Anda di halaman 1dari 6

BAB II

PEMBAHASAN

A. Ejaan

Ejaan pada hakikatnya konvensi grafis, yakni perjanjian di antara anggota


masyarakat pemakai suatu bahasa untuk menuliskan bahasa- nya. Bunyi bahasa yang
seharusnya dilafalkan diganti dengan huruf- huruf dan lambang lainnya. Ejaan mengatur
cara penulisan kata dan penulisan kalimat beserta tanda-tanda bacaannya (Chaer, 2002:36).
Dalam KBBI, ejaan diartikan sebagai sejumlah kaidah tentang cara penulisan bahasa dengan
menggunakan huruf, kata, kalimat, dan tanda baca sebagai sarananya (KBBI Daring, 2016).
Secara teknis, ejaan adalah penulisan huruf, penulisan kata, dan penggunaan tanda baca.

Ejaan berbeda dengan mengeja. Mengeja merupakan kegiatan melafalkan huruf,


suku kata, atau kata, sedangkan ejaan mengatur cara penulisan bahasa secara keseluruhan.
Aturan dalam ejaan ini harus dipatuhi agar terdapat keteraturan dan keseragaman bentuk,
khususnya dalam bahasa tulis.

1. Pengertian Ejaan

Ejaan (spelling) adalah penggambaran bunyi bahasa dengan kaidah tulis-menulis


yang distandardisasikan. Ejaan adalah aturan menuliskan bunyi ucapan dalam bahasa dengan
tanda-tanda atau lambang-lambang. Dapat juga dikatakan bahwa ejaan adalah kese- luruhan
peraturan bagaimana menggambarkan lambang-lambang bunyi ujaran dan bagaimana
interrelasi antarlambang-lambang itu (pemisahannya, penggabungannya) dalam suatu bahasa.
Ejaan memiliki tiga aspek, yakni aspek fonologis, morfologis, dan sintaksis. Aspek
fonologis menyangkut penggambaran fonem de- ngan huruf dan penyusunan abjad. Aspek
morfologis berkaitan dengan penggambaran satuan-satuan morfemis, sedangkan aspek
sintaksis menyangkut penanda ujaran berupa tanda baca atau pungtuasi (Kridalaksana,
1993:48; Herniti, 2005:6). Dalam KBBI Daring (2016) disebutkan bahwa ejaan adalah
kaidah cara meng- gambarkan bunyi-bunyi (kata, kalimat, dan sebagainya) dalam bentuk
tulisan (huruf-huruf) serta penggunaan tanda baca. Secara teknis, ejaan adalah penulisan
huruf, penulisan kata, dan pemakaian tanda baca.

Dari beberapa definisi ejaan sebagaimana diungkapkan oleh pakar di atas, dapat
dijelaskan bahwa ejaan adalah kaidah yang mengatur pelambangan bunyi ujar, tata cara
penulisan kata, penu- lisan kalimat, dan tanda bacanya.

2. Fungsi Ejaan

Ejaan berfungsi sebagai (1) landasan pembakuan tata bahasa, (2) landasan
pembakuan kosakata dan peristilahan, (3) alat penyaring masuknya unsur-unsur bahasa
lain ke dalam bahasa Indonesia, dan (4) membantu pembaca dalam memahami informasi
yang disampaikan penulis (Winarto, 2016: 251).

B. Prinsip Dasar Perubahan Ejaan Dalam Bahasa Indonesia

Perubahan ejaan dalam bahasa Indonesia memiliki prinsip dasar yang menjadi
patokannya, yakni prinsip kecermatan, prinsip kehematan, prinsip keluwesan, dan prinsip
kepraktisan (Kushartanti, 2007:84; Wahyudi, 2017: 4648). Prinsip-prinsip tersebut
dijabarkan sebagai berikut.

1. Prinsip Kecermatan
Sistem ejaan tidak boleh mengandung kontradiksi. Jika sebuah tanda
digunakan untuk melambangkan satu fonem, tanda tersebut harus selalu dipakai
seterusnya untuk menandai fonem itu. Misal- nya, tanda “n” untuk menadai fonem
/n/, maka tidak boleh diubah dengan tanda “” karena akan membingungkan
pemakai bahasa.

2. Prinsip Kehematan (Efisiensi)


Pada hakikatnya, sebuah bahasa mempunyai prinsip kehematan, yaitu satu ejaan
disusun dan disepakati untuk menghemat tenaga dan pikiran pemakai bahasa dalam
berkomunikasi. Misalnya, dalam Ejaan van Ophuijsen menggunakan vokal oe diubah
menjadi vokal u dalam sistem Ejaan Soewandi.

