Anda di halaman 1dari 12

UJIAN AKHIR SEMESTER

MANAJEMEN KEUANGAN LANJUTAN

Oleh:
Nastiti Kartika Dewi
( 200020102011002 )

Pendidikan Profesi Akuntansi


Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya
2021
I. Industri Maskapai Penerbangan Dunia

Pandemi Covid-19 yang terjadi selama setahun belakangan merupakan faktor

tidak terduga yang memberikan dampak signifikan terhadap beberapa lapangan

pekerjaan, salah satu di antaranya merupakan industri penerbangan. Data yang

berasal dari International Civil Aviation Organization (ICAO) menyebutkan jika

penurunan penumpang telah terjadi sejumlah sekitar 59-60% pada tahun 2020

kemarin. Hal tersebut juga disampaikan oleh The International Air Transport

Association (IATA), yang mana sebagai akibatnya, terjadi penurunan pendapatan

oleh maskapai sebesar 54.7% selama tahun 2020 jika dibandingkan dengan tahun

sebelumnya.

Dibandingkan dengan di waktu-waktu normal sebelum pandemi, terjadi

penurunan penerbangan harian sejumlah kurang lebih 80% akibat ditundanya jadwal

penerbangan hingga jadwal yang belum dapat ditentukan, atau malah dibatalkan

sama sekali. Hal ini tentunya menjadi masalah bagi maskapai sendiri. Selain karena

mengalami kerugian yang sangat besar akibat harus mengembalikan uang yang telah

dibayarkan penumpang karena tidak jadi menggunakan jasa pendapatan, maskapai

juga disulitkan oleh sumber pendapatan yang terus menurun nyaris setiap harinya.

Di sisi lain, terdapat biaya-biaya dan beban yang tidak dapat dihindarkan untuk

dibayarkan, contohnya adalah operasional dan biaya perawatan pesawat.

Untuk menanggulangi pembengkakan beban yang tidak sesuai dengan

pendapatannya, beberapa maskapai seperti British Airway (BA) tengah berusaha

untuk melakukan beberapa hal dan memotong biaya yang dirasa tidak perlu serta

meminimalkan pengeluaran terkait dengan biaya operasionalnya. Salah satu

contohnya adalah mengurangi jumlah karyawan agar biaya yang dikeluarkan untuk
pembayaran gaji tidak terlalu besar. Atau contoh lainnya adalah mengurangi jumlah

penerbangan dibandingkan dengan biasanya dan hanya berfokus pada beberapa

sektor saja, seperti sektor domestik untuk membantu mengurangi biaya perawatan

pesawat serta untuk memaksimalkan pendapatan tanpa harus mengeluarkan biaya

berlebih. Hal ini penting untuk menghindari minusnya pendapatan dikarenakan

beban yang lebih besar ketimbang pemasukan. Beberapa maskapai bahkan sempat

hanya beroperasi untuk mengangkut kargo agar penerbangan dapat dilakukan

meskipun tanpa adanya penumpang dan agar pemasukan maskapai tidak benar-

benar kosong meskipun terjadi penundaan jadwal penerbangan.

Dampak yang dihasilkan oleh pandemi saat ini sangatlah besar untuk

kelangsungan hidup maskapai, karena beberapa maskapai masih bisa dikatakan

sangat merugi dengan pendapatan yang anjlok meskipun telah mendapatkan bantuan

dana dari pemerintah dan juga investor yang berkepentingan. Dua dari beberapa

maskapai penerbangan di Indonesia bahkan telah menutup operasinya dikarenakan

kerugian yang terus didapatkan ketimbang pendapatannya akibat masalah Covid-19.

Oleh karenanya, dunia industri penerbangan perlu melakukan beberapa langkah dan

regulasi untuk menyesuaikan dengan keadaan saat ini. Sedikit demi sedikit,

diperlukan inisiatif untuk memulihkan keadaan ekonomi sektor penerbangan.

