DAFTAR ISI........................................................................................................................i
DAFTAR GAMBAR...........................................................................................................iii
DAFTAR TABEL...............................................................................................................iv
STRATEGI OPERASI.......................................................................................................1
4. Rekonfigurasi Subsistem......................................................................................................8
8. MANAJEMEN ENERGI.......................................................................................................14
8.1. Tujuan........................................................................................................................14
Tujuan pengoperasian pada suatu system tenaga listrik adalah untuk mengatur operasi sistem
pembangkitan dan penyaluran secara rasional dan ekonomis dengan memperhatikan mutu dan
keandalan, sehingga penggunaan tenaga listrik dapat mencapai daya guna dan hasil guna
yang semaksimal mungkin. Terdapat tiga tujuan utama operasi sistem, yaitu:
Ekonomi
Optimasi pengoperasian tenaga listrik tanpa melanggar batasan keamanan dan mutu
Sekuriti
Mutu
TUJUAN OPERASI
EKONOMI
SEKURITI MUTU
Untuk mencapai ketiga tujuan operasi system (ekonomi, sekuriti, mutu), maka disusun strategi
operasi yang tertuang dalam rencana operasi dan didukung dengan pedoman pengoperasian
berupa prosedur kerja, serta dilaksanakan dalam pengendalian operasi real time.
Agar tujuan operasi dapat dipenuhi maka dilakukan identifikasi masalah yang berpotensi terjadi
selanjutnya disiapkan dan disusun solusi pemecahannya, yang dituangkan dalam rencana
operasi. Rencana operasi terdiri dari beberapa tahapan periode waktu yaitu tahunan (ROT),
bulanan (ROB), mingguan (ROM) dan harian (ROH).
Prosedur kerja disebut juga prosedur tetap dan disingkat Protap, atau dikenal dengan sebutan
SOP (Standing Operation Procedure). Yaitu suatu peraturan (ketentuan) tertulis yang berisi
prosedur kerja berupa ketentuan urutan langkah tahapan proses kerja untuk melaksanakan
manuver pada jaringan tenaga listrik dalam keadaan normal operasi untuk keperluan pekerjaan
atau keperluan manuver operasi, atau proses mangatasi gangguan. Prosedur ini akan
dipergunakan oleh dispatcher sebagai panduan untuk melaksanakan pengendalian operasi real
time.
Dalam mengendalikan operasi sistem Jawa Bali diperlukan beberapa jenis SOP (Prosedur),
antara lain Prosedur Komunikasi Sistem Jawa Bali, Pengujian Black Start Dan Line Charging,
Prosedur Pemulihan Sistem Jawa Bali, Prosedur Operasi GITET 500 kV, Prosedur Operasi
Energize, Prosedur The First Synchone dan lainnya.
Biaya bahan bakar merupakan biaya terbesar dari biaya pokok penyediaan tenaga listrik yaitu
sekitar 70%, maka untuk menekan biaya pokok tersebut usaha yang dilakukan adalah
menititik-beratkan pada pengaturan penggunaan bahan bakar energi primer secara efisien
tanpa melanggar batasan keamanan dan mutu.
Sebagai contoh pada sistem tenaga listrik Jawa Bali yang menggunakan 5 (lima) macam
bahan bakar energi primer untuk membangkitkan tenaga (energi) listrik, yaitu air (PLTA), panas
bumi (PLTP), gas alam (PLTU/GU), batubara (PLTU) dan minyak HSD/ MFO (PLTU/D/GU).
Dengan mengatur kesiapan seluruh unit pembangkit (Unit Commitment) beserta energi
primernya dan kemudian di-sinergikan dengan kesiapan sistem penyalurannya, maka
diterbitkanlah rencana operasi.
Metoda merit order diterapkan dalam optimasi biaya produksi tenaga listrik, pemahaman
sederhana merit order adalah suatu metoda dimana pembangkit dengan biaya yang paling
murah akan diprioritaskan untuk beroperasi dibandingkan dengan yang lebih mahal, sampai
kebutuhan seluruh konsumen tercukupi.
Kontrak dengan klausal take-or-pay, baik kontrak energi listrik (dengan PLTP) maupun
kontrak pembelian bahan bakar gas dari perusahaan pemasok gas. Take-or-pay berarti
terdapat pembayaran minimum yang harus dilakukan.
