Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

Agitasi Pada Pembiusan Umum

Disusun Oleh :

Auryn Zhafiri Erwin (1102013049)

Nur aini (1102014198)

Hamdah (1102014117)

Raudlatul Jannah (1102014222)

Pembimbing :

dr. Andi, Sp. An

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANASTESI


RS BHAYANGKARA TK.I .SAID SUKANTO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 11 NOVEMBER – 14 DESEMBER 2019
PENDAHULUAN

Agitasi merupakan manifestasi penderitaan akibat nyeri dan kecemasan di ICU, dimana
terjadi pergerakan merusak yang berlebihan bersama dengan tekanan dari dalam dan
disertai dengan kecemasan, panik, depresi, delusi, halusinasi dan delirium.

Obat penenang sering digunakan untuk mengurangi dan mencegah ketidaknyamanan


pasien, mengurangi risiko menyakiti diri, dan meningkatkan hasil klinis.
Penggunaan obat penenang pada pasien kritis didasarkan pada target sedasi
pasien. Penggunaan obat sedasi di bawah standar atau secara berlebihan sering terjadi
sampai dengan 75% dari semua unit perawatan intensif (ICU) kasus yang membutuhkan
sedasi selama 24 jam atau lebih. Dampak tidak optimalnya sedasi mengarah pada lebih
lama waktu perawatan ICU, peningkatan risiko komplikasi dan biaya perawatan yang lebih
tinggi.

1. Agitasi Pasca Penggunaan Sevoflurane


Agitasi pasca penggunaan sevoflurane bukan merupakan hal baru. Pertama kali dilaporkan
pada tahun 1961 oleh Eckenhoff et al. Mulai menjadi perhatian setelah kejadian agitasi
post operasi meningkat pada penggunaan Sevoflurane menggantikan halotan. Agitasi pasca
penggunaan sevoflurane tidak hanya terjadi pada pasien pediatri, namun juga dapat terjadi
pada pasien dewasa. Prevalensi kejadian agitasi pasca operasi sebesar 25– 80%, terjadi
pada 30 menit pasca anestesi, paling sering pada 5 – 15 menit, namun pernah dilaporkan
terjadi hingga 2 hari.
Agitasi tidak hanya berefek ada pasien namun juga menimbulkan rasa khawatir bagi
orang tua pasien. Agitasi post operasi memiliki resiko yang dapat merugikan pasien seperti
pencabutan akses intravena, drain, verban, robeknya jahitan operasi, trauma pada diri
sendiri maupun orang lain. Agitasi juga menyebabkan trauma psikis bagi orang tua, yang
khawatir kelainan ini akan menetap. Dari sisi ahli Anesthesi, agitasi akan mempengaruhi
penilaian pasien/keluarga terhadap manajemen anestesi yang dilakukan oleh seorang ahli
anestesi.
Agitasi pasca operasi secara umum dapat disebabkan oleh banyak hal, yang paling
sering dijumpai adalah akibat nyeri dan agitasi akibat pemberian obat. Beberapa hal yang
mungkin menjadi penyebab agitasi di ruang pemulihan adalah:
• Hipoksia
• Hiperkarbia
• Obstruksi jalan nafas
• Hipoglikemia
• Kejang
• Peningkatan TIK
• Kelainan temperature
• Kandung kemih yang penuh
• Nyeri
• Obat
o Emergence Delirium (ED)
o Efek ekstrapiramidal (terutama sering pada pemberian antiemetic tertentu)
o Efek obat pelumpuh otot yang belum sepenuhnya hilang/kejadian delayed
emergence.

2. Definisi
Agitasi post operasi dapat didefinisikan menjadi “gangguan kesadaran dan perhatian
terhadap lingkungan sekitar disertai disorientasi dan perubahan persepsi termasuk
diantaranya hipersensitif terhadap stimulus dan perilaku hiperaktif pada periode post
anestesi”. Agitasi memiliki ciri berteriak – teriak, bergerak tanpa henti, aktifitas fisik
involunter, dan gaduh gelisah.
Istilah agitasi sering diartikan Emergence Delirium atau Emergence Agitation, dan para
peneliti masih berdebat tentang definisi ini. Penyebabnya adalah istilah agitasi sering
tertukar oleh delirium dan eksitasi, karena sulit untuk menilai keadaan psikologis anak
pada saat agitasi. Tidak seperti delirium, agitasi tidak menyebabkan perubahan perilaku.
Insiden kejadian agitasi pasca operasi tergantung dari definisinya, umur, teknik
anestesi, prosedur operasi dan penggunaan obat beserta adjuvant. Secara umum prevalensi
sebesar 10 – 50%, namun juga pernah dilaporkan hingga 80%.

3. Etiologi
Penyebab dari agitasi pasca operasi masih belum diketahui secara jelas. Kombinasi dari
etiologi diduga meningkatkan resiko untuk terjadi agitasi pasca operasi.
Penyebab agitasi pada sevoflurane sendiri belum ditemukan secara pasti. Diperkirakan
sevoflurane bekerja pada reseptor NMDA sehingga mengeksitasi otak, namun belum
didapatkan data secara pasti. Teori ini sendiri berlawanan dengan angka kejadian agitasi
pada Desflurane yang cukup tinggi, mengingat desflurane bersifat tidak mengeksitasi otak.

