Anda di halaman 1dari 15

RESEPTOR ASETILKOLIN DI USUS

ALIM MUHAIMIN

201510330311037

PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

TAHUN 2015
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur bagi Allah SWT yang telah memberikan
kemampuan, kekuatan, serta keberkahan baik waktu, tenaga, maupun pikiran
kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan Laporan Praktikum Farmakologi
yang berjudul “Reseptor Asetilkolin di Usus” tepat pada waktunya.
Dalam penyusunan Laporan Praktikum Farmakologi ini, Kami banyak
mendapat tantangan dan hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak
tantangan itu bisa teratasi. Oleh karena itu, Kami mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada dr. Fathiyah Safithri, M.Kes selaku dosen mata kuliah
farmakologi atas bimbingan, pengarahan, dan kemudahan yang telah diberikan
kepada penulis dalam pengerjaan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada penulisan
makalah ini. Maka dari itu, saran dan kritik yang membangun sangat penting
diharapkan dari pembaca sekalian. Kami berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.

Malang, 27 Desember 2015


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Usus terletak didalam dirongga abdomen terbentang di lambung ke
duodenum, jejunum dan ileum (usus halus) dan berlanjut ke usus besar. Dalam
usus halus terjadi segmentasi yang merupakan kontraksi yang melakukan
pencernaan, pencampuan dan pendorongan kimus secara perlahan
menelusuri usus halus. Segmentasi ini terdiri dari kontraksi-kontraksi
berbentuk cincin di sepanjang usus halus dimana terjadi kontraksi yang
bergantian yaitu saat segmen yang satu melemas maka segmen yang satu
disampingnya akan berkontraksi. Pengaturan GastroIntestinal oleh system
saraf terdiri dari persarafan intrinsic dan inervasi ekstrinsik. Fungsi dari
persrafan ini adalah untuk menonitor dan mengatur proses yang terjadi
GastroIntensial dan persarafan ini mempunyai dua pleksus yaitu mienterikus
dan submukosa. Pleksus mienterikus terutama mengatur pergerakan
gastrointestinal, dan pleksus submukosa terutama mengatur sekresi
gastrointestinal dan aliran darah lokal. Selain itu, terdapat serabut-serabut
simpatis dan parasimpatis ektrinsik yang berhubungan ke kedua pleksus
mienterikus dan submukosa. Pada prinsipnya semua bagian dari fraktus
gastrointestinal dapat digunakan untuk percobaan organ terpisah (esophagus,
gaster, ileum, kolon, dan rectum)
Percobaan ini digunakan untuk mengetahui efek obat terhadap organ yang
secara tidak langsung menunjukkan kerja obat di reseptornya. Apabila jumlah
reseptor obat pada organ adalah N total, konsentrasi obat yang diberikan Xa,
maka reseptor yang ditempati oleh obat ini adalah Na.
Ada dua macam metoda organ terpisah, yaitu yang disertai saraf dan tidak
disertai saraf. Dengan metoda ini dapat diamati respon organ terhadap
pemberian obat.
Respon organ terhadap obat dapat diukur secara kualitatif dan kuantitatif
sehingga dapat digunakan untuk menghitung afinitas obat terhadap reseptor.
Pada praktikum ini digunakan beberapa konsentrasi obat untuk melihat
efeknya terhadap organ terpisah (usus)
1.2 Tujuan
1.2.1 Memahami prinsip – prinsip percobaan farmakologi dengan
menggunakan sediaan jaringan usus terpisah
1.2.2 Memahami efek farmakologis obat agonis dan antagonis pada
jaringan usus terpisah
1.2.3 Menghitung afinitas dan seletifitas obat terhadap reseptor pada
sediaan usus terpisah
1.3 Manfaat
1.3.1 Untuk mengetahui prinsip – prinsip percobaan farmakologi
menggunakan media jaringan usus terpisah
1.3.2 Untuk mengetahui efek farmakologi obat agonis dan antagonis
pada jaringan usus terpisah
1.3.3 Untuk mengetahui afinitas obat terhadap reseptor pada sediaan usus
terpisah
BAB II