Pesawat yang digunakan dan juga bandara perlu diatur sedemikian rupa agar

menciptakan rasa aman untuk pelanggan, begitupun jadwal dan beberapa tes yang

diwajibkan untuk dibawa sebelum melakukan suatu penerbangan. Petugas dan staf

juga perlu disiagakan agar dapat membantu dan mengarahkan para penumpang. Hal

ini bertujuan agar penumpang dapat merasa aman dan nyaman untuk bepergian

dengan menggunakan transportasi udara di masa-masa seperti ini. Protokol


kesehatan yang tepat, baik untuk penumpang dan staf-staf yang melayani

merupakan langkah penting untuk membantu membangkitkan kembali industri

penerbangan yang bisa dibilang saat ini tengah terpuruk.

Dalam salah satu kajian yang dilakukan oleh Tim Riset INACA White Paper,

jika pengaturan yang berkaitan dengan pemulihan sektor penerbangan telah

berlangsung dengan semestinya, maka ada kemungkinan jika sektor penerbangan

akan mulai membalik pada tahun 2022. Hasil kajian ini didapatkan dengan

mempertimbangkan pendistribusian vaksin yang telah merata, serta apabila

masyarakat masih tetap mematuhi protokol kesehatan dan regulasi yang berlangsung

mengenai pembatasan pergerakan dan kapasitas penerbangan yang saat ini hanya

memuat kurang dari setengah jumlah total penumpang jika dibandingkan dengan

total penumpang saat penerbangan di waktu normal sebelum pandemi. Ditengarai

jika industri penerbangan di Indonesia sendiri berhasil bangkit, maka hal tersebut

akan sangat membantu perekonomian Indonesia.

Hasil kajian yang baru saja dipaparkan sayangnya berbeda dengan prediksi

IATA yang mengatakan jika industri penerbangan masih harus merugi setidaknya

sampai dengan atau paling cepat tahun 2024. Penerbangan domestik diharapkan

akan bangkit lebih cepat dibandingkan dengan penerbangan internasional karena

penerbangan domestik termasuk menyumbang pasar paling besar jika dilihat dari

tahun-tahun sebelum pandemi, terutama di dalam negeri sendiri.

Pemulihan industri penerbangan di Indonesia sendiri disebutkan cenderung akan

bangkit lebih lambat dibandingkan dengan negara-negara yang telah menangani

masalah pandemi Covid-19 secara lebih ketat. Salah satu contohnya adalah Vietnam

yang telah menerapkan protokol Kesehatan yang ketat terkait dengan Covid-19
sejak awal pandemi. Hal ini dikarenakan kurangnya kepatuhan atau disiplin

masyarakat dalam negeri jika dibandingkan dengan negara-negara lain yang lebih

maju dan serius dalam menangani kondisi pandemi saat ini.

Berkaitan dengan dampak dari pandemi Covid-19 sendiri, salah satu maskapai di

Indonesia yakni Garuda Indonesia (GI) baru-baru ini tengah mengalami masalah.

Hal ini dikarenakan masalah utang yang semula berjumlah 20 triliun rupiah

meningkat hingga 70 triliun rupiah. Hal ini disinyalir karena beban sewa pesawat

melebihi jumlah yang seharusnya dan jenis pesawat yang bisa dibilang terlalu

banyak sehingga menyebabkan pembengkakan utang tersebut kepada pihak yang

menyewakan. Selain hal itu, masalah ini juga disebabkan karena rute yang dilalui

oleh maskapai cenderung tidak memberikan pengembalian yang tinggi terkait

dengan pendapatannya sehingga perusahaan cenderung merugi. Oleh karenanya,

berkaitan dengan hal tersebut, maka akan dibahas perihal mengenai kasus maskapai

Garuda Indonesia.