4. Faktor Terkait Anestesi


a. Masa Pemulihan Anestesi Cepat
Agitasi paska anestesi mulai banyak ditemukan dan diteliti setelah ditemukan dan
digunakannya sevoflurane dan desflurane. Agen inhalasi ini memiliki sifat solubilitas
yang rendah, sehingga memiliki onset dan masa pemulihan yang cepat. Berdasarkan
temuan tersebut, maka diperkirakan kejadian agitasi pasca operasi dapat diakibatkan
oleh masa pemulihan anestesi yang cepat.
Namun disisi lain, agen propofol juga memiliki masa pulih anestesi yang cepat,
namun tidak atau lebih sedikit menimbulkan agitasi pasca operasi, bahkan dapat
digunakan untuk mengurangi angka kejadian. Pada penelitian yang dilakukan oleh
Shoici Uezono et al, perbandingan kejadian agitasi pasca anestesi sevoflurane
dibandingkan dengan propofol sebanyak 38% berbanding 0%.
Pasien diantar ke ruang pemulihan dalam keadaaan tidur juga tidak mengurangi
angka agitasi pasca operasi. Dan juga penurunan konsentrasi sevoflurane secara
perlahan juga tidak memiliki efek yang signifikan terhadap penurunan angka kejadian.
b. Faktor Intrinsik Agen Anestesi
Sejak ditemukannya sevoflurane dan desflurane, kejadian agitasi pasca operasi
memang meningkat, namun bukan berarti agen anestesi lain tidak dapat menyebabkan
agitasi. Halotan juga dilaporkan membuat agitasi, selain isoflurane dan desflurane.
Pada pasien pediatrik, Rahil Singh et al dalam penelitiannya mengatakan, sevoflurane
memiliki angka kejadian yang paling tinggi dibandingkan isoflurane dan desflurane,
walaupun hasil penelitian secara statistik tidak signifikan.
Efek agen inhalasi terhadap kejadian agitasi masih belum dipahami. Sevoflurane
yang memiliki angka kejadian paling tinggi memang dapat mencetuskan kejang,
namun desflurane dengan angka kejadian yang cukup tinggi tidak memiliki efek
kejang, sehingga mekanisme ini tidak data diterima sebagai penyebab agitasi.
Sevoflurane dan isoflurane meningkatkan kadar noradrenalin (NAdr) pada daerah
adrenergik otak sehingga diasumsikan dapat menyebabkan agitasi.

5. Faktor terkait Prosedur Operasi

a. Nyeri
Nyeri merupakan faktor yang paling dipertimbangkan dalam menyebabkan agitasi.
Penanganan nyeri yang tidak adekuat terbukti menyebabkan agitasi. Pemberian
analgetik preemptif sudah terbukti menurunkan angka agitasi pasca operasi, dimana hal
ini membuktikan bahwa nyeri merupakan faktor yang berperan.
Walaupun begitu, nyeri bukanlah satu – satunya faktor. Penelitian yang dilakukan
oleh Isik (2006) pada pediatri, dilaporkan bahwa pasien yang dilakukan pemeriksaan
MRI dalam pembiusan menggunakan induksi dan agen rumatan sevoflurane juga
didapatkan kasus agitasi.
b. Jenis Operasi
Operasi daerah mata dan THT memiliki angka kejadian agitasi lebih tinggi
dibandingkan jenis operasi lainnya. Hal ini dimungkinkan akibat perasaan tidak
nyaman karena gangguang indera baik penglihatan, penciuman, pendengaran maupun
akibat perasaan ‘sufokasi’ pada pasien pasca operasi THT dimana terjadi gangguan
jalan nafas akibat prosedur operasi.
Eckenhoff et al (1961)4 dan Voepel-Lewis (2003) pada studi prospektifnya
melaporkan operasi THT merupakan faktor independen untuk terjadinya agitasi pasca
operasi.

2.1.2.3 Faktor Pasien


a. Usia
Anak usia 2-6 tahun lebih mudah terjadi agitasi dibandingkan dengan anak usia
sekolah. Penelitian yang dilakukan oleh Aono et al (1997) membuktikan pernyataan
tersebut. Secara teori, imaturitas dari sel otak yang mempengaruhi angka kejadian pada
grup usia 2 – 6 tahun
b. Ansietas praoperasi
Keadaan sebelum masuk ke kamar operasi dapat memberikan ketidaknyamanan dan rasa
cemas pada anak-anak yang berpengaruh terhadap mental anak. Hal ini akan berpengaruh
terhadap respon tubuh untuk melepaskan katekolamin sehingga dapat mengakibatkan
peningkatan laju jantung, kontraksi otot jantung, vasokonstriksi arteri, peningkatan kadar
gula darah dan lainnya; keadaan tersebut dapat memperberat kondisi anak sebelum masuk ke
kamar operasi.
Penelitian Kain et al menunjukkan pada sebuah studi yang melibatkan 241 anak bahwa
kecemasan preoperatif berhubungan dengan nyeri paska operasi dan perubahan perilaku.
Namun tidak bisa ditentukan secara pasti apakah ini berhubungan ataupun merupakan efek-
kausa.
c. Temperamen
Setiap individu memiliki tingkat respon stress yang bermacam - macam. Selain respon
stress, kepribadian anak juga bepengaruh terhadap kejadian agitasi. Anak-anak yang lebih
emosional, impulsif, kurang bersosial dan tidak dapat beradaptasi baik dengan lingkungan
akan lebih beresiko mengalami agitasi pasca anestesi.
Faktor terkait pasien ini sangat penting untuk diperhatikan, karena faktor ini sulit
dikendalikan oleh seorang ahli anestesi.

2.1.3 Penilaian Agitasi


Alat ukur untuk menilai adanya agitasi, terutama pada anak, cukup banyak, namun yang
paling sering digunakan adalah Pediatrik Anasthesia Emergence Delirium (PAED), Cravero dan
Watcha score. Tidak ada satupun alat ukur yang spesifik dan sensitif untuk menilai perilaku anak
pada masa sadar pulih.
Sistem scoring Cravero dan Watcha lebih sederhana dibandingkan sistem PAED, namun sistem
PAED sudah tervalidasi lebih baik. Leila dan Susan dalam artikel mereka menyarankan
penggunaan sistem scoring yang lebih sederhana untuk mendeteksi agitasi pasca operasi, dan
menggunakan PAED untuk mengukur derajatnya. Seorang pasien mengingat sifat desfluran tidak
mengeksitasi otak. Penegakkan diagnosis agitasi akibat agen sevoflurane dan lainnya sama, yaitu
dapat dilakukan dengan beberapa sistem scoring seperti Cravero, Watcha, dan PAED. Untuk
mendeteksi agitasi disarankan menggunakan sitem yang lebih sederhana seperti Cravero dan
Watcha, sedangkan untuk menentukan derajatnya dapat menggunakan sistem PAED.
Secara umum penanganan dan pencegahan agitasi pasca operasi dapat menggunakan
agen tunggal maupun kombinasi, sesuai dengan penelitian – penelitian terdahulu. Penanganan
agitasi khusus sevoflurane belum ditemukan, karena pada prinsipnya penyebab agitasi itu sendiri
belum jelas mekanismenya. Hanya saja penelitian terbaru dari Rasha et al (2014) menyebutkan
pemberian magnesium sulfat menurunkan angka kejadian agitasi pasca anestesi dengan
sevoflurane secara signifikan. Penelitian ini spesifik hanya menggunakan agen sevoflurane,
sehingga belum dapat dikatakan bahwa magnesium sulfat merupakan pengobatan agitasi pasca
anestesi khusus agen sevoflurane dinyatakan terjadi agitasi pasca operasi pada sistem scoring
Cravero jika nilai ≥ 4, Watcha ≥ 3, dan PAED jika ≥ 10.
Perbedaaan pendapat dari definisi agitasi pasca operasi juga mempengaruhi nilai dari alat
ukur tersebut. Sebagai contoh, penelitian oleh Cravero et al, didapatkan 80% agitasi pada anak
ketika batas agitasi dinyatakan sebagai kejadan menangis. Namun jika batasnya di’naik’kan
menjadi perilaku gaduh gelisah, maka angka kejadian agitasi turun hingga 30%. Hal ini
menunjukkan, angka kejadian dapat bervariasi hanya karena definisi dari agitasi itu sendiri,
walaupun dengan populasi sampel dan alat ukur yang sama.

