Anda di halaman 1dari 10

REALISASI NILAI-NILAI KETUHANAN YANG MAHA ESA di DALAM

KEHIDUPAN BERMASYARAKAT

MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
Pendidikan Kewarganegaraan
yang dibina oleh Bapak Ibnu Asqori Pohan, S.Sos., MA

Oleh
Sekar Ayu Philiani 195030200111109

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
PROGAM STUDI ILMU ADMINISTRASI BISNIS
MARET 2020
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................... 1


1.1 Latar Belakang ................................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................ 1
1.3 Tujuan Rumusan Masalah ................................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN .............................................................................................................. 1
2.1 Pengalaman Kebertuhanan .................................................................................................... 2
2.2 Keselarasan Antara Kehidupan Beragama di Masyarakat Dengan Sila Ketuhanan Yang
Maha Esa ..................................................................................................................................... 4
2.3 Nilai Yang Terkandung Dalam Sila Ketuhanan Yang Maha Esa ......................................... 3
2.4 Realisasi Nilai-Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa Dalam Kehidupan Masyarakat Indonesia 5
BAB III PENUTUP ........................................................................................................................ 7
4.1 Kesimpulan....................................................................................................................... 7
4.2 Saran ................................................................................................................................. 7
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................................... 8
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk
memeluk kepercayaan apa yang diyakini dengan tidak memaksakan hanya satu keyakinan
yang absolut yang dibuktikan dengan Pasal 28E UUD bahwa: “Setiap orang bebas memeluk
agama dan beribadat menurut agamanya ” serta Pasal 29 ayat (1) UUD bahwa “Negara
berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan Pasal 29 ayat (2) UUD bahwa “Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Masyarakat Indonesia pada
umumnya masyarakat yang religius. Mereka menjalankan kehidupan religinya dengan
mendatangi tempat ibadah sesuai keyakinannya seperti masjid, gereja, vihara, kuil dan
sebagainya. Permasalahan yang timbul pada kalangan masyarakat adalah kurangnya
pemahaman, pengalaman, serta realisasi nilai-nilai Pancasila dalam beragama atau ber-Tuhan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana latar belakang pengalaman kebertuhanan masyarakat Indonesia?
2. Bagaimana keselarasan antara agama dengan Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa”?
3. Apa saja nilai yang terkandung dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa?
4. Bagaimana realisasi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan
bermasyarakat?
1.3 Tujuan Rumusan Masalah

1. Untuk mengetahui latar belakang pengalaman kebertuhanan masyarakat Indonesia.


2. Mengetahui ada atau tidaknya keselarasan antara agama dengan sila “Ketuhanan Yang
Maha Esa”.
3. Dapat mengetahui apa saja nilai yang terkandung dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
4. Untuk mengetahui apakah nilai-nilai dari sila pertama Pancasila sudah terealisasikan
dengan baik di kehidupan masyarakat Indonesia.

1
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Pengalaman Kebertuhanan

Kepercayaan kepada Tuhan, dan pengalaman religiusitas merupakan ciri khas semua
agama dan aliran kepercayaan. Namun, kepercayaan kepada Tuhan ada dalam banyak perwujudan
yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut disebabkan oleh berbagai macam faktor yang disebabkan
oleh faktor pengetahuan, kondisi sosial-budaya, bahkan ekonomi. kepercayaan merupakan
persoalan yang begitu terkait dengan pengalaman intersubjektivitas. Kepercayaan nenek moyang
dahulu kepada yang gaib membawa tata nilai yang berguna untuk menopang keberlangsungan
kehidupan manusia. Tata nilai tersebut akhirnya menjadi tradisi yang diwariskan turun-temurun
lalu mengikat anggota masyarakat yang mendukungnya. Dengan demikian, terdapat hubungan
yang cukup erat antara kepercayaan,nilai,dan tradisi.

