Anda di halaman 1dari 159

MODUL

FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

DISUSUN OLEH :

RAHMI RABIATY, S.Sos.I., M.Ag

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALANGKARAYA
TAHUN 2014
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas


segala limpahan rahmat, inayah, dan taufik-Nya. Shalawat dan salam
tercurahkan untuk junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah
membimbing umatnya menjadi yang beriman, berilmu, beramal, dan
berakhlak al-karimah.
Penyusunan Modul Filsafat Pendidikan Islam ini akan mengkaji
berbagai hal dalam pendidikan Islam seperti tujuan pendidikan, dasar
dan asas-asas pendidikan Islam, konsep manusia, guru, anak didik,
kurikulum, metode, evaluasi hingga para pemikir tokoh filsafat pendidikan
Islam.
Harapan penyusun, semoga modul ini memberikan manfaat bagi
pembaca, baik kalangan mahasiswa maupun umum. Jika ada kekeliruan
dan kurang sempurna, maka ke depannya akan dijadikan sebagai bahan
pertimbangan untuk memperbaiki isi materi dan substansi modul ini.
Akhirnya, penyusun berdoa semoga Allah SWT memberikan
rahmat dan berkah-Nya kepada kita semua. Amin.

Palangkaraya, September 2014


Penulis,

Rahmi Rabiaty, S.Sos. I, M. Ag

Modul Filsafat Pendidikan Islam 2


DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I Pendahuluan
Bab II Pengertian dan ruang lingkup filsafat pendidikan Islam
Bab III Aliran-aliran filsafat pendidikan dan filsafat pendidikan Islam
Bab IV Konsep alam semesta, manusia, masyarakat, dan ilmu
pengetahuan dalm perspektif filsafat pendidikan Islam
Bab V Hakikat dan tujuan pendidikan Islam
Bab VI Paradigma pendidik dan peserta didik
Bab VII Etika keilmuan dalam filsafat pendidikan Islam
Bab VIII Hakikat kurikulum dalam filsafat pendidikan Islam
Bab IX Hakikat metode dalam pendidikan Islam
Bab X Hakikat evaluasi dalam filsafat pendidikan Islam
Bab XI Pendidikan Islam sebagai suatu sistem
Bab XII Peluang dan tantangan pendidikan Islam
Bab XIII Pemikiran tokoh pendidikan Islam Al-Ghazali
Bab XIV Pemikiran tokoh pendidikan Islam Syed Muhammad
Naquib Al- Attas
Bab XV Pemikiran tokoh pendidikan Islam Hasan Langgulung

Modul Filsafat Pendidikan Islam 3


BAB I
PENDAHULUAN

Ketika Allah SWT menciptakan manusia pertama, tugas


terberatnya adalah menjadi khalifah. Ketika itu para malaikat
mempertanyakan kinerja dan akhlak manusia yang akan membahayakan
kehidupan dunia. Sebab, kerusakan dan pertumpahan darah di muka
bumi diakibatkan sepenuhnya oleh manusia. Keraguan para malaikat
terhadap Adam merupakan pertanda bahwa manusia akan menghadapi
ancaman, tantangan, hambatan dan rintangan yang amat berat dalam
menjalankan kedudukannya sebagai khalifah di muka bumi.
Allah SWT membekali Adam dengan seperangkat ilmu
pengetahuan, konsep, dan terminologi duniawi yang para malaikat pun
tidak mengetahuinya. Semua pengetahuan bersumber dari Allah, dan
Adam memperolehnya untuk memberi keyakinan kepada para malaikat
bahwa dirinya mampu menjalankan tugas sebagai khalifah.
Ilmu pengetahuan ditananamkan sejak dini oleh Allah kepada
manusia. Oleh karena itu, bayi yang baru dilahirkan telah memiliki
pengetahuan tentang Tuhan dengan fitrahnya, pengetahuan dengan
pendengaran dan perasaannya. Sekalipun demikian, semua potensi akal
manusia harus terus dikembangkan melalui pendidikan berkarakter,
artinya pendidikan yang mengikuti perkembangan dan kebutuhan
manusia sebagai makhluk yang kreatif dan dinamis.1
Filsafat Pendidikan Islam adalah satu mata kuliah yang disajikan
guna mengembangkan cara berpikir manusia tentang pendidikan Islam
sebagai suatu sistem yang didalamnya mengajarkan sistem pendidikan
yang berkaitan dengan akal, hati, dan pendidikan jasmani.
Modul ini akan membahas pendidikan Islam secara filosofis.
Pembahasannya dibagi menjadi beberapa bab sebagai berikut:

1
Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung : Pustaka Setia, 2009) , 1.

Modul Filsafat Pendidikan Islam 4


Bab I Pendahuluan
Bab II Pengertian dan ruang lingkup filsafat pendidikan Islam
Bab III Aliran-aliran filsafat pendidikan dan filsafat pendidikan Islam
Bab IV Konsep alam semesta, manusia, masyarakat, dan ilmu
pengetahuan dalam perspektif filsafat pendidikan Islam
Bab V Hakikat dan tujuan pendidikan Islam
Bab VI Paradigma pendidik dan peserta didik
Bab VII Etika keilmuan dalam filsafat pendidikan Islam
Bab VIII Hakikat kurikulum dalam filsafat pendidikan Islam
Bab IX Hakikat metode dalam pendidikan Islam
Bab X Hakikat evaluasi dalam filsafat pendidikan Islam
Bab XI Pendidikan Islam sebagai suatu sistem
Bab XII Peluang dan tantangan pendidikan Islam
Bab XIII Pemikiran tokoh pendidikan Islam Al-Ghazali
Bab XIV Pemikiran tokoh pendidikan Islam Syed Muhammad
Naquib Al- Attas
Bab XV Pemikiran tokoh pendidikan Islam Hasan Langgulung
Berdasarkan pembahasan-pembahasan diatas diharapkan para
pembaca dapat memahami dan mempelajari dasar-dasar filsafat
pendidikan Islam.

Modul Filsafat Pendidikan Islam 5


BAB II
PENGERTIAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti
cinta, dan kata sophos yang berarti ilmu atau hikmah. Dengan demikian,
filsafat berarti cinta terhadap ilmu atau hikmah. Subjek filsafat lazimnya
disebut philosopher, yang dalam bahasa Arab disebut failasuf.2
Untuk mendapatkan ilmu atau hikmah, media yang efektif adalah
pendidikan. Pendidikan Islam merupakan media keilmuan Islam yang
didasarkan pada nilai-nilai dasar Islam. Nilai-nilai ini dirasionalisasi lewat
filsafat sehingga bisa dikonversi dan diimplementasikan pada tataran
praktis. Oleh karena itu, peran filsafat pendidikan Islam sangat urgen
untuk pengembangan pendidikan Islam.
A. Tujuan Pembelajaran Umum
1. Mahasiswa mampu memahami pengertian filsafat pendidikan
dan filsafat pendidikan Islam
2. Mahasiswa mampu memahami pendekatan dalam filsafat
pendidikan Islam
3. Mahasiswa mampu memahami ruang lingkup filsafat
pendidikan Islam
B. Tujuan Pembelajaran Khusus
1. Mahasiswa mampu menguraikan dan membedakan
pengertian filsafat pendidikan dan filsafat pendidikan Islam
2. Mahasiswa mampu menjelaskan pendekatan dalam filsafat
pendidikan Islam
3. Mahasiswa mampu memetakan ruang lingkup filsafat
pendidikan Islam

2
Asmoro Achmadi, Filsafat Umum (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1997), 5

Modul Filsafat Pendidikan Islam 6


C. Uraian Materi
1. Pengertian filsafat pendidikan dan filsafat pendidikan Islam
a. Pengertian filsafat pendidikan
Berbagai pengertian filsafat pendidikan telah dikemukakan
para ahli. Menurut al-syaibani filsafat pendidikan adalah aktivitas
pikiran yang teratur, yang menjadikan filsafat sebagai jalan untuk
mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan.
Artinya, filsafat pendidikan dapat menjelaskan nilai-nilai dan
maklumat-maklumat yang diupayakan untuk pengalaman
kemanusiaan merupakan faktor yang integral.
Filsafat pendidikan juga bisa didefinisikan sebagai kaidah
filososfis dalam bidang pendidikan yang menggambarkan aspek-
aspek pelaksaan falsafah umum dan menitikberatkan pada
pelaksaan prinsip-prinsip dan kepercayaan yang menjadi dasar
dari filsafat umum dalam upaya memecahkan persoalan-
persoalan pendidikan secara praktis
Menurut Imam bernadib, filsafat pendidikan merupakan
ilmu yang pada hakikatnya merupakan jawaban dari pertanyaan-
pertanyaan dalam bidang pendidikan. Baginya filsafat pendidikan
merupakan aplikasi sesuatu analisis filsofis terhadap pendidikan.
Sedangkan menurut John Dewey, filsafat pendidikan
merupakan suatu pembentukkan kemampuan dasar yang
fundamental, baik yang menyangkut daya pikir (intelektual)
maupun daya perasaaan (emosional) menuju tabiat manusia.
Jadi untuk mendapatkan pengertian filsafat pendidikan
yang lebih jelas, ada baiknya kita melihat beberapa konsep
mengenai pengertian pendidikan itu sendiri. Pendidikan adalah
bimbingan secara sadar dari pendidik terhadap perkembangan
jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya manusia yang
memiliki kepribadian yang utama dan ideal, yaitu kepribadian yang
memiliki kesadaran moral dan sikap mental secara teguh dan

Modul Filsafat Pendidikan Islam 7


sungguh-sungguh memengang dan melaksanakan ajaran atau
prinsip-prinsip nilai (filsafat) yang menjadi pandangan hidup
secara individu, masyarakat maupun filsafat bangsa dan Negara.
b. Pengertian filsafat pendidikan Islam
Filsafat pendidikan Islam memiliki pengertian yang
mengkhususkan kajian pemikiran-pemikiran yang menyeluruh dan
mendasar tentang pendidikan berdasarkan tuntutan ajaran Islam.
Sedangkan ajaran Islam sebagai sebuah sistem yang diyakini
oleh penganutnya yang memiliki nilai-nilai tentang kebenaran
yang hakiki dan mutlak, untuk dijadikan sebagai pedoman dalam
berbagai aspek kehidupan, termasuk didalamnya apek
pendidikan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa filsafat
pendidikan Islam adalah pemikiran yang radikal dan mendalam
tentang berbagai masalah yang ada hubungannya dengan
pendidikan Islam.
Sebagai contoh akan dikemukakan beberapa masalah
kependidikan yang memerlukan analisis filsafat dalam memahami
dan memecahkannya, antara lain:
1) Apakah hakikat pendidikan. Mengapa pendidikan harus ada
pada manusia dan merupakan hakikat hidup manusia. apa
hakikat manusia dan bagaimana hubungan antara pendidikan
dengan hidup dan kehidupan manusia.
2) Apakah tujuan pendidikan yang sebenarnya.
3) Apakah hakikat peribadi manusia. manakah yang utama untuk
dididik;akal, perasaan atau kemauannya, pendidikan jasmani
atau mentalnya, pendidikan skiil ataukah intelektualnya,
ataukah kesemuanya dan lain sebagainya.
Dengan demikian, filsafat pendidikan Islam secara singkat
dapat dikatakan adalah filsafat pendidikan yang berdasarkan
ajaran Islam atau filsafat pendidikan yang dijiwai oleh ajaran
Islam, jadi ia bukan filsafat yang bercorak liberal, bebas, tanpa

Modul Filsafat Pendidikan Islam 8


batas etika sebagaimana dijumpai dalam pemikiran filsafat pada
umumnya.
2. Pendekatan dalam filsafat pendidikan Islam
Permasalahan yang perlu dipecahkan dalam masalah
pendidikan Islam perlu didekati melalui berbagai pendekatan
sesuai dengan permasalahannya. Diantara pendekatan yang
digunakan adalah sebagai berikut.
a. Pendekatan Wahyu
Metode ini digunakan dalam upaya menggali,
menafsirkan, dan – mungkin – menta’wilkan argument yang
bersumber dari pokok ajaran Islam yang terkandung dalam al-
quran dan hadis. Dari kajian itu, kemudian disusun suatu konsep
dasar pendidikan Islam secara filosofos. Dengan landasan
keyakinan bahwa ajaran yang bersifat wahyu, merupakan petunjuk
yang harus diikuti dan imani. Dalam konteks ini, metode filsafat
pendidikan Islam berangkat dari kepercayaan (keyakinan) untuk
memperoleh kebenaran yang lebih tinggi.
b. Pendekatan Spekulatif
Pendekatan spekulatif merupakan pendekatan yang
umum dipakai dalam filsafat, termasuk filsafat pendidikan Islam.
Pendekatannya dilakukan dengan cara memikirkan,
mempertimbangkan dan menggambarkan suatu objek untuk
mencari hakikat yang sebenarnya. Dalam pendidikan, banyak
sekali objek yang harus diketahui hakikat yang sebenarnya, seperti
hakikat manusia, kurikulum, tujuan, proses, materi, pendidik,
peserta didik, evalusi, dan sebagainya.
c. Pendekatan Ilmiah
Pendekatan ilmiah menggunakan merode ilmiah dalam
memecahkan masalah-masalah yang berkembang ditengah-
tengah masyarakat yang ada kaitannya dengan pendidikan.

Modul Filsafat Pendidikan Islam 9


Pendekatan ilmiah berkaitan dengan kehidupan kekinian dengan
sasaran adalah problematika pendidikan kontemporer.
d. Pendekatan Konsep
Pendekatan ini digunakan untuk mengkaji hasil karya
ulama dan ahli pendidikan Islam dimasa-masa silam. Melalui
pendekatan ini diharapkan dapat diketahui bagaimana konsep-
konsep pendidikan Islam dari zaman ke zaman, faktor-faktor yang
mempengaruhi perubahannya, serta latar belakang yang
mendorong munculnya konsep-konsep tersebut. Dengan mengkaji
konsep tersebutkan diperoleh manfaat, anatara lain: pertama,
bagaimana perkembangan filsafat pendidikan Islam pada setiap
zaman. Kedua, mengetahui hasil karya para pemikir pendidikan
Islam. Ketiga, melanjutkan rangkaian pemikiran yang masih
relevan sambil melakukan perbaikan-perbaikan apada hal-hal yang
perlu disesuaikan dengan perkembangan zaman dan tuntutan
lingkungan. Keempat, menghindari pola pikirjamping, dengan
mengabaikan hasil pemikiran para pakar pendidikan sebelumnya.
3. Ruang lingkup filsafat pendidikan Islam

Pembahasan tentang ruang lingkup filsafat pendidikan


Islam sebenarnya merupakan pengkajian dari aspek ontologis
filsafat pendidikan Islam. Setiap ilmu pengetahuan memiliki objek
tertentu yang akan dijadikan sasaran penyelidikan (objek material)
dan yang akan dipandang (objek formal). Perbedaan suatu ilmu
pengetahuan dengan ilmu lainnya terletak pada sudut pandang
(objek formal) yang digunakannya. Objek material filsafat
pendidikan Islam sama dengan filsafat pendidikan pada
umumnya, yaitu segala sesuatu yang ada. Segala sesuatu yang
ada ini mencakup “ada yang tampak” dan “ada yang tidak
tampak”. Ada yang tampak adalah dunia empiris, dan ada yang
tidak tampak adalah alam metafisis. Adapun objek formal filsafat

Modul Filsafat Pendidikan Islam 10


pendidikan Islam adalah sudut pandang yang menyeluruh, radikal,
dan objektif tentang pendidikan Islam untuk dapat diketahui
hakikatnya.
Secara makro, yang menjadi ruang lingkup filsafat
pendidikan Islam adalah yang tercakup dalam objek material
filsafat, yaitu mencari keterangan secara radikal mengenai Tuhan,
manusia, dan alam yang tidak bisa dijangkau oleh pengetahuan
biasa. Sebagaimana filsafat, filsafat pendidikan Islam juga
mengkaji ketiga objek ini berdasarkan ketiga cabangnya: ontologi,
epistemologi, dan aksiologi.
Secara mikro objek kajian filsafat pendidikan Islam adalah hal-hal
yang merupakan faktor atau komponen dalam proses
pelaksanaan pendidikan. Faktor atau komponen pendidikan ini
ada lima, yaitu tujuan pendidikan, pendidik, peserta didik, alat
pendidikan (kurikulum, metode, dan evaluasi pendidikan), dan
lingkungan pendidikan.
Untuk lebih memfokuskan pembahasan filsafat pendidikan
Islam yang sesuai dengan fokus penelitian ini, maka cukup
disajikan ruang lingkup pembahasan filsafat pendidikan Islam
secara makro.
a. Ontologi
Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos.
Ontos berarti sesuatu yang berwujud dan logos berarti ilmu. Jadi
ontologi dapat diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud
hakikat yang ada. Dalam konsep filsafat ilmu Islam, segala
sesuatu yang ada ini meliputi yang nampak dan yang tidak
nampak (metafisis).
Filsafat pendidikan Islam bertitik tolak pada konsep the
creature of God,yaitu manusia dan alam. Sebagai pencipta, maka
Tuhan telah mengatur di alam ciptaan-Nya. Pendidikan telah
berpijak dari human sebagai dasar perkembangan dalam

Modul Filsafat Pendidikan Islam 11


pendidikan. Ini berarti bahwa seluruh proses hidup dan kehidupan
manusia itu adalah transformasi pendidikan. Sehingga yang
menjadi dasar kajian atau dalam istilah lain sebagai objek kajian
(ontologi) filsafat pendidikan Islam seperti yang termuat di dalam
wahyu adalah mengenai pencipta (khalik), ciptaan-Nya (makhluk),
hubungan antar ciptaan-Nya, dan utusan yang menyampaikan
risalah pencipta (rasul).
Dalam hal ini al-Syaibany mengemukakan bahwa prinsip-
prinsip yang menjadi dasar pandangan tentang alam raya meliputi
dasar pemikiran:
1) Pendidikan dan tingkah laku manusia serta akhlaknya selain
dipengaruhi oleh lingkungan sosial dipengaruhi pula oleh
lingkungan fisik (benda-benda alam);
2) Lingkungan dan yang termasuk dalam alam raya adalah segala
yang diciptakan oleh Allah swt baik makhluk hidup maupun
benda-benda alam;
3) Setiap wujud (keberadaan) memiliki dua aspek, yaitu materi
dan roh.
Dasar pemikiran ini mengarahkan falsafah pendidikan Islam
menyusun konsep alam nyata dan alam ghaib, alam materi
dan alam ruh, alam dunia dan alam akhirat;
4) Alam senantiasa menngalami perubahan menurut ketentuan
aturan pencipta;
5) Alam merupakan sarana yang disediakan bagi manusia untuk
meningkatkan kemampuan dirinya.
b. Epistemologi
Epistemologi berasal dari kata episteme yang berarti
pengetahuan dan logos yang berarti ilmu. Jadi epistemologi
adalah ilmu yang membahas tentang pengetahuan dan cara
memperolehnya. Epistemologi disebut juga teori pengetahuan,
yakni cabang filsafat yang membicarakan tentang cara

Modul Filsafat Pendidikan Islam 12


memperoleh pengetahuan, hakikat pengetahuan dan sumber
pengetahuan. Dengan kata lain, epistemologi adalah suatu
cabang filsafat yang menyoroti atau membahas tentang tata cara,
teknik, atau prosedur mendapatkan ilmu dan keilmuan. Tata cara,
teknik, atau prosedur mendapatkan ilmu dan keilmuan adalah
dengan metode non-ilmiah, metode ilmiah, dan metode problem
solving.
Pengetahuan yang diperoleh dengan metode non-ilmiah
adalah pengetahuan yang diperoleh dengan cara penemuan
secara kebetulan; untung-untungan (trial and error); akal sehat
(common sense); prasangka; otoritas (kewibawaan); dan
pengalaman biasa.
Metode ilmiah adalah cara memperoleh pengetahuan
melalui pendekatan deduktif dan induktif. Sedangkan metode
problem solving adalah memecahkan masalah dengan cara
mengidentifikasi permasalahan, merumuskan hipotesis;
mengumpulkan data; mengorganisasikan dan menganalisis data;
menyimpulkan; melakukan verifikasi yakni pengujian hipotesis.
Tujuan utamanya adalah untuk menemukan teori-teori, prinsip-
prinsip, generalisasi dan hukum-hukum. Temuan itu dapat dipakai
sebagai basis, bingkai atau kerangka pemikiran untuk
menerangkan, mendeskripsikan, mengontrol, mengantisipasi atau
meramalkan sesuatu kejadian secara tepat.
c. Aksiologi
Landasan aksiologi adalah berhubungan dengan
penggunaan ilmu tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan
manusia berikut manfaatnya bagi kehidupan manusia. Dengan
kata lain, apa yang dapat disumbangkan ilmu terhadap
pengembangan ilmu itu dalam meningkatkan kualitas hidup
manusia. Dalam bahasan lain, tujuan keilmuan dan pendidikan
Islam yang berusaha untuk mencapai kesejahteraan manusia di

Modul Filsafat Pendidikan Islam 13


dunia dan akhirat ini sesuai dengan Maqasid al-Syariah yakni
tujuan Allah SWT dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum
Islam. Sementara menurut Wahbah al-Zuhaili, Maqasid Al Syariah
berarti nilai- nilai dan sasaran syara' yang tersirat dalam segenap
atau bagian terbesar dari hukum-hukumnya. Nilai-nilai dan
sasaran-sasaran itu dipandang sebagai tujuan dan rahasia
syariah, yang ditetapkan oleh al-Syari' dalam setiap ketentuan
hukum. Menurut Syathibi tujuan akhir hukum tersebut adalah satu,
yaitu mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia.
Kemudian Muzayyin Arifin memberikan definisi aksiologi sebagai
suatu pemikiran tentang masalah nilai-nilai termasuk nilai tinggi
dari Tuhan, misalnya nilai moral, nilai agama, dan nilai keindahan
(estetika). Jika aksiologi ini dinilai dari sisi ilmuwan, maka aksiologi
dapat diartikan sebagai telaah tentang nilai-nilai yang dipegang
ilmuwan dalam memilih dan menentukan prioritas bidang
penelitian ilmu pengetahuan serta penerapan dan
pemanfaatannya.
D. Soal
1. Apakah yang dimaksud dengan filsafat pendidikan dan filsafat
pendidikan Islam, apa kesamaan dan perbedaannya?
2. Jelaskan beberapa pendekatan dalam filsafat pendidikan
Islam?
3. Uraikan ruang lingkup filsafat pendidikan Islam ?

Modul Filsafat Pendidikan Islam 14


DAFTAR PUSTAKA

Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan. Jakarta: Gaya


Media Pratama, 1997.
Ali Saifullah, Antara Filsafat dan Pendidikan, Surabaya: Usaha
Nasional, 1983.

Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, Jakarta: PT Raja Grafindo


Persada, 1997.

Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Cet. IV, Jakarta: Bulan


Bintang, 1990

Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis,


Teoritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Pers, 2002.

Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I, Jakarta: Logos


Wacana Ilmu, 1997.

Modul Filsafat Pendidikan Islam 15


BAB III
ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN DAN FILSAFAT
PENDIDIKAN ISLAM

Proses pertumbuhan filsafat sebagai hasil pemikiran para filosof


dalam rentang waktu yang dilaluinya telah melahirkan berbagai macam
pandangan. Pandangan para filosof tersebut adakalanya bersifat saling
mendukung, tetapi tak jarang pula yang bertentangan. Hal ini dapat
dimaklumi karena hasil pemikiran seorang filosof bukan merupakan
komponen yang dapat berdiri sendiri, akan tetapi senantiasa dipengaruhi
oleh banyak faktor, seperti pendekatan yang dipakai serta situasi dan
setting sosial pemikiran filosof tersebut muncul.
Dalam perjalan sejarahnya, filsafat pendidikan telah melahirkan
berbagai pandangan. Tak jarang, masing-masing pandangan berusaha
mempertahankan pendapatnya sebagai suatu kebenaran..3
A. Tujuan Pembelajaran Umum
1. Mahasiswa mampu memahami aliran-aliran filsafat pendidikan
B. Tujuan Pembelajaran Khusus
1. Mahasiswa mampu mendefinisikan dan mengkritisi aliran-
aliran filsafat pendidikan
C. Uraian Materi
1. Aliran-aliran filsafat pendidikan
a. Aliran-aliran filsafat pendidikan
Filsafat Pendidikan bukanlah ilmu yang berdiri sendiri, dan
filsafat itu sendiri dengan berbagai tokoh dan pendirinya
memberikan pandangan yang berbeda-beda tentang segala
sesuatu baik Tuhan, alam semesta dan manusia, yang
adakalanya bersifat saling mendukung, tetapi tak jarang pula

3
Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan
dan pemikiran Para tokohnya (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), 15.

Modul Filsafat Pendidikan Islam 16


saling bertentangan, maka perbedaan pandangan tersebut
berimbas pada Filsafat Pendidikan sehingga menimbulkan
berbagai aliran dalam Filsafat Pendidikan yang dilatarbelakangi
oleh aliran-aliran filsafat itu sendiri. Berikut adalah aliran-aliran
dalam Filsafat Pendidikan:
1). Idealisme
Idealisme termasuk dalam kelompok filsafat tertua. Tokoh
aliran ini adalah Plato (427-34 SM) yang secara umum dipandang
sebagai bapak idealisme di Barat yang hidup kira-kira 2500 tahun
yang lalu. Aliran ini menurut Poedjawijatna memandang dan
menganggap yang nyata hanya idea. Idea tersebut selalu tetap
dan tidak mengalami perubahan atau pergeseran. Aliran filsafat
idealisme menekankan moral dan ralitas spiritual sebagai sumber-
sumber utama di alam ini.
Ramayulis dan Samsul Nizar menjelaskan bahwa aliran
filsafat ini memandang pendidikan bukan hanya mengembangkan
atau menumbuhkan tetapi juga harus digerakkan ke arah tujuan
yaitu menjaga keunggulan kultural, sosial dan spiritual, sehingga
manusia bisa mencapai kesempurnaan dirinya, yaitu mencapai
nilai-nilai dan ide-ide yang diperlukan oleh semua manusia secara
bersama-sama. Oleh karenanya kurikulum pendidikan
seyogyanya bersifat tetap, dan tidak menerima perkembangan.
2). Realisme
Realisme berasal dari kata real yang berarti aktual atau
yang ada. Realisme adalah aliran yang patuh kepada yang ada
(fakta). Realisme termasuk dalam kelompok pemikiran klasik.
Aliran ini memandang dunia dari sudut materi. Menurut mereka,
realitas dunia ini adalah alam. Segala sesuatu berasal dari alam
dan yang menjadi subjek adalah hukum alam (dunia nyata, alam
dan benda). Oleh karenanya suatu pengetahuan akan dikatakan
benar atau tepat apabila sesuai dengan kenyataan.

Modul Filsafat Pendidikan Islam 17


Dalam bidang pendidikan, perhatian aliran realisme ini
tertuju pada pemenuhan akal peserta didik dengan peraturan-
peraturan dan hakikat-hakikat yang terlihat dalam alam. Oleh
karenanya pendidikan realism mengutamakan pendidikan akal
(rasio) atas dasar bahwa pendidikan adalah tujuan dan sasaran
untuk mendapat segala sesutu yang diperoleh melalui porses
berfikir yang didapat melalui metode latihan yang benar. Karena
hal itu merupakan perhatian terhadap studi-studi dasar yang
punya hubungan dengan segi-segi akhlak, rasio dan logika
kemanusiaan maka kewajiban guru adalah berupaya menciptakan
model-model dalam pengajaran dengan pendekatan pada
kenyataan yang inderawi, kemudia berpindah kepada hal-hal yang
abstrak.
3). Pragmatisme
Aliran Pragmatisme timbul pada abad 20. Pendiri aliran ini
adalah Charks E. Peirce. Pemikiran Peirce mendapat pengaruh
dari Kant dan Hegel. Aliran Pragmatisme adalah suatu aliran yang
memandang realitas sebagai sesuatu yang secara tetap
mengalami perubahan (terus menerus berubah). Untuk itu realitas
hanya dapat dikenal melalui pengalaman. Tidak ada pengetahuan
yang absolute (permanen). Realitas atau kenyataan hanyala apa
yang dapat diamati dan dirasakan. Pengetahuan bersifat
sementara dan demikian juga dengan nilai-nilai. Bagi pragmatism
semua yang mengalami perubaan tidak ada yang kekal (tetap).
Adapun yang kekal adalah perubahan itu sendiri.
Pragmatisme mementingkan orientasinya kepada
pandangan anthroposentris (berpusat kepada manusia),
kemampuan kreativitas dan pertumbuhan manusia ke arah yang
bersifat praktis, kemampuan kecerdasan dan individualitas serta
perbuatan dalam masyarakat.

Modul Filsafat Pendidikan Islam 18


Dalam bidang pendidikan, aliran ini tidak memisakan antara
materi pengajaran dengan metode pengajaran. Variasi metode
pengajaran yang digunakan berpijak atas konsep demokrasi. Guru
tidak boleh menghilangkan keaktifan anak didiknya. Seorang guru
tidak boleh membatasi kegiatan murid dan hanya menerima
pemikiran guru. Aliran ini menuntut agar peserta didik
diikutsertakan secara demokratis dan dinamis; baik dalam berpikir
dan membahas. Dengan demikian, peserta didik akan mampu
menemukan hakikat kebenaran dengan sendirinya.
Aliran ini mempercayai adanya perbedaan-perbedaan
kecerdasan individual. Untuk itu, pendidikan yang perlu
dikembangkan seyogyanya menekankan pada upaya
menanamkan rasa kebebasan individual kepada setiap orang
yang bekerja di bidang pendidikan. Aliran ini tidak melihat
perlunya menggunakan hukuman fisik terhadap anak didik dengan
alas an bahwa ketertiban dan kesadaran bertanggung jawab mesti
tumbuh dari murid sendiri dan murid haruslah dilibatkan dalam
semua kegiatan. Bila timbul kesulitan, guru harus berusaha
memecahkannya bersama murid, tanpa menyerahkannya ke
bagian administrasi.
4). Eksistensialisme
Kata eksistensi berasal dari kata latin existere, ex yang
berarti keluar dan sitere yang berarti membuat berdiri. Jadi
eksistensialisme berarti apa yang ada, apa yang memiliki
aktualitas, apa saja yang dialami. Eksistensialisme adalah aliran
filsafat yang melukiskan dan mendiagnosa kedudukan manusia
yang sulit. Titik sentralnya adalah manusia. Menurut
eksistensialisme, hakekat manusia terletak dalam eksistensi dan
aktivitasnya. Aktivitas manusia merupakan eksistensi dari dirinya
dan hasil aktifitas yang dilakukan merupakan cermin hakekat
dirinya.

Modul Filsafat Pendidikan Islam 19


Aliran ini memandang bahwa manusia menciptakan
kehidupannya sendiri. Oleh sebab itu, manusia bertanggung
jawab sepenuhnya atas pilihan-pilihan yang dibuat. Baik dan
buruknya sesuatu tergantung atas keyakinan pribadinya. Aliran ini
memberikan pemahaman kepada individual, kebebasan dan
penanggungjawabannya.
Dalam bidang pendidikan, aliran eksistensialisme menuntut
adanya sistem pendidikan yang beraneka ragam warna dan
berbeda-beda, baik metode pengajarannya maupun penyusunan
keahlian-keahlian. Hal ini karena aliran eksistensialisme
mengutamakan perorangan/individu. Oleh sebab itu, ia tidak
membatasi murid dengan buku-buku yang ditetapkan saja. Sebab,
hal ini akan membatasi kemampuan murid untuk mengenal
pnngan lain yang bermacam-macam dan berbeda-beda.
b. Aliran-aliran filsafat pendidikan Islam
Dalam dunia pendidikan Islam, terdapat tiga aliran utama
filsafat pendidikan Islam, yaitu: 1) Aliran Konservatif, dengan
tokoh utamanya adalah al-Ghazali, 2) Aliran Religius-Rasional,
dengan tokoh utamanya yaitu Ikhwan al-Shafa, dan 3) Aliran
Pragmatis, dengan tokoh utamanya adalah Ibnu Khaldun.
1). Aliran Konservatif (al-Muhafidz)
Tokoh-tokoh aliran ini adalah al-Ghazali, Nasiruddin al-
Thusi, Ibnu Jama’ah, Sahnun, Ibnu Hajar al-Haitami, dan al-
Qabisi. Aliran al-Muhafidz cenderung bersikap murni keagamaan.
Aliran ini memaknai ilmu dengan pengertian sempit. Menurut al-
Thusi, ilmu yang utama hanyalah ilmu-ilmu yang dibutuhkan saat
sekarang, yang jelas akan membawa manfaat di akhirat kelak.
Al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu menjadi:
a. Berdasarkan pembidangannya, ilmu dibagi menjadi dua bidang:
1) Ilmu syar’iyyah, yaitu semua ilmu yang berasal dari para
Nabi, terdiri atas: a. Ilmu ushul (ilmu pokok), b. Ilmu furu’

Modul Filsafat Pendidikan Islam 20


(cabang), c. Ilmu pengantar (mukaddimah), dan d. Ilmu
pelengkap (mutammimah).
2) Ilmu ghairu syar’iyyah, yaitu semua ilmu yang berasal dari
ijtihad ulama’ atau intelektual muslim, terdiri atas: a. Ilmu
terpuji, b. Ilmu yang diperbolehkan (tak merugikan), c. Ilmu
yang tercela (merugikan).
b. Berdasarkan status hukum mempelajarinya, dapat digolongkan
menjadi: 1) Ilmu yang fardlu ‘ain, dan 2) Ilmu yang fardlu
kifayah.
Al-Ghazali menegaskan bahwa ilmu-ilmu keagamaan
hanya dapat diperoleh dengan kesempurnaan rasio dan
kejernihan akal budi.Karena, hanya dengan rasiolah manusia
mampu menerima amanat dari Allah dan mendekatkan diri
kepada-Nya.Pemikiran al-Ghazali ini sejalan dengan aliran
Mu’tazilah yang berpendapat bahwa rasio mampu menetapkan
baik buruknya sesuatu.
Pola umum pemikiran al-Ghazali dalam pendidikannya
antara lain:
a. Kegiatan menuntut ilmu tiada lain berorientasi pada
pencapaian ridha Allah.
b. Teori ilmu ilhami sebagai landasan teori pendidikannya, dan
diperkuat dengan sepuluh kode etik peserta didik.
c. Tujuan agamawi merupakan tujuan puncak kegiatan
menuntut ilmu.
d. Pembatasan term al-‘ilm hanya pada ilmu tentang Allah.
Dari deskripsi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa
pemikiran utama aliran konservatif antara lain: 1) Ilmu adalah
ilmu al-hal, yaitu ilmu yang dibutuhkan saat sekarang yang bisa
membawa manfaat di akhirat, 2) Ilmu-ilmu selain ilmu
keagamaan adalah sia-sia, dan 3) Ilmu hanya bisa diperoleh
melalui rasio.

