Anda di halaman 1dari 2

Seni Tari di Yogyakarta

Seni tari merupakan sesuatu yang sangat terhormat di Yogyakarta. Seni tari gaya Yogyakarta
memiliki sejarah yang sepanjang sejarah kesultanan Yogyakarta sendiri.
Pada 13 Februari 1755, perjanjian Giyanti ditandatangani. Perjanjain Giyanti berisi pembagian
wilayah, yang membagi Kerajaan Mataram menjadi Kesunanan Surakarta dan Kesultanan
Yogyakarta. Hal ini menyebabkan kedua daerah tersebut untuk membagi dan mengembang
budaya mereka masing-masing. Kesunanan Surakarta menciptakan gaya tari yang baru,
sedangkan Kesultanan Yogyakarta menggunakan gaya tari yang sudah ada dan
mengembangkannya menjadi hasil kebudayaan tari klasik gaya Yogyakarta, yang juga dapat
disebut sebagai Joged Mataram.
Di Yogyakarta, seni tari terus berkembang sehingga dapat dibagi menjadi 4 kategori, yaitu tari
Tunggal Beksan, Srimpi, dan Bedhaya. Tari Tunggal hanya dilakukan oleh satu penari,
sedangkan tari Beksan dapat dilakukan secara berpasangan (Beksan Pelitan) atau penari
berkelipatan 4 (Beksan Sekawanan). Tari Srimpi adalah tarian lemah gemulai yang dilakukan
oleh 4-5 penari. Tari Bedhaya dilakukan oleh 9 penari, dan bersifat lebih tua dan sacral daripada
tarian lain ini.
Joged Mataram dapat dibagi menjadi 3 bentuk: halus (alusan), gagah (gagahan) dan kasar.
Bentuk halus dapat dibagi lagi menjadi halus luruh, yang memiliki gerakan bersifat lembut dan
pelan, halus mbranyak, yang bersifat dinamis, dan halus tuamnduk, yang berada diantara halus
luruh dan halus mbranyak. Bentuk gagah dapat dibagi lagi menjadi 2, yaitu gagah lugu yang
bersifat lugas, dan gagah kongas, yang penuh kebangaan. Bentuk kasar dapat dibagi menjadi
kasar kesatria dan kasar raksasa.
Ragam perwatakan Joged Mataram diambil dari karakter-karakter dari wayang kulit. Pola gerak
untuk karakter putri adalah ngenceng encot atau nggruda, sedangkan karakter putra memiliki 4
karakter pokok: impur, kambeng, kalang kinantang, dan bapang. Impur bersifat halus, dan
kambeng bersifat gagah. Ini digunakan untuk menunjukkan watak sederhana dan penuh percaya
diri. Kalang kinantang bersifat halus dan gagah, dan digunakan untuk menunjukkan watak keras
dan dinamis. Bapang menggunakan bentuk karakter gagah dan kasar, dan digunakan untuk
menunjukkn watak sombong dan banyak tingkah.
Selain semua ini, juga ada sesuatu yang disebut wanda yang digunakan untuk menunjukkan
ekspresi muka untuk menggambarkan suasana hati seorang tokoh dalam Joged Mataram. Secara
umum, setiap tokoh memiliki 3 wanda.
Dalam Joged Mataram, setiap penari harus mengikuti 7 pedoman baku yang telah ditetapkan
untuk mencapai tingkat optimal seni tari. Pedoman-pedoman ini adalah salah satu unsur yang
membedakan tari klasik gaya Yogyakarta dengan gaya tari yang lain. Pedoman-pedoman ini
adalah: pandengan, pacak gulu, deg, gerak cethik, sikap kaki, sikap tangan, dan mendhak.
Pandengan (atau pandanga mata) berperan penting dalam menunjukkan karakter dan suasana
jiwa tokoh. Dalam tari Yogyakarta, pandengan yang digunakan adalah kelopak mata terbuka,
bola mata lurus ke depan, dan pandangan tajam.
Pacak gulu adalah gerakan leher. Gerakan ini dipusatkan pada gerak menekuk pangkal leher
(jiling), dan juga dikenal sebagai  pacak gulu tekuk jiling. Ada empat macam gerak pacak gulu,
yaitu pacak gulu baku, yaitu tolehan biasa, nglenggot, yaitu coklekan yang digunakan dalam
tari golek, cantrik, kera, dan gedheg yang digunakan untuk gagahan.
Deg adalah sikap badan penari, yang harus selalu tegap, dengan tulang belakang berdiri tegak,
tulang belikat datar, bahu membuka, dan tulang rusuk diangkat, agar baik dipandang dari segala
arah.
Gerak cethik adalah pedoman bagi gerakan tubuh penari, baik ke samping, belakang, depan,
bawah, maupun atas.
Sikap kaki penari dapat dibagi menjadi dua, yaitu bagian tungkai atas dan jari-jari kaki. Posisi
kaki pupu mlumah adalah tungkai atas terentang, dhengkul megar adalah lutut membuka, suku
malang adalah kaki melintang, dan driji nylekenthing adalah jari-jari kaki diangkat keatas.
Gerakan tangan yang dilakukan penari harus selalu dipusatkan pada pergelangan tangan, dengan
lengan hanya mengikuti. Ini adalah supaya posisi tangan dan siku dapat tetap stabil tanpa
mengembang maupun menguncup.
Mendhak adalah posisi kaki yang merendah, dengan tekukan lutu yang dilakukan dengan paha
terbuka. Hal ini memungkinkan gerakan kaki terlihat lebih hidup dan besar, dengan ruang
gerakan yang lebih luas.
Tari klasik gaya Yogyakarta tidak hanya berfungsi sebagai seni olah tubuh, tetapi juga sebagai
alat mencerminkan filsafat hidup. Ini diungkapkan dalam empat unsur: sawiji, greged, sengguh,
dan ora mingkuh. Sawiji berarti fokus dan konsentrasi penuh tanpa adanya ketegangan. Greged
berarti demangat yang terkendali untuk mencapai tujuan. Sengguh berarti rasa percaya diri tanpa
rasa kesombongan. Ora mingkuh berarti ketangguhan, tanggung jawab, dan tidak berkecil hati
dalam menghadapi masalah. Joged Mataram juga menekankan penjiwaan karakter yang
ditunjukkan, sehingga memunculkan istilah jogedan (menggerakan badan sekedar mengikuti
hafalan) dan anjoged (menari dengan penuh keyakinan dengan gerakan-gerakan yang indah).
Intinya adalah seni tari merupakan sesuatu yang sangat dihormati di Yogyakarta, dan dapat
bermakna dan menunjukkan filsafat hidup. Karena itu, kita harus belajar untuk melestarikan
mengapresiasinya sebagai bentuk seni.

Anda mungkin juga menyukai