Kendala jaringan (bottle neck) juga mengakibatkan adanya pembangkit yang lebih
mahal harus beroperasi karena pembangkit yang murah tidak dapat menyalurkan
listriknya sampai di subsistem tersebut. Hal ini akibat kecilnya kapasitas transmisi,
sehingga terkendala.
Kendala pasokan batubara pada PLTU juga dapat menyebabkan pembangkit murah
tidak dapat dioperasikan maksimum secara terus menerus,
Kualitas batubara pada PLTU batubara yang tidak sesuai sehingga pembengkit sering
mengalami derating,
Drop tegangan, transfer energi/daya (MW) yang tinggi menyebabkan drop tegangan
karena daya reaktif tidak dapat ditransfer atau tingkat pembebanan transmisi telah
melampaui batas surge impedance loading, untuk mengatasi salah satunya dilakukan
start pembangkit BBM.
PLTA Waduk, apabila pada tahun periode operasi ternyata masuk dalam kategori
musim kering (dibawah prediksi) sehingga variasi musim naik atau kemampuan
produksi PLTA berkurang.
PLTA merupakan bahan bakar yang paling murah namun air tidak bisa/ mungkin dibeli, di SJB
potensi energi air per tahun sekitar 6 TWh dan PLTA selalu dioperasikan maksimal. Energi
primer termurah yang bisa dibeli adalah batubara, sehingga PLTU batubara selalu dioperasikan
maksimal (maksimum pada periode beban puncak siang dan malam).
Energi primer termurah yang bisa dibeli adalah batubara, sehingga PLTU batubara selalu
dioperasikan maksimal (maksimum pada periode beban puncak siang dan malam). Dalam 6
tahun terakhir penggunaan batubara dapat ditingkatkan sekitar 30 TWh (57,3 TWh pada 2007
dan 87,3 TWh pada tahun 2012). Sedangkan energi primer termahal adalah bahan bakar
minyak (BBM), maka penggunaan BBM diupayakan PLN terus dikurangi. Dalam 6 tahun
terakhir penggunaan BBM dapat diturunkan sekitar 14 TWh (21,9 TWh pada 2007 dan 7,7 TWh
pada tahun 2012).
Sementara itu penggunaan bahan bakar gas (BBG) dalam 6 tahun terakhir dapat ditingkatkan
sekitar 20 TWh (16,1 TWh pada 2007 dan 36,1 TWh pada tahun 2012). Sedangkan dalam 6
tahun terakhir penggunaan panas bumi meningkat sekitar 2 TWh (6,7 TWh pada 2007 dan 8,6
TWh pada tahun 2012).
Defenisi keandalan dalam sistem tenaga listrik adalah kemampuan sistem tenaga listrik untuk
menghadapi kejadian yang tidak direncanakan, tanpa mengakibatkan pemadaman. Dalam Grid
Code tercantum aturan operasi yang menyebutkan bahwa :
Penerapan Skema OLS bertujuan untuk menghindari pemadaman yang meluas pada
subsistem. Rekonfigurasi jaringan atau subsistem selalu direncanakan untuk mengatur aliran
daya sebagai upaya mengoptimalkan keseimbangan antara pasokan dan beban, selain itu juga
untuk mengatasi apabila breaking capacity PMT terpasang terlampaui, Bila terjadi
penyimpangan terhadap rencana yang dapat menimbulkan ancaman terhadap keandalan
maka dispatcher akan selalu mengambil langkah pengamanan.
Untuk mencapai tingkat sekuriti seperti tersebut diatas maka ditentukan beberapa skema
pengamanan sistem antara lain : OLS, OGS, strategi pengendalian frekuensi sistem Jawa Bali.