Modul Filsafat Pendidikan Islam 21


2). Aliran Religius-Rasional (al-Diniy al-‘Aqlaniy)
Tokoh-tokoh aliran ini adalah Ikhwan al-Shafa, al-Farabi,
Ibnu Sina, dan Ibnu Miskawaih.Aliran ini dijuluki “pemburu”
hikmah Yunani di belahan dunia Timur, dikarenakan
pergumulan intensifnya dengan rasionalitas Yunani.
Menurut Ikhwan al-Shafa, yang dimaksud dengan ilmu
adalah gambaran tentang sesuatu yang diketahui pada benak
(jiwa) orang yang mengetahui. Proses pengajaran adalah
usaha transformatif terhadap kesiapan ajar agar benar-benar
menjadi riil, atau dengan kata lain, upaya transformatif terhadap
jiwa pelajar yang semula berilmu (mengetahui) secara
potensial, agar menjadi berilmu (mengetahui) secara riil-aktual.
Dengan demikian, inti proses pendidikan adalah pada kiat
transformasi potensi-potensi manusia agar menjadi
kemampuan “psikomotorik”.
Ikhwan berpendapat bahwa akal sempurna
mengemanasikan keutamaan-keutamaan pada jiwa dan
dengan emanasi ini eternalitas akal menjadi penyebab
keberadaan jiwa.Kesempurnaan akal menjadi penyebab
keabadian jiwa dan supremasi akal menjadi penyebab
kesempurnaan jiwa. Pandangan dualisme jiwa-akal Ikhwan
tersebut merupakan bukti dari pengaruh pemikiran Plato.
Menurut Ikhwan, jiwa berada pada posisi tengah antara
dunia fisik-materiil dan dunia akal. Hal inilah yang menjadikan
pengetahuan manusia menempuh laju “linier-progresif” melalui
tiga cara, yaitu: 1) Dengan jalan indera, jiwa dapat mengetahui
sesuatu yang lebih rendah dari substansi dirinya; 2) Dengan
jalan burhan (penalaran-pembuktian logis), jiwa bisa
mengetahui sesuatu yang lebih tinggi darinya; dan 3) Dengan
perenungan rasional, jiwa dapat mengetahui substansi dirinya.

Modul Filsafat Pendidikan Islam 22


Ikhwan tidak sependapat dengan ide Plato yang
menganggap bahwa belajar tiada lain hanyalah proses
mengingat ulang. Ikhwan menganggap bahwa semua
pengetahuan berpangkal pada cerapan inderawiah.Segala
sesuatu yang tidak dijangkau oleh indera, tidak dapat
diimajinasikan, segala sesuatu yang tidak bisa diimajinasikan,
maka tidak bisa dirasiokan.
Kalangan Ikhwan sangat memberi tempat terhadap ragam
disiplin ilmu yang berkembang dan bermanfaat bagi kemajuan
hidup manusia.Implikasinya adalah konsep ilmu berpangkal
pada “kesedia-kalaan” ilmu tanpa pembatasan.
Ikhwan membagi ragam disiplin ilmu sebagai berikut: 1)
Ilmu-ilmu Syar’iyah (keagamaan), 2) Ilmu-ilmu Filsafat, dan 3)
Ilmu-ilmu Riyadliyyat (matematik). Al-Farabi menghendaki agar
operasionalisasi pendidikan seiring dengan tahap-tahap
perkembangan fungsi organ tubuh dan kecerdasan manusia.
Dari pemikiran kedua tokoh di atas, teori utama aliran
Religius-Rasional ini antara lain: 1) Pengetahuan adalah
muktasabah, yakni hasil perolehan dari aktivitas belajar, 2)
Modal utama ilmu adalah indera, 3) Lingkup kajian meliputi
pengkajian dan pemikiran seluruh realitas yang ada, 4) Ilmu
pengetahuan adalah hal yang begitu bernilai secara moral dan
sosial, dan 5) Semua ragam ilmu pengetahuan adalah penting.
3). Aliran Pragmatis (al-Dzarai’iy)
Tokoh aliran Pragmatis adalah Ibnu Khaldun. Sedangkan
tokoh Pragmatisme Barat yaitu John Dewey.Bila filsafat
pendidikan Islam berkiblat pada pandangan pragmatisme John
Dewey, tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan adalah
segala sesuatu yang sifatnya nyata, bukan hal yang di luar
jangkauan pancaindera.

Modul Filsafat Pendidikan Islam 23


Menurut Ibnu Khaldun, ilmu pengetahuan dan
pembelajaran adalah tabi’i (pembawaan) manusia karena
adanya kesanggupan berfikir. Pendidikan bukan hanya
bertujuan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan akan tetapi
juga untuk mendapatkan keahlian duniawi dan ukhrowi,
keduanya harus memberikan keuntungan, karena baginya
pendidikan adalah jalan untuk memperoleh rizki.
Ibnu Khaldun mengklasifikasikan ilmu pengetahuan
berdasarkan tujuan fungsionalnya, yaitu: 1) Ilmu-ilmu yang
bernilai instrinsik. Misal: ilmu-ilmu keagamaan, Ontologi dan
Teologi, dan 2) Ilmu-ilmu yang bernilai ekstrinsik-instrumental
bagi ilmu instrinsik. Misal: kebahasa-Araban bagi ilmu syar’iy,
dan logika bagi ilmu filsafat.
Berdasarkan sumbernya, ilmu dapat dibagi menjadi dua
yaitu: 1) Ilmu ‘aqliyah (intelektual) yaitu ilmu yang diperoleh
manusia dari olah pikir rasio, yakni ilmu Mantiq (logika), ilmu
alam, Teologi dan ilmu Matematik, dan 2) Ilmu naqliyah yaitu
ilmu yang diperoleh manusia dari hasil transmisi dari orang
terdahulu, yakni ilmu Hadits, ilmu Fiqh, ilmu kebahasa-Araban,
dan lain-lain.
Menurut Ibnu Khaldun, ilmu pendidikan bukanlah suatu
aktivitas yang semata-mata bersifat pemikiran dan perenungan
yang jauh dari aspek-aspek pragmatis di dalam kehidupan,
akan tetapi ilmu dan pendidikan merupakan gejala konklusif
yang lahir dari terbentuknya masyarakat dan perkembangannya
dalam tahapan kebudayaan. Menurutnya bahwa ilmu dan
pendidikan tidak lain merupakan gejala sosial yang menjadi ciri
khas jenis insani.
Dari pemikiran Ibnu Khaldun di atas, maka ide pokok
pemikiran aliran Pragmatis antara lain: 1) Manusia pada
dasarnya tidak tahu, namun ia menjadi tahu karena proses

Modul Filsafat Pendidikan Islam 24


belajar, 2) Akal merupakan sumber otonom ilmu pengetahuan,
dan 3) Keseimbangan antara pengetahuan duniawi dan
ukhrawi.
D. Soal
1. Sebutkan dan uraikan secara singkat aliran-aliran filsafat
pendidikan ?
2. Sebutkan dan uraikan secara singkat aliran-aliran filsafat
pendidikan Islam ?

DAFTAR PUSTAKA

H. Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis,


Teoritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Pers, 2002
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan Jakarta: Gaya
Media Pratama, 1997
Ali Saifullah, Antara Filsafat dan Pendidikan, Surabaya : Usaha
Nasional, 1983.
Musa Asy’arie, Filsafat Islam, Yogyakarta : LESFI, 2010

Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I, Jakarta: Logos


Wacana Ilmu, 1997

Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Cet. IV, Jakarta: Bulan


Bintang, 1990

H.Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah


Sistem Pendidikan dan pemikiran Para tokohnya, Jakarta:
Kalam Mulia, 2009
Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1997.

Modul Filsafat Pendidikan Islam 25


BAB IV
KONSEP ALAM SEMESTA, MANUSIA, MASYARAKAT, DAN ILMU
PENGETAHUAN PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Menurut al-quran manusia adalah khalifah di muka bumi yang


memiliki tugas memelihara alam semesta. Sementara alam semesta
merupakan materi yang membantu manusia mengembangkan diri dan
memenuhi kebutuhan kehidupannya. Meskipun demikian, seorang
individu manusia tidak akan sanggup melakukan itu semua tanpa peran
serta individu-individu lain. Oleh karena itulah diperlukan peran
masyarakat demi mengimplementasi semua kebutuhan hidupnya
tersebut.
Selanjutnya agar relasi alam semesta, manusia dan masyarakat
bisa berjalan dengan dengan baik, efektif dan efesien, maka
diperlukanlah ilmu pengetahuan. Sebab dengan ilmu pengetahuanlah
manusia bisa menyadari kelebihan dan kekurangan dirinya,
masyarakatnya serta alam sekitarnya.
Oleh karena itulah dalam Islam relasi antar alam semesta,
manusia, masyarakat dan ilmu pengetahuan tidak bisa dipisahkan.
A. Tujuan Pembelajaran Umum
1. Mahasiswa mampu memahami kedudukan alam semesta
dalam perspektif filsafat pendidikan Islam
2. Mahasiswa mampu memahami konsep manusia dalam
perspektif filsafat pendidikan Islam
3. Mahasiswa mampu memahami konsep ilmu pengetahuan
dalam perspektif pendidikan Islam
4. Mahasiswa mampu memahami konsep masyarakat dalam
perspektif filsafat pendidikan Islam
B. Tujuan Pembelajaran Khusus
1. Mahasiswa dapat menjelaskan kedudukan alam semesta
dalam perspektif filsafat pendidikan Islam

Modul Filsafat Pendidikan Islam 26


2. Mahasiswa dapat menjelaskan konsep manusia dalam
perspektif filsafat pendidikan Islam
3. Mahasiswa dapat menjelaskan konsep ilmu pengetahuan
dalam perspektif filsafat pendidikan Islam
4. Mahasiswa dapat menjelaskan konsep masyarakat dalam
perspektif filsafat pendidikan Islam.
C. Uraian Materi
1. Konsep alam semesta dalam perspektif filsafat pendidikan
Islam

Apabila kita merenungi surat al-fatihah sebagai ummul-kitab,


kita akan menemukan review yang luar biasa dari semua ayat Allah
yang tercatat dalam Kitab Suci Al-quran. Lafazh
bismillahirrahmanirrahim adalah awal yang menekad bulatkan semua
niat manusia yang beriman kepada Allah dalam bertindak, berprilaku,
berpikir dan berkarya nyata, sehingga semua aktivitas dan karsa
manusia bernilai ibadah kepada Allah dan tidak ada yang sia-sia
secara duniawi maupun ukhrawi.
Allah sebagai Pencipta atau Al-Khaliq, pemilik kasih dan
sayang untuk segenap makhlukNya. Alam ini tercipta sebagai bukti
dari kaih sayang Allah untuk manusia. Apabila meresapi ayat yang
berbunyi malikiyaumiddin, kita tersadarkan sepenuhnya bahwa
semua alam ini adalah hamba-Nya yang secara mutlak harus tunduk
pada hukum-hukum Allah.
Sekali lagi, alam tunduk mutlak pada hukum-hukum Allah.
Semua alam yang berjalan sesuai dengan hukumnya menjadi subjek
sekaligus objek pendidikan dan pembelajaran. Bagaimana matahari
konsisten utnuk terbit dan terbenam sesuai dengan hukumnya,
bagaimana air, api, angina, daratan, lautan, gunung-gunung, hutan
dan pepohonan, bumi yang berputar sangat kencang sehingga
manusia bagaikan sedang berjalan di atas hamparan tikar, dan
demikian selanjutnya.

Modul Filsafat Pendidikan Islam 27


Alam semesta ini dapat dijadikan guru yang bijaksana, angin
dimanfaatkan untuk terjun payung, air deras yang dibendung untuk
energi pembangkit listrik, dan banyak manfaat yang dengan mudah
semakin meningkatkan taraf hidup manusia. Belajar dari alam
semesta adalah tujuan hidup manusia dan secara filosofis
kedudukan alam semesta bagaikan guru dengan muridnya, pendidik
dengan anak didik, bahkan alam semesta bagaikan literatur yang
amat luas dan kaya dengan informasi yang aktual.
Maka kedudukan alam semesta dalam perspektif filsafat
pendidikan Islam adalah sebagai “guru” yang mengajar kepada
manusia untuk bertindak sesuai dengan hukum-hukum yang telah
digariskan Tuhan.
2. Manusia dalam perspektif filsafat pendidikan Islam
a. Gambaran Tentang Manusia
Manusia adalah subyek pendidikan, sekaligus juga obyek
pendidikan. Manusia dalam proses perkembangan kepribadiannya,
baik menuju pembudayaan maupun proses kematangan dan
intregitas, adalah obyek pendidikan. Artinya mereka adalah sasaran
atau bahan yang dibina. Meskipun kita sadarai bahwa
perkembangan kepribadian adalah self development melalui self
actifities, jadi sebagai subjek yang sadar mengembangkan diri
sendiri.
Dalam Al-Qur’an banyak ditemukan gambaran yang
membicarakan tentang manusia dan makna filosofis dari
penciptaannya. Manusia merupakan makhluk-Nya paling sempurna
dan sebaik-baik ciptaan yang dilengkapi dengan akal pikiran. Dalam
hal ini Ibn ‘Arbi misalnya menggambarkan hakikat manusia dengan
mengatakan bahwa,”tak ada makhluk Allah yang lebih sempurna
kecuali manusia, yang memiliki daya hidup, mengetahui,
berkehendak, berbicara, melihat, mendengar, berfikir, dan
memutuskan. Manusia adalah makhluk kosmis yang sangat penting,

Modul Filsafat Pendidikan Islam 28


karena dilengkapi dengan semua pembawaan atau fitrahnya dan
syarat-syarat yang diperlukan bagi mengemban tugas dan fungsinya
sebagi makhluk Allah d muka bumi.
Al-quran menggunakan empat konsep untuk menunjuk pada
makna manusia, namun secara khusus memiliki penekanan
pengertian yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada
konsep berikut:
1. Konsep al-Basyar
Kata al-Basyar dinyatakan dalam Al-Qur’an sebanyak 36 kali
dan tersebar dalam 26 surat. Secara etimologi al-Basyar juga
diartikan mulamasah, yaitu persentuhan kulit antara laki-laki dan
perempuan. Makna ini dapat dipahami bahwa manusia merupakan
makhluk yang memiliki segala sifat kemanusiaan yang terbatas,
seperti makan, minum, seks, keamanan, kebahagiaan, dan lain
sebagainya. Penunjukkan kata al-Basyar ditunjukan Allah kepada
seluruh manusia tanpa kecuali. Demikian pula halnya dengan para
rasul-rasul-Nya. Hanya saja kepada mereka diberikan wahyu,
sedangkan kepada manusia umumnya tidak diberikan.
Berdasarkan konsep al-Basyar, manusia tak jauh berbeda
dengan makhluk biologis lainnya. Dengan demikian kehidupan
manusia terikat kepada kaidah-kaidah prinsip kehidupan biologis lain
seperti berkembang biak, mengalami fase pertumbuhan dan
perkembangan dalam mencapai tingkat kematangan serta
kedewasaan.
Manusia memerlukan makan, minum dengan kreteria halal
serta bergizi (QS. 16: 69) untuk hidup dan ia juga butuh akan
pasangan hidup melalui jalur pernikahan (QS. 2: 187) untuk menjaga,
melanjutkan proses keturunanya (QS. 17: 23-25). Dan Allah SWT
memberikan kebebasan dan kekuatan kepada manusia sesuai
dengan batas kebebasan dan potensi yang dimilikinya untuk

Modul Filsafat Pendidikan Islam 29


mengelola dan memanfaatkan alam semesta, sebagai salah satu
tugas kekhalifahannya di muka bumi.
2. Konsep al-Insan
Kata al-Insan yang berasal dari kata al-uns, dinyatakan dalam
al-Qur’an sebanyak 73 kali dan tersebar dalam 43 surat. Secara
etimologi, al-Insan dapat diartikan harmonis, lemah lembut, tampak,
atau pelupa.
Ada juga dari akar kata Naus yang mengandung arti
“pergerakan atau dinamisme”. Merujuk pada asal kata al- Insan dapat
kita pahami bahwa manusia pada dasarnya memiliki potensi yang
positif untuk tumbuh serta berkembang secara fisik maupun mental
spiritual. Di samping itu, manusia juga dibekali dengan sejumlah
potensi lain, yang berpeluang untuk mendorong ia ke arah tindakan,
sikap, serta prilakun negatife dan merugikan.
Kata al-Insan digunakan Al-Qur’an untuk menunjukan totalitas
manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani. Harmonisasi kedua
aspek tersebut dengan berbagai potensi yang di milikinya
mengantarkan manusia sebagi makhluk Allah yang unik dan
istimewa, sempurna, dan memiliki diferensiasi individual antara satu
dengan yang lainnya,dan sebagai makhluk yang dinami, sehingga
mampu menyandang predikat khalifah Allah di muka bumi.
Perpaduan antara aspek fisik dan fisikis telah membantu
manusia untuk mengekspresikan dimensi al-insan al-bayan, yaitu
sebagai makhluk berbudaya yang mampu berbicara, mengetahui baik
dan buruk, mengembangkan ilmu pengetahuan dan peradaban, dan
lain sebagainya.
3. Konsep an-Nas
Kata an-Nas dinyatakan dalam Al-Qur’an sebanyak 240 kali
dan tersebar dalam 53 surat. Kosa kata An- Nas dalam Al- Qur’an
umumnya dihubungkan dengan fungsi manusia sebagai makhluk
social. Manusia diciptakan sebagai makhluk bermasyarakat, yang

Modul Filsafat Pendidikan Islam 30


berawal dari pasangan laki-laki dan wanita kemudian berkembang
menjadi suku dan bangsa untuk saling kenal mengenal “berinterksi”
(QS. 49 : 13). Hal ini sejalan dengan teori “strukturalisme” Giddens
yang mengatakan bahwa manusia merupakan individu yang
mempunyai karakter serta prinsip berbeda antara yang lainnya tetapi
manusia juga merupakan agen social yang bisa mempengaruhi atau
bahkan di bentuk oleh masyarakat dan kebudayaan di mana ia
berada dalam konteks sosial.
4. Konsep Bani Adam
Manusia sebagai Bani Adam, termaktub di tujuh tempat dalam
Al-Qur’an. Bani berarti keturunan dari darah daging yang dilahirkan.
Berkaitan dengan penciptaan manusia menurut Christyono Sunaryo,
bahwa bumi dan dunia ini telah diciptakan Allah SWT jutaan tahun
sebelum Nabi Adam AS diturunkan dibumi, 7000 thn yang lalu. Pada
waktu itu Allah SWT sudah menciptakan “manusia” (somekind of
humanoid) jauh sebelum Nabi Adam AS diturunkan, sebagaimana
dalam surat Al-Ankabuut ayat 19 yang artinya:
   
  
    
  
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah
menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian mengulanginya
(kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi
Allah”. (Al-Ankabuut:19)

Ayat ini memperlihatkan bahwa kita seharusnya dapat


memperhatikan adanya pengulangan kerena memang telah terjadi.
Bukan pengulangan kebangkitan kembali nanti setelah hari kiamat,
karena (pengulangan) kebangkitan setelah kiamat itu belum terjadi,
sehingga masih sulit untuk di mengerti oleh yang tidak percaya.

Modul Filsafat Pendidikan Islam 31


Dan banyak ayat-ayat Al- Qur’an, data dan kejadian yang
menunjang konsep pemikiran ini. Seperti misalnya: Pada saat
manusia akan diciptakan Allah SWT untuk menjadi kalifah dibumi,
bagaimana para Malaikat mungkin mengetahui bahwa manusia
hanya akan membuat kerusakan diatas bumi. Sedangkan Malaikat
hanya mengetahui apa-apa yang diberitahukan Allah SWT kepada
mereka. Tentunya karena memang mereka pernah mengetahui
adanya “manusia” dibumi sebelum Adam as diciptakan.
b. Proses Penciptaannya Manusia Dalam Al-Qur’an
Dan dilihat dari proses penciptaannya, Al-Qur’an menyatakan
peroses penciptaan manusia dalam dua tahapan yang berbeda, yaitu:
pertama, disebut dengan tahapan primordial. Kedua, disebut dengan
tahapan biologi. Manusia pertama, Adam as, diciptakan dari at-tin
(tanah), at-turob (tanah debu), min shal (tanah liat), min hamain
masnun (tanah lumpur hitam yang busuk) yang dibentuk Allah
dengan seindah-indahnya, kemudian Allah meniupkan ruh dari-Nya
kedalam diri (manusia) tersebut (Q.S, Al-Anam/6:2,Alhijr/15:26,28,29,
Al-Mu’minun/23:12, Ar-Ruum/30:20, Ar-Rahman/55:4).
Penciptaan manusia selanjutnya adalah proses biologi yang
dapat dipahami secara sains-empirik. Di dalam proses ini, manusia
diciptakan dari inti sari tanah yang dijadikan air mani (nuthfah) yang
disimpan di tempat yang kokoh (rahim). kemudian air mani di jadikan
darah beku (‘alaqah) yang menggantung dalam rahim. Darah beku
tersebut kemudian dijadikan-Nya segumapal daging (mudghah) dan
kemudian di balut dengan tulang belulang lalu kepadanya ditiupkan
ruh. (Q.S, Al Mu’minun/23:12-24).
Al-Ghazali mengungkapkan proses penciptaan manusia dalam
teori pembentukan (taswiyah) sebagai suatu proses yang timbul di
dalam materi yang membuatnya cocok untuk menerima ruh. Materi
itu merupakan sari pati tanah liat nabi Adam as yang merupakan cikal
bakal bagi keturunannya. Cikal bakal atau sel benih (nuthfah) ini yang

Modul Filsafat Pendidikan Islam 32


semula adalah tanah liat setelah melewati berbagai proses akhirnya
menjadi bentuk lain (khalq akhar) yaitu manusia dalam bentuk yang
sempurna.
Tanah liat menjadi makanan (melalui tanaman dan hewan),
makanan menjadi darah, kemudian menjadi sperma jantan dan
indung telur. Kedua unsur ini bersatu dalam satu wadah yaitu rahim
dengan transformasi panjang yang akhirnya menjadi tubuh harmonis
(jibillah) yang cocok untuk menerima ruh. Sampai disini prosesnya
murni bersifat materi sebagai warisan dari leluhurnya. Kemudian
setriap manusia menerima ruhnya langsung dari Allah disaat embiro
sudah siap dan cocok menerimanya. Maka dari pertemuan ruh dan
badan, terbentuklah makhluk baru manusia.
c. Kedudukan Manusia
Kesatuan wujud manusia antara pisik dan pisikis serta
didukung oleh potensi-potensi yang ada membuktikan bahwa
manusia sebagai ahsan at-taqwin dan merupakan manusia pada
posisi yang strategis yaitu: Hamba Allah (‘abd Allah) dan Khalifah
Allah (khalifah fi al-ardh).
1. Manusia Sebagai Hamba Allah (‘abd Allah)
Esensi hamba adalah ketaatan, ketundukan dan kepatuhan
yang kesemuanya itu hanya layak di berikan kepada Tuhan.
Ketundukan dan ketaatan pada kodrat alamiah senantiasa berlaku
baginya. Ia terikat oleh hukum-hukum Tuhan yang menjadi kodrat
pada setiap ciptaannya, manusia menjadi bagian dari setiap
ciptaannya, dan ia bergantung pada sesamanya. Sebagai hamba
Allah, manusia tidak bisa terlepas dan kekuasaannya. Sebab,
manusia mempunyai fitrah (potensi) untuk beragama.
Hal ini disebabkan karena manusia adalah makhluk yang
memiliki potensi untuk beragama sesuai dengan fitrahnya. Dan
manusia dulu telah mengakui bahwa diluar dirinya ada zat yang lebih
berkuasa dan mengusa seluruh kehidupannya. Namun mereka tidak

Modul Filsafat Pendidikan Islam 33


mengetahui hakikat zat yang berkuasa. Mereka aplikasikan apa yang
mereka yakini dengan berbagai bentuk ucapan ritual seperti
pemujaan terhadap batu besar, gunung, matahari, dan roh nenek
moyang mereka. Kesemuanya dalah bukti bahwa manusia memiliki
potensi untuk beragama, Allah berfirman:
  
  

Artinya: dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka menyembah-Ku (QS.Az-Zariyat: 56)

Bardasarkan Ayat tersebut terlihat bahwa seluruh tugas


manusia dalam hidup ini berakumulasi pada tanggung jawab
mengabdi (beribadah) kepada-Nya.
2. Manusia Sebagai Khalifah Allah fi al-Ardh
Bila ditinjau, kata khalifah berasal dari fi’il madhi khalafa, yang
berarti “mengganti dan melanjutkan”. Bila pengertian tersebut ditarik
pada pengertian khalifah, maka dalam konteks ini artinyalebih
cenderung kepada pengertian mengganti yaitu proses penggantian
antara satu individu dengan individu yang lain.
Menurut Quraish Shihab, istilah khalifah dalam bentuk mufrad
(tunggal) berarti pengusaan politik dan religius. Istilah inji digunakan
nabi-nabi dan tidak digunakan untuk manusia pada umumnya.
Sedangkan manusia bisa digunakan khala’if yang didalamnya
mengandung makna yang lebih luas, yaitu bukan hanya sebagai
penguasa dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam hubungan
pembicaraan dengan kedudukan manusia di alam ini, nampaknya
istilah khala cocok digunakan dibanding kata khalifah. Namun
demikian yang terjadi dalam penggunaan sehari-hari adalah bahwa
manusia sebagi khalifah di muka bumi. Dan sebagi seorang khalifah
manusia berfungsi mengantikan orang lain dan menempati tempat

Modul Filsafat Pendidikan Islam 34


serta kedudukan-Nya. Ia menggantikan kedudkan orang lain dalam
aspek kepemimpinan atau kekuasaan. Dan Quraisy Shihab pun
menyimpulkan bahwa kata khalifah itu mencakup dua pengertian:
a. Orang yang di beri kekuasaan untuk mengelola wilayah, baik luas
maupun terbatas.
b. Khalifah memilki potensi untuk mengemban tugasnya, namun juga
dapat berbuat kesalahan dan kekeliruan.
d. Manusia dan Proses Pendidikan
Paulo freire, tokoh pendidikan Amerika Latin mengatakan
bahwa tujuan akhir dari proses pendidikan adalah memanusiakan
manusia (humanisasi), tidak jauh berbeda dengan pandangan diatas
M. Arifin berpendapat, bahwa proses pendidikan pada akhirnya
berlangsung pada titik kemampuan berkembangnya tiga hal yaitu
mencerdaskan otak yang ada dalam kepala (head) kedua, mendidik
akhlak atau moralitas yang berkembang dalam hati (heart) dan
ketiga, adalah mendidik kecakapan/ketrampilan yang pada prinsipnya
terletak pada kemampuan tangan (hand) selanjutnya populer dengan
istilah 3 H’s.
Berangkat dari arti pentingnya pendidikan ini, Karnadi Hasan
memandang bahwa pendidikan bagi masyarakat dipandang sebagai
“Human investment” yang berarti secara historis dan filosofis,
pendidikan telah ikut mewarnai dan menjadi landasan moral dan etik
dalam proses humanisasi dan pemberdayaan jati diri bangsa.
Merujuk dari pemikiran tersebut, Pendidikan adalah hajat hidup
bagi setiap manusia. Karena kita sadari bahwa tidak ada seorangpun
yang lahir di dunia ini dalam keadaan pandai (berilmu). Hal ini
membuktikan bahwa segala sesuatu di dunia ini merupakan proses
berkelanjutan yang tidak asal jadi seperti bayangan dan impian kita.
Berkaitan adanya proses tersebut, penciptaan manusia oleh Allah
SWT juga tidaklah sekali jadi.

Modul Filsafat Pendidikan Islam 35


Ada proses penciptaan (khalq), proses penyempurnaan
(taswiyyah), dengan cara memberikan ukuran atau hukum tertentu
(taqdir), dan juga di berikannya petunjuk (hidayah). Dengan demikian
menurut Sunnatullah manusia sangat terbuka kemungkinannya untuk
mengembangkan segala potensi yang dia miliki melalui bimbingan dan
tuntunan yang tearah, teratur serta berkesinambungan yang
semuanya merupakan proses dalam rangka penyempurnaan manusia
(insan kamil) yang nantinya dapat memenuhi tugas dari kejadiannya
yaitu sebagai Khalifah Fil Ardl.
e. Manusia Menurut Filsafat Pendidikan Islam
Pemikiran filsafat mencakup ruang lingkup yang berskala
makro yaitu: kosmologi, ontology, philosophy of mind, epistimologi,
dan aksiologi. Untuk melihat bagaimana sesungguhnya manusia
dalam pandangan filsafat pendidikan, maka setidaknya karena
manusia merupakan bagian dari alam semesta (kosmos). Berangkat
dari situ dapat kita ketahui bahwa manusia adalah ciptaan Allah yang
pada hakekatnya sebagai abdi penciptanya (ontology). Agar bisa
menempatkan dirinya sebagai pengapdi yang setia, maka manusia
diberi anugerah berbagai potensi baik jasmani, rohani, dan ruh
(philosophy of mind).
Sedangkan pertumbuhan serta perkembangan manusia dalam
hal memperoleh pengetahuan itu berjalan secara berjenjang dan
bertahap (proses) melalui pengembangan potensinya, pengalaman
dengan lingkungan serta bimbingan, didikan dari Tuhan (epistimologi),
oleh karena itu hubungan antara alam lingkungan, manusia, semua
makhluk ciptaan Allah dan hubungan dengan Allah sebagai pencita
seluruh alam raya itu harus berjalan bersama dan tidak bisa
dipisahkan.
Adapun manusia sebagai makhluk dalam usaha meningkatkan
kualitas sumber daya insaninya itu, manusia diikat oleh nilai-nilai illahi
(aksiologi), sehingga dalam pandangan Filsafat Pendidkan Islam,

Modul Filsafat Pendidikan Islam 36


manusia merupakan makhluk alternatif (dapat memilih), tetapi
ditawarkan padanya pilihan yang terbaik yakni nilai illahiyat. Dari sini
dapat kita simpulkan bahwa manusia itu makhluk alternatif (bebas)
tetapi sekaligus terikat (tidak bebas nilai).
3. Ilmu pengetahuan dalam perspektif filsafat pendidikan Islam
a. Hakikat Ilmu Pengetahuan dalam Islam
Menurut Quraish Shihab, kata ilmu dalam berbagai bentuk
terdapat 854 kali dalam al-Qur'an. Kata ini digunakan dalam makna
proses pencapaian tujuan. Ilmu dari segi bahasa berarti kejelasan.
Jadi ilmu pengetahuan adalah pengetahaun yang jelas tentang
sesuatu. Di dalam Islam, ilmu pengetahuan bukan hanya diperoleh
dengan perantaraan akal dan indera yang bersifat empiris saja, tetapi
juga ada pengetahuan yang bersifat immateri, yaitu ilmu pengetahuan
yang berasal dari Allah sebagai khaliq (pencipta) pengetahuan
tersebut.
Al-Qur'an sangat memerintahkan manusia untuk menuntut ilmu,
seperti perintah al-Qur'an menggunakan akalnya untuk berpikir dan
merenungkan semua ciptaan Allah dan segala peristiwa sejarah yang
telah terjadi di muka bumi. Dengan demikian, ilmu dan iman dalam
Islam bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan.
b. Kedudukan Ilmu Pengetahuan dalam Islam
Ilmu menempati kedudukan yang sangat penting dalam ajaran
Islam. Allah berfirman dalam al- Mujadalah ayat 11: “Allah
meninggikan derajat (tingkatan) orang-orang yang berirman diantara
kamu dan orang-orang yang berilmu. Dan Allah maha mengetahui apa
yang kamu kerjakan.”
Dalam hal ini, keimanan dalam Islam akan menjadi pendorong
untuk menuntut ilmu, dan Ilmu yang dimiliki seseorang akan
memperkokoh keimanan seseorang. Dengan demikian, Islam untuk
tidak pernah berhenti memotivasi umatnya menuntut ilmu.
c. Cara Memperoleh Ilmu Pengetahuan dalam Islam

Modul Filsafat Pendidikan Islam 37


Dalam filsafat ilmu cara mendapatkan ilmu dinamakan
epistemologi. Dalam epistemologi Islam, pengetahuan diperoleh
melalui tiga cara yaitu bayani, irfani dan burhani.

1) Epistemologi Bayani
Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang
menekankan otoritas teks Arab (nass), secara langsung ataupun
tidak langsung, dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali
lewat inferensial (dalil-dalil). Secara langsung artinya memahami
teks sebagai pengetahuan dan mengaplikasikannya langsung tanpa
perlu pemikiran. Secara tidak langsung berarti memahami teks
sebagai pengetahuan yang mentah, sehingga memerlukan tafsir dan
penalaran lebih mendalam. Meski demikian, hal ini bukan berarti
akal dan nalar dapat bebas menentukan makna dan maksudnya,
tetapi tetap bersandar pada teks. Epistemologi bayani menaruh
perhatian besar pada proses transmisi teks dari generasi ke
generasi, sampai kepada wilayah tafsir, fiqh, ushul fiqh, dan lain-lain.
2) Epistemologi ‘Irfani
Dalam menerjemahkan kata ‘irfan, ada dua makna kata yang
bisa dirujuk. Pertama, kata gnosis yang berarti pengetahuan intuitif
tentang hakikat spiritual yang diperoleh tanpa proses belajar. Kedua,
gnostik yakni pengetahuan tentang Allah yang dinisbahkan kepada
“gnostisime”.
‘Irfani jika dibandingkan dengan bayani, maka bayani
mendasarkan pengetahuannya kepada teks, sedangkan ‘irfani
mendasarkan pengetahuannya kepada kasf, yaitu tersingkapnya
rahasia-rahasia ketuhanan. Oleh karena itu, ‘irfan tidak diperoleh
berdasarkan analisis terhadap teks, akan tetapi dari hati nurani yang
suci, sehingga Tuhan menyingkapkan sebuah pengetahuan
(ladunni).

Modul Filsafat Pendidikan Islam 38


‘Irfani dilakukan dengan menggunakan qiyas ‘irfani, yaitu
analogi makna batin yang diungkap dalam kasyf kepada makna
zahir yang ada dalam teks.

3) Epistemologi Burhani
Burhani, dalam bahasa Arab, berasal dari kata ‘al-burhan’
yang berarti argumen yang jelas (al-hujjah al-bayyinah). Dalam
logika (mantiq), burhani merupakan aktivitas berfikir untuk
menetapkan kebenaran melalui metode penyimpulan, dengan
menghubungkan suatu premis terhadap premis lain yang telah
terbukti kebenarannya. Secara umum, burhani adalah aktivitas nalar
yang menetapkan kebenaran suatu premis.
Burhani adalah aktifitas berpikir secara mantiqi yang identik
dengan silogisme atau al-qiyas al-jami`’ yang tersusun dari beberapa
proposisi. Burhani menekankan tiga syarat, yaitu: pertama,
mengetahui terma perantara (ma'rifah al-hadd al-awsat); kedua,
keserasian hubungan relasional antara terma perantara dan
kesimpulan (tartib al-‘alaqah bayn al-‘illah wa al-ma’lul); ketiga,
natijah (kesimpulan) harus muncul secara otomatis dan tidak
mungkin muncul kesimpulan yang lain. Kias ketiga ini yang inheren
dengan epistemologi burhani.
Dalam memandang proses keilmuan, kaum burhani merujuk
dari cara pikir filsafat yakni memahami hakikat sebenarnya adalah
universal. Hal ini menempatkan “makna” dari realitas pada posisi
otoritatif, sedangkan ”bahasa” bersifat partikular sebagai penegasan
atau ekspresi saja.
Oleh karena itu, ilmu burhani berpola dari nalar burhani dan
nalar burhani bermula dari proses abstraksi yang bersifat rasional
terhadap realitas sehingga muncul makna, sedangkan makna agar
bisa dipahami dan dimengerti, diaktualisasi lewat kata-kata (bahasa).