2.1.4 Pencegahan dan pengobatan


Etiologi dari agitasi pasca operasi pada dasarnya belum diketahui dengan baik, sehingga
pengobatan dan pencegahnnya pun masih belum ditemukan dengan pasti. Sudah banyak
penelitian yang mencoba mencari agen terbaik untuk pencegahan dan pengobatan agitasi ini,
namun tidak ada satupun yang dinyatakan efektif dengan hasil konstan pada semua penelitian.
Banyak agen anestesi baik tunggal maupun kombinasi diteliti untuk mengatasi dan mencegah
agitasi. Pada review artikel yang dilakukan oleh Anneke Art et al (2012), peneliti membagi
pencegahan dan pengobatan agitas berdasarkan tipe operasi, yaitu prosedur bebas nyeri dan
prosedur dengan nyeri. Dari 3 penelitian yang dilakukan Abu-Shawan, Isik, dan Cravero, peneliti
menemukan bahwa pada prosedur bebas nyeri penggunaan propofol, dexmedetomidine dan
fentanyl semuanya memiliki efek menurunkan angka kejadian agitasi pasca operasi. Sedangkan
pada prosedur operasi dengan nyeri, dari 6 penelitian peneliti mengemukakan kombinasi
midazolam dan ketamin, blok caudal dengan midazolam, dexmedetomidine dan tropisentron
terbukti menurunkan angka kejadian agitasi pasca operasi. Namun midazolam dan clonidine
sebagai agen tunggal tidak menurunkan angka kejadian agitasi.

ManajemenAnalgesia
ManajemenFarmakologi
Opioid
Opioid adalah opiat dan substansi lain yang menghasilkan efek rangsangan terhadap reseptor
opioid di sistem saraf pusat.Rangsangan terhadap reseptor opioid menghasilkan beberapa efek,
diantaranya analgesia, sedasi, euforis, konstriksi pupil, depresi pernapasan, bradikardia, konstipasi,
mual, muntah, rentesi urin dan pruritus. Opioid adalah suatu obat yang sering digunakan dalam
mengatasi nyeri dan sedasi ringan di ICU, tanpa memiliki efek anmesia.5
Opioid yang paling banyak digunakan di ICU adalah morfin, fentanyl dan hydromorfon. Cara
penggunaan ketiga opioid ini dapat dilihat pada tabel 4 Dosis pada tabel 4 adalah dosis efektif secara
umum, akan tetapi kebutuhan dosis individu dapat bervariasi secara luas sesuai dengan respons
setiap pasien, bukan berdasarkan jumlah dosis.5 Morfin adalah opioid yang paling sering
digunakan di ICU, tetapi fentanil lebih disukai karena mula kerja yang cepat, tidak memiliki
metabolit aktif dan tidak terlalu berefek terhadap tekanan darah. Morfin memiliki metabolit aktif
yang dapat berakumulasi pada kondisi gagal ginjal. Salah satu metabolit morfin (morphine-3-
glucoronide) dapat menyebabkan eksitasi system saraf pusat sehingga dapat menimbulkan kejang,
sedangkan hasil metabolit lainnya(morphine-6- glucoronide) memiliki efek analgesia lebih kuat
dibandingkan dengan obat asalnya. Fentanil tidak memiliki metabolit aktif, sehingga dosisnya tidak
perlu edisesuaikan pada pasien dengan gangguan ginjal. Morfin dapat menyebabkan pelepasan
histamin yang akan menimbulkan vasodilatasi dan hipotensi. Sedangkan fentanyl tidak mempunyai
sifat ini sehingga lebih dipilih pada pasien dengan gangguan hemodinamik. Infus fentanil lebih dari
4 jam dapat menyebabkan akumulasi obat pada jaringan lemak yang menyebabkan pemanjangan
efek obat. Efek ini dapat diminimalisir dengan mentitrasi obat serendah mungkin hingga
mencapai dosis terendah yang masih dapat mengatasi nyeri.5
Untuk pasien yang sadar dan mampu untuk memberikan obat sendiri, patient-controlled
analgesia (PCA) dapat dijadikan metode efektif dalam mengatasi nyeri. Metode PCA menggunakan
pompa infus elektronik yang dapat diaktifkan oleh pasien. Saat merasakan nyeri, pasien menekan
tombol pada alat yang akan memompakan bolus obat intravena. Setelah pemberian bolus, alat
tersebut tidak dapat digunakan untuk waktu tertentu (lockout interval), untuk menghindari
overdosis. PCA dapat digunakan secara tunggal, atau bersamaan dengan infus opioid dosis rendah.
PCA berhubungan dengan penanganan analgesia yang efektif, meningkatkan kepuasan pasien dan
efek samping yang minimal.5
Pemberian opioid melalui epidural adalah metode yang popular untuk mengatasi nyeri pasca
operasi abdomen dan thorax. Kateter epidural biasanya dipasang di ruang operasi sesaat sebelum
operasi, dan dipertahankan beberapa hari setelah operasi. Dosis analgesia yang biasa digunakan
pada epidural analgesia, yaitu golongan opioid fentanyl 2–5 mcg/mL, morfin 20–100 mcg/mL,
dilaudid 0,04 mg/mL, serta anestesi lokal seperti bupivakain dengan konsentrasi 0,06–0,125 %
dan ropivakain dengan konsentrasi 0,1–0,2 %.5
Untuk epidural torakal biasanya digunakan kecepatan infus 4–8 mL/jam sedangkan untuk
epidural abdominal dengan kecepatan 6–12 mL/ jam. Epidural opioid dapat diberikan dengan
cara bolus intermiten, akan tetapi lebih sering diberikan infus dengan disertai anestesi lokal
seperti bupivakain. Penambahan anestesi lokal meningkatkan efek analgesia dan mengurangi efek
samping dari opioid. Akan tetapi penambahan anestesi local dapat menyebabkan kelemahan motorik dan
hipotensi.5
Penelitian pada klinis dalam membandingkan analgesia sistemik dan epidural menunjukkan hasil yang
tidak konsisten. Akan tetapi secara umum, analgesia epidural berhubungan dengan analgesia yang lebih
baik, pemulihan fungsi usus yang lebih cepat, komplikasi paru-paru yang minimal dan mengurangi risiko
infark miokardium.5
Efek samping dari epidural analgesia lebih sering pada penggunaan morfin dibandingkan
fentanil. Epidural morfin dapat menyebabkan depresi pernapasan dan mula kerja yang lambat
hingga 12 jam. Kejadian depresi pernapasan berbanding lurus dengan penggunaan morfin
intra fena. Selain hal di atas, efek samping lain dari epidural analgesia adalah pruritus, mual dan
retensi urin.5 Efek samping penggunaan opioid intra vena diantaranya depresi pernapasan. Opioid
menghasilkan efek sentral berupa penurunan laju pernapasan dan volume tidal, tergatung pada
dosis yang digunakan. Dosis tinggi opioid dapat menimbulkan apnea yang ditimbulkan dari efek
opioid terhadap reseptor perifer di paru-paru. Pasien dengan riwayat sleep apnea syndrome
atau hiperkapnia kronis lebih mudah mengalami depresi pernapasan yang ditimbulkan oleh
opioid.5 Terhadap sistem kardiovaskular, opioid dapat menimbulkan penurunan tekanan darah
dan denyut jantung sebagai akibat dari turunnya aktivitas simpatis dan meningkatnya parasimpatis.
Efek ini biasanya ringan dan dapat ditoleransi. Reaksi yang berat biasanya timbul pada pasien
hipovolemia atau dengan gagal jantung, atau bila dikombinasikan dengan benzodiazepin.5
Opioid juga dikenal dalam menurunkan motilitas usus dan efek ini lebih tampak pada
pasien di ICU. Naloxon oral 4–8 mg tiap 6 jam dapat mengatasi efek opioid terhadap usus tanpa
berefek terhadap efek analgesia sistemik. Pruritus yang ditimbulkan oleh opioid dapat dikurangi
dengan pemberian naloxon dosis rendah (0,25–1 mg/kg/jam).5 Efek dari opioid terhadap chemoreceptor
trigger zone dapat menimbulkan adanya atau terjadinya mual dan muntah. Antiemetik seperti
ondansetron dan naloxon yang diberikan dalam dosis rendah dapat digunakan untuk mengatasi
efek mual dan muntah akibat dari efek samping opioid yang ditimbulkan.5

