Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas izin dan karunia Nya lah maka kami
berhasil menyusun modul kepaniteraan klinik departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh ini. Shalawat beriring salam kita hanturkan kepada
Nabi Muhammad SAW yang telah membawa manusia dari zaman kebodohan ke zaman yang
penuh dengan ilmu pengetahuan.
Ucapan terima kasih kami hanturkan kepada Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Malikussaleh dr.M.Sayuti, Sp.B (K), BD dan ketua program studi profesi dr.Anna Millizia,
M.Ked(An), Sp.An yang telah memfasilitasi penyusunan modul ini. Modul ini disusun untuk
membantu mahasiswa klinik dalam memahami beberapa ilmu terkait dengan bidang dermatologi
dan venereologi. Adapun pedoman penyusunan dari modul ini adalah sesuai dengan SPPDI tahun
2021. Pengetahuan yang komprehensif dan aplikatif diharapkan dapat dimiliki oleh mahasiswa
kedokteran UNIMAL sehingga nantinya dapat menjadi dokter yang kompeten dan kompetitif.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan modul ini masih terdapat banyak kekurangan, sehingga
kami mengharapkan kritik dan saran dari sejawat untuk kesempurnaan modul. Terima kasih.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................... i
DAFTAR ISI……….......................................................................................... ii
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Program Pendidikan dokter bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dokter di Indonesia yang
kompeten dan menghargai berbagai tatatertib dan perundang-undangan yang berlaku. Mahasiswa
ditahap klinik akan dihadapkan dengan berbagai masalah-masalah klinis praktis sehingga
diharapkan setelah menyelesaikan pendidikannya, dokter lulusan Fakultas Kedokteran UNIMAL
mampu memberikan pelayanan secara komprehensif dan holistik.
Mahasiswa klinis menempuh rotasi di departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif
selama 5 minggu dengan total SKS yang diambil yaitu 3 SKS. Selama menempuh kegiatan tahap
klinis di departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif mahasiswa akan dibimbing dalam
mendiagnosis dan menatalaksana secara tepat sesuai dengan kompetensi dokter yang harus
dikuasai, selain itu mehasiswa juga diajarkan beberapa keterampilan klinik terkait bidang Anestesi
dan Terapi Intensif yang erat kaitannya dalam kasus kegawatdaruratan dan harus segera di
resusitasi.
A. KOMPETENSI DOKTER LULUSAN
Lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh harus menerapkan beberapa
prinsip-prinsip pembelajaran sebagai berikut:
1. Profesionalisme yang luhur
2. Mawas diri dan pengembangan diri
3. Komunikasi efektif
4. Pengelolaan informasi
5. Landasan ilmiah kedokteran
6. Keterampilan klinis
B. TUJUAN PEMBELAJARAN
Pasien dengan kasus-kasus yang memerlukan tindakan anestesi maupun tindakan operasi
baik yang dapat ditangani oleh dokter umum maupun dokter Spesialis anestesi akan sangat sering
ditemukan oleh mahasiswa kelak setelah lulus, Kepaniteraan Ilmu anestesi ini diharapkan mampu
memberikan pengalaman langsung berhadapan dengan pasien dengan pendampingan dan
pengawasan preseptor klinik di bagian Ilmu Anestesi. Standar kompetensi Dokter Indonesia/SKDI
15
digunakan sebagai dasar dalam menentukan aktifitas pembelajaran selama kepaniteraan ini.
Diharapkan mahasiswa mendapatkan pengalaman pembelajaran (experience learning) yang
berharga sebagai bekal ketika lulus dokter kelak.
Sistem evaluasi dokter muda diterapkan dengan mengacu SKDI agar dokter muda
mencapai kompetensi yang diharapkan. Penilaian dokter muda tidak hanya didasarkan atas
kemampuan hard skills (pengetahuan dan keterampilan) saja, tetapi juga meliputi soft
skills (disiplin, perilaku, kerja sama, dll). Diharapkan lulusan tidak hanya pandai dan terampil
tetapi juga berperilaku baik serta menjunjung tinggi nilai-nilai profesionalitas dan etika.
C. KOMPETENSI
Standar kompetensi yang harus dikuasai oleh mahasiswa klinik mengacu pada SPPDI
tahun 2021 yaitu sebagai berikut:
2
Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif
BAB II
TATA TERTIB
1. Mahasiswa sudah melewati rotasi klinik tahap I dan baru diizinkan untuk
mengikuti kegiatan kepaniteraan di departemen Ilmu Anestesi
3. Mahasiswa menyerahkan pas foto ukuran 3x4 warna dengan latar belakang merah,
untuk ditempelkan di buku absensi mahasiswa dan dibuku daftar tugas mahasiswa
yang juga memuat nilai setiap kegiatan mahasiswa selama menempuh kegiatan di
Ilmu Anestesi.
5. Dalam masa pandemi, setiap dokter muda yang melakukan proses pembelajaran
wajib menggunakan alat pelindung diri level 2 serta mematuhi protokol kesehatan.
6. Dokter muda bertanggung jawab terhadap alat dan bahan dalam proses
pembelajaran yang disediakan oleh rumah sakit pendidikan, dan bila terjadi
kerusakan maka menjadi tanggung jawab dokter muda yang melakukannya
7. Jam kerja mahasiswa yaitu selama 5 hari dalam seminggu yaitu sebagai berikut:
3
- Senin-Jumat: pukul 08.00-14.00 WIB
- Mahasiswa wajib mengisi daftar hadir sebanyak 2 kali sehari yaitu saat masuk
dan saat pulang
- Pengisian daftar hadir harus dilakukan oleh mahasiswa sendiri dan tidak
boleh diwakilkan
10. Kegiatan pada Bagian Ilmu Anestesi berlangsung di 4 (tiga) tempat, yaitu ruang
pre-operasi, ruang operasi, Recovery Room (RR) dan Intensive Care Unit (ICU)
11. Selama berada di Bagian Ilmu Anestesi, setiap Dokter Muda melakukan aktivitas
sesuai dengan jadwal kegiatan per minggu (terlampir) serta melaporkannya secara
tertulis (log book). Tugas tersebut selanjutnya dilaporkan dalam diskusi bersama
preseptor
12. Setiap Dokter Muda mengikuti aturan pakaian OK dengan menggunakan baju OK
Dokter Muda dengan menempelkan badge nama Dokter Muda dan menempelkan
Badge anestesi.
13. Pada hari Jumat Minggu 5, setelah melakukan ujian dengan preseptor, setiap Dokter
Muda wajib menyerahkan tugas (poin 11) bentuk CD.
14. Setelah menyerahkan tugas (poin 13), dokter muda melapor pada Kepala Bagian Ilmu
Anestesi untuk keluar stase, yang dilakukan secara berkelompok (tidak boleh diwakili).
4
Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif
2. SANKSI AKADEMIK
Hal yang berkenaan dengan sanksi akademik sebagaimana di bawah ini :
1. Peringatan.
a. DM yang meninggalkan kegiatan kepaniteraan klinik tanpa izin akan diberi
peringatan.
b. DM yang berperilaku tidak sesuai dengan etika kepaniteraan klinik akan diberi
peringatan.
2. Sanksi akademik.
a. Apabila DM melakukan pelanggaran etika, akademik akan mendapat sanksi mulai
peringatan, skorsing, hingga dikeluarkan.
b. Berat ringan sanksi sesuai keputusan dan hasil rapat Pimpinan.
3. Pemberhentian DM.
Pemberhentian DM dibicarakan dalam rapat senat dan dilakukan atas dasar:
a. Permintaan sendiri.
b. Tidak mampu menyelesaikan pendidikan dalam batas waktu yang telah ditentukan.
c. Adanya hambatan kepribadian dan kejiwaan berdasarkan hasil evaluasi fisik dan
psikologis serta kepribadian yang dilakukan oleh tim ahli yang ditunjuk
d. Melanggar ketentuan dan tata tertib Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh.
e. Dinyatakan bersalah dalam tindak kegiatan kriminal oleh pengadilan dimana
keputusannya telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
f. DM yang akan diberhentikan terlebih dahulu dibicarakan dalam Rapat Pimpinan
Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh, kemudian diusulkan ke Rektor
Universitas Malikussaleh.
g. Pemberhentian DM diputuskan oleh Rektor Universitas Malikussaleh dan ditetapkan
dalam suatu Surat Keputusan
5
KETENTUAN MENGULANG STASE
Ketidakhadiran dokter muda dalam kegiatan profesi diberikan sanksi MENGULANG STASE
sesuai dengan jumlah hari dan tempat stase, seperti pada Tabel berikut ini
< 3 hari dengan alasan bisa < 3 hari dengan alasan Mengulang
1. sebanyak hari libur
diterima* bisa diterima
pada akhir siklus
< 3 hari dengan alasan < 3 hari dengan alasan Mengulang 1
2.
tidak bisa diterima** tidak bisa diterima Minggu
>3 hari dengan alasan >3 hari dengan alasan
3. Mengulang penuh
apapun apapun
Keterangan :
* Alasan bisa diterima : sakit dengan surat keterangan dokter spesialis, keperluan keluarga
(sesuai yang tertera pada 3.9), keperluan Fakultas/RS dengan surat keterangan dari yang
berwewenang.
** Alasan tidak bisa diterima: adalah alasan selain tersebut diatas.
Jika dokter muda (DM), tidak menyelesaikan tugas di bagian dan belum
melaksanakanujian akhir (post test) maka DM tersebut wajib mengulang stase dan ujian di
akhir semua siklusselama 2 minggu.
1. DM dinyatakan lulus pendidikan profesi dokter apabila telah dinyatakan lulus pada
Uji Kompetensi yang diselenggarakan oleh lembaga yang ditunjuk dan diakui oleh
Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia.
2. Sumpah dokter dilaksanakan terhadap DM yang telah lulus Uji Kompetensi tersebut.
3. Wisuda dan ijazah dokter diberikan kepada DM yang telah dinyatakan lulus Uji
Kompetensi dan telah disumpah sebagai dokter.
6
Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif
PERPINDAHAN MAHASISWA
KETENTUAN TAMBAHAN
Apabila terdapat perubahan atau hal yang belum tercantum pada petunjuk/peraturan di
atas, keputusan diambil dengan mengacu pada ketentuan peraturan yang lebih tinggi atau
akan diambil kebijaksanaan oleh pimpinan Fakultas Kedokteran Universitas
Malikussaleh/pimpinan Universitas Malikussaleh.
Berikut adalah kegiatan yang akan dijalani oleh mahasiswa selama menjalani kegiatan rotasi
klinik
Keterangan
Waktu Minggu
1 Pretest 1
2 Case report session 1,2,3,4,5
7
3 Clinical scientific session 1,2,3,4,5
4 Meet the expert 1,2,3,4,5
5 Bimbingan di poliklinik/Kamar Operasi/ICU 1,2,3,4,5
6 Bedside teaching 1,2,3,4,5
7 Post Test 5
3 Rabu 08.00 - 10.00 WIB Meet the expert (Terapi Cairan dan
Monitoring Hemodinamik)
10.00 - 12.00 WIB Mengikuti kegiatan di Pre Op/OK/RR/ICU
12.00 - 13.00 WIB ISHOMA
13.00 - 15.00 WIB Mengikuti kegiatan di Pre Op/OK/RR/ICU
15.00 – 21.00 WIB Night Shift
8
Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif
3 Rabu 08.00 - 10.00 WIB Meet the expert (Manajemen Nyeri Paska
Operasi)
10.00 - 12.00 WIB Mengikuti kegiatan di Pre Op/OK/RR/ICU
9
12.00 - 13.00 WIB ISHOMA
13.00 – 15.00 WIB Mengikuti kegiatan di Pre Op/OK/RR/ICU
15.00 – 21.00 WIB Night Shift
10
Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif
11
12.00 - 13.00 WIB ISHOMA
13.00 - 15.00 WIB Mengikuti kegiatan di Pre Op/OK/RR/ICU
15.00 – 21.00 WIB Night Shift
12
Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif
C. EVALUASI (ASSESMENT)
Metode penilaian beserta bobot nilai yang akan diberikan kepada peserta didik yaitu sebagai
berikut:
NO Metode assesment minggu Bobot penilaian
13
2 Case report III 15%
3 Clinical Science Session IV 15
4 Bed site teaching I,II,III,IV,V 20%
5 Nilai attitude I,II,III,IV,V 10%
6 Post test V 30%
TOTAL 100%
Mahasiswa akan dinilai dengan 6 metode assessment dan setiap assessment memiliki nilai
bobot tertentu. Hasil akhir dari nilai mahasiswa ditentukan berdasarkan akumulasi dari
keenam metode assessment tersebut yang selanjutnya akan dirata-ratakan. Adapun untuk
indeks nilai yang akan diperoleh mahasiswa adalah sebagai berikut:
REMEDIAL
Mahasiswa dengan nilai akumulasi akhir C, D dan E diwajibkan untuk mengikuti rotasi ulang di
departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif selama 2 (dua) minggu, dan nantinya akan menjalani
ujian akhir ulang berupa post test.
14
BAB 3
TOPIK BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
MINGGU 1
1.1 Terapi Cairan Dan Monitoring Hemodinamik
TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Kognitif
Diharapkan mahasiwa mampu :
a. Memahami terapi cairan terhadap pasien dehidrasi-shock
b. Memahami monitoring cairan
2. Psikomotorik
Diharapkan mahasiwa mampu :
a. Memberikan terapi cairan pada pasien
b. Memonitoring hemodinamik
3. Afektif
Diharapkan mahasiwa mampu :
Memahami dan dapat melakukan terapi cairan pada pasien.
15
fisiologis dari stress pembedahan, mengubah tanda-tanda ini dan memandang tak dapat dipercaya
periode sesudah operasi. Selama operasi, denyut nadi yang kuat (radial atau dorsalis pedis),
pengeluaran urin, dan tanda tidak langsung, seperti respon tekanan darah ke tekanan ventilasi yang
positive dan vasodilatasi atau efek inotropic negative dari anestesi, adalah yang paling sering
digunakan.1
Pitting edema-presacral pada pasien yang tidur atau pada pretibial pada pasien yang dapat
berjalan- peningkatan pengeluaran urin adalah tanda hypervolemia pada pasien dengan dengan
jantung, hepar, dan fungsi ginjal yang normal. Gejala lanjut dari hypervolemia yaitu tachycardia,
pulmonary crackles, wheezing, cyanosis, dan frothy pulmonary secretion.1
Tabel 1. Keseimbangan Cairan dan Elektrolit ( Dikutip sesuai dengan aslinya dari
kepustakaan no.2).
Evaluasi Laboratorium
Beberapa pengukuran laboratorium digunakan untuk menilai volume intravascular dan
ketercukupan perfusi.jaringan Pengukuran ini meliputi serial hematocrits, seperti pH darah arteri,
berat jenis atau osmolalitas urin, konsentrasi klorida atau natrium dalam urin, Natrium dalam
darah, dan creatinin serum, ratio blood urea nitrogen (perbandingan BUN). Ini hanya pengukuran
volume intravascular secara tidak langsung dan sering tidak bisa dipercaya selama operasi sebab
dipengaruhi oleh beberapa variabel dan hasilnya sering terlambat. Tanda-tanda laboratorium dari
dehidrasi yaitu peningkatan hematocrit progresif acidosis metabolic yang progresif, berat jenis urin
>1.010, Natrium dalam urin <10 mEq/L, osmolalitas > 450 mOsm/kg, hypernatremia, dan ratio
BUN- -kreatinin >10:1. Tanda-tanda pada foto roentgen adalah meningkatnya vaskularisasi paru
dan interstitiel yang ditandai dengan ( Kerly " B") atau infiltrasi difus pada alveolar adalah tanda-
tanda dari overload cairan.1
16
Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif
Pengukuran Hemodinamik
Monitoring CVP diindikasikan pada pasien dengan jantung dan fungsi paru yang normal
jika status volume sukar untuk dinilai dengan alat lain atau jika diharapkan adanya perubahan yang
cepat. Pembacaan CVP harus diinterpretasikan nilai yang rendah(< 5 mm Hg) mungkin normal
kecuali jika ada tanda-tanda hypovolemia. Lebih dari itu, respon dari bolus cairan ( 250 mL) yang
ditandai dengan: sedikit peningkatan ( 1-2 mm Hg) merupakan indikasi penambahan cairan,
sedangkan suatu peningkatan yang besar (> 5 mm Hg) kebutuhan cairan cukup dan evaluasi
kembali status volume cairan.. CVP yang terbaca >12 mmHg dipertimbangkan. hypervolemia
dalam disfungsi ventricular kanan, meningkatnya tekanan intrathorakal, atau penyakit pericardial
restriktif.1
Monitoring tekanan arteri Pulmonary dimungkinkan jika CVP tidak berkorelasi dengan
gejala klinis atau jika pasien mempunyai kelainan primer atau sekunder dari fungsi ventrikel
kanan, kelainan fungsi tubuh; yang juga berhubungan dengan paru-paru atau penyakit pada
ventrikel kiri. Pulmonary Artery Occlusion Pressure (PAOP) <8 mmHg menunjukkan adanya
hypovolemia ,dikonfirmasi dengan gejala klinis; bagaimanapun, nilai <15 Mm Hg berhubungan
dengan pasien yang hipovolemia relative dengan compliance ventrikel lemah. Pengukuran PAOP
>18 mmHg dan biasanya menandakan beban volume ventrikel kiri yang berlebih. 1
Adanya penyakit katup Mitral (stenosis), stenosis aorta yang berat, atau myxoma atrium
kiri atau thrombus mengubah hubungan yang normal antara PAOP dan volume diastolic akhir
ventrikel kiri. Peningkatan tekanan pada thorak dan tekanan pada jalan nafas paru terlihat adanya
kesalahan; sebagai konsekwensi, semua pengukuran tekanan selalu diperoleh pada waktu akhir
expirasi . Teknik terbaru mengukur volume ventrikel dengan transesophageal echocardiography
atau oleh radioisotop dan lebih akurat tetapi belum banyak tersedia. 1
CAIRAN INTRAVENA
Terapi cairan intravena terdiri dari cairan kristaloid, koloid, atau suatu kombinasi kedua-
duanya. Solusi cairan kristaloid adalah larutan mengandung ion dengan berat molekul rendah
(garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid berisi ion dengan berat molekul tinggi
seperti protein atau glukosa. Cairan koloid menjaga tekanan oncotic plasma dan sebagian besar
ada di intravascular, sedangkan cairan kristaloid dengan cepat didistribusikan keseluruh ruang
17
cairanextracellular. Ada kontroversi mengenai penggunaan cairan koloid dan kristaloid untuk
pasien dg pembedahan. Para ahli mengatakan bahwa koloid dapat menjaga plasma tekanan oncotic
plasma, koloid lebih efektif dalam mengembalikan volume intravascular dan curah jantung.Ahli
yang lain mengatakan bahwa pemberian cairan kristaloid efektif bila diberikan dalam jumlah yang
cukup. Pendapat yang mengatakan bahwa koloid dapat menimbulkan edema pulmoner pada pasien
dengan peningkatan permeabilitas kapiler paru adalah tak benar, sebab tekanan onkotik interstitial
paru-paru sama dengan plasma. Beberapa pernyataan dibawah ini yang mendukung: 1
1. Kristaloid, jika diberikan dalam jumlah cukup sama efektifnya dengan koloid dalam
mengembalikan volume intravascular.
