Anda di halaman 1dari 23

BAB 2

TINJAUAN TEORITIS

Bab ini menjelaskan tentang teori yang berhubungan dengan variabel penelitian
yaitu konsep intubasi endotracheal tube, konsep pengetahuan dan keterampilan
serta konsep pelatihan. Bagian akhir dari penjelasan konsep-konsep yang berkaitan
dengan variabel penelitian akan di rangkum menjadi kerangka teori.

2.1 Intubasi Endotracheal tube

Pemasangan endotracheal intubation (ETI) di unit perawatan intensif biasanya


dilakukan apabila penanganan sacara noninvasive dan konservatif (seperti
batuk, posisi kepala dan leher, dan kesejajaran tubuh) tidak mampu
membebaskan sumbatan jalan napas. Ketidakmampuan dalam hal
membersihkan sekresi jalan napas, kehilangan reflek proteksi, dan gagal napas
mengindikasikan penyisipan saluran napas melalui oral atau nasal. (Heard &
Watson, cit by, Robert & Tood, 2012; Chulay & Burns, 2006).

Intubasi endotrakeal juga ditunjukkan pada beberapa keadaan klinis lainnya


seperti kegagalan pernapasan hipoksia atau hiperkapni akut. Prosedur ini juga
digunakan untuk melindungi jalan napas dalam kondisi obstruksi jalan napas
bagian atas akibat keadaan patologis maupun meknis (Polansky, 1996).
Kebutuhan akan intubasi dan dukungan ventilasi mekanis merupakan keputusan
klinis berdasarkan pada peningkatan kerja pernapasan (misalnya, laju
pernapasan >35 /menit, penggunaan otot aksesorius) (Vincent, et.al. 2017).
Beberapa indikasi pasien yang akan dilakukan intubasi yaitu pasein dengan
gangguan jalan napas atau gangguan pernapasan yang tidak bisa diatasi dengan
tehnik noninvasive, henti jantung, gangguan keseimbangan asam dan basa,
tindakan pembedahan dengan anastesi umum dan peningkatan tekanan
intrakranial (Sudana, 2015).

11
12

Intubasi merupakan prosedur yang biasa dan dapat dilakukan di unit perawatan
intensif yang berfungsi untuk mempertahankan kepatenan jalan napas, sebagai
sarana untuk menghasilkan ventilasi tekanan positif atau tekanan negatif,
memenuhi kebutuhan oksigenasi, mencegah terjadinya aspirasi cairan (secret,
aspirasi cairan lambung, darah) kedalam paru-paru, frekuensi suction yang
sering, memfasilitsi tekanan positif pada paru-paru (Heard & Watson, cit by,
Robert & Tood, 2012; Miller & Pardo, 2011).

Pasien yang teritubasi pipa ET akan tersambung dengan ventilator mekanis


sebagai alat yang mengganti pernapasan pasien. Perawat dan terapis
pernapasan harus melakukan pemantauan secara rutin pada pasien yang
terpasang intibasi dan ventilasi mekanis. Lewis, et al. (2013), memaparkan
tanggung jawab keperawatan pada pasien yang terpasang pipa ET mencakup
salah satunya adalah menjaga inflasi cuff dengan tepat.
2.1.1 Takanan cuff endotracheal tube (ET)
Lewis, et al. (2013), mengemukakan bahwa pemantauan tekanan cuff
(manset) sangat penting. Volume cuff tinggi dengan tekanan rendah dapat
menstabilkan dan menempelkan tabung ET ke dinding trakea dan
mencegah kebocoran udara dari ventilasi. Secara umum cuff pipa
endotrakeal memiliki dua fungsi: (1) tekanan cuff berfungsi memastikan
ruang kedap udara untuk mempertahankan efisiensi dukungan ventilasi;
(2) melindungi jalan napas bagian bawah dari aspirasi sekresi dan darah.
Tekanan cuff yang tidak memadai dapat mengganggu fungsi ini, namun
tekanan cuff yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan trakea (Soe
& Susanto, 2003).

Tekanan cuff yang diberikan pada mukosa trakea oleh manset ETT harus
serendah mungkin untuk menghindari terhentinya aliran darah pada
mukosa trakea dan harus cukup tinggi untuk mencegah terjadinya
kebocoran dan mikroaspirasi cairan kedalam paru-paru (Gilliland, et.al
2015). Tekanan perfusi kapiler trakea adalah 4,3 kPa (43 cm H2O). Oleh
13

karena itu tekanan idealnya adalah kurang dari tekanan kapiler untuk
mencegah terganggunya sirkulasi mikrovaskuler ke mukosa tracheal.
Tekanan cuff pipa ET atau trakeostomi yang disarankan kurang dari 3,0
kPa (30 cm H2O) (Gopalan & Browning, 2005).

Tekanan yang dianjurkan untuk mempertahankan tekanan cuff yang ideal


adalah kisaran 20 sampai 30 cm H2O (Ghafouri, et.al. 2012; Pavlisa,
et.al. 2016; Ajjapa & Naz, 2017). Hal yang sama juga dikemukakan olah
Athiraman, et.al. (2015), tekanan maksimum inflasi cuff sebesar 20-30
cm H2O sehingga perfusi kapiler bisa memadai. Labeau, et.al. (2015),
juga mengatakan tekanan cuff yang aman berkisar antara 20 dan 30
cmH2O atau 15 dan 22 mmHg.

