Karyamantha Surbakti
Balai Arkeologi Maluku. Jl. Namalatu-Latuhalat Kec. Nusaniwe Kodya Ambon 97118
manthatorong@gmail.com
Abstrak
Batu meja dalam khasanah arkeologi dikenal sebagai tinggalan dengan ciri yang
mengarah sebagai media pemujaan ataupun altar persembahan. Batu ini hingga sekarang
masih terletak insitu di Desa Waeyasel. Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai upaya
dalam melihat tinggalan batu meja yang penggunaannya masih menunjukkan tradisi
megalitik yaitu pemujaan roh leluhur. Penelitian ini menggunakan tiga cara dalam
pengumpulan data yaitu, survei, observasi dan wawancara. Hasil dari penelitian ini adalah
pengunaan beberapa sajian di batu meja seperti rokok, makanan dan uang logam dijadikan
media sesembahan untuk ritual tertentu oleh masyarakat hingga dewasa ini. Kesimpulan
penelitian adalah adanya faktor keselarasan penduduk dengan roh leluhur menyebabkan
ritual ini masih terus berlangsung dalam masyarakat setempat.
Abstract. Batu meja in the repertoire known as the archaeological remains of the
traits that lead as a medium of worship or the sacrificial altar. This feature, now still lies in
situ in the Waeyasel village. The purpose of this study is to look at the remains of a batu
meja that still use shows the megalithic tradition that is worship ancestral spirits. This study
used three ways in which data collection, surveys, observation and interviews. Results of
this study is the use of several offerings at batu meja such as cigarettes, food and coins used
as offerings or a particular ritual by the comunal until today. Conclusion of the study is the
factor of harmony beetwen local community with the ancestral spirits have cause this kind
of ritual is still ongoing among the local community.
88
Karyamantha Surbakti. Penelitian aspek megalitik pada batu meja di situs Desa Waeyasel,
Kabupaten Seram bagian barat Provinsi Maluku
manusia pendukungnya (Soejono 1996, 194- maupun sebuah pijakan dalam interpretasi.
195). Maka beberapa literatur yang penulis
Penjelasan di atas menunjukkan, jika gunakan untuk hal dimaksud di atas
perlakuan dari komunal masyarakat diantaranya:
memperlihatkan sebuah aktivitas Buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid I
penggunaan batu meja sebagai media tahun 1996 merupakan buku pegangan
ataupun altar, dapat dikategorikan pokok dalam memahami tinggalan dan
mengandung tradisi megalitik didalamnya artefak yang ada di Indonesia. Penjelasan
sejauh itu berhubungan dengan doa dan R.P. Soejono mengenai pembabakan sejarah
harapan kepada leluhur. Masih dan penggambaran kehidupan prasejarah di
menggunakan informasi perolehan dari Indonesia sangat diperlukan untuk
masyarakat setempat melalui wawancara, memahami konteks batu meja sebagai
waktu untuk ritual ke batu meja bisa tinggalan yang digunakan sebagai media
dikatakan tidak menentu, dan semua dalam ritual tertentu yang berkaitan dengan
tergantung dari tetua adat yang menjadi juru pemujaan roh leluhur. Gagasan dan tindakan
kunci desa dan beberapa orang dalam manusia dengan budaya bendawi merupakan
masyarakat yang memang memiliki sebuah hubungan yang refleksif serta selalu
kepentingan sesuatu hal untuk berniat ada kaitan timbal balik yang aktif di
memberikan sesajian ke batu meja. Tetua dalamnya.