2. Mengembalikan deficit volume intravascular dengan kristaloid biasanya memerlukan 3-4
kali dari jumlah cairan jika menggunakan koloid.
3. Kebanyakan pasien yang mengalami pembedahan mengalami deficit cairan extracellular
melebihi deficit cairan intravascular..
4. Defisit cairan intravascular yang berat dapat dikoreksi dengan cepat dengan menggunakan
cairan koloid.
5. Pemberian cairan kristaloid dalam jumlah besar (> 4-5 L) dapat menimbulkan edema
jaringan.
Beberapa kasus membuktikan bahwa, adanya edema jaringan mengganggu transport
oksigen, memperlambat penyembuhan luka dan memperlambat kembalinya fungsi pencernaan
setelah pembedahan.1
CAIRAN KRISTALOID
Cairan kristaloid merupakan cairan untuk resusitasi awal pada pasien dengan syok
hemoragik dan septic syok seperti pasien luka bakar, pasien dengan trauma kepala untuk menjaga
tekanan perfusi otak, dan pasien dengan plasmaphersis dan reseksi hepar. Jika 3-4 L cairan
kristaloid telah diberikan, dan respon hemodinamik tidak adekuat, cairan koloid dapat diberikan.
Ada beberapa macam cairan kristaloid yang tersedia. Pemilihan cairan tergantung dari derajat dan
macam kehilangan cairan. Untuk kehilangan cairan hanya air, penggantiannya dengan cairan
hipotonik dan disebut juga maintenance type solution. Jika hehilangan cairannya air dan elektrolit,
penggantiannya dengan cairan isotonic dan disebut juga replacement type solution. Dalam cairan,
18
Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif
glukosa berfungsi menjaga tonisitas dari cairan atau menghindari ketosis dan hipoglikemia dengan
cepat. Anak- anak cenderung akan menjadi hypoglycemia(< 50 mg/dL) 4-8 jam puasa. Wanita
mungkin lebih cepat hypoglycemia jika puasa (> 24 h) disbanding pria. 1
Kebanyakan jenis kehilangan cairan intraoperative adalah isotonik, maka yang biasa
digunakan adalah replacement type solution, tersering adalah Ringer Laktat. Walaupun sedikit
hypotonic, kira-kira 100 mL air per 1 liter mengandung Na serum 130 mEq/L, Ringer Laktat
mempunyai komposisi yang mirip dengan cairan extraselular dan paling sering dipakai sebagai
larutan fisiologis. Laktat yang ada didalam larutan ini dikonversi oleh hati sebagai bikarbonat. Jika
larutan salin diberikan dalam jumlah besar, dapat menyebabkan dilutional acidosis hyperchloremic
oleh karena Na dan Cl yang tinggi (154 mEq/L): konsentrasi bikarbonat plasma menurun dan
konsentrasi Clorida meningkat. 1
Larutan saline baik untuk alkalosis metabolic hipokloremik dan mengencerkan Packed Red
Cell untuk transfusi. Larutan D5W digunakan untuk megganti deficit air dan sebagai cairan
pemeliharaan pada pasien dengan restriksi Natrium. Cairan hipertonis 3% digunakan pada terapi
hiponatremia simptomatik yang berat (lihat Bab 28). Cairan 3 – 7,5% disarankan dipakai untuk
resusitasi pada pasien dengan syok hipovolemik. Cairan ini diberikan lambat karena dapat
menyebabkan hemolisis. 1
CAIRAN KOLOID
Aktifitas osmotic dari molekul dengan berat jenis besar dari cairan koloid untuk menjaga
cairan ini ada di intravascular. Walaupun waktu paruh dari cairan kristaloid dalam intravascular
20-30 menit, kebanyakan cairan koloid mempunyai waktu paruh dalam intravascular 3-6 jam.
Biasanya indikasi pemakaian cairan koloid adalah : 1
1. Resusitasi cairan pada pasien dengan deficit cairan intravascular yang berat (misal: syok
hemoragik) sampai ada transfusi darah.
2. Resusitasi cairan pada hipoalbuminemia berat atau keadaan dimana
Kehilangan protein dalam jumlah besar seperti luka bakar. Pada pasien luka bakar, koloid
diberikan jika luka bakar >30% dari luas permukaan tubuh atau jika > 3-4 L larutan kristaloid telah
diberikan lebih dari 18-24 jam setelah trauma. 1
Beberapa klinisi menggunakan cairan koloid yang dikombinasi dengan kristaloid bila
dibutuhkan cairan pengganti lebih dari 3-4 L untuk transfuse. Harus dicatat bahwa cairan ini adalah
19
normal saline (Cl 145 – 154 mEq/L ) dan dapat juga menyebabkan asidosis metabolic
hiperkloremik. Banyak cairan koloid kini telah tersedia. Semuanya berasal dari protein plasma
atau polimer glukosa sintetik. Koloid yang berasal dari darah termasuk albumin ( 5% dan 25 % )
dan fraksi plasma protein (5%). Keduanya dipanaskan 60 derajat selama 10 jam untuk
meminimalkan resiko dari hepatitis dan penyakit virus lain. Fraksi plasma protein berisi alpha dan
beta globulin yang ditambahkan pada albumin dan menghasilkan reaksi hipotensi. Ini adalah reaksi
alergi yang alami da melibatkan aktivasi dari kalikrein. 1
Koloid sintetik termasuk Dextrose starches dan gelatin. Gelatin berhubungan dengan
histamine mediated- allergic reaction dan tidak tersedia di United States.Dextran terdiri dari
Dextran 70 ( Macrodex ) dan Dextran 40, yang dapat meningkatkan aliran darah mikrosirkulasi
dengan menurunkan viskositas darah. Pada Dextran juga ada efek antiplatelet. Pemberian melebihi
20 ml/kg/hari dapat menyebabkan masa perdarahan memanjang (Dextran 40) dan gagal ginjal.
Dextran dapat juga bersifat antigenic dan anafilaktoid ringan dan berat dan ada reaksi anafilaksis.
Dextan 1 ( Promit ) sama dengan Dextran 40 atau dextran 70 untuk mencegah reaksi anafilaxis
berat.;bekerja seperti hapten dan mengikat setiap antibody dextran di sirkulasi. 1
Hetastarch (hydroxyetil starch) tersedia dalam cairan 6 % dengan berat molekul berkisar
450.000. Molekul-molekul yang kecil akan dieliminasi oleh ginjal dan molekul besar dihancurkan
pertama kali oleh amylase. Hetastarch sangat efektif sebagai plasma expander dan lebih murah
disbanding albumin.. Lebihjauh, Hetastarch bersifat nonantigenik dan reaksi anafilaxisnya jarang.
Studi masa koagulasi dan masa perdarahan umumnya tidak signifikan dengan infus 0.5 – 1 L.
Pasien transplantasi ginjal yang mendapat hetastarch masih controversial. Kontroversi ini
dihubungkan juga dengan penggunaan hetastarch pada pasien yang menjalani bypass
kardiopulmoner. Pentastarch, cairan starch dengan berat molekul rendah, sedikit efek
tambahannya dan dapat menggantikan hetastarch.1
20
Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif
Tabel 2. Estimasi Kebutuhan Cairan Pemeliharaan (dikutip sesuai dengan aslinya dari
kepustakaan no.1)
Berat Badan Kebutuhan
10 kg pertama 4 ml/kg/jam
10-20 kg kedua 2 ml/kg/jam
Masing-masing kg > 20 kg 1 ml/kg/jam
Contoh: berapa kebutuhan cairan pemeliharaan untuk anak 25 kg? Jawab: 40+20+5=65 ml/jam
Preexisting Deficit
Pasien yang akan dioperasi setelah semalam puasa tanpa intake cairan akan menyebabkan
defisit cairan sebanding dengan lamanya puasa. Defisit ini dapat diperkirakan dengan mengalikan
normal maintenance dengan lamanya puasa. Untuk 70 kg, puasa 8 jam, perhitingannya (40 + 20 +
50) ml / jam x 8 jam atau 880 ml. Pada kenyataannya, defisit ini dapat kurang sebagai hasil dari
konservasi ginjal. Kehilangan cairan abnormal sering dihubungkan dengan defisit preoperatif.
Sering terdapat hubungan antara perdarahan preoperatif, muntah, diuresis dan diare.2
21
bahaya anemia berberat lebih (dibanding) resiko transfusi. Pada kehilangan darah dapat diganti
dengan transfuse sel darah merah. Transfusi dapat diberikan pada Hb 7-8 g/dL (hematocrit21-
24%).2
Hb < 7 g/dL cardiac output meningkat untuk menjaga agar transport Oksigen tetap normal.
Hb 10 g/dL biasanya pada pasien orang tua dan penyakit yang berhubungan dengan jantung dan
paru-paru. Batas lebih tinggi mungkin digunakan jika diperkirakan ada kehilangan darah yang
terus menerus. Dalam prakteknya, banyak dokter memberi Ringer Laktat kira-kira 3-4 kali dari
banyaknya darah yang hilang, dan cairan koloid dengan perbandingan 1:1 sampai dicapai Hb yang
diharapkan.2
Tabel 3. Perkiraan Volume Darah Rata-Rata (Average Blood Volumes) (dikutip sesuai dengan
aslinya dari kepustakaan no.2)
Umur Volume Darah
Neonatus
Prematur 95 ml/KgBB
Full- Term 85 ml/KgBB
Infants 80 ml/KgBB
Adults
Men 75 ml/KgBB
Woman 65 ml/KgBB
Pada keadaan ini kehilangan darah dapat diganti dengan Packed red blood cell.
Banyaknya transfusi dapat ditentukan dari hematocrit preoperatif dan dengan perkiraan volume
darah. Pasien dengan hematocrit normal biasanya ditransfusi hanya setelah kehilangan darah >10-
20% dari volume darah mereka. Sebenarnya tergantung daripada kondisi pasien] dan prosedur dari
pembedahan . Perlu diketahui jumlah darah yang hilang untuk penurunan hematocrit sampai 30%,
dapat dihitung sebagai berikut:2
1. Estimasi volume darah dari Tabel 29-5.
2. Estimasi volume sel darah merah (RBCV) hematocrit preoperative (RBCV preop).
3. Estimasi RBCV pada hematocrit 30% ( RBCV30%), untuk menjaga volume darah
normal.
22
Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif
4. Memperkirakan volume sel darah merah yang hilang ketika hematocrit 30% adalah
RBCV lost = RBCV preop - RBCV 30%.
5. Perkiraan jumlah darah yang hilang = RBCV lost X 3
Contoh :
Seorang perempuan 85 kg mempunyai suatu hematocrit preoperatif 35%. Berapa banyak
jumah darah yang hilang untuk menurunkan hematocritnya sampai 30%?
Jawaban :
Volume Darah yang diperkirakan = 65 mL/kg x 85 kg = 5525 ml.
RBCV 35 % = 5525 x 35 % = 1934 mL.
RBCV30% = 5525 x 30 % = 1658 Ml
Kehilangan sel darah merah pada 30% = 1934 - 1658 = 276 mL.
Perkiraan jumlah darah yang hilang = 3 x 276 mL = 828 mL.
Oleh karena itu, transfusi harus dipertimbangkan hanya jika pasien kehilangan darah
melebihi 800 ml. Transfusi tidak direkomendasikan sampai terjadi penurunan hematocrit
hingga 24% (hemoglobin < 8.0 g/dL), tetapi ini diperlukan untuk menghitung banyaknya
darah yang hilang, contohnya pada penyakit jantung dimana diberikan transfusi jika
kehilangan darah 800 mL.
Tabel 4. Redistribusi dan evaporasi kehilangn cairan saat pembedahan (dikutip sesuai dengan
aslinya dari kepustakaan no.1)
DERAJAT DARI TRAUMA JARINGAN PENAMBAHAN CAIRAN
MINIMAL (contoh hernioraphy) 0 – 2 ml/Kg
SEDANG ( contoh cholecystictomy) 2 – 4 ml/Kg
BERAT (contohreseksi usus) 4 – 8 ml/Kg
23
Menggantikan Hilangnya Cairan Redistribusi dan Evaporasi
Sebab kehilangan cairan ini dihubungkan dengan ukuran luka dan tingkat manipulasi dan
pembedahan, dapat digolongkan menurut derajat trauma jaringan. Kehilangan cairan tambahan ini
dapat digantikan menurut tabel di atas, berdasar pada apakah trauma jaringan adalah minimal,
moderat, atau berat. Ini hanyalah petunjuk, dan kebutuhan yang sebenarnya bervariasi pada
masing-masing pasien.1
PENDAHULUAN
Dalam bidang anestesiologi, pengelolaan jalan nafas merupakan tindakan yang penting.
Terdapat berbagai alat yang digunakan dalam mengelola jalan nafas. Pemasangan pipa endotrakeal
(ET) merupakan salah satu tindakan pengamanan jalan nafas terbaik dan paling sesuai sebagai
jalur ventilasi mekanik. Selain digunakan untuk menjaga jalan nafas dan memberikan ventilasi
mekanik, tindakan ini juga dapat menghantarkan agen anestesi inhalasi pada anestesi umum.3
24
Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif
Intubasi adalah memasukkan pipa kedalam rongga tubuh melalui mulut atau hidung.
Intubasi terbagi menjadi 2 yaitu endotrakeal dan nasotrakeal, intubasi endotrakeal adalah
memasukkan sehingga ujung kirakira berada dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio
trakea. Tujuan dilakukannya intubasi endotrakeal untuk mempertahankan jalan nafas agar tetap
bebas, mengendalikan oksigenasi dan ventilasi, mencegah terjadinya aspirasi lambung pada
keadaan tidak sadar, tidak ada refleks batuk ataupun kondisi lambung penuh, sarana gas anestesi
menuju langsung ke trakea, membersihkan saluran trakeobronkial, mengatasi obstruksi lanjut akut,
dan pemakaian ventilasi mekanis yang lama.3
Tindakan intubasi trakhea merupakan salah satu teknik anestesi umum inhalasi, yaitu
memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas atau cairan yang mudah menguap
melalui alat/ mesin anestesi langsung ke udara inspirasi. Dalam melakukan intubasi dilakukan
pemasangan pipa endotrakeal. Pemakaian pipa endotrakeal memiliki beberapa keuntungan seperti
terpeliharanya jalan nafas, kemungkinan nafas kontrol atau alat bantu. Pengurangan ruang rugi dan
mencegah aspirasi pneumonia serta memudahkan pembersihan pada tenggorok dan mencegah
mengedan akibat spasme laring. Penggunaan pipa endotrakeal yang non kinking sangat membantu
ahli anestesiologi untuk mencegah pipa endotrakeal tertekuk pada pembedahan kepala, leher atau
posisi telungkup.3
Kerugiannya terutama bersifat mekanik dan kesalahan teknik, juga karena iritasi atau
reaksi alergik lokal alat yang digunakan seperti pipa endotrakeal, pelumas. Pipa endotrakeal
menyebabkan saluran nafas menjadi lebih sempit, sehingga tahanan aliran udara nafas menjadi
lebih besar. Hal tersebut berbahaya terutama untuk anak – anak. Oleh karena itu kita selalu
berusaha agar pipa endotrakeal yang dipasang sebesar mungkin tetapi tidak sampai melukai
laring.3
PIPA ENDOTRAKEAL
Pipa endotrakeal umumnya memiliki jari – jari lengkung 12 – 16 cm, pada potongan lintang
pipa, dinding dalam maupun luar sebaiknya bulat, bila oval atau ellips akan mudah tertekuk.
Disebelah distal terdapat bagian yang miring disebut bevel, membentuk sudut 39 – 560 . Bila sudut
lebih kecil maka akan memudahkan masuknya pipa lewat hidung tetapi resiko terjadinya sumbatan
akan bertambah. Sisi bevel biasanya menghadap kekiri, karena umumnya ahli anestesiologi
menggunakan tangan kanan dan memasukkan pipa dari sebelah kanan. Ujung bevel sebaiknya
25
bulat dengan tepi tumpul. Ada pipa endotrakeal yang memiliki lubang dekat ujung distal disebut
jenis murphy dan lubangnya disebut mata murphy. Tujuan dari mata murphy adalah bila terjadi
sumbatan pada ujung bevel maka gas masih dapat lewat. Jenis Magill tidak memiliki lubang pada
ujung distalnya.3
Penentuan panjang pipa endotrakeal merupakan masalah sulit, penggunaan pipa
endotrakeal terlalu panjang akan meningkatkan ruang rugi dan kemungkinan pipa tertekuk,
intubasi endobronkial atau ujung pipa menempel dikarina, sedangkan pipa yang terlalu pendek
dapat mengakibatkan ekstubasi tidak sengaja atau tekanan kaf pada struktur laring. Pipa pada
orang dewasa biasa digunakan dengan diameter internal untuk laki-laki berkisar 8,0 – 9,0 mm dan
perempuan 7,5 – 8,5 mm.3
Pemberian ventilasi mekanik dapat melalui bag mask, melalui pipa endotracheal (ETT)
atau melalui sungkup laring (LMA). Pemberian ventilasi mekanik dengan cara memompa gas
melalui sungkup muka (bag and mask ventilation ) tidak dapat dilakukan dengan jangka waktu
yang lama. Selain itu jalan nafas pasien sama sekali tidak terlindung. Ventilasi cara ini biasanya
hanya persiapan sebelum manajemen definitive jalan nafas dengan ETT dan LMA.3
Diantara keuntungan penggunaan ETT adalah pengamanan total jalan nafas (terutama jika
menggunakan cuff) dan kemudahan pengisapan secret. ETT termasuk invasive, pemasangannya
dapat traumatic dan bagi pasien dengan jalan nafas yang hiperreaktif dapat mencetuskan asma.
Selain itu, jika penempatan ETT terlalu dalam di salah satu bronkus (endobrachial intubation),
justru dapat menyebabkan hipoksia karena atelectasis satu paru. Intubasi trachea juga terkadang
salah arah, masuk ke esofasgus. Hal ini harus segera diketahui dan diperbaiki karena dapat fatal.
Cara terbaik untuk deteksi dini intubasi esophagus adalah dengan menggunakan kapnograf. Jika
ETT masuk esophagus, tidak akan terdeteksi kadar ETCO2 (end tidal CO2) melaui kapnografi. Hal
ini dikarenakan CO2 hanya diekskresikan oleh paru-paru.3
INDIKASI INTUBASI ENDOTRAKEAL
Indikasi intubasi trakhea sangat bervariasi dan umumnya digolongkan sebagai berikut : 3
1. Menjaga patensi jalan nafas oleh sebab apapun Kelainan anatomi, bedah khusus, bedah
posisi khusus, pembersihan sekret jalan nafas dan lain-lain.
2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi Misalnya saat resusitasi, memungkinkan
penggunaan relaksan dengan efisien, ventilasi jangka panjang.