Tabel 2.1 Rentang tekanan cuff yang aman menurut beberapa hasil
penelitian

Tekanan Cuff (cm Tekanan Cuff


Penulis Tahun
H2O) (mmHg)
Cairo 2016 27-34 20-25
Conti 2006 25 18,4
Pavlisa, et.al 2016 20-30 -
Ajjppa & Naz 2017 20-30 -
Jaillette, et.al. 2014 20-30 -
Arts, et.al. 2013 - 20
Kim & Shin 2006 - 20
Jordan 2012 - 18-22
Sole 2011 20-30 15-22

Pemeriksaan tekanan cuff sangat penting dalam perawataan pasien yang


terpasangan pipa endotrakeal. Pemantauan tekanan cuff endotrakeal atau
trakeostomi biasanya diperiksa setiap 8 sampai 12 jam (Cairo, 2016).
Beberapa studi menunjukan terjadinya perubahan tekanan cuff pipa
endotrakeal. Danielis, et.al. (2015), melakukan pengamatan terhadap 72
pasien dirawat di unit perawatan intensif umum dan dipantau selama 12
jam, dengan alat pemantauan berkesinambungan dari tekanan cuff pipa
endotrakeal. Selama 4 jam pertama dilakukan pengamatan terdapat 4
14

kasus (5,6%) manset underinflasi, dan 5 (6,9%) overinflasi. Pengamatan


5-8 jam terdapat 7 pasien (9,7%) menunjukkan tekanan < 20 cmH2O, dan
3 (4,2%) > 30 cmH2O. Selama 4 jam terakhir 22 kasus (30,5%) manset
underinflasi, dan 4 (5,6%) overinflasi.

Pemantauan terus menerus tekanan cuff menunjukkan bahwa tekanan


cuff pipa endotrakeal bervariasi secara ekstensif selama pasien
terpasangan ventilasi mekanis, dan merupakan perawatan pasien rutin di
unit perawatan intensif (Memela & Gopalan, 2014). Sehingga pada pada
pasien yang aktif pergerakan/gelisah dilakukan pemeriksaan tekanan cuff
secara berkala 2-8 jam (Chenelle, et.al. 2015).

2.1.2 Teknik pengukuran tekanan cuff


Secara umum menjaga tekanan cuff bertujuan mengurangi resiko
terjadinya keadaan overinflasi dan underinflasi. Terdapat beberapa cara
yang digunakan untuk mengembangkan cuff pada pipa endotrakeal yaitu
minimum occlusion technique (MOT), minimum leak technique (MLT)
(Cairo, 2016).
2.1.2.1 MOT
Kembangkan cuff selama ventilasi tekanan positif sampai tidak
ada kebocoran yang terdengar pada akhir inspirasi. Kebocoran
dideteksi dengan mendengarkan stetoskop di atas tulang
suprasternal atau leher lateral. Pengembangan cuff dengan MOT,
cukup banyak volume udara yang disuntikkan ke cuff untuk
menghentikan kebocoran di sekitar cuff sehingga tekanan pada
intrasel terendah dibutuhkan untuk membuat segel. Kemudian
volume yang dibutuhkan untuk mengembangkan cuff
didokumentasikan. Lewis, et al (2013) menyatakan langkah-
langkah MOT untuk inflasi manset adalah sebagai berikut:
a. Pada pasien dengan ventilasi mekanis, letakan stetoskop di
atas trakea dan kembangkan cuff dengan menambahkan udara
15

sampai tidak ada kebocoran udara pada tekanan inspirasi


puncak (akhir inspirasi ventilator)
b. Jika pasien dapat bernapas secara spontan, kembangkan cuff
sampai tidak terdengar lagi kebocoran udara setelah menarik
napas (proses inspirasi).
c. Gunakan manometer untuk memverifikasi bahwa tekanan
manset antara 15 dan 22 mmHg (Sole, 2011)
d. Mendokumentasikan tekanan cuff di grafik.
2.1.2.2 MLT
Cuff dikembangkan selama ventilasi tekanan positif sampai
kebocoran tidak lagi terdengar pada inspirasi. Sejumlah kecil
udara dikeluarkan dari manset sehingga terdengar kebocoran
pada akhir inspirasi. Beberapa klinisi lebih memilih MOT karena
kekhawatiran tentang aspirasi pada tehnik MLT.

Pengukuran tekanan cuff dapat diukur dengan menggunakan manometer


kolom merkuri, seperti yang digunakan untuk mengukur tekanan darah
dan atau menggunakan endotest. Gunakan stopcock tiga arah atau empat
arah di antara pilot ballon dan manometer sebelum mengukur tekanan cuff
pipa ET. Jika ini tidak dilakukan, sejumlah besar volume atau tekanan
manset akan hilang di tabung penghubung. Penting diperhatikan sebelum
mengempiskan tekanan pada cuff (manset) pipa endotrakeal dalam
persiapan proses ekstubasi, atau sebelum perawatan pipa ET yaitu dengan
melakukan suctioning untuk membersihkan sekresi dari atas cuff pipa ET
(Burns, 2014). Selain itu, untuk meningkatkan ketepatan tekanan cuff ET
yang diukur dengan alat inflasi cuff, perlu memperhatikan hal-hal berikut:
(Cairo, 2016).
2.1.3.1 Tempatkan stopcock ke katup pilot tabung endotrakeal (ET).
2.1.3.2 Setel stopcock ke posisi tertutup di semua arah.
2.1.3.3 Pasangkan pilot ballon dan spuit pada kedua stopcock yang
terbuka.
16

2.1.3.4 Putar stopcock ke spuit sebelum menekan inflator cuff.


2.1.3.5 Berikan tekanan pada manset sampai tekanan yang ideal (20-30
cmH2O atau 15-22 mmHg)
2.1.3.6 Setelah cuff diberikan tekanan, putar posisi stopcock untuk
menghubungkan inflator cuff ke manset ET.
2.1.3.7 Jika tekanan manset tidak pada rentang ideal, maka tambahkan
atau kurangi udara dari cuff.