adat dianggap sebagai persona yang penting Buku Pernak Pernik Megalitik Nusantara
di dalam desa dan juga dianggap sebagai terbitan tahun 2015 merupakan buku yang
orang yang sangat paham pun cakap dalam berisi kumpulan artikel yang membahas
adat pemberian sesaji ke batu meja tersebut. tentang penelitian megalitik dan tradisi
Berdasarkan latar belakang tersebut, megalitik yang masih living monument di
maka pokok permasalahan untuk penelitian Indonesia, yang dihelat oleh semua Balai
ini disusun sebagai berikut: Arkeologi seluruh Indonesia dan Pusat
Arkeologi Nasional sebagai pengampu
1. Indikasi apa yang dapat dilihat bahwa proyek pembuatan buku tersebut. Penjelasan
batu meja di Desa Waeyasel menunjuk- yang ada di dalam buku ini sangat beragam
kan tradisi megalitik? dan informatif karena beberapa suku di
2. Faktor apa saja yang menjadikan batu Indonesia memiliki keterikatan dengan
meja masih digunakan sebagai media leluhur ataupun nenek moyang mereka yang
ritual tertentu oleh masyarakat dituangkan dalam sebuah replika batu dan
setempat? kemudian itu melebur serta menjadi media
ataupun sarana penghubung baik itu
Tinjauan pustaka ataupun literatur komunikasi ataupun dunia kosmis mereka.
pendukung sebuah tulisan dibutuhkan untuk Buku Religi Pada Masyarakat Prasejarah
keperluan pendukungan kerangka berpikir di Indonesia tahun 2004 merupakan buku
89
Siddhayatra Vol. 21 (2) November 2016: 87-96
Gambar 1. Lokasi penelitian dalam lingkar an mer ah (Sumber : Ar cView 10.1, tanpa skala)
90
Karyamantha Surbakti. Penelitian aspek megalitik pada batu meja di situs Desa Waeyasel,
Kabupaten Seram bagian barat Provinsi Maluku
Tujuan khusus dari penelitian ini antara ketinggian ±183 m dpl. Desa ini merupakan
lain: (a) melihat gambaran indikasi apa saja daerah yang termasuk Kecamatan Leihitu
yang menunjukkan sebuah identitas penanda Barat, Kabupaten Seram Bagian Barat
dari batu meja di Desa Waeyasel yang (gambar 1).
berfungsi sebagai benda yang digunakan dan Untuk mencapai lokasi situs tersebut, tim
tergolong tradisi megalitik; (b) mengetahui diharuskan melewati perkebunan penduduk
faktor apa saja yang menjadikan batu meja dengan vegetasi yang beragam di sekitar
masih digunakan sebagai media ritual lokasi. Jenis tanaman yang dibudidayakan
tertentu oleh komunal masyarakat setempat. oleh masyarakat antara lain; untuk tanaman
Manfaat dari penelitian ini antara lain: (a) lunak berupa pisang, ketela pohon, jagung
secara teoretis, hasil penelitian ini dapat sedangkan untuk tanaman keras berupa;
membantu sumbang pemikiran ilmiah bagi kelapa dan cengkeh.
ilmu pengetahuan bidang arkeologi, Desa Waeyasel termasuk ke dalam jenis
khususnya tentang tinggalan batu meja yang desa komunal yang dimana masyarakatnya
notabene merupakan sebuah bukti fisik dari tergolong masyarakat pesisir/pantai.
sejarah pada masa lalu yang bertalian erat Penduduknya kebanyakan memanfaatkan
dengan pemujaan roh leluhur; kemudian (b) sumberdaya aquatik dalam pemenuhan
secara praktis, bagi pemerintah daerah, kebutuhan harian seperti bermata
dapat menjadi masukan dalam mengambil pencaharian nelayan ataupun jasa
kebijakan yang berkaitan dengan perlindung penyeberangan orang dengan menggunakan
-an kepurbakalaan di Provinsi Maluku. perahu. Jasa penyeberangan biasanya
meliputi jazirah sebelah utara Pulau Ambon
2. Pembahasan semisal Hitu, Hila dan Morela menggunakan
Lokasi situs Desa Waeyasel berada di perahu bertenaga mesin (speed boat). Pada
Pulau Seram pada koordinat geografis S03 lokasi tersebut tampak bangunan batu meja
30’21.2” dan E12754’35.8” serta memiliki yang sudah dalam keadaan rebah bagian
Gambar 2. Batu meja dengan bagian atas hampir r ebah (Sumber : dok. Balar Ambon 2012)
91
Siddhayatra Vol. 21 (2) November 2016: 87-96
atasnya, namun kaki-kaki yang sekilas memohon sesuatudengan media batu meja
tampak seperti menhir yang menopang tersebut.