Pemikiran manusia terus mengalami kemajuan namun di era modern, masih ada kumpulan
orang yang masih memercayai kekuatan dalam benda, ruh, hingga dewa namun kemudian bergeser
ke arah paradigma tentang Tuhan yang lebih rasional. Konsep-konsep ketuhanan yang selama ini
terbukti tidak bisa diterima dengan akal dan tidak bisa dibuktikan secara metafisik. Akhirnya,
kepercayaan manusia beralih ke pemahaman satu Tuhan (monoteisme). Monoteisme dapat
membentuk deisme atau teisme. Deisme berasal dari bahasa latin dues yang yaitu Tuhan. Deisme
beranggapan, Tuhan berada jauh di luar alam (transenden) yakni la tidak berada di dalam alam
(immanen). Setelah Tuhan menciptakan alam, la tidak memperhatikannya lagi. Alam berjalan di
atas hukum yang telah dibuat-Nya sendiri dan tidak berubah-ubah. Paham ini tidak lagi percaya
kepada mukjizat karena bertentangan dengan hukum alam. Wahyu dan doa juga tidak lagi
diperlukan sebab Tuhan memberi manusia akal. Melalui akal, manusia sudah bisa membedakan
yang benar dan yang salah serta tidak bertentangan dengan wahyu karena akal menjadi potensi
yang cukup memadai untuk memenuhi kehendak Allah (Nasution, 1991: 36). Sisi positif dari
paham deisme adalah akal mendapat porsi yang lebih besar dalam memahami realitas kehidupan
ini, begitu juga realitas ketuhanan (agama). Selain itu, dikenal juga paham panteisme yang
merupakan paham yang percaya bahwa seluruh alam ini adalah Tuhan dan Tuhan adalah seluruh
alam (Bahtiar,1997:89-93). Paham yang memiliki pandangan yang sama dengan Panteisme adalah
teisme yang meyakini bahwa Tuhan memang berada di luar alam tapi dekat dengan alam yang

2
mana di dalam teisme ini, alam tidak bergerak dan beredar menurut hukum-hukum dan peraturan-
peraturan yang tidak berubah tetapi bergerak dan beredar atas kehendak Tuhan.

Pengalaman keagamaan yang cukup ekstrim bagi sebagian masyarakat Indonesia adalah
pengalaman tentang keakuan sebagai numinus. Meskipun tujuan akhir dari pelaku spiritual ini
adalah untuk menyatukan dirinya dengan Tuhan, tetapi penekanannya tidak pada pengalaman
transedensi melainkan pada unsur-unsurnya, yaitu teori dan keyakinan. Unsur tersebut akhirnya
menjadi sarana untuk membulatkan kekuasaan eksistensinya sendiri. (Suseno,1985:82-83).

2.2 Keselarasan Antara Agama dengan Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa”

Dalam pidato Ir. Soekarno mengenai rumusan Dasar Negara, ia mengungkapkan


bagaimana Negara dan Agama dapat menciptakan nilai kehidupan yang harmonis sebagai
prinsip hidup bernegara. Namun, sempat adanya perselisihan mengenai naskah asli “Piagam
Jakarta” sebagai sejarah, dimana pertama kali Dasar Negara Indonesia dibentuk. Di dalam
“Piagam Jakarta” yang disusun pada 22 Juni, naskahnya memuat rumusan Dasar Negara oleh
Ir. Soekarno yang terdapat Sila Pertama berbunyi, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Dari 7 kata yang berbunyi “…dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” itu menimbulkan perselisihan antar
golongan yang berbeda kepercayaan. Dalam peristiwa ini, Moh. Hatta saat itu tampil menjadi
penengah dari perselisihan ini. Jika 7 kata ini tetap dipertahankan sebagai dasar negara resmi
Negara Indonesia, akan dapat menimbulkan perselisihan yang menimbulkan gejolak-gejolak
dari pemeluk agama lain sebagai hal yang dikhawatirkan oleh Bung Hatta kala itu. Setelah
mengungkapkan pendapat dan negosiasinya, dengan para pemuka Negara maupun agama,
Bung Hatta berhasil mendapat jalan tengah dengan mengganti bunyi Sila Pertama dengan
bunyi, “Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Kebertuhanan yang ada dalam setiap orang atau bisa disebut orang yang beragama,
berhubungan erat dengan Pancasila. Hubungan agama dan pancasila adalah hubungan yang
saling menguatkan bukan saling bertentangan. Menurut Moeldoko dalam makalah Amelia
(2019) yang berjudul “Keselarasan Agama dan Pancasila di Indonesia” menjelaskan bahwa
konsep pancasila digali dari nilai-nilai yang luhur, pancasila dapat dipahami dalam tiga tataran
yakni nilai filosofis, nilai instrumentalia dan nilai pragmatis. Sebagai nilai instrumental

3
misalnya, pancasila merupakan sumber segala sumber hukum yang berlaku dalam negara
hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pembentukan Sila Pertama yakni “Ketuhanan Yang Maha Esa” tidak diputuskan oleh satu
umat beragama tetapi semua agama. Awalnya, terdapat perubahan kata yang terdapat pada sila
pertama yang awalnya “ Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-
pemeluknya” menjadi “ketuhanan Yang Maha Esa”. Saat itu, ada dua ormas islam yang
menentang bunyi sila pertama, karena dua ormas islam tersebut menyadari bahwa jika syariat
islam diterapkan maka secara tidak langsung menjadikan Indonesia sebagai negara Islam yang
utuh maka hal itu dapat menyinggung umat beragama lainnya.