Gambar 2.1 Spuit, manometer, dan stopcock tiga arah digunakan


untuk mengukur tekanan cuff pipa ET.

Perawatan cuff sangat penting untuk mencegah terjadinya komplikasi yang


ditimbulkan. Verma, (2006), menjelaskan prosedur dalam melakukan
deflasi dan inflasi cuff pipa ET:
2.1.3.1 Cuci tangan
2.1.3.2 Ukur tekanan cuff setiap 6-8 jam dan setiap kali posisi tabung atau
volume cuff berubah.
2.1.3.3 Ambil stopcock tiga arah dan sambungkan ke pilot ballon. Pada
bagian stopcock lainnya pasang semprotan berisi udara.
2.1.3.4 Masukkan udara ke dalam cuff pipa endotrakeal. Putar stopcock
untuk mentup kearah spuit. Baca tekanan cuff (manset) pada
manometer.
17

2.1.3 Faktor yang mempengaruhi tekanan cuff endotracheal tube


Jaillette, et.al. (2015), menjelaskan terdapat beberapa faktor yang dapat
meningkatkan tekanan cuff pipa ET seperti banyaknya udara yang
didorong kedalam cuff pipa ET, rasio antara cuff dengan diameter trakea,
bentuk dari cuff pipa ET, tekanan jalan napas dan agen anastesi tertentu.
Selain itu faktor yang dapat mempengaruhi tekanan cuff pipa ET antara
lain:
2.1.3.1 Posisi
Perubahan posisi akibat prosedur rutin yang dilakukan di unit
perawatan intensif dapat menyebabkan perubahan tekanan pada
cuff pipa endotracheal. Pavlisa, et.al. (2016), mengatakan
perubahan posisi tubuh berpengaruh secara signifikan terhadap
tekanan cuff ETT pada pasien yang menerima ventilasi mekanis.
Setelah perubahan posisi dari lateral kanan ke lateral kiri terjadi
perubahan tekanan cuff menjadi sedikit lebih rendah. Selain itu,
tekanan cuff juga menurun pada pasien yang telah dilakukan
prosedur penghisapan lendir dan bronkoskopi.

Posisi tubuh selama perawatan sehari-hari dapat mempengaruhi


tekanan cuff pipa endotrakeal. Alcan, et.al. (2016), menejelaskan
bahwa tekanan cuff pipa endotrakeal rata-rata meningkat dari 25
menjadi 32,59 ± 4,08 cmH2O setelah mengubah posisi pasien. Hal
yang sama juga di jelaskan oleh Lizy, et.al. (2015) saat
melakukan pengukuran sebanyak 192 kali terhadap 16 perubahan
posisi dilakukan; kepala antefleksion, kepala hiperekstensi, fleksi
kepala lateral kiri dan kanan, rotasi kiri dan kanan kepala, posisi
semirecumbent (elevasi head-of-bed 45°), posisi telentang (head-
of-bed 10°), sandaran horizontal, posisi trendelenburg (10°), dan
posisi lateral kiri dan kanan di atas 30°, 45°, dan 90°. Hasil
penelitian menunjukan terdapat peningkatan tekanan cuff lebih
18

dari 30 cm H2O setelah dilakukan perubahan pada 16 posisi


tubuh.

Perubahan posisi dengan meninggikan tempat tidur dari 300 ke 00


menyebabkan perubahan tekanan cuff (16,9% terjadi underinflasi
dan 11,8% overinflasi). Sedangkan perubahan posisi tempat tidur
dari 300 ke 600 (18,8% terjadi underinflasi dan 13,3% overinflasi)
(Ono, et.al. 2008).
2.1.3.2 Perpindahan atau transfer pasien
Transfer pasien dapat mempengaruhi tekanan cuff pipa
endotrakeal. Harm, et.al. (2013), menilai tekanan cuff pipa
endotrakeal sebelum dan sesudah transfer didalam rumah sakit
pada pasien dengan perawatan intensif. Sebanyak 63 pasien
menjalani transfer darurat, 38 pasien menerima transportasi ke
ruangan intensif), tekanan rata-rata 58 (30/100) cmH2O dalam
transfer darurat dibandingkan dengan 30 (20/45,8) cmH2O dalam
transport antar-ruang intensif. Hasil pengamatan menunjukan
adanya peningkatan tekanan cuff pipa endotrakeal sebelum dan
sesudah dilakukan transfer pasien.
2.1.3.3 Mode Ventilator
Meskipun MLT dapat memberikan tekanan cuff yang rendah
dalam beberapa situasi, namun hal itu tidak dapat dilakukan jika
tekanan yang diperlukan untuk mencapai pengiriman volume
tidal (VT) terlalu tinggi. Hal ini terjadi pada pasien dengan
compliance paru rendah (CL) atau resistansi saluran napas tinggi
(Resistance Airway; RAW), dimana sejumlah besar volume
mungkin hilang (Cairo, 2016). Urden et.al. (2014) juga
menjelaskan metode MLT kesulitan mempertahankan positive
end-expiratory pressure (PEEP) dan aspirasi di sekitar manset.
19

