Anda di halaman 1dari 79

TOLERANSI DAN MENGHARGAI

PERBEDAAN

Disusun Oleh :
MAULIDYA PUTRI NAYLA
9B/16

SMPN 3 Jember

1
KATA PENGANTAR

‫ميهحهرٱل ۡح ٰ َمنِرٱل هلٱّل بِ ۡس ِم‬

Dengan menyebut nama Allah Swt Yang Maha Penyayang dan Maha Pemurah. Puji
serta syukur sentiasa dipanjatkan kehadirat Ilahi, atas semua nikmat yang telah
dilimpahkan kepada penulis. Dari karunia-Nya yang melimpah sehingga penulisan
makalah ini dapat terselesaikan. Salawat beriring salam tidak luput penulis curahkan
kepada baginda nabi besar Muhammad Saw beserta ahli keluarganya dan sahabatnya,
karena dengan jerih payah perjuangan nabi, keluarganya dan sahabatnya membawa
risalah suci, sehingga umat Islam hari ini dapat merasai nikmat iman.
Suatu keniscayaan dan sebuah realita, bahwa tidak ada manusia yang sempurna.
Demikian pula dalam penulisan karya ini agar terhindar dari kesalahan dengan dibantu
oleh pihak yang selayaknya.

Jember, 19 November 2018

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................2


DAFTAR ISI ................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................4
A.  Latar Belakang ...................................................................................................4
B.  Tujuan dan Manfaat ...........................................................................................4

BAB II TOLERANSI DALAM KEHIDUPAN .........................................................5


A.  Pengertian Toleransi ..........................................................................................5
B.  Toleransi Antar Umat Beragama .......................................................................5
C.  Penerapan Toleransi dalam Kehidupan Sehari-hari ..........................................15
D.  Hikmah Bertoleransi Dalam Kehidupan Sehari-Hari ........................................17
E.   Fungsi Toleransi ................................................................................................21
F.   Hadits Hadits Tentang Toleransi .......................................................................26
G. Upaya Melakukan Toleransi ..............................................................................39
H. Pentingnya Menghargai Perbedan Dalam Islam.................................................45
I. Ayat Tentang Menghargai Perbedaan................................................................52
J. Persoalan dalam Masyarakat Multikultural .......................................................54
K. Implementasi Toleransi di Sekolah dan Masyarakat .........................................65

BAB III PENUTUP ......................................................................................................75


A. Kesimpulan ........................................................................................................75
B.  Saran ..................................................................................................................75

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................76

3
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari, terkadang kita egois, kita mempunyai pendapat namun
pendapat kita haruslah diterima oleh orang lain. Atau terkadang kita memaksakan
kehendak terhadap orang lain untuk mau melakukan hal yang sama dengan kita.
Untuk menghindari itu semua, kita harus mempunyai sikap toleransi, sikap tenggang
rasa, agar tidak terjadi rasa saling tidak suka antar sesama. Jika toleransi ada dalam
setiap diri kita, Insya Allah dalam bergaul di lingkungan baik sekolah maupun
masyarakat akan menjadi lebih baik.
Untuk itulah kami mengangkat tema toleransi dalam makalah ini. Semoga dapat diterima
dan dapat dijadikan inspirasi untuk berbuat lebih baik.

B. Tujuan Dan Manfaat


1. Tujuan
a. Menambahkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. ;
b. Agar lebih dapat meneladani sikap Rasulullah SAW. ;
c. Menambah wawasan ;
d. Agar mengetahui lebih dalam mengenai toleransi ;
e. Menerapkan toleransi dalam kehidupan sehari-hari;
f. Menghadirkan sikap toleransi dalam bergaul.
2. Manfaat
a. Menambah keilmuan tentang ajaran Islam ;
b. Dapat memahami materi toleransi ;
c. Hati menjadi tenang dengan adanya sikap toleransi ;
d. Lebih menghargai suatu hal apapun ;
e. Mempunyai pendirian kuat dengan tidak merendahkan orang lain ;

4
BAB 2
TOLERANSI DALAM KEHIDUPAN

A. Pengertian Toleransi
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, toleransi secara bahasa (etimology)
berasal dari kata “toleran” (Inggris: tolerance; Arab: tasamuh, Belanda: tolerantie,)
Toleran mengandung pengertian bersikap mendiamkan. Adapun toleransi adalah suatu
sikap tenggang rasa, batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih
diperbolehkan, kesabaran, ketahanan emosional, dan kelapangan dada, sifat menenggang
(menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan,
kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan
dengan pendirian sendiri.[1] Dalam bahasa Arab, sebagaimana yang dijelaskan oleh
Ahmad Warson Munawwir, bahwa toleransi biasa disebut tasamuh yang memiliki akar
kata samuha- yasmuhu-samhan,wa simaahan,wa samaahatan, artinya adalah sikap
membiarkan dan lapang dada, murah hati, dan suka berderma.[2] Sedangkan menurut
istilah (terminology), Indrawan WS. menjelaskan bahwa pengertian toleransi adalah
menghargai paham yang berbeda dari paham yang dianutnya sendiri; Kesediaan untuk
mau menghargai paham yang berbeda dengan paham yang dianutnya sendiri.[3] Sedang
dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, W.J.S Poerwadarminta mendefinisikan toleransi
dengan “sifat atau sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan)
pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dan sebagainya) yang
lain atau bertentangan dengan pendiriannya sendiri, misalnya toleransi agama (ideologi,
ras, dan sebagainya).[4]
Dengan memperhatikan definisi dari para ahli di atas, penulis menyimpulkan
bahwa toleransi beragama adalah sikap sabar dan menahan diri untuk tidak mengganggu
dan tidak melecehkan agama atau sistem keyakinan dan ibadah penganut agama-agama
lain.

B. Toleransi dalam Islam


Dalam kamus filsafat dijelaskan bahwa toleransi adalah sikap seseorang yang
bersabar terhadap keyakinan filosofis dan moral orang lain yang dianggap berbeda, dapat
disanggah bahkan keliru. Dengan sikap itu, ia juga tidak mencoba menghapuskan

5
ungkapan-ungkapan yang sah dari keyakinan-keyakinan orang lain. Sikap seperti ini
tidak berarti setuju terhadap keyakinan-keyakinan tersebut. Selain itu, tidak berarti juga
acuh tak acuh terhadap kebenaran dan kebaikan, dan tidak harus didasarkan atas
pemahaman ada tidaknya Tuhan (agnotisisme) atau paham keraguan (skeptisisme),
melainkan lebih pada sikap hormat terhadap maratabat manusia yang bebas.[5]
Toleransi yang positif adalah toleransi yang ditumbuhkan oleh kesadaran yang bebas dari
segala macam tekanan atau pengaruh, serta terhindar dari sikap munafik (hipokrasi). Oleh karena
itu, pengertian toleransi beragama adalah pengakuan adanya kebebasan setiap warga untuk
memeluk agama yang menjaga keyakinan dan kebebasannya untuk menjalankan ibadahnya.
Toleransi beragama menuntut kejujuran, kebesaran jiwa, kebijaksanaan dan tanggung jawab
sehingga menumbuhkan perasaan solidaritas dan mengeliminasi egoisme golongan. Toleransi
beragama bukanlah sesuatu yang dapat dicampuradukan, melainkan mewujudkan ketenangan,
saling menghargai, bahkan sebenarnya lebih dari itu, antar pemeluk agama harus dibina untuk
gotong-royong dalam membangun masyarakat kita sendiri dan demi kebahagiaan bersama.
Toleransi dalam pergaulan hidup antar umat beragama berpangkal dari penghayatan ajaran
agama masing-masing. Demi memelihara kerukunan beragama, sikap toleransi perlu
dikembangkan guna menghindari konflik. Dan biasanya konflik antar umat beragama muncul
disebabkan oleh sikap merasa paling benar (truth claim) dengan cara mengeliminasi kebenaran
dari orang lain.[6]
Al-Qur’an tidak pernah menyebut-nyebut kata toleransi (tasamuh) secara tersurat (eksplisit)
sehingga kita tidak akan pernah menemukan kata tersebut termaktub di dalamnya. Namun, secara
tersirat (implisit) al-Qur’an menjelaskan konsep toleransi dengan segala batasan-batasannya
secara jelas dan gamblang. Oleh karena itu, ayat-ayat yang menjelaskan tentang konsep toleransi
dapat dijadikan rujukan dalam mengimplementasikan toleransi dalam kehidupan.
Dari kajian bahasa di atas, toleransi mengarah kepada sikap terbuka dan mau mengakui
adanya berbagai macam perbedaan, baik dari sisi suku bangsa, warna kulit, bahasa, adat-istiadat,
budaya, bahasa, serta agama. Ini semua merupakan fitrah dan sunnatullah yang sudah menjadi
ketetapan Tuhan. Landasan dasar pemikiran ini adalah firman Allah dalam QS. Al-Hujurat ayat
13:
“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.
(QS. Al-Hujurat: 13)
Tidak ada satu pun manusia yang mampu menolak sunnatullah ini. Dengan demikian, sudah
selayaknya bagi manusia untuk mengikuti petunjuk Tuhan dalam menghadapi perbedaan-

6
perbedaan itu. Toleransi antar umat beragama yang berbeda termasuk dalam salah satu risalah
penting yang ada dalam sistem teologi Islam. Karena Tuhan senantiasa mengingatkan kita akan
keragaman manusia, baik dilihat dari sisi agama, suku, warna kulit, adat-istiadat, dan lain
sebagainya.
Toleransi dalam beragama bukan berarti hari ini kita boleh bebas menganut agama tertentu
kemudian esok hari kita menganut agama yang lain, atau dengan bebasnya mengikuti ibadah dan
ritualitas semua agama tanpa adanya peraturan yang mengikat. Akan tetapi, toleransi beragama
harus dipahami sebagai bentuk pengakuan kita akan adanya agama-agama lain selain agama kita
dengan segala bentuk sistem dan tata cara peribadatannya, dan memberikan kebebasan untuk
menjalankan keyakinan agama masing-masing.
Islam lebih mengedepankan sikap keterbukaan (inklusif) dari pada kebencian dan
permusuhan. Ajaran Islam secara jelas melarang sikap menghujat dan mendiskreditkan agama
atau kelompok lain. Sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Hujarat ayat 11:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan
kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula
sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih
baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri[7] dan jangan memanggil dengan gelaran yang
mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman[8]
dan barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim”. (QS. Al-
Hujarat: 11)
Jadi, sikap kaum muslimin terhadap penganut agama lain sudah sangat jelas sebagaimana
yang telah diterangkan dalam ayat ini, yaitu berbuat baik kepada mereka dan tidak menajdikan
perbedan agama sebagai alasan untuka tidak menjalani hubungan kerja sama dengan mereka,
terlebih bersikap intoleran terhadap mereka. Karena Islam sama sekali tidak melarang
memeberikan bantuan kepada siapapun selama mereka tidak memusuhi orang Islam, tidak
melecehkan simbol-simbol keagamaan atau mengusir kaum muslimin dari negeri mereka. Kaum
muslim diwajibkan oleh al-Qur’an untuk melindungi rumah ibadah yang telah dibangun oleh
orang-orang non muslim, sebagaimana firman-Nya:
“(yaitu) orang-orang yang Telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang
benar, kecuali Karena mereka berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah”. dan sekiranya Allah tiada
menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah Telah dirobohkan
biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang
di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang
menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa”.
(QS.Al-Hajj: 40)
Dalam kaitannya dengan toleransi antar umat beragama, toleransi hendaknya dapat
dimaknai sebagai suatu sikap untuk dapat hidup bersama masyarakat penganut agama lain,

7
dengan memiliki kebebasan untuk menjalankan prinsip-prinsip keagamaan masing-masing, tanpa
adanya paksaan dan tekanan, baik untuk beribadah maupun tidak beribadah, dari satu pihak ke
pihak lain. Hal demikian, dalam tingkat praktek-praktek sosial, dapat dimulai dari sikap
bertetangga, karena toleransi yang paling hakiki adalah sikap kebersamaan antara penganut
keagamaan dalam praktek sosial dan kehidupan bertetangga serta bermasyarakat, bukan hanya
sekedar pada tataran logika dan wacana.
Sikap toleransi antar umat beragama bisa dimulai dari hidup bertetangga baik dengan
tetangga yang seiman dengan kita maupun tidak. Sikap toleransi dapat direfleksikan dengan cara
saling menghormati, saling memuliakan dan saling tolong-menolong. Sebagaimana yang telah
dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. ketika suatu hari beliau dan para sahabat sedang
berkumpul, kemudian lewatlah rombongan orang Yahudi yang mengantar jenazah dan Nabi saw.
langsung berdiri memberikan penghormatan. Seorang sahabat berkata: “Bukankah mereka orang
Yahudi wahai rasul?” Nabi saw. menjawab: “Ya, tapi mereka manusia juga”. Jadi sudah jelas,
bahwa sisi akidah atau teologi bukanlah urusan manusia, melainkan Allah swt. dan tidak ada
kompromi serta sikap toleran di dalamnya. Sedangkan kita bermu’amalah dengan mereka dari
sisi kemanusiaan.
Mengenai sistem keyakinan dan agama yang berbeda-beda, al-Qur’an menjelaskannya pada
ayat terakhir surat al-Kafirun yang berbunyi: “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.”
Bahwa prinsip menganut agama tunggal merupakan suatu keniscayaan. Tidak mungkin manusia
menganut beberapa agama dalam waktu yang sama, atau mengamalkan ajaran dari berbagai
agama secara simultan. Oleh sebab itu, al-Qur’an menegaskan bahwa umat Islam tetap
berpegang teguh pada sistem keesaan Allah secara mutlak, sedangkan orang kafir pada ajaran
ketuhanan yang ditetapkannya sendiri. Dalam ayat lain Allah swt. juga menjelaskan tentang
prinsip yang menyatakan bahwa setiap pemeluk agama mempunyai sistem dan ajaran masing-
masing sehingga tidak perlu saling menghujat.
Pada taraf ini, konsepsi tidak menyinggung agama kita dan agama selain kita, juga
sebaliknya. Dalam masa kehidupan dunia, dan untuk urusan dunia, semua haruslah saling
bekerjasama untuk mencapai keadilan, persamaan dan kesejahteraan manusia. Sedangkan untuk
urusan akhirat, petunjuk, dan hidayah adalah hak mutlak Allah swt. Maka dengan sendirinya kita
tidak dibenarkan memaksa kehendak kita kepada orang lain untuk menganut agama kita.
Al-Qur’an juga menganjurkan agar mencari titik temu dan titik singgung antar pemeluk
agama. Al-Qur’an menganjurkan agar dalam interaksi sosial, bila tidak ditemukan persamaan,
hendaknya masing-masing mengakui keberadaan pihak lain dan tidak perlu saling menyalahkan.
Bahkan al-Qur’an mengajarkan kepada Nabi Muhammad saw. dan umatnya untuk
menyampaikan kepada penganut agama lain ketika tidak terdapat titik temu, sebagaimana
firman-Nya dalam QS. Saba ayat 24-26:

8
“Katakanlah: “Siapakan yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?”
Katakanlah: “Allah”, dan Sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada
dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata. Katakanlah: “Kamu tidak akan ditanya
(bertanggung jawab) tentang dosa yang kami perbuat dan kami tidak akan ditanya (pula) tentang
apa yang kamu perbuat”. Katakanlah: “Tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, Kemudian
dia memberi Keputusan antara kita dengan benar. dan Dia-lah Maha pemberi Keputusan lagi
Maha Mengetahui”.
Jalinan persaudaraan dan toleransi antara umat beragama sama sekali tidak dilarang oleh
Islam, selama masih dalam tataran kemanusiaan dan kedua belah pihak dapat saling
menghormati haknya masing-masing, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al-
Mumtahanah ayat 8:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang
tiada memerangimu Karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”.(QS. Al-Mumtahanah: 8)
Al-Qur’an juga berpesan agar masing-masing agama mendakwahkan agamanya dengan
cara-cara yang bijak. Firman-Nya dalam QS an-Nahl ayat 125:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui
tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk”. (QS an-Nahl: 125)
Hadis dan Riwayat yang Berbicara tantang Toleransi
ُ ‫لَّى هَّللا‬P‫ص‬َ ِ ‫و ِل هَّللا‬P‫ل لِ َر ُس‬P َ P‫ا َل قِي‬PPَ‫س ق‬ َ ‫ق ع َْن دَا ُو َد ْب ِن ْالح‬
ٍ ‫ُصي ِْن ع َْن ِع ْك ِر َمةَ ع َِن ا ْب ِن َعبَّا‬ َ ‫َح َّدثَنِي يَ ِزي ُد قَا َل أَ ْخبَ َرنَا ُم َح َّم ُد بْنُ إِس َْحا‬
ُ‫َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم أَيُّ اأْل َ ْديَا ِن أَ َحبُّ إِلَى هَّللا ِ قَا َل ْال َحنِيفِيَّةُ ال َّس ْم َحة‬
Rasullah saw. pernah ditanya tentang agama yang paling dicintai oleh Allah, kemudian
beliau menjawab: al-Hanifiyyah al-Samhah (agama lurus yang penuh toleransi).
Kualitas hadits di atas termasuk hadits yang muttashil marfu’ karena setelah diteliti para
perawinya termasuk perawi yang tsiqah. Begitupun setelah di-takhrij dengan CD Mausu’ah al-
Kutub al-Tis’ah, ternyata hadits ini hanya terdapat dalam riwayat Ahmad bin Hambal saja,
dengan nomor hadits 2003 pada kitab min musnad bani hasyim bab bidayah sanad Abdullah ibn
‘Abbas. [9]
Konsep toleransi yang ditawarkan Islam sangatlah rasional dan praktis serta tidak berbelit-
belit. Namun, dalam hubungannya dengan keyakinan (akidah) dan ibadah, umat Islam tidak
mengenal kata kompromi. Ini berarti keyakinan umat Islam kepada Allah tidak sama dengan
keyakinan para penganut agama lain terhadap tuhan-tuhan mereka, demikian juga dengan tata
cara ibadahnya, bahkan Islam melarang penganutnya mencela tuhan-tuhan dalam agama
manapun. Maka kata toleransi (tasamuh) dalam Islam bukanlah hal baru, tetapi sudah
diaplikasikan dalam kehidupan sejak agama Islam lahir.

9
Kerja sama yang baik antara muslim dan non muslim telah dibuktikan dan ditulis di dalam
sejarah agama Islam dengan jelas. Nabi Muhammad saw. dan para sahabat melakukan interaksi
sosial mereka (muamalah) dengan non muslim seperti Waraqah bin Naufal yang beragama
Nasrani, Abdullah bin Salam yang sebelumnya beragam Yahudi, bahkan nabi sendiri pernah
meminta suaka politik (perlindungan politik) dengan memerintahkan para sahabat untuk
berhijrah meminta perlindungan kepada raja Najasy (Nigos) dari Habsyah (sekarang Ethiopia)
yang beragama Nasrani.[10]
Imam Bukhori meriwayatkan dari Anas bin Malik bhawa ketika Nabi wafat, baju beliau
masih digadaikan pada orang Yahudi guna membiayai keluarganya, padahal sebenarnya beliau
bisa meminjam dari para sahabatnya. Akan tetapi, hal itu dilakukan dengan maksud untuk
mengajarkan kepada umatnya bahwa kerja sama denga orang-orang non muslim merupakan
sikap dan pandangan Islam.
Diriwayatkan bahwa suatu ketika Asma binti Abu Bakar didatangi ibunya, Qotilah, yang
masih kafir. Ia pun bertanya kepada Rasulullah saw: “Bolehkah saya berbuat baik kepadanya?”
Rasulullah saw. menjawab: “Boleh”. Kemudian turunlah ayat ke-8 Surat Al-Mumtahanah, yaitu:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang
tiada memerangimu Karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (Q.S. al-Mumtahanah: 8)
Ayat itu menegaskan bahwa Allah swt. tidak melarang berbuat baik kepada orang yang
tidak memusuhi agama Allah. Demikian yang diterangkan Ibnu Katsir dalam tafsirnya.[11]
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Qotilah (bekas isteri Abu Bakar yang telah
diceraikannya pada zaman jahiliyah) datang kepada anaknya yang bernama Asma binti Abu
Bakar, dengan membawakannya hadiah, Asma menolak pemberian itu bahkan tidak
memperkenankan ibunya masuk ke dalam rumah. Setelah itu ia mengutus seseorang kepada
Aisyah (saudaranya) untuk bertanya tentang hal ini kepada Rasulullah saw. dan kemudian Rasul
pun memerintahkan untuk menerimanya dengan baik serta menerima pula hadiahnya. (HR.
Ahmad, Al-Bazzar, Al-Hakim dari Abdullah bin Zubair)
Asma’ Binti Abu Bakar pernah berkata bahwa ketika Nabi saw. masih hidup, ibuku pernah
mengunjungiku dalam keadaan sangat mengharap kebaikanku kepadanya dan takut kalau aku
menolaknya dan merasa kecewa. Kemudian aku pun bertanya kepada Nabi saw: “Apakah boleh
aku menyambung hubungan silaturrahmi dengannya?”. Beliau menjawab: ”Ya.”
Ibnu ‘Uyainah menambahkan keterangan bahwa kemudian Allah swt. menurunkan ayat ke-
8 surat Al-Mumtahanah tersebut.[12]
Ibnu Umar berkata bahwa ayahnya ,Umar RA, pernah melihat sehelai sutra yang sedang
dijual, lalu ia berkata: “Ya Rasulullah! Belilah sutra ini dan pakailah pada hari jum’at, dan jika
anda dikunjungi utusan-utusan.” Beliau menjawab: “Hanya saja orang mengenakan sutra ini
adalah orang yang tidak akan mendapat bagian sedikitpun diakhirat.” Kemudian suatu hari Nabi

10
saw. pernah diberi beberapa helai pakaian sutra, kemudian beliau mengirimkan sebagian kepada
Umar, lalu Umar berkata: “Bagaimana mungkin saya akan mengenakannya sedangkan anda telah
mengatakan sutra itu seperti itu?” Beliau berkata: “Sesungguhnya saya tidak bermaksud
memberikannya kepadamu untuk kau pakai, akan tetapi supaya kau menjualnya atau
memakainkannya kepada yang lain.” Kemudian Umar mengirimkannya kepada salah seorang
saudaranya yang ada di Makkah, sebelum saudaranya itu masuk Islam.[13]
Dan Mujahid pernah berkata: “Saya pernah berada disisi Abdullah bin ‘Amr dan pada saat
itu pelayannya sedang menguliti seeokr kambing. Kemudian Abdullah berkata: “Hai pelayan!
Kalau engkau sudah selesai maka dahulukanlah tetangga kita si yahudi itu.” Tiba-tiba salah
seorang berkata: “(Kau dahulukan) orang yahudi? Semoga Allah memperbaiki anda.” Abdullah
berkata: “Saya pernah mendengar Nabi saw. berwasiat tentang tetangga, sampai-sampai kami
takut atau bahkan kami menganggap bahwa beliau akan menggolongkan tetangga itu sebagai ahli
waris.”[14]
Hubungan Antara Toleransi dengan Ukhuwah (persaudaraan) Sesama Muslim
Allah berfirman dalam QS. Al-Hujurat ayat 10: “Orang-orang beriman itu Sesungguhnya
bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan
takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat” (QS. Al-Hujurat:10)
Pada ayat di atas, Allah swt. menyatakan bahwa orang-orang mukmin bersaudara dan
diperintahkan untuk melakukan ishlah (perbaikan hubungan) jika seandainya terjadi
kesalahpahaman diantara dua orang atau kelompok kaum muslim. Al-Qur’an memberikan
contoh-contoh penyebab keretakan hubungan sekaligus melarang setiap muslim melakukannya.
Ayat di atas juga memerintahkan orang mukmin untuk menghindari prasangka buruk, tidak
mencari-cari kesalahan orang lain, serta menggunjing yang diibaratkan al-Qur’an seperti
memakan daging saudara sendiri yang telah meninggal dunia, sebagaimana yang Allah terangkan
dalam QS.Al-Hujurat ayat 12 yang berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), Karena
sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah
menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging
saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”. (QS.Al-
Hujurat:12)
Untuk mengembangkan sikap toleransi secara umum, dapat kita mulai terlebih dahulu
dengan bagaimana kemampuan kita mengelola dan mensikapi perbedaan yang mungkin terjadi
pada keluarga kita atau saudara kita sesama muslim. Sikap toleransi dimulai dengan cara
membangun kebersamaan atau keharmonisan dan menyadari adanya perbedaan. Dan menyadari
pula bahwa kita semua adalah bersaudara, sehingga akan timbul rasa kasih sayang, saling
pengertian, dan pada akhirnya akan bermuara pada sikap toleran. Dalam konteks pendapat dan

11
pengamalan agama, al-Qur’an secara tegas memerintahkan orang-orang mukmin untuk kembali
kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul-Nya (al-Sunnah).
Kesimpulan dan Penutup Dari pemaparan makalah di atas, maka dapat diambil beberapa
kesimpulan yakni: Toleransi yang merupakan bagian dari visi teologi atau akidah Islam dan
masuk dalam kerangka sistem teologi Islam sejatinya harus dikaji secara mendalam dan
diaplikasikan dalam kehidupan beragama. Toleransi beragama adalah ialah sikap sabar dan
menahan diri untuk tidak mengganggu dan tidak melecehkan agama atau sistem keyakinan dan
ibadah penganut agama-agama lain. Toleransi yang positif adalah toleransi yang ditumbuhkan
oleh kesadaran yang bebas dari segala macam tekanan atau pengaruh, serta terhindar dari sikap
munafik (hipokrasi). Penyebab terbesar konflik antar umat beragama muncul disebabkan oleh
sikap merasa paling benar (truth claim) dengan cara mengeliminasi kebenaran dari orang lain.
Dalam kaitannya dengan toleransi antar umat beragama, toleransi hendaknya dapat dimaknai
sebagai suatu sikap untuk dapat hidup bersama masyarakat penganut agama lain, dengan
memiliki kebebasan untuk menjalankan prinsip-prinsip keagamaan (ibadah) masing-masing,
tanpa adanya paksaan dan tekanan, baik untuk beribadah maupun tidak beribadah, dari satu pihak
ke pihak lain.
Orang-orang mu’min itu bersaudara, dan mereka memerintahkan untuk melakukan ishlah
(perbaikan hubungan) jika seandainya terjadi kesalahpahaman diantara dua orang atau kelompok
kaum muslim. Orang mu’min dianjurkan untuk menghindari prasangka buruk, tidak mencari-cari
kesalahan orang lain. Sikap toleransi dimulai dengan cara membangun kebersamaan atau
keharmonisan dan menyadari adanya perbedaan.
Mungkin hanya ini yang dapat penulis jelaskan tentang toleransi, baik antar umat beragama
maupun antar sesame muslim sendiri. Harapan penulis, semoga makalh ini dapt memberikan
kontribusi yang nyata dalam memperkaya khasanah keilmuan Islam. Penulis sadari bahwa sangat
berlebihan kiranya jikalau makalah ini dikatakan sempurna karena di dalamnya masih banyak
terdapat berbagai kesalahan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
konstruktif guna penulisan selanjutnya agar lebih bagus lagi.