II. Analisis Fundamental Garuda Indonesia

Garuda Indonesia (GI) telah menguasai pangsa pasar di segmen penerbangan

dan merupakan salah satu maskapai terbesar untuk penerbangan domestik. Hanya

saja, jika dilihat dari analisis data laporan keuangan Garuda Indonesia (GI), bisnis

maskapai ini bisa dibilang tidak menguntungkan. Hal ini dikarenakan harga saham

GI yang bisa dibilang sangat fluktuatif. Harga saham GI sendiri terbilang cukup

sering naik-turun dalam jumlah yang bisa dibilang tidak sedikit dalam sehari,

bahkan hingga puluhan persen. Oleh karenanya, banyak yang merasa jika

berinvestasi pada saham maskapai GI terbilang tidak menguntungkan jika pihak

investor tidak pandai memanfaatkan peluang jangka pendek dari saham yang
dibelinya dan malah berisiko untuk memberikan kerugian. Akan lebih baik bagi

investor untuk menanamkan uangnya pada deposito atau maskapai lain yang dapat

memberikan tingkat pengembalian lebih pasti ketimbang maskapai GI.

Kinerja GI baik secara bisnis maupun sahamnya terbilang kurang menarik minat

investor, tetapi nama perusahaan yang terbilang sudah santer terdengarlah yang

menarik minat investor terhadap maskapai ini. Alasan ini sebanding dengan adanya

sedikit saja rumor buruk yang terdengar mengenai GI, maka hal tersebut akan

memengaruhi pamor dan citra perusahaan yang mana akan berdampak langsung

terhadap kenaikan dan penurunan sahamnya.

Salah satu alasan mengapa peluang bisnis GI bisa dibilang tidak menguntungkan

adalah karena perumbuhan ekuitas perusahaan berada di bawah pertumbuhan aset,

yang mana cukup berisiko karena berarti utang perusahaan jauh lebih besar

ketimbang pertumbuhan aset perusahaan itu sendiri. Pertumbuhan pendapatan

perusahaan juga tidak diikuti dengan pertumbuhan laba bersih yang

menguntungkan, sehingga diperlukan biaya-biaya tertentu untuk menopang

pertumbuhan bisnisnya. Sayangnya, biaya operasional perusahaan yang terlalu besar

mendapatkan pengembalian yang tidak pasti juga. Belum lagi dengan kenyataan

bahwa tidak akan mudah bagi maskapai untuk menaikkan tarif atau harga tiket yang

dijual jika biaya operasional yang dibayarkan bisa dibilang terlalu tinggi.

Segala pemaparan yang telah disebutkan menandakan jika maskapai hampir

tidak memiliki keunggulan kompetitif untuk menarik minat investor jika

dibandingkan dengan maskapai-maskapai pada industri sejenis. Pertumbuhan saham

yang terbilang kecil dan laba yang tidak stabil jika dilihat dari laporan keuangan
pihak GI juga dibilang berisiko tinggi untuk investor menanamkan uangnya karena

tingkat pengembalian yang juga rendah.

Jika ditengarai, maskapai GI cenderung sering mengalami kerugian jika

dibandingkan dengan maskapai pada industri sejenis. Hal ini bisa dibilang tidak

wajar, apalagi jika mengingat nama besar maskapai di dalam negeri sendiri, apalagi

jika mengingat jika maskapai merupakan salah satu yang paling sering digunakan

oleh masyarakat dalam melakukan transportasi udara. Yang menjadi pertanyaan

besar adalah bagaimana manajemen mengelola perusahaan sehingga hal ini dapat

terjadi dan tidak hanya sekali saja. Tata kelola perusahaan perlu ditata ulang dan

juga perlu dilakukan analisis untuk mencari sumber masalah tersebut.

Kinerja GI saat ini, apalagi jika menimbang kepercayaan pasar yang rendah

terhadap maskapai, apalagi setelah kasus manipulasi laporan keuangan GI tahun

2018 kemarin tentu saja mempengaruhi harga saham perusahaan. Banyak investor

yang skeptis terhadap maskapai dan tentu saja berakibat untuk ragu-ragu dalam

menanamkan modal pada bisnis maskapai ini. Bisa dibilang, citra perusahaan telah

melorot karena kasus yang sempat menyandung nama maskapai beberapa saat lalu.

Oleh karenanya, beberapa investor tentu akan lebih memilih untuk menanamkan

uangnya pada perusahan lain yang lebih potensial terutama dalam tingkat

pengembaliannya.

