Anda di halaman 1dari 6

Tugas Individual

Nama : Villa Santika


NIM : K7413172
Mata Kuliah : Hukum Bisnis
Kelas : Pendidikan Ekonomi/F
Dosen : Dr. Joko Santosa TH, M.Pd.

Soal.
1. Cari kasus tentang kapailitan, kemudian analisis proses penyelesaiannya.
2. Tuliskan pendapat atau pandangan Anda tentang kasus yang Anda bahas.

Jawab :

1. Kasus kepailitan PT. Dirgantara Indonesia (DI)

PT. Dirgantara Indonesia merupakan industri pesawat terbang milik pemerintah


Indonesia yang awalnya didirikan tahun 1976 dengan nama PT. Industri Pesawat Terbang
Nurtanio. Perusahaan ini telah memproduksi berbagai jenis pesawat terbang termasuk juga
helikopter. Pada tahun 1998 di saat Indonesia mengalami krisis ekonomi, perusahaan ini
nyaris bangkrut. Kemudian setelah melakukan berbagai strategi, rektrurisasi dan bantuan dari
pemerintah, perusahaan yang berganti nama menjadi PT. Dirgantara Indonesia tahun 2000
tersebut berhasil bangkit dari keterpurukan.

Krisis PT. Dirgantara Indonesia (DI) tahun 1998-2007


 Saat krisis ekonomi terjadi pada tahun 1997, subsidi pemerintah untuk IPTN
dicabut sehingga sejak saat itu perusahaan ini harus berdiri di atas kaki sendiri.
Sebagai produsen pesawat yang baru merintis, tentunya belum banyak pesanan
pesawat yang datang. Ditambah lagi, pasar Asia Tenggara mengalami kemunduran
karena hampir semua negara di kawasan ini juga menderita krisis ekonomi. Salah
satu yang membuat IPTN bertahan adalah pesanan tetap dari Kementerian
Pertahanan.
 Meskipun IPTN bertahan karena adanya pesanan dari Kementerian Pertahanan
namun jumlah penjualannya tidak cukup untuk menutup biaya operasional
perusahaan. Bisnis yang dijalankan oleh IPTN hanya seputar pembuatan komponen
atau perawatan dan perbaikan pesawat. Akibatnya, IPTN mengalami kerugian
hingga Rp 7,25 triliun dan harus menunggak utang sebesar Rp 3 triliun (Rahman,
2011) Untuk merestrukturisasi IPTN, Presiden Abdurrahman Wahid mengutus
Rizal Ramli, Kepala Bulog saat itu untuk membenahi manajemen perusahaan
ini. Misi Rizal adalah untuk mengubah IPTN sebagai industri berbiaya tinggi
menjadi industri yang kompetitif seperti di Cina, Brazil, atau India (Masud, 2008).
Sebagai simbol dari perubahan paradigma ini, Gus Dur mengubah nama perusahaan
ini menjadi PT. Dirgantara Indonesia (PT. DI). Pemberian nama baru ini
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 526/KMK.05/2000 Tanggal
20 Desember 2000 dan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor
771/KMK.04/2001 Tanggal 1 Mei 2001 (Tyassari, 2008). Rizal mengubah seluruh
peralatan dan mesin produksi berbiaya tinggi menjadi lebih murah agar biaya
produksi dapat ditekan dan PT. DI dapat kembali menghasilkan profit. Selain
itu, manajemen puncak PT. DI pun diganti dengan orang-orang didikan Habibie
yang menguasai aspek teknis pembuatan pesawat maupun yang memiliki
jaringan luas di industri pesawat internasional. Restrukturisasi ini mendorong
pemulihan kondisi finansial PT. DI dengan meningkatnya penjualan dari Rp 508
milyar pada tahun 1999 menjadi Rp 1,4 trilyun pada tahun 2001. Bahkan perusahaan
ini dapat menghasilkan keuntungan sebesar Rp 11 milyar pada tahun 2001, setelah
dua tahun sebelumnya mengalami kerugian sebesar Rp 75 milyar (Tahun 2008).
 Pada tahun 2001 Presiden Megawati menjabat, PT. DI lagi-lagi mengalami penurunan
kinerja. Hal ini disebabkan oleh penggantian manajemen perusahaan ini yang
sebelumnya sudah solid, dengan orang-orang baru yang tidak memiliki jaringan
bisnis dengan pelaku usaha di industri pesawat terbang internasional (Masud,
2008). Akibatnya jumlah penjualan PT. DI kembali mengalami penurunan,
bahkan perusahaan ini mengalami kerugian hingga 1,5 trilyun. Tahun 2004
keadaan makin memburuk. Untuk menyelamatkan perusahaan ini, terpaksa
dilakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga 6.651 orang. Ini merupakan
pengurangan pegawai terbesar yang pernah dilakukan oleh PT. DI. Terbebani utang
yang besar, PT. DI tidak mampu membayar gaji pegawainya tepat waktu, juga
tidak mampu membayar kompensasi bagi mantan-mantan pegawai yang
dirumahkan. Banyak tenaga-tenaga ahli pesawat terbaik di negeri ini yang
akhirnya mengundurkan diri dan direkrut oleh perusahaan pesawat luar negeri
yang menjadi rekan kerja sama PT. DI, seperti Boeing, British Aerospace, dan
CASA. PT. DI mencapai titik terendah pada tahun 2007, ketika Pengadilan
Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan putusan kepailitan
pada PT. DI karena kompensasi dan dana pensiun mantan pegawai perusahaan
ini belum juga dibayarkan. Permohonan pailit diajukan oleh tiga orang mantan
karyawan PT. DI. Tetapi PT. DI mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dan