Catatan Kaki
[1] Sulchan Yasin, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Edisi II Cetakan IV, 1995, hal 389
[2] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap
(Surabaya: Pustaka Progressif, 2002 ) hal 702
[3] Indrawan WS, Kamus Ilmiyah Populer, 1999, hal 144
[4] W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia

12
[5] Humaidi Abdussami’ dan Masanun Tahir, Islam dan Hubungan Antar Agama
(Wasasan untuk Para Da’i), (Jogjakarta: LKIS), hal. 115
[6] Humaidi Abdussami’ dan Masanun Tahir, Islam dan Hubungan Antar Agama
(Wasasan untuk Para Da’i), (Jogjakarta: LKIS), hal. 116
[7] Jangan mencela dirimu sendiri maksudnya ialah mencela antara sesama mukmin
karana orang-orang mukmin seperti satu tubuh.
[8] Panggilan yang buruk ialah gelar yang tidak disukai oleh orang yang digelari, seperti
panggilan kepada orang yang sudah beriman, dengan panggilan seperti: Hai fasik, Hai
kafir dan sebagainya.
[9] Sakhr, CD Mausu’ah al Hadis al Syarif, (Jami’ al Huquq Mahfudzhah Lisyirkati al
Baramij al Islamiyati al Dauliyah, 1991) Sunan Ahmad, Bidayah Sanad Abdullah bin
Abbas, ruwwat, jarh wa ta’dil

CONTOH TOLERANSI DALAM MASYARAKAT

Ada berbagai bentuk toleransi di dunia ini, sesuai dengan berbagai bentuk keragaman
yang ada.  Ada toleransi beragama, toleransi antar suku, toleransi dalam berpolitik, dan
lain-lain.  Sesuai judul dalam artikel ini, kita akan membahas lebih dalam tentang
toleransi beragama.
Toleransi contoh sikap tolerasi antar umat beragama ialah sikap diri kita sebagai individu
atau sebagai kelompok yang dengan keyakinannya kepada Tuhan Yang Maha Esa
terhadap individu atau kelompok yang berbeda.  Toleransi tersebut dikembangkan dalam
bentuk saling menghormati dan saling menghargai atar sesame umat beragama. Toleransi
yang tidak mengijinkan perbuatan diskriminatif terhadap pemeluk agama lain. Yosef
Lalu, pada tahun 2010 mengemukakan bahwa toleransi beragama terbagi atas 3 jenis,
sebagai berikut:

1. Toleransi Negatif
Toleransi individu atau kelompok terhadap keyakinan individu atau kelompok lain yang
berbeda, di mana isi atau ajaran serta penganutnya tidak dihargai namun dibiarkan saja.
Berbeda dengan masyarakat yang tidak menghargai isi dan umat yang berkeyakinan
berbeda karena tidak sesuai dengan aturan negara dan norma. Pada keyakinan yang tidak
sesuai dengan aturan dan norma, biasanya akan ditegakkan dengan pembubaran atau
pengusiran terhadap umat yang meyakininya.  Sedangkan pada toleransi negatif, isi dan

13
umatnya tidak dihargai namun dibiarkan selama masih menguntungkan kelompok agama
lain yang ada. Contoh tpleransi negative ini adalah masyarakat Indonesia membiarkan
komunis dan ajarannya di zaman baru merdeka. Karena dianggap pada saat itu, komunis
menguntungkan posisi Indonesia yang saat itu bersebrangan dengan Barat atau anti
Amerika, dengan berdirinya poros Indonesia – Peking.

2. Toleransi Positif
Contoh sikap toleransi antar umat beragama yang banyak diimplementasikan oleh
berbagai agama dan berbagai masyarakat di dunia. Toleransi ini tidak menghargai isi
atau ajaran agama lain yang berbeda, namun menghargai pemeluk atau
penganutnya. Contoh pelaksanaan toleransi ini ada di hampir setiap agama yaitu
meyakini hanya agama yang dianutnya saja yang paling benar. Namun, dalam
hubungannya dengan penganut agama lain tetap saling menghargai dan saling
mengormati, karena agama adalah sifat-sifat hak asasi manusia.

3. Toleransi Ekumenis
Toleransi yang menghargai semua bentuk perbedaan, baik toleransi terhadap isi/ajaran
keyakinan individu lain dan toleransi pada setiap umat yang memeluknya. Toleransi
jenis ini umumnya meyakini bahwa agama dan keyakinan yang berbeda, sama-sama
benar, dan mempunyai tujuan yang sama. Contoh toleransi jenis ini adalah toleransi
terhadap sesame pemeluk agama yang sama dengan aliran atau paham yang berbeda.

B. Toleransi Antar Umat Beragama


Indonesia mengakui adanya 5 agama yang dianut masyarakatnya, yaitu Islam, Kristen,
Katholik, Budha dan Hindu dan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.  Sungguh
suatu keberagaman yang cukup banyak. Apalagi bila ditambah dengan berbagai agama
lain yang dianut oleh warga negara asing yang tinggal di Indonesia. Agama yang dianut
warga negara asing selama sesuai dengan aturan yang berlaku di Indonesia juga harus
dihargai. Sesuai dengan nilai-nilai luhur Bangsa Indonesia yang menjadi dasar negara,
yaitu Pancasila, maka toleransi beragama di Indonesia dikembangkan.

Nilai-nilai luhur pancasila tersebut sesuai dengan sila yang tercantum dalam Pancasila,
Ketuhanan Yang Maha Esa. UUD 1945 pasal 29 ayat 2, menguatkan tentang perlunya
toleransi beragama yang harus dilaksanakan di Indonesia “negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk

14
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Tidak mudah menjalankan
toleransi dalam beragama di Indonesia yang bercampur dengan perbedaan suku, dan
perbedaan-perbedaan lain yang menjadikannya semakin beragam. Beberapa kali
terdengar pergesekan antar umat beragama di Indonesia.   Yang dengan semangat
persatuan dan kesatuan masih bisa diatasi.  Beberapa penyebab munculnya pergesekan
dan ketegangan antar umat beragama antara lain, sebagai berikut:

 Kurangnya pengetahuan yang dimiliki oleh pemeluk agama tentang agamanya


sendiri dan agama orang lain, sehingga yang sering adalah salah mengambil sikap.
 Tidak adanya pemahaman yang jelas tentang memegang teguh keyakinan
beragama dan toleransi.  Misalnya, pemahaman toleransi dalam beribadah adalah
membiarkan orang ayng beragama berbeda menjalankan ibdahnya, tidak termasuk ikut
serta dalam ibadah satu perayaan agama orang lain.
 Sifat dari setiap agama yang mengandung misi dakwah dan tugas dakwah, berarti
dapat mengajak orang lain atau menasehatinya untuk memeluk agama yang dianutnya. 
Selama hal tersebut tidak dilakukan dengan memaksa dan tidak dengan menghina agama
lain dan penjelasan yang sesuai logika, maka tidak akan menimbulkan ketegangan.
 Kurangnya saling menghargai dalam perbedaan pendapat, sehingga terkadang
emosi ikut terbawa dalam perdebatan yang tidak sehat. Saling mencurigai antar contoh
sikap toleransi antar umat beragama yang berlebihan.
 Para pemeluk agama yang tidak dapat mengontrol diri sehingga dapat
memandang rendah agama orang lain. Misalnya, ketidaksetujuan atas ajaran agama
orang lain yang dilakukan dengan cara mencaci maki.

Untuk menghindari hal-hal di atas maka wujud toleransi harus lebih nyata dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Setiap umat beragama hendaknya dapat
memahami agamanya lebih baik, sehingga akan lebih baik pula bersikap terhadap orang
yang berbeda agama.  Persatuan di atas perbedaaan atau pluralitas hanya dapat tercapai
jika masing- masing kelompok yang berbeda dapat saling berlapang dada.  Manfaatnya
pun untuk kehidupan diri kita sendiri.

C. Penerapan Toleransi dalam Kehidupan Sehari-hari


Setelah secara rinci kita memahami makna toleransi, sebab-sebab terjadinya pergesekan
antar contoh sikap toleransi antar umat beragama di Indonesia, dan manfaat toleransi

15
beragama secara umum, sebaiknya kita mengetahui wujud nyata toleransi dalam
beragama. Hal ini diperlukan, agar kita lebih mengetahui dan dapat melaksanakan
toleransi beragama dengan lebih mudah.  Wujud nyata tersebut tercermin dalam contoh
sikap toleransi dalam beragama di masyarakat. Contoh-contohnya, sebagai berikut:
1. Menghormati Hak dan Kewajiban Antar Umat Beragama
Hak dan kewajiban umat beragama di Indonesia pada dasarnya sama, yaitu hak dan
kewajiban warga negara Indonesia. Oleh karena itu, saling menghormati merupakan
contoh pertama sikap toleransi beragama.
2. Membangun dan Memperbaiki Sarana Umum
Membangun jembatan di suatu desa, memperbaiki jalan kampung bersama-sama
dapat dilakukan bersama-sama tanpa membedakan perbedaan agama yang dianut.
3. Membantu Korban Kecelakaan dan Bencana Alam
Membantu korban bencana alam dan korban kecelakaan juga merupakan bentuk
toleransi dalam beragama.  Ketika membantu dan menolong sesama, seseorang tidak
ditanyakan apa agamanya terlebih dahulu baru dibantu. Atau sebaliknya, orang yang
mau membantu tidak akan ditanyakan apa agama yang dianutnya.
4. Gotong Royong Membersihkan Kampung
Secara bersama-sama masyarakat dapat membersihkan kampung atau desanya.
Kampung adalah milik bersama yang harus dipelihara kebersihannya tanpa
membedakan agama dan kepercayaan yang diyakini seseorang.
5. Menghormati Ibadah Orang Lain
Saling menghormati orang yang sedang melakukan ibadah menjadi faktor yang
penting toleransi beragama. Contohnya, jika hari raya Nyepi di Bali, maka seluruh
masyarakatnya ikut menghormati dengan berdiam diri di rumah masing-masing tanpa
membedakan agamanya. Begitu pula jika hari Raya Idul Fitri, ummat Islam tidak
diganggu kegiatan ibadah sholat Iednya yang memang akan lebih ramai dari sholat
biasa.
6. Tidak Memaksakan Agama Kepada Orang Lain
Meskipun tiap agama pada dasarnya mempunyai misi dakwah atau mengajak orang
lain, tetap perlu disadari misi dakwah tidak bersifat memaksa. Apalagi orang tersebut
sudah memiliki agama yang diyakininya.
7. Saling Menyayangi
Meskipun berbeda agama, dengan tetangga atau teman tetap saling menyayangi. 
Karena kita sama Bangsa Indonesia. Dengan saling menyayangi, kita juga dapat
16
memperluas pergaulan dan pengetahuan dengan tidak terbatas ruang dan waktu.
Selama teman tersebut tidak bertentangan dengan aturan di negara Indonesia.

D. Hikmah Bertoleransi Dalam Kehidupan Sehari-Hari


Islam adalah agama kebebasan dan pembebasan. Sekalipun secara literal Islam
memiliki aturan yang bersifat  mengikat, namun, Islam tetap memberikan kebebasan
dalam menafsirkan aturan itu, sesuai dengan konteks zamannya. Salah satu ajaran utama
dalam Islam yang memiliki spirit kebebasan dan pembebasan adalah toleransi. Dalam hal
ini, toleransi demi terwujudnya keharmonisan umat beragama dan semua umat manusia
pada umumnya. Ya, menuai makna toleransi dalam menegakkan kebebasan beragama
dan berkeyakinan merupakan sebuah keharusan. Terlebih jika dihadapkan dengan
sejumlah fenomena-fenomena intoleransi disekeliling kita dewasa ini, keberadaannya
tidak jarang menyebabkan kegentingan. Tak pelak akibat, tindakan-tindakan intoleransi;
mulai dari intimidasi hingga terorisme—di Indonesia khususnya—telah menjadi laris
dari sebagian kelompok atau ormas.
Perihal kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam bingkai toleransi sebetulnya
Islam telah memberikan legetimasi eksplisit, seperti misalnya tertera dalam QS. Al-Kahfi
[18], 29, Tuhan berfirman: “Dan katakanlah, kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu,
maka barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang
ingin (kafir) hendaklah ia kafir. Sesungguhnya kami telah sediakan neraka bagi orang-
orang zalim, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum,
niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih, yang
menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang
paling jelek.”
Dari ayat diatas, Tuhan benar-benar hendak “menganjurkan” untuk membebaskan
manusia dalam beragama dan berkeyakinan. Dalam sabda tersebut, Tuhan memberikan
pilihan antara iman dan kafir. Konsekuensi dari ayat tersebut diatas,  menunjukkan
bahwa manusia tidak diciptakan dalam keseragaman beragama dan berkeyakinan,
melainkan dalam keberagaman sebagai sunnatullah dan manusiawi yang tak dapat
dibantah oleh siapapun.Hikmah lain yang terkandung didalamnya, bahwa ini merupakan
wujud ke-Mahakuasaan Tuhan dalam berkehendak. Juga berarti, Tuhan sama sekali tidak
memiliki ketergantungan terhadap makhluk-Nya (qiyamuhu binafsihi), ia berdiri sendiri
dan tidak bergantung apalagi tergantung makhluk-Nya.

17
Dalam konteks Indonesia, kebebasan beragama dan berkeyakinan sangat dijamin
keberadaannya oleh konstitusi, seperti tertuang dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat 1 bahwa
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-
masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Berdasarkan
pasal ini, (dalam konteks Indonesia) seluruh warga Indonesia dengan berbagai macam
latar belakang agama, suku, ras, budaya, jenis kelamin dan sebagainya, wajib dipenuhi
dan dilindungi hidup beserta hak-haknya oleh Negara. Berkait kelindan dengan pasal ini,
Djohan Effendi—Cendekiawan Muslim Indonesia—berpendapat bahwa pluralitas agama
(dan keyakinan) ini adalah anugerah Tuhan yang seyogyanya harus disyukuri.
Dalam pada itu, jika kemudian ada individu, kelompok, ataupun ormas yang
mengklaim sebagai pihak yang paling benar, sementara yang lain salah, hanya karena ia
beragama Islam ataupapun lainnya, maka sesungguhnya ia telah mengambil alih
wewenang Tuhan sebagai penentu mutlak kebenaran. Dengan demikian, persoalan label
sesat, kafir, dan sejenisnya oleh kelompok tertentu terhadap yang lain (yang berbeda),
Imam Al-Qurtubi pun memandang bahwa ayat tadi jelas-jelas telah membuktikan,
Tuhanlah satu-satunya pihak yang berwenang dalam menentukan kebenaran
keberagamaan dan keyakinan seseorang.
Sementara itu, Abdul Moqsith Ghazali dalam karya masterpiece-nya Argumen
Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an (2009), sebagaimana
mengutip pendapatnya Jawdat Said (dalam menafsirkan QS. Al-Baqarah [2]: 256)
menyatakan bahwa, tidak ada pemaksaan dalam agama. Dengan interpretasi yang cukup
logis, lanjut Moqsith, ketimbang para mufasir yang lain, Jawdat Said menguraikan yang
dimaksud dengan pemaksaan (al-ikrah) adalah al-ghay (kesesatan) dan ini adalah jalan
salah. Sedang yang dimaksud dengan (alla ikrah) adalah al-rusyd (kebenaran) dan inilah
jalan yang benar (al-thariq al-shahih). Lebih lanjut Jawdat Said menafsir kata “thaguth”
sebagai orang-orang yang memaksakan pemikiran dan keyakinannya kepada orang lain,
dan membunuh karakter orang yang berbeda keyakinan dengan dirinya. Dari sini, kita
dapat melihat secara jelas perbedaaan antara paksaan dan pemaksaan.
Gerakan intoleransi seperti diatas, ditengarai Zuhairi Misrawi berasal dari
genderang Wahabisme, paham yang didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab pada
abad ke 18. Sebagaimana diketahui, gerakan Wahabisme ini mempunyai kecenderungan-
kecenderungan yang bertolak belakang dengan kalangan moderat. Paham yang mengarah
pada puritanisme disatu sisi, dan ekstrimisme disisi lain.

18
Kalangan wahabi juga mempunyai slogan kembali kepada Al-Qur’an dan sunnah,
secara kasat mata tidak begitu bermasalah, karena sudah menjadi sebuah keharusan umat
Muslim untuk berpegang pada dua sumber otoritatif itu. Namun disisi lain, kekeliruan
terbesar dalam memaknai “kembali” kepada Al-Qur’an dan sunnah versi Wahabi lah
yang akan menggiring pada sebuah nalar dan sikap yang bersifat puritanistik-absolut.
Dengan mengklaim hanya pendapat kelompoknya (Wahabi) yang benar, sementara
pendapat kelompok lain dianggap salah, sesat, bahkan kafir.
Sikap ekslusif-absolut seperti ini pula lah yang kemudian berimplikasi pada sikap
membenci kalangan non-Muslim, dengan alibi bahwa non-Muslim adalah kelompok
kafir sehingga sebagian umat Muslim melarang bergaul dengan non-Muslim ataupun
dengan komunitas Islam yang berbeda mazhab (aliran), karena sebab mereka adalah
penganut jalan kesesatan dan ahli neraka. Pandangan semacam ini tentu saja bukan
hanya sebuah bentuk ironi melainkan pula telah bertentangan dengan Al-Qur’an itu
sendiri, sebagaimana dijelaskan dalam QS. Ali Imran [3]: 113-114, yang berbunyi:
“Mereka tidaklah sama, diantara orang-orang ahlul kitab terdapat umat yang bangun di
tengah malam membaca ayat-ayat Tuhan dan mereka bersujud kepada Tuhan. Mereka
beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, mengajak pada kebajikan mencegah
kemungkaran, serta berlomba-lomba dalam kebaikan, dan mereka adalah orang-orang
yang shaleh.” Ayat ini secara eksplisit menjelaskan bahwa, sekalipun (secara literal)
tidak resmi beragama Islam, namun perilaku mereka (ahlul kitab) adalah cerminan
perilaku shalih dalam Islam.
Kembali pada persoalan intoleransi di Indonesia, sebagaimana mengacu pada
catatan Moderate Muslim Society (MMS) sepanjang tahun 2010, wajah intoleransi telah
terjadi 81 kasus dengan berbagai karakteristiknya. Dari berbagai karakteristik wajah
intoleransinya itu, ada benang merah yang dapat ditarik dan bertemu pada satu
kesimpulan, yakni ketidakmampuan dan ketidakberdayaan untuk merajut dialog secara
dingin dan terbuka. Kenyataan pahit ini lagi-lagi (masih menurut catatan MMS) kasus-
kasus yang terkait dengan atas nama agama, dengan capaian 73% dari 81 kasus tersebut
diantaranya menimpa naas kelompok Kristen dan Ahmadiyah.
Kalau sudah demikian, benarkah Islam melegitimasi intoleransi? Jika ya, apakah
gunanya beragama jika hanya membuat orang lain terancam? Jika tidak, sikap apa yang
perlu dibangun generasi muda Muslim serta umumnya masyarakat Indonesia? Tak bisa
ditawar lagi, bahwa peran yang harus secepatnya diambil adalah toleransi sebagai bentuk
sikap kaum moderat, terutama dalam mewujudkan sebuah tatanan kehidupan yang
19
membawa rahmat bagi semesta. Sebab, sebagaimana mengutip pendapat Michael Walzer
(1997) memandang toleransi sebagai keniscayaan dalam ruang individu dan ruang publik
karena salah satu tujuan toleransi adalah membangun hidup damai (peacefull
coeexistensi) diantara pelbagai kelompok masyarakat perbedaan latar belakang sejarah,
kebudayaan, dan identitas.
Sebagaimana Walzer, Rainer Forst dalam Tolerantion and Democracy (2007), juga
memberikan pandangan lanjutan yaitu toleransi dalam konteks demokrasi harus mampu
membangun pengertian dan saling menghargai ditengah keragaman suku, agama, ras,
dan bahasa.
Dari pandangan tokoh diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa transformasi dari
intoleransi ke toleransi merupakan sebuah keniscayaan, terutama dalam membangun
sebuah tatanan kehidupan dan peradaban sebuah bangsa. Meski mengambil jalan
toleransi bukan hal yang mudah, namun setidaknya kita dapat memulai sedari munculnya
kesadaran tentang implikasi negatif dari tindakan intoleran.
Kalau ditelusuri dari akar katanya, toleransi berasal dari bahasa Latin, yaitu
“tolerantia”, yang berarti kelonggaran, kelembutan hati, keringanan, dan kesabaran. Oleh
karena itu Zuhairi Misrawi (2010)—sebagaimana mengutip Asyraf Abdul Wahhab—
memberikan penjabaran terkait toleransi sebagai sikap untuk memberikan hak
sepenuhnya kepada orang lain agar menyampaikan pendapatnya, sekalipun pendapatnya
salah dan berbeda.
Sedangkan dalam bahasa Arab, toleransi sepadan dengan kata al-tasamuh, dimana
toleransi merupakan salah satu pokok ajaran Islam yang trans-historis dan trans
ideologis, yang kedudukannya sejajar dengan pokok-pokok ajaran Islam lain seperti
rahmat (kasih sayang), ‘adl (keadilan), tawazun (keseimbangan), dan lain sebagainya.
Dari telaah semacam ini, umat Muslim wajib bukan hanya menyampaikan tetapi juga
melaksanakan ajaran toleransi untuk diketengahkan kepada masyarakat luas. Karena
bagaimanapun, Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW bukan untuk membela satu
golongan tertentu atau mendiskriminasi golongan tertentu, justru hendak mempersatukan
umat manusia di tengah keanekaragaman, karena keanekaragaman dan perbedaan bukan
penghalang, sebaliknya akan menjadi pengokoh untuk semakin terpupuknya rasa
persatuan dan kesatuan. Sebab yang demikian inilah sejatinya Islam rahmatan lil’alamin.
Islam yang dapat hidup secara damai dan berdampingan dengan apapun komunitasnya
(agama dan keyakinannya) dan siapapun orangnya.