26
Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif
3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi. Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut
terbuka maksimal dan lidah dijulurkan maksimal menurut Mallampati dibagi menjadi 4
gradasi
KONTRAINDIKASI INTUBASI ENDOTRAKEAL
Terdapat beberapa kondisi yang diperkirakan akan mengalami kesulitan pada saat
dilakukan intubasi, antara lain : 3
1. Tumor : Higroma kistik, hemangioma, hematom
2. Infeksi : Abces mandibula, peritonsiler abces, epiglotitis
3. Kelainan kongenital : Piere Robin Syndrome, Syndrom Collin teacher, atresi laring,
Syndrom Goldenhar, disostosis kraniofasial
4. Benda asing
5. Trauma : Fraktur laring, fraktur maxila/ mandibula, trauma tulang leher
6. Obesitas
7. Extensi leher yang tidask maksimal : Artritis rematik, spondilosis arkilosing, halo traction
8. Variasi anatomi : Mikrognatia, prognatisme, lidah besar, leher pendek, gigi moncong.
PERSIAPAN INTUBASI ENDOTRAKEAL
Persiapan untuk intubasi termasuk memeriksa perlengkapan dan posisi pasien. ETT harus
diperiksa. Sistem inflasi kaf pipa dapat dites dengan menggembungkan balon dengan
menggunakan spuit 10 ml. Pemeliharaan tekanan balon menjamin balon tidak mengalami
kebocoran dan katup berfungsi. Beberapa dokter anestesi memotong ETT untuk mengurangi
panjangnya dengan tujuan untuk mengurangi resiko dari intubasi bronkial atau sumbatan akibat
dari pipa tertekuk. Konektor harus ditekan sedalam mungkin untuk menurunkan kemungkinan
terlepas, jika mandren digunakan ini harus dimasukan ke dalam ETT dan ini ditekuk menyerupai
stik hoki. Bentuk ini untuk intubasi dengan posisi laring ke anterior. Blade harus terkunci di atas
gagang laringoskop dan bola lampu dicoba berfungsi atau tidak, dan mandren harus disediakan.
Suction diperlukan untuk membersihkan jalan nafas pada kasus dimana sekresi jalan nafas tidak
diinginkan, darah, atau muntah. 3
Keberhasilan intubasi tergantung dari posisi pasien yang benar. Kepala pasien harus sejajar
atau lebih tinggi dengan pinggang dokter anestesi untuk mencegah ketegangan bagian belakang
yang tidak perlu selama laringoskopi. Rigid laringoskop memindahkan jaringan lunak faring untuk
membentuk garis langsung untuk melihat dari mulut ke glotis yang terbuka. Elevasi kepala sedang
27
(sekitar 5-10 cm diatas meja operasi) dan ekstensi dari atlantoocipito joint menempatkan pasien
pada posisi sniffing yang diinginkan. Bagian bawah dari tulang leher adalah fleksi dengan
menepatkan kepala diatas bantal. 3
Persiapan untuk induksi dan intubasi juga meliputi preoksigenasi rutin. Preoksigenasi
dengan beberapa kali nafas dalam dengan 100% oksigen memberikan ekstra margin of safety pada
pasien yang tidak mudah diventilasi setelah induksi. Preoksigenasi dapat dihilangkan pada pasien
yang mau di face mask, yang bebas dari penyakit paru, dan yang tidak memiliki jalan nafas yang
sulit. 3
Dalam persiapan alat yang harus diperhatikan yaitu : STATICS
1. Scope : Laringoscope, Stetoscope
2. Tubes : Endotrakheal Tube (ETT) sesuai ukuran
3. Airway : Pipa orofaring / OPA atau hidung-faring/NPA
4. Tape : Plester untuk fiksasi dan gunting
5. Introducer : Mandrin / Stylet, Magill Forcep
6. Conector : Penyambung antara pipa dan pipa dan peralatan anestesi.
7. Suction : Penghisap lendir siap pakai
Perlengkapan lain yang harus dipersiapkan yaitu bag dan masker oksigen (biasanya satu
paket dengan mesin anestesi yang siap pakai, lengkap dengan sirkuit dan sumber gas), sarung
tangan steril, Xylocain jelly/ Spray 10% , Gunting plester, Spuit 20 cc untuk mengisi cuff,
Bantal kecil setinggi 12 cm, Obat- obatan (premedikasi, induksi/sedasi, relaksan, analgesi dan
emergency). 3
LANGKAH INTUBASI ENDOTRACHEAL
Laringoskop dipegang oleh tangan kiri. Dengan mulut pasien terbuka lebar, blade
dimasukkan pada sisi kanan dari orofaring dengan hati-hati untuk menghindari gigi. Geserkan
lidah ke kiri dan masuk menuju dasar dari faring dengan pinggir blade. Puncak dari lengkung blade
biasanya di masukan ke dalam vallecula, dan ujung blade lurus menutupi epiglotis. Handle
diangkat dan jauh dari pasien secara tegak lurus dari mandibula pasien untuk melihat pita suara.
Terperangkapnya lidah antara gigi dan blade dan pengungkitan dari gigi harus dihindari. ETT
diambil dengan tangan kanan, dan ujungnya dilewatkan melalui pita suara yang terbuka (abduksi).
Balon ETT harus berada dalam trakea bagian atas tapi diluar laring. Langingoskop ditarik dengan
hati- hati untuk menghindari kerusakan gigi. Balon dikembungkan dengan sedikit udara yang
28
Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif
dibutuhkan untuk tidak adanya kebocoran selama ventilasi tekanan positif, untuk meminimalkan
tekanan yang ditransmisikan pada mukosa trakea. Merasakan pilot balon bukan metode yang dapat
dipercaya untuk menentukan tekanan balon yang adekuat. 3
Setelah intubasi, dada dan epigastrium dengan segera diauskultasi untuk memastikan ETT
ada di intratracheal. Jika ada keragu-raguan tentang apakah pipa dalam esophagus atau trakhea,
cabut lagi ETT dan ventilasi pasien dengan face mask. Sebaliknya, pipa diplester atau diikat untuk
mengamankan posisi. Lokasi pipa yang tepat dapat dikonfirmasi dengan palpasi balon pada sternal
notch sambil menekan pilot balon dengan tangan lainnya. Balon jangan ada diatas level kartilago
cricoid, karena lokasi intralaringeal yang lama dapat menyebabkan suara serak pada post operasi
dan meningkatkan resiko ekstubasi yang tidak disengaja.3
KOMPLIKASI INTUBASI
Tindakan intubasi endotrakeal dapat menimbulkan berbagai komplikasi atau trauma seperti
komplikasi sistem respirasi (bronkospasme), juga menimbulkan komplikasi kardiovaskuler berupa
peningkatan tekanan darah, peningkatan laju jantung, dan disritmia. Selain itu terdapat beberapa
komplikasi lainnya yaitu nyeri tenggorokan, suara serak, paralisa pita suara, edema laring, laring
granuloma, dan ulcer, glotis dan subglotis, granulasi jaringan,stenosis trakea. Komplikasi tersebut
dapat terjadi secara cepat atau lambat. 4
Beberapa komplikasi pemasangan intubasi endotrakeal dapat disebabkan oleh rangsangan
pipa endotrakeal pada daerah laring, trakea, karina, dan bronkus yang menimbulkan respon
simpatis dan pelepasan katekolamin. Respon sistem yang terjadi terhadap intubasi trakea
menyebabkan peningkatan kadar katekolamin plasma.4
Komplikasi yang dapat terjadi pada saat intubasi : 4
1. Salah letak : Intubasi esofagus, intubasi endobronkhial, posisi balon di laring.
2. Trauma jalan nafas : Kerusakan gigi, laserasi mukosa bibir dan lidah, dislokasi mandibula,
luka daerah retrofaring.
3. Reflek fisiologi : Hipertensi, takikardi, hipertense intra kranial dan intra okuler,
laringospasme.
4. Kebocoran balon.
Komplikasi yang dapat terjadi saat ETT di tempatkan :
1. Malposisi (kesalahan letak)
2. Trauma jalan nafas : inflamasi dan laserasi mukosa, luka lecet mukosa hidung.
29
3. Kelainan fungsi : Sumbatan ETT.
Komplikasi yang dapat terjadi setelah ekstubasi:
1. Trauma jalan nafas : Udema dan stenosis (glotis, subglotis dan trakhea), sesak, aspirasi,
nyeri tenggorokan.
2. Laringospasme
EKSTUBASI
Ekstubasi adalah tindakan pencabutan pipa endotrakea. Ekstubasi dilakukan pada saat yang
tepat bagi pasien untuk menghindari terjadinya reintubasi dan komplikasi lain. 4
1. Pre ekstubasi : Persiapan Pasien :
a. Pasien sadar penuh
b. Status pernafasan pasien adekuat, seperti : RR< 25x/mnt, tidak ada penggunaan otot
bantu nafas, tidak sesak, HR dan TD stabil, tidak ada aritmia.
c. Hasil AGD baik
d. Pasien dapat batuk secara adekuat.
e. Pasien dipuasakan ± 4 jam, dan NGT dialirkan saat ekstubasi.
2. Intra Ekstubasi :
a. Hiperoksigenasi, suctioning ETT dan bersihkan jalan nafas pasien
b. Lepas fiksasi/plester pada endotracheal tube (ETT)
c. Instruksikan pasien untuk bernafas dalam
d. Saat pasien mencapai puncak inspirasi, pipa endotrakea dikempeskan dan dokter
anastesi mencabut ETT dalam satu gerakan saat inspirasi.
e. Saat ETT dicabut, perawat memonitor hemodinamik pasien
f. Motivasi pasien untuk bernafas dalam dan batuk i
g. Suctioning dan bersihkan kembali jalan nafas pasien
h. Berikan nebulizer dan support dengan oksigen adekuat
i. Cuci tangan
j. Rapikan Alat
k. Dokumentasikan tindakan
30
Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif
3. Post Ekstubasi :
a. Monitor vital signs, status respirasi, dan oksigenisasi 1 jam pertama atau menurut
kebijaksanaan
b. Berikan oksigenisasi sesuai kebutuhan
c. Anjurkan klien untuk nafas dalam dan batuk
d. Anjurkan klien untuk mengeluarkan sputum
e. Beri motivasi untuk bernafas tanpa bantuan ventilator
f. Pemeriksaan blood gass artery, tidak mutlak
31
MINGGU 2
1.3 General Anestesi
TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Kognitif
Diharapkan mahasiswa mampu :
i. Mengetahui jenis-jenis tindakan general anestesi
ii. Mengetahui persiapan dalam tindakan general anestesi
iii. Mengetahui alat dan bahan dalam tindakan general anestesi
iv. Mengetahui indikasi dan kontaindikasi tindakan general anestesi
v. Mengetahui farmakodinamik dan farmakokinetik obat-obat general anestesi
2. Psikomotorik
Diharapkan mahasiswa mampu :
a. Melakukan persiapan terhadap pasien dengan tindakan general anestesi
b. Melakukan persiapan alat dan bahan tindakan general anestesi
c. Memberikan obat-obat anestesi
3. Afektif
Diharapkan mahasiwa mampu :
Mengetahui dan mempersiapkan tindakan general anestesi.
General Anestesi
General anestesi merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit secara sentral disertai
hilangnya kesadaran (reversible). Tindakan general anestesi terdapat beberapa teknik yang dapat
dilakukan adalah general anestesi denggan teknik intravena anestesi dan general anestesi dengan
inhalasi yaitu dengan face mask (sungkup muka) dan dengan teknik intubasi yaitu pemasangan
endotrecheal tube atau gabungan keduanya inhalasi dan intravena.5
1. Teknik General Anestesi
General anestesi menurut Mangku dan Senapathi (2010), dapat dilakukan dengan 3 teknik,
yaitu: 5
- General Anestesi Intravena
Teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan menyuntikkan obat anestesi
parenteral langsung ke dalam pembuluh darah vena.
15
Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif
Kembalinya kesadaran pasien dari general anestesi secara ideal harus mulus dan juga
bertahap dalam keadaan yang terkontrol hingga kembali sadar penuh, waktu pulih sadar tindakan
general anestesi sebagai berikut: 5
33
1.4 Manajemen Nyeri Paska Operasi
TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Kognitif
Diharapkan mahasiswa mampu :
a. Diharapkan dokter muda mampu :
b. Mengetahui mekanisme nyeri
c. Mengetahui pemeriksaan nyeri
d. Mengetahui terapi nyeri
2. Psikomotorik
Manajemen Nyeri
Di Amerika Serikat, nyeri merupakan keluhan medis yang paling sering dikeluhkan dan
merupakan salah satu alasan utama pasien mencari perawatan medis. Berdasarkan American Pain
Society (APS), 50 juta warga Amerika lumpuh sebagian atau total karena nyeri, dan 45% dari
warga amerika membutuhkan perawatan nyeri yang persisten seumur hidup mereka. Kira-kira 50-
80% pasien dirumah sakit mengalami nyeri disamping keluhan lain yang menyebabkan pasien
masuk rumah sakit. 6
Nyeri merupakan pengalaman yang subyektif sehingga penilaian menjadi sangat penting.
Tidak ada alat ukur objektif yang dapat memberikan penilaian yang memuaskan. Nyeri juga
multidimensional termasuk persepsi nosiseptif dan ekspresi. Untuk itu, multiaspek dari rasa nyeri
juga harus dipertimbangkan, termasuk sensorik, afektif dan dimensi kognitif. Tidak ada
pendekatan tunggal yang dapat digunakan untuk menilai nyeri pada semua pasien ataupun pada
semua situasi karena rasa nyeri dipengaruhi oleh berbagai multifaktor, termasuk penggunaan alat
ukur, waktu melakukan penilaian jumlah pasien serta klinisi itu sendiri. 6
34
Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif
Penilaian nyeri pertama dibuat pada tahun 1986 oleh World Health Organization (WHO),
yakni terdapat 3 tahap pemberian analgesik pada nyeri kanker yang didasarkan pada intensitas
nyeri. Saat ini penilaian nyeri yang awalnya dibuat oleh American Pain Society (APS) telah banyak
digunakan pada banyak rumah sakit di seluruh negeri, dan digunakan sebagai “salah satu tanda
vital”. Mantan presiden APS, dr. James Campbell menyatakan : “tanda vital merupakan hal yang
sangat penting. Jika nyeri dinilai sama seperti tanda-tanda vital lainnya, maka kita dapat
memberikan perawatan yang lebih baik”.6
Pada bulan Februari tahun 1999, Veteran administrasi Rumah Sakit memasukkan nyeri
sebagai salah satu tanda vital dalam sistem penilaian rumah sakit mereka secara nasional. Dengan
tujuan untuk mencegah dan mengurangi penderitaan pasien, penilaian nyeri akan dilakukan
dengan berbagai macam cara secara konsisten. Pada tahun 2001, The Joint Commision On
Acreditation of Health care Organization (JCAHO) melakukan evaluasi skor nyeri pada semua
pasien. Tujuan utama dari evaluasi ini adalah untuk membuat suatu penilaian yang sama dalam
penanganan nyeri. 6
Defenisi dan Tipe Nyeri
Nyeri merupakan pengalaman kompleks pada seluruh manusia. Definisi tersebut telah
berkembang selama bertahun-tahun. Pada tahun 1968 Margo McCaffery mempublikasikan
definisi klinis nyeri yang telah menjadi batu loncatan terhadap penilaian nyeri: “Nyeri merupakan
sesuatu hal yang dikatakan oleh pasien dan yang pasien rasakan”. Frase ini merupakan dasar
bahwa nyeri yang diterima dan dirasakan berasal dari laporan pasien itu sendiri.6
Menurut The Internasional Assosiation for The Study of Pain (IASP) yang
mengembangkan definisi dari nyeri sebagai “Suatu pengalaman sensoris dan emosional yang tidak
menyenangkan, dimana hal ini terutama dihubungkan dengan adanya kerusakan jaringan atau
gambarannya dihubungkan seperti ada sebuah kerusakan atau keduanya”. Defenisi dari nyeri ini
diakui sebagai gabungan antara fenomena sensorik, emosional, dan kognitif dimana terjadi
kelainan patologi pada tubuh yang tidak tampak. 6
Pandangan kontemporer dari karakteristik nyeri secara multidimensional dengan adanya
suatu keterlibatan simultan berbahaya, emosional, kognitif (pikiran), dan komponen-komponen
kepercayaan. Secara konseptual, nyeri dapat dibagi 3 tingkatan secara hirarki yang terdiri dari :
komponen sensorik-diskriminatif (misalnya lokasi, intensitas, kualitas), komponen motivasi-
35
afektif (misalnya depresi, kecemasan), dan komponen kognitif-evaluatif (misalnya pikiran tentang
penyebab dan signifikasi nyeri).6
Terdapat 5 klasifikasi nyeri: nosiseptif, neuropatik, campuran, psikogenik, dan idiopatik.
Nyeri nosiseptif dapat didefenisikan sebagai suatu sensasi sekunder yang tidak menyenangkan
sebagai aktivasi nosiseptor perifer yang terletak di jaringan lain dari sistem saraf perifer dan pusat.
Nyeri nosiseptif dibagi lagi menjadi tipe somatik dan viseral. Nyeri nosiseptif biasanya waktunya
terbatas dan mengalami penyembuhan dari kerusakan awal.6
Nyeri neuropatik digambarkan sebagai bentuk paradox dari nyeri sekunder akibat trauma
atau disfungsi pada saraf sensorik sentral atau sistem saraf perifer. Selanjutnya cedera saraf
mengakibatkan hilangnya transmisi sensorik dan umumnya pasien mengeluh “mati rasa”. Nyeri
psikogenik merupakan suatu bentuk nyeri yang dihubungkan dengan nyeri fisik yang selalu berasal
dari masalah psikologis. Seseorang dengan gangguan nyeri psikogenik akan mengeluhkan gejala
yang tidak sesuai. Hal ini dapat terwujud dalam bentuk sakit kepala, nyeri otot, nyeri punggung,
dan nyeri perut. Nyeri idiopatik merupakan suatu bentuk nyeri yang tidak ada hubungannya
dengan mekanisme fisik atau mental. Hal ini biasanya dianggap sebagai diagnosis eksklusi.6
Faktor yang mempengaruhi respon nyeri: 7
1. Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga klinisi harus mengkaji respon nyeri pada
anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami
kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka
menganggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau
mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.
2. Jenis kelamin
Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wanita tidak berbeda secara signifikan dalam
merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (contoh: tidak pantas kalo laki-laki
mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri).
3. Kultur
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri
misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus
diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri.
36
Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif
4. Makna nyeri
Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan dan bagaimana
mengatasinya.
5. Perhatian
Tingkat seorang pasien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi
persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri
yang meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang
menurun.
6. Ansietas
Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang
cemas.
7. Pengalaman masa lalu
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang
sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang
mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.
8. Pola koping
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya pola
koping yang maladaptif akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri.
9. Support keluarga dan social
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman
dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan.
37
skala penilaian dan alat-alat lain yang dirancang untuk mengetahui sifat dari intensitas dan kualitas
nyeri yang dikeluhkan.7
Informasi yang objektif atau kuantitatif mencakup intensitas pada saat beristirahat atau
pada saat beraktifitas. Diagnostik dari pemeriksaan fisis harus selalu dilakukan untuk
mengidentifikasi penyebab dasar dari nyeri tersebut mengenai faktor-faktor eksaserbasi nyeri dan
untuk mengidentifikasi kelainan neuromuskular, kelainan neurologis, dan perilaku yang abnormal.