AnalgesiaNonopioid
Ketorolak
Terdapat beberapa alternatif analgesia parenteral selain opioid. Di Amerika Serikat hanya satu obat
yang diizinkan untuk digunakan di ICU, yaitu ketorolak. Ketorolak adalah obat yanf termasuk
golongan nonsteroidal antiinflammatory drugs (NSAID) yang diperkenalkan pertama pada tahun
1990 sebagai analgesia parenteral untuk nyeri pasca operasi. Ketorolak tidak menimbulkan
sedasi ataupun depresi pernapasan. Meskipun demikian, popularitas dari ketorolak berkurang
akibat dari efek samping yang ditimbulkannya. Ketorolak adalah penghambat non-spesifik enzim
siklooksigenase dengan aktivitas analgesia yang kuat dan aktivitas antiinflamasi yang moderat.
Ketorolak 350 kali lebih poten dari aspirin. Setelah pemberian intramuskular, efek analgesia
dapat dihasilkan dalam 1 jam, dengan lama kerja selama 5–6 jam. Obat ini dimetabolisme di hepar
dan diekskresikan dalam urin. Eliminasinya memanjang pada gangguan ginjal dan usia tua.
Untuk analgesia pasca operasi, ketorolak 30 mg setara dengan 10–12 mg morfin. Ketorolak dapat
diberikan tunggal atau dikombinasikan dengan opioid dengan menghasilkan opioid sparring
effect, dimanan dosis opioid dapat dikurangi sekitar 25%–50%. Ketorolak dapat diberikan
secara oral, intravena atau intramuskular. Untuk pasien di bawah usia 65 tahun, dapat
diberikan dosis inisial 30 mg intravena atau 60 mg intramuskular, diikuti dengan pemberian 30
mg intramuskular atau intravena setiap 6 jam (maksimal 120 mg/hari) selama 5 hari. Untuk
pasien di atas usia 65 tahun, atau dengan gangguan ginjal, dosis inisial 15 mg iv atau 30 mg im
dilanjutkan dengan 15 mg im atau iv setiap 6 jam (maksimal 60 mg/hari) selama 5 hari. Ketorolak
juga dapat diberikan melalui infus intravena dengan kecepatan 5 mg/jam dan menghasilkan
analgesia yang lebih efektif dibandingkan dengan pemberian intravena intermiten.5
Seperti obat NSAIDs lainnya, ketorolak menghambat agregasi trombosit dan sebaiknya
tidak diberikan pada pasien dengan risiko perdarahan. Pemberian ketorolak lebih dari 5
hari dengan dosis lebih dari 75 mg/hari dapat meningkatkan risiko perdarahan gastrointestinal
dan luka operasi, terutama pada pasien geriatric ≥65 tahun. Ketorolak menghambat sintesis
prostaglandin ginjal dan dapat mengakibatkan gangguan fungsi ginjal, terutama pada pemberian
lebih dari 5 hari.5
Parasetamol
Analgetik yang sangat berguna untuk mengatasi nyeri pada jaringan lunak dan memiliki efek
opioid sparingpada kondisi nyeri yang berat. Parasetamol dapat diberikan melalui oral, rektal
atau intravena. Parasetamol dapat menyebabkan gangguan fungsi liver pada dosis normal, sehingga
harus diperhatikan pemberiannya pada pasien dengan gangguan hati berat. Parasetamol juga
mempunyai efek antipiretik dan dihubungkan dengan hipotensi ringan pada pasien di ICU. 8
Ketamin
Ketamin adalah antagonis N-methyl-D-aspartate (NMDA), memiliki potensi sedasi dan analgesia
yang baik. Pada dosis yang tinggi (1–2 mg/kg), ketamin merupakan obat anestesi yang baik.
Ketamin dapat mengaktivasi sistem saraf simpatis dan berhubungan dingan peningkatan tekanan
darah dan takikardia. Obat ini digunakan untuk jangka pendek, pada prosedur tindakan berulang
seperti mengganti balutan pada pasien luka bakar. Biasanya diberikan intravena, meskipun dapat
diberikan intratekal atau oral. Efek samping utama dari ketamin adalah reaksi psikotomimetik
berupa halusinasi dan mimpi buruk yang dapat diminimalisir dengan pemberian benzodiazepin. 8
Regionalanalgesia
Regional analgesia pada umumnya digunakan untuk mengontrol rasa nyeri pada pasca operasi,
dimana manfaat utamanya dapat mengurangi penggunaan opioid yang dapat menimbulkan
efek samping yang tidak diinginkan. Pada beberapa kondisi, seperti fraktur kosta, regional
analgesia dapat mengurangi komplikasi respirasi dan mempercepat waktu pemulihan. Regional
analgesia dapat dibagi menjadi neuraksial dan blok saraf tepi.8
Blokade pada neuraksial meliputi pemberian anestesi lokal atau obat lain ke dalam medula
spinalis atau serabut sarafnya. Teknik regional anagesia yang paling umum digunakan adalah
analgesia spinal dan epidural. Analgesia spinal adalah pemberian obat analgesia ke dalam cairan
cerebrospinal dengan cara menyuntikkannya pada ruang intervertebra lumbal 3 dan 4. Teknik
ini biasanya dilakukan dengan penyuntikkan tunggal. Pemberian obat infus berkelanjutan
dapat digunakan, namun berhubungan dengan kerusakan saraf dan toksisitas. Anastesi lokal
yang diberikan intratekal memiliki lama kerja yang pendek, biasanya beberapa jam. Pemberian
morfin menghasilkan analgesia dengan lama kerja panjang hingga 24 jam. Teknik ini biasanya
dilakukan setelah operasi besar abdomen dan toraks, dan menghasilkan analgesia yang baik
dengan komplikasi kardiovaskular yang minimal. Akan tetapi insidensi gangguan respirasi cukup
tinggi bila dibandingkan dengan teknik yang lain.8
Teknik analgesia epidural adalah memberikan obat analgesia kedalam ruang epidural, biasanya
melalui kateter yang dimasukkan dengan jarum Tuohy. Kateter dapat ditempatkan di seluruh level
vertebra, tergantung blokade dermatom anesthesia yang diharapkan. Kecepatan infus diatur sesuai
dengan derajat penyebaran dan area analgesia yang diharapkan. Opioid dapat ditambahkan ke dalam
larutan anestesi lokal untuk mengurangi jumlah anestesi lokal yang dibutuhkan dan mengurangi
adanya efek samping yang tidak diinginkan yang berhubungan dengan blokade simpatis. Opioid
yang ditambahkan ke dalam ruang epidural dapat menyebabkan efek sistemik.8
Keuntungan analgesia epidural dibandingkan dengan opioid sistemik adalah meminimalisir
stres respons pembedahan, mengurangi kejadian deep vein thrombosis, mengembalikan motilitas
usus lebih cepat dan mengurangi kejadian gagal pernapasan.8 Komplikasi yang berhubungan
dengan analgesia epidural dapat dilihat pada table 5 Blokade pada saraf perifer adalah memberikan
larutan obat anestesi lokal di sekitar saraf tepi sehingga menghasilkan analgesia pada daerah
tertentu. Kateter ditempatkan di sekitar saraf atau plexus saraf, dan infus anestesi lokal diberikan
untuk rumatan analgesia dalam beberapa hari. Penggunaan dari teknik regional analgesia ini
adalah untuk menghidari efek-efek sistemik dari opioid dan hipotensi yang berhubungan dengan
epidural analgesia. Kelemahan dari teknik ini adalah ketidaknyamanan dari pasien. Komplikasi
teknik ini diantaranya adalah trauma pada serabut saraf dan hematoma di sekitar area penyuntikan.8