keputusan pailit ditolak karena sebagai perusahaan BUMN, permohonan pailit
PT. DI hanya bisa diajukan oleh Menteri Keuangan. Kasus ini membuat Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono turun tangan untuk memperbaiki PT. DI. Pada tahun
yang sama, manajemen perusahaan produsen pesawat ini kembali diganti dan
Budi Santoso ditunjuk menjadi Direktur Utama.
Proses penyelesaian/Restrukturisasi PT. DI tahun 3008-Sekarang
 Di bawah kepemimpinan Budi Santoso, PT. DI dibawa menuju paradigma baru.
Selain menguasai teknologi, perusahaan dituntut untuk menguasai pasar. Konsumen-
konsumen PT. DI selama ini lebih banyak dari pihak pemerintah, baik
pemerintahan Indonesia maupun luar negeri. Produk-produk pesawat PT. DI
memang lebih banyak digunakan untuk kepentingan militer. Agar mencatat
profit, orientasi pasar PT. DI harus dialihkan ke pesawat penumpang komersial.
Maka mulai dikembangkan lagi model pesawat NC-212, CN-235, dan N-219
yang diperuntukkan bagi keperluan sipil. Agar perusahaan dapat berjalan, tentunya
masalah finansial harus diselesaikan. Sepanjang tahun 2003 hingga 2007, ditemukan
bahwa PT. DI memiliki utang-utang pajak juga utang untuk operasional perusahaan.
Langkah pertama yang dilakukan adalah audit oleh BPK dan lembaga pajak.
Kemudian utang ke pemerintah juga diselesaikan melalui konversi utang menjadi
modal. Langkah-langkah perubahan ini mulai menunjukkan hasil. Walaupun
masih merugi, namun nilai defisit perusahaan menurun dari tahun ke tahun. Pada
tahun 2009, PT. DI mencatat kerugian sebesar Rp 157 milyar, namun pada tahun
berikutnya turun menjadi Rp 126 milyar (Tempo, 2011). Sayangnya, pada tahun
2011, kerugian perusahaan ini justru meningkat lebih besar dari tahun 2009, yaitu
sebesar Rp 356,52 milyar (detikfinance, 2012). Untuk menyelamatkan PT. DI dari
kebangkrutan lagi, pemerintah mengutus Perusahaan Pengelola Aset (PPA) untuk
melakukan restrukturisasi perusahaan dalam bidang keuangan. Melalui PP No.
70 Tahun 2012 yang ditandatangani oleh Presiden SBY, PT. DI mendapatkan
suntikan dana pemerintah sebesar Rp 1 trilyun. Seperti efek bola salju, aliran modal
pemerintah ini mengundang kepercayaan konsumen luar negeri bahwa PT. DI
telah bangkit. Hingga kini PT. DI dipercaya sebagai pemasok utama komponen
pesawat perusahaan Airbus. Hal ini juga mengembalikan citra perusahaan di
dunia industri pesawat internasional dengan keberhasilannya bermitra dengan
salah satu perusahaan produsen pesawat terbang terbesar di dunia. Bahkan
Airbus telah memutuskan untuk memindahkan pabrik pesawat C-295 dari
Spanyol ke Bandung (Antara News, 2013). Selain dengan Airbus, PT. DI
menandatangani kontrak kerja sama sebagai perusahaan subkontrak dengan
Eurocopter Family, CTRM, dan Korean Air. Selain perusahaan luar negeri, PT.
DI juga berhasil menjalin kesepakatan dengan perusahaan penerbangan dalam
negeri, yaitu Lion Air, yang, yang telah membeli 100 unit pesawat penumpang
19 kursi, yaitu N-219 (Vivanews, 2013). PT. DI sendiri juga melakukan
restrukturisasi dan revitalisasi dalam bidang organisasi, SDM, teknologi informasi,
permesinan, dan lain-lain. Langkah-langkah yang dilakukan antara lain
peremajaan dan pembelian fasilitas permesinan, perekrutan dan resdiposisi
sumber daya manusia, modernisasi sistem informasi teknologi (IT), proses
perampingan bisnis, serta pengembangan produk pesawat terbang agar tetap
kompetitif di pasar (Vivanews, 013). Penyertaan modal oleh pemerintah telah
digunakan oleh PT. DI untuk membeli mesin-mesin baru. Mulai tahun 2010,
telah dilakukan perekrutan pegawai baru secara bertahap, baik untuk insinyur
penerbangan maupun operator mesin. Sistem IT yang digunakan sekarang
adalah Enterprise Resources Planning (ERP) dengan keunggulan data lebih
akurat, visibilitas dan kontrol lebih baik, dan aliran data lebih mulus di antara
seluruh unit dalam perusahaan, dibandingkan dengan sistem sebelumnya,
Integrated Resources Planning (IRP). Sebanyak 18 unit bisnis perusahaan kini
dilebur menjadi empat unit saja, meliputi aircraft integration, aircraft services,
aerostructure, dan technology and development. Produk pesawat yang kini
dikembangkan adalah pesawat CN-235-220, pesawat CN 295, pesawat NC-212-200,
helikopter BELL-412 EP, helikopter NAS-332C1, helikopter EC 725, dan helikopter
AS 365 N3. Program restrukturisasi ini menunjukkan hasil positif, yaitu dengan
dicatatnya keuntungan bersih senilai Rp 40 milyar pada akhir tahun 2012.
Walaupun sudah berhasil memperoleh profit, pekerjaan PT. DI ke depan masih
berat. Penjualan produk komponen dan pesawat masih harus digenjot agar
perusahaan ini dapat melakukan ekspansi.