Grid Code dalam aturan operasi (OC 1.6) menyebutkan keadaan Operasi Sistem yang berhasil
/ memuaskan dalam keadaan baik apabila:
Frekuensi dalam batas operasi normal (50 ± 0,2 Hz),penyimpangan dalam waktu
singkat (50 ± 0,5 Hz),selama kondisi gangguan,boleh berada pada 47.5 Hz dan 52.0 Hz
Tegangan di Gardu Induk berada dalam batas yang ditetapkan dalam Aturan
Penyambungan (CC 2.0). Batas-batas menjamin bahwa tegangan berada dalam
kisaran yang ditetapkan sepanjang pengatur tegangan jaringan distribusi dan peralatan
pemasok daya reaktif bekerja dengan baik. Operasi pada batas-batas tegangan ini
diharapkan dapat membantu mencegah terjadinya voltage collapse dan masalah
stabilitas dinamik Sistem;
Tingkat pembebanan arus di semua peralatan jaringan transmisi dan gardu induk
(transformator dan switchgear) dalam batas rating normal untuk semua single
contingency gangguan peralatan
Konfigurasi Sistem sedemikian rupa sehingga semua PMT di jaringan transmisi mampu
memutus arus gangguan yang mungkin terjadi dan mengisolir peralatan yang terganggu
Siklus operasi sistem tenaga listrik seperti pada Gambar 2 yang meliputi :
Perencanaan jangka panjang meliputi RUKN, RUPTL, RKAP dan rencana jangka panjang
serta kebijakan pemerintah.
Pada dasarnya perencanaan jangka panjang merupakan perencanaan sistem tenaga listrik
yang bertugas untuk merencanakan infrastruktur, perencanaan energi, kebijakan energi dan
strategi jangka panjang.
Perencanaan jangka pendek masuk dalam perencanaan operasi yaitu mulai dari tahunan
sampai dengan perencanaan harian. Fungsi dari perencanaan operasi adalah merencanakan
operasi sistem meliputi rencana pembangkitan dan rencana penyaluran agar pada saat operasi
real time, pengendali operasi dapat mengendalikan sistem tenaga listrik dengan baik ditandai
dengan tercapainya tujuan operasi sistem tenaga listrik yang aman, ekonomis dan andal.
Operasi real time bertugas untuk mengoperasikan sistem tenaga listrik untuk mencapai tujuan
operasi STL. Hasil operasi dituangkan dalam laporan operasi (logsheet).
Isi laporan operasi meliputi : realisasi daya/energi, pemakaian bahan bakar, tegangan, aliran
daya, pelaksanaan manual load shedding dan lain lain
Fasilitas Operasi
Operasi Splitting adalah pemisahan suatu subsistem kedalam subsistem yang lebih kecil.
Tujuannya untuk pengaturan aliran daya atau untuk pembatasan level hubung singkat. Syarat
syarat yang harus dipenuhi dalam proses splitting adalah aliran daya pada segmen yang displitt
harus sekecil mungkin sehingga pada saat sistem sudah terpisah, tidak akan terjadi over load
pada subsistem.
PMT keluar
Subsistem awal
Subsistem setelah split
Adalah operasi penggabungan dua subsistem kedalam satu subsistem yang lebih besar.
Contoh operasi looping adalah pada saat akan memindahkan beban (Gardu Induk) ke
subsistem lain. Syarat yang harus dipenuhi pada saat penggabungan subsistem adalah
tegangan dan sudut daya pada titik yang akan di-loop harus sama atau mendekati.
PMT masuk
Subsistem awal
Subsistem setelah loop
4. Rekonfigurasi Subsistem
Level hubung singkat suatu subsistem dipengaruhi oleh sumber pembangkit dan
besarnya impedansi. Apabila level hubung singkat telah melebihi kapasitas peralatan
yang terpasang, maka upaya yang paling mudah dilakukan tanpa harus mengganti
peralatan adalah dengan merekonfigurasi subsistem, misalnya dengan memisahkan
IBT yang dioperasikan parallel sehingga menjadi subsistem yang radial.
Kebijakan besaran cadangan putar tidak ada besaran yang baku karena sangat tergantung
seberapa tinggi tingkat keandalan yang diharapkan. Sistem Jawa bali menetapkan besarnya
cadangan putar sebesar unit yang masuk kedalam Grid. Karena unit terbesar saat ini adalah
PLTU Paiton Energi dengan kapasitas 815 MW, maka besarnya cadangan operasi ditetapkan
sebesar 815 MW tersebut.