DASAR TEORI
2.1 Reseptor Kolinergik
Reseptor kolinergik terbagi 2 tipe, yaitu :
• Reseptor ACh Nikotinik
• Reseptor ACh Muskarinik
Reseptor kolinergik banyak dijumpai di sistem saraf otonom di perifer maupun di
pusat. Keduanya berbeda dalam hal transduksi sinyalnya.
Reseptor ACh Nikotinik
Reseptor ini merupakan reseptor terhubung dengan kanal ion. Reseptor nikotinik
dapat berikatan dengan nikotin, tetapi juga memiliki beberapa ikatan dengan
senyawa lain. Reseptor nikotinik merupakan suatu protein pentamer yang terdiri
dari lima subunit yaitu: subunit α2,β, γ, dan δ yang masing-masing berkontribusi
membentuk kanal ion, dengan dua tempat ikatan untuk molekul ACh. Ion K+ dan
Na+ dapat keluar masuk melintasi membran. Reseptor ini berlokasi di
neuromuscular junction, ganglia otonom, medula adrenal, dan susunan saraf
pusat. Paling banyak ditemukan di neuromuscular junction (neuromuscular
junction adalah sinaps yang terjadi antara saraf motorik dengan serabut otot).
Reseptor nikotinik berperan memperantarai terjadinya kontraksi otot polos.
Aktivasi reseptor nikotinik pada neuromuscular junction
Potensial aksi pada ujung presinaptik saraf motorik menyebabkan terjadinya
pembukaan kanal ion Ca++ yang teraktivasi oleh voltase. Kemudian ion Ca++
masuk dan memicu pelepasan ACh pada ujung saraf. ACh berikatan dengan
reseptor nikotinik, menyebabkan pembukaan kanal ion Na+ . Kemudian Na+
masuk dan menyebabkan terjadi depolarisasi lokal yang memicu terbukanya kanal
ion Na+ yang teraktivasi voltase. Selanjutnya Na+ berikutnya masuk memicu
potensial aksi lebih lanjut sampai mencapai T tubule dan membuka kanal Ca++
teraktivasi voltase pada membran retikulum sarkoplasma (RS). Pelepasan Ca++
dari RS ke sitosol menyebabkan terjadinya kontraksi otot.
Obat yang beraksi menghambat reseptor Asetilkolin Nikotinik : Golongan
Penyekat neuromuskular (Antikolinergik).
Obat golongan ini banyak digunakan pada pelaksanaan operasi /pembedahan atau
pada kondisi dimana kontraksi otot harus dihindari. Obat ini diklasifikasikan lagi
menjadi dua golongan, yaitu : Non-depolarizing blocking agent dan Depolarizing
blocking agent.
1. Non-Depolarizing blocking agent Non-Depolarizing blocking agent
merupakan suatu antagonis yang bekerja dengan cara berkompetisi dengan ACh
untuk berikatan dengan reseptor yang berada di sel otot sehingga menyebabkan
aksi ACh menjadi terhambat dan terjadi relaksasi otot. Contohnya adalah
tubokurarin. Tubokurarin awalnya digunakan oleh orang pedalaman Amerika
selatan untuk racun anak panah untuk berburu. Tubokurarin bersifat kurang
selektif karena juga mengikat reseptor ACh nikotinik di ganglion sehingga
menyebabkan efek samping tidak terkontrolnya tekanan darah. Contoh obat lain
adalah pankuronium, vekuronium, rokuronium, atrakurium dan mivakurium.
2. Depolarizing blocking agent Depolarizing blocking agent merupakan agonis
partial reseptor ACh nikotinik. Contohnya adalah suksametonium atau
suksinilkolin. Jika obat ini berikatan pada reseptor ACh nikotinik, kanal ion Na+
terbuka yang menyebabkan depolarisasi. Untuk menghasilkan potensi aksi, kanal
ion harus diaktivasi dan kemudian diinaktivasi. Kanal ion yang terinaktivasi harus
repolarisasi untuk kembali ke kondisi istirahat dan kemudian dapat diaktivasi lagi.
Ikatan suksinilkolin dengan reseptor nikotinik menyebabkan perpanjangan lama
depolarisasi sehingga justru akan menghambat penghantaran potensil aksi lebih
lanjut. Hal ini akan menyebabkan terjadinya relaksasi otot.
Reseptor ACh Muskarinik
Reseptor muskarinik mampu mengikat muskarin, suatu senyawa yang berasal dari
jamur Amanita muscaria. Reseptor ini terdistribusi luas di seluruh tubuh dan
mendukung berbagai fungsi vital, di otak, sistim saraf otonom, terutama saraf