20
Dengan demikian, tak ada alasan bagi siapapun  untuk kemudian membenci orang
lain hanya karena ia berbeda identitas, terlebih bukan pemeluk agama Islam. Dari uraian
bahaya laten intoleransi hingga upaya transformasi intoleransi ke toleransi, penulis
merumuskan beberapa upaya-upaya yang dapat dijadikan sebagai kran pembuka
sekaligus peneguh dalam membangun nalar kritis dalam mewujudkan toleransi atas
kebebasan beragama dan keyakinan.
Pertama, melakukan penafsiran ulang terhadap teks-teks Al-Qur’an maupun
Sunnah yang (secara literal/kasat mata) bernuansa intoleransi, menuju tafsir yang
bernuansa toleran dan moderat. Upaya ini dapat dilakukan dengan menafsirkan al-Qur’an
dengan mempertimbangkan sebab-sebab turun (asbab al-Nuzul) dan kontekstualisasinya.
Kedua, bersikap inklusif dan respect terhadap penganut agama dan keyakinan lain,
yakni dengan mendudukkan semua manusia (apapun latar belakangnya) dengan setara
dan ia berhak menentukan nasib atas dirinya sendiri, tanpa ada pemaksaan. Dari poin
penting ini, mempunyai konsekuensi logis bahwa sebagai sama-sama makhluk ciptaan
Tuhan, sudah sepatutnya saling melindungi dan menghargai satu sama lain, antara
Muslim dengan non-Muslim. Dari sikap terbuka dan respect ini pula, akan dapat
mengeliminir sikap menutup diri, mengasingkan dari golongan yang berbeda ataupun
sikap esklusif lainnya.
Ketiga, melakukan dialog yang santun. Dengan berdialog, satu sama lain akan terjalin
sebuah komunikasi yang bersifat simbiosa mutualisma, saling menguntungkan, saling
melengkapi satu sama lain, saling menegur sapa jika ada kekeliruan. Mengutip
pandangan Cak Nur (Nurcholish Madjid) bahwa dengan dialog akan terbentuk sebuah
persilangan budaya hibrida, yakni terjalinnya sebuah kebudayaan yang unggul untuk
kepentingan perdamaian dan peradaban bangsa. Dari dialog pula, akan membuahkan
sikap saling pengertian terutama dalam menyikapi keberbedaan, untuk kemudian dapat
terciptanya budaya toleransi diatas perbedaan dan keberagaman.
Walhasil, tantangan yang akan dihadapi generasi muda Muslim dan juga
masyarakat pada umumnya akan semakin berat, karena koridornya tidak hanya sebatas
dalam intern umat segama, beragama di Indonesia, melainkan pula hidup dalam konteks
global-universal. Genderang Islam toleran dan moderat sebagaimana misinya rahmatan
lil’alamin, sejatinya dibumikan, entah dalam olah wacana maupun gerakan
pemberdayaan masyarakat.

21
E. Fungsi Toleransi
Manusia adalah makhluk individu yang memiliki cara berfikir yang berbeda beda
namun didalam kehidupannya sehari hari tidak akan mungkin bisa lepas dari yang
namanya beradaptasi, bergaul atau bersosialisasi dengan manusia yang lainnya. Didalam
hidup bersosialisasi sangat dibutuhkan sikap toleransi agar  didapatkan pergaukan yang
penuh dengan suasana dan rasa saling menghargai, saling menghormati dan saling
merasa sebagai saudara.

Beberapa sikah hidup bertoleransi


1. Bersifat negatif – Ajaran sikap bertoleransi  yang mendokrin banyak orang yaitu
mengkukuhkan dengan ajaran ajaran yang tidak baik yang dapat memecah persatuan
dan kesatuan anatara umat beragaama bahkan mengancam pertahanan nasional.
Contohnya tentang ajaran komunis yang dulu pernah diterapkan PKI yang
menagajarkan kekerasan, kecurangan, pemberontakan serta penghianatan pada
negara.
2.  Bersifat Positif – Aliran atau ajaran yang ditolak tetapi penganutnya tetap
mendapat support dan tetap dihormati serta dihargai lingkungannya. hal ini
berhubungan dengan tradisi atau kebiasaan sebuah etnis tertentu. mereka tetap
dihormati tetapi ajaran mereka hanya berlaku pada etnis yang bersangkutan.
sepanjang keberadaan mereka tidak merugikan pihak lain maka kehadiran mereka
tetap bisa diterima ditengah tengah masyarakat.
3.  Bersifat Dinamis atau Ekumenis – Aliran atau ajaran beserta penganutnya 
yang dihormati atau dihargai lingkungannya karena ajaran mereka dengan agama lain
sama sama mengukuhkan kebaikan dan jalan kebenaran, tidak saling menyalahkan,
tidak saling menghina, tidak saling menjatuhkan, saling menghormati perbedaan
ibadah dan saling menghormati hak dan kewajiban atasa kepercayaan masing
masing. sikap toleransi ini sangat dibutuhkan karena dapat mempersatukan
kerukunan antar umat beragama , menimbulkan rasa persaudaraan dan memperkuat
persatuan dalam bernegara.

Fungsi Toleransi dalam Kehidupan adalah :


1. Terhindar dari perpecahan
Sikap toleransi yaang tinggi yaitu saling menghormati. saaling mengahrgai dan
mengabaikan perbedaan dapat menghindari terjadinya pertikaian, permusuhan ,

22
peperangan dan perpecahan yang dapat memicu konflik didalam negara , kondisi ini
dapat mengancam keutuhan persatuan negara Indonesia dan tidak sesuai dengan
semboyan kita bhinneka tunggal ika.  keadaan ini bisa menjadi keuntungan tersendiri
bagi negara lain yang mempunyai kepentingan tertentu.
2. Meningkatkan rasa persaudaraan
Sikap toleransi dapat menimbulkan rasa sayang dan meningkatakan rasa
persaudaraan antara umat beragama. kondisi ini dapat membuat terhindar adanya
kesalahpahaman dan pertikaian yang tidak perlu .
3. Meningkatkan kekuatan dalam iman
Perbedaan agama dan tradisi dapat membuat sikap toleransi semakin kuat. tradisi
yang berbeda dapat membuat orang lain ingin mengetahui dan mempelajari tradisi
daerah lain. hal ini dapat menumbuhkan rasa bangga seseorang terhadap negara yang
memiliki keaneka ragaman agama, tradisi dan budaya yang tidak dimiliki bangsa
lain.  Menghormati agama orang lain dan menghargai perbedaan tradisi dapat
meningkatkan kekuatan dalam iman dan lebih menyadari bahwa rasa persaudaraan
sangat dibutuhkan dalam pergaulan.
4. Meningkatkan rasa nasionalisme
Jika sikap toleransi yang positif diterapkan dalam kehidupan sehari hari oleh semua
masyarakat indonesia maka akan meningkatkan rasa nasionalisme terhadap bangsa
dan negara. karena bangsa yang maju adalah bangsa yang bisa menerima perbedaan
satu orang dengan orang yang lainnya tanpa harus merasa paling benar dan akan
mengurangipenyebab terjadinya tindakan penyalahgunaan kewenangan .
5. Dapat mencapai kata mufakat
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang demokrasi dan mengutamakan
musyawarah untuk pencapaian kata mufakat tanpa ada pertikaian, permusuhan,
pertemngkaran dan kesalahpahaman. didalam bermusyawarah sangat penting
dibudidayakan sikap toleransi antara sesama manusia yang memiliki perbedaan
agama, suku, tradisi atau budaya daerahnya.
6. Meruntuhkan rasa paling benar pada diri sendiri
Tidak ada satu manusiapun yang akan luput dari yanag namanya kesalahan ataupun
kekurangan. sikap toleransi akan menghindari seseorang untuk bersikap egois dan
merasa diri paling benar. sikap toleransi dapat membuat manusia lebih cerdas dalam
berfikir positif. Sikap seperti ini adalah yang paling banyak disukai masyarakat dan

23
tak heran jika seseorang yang memiliki sikap toleransi yang kuat akan menjadi
seorang pemimpin yang adil.
7. Dapat mempersatukan perbedaan
Masih banyak manusia yang menganggap apa yang dianutnya atau apa yang telah
menjadi sejarah nenek moyangnya adalah yang paling baik dan paling benar, padahal
pada kenyataannya tuhan menciptakan manusia penuh dengan perbedaan dan penuh
dengan kekurangan. Semua itu semata mata agar manusia satu dengan yang lainnya
dapat saling menghormati dan menghargai. sikap toleransi dapat mempersatukan
perbedaan menjadi sebuah kekuatan bagi pertahanan negara.
8. Mempermudah pembangunan negara menjadi lebih maju
Sikap toleransi dapat mempermudah pembangunan negara menjadi lebih baik dan
selalu selangkah lebih maju. Negara manapun tidak akan menjadi maju dan besar jika
sikap toleransi tidak membudaya . karena sikap toleransi dapat memperkuat rasa
persatuan dan kesatuan didalam perbedaan yang akhirnya dapat membuat sebuah
negara tidak mudah dirongrong dan diancam oleh bangsa lain.

Pentingnya Sikap Toleransi


Peperangan dan pertikaian yang terjadi bukan hanya karena konflik perebutan tanah
sengketa atau wilayah tertentu, namun lebih kepada sikap toleransi yang mulai berkurang
dan tidak ada lagi didalam iman mereka. Sebuah negara yang mengutamakan hidup
saling bertoleransi maka perdamaian akan selalu menjadi tujuannya. Perdamaian dunia
terlahir karena didalmnya terdapat nilai nilai toleransi yang tinggi dan ajaran ajaran
norma yang baik yang mementingkan persatuan didalam perbedaan. karena adanya
perbedaan yang diabaikan tetapi lebih mengutamakan rasa saling persaudaraan dan
merasa sebagai makhluk yang tidak sempurna maka perasaan perasaan tersebut menjadi
sebuah senjata lebih berbahaya daripada nuklir,  maka kekuatan sebuah perdamaian tidak
akan mudah hancur. (baca : macam macam norma)
Sikap toleransi entah itu toleransi beragama, toleransi didalam bersosialisasi atau
toleransi didalam bermusyawarah  dapat meningkatkan rasa aman, tentram dan aman
dalam  kehidupan bermasyarakat sehingga masyarakat dapat mengembangkan sumber
daya alam dan sumber daya manusianya dengan lebih tenang dan semangat, kondisi ini
dapat mempermudah pembangunan diberbagai aspek kehidupan yang nantinya dapat
dinikmati oleh seluruh warga negara Indonesia.

24
25
Bagian sikap toleransi
1. Sikap toleransi yang dibutuhkan karena perbedaan agama
2. Karena perbedaan tradisi dan budaya
3. Karena perbedaan status sosialnya (kaya dan miskin)
4. Karena perbedaan status pendidikan
5. Karena perbedaan suku atau etnis
6. Karena perbedaan pendapat dan prinsip
7. Karena perbedaan dalam berfikir
8. Karena perbedaan pekerjaan
9. Karena perbedaan usia dan pengalaman
10. Karena perbedaan fisik (antara yang cacat dan yang normal)

Sikap toleransi yang harus diajarkan pada anak usia dini


1. Mengajarkan berbagi dengan orang lain
2. Mengajarkan tidak menghina orang lain
3. Mengajarkan mau mengakui kesalahan
4. Tidak menertawakan cara bicara teman
5. Tidak menertawakan cara berpakaian teman
6. Tidak membicarkan perbedaan agama teman
7. Tidak bicar tentang keburukan teman
8. Mengajarkan untuk memberi maaf pada teman yang telah memohon maaf
9. Mengajarkan untuk tidak mencela hasil karya orang lain
10. Mengajarkan tidak mengambil barang orang lain tanpa ijin terlebih dahulu

Perubahan jaman dan peradaban manusia yang semakin berubah maka akan
mengakibatkan hidup semakin penuh dengan persaingan yang bukan tidak mungkin akan
menurunkan sikap toleransi antara satu manusia dengan manusia lain.
Sikap toleransi akan semakin dibutuhkan dalam porsi yang lebih besar dan lebih
besar lagi ketika perubahan jaman terjadi karena menghadapi peradaban dunia yang
baru. generasi dimasa depan akan mengalami perubahan perilaku yang tidak terjadi pada
masa sebelumnya, semuanya dikarenakan adanya tumbuh kembangnya budaya baru
yang lahir dari perilaku manusia itu sendiri, maka sikap toleransi tetap sangat dibutuhkan
agar tidak menimbulkan pertikaian dan kesalahapahaman. ketika jaman semakin berubah
maju maka hidup akan semakin penuh dengan persaingan, penuh dengan sikap yang

26
egois dan merasa paling beanar yang biasaanya sikap toleransi antara sesama manusia
semakin berkurang.

Waktu sikap toleransi yang harus dimiliki individu


 Sikap toleransi paling mudah diterapkan, diperkenalkan dan diajarkan adalah
ketika usia masih kanak kanak atau usia dini karena pentingnya pendidikan anak usia
dini. Tentang Manfaat Sikap toleransi semakin cepat anak anak mengetahuinya maka
akan bermafaat dimasa depannya. Sikap toleransi akan terpupuk dan terbentuk pada
usia dini lalu lambat laun berkembang dan mendarah daging dalam perilaku sehari
hari, sehingga dapat digunakan dalam kehidupan bersosialisasi ditengah tengah
kemajemukan manusia dimasa yang akan datang.
 Sikap toleransi dapat didapat dari berbagai lembaga pendidikan yang
mengajarkan tentang pentingnya sikap toleransi dalam beragama yang biasanya ada
pada pelajaran Agama dan dapat dipelajari oleh jenjang pendidikan apa saja dari
buku buku yang mengembangkan serta memberi informasi yang valid tentang
manfaat dari sikap bertoleransi.
 Sikap toleransi harus diterapkan pada awalnya didalam keluarga, kemudian
lingkungan sekolah kemudian lingkungan masyarakat. Untuk memahami tentang
sikap toleransi yangb baik mudah didapat dari pengalaman orang orang yang
memiliki wawasan luas tentang budi pekerti misalnya para ulama, guru agama, guru
spiritual dan lain lain yang hidupnya berhubungan dengan ajaran yang mengarah
pada kebaikan dan kebenaran.

Sikap toleransi sangat penting diterapkan pertama kali dalam lingkungan keluarga ,
karena kebiasaan yang telah dilakukan sesuai aturan yang dibuat oleh orangtuanya
dirumah akan terbawa keluar rumah, terutama dilingkungan sekolahnya.  Jika sejak dari
rumah anak anak sudah diajarkan untuk bersikap santun, menghormati agama yang
berbeda dan mau menghargai pendapat berbeda dari orang lain atau tidak melihat
perbedaan atas tradisi dan etnis seseorang  ketika ingin bersosialisasi,  maka sikap sikap
tersebut tanpa disadarinya akan diterapkan dalam kehidupannya ditengah masyarakat
secara permanen.

27
F. Hadits Hadits Tentang Toleransi
Yohannes Friedman, Guru Besar Studi Islam pada Hebrew University, Jerussalem
mengakui kerumitan untuk menemukan kata toleransi dalam Alquran. Kata ‘toleransi’
yang dalam bahasa Arabnya, al-tasảmuh, tidak ditemukan secara eksplisit.[1] Bila yang
dimaksud adalah toleransi dari istilah  al-tasảmuh, maka memang tidak ditemukan di
dalam Alquran. Bila yang dimaksud dengan toleransi adalah sikap saling menghargai,
menghormati keragaman budaya dan perbedaan kebebasan berekspresi, termasuk dalam
berkeyakinan, maka Alquran secara nyata memberikan perhatian nyata terhadap
toleransi.[2] Hal tersebut dapat ditemukan dalam ratusan ayat yang secara gamblang
mendorong toleransi dan menolak intoleransi.
 Secara eksplisit, kata toleransi tidak ditemukan dalam Alquran, tetapi padanan
kata tersebut, al-tasảmuh dijumpai dalam tradisi prophetik Islam. Kata yang sesuai
dengan akar kata al-tasảmuh ditemukan di dalam hadis, inni ursiltu bi al-hanifiyyat al-
sahmah. Dalam hadis lain disebutkan;
  ‫أَ َحبٌّ ال ِّد ْي ِن إِل َى هللاِ ال َحنِ ْيفِيَّةُ ال َّس ْم َحة‬ 
[agama yang paling dicintai di sisi Allah adalah agama yang berorientasi pada semangat
mencari kebenaran secara toleran dan lapang].
Makna as-samhah, dalam konteks ini mengandung afinitas linguistik
dengan tasâmuh atau samâha, sebuah terminologi Arab modern untuk merujuk pada
toleransi. Hadis Nabi Muhammad saw. ini seringkali dipakai sebagai rujukan Islam
untuk mendukung toleransi atas agama-agama lain, di mana beliau diutus Allah swt.
untuk menyebarkan ajaran toleransi tersebut.
Toleransi dalam Islam merupakan persoalan yang menarik danpenting untuk dikaji,
karena banyak di kalangan umat Islam yang memahami toleransi dengan pemahaman
yang kurang tepat. Misalnya, kata “toleransi” dijadikan landasan paham pluralisme yang
menyatakan bahwa “semua agama itu benar” atau dijadikan alasan untuk
memperbolehkan seorang muslim dalam mengikuti acara-acara ritual non-muslim. Lebih
tragis danironis lagi, kata toleransi dipakai oleh sebagian orang Islam untuk mendukung
eksistensi aliran sempalan bahkan sesat baik secara sadar maupun tidak sadar. Seolah-
olah, dengan itu semua akan tercipta toleransi sejati yang berujung kepada kerukunan
antar umat beragama, padahal yang dikorbankan adalah akidah umat Islam.
Oleh karena itu, diperlukan kajian tentang bagaimana sesungguhnya konsep
toleransi dalam Islam baik berdasarkan Alquran maupun Hadis, yang belakangan
semakin absurd (dikaburkan). Umat Islam harus memahami secara  benar tentang konsep
28
toleransi ini, sehingga tidak terjebak pada ketidaktahuan  dan menjadi sasaran empuk
propaganda pemikiran yang merusak Islam. Dalam konteks ini, kajian singkat toleransi
ini penting, atau meminjam istilah Yusuf Qardhawi, ia ditujukan untuk menjelaskan
konsepsi yang sebenarnya (taudîh al-haqâiq), menghilangkan keragu-raguan (izâlah as-
subuhât), serta melurus-kan persepsi yang keliru (tashîh al-afhâm).[3]
Berdasarkan pemikiran di atas, makalah ini membahas bagaimana toleransi dalam
Islam berdasarkan hadis-hadis Rasulullah saw., yang dikaitkan dengan ayat-ayat Alquran
secara tematik. Dengan demikian ditemukan keje-lasan konsep, pemikiran dan
pemahaman tentang apa itu toleransi, dan bagaimana toleransi berdasarkan hadis-hadis
Nabi Muhammad saw., dan Alquran sebagai pedoman bagi umat Islam ditengah
persinggungan pluralitas masyarakat global. Sebab apa yang disampaikan dalam hadis
merupakan manifestasi dari apa yang disampaikan dalam Alquran.

Definisi Toleransi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan
bahwa artikata ‘toleransi’ berarti sifat atau sikap toleran.[4] Kata toleran sendiri
didefinisikan sebagai “bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan,
membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan
sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.[5]
Toleransi merupakan kata yang diserap dari bahasa Inggris ‘tolerance’ yang berarti
sabar dan kelapangan dada, adapun kata kerja transitifnya adalah ‘tolerate’ yang berarti
sabar menghadapi atau melihat dan tahan terhadap  sesuatu, sementara kata sifatnya
adalah ‘tolerant’ yang berarti bersikap toleran, sabar terhadap sesuatu.
[6] Sedangkanmenurut Abdul Malik Salman, kata tolerance sendiri berasal dari
bahasa Latin: ‘tolerare’ yang berarti berusaha untuk tetap bertahan hidup, tinggal atau
berinteraksi dengan sesuatu yang sebenarnya tidak disukai atau disenangi.[7] Dengan
demikian, pada awalnya dalam makna toleranceterkandung sikap keterpaksaan.
Dalam bahasa Arab, istilah yang lazim dipergunakan sebagai padanan kata
toleransi adalah samâhah atau tasâmuh. Kata ini pada dasarnya berarti al-
jûd (kemuliaan),[8] atau sa’at al-sadr (lapang dada) dan tasâhul (ramah, suka
memaafkan).[9] Makna ini  berkembang menjadi sikap lapang dada atau terbuka
(welcome) dalam menghadapi perbedaan yang bersumber dari kepribadian yang mulia.
[10] Dengan demikian, berbeda dengan kata tolerance yang mengandung nuansa

29
keterpaksaan, maka kata tasâmuh memiliki keutamaan, karena melambangkan sikap
yang bersumber pada kemuliaan diri (al-jûd wa al-karam) dan keikhlasan.
Ahmad ibn Faris dalam kitab Al-Mu’jam al-Maqâyis al-
Lughah,mengartikan kata samâhah dengan suhulah  (mempermudah).[11]Pengertian ini 
dikuatkan Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bâri yang mengartikan kata as-
samhah dengan kata as-sahlah (mudah),[12]dalam memaknai sebuah riwayat yang
berbunyi, Ahabbu ad-din ila Allâh al-hanifiyyah as-samhah. Perbedaan arti ini sudah
barang tentu mempengaruhi pemahaman penggunaan kata-kata ini dalam  bahasa
Arab dan Inggris.
Pemahaman tentang toleransi tidak dapat berdiri sendiri, karena terkait erat dengan
suatu realitas lain yang merupakan penyebab langsung dari lahirnya toleransi, yaitu
pluralisme (Arab: ta’addudiyyat). Dengan demiki-an untuk mendapatkan pengertian
tentang toleransi yangbaik, maka pemahaman yang benar mengenai pluralisme adalah
suatu keniscayaan. Kajian tentang hadis-hadis tentang toleransi pada makalah ini
merujuk pada makna asli kata samâhah dalam bahasa Arab (yang artinya
mempermudah, memberi kemurahan dan keluasan). Akan tetapi, makna memudahkan
dan memberi keluasan di sini bukan mutlak sebagaimana dipahami secara bebas,
melainkan tetap bersandar padaAlquran dan Hadis.

  Toleransi dalam Perspektif Hadis Nabi saw.