Kebijakan besaran cadangan putar tersebut berlaku real time, artinya meskipun dalam
mengalami kondisi defisit, maka sistem harus tetap disediakan cadangan putar. Strategi yang
diterapkan untuk menyediakan cadangan putar adalah dengan pelepasan beban sedemikian
hingga sistem masih beroperasi dengan cadangan putar sebesar unit .
Dera ti
FO Outage/ Beban Kebutuhan
ng Variasi Unit Mampu Cad/
Tanggal DMN PO MO Exten Derating RS Puncak Manajeme
Exten Musim Test Pasok defisit
sion Probability Netto n Beban
sion
f=(a x
j=(a+i)- m=l-
a b c d e 10%)- g h i k l=j-k
? (b:h) (800MW)
(d+e)
29 Nopember 2013 30,386 2,983 315 1,038 677 1,324 1,267 380 227 22,629 21,837 792 8
30 Nopember 2013 30,386 3,264 1,170 1,038 1,453 548 1,170 380 227 21,590 20,863 727 73
01 Desember 2013 30,386 3,264 1,160 993 1,328 718 1,768 380 227 21,002 19,922 1,080 0
02 Desember 2013 30,386 3,286 315 993 1,058 988 946 380 227 22,647 21,957 690 110
03 Desember 2013 30,386 3,286 225 993 638 1,408 946 380 227 22,737 21,975 762 38
04 Desember 2013 30,386 3,287 125 993 558 1,488 1,040 380 227 22,742 21,964 778 22
05 Desember 2013 30,386 3,287 125 993 558 1,488 936 380 227 22,846 22,085 761 39
Siklus operasi tenaga listrik mengikuti ritme kehidupan manusia pada umumnya. Rutinitas dan
perilaku manusia pada umumnya akan selalu terjadi pengulangan sehingga akan berpengaruh
langsung terhadap konsumsi tenaga listrik. Tetapi rutinitas tersebut bisa terpengaruhi oleh
suatu event atau kejadian yang menyebabkan rutinitas berubah.
Karena Sistem tenaga listrik juga mengikuti ritme kehidupan, maka apabila terjadi suatu event
atau kejadian yang menyebabkan rutinitas manusia berubah pasti akan menyebabkan
konsumsi tenaga listrik juga berubah. Gambar 5 menunjukkan Langgam beban harian Sistem
Jawa Bali.
Untuk menjaga agar operasi sistem tidak mengalami ganguan total, maka dilakukan tindakan
pencegahan dengan menyusun skema pengamanan sistem antara lain :
Brown Out
Load Curtailment
Manual Load Shedding
Load Shedding UFR
Island Operation
Over load Shedding Penghantar
Over load Shedding IBT
Contoh skema urutan pengamanan sistem seperti pada gambar strategi pengendalalian
frekuensi pada Gambar 6 dimana skema pengamanan sistem Jawa Bali dibagi dalam 7 tahap
50,20
50,00 Operasi normal, frekuensi 50 + 0,2 Hz
49,80
Ekskursi, + 0,5 Hz, brown-out
Df/dt, - 0,6 Hz/s, Load shedding tahap 5, 6, 7 (1181 MW)
49,50 Df/dt, - 0,8 Hz/s, Load shedding tahap 5, 6, 7 + 394 MW
Load shedding Skema A & B, frek 49,50 Hz ( 394 MW - 788 MW)
Df/dt, - 1,0 Hz/s, Load shedding tahap 5, 6, 7 + 788 MW
49,00
Load shedding tahap 1 s.d. 7, frek 49,00 s.d. 48,40 (2756 MW)
48,40
48,30
Islanding Operation, mulai 48,30 - 48,00 Hz
48,00
Batas-batas frekuensi tersebut diaplikasikan dalam Sistem Jawa Bali seperti terlihat pada
gambar strategi pengendalian frekuensi sistem Jawa Bali diatas. Digambarkan strategi
pengaturan frekuensi khususnya dalam kasus sistem kehilangan/kekurangan pasokan.
Apabila sistem kehilangan pasokan daya aktif yang besar dan frekuensi turun menuju 47,5 Hz
maka sistem terancam collaps. Untuk mengantisipasi telah diterapkan strategi load shedding
sebagai berikut :
Skema B : 394 MW setting 49,5 Hz dengan tunda waktu 15 menit (skema A + 5 menit),
Untuk tunda waktu 10 menit dan 15 menit pada skema A dan skema B idealnya bekerja
secara otomatis dengan rele timer.