Tantangan yang dihadapi oleh PT. DI selanjutnya adalah masalah SDM

 Perekrutan insinyur penerbangan terakhir dilakukan pada periode 1984-1985,


artinya sudah 30 tahun perusahaan ini tidak mempekerjakan tenaga ahli baru.
Kini sekitar 45% pegawai sudah memasuki masa pensiun sehingga nasib
perusahaan akan terancam jika tidak ada regenerasi. Pada tahun 2010,
perusahaan secara bertahap mulai merekrut pegawai baru. Namun untuk
menjadikan seorang insinyur penerbangan menjadi tenaga ahli, dibutuhkan
waktu sekitar 4-5 tahun. Untuk mempertahankan kelangsungan generasi ahli di
PT. DI, beberapa pegawai yang sudah memasuki usia pensiun tetap dipertahankan
untuk dijadikan sebagai pembimbing pegawai baru. Selain masalah SDM, PT. DI
juga membutuhkan regenerasi mesin-mesin baru. Sebagian besar mesin-mesin yang
digunakan sekarang sudah melewati masa optimalnya. sehingga produktivitasnya
menurun jauh. Mesin-mesin yang sudah berusia tua ini sudah sulit dicari suku
cadangnya, boros energi, memakan jam kerja lebih banyak, dan reabilitasnya sudah
berkurang. Akibat yang terasa adalah terlambatnya penyelesaian pesanan karena
mesin sering bermasalah.
2. Pendapat atau pandangan saya terhadap kasus kepailitan PT. Dirgantara
Indonesia