Informasi yang subyektif termasuk informasi kualitatif yang terdiri dari sifat nyeri tajam atau
tumpul tiba-tiba, lokasi dan penyebaran nyeri, onset dan durasi nyeri, serta faktor yang
memperburuk atau faktor yang meringankan.7
38
Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif
Terdapat empat alat Unidimentional Pain Rating Scale (UPRS) utama yang digunakan
dalam praktek klinis untuk menilai nyeri secara objektif terdiri dari Numeric Rating Scale (NRS),
Skala Verbal Deskriptor (VDS), Skala Visual Analog (VAS), dan Faces Pain Scale (FPS).
Masing-masing dari skala ini adalah ukuran yang valid dan dapat diandalkan untuk intensitas
nyeri. The Iowa Pain Thermometer (IPT) adalah salah satu alat UPRS digunakan dalam praktek
klinis. Alat-alat yang lebih subjektif untuk menilai nyeri multidimensi seperti kuesioner nyeri
McGill (MPQ) dan The Brief Pain Inventory (BPI) juga alat pengukur nyeri yang valid untuk nyeri
akut dan kronis.7
40
Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif
pada akhir poin dengan kata tidak nyeri sampai pada nyeri paling hebat yang tidak
terbayangkan. Pasien diinstruksikan untuk menandai baris dengan pensil bergaris miring pada
titik yang sesuai dengan tingkat intensitas nyeri yang dirasakannya sekarang. Beberapa VAS
yang diproduksi seperti slide mistar, dimana gerakan garis tersebut diposisikan oleh pasien
sepanjang garis 100 ml itu. Pasien memberi tanda sepanjang dari garis akhir diidentifikasi
sebagai tidak nyeri kemudian diukur oleh pemeriksa dan dicatat pada lembar penilaian dalam
millimeter. 7
Alat ini sebaiknya disajikan dengan isyarat verbal yang minimal dan tidak ada jari yang
menunjuk oleh pemeriksa. Alat ini harus diperkenalkan dengan pernyataan standar yang tepat
: “tolong tandai garis yang sesuai dengan intensitas nyeri yang anda alami saat ini”. Idealnya,
baris sebaiknya ditandai pada nyeri saat istirahat dan nyeri selama bergerak. Tidak adanya
isyarat deskriptor dan garis spidol dengan VAS diyakini bisa memberikan validitas ilmiah
yang lebih besar, tetapi dapat membingungkan pada pasien yang lebih muda dan lansia. Untuk
meminimalkan kebingungan, pasien sebaiknya dijelaskan sebelum operasi tentang arti dari
poin garis dan bagaimana cara untuk menandainya. 7
Meskipun VAS mudah dijalankan dapat lebih memakan waktu karena lokasi yang telah
ditandai pensil perlu diukur, skala ini memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi karena sedikit
perubahan dalam intensitas nyeri dapat dideteksi. Bila dibandingkan dengan VRS, skor sekitar
30 mm dari 100 mm, VAS berarti nyeri yang dialami adalah nyeri sedang, dan skor dari 54
mm atau lebih berarti nyeri berat. Studi penelitian yang dilakukan pada pasien dewasa yang
mengalami nyeri akut di departemen emergensi secara klinis penting menentukan perbedaan
minimal dalam tingkat nyeri berat untuk VAS. Mereka menunjukan bahwa “penurunan pada
pengukuran VAS 30 mm secara klinis penting membedakan persepsi pasien terhadap nyeri
berat dengan kontrol nyeri yang adekuat”. Studi menunjukan bahwa akurasi dari VAS
tergantung pada penggunaan dalam orientasi (Horisontal vs Vertikal) konsistensi dengan
membaca pola dari populasi di mana ia digunakan. 7
Orientasi vertikal telah dihubungkan dengan terjadinya kesalahan terhadap penggunaannya
pada pasien di Cina, sedangkan penutur bahasa inggris menunjukan lebih rendahnya tingkat
kesalahan bila digunakan dalam orientasi horizontal. Studi mengatakan pasien yang lebih
muda mendukung sensitifitas, validitas, dan kemampuan dari VAS sebagai alat pengukur
intensitas nyeri sedang penggunaan pada lansia kurang dimengerti. 7
41
e. Faces Pain Scale (FPS)
Secara historis, FPS yang terdiri dari serangkaian enam sampai sampai tujuh wajah yang
dimulai dari wajah tersenyum bahagia sampai sedih berlinang air mata digunakan untuk
menilai nyeri pada pasien pediatrik. Beberapa versi dari FPS telah digunakan dipraktek klinis.
FPS dimaksudkan untuk mengukur bagaimana tingkat nyeri pasien yang mereka rasakan.
Setiap tampilan ekspresi wajah menunjukan hubungan dengan nyeri yang dirasakan, termasuk
alis turun kebawah, bibir diketatkan/pipi dinaikkan, kerutan hidung/bibir dinaikkan, dan mata
tertutup. Tingkatan skala menurut Wong-Baker FACES merupakan alat pengukuran intensitas
nyeri yang diakui dan umumnya digunakan dalam pasien pediatrik. 7
Versi paling terbaru dari FPS adalah Faces Pain Scale-Revised (FPS-R). FPS-R
menampilkan gambar enam wajah bergaris disajikan dalam orientasi horizontal. Pasien
diinstruksikan untuk menunjuk ke wajah yang paling mencerminkan intensitas nyeri yang
mereka rasakan. Ekspresi wajah diwakili oleh FPS-R tampak kurang kekanak-kanakan
dibandingkan dengan FPS lain. Tidak adanya air mata menghindari bias budaya tentang
ekspresi rasa nyeri. Tingkat tidak nyeri diwakili oleh wajah netral bahkan wajah gembira yang
ada pada ujung kiri skala. Ekspresi wajah menunjukan lebih nyeri jika skala digeser ke
kanan,dan wajah yang berada pada ujung sebelah kanan adalah nyeri hebat. 7
Meskipun FPS dirancang untuk digunakan terhadap pasien pediatrik, peneliitian yang
terbaru telah dievalusi untuk digunakan pada pasien dewasa khususnya pada pasien dengan
gangguan nonverbal, gangguan kognitif, beberapa diantaranya pasien dengan gangguan
kognitif yang berat, para penyedia layanan kesehatan membutuhkan ekspresi wajah yang
sesuai dengan intensitas nyeri yang dirasakan pasien. FPS juga berguna untuk penilaian pasien
dengan hambatan bahasa. 7
f. Iowa Pain Thermometer (IPT)
IPT adalah diagram dari sebuah thermometer yang diakui dengan baik mencerminkan
tingkatan deskriptor intensitas nyeri termasuk tidak nyeri, sedikit nyeri, nyeri sedang, nyeri
berat, nyeri sangat berat, dan nyeri dibayangkan. Pasien diminta untuk menandai disamping
kata yang paling mewakili intensitas atau beratnya nyeri yang mereka rasakan. Isyarat yang
terkait dengan skala termasuk fakta bahwa ketidaknyamanan yang berhubungan dengan
peningkatan analog dengan intensitas ketidaknyamanan yang berhubungan dengan
42
Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif
peningkatan temperatur yang ditampilkan pada thermometer. Alat ini adalah skala yang
digunakan secara deskriptif lisan pada pasien dewasa. 7
43
yang dipilih tidak dapat menggantikan pentingnya wawancara dan riwayat pengobatan pasien. Dan
yang paling penting, klinisi harus secara teratur menilai nyeri, dan mendokumentasikan penilaian
ini. 7
Gambar-gambar nyeri
Gambar-gambar nyeri adalah penggunaan gambar tubuh manusia di mana pasien diminta
untuk menandai sesuai nyeri yang dialaminya. Gambar-gambar ini dapat digunakan untuk menilai
lokasi dan distribusi nyeri, tetapi tidak dapat membantu menilai tingkat/intensitas nyeri. Gambar-
gambar nyeri ini dapat dibandingkan dari waktu ke waktu untuk menilai respon nyeri terhadap
terapi. 7
Inventaris Nyeri Ringkas
Inventaris nyeri Ringkas (Brief Pain Inventory-BPI) merupakan alat yang ditemukan
McCaffery dan Passero (1999) yaitu instrument yang dicatat sendiri dan telah dikembangkan
dalam penelitian dan berbagai keadaan klinis serta diterjemahkan dalam berbagai bahasa serta
memiliki tingkat validitas dan kepercayaan yang tinggi. Alat ini dikembangkan untuk memberikan
metode yang cepat dan mudah untuk menghitung intensitas nyeri. BPI terdiri dari 11 pertanyaan
terkait nyeri yang menanyakan mengenai aspek pengalaman nyeri yang dirasakan pasien dalam
periode 24 jam, seperti dimana lokasi nyeri dan intensitasnya, dampak nyeri tersebut terhadap
kualitas hidup pasien, serta efektifitas dari penanganan nyeri yang diberikan. Sebuah diagram
diberikan agar pasien dapat menunjukan lokasi nyerinya.
Brief Pain Inventory (BPI) juga merupakan salah satu instrument yang dapat menilai nyeri
maupun pengaruh subyektif terhadap nyeri terhadap aktivitas dan kemampuan pungsional pasien.
BPI merupakan alat pengukuran nyeri yang telah divalidasi multidimensi dengan reabilitas dan
validitas pada pasien kanker, AIDS, dan arthritis. Membutuhkan 5 sampai 15 menit untuk
mengelolanya, itu termasuk 4 skala nyeri (yang sekarang, rata-rata, terburuk dan akhirnya), serta
7 skala dalam menilai dampak sakit pada kegiatan umum, suasana hati, kemampuan berjalan,
bekerja, menjalin hubungan dengan orang lain, tidur dan kenikmatan hidup. Masing-masing
bagian dinilai pada skala numerik 1-10. BPI ini banyak digunakan dalam mencari kembali nyeri
dan telah diterjemahkan ke dalam sejumlah besar Bahasa. 7
44
Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif
Pertimbangan Khusus
Pasien Pediatrik
Sistem neurologi belum berkembang sempurna ketika bayi dilahirkan. Sebagian besar
perkembangan otak, mielinisasi sistem saraf pusat dan perifer, terjadi selama tahun pertama
kehidupan. Beberapa refleks primitif sudah ada pada saat dilahirkan, termasuk reflex menarik diri
ketika mendapat stimuli nyeri. Bayi baru lahir seringkali memerlukan stimulus yang kuat untuk
menghasilkan respon dan kemudian dia akan merespon dengan cara menangis dan menggerakkan
seluruh tubuh. Kemampuan melokalisasi tempat stimulus dan untuk menghasilkan respon spesifik
motorik anak-anak berkembang seiring dengan tingkat mielinisasi.8
Pengobatan yang tidak adekuat pada anak-anak merupakan masalah yang signifikan. Di
masa lalu, penyebab utama kurangnya pengobatan/terapi pada anak-anak adalah tidak adanya
cara/alat penilaian nyeri yang sesuai. Kemajuan saat ini terutama mengenai pemahaman kita
terhadap nyeri pada anak-anak, dan seiring dengan berkembangnya cara-cara penilaian nyeri pada
anak-anak, telah meningkatkan keberhasilan terapi nyeri pada pediatrik. Namun demikian,
kebanyakan teknik-teknik penilaian nyeri yang telah dikemukakan di atas terbatas manfaatnya
karena perkembangan keterampilan kognitif anak-anak yang belum sempurna.8
Penilaian Subyektif
Klinisi harus mampu melakukan wawancara untuk memeriksa dan menilai nyeri yang
dialami pasien anak-anak yang berusia mulai dari 3-4 tahun. Usaha khusus harus dilakukan untuk
menciptakan suasana yang tidak menakutkan pasien anak-anak ketika melakukan wawancara.
Walaupun teknik laporan sendiri (self report) dapat dilakukan pada pasien anak-anak, komunikasi
verbal mengenai nyeri mereka dibatasi oleh kemampuan vokabuler/perbendaharaan kata; anak-
anak mungkin hanya dapat menggunakan istilah “sakit” atau mengaduh dan menjerit saja untuk
menyatakan rasa nyeri. Orang tua atau yang merawat seringkali dapat memberikan informasi
tambahan. Tanda-tanda perilaku atau fisiologis nyeri bermanfaat baik untuk pasien anak-anak
maupun dewasa.8
Teknik VAS paling baik digunakan untuk pasien anak-anak usia lebih dari 7 tahun; tapi
sebenarnya teknik ini juga banyak digunakan untuk anak-anak usia 5 tahun. Laporan sendiri
berdasarkan cara penomoran obyek, intensitas warna yang makin meningkat, atau seri foto-foto
45
lebih sesuai untuk anak-anak usia antara 4-7 tahun. Pada anak usia kurang dari 3 tahun, klinisi
sebaiknya menggunakan pengamatan tanda-tanda perilaku atau fisiologis nyeri.8
Penilaian Obyektif
Penilaian nyeri obyektif pada anak-anak bervariasi tergantung pada usia dan tingkat
perkembangan anak-anak. Penilaian nyeri pada bayi baru lahir dan balita yang belum bisa
berbicara lebih mengandalkan pengamatan perilaku (misalnya ekspresi wajah). Menangis berguna
untuk menetukan urgensi respon, tetapi tidak bermanfaat untuk mengetahui kuantitas nyeri. Balita
yang mengalami nyeri mungkin akan menarik diri, menunjukkan perubahan pola makan dan tidur,
dan sulit diajak berteman. 8
Penilaian fisiologis seperti parameter kardiovaskuler (misalnya nadi, ritme
dan output jantung) memberikan umpan balik segera pada bayi baru lahir dan balita, tetapi tidak
dapat digunakan untuk bayi prematur. Anak-anak prasekolah mungkin mampu memberikan
laporan-sendiri; namun mereka cenderung untuk minta digendong, tidak banyak bergerak dan
kehilangan keterampilan motorik, verbal dan kontrol sfingter sebagai respon terhadap nyeri. Anak-
anak usia kurang dari 5 tahun mungkin mulai menyangkal nyeri karena merespon tindakan orang
yang merawatnya (misalnya mengganti verban/penutup luka, injeksi intramuskular) yang sering
mengakibatkan nyeri yang lebih parah; juga, anak-anak ini mungkin menganggap nyeri sebagai
hukuman atas perbuatan yang salah. Anak-anak usia sekolah mungkin menunjukkan perubahan
perilaku yang samar. 8
Nyeri dapat mengakibatkan lebih agresif, rasa malu (sering terjadi pada pasien luka bakar),
dan mimpi buruk, yang mengakibatkan mereka menarik diri dari pergaulan. Rasa kehilangan
kontrol dan kekhawatiran terhadap reaksi teman-temannya dapat meningkatakan kecemasan.
Remaja sering merespon nyeri kronik dengan perilaku oposisi yang berlebihan dan depresi.
Pengamatan perilaku dan fisiologis nyeri (misalnya menangis, ekspresi wajah, keluhan verbal,
gerakan, sentuhan) dapat diukur dengan teknik tertentu. Apapun skala yang digunakan,
konsistensi, kemudahan penggunaan, dan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan
pemeriksaan dan penilaian merupakan hal-hal yang penting untuk dipertimbangkan. Jika laporan-
sendiri bukan merupakan cara yang dapat digunakan dan tidak ada perubahan perilaku yang
teramati atau tidak dapat disimpulkan dengan jelas, Agency for Health Care Policy and
46
Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif
Research menyatakan bahwa mencoba memberikan (trial) analgetik dapat menjadi alat diagnostik
sekaligus terapeutik. 8
Pasien Geriatrik
Hilangnya neuron yang kontinyu pada otak dan korda spinalis terjadi sebagai bagian dari
proses menua yang normal. Hal ini mengakibatkan perubahan pada orang dewasa yang berusia >
65 tahun yang seringkali diinterpretasikan sebagai hal yang abnormal pada individu yang lebih
muda. Kecepatan konduksi saraf menurun antara 5-10% sebagai akibat dari proses menua. Hal ini
kemudian akan menurunkan waktu respon dan memperlambat transmisi impuls,
sehingga menurunkan persepsi sensori sentuh dan nyeri. 8
Pasien usia lanjut memiliki banyak masalah kesehatan dan memiliki banyak
ketidaknyamanan kronik sehingga membuat nyerinya lebih sulit didiagnosa dan ditangani. Sebuah
literatur manajemen nyeri oleh Gibson dan Helme menemukan bahwa terdapat perbedaan terkait
usia yang mendasari neurokimiawi, neuroanatomi, dan neurofisiologi dari mekanisme nyeri.