Load shedding Tahapan tersebut dilengkapi dengan fungsi df/dt untuk mengantisipasi
hilangnya pasokan daya ke sistem yang sangat besar dan tiba-tiba, yaitu bila
penurunan frekuensi sangat tajam dengan kecuraman sebagai berikut :
- Df/dt = - 0,7 Hz/detik rele pick up pada 49,1 Hz, shedding 850 MW, seketika,
- Df/dt = - 0,9 Hz/detik rele pick up pada 49,3 Hz, shedding 1500 MW, seketika,
- Df/dt = -1,2 Hz/detik rele pick up pada 49,5 Hz shedding 1950 MW, seketika.
Adalah penurunanan kualitas tegangan sistem pada rentang normal operasi dalam
rangka menurunkan. Brown Out dapat dilaksakan apabila tidak terjadi ekskursi
tegangan disistem.
- Saat beban sebuah instalasi (trafo, penghantar radial) telah mencapai nilai
nominalnya dan diperkirakan beban masih akan naik.
Load Curtailment
Pelaksanaan pelepasan beban secara manual dalam rangka mengatasi kondisi defisit
sistem, sudah ditetapkan lokasinya secara kesepakatan bersama antara pusat pengatur
beban dengan distribusi dan lokasinya bisa di penyulang atau trafo.
Rele ini bekerja apabila terjadi penurunan frekuensi sampai batas setting rele. Untuk
menghindarkan pelepasan beban terlalu besar, strategi yang adalah pelepasan beban
Rele ini bekerja apabila terjadi penurunan frekuensi secara tiba-tiba dengan kecuraman
yang tinggi sehingga slope-nya telah mencapai setting rele yang ditetapkan. Kecuraman
penurunan frekuensi yang tinggi tersebut bisa terjadi pada saat sejumlah pembangkit
besar keluar secara bersamaa.
Island Operation
Tujuan Island Operasi adalah untuk menghindarkan sistem mengalami blackout atau
padam total. Karena apabila sistem bertahan dalam beberapa subsistem (island kecil),
maka untuk penormalan akan lebih cepat dan lebih mudah.
Strategi yang diterapkan adalah, apabila sistem mengalami gangguan besar dan
pelepasan beban yang dilakukan oleh rele UFR maupun rele df/dt sudah tidak tidak
sebanding dengan pembangkit yang keluar
Hostload
PELEPASAN BEBAN
8. MANAJEMEN ENERGI
8.1. Tujuan
- Agar diperoleh biaya operasi sistem tenaga listrik yang seminim mungkin berdasarkan
kendala yang ada.
- Pra Operasi, manajemen energi dilakukan pada saat perencanaan sistem baik dalam
rencana jangka pendek, rencana jangka menengah maupun rencana jangka panjang.
- Operasi Real Time, manajemen energi dilakukan melalui strategi operasi berdasarkan
kondisi sistem secara real time
- Optimasi Hidrotermal (Long Range Hydro Scheduling), biaya produksi pembangkit hidro
lebih murah dibanding pembangkit termal, karena itu agar diperoleh biaya produksi
sistem minimum diperlukan perencanaan menyangkut penyimpanan dan pemakaian air
pada waduk tahunan. Pengaturan ini ditujukan untuk menjamin ketersediaan sumber
energi air sepanjang tahun.
- Demand Side Management adalah manajemen energi yang dilakukan pada sisi beban
yaitu konsumen tenaga listrik.
- Unit Commitment, proses penentuan kapan dan pembangkit mana yang harus di start
atau distop untuk memperoleh komposisi pembangkit dengan biaya prosuksi yang
paling efisien dalam memenuhi beban sistem (Power Generation, Operation and
Control, Allen J Wood).
- Load shedding atau pemutusan beban, dilakukan apabila kondisi sistem defisit.
- Penggeseran beban (load shifting), yaitu menggeser beban pada periode beban puncak
ke luar waktu beban puncak.
- Pengisian luar beban puncak (valley filling), mengoptimalkan periode beban rendah.