IPTN yang kini berubah nama menjadi PT. DI merupakan perwujudan keinginan
Indonesia untuk menguasai industri berteknologi tinggi. Misi untuk membangun
industri pesawat terbang sudah muncul sejak zaman Presiden Soekarno yang dirintis oleh
Nurtanio. Misi ini diteruskan oleh Presiden Soeharto melalui tangan kanannya, yaitu
B.J. Habibie yang menduduki kursi Menteri Riset dan Teknologi selama 32 tahun. Indonesia
mulai menancapkan kukunya di dunia industri pesawat terbang melalui pendirian IPTN.
Di bawah kepemimpinan B.J. Habibie, IPTN menunjukkan kinerja yang sangat baik,
dilihat dari jumlah kontrak kerjasama luar negeri yang didapatkan dan jumlah produk
pesawat yang dikembangkan. Kemajuan IPTN juga tidak lepas dari dukungan penuh
pemerintah dengan menerapkan kebijakan-kebijakan yang melindungi serta memajukan
industri pesawat dalam negeri. Sayangnya karena tidak berorientasi bisnis, IPTN nyaris
bangkrut ketika subsidi pemerintah dicabut dalam situasi krisis ekonomi. Perusahaan yang
masih amatir dalam mengembangkan produk pesawat ini seperti mati suri selepas
krisis. Perubahan nama IPTN menjadi PT. DI tidak kunjung memberikan nasib baik
bagi perusahaan ini. Penggantian kepemimpinan di bawah Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dan Direktur Utama Budi Santoso akhirnya membawa PT. DI ke arah
kebangkitan. Dengan suntikan modal dari pemerintah, PT. DI kembali bergeliat.
Kepercayaan konsumen dalam dan luar negeri pun kembali datang. Setelah sekian
lama mencatat kerugian, akhirnya pada tahun 2012 PT. DI menghasilkan keuntungan
operasional. Menelusuri perjalanan PT. DI sejak dirintis hingga sekarang, terlihat
bahwa faktor dukungan pemerintah sangat berperan dalam mengembangkan industri
pesawat terbang dalam negeri. Karakteristik industri yang sangat padat modal dan
memerlukan jangka waktu pengembalian investasi yang panjang ini harus diinisiasi
oleh pemerintah. Tidak ada yang meragukan peran Habibie dalam membangun dan
membawa IPTN hingga diperhitungkan oleh khalayak internasional. Tidak dapat dipungkiri
pula bahwa dukungan penuh Presiden Soeharto juga berperan besar hingga Habibie memiliki
otoritas untuk mengintervensi kebijakan TNI-AU dan perusahaan penerbangan Garuda
Indonesia. Aliran dana bertrilyun-trilyun pada IPTN juga merupakan keistimewaan yang
diberikan oleh Soeharto, hingga menuai protes dari ekonom-ekonom yang pro
kerakyatan. Terbukti ketika kekuasaan Soeharto jatuh, Habibie pun tersingkir sebagai
menteri dan ketika subsidi untuk IPTN dihentikan, aktivitas perusahaan ini seketika
langsung terhenti. Ketika Presiden SBY kembali memperhatikan industri pesawat
nasional dengan menyuntikkan modal ke saham PT. DI, perusahaan ini kembali
bergeliat. Walaupun pengaruhnya tidak sebesar Habibie, peran Budi Santoso sebagai
Dirut PT. DI juga sangat signifikan dalam membangkitkan kembali perusahaan ini.
Kemampuannya dalam merestrukturisasi dan merevitalisasi perusahaan mendorong PT.
DI kembali berkiprah dalam memproduksi pesawat dan mendapatkan kembali
kepercayaan klien-klien lama serta baru, dalam dan luar negeri, untuk menggunakan
produk-produk PT. DI. Kepercayaan konsumen merupakan hal yang sulit didapat, dan
lebih sulit lagi untuk dipelihara. Namun PT. DI berhasil menarik kembali konsumen-
konsumen lama maupun baru dalam waktu relatif singkat setelah restrukturisasi. Hal
ini juga disebabkan oleh kualitas SDM PT. DI yang sejak dulu sudah dikenal handal dalam
industri pesawat terbang. Selain itu, kualitas produk perusahaan pesawat terbang dalam
negeri ini yang selalu menggunakan bahan-bahan terbaik juga dikenal sangat bagus
sehingga perusahaan besar seperti Airbus mau menggunakan komponen-komponen yang
diproduksi oleh PT. DI. Kemitraan dengan Airbus ini juga memberikan nilai unggul
sehingga perusahaan-perusahaan lain seperti Korean Air juga ikut bermitra dengan PT.
DI. Untuk meningkatkan kiprah PT. DI di industri pesawat terbang internasional,
hendaknya kebijakan pemerintah tidak hanya terhenti pada suntikan modal semata.
Kebijakan larangan impor terhadap jenis pesawat yang diproduksi oleh PT. DI
sebaiknya diberlakukan, seperti yang diimplementasikan pada zaman Orde Baru dulu.
Selain itu, pemerintah perlu mendorong perusahaan penerbangan dalam negeri untuk
menggunakan pesawat-pesawat produksi PT. DI melalui insentif pembelian pesawat lokal
atau insentif pajak.

Anda mungkin juga menyukai