Pasien geriatrik merasakan sensitivitas terhadap nyeri yang meningkat dan persepsi yang makin
tumpul. 8
Alasan mengapa orang lanjut usia tidak melaporkan nyeri antara lain: 8
1. Kepercayaan bahwa nyeri adalah sesuatu yang mereka harus alami sepanjang kehidupan.
2. Khawatir mengenai konsekuensinya (misalnya dirawat di rumah sakit)
3. Khawatir bahwa nyeri mereka merupakan pertanda akan menderita penyakit serius atau
mempengaruhi kesehatan
4. Ketidakmampuan untuk memahami istilah kesehatan yang digunakan oleh penyedia
layanan kesehatan
5. Kepercayaan bahwa menunjukkan rasa nyeri tidak dapat diterima.
6. Salah pengertian bahwa gejala‐gejala mungkin merupakan akibat dari rasa nyeri
Penilaian Subyektif
Metode wawancara dengan pasien lanjut usia dilakukan sesuai dengan ada tidaknya
kelainan/gangguan mental dan fisik pada pasien. Perubahan fungsi pendengaran, penglihatan,
psikomotorik (misalnya kemampuan jari menulis/memegang, keterampilan motorik halus lain),
bahasa verbal, dan keterampilan kognitif (misalnya memori) sebagai bagian normal dari proses
menua atau akibat suatu penyakit akan mempengaruhi kemampuan pasien untuk mengidentifikasi
dan mengkomunikasikan nyeri yang dialami. 8
47
Menanyakan kepada pasien agar dapat menjelaskan atau membaca alat yang digunakan
untuk menilai nyeri dapat memberikan petunjuk mengenai kemampuan sensorik pasien. Cara
sederhana lain (misalnya kuesioner status mental mini) dapat bermanfaat untuk mengidentifikasi
proses kelainan/gangguan mental. Pasien lanjut usia dengan gangguan kognitif dan/atau verbal
adalah pasien yang paling sulit dinilai. Untuk kasus demikian, pengamatan perilaku oleh klinisi
atau orang yang merawat pasien menjadi cara utama untuk menilai nyeri yang dialami pasien. 8
Penggunaan cara dimensi-tunggal seperti VAS mungkin lebih disukai pada pasien lanjut
usia, karena cara-cara ini cepat dan tidak melelahkan. Namun, pada pasien dengan nyeri akut,
tingkat pendidikan yang lebih rendah, gangguan kognitif, atau gangguan koordinasi motorik, VAS
mungkin menjadi sulit. Selain itu, presentasi horizontal normal VAS tidak terlalu sesuai karena
kemapuan berpikir abstrak pasien yang telah menurun. Pada kasus demikian, presentasi VAS
secara vertikal, yang sering disebut sebagai “thermometer nyeri” akan lebih efektif. Dengan cara
presentasi ini,0 adalah bagian thermometer bawah, dan angka-angka yang makin meningkat
sampai 10 pada bagian paling atas thermometer. 8
Cara multidimensi seperti MPQ termasuk terlalu kompleks dan banyak menyita waktu bagi
pasien lanjut usia. Perbendaharaan katanya mungkin terlalu sulit bagi pasien lanjut usia untuk
dapat dimengerti, dan jumlah kata yang cukup bervariasi pada MPQ mungkin dianggap terlalu
banyak oleh pasien. Kompetensi pasien juga harus diketahui terlebih dahulu sebelum menilai nyeri
dengan cara ini. Selain itu, pasien lanjut usia mungkin sulit untuk berkonsentrasi dalam jangka
waktu lama untuk menyelesaikan MPQ. Oleh karena itu, digunakan satu-halaman MPQ, salah satu
alternatif. Catatan harian nyeri mungkin lebih bermanfaat, namun, beberapa pasien lanjut usia
mungkin kesulitan untuk mengisi catatan harian ini karena gangguan keterampilan motorik
halusnya atau gangguan kognitif. 8
Gambar nyeri merupakan metode yang efektif untuk mengetahui lokasi nyeri pada pasien
lanjut usia yang tidak dapat menyatakannya secara verbal. Gambar-gambar ini juga bermanfaat
bagi pasien yang mengalami nyeri pada beberapa lokasi tubuh. Skala wajah yang dikembangkan
untuk penilaian nyeri pada anak-anak juga bermanfaat bagi pasien lanjut usia yang mengalami
gangguan kesulitan bahasa atau kapasitas mental. 8
48
Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif
Penilaian Obyektif
Seperti pada anak-anak, pengamatan perilaku pada pasien lanjut usia merupakan
komponen penting pada proses penilaian nyeri. Pasrah menerima kenyataan bahwa nyeri memang
harus dialami, ketakutan / kekhawatiran bahwa melaporkan rasa nyeri yang sedang dialami akan
menghilangkan otonomi pribadi, dan kekhawatiran bahwa nyeri merupakan tanda dari suatu
penyakit serius atau bahkan menjelang kematian, semua hal tersebut akan menyebabkan pasien
lanjut usia tidak mau melaporkan nyeri. 8
Tanda-tanda nyeri fisik yang dapat diamati oleh klinisi atau anggota keluarga, atau
perubahan kebiasaan normal pasien merupakan hal penting ketika menilai pasien yang mengalami
kebingungan atau tidak memiliki kemampuan verbal. Pasien yang mengalami penyakit otak kronik
(misalnya Alzheimer, Hidrosefalus, Ensefalopati) benar-benar tergantung sepenuhnya pada
pengamatan profesional kesehatan, anggota keluarga, dan petugas pelayan kesehatan untuk
mengenali adanya nyeri. Contoh perilaku dasar ketika pasien mengalami nyeri: 8
1. Diam, menarik diri, pada pasien yang biasanya mengeluh dan banyak bergerak.
2. Berkedip dengan cepat, dengan wajah terlihat kaku / menyeringai kesakitan, pada pasien
yang biasanya tenang dan tidak banyak bicara.
3. Agitasi atau perilaku bersifat menyerang, pada individu yang biasanya mudah berteman
dan terbuka.
4. Deskripsi akurat mengenai lokasi nyeri pada pasien yang biasanya berbicara tidak jelas.
Pasien lanjut usia mungkin juga mengalami manifestasi nyeri yang tidak biasa akibat
sindrom nyeri. Pasien infark miokard pada golongan usia ini sering tidak merasa nyeri. Penyakit
ulkus peptik, apendisitis, dan pneumonia mungkin menunjukkan perubahan perilaku, sementara
pasien hanya mengeluh ketidaknyamanan yang ringan. Kegawatdaruratan perut mungkin muncul
pada nyeri dada. Perubahan perilaku dan fisiologis pada pasien lanjut usia dapat diukur
menggunakan cara-cara penilaian nyeri. Cara-cara yang biasa digunakan untuk pasien anak-anak
yang belum mampu berkomunikasi verbal juga dapat digunakan untuk pasien lanjut usia dengan
gangguan fungsi indera tertentu. 8
Observasi Perilaku
Klinisi sering harus mengandalkan pengamatan perilaku yang berkaitan dengan nyeri
Keterangan mengenai perilaku nyeri juga dapat diperoleh dari anggota keluarga atau orang yang
merawat pasien. Pengukuran obyektif perilaku nyeri dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor,
49
misalnya pengaruh klinisi terhadap perilaku pasien, lingkungan tempat dilakukannnya pengamatan
perilaku tersebut (misalnya apotek, klinik, rumah), sumber dana yang tersedia bagi pasien, peran
orangtua, pasangan atau orang-orang penting lainnya. Walaupun perilaku ini diidentifikasi sebagai
pengukuran obyektif nyeri, perilaku ini tidak secara langsung mengukur stimulus nyeri atau
penderitaan fisiologis yang dialami pasien. 8
Perilaku nyeri antara lain : 8
1. Keluhan verbal mengenai rasa nyeri
2. Menggunakan obat
3. Berusaha mencari terapi/ pengobatan
4. Ketidaksempurnaan atau perubahan fungsi fisik atau sosial : menarik diri, menolak makan
atau bermain, tidak tenang, agitasi, waktu untuk memberi perhatian kurang, bingung,
iritabilitas, pusing, berkeringat, lelah.
5. Ekspresi wajah : kaku, kening berkerut, mata atau mulut terkunci rapat atau terbuka lebar, dan
ekspresi aneh lainnya.
6. Gerakan badan : tegak kaku, bergoyang-goyang, menarik/ menekuk kaki kearah perut,
gerakan kepala/ jari bertambah, menggaruk daerah yang terasa nyeri, tidak dapat diam tenang,
terburu-buru, perubahan postur tubuh, lemas, tidak melakukan gerakan yang biasa dilakukan.
7. Vokal/ suara : menangis, terisak-isak, mengeluh, mengomel, mengaduh, mengerang,
berteriak.
50
Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif
juga memiliki daftar indikator perilaku nyeri yang biasanya didapatkan pada pasien usila yang
memiliki gangguan kognitif. Skor total diantara 0, yang menyatakan tidak ada perilaku nyeri,
hingga 10, yang menyatakan adanya perilaku nyeri yang berat. Salah satu kekurangan penggunaan
PAINAD, FLACC, dan skala lainnya adalah bahwa daftar perilaku nyeri tidak dapat digunakan
pada pasien yang tidak dapat merespon, tersedasi berat, atau baru saja mendapat agen pelumpuh
neuromuskuler8
51
MINGGU 3
1.5 Ventilasi Mekanik Pada Gagal Nafas
1. Kognitif
Diharapkan dokter muda mampu :
• Memahami indikasi pasien yang membutuhkan ventilasi mekanik
2. Psikomotor
Diharapkan dokter muda mampu :
• Melakukan persiapan pemasangan ventilasi mekanik terhadap pasien gagal nafas
• Melakukan persiapan alat dan bahan untuk pemasangan ventilasi mekanik
• Memberikan obat-obat pada pasien gagal nafas
1. Afektif
Diharapkan dokter muda mampu :
Dapat mengetahui dan menjelaskan tentang manajemen pemasangan ventilasi mekanik
PENDAHULUAN
Ventilator mekanik merupakan alat bantu pernapasan bertekanan positif atau negatif yang
menghasilkan aliran udara terkontrol pada jalan napas pasien sehingga mampu mempertahankan
ventilasi dan pemberian oksigen dalam jangka waktu lama. Alat bantu napas mekanik berperan
sebagai alat pengganti fungsi pompa dada yang mengalami kelelahan atau kegagalan. Tujuan
pemasangan ventilator mekanik adalah untuk mempertahankan ventilasi alveolar secara optimal
dalam rangka memenuhi kebutuhan metabolik, memperbaiki hipoksemia, dan memaksimalkan
transpor oksigen. Ventilator (mechanical ventilation) adalah alat yang digunakan untuk membantu
pasien yang mengalami gagal napas. Pada prinsipnya ventilator adalah suatu alat yang bisa
menghembuskan gas (dalam hal ini oksigen) ke dalam paru-paru pasien. Ventilator bersifat
membantu otot pernapasan sehingga kerja otot pernapasan diperkuat.5
Tujuan Pemasangan Ventilasi Mekanik :5
1. Mengurangi kerja pernapasan
2. Meningkatkan tingkat kenyamanan pasien
15
Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif
53
Penurunan perfusi pada ginjal akan mengakibatkan sekresi ADH dan aldosteron sehigga terjadi
retensi natrium dan air, dimana berujung pada eksresi urin yang menurun.1
54
Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif
55
PROSEDUR PEMASANGAN VENTILASI MEKANIK
56
Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif
Pasien dengan ventilasi mekanik membutuhkan pemantauan terus menerus terhadap efek
hemodinamik yang tidak diinginkan dan efek merugikan pada paru akibat tekanan positif di
saluran udara. Elektrokardiografi rutin, pulse oksimetri, dan monitoring tekanan intraarterial
langsung sangat berguna. Yang terakhir ini juga memungkinkan pengambilan sampel darah arteri
untuk analisis gas darah.5
Asupan cairan masuk dan keluar diperlukan untuk menilai keseimbangan cairan secara
akurat. Kateter urin sangat membantu. pemantauan vena sentral dan/ atau tekanan arteri
pulmonalis diindikasikan pada hemodinamik pasien stabil dan mereka yang dengan output urin
yang rendah. Foto polos dada setiap hari umumnya dilakukan untuk menilai TT dan posisi lini
tengah, mencari bukti barotrauma paru, membantu mengevaluasi keseimbangan cairan, dan
memantau perkembangan penyakit paru. 5
Tekanan udara saluran napas (baseline, puncak, dan rerata), VT yang dihirup dan
dihembuskan (mekanik dan spontan), dan konsentrasi fraksi oksigen harus dimonitor. Pemantauan
parameter ini tidak hanya memungkinkan penyesuaian optimal dari setting ventilator tapi
membantu mendeteksi masalah dengan TT, sirkuit bernapas, dan ventilator. Pengisapan/suction
periodik sekresi jalan napas yang tidak adekuat dan adanya gumpalan sekret yang besar pada klinis
tampak sebagai peningkatan tekanan puncak inflasi dan penurunan VT yang dihembuskan. Selain
57
itu, peningkatan mendadak tekanan puncak inflasi bersamasama dengan hipotensi tiba-tiba
kemungkinan terjadi pneumotorak. 5
PENDAHULUAN
Anestesia spinal dihasilkan dengan menginjeksikan anestetik local kedalam cairan
serebrospinal, hal ini dicapai hanya dengan punksi subaraknoid lumbal. Tergantung dosis, local
anestetik dapat menghasilkan efek anesthesia ringan sampai dengan komplit pada daerah
dermatom atau seluruh tubuh.9
Tehnik ini telah dilakukan awal abad dua puluh dan dokter dan penderita memutuskan
bukan berarti menghindari komplikasi-komplikasi anestesi umum. Setelah 1950 , penggunaan
anesthesia berkurang di AS, anesthesia umum menjadi aman dan lebih menyenangkan bagi pasien.
Pada 1975 telah dipertimbangkan bahwa faedah anestesi spinal dan epidural, memberikan
keuntungan terhadap pemakai dan tidak merupakan pilihan yang simple terhadap anestesi umum,
membuat tehnik ini penting pada penanganan penderita. 9
ANATOMI
58
Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif
Tulang Belakang
Tulang belakang terdiri dari 7 servikal, 12 torakal, 5 lumbal dan 5 tulang sacrum yang
bersatu. Vertebra terdiri dari columna dan arkus vertebra. Arkus vertebra terdiri dari dua pedikel
dianterior dan dua lamina diposterior. Pada pertemuan lamina dan pedikel terdapat procesus
transversus, dan dari pertemuan kedua lamina pada garis tengah tubuh diposterior
terdapat procesus spinosus . Lekukan pada permukaan pedikel akan membentuk foramen
intervertebralis dengan lekukan pada permukaan pedikel vertebra diatas atau dibawahnya sebagai
tempat keluar nervus spinalis.1
Medula Spinalis
Kanalis spinalis terletak didalam columna vertebralis antara foramen magnum dan hiatus
sakralis. Dianterior dibentuk oleh columna vertebra, dilateral oleh pedikel dan diposterior oleh
lamina. Medula spinalis terbentang dari batang otak sampai permukaan L1-2 pada orang dewasa.
Akhir lumbal bawah dan akar-akar saraf sacral berlanjut didalam kanalis spinalis sebagai kauda
equina. Medula spinalis dibungkus oleh tiga membran yaitu : piamater, arakhnoidmater, dan
duramater. Ketiganya membentuk tiga ruang. Ruang antara piamater yang menutup medula
spinalis dan arakhnoidmater. Ruang subarakhnoid berlanjut dari dasar kranium sampai S2 dan
terdiri dari akar saraf dan ciran serebrospinal (CSS). Ruang subarakhnoid terletak antara duramater
dan arakhnoidmater, ini merupakan ruang potensial khususnya obat-obatan yang diinjeksikan
keruang epidural atau subarakhnoid. Akibat subdural blok adalah kelemahan dan penyebaran
utama secara langsung kerah kepala.1
Ligamentum-Ligamentum
Ligamentum longitudinalis anterior dan posterior berjalan diantara aspek anterior dan
posterior columna vertebralis. Ligamentum supraspinosus membentang dari vertebra cervical 7
sampai sakrum dan mencapai ketebalan maksimum didaerah lumbal. Ligamentum
interspinosus menghubungkan dua procesus spinosus. Ligamentum flavum dikenal sebagai serat
elestik warna kuning berjalan di aspek anterior dan inferior tiap lamina vertebra kepermukaan
posterior dan superior bawah lamina dan menebal didaerah lumbal. 1
Blood Suply
Medulla spinalis mendapat suplai darah dari a. vertebral, a. servikal, a. interkostal dan a.
lumbalis. Cabang spinal ini terbagi ke dalam a. radikularis posterior dan anterior yang berjalan
59
sepanjang saraf menjangkau medulla dan membentuk pleksus arteri di dalam piameter.1
Cerebrospinal Fluid
Serabut saraf maupun medulla spinalis terendam dalam LCS yang merupakan hasil
ulktrafiltrasi dari darah dan diekskresi oleh pleksusu choroideus pada ventrikel lateral, ventrikel
III dan ventrikel IV. Produksinya konstan rata-rata 500 ml/hari tetapi sebanding dengan
absorpsinya. Volume total LCS sekitar 130-150 ml, terdiri dari 60-75 ml di ventrikel, 35-40 ml
sebagai cadangan otak dan 25-30 ml di ruang subarakhnoid. 1
Nervus Spinalis.
Nervus spinalis meninggalkan kanalis spinalis menembus kedua foramen intervertebtralis,
dan mempersarafi kulit yang dikenal sebagai dermatom. Perjalanan nervus visceral lebih
kompleks, tergantung dan sesuai dengan perekembangan akhir embrionik organ dari pada posisi
akhir dalam tubuh. Sering terjadi , tingkat anestesia untuk operasi yang dikehendaki lebih tinggi
dari perkiraan dasar yang menutupi dermatom sensoris, Contoh : anestesia visceral abdomen
bagian atas dibutuhkan paling kurang tingkat spinal T4 walaupun insisi kulit pada T6 atau lebih.
Afferen simpatik kembali dari end organ melalui pleksus prevertebra dan ganglion para vertebra
sehingga mencapai medula spinalis pada setiap tingkat. 1
Tabel 5. Tingkat Minimum Dermatom Untuk anestesi spinal (dikutip sesuai dengan aslinya dari
kepustakaan no.10)
Saraf spinalis ada 31 pasang yaitu 8 servikal, 12 thorakal, 5 lumbal, 5 sakral dan 1
koksigeal. Pada spinal anestesi, paralysis motorik mempengaruhi gerakan bermacam sendi dan
otot. Persarafan segmental ini digambarkan sebagai berikut :1
60
Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif
➢ Bahu C6-8
➢ Siku C5-8
➢ Pergelangan tangan C6-7
➢ Tangan dan jari C7-8, T1
➢ Interkostal T1-11
➢ Diafragma C3-5
➢ Abdominal T7-12
➢ Pinggul, pangkal paha fleksi L1-3
➢ Pinggul, pangkal paha ekstensi L5, S1
➢ Lutut fleksi L5, S1
➢ Lutut ekstensi L3-4
➢ Pergelangan kaki fleksi L4-5
➢ Pergelangan kaki ekstensi S1-2
Gambar 1 . Level Dermatom (dikutip sesuai dengan aslinya dari kepustakaan no.1).
Sistem Saraf Otonom
1. System saraf simpatis
Serabut saraf pregamglion meninggalkan medulla spinalis melalui radiks saraf ventralis
T1-L2. Pada bagian servikal kumpulan ganglia ini menyusun ganglia servikalis superior, media
dan stellat ganglia. Pada thorak, rangkaian simpatis ini membentuk saraf splanknikus yang
61
menembus diafragma untuk mencapai ganglia dalam pleksus koeliak dan pleksus oartikorenal1.
Didalam abdomen rangkaian simpatis ini berhubunagn dengan pleksus koeliak, pleksus aorta dan
pleksus hypogastrik. Rangkaian ini berakhir dipelvis pada permukaan anterior sacrum.
