Oleh:
Nastiti Kartika Dewi
( 200020102011002 )
penurunan penumpang telah terjadi sejumlah sekitar 59-60% pada tahun 2020
kemarin. Hal tersebut juga disampaikan oleh The International Air Transport
oleh maskapai sebesar 54.7% selama tahun 2020 jika dibandingkan dengan tahun
sebelumnya.
penurunan penerbangan harian sejumlah kurang lebih 80% akibat ditundanya jadwal
penerbangan hingga jadwal yang belum dapat ditentukan, atau malah dibatalkan
sama sekali. Hal ini tentunya menjadi masalah bagi maskapai sendiri. Selain karena
mengalami kerugian yang sangat besar akibat harus mengembalikan uang yang telah
juga disulitkan oleh sumber pendapatan yang terus menurun nyaris setiap harinya.
Di sisi lain, terdapat biaya-biaya dan beban yang tidak dapat dihindarkan untuk
untuk melakukan beberapa hal dan memotong biaya yang dirasa tidak perlu serta
contohnya adalah mengurangi jumlah karyawan agar biaya yang dikeluarkan untuk
pembayaran gaji tidak terlalu besar. Atau contoh lainnya adalah mengurangi jumlah
sektor saja, seperti sektor domestik untuk membantu mengurangi biaya perawatan
beban yang lebih besar ketimbang pemasukan. Beberapa maskapai bahkan sempat
meskipun tanpa adanya penumpang dan agar pemasukan maskapai tidak benar-
Dampak yang dihasilkan oleh pandemi saat ini sangatlah besar untuk
sangat merugi dengan pendapatan yang anjlok meskipun telah mendapatkan bantuan
dana dari pemerintah dan juga investor yang berkepentingan. Dua dari beberapa
Oleh karenanya, dunia industri penerbangan perlu melakukan beberapa langkah dan
regulasi untuk menyesuaikan dengan keadaan saat ini. Sedikit demi sedikit,
Pesawat yang digunakan dan juga bandara perlu diatur sedemikian rupa agar
menciptakan rasa aman untuk pelanggan, begitupun jadwal dan beberapa tes yang
diwajibkan untuk dibawa sebelum melakukan suatu penerbangan. Petugas dan staf
juga perlu disiagakan agar dapat membantu dan mengarahkan para penumpang. Hal
ini bertujuan agar penumpang dapat merasa aman dan nyaman untuk bepergian
Dalam salah satu kajian yang dilakukan oleh Tim Riset INACA White Paper,
akan mulai membalik pada tahun 2022. Hasil kajian ini didapatkan dengan
masyarakat masih tetap mematuhi protokol kesehatan dan regulasi yang berlangsung
mengenai pembatasan pergerakan dan kapasitas penerbangan yang saat ini hanya
memuat kurang dari setengah jumlah total penumpang jika dibandingkan dengan
jika industri penerbangan di Indonesia sendiri berhasil bangkit, maka hal tersebut
Hasil kajian yang baru saja dipaparkan sayangnya berbeda dengan prediksi
IATA yang mengatakan jika industri penerbangan masih harus merugi setidaknya
sampai dengan atau paling cepat tahun 2024. Penerbangan domestik diharapkan
penerbangan domestik termasuk menyumbang pasar paling besar jika dilihat dari
masalah pandemi Covid-19 secara lebih ketat. Salah satu contohnya adalah Vietnam
yang telah menerapkan protokol Kesehatan yang ketat terkait dengan Covid-19
sejak awal pandemi. Hal ini dikarenakan kurangnya kepatuhan atau disiplin
masyarakat dalam negeri jika dibandingkan dengan negara-negara lain yang lebih
Berkaitan dengan dampak dari pandemi Covid-19 sendiri, salah satu maskapai di
Indonesia yakni Garuda Indonesia (GI) baru-baru ini tengah mengalami masalah.
