliki kadar haemoglobin < 11g/dl
 Anak umur 6-14 tahun memiliki kadar haemoglobin < 12g/dl dan
untuk
 Anak umur 6 bulan – 6 tahun memiliki kadar haemoglobin < 11g/dl.
Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang paling sering dijumpai,
terutama di negara-negara tropik atau negara dunia ketiga. Anemia ini
mengenai lebih dari sepertiga penduduk dunia yang memberikan dampak
kesehatan yang sangat merugikan serta dampak sosial yang cukup serius.

b. Epidemiologi ADB
Prevalensi ADB tinggi pada bayi, hal yang sama juga dijumpai pada anak
usia sekolah dan anak praremaja. Angka kejadian ADB pada anak usia
sekolah (5-8 tahun) di kota sekitar 5,5%, anak perempuan 2,6% dan gadis
remaja yang hamil 26%. Di Amerika serikat sekitar 6% anak berusia 1 – 2
tahun diketahui kekurangan besi, 3 % menderita anemia. Lebih kurang 9%
gadis remaja di Amerika serikat kekurangan besi dan 2% menderita anemia,
sedangkan pada anak laki-laki sekitar 50% cadangan besinya berkurang saat
pubertas. Prevalensi ADB lebih tinggi pada anak kulit hitam dibanding kulit
putih. Keadaan ini mungkin berhubungan dengan status sosial ekonomi anak
kulit hitam yang lebih rendah.
Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan di indonesia prevalensi
ADB pada anak balita sekitar 25-35%. Dari hasil SKRT tahun 1992 prevalensi
ADB pada anak balita di indonesia adalah 55,5%. Hasil survai rumah tangga
tahun 1995 ditemukan 40,5% anak balita dan 47,2% anak usia sekolah
menderita ADB.