Dalam hadis Rasulullah saw. ternyata cukup banyak ditemukan hadis-hadis yang
memberikan perhatian secara verbal tentang toleransi sebagai karakter ajaran inti Islam. 
Hal ini tentu menjadi pendorong yang kuat untuk menelusuri ajaran toleransi dalam
Alquran, sebab apa yang disampaikan dalam hadis merupakan manifestasi dari apa yang
disampaikan dalam Alquran.
Di dalam salah satu hadis Rasulullah saw., beliau bersabda :
         
َ ‫ق ع َْن دَا ُو َد ْب ِن ْالح‬
‫ ةَ َع ِن اب ِْن‬P‫ي ِْن ع َْن ِع ْك ِر َم‬P‫ُص‬ َ ‫ َحا‬P‫ا ُم َح َّم ُد بْنُ إِ ْس‬P‫ا َل أن‬Pَ‫ ُد ق‬P‫َح َّدثَنِا عبد هللا حدثنى أبى حدثنى يَ ِزي‬
]13[.ُ‫ ْال َحنِيفِيَّةُ ال َّس ْم َحة‬ ‫قَا َل‬ ِ ‫أَ َحبُّ إِلَى هَّللا‬ ‫أَيُّ ْاألَ ْديَا ِن‬ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ِ ‫ال قِي َل لِ َرسُو ِل هَّللا‬
َ َ‫س ق‬
ٍ ‫َعبَّا‬
[Telah menceritakan kepada kami Abdillah, telah menceritakan kepada saya Abi telah
menceritakan kepada saya Yazid berkata; telah mengabarkan kepada kami Muhammad
bin Ishaq dari Dawud bin Al Hushain dari Ikrimah dari Ibnu 'Abbas, ia berkata;
Ditanyakan kepada Rasulullah saw. "Agama manakah yang paling dicintai oleh Allah?"
maka beliau bersabda: "Al-Hanifiyyah As-Samhah (yang lurus lagi toleran)]"
30
Ibn Hajar al-Asqalany ketika menjelaskan hadis ini, beliau berkata: “Hadis ini di
riwayatkan oleh Al-Bukhari pada kitab Iman, Bab Agama itu Mudah” di dalam sahihnya
secara mu'allaq dengan tidak menyebutkan sanadnya karena tidak termasuk dalam
kategori syarat-syarat hadis sahih menurut Imam al-Bukhari, akan tetapi beliau
menyebutkan sanadnya secara lengkap dalam al-Adâb al-Mufrad  yang diriwayatkan
dari sahabat Abdullah ibn ‘Abbas dengan sanad yang hasan.[14] Sementara Syekh
Nasiruddin al-Albani mengatakan bahwa hadis ini adalah hadis yang kedudukannya
adalah hasan lighairih.”[15]
Berdasarkan hadis di atas dapat dikatakan bahwa Islam adalah agama yang toleran
dalam berbagai aspeknya, baik dari aspek akidah maupun syariah, akan tetapi toleransi
dalam Islam lebih dititikberatkan pada wilayah mua’malah. Rasulullah saw. bersabda :

ِ ‫ ِد هَّللا‬P ‫ ابِ ِر ب ِْن َع ْب‬P‫ ِد ِر ع َْن َج‬P‫ف قَا َل َح َّدثَنِي ُم َح َّم ُد بْنُ ْال ُم ْن َك‬ٍ ‫ش َح َّدثَنَا أَبُو َغسَّانَ ُم َح َّم ُد بْنُ ُمطَ ِّر‬ ٍ ‫َح َّدثَنَا َعلِ ُّي بْنُ َعيَّا‬
‫تَ َرى َوإِ َذا‬P‫اش‬ َ ِ ‫و َل هَّللا‬P‫ا أَ َّن َر ُس‬PP‫ َي هَّللا ُ َع ْنهُ َم‬P‫ض‬
ْ ‫ا َع َوإِ َذا‬PPَ‫ ْمحًا إِ َذا ب‬P‫ َر ِح َم هَّللا ُ َر ُجاًل َس‬ ‫ا َل‬PPَ‫لَّ َم ق‬P‫ ِه َو َس‬P‫لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي‬P‫ص‬ ِ ‫َر‬
َ َ‫ا ْقت‬
]16[.‫ضى‬

[Telah menceritakan kepada kami 'Ali bin 'Ayyasy telah menceritakan kepada kami Abu
Ghassan Muhammad bin Mutarrif berkata, telah menceritakan kepada saya Muhammad
bin al-Munkadir dari Jabir bin 'Abdullah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Allah
merahmati orang yang memudahkan ketika menjual dan ketika membeli,  dan ketika
memutuskan perkara"].
Imam al-Bukhari memberikan makna pada kata ‘as-samâhah’dalam hadis ini
dengan kata kemudahan, yaitu pada “Bab Kemudahan dan Toleransi dalam Jual-Beli”.
[17] Sementara Ibn Hajar al-‘Asqalâni ketika mengomentari hadis ini beliau berkata:
"Hadis ini menunjukkan anjuran untuk toleransi dalam interaksi sosial dan menggunakan
akhlak mulia dan budi yang luhur dengan meninggalkan kekikiran terhadap diri sendiri,
selain itu juga menganjurkan untuk tidak mempersulit manusia dalam mengambil hak-
hak mereka serta menerima maaf dari mereka.[18]
Islam sejak diturunkan berlandaskan pada asas kemudahan, sebagai-mana
Rasulullah saw. bersabda :

‫ ِعي ٍد‬P‫ ِعي ِد ْب ِن أَبِي َس‬P‫ي ع َْن َس‬ ِ Pَ‫ ُر بْنُ َعلِ ٍّي ع َْن َم ْع ِن ب ِْن ُم َح َّم ٍد ْال ِغف‬P‫ َّدثَنَا ُع َم‬P‫ا َل َح‬PPَ‫الَ ِم بْنُ ُمطَه ٍَّر ق‬P‫الس‬
ِّ ‫ار‬P َّ ‫ ُد‬P‫َح َّدثَنَا َع ْب‬
َّ‫ ٌد إِال‬PP‫ ِّدينَ أَ َح‬PP‫ا َّد ال‬PP‫ ٌر َولَ ْن ي َُش‬PP‫ ِّدينَ ي ُْس‬PP‫إِ َّن ال‬ ‫ا َل‬PPَ‫لَّ َم ق‬PP‫ ِه َو َس‬PPْ‫لَّى هَّللا ُ َعلَي‬PP‫ص‬ َ ‫ي ع َْن أَبِي هُ َري‬
َ ‫رةَ ع َْن النَّبِ ِّي‬PPْ ِ ‫ْال َم ْقب‬
ِّ ‫ر‬PPُ
]19[.‫اربُوا َوأَ ْب ِشرُوا َوا ْستَ ِعينُوا بِ ْال َغ ْد َو ِة َوالرَّوْ َح ِة َو َش ْي ٍء ِم ْن ال ُّد ْل َج ِة‬
ِ َ‫فَ َس ِّددُوا َوق‬ ُ‫َغلَبَه‬
31
[Telah menceritakan kepada kami Abdus Salam bin Muthahhar berkata, telah
menceritakan kepada kami Umar bin Ali dari Ma'an bin Muhammad Al Ghifari dari
Sa'id bin Abu Sa'id Al Maqburi dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Sesungguhnya agama itu mudah, dan tidaklah seseorang
mempersulit agama kecuali dia akan dikalahkan (semakin berat dan sulit). Maka
berlakulah lurus kalian, men-dekatlah (kepada yang benar) dan berilah kabar gembira
dan minta tolong-lah dengan al-ghadwah (berangkat di awal pagi) dan ar-
ruhah(berangkat setelah zhuhur) dan sesuatu dari ad-duljah (berangkat di waktu
malam)"].
Ibn Hajar al-‘Asqalâni berkata bahwa makna hadis ini adalah larangan
bersikap tasyaddud  (keras) dalam agama yaitu ketika seseorang memaksa-kan diri dalam
melakukan ibadah sementara ia tidak mampu melaksana-kannya itulah maksud dari
kata : "Dan sama sekali tidak seseorang berlaku keras dalam agama kecuali akan
terkalahkan" artinya bahwa agama tidak dilaksanakan dalam bentuk pemaksaan maka
barang siapa yang memaksakan atau berlaku keras dalam agama, maka agama akan
mengalahkannya dan menghentikan tindakannya.[20]
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa suatu ketika Rasulullah saw. datang kepada
‘Aisyah ra., pada waktu itu terdapat seorang wanita bersama ‘Aisyah ra., wanita tersebut
memberitahukan kepada Rasulullah saw. perihal salatnya, kemudian Rasulullah saw.
bersabda :

ِ ‫ َعلَ ْي ُك ْم بِ َما تُ ِطيقُونَ فَ َوهَّللا ِ اَل يَ َملُّ هَّللا ُ َحتَّى تَ َملُّوا َو َكانَ أَ َحبَّ الد‬،ْ‫َمه‬
َ ‫ِّين إِلَ ْي ِه َمادَا َم َعلَ ْي ِه‬
ُ‫صا ِحبُه‬
["Hentikan, Kerjakan apa yang sanggup kalian kerjakan, dan demi Allah sesungguhnya
Allah tidak bosan hingga kalian bosan, dan Agama yang paling dicintai disisi-Nya adalah
yang dilaksanakan oleh pemeluknya secara konsisten"].[21]

Hadis ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw. tidak memuji amalan-amalan yang
dilaksanakan oleh wanita tersebut, dimana wanita itu menberitahukan kepada Rasulullah
saw. tentang salat malamnya yang membuatnya tidak tidur pada malam hari hanya
bertujuan untuk mengerja-kannya, hal ini ditunjukkan ketika Rasulullah saw.
memerintahkan kepada ‘Aisyah ra. untuk menghentikan cerita sang wanita, sebab
amalan yang dilaksanakannya itu tidak pantas untuk dipuji secara syariat karena di
dalamnya mengandung unsur memaksakan diri dalam menjalankan ajaran-ajaran Islam,

32
sementara Islam melarang akan hal tersebut sebagaimana yang ditunjukkan pada hadis
sebelumnya.[22]
Keterangan ini menunjukkan bahwa di dalam agama sekalipun terkandung nilai-
nilai toleransi, kemudahan, keramahan, dan kerahmatan yang sejalan dengan
keuniversalannya sehingga menjadi agama yang relevan pada setiap tempat dan zaman
bagi setiap kelompok masyarakat dan umat manusia.
Terdapat banyak ayat-ayat Alquran yang menjelaskan bahwa Islam adalah agama
yang sarat dengan kemudahan di antaranya adalah firman Allah swt:
ٍ ‫هُ َو اجْ تَبَا ُك ْم َو َما َج َع َل َعلَ ْي ُك ْم فِي الدِّي ِن ِم ْن َح َر‬--- 
--- ‫ج‬
[Dia telah memilih kamu. Dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama
suatu kesempitan].[23]
Pada ayat lain Allah berfirman :
--- ‫ي ُِري ُد هّللا ُ بِ ُك ُم ْاليُ ْس َر َوالَ ي ُِري ُد بِ ُك ُم ْال ُع ْس َر‬--- 
[Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu].
[24]
Selanjutnya,  di dalam hadis riwayat Muslim, Rasulullah saw. bersabda :
ً ‫"هَلَكَ ْال ُمتَنَطِّعُونَ " قَالَهَا ثَاَل‬
‫ث‬
["Kehancuran bagi mereka yang melampaui batas" diulangi sebanyak tiga kali”].[25]

Kata "al-Mutanatti'un" adalah orang-orang yang berlebihan dan me-lampaui batas


dalam menjelaskan dan mengamalkan ajaran-ajaran agama.[26] Al-Qâdi ‘Iyad
mengatakan bahwa, maksud dari kehancuran mereka adalah di akhirat.[27] Hadis ini
merupakan peringatan untuk menghindari sifat keras dan berlebihan dalam
melaksanakan ajaran agama.[28]
Toleransi dalam Islam bukan berarti bersikap sinkretis. Pemahaman yang sinkretis
dalam toleransi beragama merupakan dan kesalahan dalam memahami arti tasâmuh yang
berarti menghargai, yang dapat mengakibat-kan pencampuran antar yang hak dan yang
batil (talbisu al-haq bi al-bâtil), karena sikap sinkretis adalah sikap yang menganggap
semua agama sama. Sementara sikap toleransi dalam Islam adalah sikap menghargai dan
menghormati keyakinan dan agama lain di luar Islam, bukan menyamakan atau
mensederajatkannya dengan keyakinan Islam itu sendiri.
Sikap toleransi dalam Islam yang berhubungan dengan akidah sangat jelas yaitu
ketika Allah swt. memerintahkan kepada Rasulullah saw. untuk mengajak para Ahl al-

33
Kitab untuk hanya menyembah dan tidak menye-kutukan Allah swt., sebagaimana
firman-Nya:
[Katakanlah: "Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat
(ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa kita  tidak
sembah kecuali Allah dan kita tidak persekutukan dia dengan sesuatupun dan tidak
(pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah".
Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka, "Saksikanlah, bahwa kami
adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)"].[29]

Pada ayat ini terdapat perintah untuk mengajak para ahli kitab dari kalangan
Yahudi dan Nasrani untuk menyembah kepada Tuhan yang tunggal dan tidak
mempertuhankan manusia tanpa paksaan dan kekerasan sebab dalam dakwah Islam tidak
mengenal paksaan untuk beriman sebagaimana Allah swt. berfirman:
‫آلإِ ْك َراهَ فِ ْي ال ِّد ْي ِن‬
[Tidak ada paksaan dalam beragama][30]
Dalam beberapa riwayat diketahui Rasulullah saw. Juga mendoakan agar Allah
swt. memberikan kepada mereka (kaum musyrik) hidayah untuk beriman kepada-Nya
dan kepada risalah yang dibawa oleh Rasulullah saw. Diantara riwayat-riwayat tersebut
adalah kisah qabilah Daus yang menolak dakwah Islam yang disampaikan oleh Tufail
bin Amr ad-Dausi, kemudian sampai hal ini kepada Rasulullah saw.,  lalu beliau berdo'a :
ِ ‫"اللَّهُ َّم ا ْه ِد دَوْ سًا َو ْأ‬ 
"‫ت بِ ِه ْم‬
[Ya Allah, tunjukilah qabilah Daus hidayah dan berikan hal itu kepada mereka].[31]

Berdasarkan riwayat di atas, maka benarlah bahwa Rasulullah saw. diutus menjadi
rahmat bagi seluruh alam. Beliau tidak tergesa-gesa mendoakan mereka (orang kafir)
dalam kehancuran, selama masih terdapat kemungkinan diantara mereka untuk
menerima dakwah Islam, sebab beliau masih mengharapkannya masuk Islam. Adapun
kepada mereka yang telah sampai  dakwah selama beberapa tahun lamanya, tetapi tidak
terdapat tanda-tanda kenginan untuk menerima dakwah Islam dan dikhawatirkan bahaya
yang besar akan datang dari mereka seperti pembesar kaum musyrik Quraisy (Abu Jahal
dan Abu Lahab dkk), barulah Rasulullah mendoakan kehancuran atas nama mereka.[32]
Sikap Rasululullah saw yang  mendoakan dan mengharapkan orang-orang musyrik
supaya menjadi bagian umat Islam, menguatkan bahwa Rasulullah saw.  diutus
membawa misi toleransi, sebagaimana sabda beliau;
34
]33[  ‫ت بِ ْال َحنِيفِيَّ ِة ال َّس ْم َح ِة‬ ْ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم إِنِّي لَ ْم أُ ْب َع‬
ُ ‫ث بِ ْاليَهُو ِديَّ ِة َوالَ بِالنَّصْ َرانِيَّ ِة َولَ ِكنِّي بُ ِع ْث‬ َ ‫فَقَا َل النَّبِ ُّي‬ 
[Maka Rasulullah saw bersabda, “sesungguhnya aku tidak diutus untuk orang-orang
Yahudi dan Nasrani, akan tetapi aku diutus untuk orang-orang yang lurus terpuji.”]

Analisis terhadap Toleransi dalam Islam
Ulasan terhadap hadis-hadis yang telah dikemukakan terdahulu, menunjukkan
bahwa  toleransi dalam hadis mengarah kepada sikap terbuka dan mau mengakui adanya
berbagai macam perbedaan, baik dari sisi suku bangsa, warna kulit, bahasa, adat-istiadat,
budaya, bahasa serta agama, atau yang lebih populer dengan sebutan inklusivisme,
pluralisme dan multikulturalisme. Hal ini sejalan firman Allah swt:

َ ‫يَا أَيُّهَا النَّاسُ ِإنَّا َخلَ ْقنَا ُكم ِّمن َذ َك ٍر َوأُنثَى َو َج َع ْلنَا ُك ْم ُشعُوبا ً َوقَبَائِ َل لِتَ َع‬
‫ا ُك ْم إِ َّن هَّللا َ َعلِي ٌم‬PPَ‫ارفُوا إِ َّن أَ ْك َر َم ُك ْم ِعن َد هَّللا ِ أَ ْتق‬
]34[‫خَ بِي ٌر‬
[Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi
Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Mahamengetahui lagi Mahamengenal].
Seluruh manusia berada dalam lingkaran ‘sunnatullah’ ini. Ayat ini
mengindikasikan bahwa Allah swt menciptakan adanya perbedaan dan penting untuk
menghadapi dan menerima perbedaan-perbedaan itu, termasuk dalam konteks teologis.
Toleransi antar umat beragama yang berbeda termasuk ke dalam salah satu kajian
penting yang ada dalam sistem teologi Islam. Oleh karena Allah
swt.  telah mengingatkan  akan keragaman kebenaran teologis dan jalan
keselamatan manusia, sebagaimana firman Allah swt. :
‫ا‬PP‫ا ُر بِ َم‬PPَ‫ُوا َوال َّربَّانِيُّونَ َواألَحْ ب‬
ْ ‫اد‬PPَ‫وا لِلَّ ِذينَ ه‬
ْ ‫لَ ُم‬PP‫ا النَّبِيُّونَ الَّ ِذينَ أَ ْس‬PPَ‫و ٌر يَحْ ُك ُم بِه‬PPُ‫دًى َون‬PPُ‫ا ه‬PPَ‫ا التَّوْ َراةَ فِيه‬PPَ‫إِنَّا أَن َز ْلن‬
]35[ ‫وا َعلَ ْي ِه ُشهَدَاء‬ ْ ُ‫ب هّللا ِ َو َكان‬ ْ ُ‫ا ْستُحْ فِظ‬
ِ ‫وا ِمن ِكتَا‬
[Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan
cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi
oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan
pendeta-pendeta mereka, disebab-kan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab
Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya].
Dalam ayat lain disebutkan:
َ‫ َو َموْ ِعظَةً لِّ ْل ُمتَّقِين‬  ‫صدِّقا ً لِّ َما بَ ْينَ يَ َد ْي ِه ِمنَ التَّوْ َرا ِة َوهُدًى‬
َ ‫َوآتَ ْينَاهُ ا ِإلن ِجي َل فِي ِه هُدًى َونُو ٌر َو ُم‬
35
[Dan Kami telah mendatangkan Injil kepada Isa al-Masih, di dalamnya terdapat 
petunjuk dan cahaya dan membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu Kitab Taurat. Dan
menjadi petunjuk serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa].
Kedua ayat tersebut di atas dipahami bahwa dalam kitab tersebut juga terdapat
kebenaran, dan bersumber dari Allah Swt yang diwahyukannya melalui orang-orang
pilihan-Nya. Bahkan Allah swt. juga memberikan penghargaan yang setara terhadap
umat Yahudi dan Nasrani yang melaksanakan hukum-Nya sebagaimana disebutkan
dalam Alquran;
َ ‫صا َرى َم ْن آ َمنَ بِاهّلل ِ َو ْاليَوْ ِم اآل ِخ ِر و َع ِم َل‬
ٌ ْ‫ و‬P‫صالِحا ً فَالَ َخ‬
‫ف َعلَ ْي ِه ْم‬ ْ ‫وا َوالَّ ِذينَ هَاد‬
َ َّ‫ُوا َوالصَّابِ ُؤونَ َوالن‬ ْ ُ‫إن الَّ ِذينَ آ َمن‬
َّ
َ‫َوالَ هُ ْم يَحْ َزنُون‬
[Sesungguhnya orang-orang mu'min, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang
Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar saleh, maka tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati].
Ayat ini menegaskan bahwa yang mendapatkan perlindungan dari Allah swt nanti
tidak semata-mata penganut agama tertentu saja, melainkan juga termasuk mereka yang
beriman dan melakukan amal saleh. Asbab an-nuzul ayat ini menjelaskan, pada suatu
hari Salman al-Farisi mendatangi Rasulullah saw. dan menceritakan keadaan penduduk
al-Dayr, yang mana mereka melakukan shalat, puasa, beriman dan bersaksi tentang
kenabian Muhammad saw.  Lalu Rasulullah saw. berkata kepada Salman, “Mereka
adalah penduduk neraka”. Kemudian Allah swt menegur Rasulullah saw. dan
menurunkan ayat tersebut, bahwa sesungguhnya orang-orang Muslim, Yahuni, Nasrani,
Sabiin dan Majusi, terutama mereka yang beriman kepada Allah, Hari Akhir dan
melakukan amal saleh, mereka akan mendapatkan surga-Nya.[36] Allah swt yang
Mahaagung dan Mahaadil akan bertindak sebagai hakim dala memutuskan amal
perbuatan setiap hamba-Nya.[37]
Dengan demikian, Islam dalam konteks QS. Ali Imran/3: 85 (bahwa agama yang
diterima disisi Allah hanya Islam), harus dipahami sebagai agama yang dibawa Nabi
Muhammmad saw. sebagai kelanjutan dan penyempurnaan dari agama yang dibawa para
nabi sebelumnya, yang bermula pada Nabi Ibrahim as. sampai kepada Nabi Musa as. dan
Isa as. [38]
Toleransi dalam beragama bukan berarti boleh bebas menganut agama
tertentu, atau dengan bebasnya mengikuti ibadah dan ritualitas semua agama tanpa
adanya peraturan yang mengikat. Akan tetapi, toleransi beragama harus dipahami
sebagai bentuk pengakuan  akan adanya agama-agama lain dengan segala bentuk sistem
36
dan tata cara peribadatannya dan memberikan kebebasan untuk menjalankan keyakinan
agama masing-masing.
Sikap penerimaan dan pengakuan terhadap yang lain, sebagai ajaran toleransi yang
ditawarkan Islam, sebagaimana disebutkan dalamhadis-hadis maupun ayat
Alquran cukup rasional dan praktis. Namun, dalam hubungannya dengan keyakinan
(akidah) dan ibadah, tidak bisa disamakan dan dicampuradukkan,
yang berarti bahwa keyakinan Islam kepada Allah swt  tidak sama dengan keyakinan
para penganut agama lain terhadap tuhan-tuhan mereka, dan juga tatacara
ibadahnya. Walaupun demikian, Islam tetap melarang penganutnya mencela tuhan-tuhan
dalam agama manapun. Oleh karena itu, kata tasâmuh atau toleransi dalam Islam bukan
sesuatu yang asing, tetapi sudah melekat sebagai ajaran inti Islam untuk
diimplementasiklan  dalam kehidupan sejak agama Islam itu lahir. Dalam konteks inilah
hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari tentang  ُ‫ ْال َحنِيفِيَّةُ ال َّس ْم َحة‬ ‫قَا َل‬ ِ ‫أَ َحبُّ إِلَى هَّللا‬ [agama yang
paling dicintai oleh Allah, adalah al-hanifiyyah as-samhah (yang lurus yang penuh
toleransi), itulah agama Islam.

Kaitan toleransi dengan  persaudaraan sesama Muslim


Berkaitan dengan hubungan toleransi dengan persaudaraan sesama Muslim, dalam
hal ini Allah swt. berfirman
]39[ َ‫إِنَّ َما ْال ُم ْؤ ِمنُونَ إِ ْخ َوةٌ فَأَصْ لِحُوا بَ ْينَ أَ َخ َو ْي ُك ْم َواتَّقُوا هَّللا َ لَ َعلَّ ُك ْم تُرْ َح ُمون‬
[Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah
hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu
mendapat rahmat].
Dalam ayat ini, Allah menyatakan bahwa orang-orang mukmin bersaudara dan
memerintahkan untuk melakukan islah(mendamaikannya  untuk perbaikan hubungan)
jika seandainya terjadi kesalahpahaman di antara mereka atau kelompok umat Islam.
Untuk mengembangkan sikap toleransi secara umum,  terlebih dahulu dengan
mensikapi perbedaan (pendapat) yang (mungkin) terjadi pada keluarga dan saudara
sesama muslim. Sikap toleransi dimulai dengan cara membangun kebersamaan atau
keharmonisan dan menyadari adanya perbedaan dan menyadari bahwa semua adalah
bersaudara, maka akan timbul rasa kasihsayang, saling pengertian yang pada akhirnya
akan bermuara pada sikap toleran. Dalam konteks  pengamalan agama, Alquran secara
tegas memerintahkan orang-orang mukmin untuk kembali kepada Allah swt.
dan sunnah Rasulullah saw.[40]
37
Kaitan toleransi dengan mu’amalah antar  umat  beragama
Toleransi antar umat beragama dapat dimaknai sebagai suatu sikap untuk dapat
hidup bersama masyarakat penganut agama lain dengan memiliki kebebasan untuk
menjalankan prinsip-prinsip keagamaan (ibadah) masing-masing, tanpa adanya paksaan
dan tekanan, baik untuk beribadah maupun tidak beribadah dari satu pihak ke pihak
lain. Sebagai implementasinya dalam praktek kehidupan sosial dapat dimulai dari sikap
bertetangga, karena toleransi yang paling hakiki adalah sikap kebersamaan antara
penganut keagamaan dalam kehidupan sehari-hari.
Sikap toleransi antar umat beragama bisa dimulai dari hidup bertetangga baik
dengan tetangga yang seiman dengan kita atau tidak. Sikap toleransi itu direfleksikan
dengan cara saling menghormati, saling memulia-kan dan saling tolong-menolong. Hal
ini telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. saat beliau dan para sahabat sedang
berkumpul, lewatlah rombongan orang Yahudi yang mengantar jenazah.
Nabi Muhammad saw. langsung berdiri memberikan penghormatan. Seorang sahabat
berkata: “Bukankah mereka orang Yahudi, ya Rasul?” Nabi saw.. menjawab “Ya, tapi
mereka manusia juga”. Hadis ini hendak  menjelaskan bahwa, bahwa sisi akidah atau
teologi bukanlah urusan manusia, melainkan urusan Allah swt. dan tidak ada kompromi
serta sikap toleran di dalamnya. Sedangkan urusan mu’amalah antar sesama tetap
dipelihara dengan baik dan harmonis.
Saat Umar bin Khattab ra. memegang amanah sebagai khalifah, ada sebuah kisah
dari banyak teladan beliau tentang toleransi, yaitu saat Islam berhasil membebaskan
Jerusalem dari penguasa Byzantium pada Februari 638 M. Tidak ada kekerasan yang
terjadi dalam ‘penaklukan’ ini.  Singkat cerita, penguasa Jerusalem saat itu,  Patriarch
Sophorinus, “menyerahkan kunci” kota dengan begitu saja. Suatu ketika, khalifah Umar
dan Patriarch Sophorinus menginspeksi gereja tua bernama Holy Sepulchre. Saat tiba
waktu shalat, beliau ditawari Sophronius shalat di dalam gereja itu. Umar menolak
seraya berkata, “Jika saya shalat di dalam, orang Islam sesudah saya akan menganggap
ini milik mereka hanya karena saya pernah shalat di situ.” Beliau kemudian mengambil
batu dan melemparkannya keluar gereja. Di tempat batu  jatuh itulah beliau kemudian
shalat. Umar kemudian menjamin bahwa gereja itu tidak akan diambil atau dirusak
sampai kapan pun dan tetap terbuka untuk peribadatan umat Nasrani.[41]

Tidak ada toleransi dalam akidah


38
Mengenai sistem keyakinan dan agama yang berbeda-beda, Alquran menegaskan:
‫ا‬PP‫ ُدونَ َم‬P ِ‫ َواَل أَنتُ ْم عَاب‬  ‫ َواَل أَنَا عَابِ ٌد َّما َعبَدتُّ ْم‬  ‫ َواَل أَنتُ ْم عَابِ ُدونَ َما أَ ْعبُ ُد‬   َ‫اَل أَ ْعبُ ُد َما تَ ْعبُ ُدون‬   َ‫قُلْ يَا أَيُّهَا ْال َكافِرُون‬  
]42[‫لَ ُك ْم ِدينُ ُك ْم َولِ َي ِدي ِن‬ ‫أَ ْعبُ ُد‬
[Katakanlah: "Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu
sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah
menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi
penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan untukku agamaku].