III. Review Laporan Keuangan Garuda Indonesia

Baru-baru ini, maskapai Garuda Indonesia (GI) baru saja terkena masalah akibat

utang perusahaan yang membengkak dan berjumlah sangat besar. Semula berjumlah

20 Trilyun Rupiah, kini meningkat menjadi sebesar 70 Trilyun Rupiah, belum lagi
dengan perkiraan berupa tambahan sebesar 1 Trilyun Rupiah perbulannya jika utang

tersebut tidak kunjung dilunasi.

Setelah menganalisis Laporan Keuangan GI, masalah saat ini bukan satu-satunya

yang dialami oleh maskapai GI. Pada tahun 2017, maskapai sempat mengalami

kerugian yang cukup besar yaitu sekitar US$213,4 juta atau sekitar 2,9 triliun

rupiah, meskipun pendapatan operasional perusahaan terbilang telah naik sekitar

8%. Kerugian ini ditengarai karena pembayaran tax amnesty atau pengampunan

pajak yang mencapai US$137 juta atau 1,84 triliun rupiah. Kerugian lain berasa dari

denda hukum internasional yang berasal dari otoritas Australia terhadap manajemen

maskapai terkait dengan usaha kargo yang nilainya mencapai US$8 juta atau 108

miliar rupiah. Biaya-biaya operasional perusahaan juga termasuk dalam pos yang

menyebabkan kerugian di tahun tersebut.

Di tahun 2018 sendiri, terdapat polemik terhadap maskapai karena pihak GI

ditengarai telah memanipulasi laporan keuangannya. Dalam laporan keuangan

tahunan, tercatat jika pihak GI memperoleh keuntungan yang mencapai US$809,85

juta atau setara dengan 11,54 miliar rupiah. Hal ini tentu saja memberikan hasil

yang jauh lebih baik, mengingat perusahaan telah merugi dalam jumlah yang cukup

besar di tahun sebelumnya. Akan tetapi, hal tersebut kemudian menjadi masalah

karena nilai kontrak dari PT. Mahata Aero sebesar US$239,94 juta baru dibayarkan

sebesar US$6,8 sedangkan jumlah yang belum dibayarkan dicatatkan sebagai

piutang lain-lain. Kontrak yang dibubukan pada tahun pertama tersebutlah yang

kemudian menjadi masalah karena dinilai tidak sesuai dengan Pernyataan Standar

Akuntansi Indonesia (PSAK) sehingga pihak maskapai harus mempublikasikan

ulang laporan keuangannya.


Apa yang dilakukan oleh maskapai termasuk kegiatan manipulasi penyajian

laporan keuangan. Padahal GI sebagai perusahaan yang tercatat di pasar modal

sudah seharusnya sadar untuk bersikap transparan terhadap laporan keuangannya

karena akan diketahui oleh publik. Masalah ini bisa saja disebabkan karena tata

kelola perusahaan yang buruk. Dikatakan jika maskapai ingin menarik perhatian

dengan membalikan keadaan dari yang sebelumnya mengalami kerugian menjadi

mengalami keuntungan, sehingga bisa memberikan laporan yang positif dengan

diperolehnya keuntungan tersebut.

Padahal, tindakan ini dapat dikatakan sebagai hal yang kurang etis, karena

mengindikasikan window dressing, yang mana semakin menurunkan kualitas GI.

Selain itu, terdapat risiko jika terdapat pihak luar atau investor yang semakin tidak

percaya terhadap maskapai dan mulai takut untuk berinvestasi. Semakin turunnya

kepercayaan publik atas manipulasi laporan keuangan tersebut akan sangat

berdampak negatif bagi keberlangsungan usaha maskapai.

Sedangkan pada tahun 2019, pihak GI akhirnya berhasil mendapatkan laba

bersih senilai US$112,8 juta atau setara dengan 1,7 triliun. Jumlah tersebut dinilai

naik dengan signifikan jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Pendapatan maskapai juga terjadi kenaikan, yakni sebesar US$3,5 miliar atau sekitar

49 triliun rupiah. Hal ini dapat disebut sebuah pencapaian, setelah terjadi kerugian

sebesar US$12 juta atau sekitar 168 miliar rupiah pada awal tahun 2019, yang

diakibatkan maskapai memberikan diskon besar-besaran antara 35-50%.