parasimpatis. Aktivasi reseptor pada perifer menyebabkan berkurangnya frekuensi
denyut jantung, relaksasi pembuluh darah, konstriksi sal pernafasan, peningkatan
sekresi dari kelenj keringat dan lakrimasi, konstriksi pada otot spinkter bola mata
dan otot siliar mata. Di otak reseptor ini dijumpai pada cerebral cortex, striatum,
hippocampus, thalamus dan brainstem. Reseptor ini berpartisipasi dalam banyak
fungsi penting, belajar, ingatan dan kontrol postur tubuh. Struktur reseptor
muskarinik: Reseptor muskarinik merupakan reseptor terhubung protein G, terdiri
dari 5 subtype yaitu : M1, M2, M3, M4, M5. Reseptor M1, M3, dan M5
terhubung dengan protein Gq, sedangkan reseptor M2 dan M4 terhubung dengan
protein Gi dan dengan suatu kanal ion. Respons yang timbul dari aktivasi reseptor
muskarinik oleh ACh dapat berbeda, tergantung pada subtipe reseptor dan
lokasinya.
2.2 Asetilkolin
Asetilkolin merupakan molekul ester-kolin (choline ester) yang pertama
diidentifikasi sebagai neurotansmitter. ACh dibuat di dalam susunan saraf pusat
oleh saraf yang badan selnya terdapat pada batang otak dan forebrain, selain itu
disintesis juga dalam saraf lain di otak. ACh beraksi pada sistem saraf otonom di
perifer dan di pusat, dan merupakan transmitter utama pada saraf motorik di
neuromuscular junction pada vertebrata
Sintesis dan degradasi ACh ACh yang dilepas dari ujung presinaptik mengalami
dua hal sebagai berikut:
1. Beraksi pada reseptornya, pada pascasinaptik dan presinaptik
2. ACh diambil kembali (re-uptake) ke ujung presinaptik dalam bentuk hasil
metabolismenya, yaitu kolin, digunakan lagi sebagai prekursor sintesis ACh.
Proses ini dapat dihambat oleh hemikolinium yang menghambat transporter kolin
sehingga menghalangi masuknya kembali kolin ke presinaptik.
3. ACh mengalami degradasi menjadi kolin dan asetat oleh enzim kolinesterase.
2.3 Reseptor Adrenergik
Reseptor noradrenalin dan adrenalin adalah reseptor adrenergik
(adrenoreseptor), yang merupakan reseptor terkopling protein G, dan tersebar di
berbagai organ dan jaringan. Reseptor adrenergik mengatur berbagai parameter
fisiologi seperti tekanan darah, detak jantung, dan lain-lain.
Ada dua kelompok utama reseptor adrenergik, yaitu reseptor adrenergik α
dan β, masing-masing dengan beberapa subtipe:
• Reseptor α terdiri dari subtipe α1 (Gq coupled receptor) dan α2 (Gi coupled
receptor).
• Reseptor β terdiri dari subtipe β1, β2 dan β3. Ketiganya terhubung dengan
protein Gs.
Reseptor α
Reseptor α terdiri dari reseptor α1 dan α2. Reseptor α1 penting untuk regulasi
kontraksi otot polos sedangkan reseptor α2 penting untuk pelepasan
neurotransmiter prasinaps. Gambar 10 menunjukkan berbagai subtipe reseptor α,
termasuk sinyaling serta senyawasenyawa yang bersifat sebagai agonis dan
antagonisnya.
• Reseptor α1, ditemukan di otot polos, jantung, dan hati dengan efek
vasokonstriksi, relaksasi intestinal, kontraksi uterus dan dilatasi pupil.
• Reseptor α2, ditemukan di platelet, otot polos vaskuler, ujung saraf, dan islet
pankreas, dengan efek agregasi platelet, vasokonstriksi, penghambatan pelepasan
norepinefrin dan sekresi insulin.
Reseptor β
Reseptor β-adrenergik terdiri dari 3 subtipe yaitu : β1, β2 and β3. Reseptor β1
terutama berada di jantung, reseptor β2 di paru-paru, saluran cerna, hati, uterus,
otot polos vaskuler dan otot skeletal. Sedangkan reseptor β3 banyak ditemukan di
sel lemak. Aktivitas reseptor β1 meliputi:
• Menstimulasi sekresi kelenjar ludah dan meningkatkan viskositas sekret.
• Meningkatkan cardiac output melalui peningkatan kontraksi otot jantung (efek
inotropik) dan peningkatan detak jantung (efek kronotropik).
• Berperan dalam pelepasan renin.
• Lipolisis dalam jaringan adiposa.
BAB III
METODE PENELITIAN