Latar belakang turunnya ayat ini (asbấb an-nuzủl), ketika kaum kafir Quraisy
berusaha membujuk Rasulullah saw., "Sekiranya engkau tidak keberatan mengikuti kami
(menyembah berhala) selama setahun, kami akan mengikuti agamamu selama setahun
pula." Setelah Rasulullah saw. membacakan ayat ini kepada mereka maka berputus-
asalah kaum kafir Quraisy, sejak itu semakin keras sikap permusuhan mereka kepada
Rasulullah saw. Dua kali Allah swt. memperingatkan Rasulullah saw.: "Aku tidak akan
menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak menyembah Tuhan yang aku
sembah." Artinya, umat Islam sama sekali tidak boleh melakukan peribadatan yang
diadakan oleh non-muslim, dalam bentuk apapun.
Ayat ini menegaskan, bahwa semua manusia menganut agama tunggal merupakan
suatu keniscayaan. Sebaliknya, tidak mungkin manusia meng-anut beberapa agama
dalam waktu yang sama atau mengamalkan ajaran dari berbagai agama secara simultan.
Oleh sebab itu, Alquran menegaskan bahwa umat Islam tetap berpegang teguh pada
sistem ke-Esaan Allah secara mutlak; sedangkan orang kafir pada ajaran ketuhanan yang
ditetapkannya sendiri.
Dalam kondisi sekarang, maka melakukan do'a bersama orang-orang non-muslim
(istighasah), menghadiri perayaan Natal, mengikuti upacara pernikahan mereka atau
mengikuti pemakaman mereka merupakan cakupan dari surah Al-Kafirun. Semua hal itu
tidak boleh diikuti umat Islam, karena berhubungan dengan akidah dan ibadah. Orang-
orang non-muslim juga tidak ada gunanya mengikuti peribadatan kaum muslimin, karena
sama sekali tidak ada nilainya dihadapan Allah swt.
Dalam memahami toleransi, umat Islam tidak boleh salah kaprah.
Toleransi terhadap non-muslim hanya boleh dalam aspek muamalah (perdagangan,
industri, kesehatan, pendidikan, sosial, dan lain-lain),tetapi tidak dalam hal akidah dan
ibadah. Islam mengakui adanya perbedaan, tetapi tidak boleh dipaksakan agar sama
sesuatu yang jelas-jelas berbeda.
39
Dalam sejarah Islam, Nabi Muhammad saw. merupakan teladan yang baik dalam
implementasi toleransi beragama dengan merangkul semua etnis, dan apapun warna kulit
dan kebangsaannya. Kebersamaan merupakan salah satu prinsip yang diutamakan, yang
terkait dengan karakter moderasi dalam Islam, di mana Allah swt berkeinginan
mewujudkan masyarakat Islam yang moderat, sebagaimana firman-Nya:
ً‫اس َويَ ُكونَ ال َّرسُو ُل َعلَ ْي ُك ْم َش ِهيدا‬ ْ ُ‫ك َج َع ْلنَا ُك ْم أُ َّمةً َو َسطا ً لِّتَ ُكون‬
ِ َّ‫وا ُشهَدَاء َعلَى الن‬ َ ِ‫َو َك َذل‬
[Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan
pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad)
menjadi saksi atas (perbuatan) kamu].[43]

Berdasarkan apa yang sudah dijelaskan pada pembahasan, maka dapat


dikemukakan beberapa kesimpulan, antara lain:
1. Toleransi adalah sikap memberikan kemudahan, berlapang dada, mendiam-kan, dan
menghargai sebagaimana yang didefenisikan oleh para pakar leksikograf baik Inggris
maupun Arab.
2. Islam merupakan agama yang menjadikan sikap toleransi sebagai bagian yang
terpenting, sikap ini lebih banyak teraplikasi dalam wilayah interaksi sosial
sebagaimana yang ditunjukkan dari sikap Rasulullah saw. terhadap non muslim pada
zaman beliau masih hidup.
3. Sikap toleransi dalam beragama adalah menghargai keyakinan agama lain dengan
tidak bersikap sinkretis yaitu dengan menyamakan keyakinan agama lain dengan
keyakinan Islam itu sendiri, menjalankan keyakinan dan ibadah masing-masing.
4. Sikap toleransi tidak dapat dipahami secara terpisah dari bingkai syariat, sebab jika
terjadi, maka akan menimbulkan kesalah pahaman makna yang berakibat
tercampurnya antara yang hak dan yang batil.
5. Ajaran toleransi merupakan suatu yang melekat dalam prinsip-prinsip ajaran Islam
sebagaimana terdapat pada iman, islam, dam ihsan.

G. Upaya Melakukan Toleransi


Upaya meneguhkan toleransi merupakan tindak lanjut dari proses membangun
kebersamaan dan kesetiakawanan di antara umat beragama yang memiliki perbedaan
keyakinan dan cara pandang satu sama lain. Upaya meneguhkan toleransi, (mungkin)

40
ditakdirkan menjadi pekerjaan rumah yang terus-menerus tanggung jawab yang harus
diemban sebagian warga negara Indonesia.
Tantangan dalam melakukan upaya ini datang silih berganti, dan intensitasnya
akan meningkat terutama pada saat-saat menjelang perhelatan politik seperti pemilu atau
pilkada. Bagaimana cara menjawab tantangan inilah antara lain tulisan sederhana ini
diarahkan. Bagi bangsa Indonesia, bulan Desember adalah di antara bulan yang menjadi
tantangan serius bagi pelaksanaan toleransi. Karena di bulan inilah, di ruang-ruang
publik seperti taman, pusat perbelanjaan, dan lain-lain, terpasang ornamen-ornamen
Natal dengan beragam bentuk dan pernik-perniknya. Dan akan selalu menyulut
kontroversi pada saat ada orang yang diketahui beragama Islam mengenakan atribut
Natal seperti topi santa atau yang sejenisnya.
Karena itulah, pada Desember 2016 lalu, Majelis Ulama Indonesia (MUI)
mengeluarkan fatwa haram bagi Muslim mengenakan atribut Natal. Tapi apakah dengan
demikian kontroversinya berhenti? Tidak. Karena fatwa itu sendiri pun menimbulkan
kontroversi di tengah-tengah masyarakat. al halal-haram bagi seorang Mualim
mengucapkan selamat Natal. Ini kontroversi klasik yang senantiasa muncul menjelang
perayaan Natal. MUI boleh saja mengharamkan karena itu merupakan bagian dari
kewenangan yang dimilikinya. Tapi apakah publik akan mengikutinya atau tidak,
merupakan aspek tersendiri yang layak kita cermati.
Yang pasti, Desember akan selalu hadir dengan pernak-pernik Natalnya, sama
seperti pada saat Ramadhan tiba, selalu diikuti dengan pernik-pernik keislaman dan
lebaran. Mencermati masalah ini, kiranya penting bagi kita untuk meneguhkan toleransi.
Caranya dengan memupuk kesadaran akan pentingnya menjalin kebersamaan dalam
masyarakat yang beragam. Kesadaran inilah yang menjadi pintu masuk utama bagi
peneguhan toleransi.
Kesadaran menjalin kebersamaan, sejatinya, sudah menjadi bagian dari
karakteristik masyarakat Indonesia. Sudah puluhan, atau bahkan ratusan, tahun
masyarakat Nusantara hidup dalam keragaman kultur, ras, dan keyakinan. Kekayaan
tradisi kebersamaan ini tercermin dalam beragam simbol, misalnya dalam situs-situs
budaya, artefak, juga karya seni arsitektur yang ditinggalkan orang-orang dulu yang
menggabungkan beragam kultur. Yang menjadi persoalan, pada saat muncul pihak-pihak
tertentu yang mencoba merusak kesadaran publik dengan cara melakukan provokasi
dengan menonjol-nonjolkan pandangan yang mengharamkan ucapan selamat Natal atau

41
yang sejenisnya. Kebersamaan yang sudah terajut selama bertahun-tahun itu pun
terkoyak dalam hitungan hari, jam, atau bahkan menit.
Upaya provokasi tersebut, diakui atau tidak, biasanya justru dilakukan oleh para
cerdik pandai yang pada hakikatnya sudah memiliki pemahaman yang cukup baik
tentang bagaimana cara menjaga keharmonisan. Tapi ambisi politik untuk meraih
kekuasaan, biasanya menjadi faktor pemicu yang menumpulkan kesadaran sehingga ia
akan melakukan apa pun demi memenuhi ambisi politik yang dicita-citakannya.
Agama sebagai bagian dari aspek kehidupan yang bersentuhan langsung dengan
kesadaran emosional, dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang berambisi meraih kekuasaan
dengan memunculkan fanatisme subjektif agar berpihak pada agama yang seolah-olah
merupakan bagian dari panggilan keimanan yang tumbuh dari kedalaman ruhaninya.
Padahal, bisa jadi, yang muncul hanyalah kesadaran simbolik yang artifisial.
Mengapa artifisial? Karena kesadaran beragama yang benar adalah yang
menumbuhkan keharmonisan, kedamaian, dan suasana saling membantu satu sama lain.
Kesadaran beragama yang memicu konflik antarsesama manusia, bukanlah kesadaran
yang otentik, tapi ambisi subjektif kepentingan duniawi yang mengatasnamakan
kesadaran beragama. Maka, pada waktu dan tempat di mana perhelatan politik akan atau
tengah dilakukan, niscaya akan kita temukan langkah-langkah politik subjektif yang
dimanifestasikan dengan mengatasnamakan kesadaran beragama yang otentik. Dan pada
saat itulah, upaya meneguhkan toleransi antarumat beragama menjadi pekerjaan yang
tidak mudah dilakukan.
Meskipun demikian, upaya itu harus tetap dilakukan sebagai bagian dari
implementasi tanggung jawab kemanusiaan. Karena semua manusia pada hakikatnya
sangat membutuhkan suasana kehidupan yang damai, harmonis, dan menyenangkan.
Mereka yang terus-menerus mengupayakan konflik dan perpecahan, barangkali bukan
manusia yang sesungguhnya, tapi mungkin iblis yang menyerupai manusia.

Ayat-Ayat Tentang Anjuran Bertoleransi


Toleransi berasal dari kata “ Tolerare ” yang berasal dari bahasa latin yang berarti
dengan sabar membiarkan sesuatu. Jadi pengertian toleransi secara luas adalah suatu
sikap atau perilakumanusia yang tidak menyimpang dari aturan, dimana seseorang
menghargai atau menghormati setiap tindakan yang orang lain lakukan.

42
Toleransi adalah istilah dalam konteks sosial , budaya  dan agama  yang berarti
sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi  terhadap kelompok-kelompok
yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat.
Contohnya adalah toleransi beragama, dimana penganut mayoritas dalam suatu
masyarakat mengizinkan keberadaan agama-agama lainnya. Istilah toleransi juga
digunakan dengan menggunakan definisi "kelompok" yang lebih luas, misalnya partai
politik , orientasi seksual , dan lain-lain. Hingga saat ini masih banyak kontroversi dan
kritik mengenai prinsip-prinsip toleransi, baik dari kaum liberal  maupun konservatif .
Allah SWT mengatur umat-Nya agar saling mengenal, dan saling menghormati
serta saling menyayangi. Meskipun berbeda agama namun dalam ajaran agama tetap
seorang muslim itu dianjurkan untuk berbuat baik kepada mereka yang berlaian agama.
Namun soal aqidah dan ibadah tidak ada toleransi, dalam melakukan ibadah tidak boleh
dicampur dengan kegiatan yang diluar agama, dan juga tidak boleh dicampur dengan
keyakinan yang di luar agama islam, tidak boleh bersama-sama dalam melakukan ibadah
dengan agama selain islam. Karena agama islam menegaskan “Bagimu agamamu dan
bagiku agamaku”.   Berikut ini uraian tentang toleransi beragama.

Surat Al-Kafirun

a.   Artinya:
1). Katakanlah: Hai orang-orang kafir
2). Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah
3). Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah

43
4). Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah
5). Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah
6). Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku

b.   Kandungan Surat Al-Kafirun


Kandungan dalam surat Al-Kafirun seperti berikut ini, yaitu:
1.  Menurut Hadits Mauquf dari Anas, bahwa membaca surat ini sama dengan
membaca seperempat Al-Qur’an.
2.    Ayat dalam surat tersebut terulang-ulang itu menguatkan pernyataan dan
memberi kefahaman.
Pada masa penyebaran Islam di Mekkah, kaum Quraisy  yang
menentang Rasulullah SAW  tak henti-hentinya mencari cara untuk menghentikan
ancaman. Islam  terhadap kepercayaan nenek moyang mereka. Pada salah satu upaya
tersebut mereka berusaha mengajukan proposal kompromi kepada Rasulullah SAW
dimana mereka menawarkan: jika Rasulullah mau memuja Tuhan mereka, maka
merekapun akan memuja Tuhan sebagaimana konsep Islam. Kemudian surat ini
diturunkan untuk mejawab hal itu. Sebab turunnya yang lain, bahwa Walid bin
Mughirah, Al-‘Ash bin Abdul Muthalib, dan Umayah bin Khalaf bin Khalaf,
mereka mendatangi Rasulullah SAW seraya berkata kepadanya: Hai Muhammad,
bagaimana kalau kita menyebah apa yang kamu sembah, dan kamu juga
menyembah apa yang kami sembah. Dalam Riwayat lain, dengan beda bahasa,
Berkata Kafir Quraisy kepada Nabi Muhammad SAW : kami akan memberimu
kekayaan, sehingga menjadikanmu orang terkaya di Mekkah ini, kami akan
menikahkanmu dengan wanita mana yang kamu senangi, dan kami akan menjadi
pengikutmu (kekuasaan pemerintah di tanganmu), asal kamu mau menyembah Al-
Lata dan Al-Uza

c. Menyimpulkan isi surat Al-kafirun


1. Dalam beribadah harus sungguh-sungguh, dan tidak dikaitkan dengan yang lain.
2. Dalam beribadah, tidak berserikat dengan orang non Islam. Seperti ikut dalam
acara Natalan, Valentinan, dan lain sebagainya.
3. Dalam Muamalah (hubungan dunia) dengan non Islam tidak dilarang. Seperti
Jual-beli, hubungan kemasyarakatan, dan lain-lain.
Surat Yunus 40-41

44
Artinya :
Di antara mereka ada orang-orang yang beriman kepada Al Quran, dan di antaranya
ada (pula) orang-orang yang tidak beriman kepadanya. Tuhanmu lebih mengetahui
tentang orang-orang yang berbuat kerusakan.(40)
Jika mereka mendustakan kamu, Maka Katakanlah: "Bagiku pekerjaanku dan
bagimu pekerjaanmu. kamu berlepas diri terhadap apa yang Aku kerjakan dan
akupun berlepas diri terhadap apa yang kamu kerjakan"(41)
Kandungan isi surat Yunus 40-41:
Dalam ayat 40 ini, Allah SWT menjelaskan bahwa orang yang pernah menerima
seruan dakwah Nabi Muhammad, ada orang-orang yang berIman kepada Al-Qur’an
dan mengikutinya serta memperoleh manfaat dari risalah yang di sampaikannya.
Tapi ada juga yang tidak beriman kepada nabi Muhammad, mereka mati dalam
kekafiran.

Pada ayat yang ke 41 surat Yunus, bahwa Islam sangat menghargai perbedaan-
perbedaan diantara manusia, karena masing-masing punya hak. Dan tidak boleh
memaksakan orang lain memeluk agama Islam, sekalipun Islam agama yang benar.

Surat Al-Kahfi

45
   Artinya : Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka
barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin
(kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya kami Telah sediakan bagi orang orang zalim
itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum,
niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang
menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang
paling jelek.( Q. S. Al Kahfi : 29)

 Isi Kandungan Surat Al Kahfi ayat : 29


1. prinsip kebebasan manusia memilih beriman atau tidak beriman adalah
merupakan kehormatan yang diberikan Allah bagi setiap manusia (Allah tidak
memaksa).
2. Ketidak mampuan mengendalikan diri dalam perbedaan pendapat, akan
berakibat perselisihan dan perpecahan yang berkepanjangan. 
3. Kebebasan memilih beriman atau tidak beriman, membawa konsekwensi yang
ditanggungnya, yaitu keniknatan surga bagi yang beriman dan neraka bagi
orang-orang yang kafir
Kesimpulan
a)  Tuhan yang disembah Nabi Muhammad SAW. dan pengikutnya bukanlah apa
yang disembah oleh orang-orang kafir.
b) Toleransi yang dibenarkan adalah masing-masing umat beragama saling
menghormati, tidak mengganggu dan tidak memaksakan agama kepada orang
lain.
c)   Sikap Manusia terhadap kebenaraan Al-Qur’an ada dua, yakni kelompok
Manusia yang percaya terhadap kebenaran.

H. Pentingnya Menghargai Perbedan Dalam Islam


Pentingnya perilaku toleransi dalam Islam sudah banyak dan sering kita dengar dari
ceramah, khotbah maupun tausiah yang dilakukan oleh para ulama. Toleransi sangat
penting dalam kehidupan manusia, baik dalam berkata-kata maupun dalam
bertingkah laku. Dalam hal ini, toleransi berarti menghormati dan belajar dari orang
lain, menghargai perbedaan, menjembatani kesenjangan di antara kita sehingga
tercapai kesamaan sikap. Toleransi juga merupakan awal dari sikap menerima
bahwa perbedaan bukanlah suatu hal yang salah, justru perbedaan harus dihargai

46
dan dimengerti sebagai kekayaan. Misalnya, perbedaan ras, agama, suku, adat
istiadat, cara pandang, perilaku, pendapat. Dengan perbedaan tersebut, diharapkan
manusia bisa mempunyai sikap toleransi terhadap segala perbedaan yang ada, dan
berusaha hidup rukun, baik individu dan individu, individu dan kelompok
masyarakat, serta kelompok masyarakat dan kelompok masyarakat yang lainnya.
Terkait pentingnya toleransi, Allah Swt. menegaskan dalam firman-Nya sebagai
berikut. Q.S. Yunus/10: 40 Allah Swt. menjelaskan bahwa setelah Nabi Muhammad
saw. berdakwah, ada orang yang beriman kepada al-Qur’an dan mengikutinya serta
memperoleh manfaat dari risalah yang disampaikan, tapi ada juga yang tidak
beriman dan mereka mati dalam kekafiran. Pada Q.S. Yunus/10: 41 Allah Swt.
memberikan penegasan kepada rasul-Nya, bahwa jika mereka mendustakanmu,
katakanlah bahwa bagiku pekerjaanku, dan bagi kalian pekerjaan kalian, kalian
berlepas diri dari apa yang aku kerjakan dan aku berlepas diri terhadap apa yang
kalian kerjakan. Allah Swt. Maha adil dan tidak pernah ẓalim, bahkan Dia memberi
kepada setiap manusia sesuai dengan apa yang diterimanya. Dari penjelasan ayat
tersebut dapat disimpulkan hal-hal berikut. Umat manusia yang hidup setelah
diutusnya Nabi Muhammad saw. terbagi menjadi 2 golongan, ada umat yang
beriman terhadap kebenaran kerasulan dan kitab suci yang disampaikannya dan ada
pula golongan orang yang mendustakan kerasulan Nabi Muhammad saw. dan tidak
beriman kepada al-Qur’an. Allah Swt. Maha Mengetahui sikap dan perilaku
hamba-hambanya yang beriman selama hidup di dunia senantiasa bertaqwa kepada-
Nya, begitu juga orang kafir yang tidak beriman kepada-Nya. Orang beriman harus
tegas dan berpendirian teguh atas keyakinannya. Ia tegar meskipun hidup di tengah-
tengah orang yang berbeda keyakinan dengan dirinya. Ayat di atas juga
menjelaskan perlunya menghargai perbedaan dan toleransi. Cara menghargai
perbedaan dan toleransi antara lain adalah tidak mengganggu aktivitas keagamaan
orang lain.

Rasulullah saw. bersabda yang artinya: Dari Ibn Umar ra. Sesungguhnya
Rasulullah saw bersabda, “Sebaik-baik sahabat di sisi Allah adalah yang paling baik
di antara mereka terhadap sesama saudaranya. Dan sebaik-baik tetangga di sisi
Allah adalah yang paling baik di antara mereka terhadap tetangganya.” (HR.
Attirmizy) Soal-soal yang berkaitan dengan pentingnya perilaku toleransi Carilah
ayat dan hadis yang berhubungan dengan toleransi! Jelaskan pesan-pesan yang

47
terdapat pada ayat dan hadis yang kamu temukan itu! Hubungkan pesan-pesan ayat
dan hadis tersebut dengan kondisi objekif di lapangan yang kamu temui!

GAMBAR PEMBUKTIAN TOLERANSI

48
49
Menghargi Perbedaan
Perbedaan dalam arti singkat dapat dipahami dengan ketidaksamaan antara satu dengan
yang lain. Walaupun perbedaan itu sering kali menjengkelkan, namun tidak ada yang
mempunyai hak untuk menghilangkan perbedaan. Justru dengan perbedaan itulah dapat
dirasakan indahnya hidup ini. Apabila tak ada perbedaan, tidak menutup kemungkinan
semua orang di dunia ini tidak akan hidup. Bayangkan saja, jika semua menjadi
pengusaha tanpa ada yang menjadi karyawan, maka roda ekonomi tak akan berputar.
Hingga akhirnya semua mati kelaparan karena tak ada pemasukan apapun karena tak ada
yang bekerja. Dan juga tak ada pengeluaran karena tak ada yang menjadi pedagang. Atau
mungkin alam melaksanakan tugasnya sebagai penyeimbang . siapa yang bisa bertahan
lebih lama dialah yang menjadi semakin sukses. Dan siapa yang bangkrut lebih awal, dia
akan menjadi karyawan di perusahaan lainnya yang belum bangkrut. Dan lama kelamaan
semua menjadi seimbang kembali karena berbeda.

Hal itu membuktikan bahwa perbedaan adalah dasar dari segalanya. Bahkan, Tuhan
menciptakan semua makhluknya juga berdasarkan perbedaan. Tuhan menciptakan
makhluk, bukan menciptakan Tuhan lagi.