2.1.4 Komplikasi
Komplikasi yang terkait dengan intubasi dapat diklasifikasikan menjadi
komplikasi langsung dan jangka panjang. Mikroaspirasi dan iskemia
trakea adalah komplikasi jangka panjang yang umum pada pasien yang
sakit kritis (Jaillette, et.al. 2015).
2.1.4.1 Tekanan cuff tinggi
Inflasi dan pengukuran tekanan cuff pipa endotrakeal (ET)
seringkali tidak dipandang sebagai aspek penting perawatan pada
pasien bedah. Morbiditas yang terkait dengan cuff overinflated
secara teratur disorot dalam literatur, misalnya ulserasi mukosa
dan kelumpuhan pita suara (Combes et al 2001; Holley & Gildea
1971, cit by. Grant, 2013). Overinflasi cuff ET menyebabkan
cedera serius dan mempengaruhi aliran darah ke mukosa trakea,
menyebabkan stenosis trakea, ruptur trakea, atau fistula
trakeoesofagus (Staufer, et.al. 1981).

Kejadian overinflasi telah dapat menyebabkan ruptur trakea,


stenosis trakea, erosi mukosa trakea, nyeri trakea, trakeomalasia,
fistula trakeoesofagus, lesi tulang rawan, radang tenggorokan,
kelumpuhan laringeal rekuren, granuloma pita suara dan ulserasi,
kelumpuhan pita suara, disfungsi pita suara, cedera laring, dan
suara serak (Zand, et al. 2008). Hal yang sama juga dikemukakan
oleh Liu, et al. (2010), bahwa kejadian sakit tenggorokan, suara
serak, dan batuk berhubungan dengan tekanan cuff yang tinggi.
2.1.4.2 Tekanan cuff rendah
Urden, et. al. (2014), menyatakan bahwa kebocoran atau tekanan
cuff yang tidak optimal dapat menyebabkan rendahnya volume
tidal dan tekanan inspirasi pada pasien yang terpasang ventilasi
mekanik. Kondisi tekanan cuff yang rendah dapat mengurangi
efek mekanik ventilasi. Selain itu, tekanan cuff pipa ET di bawah
20 cmH2O meningkatkan faktor risiko ventilator associated
20

pneumonia (VAP) (Valencia, et.al. 2007). VAP adalah infeksi


saluran pernapasan pada pasien dengan ventilasi mekanik yang
terjadi paling sedikit 48 jam setelah penyisipan ETT (Oliveira,
et.al. 2014). Pneumonia terkait ventilator adalah komplikasi
serius pada pasien dengan ventilasi mekanis. Mempertahankan
tekanan cuff yang tepat terbukti merupakan tindakan pencegahan
yang sangat efektif (Kucan, et.al. 2015). Seringnya pergerakan
pasien dan tekanan manset rendah merupakan salah satu faktor
yang menyebabkan insiden meningkatnya VAP (Diaz, et.al.
2010).

2.2 Pendekatan teori keperawatan Virginia Henderson pada pasien


terpasangan pipa endotrakeal
Virginia Henderson memandang pasien sebagai individu yang membutuhkan
pertolongan untuk mencapai kemandirian dan kelengkapan atau keutuhan
pikiran dan tubuh. Virginia menjelaskan praktik keperawatan sebagai praktik
mandiri dan tidak tergantung pada dokter. Komponen utama dalam asuhan
keperawatan menurut Virginia Henderson (1966, cit by Alligood, 2014) adalah
perawat berperan membantu individu yang sehat maupun sakit untuk mencapai
kemandirian dalam memenuhi 14 kebutuhan dasar:
2.2.1 Bernapas dengan normal
2.2.2 Makan dan minum dengan cukup
2.2.3 Membuang sampah tubuh (eliminasi)
2.2.4 Bergerak dan mempertahankan posisi yang diinginkan
2.2.5 Istirahat dan tidur
2.2.6 Memilih pakaian yang pantas
2.2.7 Mempertahankan suhu tubuh dalam kisaran normal dengan
menyesuaikan pakaian dan memodifikasi lingkungan
2.2.8 Memelihara kebersihan tubuh dan berpakaian rapi untuk melindungi
kulit
21

2.2.9 Menghindari bahaya di lingkungan dan menghindari menciderai orang


lain.
2.2.10 Berkomunikasi dengan orang lain dalam mengungkapkan emosi,
kebutuhan, ketakutan dan opini
2.2.11 Beribadah sesuai dengan keyakinan yang dianut
2.2.12 Bekerja sesuai dengan keinginan untuk memenuhi aktualisasi diri
2.2.13 Bermain atau berpartisipasi dalam berbagai bentuk hiburan
2.2.14 Belajar, menemukan, atau memuaskan keingintahuan yang akan
membimbing kearah perkembangan normal dan kesehatan, dan
memenfaatkan fasilitas kesehatan yang tersedia

Virginia Henderson menjelaskan dalam 14 kebutuhan dasar salah satunya


adalah kebutuhan bernapas dengan normal. Bernapas dengan normal adalah
kebutuhan biologis seseorang. Hal senada juga di kemukakan oleh Abraham
Maslow (1987, P 64, cit by McLeod 2007), mengemukakan bahwa kebutuhan
paling dasar adalah kebutuhan fisiologis. Kebutuhan fisiologis merupakan
kebutuhan dasar yang harus dipenuhi untuk memelihara hemostasis tubuh.
Salah satu contoh kebutuhan fisiologis menurut Maslow adalah kebutuhan
bernapas. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi maka dapat menyebabkan
ketidaknyamanan atau kematian.