Di tahun 2020 sendiri, maskapai GI mencatatkan kerugian kembali, yakni

sebesar lebih dari 15 triliun rupiah pada kuartal ketiga. Maskapai hanya

mendapatkan sekitar US$1,14 miliar yang berarti pendapatan perusahaan merosot


sebesat 67,79% jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal ini diduga karena

adanya pandemic Covid-19 sehingga perusahaan perlu membatalkan atau bahkan

menunda beberapa penerbangan. Pengembalian uang bagi para penumpang yang

penerbangannya dibatalkan juga merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan

kerugian, karena maskapai nyaris tidak mendapatkan pemasukan.

Kemudian, yang paling baru merupakan masalah GI yang terbilang memiliki

utang hingga sebesar US$4,9 miliar atau sekitar 70 triliun rupiah. Utang yang sangat

besar ini disebabkan beban-beban dan pengeluaran perusahaan yang sangat besar,

dan pendapatan yang terbalik, yakni berjumlah sangat kecil yang merupakan

dampak dari pandemi Covid-19 sehingga omset perusahaan menurun drastis

dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Bisa dibilang, beban dan biaya yang

harus dikeluarkan perusahaan terutama di bagian operasional tidak sebanding

dengan pendapatan yang diterima. Hal ini menyebabkan laba perusahaan menjadi

minus.

Akibat kurangnya dana untuk menopang perusahaan, maka utang menjadi salah

akun di laporan keuangan yang jumlahnya menjadi membengkak karena perusahaan

memerlukan pinjaman untuk menutupi beban dan biaya yang harus dibayarkan

nyaris setiap bulannya demi kelangsungan usaha. Terdapat beberapa solusi yang

dapat dilakukan, yakni ada baiknya maskapai GI mengurangi jumlah karyawan

sehingga dapat meringankan beban gaji, seperti yang dilakukan oleh beberapa

maskapai lain yang mengalami masalah serupa selama pandemi Covid-19 ini

berlangsung, serta hanya menggunakan jumlah karyawan yang sesuai dengan

operasi perusahaan untuk sementara waktu.


Maskapai Garuda Indonesia juga sebaiknya meminimalisir usahanya dan

berfokus pada satu-dua penerbangan dengan tujuan untuk mengumpulkan laba

sebanyak-banyaknya tanpa harus mengeluarkan biaya operasional yang berlebihan

atau malah tidak diperlukan. Contohnya adalah dengan berfokus pada penerbangan

domestik saja untuk sementara waktu dan menurunkan harga hingga tidak terlalu

mahal tanpa harus mengalami kerugian sehingga dapat menarik minat masyarakat

untuk menggunakan maskapai tersebut ketika bepergian.

Maskapai GI sendiri merupakan salah satu perusahaan BUMN yang ada di

Indonesia, oleh karenanya, dibutuhkan reguasi dan kebijakan-kebijakan baru terkait

dengan kegiatan usaha yang harus dilakukan untuk menyesuaikan keadaan saat ini.

Ada baiknya pihak maskapai berupaya mengurangi beban operasional dan

memotong biaya-biaya yang tidak penting untuk meningkatkan labanya.

Apabila upaya-upaya telah dilakukan namun tidak ada hasil yang signifikan,

serta bertambahnya utang hingga membengkak, ada baiknya maskapai GI

dilikuidasi. Hal ini memang berarti jika Indonesia tidak lagi memiliki international

flag carrier dan pihak swasta berarti akan mengambil alih kekosongan yang

disebabkan oleh hal tersebut, tetapi dengan begitu, aset-aset maskapai dapat

digunakan untuk kepentingan melunasi utang maskapai yang terbilang sangat besar

tersebut.
Soal Bonus

1. Erick Thohir

2. Abdul Ghofar, SE., M.Si., DBA., Ak.

3. Chelsea F.C.

Anda mungkin juga menyukai