Semua orang pasti mengakui bahwa perbedaanlah yang membuat mereka bahagia.
Sebagai contoh, jika semua orang di dunia ini dijadikan berjenis kelamin pria semua.
Dalam satu generasi saja, umat manusia sudah punah. Hal pertama yang bisa dilakukan
saat menghadapi perbedaan adalah berterima kasih pada perbedaan. Karena perbedaan
pula yang sanggup mengangkat derajat seseorang. Jika semuanya menjadi presiden,
maka tidak akan terbentuk sebuah Negara, karena tidak ada yang menjadi rakyat. Para
rakyat justru yang lebih berarti. Karena tanpa adanya rakyat, pejabat tidak akan bisa
menduduki kursi parlemen. Hal itulah yang membuat kita harus berterimakasih pada
perbedaan.

Hal kedua yakni mensyukurinya. Perbedaan adalah anugerah yang tak dapat dirasakan
kenikmatannya secara langsung. Namun jika dipikir lebih dalam lagi, perbedaan
memiliki fungsi yang sangat besar. Walaupun kadang perbedaan itu sendiri yang
mendiskreditkan dirinya sendiri, tetapi perbedaan yang hadir tetap patut disyukuri.

50
Hal ketiga yang bisa dilakukan adalah membiarkannya saja. Terutama saat menghadapi
permasalahan yang disebabkan karena adanya perbedaan. Karena sejatinya perbedaan
adalah proses alamiah untuk penyeimbangan kembali keadaaan yang sudah dirusak oleh
campur tangan manusia. Misalkan saja permasalahan antara si miskin dan si kaya. Si
miskin kekurangan kebutuhan dan si kaya tidak peduli dengan keadaan si miskin. Pada
suatu saat dalam keadaan tertentu si miskin akan termotivasi untuk berjuang keras agar
menjadi seperti si kaya. Lambat laun si miskin tidak akan menderita lagi dan semua
menjadi makmur. Jika telah sampai waktunya nanti, semua pasti akan kembali normal.

Hal keempat dan yang terpenting yakni menghargai perbedaan. Tidak sepatutnya semua
orang bersikap seperti Pigmalion, seorang pematung Yunani yang sangat spesifik dalam
memilih pasangan hidupnya. Semua kriteria yang dia temui dalam diri semua wanita
tidak ada yang tepat menurutnya. Hingga pada akhirnya dia berhasil membuat patung
yang sangat persis dengan kriteria wanita idamannya. Namun apa daya, wanita itu
hanyalah sebuah patung tak bernyawa. Begitulah jika seseorang kurang menghargai
perbedaan. Sedangkan cara menghargai perbedaan yakni dengan tidak menganggapnya
sebagai sesuatu yang buruk atau harus disingkirkan. Akan tetapi anggaplah perbedaan itu
sesuatu yang bisa memberikan kenyamanan tersendiri suatu saat nanti.

Perbedaan merupakan hal yang umum pada suatu negara atau wilayah, tak terkecuali
Indonesia. Indonesia sendiri terkenal akan aneka keberagaman suku dan agama. Untuk
suku sendiri ada suku Jawa, suku Batak, suku Sunda, suku Kalimantan dan lainnya yang
memiliki keunikan dan khas tersendiri pada masing-masing negara. Begitupula dengan
agama yang beragam seperti Islam, Katolik, Budha dan juga Hindu yang walaupun
berbeda, namun berprinsip pada Bhineka Tunggal Ika, meski beda tetap satu jua. Adapun
sikap menghargai keberagaman ada beberapa diantaranya :

1. Toleransi

Toleransi merupakan sikap untuk menahan diri dan juga bersabar, serta membiarkan
pendapat orang lain dan menerima apa yang baik dan tidak baik. Toleransi sendiri
didasarkan dari sikap saling menghormati terhadap martabat manusia, keyakinan, hati
nurani dan juga keikhlasan sesama makhluk beragama. Contoh toleransi seperti

51
menghargai teman yang sedang menjalankan puasa dengan tidak makan di depannya.
Atau juga untuk dalam kesenian, menampilkan macam-macam kesenian Indonesia.

2. Tidak menghina

Hal ini sangat patut untuk di lakukan karena meskipun berbeda agama, budaya dan juga
warna kulit, akan tetapi sebagai warga negara yang hidup dalam satu negara, hendaknya
untuk saling menghormati sesama. Karena letak kerukunan dalam suatu negara adalah
dengan saling menghargai perbedaan.

3. Mempelajari dan menikmati kebudayaan suku lainnya

Indonesia terdiri dari banyak pulau dan juga ratusan bangsa yang tersebar di beberapa
wilayah Indonesia. Dan setiap suku memiliki kebuadaan sendiri seperti bahasa, warna
kulit, adat, kepercayaan, tradisi dan lainnya. Bersikap menghargai keberagaman adalah
dengan menghargai dan juga menikmati kebudayaan lain. Dengan memepelajari budaya
lain, maka kita akan mengerti aneka ragam budaya Indonesia yang tersimpan suatu hal
yang unik dan juga menjadi suatu ciri khas Indonesia yang patut dibanggakan.

4. Menjadikan keberagaman sebagai suatu kebanggaan

Keberagaman adalah suatu kekayaan suatu negara yang tak ada batasnya dan juga patut
dibanggakan. Banyak yang mengatakan bahwa Indonesia merupakan suatu negara yang
unik dan memiliki banyak aneka macam tradisi dan suku budaya yang unik, sehingga
Indonesia dikatakan sebagai negara yang yang tepat untuk mengenal budaya dan segala
macam kekayaan didalamnya yang terletak pada bangunan sejarah dan juga kulinernya.
Oleh karena itu dalam 5 sikap menghargai keberagaman salah satunya adalah  bangga
dengan negara sendiri.

52
5. Menjaga Kerukunan

Saling menjaga kerukunan adalah suatu bentuk dalam menghargai keberagaman. Tidak
membuat onar, tidak menghina, dan juga tidak saling merendahkan satu sama lain akan
mengeratkan tali persaudaraan dianatar suku dan agama yang berbeda.

Demikian 5 sikap menghargai keberagaman yang perlu Anda tahu. Keberagaman


bukanlah satu hal yang harus dianggap  sebagi suatu kekurangan, tetapi jadikan
keberagaman sebagai suatu hal yang harus dijaga serta tidak menghilangkan perbedaan
suku, agama dan lainnya

Berikut contoh sikap mengahargai perbedaan agama dalam kehidupan seharu-hari.

1. Berteman dengan semua orang tanpa membeda-bedakan agama, ras, suku, dan
budaya.
2. Saling menghargai satu sama lain, contohnya jika ada perbedaan pendapat.
3. Apabila ada teman yang sedang kesusahan yang berbeda agama kita harus
senantiasa membantu.
4. Bekerjasama atau bergotong royong apabila tetangga akan merayakan hari
kebesaran.
5. Menghormati teman, saudara, maupun tetangga yang mempunyai agama lain,
tidak membeda-bedakan satu sama lain.

53
I. Ayat Tentang Menghargai Perbedaan
Bagaimanakah membangun suatu masyarakat yang ideal? Di atas dasar apa suatu
masyarakat yang ideal itu dapat ditegakkan? Dua pertanyaan yang bernada filosofis ini
telah memancing perdebatan yang memakan waktu cukup lama dalam sejarahnya. Plato
[427-347 SM.], filsuf Yunani Kuno memandang model kehidupan negara-kota lah yang
paling ideal. Negara ideal tidak boleh terlalu gemuk, cukup seluas kota agar mudah
melakukan perencanaan, pengaturan, dan pendisiplinan.[1] Al-Farabi [w. 874 M.],
sebagai wakil filsuf dari dunia Islam menawarkan konsep Madinah Fadhilah [Kota
Utama] di mana seluruh kehidupannya didasarkan pada rasionalisasi [al-‘aql] yang
menyatukan seluruh elemen masyarakatnya. Tanpa mempertimbangkan besaran wilayah
suatu negara. al-Mawardi [w. 1058 M.], ahli hukum tata negara klasik menyatakan
sebuah negara harus disatukan oleh suatu ideologi yang berwibawa dan diterima-patuhi
oleh seluruh elemen yang hidup di dalamnya. Ideologi itu bernama agama [al-din al-
mutha’].
Kemudian, kehidupan modern saat ini banyak dibangun di atas dasar kebangsaan.
Konsep kebangsaan yang mulai dikenal berbarengan dengan kemunculan modernitas,
dilanjutkan kolonialisme terhadap dunia ketiga, dan berakhir dengan penerimaan model
kehidupan politik yang berbasis kesatuan kebangsaan menuntut banyak penyesuaian,
perumusan, dan inovasi-inovasi baru dalam berkehidupan. Termasuk bagaimana
menempatkan kehidupan beragama kita dalam bingkai kebangsaan yang telah kita terima
itu.
Awalnya, konsep kebangsaan menuntut kesatuan asal; ras, bahasa, budaya, filosofi
berfikir dan bahkan mungkin keyakinan. Negeri asal konsep ini muncul memang
demikian adanya. Setiap suku bangsa memiliki lembaga politiknya sendiri. Sehingga
timbul negeri-negeri kecil yang terpisah-pisah, independen, antara satu dan lainnya. Hal
ini tentu saja berbeda dengan konteks Indonesia. Ribuan suku yang memiliki tradisi,
adat-istiadat, filosofi dan keyakinan yang berbeda dipaksa-persatukan dalam sebuah
negara kesatuan bernama NKRI. Hal ini tidak dapat disebut anomali dari konsep
kebangsaan. Karena, konsep kebangsaan yang diambil adalah model Ernest Renan,
seorang filsuf kawakan Prancis. Suatu kehidupan yang dibangun di atas dasar keinginan
untuk hidup bersama dalam satu wadah negara. Yang boleh jadi diisi oleh kelompok
masyarakat yang berbeda secara etnis, bahasa, dan keyakinan. Di sinilah problem
keragaman kebudayaan itu timbul. Seseorang atau suatu masyarakat dituntut
membiasakan diri menggunakan lebih dari satu kebudayaan. Demikianlah buku Kamus
54
Besar Bahasa Indonesia memberikan arti kebahasaan terhadap konsep
multikulturalisme.  
Ketika seseorang tidak dapat beradaptasi, karena kendala-kendala kulturalnya, akan
segera muncul ke permukaan gesekan, sentimen, serta pertarungan yang tentu saja
menimbulkan sentimen kesuku-bangsaan serta identitas lainnya. Menurut Robert W.
Hefner dalam kehidupan modern-demokratis seperti saat ini, tidak ada ancaman yang
lebih mengkhawatirkan bagi impian modern mengenai kewarganegaraan demokratis
daripada terjadinya perpecahan-perpecahan etnis, religius, dan linguistik yang tajam
dalam masyarakat. Sejak awal era modern, para teoretis liberal Barat merasa pesimis
terhadap prospek-prospek tata pemerintahan demokratis di Negara-negara yang sangat
majemuk. Pada abad ke-19, seorang tokoh besar, J.S. Miller, menulis bahwa “Institusi-
institusi merdeka nyaris mustahil muncul di Negara yang terdiri dari bangsa-bangsa yang
berlainan. Di antara orang-orang yang tidak memiliki rasa kesamaan, khususnya jika
mereka membaca dan berbicara dengan bahasa-bahasa yang berlainan, opini publik yang
menyatu, yang perlu bagi bekerjanya pemerintahan yang representative, tidak bias
hidup”. Di sini ada sebuah ironi. Orang-orang liberal abad ke-19 seperti Mill sigap dalam
mengakomodasi pluralitas kepentingan-kepentingan utilitarian di antara para penjual dan
pembeli di pasar. Tetapi ketika sampai pada kehidupan publik dan politik, orang-orang
liberal itu “Benar-benar tidak siap menghadapi kemajemukan budaya”. Pada tahun-tahun
setelah Perang Dunia 1, sejumlah kecil pemikir Barat mengungkapkan keyakinan bahwa
demokrasi masih mungkin muncul di dalam masyarakat multikultural.[2]
Terdapat dua hal yang patut dicatat dari ulasan singkat di atas. Pertama, suatu
kehidupan bersama memerlukan kesamaan pandangan. Di sini, adanya suatu dasar yang
disapakati menjadi penting. Kedua, model kehidupan yang berdasarkan demokrasi di
tengah kemajemukan mempunyai tantangan besar berupa perpecahan jika tidak dikelola
dengan baik. Sehingga, salah satu pertanyaan paling penting bagi kita yang hidup di
Indonesia adalah bagaimana kita memahami satu sama lain dalam perbedaan. Terlebih
ketika pikiran, akal, dan kehidupan manusiawi sudah dijajah oleh kekuatan uang dan
kekerasan. Selain itu banyak faktor yang merusak akal budi kita sehingga kita tidak lagi
berkomunikasi secara rasional. Kita tidak lagi rasional karena dipengaruhi oleh
dogmatisme tradisi-tradisi kita, termasuk tradisi agama [?].

55
J. Persoalan dalam Masyarakat Multikultural
Mega Hidayati menuliskan bahwa masyarakat multikultural menyadarkan kita
tentang adanya cara hidup yang berbeda. Setiap orang bebas untuk memilih apa yang ia
pandang sebagai jalan yang benar. Permasalahannya, seseorang seringkali menggunakan
kepercayaannya untuk melihat orang lain. Knitter menyatakan bahwa setiap orang
memiliki teleskopnya masing-masing, yang merepesentasikan budaya atau agamanya,
untuk melihat dan mengamati yang lain. Namun perspektif kita tentang kebajikan hanya
sejauh area yang dicapai teleskop ini. Karena itulah kita butuh teleskop-teleskop lain
untuk memperluas sudut pandang kita yang terbatas. Jika kita menganggap
bahwa kebenaran adalah sebagaimana yang kita lihat melalui teleskop budaya dan
agama kita sendiri, itu berbahaya.
Persoalan pertama adalah prasangka. Seseorang tidak dapat menghindari
prasangka-prasangka yang muncul ketika hidup berdampingan dengan orang yang
memiliki budaya dan agama berbeda. Salah satu yang mempengaruhi prasangka adalah
opini yang telah terbentuk atau identitas yang telah diberikan oleh masyarakat tertentu.
Tidak jarang kita mendengar seseorang memberikan stereotip atau cap pada etnis
tertentu, misalnya bahwa orang sumatera dan orang dari Indonesia bagian Timur itu
berperangai keras dan kasar (sehingga beberapa pemilik rumah kos di Yogyakarta,
misalnya, enggan menerima mereka), atau bahwa orang Cina, Minang, dan Sunda
materialistis.
Persoalan kedua adalah kesalahpahaman. Misalnya sebuah keluarga yang sedang
mempunyai hajat; seorang anaknya akan menikah. Maka, berkumpullah keluarga besar 
di rumah tersebut. Para perempuan memasak dan menyiapkan hiasan-hiasan pernikahan.
Seorang ibu dari keluarga besan berinisiatif ikut membantu. Namun, salah seorang
keluarga tuan rumah berkata, “Sudahlah, Bu. Kami pandai mengerjakannya.” Mendengar
ini, sang ibu tersinggung. Ia pergi dan menangis. Sang ibu mengira, perkataan tersebut
berarti ia dianggap tidak “becus” bekerja dan diminta menghentikannya. Padahal,
maksud dari kalimat tersebut adalah “Aduh, ibu jangan repot-repot. Biar kami saja yang
mengerjakannya.” Ini kasus salah paham kecil. Dalam kasus dan konteks lain, salah
paham bisa berakibat mengerikan: pertikaian, antarsuku, perang antaragama.
Persoalan ketiga yang dapat muncul dalam masyarakat multikultural adalah konflik
dan kekerasan. Kondisi ini sangat berkaitan dengan persoalan pertama dan kedua.
Prasangka dan kesalahpahaman potensial membawa konflik dan kekerasan. Kefanatikan
terhadap budaya sendiri dapat menyebabkan seseorang memandang budaya orang lain
56
sebagai bertentangan, mengganggu, dan salah. Namun, kita juga harus menyadari
banyaknya faktor yang mungkin melatari sebuah konflik, antara lain ekonomi dan
politik.
Pertanyaannya sekarang: bagaimana kita bereaksi terhadap budaya orang lain agar
dapat menghindari konflik dan kekerasan, dan bisa saling memahami? Sementara pada
saat yang sama terdapat persoalan-persoalan sangat mendesak yang butuh diselesaikan
bersama: kemiskinan, kelaparan, pedamaian, pelanggaran hak asasi manusia,
diskriminasi, dan ketidakadilan?[3]
Sekalipun konflik telah mewarnai sejarah kehidupan manusia, namun bukankah
setiap manusia selalu menghidupkan harapan akan munculnya suatu kedamaian dalam
hatinya? Seluruh yang disebutkan di atas merupakan warna kehidupan yang coba dirajut
oleh manusia. Di tengah konstruksi wacana, pengetahuan, sistem kehidupan yang
dirancang oleh manusia-manusia atas angin, ada baiknya jika kita juga sedikit menengok
pesan-pesan Tuhan tentang tema ini. Tulisan ini bermaksud mendedahkan pesan-pesan
itu ke dalam konteks perbedaan kultur. Ketika keragaman kultur telah menjadi problem,
apa saja yang pernah dikatakan al-Quran tentang kehidupan yang penuh perbedaan?
Kearifan apa yang dibawakannya untuk manusia yang hidup dalam dunia yang penuh
warna? Tafsur maudhu’i-ijtima’I ini dimaksudkan untuk ‘memaksa’ al-Quran berbicara
tentang perbedaan dan keragaman. Tulisan ini akan diawali dengan menyuguhkan
respon-respon yang pernah dilontarkan al-Quran terhadap isu kesuku-bangsaan,
keragaman, serta pesan-pesannya terhadap isu di atas.

57
  Ayat-Ayat Tentang Keragaman   
Penelitian ini didasarkan pada data yang diambil dari buku al-Quran dan Terjemah
terbitan Maghfirah Pustaka yang mencantumkan indeks tematis al-Quran. Indeks
tersebut merupakan hasil penelitian Dr. Muhammad Hasan al-Himshi. Setelah meneliti
status Makki-Madaninya menggunakan standar Daftar Isi dan Penjelasan Makki-Madani
al-Quran terbitan Lembaga Penerbitan al-Mushaf al-Syarif Raja Fahd [Mujamma’ al-
Malik Fahd Li Thaba’at al-Mushaf al-Syarif], penulis menemukan terdapat tiga puluh
tujuh surat yang membahas tema keragaman dan kesukuan. Dua puluh tujuh surat
berstatus Makkiyyah, dan sepuluh surat berasal dari golongan Madaniyyah.
Dari ketigapuluh surat tersebut, al-Himshi memetakan ke dalam sembilan [9] tema
pokok; [1] dijadikan dari satu jiwa, [2] perbedaan-perbedaan manusia, [3] bangsa-bangsa
kabilah dan sekte, [4] kelebihan antara satu dan lainnya, [5] tiap umat mempunyai ajal,
[6] kepemimpinan dunia, [7] bangsa Arab, [8] bangsa-bangsa dan [9] suku-suku dan
terakhir orang-orang badui.[4] Secara berurutan dimulai dari yang terbanyak, dapat
disajikan seperti di bawah ini;
1.  Dijadikan dari satu jiwa [20 surat]
2.  Perbedaan-perbedaan manusia [16 surat]
3.  Bangsa-bangsa kabilah dan sekte [12 surat]
4.  Kelebihan antara satu dan lainnya [8 surat]
5.  Tiap umat mempunyai ajal [8 surat]
6.  Kepemimpinan dunia [6 surat]
7.  Bangsa Arab [6 surat]
8.  Bangsa-bangsa dan suku-suku [3 surat]
9.  Orang-orang badui [3 surat]

  Kesamaan Muasal Manusia


Menurut penulis, keragaman sudah menjadi isu penting yang dibawa al-Quran pada
fase Mekah. Konteks masyarakat muslim yang minoritas di tengah keragaman
kepercayaan orang-orang Mekah, serta tekanan yang sangat kuat dari kelompok yang
menguasai sumber-sumber ekonomi, politik dan militer, sepertinya membuat isu
keragaman menjadi penting untuk diangkat. Paling tidak sebagai bentuk strategi untuk
memudahkan jalan dakwah yang memang terbilang baru, dan mendapat banyak ganjalan,
selain sebagai usaha memberikan dasar-dasar universal bagi ajaran yang didakwahkan.

58
Sebagaimana dimaklumi, surat-surat Makkiyah kebanyakan berisikan dasar-dasar agama
dan kemanusiaan. Dalam hal ini, al-Quran menggunakan strategi kesatuan asal
kemanusiaan [al-Ittihad al-mabda’ al-insani], atau diciptakan dari jiwa yang satu dalam
bahasa al-Himshi [khuliqa min nafs wahidah]. Ini dibuktikan dengan ditemukannya 18
surat berstatus Makkiyah yang membahas tema kesatuan tersebut. Jauh lebih banyak
dibanding yang berstatus Madaniyah yang hanya terdiri dari 2 surat. Kesatuan
merupakan lawan dari keragaman itu sendiri. Al-Quran menggunakan isu kesatuan
muasal untuk mengatasi problem keragaman. Dari dua puluh [20] surat yang membahas
muasal manusia, delapan belas [18] surat yang berstatus Makkiyah kebanyakan
membahas tentang asal manusia sebagai makhluk materi. Pada QS. al-‘Alaq [96]: 2,
dikatakan,

ٍ َ‫سانَ ِمنْ َعل‬


‫ق‬ َ ‫ق اإْل ِ ْن‬
َ َ‫َخل‬
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.

Surat yang pertama kali turun ini mengatakan bahwa Rabb menciptakan manusia
dari ‘alaq, yang berarti gumpalan darah menurut penafsiran klasik dan sebuah benda
yang menggantung di rahim [zigot] menurut penafsiran modern. Sedangkan surat yang
turun pada urutan ke-23, al-Najm, juga menyebutkan asal manusia.
‫ ِمنْ نُ ْطفَ ٍة إِ َذا تُ ْمنَى‬ ‫الذ َك َر َواأْل ُ ْنثَى‬
َّ ‫ق ال َّز ْو َج ْي ِن‬
َ َ‫َوأَنَّهُ َخل‬
Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan wanita.
Dari air mani, apabila dipancarkan.
Manusia dalam ayat ini disebutkan terdiri dari dua macam-pasang; laki-laki dan
perempuan, al-zaujain al-dzakara wa al-untsa. Sekalipun berbeda kelamin, keduanya
dikatakan sama-sama berasal dari air mani yang dipancarkan. Kemudian surat yang turun
pada urutan ke-28, QS. al-Tin [95]: 4-5, menjelaskan suatu fase di mana manusia
merasakan kesempurnaan wujudnya, ahsan al-taqwim. Allah swt. berfirman,
َ‫سافِلِين‬ ْ َ‫يم ثُ َّم َر َد ْدنَاهُ أ‬
َ ‫سفَ َل‬ َ ‫سانَ فِي أَ ْح‬
ٍ ‫س ِن تَ ْق ِو‬ َ ‫لَقَ ْد َخلَ ْقنَا اإْل ِ ْن‬
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-
baiknya. Kemudian Kami kembalikan Dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka),

Kesatuan muasal material manusia juga diangkat dalam dua surat Madaniyyah; al-
Insan dan al-Hajj. Namun, tidak sebanyak pada fase-fase Mekah. Kemungkinan karena
telah kuatnya posisi kaum muslimin. Baik secara ekonomi, politik, militer maupun
59
keagamaan. Kemungkinan berikutnya, kebanyakan wahyu saat itu lebih diorientasikan
pada proses legislasi peraturan-peraturan bagi komunitas Madinah. Sehingga dasar-dasar
keagamaan dan kemanusiaan cenderung dianggap cukup dengan apa yang telah
disampaikan pada periode Mekah.   
  
Perbedaan di Kalangan Manusia
Kembali kepada kesamaan muasal, umat manusia mulai mengalami perpecahan dan
dirundung problem perbedaan. Di sini, perbedaan menjadi masalah. Al-Himshi mencatat
terdapat 16 surat yang membahas tema ini, dengan rincian 10 surat Makkiyah dan 6 surat
Madaniyyah. Dengan demikian, di samping banyak menekankan kesamaan muasal, al-
Quran juga mengingatkan adanya perbedaan di lingkungan umat manusia. Perbedaan
menjadi isu penting kedua setelah kesamaan muasal manusia. Terbukti, perbedaan-
perbedaan manusia menempati posisi terbanyak kedua setelah surat-surat yang
membahas kesatuan muasal manusia. Perbedaan di sini meliputi perbedaan manusia
dalam ketaatannya kepada Tuhan seperti dalam al-Zukhruf, al-Jatsiyah, dan Syura.
Manusia dipetakan antara yang bersedia menerima petunjuk Tuhan dan yang menolak,
yang beriman dan yang kafir. Perbedaan juga ditujukan pada perpecahan ke dalam sekte-
sekte keagamaan. Selain itu, manusia juga berbeda dari segi asal puak [al-nasl],
karakteristik masing-masing, dan perbedaan akhir kejayaan suatu kelompok manusia,
seperti disinggung oleh surat al-Mukmin.