Tujuan pernapasan adalah menyediakan oksigen bagi jaringan dan membuang


karbon dioksida. Sel tubuh membutuhkan suplai oksigen yang terus menerus
untuk mendukung reaksi kimia penghasil energi untuk mendukung kehidupan
sehari-hari (Guyton & Hall, 2008; Sherwood, 2016). Pasien yang terpasang
pipa endotrakeal dan ventilasi mekanik bertujuan untuk mengganti sementara
pernapasan pasien dengan alat untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan
mengeluarkan karbon dioksida. Proses tersebut dibagi kedalam empat fase
ventilasi yang benar pada pasien: 1) perubahan dari pernapasan menjadi
inspirasi; 2) inspirasi; 3) berubah dari inspirasi untuk menghembuskan napas;
dan 4) ekhalasi (Urden, et.al. 2014).
22

Pasien yang terpasang pipa endotrakeal dan ventilasi mekanik umumnya akan
lebih lama membutuhkan perawatan di unit perawatan intensif. Virginia
Henderson memberikan gambaran tugas perawat yaitu mengkaji individu baik
yang sakit atau sehat dengan memberikan dukungan kepada kesehatan,
penyembuhan, serta agar meninggal dengan damai (Hidayat, 2008). Perawat
menurut Virgina Henderson:
“The unique function of the nurse is to assist the individual, sick or well, in
the performance of those activities contributing to health or its recovery (or
to peaceful death) that he would perform unaided if he had the necessary
strength, will, or knowledge; and to do this in such a way as to help him
gain independence as rapidly as possible”.
(Henderson, 1964, p. 63, cit by Alligood, 2014)

Teori keperawatan Virginia Henderson memandang hubungan perawat dan


pasien kedalam tiga tingkatan yaitu perawat sebagai pengganti (substitute),
perawat sebagai penolong (helper) dan perawat sebagai mitra (partner)
(Asmadi, 2008). Perawat memberikan asuhan keperawatan pada pasien yang
terpasang pipa endotrakeal dan ventilasi mekanik salah satunya dengan
memperhatikan tekanan cuff. Tekanan cuff penting untuk diperhatikan untuk
mencegah terjadinya kebocoran saat ventilasi tekanan positif dan memenuhi
kebutuhan oksigen sesuai dengan pengaturan pada mesin ventilator. Perawat
memberikan asuhan sebagai penolong (helper) membantu pasien mendapatkan
kembali kemandiriannya. Melakukan observasi keperawatan dan mecegah
komplikasi yang ditimbulkan pada saat pasien terpasang pipa endotrakeal.

2.2 Pengetahuan dan Keterampilan Perawat

Perawat telah ditantang untuk merespon dan menyesuaikan diri dengan


perubahan perawatan kesehatan terkini. Hal ini bisa dicapai jika praktik
keperawatan terus dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan pasien. Jelas
bahwa keterampilan dan pengetahuan yang baru diperlukan oleh perawat untuk
23

merespons secara proaktif terhadap perubahan-perubahan dalam bidang


keperawatan terkini (Coombs & Moorse, 2002).
2.3.1 Definisi Pengetahuan dan keterampilan perawat
Pengetahuan merupakan hasil yang diperoleh manusia untuk menjadi
tahu, dengan kata lain pengetahuan adalah hasil ungkapan apa yang
diketahui atau hasil dari pekerjaan (Suparlan, 2005). Notoatmodjo (2014)
menjelaskan pengetahuan merupakan hasil dari tahu setelah seseorang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.

Perawat unit perawatan intensif memerlukan tingkat pengetahuan,


kemampuan dan keterampilan atau keahlian khusus. Perawat yang
merawat korban multitrauma harus menggunakan basis pengetahuan
ilmiah yang luas, mulai dari fisiologi dan farmakologi hingga psikologi
serta sosial agar dapat memberikan perawatan yang sesuai dengan
kebutuhan pasien (Carper 1978, cit by Fulbrook, 2003). Perawat harus
memiliki pengetahuan teoritik, menguasai keterampilan menyelesaikan
masalah, mengambil keputusan dan kemampuan berpikir kritis. Secara
teknis, perawat harus menguasai keterampilan psikomotor dalam
melaksanakan tindakan keperawatan dan menguasi berbagai teknik
dalam intervensi keperawatan (Kusnanto, 2003). Keterampilan
merupakan hasil latihan yang dilakukan secara berulang-ulang sebagai
hasil dari aktivitas tertentu (Whiterington,1991).

2.3.2 Tingkatan Pengetahuan


Pengetahuan menurut Bloom, 1987 (dalam Notoatmodjo, 2014),
tercakup dalam domain kognitif terdiri dari 6 tingkatan yaitu tahu (know),
memahami, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi.
2.3.2.1 Tahu (know)
Tahu (know) merupakan usaha mengingat kembali materi yang
telah dipelajari sebelumnya. Pengetahuan dalam tingkat ini
merupakan mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari
24

seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah


diterima. Oleh sebab itu, tahu merupakan tingkat pengetahuan
yang paling rendah.
2.3.2.2 Memahami
Memahami merupakan suatu kemampuan untuk menjelaskan
secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat
menginterpretasikan materi tersebut secara benar.
2.3.2.3 Aplikasi
Aplikasi merupakan kemampuan untuk menggunakan materi
yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).
Aplikasi dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan
hukum-hukum, rumus, metode dan sebagainya dalam konteks
atau situasi yang lain.
2.3.2.4 Analisis
Analisis adalah kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu
objek ke dalam komponen-komponen di dalam satu struktur
organisasi dan masih berkaitan satu sama lain.
2.3.2.5 Sintesis
Sintesis merupakan suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan
yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan
untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang
ada.
2.3.2.6 Evaluasi
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.
Penilaian-penilaian ini didasarkan pada suatu kriteria yang
ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah
ada.
25