Hal ini dikarenakan masalah utang yang semula berjumlah 20 triliun rupiah
meningkat hingga 70 triliun rupiah. Hal ini disinyalir karena beban sewa pesawat
melebihi jumlah yang seharusnya dan jenis pesawat yang bisa dibilang terlalu
menyewakan. Selain hal itu, masalah ini juga disebabkan karena rute yang dilalui
berkaitan dengan hal tersebut, maka akan dibahas perihal mengenai kasus maskapai
Garuda Indonesia.
dan merupakan salah satu maskapai terbesar untuk penerbangan domestik. Hanya
saja, jika dilihat dari analisis data laporan keuangan Garuda Indonesia (GI), bisnis
maskapai ini bisa dibilang tidak menguntungkan. Hal ini dikarenakan harga saham
GI yang bisa dibilang sangat fluktuatif. Harga saham GI sendiri terbilang cukup
sering naik-turun dalam jumlah yang bisa dibilang tidak sedikit dalam sehari,
bahkan hingga puluhan persen. Oleh karenanya, banyak yang merasa jika
investor tidak pandai memanfaatkan peluang jangka pendek dari saham yang
dibelinya dan malah berisiko untuk memberikan kerugian. Akan lebih baik bagi
investor untuk menanamkan uangnya pada deposito atau maskapai lain yang dapat
Kinerja GI baik secara bisnis maupun sahamnya terbilang kurang menarik minat
investor, tetapi nama perusahaan yang terbilang sudah santer terdengarlah yang
menarik minat investor terhadap maskapai ini. Alasan ini sebanding dengan adanya
sedikit saja rumor buruk yang terdengar mengenai GI, maka hal tersebut akan
memengaruhi pamor dan citra perusahaan yang mana akan berdampak langsung
Salah satu alasan mengapa peluang bisnis GI bisa dibilang tidak menguntungkan
yang mana cukup berisiko karena berarti utang perusahaan jauh lebih besar
mendapatkan pengembalian yang tidak pasti juga. Belum lagi dengan kenyataan
bahwa tidak akan mudah bagi maskapai untuk menaikkan tarif atau harga tiket yang
dijual jika biaya operasional yang dibayarkan bisa dibilang terlalu tinggi.
yang terbilang kecil dan laba yang tidak stabil jika dilihat dari laporan keuangan
pihak GI juga dibilang berisiko tinggi untuk investor menanamkan uangnya karena
dibandingkan dengan maskapai pada industri sejenis. Hal ini bisa dibilang tidak
wajar, apalagi jika mengingat nama besar maskapai di dalam negeri sendiri, apalagi
jika mengingat jika maskapai merupakan salah satu yang paling sering digunakan
besar adalah bagaimana manajemen mengelola perusahaan sehingga hal ini dapat
terjadi dan tidak hanya sekali saja. Tata kelola perusahaan perlu ditata ulang dan
Kinerja GI saat ini, apalagi jika menimbang kepercayaan pasar yang rendah
2018 kemarin tentu saja mempengaruhi harga saham perusahaan. Banyak investor
yang skeptis terhadap maskapai dan tentu saja berakibat untuk ragu-ragu dalam
menanamkan modal pada bisnis maskapai ini. Bisa dibilang, citra perusahaan telah
melorot karena kasus yang sempat menyandung nama maskapai beberapa saat lalu.
Oleh karenanya, beberapa investor tentu akan lebih memilih untuk menanamkan
uangnya pada perusahan lain yang lebih potensial terutama dalam tingkat
pengembaliannya.