c. Etiologi
1. Rendahnya asupan zat besi
Rendahnya asupan zat besi sering terjadi pada orang-orang yang
mengkonsumsi bahan makananan yang kurang beragam dengan menu
makanan yang terdiri dari nasi, kacang-kacangan dan sedikit daging,
unggas, ikan yang merupakan sumber zat besi. Gangguan defisiensi besi
sering terjadi karena susunan makanan yang salah baik jumlah maupun
kualitasnya yang disebabkan oleh kurangnya penyediaan pangan,
distribusi makanan yang kurang baik, kebiasaan makan yang salah,
kemiskinan dan ketidaktahuan.
2. Kurangnya zat besi yang diserap
Mengonsumsi makanan yang kaya zat besi tidaklah menjamin
ketersediaan zat besi dalam tubuh terpenuhi secara maksimal karena
banyaknya zat besi yang diserap sangat tergantung dari jenis zat besi dan
bahan makanan yang dikonsumsi karna dapat menghambat dan
meningkatkan penyerapan besi. Seorang bayi pada 1 tahun pertama
kehidupannya membutuhkan makanan yang banyak mengandung besi.
Bayi cukup bulan akan menyerap lebih kurang 200 mg besi selama 1
tahun pertama (0,5 mg/hari) yang terutama digunakan untuk
pertumbuhannya. Bayi yang mendapat ASI eksklusif jarang menderita
kekurangan besi pada 6 bulan pertama. Hal ini disebabkan besi yang
terkandung dalam ASI lebih mudah diserap dibandingkan susu yang
terkandung susu formula. Diperkirakan sekitar 40% besi dalam ASI
diabsropsi bayi, sedangkan dari PASI hanya 10% besi yang dapat
diabsropsi.
3. Kebutuhan zat besi yang meningkat
Kebutuhan akan zat besi akan meningkat pada masa pertumbuhan seperti
pada bayi, anak-anak, remaja, kehamilan dan menyusui. Pada masa
pertumbuhan yaitu pada umur 1 tahun pertama dan masa remaja
kebutuhan besi akan meningkat, sehingga pada periode ini insiden ADB
meningkat. Pada bayi umur 1 tahun, berat badannya meningkat 3 kali dan
massa hemoglobin dalam sirkulasi mencapai 2 kali lipat dibanding saat
lahir. Bayi prematur dengan pertumbuhan sangat cepat, pada umur 1 tahun
berat badannya dapat mencapai 6 kali dan masa hemoglobin dalam
sirkulasi mencapai 3 kali dibanding saat lahir. Kebutuhan zat besi juga
meningkat pada kasus-kasus pendarahan kronis yang disebabkan oleh
parasit.
4. Pendarahan
Kehilangan darah akibat perdarahan merupakan penyebab penting
terjadinya ADB. Kehilangan darah akan mempengaruhi keseimbangan
status besi. Kehilangan darah 1 ml akan mengakibatkan kehilangan besi
0,5 mg, sehingga darah 3-4 ml/hari (1,5 – 2 mg) dapat mengakibatkan
keseimbangan negatif besi. Pendarahan dapat berupa perdarahan saluran
cerna, milk induced enteropathy, ulkus peptikum, karena obat-obatan
(asam asetil salisilat, kortikosteroid, indometasin, obat anti inflamasi non
steroid) dan infeksi cacing (Ancylostoma duodenale dan Necator
americanus) yang menyerang usus halus bagian proksimal dan menghisap
darah dari pembuluh darah submukosa usus.
5. Transfusi feto-maternal
Kebocoran darah yang kronis kedalam sirkulasi ibu akan menyebabkan
ADB pada akhir masa fetus dan pada awal masa neonatus.
6. Hemoglobinuria
Keadaan ini biasanya dijumpai pada anak yang memiliki katup jantung
buatan. Pada Paroxismal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH) kehilangan
besi melaui urin rata-rata 1,8 – 7,8 mg/hari.
7. Iatrogenic blood loss
Pada anak yang banyak bisa diambil darah vena untuk pemeriksaan
laboratorium berisiko untuk menderita ADB
8. Idiopathic pulmonary hemosiderosis
Penyakit ini jarang terjadi. Penyakit ini ditandai dengan perdarahan paru
yang hebat dan berulang serta adanya infiltrat pada paru yang hilang
timbul. Keadaan ini dapat menyebabkan kadar Hb menurun drastis hingga
1,5 – 3 g/dl dalam 24 jam.
d. Patofisiologi
Tahapan Defisiensi Besi :
1. Tahap pertama
Tahap ini disebut iron depletion atau store iron deficiency, ditandai
dengan berkurangnya cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi.
Hemoglobin dan fungsi protein besi lainnya masih normal. Pada keadaan
ini terjadi peningkatan absorpsi besi non heme. Feritin serum menurun
sedangkan pemeriksaan lain untuk mengetahui adanya kekurangan besi
masih normal.
2. Tahap kedua
Pada tingkat ini yang dikenal dengan istilah iron deficient erythropoietin
atau iron limited erythropoiesis didapatkan suplai besi yang tidak cukup
untuk menunjang eritropoisis. Dari hasil pemeriksaan laboratorium
diperoleh nilai besi serum menurun dan saturasi transferin menurun,
sedangkan TIBC meningkat dan free erythrocyte porphrin (FEP)
meningkat.
3. Tahap ketiga
Tahap inilah yang disebut sebagai iron deficiency anemia. Keadaan ini
terjadi bila besi yang menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup sehingga
menyebabkan penurunan kadar Hb. Dari gambaran tepi darah didapatkan
mikrositosis dan hipokromik yang progesif. Pada tahap ini telah terjadi
perubahan epitel terutama pada ADB yang lebih lanjut.
1.1. Table kekurangan zat besi

Haemoglobin Tahap 1 Tahap 2 (terjadi Tahap 3 (menurun


(Normal) sedikit penurunan) secara jelas)
Cadangan besi  100 0 0
Fe serum Normal < 60 < 40
TIBC (Total Iron 360 – 390 >390 >410
Binding Capacity)
Saturasi transferin 20 – 30 < 15 < 10
Ferritin serum (Fe) <20 < 12 < 12
Sideroblas 40 – 60 < 10 < 10
FEP (Free >30 >100 >200
Erythrocyte
Porphyrin)
MCV (volume sel Normal Normal Menurun
darah merah)