Sebab-Sebab Perpecahan Umat Manusia Perspektif al-Quran

QS. al-Baqarah [2]: 213 menyebutkan,

‫اختَلَفُ{{وا‬
ْ ‫س فِي َم{{ا‬ َ ‫ش ِرينَ َو ُم ْن ِذ ِرينَ َوأَ ْن َز َل َم َع ُه ُم ا ْل ِكت‬
ِّ ‫َاب بِا ْل َح‬
ِ ‫ق لِيَ ْح ُك َم بَيْنَ النَّا‬ ِّ َ‫اس أُ َّمةً َوا ِح َدةً فَبَ َع َث هَّللا ُ النَّبِيِّينَ ُمب‬
ُ َّ‫َكانَ الن‬
ْ ‫اختَلَفَ فِي ِه إِاَّل الَّ ِذينَ أُوتُوهُ ِمنْ بَ ْع ِد َما َجا َء ْت ُه ُم ا ْلبَيِّنَاتُ بَ ْغيًا بَ ْينَ ُه ْم فَ َهدَى هَّللا ُ الَّ ِذينَ آ َمنُوا لِ َم{{ا‬
َ‫اختَلَفُ{{وا فِي { ِه ِمن‬ ْ ‫فِي ِه َو َما‬
ٍ ِ‫ستَق‬
‫يم‬ ْ ‫اط ُم‬ ِ ‫ق بِإ ِ ْذنِ ِه َوهَّللا ُ يَ ْه ِدي َمنْ يَشَا ُء إِلَى‬
ٍ ‫ص َر‬ ِّ ‫ا ْل َح‬

Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus
Para Nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab
yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka

60
perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah
didatangkan kepada mereka Kitab, Yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-
keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi
petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka
perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang
dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.

Bahwa di antara sebab perpecahan di lingkungan umat manusia ialah rasa dengki yang
terjadi antara sesama mereka. Kedengkian itu sendiri muncul di tengah jelasnya
ketentuan-ketentuan hukum. Jelasnya batasan hukum tidak membuat persoalan selesai.
Perselisihan itu sendiri muncul setelah umat manusia pada mulanya bersatu. Fungsi
kehadiran para nabi adalah untuk melerai, memberi peringatan, memberi keputusan di
antara perkara yang diperselisihkan.
Sebab perbedaan lainnya seperti diungkapkan al-Baqarah [2]: 113 yang
mengatakan,

‫{اب َك{ َذلِ َك قَ{{ا َل‬


َ {َ‫ش{ ْي ٍء َو ُه ْم يَ ْتلُ{{ونَ ا ْل ِكت‬
َ ‫ت ا ْليَ ُه{{و ُد َعلَى‬ِ {‫س‬ َ ‫صا َرى لَ ْي‬ َ َّ‫ت الن‬ ِ َ‫صا َرى َعلَى ش َْي ٍء َوقَال‬ َ َّ‫ت الن‬ ِ ‫س‬ ِ َ‫َوقَال‬
َ ‫ت ا ْليَ ُهو ُد لَ ْي‬
َ‫الَّ ِذينَ اَل يَ ْعلَ ُمونَ ِم ْث َل قَ ْولِ ِه ْم َفاهَّلل ُ يَ ْح ُك ُم بَ ْينَ ُه ْم يَ ْو َم ا ْلقِيَا َم ِة فِي َما َكانُوا فِي ِه يَ ْختَلِفُون‬

Dan orang-orang Yahudi berkata, “Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu
pegangan,” dan orang-orang Nasrani berkata, “Orang-orang Yahudi tidak mempunyai
sesuatu pegangan.” Padahal mereka (sama-sama) membaca Al Kitab. Demikian pula
orang-orang yang tidak mengetahui, mengatakan seperti Ucapan mereka itu. Maka
Allah akan mengadili di antara mereka pada hari kiamat, tentang apa-apa yang mereka
berselisih padanya.   

Menurut Abu Ja’far al-Thabari [w. 310 H.] ayat ini merupakan bentuk peringatan
dari Allah kepada kaum beriman. Agar tidak mengikuti sikap kaum Yahudi dan Nasrani
yang mensia-siakan ketetapan yang terdapat dalam kitab suci mereka. Allah mengutip
pernyataan kaum Yahudi dan Nasrani, di mana keduanya saling kritik atas keabsahan
kenabian pembawa ajaran lawannya. Padahal masing-masing kitab suci yang menjadi
pegangan mereka memberikan kesaksian atas kebenaran yang lain. Bahwa Musa dan Isa
adalah utusan Tuhan, bahwa Taurat dan Injil sama-sama berasal dari-Nya. Ayat ini turun

61
berkaitan dengan kedatangan pemimpin kaum Nasrani daerah Najran untuk menghadap
Nabi. Kemudian tokoh-tokoh Yahudi juga turut hadir dalam majlis pertemuan tersebut.
Terjadi perdebatan tentang kenabian-kerasulan kedua pembawa ajaran tersebut. al-Quran
mengkritik sikap keduanya yang mengabaikan dogma kitab sucinya. Bukan murni karena
polemik yang terjadi di antara mereka, tapi melihat di sisi lain bahwa mereka yang
memperdepatkan itu tidak menjalankan kandungan-kandungan kitab sucinya.[5] Dari
sini dapat dipahami bahwa sumber perbedaan dan perpecahan di kalangan umat
beragama ialah mengabaikan ajaran agamanya masing-masing. Seandainya mereka
murni mengamalkan ajaran agamanya, niscaya perpecahan-polemik semacam itu tidak
terjadi. Karena, tiap-tiap agama mengajarkan pemeluknya untuk menjadi manusia-
manusia saleh dan menghargai yang lain.

Perbedaan Asal Puak… Untuk Saling Mengenal dan Menolong…

‫{ارفُوا إِنَّ أَ ْك{ َر َم ُك ْم ِع ْن{ َد هَّللا ِ أَ ْتقَ{ا ُك ْم إِنَّ هَّللا َ َعلِي ٌم‬ ُ ‫اس إِنَّا َخلَ ْقنَ{ا ُك ْم ِمنْ َذ َك{ ٍر َوأُ ْنثَى َو َج َع ْلنَ{ا ُك ْم‬
َ ‫ش{ ُعوبًا َوقَبَائِ{ َل لِتَ َع‬ ُ َّ‫يَا أَيُّ َها الن‬
‫َخبِي ٌر‬

Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Mengenal.(QS. al-Hujurat [49]: 13)

Ayat ini menegaskan bahwa Allah menciptakan manusia dari asal yang sama,
kemudian dijadikan dalam kelompok syu’ub dan qabail. Seluruh manusia setara dalam
kemuliaan sebagai keturunan Adam dan Hawa yang tercipta dari tanah. Mereka menjadi
lebih mulia daripada yang lain hanya berdasar tingkat keberagamaannya. Yakni sebatas
mana ketaatan mereka kepada Allah dan rasul-Nya.[6] Sedangkan tujuan penciptaan
semacam itu ialah agar masing-masing saling kenal-mengenal. Menurut Abdurrahman
bin Nashir bin Abdillah al-Sa’di [w. 1376 H.] fungsi ta’aruf dalam konteks ayat ini ialah
untuk menumbuhkan semangat saling tolong-menolong, saling mewarisi, dan menjaga
hak-hak kerabat. Hal itu hanya dapat terwujud jika terdapat perbedaan identitas
primordial dan kondisi saling mengenal satu sama lain.[7] Ibnu Katsir [w. 774 H.]
menambahkan bahwa perbedaan identitas primordial tidak boleh dijadikan dasar

62
persaingan yang tidak sehat, seperti sikap saling menjatuhkan, menghujat dan
bersombong-sombongan [al-Tafakhur].[8]

Karakteristik Orang Arab Badui; Kritik dan Bimbingan al-Quran

ْ‫ب َمن‬ َ ‫) َو ِمنَ اأْل َع‬97( ‫س{ولِ ِه َوهَّللا ُ َعلِي ٌم َح ِكي ٌم‬
ِ ‫ْ{را‬ ُ ‫ش ُّد ُك ْف ًرا َونِفَاقًا َوأَ ْج َد ُر أَاَّل يَ ْعلَ ُموا ُحدُو َد َم{ا أَ ْن{ َز َل هَّللا ُ َعلَى َر‬َ َ‫اب أ‬ ُ ‫اأْل َ ْع َر‬
ِ ‫ب َمنْ يُ{{ؤْ ِمنُ ِباهَّلل‬ َ {‫) َو ِمنَ اأْل َ ْع‬98( ‫س{ ِمي ٌع َعلِي ٌم‬
ِ ‫{را‬ َ ُ ‫س ْو ِء َوهَّللا‬ ُ ِ‫يَتَّ ِخ ُذ َما يُ ْنف‬
ُ َّ‫ق َم ْغ َر ًما َويَتَ َرب‬
َّ ‫ص ِب ُك ُم ال َّد َوائِ َر َعلَ ْي ِه ْم دَائِ َرةُ ال‬
َ ‫س{و ِل أَاَل إِنَّ َه{ا قُ ْربَ{ةٌ لَ ُه ْم‬
َ ‫س{يُ ْد ِخلُ ُه ُم هَّللا ُ فِي َر ْح َمتِ{ ِه إِنَّ هَّللا‬ ُ ‫ت ال َّر‬ ٍ ‫ق قُ ُربَ{ا‬
َ ‫ت ِع ْن{ َد هَّللا ِ َو‬
ِ ‫ص{لَ َوا‬ ُ {ِ‫َوا ْليَ ْو ِم اآْل ِخ ِر َويَتَّ ِخ ُذ َما يُ ْنف‬
‫ض{وا‬ ُ ‫ض{ َي هَّللا ُ َع ْن ُه ْم َو َر‬ِ ‫س{ا ٍن َر‬ َ ‫ص{ا ِر َوالَّ ِذينَ اتَّبَ ُع{{و ُه ْم بِإ ِ ْح‬َ ‫سابِقُونَ اأْل َ َّولُونَ ِمنَ ا ْل ُم َه{{ا ِج ِرينَ َواأْل َ ْن‬ َّ ‫ َوال‬99( ‫َغفُو ٌر َر ِحي ٌم‬
‫ب‬ َ {‫) َو ِم َّمنْ َح{ ْولَ ُك ْم ِمنَ اأْل َ ْع‬100( ‫{و ُز ا ْل َع ِظي ُم‬
ِ ‫{را‬ ْ {َ‫ت ت َْج ِري ت َْحتَ َها اأْل َ ْن َه{{ا ُر َخالِ{ ِدينَ فِي َه{{ا أَبَ{دًا َذلِ{ َك ا ْلف‬
ٍ ‫َع ْنهُ َوأَ َع َّد لَ ُه ْم َجنَّا‬
( ‫يم‬
ٍ ‫ب َع ِظ‬ ٍ ‫س{نُ َع ِّذبُ ُه ْم َم{ َّرتَ ْي ِن ثُ َّم يُ{ َردُّونَ إِلَى َع{ َذا‬ ِ َ‫ُمنَافِقُونَ َو ِمنْ أَه ِْل ا ْل َم ِدينَ ِة َم َردُوا َعلَى النِّف‬
َ ‫اق اَل تَ ْعلَ ُم ُه ْم نَ ْحنُ نَ ْعلَ ُم ُه ْم‬
َ {ُ‫َس{ى هَّللا ُ أَنْ يَت‬
( ‫{وب َعلَ ْي ِه ْم إِنَّ هَّللا َ َغفُ{{و ٌر َر ِحي ٌم‬ َ ‫س{يِّئًا ع‬ َ ‫آخ{ َر‬ َ ‫ص{الِ ًحا َو‬َ ‫آخرُونَ ا ْعتَ َرفُوا ِب ُذنُوبِ ِه ْم َخلَطُ{{وا َع َماًل‬ َ ‫) َو‬101
)103( ‫س ِمي ٌع َعلِي ٌم‬ َ ُ ‫س َكنٌ لَ ُه ْم َوهَّللا‬ َ َّ‫ص ِّل َعلَ ْي ِه ْم إِن‬
َ َ‫صاَل تَك‬ َ ‫) ُخ ْذ ِمنْ أَ ْم َوالِ ِه ْم‬102
َ ‫ص َدقَةً تُطَ ِّه ُر ُه ْم َوتُزَ ِّكي ِه ْم بِ َها َو‬

97.  Orang-orang Arab Badwi itu, lebih sangat kekafiran dan kemunafikannya, dan lebih
wajar tidak mengetahui hukum-hukum yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya. dan
Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. 98. di antara orang-orang Arab Badwi
itu ada orang yang memandang apa yang dinafkahkannya (di jalan Allah), sebagi suatu
kerugian, dan Dia menanti-nanti marabahaya menimpamu, merekalah yang akan
ditimpa marabahaya. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. 99. di antara
orang-orang Arab Badwi itu ada orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian,
dan memandang apa yang dinafkahkannya (di jalan Allah) itu, sebagai jalan untuk
mendekatkannya kepada Allah dan sebagai jalan untuk memperoleh doa rasul.
ketahuilah, Sesungguhnya nafkah itu adalah suatu jalan bagi mereka untuk
mendekatkan diri (kepada Allah). kelak Allah akan memasukan mereka kedalam rahmat
(surga)Nya; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 100. orang-
orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin
dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada
mereka dan merekapun ridha kepada Allah  dan Allah menyediakan bagi mereka surga-
surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di
dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. 101.  di antara orang-orang Arab Badwi yang
di sekelilingmuitu, ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk
Madinah. mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. kamu (Muhammad) tidak
mengetahui mereka, (tetapi) kamilah yang mengetahui mereka. nanti mereka akan Kami

63
siksa dua kali kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar. 102. dan
(ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka
mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-
mudahan Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. 103. (QS. al-Taubah [9]: 97-103)

‫ض َرا ًرا َو ُك ْف{ ًرا‬ ِ ‫س ِجدًا‬ ْ ‫) َوالَّ ِذينَ ات ََّخ ُذوا َم‬106( ‫ُوب َعلَ ْي ِه ْم َوهَّللا ُ َعلِي ٌم َح ِكي ٌم‬ ُ ‫آخرُونَ ُم ْر َج ْونَ أِل َ ْم ِر هَّللا ِ إِ َّما يُ َع ِّذبُ ُه ْم َوإِ َّما يَت‬
َ ‫َو‬
ْ َ‫س{نَى َوهَّللا ُ ي‬
‫ش{ َه ُد إِنَّ ُه ْم‬ ْ ‫س{ولَهُ ِمنْ قَ ْب{ ُل َولَيَ ْحلِفُنَّ إِنْ أَ َر ْدنَ{{ا إِاَّل ا ْل ُح‬
ُ ‫ص{ادًا لِ َمنْ َح{ ا َر َب هَّللا َ َو َر‬ َ ‫َوتَ ْف ِريقً{{ا بَيْنَ ا ْل ُم{{ؤْ ِمنِينَ َوإِ ْر‬
ْ‫ق أَنْ تَقُ{{و َم فِي{ ِه فِي{ ِه ِر َج{ ا ٌل يُ ِحبُّونَ أَن‬
ُّ {‫{و ٍم أَ َح‬
ْ {َ‫{وى ِمنْ أَ َّو ِل ي‬
َ {‫س َعلَى التَّ ْق‬ ِّ ُ‫س{ ِج ٌد أ‬
َ {‫س‬ ْ ‫) اَل تَقُ ْم فِي{ ِه أَبَ{دًا لَ َم‬107( َ‫لَ َكا ِذبُون‬
)108( َ‫يَتَطَهَّ ُروا َوهَّللا ُ يُ ِح ُّب ا ْل ُمطَّ ِّه ِرين‬

106.  dan ada (pula) orang-orang lain yang ditangguhkan sampai ada keputusan Allah;
adakalanya Allah akan mengazab mereka dan adakalanya Allah akan menerima taubat
mereka. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. 107. dan (di antara orang-
orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan
kemudharatan (pada orang-orang mukmin),  untuk kekafiran dan untuk memecah belah
antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah
memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. mereka Sesungguhnya bersumpah:
"Kami tidak menghendaki selain kebaikan." dan Allah menjadi saksi bahwa
Sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya). 108. janganlah kamu
bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya. Sesungguh- nya mesjid yang
didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu
sholat di dalamnya. di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan
diri. dan Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih. 109. (QS. al-Taubah
[9]: 106-108)

Sekalipun sama-sama orang Arab, terdapat beberapa karakter dan sifat yang berbeda di
antara mereka. Di antara mereka ada yang berwatak keras, materealis, mudah mengikuti
kebaikan, ambivalen, mudah mengakui kesalahan, dan gemar memprovokasi. Dari
rangkaian al-Taubah di atas dapat disimpulkan beberapa sifat orang Arab Badwi;

1.   Orang-orang Arab Badwi itu, lebih sangat kekafiran dan kemunafikannya.

64
2.  Di antara orang-orang Arab Badwi itu ada orang yang memandang apa yang
dinafkahkannya (di jalan Allah), sebagi suatu kerugian
3.   Di antara orang-orang Arab Badwi itu ada orang yang beriman kepada Allah
dan hari Kemudian, dan memandang apa yang dinafkahkannya (di jalan Allah)
itu, sebagai jalan untuk mendekatkannya kepada Allah,
4.  Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari
golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah
5. Di antara orang-orang Arab Badwi yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang
munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah.
6.  Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka
mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk.
7.  Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan
masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mukmin).
Bahwa tidak seluruh orang Arab berwatak keras, bengis, dan anti kebenaran. Ada juga
orang-orang yang hanif, mau mengikuti kebenaran, dan mendapatkan ridha Allah.

  Akhir[an]… Pesan untuk Saling Menghormati… Menuju Kehidupan yang Damai…


Ulasan di atas menyiratkan kepada kita bahwa al-Quran tidak turun pada
masyarakat yang homogen. Kesalahan besar ketika dikatakan orang Arab hanya terdiri
dari satu macam. Bahkan isu keragaman telah banyak disinggung dalam periode Mekah,
sekalipun tidak secara langsung. Cara al-Quran mengatasi prpoblem keragaman ialah
dengan mengembalikan kepada akar universal kemanusiaan. Terutama kesama-setaraan
pada level materialnya. Sebaliknya, al-Quran sangat menghargai pembedaan-
pengkelasan pada level spiritual-ketaatan. Pandangan demikian tentu berbeda dengan
sebagian pandangan yang mengukur banyak hal melalui ukuran lahiriah, sehingga timbul
kelas-kelas sosial yang basis penilaiannya adalah materi.
Perbedaan pada level materi hanya menjadi identitas primordial yang berfungsi
untuk saling mengenal, menghormati, dan saling menolong dalam berkehidupan. Hingga
pada akhirnya, lahir kehidupan damai yang dipenuhi oleh warna keragaman. Suatu
model kehidupan yang menyatu dan unik. Wallahu A’lam bis Shawab.     

65
Referensi:

-    Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat; Kajian Sejarah Perkembangan


Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan, (Jakarta: Gramedia, 2007)
-      Robert W. Hefner, Politik Multikulturalisme, (Yogyakarta: Kanisius, 2007)
-      Mega Hidayati, Jurang di Antara Kita, (Yogyakarta: Kanisius, 2008)
-      Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami al-Bayan fi Ta’wil Ayi al-
Quran, (Maktabah Syamilah)
-     Abu al-Fida Ismail bin Umar bin Katsir al-Dimasyqi, Tafsir al-Quran al-Azhim,
(Maktabah Syamilah)
-      Abdurrahman bin Nashir bin Abdillah al-Sa’di, Taisir al-Karim al-Rahman fi
Tafsir Kalam al-Mannan, (Maktabah Syamilah)
[1] Lihat dalam Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat; Kajian Sejarah
Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan, (Jakarta:
Gramedia, 2007), hlm. 26
[2]  Robert W. Hefner, Politik Multikulturalisme, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hal.
11-12
[3]  Mega Hidayati, Jurang di Antara Kita, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hal.24-26
[4]  Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemah, (Maghfirah Penerbit), hlm. xxiii
[5] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami al-Bayan fi Ta’wil Ayi al-
Quran, (Maktabah Syamilah), juz 2, hlm. 514
[6]  Abu al-Fida Ismail bin Umar bin Katsir al-Dimasyqi, Tafsir al-Quran al-Azhim,
(Maktabah Syamilah), juz 7, hlm. 385
[7]  Abdurrahman bin Nashir bin Abdillah al-Sa’di, Taisir al-Karim al-Rahman fi
Tafsir Kalam al-Mannan, (Maktabah Syamilah), hlm.  801
[8]  Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Azhim, (Maktabah Syamilah), juz 7, hlm. 38

66
K. Implementasi Toleransi di Sekolah dan Masyarakat
Pertama-tama, saya ingin menyatakan bahwa toleransi bukanlah sesuatu yang kita
ciptakan. Toleransi pertama kali diperkenalkan di bumi ini oleh para nabi dengan
bimbingan Allah swt. Meskipun kurang tepat untuk mensifati Allah dengan sifat
toleransi, Dia memiliki sifat-sifat yang berakar pada toleransi, seperti ampunan dosa,
kasih sayang untuk semua makhluk, dan menutupi rasa malu dan kesalahan orang. Yang
Maha Pengampun, Yang Maha Penyayang, dan Yang Mahamenutupi Kesalahan adalah
sifat-sifat yang paling sering disebutkan Allah dalam Al Qur'an.
Era keemasan ketika toleransi berada pada puncaknya adalah era kebahagiaan, dan
saya ingin memberikan beberapa contoh yang benar dari sejarah, peristiwa-peristiwa
yang masih berlanjut dari "periode mawar" tersebut sampai hari ini.