Oleh karena itu, sila pertama menyelaraskan semua agama, tidak hanya agama Islam saja
melainkan agama lainnya antara lain Kristen, Katolik, Konghucu, Hindu dan Buddha sebagai
agama yang diakui serta aliran kepercayaan lainnya. Perubahan Sila Pertama pada saat itu
menjadi letak keselarasan pancasila dengan agama.

2.3 Nilai Yang Terkandung Dalam Sila Ketuhanan Yang Maha Esa

Dalam literatur yang berjudul “Pendidikan Pancasila” ditinjau dari segi subyektif, nilai
luhur Pancasila dalam sila pertama berbunyi:

i. Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan
masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
ii. Hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dan penganut-penganut
kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup.
iii. Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan
kepercayaannya.
iv. Tidak memaksa suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.

Berdasarkan literatur yang sama, Sila pertama dengan rumusan “Ketuhanan Yang Maha
Esa” mengandung nilai religius seperti yang diuraikan sebagai berikut:

i. Keyakinan terhadap adanya Tuhan Yang Maha Esa dengan segala sifat-Nya Yang Maha
Sempurna.

4
ii. Ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, menjalankan semua perintah-Nya dan
menjauhi segala larangan-Nya.
iii. Kepercayaan adanya nilai-nilai dari ajaran agama yang harus ditaati demi kebahagiaan
hidup manusia.
iv. Nilai ketuhanan sebagai nilai religius meliputi dan menjiwai kemanusiaan.

2.4 Realisasi Nilai-Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa Dalam Kehidupan Masyarakat
Indonesia

Pancasila disebutkan sebagai ideologi negara. Ideologi juga merupakan prinsip acuan suatu
negara yang berkembang dalam suatu bangsa. Menurut Sastrapratedja (2001:43) dalam artikel
Laurensia (2017) ideologi adalah seperangkat gagasan/pemikiran yang berorientasi pada
tindakan dan diorganisir menjadi suatu sistem yang teratur.

Tantangan pancasila saat ini sebagai ideologi yang terbuka adalah berhadapan dengan
kelompok yang menentang Pancasila. Menurut Laurensia (2017) juga berpendapat bahwa ada
unsur-unsur yang mempengaruhi ideologi Pancasila sebagai berikut:

a. Unsur ateisme yang terdapat dalam ideologi Marxisme atau komunisme bertentangan
dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
b. Unsur individualisme dalam liberalisme tidak sesuai dengan prinsip nilai gotong
royong dalam sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
c. Kapitalisme yang memberikan kebebasan individu untuk menguasai sistem
perekonomian negara tidak sesuai dengan prinsip ekonomi kerakyatan.

Saat ini keberadaan orang yang mengakui sebagai ateis menjadi sebuah perdebatan.
Pemahaman atheisme yang diartikan sebagai paham yang tidak percaya dan tidak mengakui akan
adanya Tuhan merupakan pertentangan terhadap tujuan dan cita-cita dari adanya sila pertama
dalam Pancasila yang mengharuskan bagi setiap warga untuk mengakui dan bertakwa terhadap
Tuhan atau Dewa. Banyak orang yang menentang keberadaan ateis di Indonesia dan ada juga yang
mengakui keberadaannya. Di Indonesia, orang yang mengakui dirinya sebagai ateis dan sengaja
mempengaruhi orang lain untuk tidak menganut agama seperti mereka tentunya akan berdampak
di mata hukum. Memang secara hukum, tidak ada perundang-undangan yang secara tegas
melarang seseorang menganut aliran ateisme. Namun, di sisi lain orang yang menganut ateisme

5
tidak dapat menikmati hak-hak yang pada umumnya dapat dinikmati mereka yang menganut
sebuah agama dan aliran kepercayaan seperti seputar urusan administrasi kependudukan yang
umumnya mengharuskan seorang warga negara memiliki identitas keagamaannya masing-masing.

Pelarangan penyebaran ateis di Indonesia dalam artikel Ahmad (2015) diatur dalam
peraturan tertulis yang sah, yaitu pada pasal 156A KUHP yang berbunyi:
“Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, barang siapa
dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan
perbuatan:
a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan
kepada suatu agama yang dianut di Indonesia;
b. Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga,
yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Dan kini, di Indonesia banyak kalangan muda Indonesia yang mengaku sebagai ateis serta
menentang keberadaan Pancasila namun tidak secara jelas melakukan perlawanan melainkan
dengan cara penyebaran pemahaman melalui pendapat rasionalnya. Alasan mereka mengakui
sebagai ateis adalah berdasarkan rasionalisasi sains dan teknologi.