e. Factor resiko
Faktor-faktor penyebab anemia gizi besi adalah status gizi yang
dipengaruhi oleh pola makanan, social ekonomi keluarga, lingkungan dan
status kesehatan. Khumaidi dalam penelitian Masrizal (2007) mengemukakan
bahwa factor-faktor yang melatarbelakangi tingginya prevalensi anemia gizi
besi di negara berkembang adalah keadaan sosial ekonomi rendah meliputi
Pendidikan orang tua dan penghasilan yang rendah serta kesehatan pribadi di
lingkungan yang buruk. Meskipun anemia disebabkan oleh berbagai faktor,
namun lebih dari 50 % kasus anemia yang terbanyak diseluruh dunia secara
langsung disebabkan oleh kurangnya masukan zat gizi besi.
Selain itu penyebab anemia gizi besi dipengaruhi oleh kebutuhan tubuh
yang meningkat, akibat mengidap penyakit kronis dan kehilangan darah
karena menstruasi dan infeksi parasit (cacing). Di negara berkembang seperti
Indonesia penyakit kecacingan masih merupakan masalah yang besar untuk
kasus anemia gizi besi, karena diperkirakan cacing menghisap darah 2-100 cc
setiap harinya. Kekurangan zat besi dapat menimbulkan gangguan atau
hambatan pada pertumbuhan, baik sel tubuh maupun sel otak.
Kekurangan kadar Hb dalam darah dapat menimbulkan gejala lesu, lemah,
letih, lelah dan cepat lupa. Akibatnya dapat menurunkan prestasi belajar, olah
raga dan produktifitas kerja. Selain itu anemia gizi besi akan menurunkan
daya tahan tubuh dan mengakibatkan mudah terkena infeksi.