Contoh Ampunan
Seperti diketahui, dalam sejarah "peristiwa fitnah", orang-orang munafik membuat
tuduhan fitnah terhadap 'Aisyah, istri Nabi saw yang suci dan ibu spiritual semua orang
yang beriman. 'Aisyah memiliki tempat khusus di antara istri Nabi saw karena Nabi saw
adalah lelaki pertama yang dia lihat ketika ia beranjak menjadi gadis dewasa. Pada saat
ia telah menyadari sepenuhnya sebagai wanita dewasa, 'Aisyah menjadi anggota rumah
tangga Nabi saw dan di sana ia hanya menghirup suasana yang penuh kesucian dan
kehormatan. 'Aisyah, teladan dari kesucian, menjadi sasaran kampanye fitnah yang
direncanakan sejak saat itu. Baik dirinya sendiri, keluarganya dan Nabi saw, banyak
menderita karena fitnah ini.
Namun, ayat yang turun sekitar satu bulan kemudian menyatakan bahwa ‘Aisyah
masih suci, bersih dan tidak bersalah. Namun, ayahnya, Abu Bakar, yang telah
memberikan dukungan finansial kepada salah satu dari mereka yang terlibat dalam
fitnah, bersumpah untuk tidak memberikan lebih banyak dukungan kepada orang
tersebut. Tapi, ayat beikut diturunkan untuk memperingatkan Abu Bakar, sahabat paling
setia Nabi, bapak toleransi, agar lebih lunak.[1] Ayat ini berbunyi:
Dan janganlah orang-orang yang memunyai kelebihan dan kelapangan di antara
kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum
kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah,
dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa

67
Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S.
An-Nur: 22).
Saya ingin mengajak Anda untuk memperhatikan khususnya pernyataan pada akhir
ayat ini: Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Pada kenyataannya, Allah Yang Maha
Penyayang yang kasih sayang-Nya tiada tara dan semua kasih sayang yang ada di dunia
dibandingkan dengannya hanyalah setetes air di samudera, terus merahasiakan diri-Nya.
Disamping semua itu, Dia juga mengampuni kita, mengampuni segala sesuatu, dari kata-
kata yang tidak pantas yang masuk telinga kita dan menggelapkan jiwa kita hingga
kotoran yang mengalir ke kita dari alam semesta dan kembali ke masyarakat yang telah
kita cemari. Pertanyaan-Nya, Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu?
yang ditujukan pada orang-orang seperti kita yang selalu membutuhkan pemurnian,
sangat baik dan tulus dan layak kita dambakan. Melalui ayat ini, Allah menunjukkan
bahwa sama seperti Dia mengampuni kita, demikian pula seharusnya kita memaafkan
satu sama lain untuk kesalahan yang kita buat, dan ini digambarkan kepada kita sebagai
suatu kebajikan Qur’ani dalam karakter Abu Bakar.
Ampunan dan toleransi sangat penting dalam pesan para nabi, yang berasal dari
Tuhan dan sumber-sumber surgawi. Seorang nabi bertugas mendidik dan melatih orang
lain. Agar kebenaran yang beliau sampaikan dapat mempengaruhi hati orang lain, hati
beliau sendiri harus berdetak seiring dengan ampunan dan toleransi. Ketika beberapa
kesalahan, yang merupakan hasil dari sifat seseorang, bertabrakan dengan suasana
toleransi dari orang-orang yang benar, kesalahan-kesalahan itu mencair dan berpendar
seperti meteor. Alih-alih membelah kepala seseorang, sepasukan cahaya yang
menyerupai lampu menyala di malam perayaan, akan menenangkan mata dan
memberikan sukacita ke hati. Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, dalam
kenyataannya terdapat kebajikan Tuhan yang direkomendasikan dalam hadis Nabi
"Ambil pada kebajikan Allah."[2] Tidakkah Allah sendiri selalu mengampuni orang-orang
yang mengingkari-Nya? Pada alam kosmis kejahatan, ini adalah pembunuhan dan
pemberontakan tak terampuni, tapi lihatlah luasnya ampunan Allah. Meskipun hamba-
hamba-Nya tak tahu berterima kasih, Dia berfirman:
Tanpa ragu rahmat-Ku mendahului kemurkaan-Ku.[3]
dan Rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. (Q.S. Al-Araf: 156)

68
Dengan sifat kasih sayang-Nya, tanpa menunjukkan bias apapun, Dia memelihara
dan melindungi semua umat manusia dan, semua makhluk bernyawa, dan Dia terus
memberikan rezeki bahkan bagi mereka yang mengingkari-Nya.
Di sinilah mungkin kita dapat melihat semua nabi dari perspektif yang sama dan
menyajikan beberapa contoh dari mereka semua, tetapi cukuplah untuk memberikan
sedikit contoh dari Nabi Muhammad saw.
Hamzah adalah salah seorang sahabat Nabi yang paling dicintai. Dia bukan hanya
sahabat biasa, tapi juga paman Nabi saw dan mereka berdua telah diasuh oleh ibu susuan
yang sama. Sambil menahan kehormatan dan kebanggaannya, manusia pemberani ini
memasuki suasana spiritual Nabi saw, sosok kebanggaan manusia. Pada saat yang kritis
ketika umat Islam masih dalam jumlah sedikit, dia mendukung keponakannya dengan
berkata "aku menyertaimu". Kata-katanya ini mampu mendongkrak semangat umat
Islam. Jadi, dengan menunjukkan kualitas kedekatannya baik secara spiritual maupun
fisik, ia mampu mencapai apa yang tampaknya hebat, tinggi dan tak terjangkau. Tentu
saja, loyalitas pahlawan besar ini dihargai oleh Nabi saw. Ia menjadi martir sebagai
syahid saat berperang di Uhud; pembunuh berdarahnya telah bersumpah untuk
menyerang Madinah dan menerabas setiap pria dan wanita. Di tangan pembunuhnya,
anggota badan Hamzah telah dimutilasi. Mata sucinya mencuat keluar, telinga dan
bibirnya dipotong, dadanya terbelah dan hatinya dirobek-robek. Rasulullah saw, yang
dadanya dipenuhi kasih sayang melihat adegan mengerikan ini, dengan linangan air
mata. Ada tujuh puluh syuhada pada perang Uhud—dua kali lebih banyak lagi yang
terluka—perempuan menjadi janda dan anak-anak menjadi yatim. Hampir saja beliau tak
tahan melihat adegan ini dengan kasih sayang seorang nabi. Anak-anak Hamzah dan
anak-anak para syuhada lain muncul di belakang Nabi saw, menggigil seperti anak ayam
yang baru menetas. Seperti tersebut dalam biografi beliau, dalam pembahasan "Dalam
balas jasa atas apa yang telah mereka lakukan..." ayat berikut diturunkan:
Dan jika kamu memberi balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan
siksaan yang ditimpakan kepadamu, Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya
itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang bersabar. (An-Nahl 16:126).
Dalam ayat ini beliau diarahkan ke cakrawala pemahaman sesuai dengan
tingkatnya, dan dengan kata lain beliau diberitahu, "Engkau seharusnya tidak berpikir
seperti itu." Rasulullah saw, sosok yang penuh kemurahan dan toleransi, mengubur
semua rasa sakit di dadanya dan memilih jalan kesabaran.

69
Sebenarnya, Nabi saw menjalin seluruh hidupnya, tidak hanya saat itu, dengan
toleransi. Orang-orang musyrik tidak mengindahkan penyiksaan atau masalah apapun.
Mereka mengusir beliau keluar dari tanah airnya, membentuk pasukan, dan menyerang
beliau. Tapi bahkan setelah penaklukan Mekah, ketika orang-orang kafir itu cemas
menunggu untuk melihat bagaimana mereka akan diperlakukan, sebagai tanda kasih
sayang yang luas dan belas kasihan Nabi saw bersabda:
Saya berbicara seperti Yusuf berbicara kepada saudara-saudaranya: Tidak ada
celaan untuk kalian hari ini (karena tindakan kalian sebelumnya). Allah akan
mengampuni kalian juga. Dia Maha Penyayang. Pergilah, kalian bebas.[4]
Al-Qur'an adalah sumber kemurahan dan toleransi, dan karena konsep-konsep ini
telah mengalir ke kita seperti arus yang deras dari Nabi saw, penyampai Al-Qur’an, kita
tidak bisa berpikir secara berbeda tentang hal ini. Setiap gagasan yang bertentangan akan
berarti sama dengan tidak mengetahui Al-Qur'an dan Rasulullah saw. Dari perspektif ini,
karena toleransi berasal dari Al-Qur'an dan Sunnah Nabi, maka ia adalah kebajikan alami
seorang Muslim dan, karena bersumber dari keduanya, maka ia permanen. Perjanjian
yang disampaikan Rasulullah saw kepada orang-orang Kristen dan Yahudi benar-benar
layak untuk diperhatikan (teks asli dari perjanjian tersebut disimpan di Inggris hingga
sekarang). Dibandingkan dengan prinsip-prinsip yang diajukan Nabi kita, masalah
perikemanusiaan sekarang ini belum mencapai tingkat itu, baik dengan deklarasi hak
asasi manusia yang dikemukakan di Den Haag, Strasbourg atau yang di Helsinki. Sosok
manusia paling sabar, Rasulullah saw pernah tinggal bersama berdekatan dengan Ahli
Kitab di Madinah. Bahkan, beliau mampu menemukan poin-poin kesepakatan dengan
jiwa-jiwa gelap yang, meskipun mereka mengatakan, "kami adalah muslim," tapi terus
menerus menimbulkan friksi di mana-mana dan dengan sengaja mencoba mengadu
domba satu sama lain. Beliau merangkul mereka dengan cara kesabaran. Pada saat
kematian Abdullah bin Ubay, yang telah menjadi musuh seumur hidup, Nabi saw bahkan
memberikan kemejanya sebagai kain kafan. Beliau bersabda, "Selama tidak ada wahyu
yang melarangku, aku akan menghadiri pemakamannya," dan ia menunjukkan rasa
hormat kepada yang meninggal.[5] Tidak ada pesan yang sama atau sebanding dengan
pesan yang diberikan oleh Nabi Muhammad saw kepada manusia. Dengan demikian,
tidak mungkin bagi mereka yang mencoba mengikuti "tauladan paling indah" ini untuk
berpikir secara berbeda dari apa yang beliau pikir.
Dalam hal ini, tidak mungkin untuk memikirkan toleransi sebagai sesuatu yang
terpisah dari kita, ia merupakan warna dan nada yang berbeda dari perasaan dan pikiran
70
kita. Dari waktu sekarang ini platform untuk toleransi harus dikembangkan dalam
masyarakat kita. Toleransi harus dihargai, harus diutamakan di setiap kesempatan, dan
mereka yang bersedia memaafkan orang lain harus memiliki kesempatan untuk
mengekspresikan diri.

Penghargaan Toleransi
Sebuah organisasi Jurnalis dan Penulis telah membentuk sebuah komite,
mengumpulkan gagasan-gagsan dan perasaan-perasaan mengenai toleransi, dan baru-
baru ini memberikan penghargaan toleransi kepada orang-orang yang dipandang telah
memberi kontribusi yang signifikan kepada rekonsiliasi sosial. Aksi ini telah disetujui
oleh hampir setiap segmen masyarakat—dari politisi hingga seniman, dari akademisi
sampai wartawan, penulis, dan orang-orang di jalanan. Tentu saja, kelompok marjinal
yang tidak sejalan dengan masyarakat umum, karena pandangan duniawi yang berbeda,
menyatakan ketidaksenangan mereka pada kegiatan yang didukung semua orang ini,
mereka membuat kesalahan dengan mencela individu dan lembaga yang menduklung
konsensus ini.
Tapi biarkan mereka mengatakan apa yang mereka mau. Pada saat dunia telah
menjadi seperti sebuah desa yang besar dan pada suatu titik ketika masyarakat kita
berada di ambang perubahan besar dan transformasi, jika kita berbicara tentang dialog
dengan bangsa lain, maka kita tidak akan mungkin bisa beralasan guna menghilangkan
ketidaksetujuan kita dengan satu sama lain. Dalam hal ini, toleransi adalah suatu hal
yang perlu dihargai dan untuk alasan ini, toleransi harus menembus semua masyarakat.
Sebanyak mungkin universitas harus bernapas toleransi, politisi harus bicara tentang
toleransi, orang-orang di dunia musik harus menulis lirik tentang toleransi, dan media
harus memberikan dukungan kepada perkembangan positif tentang toleransi.
Toleransi tidak berarti dipengaruhi oleh orang lain atau bergabung dengan mereka,
toleransi berarti menerima orang lain sebagaimana adanya dan tahu bagaimana bergaul
dengan mereka. Tidak seorang pun berhak memaksakan apapun tentang jenis toleransi
ini, semua orang di negeri ini boleh memiliki pandangan sendiri-sendiri. Orang-orang
yang memiliki gagasan dan pikiran yang berbeda, memiliki dua pilihan, mencari cara
bergaul dengan sarana rekonsiliasi atau terus bertengkar satu sama lain. Selalu ada yang
berpikir secara berbeda satu sama lain dan akan selalu ada. Menurut saya, para juru
bicara kelompok-kelompok marjinal tertentu yang tidak mengikuti ayat-ayat suci Tuhan

71
maupun realitas yang ada hari ini dan yang memicu perkelahian, harus segera meninjau
ulang posisi mereka. Apakah mereka mengklaim demi nilai-nilai kemanusiaan atau demi
kepentingan menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan?
Saat ini, lebih dari apa pun, masyarakat kita membutuhkan toleransi. Bahkan,
bangsa kita sekarang ini harus memiliki dinamika ini dan memprioritaskannya; bangsa
kita semestinya mewakili toleransi dunia karena nenek moyang kita yang mulia
mendapat tempat di hati masyarakat dengan cara toleransi dan menjadi pelindung
perdamaian dunia. Masa terpanjang perdamaian di Balkan dan Timur Tengah, yang
selalu bergejolak, telah diwujudkan dengan toleransi yang abadi oleh nenek moyang kita.
Sejak saat toleransi dan orang-orang hebat itu meninggalkan sejarah, wilayah ini menjadi
hampa perdamaian dan kebahagiaan. Alhamdulillah, setelah beberapa abad hidup
terlantar, bangsa yang besar ini sudah mulai berjalan menuju kebangkitan. "Pohon
beringin" besar ini, daun-daunnya yang mulai kuncup di pangkuan Anatolia, dengan
rahmat dan karunia Allah, harus sekali lagi bernapas toleransi sendiri dan mengajar
orang lain untuk bernapas toleransi.
Pada saat yang sama, warga negara kita di negara-negara Eropa hanya dapat hidup
secara harmonis di negara-negara tersebut melalui suasana toleransi yang luas. Di sini,
saya ingin menggarisbawahi satu hal. Toleransi tidak berarti tidak lagi menjalankan
tradisi-tradisi yang berasal dari agama kita, atau bangsa kita, atau sejarah kita; toleransi
adalah sesuatu yang selalu ada. Dinasti Usmani setia kepada agama dan nilai-nilai
lainnya dan, pada saat yang sama, mereka adalah bangsa yang besar yang dapat bergaul
dengan negara-negara lainnya. Jika orang-orang sekarang yang beradab, tercerahkan dan
terbuka terhadap dunia, mengecewakan mereka yang hidup di masa itu, maka ini berarti
mereka belum memahami era ini. Dalam hal ini, sebagai individu, keluarga dan
masyarakat, kita harus mempercepat proses yang sudah dimulai. Saya pribadi percaya
bahwa bahkan orang-orang yang tidak satu perasaan dan pikiran dengan kita akan
melunak bila kita mengunjungi mereka. Dengan demikian, atas nama dialog kita bisa
bersatu dalam hal-hal mendasar dan saling berjabat tangan dengan sesama. Hal ini
karena hal-hal yang paling Allah muliakan adalah manusia, cinta, dan kasih sayang.

Sikap Rasulullah saw terhadap Umat Manusia


Lebih dari segalanya, dengan gemblengan yang beliau terima dari Tuhan, sosok
kebanggaan umat manusia ini selalu menghargai setiap orang, terlepas dari apakah orang

72
itu seorang muslim, kristen, atau yahudi. Sebelum menyelesaikan pembahasan ini, mari
kita lihat sosok manusia visioner yang seperti apakah beliau. Beliau adalah sosok yang
menjadi kebanggaan manusia—semangat beliau adalah bagian awal dari buku alam
semesta, dan pesan-pesan beliau adalah bagian akhirnya. Hal ini merupakan bukti bagi
mereka yang tahu misi Nabi saw. Kita tahu bahwa beliau adalah sosok yang membawa
cahaya. Dengan cahaya itu alam semesta dapat diamati dan dibaca seperti sebuah buku.
Namun banyak manusia, khususnya pengikut Nabi saw, hanya membanggakan hubungan
mereka dengan Nabi saw; itu belum seberapa. Seperti orang yang mencintai beliau
berkata, betapa beruntungnya kita memiliki hubungkan dengan beliau. Sebenarnya,
mengenai anugerah besar yang beliau terima, beliau bersabda:
Hal pertama yang Allah ciptakan—benih pertama yang ditaburkan di ruang hampa
—adalah cahayaku.[6]
Hal ini benar karena ia adalah benih, esensi, dan ringkasan eksistensi. Jika kita
mengekspresikan perasaan seperti ini dalam istilah sufi, eksistensi Muhammad adalah
alasan penciptaan dan sekaligus tujuan akhir. Alam semesta diciptakan untuk beliau agar
dapat menyelaminya sebagai perwujudan dari semua nilai kemanusiaan dan sebagai
teater yang di dalamnya semua manifestasi asma Allah akan tampak jelas. Seperti yang
saya sebutkan pada waktu lain dalam konteks yang berbeda, sosok kebanggaan manusia,
Nabi saw, alasan penciptaan dan pemimpin para Nabi, suatu hari berdiri karena ada
iring-iringan jenazah yahudi lewat. Salah satu sahabat di samping beliau berkata, "Wahai
Rasulullah, itu orang yahudi." Tanpa perubahan sikap atau raut di wajah beliau, Nabi
saw memberikan jawaban ini: "Tapi dia adalah manusia!" [7] Semoga telinga-telinga para
pengikut yang tidak kenal beliau dalam dimensi ini dan para pembela hak-hak asasi
manusia yang acuh terhadap pesan universal yang beliau bawa atas nama kemanusiaan
mendengarkan ini! Tidak ada yang dapat saya tambahkan pada kata-kata ini, tetapi jika
kita adalah pengikut Nabi saw yang mulia yang menyampaikan kata-kata ini, tidak
mungkin kita berbeda pendapat. Dengan demikian, akan bermanfaat bagi mereka yang
menentang kegiatan baru-baru ini, yang diadakan atas nama dialog dan toleransi, untuk
meninjau ulang hal-hal yang berkaitan dengan kelalaian atau sikap keras kepala yang
telah meresapi kepribadian dan jiwa mereka.

Toleransi dan Demokrasi

73
Demokrasi adalah sistem yang memberi kesempatan kepada setiap orang yang
berada di bawah sayapnya untuk hidup dan mengekspresikan perasaan dan pikiran
mereka sendiri. Toleransi terdiri dari dimensi penting ini. Bahkan, dapat dikatakan
mustahil ada demokrasi di tempat yang tidak ada toleransi. Tapi datang dan lihatlah
sebagian dari mereka yang, di satu sisi, berbicara tentang demokrasi, tetapi di sisi lain
menginginkan sumber yang memeliharanya mengering. Di negara demokrasi setiap
orang harus dapat mengambil keuntungan dari hak-hak demokratis dan tanggung
jawabnya. Jika salah satu kelompok masyarakat marah karena adanya kelompok lain,
maka jelas bahwa mereka yang marah tidak tulus, paling tidak, apabila mereka
menyatakan "kita adalah demokrat dan pendukung demokrasi." Seperti yang saya
sebutkan di atas, tidak mungkin demokrasi berakar di tempat yang tidak ada toleransi.
Sebenarnya, para pendukung demokrasi harus dapat menerima bahkan mereka yang
tidak memiliki pandangan yang sama dengan mereka, dan mereka harus membuka hati
kepada orang lain. Inilah saat yang penting untuk menekankan hal ini. Dengan menerima
semua orang seperti apa adanya, terlepas dari siapa mereka, bukan berarti menempatkan
orang-orang yang beriman dan yang tidak beriman pada sisi yang sama. Menurut cara
berpikir kita, posisi orang-orang yang beriman memiliki nilai yang spesifik. Rasulullah
saw memiliki posisi khusus dan tempatnya di hati kita terpisah dari dan di atas semua
orang lain. Sehubungan dengan hal ini, saya ingin berbagi kepada Anda mengenai
perasaan saya. Setelah kembali dari kunjungan ke makam Nabi saw, saya sangat sedih
karena tidak meninggal di sana. Saya berpikir bahwa jika saya benar-benar mencintai
beliau maka saya harus menempel pagar besi dan meninggal di situ. Sampai hari itu,
saya berpikir bahwa keterikatan saya kepada Nabi Muhammad saw begitu kuat. Tentu
saja, beliau memiliki tempat yang sangat tinggi di hati kita dan kita tidak ingin ada yang
menyakiti beliau dengan cara apa pun, tapi meskipun saya memiliki perasaan dan
pemikiran yang kuat seperti itu kepada beliau, ini tidak mencegah saya untuk berdialog
dengan orang yang tidak memiliki pemikiran atau keyakinan yang sama dengan saya.

Toleransi dan Masa Depan


Meskipun kita memiliki perasaan dan pikiran yang berbeda, toh kita semua adalah
anggota dari masyarakat ini. Meskipun pada beberapa hal kita mungkin tidak memiliki
dasar pemikiran yang sama, kita semua hidup di dunia ini dan menjadi penumpang di

74
kapal yang sama. Dalam hal ini, ada hal-hal umum yang bisa didiskusikan dan
disampaikan kepada setiap orang dari setiap segmen masyarakat.
Kemungkinannya, waktu akan menjelaskan semuanya dan membuktikan bahwa
mereka yang memulai tren toleransi merekalah yang benar. Sekali lagi, waktu juga yang
akan mengesampingkan perasaan dan pikiran dendam dan pembalasan. Hanya perasaan-
perasaan yang dipenuhi dengan cinta, ampunan, toleransi, dan dialog lah yang akan
berlanjut. Orang-orang yang toleran akan membangun dunia berdasarkan pada toleransi.
Mereka yang tidak toleran akan tenggelam dalam kebencian dan kemarahan mereka
sendiri dalam kubangan intoleransi. Saya berharap orang-orang seperti ini akan bangun
dan tidak tenggelam di rawa-rawa tempat mereka telah jatuh. Atau haruskah kita
menangis untuk mereka juga. Saya sudah bisa merasakan sakitnya luka ini dan saya
sangat sedih karenanya!

REFERENSI

[1] Bukhari, Syahadah, 15:30, Muslim, Taubah, 56.


[2] Mansur Ali Nasif, al-Tac, 1:13.
[3] Bukhari, Tauhid 15, 22, 28, 55, Badi'ul Halk 1; Muslim, Taubah 14, (2751),
Tirmidzi, Daawat 109, (3537).
[4] Ibn al-Atsir, Usd al-Ghabah, 1:528-532.
[5] Bukhari, Janaiz, 85; Tafsir al-Baraa, 12, Muslim, Fadhail al-Sahabah, 25.
[6] Ajluni, Kasyf al-Khafa', 1:266.
[7] Bukhari, Janaiz, 50; Muslim, Janaiz, 81; Nasai, Janaiz, 46.

75
GAMBAR PEMBUKTIAN MENGHARGAI PERBEDAAN

76
BAB 3
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Toleransi adalah sikap tenggang rasa yang berarti rukun dan tidak menyimpang
dari aturan dimana seseorang harus saling menghargai dan saling menghormati.
Toleransi beragama sangat diperlukan pada kehidupan sehari-hari untuk menjalin
hubungan yang harmonis, rukun dan sejahtera.
toleransi hendaknya dapat dimaknai sebagai suatu sikap untuk dapat hidup bersama
masyarakat penganut agama lain, dengan memiliki kebebasan untuk menjalankan
prinsip-prinsip keagamaan (ibadah) masing-masing, tanpa adanya paksaan dan tekanan,
baik untuk beribadah maupun tidak beribadah, dari satu pihakl ke pihak lain. Hal
demikian dalam tingkat praktek-praktek social dapat dimulai dari sikap bertetangga,

77
karena toleransi yang paling hakiki adalah sikap kebersamaan antara penganut
keagamaan dalam praktek social, kehidupan bertetangga dan bermasyarakat, serta bukan
hanya sekedar pada tataran logika dan wacana.
Peran berbagai elemen tokoh masyarakat, tokoh agama dan pemerintah sangat
diperlukan untuk memberikan pencerahan dan penyadaran akan arti pentingnya
menghargai perbedaan dalam toleransi beragama. Sikap toleransi bisa ditunjukkan
melalui sikap menghargai perbedaan pandangan, keyakinan dan tradisi orang lain dengan
kesadaran tinggi bahwa perbedaan adalah rahmat Tuhan yang harus disyukuri.

B. SARAN
Terapkan sikap toleransi pada setiap diri kita agar terciptanya kerukunan dan
kedamaian dalam lingkungan kehidupan. Bertoleransi bukan berarti kita tidak peduli
terhadap orang lain, melainkan menanamkan sikap yang positif untuk menghargai orang
lain.

DAFTAR PUSTAKA

Sumber.https://www.tongkronganislami.net/pengertian-konsep-toleransi-antar-umat-
beragama-dalam-alquran-hadis/
https://guruppkn.com/contoh-sikap-toleransi-antar-umat-beragama
djavaspot.blogspot.com/2014/02/menuai-hikmah-toleransi-unruk-kebebasan-24.html
https://guruppkn.com/fungsi-toleransi-dalam-kehidupan
hadist-hadist-tentang-toleransi islamicStudies
https://brainly.co.id/tugas/225533
kisahislami.blogspot.com/2015/01/pentingnya-perilaku-toleransi-dalam.html
duniahadis.blogspot.com
https://fgulen.com/id/karya-karya/cinta-dan-toleransi/1268-the-military-
dimention/14826-toleransi-dalam-kehidupan-individu-dan-masyarakat

78
Humaidi Abdussami’ dan Masanun Tahir, Islam dan Hubungan Antar Agama (Wasasan untuk
Para Da’i), (Jogjakarta: LKIS), hal. 118
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’qn Al-adzim Juz IV terj. Salim Bahraisy dan Said Bahraisy,(Bandung:
Bina ilmu, 1993) hal 349.
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam kitab Al-Adabul Mufrod yang dishahihkan
oleh Al-Muhaddits Al-Allamah Asy Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
rahimahullah dalam kitab Shahih Al-Aldabul Mufrod 19/25
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhori didalam kitab Al-Adabul Mufrod yang
dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani Rahimahullah dalam Shaih Al-Adabul Mufrod no.
20/26.
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhori didalam kitab Al-Adabul Mufrod yang
dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani Rahimahullah dalam Shaih Al-Adabul Mufrod no
45/128.

79

Anda mungkin juga menyukai