Program Demand Side Management (DSM) yang diimplementasikan di PT. PLN (Persero):
- Pemborosan.
- Dampak lingkungan.
Langkah langkah yang dilakukan dalam managent energi dari pembangkitan adalah:
Kendala penyaluran adalah adanya pembatasan penyaluran daya baik yang disebabkan oleh
keterbatasan kemampuan sistem penyaluran maupun pembatasan karena permasalahan aliran
daya.
Beban 800
MW
~ G
Dari Gambar 14 diatas, apabila biaya pembangkitan disisi 500 kV lebih besar atau sama
dengan biaya operasi pada generator G, maka pembebanan generator G bisa maksimum.
Tetapi bila biaya generator G jauh lebih tinggi dari biaya operasi di sisi 500 kV, maka
pembebanan generator G harus diusahakan seoptimal mungkin. Kondisi optimal dicapai
apabila IBT dibebani maksimum.
- Pembatasan karena aliran daya pada sistem penyaluran sering terjadi karena adanya
penurunan kualitas daya (tegangan). Tegangan yang terlalu rendah pada suatu subsistem tidak
hanya berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kepada konsumen tetapi juga bisa
menyebabkan kerawanan pada sistem sendiri. Untuk memperbaiki tegangan tersebut unit
pembangkit harus dioperasikan meskipun sebenarnya secara sistem, daya pembangkti
tersebut tidak diperlukan sehingga unit pembangkit menjadi must run.
Dari gambar 6 dibawah, apabila biaya pembangkitan disisi 500 kV lebih besar atau sama
dengan biaya operasi pada generator G, maka pembebanan generator G bisa maksimum.
Tetapi bila biaya generator G jauh lebih tinggi dari biaya operasi di sisi 500 kV, maka
pembebanan generator G harus diusahakan seoptimal mungkin. Kondisi optimal dicapai
apabila tegangan disisi 150 kV berada pada rentang standar yang ditetapkan dalam grid code
yaitu diatas 135 kV atau apabila secara sistem sudah aman.
Beban 350 MW
Tegangan 135 kV
~
a. Ramping Up/Down
yaitu kecepatan pembangkit untuk naik atau turun beban. Ramping up pada pembangkit bisa
mempengaruhi keekonomian operasi sistem apabila pembangkit dengan biaya operasi rendah
memiliki raping up yang rendah. Sebagai contoh, PLTU batubara mempunyai karakteristik
ramping up/down yang rendah. Pada saat beban sistem naik, PLTU tidak bisa mengikuti
kenaikan beban dengan cepat sehingga diperlukan untuk menaikkan beban pada pembangkit
lain yang biayanya lebih mahal.
Yaitu Sebuah pembangkit mempunyai batasan operasi dengan minimum (technical minimum
loading atau TML) yaitu batasan minimum dimana pembangkit bisa operasi dengan stabil.
Dalam pengoperasian pembangkit, TML ini bisa menjadi kendala terutama pada saat periode
beban rendah. TML pembangkit yang terlalu tinggi akan memaksa pembangkit dengan biaya
operasi rendah diturunkan. Sebagai contoh Pembangkit A kapasitas 200 MW dengan TML 100
MW biaya operasinya Rp 200/kWH, sementara pembangkit B kapasitan 250 MW dengan TML
150 MW biaya operasinya Rp 100/kWH. Pada beban sistem 300 MW tentunya akan lebih
ekonomis apabila pembangkit B dibebani 250 MW dan pembangkit A 50 MW. Tetapi karena
beban minimum yang diijinkan pembangkit A 100 MW, maka komposisinya menjadi A=100
MW dan B=200 MW sehingga ada pemborosan 50 MW karena pembangkit A tidak bisa
diturunkan ke 50 MW.
Yaitu kontrak antara PLN dengan pihak pembangkit, dimana PLN diwajibkan
mengambil/menyerap daya yang dibangkitkan pembangkit. Sebagai contoh pada PLTP dengan
capacity factor 95%, maka PLN harus menyerap daya yang dibangkitkan minimal 95%
kapasitasnya. Apabila daya yang diambil lebih kecil dari angka tersebut, maka PLN diwajibkan
membayar biaya sebesar 95% kapasitasnya. Kontrak TOP ini banyak ditemui pada
pengoerasian PLTP.