I. DEFINISI SEDASI
Definisi baru oleh JCAHO dan standar sedasi mengacu pada rekomendasi ASA. Standar
JCAHO direvisi pada 1 Januari 2001. Tindakan sedasi dan analgesia adalah penggunaan
obat-obat sedatif, analgetik, dan disosiatif untuk menghasilkan ansiolisis, analgesia, sedasi,
dan kendali motorik selama tindakan diagnostik dan terapi. (Leroy, Gorzeman, and Sury,
2009).
Definisi empat derajat sedasi dan analgesia adalah :
1. Sedasi minimal (ansiolisis)
Pada derajat ini, pasien masih bisa merespon secara normal dan perintah verbal.
Fungsi kognitif dan koordinasi mungkin terpengaruh, fungsi ventilasi dan
kardiovaskuler tidak terpengaruh.
2. Sedasi atau analgesia sedang (sedasi sadar)
Pasien mungkin masih bisa merespon perintah verbal baik dengan atau tanpa
stimulasi taktil ringan. Tidak diperlukan intervensi untuk menjaga patensi jalan
napas, dan ventilasi spontan masih adekuat. Fungsi kardiovaskuler masih stabil.
3. Sedasi dan analgesia dalam
Terjadi depresi kesadaran sehingga pasien tidak mudah dirangsang tetapi dapat
merespon oleh stimulasi nyeri. Kemampuan untuk menjaga fungsi ventilasi
terganggu. Pasien memerlukan asisten untuk menjaga patensi jalan napas dan
ventilasi spontan mungkin tidak adekuat. Fungsi kardiovaskuler masih terjaga.
4. Anestesi
Anestesi umum merupakan kehilangan kesadaran akibat obat-obatan dimana pasien
tidak terangsang meskipun diberikan stimulasi nyeri. Kemampuan untuk
mempertahankan fungsi ventilasi mungkin terganggu. Pasien memerlukan asisten
untuk menjaga patensi jalan napas dan ventilasi tekanan positif diperlukan karena
terjadi depresi ventilasi spontan dan depresi fungsi neuromuskuler. Fungsi
kardiovaskuler mungkin terpengaruh. (Krauss and Green, 2000); (Green, et. al.,
2007)
Tingkat sedasi diukur secara kuantitatif dengan scoring sedasi Ramsay (Lim TW et al,
1997):
1. Pasien sadar, cemas, gelisah atau tidak tenang
2. Pasien sadar, kooperatif, bisa mengendalikan diri dan tenang
3. Pasien sadar, respon pada perintah
4. Pasien tidur, respon terhadap stimulasi suara
5. Pasien tidur, respon terhadap stimulasi nyeri
6. Pasien tidur, tidak ada respon terhadap stimulasi
Tingkat agitasi-sedasi berdasarkan Riker Sedation- Agitation Scale (Riker RR, 1999).
1. Agitasi berbahaya, misalnya dengan menarik ET, mencoba melepaskan kateter, marah
pada paramedic.
2. Sangat agitasi, tidak tenang meskipun mengingatkan pada paramedic terbatas, menggigit
ET.
3. Agitasi, cemas dan agitasi ringan, mencoba untuk duduk, kembali ketempat atas perintah.
4. Tenang dan kooperatif, tenang, mudah bangun dan mengikuti perintah.
5. Sedasi, sulit bangun, bangun dengan stimulasi verbal.
6. Sangat tersedasi, bangun dengan stimulasi fisik tetapi tidak komunikatif.
7. Tidak bangun, minimal atau tidak ada respon terhadap stimuli.