Serabut-serabut saraf post ganglionik yang tidak bermielin terdistribusi luas pada seluruh organ
yang menerima suplai saraf simpatis. Daerah viscera menerima serabut postganglionic sebagian
besar langsubg melalui cabang yang meninggalkan pleksus-pleksus besar1
Distribusi segmental saraf simpatis visceral : 1
➢ Kepala, leher dan anggota ➢ Kandung empedu dan hati,
badan atas, T1-5 T7-9
➢ Jantung, T1-5 ➢ Pankreas dan lien, T6-10
➢ Paru-paru, T2-4 ➢ Ginjal dan uereter, T10-12
➢ Oesofagus, T5-6 ➢ Kelenjar adrenal, T8-L1
➢ Lambung, T6-10 ➢ Testis dan ovarium, T10-L1
➢ Usus halus, T9-10 ➢ Kandung kemih, T11-L2
➢ Usus besar, T11-12 ➢ Prostate, T11-L1
➢ Uterus, T10-L1
2. System saraf parasimpatis
Saraf eferen dan aferen dari system saraf simpatis berjalan melalui nervus intracranial dan
nervus sakralis ke 2,3,4. Nervus vagus merupakan saraf cranial paling penting yang membawa
saraf eferen parasimpatis. Mereka dirangsanga dengan sensasi seperti lapar, mual, distensi vesika,
kontraksi uterus. Berbagai macam nyeri disalurkan melalui saraf ini seperti kolik atau nyeri
melahirkan. Nervus vagus menginervasi jantung, paru, esophagus dan traktus gastrointestinal
bagian bawah sampai ke kolon tranversum. Saraf simpatis sacral bersama saraf simpatis
didistribusikan pada usus bagian bawah kolon transversum, vesika urinaria, spincter dan organ
reproduksi1
Blokade Somatic
Dengan menghambat transmisi impuls nyeri dan menghilangkan tonus otot rangka. Blok
sensoris mengkambat stimulus nyeri somatic atau visceral sementara blok motorik menyebabkan
relaksasi otot. Efek enstetik local pada serabut asaraf bervariasi tergantung dari ukuran serabut
62
Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif
saraf tersebut dan apakah serabut tersebut bermielin atau tidak serta konsentrasi obat dan lamanya
kontak1
Blokade Otonom
Hambatan pada serabut eferen transmisi ototnom pada akar saraf spinal menimbulkan
blockade simpatis dan beberapa blok parasimpatis. Simpatis outflow berasal dari segmen
thorakolumbal sedangkan parasimpatis dari craniosacral. Serabut saraf simpatis preganglion
terdapat dari T1 sampai L2 sedangkan serabut parasimpatis preganglion keluar dari medulla
spinalis melalui serabut cranial dan sacral. Perlu diperhatikan bahwa blok subarachnoid tidak
memblok serabut saraf vagal. Selian itu blok simpatis mengakibatkan ketidakseimbangan otonom
dimana parasimpatis menjadi lebih dominant. Beberapa laporan menyebutkan bahwa bias terjadi
aritmia sampai cardiac arrest selama anestesi spinal. Hal ini terjadi karena vagotonia yaitu
peningkatan tonus parasimpatis nervus vagus. 1
EVALUASI PREOPERATIF
Pada umumnya setiap dilakukan pemeriksaan sebagaimana biasanya, evaluasi sebelum
anestesi spinal atau epidural mempertimbangkan perencanaan operatif, serta keadaan fisik pasien
dan beberapa kontraindikasi terhadap tehnik regional. 9
Pertimbangan Bedah.
Banyak operasi pada ekstremitas bawah , pelvis, abdomen bagian bawah dan perineum
dapat dilakukan dengan anestesi spinal. Operasi daerah diatas abdomen, dada, bahu dan
ekstremitas atas dapat ditangani dengan anestesi spinal dengan kesulitan yang besar. Walaupun
tempat operasi sudah teranestesi dalam banyak kasus pasien tetap merasa tidak nyaman.
Selanjutnya , efek operasi atau spinal anesthesia yang tinggi mungkin akan mempengaruhi
pernapasan, sirkulasi bahkan intubasi dan ventilasi mekanik mungkin diperlukan.9
Pemeriksaan Fisik.
Evaluasi preoperatif termasuk pemeriksaan toraks dan vertebra lumbal serta kulit disekitar
tempat penusukan jarum. Anestesi spinal lebih sulit dan mungkin kesalahan lebih banyak jika
terdapat kelainan anatomic seperti scoliosis atau keterbatasan fleksi vertebra pasien. Infeksi pada
tempat punksi menghalangi spinal anestesi. Defisit neurology yang ada sebelumnya yang
ditemukan lewat anamnesa atau dengan pemeriksaan harus dicatat untuk mencegah kesalahan
diagnosis kelainan neurology post anestesi.9
63
Kontra Indikasi.
Diantara sedikit kontra indikasi absolut anesthesia spinal adalah pasien menolak dan
infeksi pada tempat insersi jarum anestesi spinal. Juga untuk penderita yang menderita koagulopati
yang berat dan ditakutkan terjadinya hematoma epidural. Tehnik ini juga tidak diindikasikan pada
pasien-pasien dengan gangguan pembekuan., hal ini dapat dilindungi dengan pemberian heparin
sesudahnya. 9
Jika hipovolemia tidak dikoreksi sebelum anestesi spinal, penekanan saraf sympatis
menghasilkan katastropik hipotensi, juga perdarahan dan dehidrasi harus ditangani sebelum
anesthesia dilakukan. Baktemremia tidak merupakan kontra indikasi absolut terhadap anestesi
spinal, penderita dapat diberikan antibiotik, tapi tehnik ini dihindari jika pasien ditakutkan adanya
bakteremia blood borne yang dilihat pada hematoma epidural yang kecil dan membentuk abses.
Herniasi discus vertebra atau pembedahan tulang sebelumnya tidak temasuk kontra indikasi spinal
anesthesia, walaupun jaringan parut dapat menghalangi penusukan jarum yang berisi anestesi local
atau pengaruhnya terhadap peningkatan akan terjadinya trauma akar saraf. Dalam kasus ini
kekhawatiran akan terjadinya eksaserbasi sakit belakang atau radikulitis, pasien dan ahli naestesi
akan memilih anestesi umum. Walaupun sedikit bukti bahwa anestesi spinal menyebabkan
keadaan penyakit neurology bertambah jelek. Banyak yang menghindari tehnik ini bila terjadi
eksaserbasi kelainan yang ada sebelumnya pada post operasi. 9
Tabel 6. Kontra indikasi Penggunaan Anestesi (dikutip sesuai dengan aslinya dari kepustakaan
no.9)
Absolut Relative
Pasien menolak. Hypovolemia.
Cagulopathy. Sepsis.
Infeksi setempat. Kelainan neurology sebelumnya.
64
Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif
parestesia selama prosedur. Nyeri yang persisten atau parestesia dengan penusukan jarum atau
injeksi anestetik dapat menggambarkan trauma akar saraf.9
Anestesi spinal dapat dilakukan pada posisi duduk, lateral dekubitus atau posisi prone.
Walaupun posisi duduk lebih mudah untuk mendapatkan fleksi vertebra, pasien menjadi lelah
bahkan membutuhkan bantuan. Setiap melakukan tindakan tersebut operator dan asisten harus
memberitahu pasien setiap langkah yang diambil untuk mendapatkan keadaan yang stabil. Setelah
posisi ditentukan , identifikasi tempat penusukan. Pencegahan untuk menghindari infeksi termasuk
tehnik aseptic, kulit dibersihkan dengan larutan bakterisidal, penutup steril, sarung tangan dan
secara hati-hati memperhatikan indicator sterilisasi termasuk perlengkapan spinal. Untuk mncegah
kesalahan pemberian obat atau dosis, identifikasi label dan konsentrasi diperhatikan dengan hati-
hati9
Gambar 2. Posisi Lateral Decubitus untuk Anestesi Spinal (Dikutip sesuai dengan aslinya dari
kepustakaan no.9).
TEHNIK ANESTESI
Posisi lumbal punksi ditentukan sesuai dengan kesukaan penderita, letak daerah operasi
dan densitas larutan anestetik local. Vertebra lumbal difleksikan untuk melebarkan
ruang procesus spinosus dan memperluas rongga interlamina. Pada posisi prone, menempatkan
bantal dibawah panggul untuk membantu fleksi vertebra lumbal.9
65
Saat lahir medulla spinalis berkembang sampai L4, setelah umur 1 tahun medulla spinalis
berakhir pada L1-L2. Jadi blok spinal dibuat dibawah L2 untuk menghindari resiko kerusakan
medulla spinalis. Garis penghubung yang menghubungkan Krista iliaca memotong daerah
interspace L4-5 atau procesus spinosus L4. 9
Pendekatan median lebih sering digunakan. Jari tengah tangan operator non dominan
menetukan titik interspace yang dipilih, kulit yang menutupi interspace diinfiltrasi dengan anestesi
local menggunakan jarum halus. Jarum spinal ditusukkan pada garis tengah secara sagital,
mengarah ke cranial (10o) menghadap ruang interlamina. Penusukan keruang sub arachnoid
melewati kulit, jaringan sub cutan, ligamentum supraspinosus, ligamentum interspinosus dan
ligamentum flavum. Ketika ujung jarum mendekati ligamentum flavum terdapat peningkatan
tahanan disertai perasaan poping, saat itu jarum menembus duramater dengan kedalaman 4-7 cm.
Jika ujung jarum menyentuh tulang harus ditarik kembali secukupnya untuk membebaskan dari
ligametum, sebelumnya diarahkan kearah cranial atau kaudal. 9
Setelah itu stylet ditarik, CSS mengalir dari jarum secara bebas. Jika CSS bercampur darah
hendaknya dibersihkan secepatnya; kemungkinan ini jarum mengenai vena epidural. Setelah yakin
aliran CSS ahli anestesi memegang jarum dengan tangan yang bebas , dengan menahan belakang
pasien, ibu jari dan telunjuk memegang pangkal jarum, dan menghubungkan dengan spoit yang
telah berisi larutan anestetik. Aspirasi CSS untuk meyakinkan ujung jarung tetap dalam CSS.
Injeksi dengan cepat menggunakan jarum kecil memudahkan bercampurnya anestesi dengan CSS,
ini memudahkan penyebaran larutan dengan CSS dan menurunkan perbedaan densitas antara
larutan dengan CSS. Injeksi yang sangat lambat (2 atau 3 ml dalam semenit atau lebih) mengurangi
efeknya . setelah injeksi obat aspiarasi lagi CSS untuk lebih menyakinkan posisi jarum. 9
Bila pendekatan midline tidak berhasil seperti orang tua dengan kalsifikasi ligamentum
atau pasien kesulitan posisi karena keterbatasan fleksi lumbal. Jarum ditusukkan kira-kira 1-1,5
cm dilateral garis tengah pada bagian bawah procesus spinosus dari interspace yang diperlukan.
Jarum ditusukkan kearah median dan ke cephal menembus otot-otot paraspinosus. Jika jarum
mengenai tulang berarti mengenai lamina ipsilateral dan jarum diposisikan kembali ke arah
superior atau inferior masuk ruang sub arachnoid. 9
Pendekatan selain midline atau paramedian adalah pendekatan lumbosakral (taylor), yang
digunakan interspace columna vertebralis pada L5-S1. identifikasi spina iliaca posterior superior
66
Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif
dan kulit, dimulai 1 cm kemedian dan 1 cm inferior ketitik tersebut. Jarum diarahkan kemedial
dan ke superior sampai masuk ke kanalis spinalis pada midline L5-S1. 9
JARUM SPINAL
Pemilihan jarum spinal tergantung usia pasien, kebiasaan ahli anestesiologi dan biaya.
Ujung jarum quincle umumnya mempunayi bevel yang panjang yang menyatu dengan lubang.
Dapat dibagi dalam ukuran: 20G-29G; ukuran 22G dan 25G yang sering digunakan. Ujung jarum
quincle yang runcing menebus dengan mudah . untuk menjamin posisi yang tepat mengalirnya
CSS dilihat pada 4 kwadran dengan memutar jarum.9
Tidak seperti jarum dengan bevel tajam, jarum bentuk pensil mempunyai ujung berbentuk
tapering dengan lubang disamping. Untuk insersi dibutuhkan tenaga yang lebih. Contoh jarum
bentuk pensil adalah Sprotte, Whitacre dan Gertie Marx. Perbedaan antara kedua jarum tersebut
adalah ukuran dan letak lubang dilateral. Meskipun lebih mahal dari pada bevel tajam, jarum ini
kurang menyebabkan kerusakan pada duramater dan lebih sedikit mengakibatkan sakit kepala post
anesthesia spinal. 9
Penentuan jenis jarum lebih banyak ditentukan oleh usia. Walaupun harga yang lebih
mahal jarum pensil point, lebih bagus bagi penderita yang mempunyai resiko yang besar terhadap
sakit kepala post anesthesia spinal. 9
Anestetik local.
Semua anestetik local efektif untuk anesthesia spinal. Criteria yang digunakan untuk
memilih obat adalah lamanya operasi. Tetrakain dan buvipakain biasanya dipilih untuk operasi
yang lebih lama dari 1 jam dan lidokain untuk operasi-operasi yang kurang dari 1 jam, walaupun
durasi anestesi spinal tergantung pula pada penggunaan vasokonstriktor, dosis serta distribusi obat.
67
Dalam menentukan dosis yang digunakan untuk anesthesia spinal, variable individual
pasien tidak merupakan kepentingan yang besar. Pada umumnya lebih banyak anestetik local akan
menghasilkan anestesi yang lebih luas. 9
Tabel 7 . Obat-obat anestesi local untuk anesthesia spinal (dikutip sesuai dengan aslinya dari
kepustakaan no. 9)
Konsentrasi Dosis Lama (jam)
Obat (%) (mg) Tanpa Dengan
Epinefrin Epinefrin
Lidokain, hyperbarik 5 25-100 1 2
Lidokain, isobaric. 2 20-100 1,5 2–3
Tetrakain, hyperbarik. 0,5 3-15 2 2–4
Tetrakain, isobaric. 1 3-20 2-3 4–6
Tetrakain, hypobarik. 0,3 3-20 2 4–6
Bupivakain, isobaric. 0,5 5-15 2-3 4–6
Bupivakain, hyperbarik. 0,75 3-15 1,5 3–4
Vasokonstriktor.
Lamanya blok dapat ditingkatkan 1-2 jam dengan penambahan larutan vasokonstriktor
kelautan yang diinjeksikan kedalam CSS. Baik epinefrin (0,1-0,2 mg) maupun phenyleprine (1,0-
4,0 mg) memperpanjang durasi anestesi spinal. Obat-obatan tersebut menyebabkan vasokonstriksi
pembuluh darah yang mensuplay dura dan medulla spinalis, mengurangi absorbsi vascular dan
eliminasi anestetik local. Penambahan untuk mengurangi aliran darah, vasokonstriktor menekan
secara langsung efek antinoceftif terhadap medulla spinalis. 9
Opioid.
Dalam decade terakhir ini, ahli anestesi telah menggunakan opioid subarachnoid untuk
memperbaiki kwalitas dari blok sensomotoris dan untuk analgesia postoperative. Kerja narkotik
subarachnoid adalah pada reseptor opiod didalam medulla spinalis. Morpin (0,1-0,2 mg)
menghasilkan analgesia signifikan yang baik pada periode postoperative, sebagaimana Fentanyl
(25-37,5 mikrogram) dan subfentanyl (10 mikrogram) . efek samping narkotik subarachnoid
termasuk pruritus, nausea, dan depresi pernapasan. 9
68
Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif
Tabel 8 . Opioid Dalam ruang subarachnoid (Dikutip sesuai dengan aslinya dari kepustakaan no.9)
Obat Dosis. Lama kerja.
Morfin 0,1 – 0,2 mg 8 – 24 jam
Fentanyl 25 – 50 mg 1 – 2 jam
Subfentanyl 5 – 10- mg 2 – 3 jam
69
KONDUKSI ANESTESI SPINAL
Pengelolaan setelah injeksi anestesi local kedalam CSS meliputi pengamatan dan
pengobatan efek samping dan penilaian distribusi dari anestesi local. Pemberian oksigen
dan pemasangan pulse oksimetri untuk mencegah hipoksemia. Memperhatikan terus-menerus
denyut jantung untuk mendeteksi bradikardia, dan mengulangi pengukuran tekanan darah untuk
menilai adanya hipotensi. 9
Distribusi dari blok dapat diukur dengan beberapa tes. Kehilangan rasa persepsi dingin
(kapas alcohol atau es pada kulit) berhubungan dengan tingkat blok simpatis, yang dilayani oleh
dua modalitas saraf yang hampir mirip diameter dan kecepatan konduksinya. Level sensoris
diketahui dengan adanya respon terhadap goresan peniti atau garukan jari. Fungsi motorik
dilakukan dengan menyuruh pasien melakukan fleksi plantar jari kaki (S1-2), dorsofleksi kaki (L4-
5 ) , mengangkat lutut (L2-3) atau tegangan muskulus rektus abdominalis dengan mengangkat
kepala (T6-12). 9
Selama anestesi spinal tingkat blok simpatis meluas lebih tinggi dari blok sensoris dimana
dalam perluasannya lebih tinggi dari blok motoris. Besarnya derajat blok tidak berhubungan
dengan perbedaan dari snesitivitas dari berbagai macam serabut saraf , sebagai suatu pemikiran ,
tetapi dibedakan oleh konsentrasi anestatik local diantara berbagai akar saraf dan terhadap derajat
konsentrasi di dalam masing-masing akar saraf. Serbut saraf sensoris dan simpatis yang lebih
perifer lebih mudah diblok karena lebih banyak terekspose oleh keonsetrasi anestesi local dari pada
serabut saraf motorik yang lebih dalam. 9
70
Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif
Komplikasi lanjut :
72
Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif
simpatis mengakibatkan tak terhalangnya tonus parasimpatis yang berlebihan pada traktus
gastrointestinal9.
Mual dan muntah umumnnya, dapat terjadi karena :
a. Hipotensi
b. Adanya aktifitas parasimpatis yang menyebabkan peningkatan peristalyik usus
c. Tarikan nervus dan pleksus khususnya N vagus
d. Adanya empedu dalam lambungoleh karena relaksasi pylorus dan spincter ductus biliaris
e. Factor psikologis
f. Hipoksia
Penanganan :
a. Untuk menangani hipotensi : loading cairan kristaloid atau koloid 10-20 ml/kgBB
kristaloid
b. Pemberian bolus efedrin 5-10 mg IV
c. Oksigenasi yang adekuat untuk mengatasi hipoksia.
d. Dapat juga diberikan anti emetik.
e. Atropin dapat memperbaiki refleks mual dimana tekanan darah dan curah jantung telah
diperbaiki.
Paresthesia.
Parestesia dapat terjadi selama penusukan jarum spinal atau saat menginjeksikan obat
anestetik. Pasien mengeluh sakit atau terkejut singkat pada ektremitas bawah, hal ini disebabkan
jarum spinal mungkin mengenai akar saraf. Jika pasien merasakan adanya parestesia persiten atau
paresthesia saat menginjeksikan anesthetik local, jarum harus digerakkan kembali dan
ditempatkan pada interspace yang lain untuk mengcegah kerusakan yang permanen. Ada atau
tidaknya paresthesia dicatat pada status anesthesia. 9
74
Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif
Kerusakan saraf.
Trauma saraf setelah anestesi spinal adalah jarang tapi dapat terjadi akibat trauma mekanik
dan kimiawi. Kerusakan langsung pada akar saraf mungkin disebabkan oleh jarum, mengakibatkan
radikulopati dengan defisit motoris atau sensoris sepanjang distribusi akar saraf. Kerusakan ini
bisanya membaik dalam 2-12 minggu. 9
Cauda Equina Sindrom
Terjadi ketika cauda equine terluka atau tertekan. Penyebab adalah trauma dan toksisitas.
Ketika terjadi injeksi yang traumatic intraneural, diasumsikan bahwa obat yang diinjeksikan telah
memasuki LCS, bahan-bahan ini bias menjadi kontaminan sepeti deterjen atau antiseptic atau
bahan pengawet yang berlebihan. 9
Penanganan : Penggunaan obat anestesi local yang tidak neurotoksik terhadap cauda equine
merupakan salah satu pencegahan terhadap sindroma tersebut selain menghindari trauma pada
cauda equine waktu melakukan penusukan jarum spinal9
75
Meningitis
Munculnya bakteri pada ruang subarakhnoid tidak mungkin terjadi jika penanganan klinis
dilakukan dengan baik. Meningitis aseptic mungkin berhubungan dengan injeksi iritan kimiawi
dan telah dideskripsikan tetapi jarang terjadi dengan peralatan sekali pakai dan jumlah larutan
anestesi murni local yang memadai. 9
Pencegahan
1. Dapat dilakukan dengan menggunakan alat-alat dan obat-obatan yang betul-betul steril
2. Menggunakan jarum spinal sekali pakai
3. Pengobatan dengan pemberian antibiotika yang spesifik
Retensi urine.