Modul Filsafat Pendidikan Islam 39


Jadi secara struktural, proses yang dimaksud di atas terdiri dari tiga
hal, pertama, proses eksperimentasi yakni pengamatan terhadap
realitas. Kedua, proses abstraksi, yakni terjadinya gambaran atas
realitas dalam pikiran. Ketiga, ekspresi yaitu mengungkapkan
realitas dalam kata-kata.
Berkaitan dengan cara ketiga, pembahasan tentang silogisme
demonstratif atau kias burhani menjadi sangat signifikan. Silogisme
yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi qiyas jami’ terdiri
dari dua proposisi (qadiyah) yang kemudian disebut premis,
kemudian dirumuskan hubungannya dengan bantuan term tengah
untuk mendapatkan konklusi yang meyakinkan. Metode ini populer di
kalangan filsuf peripatetik. Sementara Ibn Rusyd mendefinisikan
burhani (demonstrasi) dengan suatu argumen yang konsisten, tidak
diragukan lagi kebenarannya, diperoleh dari premis yang pasti
sehingga kesimpulan yang akan diperoleh juga pasti, dan argumen
ini diliputi oleh fakta rasional. Jadi silogisme demonstratif atau kias
burhani yang dimaksud adalah silogisme yang premis-premisnya
terbentuk dari konsep-konsep yang benar, meyakinkan, sesuai
dengan realitas dan diterima oleh akal.
Aplikasi dari pembentukan silogisme ini harus melewati tiga
tahap, yaitu: tahap pengertian (ma’qulat), tahap pernyataan (‘ibarat)
dan tahap penalaran (tahlilat). Tahapan pengertian (ma’qulat),
merupakan proses awal dalam pikiran dan di sinilah terjadi
pengabstraksian realitas dari hasil pengalaman, pengindraan, dan
penalaran untuk mendapatkan suatu gambaran. Pengertian ini
merujuk kepada sepuluh kategori yaitu: substansi, kuantitas,
kualitas, aksi, pasivitas, relasi, tempat, waktu, sikap dan keadaan.
Tahapan pernyataan (‘ibarat) adalah tahap mengekspresikan
pengertian dalam kalimat yang disebut dengan proposisi. Dalam
proposisi ini harus memuat unsur subyek (maudu’) dan predikat
(muhmal) serta relasi antara keduanya, yang mempunyai pengertian

Modul Filsafat Pendidikan Islam 40


dan mengandung kebenaran yaitu adanya kesesuaian dengan
realitas dan tiada keragu-raguan dan persangkaan. Untuk
memperoleh sebuah pengertian yang meyakinkan harus
mempertimbangan al-alfaz al-khamsah (lima konsep universal);
pertama, jenis (genus) yakni sebuah klasifikasi yang dapat dibagi ke
dalam klas-klas lain yang disebut spesies. Kedua, nau’ (spesies)
yaitu konsep universal yang mengandung satu pengertian tetapi
memiliki hakikat yang berbeda. Ketiga, fasl (differentia) yaitu sifat
yang membedakan secara mutlak. Keempat, kekhususan
(propirum), pada suatu benda tetapi hilangnya sifat ini tidak akan
menghilangkan eksistensinya. Kelima, ‘ard (aksidensi) atau sifat
khusus yang tidak bisa diterapkan pada semua benda.
Tahapan penalaran (tahlilat), ini dilakukan dengan perangkat
silogisme. Sebuah silogisme harus terdiri dari dua proposisi yang
kemudian disebut premis mayor (al-hadd al-akbar) untuk premis
yang pertama dan premis minor (al-hadd al-asghar) untuk premis
yang kedua, yang kedua-duanya saling berhubungan dan darinya
ditarik kesimpulan logis.
Menurut Muhammad ‘Abid al-Jabiri, dalam burhani pasti
terdapat silogisme, tetapi belum tentu dalam silogisme itu ada
burhani. Silogisme yang burhani (silogisme demonstratif atau kias
burhani) selalu bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan, bukan
untuk tujuan tertentu seperti yang dilakukan oleh kaum sophis.
Silogisme (al-qiyas) dapat disebut sebagai burhani, jika memenuhi
tiga syarat: pertama, mengetahui sebab yang menjadi alasan dalam
penyusunan premis; kedua, adanya hubungan yang logis antara
sebab dan kesimpulan; dan ketiga, kesimpulan yang dihasilkan
harus bersifat pasti, sehingga tidak ada kesimpulan lain selain itu.
Syarat pertama dan kedua adalah yang terkait dengan silogisme (al-
qiyas). Sedangkan syarat ketiga merupakan karakteristik silogisme
burhani, karena kesimpulan bersifat pasti dan tidak menimbulkan

Modul Filsafat Pendidikan Islam 41


kebenaran lain. Hal ini dapat terjadi, jika premis-premis tersebut
benar dan kebenarannya telah terbukti lebih dulu sebelum
kesimpulannya.
Kebenaran yang dihasilkan oleh pola pikir burhani adalah
kebenaran koherensi atau konsistensi, sebab burhani menuntut
penalaran yang sistematis, logis, saling berhubungan dan konsisten
antara premis-premisnya. Oleh karena itu, kebenaran burhani
ditegakkan atas dasar hubungan antara keputusan baru dengan
keputusan lain yang telah ada dan diakui kebenarannya serta
kepastiannya sehingga kebenaran identik, konsisten, dan saling
berhubungan secara sistematis.
4. Masyarakat dalam perspektif filsafat pendidikan Islam
Masyarakat dalam himpunan individu dan kumpulan keluarga
yang bertempat tinggal pada suatu wilayah tertentu, hidup bersama
dengan landasan peraturan yang berlaku dalam lingkungannya.
Masyarakat adalah dinamika dari berbagai cara pandang dan
variasi perilaku individu sebagai creator kehidupan social yang
potensial dalam melakukan tindakn sesuai dengan hasratnya masing-
masing Jika konsep masyarakat dan budaya berlaku, otomatis
potensi individual terjebak dalam sistem normatif yang dapat
menghentikan proses dinamis dari berbagai potensi individual. Oleh
karena itu, masyarakat adalah sebagai institusi social yang mewadahi
berbagai tindakkan individu, mempersamakan persepsi tentang
tujuan berkelompok dan melakukan tugas serta fungsi social sesuai
dengan kesepakatan yang terjadi lingkungan soaialnya masing-
masing.
Adapun dalam kehidupan masyarakat selalu terdapat proses
kebudayaan yang interaktif, yaitu;
a. Proses saling belajar dalam berbudaya melalui interaksi dalam
masyarakat yang terorganisasi atau masyarakat yang kompleks
b. Proses saling berbagi budaya diantara anggota organisasi

Modul Filsafat Pendidikan Islam 42


c. Proses saling mewariskan budaya dari generasi ke genarasi atau
lintas generasi
d. Proses simbolisasi perilaku yang dipandang representative bagi
integrasi kultural organisatoris
e. Proses pembentukkan dan pengintegrasian perilaku sosial
f. Proses adaptasi dari semua perilaku masyrakat institusional, yang
memperkuat heterogenitas perilaku, sebaliknya memperlemah
dinamika persepsi dan tindakkan.
Dalam persfektif filsafat pendidikan Islam, proses saling belajar
yang dapat berlaku di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah,
lingkungan masyarakat merupakan perjalanan kebudayaan manusia
dalam mencerdaskan dirinya, meningkatkan kesadarannya sebagai
makhluk yang berbudi luhur, makhluk yang belajar memahami
keinginan manusia yang beragam.
Masyarakat adalah cermin bagi kehidupan manusia, secara
filosofis belajar yang paling sempurna adalah belajar dari kehidupan
masyarakat, sebagaimana Rasullullah SAW. menyarankan untuk
belajar dari kehidupan pasar karena di pasar ada kejujuran,
kebohongan, kegembiraan, kepedihan, dsb. Belajarlah pada
kejujuran karena dengan itu modal masuk surga.
Tujuan utama dalam pendidikan Islam, yang diperoleh anak
didik di bangku sekolah adalah agar dapat dimanfaatkan untuk
kehidupan masyarakat. Belajar ilmu pengetahuan bertujuan
membentuk akhlak yang mulia sehingga dengan akhlak yang mulia
akan terbangun masyarakat yang berakhlak mulia karena kemuliaaan
masyarakat berawal dari kemuliaan akhlak individu yang
membangunnya.
Hal tersebut menggambarkan bahwa konsep masyarakat
dalam islam berawal dari 4 kondisi sosial yang menjadi faktor
pendukungnya, yaitu:
a. Adanya hukum asal bahwa manusia adalah umat yang satu

Modul Filsafat Pendidikan Islam 43


b. Telah terjadi perpecahan karena adanya perbedaan kepentingan
individual dan kelempok
c. Muncul tokoh manusia atau rosul yang membawa risalah dengan
sumber ajaran yang berasal sesuatu yang diyakini (Tuhan) yang
bermaksud mendamaikan manusia.
d. Kunci dari perdamaian manusia adalah interaksi atau silaturrahim
sebagai puncak keasatuan dalam keragaman, karena adanya
keragaman maka kehidupan manusia menjadi fungsional.
Pola interaksi yang dibentuk secara institusional, pertama kali
dipusatkan pada suatu bangunan yang menjadi tempat
berkomunikasinya manusia muslim dengan Allah. Oleh karena itulah,
Rasullullah SAW dalam perjuangan dakwahnya pertama-tama
membengun mesjid, yakni mesjid nabawi. Mesjid adalah lembaga
yang membangun interaksi timbale balik dengan kekuatan social dan
kekuatan emisional keberagaman manusia.
Bentuk dan lingkungan sosial umat islam ditentukan oleh
aktifitas keagamaannya sedangkan aktifitas tersebut bergantung
pada dinamika masyarakat dalam memakmurkan mesjid sebagai
pusat budaya muslim. Sejak Zaman nabi Muhammad SAW. sampai
sekarang, mesjid adalah lembaga yang bukan hanya dijadikan tempat
ritual, tetapi sebagai tempat bermusyawarah, menimba ilmu,
menyamakan persepsi tentang kehidupan dunia dan akhirat, serta
tempat yang sangat tepat untukpusat informasi dan komunikasi
bermasyarakat.
Dengan pandangan diatas, kedudukan masyarakat dalam
filsafat pendidikan Islam dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Masyarakat adalah sebagai guru bagi semua manusia yang
memiliki kemauan mengambil pelajaran dari setiap yang terjadi di
dalamnya.
b. Masyarakat adalah sebagai subjek yang menilai keberhasilan
pendidikan.

Modul Filsafat Pendidikan Islam 44


c. Masyarakat adalah tujuan bagi semua anak didik yang telah
belajar di berbagai lingkungan.
d. Masyarakat adalah ujian paling sulit bagi aplikasi hasil-hasil
pendidikan.
e. Masyarakat adalah cermin keberhasilan atau kegagalan dunia
pendidikan.
f. Masyarakat adalah etika dan estetika pendidikan karena norma-
norma individu berproses menjadi norma sosialdan norma social
yang disepakati dalam masyarakat merupakan puncak estetika
kehidupan.Tanpa ada norma sosial yang disepakati,
sesungguhnya kehidupan tidak indah
D. Soal
1. Bagaimana kedudukan alam semesta dalam persepektif
filsafat pendidikan Islam ?
2. Bagaimana manusia dalam perspektif filsafat pendidikan
Islam?
3. bagaimana ilmu pengetahuan dalam perspektif filsafat
pendiidikan Islam?
4. Bagaimana masyarakat dalam filsafat pendidikan Islam ?

DAFTAR PUSTAKA

Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, Jakarta, Gaya Media


Pratama, 1997.
Musa Asy’ari, Filsafat Islam, Yogyakarta : LESFI, 2010.
Ali Saifullah, Antara Filsafat dan Pendidikan, Surabaya: Usaha
Nasional, 1983.

Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I, Jakarta: Logos


Wacana Ilmu, 1997

Modul Filsafat Pendidikan Islam 45


H. Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis,
Teoritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Pers, 2002.

A. Tafsir, dkk, Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam, Editor: Tedi


Priatna, M. Ag, Bandung: Mimbar Pustaka, 2004.

BAB V
HAKIKAT DAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM

Istilah pendidikan berasal dari kata “didik” dengan memberinya


awalan “pe” dan akhiran “an” yang mengandung arti “perbuatan” (hal,
cara dan sebagainya). Istilah pendidikan semula berasal dari bahasa
Yunani, yaitu “paedagogie” yang berarti bimbingan yang diberikan
kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris dengan “education” yang berarti pengembangan atau bimbingan.
Dalam bahasa Arab, istilah ini sering diterjemahkan dengan “tarbiyah”
yang berarti pendidikan.4
Dalam perkembangannya, istilah pendidikan berarti bimbingan
atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja terhadap anak didik
untuk perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah yang lebih baik.
Sedangkan hakikat tujuan pendidikan islam itu sendiri adalah untuk
membentuk insan yang memiliki dimensi religius, berbudaya dan
berkemampuan ilmiah, dalam istilah lain disebut “insan kamil”.
A. Tujuan Pembelajaran Umum
1. Mahasiswa mampu memahami pengertian pendidikan Islam
2. Mahasiswa mampu memahami tugas dan fungsi pendidikan
Islam
3. Mahasiswa mampu memahami dasar dan tujan pendidikan
Islam
B. Tujuan Pembelajaran Khusus

4
H.Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan
dan pemikiran Para tokohnya, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), 83.

Modul Filsafat Pendidikan Islam 46


1. Mahasiswa dapat mendeskripsikan pengertian pendidikan
Islam
2. Mahasiswa dapat membedakan dan memapaparkan tugas dan
fungsi pendidikan Islam
3. Mahasiswa dapat menjelaskan dasar dan tujuan pendidikan
Islam
C. Uraian Materi
1. Pengertian pendidikan Islam
Istilah pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya
mengacu kepada term al-tarbiyah, al-ta’dib, dan al-ta’lim. Dari
ketiga istilah tersebut term yang popular digunakan dalam praktek
pendidikan Islam ialah al-tarbiyah. Sedangkan al-ta’dib dan al-
ta’lim jarang sekali digunakan. Padahal kedua istilah tersebut
telah digunakan sejak awal pertumbuhan pendidikan Islam.
Istilah al-tarbiyah berasal dari kata rabb. Walaupun kata
ini memiliki banyak arti, akan tetapi pengertian dasarnya
menunjukkan makna tumbuh, berkembang, memelihara, merawat,
mengatur, dan menjaga kelestarian atau eksistensinya.
Proses pendidikan Islam adalah bersumber pada
pendidikan yang diberikan Allah sebagai “pendidik” seluruh
ciptaanNya, termasuk manusia. Pengertian pendidikan Islam yang
dikandung dalam al-tarbiyah terdiri atas empat unsur pendekatan,
yaitu:
a. Memelihara dan menjaga fitrah anak didik menjelang
dewasa (baligh).
b. Mengembangkan seluruh potensi menuju kesempurnaan.
c. Mengarahkan seluruh fitrah menuju kesempurnaan.
d. Melaksanakan pendidikan secara bertahap.
Istilah al-ta’lim telah digunakan sejak periode awal
pelaksanaan pendidikan Islam. Menurut para ahli, kata ini lebih
bersifat universal di banding dengan al-tarbiyah maupun al-ta’dib.

Modul Filsafat Pendidikan Islam 47


Misalnya mengartikan al-ta’lim sebagai proses transmisi brbagai
ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan
ketentuan tertentu. Melainkan membawa kaum muslimin kepada
nilai pendidikan tazkiyah an-nafs (pensucian diri) dari segala
kotoran, sehingga memungkinkannya menerima al-hikmah serta
mempelajari segala yang bermanfaat untuk diketahui.
Istilah al-ta’dib berarti pengenalan dan pengakuan yang
secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia
(peserta didik) tentang tempat-tempat yang tepat dari segala
sesuatu di dalam tatanan penciptaan. Dengan pendekatan ini,
pendidikan akan berfungsi sebagai pembimbing kearah
pengenalan dan pengakuan kepada Tuhan yang tepat dalam
tatanan wujud dan kepribadiaannya.
Pada kata al-tarbiyah yang memiliki arti pengasuhan,
pemeliharaan, dan kaih saying tidak hanya digunakan untuk
manusia, akan tetapi juga digunakan untuk melatih dan
memelihara binatang atau makhluk Allah lainnya.
Di antara batasan yang sangat variatif tersebut adalah:
a. Mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah proses
mengubah tingkah laku individu peserta didik pada
kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya.
b. Mendefinisikan pendidikan Islam sebagai upaya
mengembangkan, mendorong serta mengajak peserta didik
hidup lebih dinamis dengan berdasarkan nilai-nilai yang
tinggi dan kehidupan yang mulia.
c. Mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan
atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap
perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju
terbentuknya kepribadiannya yang utama (insan kamil).

Modul Filsafat Pendidikan Islam 48


d. Mendefinisikan pendidikan Islam sebagai bimbingan yang
diberikan oleh seseorang agar ia berkembang secara
maksimal sesuai dengan ajaran Islam.

2. Tugas dan fungsi pendidikan Islam


a. Tugas Pendidikan Islam
Tugas pendidkan islam bersifat continue dan tanpa
batas. Pendidikan islam merupakan proses tanpa akhir,
sehingga pendidikan islam merupakan pendidikan yang terus
menerus yang dikenal dengan istilah “min al-mahdi ila al-lahd”
atau dalam istilah lain “life long education” pendidikan
sepanjang hayat.
Tugas pendidikan Islam pada hakikatnya bertumpu pada
dua aspek:
1) Pendidikan tauhid
Pendidikan tauhid dilakukan dengan pemberian
pemahaman terhadap dua kaliamat syahadat; pemahaman
terhadap jenis-jenis tauhid (rububiyah, uluhiyah, asma dan
sifat); ketundukan, kepatuhan dan keikhlasan menjalankan
islam; dan menghindarkan dari segala bentuk kemusyrikan.
2) Pendidikan pengembangan tabiat peserta didik
Adalah mengembangkan tabiat peserta didik agar
mampu memenuhi tujuan penciptaannya, yaitu beribadah
kepada Allah SWT dan menyediakan bekal untuk beribadah
seperti makan dan minum. Manusia yang sempurna adalah
mereka yang senantiasa beribadah, baik diniyyah maupun
beribadah qauniyah.

Modul Filsafat Pendidikan Islam 49


Untuk menelaah tugas-tugas pendidikan agama islam,
dapat dilihat dari tiga pendekatan. Hal ini dapat dijelaskan
dibawah ini.
1. Pendidikan Sebagai Pengembangan Potensi
Tugas pendidikan islam ini merupakan realisasi dari
pengertain tarbiyah “al-insya” yaitu menumbuhkan atau
mengaktualisasikan potensi. Asumi tugas ini adalah bahwa
manusia mempunyai sejumlah potensi atau kemampuan
sedangkan pendidikan merupakan proses untuk
menumbuhkembangkan potensi-potensi itu.
Abdul Mujid menyebutkan tujuh macam potensi bawaan
manusia, yaitu :
a. Al-Fitrah (citra asli)
Fitrah merupakan citra asli manusia, yang berpotensi
baik atau buruk dimana aktualisasinya tergantung pilihannya.
Fitrah adalah citra asli yang dinamis, yang terdapat pada
sistem-sistem psikopisik manusia, dan dapat diaktualisasikan
dalam bentuk tingkah laku. Seluruh manusia memiliki fitrah
yang sama, meskipun perilakunya berbeda. Fitrah manusia
yang paling esensial adalah penerimaan terhadap amanah
untuk menjadi khalifah dan Hamba Allah di muka bumi.
Jenis fitrah memiliki banyak dimensi, diantaranya:
1) Fitrah agama
Sejak di alam roh, manusia telah mempunyai komitmen
bahwa Allah adalah Tuhannya. Oleh katena itu sejak lahir
manusia sudah mempunyai naluri atau insting beragama.
2) Fitrah intelek
Dengan adanya fitrah intelek ini manusia dapat
memperoleh pengetahuan dan dapat membedakan antara yang
baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah. Karena fitrah
ini lah pembeda jelas antara manusia dengan hewan.

Modul Filsafat Pendidikan Islam 50


3) Fitrah sosial
Manusia cenderung hidup berkelompok yang di dalamnya
terbentuk suatu ciri-ciri khas yang disebut dengan kebudayaan.
Tugas pendidikan disini adalah menjadikan kebudayaan
khususnya islam sebagai proses kurikulum pendidikan islam
dalam seluruh peringkat dan tahapannya.

4) Fitrah susila
Adalah suatu kemampuan manusia mempertahankan diri
dari sifat-sifat amoral, sifat-sifat yang menyalahi tujuan Allah
yang menciptakannya. Manusia yang menyalahi fitrah susilanya
akan berakibat manusia menjadi hina.
5) Fitrah ekonomi
Suatu kemampuan yang dimiliki manusia untuk
mempertahankan hidupnya dengan upaya memenuhi
kebutuhan jasmaniahnya, semi kelangsungan hidupnya. Fungsi
utama fitrah ini adalah untuk memanfaatkan kekayaan alam
untuk merealisasikan tugas-tugas kekhalifahan dalam rangka
beribadah kepada Allah SWT. bukan untuk kepentingan pribadi
sehingga menjadikan manusia diperbudak materi.
6) Fitrah seni
Adalah suatu kemampuan yang dimili oleh manusia yang
dapat menimbulkan daya estetika. Dalam proses belajar
mengajar semestinya memberikan suasana gembira, karena
pendidikan merupakan proses kesenian, oleh karena itu
dibutuhkan seni mendidik.
7) Fitrah kemajuan, keadilan, kemerdekaan, kesamaan,
ingin dihargai, kawin, cinta tanah air, dan kebutuhan hidup
lainnya.

Modul Filsafat Pendidikan Islam 51


Pengembangan berbagai potensi manusia (fitrah) dapat
dilakukan dengan kegiatan belajar, baik pendidikan formal,
informal atau nonformal.
b. Struktur manusia
Struktur manusia terdiri atas jasmani, rohani dan nafsani.
Struktur nafsani terbagi atas tiga macam, yaitu kalbu, akal, dan
hawa nafsu.

c. Al-Hayah (vitality)
Hayah adalah daya, tenaga, energi atau vitalitas hidup
manusia yang karenanya manusia dapat bertahan hidup. Al-
hayah disebut juga sebagai nyawa manusia.
d. Al-Khuluq
Akhlak adalah kondisi batiniyah individu yang mencakup al-
thab’u dan al-sajiyah. Khuluq dapat disamakan dengan karakter
masing-masing individu memerlukan keunikan tersendiri.
Dalam terminologi psikologi, karakter adalah watak atau sifat
dasar yang tetap terus-menerus dan kekal yang dapat dijadikan
ciri mengidentifikasi kepribadian seseorang.
e. Al-Tab’u (tabiat)
Tabiat adalah citra batin individu yang menetap. Citra ini
terdapat pada konstitusi individu yang diciptakan oleh Allah
SWT sejak lahir. Al thab’u sama dengan tempramen yang tidak
dapat diubah, namun didalam Al-Qur’an, tabiat manusia
mengarah pada perilaku baik atau buruk.
f. Al-Sajiyah (Bakat)
Sajiyah adalah kebiasaan individu yang berasal dari hasil
integrasi antara karakter individu dengan aktivitas-aktivitas
yang diusahakan. Dalam terminologi psikologi, sajiyah

Modul Filsafat Pendidikan Islam 52


diterjemahkan dengan bakat yaitu kapasitas, kemampuan yang
bersifat potensial.
g. Al-Sifat (sifat-sifat)
Sifat yaitu satu ciri khas individu yang relatif menetap,
secara terus menerus dan konsekuen yang diungkapkan dalam
satu deretan keadaan. Sifat-sifat totalitas dalam diri individu
dikategorikan menjadi tiga bagian, yaitu deferesiansi, regulasi,
dan integrasi. Deferensiasi adalah perbedaan mengenai tugas-
tugas dan pekerjaan dari masing-masing bagian tubuh.
Misalnya fungsi jasmani dan rohani (kejiwaan) manusia.
Regulasi adalah dorongan untuk mengadakan perbaikan
sesudah terjadi gangguan didalam organism manusia. Integrasi
adalah proses yang membuat keseluruhan jasmani dan rohani
manusia yang menjadi satu kesatuan harmonis, karena terjadi
satu sistem pengaturan yang rapi.
h. Al-‘Amal (perilaku)
Amal yaitu tingkah laku individu, yang tergambar dalam
bentuk perbuatan nyata. Pada tingkat amal ini kepribadian
individu dapat diketahui, sekalipun kepribadian yang dimaksud
mencakup lahir dan batin.
2. Pendidikan Sebagai Pewarisan Budaya
Tugas pendidikan Islam adalah mewariskan nilai-nilai
budaya islami. Kebudayaan islam akan mati bila nilai-nilai dan
norma-normanya tidak berfungsi dan belum sempat diwarikan
pada generasi berikutnya.
Dalam pendidikan islam, sumber nilai kebudayaan dapat
dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:
a. Nilai Ilahiyah : yaitu nilai imam dan takwa. Nilai ini tidak
mengalami perubahan, karena mengandung kemutlakan bagi
kehidupan manusia selaku pribadi dan selaku anggota
masyarakat, tidak berubah karena mengikuti hawa nafsu.

Modul Filsafat Pendidikan Islam 53


Pelaku pendidikan memiliki tugas untuk menginterpretasikan
nilai-nilai itu, agar nilai-nilai itu dapat diaplikasikan dalam
kehidupan.
b. Nilai Insaniyah : nilai yang tumbuh atas kesepakatan
manusia serta hidup dan berkembang dari peradaban manusia.
Nilai ini bersifat dinamis, yang keberlakuannya relatif dibatasi
oleh ruang dan waktu. Nilai insani kemudian melembaga
menjadi tradisi yang diwariskan secara turun temurun dan
mengikat anggota masyarakat yang mendukungnya. Pelaku
pendidikan memiliki tugas tidak saja menginterpretasikan nilai-
nilai itu, tetapi juga bagaimana mengontrol nilai-nilai itu untuk
mendekati pada nilai idealnya, sehingga terjadi keselarasan
dan keharmonisan batin dalam menjalankan nilai itu.
Tugas pendidik adalah bagaimana pendidik mampu
melestarikan dan mentranformasikan nilai ilahiyah yang intrinsik
(qath’i) harus diterima sebagi suatu kebenaran mutlak,
sementara nilai ilahiyah yang instrumental dapat dikembangkan
sesuai denga kondisi zaman, tempat dan keadaan. Sedangkan
untuk nilai insaniyah, tugas pendidik senantiasa melakukan
inovasi dan menumbuhkan kreativitas diri agar nilai itu
berkembang sesuai dengan tuntutan masyarakat.
3. Pendidikan sebagai Interaksi Pengembangan Potensi
dan Pewarisan Budaya

Manusia secara potensial mempunyai dasar yang harus


diaktualkan dan dilengkapi dengan peradaban dan kebudayaan
islam. Aplikasi peradaban dan kebudayaan harus relevan
dengan kebutuhan pengembangan potensi dasar manusia.
Interaksi antara potensi dan budaya itu harus mendapatkan
tempat dalam proses pendidikan, dan jangan sampai ada salah
satunya yang diabaikan. Tanpa interaksi tersebut harmonisasi
kehidupan akan terhambat.

Modul Filsafat Pendidikan Islam 54


Secara garis besar tugas pokok pendidikan islam adalah
membantu pembinaan peserta didik pada ketakwaan dan
berakhlak karimah yang dijabarkan dalam pembinaan
kompetensi enam aspek keimanan, lima aspek keislaman, dan
multi aspek keihsanan. Selain itu, tugas pendidikan juga
mempertinggi kecerdasan dan kemampuan dalam memajukan
ilmu pengetahuan dan teknologi, beserta manfaat dan
aplikasinya dan dapat meningkatkan budaya dan lingkungan,
dan pandangan hidup sebagai manusia yang komunikatif
terhadap keluarga, masyarakat, bangsa dan sesame manusia
serta sesama makhluk lain. Tugas itu dapat menumbuhkan
kreatifitas peserta didik, melestarikan nilai-nilai, serta
membekali kemampuan produktivitas pada peserta didik.
b. Fungsi pendidikan Islam
Fungsi pendidikan Islam adalah menyediakan segala
fasilitas yang dapat memudahkan tugas-tugas pendidikan Islam
tersebut tercapai dan berjalan dengan lancar. Penyediaan
fasilitas ini mengandung arti dan tujuan yang bersifat struktural
dan institusional/operasional.
Secara structural, pendidikan Islam menuntut adanya
struktur organisasi yang mengatur jalannya proses pendidikan,
baik pada dimensi vertical maupun horizontal. Sementara
secara institusional, ia mengandung implikasi bahwa proses
pendidikan yang berjalan hendaknya dapat memenuhi
kebutuhan dan mengikuti perkembangan zaman yang terus
berkembang. Untuk itu, diperlukan kerjasama berbagai jalur
dan jenis pendidikan, mulai dari sistem pendidikan sekolah
maupun pendidikan luar sekolah.
Secara operasional, fungsi pendidikan dapat dilihat dari
dua bentuk, yaitu:

Modul Filsafat Pendidikan Islam 55


1) Alat untuk memelihara, memperluas dan menghubungkan
tingkat-tingkat kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan social,
serta ide-ide masyarakat dan nasional.
2) Alat untuk mengadakan perubahan, inovasi dan
perkembangan. Upaya ini dilakukan melalui potensi ilmu
pengetahuan dan skiil yang dimiliki, serta melatih tenaga-
tenaga manusia (peserta didik) yang produktif dalam
menemukan perimbangan perubahan social dan ekonomi
yang demikian dinamis.

3. Dasar dan tujuan pendidikan Islam


a. Dasar Pendidikkan Islam
Yang dimaksud dengan dasar pendidikan adalah
pandangan hidup yang mendasari seluruh aktifitas pendidikan.
Karena dasar menyangkut masalah ideal dan fundamental,
maka diperlukan landasan dan pandangan hidup yang kokoh
dan komprehensif, serta tidak berubah. Hal ini karenatelah
diyakini kebenarannya yang telah teruji oleh sejarah. Kalau
nilai-nilai sebagai pandangan hidup yang dijadikakn dasar
pendidikanitu bersifat relatif da temporal, maka pendidikan
akan mudah terombanh ambing oleh kepentingan dan
tuntutan sesaat yang bersifat teknis dan pragmatis.
Sebagai aktifitas yang bergerak dalam proses
pembinaan kepribadian muslim, maka pendidikan Islam
memerlukan asas atau dasar yang dijadikan landasan kerja.
Dengan daar ini akan memberi arah bagi pelaksanaan
pendidikan yang telah diprogramkan. Dalam konteks ini,dasar
yang menjadi acuan pendidikan Islam hhendaknya meruoakan
sumber nilai kebenaran dan kekuatan yang dapat
mengantarkan peserta didik kearah pencapaian pendidikan.

Modul Filsafat Pendidikan Islam 56


Oleh karena itu, dasar yang terpenting dari pendidikan Islam
adalah al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah (hadis).
Terdapat dalam Al-Qur’an, surat Asy-Syura ayat 52,
yang artinya: “Dan demikian kami wahyukan kepadamu wahyu
(Al-Qur’an) dengan perintah kami. Sebelumnya kamu tidaklah
mengetahui apakah iman itu, tetapi kami menjadikan Al-
Qur’an Itu cahaya yang kami beri petunjuk dengan dia siapa
yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan
sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada
jalan yang benar.”

Hadis nabi Muhammad SAW yang artinya:


“Sesungguhny a orang mu’min yang paling dicintai oleh Allah
ialah orang yang senantiasa tegak taat kepada-nya dan
memberikan nasihat kepada hamba-Nya, sempurna akal
pikiranya, serta menasehati pula akan dirinya sendiri,
menaruh perhatian serta mengamalkan ajran-Nya selam
hayatnya, maka beruntung dan memoleh kemenangan ia.” (
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin hal 90).

Dari ayat Al-Qur’an dan Hadis Nabi diatas dapat diambil


titik relevansinya dengan atau sebagai dasar pendidikan
agama, mengingat :
1) Bahwa Al-Qur’an diturunkan kepada umat manusia untuk
memberi petunjuk kearah jalan hidup yang lurus dalam arti
memberi bimbingan kearah jalan yang diridhai Allah SWT.
2) Menuru hadis Nabi bahwa diantara sifat orang mu’min ialah
saling menasehati untuk mengamalkan ajaran Allah, yang
dapat diformulasikan sebagai usaha atau dalam bentuk
pendidikan islam.
3) Al-Qur’an dan Hadis tersebut menerangkan bahwa Nabi
adalah benar-benar memberi petunjuk kejalan yang lurus,
sehingga beliau memerintahkan kepada umatnya agar saling
memberi petunjuk, memebrikan bimbingan, penyuluhan dan
pendidikan islam.
Moh. Athiyah al-Abrasyi dalam bukunya “Dasar-dasar
Pokok Pendidikan Islam” menegaskan bahwa pendidikan

Modul Filsafat Pendidikan Islam 57


agama adalah mendidik akhlak dan jiwa mereka,
menanamkan rasa fadhilah (keutamaan), membiasakan
mereka dengan kesopanan yang tinggi, mempersiapkan
mereka untuk suatu kehidupan yang suci seluruhnya ikhlas
dan jujur.
Menetapkan Al-Qur’an dan Hadis sebagai dasar
pendidikan Islam bukan hanya dipandang sebagai
kebenaran yang didasarkan pada keimanan semata. Namun
justru karena kebenaran terdapat dalam dua dasar tersebut
dapat diterima oleh akal manusia dan dapat dibuktikan
dalam sejarah atau pengalaman kemanusiaan. Sebaga
pedoman, al-Qur’an tida ada keraguan padanya (Q.S. Al-
Baqarah/2:2). Ia tetap terpelihara kesuciannya dan
kebenarannya (Q.S.s ArRa’d/15:9), baik dalam pembinaan
aspek kehidupan spiritual maupun aspek sosial budaya dan
pendidikan. Demikian pula kebenaran hadis ssebaga dasar
kedua bagi pendidikan Islam. Kepribadian Rasul (Q.S. Al-
Ahzab/33:21). Oleh karena itu prilakunya senantiasa
terpelihara dan terkontrol ole Alllah SWT (Q.S. An-
Najm/53:3-4).
Dalam pendidikan Islam, Sunnah Rasul mempunyai
dua fungsi, yaitu: (1) Menjelaskan sistem pendidikan Islam
yang terdapat dalam al-Qur’an dan menjelaskan hal-halyang
tidak terdapat didalamnya, (2) Menyimpulkan metode
pendidikan dari kehidupan Rasululllah bersama sahabat,
perlakuannya terhadap anak-anak, dan pendidikan keimanan
yang pernah dilakukannya.
Secara lebih luas, dasar pendidikan Islam menurut
Sa’id Ismail Ali, sebagaimana dikutip Langgulung terdiri atas
enam macam, yaitu; al-Quran , Sunnah, qaul shahabat,
maalih al-mursalah, ‘urf dan pemikiran hasil dari ijtihad

Modul Filsafat Pendidikan Islam 58


intelektual muslim. Seluruh rangkaian dasar tersebut secara
secara hierarki menjadi acuan pelaksanaan sistem
pendidikan Islam.
2) Tujuan Pendidikan Islam
Jika kita berbicara tentang tujuan pendidikan Islam,
berarti berbicara tentang nilai-nilai ideal yang bercorak islami.
Hal ini mengandung makna bahwa tujuan pendidikan Islam
tidak lain adala tujuan yang merealisasi idealitas islami.
Sedang idealitas islami itu sendiri pada hakikatnya adalah
mengandung nilai prilaku manusia yang didasari atau dijiwa
oleh iman dan takwa kepada Allah sebagai sumber kekuasaan
mutlak yang harus ditaati.
Dalam merumuskan tujuan pendidikan Islam, paling
tidak ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. Tujuan dan tugas manusia dimuka bumi, baik secara
vertikal maupun horizontal.
2. Sifat-sifat dasar manusia.
3. Tuntutan masyarakat dan dinamika peradaban
kemanusiaan.
4. Dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam. Dalam aspek ini
setidaknya ada 3 macam dimensi ideal Islam, yaitu ;(a)
mengandung nilai yang berupaya meningkatkan
kesejahteraan hidup manusia dimuka bumi. (b)
mengandung nilai yang mendorong manusia berusaha
keras untuk meraih kehidupan yang baik. (c) mengandung
nilai yang dapat memadukan antara kepentingan kehidupan
dunia dan akhirat.
Berdasarkan batasan diatas, para ahli pendidikan
(muslim) mencoba merumuskan tujuan pendidikan Islam.
Diantaranya al-Syaibany, mengemukakan bahwa tujuan

Modul Filsafat Pendidikan Islam 59


tertinggi pendidikan Islam adalah mempersiapkan kehidupan
dunia dan akhirat.
Sementara tujuan akhir yang akan dicapai adalah
mengembangkan fitrah peserta didik, baik ruh, fisik, kemauan
dan akalnya secara dinamis, sehhingga akan terbentuk pribadi
yang utuh dan mendukung bagi pelaksaan fungsinya sebagai
khalifah didunia. Pendekatan tujuan ini memiliki makna,
bahwa upaya pendidikan Islam adalah pembinaan pribadi
muslim sejati yang mengabdi dan merealisasikan “kehendak”
Tuhan sesuai dengan syari’at Islam, serta mengisi tugas
kehidupannya di dunia dan menjadikan kehidupan akhirat
sebagai tujuan utama pendidikannya.
Menurut Muhammad Fadhil al-Jamaly, tujuan
pendidikan Islam menurut al-Quran meliputi; (1) Menjelaskan
posisi peserta didik sebagai manusia diantara makhluk Allah
lainnya dan tanggungjawabnya dalam kehidupan ini. (2)
Menjelaskan hubungannya sebagai makhluk sosial dan
tanggung jawabnya dalam tatanan kehidupan bermasyarakat.
(3) Menjelaskan hubungan manusia dengan alam dan
tugasnya untuk mengetahui hikmah penciptaan dengan cara
memakmurkan alam semesta. (4) Menjelaskan hubungannya
dengan Khaliq sebagai pencipta alam semesta.
Tujuan pendidikan (al-Quran) Islam adalah membina
manusia secara pribadi dan kelompok sehingga mampu
menjalankan fungsinya sebagai hamba dan khalifah-Nya
guna membangun dunia ini sesuai dengan konsep yang telah
ditetapkan Allah.
Berdasarkan rumusan di atas dapat dipahami, bahwa
pendidikan Islam merupakan proses membimbing dan
membina fitrah pserta didik secara maksimal dan bermuara
pada terciptanya pribadi peserta didik ssebagai muslim

Modul Filsafat Pendidikan Islam 60


paripurna (insan kamil). Melalui sosok pribadi yang demikian,
peserta didik diharapkan akan mampu memadukan fungsi
iman, ilmu dan amal (Q.S. Al-Mujaadilah/58:11) secara
integral bagi terbinanya kehidupan yang harmonis, baik dunia
maupun akhirat.
D. Soal
1. Jelaskan yang dimaksud dengan pendidikan Islam?
2. Uraikan tugas dan fungsi pendidikan Islam?
3. Bagaimana dasar dan tujuan pendidikan Islam?