f. Gejala
1. Gejala umum anemia
Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia (anemic
syndrome) dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin
kurang dari 7-8 g/dl. Gejala ini berupa badan lemah, lesu, cepat lelah,
mata berkunang-kunang, serta telinga mendenging. Anemia bersifat
simptomatik jika hemoglobin < 7 gr/dl, maka gejala-gejala dan tanda-
tanda anemia akan jelas. Pada pemeriksaan fisik dijumpai pasien yang
pucat, terutama pada konjungtiva dan jaringan di bawah kuku.
2. Gejala penyakit dasar
Pada anemia defisiensi besi dapat dijumpai gejala-gejala penyakit yang
menjadi penyebab anemia defisiensi besi tersebut. Misalnya pada anemia
akibat cacing tambang dijumpai dispepsia, parotis membengkak, dan kulit
telpak tangan berwarna kuning seperti jerami. Pada anemia karena
pendarahan kronik akibat kanker kolon dijumpai gejala gangguan
kebiasaan buang besar atau gejala lain tergantung dari lokasi tersebut.
3. Gejala khas Anemia Defisiensi Besi
Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tetapi tidak dijumpai pada
anemia jenis lain adalah :
a. Koilonychia, yaitu kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh,
bergaris- garis vertikal dan menjadi cekung sehingga mirip sendok.
b. Atrofi papil lidah, yaitu permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap
karena papil lidah menghilang.
c. Stomatitis angularis (cheilosis), yaitu adanya keradangan pada sudut
mulut sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan.
g. Akibat Anemia Defisiensi Besi (ADB)
Akibat-kibat yang merugikan kesehatan pada individu yang menderita anemi
gizi besi adalah. :
1. Bagi bayi dan anak (0-9 tahun)
 Gangguan perkembangan motoric dan koordinasi.
 Gangguan perkembangan dan kemampuan belajar.
 Gangguan pada psikologis dan perilaku
2. Remaja (10-19 tahun)
 Gangguan kemampuan belajar
 Penurunan kemampuan bekerja dan aktivitas fisik
 Dampak negatif terhadap system pertahanan tubuh dalam melawan
penyakit infeksi
3. Orang dewasa pria dan wanita
 Penurunan kerja fisik dan pendapatan.
 Penurunan daya tahan terhadap keletihan
4. Wanita hamil
 Peningkatan angka kesakitan dan kematian ibu
 Meningkatan angka kesakitan dan kematian janin
 Peningkatan resiko janin dengan berat badan lahir rendah
h. Pencegahan
Upaya yang dilakukan dalam pencegahan Anemia adalah :
 Suplementasi tabet Fe
 Fortifikasi makanan dengan besi
 Mengubah kebiasaan pola makanan dengan menambahkan konsumsi
pangan yang memudahkan absorbsi besi seperti menambahkan vitamin
C.
 Penurunan kehilangan besi dengan pemberantasan cacing. Dalam
upaya mencegah dan menanggulangi anemia adalah dengan
mengkonsumsi tablet tambah darah. Telah terbukti dari berbagai
penelitian bahwa suplementasi, zat besi dapat meningkatkan kadar
Hemoglobin.
i. Penanggulangan
j. Pengobatan dan Pemantauan
 Terapi
a. Periksa kadar hemoglobin setiap 2 minggu
b. Kepatuhan orang tua dalam memberikan obat
c. Gejala sampingan pemberian zat besi yang bisa berupa gejala gangguan
gastrointestinal misalnya konstipasi, diare, rasa terbakar diulu hati, nyeri
abdomen dan mual. Gejala lain dapat berupa pewarnaan gigi yang bersifat
sementara.
 Tumbuh Kembang
a. Penimbangan berat badan setiap bulan
b. Perubahan tingkah laku
c. Daya konsentrasi dan kemampuan belajar pada anak usia sekolah
dengan konsultasi ke ahli psikologi
d. Aktifitas motoric
3. Kata kunci 3 : Kekurangan Vitamin A (KVA)
a. Definisi
KVA merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan rendahnya kadar
vitamin A dalam jaringan penyimpanan (hati) dan melemahnya kemampuan
adaptasi terhadap gelap dan sangat rendahnya konsumsi karotin dari vitamin A
(WHO,1976). Kekurangan vitamin A dapat terjadi pada semua umur akan tetapi
kekurangan yang disertai kelain pada mata umumnya terdapat pada anak berusia 6
bulan sampai 4 tahun (Sidarta, 2008).
Kekurangan vitamin A adalah suatu keadaan di mana simpanan vitamin A
dalam tubuh berkurang. Pada tahap awal ditandai dengan gejala rabun senja, atau
kurang dapat melihat pada malam hari. Gejala tersebut juga ditandai dengan
menurunnya kadar serum retinol dalam darah (kurang dari 20 µg/dl). Pada tahap
selanjutnya terjadi kelainan jaringan epitel dari organ tubuh seperti paru-paru,
usus, kulit dan mata. Gambaran yang khas dari kekurangan vitamin A dapat
langsung terlihat pada mata (Depkes RI, 2005).
b. Etiologi
Faktor penyebab dibagi atas 2 yaitu langsung dan tidak langsung.
Etiologi langsung :
1. Asupan vitamin A yang rendah pada anak
Etiologi tidak langsung :
1. Pendidikan kesehatan yang tidak memadai
2. Pengetahuan ibu tentang kesehatan gizi yang kurang
3. Produksi sumber makanan vitamin A yang masih rendah
4. Cara pola asuh orang tua yang salah
Penyebab utama kekurangan vitamin A adalah konsumsi makanan hewani
yang banyak mengandung retinol masih rendah. Minyak ikan, hati dan ginjal,
susu merupakan sumber vitamin A. Sedangkan sayur-sayuran yang berwarna
hijau dan buah-buahan berwarna kuning banyak mengandung beta karoten yang
merupakan provitamin A. Beta karoten yang berasal dari buah-buahan dan umbi
yang berwarna kuning, seperti ubi jalar merah lebih mudah diserap dibandingkan
dari sayur-sayuran. Vitamin A merupakan salah satu vitamin A yang larut dalam
lemak, konsumsi lemak yang rendah dapat menyebabkan vitamin A dalam
makanan susah untuk diserap. Konsumsi sayur-sayuran dengan cara ditumis dapat
meningkatkan absorbsi dari vitamin A yang terdapat pada sayur-sayuran. Air susu
ibu (ASI) merupakan sumber utama vitamin A pada bayi.
Gejala klinis KVA dari bayi yang mendapat ASI jarang ditemukan, namun
status vitamin A yang tidak baik pada ibu merupakan faktor risiko mulai
terjadinya KVA pada bayi. Pemberian makanan pendamping ASI (MP ASI) yang
tidak cukup atau cara pemberian makanan yang salah dapat menyebabkan
kekurangan vitamin A.
Penyebab tidak langsung dari kekurangan vitamin A berpengaruh terhadap
kejadian penyebab langsung. Contohnya produksi makanan vitamin A yang
rendah menyebabkan ketersediaan makanan tersebut juga rendah sehingga
konsumsi makanan sumber vitamin A menjadi rendah. Akar masalah dari
kekurangan vitamin A mempengaruhi penyebab langsung dan tidak langsung,
misalnya kemiskinan membuat keluarga tidak dapat membeli makanan sumber
vitamin A dan tidak dapat memproduksi makanan sumber vitamin A.
c. Epidemiologi Kekurangan Vitamin A
KVA pada anak balita dapat mengakibatkan risiko kematian sampai 20-
30%. Mortalitas anak balita yang buta karena keratomalasia dapat mencapai 50-
90%. Survei Nasional Xeropthalmia 1978 menemukan prevalensi X1b (bitot spot)
Universitas Sumatera Utara pada anak balita 1,34%, dan pada tahun 1992 turun
menjadi 0,35%. Angka tersebut masih di bawah kriteria yang ditetapkan WHO
sebagai masalah kesehatan masyarakat (0,5%). Survei tersebut juga menemukan
50,2% anak balita mempunyai kadar serum vitamin A < 20 μg/dl, lebih tinggi dari
batas ambang menurut IVACG sebesar 15%. Helen Keller International (HKI)
(1999) melaporkan kejadian buta senja pada wanita usia subur di Propinsi Jawa
Tengah sebesar 1-3,5%.
Sejak Survei Nasional Xeropthalmia tahun 1992 belum ada lagi data status
vitamin A berbasis masyarakat (population based) yang dapat digunakan sebagai
dasar acuan untuk perencanaan program gizi mikro, meskipun distribusi kapsul
vitamin A kepada anak balita sudah dimulai sejak tahun 1976 (Depkes RI, 2006).