2.1 Alat dan Bahan

a. Organ Bath
b. Usus Marmut
c. Larutan Tyrode
d. Kymograph
e. Spuit
f. Atropin
g. Metacholin

A. Preparasi
1. Tikus yang sudah dibunuh, diambil ileumnya sepanjang 3-4 cm.
2. Ileum dimasukkan ke dalam organ bath yang berisi larutan thyrode
dengan temperatur 370C dan di aerasi dengan udara dipompa udara
3. Perubahan pada ileum (kontraksi) diteruskan melalui lever yang
diujungnya dipasang jarum penulis. Besar konsentrasi dicatat pada
kertas kymograph melalui jarum penulis.
4. Respon organ terhadap organ dapat dilihat dengan pemberian obat
ke dalam larutan di dalam organ bath.
B. Pengamatan Respon

Pada praktikum ini dapat dilihat :


 Perubahan tonus
 Perubahan kontraksi
 Mula kerja obat dan masa kerja obat
a. Respon organ terhadap pemberian metakolin (agonis muskarinik)

Diinjeksikan obat agonist ke dalam larutan di dalam organ bath.


Gantilah larutan dengan volume yang sama setelah kontraksi usus
mulai turun (lebih kurang 1 menit). Tunggu aktivitas ileum kembali
normal sebelum memberikan obat berikutnya (lebih kurang 3 menit)

No. Konsentrasi Volume Metakolin Konsentrasi


Metakolin (M) (cc) Metakolin dalam
organ Bath (M)
-7
1. 2,5 x 10 0,2 10-8
2. 2,5 x 10-6 1,8 10-7
3. 2,5 x 10-5 1,8 10-6
4. 2,5 x 10-4 1,8 10-5
5. 2,5 x 10-3 1,8 10-4
6. 2,5 x 10-2 1,8 10-3

b. Respon obat terhadap pemberian atropin (antagonis muskarinik)


 Sipkan usus terpisah dalam organ bath dengan larutan baru (dari
percobaan diatas)
 Berikan atropine pada larutan dalam organ bath sebesar 0,2 ul
dengan konsentrasi 3x10-6 M. konsentrasi atropine dalam organ
bath 3x10-8 M. (volume larutan 25 ml) tunggu 1 menit.
 Berikan metakolin sesuai dengan ukuran konsentrasi pada a
dengan cara seperti pada A.
BAB IV
PEMBAHASAN
Bahaslah hasil praktikum apa ? sesuaikah dg teori / jurnal yang ada ?
Tulis referensinya pada tiap penjelasan.
1. Prinsip praktikum sediaan organ terpisah (isolated organ)
 Syarat viabilitas isolated organ
2. Prinsip Kontraksi Usus sebagai organ otonomik
 Persarafan otonomik usus

Jawaban :
Saluran pencernaan juga dipengaruhi oleh susunan saraf otonom.
Saraf otonom parasimpatis yaitu: nervus vagus (menginervasi seluruh
saluran pencernaan, kecuali kolon bagian akhir) dan nervus pelvicus.
Pengaruh saraf parasimpatis terhadap saluran pencernaan adalah
meningkatkan aktivitas saluran pencernaan. Saraf simpatis
mempengaruhi saluran pencernaan, menurunkan aktivitasnya.
(Hernawati,2011)

Persarafan usus halus terutama dibentuk oleh unsur intrinsik dan


ekstrinsik. Komponen intrinsik dibentuk oleh kelompokan neuron-
neuron yang membentuk pleksus mesenterikus (Auerbach), terdapat
antara lapisan otot luar longitudinal dan lapisan otot dalam yang
sirkuler dan pleksus submukosa (Meissner) dalam lapisan submukosa.
Pleksus-pleksus mengandung beberapa nauron sensoris yang menerima
informasi dari ujung-ujung saraf dekat lapisan epitel dan dalam lapisan
otot polos mengenai susunan isi usus halus (kemoreseptor) dan dinding
usus halus (mekanoreseptor). Sel-sel saraf lain adalah efektor dan
mempersarafi lapisan otot dan sel-sel yang mengsekresi hormon.
Persarafan intrinsik yang dibentuk oleh pleksus-pleksus ini bertanggung
jawab akan kontrkasi usus halus yang terjadi pada keadaan di mana
persarafan ekstrinsik tidak ada sama sekali (total). Persarafan ekstrinsik
dibentuk oleh serabut-serabut saraf kolinergik parasimpatis
preganglionik yang merangsang aktivitas otot polos usus halus dan oleh
serabut-serabut saraf adrenergik simpatis postganglionik yang menekan
aktivitas otot polos usus halus. (uny,2011)