DAFTAR PUSTAKA

Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan Jakarta: Gaya


Media Pratama, 1997.
H.Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah
Sistem Pendidikan dan pemikiran Para tokohnya, Jakarta:
Kalam Mulia, 2009
Ali Saifullah, Antara Filsafat dan Pendidikan, Surabaya: Usaha
Nasional, 1983.

Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I, Jakarta: Logos


Wacana Ilmu, 1997

Hasan Langgulung, Asas-asas pendidikan Islam, Cet. II, Jakarta:


Pustaka Al-Husna, 1988.

H. Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis,


Teoritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Pers, 2002

Modul Filsafat Pendidikan Islam 61


BAB VI
PARADIGMA PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK

Menurut perspektif pendidikan Islam, hakekat tujuan hidup


seorang muslim adalah mengabdi kepada Allah. Pengabdian pada Allah
sebagai realisasi dari keimanan yang diwujudkan dalam amal, tidak lain
untuk mencapai derajat taqwa. Beriman dan beramal saleh merupakan
dua aspek kepribadian yang dicita-citakan oleh pendidikan Islam. 5
Oleh karena itu, seorang pendidik harus memiliki tanggung jawab
untuk mengantarkan peserta didik ke arah tujuan tersebut, yaitu dengan
menjadikan sifat-sifat Allah sebagai bagian dari karakteristik
kepribadiannya. Untuk itu, keberadaan pendidik dalam dunia pendidikan
sangat penting. Hal ini disebabkan kewajibannya tidak hanya
mentrasformasikan pengetahuan (knowledge), akan tetapi juga dituntut
menginternalisasikan nilai-nilai (value) pada peserta didik. Bentuk nilai
yang ditransformasikan dan disosialisasikan paling tidak meliputi hal
berikut; nilai etis, nilai pragmatis, nilai effect sensoric, dan nilai religius.
A. Tujuan Pembelajaran Umum
1. Mahasiswa mampu memahami kedudukan pendidik dalam
pendidikan Islam

5
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1992), 74.

Modul Filsafat Pendidikan Islam 62


2. Mahasiswa mampu memahami hakikat peserta didik dalam
pendidikan Islam
B. Tujuan Pembelajaran Khusus
1. Mahasiswa dapat menjelaskan kedudukan pendidik dalam
pendidikan Islam
2. Mahasiswa dapat menjelaskan hakikat peserta didik dalam
pendidikan Islam.

C. Uraian Materi
1. Kedudukan Pendidik dalam pendidikan Islam
a. Kedudukan pendidik
Salah satu unsur penting dari proses kependidikan
adalah pendidik. Di pundak pendidik terletak tanggungjawab
yang amat besar dalam upaya mengantar peserta didik ke arah
tujuan pendidikan yang di cita-citakan.
Secara umum, pendidik adalah orang yang memiliki
tanggungjawab untuk mendidik. Secara khusus, pendidik dalam
perspektif pendidikan Islam adalah orang-orang yang
bertanggungjawab terhadap perkembangan peserta didik dengan
mengupayakan perkembangan seluruh potensi peserta didik,
baik potensi afektif, kognitif, maupun psikomotorik sesuai dengan
nilai-nilai ajaran Islam.
Dalam pendidikan Islam “pendidik” sering disebut dengan
murabbi, mu’allim, mu’addib, mudarris, dan mursyid. menurut
peristilahan yang dipakai dalam pendidikan dalam Islam. Kelima
istilah ini mempunyai tempat tersendiri dan mempunyai tugas
masing-masing.
Murabbi adalah orang yang mendidik dan menyiapkan
peserta didik agar mampu berkreasi serta mampu mengatur dan

Modul Filsafat Pendidikan Islam 63


memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka
bagi dirinya, masyarakat dan alam sekitarnya.
Mu’allim adalah orang yang menguasai ilmu dan mampu
mengembangkannya serta menjelaskan fungsinya dalam
kehidupan, menjelaskan dimensi teoritis dan praktisnya,
sekaligus melakukan transfer ilmu
pengetahuan,internalisasi serta implementasi.
Mu’addib adalah orang yang mampu menyiapkan
peserta didik untuk bertanggungjawab dalam membangun
peradaban yang berkualitas di masa depan.
Mudarris adalah orang yang memiliki kepekaan
intelektual dan informasi serta memperbaharui pengetahuan dan
keahliannya secara berkelanjutan, dan berusaha mencerdaskan
peserta didiknya, memberantas kebodohan mereka, serta melatih
keterampilan sesuai dengan bakat , minat dan kemampuannya.
Mursyid adalah orang yang mampu menjadi model atau
sentrali dentifikasi diri atau menjadi pusat anutan, teladan
dan konsultan bagi peserta didiknya.
Oleh karena itu, pendidik dalam perspektif pendidikan
Islam ialah orang yang bertanggungjawab terhadap upaya
perkembangan jasmani dan rohani peserta didik agar mencapai
tingkat kedewasaan sehingga ia mampu menunaikan tugas-tugas
kemanusiannya (baik sebagai khalifah fi al-ardh maupun ‘abd)
sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.
b. Tugas pendidik menurut filsafat pendidikan Islam
Tugas pendidik yang utama adalah menyempurnakan,
membersihkan, menyucikan, serta membawakan hati manusia
untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT. Hal
tersebut karena tujuan pendidikan islam yang utama adalah
upaya untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Jika pendidik belum
mampu membiasakan diri dalam peribadatan pada peserta

Modul Filsafat Pendidikan Islam 64


didiknya, maka ia mengalami kegagalan, sekalipun peserta
didiknya memiliki prestasi akademis yang luar biasa. Hal itu
mengandung arti akan keterkaitan antara ilmu dan amal shaleh.
Kadang kala seseorang terjebak dengan sebutan
pendidik, misalnya ada sebagian orang yang mampu
memberikan dan memindahkan ilmu pengetahuan (transfer of
knowledge) kepada orang lain sudah dikatakan sebagai pendidik.
Sesungguhnya seorang pendidik bukanlah bertugas itu saja,
tetapi pendidik juga bertanggung jawab atas pengelolaan
(manager of learning) pengarah (director of learning), fasilitator
dan perencana (the planner of future society). Oleh karena itu
fungsi dan tugas pendidik dalm pendidikan dapat disimpulkan
menjadi 3 bagian, yaitu:
1) Sebagai pengajar (instruksional), yang bertugas
merencanakan program pengajaran dan melaksanakan program
yang telah disusun serta mengakhiri dengan pelaksanaan
penilaian setelah program dilakukan.
2) Sebagai pendidik (educator), yang mengarahkan
peserta didik pada tingkat kedewasaan dan berkepribadian kamil
seiring dengan tujuan Allah SWT menciptakannya.
3) Sebagai pemimpin (managerial), yang memimpin,
yang mengendalikan kepada diri sendiri, peserta didik dan
masyarakat yang terkait, terhadap berbagai masalah yang
menyangkut upaya pengarahan, pengawasan, pengorganisasian,
pengontrolan, dan partisipasi atas program pendidikan yang
dilakukan.
Dalam tugas itu, seorang pendidik dituntut untuk
mempunyai seperangkat prinsip keguruan. Prinsip keguruan itu
dapat berupa: (a) kegairahan dan kesediaan untuk mengajar
seperti memperhatikan: kesediaan, kemampuan, pertumbuhan,
dan perbedaan peserta didik; (b) membangkitkan gairah peserta

Modul Filsafat Pendidikan Islam 65


didik; (c) menumbuhkan bakat dan sikap peserta didik yang baik;
(d) mengatur proses belajar mengajar yang baik; (e)
memperhatikan perubahan-perubahan kecenderungan yang
mempengaruhi proses mengajar; dan (f) adanya hubungan
manusiawi dalam proses belajar mengajar.
Muhaimin secara utuh mengemukakan tugas-tugas
pendidik dalam pendidikan islam. Dalam rumusannya, Muhaimin
menggunakan istilah ustadz, mu’allim, murabbi’, mursyid,
mudarris dan muaddib. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat tabel
sebagai berikut:
NO. PENDIDIK KARAKTERISTIK DAN TUGAS
1 Ustadz Orang yang berkomitmen dengan
profesionalitas yang melekat pada dirinya
sikap dedikatif, komitmen terhadap mutu
proses dan hasil kerja serta sikap
continous improvement.
2 Mua’llim Orang yang menguasai ilmu dan mampu
mengembangkannya serta menjelaskan
fungsinya dalam kehidupan, menjelaskan
dimensi teoritis dan prakteknya sekaligus
melakukan transfer ilmu pengetahuan,
internalisasi serta implementasi.
3 Murabbi’ Orang yang mendidik dan menyiapkan
peserta didik agar mampu berkreasi serta
mampu mengatur dan memelihara hasil
kreasinya untuk tdak menimbulkan
malapetaka bagi dirinya, masyarakat, dan
alam sekitarnya.
4 Mursyid Orang yang mampu menjadi model atau
sentral identifikasi diri atau menjadi pusat
anutan, teladan dan konsultan bagi
peserta didiknya.
5 Mudarris Orang yang memiliki kepekaan intelektual
dan informasi serta memperbarui
pengetahuan dan keahliannya secara
berkelanjutan, dan berusaha
mencerdaskan peserta didiknya,
memberantas kebodohan mereka, serta
melatih ketrampilan sesuai dengan bakat,
minat, dan kemampuannya.

Modul Filsafat Pendidikan Islam 66


c. Karakteristik pendidik
Dalam pendidikan Islam, seorang pendidik
hendaknya memiliki karakteristik yang dapat
membedakannya dari yang lain. Dengan karakteristiknya,
menjadi ciri dan sifat yang akan menyatu dalam seluruh
totalitas kepribadiannya. Totalitas tersebut kemudian akan
teraktualisasi melalui seluruh perkataan dan perbuatannya.
Dalam hal ini batasan karakteristik seorang pendidik antara
lain:
1) Hendaknya memiliki sifat zuhud, yaitu melaksanakan
tugasnya bukan semata-mata karena materi, akan tetapi
lebih dari itu adalah karena mencari keridhaan Allah.
2) Hendaknya bersif fisiknya dari segala macam kotoran
dan bersih jiwanya dari segala macam tercela
3) Hendaknya ikhlas dan tidak ria dalam melaksanakan
tugasnya
4) Bersikap pemaaf dan memaafkan kesalahan orang lain
(terutama terhadap peserta didiknya), sabar dan
sanggup menahan amarah, senantiasa membuka diri
dan menjaga kehormatannya.
5) Mampu mencintai peserta didiknya sebgaimana Ia
mencintai anaknya sendiri,
6) Mengetahui karakter peserta didiknya
7) Menguasai pelajaran yang diajarkannya dengan baik dan
professional.
2. Hakikat peserta didik dalam pendidikan Islam
a. Makna peserta didik
Di antara komponen terpenting dalam pendidikan
Islam adalah peserta didik. Dalam perspektif pendidikan Islam,
peserta didik merupakan subjek dan objek. Oleh karenanya,
aktivitas kependidikan tidak terlaksana tanpa keterlibatan

Modul Filsafat Pendidikan Islam 67


peserta didik didalamnya. Pengertian yang utuh tentang
konsep peserta didik merupakan dalah satu faktor yang perlu
diketahui dan dipahami oleh seluruh pihak, terutama pendidik
yang terlibat langsung dalam proses pendidikan. Tanpa
pemahaman yang utuh dan komprehensif terhadap peserta
didik, maka akan sulit bagi pendidik untuk dpat menghantarkan
peserta didiknya kea rah tujuan pendidikan yang diinginkan.
Dalam paradigma pendidikan Islam, peserta didik
merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah
potendi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan.
Peserta didik merupakan makhluk Allah yang memiliki fitrah
jasmani maupun rohani yang belum mencapai taraf
kematangan baik bentuk, ukuran, maupun perimbangan pada
bagian-bagian lainnya. Dari segi rohaninya, ia memiliki bakat,
kehendak, perasaan dan pikiran yang dinamis dan perlu
dikembangkan.
Melalui paradigma di atas menjelaskan bahwa peserta
didik merupakan subjek dan objek pendidikan yang
memerlukan bimbingan orang lain (pendidik) untuk membantu
mengarahkannya mengembangkan potensi yang dimilikinya,
serta membimbingnya menuju kedewasaan. Potensi suatu
kemampuan dasar yang dimilikinya tidk akan tumbuh dan
berkembang secara optimal tanpa bimbingan pendidik.
Karenanya pemahaman yang lebih konkret tentang peserta
didik sangat perlu diketahuai oleh setiap pendidik. Berikut ini
beberapa deskripsi tentang hakikat peserta didik dan
implikasinya terhadap pendidikan Islam, yaitu:
1) Peserta didik adalah manusia yang memiliki
deferensiasi preodesasi perkembangan dan
pertumbuhan

Modul Filsafat Pendidikan Islam 68


2) Peserta didik adalah manusia yang memiliki kebutuhan,
baik yang menyangkut kebutuhan jasmani maupun
rohani yang harus dipenuhi.
3) Peserta didik adalah makhluk Allah yang memiliki
perbedaan individual (differensiasi individual), baik yang
disebabkan oleh faktor pembawaan maupun lingkungan
dimana ia berada.
4) Peserta didik merupakan resultan dari dua unsur utama,
yaitu jasmani dan rohani. Unsur jasmani memiliki daya
fisik yang menghendaki latihan dan pembiasaan yang
dilakukan melalui proses pendidikan. Sedangkan unsur
rohani memiliki dua daya, yaitu daya akal dan daya
rasa.
5) Peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi
(fitrah) yang dapat dikembangkan dan berkembang
secara dinamis.
b. Tugas dan kewajiban peserta didik
Agar pelaksanaan proses pendidikan Islam dapat
mencapai tujuan yang diinginkannya, maka setiap peserta
didik hendaknya senantiasa menyadari tugas dan kewajiban.
Berikut ini beberapa tugas dan kewajiban yang perlu dipenuhi
peserta didik adalah:
1) Peserta didik hendaknya senatiasa membersihkan
hatinya sebelum menuntut ilmu
2) Tujuan belajar hendaknya ditujukan untuk menghiasi
ruh dengan berbagai sifat keutamaan.
3) Memiliki kemauan yang kuat untuk mencari dan
menuntut ilmu diberbagai tempat.
4) Setiap peserta didik wajib menghormati pendidiknya
5) Peserta didik hendaknya belajar secara sungguh-
sungguh dan tabah dalam belajar.

Modul Filsafat Pendidikan Islam 69


6) Peserta didik wajib saling mengasihi dan menyanyangi
di antara sesamanya, sebagai wujud untuk memperkuat
rasa persaudaraan
7) Menghargai ilmu dan bertekad untuk terus menuntut
ilmu sampai akhir hayat.
c. Sifat-sifat ideal peserta didik
Dalam upaya mencapai tujuan pendidikan Islam,
peserta didik hendaknya memiliki dan menanamkan sifat-sifat
yang baik dalam diri dan kepribadiaannya. Berikut ini beberapa
sifat-sifat ideal yang harus dimiliki oleh peserta didik, yaitu:
1) Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarub ila
Allah.
2) Mengurangi kecenderungan pada kehidupan duniawi
dibandingkan ukhrawi atau sebaliknya. Sifat yang ideal
adalah menjadikan kedua dimensi kehidupan (dunia-
akhirat) sebagai alat integral untuk melaksanakan
amanat-Nya baik secara vertical dan horizontal.
3) Bersikap tawadhu, (rendah hati)
4) Menjaga pikiran dari berbagai pertentangan.
5) Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, baik ilmu umum
maupun ilmu agama.
6) Belajar secara bertahap atau berjenjang dengan
memulai pelajaran yang mudah (konkrit) menuju
pelajaran yang sulit (abstrak)
7) Mempelajari ilmu sampai tuntas
8) Memahami nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang
dipelajari
9) Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu
duniawi.
10) Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu
pengetahuan yaitu ilmu pengetahuan yang dapat

Modul Filsafat Pendidikan Islam 70


bermanfaat, membahagiakan dan mensejahterakan,
serta memberi keselamatan diri maupun manusia hidup
di dunia dan di akhirat.
D. Soal
1. Deskripsikan kedudukan pendidik dalam pendidikan Islam?
2. Bagaimana hakikat peserta didik dalam pandangan pendidikan
Islam?

DAFTAR PUSTAKA

Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, Jakarta: Gaya


Media Pratama, 1997.

Hasan Langgulung, Asas-asas pendidikan Islam, Cet. II, Jakarta:


Pustaka Al-Husna, 1992

Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia,


2009
Ali Saifullah, Antara Filsafat dan Pendidikan, Surabaya: Usaha
Nasional, 1983.

Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I, Jakarta: Logos


Wacana Ilmu, 1997.

Beni Ahmad Saebani, dan Hedra Akhdiyat, Ilmu Pendidikan Islam


1. Bandung: Pustaka Setia, 2009.

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam Bandung :


Remaja Rosdakarya, 1992

Modul Filsafat Pendidikan Islam 71


BAB VII
ETIKA KEILMUAN DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Etika dalam kajian filsafat merupakan bagian dari aksiologi karena


etika berbicara tentang tujuan yang hendak dicapai dalam segala
sesuatu. Jika dalam antologi ditanyakan hakikat sesuatu, dalam
epistemologi ditanyakan bagaimana sesuatu itu ada, maka dalam
aksiologi ditanyakan mengenai tujuan hakikat sesuatu. Misalnya, pada
pendidikan Islam akan muncul pertanyaan, apa itu pendidikan Islam
(ontologi)? Bagaimana dan dari mana sumber pendidikan Islam
(epistemologi)? Mengapa pendidikan Islam diperlukan (aksiologi)?6
Dengan demikian etika keilmuan berbicara tentang nilai-nilai yang
mendasari suatu ilmu atau tindakan.
A. Tujuan Pembelajaran Umum
1. Mahasiswa mampu memahami etika pragmatis dalam
pendidikan Islam
2. Mahasiswa mampu memahami etika positivisme dalam etika
keilmuan

6
Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2009), 97

Modul Filsafat Pendidikan Islam 72


3. Mahasiswa mampu memahami etika keilmuan pada zaman
renaissance dan humanisme
B. Tujuan Pembelajaran Khusus
1. Mahasiswa dapat menjelaskan etika pragmatis dalam
pendidikan Islam
2. Mahasiswa dapat menjelaskan etika positivisme dalam
pendidikan Islam
3. Mahasiswa dapat menjelaskan etika keilmuan pada zaman
renaissance dan humanism

C. Uraian Materi
1. Etika pragmatis dalam pendidikan Islam
Aliran pragmatis timbul pada abad 20. Pendiri aliran ini
adalah Charks E. Peirce. Aliran Pragmatisme adalah suatu aliran
yang memandang realitas sebagai sesuatu yang secara tetap
mengalami perubahan(terus-menerus berubah).
Makna “etika”. Istilah dipakai dalam dua macam arti. Yang
satu tampak dalam ungkapan seperti “ saya pernah belajar etika.”
Dalam penggunaan seperti ini etika dimaksudkan sebagai suatu
kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-
perbuatan manusia.
Makna kedua seperti yang terdapat dalam ungkapan “ia
bersifat etis” atau “ia seorang yang jujur” dalam hal-hal tersebut
bersifat etik merupakan predikat yang dipakai untuk membedakan
hal-hal, perbuatan-perbuatan, manusia-manusia yang lain, dalam
arti yang demikian ini, “bersifat etik” setara dengan “bersifat
susila”.
Menurut Ibnu Miskawaih tentang etika dalam karyanya
yang berjudul Tahdzib Al-Akhla, dia mencoba menunjukkan
bagaimana kita dapat memperoleh watak-watak yang lurus untuk

Modul Filsafat Pendidikan Islam 73


menjalankan tindakan-tindakan yang secara moral benar
terorganisasi dan tersistem.
Menurut Aristoteles tujuan hidup manusia adalah
mendapatkan kebahagian, kebahagiaan manusia akan dapat
diwujudkan dengan sendirinya melalui dua jalan, pertama, melalui
sifat pertengahan antara mengikuti dorongan sifat kebinatangan
dan kemanusiaan, yakni nafsu makan, hasrat, dan nafsu yang
berada dibawah bimbingan akal. Kedua, kebahagiaan itu terjadi
pada pengguna akal dalam melakukan penelitian ilmu
pengetahuan dan merenungkan tentang kebenaran.
Patut pula diangkat bahwa etika sebagai ilmu pengetahuan
dapat berarti penyelidikan mengenai tanggapan-tanggapan
kesusilaan, sedangkan etika sebagai ajaran bersangkutan dengan
membuat tanggapan-tanggapan kesusilaan.
Sedangkan menurut Al- Ghazali tujuan pendidikan adalah
mengembangkan budi pekerti yang mencangkup penanaman
kualitas moral dan etika kepatuhan,kemanusiaan, kesederhanaan
dan membenci hal-hal yang buruk seperti melanggar perintah atau
kehendak tuhan.
Berbicara tentang etika keilmuan, apabila digunakan
perspektif pragmatisme, etika keilmuan diatur menurut nilai-nilai
dan etika pragmatisme. Pragmatisme berasal dari kata pragma
(bahasa Yunani) yang berarti tindakan, perbuatan. Pragmatisme
adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa criteria
kebenaran sesuatu ialah apakah sesuatu itu memiliki kegunaan
bagi kehidupan nyata.
Pragmatisme berpandangan bahwa subtansi kebenaran
adalah jika segala sesuatu memiliki fungsi dan manfaat bagi
kehidupan. Pendidikan agama Islam adalah bagian dari tugas
agama maka mengajarkan pendidikan islam adalah kebenaran.

Modul Filsafat Pendidikan Islam 74


Pragmatisme menurut para filsuf-filsuf yang terkenal
sebagai berikut :
 Menurut William James dan John Dewey, filsafatnya
diantaranya menyatakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak,
berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri lepas
dari akal yang mengenal. Sebab pengalaman yang kita
anggab benar dalam perkembangan pengalaman itu
senantiasa berubah karena didalam praktik. Menurut Jemes,
dunia tidak dapat diterangakan dengan berpangkal pada satu
asas saja. Dunia adala dunia yang terdiri dari banyak hal yang
saling bertentangan tentang kepercayaan agama.
Dalam filsafat Islam, pragmatisme tentu ada karena tujuan
pendidikan Islam adalah membentuk anak didik yang bertakwa
kepada Allah SWT, berkepribadian luhur, berpengetahuan
yang luas, terampil, dan dapat diamalkan dalam kehidupan
sehari-hari. Agar anak didik memiliki keahlian duniawi dan
ukhrowi, dan keduanya bisa memberikan keuntungan.
 Menurut John Dewey, tugas filsafat adalah memberikan
pengarahan bagi perbuatan nayata. Filsafat tidak boleh larut
dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang kurang praktis,
filsafat harus berpijak pada pengalaman dan mengolahnya
secara kritis.
Secara umum, pargmatisme berarti hanya ide yang dapat
dipraktikkan yang benar dan berguna. Apabila filsafat Islam
berkiblat pada pandangan Pragmatime John Dewey, tujuan yang
ingin dicapai dalam pendidikan adalah segala sesuatu yang
sifatnya nyata, bukan hal yang diluar jangkauan panca indra.
Etika keilmuan berkaitan pula dengan kode etik bagi para
pendidik. Dalam perspektif islam, pendidikan etika juga
membahas pula masalah yang berkaitan dengan substansi etika

Modul Filsafat Pendidikan Islam 75


yang dimiiki oleh dunia pendidikan Islam, terutama brkaitan
dengan hal-hal sebagai berikut:
 Keilmuan yang bersumber pada Al Qur’an dan As-Sunnah.
 Keilmuan yang berbasis kepada po;a pendidikan tradisional
Islam.
 Keilmuan sebagai alat yang merumuskan prinsip-prinsip
pendidikan
 Keilmuan yang mengarahkan pendidikan kepada tujuan
umum dalam beragama Islam.
Keilmuan yang mengacu pada dokrin agama Islam dan
kebergantungan kepada tokoh agama.

2. Etika Positivisme dalam pendidikan Islam


Paham yang berkaitan dengan etika keilmuan tidak dapat
terlepas dari pandangan positivisme, selain pragmatisme di atas.
Positisme di perkenalkan oleh Aguste Comte(198-1857) yang
bertuang dalam karya utama Aguste Comte adalah Cours de
Philosophic Positive, yaitu kursus tentang Filsafat Positif (180-
1842), selain itu karyanya yang pantas disebutkan di sini adalah
Discour L’esprit Positive(1844) yang artinya pembicaraan tentang
jiwa positif.
Positivisme berasal dari kata “positif”. Kata positif disini
sama artinya dengan factual, yaitu apa yang berdasarkan fakta-
fakta. Menurut positivisme, pengetahuan kita tidak boleh melebihi
fakta-fakta. Dengan demikian, ilmu pengetahuan empiris menjadi
contoh istimewa dalam bidang pengetahuan. Oleh karena itulah,
positivisme menolak cabang filsafat metafisika.
Etika keilmuan yang menganut positivisme akan
mempertegas tentang kebenaran pengetahuan terletak pada
fakta-fakta yang konkret dan indrawi. Hukum itu menyatakan
bahwa umat manusia berkembang melalui tiga tahap hidup.

Modul Filsafat Pendidikan Islam 76


Tahap-tahap ini ditentukan menurut cara berpikir yang dominan,
teologis, metafisik, dan positif.
Tahap teologis merupakan periode yang paling lama dalam
sejarah manusia, karena bentuk pemikiranya yang dominan dalam
masyarakat primitif, meliputi bahwa semua benda memiliki
kelengkapan hidupnya sendiri.
Tahap metafisik terutama merupakan tahap transisi antara
tahap teologis dan metafisik, tahap ini ditandai dengan hukum-
hukum alam yang asasi dan dapat ditemukan dengan akal budi.
Tahap positif ditandai oleh kepercayaan akan data empiris
sebagai sumber pengetahuan terakhir. Akan tetapi, pengetahuan
selalu bersifat sementara, dan pengetahuan dapat ditinjau kembali
dan di perluas.
Dari pandangan Comte tentang tiga tahapan pemikiran
manusia, dapat diambil pemahaman bahwa etika keilmuan yang
terus berkembang tidak selamanya hierarkis sistematis
sebagaimana dikemukakan oleh Comte sebab ajaran Islam tidak
dikenal tahapan demikian. Pandangan manusia seharusnya
didasarkan pada dua etika yang paling mendasar, yaitu :
1. Pandangan bahwa semua makhluk Allah hanya tunduk
mutlak kepada sang pencipta.
2. Semua pengabdian manusia sepenuhnya harus didukung
oleh rencana-rencana Allah yang tertuang dalam wahyu-
Nya, yang berupa ( Al-Qur’an dan As-Sunnah).
3. Etika keilmuan pada zaman renaissance dan humanism
Istilah renaissance berasal dari bahasa perancis yang
berarti kebangkitan kembali. Orang yang pertama menggunakan
istilah ini adalah Jules Michelet. Menurutnya, renaissance adalah
periode penemuan manusia dan dunia, bukan sekedar
kebangkitan kembali yang merupakan permulaan kebangkitan
modern.

Modul Filsafat Pendidikan Islam 77


Awal mula suatu masa baru ditandai oleh suatu usaha
besar dari Descartes (1596-1650). Sejak saat permulaan
renaissance, individualisme dan humanism telah dicanangkan.
Descartes memperkuat ide-ide ini. Humanisme dan individualisme
merupakan ciri renaissance yang sangat penting. Humanisme
ialah pandangan bahwa manusia mampu mengatur dunia dan
dirinya.
Pada abad pertengahan, manusia kurang dihargai sebagai
manusia. Kebenaran diukur berdasarkan ukuran dari
Gereja(Kristen), bukan menurut ukuran yang dibuat manusia.
Humanisme sesungguhnya telah mengambil moral
kemanusiaan seluruhnya dari agama. Humanisme menyatakan
bahwa pendidikan spiritual dan menepati janji, dalam nisbatnya
dengan keutamaan-keutamaan moral, dapat dicapai tanpa
keyakinan terhadap Tuhan. Manusia adalah makhluk yang selalu
mengejar cita-cita dan berusaha mengubah “apa yang ada”
menjadi “apa yang semestinya” atau “ apa yang kini ada” menjadi
“apa yang seharusnya ada” didalam alam, masyarakat, dan
dirinya sendiri pula.
Etika keilmuan yang dibangun di atas dasar humanisme
adalah etika meterealisme karena sesungguhnya manusia adalah
materi, karena manusia akan berakhir sebagaimana benda yang
lain, hanya keberakhiran materi yang merupakan perubahan
abadi. Oleh sebab itu tidak ada kehancuran yang ada hanyalah
perubahan.
Humanisme yang dimaksudkan adalah tentang kemuliaan
manusia karena Allah memuliakanya, sebagaimana firmanya
dalam surat At-Tin ayat 4-5 :

   


   

Modul Filsafat Pendidikan Islam 78


  

Artinya :
“ sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk
yang sebaik-baiknya. Kemudian, kami kembalikan dia ke tempat
yang serendah-rendahnya (neraka).” (Q.S. At-Tin : 4-5)

Yang menyebabkan kemuliaan manusia terjaga dan harkat


martabatnya tetap tingi adalah keilmuannya yang dapat
membangun keimanan dan ketakwaan, sebagaimana disebutkan
dalam surat At-Tin ayat 6:
  
 
   

Artinya :
“Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh,
maka bagi mereka, pahala yang tiada putus-putusnya”. (Q.S. At-
Tin : 6)

Perlu diketahui pula bahwa dalam sejarah filsafat, masa


etik diisi oleh tiga macam aliran filsafat, yaitu aliran Epicurus,
Stoa, dan Skeptis. Epicurus yang mendirikan sekolah filosofi lahir
di samos pada tahun 341 SM dan meninggal di Athena pada
tahun 217 SM dalam usia 70 tahun. Menurut pendapat Epicurus,
ajaran etiknya adalah mencari kesenangan, tujuanya memperkuat
jiwa untuk menghadapi semua keadaan.
Yang kedua adalah aliran Stoa didirikan di Athena oleh
Zeno dari Kition (133-266 SM). Ia dilahirkan di Kition pada tahun
340 SM, dan meninggal di Athena pada tahun 264 SM ia
mencapai umur 76 tahun. Ajaran etiknya adalah memberikan
petunjuk tentang sikap sopan santun dalam kehidupan. Tujuanya
menyempurnakan moral manusia.

Modul Filsafat Pendidikan Islam 79


Yang terakhir adalah aliran Skeptis. Skeptis artinya ragu-
ragu. Keragu-raguan terhadap segala sesuatu merupakan fondasi
keyakinan. Sekolah yang dijadikan aliran Skeptis adalah sekolah
aliran Pyrrhon dari Elis. Pyrrhon sendiri lahir tahun 360 SM dan
meninggal dunia pada tahun 270 SM.
D. Soal
1. Bagaimana etika pragmatisme dalam pendidikan Islam ?
2. Bagaimana etika Positivisme dalam pendidikan Islam?
3. Bagaimana etika keilmuan pada zaman renaissance dan
humanisme?

DAFTAR PUSTAKA
H. Mahmu, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: CV. Pustaka
Setia, 2011.
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, Jakarta: Gaya
Media Pratama, 1997

Hasan Langgulung, Asas-asas pendidikan Islam, Cet. II, Jakarta:


Pustaka Al-Husna, 1988

Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia,


2009.
Muhaimin, et.a, Paradigma Pendidikan Islam, Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2002.
Ali Saifullah, Antara Filsafat dan Pendidikan, Surabaya : Usaha
Nasional, 1983.
A. Tafsir, dkk, Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam, Editor: Tedi
Priatna, M. Ag, Bandung: Mimbar Pustaka, 2004.
H. Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis,
Teoritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Pers, 2002

Modul Filsafat Pendidikan Islam 80


BAB VIII
HAKIKAT KURIKULUM DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Pendidikan Islam secara fungsional adalah merupakan upaya


manusia muslim merekayasa pembentukkan al-insan al-kamil melalui
penciptaan situasi interaksi edukatif yang kondusif. Dalam posisinya
yang demikian, pendidikan Islam adalah model rekayasa individual dan
sosial yang paling efektif untuk menyiapkan dan menciptakan bentuk
masyarakat ideal masa depan. Sejalan dengan konsep rekayasa masa
depan umat, maka pendidikan Islam harus memiliki seperangkat isi atau
bahan yang akan ditransformasikan kepada peserta didik agar menjadi
milik dan kepribadiannya sesuai dengan idealitas Islam. Untuk itu, perlu
dirancang suatu bentuk kurikulum pendidikan Islam yang sepenuhnya
mengacu pada nilai-nilai asasi ajaran Islam. Dalam kaitan inilah
diharapkan filsafat pendidikan Islam mampu memberikan arah terhadap
pembentukkan kurikulum pendidikan yang Islami.