II. OBAT SEDASI DI ICU


Obat sedasi secara keseluruhan digunakan untuk pengobatan distress atau agitasi pada
pasien di ICU. Tidak ada obat sedasi yang ideal untuk digunakan di ICU. Sifat obat sedasi
yang ideal adalah analgesia, hypnosis, larut dalam air dan stabil dalam larutan pada suhu
ruangan, onset pendek dan kerjanya tidak mengganggu/ merugikan, metabolismenya tidak
bergantung pada fungsi hepar dan ginjal, tidak menumpuk, metabolism yang tidak aktif
serta harganya murah. (Bion dan Teoh, 1997).
Obat sedasi yang sering digunakan adalah golongan benzodiazepine, opioid,
neuroleptik dan obat anestesi seperti propofol. Obat sedasi yang digunakan biasanya
dengan efek samping dan kelebihan dosis sedasi yang bisa menyebabkan depresi respirasi,
hipotensi, bradikardi, ileus, gagal ginjal dan imunosupresi. Oleh karena itu obat sedasi
perlu dititrasi dan dirubah sesuai perubahan kondisi pasien. (Detriche and Berre, 1999).
MIDAZOLAM
Midazolam adalah golongan imidabenzodiazepin yang berbeda dari benzodiazepine lain
yaitu mempunyai cincin imidazole. Adanya cincin imidazole ini memberikan keuntungan
karena mudah larut dalam air dengan cincin yang terbuka pada PH ≤ 4 dan cincin tertutup
pada PH > 4, ketika midazolam dalam PH fisiologis tubuh mempunyai kelarutan tinggi
pada lemak dan stabil dalam bentuk larutan dan cepat dimetabolisme. (Collins, 1996).
Midazolam mengandung 1 atau 5 mg/ml, 0,8% sodium klorida, 0,01% disodium edentate
dan 1% benzyl alcohol. Seperti golongan benzodiazepine lain maka midazolam mempunyai
sifat ansietas, sedative, amnesia, anti konvulsi dan mempunyai pengaruh relaksasi otot
skelet. (Stoelting, 1999; J. Gerald R, 2000).
Midazolam merupakan molekul organic non polar yang sangat lipofilik dan hidrofobik.
Sifat lipofilik menguntungkan karena cepat berdifusi melalui membrane sel yang penting
untuk menembus sawar darah otak. (Heizman, 1986). Analisa farmakokinetik yang
didasarkan pada kosentrasi didalam plasma setelah pemberian bolus menunjukan gambar
grafik semi-logaritmik dengan kurva bifasik. Setelah pemberian midazolam gambaran
grafik penurunan dengan cepat kurang dari 45 menit dalam fase α, dengan waktu paruh 150
menit. (Lauven P.M., 1986). Konsentrasi midazolam dalam plasma berhubungan dengan
dosis intravena yang dapat dilihat dengan tersedasi dan pergerakan bola mata. Bila
konsentrasi midazolam dalam plasma lebih besar dari 0,1 mcg/ml paling sedikit 50%
pasien tersedasi, tetapi respon terhadap suara (Ramsay scale 3). Pada konsentrasi 0,2
mcg/ml paling sedikit 50% pasien akan tidur (Ramsay scale 4). Volume distribusi orang
dewasa dari 1-3,1 liter/kg berat badan, tetapi akan meningkat pada wanita, orang tua dan
obesitas. Pada orang dewasa dan pediatric lebih dari 1 tahun, midazolam terikat protein
plasma kurang lebih 97%. (List, 2003).
Midazolam dimetabolisme didalam hepar oleh sitokrom P450 3A4 dengan menghasilkan 1
hidroxy-midazolam (juga α hidroxy-midazolam) dan 4- hidroxy-midazolam (5%). Selain
hepar juga terjadi di mukosa gastrointestinal. Obat yang menghambat aktivitas sitokrom
P450 3A4 mungkin menghambat clearance dan peningkatan konsentrasi midazolam dalam
tubuh. Dalam penelitian ditemukan afinitas 1 dan 4 hidroxy-midazolam yang terikat
reseptor benzodiazepine kira-kira 20% dan 7% (List, 2003).
Ekskresi midazolam melalui urine dari 1- hidroxy-midazolam menjadi glucoronide
conjugated. Jumlah midazolam yang tidak mengalami perubahan dalam urine setelah dosis
intravena adalah kurang dari 0,5% dan pada pemakaian infuse 45% sampai 57% dari dosis
tidak mengalami perubahan (1- hidroxymethyl-midazolam conjugated).
Pengaruh pada system organ
System respirasi
Midazolam 0,15 mg/kgBB yang diberikan secara intravena menekan ventilasi sama dengan
pemberian 0,3 mg/kgBB. Gangguan ventilasi banyak ditemukan pada pasien dengan COPD
(Stoelting, 1999). Pada pemakaian sedasi intravena tidak mengganggu mekanisme respirasi
(tahanan, pengembangan dan volume paru), total lung capacity dan peak expiratory flow
akan menurun, sedangkan compliance dan maximum expiratory flow pada 50% total lung
capacity meningkat. (Versed, 2003).
System kardiovaskular
Perubahan hemodinamik terjadi penurunan tekanan darah arteri ringan sampai sedang pada
10 menit pertama setelah pemakaian dosis induksi dan terutama pada pasien iskemik dan
valvular disease. Dimana terjadi penurunan tekanan darah yang kecil akibat penurunan