 Isolated usus – masih ada efek kontraksi (pada praktikum)


3. Prinsip Kerja Obat pada Reseptor
 Teori Okupansi
4. Prinsip kerja Agonis
 Hasil Praktikum bgm (lihat grafik kymograf dan kurva dosis-efek
Metakolin)
 Mekanisme sinyal transduksi Metakolin s.d timbul efek kontraksi

Jawaban :
Pada saluran cerna semua obat dari golongan ini dapat
merangsang peristalsis dan sekresi lambung serta usus. Metakolin
yang diberikan dapat mengaktifkan reseptor muskarinik pada organ
efektor unuk mengubah fungsinya secara langsung, dimana pada
praktikum metakolin akan berikatan dengan reseptor M3 di usus
yang nantinya akan meningkatkan kontraksi dari jaringan usus
terpisah tersebut.

5. Prinsip Kerja antagonis


 Hasil Praktikum bgm (lihat garfik kymograf)
 Mekanisme sinyal transduksi Atropin

Jawaban :
Hambatan oleh atropin bersifat reversibel dan dapat diatasi dengan
pemberian asetilkolin dalam jumlah berlebihan atau pemberian
antikolinesterase. Atropin memblok asetilkolin endogen maupun eksogen,
tetapi hambatannya jauh lebih kuat terdepresi sentral yang lebih besar
daripada atropin, sedangkan efek perifer terhadap jantung, usus dan otot
bronkus lebih kuat dipengaruhi oleh atropin.
Dalam saluran cerna, atropin bersifat menghambat peristalsis lambung
dan usus, atropin juga disebut obat antispasmodik. Penghambatan terhadap
asetilkolin eksogen (atau ester kolin) terjadi lengkap, tetapi terhadap
asetilkolin endogen hanya terjadi parsial. Atropin menyebabkan
berkurangnya sekresi liur dan sebagian juga sekresi lambung. Pada tukak
peptik, atropin sedikit saja mengurangi sekresi HCL, karena sekresi asam
ini lebih di bawah kontrol fase gaster daripada oleh N. Vagus. Gejala-
gejala ulkum peptikum setelah pemberian atropin terutama dikurangi oleh
hambatan motilitas lambung, inipun memerlukan dosis yang selalu disertai
dengan keringnya mulut. Tetapi sekali terjadi blokade, maka blokade akan
bertahan untuk waktu yang agak lama. Atropin hampir tidak mengurangi
sekresi cairan pankreas, empedu dan cairan usus, yang lebih banyak
dikontrol oleh faktor homoral. (farmakologi UI)

6. Membandingkan affinitas dan effikasi Metakolin jika diberikan metakolin


saja dengan jika diberikan Atropin dulu kemudian Metakolin
 Prinsip kerja antagonis kompetitif dan non kompetitif
Jawaban :
Antagonis kompetitif berkompetisi dengan agonis untuk
menduduki reseptor. Antagonis ini dapat diatasi dengan peningkatan dosis
agonis. Antagonis menggeser kurva dosis respon agonis ke kanan,
mengurangi afinitas agonis.
Antagonis nonkompetitif berikatan pada reseptor dan bersifat
ireversibel. Antagonis nonkompetitif menyebabkan sedikit pergeseran ke
kanan kurva dosis respon agonis pada kadar rendah. Semakin banyak
reseptor diduduki, agonis menjadi tidak mungkin mencapai efek maksimal
(Dr. Gunawan Pamudji Widodo, M.Si., Apt. , 2012. Reseptor)

 Hasil praktikum bgm (lihat grafik kymograf dan kurva dosis-efek


Atropin +metakolin)
 Tentukan Kerja Atropin sebagai antagonis kompetitif atau non
kompetitif berdasarkan hasil afinitas dan effikasinya.
 Kesimpulan : bgm pengaruh pemberian suatu antagonis kometitif
non kempetitif thd affinitas dan effikasi agonis.
DAFTAR PUSTAKA

Stringer Janet. Konsep Dasar Farmakologi. Jakarta :EGC

Anda mungkin juga menyukai