Modul Filsafat Pendidikan Islam 81


A. Tujuan Pembelajaran Umum
1. Mahasiswa mampu memahami pengertian kurikulum dalam
filsafat pendidikan Islam
2. Mahasiswa mampu mamahami asas-asas kurikulum dalam
filsafat pendidikan Islam
3. Mahasiswa mampu memahami karakteristik kurikulum dalam
filsafat pendidikan Islam.
B. Tujuan Pembelajaran Khusus
1. Mahasiswa dapat mendeskripsikan pengertian kurikulum
dalam filsafat pendidikan Islam
2. Mahasiswa dapat menguraikan dan memetakan asas-asas
kurikulum dalam filsafat pendidikan Islam
3. Mahasiswa dapat menguraikan dan mengkritisi karakteristik
kurikulum dalam filsafat pendidikan Islam

C. Uraian Materi
1. Pengertian Kurikulum Dalam Pendidikan Islam
Pendidikan Islam secara fungsional adalah merupakan upaya
manusia muslim merekayasa pembentukan al-insan al-kamil melalui
penciptaan situasi interaksi edukatif yang kondusif. Dalam posisinya
yang demikian, pendidikan Islam adalah model rekayasa individual dan
sosial yang paling efektif untuk menyiapkan dan menciptakan bentuk
masyarakat ideal ke masa depan. Sejalan dengan konsep perekayasaan
masa depan ummat, maka pendidikan Islam harus memiliki seperangkat
isi atau kegiatan yang akan ditransformasi kepada peserta didik agar
menjadi milik dan kepribadiannya sesuai dengan idealitas Islam. Untuk
itu, perlu dirancang suatu bentuk kurikulum pendidikan Islam yang
sepenuhnya mengacu pada nilai-nilai asasi ajaran Islam.
Secara etimologi kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu curir
yang artinya pelari dan curere yang berarti jarak yang harus ditempuh
oleh pelari. Berdasarkan pengertian ini, dalam konteksnya dengan dunia

Modul Filsafat Pendidikan Islam 82


pendidikan, memberinya pengertian sebagai “circle of instruction” yaitu
suatu lingkaran pengajaran dimana guru dan murid terlibat di
dalamnya.Istilah kurikulum kemudian digunakan untuk menunjukkan
tentang segala mata pelajaran yang dipelajari dan juga semua
pengalaman yang harus diperoleh serta semua kegiatan yang harus
dilakukan anak. Di dalam buku Hasan Basri disebutkan bahwa
kurikulum bukan sekadar mata pelajaran atau mata kuliah. Kurikulum
adalah semua rencana yang terdapat dalam proses pembelajaran.
Kurikulum dapat diartikan pula sebagai semua usaha lembaga
pendidikan yang direncanakan untuk mencapai tujuan yang disepakati.
Apabila aktivitas sekolah berkaitan dengan tiga pendekatan
sekaligus tiga tujuan yang hendak dicapai dari ranah kognitif, yakni
upaya pencerdasan anak didik, ranah afektif sebagai upaya pencerdasan
emosional, dan ranah psiko-motorik, sebagai upaya percerdasan
perilaku keterampilan, kurikulum yang dimaksudkan adalah semua aspek
yang direncanakan dalam pendidikan yang bertujuan mencapai tiga
ranah tersebut. Dengan demikian, berbicara tentang kurikulum perspektif
pendidikan islam bukan semata-mata berbicara mata pelajaran, tetapi
semua aspek yang terdapat dalam lingkungan sekolah, terutama
berkaitan dengan mata pelajaran, sistem dan metode pembelajaran,
hubungan interaktif antarapendidik dan anak didik, pengawasan
perkembangan mental anak didik, sistem evaluasi, dan sebagainya.
Secara filosofis, hakikat kurikulum adalah model yang diacu oleh
pendidikan dalam upaya membentuk citra sekolah dengan mewujudkan
tujuan pendidikan yang disepakati. Kurikulum dengan pengertian di atas
memberikan indikasi bahwa pedoman rencana pembelajaran tidak
bersifat kaku. Kurikulum yang baik adalah yang dinamis, aktual, teoretis,
dan aplikatif. Sebagaimana tujuan yang hendak dicapai dalam
pendidikan, misalnya pendidikan bertujuan meningkatkan penguasaan
pengetahuan siswa, pengembangan pribadi siswa, kemampuan sosial,

Modul Filsafat Pendidikan Islam 83


dan atau kemampuan keterampilan. Dengan tujuan tersebut, sudah tentu
kurikulum harus diarahkan untuk mencapainya.
Suatu kurikulum pendidikan, termasuk pendidikan Islam, hendaknya
mengandung beberapa unsur utama seperti tujuan, isi mata pelajaran,
metode mengajar dan metode penilaian. Kesemuanya harus tersusun
dan mengacu pada asas-asas pembentuk kurikulum pendidikan.
Mohammad al-Thoumy al-Syaibany, mengemukakan bahwa asas-asas
umum yang menjadi landasan pembentukan kurikulum dalam pendidikan
Islam itu adalah:
1. Asas Agama
Seluruh sistem yang ada dalam masyarakat Islam, termasuk sistem
pendidikannya harus meletakkan dasar falsafah, tujuan, dan
kurikulumnya pada ajaran Islam yang meliputi aqidah, ibadah, muamalat
dan hubungan-hubungan yang berlaku di dalam masyarakat.

2. Asas Falsafah
Dasar ini memberikan arah dan kompas tujuan pendidikan Islam,
dengan dasar filosofis, sehingga susunan kurikulum pendidikan Islam
mengandung suatu kebenaran, terutama dari sisi nilai-nilai sebagai
pandangan hidup yang diyakini kebenarannya.
3. Asas Psikologis
Asas ini memberi arti bahwa kurikulum pendidikan Islam hendaknya
disusun dengan mempertimbanglcan tahapan- tahapan pertumbuhan
dan perkembangan yang dilalui anak didik
4. Asas Sosial
Pembentukan kurikulum pendidikan Islam harus mengacu ke arah
realisasi individu dalam masyarakat. Pola yang demikian ini berarti
bahwa semua kecenderungan dan perubahan yang telah dan bakal
terjadi dalam perkembangan masyarakat manusia sebagai makhluk
sosial harus mendapat tempat dalam kurikulum pendidikan Islam. Hal ini

Modul Filsafat Pendidikan Islam 84


dimaksudkan agar out put yang dihasilkan pendidikan Islam adalah
manusia-manusia yang mampu mengambil peran dalam masyarakat dan
kebudayaan dalam konteks kehidupan zamannya.
Berdasarkan pada asas-asas tersebut di atas, maka kurikulum
pendidikan Islam menurut An-Nahlawi harus pula memenuhi kriteria
sebagai berikut:
a. Sistem dan perkembangan kurikulum hendaknya selaras dengan
fitrah insani sehingga memiliki peluang untuk mensucikannya, dan
menjaganya dari penyimpangan serta menyelamatkannya.
b. Kurikulum hendaknya diarahkan untuk mencapai tujuan akhir
pendidikan Islam, yaitu ikhlas, taat dan beribadah kepada Allah,
disamping merealisasikan tujuan aspek psikis, fisik, sosial, budaya
maupun intelektual.
c. Pentahapan serta pengkhususan kurikulum hendaknya
memperhatikan periodesasi perkembangan peserta didik maupun
unisitas (kekhasan) terutama karakteristik anak-anak, dan jenis
kelamin (laki-laki dan perempuan).
d. Dalam berbagai pelaksanaan, aktivitas, contoh dan nash yang
ada dalam kurikulum harus memelihara kebutuhan nyata
kehidupan masyarakat dengan tetap bertopang pada cita ideal
Islami, seperti rasa syukur dan harga diri sebagai ummat Islam.
e. Secara keseluruhan struktur dan organisasi hendaknya tidak
bertentangan dan tidak menimbulkan pertentangan dengan pola
hidup Islami.
f. Hendaknya kurikulum bersifat realistik atau dapat dilaksanakan
sesuai dengan situasi dan kondisi dalam kehidupan negara
tertentu.
g. Hendaknya metoda pendidikan/pengajaran dalam kurikulum
bersifat luwes sehingga dapat disesuaikan dengan berbagai
situasi dan kondisi serta perbedaan individual, mminat serta

Modul Filsafat Pendidikan Islam 85


kemampuan siswa untuk menangkap dan mengolah bahan
pelajaran.
h. Hendaknya kurikulum itu efektif dalam arti berisikan nilai edukatif
yang dapat membentuk afektif (sikap) Islami dalam kepribadian
anak.
i. Kurikulum harus memperhatikan aspek-aspek tingkah laku
amaliah Islami, seperti pendidikan untuk berjihad dan dakwah
Islamiyah serta membangun masyarakat muslim di lingkungan
sekolah.
2. Karakteristik Kurikulum Pendidikan Islam
Secara umum karakteristik kurikulum pendidikan Islam adalah
pencerminan nilai-nilai Islami yang dihasilkan dari pemikiran kefilsafatan
dan termanifestasi dalam seluruh aktivitas dan kegiatan pendidikan
dalam prakteknya. Dalam konteks ini harus difahami bahwa karakteristik
kurikulum pendidikan Islam senantiasa memiliki keterkaitan yang tidak
dapat dipisahkan dengan prinsip-prinsip yang telah diletakkan Allah SWT
dan Rasul-Nya, Muhammad SAW. Konsep inilah yang membedakan
kurikulum pendidikan Islam dengan kurikulum pendidikan pada
umumnya.
Menurut Al-Syaibany, di antara ciri-ciri kurikulum pendidikan Islam
itu adalah:
 Mementingkan tujuan agama dan akhlak dalam berbagai hal
seperti tujuan dan kandungan, kaedah, alat dan tekniknya.
 Meluaskan perhatian dan kandungan hingga mencakup perhatian,
pengembangan serta bimbingan terhadap segala aspek pribadi
pelajar dari segi intelektual, psikologi, sosll dan spiritual. Begitu
juga cakupan kandungannya termasuk bidang ilmu, tugas dan
kegiatan yang bermacam-macam.
 Adanya prinsip keseimbangan antara kandungan kurikulum
tentang ilmu dan seni, pengalaman dan kegiatan pengajaran yang
bermacam-macam.

Modul Filsafat Pendidikan Islam 86


 Menekankan konsep menyeluruh dan keseimbangan pada
kandungannya yang tidak hanya terbatas pada ilmu-ilmu teoritis,
baik yang bersifat aqli maupun naqli, tetapi juga meliputi seni
halus, aktivitas pendidikan jasmani, latihan militer, teknik,
pertukangan, bahasa asing dan lain-lain.
 Keterkaitan antara kurikulum pendidikan Islam dengan minat,
kemampuan, keperluan, dan perbedaan individual antara siswa.
Di samping itu juga keter-kaitannya dengan alam sekitar budaya
dan sosial di mana kurikulum itu dilaksanakan.
Karakteristik kurikulum sebagai program pendidikan Islam
sebagaimana dikemukakan di atas selanjutnya tidak hanya
menempatkan anak didik sebagai objek didik, melainkan juga sebagai
subjek didik yang sedang mengembangkan diri menuju kedewasaan
sesuai dengan konsepsi Islam. Karenanya kurikulum tersebut tidak akan
bermakna apapun apabila tidak dilaksanakan dalam suatu situasi dan
kondisi di mana tercipta interaksi edukatif yang timbal balik antara
pendidik di satu sisi dengan peserta didik di sisi lain. Di sini terlihat ciri
khas kurikulum pendidikan Islam yang memandang peserta didik sebagai
makhluk potensial untuk mengembangkan dirinya sendiri melalui
berbagai aktivitas kependidikan. Pendidik dan seluruh komponen
kependidikan lainnya, termasuk kurikulum, hanya merupakan media atau
sarana yang harus menciptakan situasi dan kondisi yang memungkinkan
bagi proses pengembangan.
Disamping itu kurikulum pendidikan Islam juga memiliki ciri-ciri
khusus, diantaranya:
1. Dalam kurikulum pendidikan Islam, tujuan utamanya adalah
pembinaan anak didik untuk bertauhid. Oleh karena itu, semua
sumber yang dirunut berasal dari ajaran Islam.
2. Kurikulum harus disesuaikan dengan fitrah manusia, sebagai
makhluk yang memiliki keyakinan kepada Tuhan.

Modul Filsafat Pendidikan Islam 87


3. Kurikulum yang disajikan merupakan hasil pengujian materi
dengan landasan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
4. Mengarahkan minat dan bakat serta meningkatkan kemampuan
akliah anak didik serta keterampilan yang akan diterapkan dalam
kehidupan konkret.
5. Pembinaan akhlak anak didik, sehingga pergaulannya tidak
keluar dari tuntunan Islam, dan
6. Tidak ada kadaluarsa kurikulum karena ciri khas kurikulum Islam
senantiasa relevan dengan perkembangan zaman bahkan
menjadi filter kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam
penerapannya di dalam kehidupan masyarakat.
Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa sebagai inti dari ciri-ciri
kurikulum pendidikan Islam adalah kurikulum yang dapat memotivasi
siswa untuk berakhlak atau berbudi pekerti luhur, baik terhadap Tuhan,
terhadap diri dan lingkungan sekitarnya.

3. Asas-asas Kurikulum Pendidikan Islam


Suatu kurikulum tak terkecuali kurikulum pendidikan Islam harus
mengandung beberapa unsur utama, seperti tujuan, isi mata pelajaran,
metode mengajar dan penilaian.Kesemua unsur tersebut harus tersusun
dan mengacu pada sumber kekuatan yang menjadi landasan dalam
pembentukannya. Sumber kekuatan tersebut dikatakan sebagai asas-
asas pembentuk kurikulum pendidikan.
Menurut Muh. al-Thaumy al-Syaibany, mengemukakan bahwa
asas-asas umum yang menjadi landasan pembentukan kurikulum dalam
PAI adalah :
a. Asas Agama
Seluruh sistem yang ada dalam masyarakat Islam, termasuk sistem
pendidikannya harus meletakkan dasar falsafah, tujuan, dan
kurikulumnya pada ajaran Islam yamg meliputi Akidah, Ibadah, dan

Modul Filsafat Pendidikan Islam 88


hubungan masyarakat. Hal ini bermakna bahwa semua itu pada akhirnya
harus mengacu pada dua sumber yaitu Al-Qur'an dan Sunnah.
b. Asas Falsafah
Dasar ini memberikan arah dan kompas tujuan pendidikan Islam,
dengan dasar filosifis, sehingga susunan kurikulum PAI mengandung
suatu kebenaran, terutama dari nilai-nilai sebagai pandangan hidup yang
diyakini kebenarannya.
c. Asas Psikologis
Asas ini memberi arti bahwa kurikulum PAI hendaknya disusun
dengan mempertimbangkan tahapan-tahapan pertumbuhan dan
perkembangan yang dilalui anak didik.
d. Asas Sosial
Pembentukan kurikulum PAI haris mengacu kearah realisasi
individu dalam masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar out put yang
dihasilkan PAI adalah manusia-manusia yang mampu mengambil peran
dalam masyarakat dan zamannya.
Di Indonesia, penyusunan, pengembangan, dan pelaksanaan
kurikulum harus memperhatikan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945,
dan Garis-Garis Besar Haluan Negara sebagai landasan filosofis negara.
Menurut Nasution, filsafat besar manfaatnya bagi kurikulum, yakni:
1) Filsafat pendidikan menentukan arah ke mana anak-anak harus
dibimbing. Sekolah ialah suatu lembaga yang didirikan oleh
masyarakat untuk mendidik anak menjadi manusia dan warga
negara yang dicita-citakan oleh masyarakat itu. Jadi, filsafat
menentukan tujuan pendidikan.
2) Dengan adanya tujuan pendidikan ada gambaran yang jelas tentang
hasil pendidikan yang harus dicapai, manusia yang bagaimana yang
harus dibentuk.
3) Filsafat juga menentukan cara dan proses yang harus dijalankan
untuk mencapai tujuan itu.

Modul Filsafat Pendidikan Islam 89


4) Filsafat memberikan kebulatan kepada usaha pendidikan, sehingga
tidak lepas-lepas. Dengan demikian terdapat kontinuitas dalam
perkembangan anak.
5) Tujuan pendidikan memberikan petunjuk apa yang harus dinilai dan
hingga mana tujuan itu telah tercapai.
6) Tujuan pendidikan memberi motivasi dalam proses belajar-mengajar,
bila jelas diketahui apa yang ingin dicapai.
Jadi, berdasarkan berbagai pendapat yang dikemukakan para
pakar, asas-asas kurikulum PAI dilihat dari berbagai aspek yakni :
a) Asas Agama
Sesuai dengan acuan dan pegangan pokok seluruh umat Islam
bahwa sumber dari segala sumber yang berlaku adalah dari Al-quran
dan Sunnah, yang didalamnya sudah terangkum berbagai aspek yang
dibutuhkan untuk membuat dasar pendidikan, termasuk kurikulum PAI
mengambil acuan dari Al-quran yang menjadi Kalamullah.

b) Asas Filosofis
Diatas telah diungkapkan bahwa filsafat banyak memberi pengaruh
pada kurikulum, menentukan sejauh mana tujuan kurikulum yang
menjadi kerangka acuan akan diraih dengan maksimal. Filsafat
merupakan induk dari semua ilmu pengetahuan.
c) Asas Psikologis
Pendidikan sangat berhubungan dengan kejiwaan manusia, ilmu
jiwa manusia berpengaruh juga dalam kegiatan belajar. Karena belajar
merupakan aktivitas seseorang untuk mentransformasikan ilmu (apakah
ia dewasa atau anak-anak), dan kita ketahui bersama bahwa belajar itu
ternyata suatu proses yang pelik dan kompleks, timbullah berbagai teori
belajar yang menunjukkan ketidaksesuaian satu sama lain. Pada
umumnya tiap teori mengandung kebenaran. Akan tetapi tidak
memberikan gambaran tentang keseluruhan proses belajar. Jadi, yang

Modul Filsafat Pendidikan Islam 90


mencakup segala gejala belajar dari yang sederhana sampai yang paling
pelik. Dengan demikian, teori belajar dijadikan dasar pertimbangan
dalam pengembangan kurikulum.
Pentingnya penguasaan psikologi belajar dalam pengembangan
kurikulum antara lain diperlukan dalam hal:
1. Seleksi dan organisasi bahan pelajaran
2. menentukan kegiatan belajar mengajar yang paling serasi
3. merencanakan kondisi belajar yang optimal agar tujuan belajar
tercapai.
d) Asas Sosial Budaya
Dalam lingkungan sosial dapat memberikan hasil yang baik dan
dapat menyesuaikan diri pada masyarakat. Keluaran yang didapat bias
maksimal dan kurikulum yang tertata rapi dapat memberikan sumbangsih
terhadap pendidikan.
e) Asas Teknologi
Yang dimaksud dengan asas pengembangan ilmu dan teknologi
adalah para pengambil kebijakan kurikulum hendaknya memperhatikan
bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa
perubahan dalam kehidupan masyarakat. Beberapa masyarakat
terpencil yang tertutup, dengan adanya transportasi dan komunikasi
yang luas berubah menjadi masyarakat yang terbuka dan mau
berkomunikasi dengan daerah-daerah lain. Masyarakat yang tadinya
hanya konsumtif terhadap hasil-hasil pertanian telah berubah menjadi
masyarakat yang lebih konsumtif terhadap produksi industri.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga menimbulkan
kebutuhan baru, aspirasi baru, sikap hidup baru. Hal-hal di atas
menuntut perubahan pada sistem dan isi pendidikan. Sehingga,
pendidikan bukan hanya mewariskan nilai-nilai dan hasil kebudayaan
lama, tetapi juga mempersiapkan generasi muda agar mampu hidup
pada masa kini dan masa yang akan datang. Dalam kaitannya dengan
pengajaran di Indonesia, maka sudah seyogyanya mulai menyesuaikan

Modul Filsafat Pendidikan Islam 91


diri dengan perkembangan ilmu dan teknologi yang ada sekarang ini.
Sehingga problema kegagalan siswa memperoleh kemampuan aktif
ekspresif bisa diatasi.
Namun demikian, segala kemajuan yang telah mampu diraih oleh
umat manusia itu, bukan tanpa masalah. Pada kenyataannya terdapat
berbagai efek negatif yang justru sangat mencemaskan manusia itu
sendiri. Sehingga permasalahan-permasalahan baru ini menyebabkan
komplesitas tugas-tugas pendidikan yang diemban oleh sekolah.
Kemajuan dibidang teknologi memiliki andil besar dalam perubahan
pola hidup masyarakat. Kenyataan semacam ini memiliki konsekuensi
terhadap cara dan strategi yang harus dipersiapkan oleh lembaga
pendidikan. Kurikulum harus didesain agar mampu membentuk manusia
produktif yang bukan hanya dapat bekerja, akan tetapi lebih jauh dapat
mencintai pekerjaan. Manusia yang hanya dapat bekerja berbeda
dengan manusia yang mencintai pekerjaan.
Manusia yang hanya sekedar dapat bekerja orientasinya biasanya
ditunjukkan oleh besar upah yang dapat diterima. manusia semacam ini
tidak lebih dari seorang buruh yang bekerja dengan ototnya. Sedangkan
manusia yang mencintai pekerjaan orientasinya adalah produk yang
dihasilkannya. Manusia yang demikianlah yang dimaksud dengan
manusia produktif, yang bekerja bukan hanya dengan ototnya akan
tetapi juga dengan ototnya.
D. Soal
1. Apa yang dimaksud dengan kurikulum dalam filsafat
pendidikan Islam ?
2. Sebutkan dan jelaskan asas-asas kurikulum dalam filsafat
pendidikan Islam?
3. Jelaskan karakteristik kurikulum dalam filsafat pendidikan
Islam?

DAFTAR PUSTAKA

Modul Filsafat Pendidikan Islam 92


Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I, Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1997

H. Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis,


Teoritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Pers, 2002.

Munif Chatib, Sekolahnya Manusia : Sekolah berbasis multiple


Intelligences di Indonesia, Cet. XI, Bandung: Kaifa, 2011.

Hasan Langgulung, Asas-asas pendidikan Islam, Cet. II, Jakarta:


Pustaka Al-Husna, 1988

Beni Ahmad Saebani, dan Hedra Akhdiyat, Ilmu Pendidikan Islam


1. Bandung: Pustaka Setia, 2009.

BAB IX
HAKIKAT METODE DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Pendidikan Islam dalam pelaksaannya membutuhkan metode


yang tepat untuk mengantarkan kegiatan pendidikannya ke arah tujuan
yang di cita-citakan. Meskipun suatu kurikulum cukup sempurna, ia tidak
akan berarti apa-apa, jika tidak memilki metode yang tepat dalam
mentransformasikannya kepada peserta didik. Ketidaktepatan dalam
penerapan metode secara praktis akan menghambat proses belajar
mengajar yang efektif dan efisien. Oleh karena itu, metode adalah syarat
penting dalam aktivitas pendidikan, karena tujuan pendidikan akan
tercapai secara tepat guna manakala jalan yang ditempuh menuju cita-
cita tersebut benar-benar tepat.
A. Tujuan Pembelajaran Umum

Modul Filsafat Pendidikan Islam 93


1. Mahasiswa dapat memahami pengertian metode dalam filsafat
pendidikan Islam
2. Mahasiswa dapat memahami asas-asas umum metode dalam
filsafat pendidikan Islam
3. Mahasiswa mampu memahami karakteristik metode dalam
filsafat pendidikan Islam
B. Tujuan Pembelajaran Khusus
1. Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian metode dalam
filsafat pendidikan Islam
2. Mahasiswa dapat menyebutkan dan menjelaskan asas-asas
umum metode dalam filsafat pendidikan Islam
3. Mahasiswa dapat menjelaskan dan mengkritisi karakteristik
metode dalam filsafat pendidikan Islam
C. Uraian Materi
Secara literal metode berasal dari bahasa Greek (Yunani) yang
terdiri dari dua kosa kata, yaitu “meta” yang berarti melalui dan “hodos”
yang berarti jalan. Sedangkan pengertian menurut istilah metode adalah
cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah
disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang telah disusun tercapai
secara optimal.

Dalam Bahasa Arab metode dikenal dengan istilah thariqah yang


berarti langkah-langkah strategis yang harus dipersiapkan untuk
melakukan suatu pekerjaan.Sedangkan dalam bahasa Inggris metode
disebut method yang berarti cara dalam bahasa Indonesia.
Mohammad Athiyah al-Abrasy mendefinisikan metode sebagai
jalan yang kita ikuti memberi paham kepada murid-murid dalam segala
macam pelajaran, dalam segala mata pelajaran.Metode adalah rencana
yang kita buat untuk diri kita sebelum kita memasuki kelas, dan kita
terapkan dalam kelas selama kita mengajar dalam kelas itu.Kemudian
Prof. Abd al-Rahim Ghunaimah menyebut metode sebagai cara-cara
yang diikuti oleh guru untuk menyampaikan sesuatu kepada anak didik.

Modul Filsafat Pendidikan Islam 94


Adapun Adgar Bruce Wesley mendefinisikan metode sebagai kegiatan
yang terarah bagi guru yang menyebabkan terjadinya proses belajar
mengajar, hingga pengajaran menjadi berkesan.
Dalam pandangan filosofis pendidikan, metode merupakan alat
yang dipergunakan untuk mencapai tujuan pendidikan.Alat itu
mempunyai sifat ganda, yaitu bersifat polipragmatis dan
monopragmatis.Polipragmatis, bilamana metode itu mengandung
kegunaan yang serba ganda (multipurpoce).Misalnya, suatu metode
tertentu pada suatu situasi dan kondisi tertentu dapat dipergunakan
untuk merusak, dan pada situasi dan kondisi yang lain dapat
dipergunakan untuk memperbaiki dan membangun. Contohnya,
penggunaan video cassete recorder (VRC) untuk merekam semua jenis
film, baik fornografis maupun yang moralis, yang hal itu bila
dipergunakan sebagai media pembelajaran, maka sasarannya dapat
merusak disamping dapat memperbaiki atau membangun.
Monopragmatis adalah alat yang hanya dapat dipergunakan untuk
mencapai satu macam tujuan. Misalnya, laboratorium ilmu alam, hanya
dapat dipergunakan untuk eksperimen-eksperimen bidang ilmu alam,
tidak dapat dipergunakan untuk eksperimen bidang ilmu lain.
Metode Pendidikan Islam
Dari beberapa pengertian yang diformulasikan oleh para pakar
diatas tentang pengertian Metode dan Pendidikan Islam. Kita dapat
menyimpulkan tentang pengertian Metode Pendidikan yaitu segala segi
kegiatan yang terarah yang dikerjakan oleh guru dalam setiap mata
pelajaran yang diajarkannya, ciri-ciri perkembangan peserta didiknya,
dan suasana alam sekitarnya dan tujuan membimbing peserta didik
untuk mencapai proses belajar yang diinginkan dan perubahan yang
dikehendaki pada tingkah laku mereka.
Ahmad Tafsir secara umum membatasi bahwa metode
pendidikan adalah semua cara yang digunakan dalam upaya mendidik.
Kemudian Abdul Munir Mulkan, mengemukakan bahwa metode

Modul Filsafat Pendidikan Islam 95


Pendidikan adalah suatu cara yang dipergunakan untuk menyampaikan
atau mentransformasikan isi atau bahan pendidikan kepada anak didik.
Selanjutnya jika kata metode tersebut dikaitkan dengan
pendidikan Islam, dapat membawa arti sebagai jalan untuk menanamkan
pengetahuan agama pada diri seseorang sehingga dapat terlihat dalam
pribadi objek sasaran, yaitu pribadi Islami. Selain itu metode pendidikan
Islam dapat diartikan sebagai cara untuk memahami, manggali, dan
mengembangkan ajaran Islam, sehingga terus berkembang sesuai
dengan perkembangan zaman.
1. Asas-asas Umum Metode Pendidikan Islam
Dalam penerapannya, metode pendidikan Islam menyangkut
permasalahan individual atau social peserta didik dan pendidik itu
sendiri. Untuk itu dalam menggunakan metode seorang pendidik harus
memperhatikan dasar-dasar umummetode pendidikan Islam.Sebab
metode pendidikan merupakan sarana atau jalan menuju tujuan
pendidikan, sehingga segala jalan yang ditempuh oleh seorang pendidik
haruslah mengacu pada asas-asas/dasar-dasar metode pendidikan
tersebut. Asas metode pendidikan Islam itu diantaranya adalah:
a. Asas Agamis, maksudnya bahwa metode yang digunakan dalam
pendidikan Islam haruslah berdasarkan pada Agama. Sementara
Agama Islam merujuk pada Al Qur’an dan Hadits. Untuk itu, dalam
pelaksanannya berbagai metode yang digunakan oleh pendidik
hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan yang muncul secara
efektif dan efesien yang dilandasi nilai-nilai Al Qur’an dan Hadits.
b. Asas Biologis, Perkembangan biologis manusia mempunyai
pengaruh dalam perkembangan intelektualnya. Semakin dinamis
perkembangan biologis seseorang, maka dengan sendirinya makin
meningkat pula daya intelektualnya. Untuk itu dalam menggunakan
metode pendidikan Islam seorang guru harus memperhatikan
perkembangan biologis peserta didik.

Modul Filsafat Pendidikan Islam 96


c. Asas Psikologis. Perkembangan dan kondisi psikologis peserta didik
akan memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap
penerimaan nilai pendidikan dan pengetahuan yang dilaksanakan,
dalam kondisi yang labil pemberian ilmu pengetahuan dan
internalisasi nilai akan berjalan tidak sesuai dengan yang
diharapkan. Oleh Karenanya Metode pendidikan Islam baru dapat
diterapkan secara efektif bila didasarkan pada perkembangan dan
kondisi psikologis peserta didiknya. Untuk itu seorang pendidik
dituntut untuk mengembangkan potensi psikologis yang tumbuh
pada peserta didik. Sebab dalam konsep Islam akal termasuk dalam
tataran rohani.
d. Asas sosiologis. Saat pembelanjaran berlangsung ada interaksi
antara pesrta didik dengan peserta didik dan ada interaksi antara
pendidik dengan peserta didik, atas dasar hal ini maka pengguna
metode dalam pendidikan Islam harus memperhatikan landasan atau
dasar ini. Jangan sampai terjadi ada metode yang digunakan tapi
tidak sesuai dengan kondisi sosiologis peserta didik, jika hal ini
terjadi bukan mustahil tujuan pendidikan akan sulit untuk dicapai.

Keempat asas di atas merupakan satu kesatuan yang tidak


dapat dipisahkan dan harus diperhatikan oleh para pengguna metode
pendidikan Islam agar dalam mencapai tujuan tidak mengunakan metode
yang tidak tepat dan tidak cocok kondisi agamis, kondisi biologis, kondisi
psikologis, dan kondisi sosiologis peserta didik.

Sementara dari sudut pandang pelaksanaannya, asas-asas


pendidikan Islam dapat diformulasikan kepada:

a. Asas Motivasi, yaitu usaha pendidik untuk membangkitkan perhatian


peserta didik kearah bahan pelajaran yang sedang disajikan.
b. Asas Aktivitas, yaitu memberikan kesempatan kepada peserta didik
untuk ambil bagian secara aktif dan kreatif dalam seluruh kegiatan
pendidikan yang dilaksanakan.

Modul Filsafat Pendidikan Islam 97


c. Asas Apersepsi, mengupayakan respon-respon tertentu dari peserta
didik sehingga mereka memperoleh perubahan pada tingkah laku,
pembendaharaan konsep, dan kekayaan akan informasi.
d. Asas Peragaan, yaitu memberikan variasi dalam cara-cara mengajar
dengan mewujudkan bahan yang diajarkan secara nyata, baik dalam
bentuk aslinya maupun tiruan.
e. Asas Ulangan, yaitu usaha untuk mengetahui taraf kemajuan atau
keberhasilan belajar peserta didik dalam aspek pengetahuan,
keterampilan dan sikap.
f. Asas Korelasi, menghubungkan suatu bahan pelajaran dengan bahan
pelajaran lainnya, sehingga membentuk mata rantai yang erat.
g. Asas Konsentrasi, yaitu memfokuskan pada suatu pokok masalah
tertentu dari keseluruhan bahan pelajaran untuk melaksankan tujuan
pendidikan serta memperhatikan peserta didik dalam segala
aspeknya.
h. Asas Individualisasi, yaitu memperhatikan perbedaan-perbedaan
individual peserta didik.
i. Asas Sosialisasi, yaitu menciptakan situasi sosial yang
membangkitkan semangat kerjasama antara peserta didik dengan
pendidik atau sesama peserta didik dan masyarakat, dalam menerima
pelajaran agar lebih berdaya guna.
j. Asas Evaluasi, yaitu memperhatikan hasil dari penilaian terhadap
kemampuan yang dimiliki peserta didik sebagai umpan balik pendidik
dalam memperbaiki cara mengajar.
k. Asas Kebebasan, yaitu memberikan keleluasan keinginan dan
tindakan bagi peserta didik dengan dibatasi atas kebebasan yang
mengacu pada hal-hal yang positif.
l. Asas Lingkungan, yaitu menentukan metode dengan berpijak pada
pengaruh lingkungan akibat interaksi dengan lingkungan.

Modul Filsafat Pendidikan Islam 98


m. Asas Globalisasi, yaitu memperhatikan reaksi peserta didik terhadap
lingkungan secara keseluruhan, tidak hanya secara intelektual, tetapi
juga secara fisik, sosial dan sebagainya.
n. Asas Pusat-Pusat Minat, yaitu memperhatikan kecenderungan jiwa
yang tetap ke jurusan suatu yang berharga bagi seseorang.
o. Asas Ketauladanan, yaitu memberikan contoh yang terbaik untuk ditiru
dan ditauladani peserta didik.
p. Asas Kebiasaan, yaitu mambiasakan hal-hal positif dalam diri peserta
didik sebagai upaya praktis dalam pembinaan mereka.

Metode pendidikan Islam harus digali, didayagunakan, dan


dikembangkan dengan mengacu pada asas-asas sebagaimana yang
dikemukakan diatas. Melalui aplikasi nilai-nilai Islam dalam proses
penyampaian seluruh materi pendidikan Islam, diharapkan proses itu
dapat diterima, difahami, dihayati, dan diyakini sehingga pada gilirannya
memotivasi peserta didik untuk mengamalkannya dalam bentuk nyata.

2. Karakteristik Metode Pendidikan Islam


Diantara karakteristik metode pendidikan Islam:
Keseluruhan proses penerapan metode pendidikan Islam, mulai dari
pembentukannya, penggunaannya sampai pada pengembangannya
tetap didasarkan pada nilai-nilai asasi Islam sebagai ajaran yang
universal.
Proses pembentukan, penerapan dan pengembangannya tetap
tidak dapat dipisahkan dengan konsep al-akhlak al-karimah sebagai
tujuan tertinggi dari pendidikan Islam.
a. Metode pendidikan Islam bersifat luwes dan fleksibel dalam artian
senantiasa membuka diri dan dapat menerima perubahan sesuai
dengan situasi dan kondisi yang melingkupi proses kependidikan
Islam tersebut, baik dari segi peserta didik, pendidik, materi pelajaran
dan lain-lain.

Modul Filsafat Pendidikan Islam 99


b. Metode pendidikan Islam berusaha sungguh-sungguh untuk
menyeimbangkan antara teori dan praktik.
c. Metode pendidikan Islam dalam penerapannya menekankan
kebebasan peserta didik untuk berkreasi dan mengambil prakarsa
dalam batas-batas kesopanan dan akhlak karimah.
Dari segi pendidik, metode pendidikan Islam lebih menekankan nilai-
nilai keteladanan dan kebebasan pendidik dalam menggunakan serta
mengkombinasikan berbagai metode pendidikan yang ada dalam
mencapai tujuan pengajaran.
d. Metode pendidikan Islam dalam penerapannya berupaya menciptakan
situasi dan kondisi yang memungkinkan bagi terciptanya interaksi
edukatif yang kondusif .
e. Metode pendidikan Islam merupakan usaha untuk memudahkan
proses pengajaran dalam mencapai tujuannya secara efektif dan
efisien.