d. Tanda dan Gejala KVA (Kekurangan Vitamin A)


 Buta senja ditandai dengan kesulitan melihat dalam cahaya remang
atau senja atau rabun malam
 Kulit tampak kering dan bersisik seperti ikan terutama pada tungkai
bawah bagian depan dan lengan atas bagian belakang. (Depkes RI,
2005).
 Pada keratinisasi didapatkan xerosis konjungtiva, bercak bitot, xerosis
kornea, tukak kornea (Sidarta, 2008).
 Kornea tampak lunak dan nekrotik pada keratomalasia dan kadang
juga terjadi perforasi (Vaughan dkk, 2008).
 Pada KVA yang lama dan berat dapat terjadi kekeringan pada
konjungtiva dan kornea.
 Sensitivitas tinggi terhadap cahaya.
 Tidak bisa melihat secara jelas.

e. Pengobatan
Secara umum, pengobatan KVA diarahkan pada upaya memperbaiki
status vitamin A. Vitamin A dosis tinggi harus diberikan segera setelah diagnosis
ditegakkan. Pilihan pertama adalah preparat oral.
Menurut Sidarta (2000), pemberian vitamin A akan memberikan
perbaikan nyata dalam 1-2 minggu, berupa:
 Mikrovili kornea akan timbul kembali sesudah 1-7 hari.
 Keratinisasi yang terjadi menghilang.
 Sel Goblet konjungtiva kembali normal dalam 2-4 minggu. Universitas
Sumatera Utara
 Tukak kornea memperlihatkan perbaikan, sehingga dapat direncanakan
keratoplasti.

Dianjurkan bila diagnosis defisiensi vitamin A dibuat maka diberikan


vitamin A 200.000 IU per oral dan pada hari pertama dan kedua. Adapun
pengobatan yang diberikan berupa suplemen atau kapsul dengan dosis tinggi yang
harus dikonsumsi setiap hari. Untuk anak balita usia 1 sampai 5 tahun diberikan
kapsul berdosis tinggi berwarna merah, sedangkan untuk bayi usia 6 sampai 11
blan diberikan kapsul berdosis tinggi berwarna biru.

Pemberian kapsul vitamin A terutama pada kasus gizi kurang pada balita
yang juga disertai gejala xerophtalmia. Xerophthalmia adalah kelainan mata
akibat kekurangan vitamin A, terutama pada balita dan sering ditemukan pada
penderita gizi buruk dan gizi kurang. Kelainan ini merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang telah dapat ditangani sejak tahun 2006 (studi gizi mikro di 10
provinsi), namun KVA pada balita dapat berakibat menurunnya daya tahan tubuh
sehingga dapat meningkatkan kesakitan dan kematian. Untuk itu suplementasi
vitamin A tetap harus diberikan pada balita 6-59 bulan, setiap 6 bulan, dianjurkan
pada bulan kampanye kapsul vitamin A yaitu pada bulan Februari dan Agustus.
Kapsul vitamin A juga harus didistribusikan pada balita di daerah endemik
campak dan diare.