2.2.4 Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan dan keterampilan


Perawat yang memberikan pelayanan profesional harus mempunyai
kompetensi seorang perawat yang mencakup pengetahuan dan
keterampilan dalam melaksaanakan tindakan keperawatan (Nursalam &
Efendi, 2008). Pengetahuan perawat dapat dipengaruhi oleh pendidikan,
umur, pengalaman, minat, kebudayaan (Mubarak, dkk. 2012).
Sedangkan keterampilan juga dapat dipengaruhi oleh pengetahuan,
pendidikan, umur dan pengalaman kerja perawat. Eskander, et.al. (2013),
menjelaskan bahwa keterampilan searah dengan peningkatan
pengetahuan perawat tentang standar tindakan pencegahan dan kontrol
infeksi rumah sakit.
2.2.4.1 Pendidikan
Pendidikan menurut Undang-undang Sistem Pendidikan
Nasional (UUSPN), No. 20 tahun 2003 bahwa pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk menyiapkan peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya bagi
masyarakat, bangsa dan negara (FIP-UPI, 2007).

Peran pendidikan semakin penting dalam beberapa tahun terakhir


dan perawat diwajibkan untuk mengikuti kursus pendidikan,
terutama pendidikan teoritis memiliki pengaruh lebih baik
terhadap kinerja perawat (Majeed, 2017). Lebih lanjut menurut
Pirret (2007 cit by, Vandick, et.al. 2008) pendidikan perawat
harus mencakup dukungan tambahan dari pedoman berbasis bukti
saat ini. El Aziz (2014) menyatakan setelah diberikan pendidikan
singkat tentang perawatan mulut rata-rata pengetahuan perawat
dengan tingkat pendidikan sarjana pada saat pretest adalah
16,7±3.8, meningkat pada saat posttest menjadi 28,7±1,2.
26

Terdapat perbedaan rata-rata posttest pada perawat diploma dan


sarjana (24,5±28,7).
2.2.4.2 Pekerjaan
Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh
pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun tidak
langsung. Meretoja, et al (2004) melakukan studi dengan
membandingkan kompetensi antara perawat intensif, perawat unit
gawat darurat, perawat di ruang operasi, antar rumah sakit. Hasil
studi menunjukan bahwa terdapat perbedaan antara pengetahuan
dan kemampuan dalam mengelola situasi, peran kolaborasi,
fungsi diagnostic, pembinaan, memastikan kualitas dan
kompetensi secara umum.
2.2.4.3 Umur
Dengan bertambahnya umur seseorang akan terjadi perubahan
pada aspek fisik, psikologis (mental). Aspek psikologis atau
mental taraf berpikir seseorang semakin matang dan dewasa
seiring bertambahnya umur. Umur mempengaruhi pola pikir
seseorang, sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin
banyak. Penelitian oleh Köse, et al. (2016) tentang pengetahuan
perawat intensif tentang pencegahan pressure ulcer menunjukan
bahwa umur mempengaruhi pengetahuan perawat dalam upaya
pencegahan pressure ulcer.
2.2.4.4 Motivasi/minat
Motivasi adalah dorongan, keinginan dan tenaga penggerak yang
berasal dari dalam diri seseorang untuk melakukan sesuatu.
Motivasi adalah adanya kekuatan dorongan yang menggerakan
kita untuk berperilaku tertentu. Minat menjadikan seseorang
untuk mencoba menekuni suatu hal dan pada akhirnya diperoleh
pengetahuan yang lebih mendalam.
27

2.2.4.5 Pengalaman
Pengalaman merupakan suatu kejadian yang pernah dialami
seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Pengalaman merupakan sumber pengetahuan dan juga
merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran
pengetahuan. Massaroli, et al. (2015), menyatakan pengalaman
kerja menjadi sebuah batasan terhadap pengetahuan perawat
intensif tentang NCS (Nursing care systematization). Pengalaman
kerja perawat sangat penting dalam meningkatkan kemampuan
dan keterampilan perawat. Makhlof, et al. (2017) mengemukakan
bahwa pengelaman perawat umum yang menjalani magang di
lingkungan belajar klinis intensif menujukan kepuasan yang baik.

Swinny (2010), perawat membutuhkan basis pengetahuan dan


kemampuan secara akurat untuk mendefinisikan dan mengubah
prioritas dengan cepat, kemampuan komunikasi dan kerja tim
yang baik, dan kemampuan untuk bekerja dalam lingkungan yang
penuh tekanan agar berhasil dan memberi pasien perawatan
berkualitas.
2.2.4.6 Kebudayaan
Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai
pengaruh besar terhadap sikap kita. Apabila dalam suatu wilayah
mempunyai banyak budaya untuk menjaga kebersihan,
lingkungan maka sangat mungkin masyarakat sekitarnya
mempunyai sikap untuk menjaga kebersihan lingkungan, karena
lingkungan sangat berpengaruh dalam pembentukan sikap pribadi
atau sikap seseorang.
2.2.4.7 Informasi
Kemudahan untuk memperoleh suatu informasi dapat membantu
mempercepat seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang
baru.
28

2.3 Konsep Pelatihan

2.3.1 Pengertian Pelatihan


Pelatihan (training) berarti memberikan kepada karyawan baru atau
karyawan yang ada keterampilan yang mereka butuhkan untuk
melakukan pekerjaan mereka (Dessler, 2015). Notoatmodjo (2009),
menyatakan bahwa pelatihan merupakan bagian dari proses pendidikan
bertujuan meningkatkan kemampuan dan keterampilan khusus.