Proses miksi tergantung dari utuhnya persarafan dari spincter uretra dan otot-otot kandung
kencing. Setelah anestesi spinal fungsi motor dan sensoris ekstremitas bawah pulih lebih cepat dari
fungsi kandung kencing, khususnya dengan obat anestesi spinal kerja cepat seperti tetracain atau
bupivacain. Lambatnya fungsi saraf pulih dapat mengakibatkan retensi urine dan distensi kandung
kencing. Untuk prosedur yang lebih lama dan pemberian cairan intravena yang banyak,
pemasangan kateter kandung kencing mencegah komplikasi ini. 9
76
Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif
Penanganan
Dapat diberikan penanganan dengan istirahat, psikologis, kompres panas pada daerah nyeri
dan analgetik antiinflamasi yang diberikan dengan benzodiazepine akan sangat berguna.9
Spinal hematom
Meski angka kejadiannnya kecil, spinal hematom merupakan bahaya besar bagi klinis
karena sering tidak mengetahui sampai terjadi kelainan neurologist yang membahayakan. Terjadi
akibat trauma jarum spinal pada pembuluh darah di medulla spinalis. Dapat secara spontan atau
ada hubungannnya dengan kelainan neoplastik. Hematom yang berkembang di kanalis spinalis
dapat menyebabkan penekanan medulla spinalis yang menyebabkan iskemik neurologist dan
paraplegi9
Tanda dan gejala tergantung pada level yang terkena, umumnya meliputi :
1. Mati rasa
2. Kelemahan otot
3. Kelainan BAB
4. Kelainan sfingter kandung kemih
5. Sakit pinggang yang berat
Factor resiko : abnormalitas medulla spinalis, kerusakan hemostasis, kateter spinal yang
tidak tepat posisinya, kelainan vesikuler, penusukan berulang-ulang. Apabila ada kecurigaan maka
pemeriksaan MRI, myelografi harus segera dilakukan dan dikonsultasikan ke ahli bedah saraf.
Banyak perbaikan neurologist pada pasien spinal hematom yang segera mendapatkan dekompresi
pembedahan (laminektomi) dalam waktu 8-12 jam9.
77
MINGGU 4
1.7 Resusitasi Jantung Paru (RJP)
TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Kognitif
Diharapkan mahasiswa mampu :
a. Memahami mekanisme sirkulasi jantung dan pernapasan
b. Mengetahui perisapan RJP
c. Mengetahui langkah-langkah RJP
2. Psikomotorik
Diharapkan mahasiswa mampu :
a. Melakukan resusitasi jantung paru
3. Afektif
Diharapkan mahasiwa mampu : Dapat melakukan bantuan hidup dasar (basic life support) pada
pasien.
Berikut adalah beberapa pertimbangan khusus untuk kasus henti jantung pada pasien
terduga atau positif COVID-19 yang terjadi di luar rumah sakit. Bergantung kepada prevalensi
lokal penyakit dan bukti persebaran di komunitas, adalah masuk akal untuk mencurigai adanya
a) Penolong awam
RJP oleh penolong yang ada di dekat pasien saat kejadian telah terbukti meningkatkan sintasan
pasien henti jantung di luar rumah sakit, dan angka sintasan tersebut menurun dengan setiap menit
ditundanya RJP dan defibrilasi. Penolong di komunitas kemungkinan besar tidak memiliki akses
terhadap APD yang cukup, dan oleh karenanya, mereka memiliki risiko lebih tinggi terpapar
COVID-19 selama RJP dibanding petugas kesehatan dengan APD mumpuni. Penolong dengan
usia tua dan memiliki komorbid seperti penyakit jantung, diabetes, hipertensi, dan penyakit
78
Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif
jantung kronik memiliki risiko tinggi jatuh ke dalam kondisi kritis bila terinfeksi SARS-CoV2.
Meskipun begitu, bila henti jantung terjadi di rumah (seperti dilaporkan pada 70% kasus henti
jantung di luar rumah sakit sebelum peraturan untuk berada di rumah saja diterapkan), penolong
Kompresi dada
1) Untuk dewasa: penolong awam direkomendasikan melakukan RJP dengan tangan saja (hands-
only CPR) ketika menemukan kasus henti jantung, jika bersedia dan mampu, terutama jika
mereka tinggal di rumah yang sama dengan korban sehingga telah terpapar dengan korban
sebelumnya. Masker wajah atau penutup kain di area mulut dan hidung yang digunakan oleh
penolong dan/ atau korban dapat menurunkan risiko penularan kepada orang sekitar yang
Untuk anak: penolong awam harus melakukan kompresi dada dan mempertimbangkan
ventilasi mulut ke mulut, jika bersedia dan mampu, mengingat tingginya kejadian henti nafas
pada anak, khususnya jika penolong tinggal di rumah yang sama dengan korban sehingga
telah terpapar dengan korban sebelumnya. Masker wajah atau penutup kain di area mulut dan
hidung yang digunakan oleh penolong dan/ atau korban dapt menurunkan resiko penularan
kepada orang sekitar yang tidak tinggal di rumah tersebut, jika penolong tidak bersedia atau
Defibrilasi
2) Karena defibrilasi bukanlah prosedur yang menghasilkan aerosol, penolong awam dapat
menggunakan automated external defibrillation (AED) jika ada untuk menolong korban henti
79
Gambar 3. Algoritma BHD pada kasus henti jantung untuk pasien terduga atau
terkonfirmasi COVID 19 (dikutip sesuai dengan aslinya dari kepustakaan no. 12)
1) Telekomunikasi (dispatch)
melakukan skrining terhadap semua telepon yang masuk terkait pasien dengan gejala COVID-
19 (demam, batuk, sesak nafas) atau telah diketahui positif COVID-19 atau memiliki kontak
dekat dengan pasien positif lainnya. Untuk penolong awam, telekomunikator harus
memberikan panduan mengenai risiko paparan terhadap COVID-19 bagi penolong dan
memberikan instruksi untuk RJP dengan kompresi dada saja seperti di atas. Untuk penolong
medis terlatih/ EMS, telekomunikator harus mengingatkan tim untuk mengenakan APD jika
80
Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif
2) Transportasi
Keluarga dan orang lain yang berkontak dengan pasien terduga atau positif COVID-19
sebaiknya tidak naik dalam kendaraan yang sama. Jika kembalinya sirkulasi spontan tidak
tercapai setelah upaya resusitasi optimal telah dilakukan di lapangan, pertimbangkan untuk
tidak membawa pasien ke RS mengingat kemungkinan selamat yang rendah, dan risiko
81
Gambar 4: Algoritma BHJL pada kasus henti jantung untuk pasien terduga atau terkonfirmasi
82
Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif
Resusitasi neonatus:
Penolong terlatih harus ada dan siap melakukan resusitasi pada seluruh bayi baru lahir terlepas
dari status COVID-19. Meskipun tidak diketahui secara pasti apakah bayi baru lahir terinfeksi
atau berpotensi menularkan ketika ibu terduga/ positif COVID-19, tenaga kesehatan harus
menggunakan APD yang adekuat. Ibu melahirkan adalah sumber aerosolisasi potensial bagi
1) Langkah awal: Pelayanan neonatus rutin dan langkah awal resusitasi neonatus kemungkinan
menempatkan bayi dalam balutan plastik, penilaian laju detak jantung, serta pemasangan
2) Suction: suction pada jalan nafas setelah lahir sebaiknya tidak dilakukan secara rutin jika
cairan amnion jernih atau terkontaminasi meconium. Suctioning merupakan prosedur yang
epinefrin, merupakan prosedur yang menghasilkan aerosol, terutama bila dilakukan dengan
pipa endotrakea tanpa cuff’ Pemberian epinefrin secara intravena dengan kateter vena
umbilikus letak rendah (low-lying umbilical venous catheter) merupakan rute administrasi
Inkubator tertutup: Pemindahan dan perawatan pasien dalam inkubator tertutup (dengan
pengaturan jarak yang sesuai) sebaiknya digunakan untuk pasien neonatus yang menjalani rawat
intensif jika memungkinkan, namun hal ini tidak melindungi mereka dari aerosolisasi virus.
83
HENTI JANTUNG PADA IBU HAMIL:
Prinsip henti jantung pada ibu hamil tidak berbeda untuk perempuan terduga/ positif COVID-19.
a) Perubahan fisiologis jantung paru pada saat kehamilan berpotensi meningkatkan risiko
dekompensasi akut pada pasien hamil dengan COVID-19 yang jatuh kritis.12
lebih awal pada algoritma resusitasi guna memberi waktu bagi tim obstetri dan neonatus untuk
menggunakan APD, bahkan jika sirkulasi spontan (ROSC) berhasil kembali dan persalinan
perimortem tidak lagi dibutuhkan untuk selamat tanpa membahayakan keselamatan penolong
— yang tentunya akan dibutuhkan untuk merawat pasien-pasien berikutnya. Ditambah dengan
COVID-19 yang sangat menular, hal ini tentunya menimbulkan tantangan tersendiri dalam
hal respon emergensi dan mungkin mempengaruhi angka morbiditas maupun mortalitas.12
1. Kognitif
Diharapkan dokter muda mampu :
a. Memahami acute medical response
84
Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif
PENDAHULUAN
Menurut Federasi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah dalam WHO – ICN
(2009) bencana adalah sebuah peristiwa, bencana yang tiba-tiba serius mengganggu fungsi dari
suatu komunitas atau masyarakat dan menyebabkan manusia, material, dan kerugian ekonomi atau
lingkungan yang melebihi kemampuan masyarakat untuk mengatasinya dengan menggunakan
sumber dayanya sendiri. Meskipun sering disebabkan oleh alam, bencana dapat pula berasal dari
manusia.11
Adapun definisi bencana menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 24 tahun 2007
tentang penanggulangan bencana yang mengatakan bahwa bencana adalah peristiwa atau
rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat
yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau non-alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan
dampak psikologis.
Fase terjadinya bencana terbagi menjadi 3 yaitu siaga darurat, tanggap darurat dan
pemulihan darurat. Fokus kegiatan pada fase siaga darurat adalah rescue artinya jauhkan
masyarakat dari hazard. Fokus kegiatan pada fase tanggap darurat adalah relief artinya pastikan
program kesehatan tetap berjalan dengan terpenuhinya persyaratan minimal. Selanjutnya fokus
kegiatan pada fase pemulihan darurat adalah rehabilitation and recontruction artinya kembalikan
program seperti semula sesuai dengan perencanaan pembangunan kesehatan daerah/nasional.
Fase tanggap darurat (emergency response). Menurut UU No 24 Tahun 2007, tanggap
darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat terjadi
bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan
dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan
pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana.
TRIAGE
Triage berasal dari bahasa prancis trier bahasa inggris triage dan diturunkan dalam bahasa
Indonesia triase yang berarti sortir. Triage adalah suatu konsep pengkajian yang cepat dan terfokus
dengan suatu cara yang memungkinkan pemanfaatan sumber daya manusia, peralatan serta
fasilitas yang paling efisien dengan tujuan untuk memilih atau menggolongkan semua pasien yang
memerlukan pertolongan dan menetapkan prioritas penanganannya.11
85
Tujuan Triage : 11
1. Mengidentifikasi kondisi mengancam nyawa.
2. Menetapkan tingkat atau derajat kegawatan yang memerlukan pertolongan kedaruratan.
JENIS TRIAGE
1. Pemilahan Pasien secara Perorangan (Single Patient Triage)
1. Emergent
Pasien-pasien dengan kategori ini merupakan prioritas pertama. Mereka harus dilihat dan
ditangani agar memproleh penanganan yang tepat dan segera. Contohnya: 11
➢ Trauma Mayor
86
Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif
2. Urgent
Sudah harus ditangani dalam hitungan jam.
pasien-pasien yang secara fisiologi stabil pada saat mereka datang, tetapi dalam resiko
pemburukan jika tidak ditangani dalam beberapa jam. Contoh: 11
➢ Spinal Injury
➢ Stroke (Cerebro Vascular Acident)
➢ Appendicitis Acuta
➢ Cholecystitis
Pasien-pasien cedera yang dapat berjalan kaki/ memiliki kondisi sakit yang ringan
termasuk dalam kategori ini. Termasuk juga pasien-pasien yang stabil secara
hemodinamik tetapi tampak cedera. Contoh: 11
➢ Laserasi kulit
➢ Kontusion
➢ Luka abrasi dan luka lainnya
➢ Fraktur tertentu dan dislokasi
➢ Demam dan kondisi medis lainnya yang termasuk kategori ini
2. Pemilahan Korban Masal yang bukan Kategori Disaster (Routine Multiple Casualty Triage)
Metode yang digunakan adalah START (Simple Triage & Rapid treatment) Prinsip dari
START adalah START bertujuan untuk mengatasi ancaman hidup yang utama, yaitu
sumbatan jalan nafas dan perdarahan arteri yang hebat. Pengkajian diarahkan pada
pemeriksaan: 11
➢ Status respirasi
➢ Sirkulasi (pengisian kapiler)
➢ Status Mental
3. Pemilahan Korban Masal dalam Kategori Disaster (Triage in Overwhelming Multiple
Casualty Incident)
87
SAVE (Secondary Assessment of Victim Endpoint)
Konsep dari SAVE ini adalah memprioritaskan para korban yang dianggap paling dapat
terselamatkan dan memiliki kondisi medis yang memerlukan penanganan segera.
Kategori triage dalam SAVE dibagi dalam tiga kategori: 11
➢ Unsalvageable (Kemungkinan mati)
➢ Immediate (Kemungkinan hidup)
➢ Delayed (Dapat ditunda penanganannya)
JENIS TRIAGE
1. Prioritas 1 atau Emergensi
➢ warna MERAH (kasus berat)
➢ Pasien dengan kondisi mengancam nyawa, memerlukan evaluasi dan intervensi segera,
perdarahan berat, pasien dibawa ke ruang resusitasi, waktu tunggu 0 (nol), seperti : 11
▪ Asfiksia, cedera cervical, cedera pada maxilla
▪ Trauma kepala dengan koma dan proses shock yang cepat
▪ Fraktur terbuka dan fraktur compound Luka bakar > 30 % / Extensive Burn
▪ Shock tipe apapun
2. Prioritas 2 atau Urgent
➢ warna KUNING (kasus sedang)
➢ Pasien dengan penyakit yang akut, mungkin membutuhkan trolley, kursi roda atau jalan
kaki, waktu tunggu 30 menit, area critical care, seperti : 11
▪ Trauma thorax non asfiksia
▪ Fraktur tertutup pada tulang panjang
▪ Luka bakar terbatas ( < 30% dari TBW )
▪ Cedera pada bagian / jaringan lunak
3. Prioritas 3 atau Non Urgent
➢ warna HIJAU (kasus ringan)
➢ Pasien yang biasanya dapat berjalan dengan masalah medis yang minimal, luka lama,
kondisi yang timbul sudah lama, area ambulatory / ruang P3, seperti : 11
▪ Minor injuries
▪ Seluruh kasus-kasus ambulant / jalan
88
Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif
4. Priority 0
PRINSIP TRIAGE
Triage adalah hal yang paling dasar yang seharusnya dimiliki anggota tim penanganan
bencana atau petugas unit gawat darurat. 11
Menurut lokasinya Triage dibagi menjadi dua, yaitu : 11
a. Triage lapangan : Triage lapangan, bisa oleh seorang first responder yang menguasai triage.
b. Triage dalam Rumah Sakit (RS) : Triage dalam Rumah Sakit dilakukan oleh perawat atau
dokter unit gawat darurat
Pentingnya triage untuk memilih siapa yang harus ditangani lebih awal dan siapa yang terakhir.
Teknik penilaian untuk Triase yang aman : 11
▪ Penilaian bahaya lingkungan
▪ Penampilan umum
▪ Airway
▪ Breathing
▪ Sirkulasi
▪ Disability
TRIAGE DALAM BENCANA
Dalam kondisi bencana atau Mass Casualties Incident (MCI), membutuhkan metode triase
cepat dan efektif. Saat ini, dua protokol triase paling umum diterima adalah SALT dan
START/JUMP START. 13
Model SALT Triage Untuk Insiden Korban Masal (Mass Casualty Incident) SALT. Triage
singkatan (sort – assess – lifesaving – interventions – treatment/transport). SALT terdiri dari dua
langkah ketika menangani korban. Hal ini termasuk triase awal korban menggunakan perintah
suara, perawatan awal yang cepat, penilaian masing-masing korban dan prioritas, dan inisiasi
89
pengobatan dan transportasi. Pendekatan Triase SALT memiliki beberapa karakteristik tambahan.
Pertama, SALT mengidentifikasi kategori expectant (hamil) yang fleksibel dan dapat diubah
berdasarkan faktor-faktor tertentu. Kedua, SALT Triage awalnya mengkategorikan luka, tapi
memberikan evaluasi sekunder untuk mengidentifikasi korban langsung. 13
Bagan Alur Triase SALT
Gambar 3. Bagian Alur Triase SALT ( Dikutip sesuai dengan aslinya dari
kepustakaan no. 13)
A. Step 1 : SORT SALT dimulai dengan menyortir pasien secara global melalui penilaian korban
secara individu. Pasien yang bisa berjalan diminta untuk berjalan ke suatu area tertentu dan
dikaji pada prioritas terakhir untuk penilaian individu. Penilaian kedua dilakukan pada korban
yang diminta untuk tetap mengikuti perintah atau di kaji kemampuan gerakan secara terarah /
gerakan bertujuan. Pada korban yang tetap diam tidak bergerak dari tempatnya dan dengan
kondisi yang mengancam nyawa yang jelas harus dinilai pertama karena pada korban tersebut
yang paling membutuhkan intervensi untuk penyelamatan nyawa. 13
90
Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif
B. Step 2 : ASSES Prioritas pertama selama penilaian individu adalah untuk memberikan
intervensi menyelamatkan nyawa. Termasuk mengendalikan perdarahan utama; membuka
jalan napas pasien, dekompresi dada pasien dengan pneumotoraks, dan menyediakan
penangkal untuk eksposur kimia. Intervensi ini diidentifikasi karena injury tersebut dapat
dilakukan dengan cepat dan dapat memiliki dampak yang signifikan pada kelangsungan hidup
pasien. Intervensi live saving yang harus diselesaikan sebelum menetapkan kategori triase dan
hanya boleh dilakukan dalam praktek lingkup responder dan jika peralatan sudah tersedia.