f. Pencegahan
1) Orang tua harus mencari inovasi baru dalam mengganti makanan yang dibatasi
2) Orang tua tidak membatasi asupan makanan untuk anak,agar tidak kekurangan
nutrisi
3) Memberikan ASI ekslusif pada bayi samapai berumur 6 bulan dan ASI yang
disertai dengan pemberian makanan pendamping ASI yang cukup dan berkualitas
hingga umur 2 tahun
4) Konsumsi makanan dengan gizi seimbang dan kaya akan vitamin A dalam menu
makan sehari - hari seperti telur, ikan, keju, sayuran hijau, pepaya , mangga dan
juga wortel
5) Konsumsi kapsul vitamin A sesuai kebutuhan sasaran

g. Upaya penanggulangan
1) Meningkatkan konsumsi sumber vitamin A melalui penyuluhan
2) Menambahkan vitamin A pada bahan makanan yang dimakan oleh golongan
sasaran secara luas (fortifikasi)
3) Distribusi kapsul vitamin A dosis tinggi secara berkala (Depkes, 2000).
4. Kata kunci 4: GAKY (Gangguan Akibat Kekurangan Yodium)
a. Definisi
Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) merupakan suatu keadaan
kekurangan unsur yodium yang diperlukan untuk pembentukan hormon Tyroid dalam
tubuh. Spektrum seluruhnya terdiri dari gondok dalam berbagai stadium, kretin
endemik yang ditandai terutama oleh gangguan mental, gangguan pendengaran,
gangguan pertumbuhan pada anak dan orang dewasa. (Supariasa, 2002).
Adapun pengertian dari gondok, endemik dan kretin adalah :
1. Gondok
Gondok/goiter adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyatakan pembesaran
kelenjar thyroid (Djokomoeljanto, 1985).
2. Gondok Endemik
Gondok endemik bukan penyakit melainkan suatu istilah kesehatan dalam konsep
kesehatan masyarakat yaitu apabila dalam masyarakat terdapat prevalensi
gondok / atau penderita gondok di masyarakat itu lebih dari 10 % dari jumlah
penduduk setempat, maka daerah tersebut disebut daerah gondok endemik (Dir.
Bina Gizi Masyarakat, 1992).
3. Kretin Endemik Seseorang disebut kretin endemik apabila lahir di daerah gondok
endemik. Kelainan kretin terjadi pada waktu bayi dalam usia kandungan atau
tidak lama setelah dilahirkan dan terdiri atas kerusakan pada saraf pusat dan
hipotiroidisme.
Kelompok yang paling rentan terkena GAKY adalah Wanita Usia SAUBUR,
(WUS) yang jika hamil maka akan berdampak pada bayinya, ibu hamil, ibu
menyusui, dan anak anak. Untuk mengatasi GAKY dilakukan program Universal
Salt Lodization (USI) yang direkomendasikan oleh WHO dan UNICEF sejak
tahun 1993 dan telah diimplementasikan di indonesia.Gangguan tersebut dapat
berakibat pada rendahnya prestasi belajar anak usia sekolah. Sejumlah 20 juta
penduduk Indonesia yang menderita GAKY diperkirakan dapat kehilangan 140
juta angka kecerdasan atau IQ points (Tim GAKY Pusat, 2005).

Rekomendasi asupan yodium harian oleh UNICEF, ICCIDD dan


WHO
Kelompok Umur Rekomendasi asupan Yodium harian
Anak pra sekolah (0 – 59 bulan) 90 μg
Anak usia sekolah (6-12 tahun) 120 μg
Usia remaja (di a tas 12 tahun) dan dewasa 150 μg