masih berdiri tegak sebanyak 4 buah Religi dapat menjadi sarana bagi manusia
(gambar 2). untuk mengangkat diri dari kehidupan
Kaki penopang batu meja yang masih duniawi dan mencapai kemandirian
tergolong tegak berdimensi panjang 84 cm spiritual, meski sementara. Konsep
dan berbahan dasar andesit. Tampak adanya kemandirian spritual yang lebih ditekankan
aus dan beberapa bintik jamur yang ada di meliputi hubungan manusia dengan arwah
penampang batu meja, yang dimana hal ini leluhur dan nenek moyang (Prasetyo 2004,
cukup dapat dimaklumi dikarenakan batu 97). Konsepsi penyembahan pada roh nenek
meja sangat terpapar di tempat terbuka dari moyang merupakan suatu bentuk awal dari
hujan dan terik matahari. Di bawah batu agama mula-mula peradaban leluhur. Hal ini
meja terdapat fragmen sebuah gerabah berkaitan dengan adanya dorongan yang
besar yang kemungkinan bagian leher. Pada berasal dari diri manusia yang merasakan
fragmen gerabah tersebut tampak sisa hakikat dari suatu kekuatan supranatural
sesajian berisi rokok yang ditinggalkan di yang ada dalam dirinya ataupun di luar
tempat tersebut. dirinya. Penyembahan pada roh nenek
Pembersihan terhadap tanaman merambat moyang juga merupakan suatu bentuk
di lokasi batu meja tersebut dilakukan guna pengkeramatan atau semacam dewa-fetis
keperluan pengambilan gambar piktorial yang telah melekat dan selalu dapat
menggunakan kamera. Selagi pengambilan dikaitkan dengan fenomena alam ataupun
foto dan deskripsi lokasi, kemudian keadaan di alam sekitar (Pritchard 1984, 26).
beberapa pertanyaan terbuka ditanyakan Tim penelitian juga meminta untuk bapak
kepada salah seorang tetua adat yang tetua adat agar berkenan menunjukkan
berkenan menemani tim penelitian hingga bagaimana tata cara yang biasa dilakukan
ke lokasi batu meja. masyarakat setempat menggunakan batu
Berdasarkan informasi dari tetua adat, meja sebagai media berkomunikasi dengan
bahwa tempat tersebut merupakan tempat leluhur dan juga sebagai pamitan/permisi
yang sakral bagi masyarakat di Desa dalam rangka penelitian (gambar 3).
Waeyasel. Tempat dimana terdapat batu Biasanya selain meminta akan kemakmuran
meja tersebut, merupakan semacam tempat desa, juga kesehatan agar dijauhkan segala
dimana frekwensi dunia arwah leluhur wabah penyakit dari desa mereka.Tak pelak
menyatu dengan dunia manusia dalam dari informasi setempat juga dikatakan ada
komunitas desa menjadi selaras. Leluhur beberapa oknum personal yang hendak
dianggap dapat melihat generasi penerus melaju di pemilihan pilkada, harus
mereka di tempat batu meja tersebut. melakukan ritual di batu meja terlebih
Mereka menganggap roh leluhur dapat dahulu.
ditemui di tempat tersebut dengan cara Adapun tahapan yang harus dilakukan
92
Karyamantha Surbakti. Penelitian aspek megalitik pada batu meja di situs Desa Waeyasel,
Kabupaten Seram bagian barat Provinsi Maluku
Gambar 3. Foto tetua adat sedang mempersiapkan sesajen di bawah batu meja (Sumber: dok: Balar
Ambon 2012)
93
Siddhayatra Vol. 21 (2) November 2016: 87-96
94
Karyamantha Surbakti. Penelitian aspek megalitik pada batu meja di situs Desa Waeyasel,
Kabupaten Seram bagian barat Provinsi Maluku
95
Siddhayatra Vol. 21 (2) November 2016: 87-96
96