Capacity Factor atau faktor kapasitas yaitu besar daya rata rata yang dibangkitkan
dibandingkan dengan kapasitas pembangkit. Dalam kontrak antara PLN dengan beberapa
pembangkit terdapat klausul mengenai capacity factor unit pembangkit. Pada dasarnya kontrak
CF ini sama dengan kontrak TOP.
Merit order adalah urutan pengoperasian pembangkit berdasarkan urutan biaya produksi dari
yang termurah sampai yang termahal. Ini adalah metode yang paling mudah dilakukan oleh
dispatcher dalam rangka mengoperasikan sistem tenaga listrik yang paling ekonomis.
Pelaksanaannya dalam operasi sistem adalah, pada saat beban sistem naik maka urutan
pembangkit yang dipilih adalah dari yang paling murah, sebaliknya pada saat beban sistem
turun maka urutan pembangkit yang diturunkan adalah dari yang paling mahal.
Beban sistem selalu berubah dengan pola pola tertentu yang selalu berulang ulang meskipun
besarannya berubah misalnya pola hari kerja, pola hari Sabtu, pola hari Minggu dan
sebagainya. Pada pola beban tersebut terdapat beban puncak pada jam yang hampir sama
demikian juga sebaliknya pada beban terendah terjadi pada jam-jam yang hampir sama pula.
Langkah paling mudah untuk memenuhi permintaan beban dengan pola yang berubah-ubah
tersebut adalah dengan menjalankan semua pembangkit. Permasalahan utama yang timbul
dengan pengoperasian pembangkit seperti di atas adalah masalah ekonomi.
Men-“commit” sebuah pembangkit adalah menjalankan (turn on) pembangkit untuk selanjutnya
sinkron dan menyalurkan daya ke sistem.
Kendala utama dalam unit commitment terkait dengan menajemen energi adalah:
Dasar dari unit commitment adalah pengoperasian pembangkit untuk memenuhi kebutuhan
daya (load) sistem didasarkan pada merit order dengan memperhatikan segala kelebihan dan
kekurangan yang ada pada setiap pembangkit dan kendala kendala pada jaringan.
Pemilihan pembangkit yang di “commit” berdasarkan pada urutan dari pembangkit yang paling
murah sampai termahal dengan memperhatikan segala kendala yang ada.
MW
800
Unit 3
Unit 3
500
Unit 2 Unit 2
300
Unit 1
Jam
0 6 9 14 15 24
Dari gambar 16. dicontohkan pembangkit dengan urutan merit order dari unit 1, unit 2 dan unit
3.
Dari jam 0:00 sampai jam 06.00, sistem harus dipenuhi oleh tiga unit pembangkit sehingga
ketiga unit harus di “commit”. Dari jam 6 s.d jam 9 sistem bisa dicukupi oleh 2 unit pembangkit
sehingga unit 3 bisa di “decommit”. Demikian juga dari jam 9 s.d jam 14 karena beban sistem
rendah maka unit 2 bisa di “decommit”. Demikian seterusnya sehingga semua kebutuhan
beban terlayani.