3. Macam-macam Metode dalam Pendidikan Islam

Sebagai ummat yang telah dianugerahi Allah Kitab Al-Quran


yang lengkap dengan petunjuk yang meliputi seluruh aspek kehidupan
dan bersifat universal sebaiknya menggunakan metode mengajar dalam
pendidikan Islam yang prinsip dasarnya dari Al Qur’an dan Hadits.
Diantara metode-metode tersebut adalah:
a. Metode Ceramah
Metode ceramah adalah cara penyampaian informasi melalui
penuturan secara lisan oleh pendidik kepada peserta didik.
b. Metode Tanya Jawab
Metode Tanya jawab adalah suatu cara mengajar dimana seorang
guru mengajukan beberapa pertanyaan kepada murid tentang bahan
pelajaran yang telah diajarkan atau bacaan yang telah mereka baca.

Modul Filsafat Pendidikan Islam 100


Prinsip dasar metode ini terdapat dalam hadits Tanya jawab antara Jibril
dan Nabi Muhammad tentang iman, islam, dan ihsan.
c. Metode Diskusi
Metode diskusi adalah suatu cara penyajian/penyampaian bahan
pelajaran dimana pendidik memberikan kesempatan kepada peserta
didik/membicarakan dan menganalisis secara ilmiyah guna
mengumpulkan pendapat, membuat kesimpulan atau menyusun
berbagai alternatif pemecahan atas sesuatu masalah. Abdurrahman
Anahlawi menyebut metode ini dengan sebutan hiwar (dialog).
d. Metode Pemberian Tugas
Metode pemberian tugas adalah suatu cara mengajar dimana
seorang guru memberikan tugas-tugas tertentu kepada murid-murid,
sedangkan hasil tersebut diperiksa oleh guru dan murid harus
mempertanggung jawabkannya.

e. Metode Demonstrasi
Metode demontrasi adalah suatu cara mengajar dimana guru
mempertunjukan tentang proses sesuatu, atau pelaksanaan sesuatu
sedangkan murid memperhatikannya.
f. Metode Eksperimen
Suatu cara mengajar dengan menyuruh murid melakukan suatu
percobaan, dan setiap proses dan hasil percobaan itu diamati oleh setiap
murid, sedangkan guru memperhatikan yang dilakukan oleh murid sambil
memberikan arahan.
g. Metode Amsal/Perumpamaan
Yaitu cara mengajar dimana guru menyampaikan materi
pembelajaran melalui contoh atau perumpamaan. Prinsip metode ini
terdapat dalam Al Qur’an:

Modul Filsafat Pendidikan Islam 101


  
  
   
  
    
Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api.
Maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya
(yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan,
tidak dapat melihat. (Q.S. Al-baqarah : 17)
Perumpamaan dilakukan oleh Rasul saw. sebagai satu metode
pembelajaran untuk memberikan pemahaman kepada sahabat, sehingga
materi pelajaran dapat dicerna dengan baik. Matode ini dilakukan
dengan cara menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain,
mendekatkan sesuatu yang abstrak dengan yang lebih konkrit.
Perumpamaan yang digunakan oleh Rasulullah saw. sebagai satu
metode pembelajaran selalu syarat dengan makna, sehinga benar-benar
dapat membawa sesuatu yang abstrak kepada yang konkrit atau
menjadikan sesuatu yang masih samar dalam makna menjadi sesuatu
yang sangat jelas.

h. Metode Targhib dan Tarhib


Yaitu cara mengajar dimana guru memberikan materi pembelajaran
dengan menggunakan ganjaran terhadap kebaikan dan hukuman
terhadap keburukan agar peserta didik melakukan kebaikan dan
menjauhi keburukan.
Ganjaran atau sanksi dalam pendidikan mempunyai arti penting,
pendidikan yang terlalu lunak akan membentuk pelajar kurang disiplin
dan tidak mempunyai keteguhan hati. Sanksi tersebut dapat dilakukan
dengan tahapan sebagai berikut, dengan teguran, kemudian diasingkan
dan terakhir dipukul dalam arti tidak untuk menyakiti tetapi untuk
mendidik.Kemudian dalam menerapkan sanksi fisik hendaknya dihindari

Modul Filsafat Pendidikan Islam 102


kalau tidak memungkinkan, hindari memukul wajah, memukul
sekedarnya saja dengan tujuan mendidik, bukan balas dendam.
i. Metode pengulangan (tikrar)
Yaitu cara mengajar dimana guru memberikan materi ajar dengan
cara mengulang-ngulang materi tersebut dengan harapan siswa bisa
mengingat lebih lama materi yang disampaikan.
Satu proses yang penting dalam pembelajaran adalah
pengulangan/latihan atau praktek yang diulang-ulang. Baik latihan
mental dimana seseorang membayangkan dirinya melakukan perbuatan
tertentu maupun latihan motorik yaitu melakukan perbuatan secara nyata
merupakan alat-alat bantu ingatan yang penting. Latihan mental,
mengaktifkan orang yang belajar untuk membayangkan kejadian-
kejadian yang sudah tidak ada untuk berikutnya bayangan-bayangan ini
membimbing latihan motorik. Proses pengulangan juga dipengaruhi oleh
taraf perkembangan seseorang. Kemampuan melukiskan tingkah laku
dan kecakapan membuat model menjadi kode verbal atau kode visual
mempermudah pengulangan. Metode pengulangan dilakukan Rasulullah
saw. ketika menjelaskan sesuatu yang penting untuk diingat para
sahabat.

D. Soal
1. Apa pengertian metode dalam filsafat pendidikan Islam?
2. Sebutkan dan jelaskan asas-asas umum dalam filsafat
pendidikan Islam?
3. Bagaimana karakteristik metode dalam filsafat pendidikan
Islam?

DAFTARA PUSTAKA

Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I, Jakarta: Logos


Wacana Ilmu, 1997

Modul Filsafat Pendidikan Islam 103


H. Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis,
Teoritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Pers, 2002.

Munif Chatib, Sekolahnya Manusia : Sekolah berbasis multiple


Intelligences di Indonesia, Cet. XI, Bandung: Kaifa, 2011.

Hasan Langgulung, Asas-asas pendidikan Islam, Cet. II, Jakarta:


Pustaka Al-Husna, 1988

Beni Ahmad Saebani, dan Hedra Akhdiyat, Ilmu Pendidikan Islam


1. Bandung: Pustaka Setia, 2009

BAB X
HAKIKAT EVALUASI DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Rangkaian akhir dari suatu proses pendidikan Islam adalah


evaluasi atau penilaian. Berhasil atau tidaknya pendidikan Islam dalam
mencapai tujuannya dapat dilihat setelah dilakukan evaluasi terhadap out
put yang dihasilkannya. Jika hasilnya sesuai dengan tujuan pendidikan
Islam, maka pendidikan ini dinilai berhasil, tetapi jika sebaliknya, maka ini
dinilai gagal. Dari sisi ini dapat dipahami betapa urgennya evaluasi
dalam proses pendidikan Islam.

Modul Filsafat Pendidikan Islam 104


A. Tujuan Pembelajaran Umum
1. Mahasiswa mampu memahami pengertian evaluasi dalam
filsafat pendidikan Islam
2. Mahasiswa mampu memahami tujuan dan fungsi evaluasi
dalam filsafat pendidikan Islam
3. Mahasiswa mampu memahami sistem evaluasi dalam filsafat
pendidikan Islam
B. Tujuan Pembelajaran Khusus
1. Mahasiswa dapat mendeskripsikan evaluasi dalam filsafat
pendidikan Islam
2. Mahasiswa dapat mendeskripsikan tujuan dan fungsi evaluasi
dalam filsafat pendidikan Islam
3. Mahasiswa dapat mendeskripsikan dan mengaplikasikan
sistem evaluasi dalam filsafat pendidikan Islam
C. Uraian Materi
1. Pengertian Evaluasi
Pendidikan adalah upaya sadar dan tanggung jawab untuk
memelihara, membimbing dan mengarahkan pertumbuhan dan
perkembangan kehidupan manusia agar ia memiliki makna dan tujuan
hidup yang hakiki. Shalih Abd Al-Aziz dan Abd Al-Aziz Abd Al-Majid
menyatakan :innama alhayat madrasah (bahwasanya hidup adalah salah
satu lembaga pendidikan). Sebagai suatu proses pendidikan bertujuan
untuk menimbulkan perubahan-perubahan yang diinginkan pada setiap
si terdidik. Proses pendidikan tidak terlepas dari beberapa komponen
yang mendukungnya, dan salah satu komponen yang urgent adalah
penilaian atau evaluasi.
Evaluasi berasal dari kata to evaluate yang berarti “menilai”.Kata
nilai menurut filosof pengertiannya adalah idea of worth. Selanjutnya kata
nilai menjadi populer, bahkan menjadi istilah yang ditemukan dalam
dunia ekonomi, kata nilai biasa dipautkan dengan harga. Nilai artinya
power in exchange. Sedangkan menurut pengertian pengertian istilah

Modul Filsafat Pendidikan Islam 105


evaluasi merupakan kegiatan yang terencana untuk mengetahui
keadaan sesuatu objek dengan menggunakan instrumen dan hasilnya
dibandingkan dengan tolak ukur memperoleh kesimpulan. Menurut
Edwin Wand dan Gerald W. Brow dalam bukunya Esseential of
Educational Evaluation, mengemukakan bahwa: Evaluation refers to the
act or process to determining the value of something.”(Penilaian dalam
pendidikan berarti seperangkat tindakan atau proses untuk menentukan
nilai sesuatu yang berkaitan dengan dunia pendidikan).
Ada beberapa pendapat lain tentang definisi mengenai evaluasi:
1. Blomm
Evaluasi adalah pengumpulan kegiatan secara sistematis untuk
menetapkan apakah dalam kegiatannya terjadi perubahan dalam diri
siswa menetapkan sejauh mana tingkat perubahan dalam diri pribadi
siswa.
2. Stuffle Beam
Evaluasi adalah proses menggambarkan, memperoleh dan
menyajikan informasi yang berguna untuk menilai alternatif keputusan.
3. Cronbach
Di dalam bukunya Designing Evaluator of Education and Social
Program, telah memberikan uraian tentang prinsip-prinsip dasar evaluasi
antara lain:
a. Evaluasi program pendidikan merupakan kegiatan yang dapat
membantu pemerintah dalam mencapai tujuannya.
b. Evaluasi seyogyanya tidak memberikan jawaban terhadap suatu
pertanyaan khusus. Bukanlah tugas evaluator memberikan
rekomendasi tentang kemanfaatan suatu program dan dilanjutkan
atau tidak.Evaluator tidak dapat memilihkan karier seorang murid.
Tugas evaluator hanya memberikan alternatif.
c. Evaluasi merupakan suatu proses terus-menerus, sehingga di
dalam proses memungkinkan untuk merevisi apabila dirasakan ada
suatu kesalahan-kesalahan.

Modul Filsafat Pendidikan Islam 106


Term evaluasi dalam wacana keislaman, terdapat term-term
tertentu mengarah pada makna evaluasi. Term-term tersebut adalah :
1. Al-Hisab memiliki makna mengira, menafsirkan, menghitung dan
menganggap.
2. Al-Bala’ memiliki makna cobaan, ujian.
3. Al-Hukm memiliki makna putusan atau vonis
4. Al-Qadha memiliki arti putusan
5. Al-Nazhar memiliki arti melihat
6. Al-Imtihan memiliki arti ujian

Beberapa term tersebut boleh jadi menunjukkan arti evaluasi


secara langsung, atau hanya sekedar alat atau proses di dalam evaluasi.
Hal ini didasarkan asumsi bahwa Al-Qur’an dan Sunnah merupakan
azas-azas atau prinsip-prinsip umum pendidikan, sedang
operasionalisasinya diserahkan penuh kepada ijtihad umatnya.
Penilaian dalam pendidikan dimaksudkan untuk menetapkan
keputusan-keputusan kependidikan, baik yang menyangkut
perencanaan, pengelolaan, proses dan tindak lanjut pendidikan baik
yang menyangkut perorangan, kelompok, maupun kelembagaan.
Keputusan apapun ditetapkan maksudnya agar tujuan yang dicanangkan
dapat tercapai. Penilaian dalam pendidikan Islam bertujuan agar
keputusan-keputusan yang berkaitan dengan pendidikan Islam benar-
benar sesuai dengan nilai-nilai yang Islami, sehingga tujuan pendidikan
Islam yang dicanangkan dapat tercapai.
2.Tujuan dan Fungsi Evaluasi Pendidikan Islam
Secara rasional filosofis, pendidikan Islam bertugas untuk
membentuk al-Insan al-Kamil atau manusia paripurna. Oleh karena itu,
hendaknya di arahkan pada dua dimensi, yaitu : dimensi dialektikal
horitontal, dan dimensi ketundukan vertikal.
Tujuan program evaluasi adalah mengetahui kader pemahaman
anak didik terhadap materi terhadap materi pelajaran, melatih keberanian

Modul Filsafat Pendidikan Islam 107


dan mengajak anak didik untuk mengingat kembali materi yang telah
diberikan. Selain itu, program evaluasi bertujuan mengetahui siapa
diantara anak didik yang cerdas dan yang lemah, sehingga naik tingkat,
kelas maupun tamat. Tujuan evaluasi bukan anak didik saja, tetapi
bertujuan mengevaluasi pendidik, yaitu sejauh mana pendidikan
bersungguh-sungguh dalam menjalankan tugasnya untuk mencapai
tujuan pendidikan Islam.
Dalam pendidikan Islam, tujuan evaluasi lebih ditekankan pada
penguasaan sikap (afektif dan psikomotor) ketimbang asfek kogritif.
Penekanan ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan peserta didik
yang secara besarnya meliputi empat hal, yaitu :
a. Sikap dan pengalaman terhadap hubungan pribadinya dengan
Tuhannya.
b. Sikap dan pengalaman terhadap arti hubungan dirinya dengan
masyarakat.
c. Sikap dan pengalaman terhadap arti hubungan kehidupannya
dengan alam sekitarnya.
d. Sikap dan pandangan terhadap diri sendiri selaku hamba Allah,
anggota masyarakat, serta khalifah Allah SWT.
Dari keempat dasar tersebut di atas, dapat dijabarkan dalam
beberapa klasifikasi kemampuan teknis, yaitu :
1. Sejauh mana loyalitas dan pengabdiannya kepada Allah dengan
indikasi-indikasi lahiriah berupa tingkah laku yang mencerminkan
keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT.
2. Sejauh mana peserta didik dapat menerapkan nilai-nilai
agamanya da kegiatan hidup bermasyarakt, seperti ahlak yang
mulia dan disiplin.
3. Bagaimana peserta didik berusaha mengelola dan memelihara,
serta menyesuaikan diri dengan alam sekitarnya, apakah ia
merusak ataukah memberi makna bagi kehidupannya dan
masyarakat dimana ia berada.

Modul Filsafat Pendidikan Islam 108


4. Bagaimana dan sejauh mana ia memandang diri sendiri sebagai
hamba Allah dalam menghadapi kenyataan masyarakat yang
beraneka ragam budaya, suku dan agama.
Sedangkan menurut Muchtar Buchari M. Eb, mengemukakan ada
dua tujuan evaluasi :
1. Untuk mengetahui kemajuan belajar peserta didik setelah
menyadari pendidikan selama jangka waktu tertentu.
2. Untuk mengetahui tingkah efisien metode pendidikan yang
dipergunakan dalam jangka waktu tertentu.
Fungsi evaluasi adalah membantu anak didik agar ia dapat
mengubah atau mengembangkan tingkah lakunya secara sadar, serta
memberi bantuan kepadanya cara meraih suatu kepuasan bila berbuat
sebagaimana mestinya. Di samping itu fungsi evaluasi juga dapat
membantu seorang pendidik dalam mempertimbangkan adeqvate (baik
tidaknya) metode mengajar, serta membantu mempertimbangkan
administrasinya.
Menurut A. Tabrani Rusyan dan kawan-kawan, mengatakan
bahwa evaluasi mempunyai beberapa fungsi, yaitu :
 Untuk mengetahui tercapainya tidaknya tujuan instruksional
secara komprehensif yang meliputi aspek pengetahuan, sikap dan
tingkah laku.
 Sebagai umpan balik yang berguna bagi tindakan berikutnya
dimana segi-segi yang sudah dapat dicapai lebih ditingkatkan lagi
dan segi-segi yang dapat merugikan sebanyak mungkin dihindari.
 Bagi pendidik, evaluasi berguna untuk mengatur keberhasilan
proses belajar mengajar bagi peserta didik berguna untuk
mengetahui bahan pelajaran yang diberikan dan di kuasai, dan
bagi masyarakat untuk mengetahui berhasil atau tidaknya
program-program yang dilaksanakan.

Modul Filsafat Pendidikan Islam 109


 Untuk memberikan umpan balik kepada guru sebagai dasar untuk
memperbaiki proses belajar mengajar dan mengadakan program
remedial bagi murid.
 Untuk menentukan angka kemajuan atau hasil belajar.
 Untuk menempatkan murid dalam situasi belajar mengajar yang
tepat.
 Untuk mengenal latar belakang murid yang mengalami kesulitan-
kesulitan belajar.
3. Prinsip-prinsip Evaluasi Pendidikan Islam
Evaluasi merupakan penilaian tentang suatu aspek yang
dihubungkan dengan situasi aspek lainnya, sehingga diperoleh
gambaran yang menyeluruh jika ditinjau dari beberapa segi. Oleh karena
itu dalam melaksanakan evaluasi harus memperhatikan berbagai prinsip
antara lain:
a. Prinsip Kesinambungan (kontinuitas)
Dalam ajaran Islam, sangat memperhatikan prinsip kontinuitas,
karena dengan berpegang pada prinsip ini, keputusan yang diambil oleh
seseorang menjadi valid dan stabil (Q.S. 46 : 13-14).
b. Prinsip Menyeluruh (komprehensif)
Prinsip yang melihat semua aspek, meliputi kepribadian,
ketajaman hafalan, pemahaman ketulusan, kerajinan, sikap kerjasama,
tanggung jawab (Q.S. 99 : 7-8).

c. Prinsip Objektivitas
Dalam mengevaluasi berdasarkan kenyataan yang sebenarnya,
tidak boleh dipengaharui oleh hal-hal yang bersifat emosional dan
irasional.
Allah SWT memerintahkan agar seseorang berlaku adil dalam
mengevaluasi. Jangan karena kebencian menjadikan ketidak objektifan
evaluasi yang dilakukan (Q.S.: 8), Nabi SAW pernah bersabda : “Andai

Modul Filsafat Pendidikan Islam 110


kata Fatimah binti Muhammad itu mencuri, niscaya aku tidak segan-
segan untuk memotong kedua tangannya”.
Demikian pula halnya dengan Umar bin Khottob yang mencambuk
anaknya karena ia berbuat zina. Prinsip ini dapat ditetapkan bila
penyelenggarakan pendidikan mempunyai sifat sidiq, jujur, ikhlas,
ta’awun, ramah, dan lainnya.
4. Sistem Evaluasi Dalam Pendidikan Islam
Sistem evaluasi dalam pendidikan Islam mengacu pada sistem
evaluasi yang digariskan oleh Allah SWT, dalam al-Qur’an dan di
jabarkan dalam as-Sunnah, yang dilakukan Rasulullah dalam proses
pembinaan risalah Islamiyah.
Secara umum sistem evaluasi pendidikan sebagai berikut:
 Untuk menguji daya kemampuan manusia beriman terhadap
berbagai macam problema kehidupan yang dihadapi (Q.S. Al-
Baqarah/ 2 : 155).
 Untuk mengetahui sejauhmana atau sampai dimana hasil
pendidikan wahyu yang telah diaplikasikan Rasulullah saw kepada
umatnya (QS. An Naml/27:40).
 Untuk menentukan klasifikasi atau tingkat hidup keislaman atau
keimanan seseorang, seperti pengevaluasian Allah terhadap nabi
Ibrahim yang menyembelih Ismail putra yang dicintainya (QS. Ash
Shaaffat/37:103-107).
 Untuk mengukur daya kognisi, hafalan manusia dan pelajaran
yang telah diberikan kepadanya, seperti pengevaluasian terhadap
nabi Adam tentang asma-asma yang diajarkan Allah kepadanya
dihadapan para malaikat (QS. Al-Baqarah/2:31).
 Memberikan semacam tabsyir (berita gembira) bagi yang
beraktifitas baik, dan memberikan semacam ‘iqab (siksa) bagi
mereka yang berakltifitas buruk (QS. Az Zalzalah/99:7-8).

Modul Filsafat Pendidikan Islam 111


 Allah SWT dalam mengevaluasi hamba-Nya, tanpa memandang
formalitas (penampilan), tetapi memandang subtansi dibalik
tindakan hamba-hamba tersebut (QS. Al Hajj/22:37).
 Allah SWT memerintahkan agar berlaku adil dalam mengevaluasi
sesuatu, jangan karena kebencian menjadikan ketidak objektifan
evaluasi yang dilakukan (QS. Al Maidah/5:8).
5. Sasaran Evaluasi
Langkah yang harus ditempuh seorang pendidik dalam
mengevaluasi adalah menetapkan apa yang menjadi sasaran evaluasi
tersebut. Sasaran evaluasi sangat penting untuk diketahui supaya
memudahkan pendidik dalam menyusun alat-alat evaluasinya.
Pada umumnya ada tiga sasaran pokok evaluasi, yaitu:
 Segi tingkah laku, artinya segi-segi yang menyangkut sikap,
minat, perhatian, keterampilan murid sebagai akibat dari proses
belajar mengajar.
 Segi pendidikan, artinya penguasaan pelajaran yang diberikan
oleh guru dalam proses belajar mengajar.
 Segi yang menyangkut proses belajar mengajar yaitu bahwa
proses belajar mengajar perlu diberi penilaian secara obyektif dari
guru. Sebab baik tidaknya proses belajar mengajar akan
menentukan baik tidaknya hasil belajar yang dicapai oleh murid.
Dengan menetapkan sasaran diatas, maka pendidik lebih mudah
mengetahui alat-alat evaluasi yang dipakai baik dengan tes maupun non
tes.
 Kedudukan akademis setiap murid, baik dibandingkan dengan
teman-teman sekelasnya, sekolahnya, maupun dengan sekolah-
sekolah lain.
 Kemajuan belajar dalam satu pelajaran tertentu, misalnya tauhid,
fiqih, tarikh dan lainnya.
 Kelemahan dan kelebihan murid.

Modul Filsafat Pendidikan Islam 112


Dalam evaluasi pendidikan Islam ada empat sasaran pokok yang
menjadi target.
 Sikap dan pengamalan terhadap arti hubungan pribadi dengan
Tuhannya.
 Sikap dan pengamalan terhadap arti hubungannya dengan
masyarakat.
 Sikap dan pengamalan terhadap arti hubungan dengan kehidupan
yang akan datang.
 Sikap dan pandangannya terhadap dirinya sendiri selaku hamba
Allah dan selaku anggota masyarakat serta selaku khalifah Allah
di bumi.
Dalam melaksanakan evaluasi pendidika Islam ada 2 cara yang
dapat ditempuh diantaranya:
a. Kuantitatif
Evaluasi kuantitatif adalah cara untuk mengetahui sebuah hasil
pendidikan dengen cara memberikan penilaian dalam bentuk angka. (5,
7,90) dan lain-lain.
b. Kualitatif
Evaluasi kualitatif adalah suatu cara untuk mengetahui hasil
pendidikan yang diberikan dengan cara memberikan pernyataan verbal
dan sejenisnya (bagus, sangat bagus, cukup, baik, buruk) dan lain-lain.
D. Soal
1. Apa yang dimaksud dengan evaluasi pendidikan Islam?
2. Deskripsikan tujuan dan fungsi evaluasi pendidikan Islam?
3. Bagaimana evaluasi dalam pendidikan Islam dan berikan
contohnya?

DAFTAR PUSTAKA

Modul Filsafat Pendidikan Islam 113


H. Daryanto, Evaluasi Pendidikan, Cet.6, Jakarta: Rieneka Cipta,
2010.

Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I, Jakarta: Logos


Wacana Ilmu, 1997

H. Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis,


Teoritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Pers, 2002.

Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia,


2009.
Beni Ahmad Saebani, dan Hedra Akhdiyat, Ilmu Pendidikan Islam
1. Bandung: Pustaka Setia, 2009.

BAB XI
PENDIDIKAN ISLAM SEBAGAI SUATU SISTEM

Kata sistem sering diungkapkan berbagai seminar, diskusi,


ceramah, dan sebagainya. Sebenarnya, apa arti sebenarnya dari sistem

Modul Filsafat Pendidikan Islam 114


itu? Hal ini penting sebab sistem pendidikan Islam tidak akan dipahami
jika arti sistem belum sepenuhnya dipahami.
Ada yang mengartikan sistem sebagai himpunan gagasan atau
prinsip yang saling bertautan, yang tergabung menjadi suatu
keseluruhan. Dengan demikian, dalam sistem terdapat tiga hal yang
mendasar, yaitu:
1. Adanya berbagai komponen, gagasan, konsep dan prinsip-prinsip.
2. Adanya saling keterpautan antar komponen, gagasan, konsep dan
prinsip.
3. Adanya kesatupaduan antar komponen, gagasan serta prinsip
yang saling berhubungan sehingga membentuk konsep sistemik
yang menjadi terminologi umum dari semua komponen yang ada.7
A. Tujuan Pembelajaran Umum
1. Mahasiswa mampu memahami dasar-dasar sistem pendidikan
Islam
2. Mahasiswa mampu memahami pendidikan Islam sebagai
suatu sistem kebenaran universal
3. Mahasiswa mampu memahami tujuan sistemik pendidikan
Islam
B. Tujuan Pembelajaran Khusus
1. Mahasiswa dapat mendeskripsikan dasar-dasar sistem
pendidikan Islam
2. Mahasiswa dapat mendeskripsikan dan menganalisa
pendidikan Islam sebagai suatu sistem kebenaran universal
3. Mahasiswa dapat menyebutkan dan mengkritisi tujuan sistemik
pendidikan Islam
C. Uraian Materi
1. Dasar-dasar sistem pendidikan Islam

7
Imam Bernadib, Filsafat Pendidikan Sisten dan Metode (Yogyakarta: Andi Offset,
1992), 19.

Modul Filsafat Pendidikan Islam 115


Pendidikan Islam sebagai sebuah sistem dapat dipahami
bahwa dalam pendidikan Islam terdapat gagasan, prinsip-prinsip, dan
subsistem lainnya yang saling berhubungan. Oleh karena itu, yang
perlu diketahui lebih dahulu adalah dasar-dasar pendidikan Islam
sebagai sistem.
Dasar artinya tempat berpijak atau landasan, yang merupakan
titik tolak keberangkatan segala sesuatu. Jika pendidikan Islam
dikatakan sebagai sistem, pertanyaannya apa hakikat pendidikan
Islam, bagaimana sumber dan pijakannya, dan untuk apa pendidikan
Islam itu ada?
Dasar sistem berpikir filsafat, pendidikan Islam dinyatakan
sebagai sistem. Artinya, pendidikan Islam berkaitan dengan tiga unsur
fundamental, yaitu:
a. Realitas masyarakat yang memandang ajaran-ajaran Islam
merupakan ide dasar pendidikan dunia dan akhirat.
b. Ilmu pengetahuan tidak sebatas memahami yang lahiriah,
tetapi yang bathiniah pun menjai objek kajian, sebagaimana
manusia dibimbing bukan hanya aspek jasmaninya, melainkan
juga rohaninya.
c. Semua yang ada dan tanpa ilmu pengetahuan akan terus
berubah. Perubahan merupakan hukum alam, sedangkan ilmu
pengetahuan diketahui melalui pendidikan yang sumbernya
dapat bervariasi, sebagaimana ilmu yang bersumber dari
pengalaman fisikal atau indrawi atau dari pengalaman intuitif.
Dalam system filsafat, realitas kehidupan dikembangkan
melalui pengetahuan yang tanpa batas dan nilai sebagai tujuan
manusia mengembangkan pengetahuan. Dengan demikian,
pendidikan Islam merupakan system yang dibangun oleh dasar-dasar
yang sangat kuat, yaitu sebagai berikut.
1) Al-Quran

Modul Filsafat Pendidikan Islam 116


Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa Al-quran sebagai dasar
pendidikan Islam artinya sebagai titik tolak keberangkatan sistem
pendidikan Islam, seperti yang dikutip pada surah Al-‘alaq ayat 1-5
yang berikut:
  
   
   
  
  
  
    
Artinya:
(1) Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan.
(2)Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. (3)Bacalahlah
yang maha pemurah. (4)Yang mengajar (manusia) dengan prantara
kalam. (5)Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
(Q.S.Al-Alaq: 1-5)

Ayat diatas adalah ayat al-quran yang pertama diturunkan


kepada Nabi Muhammad SAW. Ketika beliau sedang berkhalwat di
gua Hira. Ayat tersebut bukan hanya perintah untuk Nabi Muhammad
SAW. saja untuk membaca tapi juga perintah bagi seluruh umat
manusia, agar manusia memahami sedalam-dalamnya maksud Allah
menciptkan ala mini dan pandai bersyukur.
Al-quran merupakan dasar pendidikan Islam karena Al-quran
menyampaikan pesan-pesan pendidikan kepada manusia yang
berakal. Bukti bahwa al-quran memberikan dorongan agar segala hal
harus menggunakan akal adalah Firman Allah berikut ini:
Surah Al-Baqarah ayat 269:
    
   
    
  
 
Artinya:

Modul Filsafat Pendidikan Islam 117


“Allah menganugerahkan al-hikmah (kepahaman yang dalam tentang
Al-quran dan As-sunah kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang
siapa yang disnugerahi Al-hikmah itu, ia benar-benar telah
dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang
berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).”

Dari ayat Al-quran diatas, dapat diambil pemahaman bahwa


dasar pendidikan Islam adalah Al-quran yang didalamnya terdapat
ayat-ayat yang memanggil manusia untuk selalu menggunakan
akalnya dalam kehidupan. Bahkan, untuk bersyukur dengan baik dan
benar pun, manusia harus mempergunakan akalnya. Akal manusia
hanya dapat diberdayakan dipertajam melalui pendidikan.
Disamping itu juga selain uraian diatas Al-quran yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. untuk disampaikan kepada
umat manusia, banyak memiliki fungsi baik bai Nabi Muhammad itu
sendiri maupun bagi kehidupan manusia secara keseluruhan. Diantara
fungsi Al-quran adalah sebagai berikut:
a. Bukti kerasulan Muhammad dan kebenaran ajarannya.
b. Petunjuk akidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh
manusia, yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan Allah
dan kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan.
c. Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan
menerangkan norma-norma keagamaan dan kesusilaan yang
harus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara individual
yang kolektif.
d. Petunjuk syariat dan hukum dengan jalan menerangkan dasar-
dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam
hubungannya dengan Tuhan dan sesame manusia. dengan kata
lain, al-quran adalah petunjuk bagi umat manusia kejalan yang
harus ditempuh demi kebahagiaan hidup didunia dan di akhirat.
Jadi, bahwa Al-quran sebagai sumber ilmu pendidikan Islam,
dapat katakan bahwa kajian yang berkaitan dengan ilmu pendidikan
Islam bukan berarti ilmu agama Islam sebagai salah satu mata kuliah,

Modul Filsafat Pendidikan Islam 118


melainkan sebagai paradigma ilmu pengetahuan yang berbasis
kepada Islam atau sebagai sistem pendidikan Islam. Dalam ilmu
pendidikan Islam yang sumbernya wahyu Al-quran, kajiannya tidak
sebatas yang berkaitan sains, filsafat dan agama dalam arti sebagai
doktrin. Hal ini karena di dalam Al-quran dibicarakan persoalan hukum
alam, hukum Allah, hukum kemanusiaan, dan masalah-masalah yang
metafisikal maka semua menjadi objek kajian ilmu pendidikan Islam.
2) Sunnah
Dasar pendidikan Islam kedua As-Sunnah, yang merupakan
barometer keberhasilan Allah menghadirkan manusia teladan yang
sempurna. Nabi Muhammad SAW. terkenal sebagai manusia yang
paling jujur, amanah, tablig, dan fathanah. Pendidikan yang
mencerminkan teladan Nabi Muhammad SAW. adalah sistem
pendidikan yang bertujuan membentuk anak didik yang amanah,
tablig, dan fathanah, artinya semua ilmu yang dimiliki wajib diamalkan
dalam kehidupan sehari-hari, dimanfaatkan dan didakwahkan kepada
semua masyarakat, serta menjaga nama baik Islam sebagai agama
yang kebenarannya universal.
3) Atsar dan Ijma Sahabat
Atsar dan ijma sahabat menjadi dasar pendidikan Islam.
Sebagaimana dalam sejarah digambarkan bahwa para sahabat
bergotong royong membangun mesjid Nabawi sebagai pusat
pendidikan Islam, membangun majelis taklim, membangun madrasah
dan menyebarkan ilmu yang diterima dari Rasulullah SAW.
4) Ijtihad ulama
Dasar pendidikan Islam berikutnya adalah pendapat atau ijtihad
para ulama, yang menurut sejarah tidak sedikit para ulama yang
mendirikan sekolah dan membangun lembaga pendidikan.
Muhammad Abduh adalah salah satu tokoh politik dan pendidik yang
menyarankan agar umat Islam keluar dari belenggu taklid, fanatisme

Modul Filsafat Pendidikan Islam 119


buta dan kebodohan, dengan memperbanyak mencari ilmu,
mengembangkan dunia pendidikan, dan berijtihad.
Secara terminologis, ijtihad adalah:
a. Pengerahan akal pikiran manusia yang berilmu
b. Menggunakan akalnya dengan sungguh-sungguh karena
adanya dalil-dalil yang zhanni dari Al-quran dan Al-hadis
c. Berkaitan dengan segala hal yang nashnya masih samar dan
bersifat amaliah
d. Menggali kandungan Al-quran dan As-sunnah dengan berbagai
usaha dan pendekatan
e. Dalil-dalil yang ada dirinci sedemikian rupa sehingga hilang ke-
zhani-anya
f. Hasil ijtihad berbentuk pemahaman para ulama yang mudah
diamalkan.
Dengan demikian, ijtihad yang akan dijadikan dasar pendidikan
Islam adalah ijtihad yang berpijak pada AL-quran dan As-sunnah,
bukan ijtihad yang liberal tanpa pertimbangan nilai. Dalam pendidikan
Islam tidak dikenal netralitas etika atau bebas nilai. Pendidikan Islam
dikembnagkan sebagai sistem karena mengajarkan cara berpikir
dengan rasio dan hati, mengajarkan keterampilan jasmani dan
memperhalus budi pekerti dengan tuntunan ajaran Islam.
2. Pendidikan Islam sebagai suatu sistem kebenaran universal
Objek ilmu adalah kesatupaduan ontologism alam-manusia-
Allah, sedangkan praksis ilmu adalah kesatupaduan praksiologis As-
sam’a-al-abshara-al-af-iddah. Demikian pula, struktur ilmu merupakan
kesatupaduan epistimologi al-‘ilmi-al-hikmat-al-kitab. Akhirnya,
konteks ilmu menurut Al-quran mempunyai kesatupaduan aksiologis
al-‘ilm-al-huda-al-kitab.
Keempat kesatupaduan atau integralitas tersebut-
kesatupaduan ontologism, kesatupaduan praksiologism dan
kesatupaduan epistemologis-serta kesatupaduan aksiologis-

Modul Filsafat Pendidikan Islam 120


merupakan aspek-aspek kesatupaduan atau integralitas ilmu yang
berkaitan dengan kategori-kategori integralis yaitu materi, energy,
informasi dan nilai-nilai. Keempat keterpaduan itu mempunyai sifat-
sifat kesatupaduan karena adanya kategori integralis kelima, yaitu
sumber. Dalam Islam, sumber utama ilmu adalah satu, yaitu Allah
SWT Yang Maha Esa.
Dengan demikian, sistem pendidikan Islam dan pendidikan
Islam sebagai sistem adalah integralitas antara unsur-unsur dibawah
ini:
a. Integralitas unsur ilahiah, alamiah, dan insaniah karena tujuan
pendidikan Islam terfokus pada pemberdayaan alam dan
manusia dengan bertitik tolak dari nilai-nilai ilahiah dan
rabbaniah atau kependidikan yang berbasis kepada Al-quran dan
As-sunnah.
b. Integralitas antara hati, akal dan pancaindra. Tiga alat
pendeteksi kebenaran, yang bersifat intuitif dan metafisikal,
kebenaran rasional, dan kebenaran empirik.
c. Integralitas antara ilmu pengetahuan, hidayah dan sumber ilmu
pengetahuan.
Tiga unsur tersebut di atas harus merupakan sistem terpadu
dan universal yang akan diterapkan dalam pendidikan Islam.
Kebenaran universal artinya tidak mengenal situasi dan kondisi karena
memiliki fleksibelitas yang tinggi, tidak mengenal kadaluarsa karena
kebenarannya bukan semata-mata materiil, melainkan juga
substansial, bukan sebatas tekstual, melainkan juga kontekstual,
bukan sebatas fisikal, melainkan juga metafisikal, natural dan
supranatural, rasional dan suprarasional. Oleh karena itu sistem
pendidikan Islam dapat digunakan kapan pun, di mana pun, dan oleh
siapa pun, mengingat sumber ontologisnya bersifat universal.
Jadi, pendidikan Islam sebagai suatu sistem dapat diwujudkan
dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip di dibawah ini:

Modul Filsafat Pendidikan Islam 121


a. Prinsip qur’ani, yakni Al-quran sebagai dasar pendidikan Islam
b. Prinsip aqly, yakni akal sebagai alat untuk mendalam ayat-ayat Ilahi
c. Prinsip ‘ilmu bi al-‘amali, yakni pengetahuan praktis, semua ilmu
untuk diamalkan
d. Prinsip ‘ilmu bi al-hidayati, ilmu sebagai hidayah kehidupan, dan
e. Prinsip ‘ilmu bi al-taghayur, ilmu yang fleksibel dan multitafsir untuk
segala zaman, waktu, situasi dan kondisi.
Pada prinsipnya, ilmu pendidikan Islam berfungsi untuk
mengembangkan pendidikan Islam itu sendiri. Oleh karena itu, harus
diaplikasikan pada hal-hal sebagai berikut:
a. Pendidikan Islam harus diorientasikan pada upaya mewujudkan
nilai-nilai Ilahiah dalam pribadi setiap peserta didik. Pendidikan
Islam adalah upaya manusia untuk menginternalisasikan sifat-sifat
Allah yang ada pada dirinya.
b. Pendidikan Islam sesungguhnya diorientasikan umat Islam pada
upaya mengenal Allah, mendekati-Nya, dan menyerahkan diri
pada-Nya
c. Kemutlakan Allah dalam segala dimensi-Nya harus tampak dalam
seluruh komponen pendidikan Islam, baik dalam tujuan, materi, dan
komponen pendidikan lainnya.
d. Dimensi kebenran Allah mengisyaratkan bahwa hanyalah Dia
sumber kebenaran, melahirkan cara pandangan epistimologis
tentang apa yang disebut dengan pengetahuan; tidak ada
pengetahuan yang dianggap benar jika tidak bersumber dan tidak
merujuk tanda-tanda Allah, baik Qauniyah maupun Qauliyah; hal itu
berlaku juga dalam ilmu pendidikan Islam.
3. Tujuan sistemik pendidikan Islam
Islam mengajarkan bahwa seluruh aktivitas manusia bertujuan
untuk meraih tercapainya insane yang beriman dan bertaqwa. Apabila
anak didik telah beriman dan taqwa, artinya tujuannya telah tercapai.