Pelatihan dapat didefinisikan sebagai metode terorganisir meningkatkan


pengetahuan dan keterampilan untuk tujuan tertentu dan mereka telah
memperoleh pengetahuan yang diperlukan untuk melakukan tugas
pekerjaan. Pelatihan lebih ditekankan pada peningkatan kemampuan
pekerjaan yang spesifik pada saat ini (Marquis & Huston, 2012;
Hariandja, 2007).

Pelatihan merupakan metode untuk meningkatkan pengetahuan,


kemampuan dan keterampilan khusus yang diperlukan untuk melakukan
tugas atau pekerjaan sehingga dapat pelayanan yang lebih baik.

2.3.2 Tujuan Pelatihan


Tujuan pelatihan adalah agar karyawan menguasai pengetahuan,
keterampilan, dan perilaku yang ditekankan dalam program pelatihan
dan menerapkannya pada kegiatan mereka sehari-hari (Noe, 2010).
Hairandja (2007) juga menyatakan pelatihan merupakan pendidikan
praktis yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas kerja,
peningkatan kemampuan, pengembangan unit kerja dan pengembangan
sumber daya manusia. Lebih lanjut Marquis & Huston, (2012),
menjelaskan setelah mendapat pengetahuan dan memperoleh
keterampilan baru diharapkan meningkatkan produktivitas atau
menciptakan produk yang lebih baik.
29

2.3.3 Metode pelatihan


Metode pelatihan merupakan cara penyampaian yang digunakan selama
pelatihan itu berlangsung. Noe (2010) menyatakan beberapa metode
pelatihan antara lain:
2.3.3.1 Presentation methods
Metode presentasi adalah metode di mana peserta pelatihan
adalah sebagai penerima informasi pasif. Metode presentasi ini
terdiri dari dua macam yaitu:
a. Lecture
Ceramah adalah salah satu cara yang memakan waktu untuk
menyajikan sejumlah besar informasi secara efisien dengan
cara yang teratur. Metode ceramah mudah digunakan untuk
kegiatan dalam jumlah kelompok besar, selain menjadi sarana
utama untuk mengkomunikasikan jumlah besar informasi,
ceramah juga digunakan untuk mendukung metode pelatihan
lainnya seperti pemodelan perilaku dan teknik berbasis
teknologi.
b. Audiovisual methods
Instruksi audiovisual meliputi overhead, slide, dan video.
Video adalah metode instruksional yang populer. Metode ini
telah digunakan untuk meningkatkan kemampuan
komunikasi, keterampilan wawancara, dan keterampilan
layanan pelanggan. Metode ini jarang digunakan secara
tunggal, umumnya metode ini digunakan bersamaan dengan
ceramah untuk menunjukkan pengalaman dan contoh
pengalaman nyata kepada peserta pelatihan.
2.3.3.2 Hand’s on Methods
Metode langsung adalah metode pelatihan yang mengharuskan
peserta pelatihan untuk terlibat aktif dalam belajar. Metode ini
meliputi on-the-job training, self-directed learning,
30

apprenticeship, simulasi, studi kasus, permainan bisnis, role play,


dan pemodelan perilaku.
a. On-the-job training (OJT)
On-the-job training (OJT) mengacu pada karyawan baru atau
tidak berpengalaman yang belajar di lingkungan kerja dan
selama bekerja dengan mengamati rekan kerja atau manajer
yang melakukan pekerjaan itu dan mencoba meniru perilaku
mereka. OJT bertujuan melatih karyawan baru yang
dipekerjakan, meningkatkan kemampuan karyawan yang
berpengalaman saat diperkenalkannya teknologi baru,
karyawan pelatihan silang di dalam departemen atau unit
kerja, dan mengarahkan karyawan yang dipindahkan atau
dipromosikan ke pekerjaan baru mereka.
b. Self-Directed Learning (SDL)
Pembelajaran mandiri memungkinkan karyawan bertanggung
jawab atas semua aspek pembelajaran. Pelatih menjadi
seorang fasilitator untuk mengevaluasi pembelajaran atau
menjawab pertanyaan dari peserta pelatihan. Proses belajar
dikontrol oleh peserta pelatihan.
c. Apprenticeship
Magang adalah metode belajar kerja dengan pelatihan OJT
dan kelas. Untuk memenuhi syarat sebagai magang terdaftar
berdasarkan pedoman negara bagian atau federal, magang
dalam banyak kasus harus menyelesaikan setidaknya 144 jam
instruksi di kelas dan harus mendapatkan 2.000 jam, atau satu
tahun pengalaman kerja.
d. Simulations
Simulasi adalah metode pelatihan yang mewakili situasi
kehidupan nyata, dengan peserta pelatihan menunjukan hasil
yang mencerminkan apa yang akan terjadi jika mereka berada
di tempat kerja. Hasil penelitian oleh Chua (2017),
31