3. Prinsip Keluwesan
Keluwesan berarti kemampuan adaptasi terhadap perkem- bangan zaman.
Sebagaimana dipaparkan di atas bahwa perubahan ejaan terjadi pada 31 bahasa
modern sejak awal abad ke-19. Ini artinya bahwa perubahan ejaan sangat penting
dilakukan agar tidak ketinggalan zaman.

4. Prinsip Kepraktisan
Prinsip kepraktisan ini terkait dengan penggunaan tanda diakritik. Tanda
diakritik adalah tanda tambahan pada huruf yang sedikit banyak mengubah nilai
fonetis huruf itu

C. Perubahan Ejaan

Perubahan ejaan bahasa Indonesia ini dilatarbelakangi oleh dampak kemajuan ilmu
pengethuan, teknologi, dan seni yang telah menyebabkan penggunaan bahasa Indonesia
dalam berbagai ranah pemakaian, baik secara tulis maupun tulisan, menjadi semakin luas.
Di samping itu, perubahan ejaan bahasa Indonesia diperlukan karena untuk memantapkan
fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa negara juga menjadi alasan dilakukannya perubahan
(Karyati, 2016: 175).

Dalam sejarahnya, ejaanbahasa Indonesiatelahmengalamitujuhkali perubahan, yaitu


Ejaan van Ophuijsen (1901-1947), Ejaan Repoeblik/ Ejaan Soewandi (1947-1956), Ejaan
Pembaharuan (1956−1961), Ejaan Melindo (1961−1967), Ejaan Baru/Lembaga Bahasa dan
Kesusastraan (1967-1972), Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (1972−2015), dan
(2015-sekarang). Dari ketujuh perubahan tersebut, terdapat tiga sistem ejaan yang tidak
sempat diberlakukan, yaitu Ejaan pembaharuan, Ejaan Melindo, dan Ejaan LBK.

D. Perubahan EYD ke EBI

Beberapa perubahan dari EYD dan EBI sebagaimana tertuang pada lampiran
Permendiknas RI No. 46 Tahun 2009 (Pedoman Umum EYD) dan lampiran Permendikbud RI
No. 50 Tahun 2015 (PUEBI). Adanya perubahan dari EYD dan EBI berupa 20 penambahan,
10 penghilangan, 4 pengubahan, dan 2 pemindahan (Karyati, 2016: 175-185).

1. Penambahan Klausul

Berikut perincian dua puluh penambahan klausul yang terdapat pada Ejaan Bahasa
Indonesia.
a. Penambahan informasi tentang pelafalan penggunaan diakritik é dan è
b. Penambahan keterangan bahwa huruf x pada posisi awal kata diucapkan
[s].
c. Penambahan diftong ei, misalnya, pada kata survei.
d. Penambahan penjelasan unsur nama orang, yaitu yang termasuk julukan
ditulis dengan huruf kapital, misalnya, Jenderal Kancil dan Dewa Pedang.
e. Penambahan penjelasan unsur nama orang yang bermakna “anak dari‟,
seperti bin, binti, boru, dan van, tidak ditulis dengan huruf kapital.
f. Penambahan cara pembedaan unsur nama geografi yang menjadi bagian
nama diri dan nama jenis.
g. Penambahan contoh gelar lokal, misalnya, daeng, datuk, dan
tubagus.

a. Penambahan penjelasan penulisan kata atau ungkapan lain yang digunakan


sebagai penyapaan ditulis dengan huruf kapital, misalnya, “Hai, Kutu Buku,
sedang menulis apa?”
b. Penambahan catatan bahwa nama diri dalam bahasa daerah atau bahasa
asing tidak perlu ditulis dengan huruf miring.
c. Penambahan klausul bahwa huruf tebal dipakai untuk menegaskan bagian
tulisan yang sudah ditulis dengan huruf miring.
d. Penambahan contoh bagian karangan yang ditulis dengan huruf tebal.
e. Penambahan catatan bahwa imbuhan yang diserap dari unsur asing, seperti
-isme, -man, -wan, atau -wi, ditulis serangkai de- ngan bentuk dasarnya.
f. Penambahan klausul, yaitu singkatan nama diri dan gelar yang terdiri atas dua
huruf atau lebih tidak dipenggal. Selain itu juga, ditambahkan contoh dan
catatan.
g. Penambahan keterangan seperti partikel pun yang merupakan unsur kata
penghubung ditulis serangkai dan dilengkapi pula dengan contoh
pemakaiannya dalam kalimat.
h. Penambahan klausul bahwa bilangan yang digunakan sebagai unsur nama
geografi ditulis dengan huruf,, misalnya, Kelapadua, Simpanglima, dan Tigaraksa.
i. Penambahan klausul penggunaan tanda hubung antara (1) kata dengan kata
ganti Tuhan, (2) huruf dan angka, dan (3) kata ganti dengan singkatan.
j. Penambahan klausul bahwa tanda hubung digunakan untuk menandai bentuk
terikat yang menjadi objek bahasan. Misalnya, kata pasca- berasal dari bahasa
Sanskerta. Akhiran -isasi pada kata betonisasi sebaiknya diubah menjadi
pembetonan.
k. Penambahan klausul, yaitu tanda petik dipakai untuk mengapit judul sajak,
lagu, film, sinetron, artikel, naskah, atau bab buku yang dipakai dalam kalimat.
l. Penambahan klausul bahwa tanda garis miring dipakai untuk mengapit huruf,
kata, atau kelompok kata sebagai koreksi atau pengurangan atas kesalahan
atau kelebihan di dalam naskah asli yang ditulis orang lain.
m. Penambahan atau pendetailan banyak unsur serapan dari bahasa Arab.