Modul Filsafat Pendidikan Islam 122


Keimanan seseorang hanya dapat dilihat dari amal
perbuatannya sebab amal perbuatan menjadi indikatoryang amat
penting untuk mengukur keimana seorang muslim. Apabila dikaitakan
dengan pendidikan Islam yang bertujuan mencetak anak didik yang
beriman, wujud dari tujuan itu adalahakhlak anak didik, sedangkan
akhlak anak didik itu mengacu pada kurikulum yang diterapkan dalma
pendidikanyang dilaksanakan di berbagai lembaga, baik dilembaga
pendidikan formal maupun nonformal.
Beberapa indikator dari tercapainya tujuan pendidikan Islam
dapat dibagi menjaditiga tujuan mendasar, yaitu:
a. Tercapainya anak didik yang cerdas. Ciri-cirinya adalah memiliki
tingkat kecerdasan intelektualitas yang tinggi sehingga mampu
menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh dirinya sendiri maupun
membantu menyelesaikan masalah orang lain yang
membutuhkannya.
b. Tercapainya anak didik yang memiliki kesabaran atau kesalehan
emosional, sehingga tercemin dalam kedewasaan menghadapi
masalah di kehidupannya.
c. Tercapainya anak didik yang memiliki kesalehan spiritual, yaitu
menjalankan Alllah dan Rasulullah SAW. dengan melaksanakan
rukun Islam yang lima dan melaksanakannya dalam kehidupan
sehari-hari.
Pendidikan Islam bertujuan membangun karakter anak didik
yang kuat menghadapi berbagai cobaan dalam kehidupan da telaten,
sabar serta cerdas dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
H. M. Arifin membedakan tujuan pendidikan Islam secara
teoritis dan dalam proses. Tujuan secara teoritis ini terdiri dari
berbagai tingkat antara lain:
a. Tujuan intermediair, tujuan akhir, tujuan incidental

Modul Filsafat Pendidikan Islam 123


1) Tujuan intermediair, yaitu tujuan yang merupakan batasan
kemampuan yang harus dicapai dalam proses pendidikan
tingkat tertentu.
2) Tujuan incidental merupakan peristiwa tertentu yang
direncanakan, tetapi dapat dijadikan sasaran dari pendidikan
pada tujuan intermediair.
3) Tujuan akhir pendidikan Islam pada hakikatnya adalah realisasi
dari cita-cita ajaran Islam itu sendiri, yang membawa misi bagi
kesejahteraan umat manusia sebagai hamba Allahlahir dan
bathin di dunia dan akhirat.
b. Dilihat dari segi pendekatan sistem instruksional, tujuan pendidikan
dibedakan menjadi:
1) Tujuan instruksional khusus, diarahkan pada setiap bidang
studi yang harus dikuasai dan diamalkan oleh anak didik.
2) Tujuan instruksional umum, diarahkan pada penguasaan arti
pengamalan suatu bidang studi secara umum atau garis
besarnya sebagai suatu kebulatan.
3) Tujuan kurikuler, yaitu ditetapkan untuk dicapai melalui garis-
garis besar program pengajaran (GBPP) di tiap institusi
(lembaga pendidikan).
4) Tujuan instriksional, yaitu tujuan yang harus dicapai menurut
program pendidikan di tiap sekolah atau lembaga pendidikan
tertentu secara bulat atau terminal seperti tujuan institusional
SMPTP/SMTA atau STM/SPG (tujuan terminal).
5) Tujuan umum, atau tujuan nasional, adalah cita-cita hidup yang
ditetapkan untuk dicapai melalui proses kependidikan dengan
berbagai cara atau sistem, baik sistem formal (sekolah).
Sistem nonformal (nonklasikal dan nonkurikuler), maupun
sistem informal (yang tidak terikat oleh formalitas program
ruang dan materi).

Modul Filsafat Pendidikan Islam 124


c. Ditinjau dari segi pembidangan tugas dan fungsi manusia secara
filosofis, tujuan pendidikan dapat dibedakan menjadi 3 macam,
yaitu:
1) Tujuan individual
Suatu tujuan yang menyangkut individu, melalui proses
belajar dalam rangka mempersiapkan dirinya dalam kehidupan
dunia dan akhirat.
2) Tujuan sosial
Suatu tujuan yang berhubungan dengan kehidupan
masyarakat dan dengan tingkah lakunya serta dengan
perubahan-perubahan yang diinginkan pada pertumbuhan
pribadi, pengalaman dan kemajuan hidupnya.
3) Tujuan professional
Suatu tujuan yang menyangkut pengajaran sebagai ilmu,
seni dan profesi serta sebagai suatu kegiatan dalam
masyarakat.
d. Ditinjau dari segi pelaksanaannya, tujuan pendidikan dapat
dibedakan menjadi:
1) Tujuan operasional
Tujuan operasional, yaitu tujuan yang dicapai menurut program
yang telah ditentukan atau ditetapkan dalam kurikulum.
2) Tujuan fungsional
Tujuan fungsional, yaitu tujuan yang telahducapai dalam arti
kegunaannya, baik dari aspek teoritis maupun aspek praktis.
Adapun tujuan dalam proses mencakup 2 macam yaitu:
1) Tujuan keagamaan, yaitu tujuan yang terisi penuh nilai
rohaniah Islam dan beroreintasi padakehidupan diakhirat.
Tujuan ini difokuskan pada pembentukkan pribadi muslim yang
sanggup melaksanakan syariat Islam melalui proses pendidikan
spiritual menuju ma’rifat kepada Allah.

Modul Filsafat Pendidikan Islam 125


2) Tujuan keduniaan, tujuan ini lebih mengutamakan pada upaya
untuk mewujudkan kesejahteraan hidup di dunia dan
kemanfaatannya.
Perlu ditegaskan lagi bahwa tujuan pendidikan Islam
secara esensial adalah terwujudnya anak didik yang memahami
ilmu-ilmu keislaman dan mengamalkannya dalam kehidupannya
sehari-hari. Dengan kata lain, terwujudnya insan kamil, yakni
manusia yang kembali kepada fitrahnya dan kepada tujuan
kehidupannya sebagaimana ia berikrar sebagai manusia yang
datang dari Allah dan kembali kepada Allah.
Dengan pandangan tersebut, secara sistematis, pendidikan
Islam menjadi suatu sistem dengan landsan-landasan yang kuat
apabila semua ruang lingkup yang terdapat dalam pendidikan
tersebut tersedia dengan baik dan benar.
Itulah pandangan ajaran Islam tentang pendidikan Islam.
Al-quran dan al-hadis mewajibkan umat Islam mencari ilmu dan
membangun lembaga pendidikan Islam. Karena dengan ilmu
pendidikan Islam, umat Islam akan terhindar dari pendidikan
berbasis kepada nilai-nilai sekuleritas dan faham liberalism.
Pendidikan Islam dibangun bukan hanya sekedar penggur
kewajiban, tetapi sebgai cita-cita dn tujuan hidup umat Islam.
D. Soal
1. Uraikan dasar-dasar sistem pendidikan Islam?
2. Jelaskan apa yang dimaksud dengan pendidikan Islam
sebagai sistem kebenaran universal?
3. Sebutkan dan berikan argument kritis terhadap tujuan sistemik
pendidikan Islam?

Modul Filsafat Pendidikan Islam 126


DAFTAR PUSTAKA

Munif Chatib, Sekolahnya Manusia : Sekolah berbasis multiple


Intelligences di Indonesia, Cet. XI, Bandung: Kaifa, 2011.

H. Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis,


Teoritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Pers, 2002.

A. Tafsir, dkk, Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam, Editor: Tedi


Priatna, Bandung: Mimbar Pustaka, 2004.
H. Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam, , Bandung: CV. Pustaka
Setia, 2011.
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, Jakarta: Gaya
Media Pratama, 1997
Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia
2009

Imam Bernadib, Filsafat Pendidikan Sisten dan Metode,


Yogyakarta: Andi Offset, 1992.

Modul Filsafat Pendidikan Islam 127


BAB XII
PELUANG DAN TANTANGAN PENDIDIKAN ISLAM

Isu penting dalam pendidikan Islam di era global sekarang adalah


munculnya tuntutan masyarakat di era modern ini terhadap penguatan
sistem pendidikan. Semua sistem pendidikan dituntut lebih maju dan
dapat mengakomadasikan kebutuhan masyarakat modern, tidak saja
tuntutan terhadap peningkatan kualitas kurikulum tetapi juga tuntutan
dalam kemajuan dalam memfasilitasi pendidik, peserta didik,
manajemen, sarana dan prasarana pendidikan, yang disertai dengan
perangkat teknologi canggih agar dapat mengikuti perkembangan
zaman.
Oleh karena itulah, relasi antara sistem pendidikan Islam dengan
kemajuan teknologi perlu dilihat secara hati-hati agar dapat ditemukan
peluang-peluang yang bisa dimanfaatkan dan tantangan yang perlu
diselesaikan demi kemajuan pendidikan Islam di masa saat ini.
A. Tujuan Pembelajaran Umum
1. Mahasiswa mampu memahami peluang pendidikan Islam
dalam menghadapi tantangan zaman
2. Mahasiswa mampu memahami tantangan pendidikan Islam
dalam menghadapi tantangan zaman
B. Tujuan Pembelajaran Khusus
1. Mahasiswa dapat menganalisis peluang pendidikan Islam
dalam menghadapi tantangan zaman.
2. Mahasiswa dapat menganalisis dan mengkritisi tantangan
pendidikan Islam dalam menghadapi tantangan zaman.

Modul Filsafat Pendidikan Islam 128


C. Uraian Materi
1. Peluang pendidikan Islam dalam menghadapi tantangan
zaman

Pendidikan Islam dari perspektif esensi pengajaran mempunyai


keunggulan, karena di dalamnya terdapat pengajaran umum plus
agama. Pendekatan keagamaan memberikan posisi strategis bagi
pendidikan Islam mendidik generasi muda masyarakat Islam dalam
menumbuhkembangkan potensi-potensi bawaan, baik bawaan jasmani
maupun rohani sejalan dengan norm yang tumbuh, kembang dan
dipakai dalam masyarakat dan kebudayaannya. Baik pendidikan Islam
itu berakar dari pemaknaan tarbiyah, ta’lim, tahdzib, maupun ta’dib dll.,
tetap saja mempunyai substansi pemberiaan ilmu pengetahuan dan
pengembangan keseluruhan potensi diri manusia, baik potensi bawaan
sesuai dengan fitrahnya maupun potensi yang wujud dan berubah
karena berbagai faktor pengaruh lingkungan, sekaligus pembentukan
kepribadian, prilaku (budaya) dan sikap mental. Pendidikan Islam
merupakan proses bimbingan pengembangan jasmani dan rohani
manusia dengan ajaran Islam sejalan dengan fitrah manusia itu agar
mereka mampu melaksanakan tugas dan kewajiban sesuai dengan
tujuan hidupnya diciptakan khaliq-Nya.
Pendapat tadi merupakan penguatan pengakuan terhadap dasar
pendidikan Islam itu sendiri yakni al-Qur’an dan Hadis, karena dua
sumber dasarnya ini menekankan pendidikan itu sesuai fitrah kearah
tujuan tertinggi yakni insan kamil (manusia sempurna). Meskipun
pendidikan Islam mengadopsi nilai-nilai sosial kemasyarakatan, syah
saja selama tidak bertentangan dengan dasar-dasarnya di al-Qur’an
dan Hadis dan bermanfaat atau tidak memberikan kemudharatan bagi
manusia. Berkenaan dengan perinsip ini, pendidikan Islam menjadi
jelas dapat diletakkan dalam kerangka sosiologis, selain menjadi
sarana transmisi pewarisan kekayaan sosial budaya dalam pembentuk
prilaku yang positif.

Modul Filsafat Pendidikan Islam 129


Karena pendidikan Islam itu juga berada dalam kerangka
sosiologis, maka lingkungan strategis situasi perkembangan sosial
budaya dan teknologi modern baik tingkat internasional (global),
maupun regional, nasional dan lokal berpengaruh pada perjalanan dan
menjalankan sistem pendidikan itu. Sungguh pun demikian dengan
potensi pendidikan Islam yang ada dimanfaatkan akan dapat merebut
peluang dan menghadapi tantangan dan atau merubah tantangan
menjadi peluang di dalam semua tingkatan lingkungan strategis itu
termasuk di era global dalam lingkungan strategis internasional.
Pendidikan Islam dalam lingkungan strategis nasional
(Indonesia) secara objektif mempunyai potensi besar dimanfaatkan
untuk meraih peluang maju. Di antara potensi besar pendidikan Islam
itu:
1. Masyarakat pendukung pendidikan Islam, umat Islam dominant
dan panatik terhadap pendidik Islam tinggi
2. Pengalaman besar dan sudah lama masanya eksis secara mandiri
3. Lembaga pendidikan Islam beragam bentuk dan banyak
jumlahnya
4. SDM para pakar dan menejer pendidikan Islam banyak
5. Sudah mempunyai sistim yang kuat
6. Ada Departemen khusus memayunginya yakni Depatemen
Agama
Potensi pendidikan Islam ini sebenarnya dapat dimanfaatkan
sebagai kekuatan, untuk meraih peluang. Peluang-peluang cukup
banyak dan besar. Di lingstra nasional Indonesia pendidikan Islam,
mempunyai peluang di antaranya:
1. Akreditasi kelembagaan pendidikan
2. Standardisasi kelulusan
3. Sertifikasi guru/ pendidik
4. Anggaran pendidikan besar

Modul Filsafat Pendidikan Islam 130


5. Mendapat kedudukan yang sama dalam kebijakan nasional dalam
bidang pendidikan.
Peluang pendidikan Islam dalam lingstra Internasional dilihat dari
perkembangan triple-t globalisasi (telekomunikasi, transportasi dan
tourism) cukup banyak. Diambil contoh t-telekomunikasi dengan
perkembangan teknologinya memberikan peluang pengembangan
sistim manajemen dan informasi (SIM) pendidikan diperkuat dengan
local area network (LAN) berbasis webs yang dapat diakses di mana
dan kapan saja. Lembaga-lembaga pendidikan dengan manajemen
pendidikan sekolah modern dapat dipersiapkan dengan didukung
information, communication and technology (ICT) yang menggunakan
teknologi media canggih, mulai dari perangkat keras (computer, tv,
radio, telepon seluler) dengan perangkat lunaknya dalam bentuk segala
bentuk system dan network system canggih dengan situs-situs yang
dapat diakses. Impact-nya dengan dukungan teknologi komunikasi baik
perangkat keras dan perangkat lunaknya tadi, kelembagaan pendidikan
akan berpeluang melakukan pembaharuan dengan kunci komunikasi
dan informasi yang mudah diakses dan mengakses dari sumber mana,
dimana dan kapan saja.
Pemanfaatan potensi besarnya jumlah umat Islam, pengalaman
dalam mengembangkan pendidikan secara mandiri, kekuatan lembaga-
lembaga pendidikan Islam yang sudah maju, pendayagunaan para
pakar dan menejer pendidikan Islam yang cukup banyak,
mengembangkan sistim pendidikan yang sudah mendapat pengakuan,
memaksimalkan fungsi Departemen Agama dalam pengembangan
pendidikan, dipastikan peluang-peluang peningkatan kemajuan
pendidikan Islam dapat direbut. Tidak akan sulit mengembangkan
kelembagaan pendidikan Islam terakreditasi menuju lembaga
pendidikan maju bertaraf internasional, peluang anggaran akan
terbuka, apalagi kedudukan pendidikan agama sudah sama dengan
pendidikan umum dari perspektif kebijakan pendidikan nasional,

Modul Filsafat Pendidikan Islam 131


standarisasi kelulusan memberikan jaminan kualitas ketenagaan yang
siap akses pangsa pasar kerja, karenanya pendidik/ guru terakreditasi
dalam upaya mengejar kualitas dan pemenuhan kesejahteraan dan
terbuka pembentukan prilaku zuhud pada guru. Optimisme
pemanfaatan potensi merebut peluang globalisasi di awal milenium
ketiga ini, akan semakin nyata menjadi kekuatan dalam peningkatan
pendidikan Islam itu, apalagi ada momentum dukung dengan situasi
umat Islam, sejak awal abad ke-15 hijrah dicanangkan sebagai abad
kebangkitan dan dinyatakan sebagai awal survival umat Islam.
Kebangkitan Islam itu merupakan proses penuh perubahan yang
dilakukan umat Islam untuk mewujudkan kehidupan yang maju dan
sejahtera setingkat dengan umat manusia lainnya yang sudah lebih
dahulu mencapai kondisi demikian . Dengan perkataan lain, umat Islam
kembali membentuk peradaban yang setingkat dengan peradaban
lainnya.
Peradaban itu secara esensial memperlihatkan kehidupan yang
penuh nilai spiritual dan material. Nilai spiritual dan material itu kata
Sayidiman (2002) dapat menjadi ukuran bagi tinggi rendahnya
peradaban itu. Sebab itu umat Islam membangun kehidupan spiritual
dan moral sesuai dengan ajaran Islam termasuk melalui lembaga
pendidikan untuk menjadi pemicu bagi seluruh kehidupan umat Islam
yang bermakna. Di pihak lain diwujudkan pula perubahan dalam kondisi
material umat Islam untuk menciptakan kesejahteraan. Semakin tinggi
hasil pembangunan moral-spiritual dan material itu semakin tercipta
peradaban Islam.
2. Tantangan pendidikan Islam dalam menghadapi tantangan
zaman
Perjuangan memanfaatkan potensi merebut peluang dan atau
menggunakan potensi untuk mengatasi tantangan mendukung gerakan
survival umat dalam kebangkitan Islam termasuk memajukan
pendidikan Islam, tak luput dari berbagai tantangan yang kadang tidak

Modul Filsafat Pendidikan Islam 132


saja bias menjadi kendala, hambatan bahkan menjadi bias ancaman
yang seringkali amat berbahaya dan merugikan.
Tantangan khusus pendidikan Islam dalam lingstra Internasional
dilihat dari triple-t globalisasi (telekomunikasi, transportasi dan tourism)
tadi, cukup menarik. Dari sisi triple telekomunikasi saja misalnya,
terdapat tantangan di antaranya:
1. Informasi terbuka dan bebas masuk melalui teknologi media
canggih tanpa hambatan ruang dan waktu.
2. Komunikasi canggih memperkecil dunia, mulai dari lintas kota–
desa, daerah–nasional, nasional–internasional dan lintas benua.
3. Tersedia situs pencari inforamsi dan media penghubung
komunikasi dalam bentuk perangkat lunak segala bentuk sistim
jaringan (face books, e-mail, blogg, webset dll).
4. Tersedia teknologi informasi dan media elektronik dan cetak
canggih perangkat keras seperti personal computer dan jaringan,
offset, camera webs, telpon seluler, jaringan televise, DVD dsb.
5. Tumbuh bisnis informasi dan komunikasi dengan teknologi yang
siap layan dengan mudah dan murah serta memenuhi kebutuhan
konsumen, dll.
Tantanan triple telekomunikasi ini saja, sudah sedemikian hebat
kalau dapat dirubah menjadi peluang. Kemampuan mendayagunakan
potensi besarnya dukungan jumlah umat Islam, pengalaman dalam
mengembangkan pendidikan secara mandiri, kekuatan lembaga-
lembaga pendidikan Islam yang sudah maju, pendayagunaan para
pakar dan menejer pendidikan Islam yang cukup banyak,
mengembangkan sistim pendidikan yang sudah mendapat pengakuan,
memaksimalkan fungsi Departemen Agama dalam pengembangan
pendidikan, dipastikan tantangan triple telekomunikasi eraglobal tadi
dapat dirubah menjadi peluang dan kesempatan emas dalam upaya
peningkatan kemajuan pendidikan Islam. Dengan pendayagunaan
potensi ini dengan mengakomodasikan tantangan (1) informasi global

Modul Filsafat Pendidikan Islam 133


terbuka dan bebas masuk melalui teknologi media canggih tanpa
hambatan ruang dan waktu, (2) komunikasi canggih memperkecil
dunia, mulai dari lintas kota – desa, daerah – nasional, nasional –
internasional dan lintas benua, (3) tersedia situs pencari inforamsi dan
media penghubung komunikasi dalam bentuk perangkat lunak segala
bentuk sistim jaringan (face books, e-mail, blog, webset dll), (4) tersedia
teknologi informasi dan media elektronik dan cetak canggih perangkat
keras seperti personal computer dan jaringan, offset, camera webs,
telpon seluler, jaringan televise, DVD dsb., (5) tumbuh bisnis informasi
dan komunikasi dengan teknologi yang siap layan dengan mudah dan
murah serta memenuhi kebutuhan konsumen, dll., optimis tantangan
gloal ini dapat dirubah menjadi peluang besar mengatasi kelemahan
pendidikan Islam dengan memperkuat perencanaan dan
implementasinya didukung. Tantangan global itu berpotensi besar pula
menyulap penyelenggaraan pendidikan Islam dengan memperkuat
dengan basis informasi dan komunikasi baik dengan perangkat keras
teknologinya maupun perangkat lunaknya yang amat canggih, sehingga
mengantarkan lembaga-lembaga pendidikan, pendidik dan kualitas
peserta didik dan outputnya ke level yang setara dengan pendidikan
maju di dunia internasional.
Sebagai sebuah analisis perkembangan pendidikan di era global,
disadari tidak semua perjuangan mulus, dipastikan tantangan
terkadang menjadi kendala, hambatan bahkan menjadi ancaman.
Ketidaksiapan menyambut kemajuan teknologi informasi dan
komunikasi era global tadi akan melahirkan dan memunculkan
pengaruh negative. Itu terjadi manakala kelemahan tidak dapat
diminimalisir maka tantangan akan berubah menjadi ancaman.
Kelemahan itu masih ada yang bersumber dari internal umat Islam
sendiri plus tantangan yang datang dari luar dengan arus keras.
Perjuangan yang harus digerakan menangkap dan atau merubah
tantangan menjadi peluang pendidikan Islam di era globalisasi,

Modul Filsafat Pendidikan Islam 134


bagaimana para penyelenggara pendidikan itu mampu di samping
mendayagunakan potensi yang ada untuk merebut peluang dan atau
mengurangi kelemahan untuk merebut peluang, atau mengolah potensi
mengatasi tantangan, dan atau meminimalisir kelemahan untuk
menangkal ancaman dari tantangan yang tidak bisa dirubah. Semua
umat Islam yang memperjuangkan kebangkitan Islam harus berjuang
terus menerus tanpa pamrih. Umat Islam di Indonesia yang jumlahnya
lebih dari 170 juta orang adalah potensi besar sekaligus asset bangsa
bagi kebangkitan Islam termasuk kebangkitan lembaga pendidikan
Islam sekaligus asset pertumbuhan bangsa Indonesia. Akan tetapi
sebalik kalau kelemahan tidak bisa dimanimalisir dan tetap dalam taraf
tidak kuat dan berkualitas, meminjam istilah Sayidiman (2002) justru
menjadi satu liability atau gangguan yang amat berat. Sebab itu umat
Islam Indonesia dan terutama para pemimpinnya harus
mengembangkan komitmen yang sekuat-kuatnya untuk
menyelenggarakan pendidikan dengan sebaik-baiknya. Pendidikan
mempunyai peran besar sekali untuk menimbulkan perubahan pada diri
umat Islam. Melalui pendidikan dapat dibentuk kondisi mental yang
lebih kondusif untuk mengembangkan kebangkitan moral-spiritual yang
dikehendaki. Tujuan pendidikan Islam tidak hanya mentransfer ilmu
pengetahuan, tetapi juga sebagai penyelenggaraan tugas kenabian
yakni mempertinggi akhlak. Aspek transfer dan penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi dapat diusahakan melalui pelaksanaan
pendidikan yang tepat. Sungguh pun demikian harus pula disadari
bahwa hasil dari proses pendidikan baru terasa secara sungguh-
sungguh setelah berlalunya satu generasi. Oleh karena Kebangkitan
Islam sekarang sudah berjalan maka pendidikan harus dibarengi
dengan terbentuknya tradisi leadership yang dapat menjalankan proses
perubahan tersebut sejak sekarang. Bahkan leadership
(kepemimpinan) itu sangat penting untuk menimbulkan proses sistim
pendidikan yang diselenggarakan.

Modul Filsafat Pendidikan Islam 135


D. Soal
1. Bagaimana peluang pendidikan Islam dalam menghadapi
tantangan zaman?
2. Bagaimana tantangan dan solusi kreatif tantangan pendidikan
Islam dalam menghadapi tantangan zaman?

DAFTAR PUSTAKA

Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia,


2009.
H. Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendiidkan Islam,:
Telaah Sistem Pendidikan dan pemikiran Para tokohnya,
Jakarta: Kalam Mulia, 2009
Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta:
Pustaka al-Husna, 1992.
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2002.
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian
filosofik dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya, Bandung:
Trigenda Karya, 1993.
H. Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: CV. Pustaka
Setia, 2011

Modul Filsafat Pendidikan Islam 136


BAB XIII
PEMIKIRAN TOKOH PENDIDIKAN ISLAM AL-GHAZALI

Berbicara dunia pendidikan Islam dan kemajuan-kemajuannya,


tidak akan bisa dilepaskan dari tokoh-tokoh pembaharunya. Dengan
hasil pemikiran para tokoh tersebut, sekarang kita bisa menikmati
aktualisasi pendidikan Islam dari zaman ke zaman. Oleh karena itu, perlu
rasanya untuk mengkaji ulang pemikiran para tokoh tersebut dan
mengambil buah pemikiran tersebut untuk direfleksikan serta aplikasikan
dalam pendidikan Islam yang akan datang.
Al-Ghazali adalah salah satu dari sekian banyak tokoh dunia yang
berpartisipasi aktif dalam memajukan pendidikan Islam. Dia telah
menghasilkan banyak karya yang menjadi referensi prosesi pendidikan
Islam.
A. Tujuan Pembelajaran Umum
1. Mahasiswa mampu mengetahui riwayat hidup Al-Ghazali
2. Mahasiswa mampu memahami konsep dasar pendidikan Islam
Al-Ghazali
B. Tujuan Pembelajaran Khusus
1. Mahasiswa mampu mendeskripsikan riwayat hidup Al-Ghazali
2. Mahasiswa mampu mendeskripsikan dan mengkritisi
pemikiran tentang konsep dasar pendidikan Islam Al-Ghazali
C. Uraian Materi
1. Riwayat hidup Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Al-Thusi Al-Naysaburi. Ia
dilahirkan di Thus, sebuah Kota di Khurasan, Persia, pada tahun 450
H. atau 1058 M. Ayahnya seorang pemintal wool. Al-Ghazali
mempunyai seorang saudara, ketika akan meninggal ayahnya
berpesan kepada seorang sahabat setia agar kedua putranya diasuh
dan disempurnakan pendidikannya. Sahabat tersebut segera

Modul Filsafat Pendidikan Islam 137


melaksanakan wasiat ayah Al-Ghazali dengan mendidik dan
menyekolahkan keduanya. Setelah harta pusaka peninggalan ayah
mereka habis, keduanya dinasehati agar meneruskan mencari ilmu
semampunya. Imam Al-Ghazali sejak kecil dikenal sebagai seorang
anak pencinta ilmu pengetahuan dan pencari kebenaran yang hakiki,
sekalipun diterpa duka cita, dilanda aneka rupa nestapa dan
sengsara. Di masa kanak-kanak, Imam Al-Ghazali belajar kepada
Ahmad bin Muhammad Al-Raziqani di Thus kemudian belajar
kepada Abi Nasr Al-Ismaili di Jurjani dan akhirnya ia kembali ke
Thus.
Setelah itu Imam Ghazali pindah ke Naysaburi untuk belajar
kepada seorang ahli agama kenamaan di masanya, yaitu Al-Juwaini
yang bergelar Imam Haramain; darinya Al-Ghazali belajar ilmu
kalam, ilmu ushul, dan ilmu agama lainnya.
Keikutsertaan Al-Ghazali dalam suatu diskusi bersama
sekelompok ulama dan intelektual di hadapan Nidzam Al-Mulk
membawa keuntungan besar baginya. Nidzam Al-Mulk berjanji akan
mengangkat Al-Ghazali sebagai guru besar di Universitas yang
didirikannya di Baghdad pada tahun 484 atau 1091 M. Setelah
empat tahun di universitas tersebut, ia memutuskan untuk berhenti
mengajar dan meninggalkan Baghdad. Setelah itu ia pergi ke Syam
dan melakukan kehidupan yang total dipenuhi ibadah.
Setelah semua aktivitas khalwatnya selesai, ia kembali ke
Baghdad untuk kembali mengajar. Setelah sepuluh tahun di
Baghdad, ia pergi ke Naysaburi dan sibuk mengajar di sana. Dalam
waktu yang tidak lama setelah itu beliau meninggal di Thus kota
kelahirannya pada hari Senin tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H. atau
1111 M.
Diantara karya-karya yang telah ditulis al-Ghazali adalah
Maqasid al-Falasifah, Tafahut al-Falasifah, Al-Ma’rif al-‘Aqliyah, Ihya
‘Ulumuddin, Al-Munqidz min al-Dhalal, Minhaj al-Abidin, Mizan al-

Modul Filsafat Pendidikan Islam 138


Amal, Kitab al-Arbain, Mishkat al-Anwar, Al-Adab fi al-Din, Ar-
Risalah al-Laduniyah, dan lain sebagainya.
2. Konsep Pendidikan Islam menurut Al-Ghazali
Konsep pendidikan Al-Ghazali dapat diketahui dengan cara
memahami pemikirannya berkenaan dengan berbagai aspek yang
berkaitan dengan pendidikan, yaitu: tujuan, kurikulum, etika guru,
dan etika murid, metode.
a. Tujuan Pendidikan menurut Al-Ghazali
Seorang guru dapat merumuskan suatu tujuan kegiatan
dengan baik, jika ia memahami benar filsafat yang mendasarinya.
Rumusan selanjutnya akan menentukan aspek kurikulum, metode,
dan lainnya. Dari hasil studi terhadap pemikiran Al-Ghazali dapat
diketahui dengan jelas bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melalui
pendidikan ada dua, pertama: tercapainya kesempurnaan insani
yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah SWT; kedua,
kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan
akhirat.
b. Kurikulum Pendidikan menurut Al-Ghazali
Kurikulum yang dimaksud adalah kurikulum dalam arti sempit,
yaitu seperanngkat ilmu yang diberikan oleh pendidik kepada peserta
didik. Pendapat Al-Ghazali terhadap kurikulum dapat dilihat dari
pandangannya mengenai ilmu pengetahuan yang dibaginya dalam
beberapa sudut pandang. Al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan
menjadi tiga bagian, yaitu:
Ilmu tercela yaitu ilmu yang tidak ada manfaatnya baik di
dunia maupun di akhirat, seperti ilmu nujum, sihir, dan ilmu
perdukunan. Bila ilmu ini dipelajari akan membawa mudharat bagi
yang memilikinya maupun orang lain dan akan meragukan
keberadaan Allah SWT.
Ilmu terpuji misalnya ilmu tauhid dan ilmu agama. Bila ilmu ini
dipelajari akan membawa orang kepada jiwa yang suci bersih dari

Modul Filsafat Pendidikan Islam 139


kerendahan dan keburukan serta dapat mendekatkan diri kepada
Allah SWT.
Ilmu terpuji pada taraf tertentu dan tidak boleh didalami karena
dapat mengakibatkan goncangan iman, seperti ilmu filsafat.
Dari ketiga kelompok ilmu tersebut, Al-Ghazali membagi lagi
menjadi dua bagian yang dilihat dari kepentingannya, yaitu:
Ilmu fardhu (wajib) yang harus diketahui oleh semua orang
Muslim, yaitu ilmu agama.
Ilmu fardhu kifayah yang dipelajari oleh sebagian Muslim untuk
memudahkan urusan duniawi, seperti: ilmu hitung, kedokteran,
teknik, ilmu pertanian dan industri.
c. Pendidik menurut Al-Ghazali
Dalam suatu proses pendidikan adanya pendidik merupakan
suatu keharusan. Pendidik sangat berjasa dan berperan dalam suatu
proses pendidikan dan pembelajaran sehingga Al-Ghazali
merumuskan sifat-sifat yang harus dimiliki pendidik diantaranya guru
harus cerdas, sempurna akal, dan baik akhlaknya; dengan
kesempurnaan akal seorang guru dapat memiliki ilmu pengetahuan
secara mendalam dan dengan akhlak yang baik dia dapat memberi
contoh dan teladan bagi muridnya.
Menurut Al-Ghazali, selain sifat-sifat umum di atas pendidik
hendaknya juga memiliki sifat-sifat khusus dan tugas-tugas tertentu
diantaranya: sifat kasih sayang, mengajar dengan ikhlas dan tidak
mengharapkan upah dari muridnya, menggunakan bahasa yang
halus ketika mengajar, mengarahkan murid pada sesuatu yang
sesuai dengan minat, bakat, dan kemampuan siswa, menghargai
pendapat dan kemampuan orang lain, mengetahui dan menghargai
perbedaan potensi yang dimiliki murid.
d. Peserta Didik Menurut Al-Ghazali
Dalam kaitannya dengan peserta didik, lebih lanjut Al-Ghazali
menjelaskan bahwa mereka merupakan hamba Allah yang telah

Modul Filsafat Pendidikan Islam 140


dibekali potensi atau fitrah untuk beriman kepada-Nya. Fitrah itu
sengaja disiapkan oleh Allah sesuai dengan kejadian manusia, cocok
dengan tabiat dasarnya yang memang cenderung kepada agama
Islam.
Ketika menjelaskan makna pendidikan kepada umat, Al-Ghazali
membagi manusia menjadi tiga golongan yang sekaligus
menunjukkan keharusan menggunakan metode dan pendekatan
yang berbeda pula, yaitu:
Kaum awam, yaitu orang yang cara berfikirnya sederhana
sekali. Dengan cara berfikir tersebut mereka tidak dapat
mengembangkan hakikat-hakikat. Mereka mempunyai sifat lekas
percaya dan menurut.Golongan ini harus dihadapi dengan sikap
memberi nasehat dan petunjuk.
Kaum pilihan, yaitu orang yang akalnya tajam dengan cara
berfikir yang mendalam. Kepada kaum pilihan tersebut harus
dihadapi dengan sikap menjelaskan hikmat-hikmat.
Kaum pendebat (ahl al-jidal), harus dihadapi dengan sikap
mematahkan argumen-argumen mereka.
Menurut Al-Ghazali, ketika menuntut ilmu peserta didik memiliki
tugas dan kewajiban, yaitu:
1) Mendahulukan kesucian jiwa.
2) Bersedia merantau untuk mencari ilmu pengetahuan.
3) Jangan menyombongkan ilmunya apalagi menentang guru.
4) Mengetahui kedudukan ilmu pengetahuan.
Dengan tugas dan kewajiban tersebut diharapkan seorang
peserta didik mampu untuk menyerap ilmu pengetahuan untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT.
e. Metode Pendidikan Menurut Al-Ghazali
Perhatian Al-Ghazali terhadap metode pengajaran lebih
dikhususkan bagi pengajaran pendidikan agama untuk anak-anak.
Untuk ini ia telah mencontohkan suatu metode keteladanan bagi

Modul Filsafat Pendidikan Islam 141


mental anak-anak, pembinaan budi pekerti, dan penanaman sifat-
sifat keutamaan pada diri mereka. Metode pengajaran menurut Al-
Ghazali dapat dibagi menjadi dua bagian antara pendidikan agama
dan pendidikan akhlak.
Metode pendidikan agama menurut Al-Ghazali pada prinsipnya
dimulai dengan hapalan dan pemahaman, kemudian dilanjutkan
dengan keyakinan dan pembenaran, setelah itu penegakan dalil-dalil
dan keterengan-keterangan yang menguatkan akidah.
Al-Ghazali berpendapat bahwa pendidikan agama harus mulai
diajarkan kepada anak-anak sedini mungkin sebab dalam tahun-
tahun tersebut, seorang anak mempunyai persiapan menerima
kepercayaan agama semata-mata dengan mengimankan saja dan
tidak dituntut untuk mencari dalilnya. Sementara itu berkaitan dengan
pendidikan akhlak, pengajaran harus mengarah kepada
pembentukan akhlak yang mulia. Al-Ghazali mengatakan bahwa
akhlak adalah suatu sikap yang mengakar di dalam jiwa yang akan
melahirkan berbagai perbuatan baik dengan mudah tanpa perlu
pemikiran dan pertimbangan.
D. Soal
1. Deskripsikan secara singkat riwayat hidup al-Ghazali?
2. Uraikan dan berikan tanggapan kritis terhadap konsep dasar
pendidikan Islam menurut Al-Ghazali?