Sistemik vascular resistance. (Gerald, 2000). Midazolam 0,2 mg/kgBB yang diberikan
secara intravena untuk induksi anestesi menghasilkan kenaikan denyut nadi yang lebih
besar dan menurunkan tekanan darah dibandingkan bila diberikan diazepam 0,5mg/kg.
(Samuelson et al, 1981).
Aliran darah otak
Midazolam dapat menyebabkan pengurangan aliran darah otak serta pengurangan
kebutuhan oksigen otak. Pemberian midazolam 0,15mg/kgBB secara intravena
menyebabkan tertidur, mengurangi aliran darah otak sebesar 39% dan meningkatkan
tahanan vascular otak 52%. (Foster et al, 1982). Penurunan compliance intracranial bila
diberikan dosis 0,15-0,27 mg/kgBB. (Stoelting, 1996).
Sedasi intravena
Pemberian midazolam secara intravena sebagai sedasi untuk prosedur pengobatan dan juga
untuk anestesi regional. Onsetnya lebih cepat dalam 2-3 menit dan waktu efek puncaknya
lebih lama dibandingkan diazepam. Efek amnesia lebih besar dan sedasi pasca operasi lebih
kecil dibandingkan diazepam. Dosis sedasi intravena dengan infuse adalah 0,02 mg/kg/jam
atau dengan dosis titrasi dari yang terkecil 0,012 mg/kg/jam sampai didapatkan sedasi yang
diinginkan. (Richard, 2001).
Midazolam merupakan imidazo-benzodiazepine kerja singkat dan memiliki efek ansiolitik,
antikonvulsan, sedatif, relaksan otot, dan amnesik. (Leroy, Gorzeman, and Sury, 2009).
Midazolam bekerja dengan berinteraksi dengan reseptor gamma aminobutyric acid
(GABA) pada sistem saraf pusat. Ketika dikombinasikan dengan opiat, midazolam
menghasilkan efek superadiktif. Onset kurang dari 60 detik ketika diberikan intra vena
dengan durasi 15 sampai 30 menit. Lima puluh persen dimetabolisme oleh hepar. Efek
midazolam dapat di reverse dengan antagonis flumazenil. (Bosenberg, 2002; Stoelting and
Hillier, 2006).
PROPOFOL
Propofol (2,6-diisopropylphenol) adalah golongan alkyphenol dimana struktur kimia untuk
efek hipnotiknya sangat berbeda dengan obat anestesi intravena lainnya. Propofol tidak
dapat larut dalam cairan aqua dan propofol terbuat dari campuran yang mengandung 10%
minyak kedelai, 2.25% glycerol dan 1.2% lechitin serta komponen utama adalah pecahan
fosfat dari kuning telur. Merupakan hipnotik sedatif kerja singkat, dalam bentuk larut
lemak. Propofol memiliki efek antiemetik dan antipruritus.
Metabolisme propofol sangat cepat didalam hati, dan menghasilkan komponen yang larut
dalam air yang merupakan bentuk tidak aktif dan akan dibuang melalui ginjal. Metabolisme
capat dari propofol mengakibatkan efisiensi bersihan plasma dan dihubungkan dengan
redistribusi yang sangat lambat akibat perfusi yang buruk setelah dari kompartemen utama
membuat propofol sangat cocok untuk diberikan dalam bentuk continuous intravenous
infusion. Konteks dari waktu-paruh yang sensitif menggambarkan waktu-paruh dari
eliminasi obat setelah dilakukan continuous infusion yang berfungsi sebagai durasi infus.
Propofol merupakan obat sedasi yang sering digunakan untuk pasien di ICU yang
menggunakan alat ventilator dan juga digunakan pada prosedur diluar ruang operasi yang
membutuhkan obat sedasi. Konsentrasi plasma yang dibutuhkan adalah 1 sampai 2 µg/mL,
yang akan memenuhi keperluan infus secara terus-menerus (continuous infusion) sebesar
25 dan 75 µg/kg/menit. Karena propofol mempunyai efek depresi pernapasan dan nilai
terapeutik yang sedikit, penggunaan propofol selayaknya dilakukan oleh orang-orang yang
terlatih dalam penatalaksanaan jalan nafas.
ALPHA-2 AGONIS
Clonidine dan dexmedetomidine memiliki efek sedatif dan analgetik karena aksinya pada
reseptor alpha-2. Clonidine menyebabkan depresi napas ringan. Sedangkan
dexmedetomidine menyebabkan depresi napas ringan, berkurangnya ventilasi semenit dan
berkurangnya respon terhadap CO2. (Bartolome, et. al., 2007).
Dexmedetomidine merupakan agonis α2-adrenergic. Untuk mengenal kegunaan dari agonis α2-

adrenergic berdasarkan dari penemuan penurunan kebutuhan anestesi pada pasien yang

mendapakan pengobatan clonidine yang lama. Mengakibatkan efek dari dexmedetomidine dapat

melawan obat α2-antagonis.

Karakteristik Fisiokimia

Dexmedetomidine adalah S-enantiomer yang aktif yang berasal dari medetomidine, yang

merupakan agonis α2-adrenergik yang sangat selektif dan derivat imidazole yang biasa

digunakan untuk pengobatan pada hewan. Dexmodetomidine merupakan obat yang larut dalam

air dan dapat diberikan secara parenteral.