Kegiatan manusia dibidang transportasi. komunikasi dan tenaga listrik bersifat periodik. Salah
satu faktor yang sangat menentukan dalam membuat rencana operasi sistem tenaga listrik
adalah perkiraan beban pada sistem tenaga listrik yang bersangkutan. Tidak ada rumus yang
pasti untuk ini karena besar beban ditentukan secara bebas oleh para pemakai (konsumen)
Dalam membuat penjadwalan operasi unit pembangkit penyelesaiannya sangat tergantung dari
kendala-kendala yang dimasukkan dalam memperoleh fungsi tujuan. Setiap metoda yang
digunakan dalam penjadwalan operasi unit pembangkit menimbulkan masalah yang sangat
dipengaruhi oleh karakteristik unit pembangkit dan kurva beban
Besarnya cadangan putar adalah sama dengan jumlah seluruhkapasitas unit pembangkit yang
sedang beroperasi pada sistem beban dan rugi-rugi transmisi daya. ada, sehingga apabila
terjadi-gangguan atau lebih tidak menyebabkan penurunan Besarnya cadangan putar
disesuaikan dengan jenis pembangkit dan biasanya sudah diperhitungkan dalam kapasitas
unit-unit pembangkit sebagai prosentase dari perkiraan beban puncak atau sebesar unit
pembangkit yang mampu menanggung beban terbesar. pembangkit yang mempunyai respon
yang lambat. Hal ini berkaitan dengan peralatan Automatic Generator Control (AGC ) pada unit
pembangkit yang berfungsi untuk mengembalikan frekuensi pada besarnya semula apabila
terjadi gangguan pada sistem. Diluar cadangan putar tersebut, harus disisipkan pula unit
pembangkit cadangan yang dapat dengan mudah dan cepat dioperasikan, misalnya PLTD atau
PLTA sehingga dapat mengatasi permintaan beban. Dengan demikian akan dapat ditaksir
besarnya cadangan seluruh unit pembangkit dalam perioda waktu yang telah7 dikurangi jumlah
dari Cadangan putar harus pada satu unit pembangkit frekuensi sistem. Cadangan putar selain
untuk memenuhi permintaan beban dari gangguan pada sistem, harus diletakkan pada unit-unit
pembangkit yang mempunyai respon yang cepat dan unit-unit di tentukan. Usaha terakhir bila
cadangan-cadangan tersebut mas~h belum mampu mengatasi permintaan beban karena
adanya gangguan unit pembangkit~ adalah dengan melakukan pelepasan beban.
Pembangkit termal yang relatif besar seperti PLTU pada umumnya merupakan pusat listrik
yang dominan baik dari segi teknis operasional maupun dari segi biaya operasi. Dari segi
teknis operasional PLTU paling banyak kendalanya khususnya dalam kondisi dinamis. Hal ini
disebabkan karena banyaknya komponen dalam PLTU yang harus diatur. Pada pembangkit
termal proses start maupun perubahan daya menyangkut masalah perubahan suhu yang akan
menyebabkan pemuaian atau pengerutan. Unit pembangkit termal dijalankan dengan
mengubah temperatur sedikit demi sedikit, dan perlu waktu untuk membawa unit pembangkit
tersebut sampai menyuplai daya. Berbagai macam kendala yang ada pada pengoperasian
pembangkit termal, antara lain:
Unit pembangkit yang sedang berjalan tidak dapat langsung dimatikan karena harus
disesuaikan dengan waktu minimal berjalannya.
2. Kendala waktu minimal berhenti (minimum down time) : Unit pembangkit yang sudah
dihentikan tidak dapat langsung dijalankan kembali, karena harus disesuaikan dengan waktu
minimal berhentinya.
Saat mulai dijalankan tekanan dan temperatur bagian-bagian pembangkit termal bergerak naik
dengan pelan sehingga diperlukan energi tambahan untuk membawa pembangkit tersebut
sampai keadaan jalan. Energi tersebut dalam masalah komitmen unit dikenal sebagai “Start-up
cost”
Sampai pada waktu biaya dibandingkan biaya cooling seperti terlihat pada gambar 17.
Kendala operasi pada pembangkit hidro lebih kecil dibandingkan pembangkit termal karena
pada pembangkit hidro tidak ada proses pembakaran sehingga tidak ada perubahan suhu yang
besar pada bagian-bagian pembangkit hidro. Namun dilain pihak ketergantungan pembangkit
hidro pada musim merupakan kendala, sehingga untuk mendapatkan hasil penjadwalan
operasi yang optimal unit-unit pembangkit secara keseluruhan tidak bisa dipisahkan dari unit-
unit hydro.
Ada beberapa unit pembangkit yang harus dipertahankan terus berjalan selama waktu yang
ditentukan, misalnya dalam setahun. Tujuannya adalah sebagai alat penunjang untuk
menstabilkan tegangan pada jaringan transmisi atau dipakai sebagai suplai daya diluar
pemakaian sendiri pada PLTU.
Dalam sistem tenaga listrik dapat terjadi beberapa unit pembangkit mempunyai bahan bakar
dalam jumlah yang terbatas atau memerlukan bahan bakar dalam jumlah yang besar. Kendala
tersebut harus diperhatikan dalam penjadwalan operasi unit pembangkit.