Modul Filsafat Pendidikan Islam 142


DAFTAR PUSTAKA

H. Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendiidkan Islam: Telaah


Sistem Pendidikan dan pemikiran Para tokohnya, Jakarta:
Kalam Mulia, 2009
Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Terj. Ismail
Ya’qub, Semarang: Faizan, 1979.
H. Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: CV. Pustaka
Setia, 2011.
Hussein Bahreisj, Ajaran-ajaran Akhlak Imam Al-ghazali,
Surabaya: Al-Ikhlas, t.t.
Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka setia,
2009.

Modul Filsafat Pendidikan Islam 143


BAB XIV
PEMIKIRAN TOKOH PENDIDIKAN ISLAM SYED MUHAMMAD AN-
NAQUIB AL-ATTAS

Pendidikan merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia.


Pendidikan Islam dengan berbagai coraknya berorientasi memberikan
bekal kepada manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Oleh karena itu, semestinya pendidikan Islam selalu diperbaharui dalam
rangka merespon perkembangan zaman yang selalu dinamis, agar
peserta didik tidak hanya berorientasi pada kebahagiaan hidup setelah
mati, tetapi juga kebahagiaan hidup di dunia ini.
Dewasa ini, pendidikan Islam di seluruh dunia sedang
menghadapi tantangan yang sangat berat seiring dengan datangnya era
globalisasi dan informasi. Tidak dapat dipungkiri pengaruh Barat pada
dunia Islam sangat berperan dalam bidang pendidikan umat Islam.
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, termasuk salah satu pemikir
dan pembaharu pendidikan Islam yang memiliki ide-ide segar dan kritis
terhadap fenomena global tersebut. Al-Attas juga pakar dalam berbagai
bidang ilmu pengetahuan. Ia juga dianggap sebagai tokoh penggagas
Islamisasi ilmu pengetahuan yang mempengaruhi banyak tokoh lainnya.
Oleh karena itu, sudah sewajarnya pemikiran al-Attas ini untuk dipahami
dan dikritisi untuk memperluas wawasan interaksi pendidikan Islam dan
perkembangan dunia global saat ini.
A. Tujuan Pembelajaran Umum
1. Mahasiswa mampu mengetahui riwayat hidup Syed
Muhammad An-Naquib Al-Attas
2. Mahasiswa mampu memahami pemikiran Syed Muhammad
An-Naquib Al-Attas tentang pendidikan Islam
B. Tujuan Pembelajaran Khusus
1. Mahasiswa mampu mendeskripsikan riwayat hidup Syed
Muhammad An-Naquib Al-Attas

Modul Filsafat Pendidikan Islam 144


2. Mahasiswa mampu menganalisis dan mengkritisi pemikiran
Syed Muhammad An-Naquib Al-Attas tentang pendidikan
Islam
C. Uraian Materi
1. Riwayat singkat hidup Syed Muhammad An-Naquib Al-
Attas

Syed Muhammad Naquib Al-Attas dilahirkan di Bogor, Jawa


Barat pada tanggal 5 September 1931. Ketika berusia 5 tahun, Syed
Muhammad Naquib Al-Attas diajak orang tuanya migrasi ke Malaysia.
Disini Syed Muhammad Naquib Al-Attas dimasukkan ke pendidikan
dasar Ngge Heng Primary School sampai usia 10 tahun. Melihat
perkembangan yang kurang menguntungkan yakni ketika Jepang
menguasai Malaysia, maka Syed Muhammad Naquib Al-Attas dan
keluarga pindah ke Indonesia. Di sini, ia kemudian melanjutkan
pendidikan di sekolah ‘Urwah al-Wusqa, Sukabumi selama lima tahun.
Di tempat ini, Syed Muhammad Naquib Al-Attas mendalami dan
mendapatkan pemahaman tradisi Islam yang kuat, terutama tarekat.
Hal ini bisa dipahami, karena saat itu, di Sukabumi telah berkembang
perkumpulan terekat Naqsabandiyah.
Syed Muhammad Naquib Al-Attas sempat masuk Univesitas
Malaya selama 2 tahun. Berkat kecedasan dan ketekuananya, dia
dikirim oleh pemerintah Malaysia untuk melanjutkan studi di Institute of
Islamic Studies Mc. Gill, Canada. Dalam waktu relatif singkat, yakni
1959-1962, dia berhasil menggondol gelar master dengan
th
mempertahankan tesis Raniry and the Wujuddiyah of 17 Centhury
Acheh. Kemudian iamelanjutkan ke School of Oriental and African
Studies di Univesitas London.
Syed Muhammad Naquib Al-Attas pernah menjabat dijurusan
kajian Melayu pada Universitas Malaya. Hal ini dilaksanakan pada
tahun 1966-1970. Disini dia menekankan arti pentingnya kajian
Melayu sebab mengkaji sejarah Melayu dengan sendirinya juga

Modul Filsafat Pendidikan Islam 145


mendalami proses islamisasi di Indonesia dan Malaysia. Ia juga
mendirikan lembaga pengajaran dan penelitian khusus tentang
pemikiran Islam terutama filsafat sebagai jantung proses Islamisasi.
Gagasan tersebut disambut positif oleh pemerintah Malaysia,
sehingga pada tanggal 22 November 1978 berdirilah secara resmi
ISTAC (International Institute Of Islamic Thought and Civilization)
dengan Syed Muhammad Naquib Al-Attas sebagai ketuanya.
2. Pendidikan Islam menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas

a. Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan Islam tergantung pada tingkatannya masing-
masing, yaitu pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi. Jadi
setiap tingkatan pendidikan memiliki tujuan yang berbeda-beda
disesuaikan dengan taraf penerimaan dari peserta didik dan bersifat
berkelanjutan secara dinamis dan saling berkaitan.
Al-Attas berpendapat terma tarbiyah lebih menonjolkan
perkembangan fisik material dan unsur-unsur kasih sayang serta hal-
hal yang konkret. Oleh karena itu ciri-ciri pendidikan ini sangat cocok
diterapkan pada pendidikan tingkat dasar/ kanak-kanak atau lebih
konkret sesuai dengan istilah yang dipakai untuk proses pendidikan
tingkat taman kanak-kanak dan Sekolah Dasar.
Term ta’lim bermakna lebih universal dari tarbiyah, lebih cocok
digunakan untuk pendidikan menengah, atau pada usia remaja dan
menjelang dewasa (SLTP dan SLTA). Terma ta’dib diperuntukkan
pada proses pematangan /penyempurnaan pendidikan. Term ini
sangat cocok pada jenjang pendidikan untuk dewasa (Perguruan
Tinggi).
Dengan demikian, pendidikan Islam merupakan serangkaian
upaya yang mengantarkan manusia (peserta didik) pada derajat
kesempurnaan (insan kamil). Kesempurnaan yang diinginkan oleh
Islam bukan hanya didunia atau hanya diakhirat saja, melainkan

Modul Filsafat Pendidikan Islam 146


kedua-duanya harus seimbang proporsinya. Singkatnya menjadi
khalifah fil ard (memakmurkan dunia).
b. Subyek Didik
1) Pendidik
Sifat utama yang harus ada pada diri pendidik adalah niat
yang lurus dan teladan. Niat yang lurus adalah menjalankan
tugas/amanah semata-mata sebagai ibadah kepada Allah.
Sementara sikap teladan akan menghasilkan asumsi positif bagi
peserta didik dari pendidik.
Pendidikan Islam ditempuh dengan landasan dan sumber
yang jelas, yang pemahaman dan penafsiran serta penjelasannya
membutuhkan ilmu pengetahuan yang benar-benar otoritatif. Al-
Qur’an sendiri menyerukan manusia untuk menyerahkan amanah
kepada yang otoritatif dibidangnya. Oleh karena itu, peran seorang
guru dianggap sangat penting dalam membantu peserta didik untuk
mencapai tujuan pendidikan yang diharapkannya.
Pendidik harus berpegang pada asas utamanya sebagai
pengemban amanah yang menuntun arah dan tujuan yang hendak
dicapai. Sesuai dengan tujuan pendidikan yang diformulasikan Al-
Attas, ta’dib ialah pembentukan Akhlak. Maka pendidik harus terlebih
dahulu menjadi sosok teladan yang patut, berwibawa, dan taat pada
perintah Allah SWT.
2) Peserta Didik
Peserta didik hendaklah tidak tergesa-gesa dalam belajar,
tetapi perlu menyiapkan waktu untuk mencari guru yang terbaik pada
bidang yang digemarinya. Sangat penting juga bagi pencari ilmu
untuk mencari guru yang memiliki reputasi yang tinggi untuk
memperoleh gelar tertentu.
Al-Ghazali mengingatkan agar peserta didik tidak merasa
sombong, namun tetap menghargai mereka yang telah membantu

Modul Filsafat Pendidikan Islam 147


dalam mencapai kebijaksanaan, kesuksesan dan kebahagiaan dan
tidak hanya memandang mereka yang terkenal.
Jadi, peserta didik bebas untuk menentukan kepada siapa dan
dimana ia ingin menggali ilmu yang diinginkanya, namun dengan
memperhatikan kualitas/mutu seorang guru atau lembaga
pendidikan yang akan mengantarkannya untuk mencapai tujuan
tersebut agar tidak lepas dari hakikat utama pembelajaran, yakni
mencapai derajat Insan Kamil. Disini tergambar bahwa seorang
pendidik terhadap peserta didik merupakan motivator (pendorong),
reinforce (pemberdaya), dan instructor (pelatih) yang mengarahkan
peserta didik.
3) Kurikulum
Kurikulum merupakan parangkat lunak lembaga pendidikan.
Menurut Muhammad Naquib Al-Attas, kurikulum pendidikan Islam
adalah upaya peserta didik dalam mencapai tujuan pendidikannya
yakni insan kamil, sementara manusia secara natural memiliki dua
sisi yakni fisik dan spiritual. Oleh karena itu, kurikulum pendidikan
Islam harus memenuhi dual hal tersebut yaitu aspek fisikal yang
berhubungan dengan pengetahuanya ilmu-ilmu fisikal dan teknikal
atau fardu kifayah, sedangkan keadaan spiritualnya berhubungan
dengan ilmu inti atau fardu ‘ain.
Naquib al-Attas memetakan dua ilmu tersebut sebagai berikut;
a. Fardu ain (ilmu-ilmu Agama) terdiri dari al-Qur’an, sunnah, syariat,
teologi, metafisika Islam, dan ilmu bahasa. b. Fardu kifayah terdiri
dari ilmu kemanusiaan, ilmu alam, ilmu terapan, ilmu teknologi,
perbandingan agama, ilmu linguistik, dan sejarah Islam.
4) Metode Pendidikan Islam
Dalam filsafat pendidikan Islam, Al-Attas memiliki metode
khusus karena tujuan utama pendidikan Islam al-Attas adalah
penanaman ta’dib, bukan tarbiyah dan bukan juga ta’lim. Aspek yang
akan menjadi bahasan disini adalah: persiapan spiritual, pendidik

Modul Filsafat Pendidikan Islam 148


dan peserta didik, fungsi bahasa, metode tauhid, fungsi panca indra
serta metafora dan cerita.
a. Persiapan Spiritual
Persiapan spiritual yang dimaksudkan disini adalah setiap
tindakan harus didahului oleh niat yang ikhlas. Pencari ilmu
hendaknya memperhatikan niat yang ingin dicapai dalam
mempelajari sebuah disiplin ilmu, agar apa yang diharapkan akan
tercapai dan proses pencapaiannya pun senantiasa dalam ridha
Allah SWT. dan nantinya akan berbuah manfaat.
b. Bahasa
Al-Attas menyadari pentingnya peranan bahasa sebagai alat
dan sarana yang mendasar dalam pendidikan agama, kebudayaan
dan peradaban. Al-Attas selalu menganalisis bahasa dan
menjelaskan bahasa secara benar, khususnya dalam bahasa
“rumpun Islam” sehingga makna yang benar mengenai istilah dan
konsep kunci Islam yang termuat didalamnya tidak berubah atau
dikacaukan. Singkatnya peranan bahasa bagi Al-Attas sangat
penting sehingga ia mengharapkan kaum terpelajar muslim untuk
memusatkan perhatian pada misteri bahasa Arab dan bahasa asing
lainnya. Begitu juga dalam proses pencarian ilmu pengetahuan,
kedudukan bahasa sebagai alat dan sarana komunikasi tidak dapat
dinafikan.
c. Metode Tauhid
Salah satu karakteristik dan epistimologi Islam yang dijelaskan
secara inklusif dan telah dipraktikkan oleh Al-Attas adalah metode
tauhid dalam pencapaian ilmu pengetahuan. Metode ini sering
dipertanyakan pada cara mengimplikasikan konsep-konsep dan
prinsip-prinsip etika dalam kehidupan profesi pribadi mereka. Dalam
hal ini Al-Attas hanya menggaris bawahi bahwa jika seseorang telah
benar-benar memahami ini semua, maka hal itu akan bisa diatasi

Modul Filsafat Pendidikan Islam 149


sebab tidak ada dikotomi antara apa yang dianggap teori dengan
praktik, kecuali kalau terhalang oleh faktor eksternal.
d. Metafora dan Cerita
Salah satu ciri khas dalam konsepsi pendidikan Al-Attas pada
metode pendidikan Islam yaitu penggunaan metafora dan cerita
sebagai contoh atau perumpamaan yang disampaikan secara lisan
(ceramah) maupun tindakan, sebuah metode yang juga banyak
terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis. Efektivitas penggunaan metode
ini sudah tidak diragukan lagi. Al-Attas pada karyanya Rangkaian
Ruba’at, menggunakan metafora cermin yang biasa dipakai oleh
para sufi pada masa lampau, untuk menyimbolkan dunia yang
diciptakan ini sebagai cerminan dari realitas Absolut.
e. Media
1) Panca indera
Pada diri manusia terdapat lima alat penginderaan eksternal
yang diantaranya adalah perasaan untuk meraba, merasa, mencium,
melihat serta indera untuk mendengar. Memanfaatkan indera secara
maksimal akan menjadi upaya yang efektif untuk menangkap
pembelajaran yang ada di sekitar tempat tinggal peserta didik.
2) Ruang belajar
Salah satu faktor penunjang yang sangat penting dalam
proses pembelajaran adalah ruang belajar yang memenuhi standar
kelayakan selama proses pembelajaran berlangsung, keadaan yang
nyaman dapat mempengaruhi pencapaian hasil belajar yang
dilakukan. Selain itu letak yang strategis dan lingkungan, juga ikut
mendukung proses pencapaian hasil dari pembelajaran, dan ide
desain semacam ini telah diterapkan Al-Attas pada kampus ISTAC
sejak awal berdirinya.
3) Perpustakaan
Perpustakaan merupakan unsur atau kebutuhan yang sangat
penting dalam pengembangan ilmu. Literatur yang lengkap akan

Modul Filsafat Pendidikan Islam 150


membantu peserta didik dalam menguasai keilmuan yang luas dan
menjawab segala persoalan yang dihadapinya.
4) Labolatorium
Labolatorium praktik merupakan sarana yang efektif dalam
meningkatkan keterampilan peserta didik dalam merealisasikan
setiap bidang keilmuan yang memerlukan praktik untuk menunjang
skill-nya.
D. Soal
1. Deskripsikan secara singkat riwayat hidup Syed Muhammad
Naquib Al-Attas?
2. Bagaimana pendidikan Islam menurut Syed Muhammad
Naquib Al-Attas dan berikan tanggapan kritis tentang ini?

DAFTAR PUSTAKA

H.Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendiidkan Islam: Telaah


Sistem Pendidikan dan pemikiran Para tokohnya, Jakarta:
Kalam Mulia, 2009.
Syed Muhammad Al-Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam
Islam, Bandung: Mizan, 1988
Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, , Bandung: Pustaka setia,
2009
Aminullah Elhady, “Naquib Al-Attas : Islamisasi Ilmu,” dalam A.
Khuduri, Pemikiran Islam Kontemporer, Yogyakarta: Jendela,
2003.
Syed Muhammah Naquib Al-Attas, The Concept of Education in
Islam, Terj. Haidar Bagir, Konsep Pendidikan dalam Islam,
Bandung: Mizan, 1988.

Modul Filsafat Pendidikan Islam 151


BAB XV
PEMIKIRAN TOKOH PENDIDIKAN ISLAM HASAN LANGGULUNG

Indonesia sebagai negara besar yang mayoritas berpenghuni


muslim tentu tidak bisa lepas dari pengaruh pendidikan Islam.
Dinamika pendidikan Islam di Indonesia ini telah melahirkan
beberapa pemikir muslim yang khas nusantara, diantaranya adalah
Hasan Langgulung. Hassan Langgung dengan keunikan pemikiran
pendidikan Islamnya tentu perlu direfleksikan agar bisa diapresiasi dan
dikritisi untuk perkembangan pendidikan Islam Indonesia ke depan.
A. Tujuan Pembelajaran Umum
1. Mahasiswa mampu mengetahui riwayat Hasan Langgulung
2. Mahasiswa mampu memahami pendidikan Islam Hasan
Langgulung
B. Tujuan Pembelajaran Khusus
1. Mahasiswa mampu menguraikan riwayat hidup Hasan
Langgulung
2. Mahasiswa mampu mendeskripsikan dan mengkritisi
pemikiran pendidikan Islam Hasan Langgulung
C. Uraian Materi
1. Riwayat hidup Hasan Langgulung
Nama lengkapnya adalah Hasan Langgulung, lahir di Rappang,
Sulawesi Selatan pada tanggal 16 Oktober 1934. Ayahnya bernama
Langgulung dan ibunya bernama Aminah Tanrasuh.
Hasan Langgulung memulai pendidikan dasarnya di Sekolah
Rakyat (SR) di Rappang, Sulawesi Selatan. Kemudian melanjutkan
jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Islam dan Sekolah Guru
Islam di Makasar sejak tahun 1949 sampai tahun 1952 serta
menempuh B.I. Inggris di Ujung Pandang, Makasar.
Perjalanan pendidikan internasionalnya dimulai ketika ia
memutuskan hijrah ke Timur Tengah untuk menempuh pendidikan

Modul Filsafat Pendidikan Islam 152


sarjana muda atau Bachelor of Arts (BA) dengan spesialisasi Islamic
and Arabic Studies yang beliau peroleh dari Fakultas Dar al-Ulum,
Cairo University, Mesir pada tahun 1962. Setahun kemudian ia sukses
mendapat gelar Diploma of Education dari Ein Shams University,
Kairo. Di Ein Shams University Kairo pula ia mendapatkan gelar
M.A.dalam bidang Psikologi dan Kesehatan Mental (Mental Hygiene)
pada tahun 1967.
Sebelumnya, ia juga sempat memperoleh Diploma dalam
bidang Sastra Arab Modern dari Institute of Higher Arab Studies, Arab
League, Kairo, yaitu di tahun 1964. Kecintaan dan kehausan Hasan
Langgulung pada ilmu pengetahuan tak membuatnya puas dengan
apa yang telah ia peroleh di Timur Tengah. Beliau pun melanjutkan
pengembaraan intelektualnya dengan pergi ke Barat. Hasilnya gelar
Doctor of Philosophy (Ph.D) dalam bidang Psikologi diperoleh dari
University of Georgia, Amerika Serikat di tahun 1971. Semasa kuliah
Hasan Langgulung tak hanya mengasah daya intelektualnya, saat itu
ia pun sudah menunjukkan talenta sebagai seorang aktivis dan
seorang pendidik. Hal ini dapat dibuktikan ketika ia diberi kepercayaan
sebagai Ketua Mahasiswa Indonesia di Kairo tahun 1957. Antara
tahun 1957 hingga 1967 ia mengemban amanah sebagai Kepala dan
Pendidik Sekolah Indonesia di Kairo. Kemampuan organisatorisnya
semakin matang ketika ia menjadi Wakil Ketua Mahasiswa Indonesia
di Timur Tengah (1966-1967). Pada tanggal 22 September 1972,
Hasan Langgulung menikahi seorang perempuan bernama Nuraimah
Mohammad Yunus. Pasangan ini dikaruniai dua orang putera dan
seorang puteri, yaitu Ahmad Taufiq, Nurul Huda, dan Siti Zakiah.
Keluarga ini tinggal di sebuah rumah di Jalan B 28 Taman Bukit,
Kajang, Malaysia.

Modul Filsafat Pendidikan Islam 153


a. Riwayat Pekerjaan Hasan Langgulung
Selepas kuliah aktivitas beliau semakin padat. Ia seringkali
menghadiri berbagai persidangan dan konferensi baik sebagai
pembicara ataupun peserta yang diadakan di dalam maupun di luar
negeri seperti di Amerika Serikat, Jepang, Australia, Fiji, Timur
Tengah, Eropa, dan negara-negara di wilayah ASEAN.
Pengalamannya sebagai pengajar dan pendidik dimulai sejak ia
masih kuliah di Mesir, yaitu sebagai kepala sekolah Indonesia di
Kairo (1957-1968). Saat di Amerika Serikat, ia pernah dipercaya
sebagai asisten pengajar dan dosen di University of Georgia (1969-
1970) dan sebagai asisten peneliti di Georgia Studies of Creative
Behaviour, University of Georgia, Amerika Serikat (1970-1971).
Asisten Profesor di Universitas Malaya, Malaysia (1971-1972). Ia juga
pernah diundang sebagai Visiting Professor di University of Riyadh,
Saudi Arabia (1977-1978), Visiting Professor di Cambridge University,
Inggris, serta sebagai konsultan psikologi di Stanford Research
Institute, Menlo Park, California, Amerika Serikat. Selain sebagai
pengajar, peneliti dan konsultan, beliau juga menggeluti dunia
jurnalistik. Ia tercatat sebagai pimpinan beberapa majalah seperti
pemimpin redaksi majalah Jurnal Pendidikan yang diterbitkan oleh
Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM). Anggota tim redaksi pada
majalah Akademika untuk Social Sciences and Humanities, Kuala
Lumpur. Anggota redaksi majalah Peidoprise, Journal for Special
Education, yang diterbitkan di Illinois, Amerika Serikat. Beliau juga
tercatat sebagai anggota American Psychological Association (APA)
dan American Educational Research Association Muslim. Beliau
pernah mengajar di Universiti Kebangsaan Malaysia sebagai
professor senior dalam beberapa tahun dan sekarang beliau
mengajar di Universiti Islam AntaraBangsa Kuala Lumpur, Malaysia
juga sebagai professor senior (2002). Beliau mendapatkan
penghargaan Profesor Agung (Royal Profesor) pada tahun 2002 di

Modul Filsafat Pendidikan Islam 154


Kuala Lumpur, Malaysia oleh masyarakat akademik dunia. Prof. Dr.
Hasan Langgulung menerima berbagai macam penghargaan
internasional. Namanya tercatat dalam berbagai buku penghargaan
seperti: Directory of American Psychological Association, Who’s Who
in Malaysia, International Who’s Who of Intellectuals, Who’s Who in
The World, Directory of International Biography, Directory of Cross-
Cultural Research and Researches, Men of Achievement, The
International Book of Honor, Directory of American Educational
Research Association, The International Register Profiles, Who’s
Who in The Commonwealth, Asia Who’s Who of Men and Women of
Achievement and Distinction, Community Leaders of The World,
Progressive Personalities in Profile dan beberapa penghargaan
lainnya.
b. Karya-karya Hasan Langgulung
Hasan Langgulung telah menghasilkan puluhan karya ilmiah
dengan menggunakan bahasa Indonesia (Melayu), bahasa Arab
maupun bahasa Inggris berupa karya terjemahan, buku, makalah dan
berbagai artikel yang tersebar di berbagai majalah di dalam dan luar
negeri. Tulisannya membahas berbagai macam persoalan yang
berkisar tentang pendidikan, psikologi, filsafat dan Islam. Di antara
karya-karyanya tersebut, yaitu:
1. Thesis M.A. : Al-Murahiq al-Indonesiy; Ittijahatuh wa Darajatu
tawafuq Indahu (Remaja Indonesia; Sikap dan
Penyesuaiannya)
2. Disertasi Ph.D. : A Cross-Cultural Study of The Child’s
Conception of Situational Causality in India, Western Samoa,
Mexico, and The United States, kemudian diterbitkan oleh
Journal of Social Psychology: USA, 1973
3. The Development of Causal Thinking of Children in Mexico
and The United States, USA: The Journal of Cross-Cultural
Studies, 1973

Modul Filsafat Pendidikan Islam 155


4. The Curriculum Reform of General Education in Higher
Education in Southeast Asia, Bangkok: ASAIHL, 1974
5. The Self; Concept of Indonesian Adolescene, Malaysia: Jurnal
Pendidikan,1975
6. Social Aims and Effect of Higher Education, Kuala Lumpur:
Economic &Business Student’s Association in Southeast Asia,
1973
7. Beberapa Aspek Pendidikan Ditinjau dari Segi Islam, Kuala
Lumpur: MajalahAzzam, 1974
8. Belia, Pendidikan dan Moral, Kuala Lumpur: Dewan
Masyarakat, 1977
9. Al-Ghazali dan Ibnu Thufail Vs Rousseau dan Pioget, Kuala
Lumpur: Majalah Jihad, 1976
10. Pendidikan Islam akan Kemana?, Kuala Lumpur: Cahaya
Islam, 1977
11. Peranan Ibu-Bapa dalam Pendidikan Keluarga, Kuala Lumpur:
Al-Ihsan,1977
12. Falsafah Pendidikan Islam, terjemahan dari karya Omar
Mohammad al-Toumy al-Syaibany, Jakarta: Bulan Bintang,
1979
13. Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, Bandung: Al-
Ma.arif, 1980
14. Pendidikan dan Peradaban Islam, Jakarta: Pustaka Al Husna,
1985, Cet III

2. Pendidikan Islam menurut Hasan Langgulung


a. Pengertian Pendidikan Islam
Pendidikan Islam (al-Tarbiyah al-Islamiyah) menurut Hasan
Langgulung adalah kerangka pemikiran yang menangani berbagai
masalah-masalah pengajaran dan konsep-konsep pendidikan
dalam asas-asas teoritisnya dan media praktisnya seperti yang

Modul Filsafat Pendidikan Islam 156


dinyatakan di dalam al-Qur’an dan Sunnah sebagai dasar pokok,
kemudian menerima sumbangan-sumbangan pemikiran (al-Turats
al-Fikr) yang telah dibawa pakar-pakar dalam berbagai bidang
seperti ulama-ulama fiqih, ulama-ulama hadis, ulama-ulama
falsafah dan ahli-ahli fikir Islam sepanjang sejarah.
b. Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan Islam adalah mengembangkan fitrah
peserta didik, baik ruh, fisik, kemauan, dan akalnya secara
dinamis, sehingga akan terbentuk pribadi yang utuh dan
mendukung bagi pelaksanaan fungsinya sebagai khalifah fi al-
ardh.
c. Kurikulum Pendidikan Islam
Hasan langgulung menjelaskan bahwa kurikulum
pendidikan Islam itu harus didasarkan pada fungsi agama bagi
Islam dalam kehidupan masyarakat dan individu pada umumnya
yang dapat disimpulkan sebagai berikut : pertama, fungsi spiritual
yang berkaitan dengan akidah dan iman; kedua, fungsi psikologis
yang berkaitan yang berkaitan dengan tingkah laku individual
termasuk nilai-nilai akhlak yang mengangkat manusia ke derajat
yang lebih sempurna; ketiga, fungsi sosial yang berkaitan dengan
aturan-aturan yang menghubungkan manusia dengan manusia
lainnya atau masyrakat, karena masing-masing menyadari hak-
hak dan tanggung jawabnya untuk membentuk masyarakat yang
harmonis dan seimbang.
Ketiga fungsi agama diatas menurut Hasan Langgulung
harus tergambar dalam tujuan pendidikan Islam khususnya
disekolah menengah.
Lebih lanjut ia berbicara bahwa tujuan pokok pendidikan
islam tersimpul dalam kata fadhilah (sifat yang utama).
Sedangkan jiwa pendidikan Islam adalah pendidikan akhlak,

Modul Filsafat Pendidikan Islam 157


sebab tujuan pertama dan utama pendidikan Islam adalah
menghaluskan akhlak dan mendidik jiwa.
d. Metode
Menurut Hasan Langgulung metode pengajaran adalah
jalan untuk mencapai tujuan. Jadi jalan itu bermacam-macam,
begitu juga dengan metode. Tidak ada metode yang terbaik untuk
segala pelajaran. Mungkin ada yang baik untuk mata pelajaran
tertentu oleh guru tertentu tetapi belum tentu untuk metode dan
guru yang berbeda.
Lebih jauh, Hasan Langgulung menjelaskan bahwa
pelajaran agama Islam sendiri terdiri dari beberapa segi. Ada segi
kognitif, seperti fakta-fakta sejarah, syarat dan rukun sembahyang
dan ibadah lainnya. Ini adalah fakta yang tidak berubah. Metode
yang digunakan tentunya metode yang digunakan dalam
mengajarkan fakta-fakta seperti fakta dalam ilmu lain.
Aspek agama yang lebih penting adalah akhlak yang
termasuk dalam kawasan afektif atau tingkah laku (behavioral).
Metode yang digunakan tidak bisa digunakan seperti metode
pengajaran yang berhubungan dengan fakta atau ranah kognitif.
Demikian juga penggunaan alat-alat belajar, bisa
digunakan peta-peta dan gambar-gambar untuk materi zakat dan
haji. Jadi, metode pengajaran bersifat kondisional dan situasional.
e. Pendidik
Pendidik adalah orang yang mengarahkan manusia kepada
kehidupan yang baik sehingga terangkat derajat kemanusiaannya
sesuai dengan kemampuan dasar yang dimiliki oleh manusia.
Menurut Hasan Langgulung, dalam pendidikan Islam pendidik
bisa disebut dengan murabbi (pemelihara), mu’allim (pengajar)
dan muaddib (pembentuk adab).

Modul Filsafat Pendidikan Islam 158


f. evaluasi
Evaluasi adalah tindakan atau proses untuk menentukan
nilai seseuatu. Hasan Langgulung menjelaskan bahwa evaluasi
berhubungan erat dengan tujuan pendidikan Islam. Penilaian
berusaha menentukan apakah tujuan pendidikan itu sudah
tercapai. Ia mencontohkan evaluasi pendidikan itu seperti evaluasi
menyetir mobil yaitu mulai dari starter, menekan gas, rem, isyarat
lampu dan lain-lain. Jadi semua harus diperiksa apakah masih
ada membuat kesalahan atau tidak.

D. Soal
1. Uraikan secara singkat riwayat hidup Hasan Langgulung ?
2. Deskripsikan pemikiran pendidikan Islam Hasan Langgulung
dan berikan tanggapan kritis terhadapnya!

DAFTAR PUSTAKA

Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta:


Pustaka al-Husna, 1992
Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan
Islam, Jakarta: Al-Husna, 1987.
H. Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: CV. Pustaka
Setia, 2011.
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan Jakarta: Gaya
Media Pratama, 1997.
H.Ramayulis dan Samsul Nizar,Filsafat Pendiidkan Islam,:Telaah
Sistem Pendidikan dan pemikiran Para tokohnya, Jakarta:
Kalam Mulia, 2009

Modul Filsafat Pendidikan Islam 159

Anda mungkin juga menyukai