Farmakokinetik

Dexmedetomidine melewati jalur metabolisme cepat di hati yang mengakibatkan

terjadinya proses konjugasi, N-methylation, dan hidroksilasi yang diikuti dengan konjugasi. Hasil

metabolisme di ekskresikan melalui urine dan cairan bile. Pembersihan obat pada tubuh

sangatlah tinggi dan waktu-paruh yang sangat pendek. Akan tetapi terdapat peningkatan yang

signifikan pada waktu-paruh apabila diberikan dengan cara infus dari 4 menit setelah 10 menit

diberikan infus sampai 240 menit setelah 8 jam diberikan melalui infus.
Farmakodinamik

Dexmedetomidine menghasilkan efek α2-agonist yang selektif melalui aktivasi dari SSP

α2-reseptor. Keadaan hipnotik diasumsikan sebagai hasil stimulasi dari α2-reseptor di locus

ceruleus, dan efek analgesi berawal dari level batang spinal. Efek sedatif terbentuk sangat

berbeda kualitasnya dengan obat anestesi intravena lainnya, dibandinkan dengan obat anestesi

intravena lainnya kualitas sedatif yang diakibatkan oleh obat ini adalah seperti stadium tidur

yang fisiologis akibat dari aktivasi jalur endogen pada jalur tidur. Dexmedetomidine mengurangi

aliran darah otak tanpa ada perubahan yang signifikan pada TIK dan CMRO2. Efek toleransi dan

ketergantungan dapat terjadi pada penggunaan obat ini.

Sistem Kardiovaskuler

Pemberian dexmedetomidine secara infus akan mengakibatkan penurunan yang tidak

terlalu berat pada denyut jantung dan tahanan vaskular sistemik dan hasil dari penurunan ini akan

mengakibatkan penurunan dari tekanan darah. Pemberian obat dangan cara IV bolus akan

menimbulkan peningkatan sementara dari tekanan darah sistemik dan menunjukkan adanya

penurunan pada denyut jantung, dan efek ini termediasi dari aktivasi dari rangsangan perifer dari

reseptor α2-adrenergik. Apabila terjadi bradikardi setelah pemberian obat ini, dibutuhkan

penatalaksanaan. Blokade jantung, bradikardi yang berat atau terjadinya asistol mungkin akibat

dari stimulasi vagal yang terganggu. Respon terhadap obat antikolinergi setelah pemberian obat

ini tidak berubah sama sekali.

Sistem Respirasi

Efek dari demedotimHidine pada sistem pernapasan adalah kecil sampai menengah yaitu

penurunan volume tidal dan perubahan sedikit pada rasio respirasi. Respon ventilasi terhadap

perubahan kadar karbondioksida tidak berubah. Walaupun efek pada respirasi itu ringan,
obstruksi jalan nafas atas dapat terjadi akibat efek sedasi. Sebagai tambahan, dexmedetomidine

memiliki efek sinergis apabila dikombinasikan dengan obat hipnotik-sedatif.

Penggunaan Klinis

Dexmedetomidine secara prinsip digunakan sebagai sedasi dalam waktu yang singkat

untuk intubasi trakhea dan pasien dengan ventilator mekanik di ICU. Pada pasien yang berada di

kamar operasi, dexmedetomidine mungkin digunakan sebagai tambahan anestesi umum atau

menyediakan sedasi pada pasien dengan trakheal intubasi yang menggunakan fiberoptic atau

selama anestesi regional. Ketika diberikan selama anestesi umum, dexmedetomidine (0.5 sampai

1-µg/kg sebagai dosisi inisial bertahan 10-15 menit, diikuti dengan infus sebanyak 0.2 – 0.7

µg/kg/jam) dapat mengurangi dosis yang dibutuhkan pada anestesi inhalasi dan injeksi anestesi.

Bangkitan dan transisi posoperasi merupakan keuntungan pada penggunaan dexmedetomidine

karena depresi respirasi tidak terjadi

Pada pasien sakit kritis yang membutuhkan sedasi yang berkepanjangan infus kontinyu
menjadi metode utama.
Pasien sakit kritis mengalami perubahan signifikan dalam parameter farmakokinetik
obat sedasi akibat patofisiologi penyakit, konsekuensi dari resusitasi agresif serta dukungan
fungsi organ. (Andrew H.W. Tse, Lowell Ling, Gavin M. Joynt, Anna Lee. Prolonged infusion
of sedatives and analgesics in adult intensive care patients: A systematic review of
pharmacokinetic data reporting and quality of evidence. 2017.)
DAFTAR PUSTAKA

1. Rathmell.P.James. Bonica’s Management of Pain. Pain management in the intensive care


unit. Lippincott Williams 2012;112:1590–01.
2. Sessler CN, Wilhem W. Analgesia and sedation in the intensive care unit: an overview of the
issues Crit Care. 2008; 12(Suppl 3): S1.
3. Young J. Sedation. Dalam: Core topics in critical care medicine. New York: Cambridge
university press; 2010:77–88.

4. Singer M WAR. Oxford handbook of critical care. Pain and post operative intensive care.
Oxford University Press Inc; 2005:530–35.
5. Marino P L. The ICU book: Analgesia and Sedation. Lippincott williams & wilkins;
2007;49:938–66.
6. McConachie I. Handbook of ICU therapy. Analgesia for the high risk patient. New York:
Cambridge University Press; 2006;4:51–64.
7. Sessler CN VK. Patient-Focused Sedation and Analgesia in The ICU. Chest 2008;133:552–
65.
8. Mitchell E. Pain control. Dalam : Core topics in critical care medicine. New York:
Cambridge university press; 2010:72–6.
9. Peitz J Gregory, Olsen M Keith. Top 10 Myths Regarding Sedation and Delirium in the ICU. J
Critical Care Medicine 2013;41:S46–56.
10. Reade C Michael, Finfer Simon. Sedation and Delirium in the Intensive Care Unit. J
New England 2014:444–54.
11. Riessen.R, Pech.R. Comparison of the ramsay score and the richmond agitation sedation
score for the measurement of sedation depth. Crit Care 2012.16 (Suppl 1):326.

12. Recommended standards for short latency auditory evoked potentials.American clinical
neurophysiology society.2008:12-9.
13. Stern. TA. Manual of intensive care medicine. Diagnosis and treatment of agitation and
delirium in the intensive care unit patient. Lippincott williams.2000; 179:871–75.

Anda mungkin juga menyukai