Setelah intervensi menyelamatkan nyawa disediakan, pasien diprioritaskan untuk pengobatan
berdasarkan ke salah satu dari lima warna-kode kategori. 13
Pasien yang mengalami luka ringan yang self-limited jika tidak diobati dan dapat mentolerir
penundaan dalam perawatan tanpa meningkatkan risiko kematian harus diprioritaskan sebagai
minimal dan harus ditunjuk dengan warna hijau. Pasien yang tidak bernapas bahkan setelah
intervensi live saving yang diprioritaskan sebagai mati dan harus diberi warna hitam. Pasien
yang tidak mematuhi perintah, atau tidak memiliki pulsa perifer, atau dalam gangguan
pernapasan, atau perdarahan besar yang tidak terkendali harus diprioritaskan immediate dan
harus ditunjuk dengan warna merah. 13
Penyedia harus mempertimbangkan apakah pasien ini memiliki cedera yang mungkin tidak
sesuai dengan kehidupan yang diberikan sumber daya yang tersedia, jika ada, maka provider
harus triase pasien sebagai expectant /hamil dan harus ditunjuk dengan warna abuabu. Para
pasien yang tersisa harus diprioritaskan sebagai delayed dan harus ditunjuk dengan warna
kuning. 13
91
Langkah pertama adalah meminta semua korban yang membutuhkan perhatian untuk
pindah ke daerah perawatan. Ini mengidentifikasi semua korban dengan luka ringan yang mampu
merespon perintah dan berjalan singkat jarak ke area pengobatan. Ini adalah GREEN kelompok
dan diidentifikasi untuk pengobatan delayed, mereka memang membutuhkan perhatian. Jika
anggota kelompok ini tidak merasa bahwa mereka yang menerima pengobatan mereka sendiri akan
menyebarkan ke rumah sakit pilihan mereka. Langkah selanjutnya menilai pernapasan. Jika
respirasi lebih besar dari 30 kali maka korban sebagai RED (Immediate), jika tidak ada reposisi
respirasi jalan napas. Jika tidak ada respirasi setelah reposisi untuk membuka jalan napas, maka
korban BLACK (mati). 13
Gambar 4 Alur Triage berdasarkan SALT ( Dikutip sesuai dengan aslinya dari kepustakaan no.
13)
92
Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif
MINGGU 5
1.9 Terapi Oksigen
1. Kognitif
Diharapkan dokter muda mampu :
Memahami indikasi pemberian oksigen
2. Psikomotorik
Diharapkan dokter muda mampu :
Melakukan pemberian terapi oksigen dan ventilasi sungkup
3. Afektif
Diharapkan dokter muda mampu :
Dapat melakukan terapi oksigen
PENDAHULUAN
Peranan oksigen dan nutrient dalam metabolisme memproduksi energi utama
untuk berlangsungnya kehidupan sangat bergantung pada fungsi paru yang menghantarkan
oksigen sampai berdifusi lewat alveoli kekapiler dan fungsi sirkulasi sebagai transporter
oksigen kejaringan.Disamping sebagai bahan bakar pembentukan energi oksigen dapat juga
dipakai sebagai terapi berbagai kondisi tertentu. Peran oksigen sebagai obat maka pemberian
oksigen juga punya indikasi, dosis, cara pemberian dan efek samping yang berbahaya. Untuk aman
dan efektifnya terapi oksigen perlu dikuasai fisiologi respirasi dan sirkulasi dan sifat sifat oksigen
itu sendiri.3
FUNGSI RESPIRASI
Tiga faktor utama yang terlibat dalam proses pernafasan yaitu ventilasi, pulmonary
blood flow dn diffusi gas antara alveoli dan darah dalam kapiler pulmonalis. Dengan perkataan
lain adanya keseimbangan antara ventilasi, perfusi dan diffusi. Tujuan dari proses ventilasi adalah
menyediakan udara segar kedalam paru untuk ditukar pada membran alveolo kapiler. Prinsip
pergerakan gas adalah karena ada perbedaan tekanan dimana gas akan bergerak dari tekanan tinggi
ketekanan rendah. 3
Dalam keadaan istirahat tekanan dalam paru sama dengan tekanan atmosfer.
Ketika inspirasi spontan dimulai akan terjadi kontraksi diafragma dan otot interkostalis eksterna
akibatnya rongga dada berkembang maka tekanan intrapulmoner jadi negatif sehingga udara
93
masuk kedalam paru. Inspirasi merupakan proses aktif yang membutuhkan energi dimana
diafragma bertanggung jawab 60% udara ventilasi waktu terlentang dan 70% waktu tegak, sedang
ekspirasi merupakan proses passif oleh karena elastisitas jaringan paru. 3
Transport Oksigen
Sistem sirkulasi bekerja sama dengan sistem respirasi dalam transport oksigen dari udara
luar ke sel mitokondria. Oksigen dalam darah diangkut dalam bentuk terikat dengan Hb dan
terlarut dalam plasma. 3
Setiap 100 cc darah yang meninggalkan kapiler paru membawa oksigen kira-kira 2o cc,
dimana hanya 3% yang dibawa terlarut dalam plasma. Oksigen diikat oleh Hb terutama oleh ion
Fe dari unit heme. Masing-masing unit heme mampu mengikat 4 molekul oksigen untuk
membentuk oksihemoglobin dimana ikatannya bersifat reversible. Setiap eritrosit mempunyai 280
juta molekul Hb, dimana setiap molekul Hb mempunyai 4 unit heme. Setiap eitrosit dapat
membawa miliaran molekul oksigen. 3
Prosentase unit heme yang mengandung okigen terikat, dikenal sebagai saturasi
hemoglobin (SaO2). Jika semua molekul Hb dalam darah penuh berisi oksigen artinya saturasinya
100%. Kebanyakan oksigen dalam tubuh (97-98)% ditransport dalam bentuk terikat dengan Hb.
Molekul Hb tersusun dalam 2 bagian dasar. Bagian protein atau globin dibuat oleh rantai
polipeptide dimana tiap rantai mengandung kelompok heme yang mengandung Fe membawa satu
molekul oksigen karena ada 4 rantai maka setiap molekul dapat mengikat 4 molekul oksigen.
Kapasitas Hb membawa oksigen setiap gram Hb dapat mengikat 1,34 cc oksigen, maka menurut
persamaan : 3
Ikatan O2 = (Hb x SaO2 x 1,34)
Bila PaO2 tinggi, seperti dalam kapiler paru oksigen berikatan dengan Hb, bila PaO2
rendah seperti dalam kapiler jaringan oksigen dilepas dari Hb. Fungsi utama sistem respirasi
adalah mempertahankan tekanan partiel O2 dan CO2 dalam darah arteri sedekat mungkin
kenormal,dalam keadaan tertentu.3
Adekuat tidaknya fungsi respirasi diukur dengan nilai PaO2 dan PaCO2 sedangkan cara
lain hanya bisa menilai tidak adekuatnya fungsi repirasi tetapi tidak menjamin adekuatnya
fungsi respirasi. Untuk dapat mengetahui kapasitas angkut oksigen dengan jelas harus diketahui
94
Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif
affinitas oksigen untuk jaringan maupun pengambilan oksigen oleh paru. Ketika eritrosit melalui
kapiler alveoli; oksigen akan berdifusi ke plasma dan meningkatkan PaO2 dan berikatan dengan
Hemoglobin. 3
Kurva dissosiasi oksihemoglobin menggambarkan hubungan antara SaO2 dan PaO2,
dimana kita dapat mengetahui sejauh mana peningkatan dan penurunan PaO2 mempengaruhi
SaO2 secara bermakna, semakin besar saturasi semakin baik mutu Hb, semakin besar volume O2
yang dapat diangkut oleh darah kejaringan. 3
Menurut Rumus :
g HbO2
SaO2 = ----------- x 100 %
Hb total
Keterangan :
- g HbO2 = Saturasi O2 x total Hb
- Volume persen O2 yang diangkut sebagai HbO2 = SaO2 x total Hb x 1,34.
- Setiap gram Hb dapat bergabung dengan 1,34 ml O2.
- Deliveri O2 = CaO2 x CO x10
- CaO2 (oxygen content dalam darah arteri) = (SaO2 xHbx1,34) + (PaO2x0,031)
- CO (cardiac output) = SV(stroke volume ) x HR (heart rate).
Dikalikan 10 karena CO dalam L sedangkan CaO2 per 100 cc darah.
Rumus diatas diperlukan untuk mencari tahu faktor mana yang perlu dikoreksi agar DO2
terpenuhi. Hubungan antara SaO2( sebagai ordinat) dan PaO2(sebagai absis) dalam satu kurve
berbantuk S disebut kurve disosiasi oxyhaemoglobine. Pada PaO2 100 mmHg maka SaO2 97%
dan bila PaO2 27 mmHg maka SaO2 50%. PaO2 27 mmHg disebut P50 artinya pada tekanan
partiel tersebut Hb mengikat O2 hanya 50%, bila P50 diatas 27 mmHg maka artinya diperlukan
PaO2 yang lebih tinggi untuk mengikat O2 dimana kurve bergeser kekanan dan sebaliknya kurve
bergeser kekiri mudah mengikat O2 tetapi sulit melepaskannya kejaringan. Setiap melihat data O2
dalam darah sebaiknya mempelajari arti point-point tertentu pada kurva disosiasi oksihemoglobin.
Point yang harus diingat pada kurva disosiasi O2 adalah :3
Penurunan PaO2 kira-kira 25 mmHg dari 95 menjadi 70 mmHg hanya mempengaruhi
sedikit perubahan pada oksihemoglobin sama artinya dengan situasi seorang mendaki ketinggian
6000 feet dari permukaan laut, atau bertambahnya umur dari 20 tahun menjadi 70 tahun, atau
95
penderita penyakit paru yang moderate. Tetapi penurunan PaO2 sebesar 25 mmHg dari 6o menjadi
35 mmHg lain halnya, akan terjadi perubahan yang serius.3
Pengikatan PaO2 diatas 90 mmHg tidak akan mempengaruhi kemampuan Hb mengangkut
O2 karena Hb cukup jenuh pada PaO2 80 mmHg. Penurunan affinitas oksigen digambarkan
dengan kurve bergeser kekanan. Sebaliknya peningkatan affinitas oksigen dengan gambran kurve
bergeser kekiri. Jika pH darah menurun (asidosis) maka kurva bergeser kekanan artinya oksigen
lebih mudah dilepas dijaringan sebaliknya bila alkalosis maka affinitas Hb tehadap oksigen
meningkat dan oksigen sukar dilepas. Disamping pH ada beberapa faktor yang mempengaruhi
kurve bergeser kekanan3:
a. Peninggian konsentrasi CO2.
b. Peninggian temperatur darah
c. Peninggian 2,3 difosfogliserat (DPG) dalam darah
Sebaliknya akan menggeser kurve kekiri dan Hb fetus dalam jumlah besar dalam darah akan
menggeser kurve kekiri juga3.
TERAPI OKSIGEN
Tujuan : Mempertahankan oksigenasi jaringan yang adekuat.sehingga metabolisme intra sellular
berjalan lancar untuk memproduksi fosfat bernergi tinggi sebagai motor kehidupan disamping
untuk terapi beberapa keadaan tertentu13.
Untuk mencapai tujuan tak cukup hanya pemberian oksigen saja tetapi harus
dikoreksi latar belakang penyebab terjadi gangguan oksigenasi mulai dari sumber
oksigen,ventilasi,diffusi perfusi sampai deliveri dan kemampuan sel menerima oksigen.
Kita ketahui bahwa rendahnya kadar O2 dalam darah disebut hipoksemia sementara rendahnya
kadar oksigen dijaringan disebut hipoksia13.
Secara praktis hipoksia dengan sebab apapun dibagi atas :
1. Hipoksi hipoksemia: Penyebabnya adalah hipoksemia yaitu kurangnya kadar O2 dalam
darah akibat gangguan mulai ventilasi, distribusi dan diffusi dalam paru. Ventilasi bisa
berupa obstruksi jalan nafas, hipoventilasi (karena faktor sentral atau perifer), diffusi
karena odem atau penebalan dinding alveoli13.
2. Hipoksi anemia : Pengangkut oksigen (Hb) kurang kwantitas/kualitas walaupun
oksigenasi baik, Transfusi adalah jalan keluarnya13.
96
Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif
97
Persiapan alat13 :
1. Sumber oksigen (tabung) atau sumber oksigen sentral, siap pakai.
2. Tabung pelembab ((humidifier).
3. Pengukur aliran oksigen (flow meter).
4. Alat pemberi oksigen tergantung metode yang dipakai
Metode pemberian oksigen13 :
A. Sistem aliran rendah:
1. Aliran rendah konsentrasi rendah (low flow low concentration)
Kateter nasal atau binasal
2. Aliran rendah konsentrasi tinggi (low flow high concentration).
- Sungkup muka sederhana (simple mask); konsentrasi O2 yang masuk tergantung
pada pola nafas dan kecepatan aliran O2.
- Sungkup muka kantong rebreating;dilengkapi dengan kantong yang menampung
aliran gas dari sumber gas atau udara kamar dan udara nafas tanpa valve sehingga
terjadi rebreathing.
- Sungkup muka kantong non rebreating, dilengkapi dengan expiratory valve (katup
ekspirasi), sehinggan tidak rebreathing.
98
Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif
Keuntungan :
Pemberian oksigen stabil dengan volume tidal dan laju nafas teratur, baik diberikan dalam
jangka waktu lama. Pasien dapat bergerak bebas, Makan minum dan Bicara. 13
Kerugian :
Dapat menyebabkan iritasi hidung dan bagian belakang telinga tempat tali binasal. FiO2
akan berkurang bila pasien bernafas dengan mulut13.
Sungkup venturi
Konsentrasi oksigen berkisar antara 25-40% tergantung kebutuhan pasien dipakai pada
pasien dengan tipe ventilasi tidak teratur, hiperkarbi dan hipoksemia sedang samapi berat. Yang
penting kita harus mengetahui berapa persen kadar oksigen yang kita berikan dengan cara apapun
dan berapa besar kebutuhan pasien3.
99
EFEK SAMPING PEMBERIAN OKSIGEN3
1. Oksigen sendiri tidak membakar tetapi adanya O2 belebihan dalam udara kamar bila
ada sumber api akan meningkatkan resiko kebakaran.
2. Hipoventilasi : Penderita COPD(PPOM) pengendalian pusat nafas sentral oleh hipoksia
(hypoxic drive) maka bila hipoksia dihilangkan tidak ada rangsangan pada pusat nafas
terjadi hipoventilasi sampai apnoe.
3. Hipoksia bisa terjadi kalau oksigen diberikan dengan tekanan tinggi secara mendadak.
4. Atelektase terjadi oleh karena pengusiran nitrogen dari alveoli akibat pemberian oksigen
konsentrasi tinggi hampir 100% dalam waktu yang lama (>24 jam).Gas nitrogen
biasanya meregang dinding alveoli.
5. Keracunan oksigen : Bisa menyeluruh dan bisa setempat. Karena pemberian O2 dengan
PaO2 > 100 torr dalam waktu lama (bervariasi untuk setiap individu), pada keadaan akut
bisa terjadi kejang dan pada keadaan kronis gejala nyeri retro sternal, parestesia, mual
dan muntah. Pada bayi prematur bisa terjadi retrolental fibroplasia karena penyempitan
pembuluh darah retina akibat fibrosis.Keracunan lokal terjadi kerusakan sel epitel kapiler
paru sehingga difusi terganggu. Pencegahan jangan memberi oksigen konsentrasi >50%
lebih dari 24 jam dan setiap pemberian oksigen konsentrasi tinggi harus dipantau PaO2.
RINGKASAN
Terapi oksigen tidak cukup hanya memberi O2 tapi harus dikoreksi latar belakang
terjadinya hipoksia dan didukung pengatahuan yang cukup mengenai faal respirasi, sirkulasi dan
sifat dari oksigen itu sendiri. Oksigen sebagai terapi haruslah dianggap sebagai obat dalam
penggunaanya harus tepat dosis, indikasi, cara pemberian dan cara mencegah/mengatasi efek
sampingnya. Dalam pemberian oksigen dosis tinggi jangan lupa pantau PaO2.
2. Mengetahui persiapan membuka jalan nafas tanpa dan dengan bantuan alat
100
Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif
2. Psikomotor
Diharapkan dokter muda mampu :
• Melakukan head tilt,chin lift, jaw thrust
• Melakukan pemasangan guedel, nasopharyngeal airway, dan intubasi
3. Afektif
Diharapkan dokter muda mampu :
Dapat melakukan tatalaksana jalan nafas pada kasus gawat darurat
102
Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif
h. Stylet
Alat ini berbentuk seperti kawat memanjang. Stylet berfungsi sevgai alat bantu untuk
memasukkan ETT. 3
i. Laryngoskop
Laringoskop merupakan alat yang kaku, digunakan untuk melihat daerah hipofaring, laring
dan memfasilitasi intubasi. 3
j. Laryngeal Mask Airway
LMA merupakan alat bantu untuk memberikan aliran ventilasi tekanan positif. LMA
digunakan pada pasien emergensi atau pasien yang sudah teranestesi, tetapi sulit diintubasi atau
tidak memungkinkan untuk dipasang sungkup muka. 3
Langkah-Langkah Penanggulangan Gawat Nafas
Jika ditemukan pasien dengan penurunan kesadaran, kesulitan bernafas (nafas cuping
hidung, retraksi dinding dada, seperti tercekik), nafas cepat melebihi normal (>35x/menit), atau
melambat (kurang dari 20 x menit), kemungkinan pasien mengalami gawat nafas atau ancaman
gagal nafas. Lakukan langkah-langkah berikut untuk pertolongannya3
Langkah 1
• Lakukan triple airway manuever (head tilt, chin lift, and jaw thrust) yang berguna untuk
membuka saluran nafas. Head tilt dapat dicapai dengan mengekstensikan kepala atau
memberikan ganjal menggunakan bantal atau kain di bahu
Langkah 2
• Pengisapan lender yang terdapat di mulut. Pengisapan ini bertujuan agar saluran nafas
terbebas dari sumbatan
• Pencegahan aspirasi. Pada pasien dengan penurunan kesadaran, sangat rentan terjadi
aspirasi, yaitu masuknya isi lambung ke dalam saluran nafas karena menurunnya reflex
batuk. Posisi tradelenburg akan menurunkan kejadian aspirasi. Cara memposisikannya
adalah tubuh pasien diletakkan datar pada posisi terlentang, kemudian kaki diletakkan lebih
tinggi dari kepala
Langkah 3
• Pasang infus
• Pertahankan posisi ekstensi
Tindakan selanjutnya :
103
a. Berikan ventilasi dan anestesi
b. Berikan obat pelemas otot
Jika cara di atas gagal → pertimbangkan langkah 4, 5, 6
Langkah 4
• Intubasi trakea. Langkah ini sulit dan traumatic sehingga lebih mudah jika diberikan
pelumpuh otot
Langkah 5
• Krikotiroidotomi, dilakukan jika alat intubasi tidak ada atau intubasi tidak mungkin
dilakukan. Caranya adalah dengan menusukkan jarum besar, misalnya no. 14, di antara
tulang rawan krikoid dan tiroid dengan tujuan untuk mencegah asfiksia
Langkah 6
• Trakeostomi bukan tindakan darurat
• Indikasi : pasien yang membutuhkan bantuan nafas jangka panjang, obstruksi saluran nafas
karena tumor/ stenosis ; operasi tumor dekat saluran nafas.
104
Modul Anestesiologi dan Terapi Intensif
DAFTAR PUSTAKA
105