Wanita hamil dan menyusui 250 μg

b. Etiologi
Kekurangan yodium merupakan penyebab utama gondok endemik dan terdapat
di daerah-daerah dimana tanahnya tidak mengandung banyak yodium, hingga produk
yang dihasilkannya juga miskin akan yodium. Kekurangan yodium menyebabkan
hiperplasia tiroid sebagai adaptasi terhadap kekurangan tersebut. Zat goitrogen seperti
yang ditemukan pada kubis dapat menyebabkan pembesaran kelenjar gondok, begitu
pula dengan beberapa bahan makanan lain misalnya kacang tanah, kacang kedele,
singkong, bawang merah, bawang putih.
c. Patofisiology
Pengaruh hormon tyroid terhadap perkembangan otak dibagi menjdi tahap, yaitu
tahap I: yaitu fase perkembangan otak sebelum kelenjar tyroid berproduksi, kurun
waktunya 10-12 minggu kehamilan
Tahap II: yaitu periode hormon tyroid janin mulai berproduksi sampai kelahiran.
Perkembangan fase ini berupa lanjutan proses migrasi dan deferensiasi neuron,
pembentukan neurit, perkembangan sinap dan awal dari proses mielogenesis.
Tahap III: adalah fase post natal yaitu perkembangan otak sampai pada poliferasi,
migrasi, dan deferensiasi neuron-neuron serebelum.
d. Faktor risiko
Faktor faktor yang dapat mencetuskan penyakit Tiroid adalah:
o Host
Goitrogen ( suatu zat kimia yang daoat mengganggu homogeness tyroid)
o Agent
1. Umur
umur diatas 60 tahun maka semakin berisiko terjadinya Hipotiroid dan Hipertirod
2. Jenis kelamin
Perempuan lebih berisiko terkena gangguan Tiroid
3. Genetik
Diantara banyak faktr penyebab autoimunitas terhadap kelenjar tiroid , genetik
dianggap faktor pencetus utama, seperti alergi yang turun temurun misalkan
4. Imunitas
o Environment
1. Tanah, pegunungan
2. Kadar iodium dalam air kurang
e. Tanda dan Gejala
- Kelelahan dan lemas
- Depresi
- Gangguan bicara
- Intelektual menurun
- Denyut jantung lambat
- Berat badan naik tanpa sebab
- Otot lelah dan sakit
- Kulit kasar dan kering
- Sulit konsentrasi
- Hypertyroid
- Kretinisme (kekerdilan) biasanya terjadi pada anak-anak
f. Penyebab
Penyebab langsung
- Akibat kekurangan Yodium
- Genetik
- Faktor bahan pangan goitrogenik
- Defisiensi protein
Penyebab tidak langsung
- Faktor geografis
- Faktor non-geografis
g. Dampak
Terdapat 2 dampak dari GAKY, yaitu:
- Dampak sosial: terjadinya gangguan perkembangan mental, lamban dalam
berfikir, sulit di didik dan di motivasi
- Dampak ekonomi: tubuh akan mengalami gangguan metabolisme sehingga tubuh
akan lemah, lesu yang berakibat rendahnya produktivitas kerja.
h. Pengobatan
Konsumsi obat hormon gondok (tablet thyrax, euthrox)
i. Pencegahan dan penanggulangan
Menurut dinas kesehatan propinsi jawa timur (2003: 41-44), upaya penanggulangan GAKY
dapat dikategorikan menjadi 3 macam:, yakni penanguulanganjangka pendek, jangka menengah,
dan jangka panjang:

a. Penanggulangan jangka pendek


Penangulangan jangka pendek dilakukan dengan suplementasi kapsul yodium dilakukan
sejak tahun 1992 sebagai pengganti suntikan yodium (lipidol). Sasaran yang menjadi
prioritas utama pemberian kapsul ini adalah wanita usia subur (15-49) tahun) termasuk
ibu hamil dan ibu menyusui, kemudian bayi dan anak anak remaja (anak usia sekolah)
sebagai prioritas kedua dan berikutnya adalah sasaran lain yakni anggota masyarakat lain
ysng tinggal di daerah kekurangan yodium (endemic).
b. Penanggulangan jangka menengah
Penanggulangan jangka memengah dilaukan dengan fortifikasi yodium ke dalam garam
konsumsi dan air minum tingkat rumah tangga. Suplementasi yodium melalui garam
beryodium suah dilakukan sejak tahun 1997, sedangkan iodisasi air minum masih dalam
tahap pengembangan. Penanggulangan GAKY dalam garam beryodium dianggap
diperlukan oleh semua orang sebagai penyedap masalakn dan harganya dapat dijangkau
oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan yodium sebesar 120 μg /hari dapat dipenuhi
dengan mengkonsumsi garam yng mengandung yodium 30-40 ppm setip hari. Garam
yang sudah difortifikasi dengan yodium yang cukup untuk kebutuhan tubuh, yaitu
mengandung kadar yodium 30-40 ppm an kandungan air dari sama dengan 5% disebut
sebagai garam sehat.
c. Penanggulangan jangka panjang
Penangulangan jangka panjang dilakukan antara lain dengan cara konversi tanah,
pengendalian pencemaran dan peningkatan konsumsi makanan yang mengandung
yodium.

6. Kesimpulan

Masalah gizi di Indonesia masih mengkhawatirkan. Di Indonesia, prevalensi balita gizi kurang
(underweight) secara nasional memberikan gambaran yang fluktuatif dari 18,4 % pada tahun 2007
menurun menjadi 17,9 % pada tahun 2010 kemudian meningkat lagi menjadi 19,6 % pada tahun 2013.
Penyebab timbulnya masalah gizi adalah multifaktor, oleh karena itu pendekatan penanggulangannya
melibatkan berbagai sektor yang terkait. Ada 5 pokok masalah besar gizi di Indonesia yaitu
KEP(kekurangan energi protein), ADB (anemia defisiensi besi), GAKI(gangguan asupan kekurangan
iodium), KVA(kekurangan vit. A), dan obesitas.

Kekurangan energi protein (KEP) adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi
energi dan protein dalam makanan seharihari sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi. Anemia
defisiensi besi merupakan masalah umum dan luas dalam bidang gangguan gizi di dunia. Kekurangan zat
besi bukan satu-satunya penyebab anemia. Secara umum penyebab anemia yang terjadi di masyarakat
adalah kekurangan zat besi. Prevalensi anemia defisiensi besi masih tergolong tinggi sekitar dua miliar
atau 30% lebih dari populasi manusia di dunia. Prevalensi ini terdiri dari anak-anak, wanita menyusui,
wanita usia subur, dan wanita hamil di negara-negara berkembang termasuk Indonesia (WHO, 2011).

GAKY adalah rangkaian efek kekurangan yodium pada tumbuh kembang manusia. Masalah GAKY


merupakan masalah yang sangat serius karena dampaknya secara langsung ataupun tidak langsung
dapat mempengaruhi kelangsungan hidup dan kualitas sumber daya manusia. Dampak GAKY terhadap
siklus hidup manusia dimulai sejak dalam kandungan, bayi, anak sekolah, remaja dan orang dewasa.
Kekurangan Vitamin A (KVA) adalah kondisi kurangnya asupan zat gizi makro yang disebabkan oleh
rendahnya konsumsi vitamin A dalam makanan sehari-hari (Supariasa, 2001).

DAFTAR PUSTAKA
Depkes R.I. 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013 [serial on line].
https://www.scribd.com/doc/103493594/Laporan-riskesdas-2013.
Arisman. 2009. Buku Ajar Ilmu Gizi Dari Gizi Dalam Daur Kehidupan.
Jakarta; Buku Kedokteran EGC.
Khomsan, A. 2003. Pangan dan Gizi Untuk Kesehatan. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Saputra, E.S. 2009. Kejadian KEP. Jakarta: FKM UI. [serial on line]. https://
https://artikelkesmas.blogspot.co.id/2014/09/makalah-kep-
kekuranganenergi protein.html.
Jafar, Nurhaedar. 2004. Kekurangan Energi Protein (KEP) Pada Balita.
Makasar:Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Hasanudin.
Aritonang, Evawany. 2010. Kurang Energi Protein (Protein Energy
Malnutrition). Sumatera Utara: Bagian Gizi Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
https://dokumen.tips/documents/cara-pencegahan-kep.html
Pratiwi, S. 2013. KEKURANGAN VITAMIN A (KVA) DAN INFEKSI. Jember.
Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Jember
Infodatin. 2015. Situasi dan Analisis Penyakit Tiroid. Pusat Data dan
Informasi Kemnkes RI
Pratama, Ridho. 2015. Makalah Gangguan Akibat Kekurangan GAKY.
https://www.academia.edu/9996806/MAKALAH_GANGGUAN_AKI
BAT_KEKURANGAN_YODIUM_GAKY_
Hwang, wan. 2016. Gangguan Akibat Kekurangan Gizi.
https://prezi.com/m/jfcuep5fumlz/gangguan-akibat-kekurangan-gizi-
gaki/

Anda mungkin juga menyukai