menjelaskan bahwa program pelatihan berbasis simulasi


memiliki efek positif terhadap pengetahuan dan kinerja
perawat.
e. Case Studies
Sebuah studi kasus adalah deskripsi tentang bagaimana
karyawan atau organisasi menghadapi situasi yang sulit.
Asumsi utama pendekatan studi kasus adalah bahwa peserta
cenderung mengingat dan menggunakan pengetahuan dan
keterampilan jika mereka belajar melalui proses penemuan.
f. Business Games
Permainan bisnis membutuhkan peserta pelatihan untuk
mengumpulkan informasi, menganalisisnya, dan membuat
keputusan. Permainan bisnis terutama digunakan untuk
pengembangan keterampilan manajemen. Permainan
merangsang pembelajaran karena peserta terlibat secara aktif.
g. Role Plays
Bermain peran membuat peserta latihan menunjukkan
karakter yang ditugaskan kepada mereka. Informasi mengenai
situasi (misalnya, masalah kerja atau interpersonal) diberikan
kepada peserta pelatihan. Peranan berbeda dari simulasi
berdasarkan pilihan respons yang tersedia bagi peserta
pelatihan dan tingkat detail situasi yang diberikan kepada
peserta pelatihan.
h. Behavior Modeling
Pemodelan perilaku menghadirkan peserta pelatihan dengan
model yang menunjukkan perilaku kunci untuk mereplikasi
dan memberi kesempatan kepada peserta pelatihan untuk
mempraktikkan perilaku kunci.
2.3.3.3 Group Building Methods
Group Building Methods adalah metode pelatihan yang dirancang
untuk meningkatkan efektivitas tim atau kelompok. Metode ini
32

bertujuan agar peserta pelatihan berbagi gagasan dan


pengalaman, membangun identitas kelompok, memahami
dinamika hubungan interpersonal, dan mengetahui kekuatan dan
kelemahan mereka sendiri dan kepentingan rekan kerja mereka.
Metode pembuatan kelompok meliputi adventure learning, team
training, action learning dan six sigma and black belt training.
a. Adventure Learning
Metode adventure learning berfokus pada pengembangan
kerja tim dan keterampilan kepemimpinan melalui aktivitas
terstruktur. Metode ini meliputi pelatihan yang dilakukan di
luar ruangan. Metode ini sesuai untuk mengembangkan
keterampilan yang berkaitan dengan efektivitas kelompok
seperti kesadaran diri, pemecahan masalah, pengelolaan
konflik, dan pengambilan risiko.
b. Team training
Team training mengkoordinasikan kinerja individu yang
bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Persyaratan
perilaku berarti bahwa anggota tim harus melakukan tindakan
yang memungkinkan mereka mengkomunikasikan,
mengkoordinasikan, menyesuaikan, dan menyelesaikan tugas
kompleks untuk mencapai tujuan mereka.
c. Action Learning
Metode action learning memberi tim atau kelompok kerja
masalah yang sebenarnya. Metode ini bertujuan untuk
memecahkan masalah penting, mengembangkan pemimpin,
dengan cepat membangun tim berkinerja tinggi, dan
mengubah budaya organisasi.
d. Six Sigma and Black Belt Training
Six sigma and black belt training melibatkan prinsip-prinsip
pembelajaran tindakan. Metode ini memberi alat pengukuran
33

dan statistik kepada karyawan untuk membantu mengurangi


cacat dan mengurangi biaya.

2.2 Kerangka Teori


Ketidakmampuan dalam hal
Pasien yang terpasang intubasi
membersihkan sekresi jalan Intubasi ET dan ventilasi mekanik
napas, kehilangan reflek Endotracheal umumnya mendapat perawatan
proteksi, dan gagal napas tube yang lama di unit perawatan
(Heard & Watson, cit by,
intensif (Goyal, et.al. 2006)
Robert & Tood, 2012)

Perawat bertanggung Perawat sebagai helper dalam


jawab dalam menjaga memenuhi 14 kebutuhan dasar
tekanan cuff pipa salah satunya adalah bernapas
endotrakeal dalam dengan normal (Asmadi, 2008;
rentang ideal (Lewis, Henderson, 1966 cit by
et.al. 2013) Alligood, 2014)

Faktor yang mempengaruhi


Perawat melakukan obeservasi tekanan cuff: tekanan cuff; jenis dari ET,
1. 2-8 jam pada pasien gelisah atau setiap 4 jam (Danielis, udara yang dimasukan, tekanan
et.al. 2015; Chenele, et.al. 2015). jalan napas, gen anastesi
2. Pasien yang tidak gelisah 8-12 jam (Cairo, 2016) tertentu, posisi, transfer pasien,
dan mode ventilator (Jailette,
et.al. 2015; Pavlisa, et.al. 2016;
Teknik observasi Pengetahuan; (tahu Alcan, et.al. 2016; Harm, et.al.
pengukuran tekanan (know), memahami 2013; Cairo, 2016)
cuff; MLT, MOT (Comprehension),
(Cairo, 2016). aplikasi (Aplication), Metode Pelatihan: (Noe,
analisis (Analysis), 2010)
sintesis (Synthesis), 1. Presentation methods
Tekanan cuff yang evaluasi (evaluation) dan a. Lecture
aman (20-30 cmH2O) keterampilan perawat b. Audiovisual
atau (15-22 mmHg) (Notoatmodjo, 2014; 2. Hands on methods
(Sole, et.al. 2011) Whiterington, 1991) a. OJT
b. SDL
c. Apprenticeship
Mempertahakan Faktor yang d. Simulation
tekanan cuff adalah mempengaruhi: e. Case study
efisiensi ventilasi dan 1. Pendidikan f. Busines game
mencegah aspirasi 2. Pekerjaan g. Role play
(Chan, et.al 2009) 3. Umur h. Behavior meodelling
4. Motivasi 3. Group building methods
5. Pengalaman a. Adventure learning
6. Kebudayaan b. Team teacing
7. Informasi c. Action learning
(Mubarak, dkk. 2012; d. Six stigma & Black Belt
Eskandar, et.al. 2013) training

Skema 2.1 Kerangka Teori

Anda mungkin juga menyukai