2. Penghilangan
Berikut perincian sepuluh penghilangan klausul yang terdapat pada Ejaan Bahasa
Indonesia.

a. Penghilangan keterangan bahwa huruf k di sini melambangkan bunyi hamzah.

b. Catatan pada bagian “Gabungan Huruf Konsonan” EYD yang menyatakan bahwa
“Nama orang, badan hukum, dan nama diri yang lain ditulis sesuai dengan Ejaan
Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, kecuali jika ada pertimbangan khusus”
dihilangkan.
c. Penghilangan klausul “Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama pada kata,
seperti keterangan, catatan, dan misalnya yang didahului oleh pernyataan lengkap
dan diikuti oleh paparan yang berkaitan dengan pernyataan lengkap itu.

d. Penghilangan bagian 3c, yaitu klausul “Ungkapan asing yang telah diserap ke dalam
bahasa Indonesia penulisannya diper- lakukan sebagai kata Indonesia.

e. Penghilangan klausul bahwa bukan huruf tebal yang dipakai untuk


menegaskan,melainkan huruf miring.

f. Penghilangan klausul penggunaan huruf tebal dalam kamus.

g. Penghilanganbagian B.1.b, yaituklausul “Imbuhandirangkaikan dengan tanda hubung


jika ditambahkan pada bentuk singkatan atau kata dasar yang bukan bahasa
Indonesia.

h. Penghilangan klausul “Bentuk-bentuk terikat dari bahasa asing yang diserap ke


dalam bahasa Indonesia, seperti pro, kontra, dan anti, dapat digunakan sebagai
bentuk dasar”.

i. Penghilangan klausul “Kata tak sebagai unsur gabungan dalam peristilahan ditulis
serangkai dengan bentuk dasar yang meng- ikutinya, tetapi ditulis terpisah jika
diikuti oleh bentuk berim- buhan.

j. Penghilangan klausul “Kata ganti itu (-ku, -mu, dan –nya) dirangkaikan dengan
tanda hubung apabila digabung dengan bentuk yang berupa singkatan atau kata
yang diawali dengan huruf kapital”.

3. Perubahan

Berikut perincian empat perubahan klausul yang terdapat pada Ejaan Bahasa
Indonesia.

a. Perubahan “bukan bahasa Indonesia” menjadi “dalam bahasa daerah atau bahasa asing”
ditulis dengan huruf miring.

b. Pada Bag II.F. terdapat perubahan judul. Jika pada EYD, judul pada bagian ini ialah
“Kata Depan di, ke, dan dari”, pada PUEBI judulnya diubah menjadi “Kata Depan”

c. Perubahan klausul bahwa tanda hubung (-) dipakai untuk merangkai unsur bahasa
Indonesia dengan unsur bahasa daerah atau bahasa asing, misalnya, “di-sowan-i.

d. Perubahan klausul “Tanda kurung mengapit angka atau huruf yang memerinci satu
urutan keterangan” menjadi “Tanda kurung dipakai untuk mengapit huruf atau angka
yang digunakan sebagai penanda pemerincian”.
Dari beberapa perubahan di atas yang paling menonjol adalah adanya
penambahan diftong ei pada EBI. Pemakaian diftong ei sudah ada sejak lama,
misalnya, terdapat pada kata survei dan geiser. Namun keberadaan diftong tersebut
baru ditetapkan pada sistem ejaan EBI. Hal ini menambang deretan diftong bahasa
Indonesia, yakni diftong ai, au, oi, dan ei.

4. Pemindahan

Terdapat dua pemindahan, yakni 1) Pemindahan bagian B.2. yaitu klausul “Jika bentuk
dasarnya berupa gabungan kata, awalan atau akhiran ditulis serangkai dengan kata yang langsung
mengikuti atau mendahuluinya” ke bagian D.3. (Gabungan Kata); dan 2) Pemindahan bagian
B.3., yaitu klausul “ Jika bentuk dasar yang berupa gabungan kata mendapat awalan dan
akhiran sekaligus, unsur gabungan kata itu ditulis serangkai” ke bagian D.4. (Gabungan
Kata).

Anda mungkin juga menyukai