Baru-baru ini, maskapai Garuda Indonesia (GI) baru saja terkena masalah akibat
utang perusahaan yang membengkak dan berjumlah sangat besar. Semula berjumlah
20 Trilyun Rupiah, kini meningkat menjadi sebesar 70 Trilyun Rupiah, belum lagi
dengan perkiraan berupa tambahan sebesar 1 Trilyun Rupiah perbulannya jika utang
Setelah menganalisis Laporan Keuangan GI, masalah saat ini bukan satu-satunya
yang dialami oleh maskapai GI. Pada tahun 2017, maskapai sempat mengalami
kerugian yang cukup besar yaitu sekitar US$213,4 juta atau sekitar 2,9 triliun
8%. Kerugian ini ditengarai karena pembayaran tax amnesty atau pengampunan
pajak yang mencapai US$137 juta atau 1,84 triliun rupiah. Kerugian lain berasa dari
denda hukum internasional yang berasal dari otoritas Australia terhadap manajemen
maskapai terkait dengan usaha kargo yang nilainya mencapai US$8 juta atau 108
miliar rupiah. Biaya-biaya operasional perusahaan juga termasuk dalam pos yang
juta atau setara dengan 11,54 miliar rupiah. Hal ini tentu saja memberikan hasil
yang jauh lebih baik, mengingat perusahaan telah merugi dalam jumlah yang cukup
besar di tahun sebelumnya. Akan tetapi, hal tersebut kemudian menjadi masalah
karena nilai kontrak dari PT. Mahata Aero sebesar US$239,94 juta baru dibayarkan
piutang lain-lain. Kontrak yang dibubukan pada tahun pertama tersebutlah yang
kemudian menjadi masalah karena dinilai tidak sesuai dengan Pernyataan Standar
karena akan diketahui oleh publik. Masalah ini bisa saja disebabkan karena tata
kelola perusahaan yang buruk. Dikatakan jika maskapai ingin menarik perhatian
Padahal, tindakan ini dapat dikatakan sebagai hal yang kurang etis, karena
Selain itu, terdapat risiko jika terdapat pihak luar atau investor yang semakin tidak
percaya terhadap maskapai dan mulai takut untuk berinvestasi. Semakin turunnya
bersih senilai US$112,8 juta atau setara dengan 1,7 triliun. Jumlah tersebut dinilai
Pendapatan maskapai juga terjadi kenaikan, yakni sebesar US$3,5 miliar atau sekitar
49 triliun rupiah. Hal ini dapat disebut sebuah pencapaian, setelah terjadi kerugian
sebesar US$12 juta atau sekitar 168 miliar rupiah pada awal tahun 2019, yang
sebesar lebih dari 15 triliun rupiah pada kuartal ketiga. Maskapai hanya
utang hingga sebesar US$4,9 miliar atau sekitar 70 triliun rupiah. Utang yang sangat
besar ini disebabkan beban-beban dan pengeluaran perusahaan yang sangat besar,
dan pendapatan yang terbalik, yakni berjumlah sangat kecil yang merupakan
dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Bisa dibilang, beban dan biaya yang
dengan pendapatan yang diterima. Hal ini menyebabkan laba perusahaan menjadi
minus.
Akibat kurangnya dana untuk menopang perusahaan, maka utang menjadi salah
memerlukan pinjaman untuk menutupi beban dan biaya yang harus dibayarkan
nyaris setiap bulannya demi kelangsungan usaha. Terdapat beberapa solusi yang
sehingga dapat meringankan beban gaji, seperti yang dilakukan oleh beberapa
maskapai lain yang mengalami masalah serupa selama pandemi Covid-19 ini
atau malah tidak diperlukan. Contohnya adalah dengan berfokus pada penerbangan
domestik saja untuk sementara waktu dan menurunkan harga hingga tidak terlalu
mahal tanpa harus mengalami kerugian sehingga dapat menarik minat masyarakat
dengan kegiatan usaha yang harus dilakukan untuk menyesuaikan keadaan saat ini.
Apabila upaya-upaya telah dilakukan namun tidak ada hasil yang signifikan,
dilikuidasi. Hal ini memang berarti jika Indonesia tidak lagi memiliki international
flag carrier dan pihak swasta berarti akan mengambil alih kekosongan yang
disebabkan oleh hal tersebut, tetapi dengan begitu, aset-aset maskapai dapat
digunakan untuk kepentingan melunasi utang maskapai yang terbilang sangat besar
tersebut.
Soal Bonus
1. Erick Thohir
3. Chelsea F.C.