Dalam sila pertama terkandung nilai-nilai keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai
dengan agama dan kepercayaan masing-masing, saling menghormati dan menghargai umat
beragama lain, saling menghormati ritual dan ibadah agama yang berbeda dan saling menjaga
ketertiban, dan terkandung nilai kebebasan memeluk agama dan kepercayaan masing-masing.
Kandungan nilai Pancasila juga menegaskan bahwa setiap warga Negara mempunyai kewajiban
dari Negara membawa nilai-nilai luhur religius. Pancasila tidak melarang seorang warga negara
Indonesia untuk menjadi ateis, bahkan sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa.” butir tujuh sila
pertama Pancasila sebagai salah satu tafsir dalam artikel Ahmad (2015) berbunyi: “Tidak
memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.”
dan dapat disimpulkan bahwa Pancasila tidak melarang keberadaan ateis namun melarang orang
ateis memaksakan agama dan kepercayaannya kepada siapa saja.

6
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Kebertuhanan yang berada dalam sila pertama yakni berbunyi “Ketuhanan Yang Maha
Esa” menurut literatur yang berjudul “Pendidikan Pancasila” memililki dua nilai yang
terkandung yakni nilai luhur dan nilai religius. Kebertuhanan yang ada dalam setiap orang
atau bisa disebut orang yang beragama berhubungan erat dengan Pancasila. Hubungan
agama dan pancasila adalah hubungan yang saling menguatkan bukan saling bertentangan.
Menurut Moeldoko dalam makalah Amelia (2019) yang berjudul “Keselarasan Agama dan
Pancasila di Indonesia” menjelaskan bahwa konsep pancasila digali dari nilai-nilai yang
luhur, pancasila dapat dipahami dalam tiga tataran yakni nilai filosofis, nilai instrumentalia
dan nilai pragmatis. Keberadaan orang yang mengakui dirinya sebagai ateis yang
bertentangan terhadap tujuan dan cita-cita dari adanya sila pertama dalam Pancasila yang
mengharuskan bagi setiap warga untuk mengakui dan bertakwa terhadap Tuhan menjadi
sebuah perdebatan. Banyak orang yang menentang keberadaan ateis di Indonesia dan ada
juga yang mengakui keberadaannya. Pancasila tidak melarang keberadaan ateis namun
melarang orang ateis memaksakan agama dan kepercayaannya kepada siapa saja

3.2 Saran
Ideologi pancasila menjelaskan bahwa bangsa indonesa memeluk agama, memiliki
kebebasan sesuai dengan kepercayaannya masing-masing dan sesuai dengan nilai sila
pertama untuk mengamalkan nilai-nilai Ketuhanan. Oleh karena itu, masyarakat harus
memiliki sikap toleransi dan menghormati umat agama lain. Segala bentuk aspek kegiatan
harus berdasarkan atas nilai nilai dalam Ketuhanan Yang Maha Esa.

7
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad. 2015. Berkembangsa “Kepercayaan” Atheis di Indonesia: Perspektif Sila Pertama


Pancasila di
https://www.kompasiana.com/ahmad.toxok/5529a7c5f17e611b15d623ae/berkembangsa-
kepercayaan-atheis-di-indonesia-perspektif-sila-pertama-pancasila (diakses pada 19 Maret
2020).

Anas, Mohamad, dkk. 2017. Kewarganegaraan : Identitas, Kebangsaan, dan Nilai


Keindonesiaan. Malang : Madani. hlm. 9-13.

Prastika, Helen Helda. 2015. Atheis Bertentangan dengan Pancasila.


https://www.academia.edu/12045057/Atheis_Bertentangan_dengan_Pancasila. (diakses
pada 19 Maret 2020). hlm. 9.

Dhakidae, Daniel. 2018. Lima Bulan yang Mengguncang Dunia.


https://www.prismajurnal.com/issues.php?id=%7B1CE6A8DF-36C0-22D4-97FF-
76309AD0C245%7D&bid=%7BDEE2D105-4AAA-9019-29E8-CF9FFA705CCA%7D
(diakses pada 19 Maret 2020). hlm.4,7,21.

Amelia, T. 2019. Keselarasan Agama dan Pancasila di


https://osf.io/qj65y/download/?format=pdf (diakses pada 19 Maret 2020).

Laurensia. 2017. Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa Indonesia di http://sarah-laurensia-


fpk17.web.unair.ac.id/artikel_detail-210068-Pendidikan%20Pancasila-
Pancasila%20Sebagai%20Ideologi%20Bangsa%20Indonesia.html (diakses pada 19 Maret
2020).
Noor Ms Bakry. 2010. Pendidikan Pancasila. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai