Anda di halaman 1dari 673

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan atas kehadirat


Tuhan Yang Maha Esa atas tersusunnya buku ajar
Pathofisiologi tentang “System Haemopoetic dan
Lymphatic” yang merupakan kumpulan dari tugas
makalah dari para mahasiswa/i angkatan 2020/2021
Program Studi D3 Rekam Medis dan Informasi Kesehatan ITSK RS Dr.
Soepraoen Kesdam V / Brawijaya Malang.
Mata kuliah Pathofisiologi termasuk dalam salah satu mata kuliah
wajib di Prodi D3-RMIK RS Dr. Soepraoen Kesdam V / Brawijaya ; hal
tersebut berhubungan erat dengan mata kuliah KKPMT ( Coding ). Dan
dimana pula salah satu profil kelulusan yang menjadi andalan dari Prodi
D3-RMIK ITSK RS Dr. Soepraoen Kesdam V / Brawijaya adalah
“Coder”. Maka seorang Coder harus bisa menelaah suatu diagnosa
yang ditulis oleh seorang DOKTER, dimana kita semua sudah
mengetahui bahwa tulisan seorang Dokter kadang kurang jelas untuk
dibaca. Maka mahasiswa/i dituntut untuk dapat menguasai mata kuliah
Pathofisiologi dengan tujuan untuk lancar dan mantap dalam melakukan
pengkodingan pada praktek kuliah lapangan ( PKL ) maupun bekerja
sebagai PMIK Coder setelah lulus.
Dalam pembuatan buku ini, telah dilakukan koreksi oleh saya
sebagai dosen pengampu Anatomi-Fisiologi-Pathofisiologi di Prodi D3-
RMIK RS Dr. Soepraoen Kesdam V / Brawijaya Malang. Terimakasih
atas kerjasama dan kerja kerasnya para mahasiswa/i angkatan
2020/2021 dalam pembuatan buku ajar Pathofisiologi ―System
Cardiovascular‖. Buku Ajar ini menjadi hadiah yang terindah dari anak –
anak bunda semua dan juga sebagai kenangan terindah buat anak –
anak bunda semua.

i
Bunda harap anak – anak tetap semangat dalam berkarya dan
dan belajar serta kerjalah setinggi mungkin cita – citamu. SUKSES buat
mahasiswa/i angkatan 2020/2021 Prodi D3-RMIK ITSK RS Dr.
Soepraoen Kesdam V / Brawijaya Malang.

Malang, 21 Agustus 2021

Dosen Pengampu MK Pathofisiologi

dr. R. A. Rengganis Ularan, MM

ii
DAFTAR ISI
Kata pengantar ........................................................ i
Daftar isi .............................................................. ii-iv
A.Sistem Hemopoetik
1. Anemia Aplastik ...................................................... 1-22
2. Anemia Mikrositik Hypochrom ............................. 23-36
3. Anemia Defisiensi Fe ........................................... 37-50
4. Allergic Purpura ................................................... 51-64
5. Anemia Hemolitik ................................................. 65-81
6. Anemia Megaloblastik ......................................... 82-92
7. Agranulocytosis ................................................. 93-105
8. Anomalies Of Leukocyte .................................. 106-117
9. Aplastic Anemias ............................................. 118-131
10. Anemia Makrositik Normokro ........................ 132-146
11. Anemia Normositik Normochrom .................. 147-158
12. Cryoglobulinaemia ......................................... 159-177
13. Elliptocytosis .................................................. 178-192
14. Familial Erythrocitosis .................................... 193-211
15. Granulocytosis ............................................... 212-227
16. Haemoglobin Pathies .................................... 228-241
17. Hypergammaglobulinemia ............................. 242-252
18. Hemophagocytic Lymphohistiocytosis .......... 253-268
19. Leukemia Limfositik Kronik ............................ 269-284
20. Leukemia Limfositik Akut .............................. 285-297
21. Leukemia Myeloblastik Akut .......................... 298-313
22. Leukemia Granulositik Kronik ........................ 314-330

iii
23. Myelofibrosis .................................................. 331-351
24. Myeloma Multiple ........................................... 351-362
25. Methaemoglobinemia .................................... 363-377
26. Paroxymal Nocturnal Hemoglobinuria ........... 378-389
27. Poikilocytosis ................................................. 390-403
28. Polisitemia Vera ............................................. 404-418
29. Spherocytosis ................................................ 419-433
30. Spherositosis Herediter ................................. 434-447
31. Syndrome Dysmielopoetik ............................. 448-468
32. Thalassaemia ................................................ 469-489
33. Thrombophilia ................................................ 490-503
B. Sistem Limfatik
1. Abscess Of Spleen .......................................... 505-518
2. Cyst Of Spleen ................................................ 519-535
3. Hypersplenism dan Hyposplenism .................. 536-553
4. Infarction Of Spleen ......................................... 554-568
5. Lymfangioma ................................................... 569-584
6. Lymphoma ....................................................... 585-601
7. Lymphangitis ................................................... 602-616
8. Lymphedema ................................................... 617-628
9. Mesentric Lymphadenitis ................................. 629-641
10. Sarkoidosis .................................................... 642-655
11. Splenomegaly ................................................ 656-669

iv
ANEMIA APLASTIK

Dosen Pengampu :
dr. R. A. Rengganis Ularan, MM

Disusun oleh :
Cinthya Mayang Berliannikita
205050

D3 RMIK
2021

1
BAB I
PENDAHULUAN

Anemia merupakan disease yang sudah sangat akrab di telinga


masyarakat umum. Tak jarang dipandang sebelah mata karena
dianggap bisa sembuh cukup dengan istirahat dan mengonsumsi
suplemen. Sayangnya tak banyak orang tahu bahwa anemia memiliki
berbagai jenis. Salah satunya Anemia Aplastik
Anemia aplastik adalah anemia disertai pansitopenia yang
disebabkan kelainan primer pada myelos (Bakta, 2006). Kelainan ini
terjadi dari pusat pembuatan cyt haeme yaitu myelos (sum sum tulang)
sehingga dapat menimbulkan berbagai disease lain. Kasus disease ini di
dunia memang terbilang cukup langka. Namun, disease ini membuat
penderitanya mengidap seumur hidup dan perlu perawatan khusus. Oleh
karena itu, penting adanya kerjasama yang baik dari petugas medis,
keluarga, serta lingkungan dalam rangkaian terapi penyakit ini. Edukasi
juga merupakan hal yang utama yang perlu diberikan pada keluarga,
guna pelaksanaan terapi dapat optimal, dapat mengurangi resiko
komplikasi, sehingga kualitas hidup pasien dapat membaik (Dharmayuda
et al., n.d.).
Dari tugas tambahan mata kuliah Anatomi, Fisiologi, dan
Pathofisiologi terkait disease ini dan melihat fakta dilapangan tersebut,
penulis tertatik untuk membahas tentang disease Anemia Aplastik ini.
Dengan harapan dapat menjadi sumber wawasan bagi para pembaca.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 . Anatomi dan Fisiologi

A. Unsur Haeme

Haeme adalalah salah satu jaringan ikat tubuh yang berwujud


cair. Memiliki fungsi penting sebagai pembawa nutrisi, oksigen, hormon,
antibodi, serta zat sisa metabolisme dari dan ke seluruh tubuh
(Handayani, 2021). Haeme terdiri dari beberapa unsur diantaranya :
a) Plasma. 90% terdiri dari air cairan berwarna kekuningan pada
haeme yang berfungsi membawa zat penting seperti hormon, protein,
sisa metabolisme dan faktor pembeku. Fungsi lainnya sebagai
penghasil zat antibodi. Jumlahnya 55% dari total haeme keseluruhan.
b) Eritrosit. berbentuk bikonkaf tanpa inti sel (dewasa). Berwarna
merah, mengandung hemoglobin, tidak dapat bergerak. Berfungsi

3
sebagai pembawa oksigen dan carbondioksida. eritrosit diproduksi
dalam myelos, hepar, dan lien. jumlah normal 5 juta/mm3.
c) Leukosit. Bentuknya berubah-ubah, dapat bergerak dengan
pseudopodia. Jenis sel nya dapat dibeadakan melalui inti sel yang
bermacam-macam. Warna utamanya bening atau tanpa warna.
Jumlahnya kurang lebih 6000-9000 / mm3. Berfungsi sebagai
pertahanan tubuh dengan membunuh dan memakan bibit
penyakit/bakteri yang masuk dalam jaringan. diproduksi pada
glandula limfatik, dan lien. keberadaanya pada sistem sirkulasi, dan
pada seluruh jaringan tubuh,
d) Trombosit. merupakan benda-benda kecil mati yang bentuk dan
ukurannya kecil dan bermacam-macam, ada yang bulat, atau lonjong
dengan warna putih. jumlah normal pada orang dewasa asalah
200.000-300.000/mm3 dan bisa lebih jika terdapat cedera. Fungsinya
sebagai peran penting koagulasi (pembekuan haeme) dibantu ion
kalsium dan fibrinogen (Wahyuningsih & Kusmiyati, 2019).

B. Hematopoiesis

4
Hematopoesis adalah proses pembentukan komponen
haeme. Prosesnya terdiri dari poliferasi, maturasi, dan
diferensiasi sel yang terjadi secara bersamaan.
- Proliferasi, melipatgandakan jumlah sel dari sel
pluripotent menjadi sejumlah sel haeme.
- Maturasi, proses pematangan sel.
- Diferensiasi, membuat sel-sel haeme yang terbentuk
memiliki sifat khusus yang berbeda-beda.

Periode yang dibuthkan dalam hematopoiesis adalah :


- Mesoblastik, dari embrio 2-10 minggu. Pada yolk sac.
- Hepatic, sejak embrio umur 6 minggu terjadi pada
hepar. Sedangkan terjadi pada Lien pada umur 12
minggu (produksi lebij sedikit). Menghasilkan Hb.
- Mieloid.sejak masa kehamilan 20 minggu. terjadi pada
myelos glandula limfoid, dan timus.

5
Sisa prosesnya terjadi seumur hidup pada myelos, hasil
utamanya HbA, granulosit, dan trombosit. sementara pada glandula
limfoid menghasilkan limfosit, dan pada timus menghasilkan limfosit
utamanya limfosit T.
Faktor-faktor pendukung hematopoiesis adalah asam amino, vitamin,
mineral, hormon, kadar oksigen, transfusi darah, dan faktor perangsang
hematopoiesis.
2.2. Definisi Anemia Aplastik
Anemia adalah kondisi tubuh yang ditandai jumlah eritrosit atau
hemoglobin kurang dari jumlah normal, sehingga tidak mampu
menjalankan fungsi untuk menyebarkan oksigen dan nutrisi bagi
viscus tubuh dengan baik (Pine & Walter, 2010). Itu merupakan
definisi anemia secara umum sementara anemia aplastik adalah
anemia disertai pansitopenia dikarenakan kegagalan myelos dalam
memproduksi komponen haeme, ditandai dengan pansitopenia
(penurunan seluruh komponen emia) karena berhentinya proses
hemopoietik (NF, 2015).
Berdasarkan Etiologinnya, Anemia Aplastik terbagi menjadi :
A. Acquired (didapat)
Anemia aplastik jenis ini disebabkan oleh
bahan kimia seperti senyawa benzena, atau karena
hipersensitivitas tubuh pada obat tertentu seperti
kloramfenikol, fenilbutazon, sulfure, mileran, atau
nitroseurea.
Infeksi juga menjadi penyebab anemia
aplastik. Infeksi dari Epstein-Bar, influenza A, dengue,
tuberkulosis, hepatitis, HIV, infeksi mikrobakterial,
pregnancy, atau sklerosis tiroid (Dharmayuda et al.,
n.d.).

6
B. Familial (genetik)
Jumlahnya tidak sebesar Acquired anemia
aplastik (idiopatik). Tetapi tetap ada penyebab anemia
aplastik dapat bersifat herediter atau diturunkan. Salah
satunya adalah pansitopenisa konstitusional Fanconi,
Pancreatic defisiency pada anak, dan gangguan
herediter pemasukan asam folat ke dalam sel.
(Dharmayuda et al., n.d.).

Berdasarkan derajat pansitopenia nya maka anemia aplastik


diklasifikasikan menjadi tidak berat, berat, dan sangat berat.

Resiko mortalitias dan morbiditas bergantung keparahan


sitopenia dari anemia aplastik, semakin parah sitopenia
semakin buruk kemungkinan. Mortalitas pada anemia aplastik
kebanyakan akibat infeksi mycosis, bakterial, atau haemorrhage.
(Dharmayuda et al., n.d.)
2.3. Patofisiologi Anemia Aplastik
Anemia aplastik adalah suatu gangguan stem cell di medula
spinalis yang dapat menimbulkan kematian. Pada keadaan ini
7
berkurangnya hemocyte dalam peripheral blood sebagai akibat
berhentinya pembentukan cyt hemopoetik dalam medulla (Wijaya &
Putri, 2013).
Anemia aplastik adalah anemia yang disertai oleh pancytopenia
atau bicytopenia pada peripheral blood yang disebabkan oleh
kelainan primer pada medulla dalam bentuk aplasia atau hipoplasia
tanpa adanya infiltrasi, supresi atau pendesakan medulla (Bakta,
2017).\

- Kerusakan Langsung Pada medulla dapat ditimbulkan oleh paparan


radiasi, benzene dan kemoterapi sitotoksik. Dampak kerusakan ini
bersifat dose-dependent dan transien pada dosis konvensional.
- Defek genetik yang dimaksud adalah defek genetik yang
menghilangkan kapasitas cyt hematopoietik untuk memperbaiki DNA
seperti pada anemia Fanconi (replication-dependent removal of
interstrand DNA cross-links) dan diskeratosis kongenital (telomere
maintenance and repair) atau defek genetik yang mengganggu jalur
diferensiasi dan self-renewal seperti pada defisiensi GATA2. Selain
itu, kegagalan medulla pada anemia aplastik dapat disebabkan pula
oleh sindrom yang mempengaruhi regulasi imun contohnya pada
mutasi cytotoxic T-lymphocyte–associated antigen 4 (CTLA-4),
defisiensi adenosin deaminase 2 (DADA2).
- Hampir sebagian besar kasus sporadis anemia aplastik tampaknya
dimediasi oleh kelainan pada imunitas. Bukti paling relevan untuk
mekanisme ini ialah adanya perbaikan hitung darah setelah
pemberian imunosupresif siklosporin. Selain itu, anemia aplastik
berhubungan pula dengan kelainan imun seperti eosinofilik fasciitis,
thymoma dan seronegatif hepatitis. Patofisiologi gangguan imun
terhadap anemia plastik diduga terletak pada cyt T sitotoksik, cyt T-
regulator, antigen histokompatibilitas dan otoantibodi. [2-5]

8
Menurut (Bakta, 2017) mekanisme terjadinya anemia aplastik
diperkirakan melalui :
a. Kerusakan sel induk (seed theory)
b. Kerusakan lingkungan mikro (soil theory)
c. Mekanisme imunologik
Symptom
a. Malaise
b. Dyspneu
c. Angina pectoris
d. Cephalgia
e. Vertigo
f. Tinnitus
g. Anoreksia
h. Nausea
i. Hyperemesis
j. Obstipasi
k. Menorrhagia
l. Hematemesis
m. Diarrhea
n. Haemorrhage

Sign
a. Palpitasi
b. Pallor
c. Stomatic ulcer
d. Throat ulcer
e. Cervical selulitis

Etiologi
A. Radiasi

9
Myeloid aplasia adalah akibat akut dari radiasi. Radiasi dapat
merusak DNA sehingga merusak stem cell dan prognitor sel.
Apabila sel hematopoietik terpapar maka terjadi anemia
aplastik. (Bakta, 2006).
Efek yang ditimbulkan bergantung intensitas paparan, dan dosis
yang diterima pasien, terkadang tidak menimbulkan dampak
pada myelos apabila paparan tidak mengenai mayoritas
myelos. Dosis <1 Sv, menimbulkan sedikit efek. Dosis 1Sv-
2,5Sv dapat mengurangi sel haeme. dan semakin ireversible
dalam dosis lebih tinggi. dan menyebabkan kematian pada
dosis 5-10 Sv, kecuali pasien mendapat transplantasi myelos.
Paparan dosis rendah jangka panjang juga beresiko
menimbulkan anemia aplastik (Dharmayuda et al., n.d.).

B. Bahan Kimia
Anemia aplastik dan acute myelositic leukemia (AML)
berhubungan erat dengan bahan kimia benzene, dan
derifatnya. Selain itu insektisida, logam berat juga berhubungan
dengan kerusakan myelos dan pansitopenia.
C. Obat-obatan
Hipersensitifitas terhadap obat dan atau kelebihan dosis juga
menyebabkan anemia aplastik. obat yang sering menyebabkan
anemia aplastik adalah kloramfenikol, fenilbutazon, senyawa
sulfur, emas, antikonvulsan, dan obat-obatan sitotoksik
(mieleran atau nitrosourea) (Young & Maciejewski, 1997).
D. Infeksi
Virus yang kerap menjadi penyebab anemia aplastik
diantaranya hepatitis, virus Epstein-Bar, HIV, dan rubella.
meski tidak langsung berhubungan dengan anemia aplastik tapi
Hepatitis menyumbang nilai tertainggi pada pansitopenia.

10
Infeksi virus menyababkan kerusakan pada myelos dengan
sitolisis hematopoiesis atau dengan autoimune sehingga stem
cell, dan sel progenitor berkurang diiringi destruksi jaringan
stroma penunjang.

E. Faktor Genetik
Disebut juga anemi aplastik konstitusional diturunkan menurut
hukum mendell. salah satunya anemia Fanconi, berupa
kelainan autosomal resesif ditandai pigmentasi coklat pada
dermal, dan hipoplasia pada myelos, hipoplasia pada radius
dan dactyl, microsephaly, retardasi mental, dan sexual, dan
kelainan pada renal dan lien (Dharmayuda et al., n.d.).

2.4. Diagnosa dan diagnosa banding Anemia Aplastik


Diagnosa
Diagnosis anemia aplastik memerlukan pendekatan
komprehensif mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik hingga
pemeriksaan penunjang, terutama pemeriksaan medulla.
a. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik penderita anemia aplastik dapat
diperoleh seperti sindrom anemia, gingivitis, retina, nares, dan
derm. Signs infeksi ditemukan adanya demam. Pembesaran
hepatomegaly. Sign anemia Fanconi, yaitu bintik Café au lait
dan postur tubuh yang pendek. Tanda dyskeratosis congenita,
yaitu ductylos yang aneh dan leukoplakia.
b. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium pasien anemia aplastik dapat
ditemukan peripheral blood (Granulosit < 500/mm3, Trombosit <

11
20.000/mm3 , dan Retikulosit < 1.0%). Pada pemeriksaan
anemia aplastik ditemukan kadar retikulosit yang sedikit atau
bahkan tidak ditemukan. Dari ketiga kriteria peripheral blood di
atas, dapat ditentukan berat tidaknya suatu anemia aplastik
yang diderita oleh pasien. Cukup dua dari tiga kriteria di atas
terpenuhi, maka individu sudah dapat digolongkan sebagai
penderita anemia aplastik berat.

2.5. Penatalaksanaan Anemia Aplastik


Kuratif dan Preventif
Tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah dan mengatasi
Anemia Aplastik ada beragam. Mulai dari pencegahan, terapi
kausal, terapi suportif, , perbaikan fungsi myelos, dan terapi
definitif yang dapat memberikan kesembuhan jangka panjang.
Pemberian setiap tindakan bergantung pada jenis anemia aplastik,
tingkat keparahan, dan kondisi tertentu pasien. Terapi kausal
diberikan untuk menyembuhkan atau mengatasi penyebab
anemia aplastik Terapi suportif diberikan dengan tujuan
mengatasi atau mengobati akibat dari pansitopenia yang terjadi.
Terapi perbaikan fungsi myelos diberikan dengan harapan dapat
memperbaiki fungsi dari myelos dengan merangsang
pertumbuhan sel myelos, sehingga pertumbuhan sel
hematopoietik juga terdorong.
Terapi definitif, dapat memberikan efek kesembuhan jangka panjang
bagi pasien. Berupa imunosupresif yang diberikan tergantung
kondisi pasien, atau transplantasi myelos. Dengan begitu
diharapkan fungsi myelos kembali normal dan hematopoietik juga
dapat berlangsung normal.

12
Tindakan preventif yang dapat di jalani yaitu dengan senantiasa
menjaga asupan nutrisi, menjaga pola hidup yang baik sehingga
tidak tertular penyakit berbahaya, memahami efek samping dari
setiap bahan kimia dan obat-obatan yang dikonsumsi, dan
menjaga kebersihan diri dan lingkungan.
Kuratif
A. Theraphy
a) Pemberian antibiotik pada efek infeksi dari disease pansitopenia
karena anemia aplastik. Berupa pemberian ampisilin, gentamisin,
atau sefalosporin generasi ketiga.
b) Pemberian kortikosteroid guna mengurangi haemorrhage pada
dermal.
c) Pemberian Anabolik Steroid (oksimetolon, atau atanozol) dengan
efek muncul pada 6-12 minggu. Diharapkan dapat merangsang
pertumbuhan myelos.
d) Pemberian Kortikosteroid dosis rendah sampai menengah
(prednison 40-100mg/hr) maksimal selama 4 minggu saja karena
efek samping yang serius. Tujuannya untuk merangsang
pertumbuhan sel myelos.
e) Pemberian GM-CSF atau G-CSF guna meningkatkan jumlah
neutrofil.
f) Pemberian anti limphocyte globuline (ALG). Merupakan salah
satu terapi penyembuhan jangka panjang dengan
immunosupresif. diberikan pada pasien usia diatas 40 tahun.
g) Pemberian methylprednisolon dosis tinggi. Juga merupakan
terapi definitif dengan efek kesembuhan jangka pajang dengan
immunosupresif.

B. Tindakan Medis
1) Melakukan stomatic higiene

13
2) Transfusi granulosit konsentrat. diberikan pada sepsis berat
infeksi bakteri gram negatif.
3) Transfusi PRC (packet red cell) jika Hb<7 g/dl.
4) Transfusi trombosit konsentrat, jika ada haemorrhage mayor atau
trombosit < 20.000/mm3.
5) Transplantasi myelos. Terapi definitif dengan harapan sembuh
tinggi, namun biayanya sangat mahal, butuh peralatan canggih,
dan sulitnya mencari donor. Dapat dilakukan dengan ketentuan :
- Usia penderita <40 Tahun
- Terlebih dahulu diberikan siklosporin A untuk atasi GvHD (graft
versus hostdisease).
- Memberikan kesembuhan jangka panjang pada 60-70% kasus.

Preventif
 Menjaga asupan nutrisi
 Menjalani pola hidup sehat
 Memahami efek samping bahan kimia atau obat-obatan yang
akan dikonsumsi
 Dan menjaga kebersihan diri dan lingkungan.

14
2.6. Penunjang medis Anemia Aplastik
Pada pemerikasaan laboratorium terhadap haeme dan myelos penderita
anemia aplastik ditemukan kelainan laboratorik berupa :
1. Anemia normokromik normositer disertai retikusitopenia
2. anemia berat, kadar Hb <7 g/dl
3. Leukopenia dengan relatif limfositosis, tidak ditemui pada sel
muda dalam periferal haeme
4. Thrombositopenia ringan hingga berat
5. Myelos : hipoplasia sampai aplasia ringan sampai berat. Karena
aplasia tidak menyebar pada normal myelos, maka hasil
pemeriksaan menunjukan normal myelos harus melakukan
pemeriksaan berulang.
6. Pemeriksaan peningkatan Fe serum, TIBC normal, HbF
meningkat
7. Complete Blood Count : Jumlah masing masing sel darah
(erotrosit, leukosit, trombosit)
8. Blood Smear (Sediaan Apusan Darah Tepi/ SADT) : ditemukan
normokromik normositer.
9. Marrow aspiration (aspirasi myelos) : menunjukkan beberapa
daerah yang kososng dan hanya sedikit hematopoiesis. sel mast
makrofag, dan limfosit lebih mencolok dibanding sel lain.
cenderung hiposelular. Anemia Aplastik berat apabila selularitas
myelos < 25% atau 50% sel hematopoiesis yang terlihat.
10. pemeriksaan Flow cytometry dan FISH (Fluorescence in Situ
Hybridation) pengambilan haeme langsung dari myelos untuk
melihat kelainan genetik dan jumlah sel.
11. Viral and Hepatic Test untuk pertimbangan bone marrow
transplantation, dan kemungkinan anemia aplastik karena
hepatitis.

15
12. Level vitamin B-12 dan Folat, memperkecil kemungkinan anemia
megaloblastik
13. Radiologis test : lebih berguna pada sindrom generative marrow
failure, Berupa gambaran khas tidak adanya elemen selular dan
lebih banyak berisi jaringan lipid.

16
BAB III
PEMBAHASAN

Gambar 3. 1 Gambar perbandingan hasil Marrow


Aspiration normal (kiri) dan hasil Marrow Aspiration
penderita Anemia Aplastik

Gambar 3. 2 Normal Haeme dengan haeme penderita


Anemia Aplastik

Gambar 3. 1 sign pada penderita Anemia Aplastik


berupa perubahan warna dermal dibandingkan
dengan orang normal

17
Haeme adalah salah satu jaringan ikat tubuh yang berwujud cair, yang
memiliki fungsi krusial sebagai pembawa nutrisi, oksigen, antibodi, serta
zat sisa metabolisme dari dan ke seluruh tubuh (Handayani, 2021).
Haeme sebagian besar diproduksi pada Marrow atau myelos sedari
embrio.
Komponen utama haeme yang dihasilkan pada myelos adalah
granulosit, eritrosit, dan trombosit. Sehingga jika dilakukan pemeriksaan
pada myelos dan dilihat di mikroskop maka myelos normal tampak
memiliki sangat banyak sel-sel tersebut. Sementara apabila marrow
aspiration menunjukan banyak ruang kosong, dan justru didominasi sel
mast, makrofag, dan limfosit (bukan sel yang sejatinya banyak dibentuk
pada myelos) dimana kadar sel hematopoiesis tidak mencapai 30%.Hal
tersebut butuh pemeriksaan lebih lanjut, karena menunjukan adanya
kelainan dalam hematopoiesis dan mengindikasikan Anemia Aplastik.
Selain Marrow Aspiration, hasil CBC (complete blood count/ tes
darah lengkap) juga menunjukkan perbedaan yang cukup mencolok.
9 9
Hb<10 g/dl, atau Hct<30%, Trombosit <50x10 /L, Leukosit < 3,5x10 /L.
Tampak jelas saat dilihat dengan mikroskop akan banyak ruang kosong
(plasma) antar sel, sehingga keberadaan monosit akan tampak lebih
menonjol.
Salah satu kondisi yang dapat membedakan orang normal
dengan penderita anemia aplastik adalah warna dermal penderita yang
cenderung menguning. Ini disebabkan karena Anemia Aplastik
berhubungan erat dengan penyakit hati yaitu hepatitis. Sehingga ada
masalah pada pemecahan haeme dan pada empedu sehingga, warna
kuning yang seharusnya dikeluarkan bersama urin justru kembali ke
darah dan menyebabkan dermal berwarna kuning.

18
BAB IV
PENUTUP

Berdasarkan makalah diatas dapat disimpulkan bahwa Anemia


Aplastik merupakan kelainan pada sistem hematopoietik pada Myelos,
yang menyebabkan pansitopenia. Penyebabnya yaitu infeksi,
hipersensitifitas pada suatu obat atau bahan kimia, terpapar radiasi, dan
kelainan bawaan (genetik). Tergolong penyakit yang masih sangat
jarang ditemukan, dan kemungkinan kasus dikarenakan faktor
pencemaran lingkungan. Pansitopenia adalah kurangnya semua
komponen haeme sehingga menyebabkan berbagai symptom atau
komplikasi lain. Terapi yang dapat diberikan ada berbagai tujuan, yaitu
terapi kausal yang menyembuhkan penyebabnya, terapi suportif untuk
menyembuhkan penyakit atau symptom yang timbul setelah anemia
aplastik, terapi perbaikan untuk mengembalikan fungsi myelos, dan
terapi definitif yang memberikan efek kesembuhan jangka panjang misal
dengan trannsplantasi myelos. Semuanya diberikan tergantung kondisi
pasien.

BAB V
19
TERMINOLOGI

1) Anemia = penurunan jumlah eritrosit, kuantitas


hemoglobin, atau packet red cell (Dorland, 2019)
 P = An- (tanpa)
 R :=-Emia (darah/ kondisi darah)
 S=-

2) Aplastic = Tidak dapat membentuk jaringan


 P = A- (Tanpa)
 R = -Plasty (pembentukan)
 PS = -ic

3) Pancytopenia = Kondisi seluruh komponen haeme dibawah


normal
 P = Pan- (semua)
 R = -Cyt/o (sel)
 S = -Penia (kondisi dibawah normal/kekurangan)

4) Stomatic = berkaitan dengan mulut


 P=-
 R = Stomat/o (mulut)
 PS = -ic

5) Dyspneu = Kesulitan bernapas


 P = Dys- (kesulitan)
 R = -Pneu(napas)
 S=-
6) Cephalgia = Sakit kepala
 P= -
20
 R = Cephal/o (kepala)
 S = -algia (nyeri)

7) Hyperemesis = Muntah-muntah
 P = Hyper- (berlebihan)
 R = -Emesis (muntah)
 S=-

8) Menoraghia = keluarnya darah menstruasi secara


berlebihan
 P= -
 R = Men/o (menstruasi)
 S = Rrhagia (aliran berlebihan)

9) Hematemesis = Muntah Darah


 P=-
 R =Hemat/o (darah)
 S = - emesis (muntah)

10) Haemorrhage = Perdarahan


 P:-
 R : Haem/o (darah)
 S : -Rrhage (aliran berlebihan)

21
DAFTAR PUSTAKA

Bakta, I. M. (2006). Hematologi klinik ringkas.


Dharmayuda, T. G., PD-KHOM, S., Pratiwi, N. M. I., & Tediantini, P. N.
(n.d.). ANEMIA APLASTIK.
Dorland, W. A. N. (2019). Kamus kedokteran dorland.
Handayani, S. (2021). Anatomi dan Fisiologi Tubuh Manusia. Media
Sains Indonesia.
NF, N. D. D. (2015). Indeks Produksi Retikulosit sebagai Diagnosis Dini
Anemia Aplastik. Jurnal Majority, 4(7), 55–60.
Pine, M., & Walter, A. W. (2010). Pancytopenia in hospitalized children: a
five-year review. Journal of Pediatric Hematology/Oncology, 32(5),
e192–e194.
Wahyuningsih, H. P., & Kusmiyati, Y. (2019). Anatomi Fisiologi: Bahan
Ajar Kebidanan.

https://patologiklinik.com/2010/06/22/hematopoiesis-pembentukan-sel-
darah/

22
Anemia Mikrositik Hypochrom

Dosen Pengampu :
dr. R. A. Rengganis Ularan, MM

Disusun Oleh :
Nafisah Yuniantoro 205100

D3 RMIK
202

23
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Anemia merupakan penurunan sel darah merah (eritrosit),
kuantitas Hemoglobin, atau volume packed red cells dalam darah
dibawah normal. Sampai saat ini anemia menjadi salah satu masalah
kesehatan di Indonesia. Menurut WHO, Indonesia memiliki prevalensi
anemia yang tinggi yakni pada anak-anak mencapai 32%, pada wanita
22% dan pada wanita hamil mencapai 30%.
Secara gambaran morfologik anemia digolongkan menjadi 3
golongan besar, yakni anemia mikrositik hypochrom, anemia normokrom
dan anemia makrositik. Anemia mikrositik hypocrhom merupakan
anemia yang ditandai dengan penurunan hemoglobin eritrosit yang tidak
proporsional dan peningkatan daerah yang pucat di bagian tengah
eritrosit (Dorland WAN Edisi 29, 2015). Sediaan darah (haeme) tepi
pada anemia mikrositik hypochromic menunjukkan sel darah
(haemocyte) yang kecil (mikrositik) dan pucat (hypochrom).

24
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Fisiologi Anemia Mikrositik Hypochrom

Didalam tubuh manusia, haeme merupakan komponen yang


penting untuk menjaga kondisi fisiologis. Karena mempunyai fungsi
utama yaitu sebagai alat transportasi dengan membawa zat-zat yang
dibutuhkan oleh sel-sel dalam tubuh, antara lain O2, CO2, zat
metabolisme, hormon, nutrisi (glukosa, vitamin dan protein) dan
elektrolit. Haeme sendiri mempunyai 2 komponen yaitu 55% plasma
haeme (berfungsi sebagai sistem penyangga untuk mempertahankan
keadaan asam-basa, melalui kandungan elektrolit yang terkandung
didalamnya) dan 45% sel-sel darah (hemocyte).
25
Hemocyte meliputi :
- Sel darah merah (Eritrosit)
Berbentuk seperti cakram/bikonkaf dan tidak memiliki
inti (nukleus). Berdiameter kira-kira 0,007 mm, tidak dapat
3
bergerak. Berjumlah sekitar 5 juta dalam 1 mm . Berwarna
kuning kemerahan (xanth erythema), karena didalam nya
mengandung suatu zat yang disebut hemoglobin, akan
bertambah merah jika didalamnya banyak mengandung O2.
Terbungkus oleh sel dengan permeabilitas tinggi. elastis dan
fleksibel.
Fungsi dari eritrosit adalah mengikat O2 dari pulmo
untuk diedarkan keseluruh jaringan tubuh dan mengikat CO 2
dari jaringan tubuh untuk dikeluarkan melalui pulmo. Sebagai
pertahanan tubuh terhadap serangan penyakit dan racun
dalam tubuh dengan perantara leukosit.

Gambar 2.1 sel darah


- Sel darah putih (Leukosit) : berperan dalam imunitas atau
pertahanan tubuh terhadap benda asing maupun
mikroorganisme. Leukosit sendiri dibagi menjadi 2 :
1. Granulosit (bernukleus kecil), terdiri atas :
- Neutrofil

26
- Eosinofil
- Basofil
2.
3.
4. Agranulosit (bernukleus besar), terdiri atas :
- Limfosit
- Monosit
- Keping darah (Trombosit) : berfungsi dalam proses pembekuan
darah, yang berperan penting untuk sistem hemostasis (proses
penghentian perdarahan secara spontan dari pembuluh darah
yang mengalami kerusakan) dalam tubuh.
2.2 Definisi Anemia Mikrositik Hypochrom
Menurut Kamus Kedokteran Dorland, (2015) anemia adalah
penurunan eritrosit, kuantitas Hemoglobin, atau volume packed red cells
dalam darah dibawah normal. Sedangkan Anemia mikrositik hypocrhom
merupakan anemia yang ditandai dengan penurunan hemoglobin
eritrosit yang tidak proporsional dan peningkatan daerah yang pucat di
bagian tengah eritrosit.
Didasarkan pada klasifikasi ukuran eritrosit, Mikrositik berarti
mempunyai ukuran yang kecil dengan diameter rata-rata <7 dan tebal
rata-rata 1.5 – 1.6 mikron. Sedangkan didasarkan pada warna eritrosit,
Hypochrom berarti eritrosit dengan keadaan konsentrasi hb kurang dari
normal (pada wanita dewasa berkisar antara 12-15 g/dL, pada pria
dewasa berkisar antara 13-17 g/dL).
2.3 Patofisiologi Anemia Mikrositik Hypochrom
Symptoms dan Sign pada Penderita
Seorang yang mengidap penyakit ini mungkin tidak melihat atau
merasakan symptom apapun pada awalnya. Namun, symptom dapat
muncul jika gangguan sudah mulai parah, yaitu pada saat tubuh
kekukarang eritrosit dan sudah memengaruhi beberapa jaringan tubuh.

27
Tanda yang bisa dirasakan denyut nadi kuat (hyperdinamik), jantung
berdebar (palpitasi) dan kuping berdengung (roaring in the ears). Gejala
umum yang dapat timbul pada anemia mikrositik hypochrom adalah :
 Sesak napas (dyspnoe) saat beraktivitas
 Sering merasakan pusing (vertigo)
 Mudah merasa lelah
 Mata berkunang-kunang (lightheadedness)
 Pada pemeriksaan fisik, dapat terlihat bahwa pasien nampak
pucat terutama di bawah kuku.
Jika merasakan salah satu symptom diatas dan tidak sembuh
dalam 2 minggu, lebih baik periksakan kedokter.
Etiologi Anemia Mikrositik Hypochrom
Sesuai dengan namanya jenis anemia ini mempunyai eritrosit
yang berukuran kecil dan berwarna pucat. Ada beberapa penyebab dari
anemia mikrositik hypochrom, yaitu :
 Berkurangnya Fe (ferum / zat besi) : penurunan Fe dalam
makanan, penyerapan Fe yang buruk dari usus. Penyakit
komplikasi yang dapat timbul seperti anemia defisiensi Fe,
anemia inflamasi dan defisiensi tembaga.
 Berkurangnya sintesis heme : keracunan logam, anemia
sideroblastik konginetal dan didapat.
 Berkurangnya sintesis globin : thalasemia dan hemoglobinopati.
2.4 Diagnosis dan diagnosa banding Anemia Mikrostik
Hypochrom
Untuk mendiagnosis Anemia Mikrositik Hypochrom biasanya
dokter akan melakukan tes pemeriksaan fisik, yaitu dengan melihat
keadaan fisik pasien secara langsung apabila terdapat tanda dari fisik
pasien yang serius maka dokter akan meminta melakukan tes penunjang
lain seperti :

28
 Complete blood count (CBC) : pemeriksaan hb, jumlah eritrosit,
ukuran eritrosit dan hitung jumlah leukosit.
 Pemeriksaan morfologi apusan darah tepi (peripheral blood
smear) : untuk melihat perubahan mikrositik atau makrositik
pada eritrosit.
Diagnosa banding :
1. Anemia penyakit kronis
2. Talasemia
3. Anemia hemolitik autoimun
4. Anemia sideroblastik
5. Spherositosis herediter
6. Kelainan hemoglobin
7. Kelainan darah
8. Keracunan logam berat
9. Infeksi cacing tambang

2.5 Penatalaksanaan Anemia Mikrostik Hypochrom


Pengobatan (Kuratif) dan Pencegahan (Preventif) dari Anemia
Mikrositik Hypochrom
Setelah dilakukan pemeriksaan fisik dan dilakukan tes
penunjang, dinyatakan oleh dokter bahwa terkena Anemia Mikrositik
Hypochrom maka butuh penangan lebih lanjut. Penanganan untuk tiap
kondisi tidak sama, tergantung pada penyebab pastinya. Sebagai contoh
anemia karena thalasemia tidak dapat disembuhkan karena kelainan
darah ini berkaitan dengan kelainan genetik seseorang.
Biasa oleh dokter akan diberikan obat, yaitu suplemen zat besi
untuk mengatasi anemia dan vitamin C untuk meningkatkan kemampuan
tubuh dalam menyerap zat besi yang masuk melalui makanan.
Karena anemia disebabkan oleh gangguan nutrisi seperti
kekurangan zat besi dan vitamin lainnya, maka sangat sekali mudah
untuk dicegah. Apalagi pada anak-anak, pencegahan dini perlu
dilakukan dengan memastikan anak mengonsumsi makanan bergizi
seimbang, ikuti saran berikut :

29
 Memberikan cukup ASI, dan MPASI yang mengandung zat besi
dan vitamin.
 Bila diberikan susu formula maka pilihlah susu formula yang
mengandung tambahan zat besi
 Pada remaja, rajinlah berolahraga makan-makanan bergizi
yang mengandung zat besi (telur, bayam, kacang-kacangnan,
daging tanpa lemak dan ikan laut), menghindari makanan cepat
saji selalu mengonsumsi vitamin dan obat tambah darah
apalagi pada remaja wanita yang sedang haid.

2.6 Penunjang medis Anemia Mikrostik Hypochrom


Anemia Mikrositik Hypochrom merupakan anemia yang
kekurangan Fe, maka dari itu hal ini bisa disebabkan oleh Anemia
Defisiensi Besi (ADB). Dalam kasus ADB terapi oral zat besi merupakan
salah satu terapi yang efektif dan paling terjangkau. Dosis rekomendasi
asupan besi untuk ADB adalah besi elemental 150-200 mg per hari.
Sediaan yang ada antara lain :
- Besi elemental (garam besi) : Dapat diberikan dengan dosis 50-
65 mg 3-4 kali sehari pada dewasa, sedangkan pada anak dapat
diberikan 3 mg/kg berat badan sebelum makan atau 5 mg/kg
berat badan setelah makan. Tablet ini harus disimpan dengan
baik, jauhkan dari jangkauan anak-anak karena satu tablet
dewasa bila digunakan untuk anak-anak dapat mengakibatkan
kematian pada anak.
- Sulfas ferrosus : merupakan terapi pilihan, diberikan 3 kali sehari
dengan dosis 325 mg yang mengandung 65 mg besi elemental.
Pemberian harus dilanjutkan sampai 2 bulan setelah diperiksa
bahwa hb membuat persediaan besi normal kembali.
- Ferrous fumarat : diberikan 2-3 kali sehari. 1 tablet mengandung
106 mg besi elemental.

30
- Ferrous glukonat : diberikan 3 kali sehari. 1 tablet mengantung
28-36 mg besi elemental.
Konsumsi zat besi oral sebaiknya dilakukan sebelum makan
agar penyerapan obat lebih baik dan diminum dengan jus jeruk sebagai
penambahan vitamin C.
Dalam terapi ini sering kali menimbulkan efek samping,
sehingga perlu edukasi tentang cara mengonsumsinya. Efek samping
yang sering timbul diantaranya :
- Mual (nausea)
- Konstipasi
- Muntah (vomiting)
- Alergi
- Sensasi seperti terbakar di daerah chest (Heartburn)
- Diare (diarrhea)

31
BAB III
PEMBAHASAN
Gambar Penyakit Anemia Mikrositik Hypochrom

Gambar 1 Perbedaan Eritrosit normal dan Penderita

Gambar 2 Macam Golongan dari Anemia

32
Gambar 1. Jika kita lihat dari kedua gambar diatas, sudah cukup terlihat
jelas perbedaan nya. Kita lihat ada eritrosit keduanya, pada eritrosit
normal terlihat ukuran yang normal pada umumnya, sedangkan pada
penderita kita bisa lihat bahwa eritrosit nya mempunyai ukuran yang
lebih kecil daripada ukuran normal dan memudar warnanya

Gambar 2. Ada 4 macam golongan anemia ada normal RBC,


Normocytic, mikrocytic dan makrocytic. Sudah diketahui bahwa anemia
adalah penyakit dengan berkurang nya sel darah merah (eritrosit) pada
darah. Pada normocytic, ukurannya normal hanya saja jumlahnya
berkurang dari jumlah pada umumnya. Mikrocytic, ukuran nya lebih kecil
dari ukuran normal serta warna merah pada eritrosit memudar dan
bervolume <80 fL (femtoliter) sedangkan makrocytic adalah kebalikan
dari mikrocytic yaitu berukuran lebih besar dari ukuran normal dan >80 fL

33
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Secara gambaran morfologik anemia digolongkan menjadi 3
golongan besar, yakni anemia mikrositik hypochrom, anemia normokrom
dan anemia makrositik. Anemia mikrositik hypocrhom merupakan
anemia yang ditandai dengan penurunan hemoglobin eritrosit yang tidak
proporsional dan peningkatan daerah yang pucat di bagian tengah
eritrosit.
Ada beberapa penyebab dari anemia mikrositik hypochrom, yaitu :
 Berkurangnya Fe (ferum / zat besi) : penurunan Fe dalam
makanan, penyerapan Fe yang buruk dari usus. Penyakit
komplikasi yang dapat timbul seperti anemia defisiensi Fe,
anemia inflamasi dan defisiensi tembaga.
 Berkurangnya sintesis heme : keracunan logam, anemia
sideroblastik konginetal dan didapat.
 Berkurangnya sintesis globin : thalasemia dan hemoglobinopati.
Symptom yang paling umum dirasakan pada penderita adalah
dypsnoe dan vertigo. Bila merasakan symptom lain yang lebih parah
disarankan untuk segera melakukan pemeriksaan kedokter supaya
dilakukan tindakan lanjut.
.

34
BAB V
TERMINOLOGI MEDIS
1. Anemia
 Prefix : an- tidak ada
 Root : mia  darah
 Suffix : -
2. Eritrosit
 Prefix : -
 Root : erythr/o  merah
Cyte  sel
 Suffix : -
3. Mikrositik
 Prefix : mikro-  ukuran kecil
 Root : cyte  sel
 Suffix : ik/ic (pseudo suffix)  tentang
4. Hypochrom
 Prefix : hyp/o  kurang dari
 Root : chromat/o  unsur warna
 Suffix : -
5. Hemoglobin
 Prefix : -
 Root : haem/o  darah
 Suffix : globin  molekul protein

35
DAFTAR PUSTAKA

Ariska, Eki Dwi. 2018. Hubungan Kadar Hemoglobin dengan Jumlah


Eritrosit pada Pasien Anemia Mikrositik Hipokromik [Diploma
Thesis]. Semarang : Universitas Muhammadiyah Semarang.
Firani, Novi Khila. 2018. Mengenali Sel-Sel Darah dan Kelainan
Darah. Malang: UB Press.
Hoffbrand A. V., Moss PAH. 2013. Kapita Selekta Hematologi.
Jakarta: EGC.
Karsinah. 2010. Asuhan Keperawatan pada Ny. S dengan Anemia di
Ruang Cempaka Rumah Sakit Umum Daerah Banyumas
[KTI]. Purwokerto: Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Kartika, Pipi Maya. 2016. Asuhan Keperawatan pada Tn. A dengan
Anemia di Ruang Rawat Inap Interne Pria Rumah Sakit Umum
Daerah dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2016 [KTI].
Padang: STIKES Perintis Padang.
Kristiana, Ruth Hanna, dkk. 2018. ―Uji Sensitivitas dan Spesifisitas
Mentzer Index, Red Distribution Width Index dan Green and
King Index terhadap Diagnosis Talasemia Beta Minor dan
Anemia Defisiensi Besi. Jurnal Kedokteran Diponegoro. 7(02):
2540-8844.
Newman, Dorland W.A. 2015. Kamus Saku Kedokteran Dorland Edisi
29. Singapura: Elsevier.
Oehadian, Amaylia. 2012. ―Pendekatan Klinis dan Diagnosis
Anemia‖. Counting Medical Education. 39(06): CDK-194.
Rahim F, Keikhaei B. 2009. ―Better Differential Diagnosis of Iron
Deficiency Anemia From Beta-thalassemia Trait. Turkish J
hematol. 26(3): 138-145.
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-
2006. Jakarta: Prima Medi

36
Anemia Defisiensi Fe

Dosen Pengampu:
dr. R. A. RengganisUlaran, M. M

Disusun Oleh:
Pingky Hana L. 205065

D3 RMIK
2021

37
BAB I

PENDAHULUAN

Latar belakang
Anemia Defisiensi Fe atau disesebut juga dengan Anemia
Defisiensi Besi (ADB) adalah kondisi seseorang yang kekurangan
hemoglobin di dalam tubuh. Hemogoblin yaitu protein yang mengandung
zat besi yang ada di dalam erytrocyte yang fungsinya untuk mengangkut
oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh. Anemia defisiensi besi di
akibatkan kurangnya zat besi yang ada di dalam darah yang digunakan
sebagai bahan utama sintesis hemoglobin. Normalnya hemoglobin pada
orang dewasa Wanita yaitu 12 mg/dL sampai 15 mg/dL sedangkan pada
orang dewasa Pria yaitu 14 mg/dL sampai 18 gr/dL.
Anemia Defisiensi Fe atau disesebut juga dengan Anemia Defisiensi
Besi (ADB) adalah konsi seseorang yang kekurangan hemoglobin di
dalam tubuh. Hemogoblin yaitu protein yang mengandung zat besi yang
ada di dalam erytrocyte yang fungsinya untuk mengangkut oksigen dari
pulmo ke seluruh tubuh. Anemia defisiensi besi di akibatkan kurangnya
zat besi yang ada di dalam haema yang digunakan sebagai bahan
utama sintesis hemoglobin. Normalnya hemoglobin pada orang dewasa
Wanita yaitu 12 mg/dL sampai 15 mg/dL sedangkan pada orang dewasa
Pria yaitu 14 mg/dL sampai 18 gr/dL. Fungsi zat besi dalam system
syaraf yaitu untuk proses mielinasi, neurotransmitter,denderiogenesis
dan metabolisme tubuh.
Jika zat besi berkurang akan mempengaruhi fungsi kognitif, tingkah laku
kan pertumbuhan bayi, zat besi juga merupakan sumber energi bagi myo
sehingga sangat mempengaruhi ketahanan fisik dan kemampuan
bekerja terutama pada usia remaja.

38
Diet yang kaya zat besi juga tidak menjamin ketersediaan zat besi di
dalam tubuh karena banyaknya zat besi yang dapat diserap sangat
tergantung dari kondisi atau makanan yang dapat menghambat maupun
yang mempercepat penyerapan besi. Pada perempuan kehilangan zat
besi sering karena menstruasi yang banyak dan lama atau kondisi
seperti tumor fibroid maupun malignan uterin. Dalam manajemen anemia
defisiensi besi pemeriksaan laboratorium berperan untuk skrining,
menegakkan diagnosis, serta memantau keberhasilan terapi.

39
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan fisiologi Anemia defisiens fe

anemia adalah suatu keadaan dimana tubuh tidak mempunyai sel


daraah merah yang cukup, anemia membuat kulit menjadi pucat, mata
berwarna kuning, dyspnea, otot melemah,usus berubah warna
,splenomegaly, hypotension, jantung berdenyut cepat dan terasa sakit.

2.2 Definisi Anemia defisiens fe


Anemia defisiens fe adalah anemia yang terjadi karena rendahnya
kadar zat besi. Dua pe tiga zat besi di tubuh ada di dalam sel darah
merah hemogoblin.Anemia defisiensi besi adalah anemia yang terjadi
akibat rendahnya kadar zat besi dalam tubuh sehingga terjadi
kekosongan persediaan cadangan besi tubuh dan menyebabkan
penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang, sehingga
pembentukan hemoglobin berkurang1,4. Dilihat dari derajat beratnya
kekurangan besi dalam tubuh maka defisiensi besi dapat dibagi
menjadi tiga tingkatan, yaitu: deplesi besi (iron depleted state)
dimana cadangan besi menurun, dicerminkan dengan penurunan
feritin serum, tetapi penyediaan besi untuk eritropoesis belum
terganggu dan pasien belum menderita anemia; eritropoesis
40
defisiensi besi (iron deficient erythropoiesis) yaitu cadangan besi
kosong, penyediaan besi untuk eritropoesis terganggu, tetapi belum
timbul anemia secara laboratorik.

Symptom Anemia Defisiensi Fe


Anak-anak dengan defisiensi besi tidak menunjukkan symptom dan
baru terdeteksi dengan skrining laboraterium yang dilakukan pada
usia 12 bulan.
Gejala Anemia defisiensi besi yaitu :
1. Koilonychias /spoon nail /kuku sendok yang artinya kuku
menjadi rapuh dan bergaris-garis vertical dan menjadi cekung
shingga mirip dengan sendok.
2. Akan terjadi atropi lidah yang menyebabkan permukaan lidah
tpak licin dan mengkilap yang disebabkan oleh hilangnya epiel
hipofaring
3. Angular cheilitis yaitu adanya peradangan pada sudut mulut
sehingga tampak seperti becak berwarna pucat keputihan.

Pemeriksaan laboraterium pada defisiensi besi yang progesif akan


terjadi pada nilai hmatologi dan biokimia. Hal ini biasanya ternjadi
dengn menurunnya simpanan besi pada jaringan. Penurunan ini
ditunjukkan dengan menurunya serum ferritin, yaitu protein yang
mengikat besi dakam tubuh sebagai cadangan. Lalu jumlah serum
besi akan mengalami penurunan kapasitas pengikat besi dari serum
(serum transferrin) akan meningkat dan saturasi transferrin akan
menurun dibawah normalnya. Dengan jumlah hemogoblin yang
semakin sedikit pada setiap sel , sel mrah menjadi semakin
berkurang atau lebih kecil, perubahan variasi ukuran sel darah merah
digantikaan oleh sel normositik dengan sel mirkositik. Pada umumnya
jumlah darah lengkap menunjukkan anemia mikrositir dengan

41
peningkatan RDW, berkurangnya RBC, WBC normal dan jumlah
platelet yang mengalami peningkatan atau normal.

2.3 Patofisiologi Anemia Defisiensi Fe


Anemia merupakan kondisi tidak normal Terjadinya anemia defisiensi
besi (ADB) sangat di tentukan oleh kemampuan absorpsi besi,
kebutuhan besi yang meningkat dan jumlah yang hilang dan harus
dicari apa etiologinya untuk mengetahui adanya anemia bisa di
lakukan pemerikasaan seperti pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratoriun yang digunakan untuk mengetahui kadar hemogoblin
(Hb) atau Packed Cell Volume (PCV) penderita anemia. Zat besi
Bersama protein (goblin) dan protopopirin punya peran yang penting
untuk pembentukan hemogoblin. Bukan hanya itu zat besi juga ada di
beberapa enzim yang berperan didalam metabolisme oksidatif,sitesis.

Faktor Utama Anemia Defisiensi Fe


Anemia defisiens fe adalah anemia yang terjadi karena rendahnya
kadar zat besi. Dua pe tiga zat besi di tubuh ada di dalam erytrocyte
hemogoblin. Faktor lain yang menyebabkan anemia besi yaitu
kebutuhan yang meningkat secara fisiologis :
1. Pertubuhan
pada pertumbuhan yang cepet yaitu saat usia 1 tahun pertama
dan masa remaja kebutuhan besi akan meningkat sehingga pada
periode ini insiden ADB juga meningkat. Pada bayi usia 1 tahun ,
berat badanya meningkat 3 kali dan masa hemogoblin dalam
siklusi mencapai 2 kali lipat dibandingkan saat baru lahir
2. Menstruasi
Menyebabkan kurang besi yang sering terjadi pada perempuan
adalah kehilangan darah lewat menstruasi
3. Kurangnya zat besi yang diserap
4. Transfusi feto-meternal

42
Kebocoran darah yang kronis kedalam sirkulasi ibu akan
menyebabkan ADB pada akhir masa fetus dan awal masa
neonatus
5. Idiopathic pulmonary hemosiderosis
Disease ini jarang terjadi. Disease ini ditandai dengan pendarahan
di pulmo yang hebat dan berulang serta adanya infiltrate pada
pulmo yang hilang timbul. Keadaan ini dapat penyebabkan kadar
Hb menurun drastis hingga 1,5 sampai 3g/dl dalam 24 jam

2.4. Diagnosis dan diagnosa banding


1. Dokter iimelakukan iipemeriksaan iifisik ii
Pemeriksaan iifisik iidilakukan iiuntuk iimenentukan iitanda klinis
iiADB, iigejala iiserta iikomplikasinya
2. Menentukan iikriteria iidan iialur iidiagnosis, iidiagnosis anemia
iiditentukan iidengan iimengukur iikadar iiHb iidalam darah
iiyaitu ii: ii
- Laki-laki ii>15 iitahun ii: iiHb ii< ii13.0 iig/dL
- Wanita iitidak iihamil ii>15 iitahun ii: iiHb ii<12.0 iig/dL
- Wanita iihamil ii: iiHb ii< ii11.0 iig/dL
- Anak ii12-14 iitahun ii: iiHb ii<12.0 iig/dL
- Anak- ii5-11 iitahun ii: iiHb<11.5 iig/dL

3. Menentukan iitipe iiAnemia ii


Anemia iidibedakan iiberdasarkan iiukuran iisel iidarah merah
iimenjadi. iiAnemia ii iimikrositik, iiAnemia iinomositik dan
iiAnemia iimakrositik iihal iiitu iidapat iidiketahui dengan
iimelakukan iipemeriksaan iiukuran iisel iidarah merah iipada
iihitungan iieritosit ii

4. Menentukan iipenyebab iiAnemia ii

43
Bil iiditemukan iianemia iimikrositik,ini iimenunjukkan iiADB
meningkat iiakan iitetapi iianemia iimikrositik iijuga iibisa
disebabkan iikarena iihal iilain. iiSehingga iibisa iidilakukan
pemeriksaan iistudi iibesi iidarah. Diagnosis iiADB iibisa
dikatakan iijika iiditemukan ii: \iSerum iiferritin iirendah, Srun
iitransferrin iimeningkat iatau iiserim iibesi iirendah. Setelah iiitu
iimenentukn ipenyebab iiADB ii

2.5. Penatalaksanaan
Pengobatan (kuratif)
Saat iipenanganan iipasien iidiberikan ii iisuplemen iijika iitidak
iidapat iimengatasi iigejala iiyang iidialami iipenderita iidengan
iicepat, iibiasanya iipada iianemia iiyang iiberat iidengan iiHb
iirendah, iimaka iidokter iidapat iimelakukan iitransfusi iisel
iidarah iimerah. iiMengonsumsi iiSuplemen iiPenambah iiZat
iiBesi. iiSuplemen iipenambah iizat iibesi iimerupakan
iipenanganan iiutama iiyang iidilakukan iidokter iiuntuk
iimemperbaiki iidefisiensi iizat iibesi iiyang iidialami iipasien.
iiUmumnya, iipasien iidiminta iimengonsumsi ii150-200 iimg
iisetiap iihari. iiNamun, iidosis iitersebut iiakan iidisesuaikan
iidokter iiberdasarkan iikadar iizat iibesi iidalam iitubuh iipasien.
iiPemberian iisuplemen iipenambah iizat iibesi iiini iibiasanya
iidilakukan iiselama iibeberapa iibulan iiuntuk iidapat
iimemperbaiki iidefisiensi iizat iibesi. iiJika iiusus iitidak iibisa
iimenyerap iizat iibesi iidengan iibaik, iipenambah iizat iibesi
iidapat iidiberikan iimelalui iiinfus.

Pencegahan (kuratif)
berapa iipenjelasan iilain iiuntuk iimencegah iitubuh kekurangan
iizat iibesi iiatau iianemia iidefisiensi iibesi iiyaitu Mengonsumsi

44
iiMakanan iiMengandung iiZat iiBesi iiSecara Rutin ii, iiMakanan
iiyang iikaya iizat iibesi iitermasuk iidaging, sayuran, iidan iibiji-
bijian iiseperti iisereal iiyang iidiperkaya zat iibesi. iimengonsumsi
iimakanan iiatau iiminuman iiyang mengandung iivitamin iiC
iiuntuk iimembantu iitubuh iidalam menyerap iizat iibesi

2.6 Penunjang medis Anemia Defisiensi Fe


Dengan terapi seperti terapi kausal yaitu terapi terhadap
penyebab pendarahan. Contohnya cacing tambang, menorrhagia. Ini
bisa membuat anemia kambuh kembali. Selain itu bisa memberikan
peparat besi yang bertujuan mengganti kekurangan besi dalam tubuh ini
bisa dilakukan dengan terapi oral selain murah terapi oral juga aman,
terapi ini harusnya dilakukan saat lambung kosong atau sebelum makan.
Efek samping dari terapi ini yaitu gangguan pada gastrointestinal seperti
mual dan muntah , hal ini bisa membuat pasien tidak rutin melakukan
terapi. Untuk mengurangi efek samping terapi ini bisa memberikan
preparate besi setelah makan atau dosis pemberian preparate dikurangi
cara lain yaitu melakukan diet yang banyak mengandung hati dan daging
yang mengandung banyak besi.Selain terpi besi oral, terapi besi
parenteral juga efektef namun lebih beresiko dan lebih mahal. Atau bisa
juga dengan diet makanan yang bergizi dengan protrin yang tinggi
terutama protein hewani, Vitamin C di berikan 3 x 100 mg per hari yang
bertujuan meningkatkan protoporfirin eritosit, reseptor transferrin serum
dan sumsum tulang.

45
BAB III
PEMBAHASAN

Gambar 3.1 Anemia Defisiensi Fe normal

Gambar 3.2 Anemia Defisiensi Fe yang mengalami infeksi

Gambar 3.3 Anemia Defisiensi Fe yang mengalami infeksi

46
Anemia defisiensi besi apat terjadi apabila tubuh tidak
mengandung zat besi dalam jumlah yang cukup untuk memproduksi
hemoglobin. Kondisi kekurangan zat besi yang berdampak pada
penurunan jumlah hemoglobin dapat dihubungkan dengan penurunan
fungsi kepintaran, perubahan tingkah laku, tumbuh kembang yang
terlambat, dan gangguan daya tahan tubuh pada anak.
Ketidakmampuan penyerapan zat besi oleh tubuh juga dapat
menyebabkan anemia. Zat besi dari makanan diserap ke aliran darah
melalui usus halus. Adanya gangguan atau penyakit usus tertentu, yang
memengaruhi kemampuan usus dalam mengabsorpsi zat gizi dari
makanan yang sudah dicerna, pada akhirnya dapat menyebabkan
anemia defisiensi besi.

47
BAB IV

PENUTUP

Anemia Defisiensi Fe atau disa disebut anemia defisiensi besi


adalah anemia yang kadar zat besi didakam tubuh lebih rendah dari
normalnya untuk sintesis hemogloin sehingga menyebabkan
kekosongan pada cadangan besi di dalam tubuh. Anemia defisiensi fe
yaitu anemia yang sering ditemukan, baik di Rumah Sakit atau di
lingkungkungan sekitar. Anemia ini disebabkan oleh pedarahan yang
terjadi secara terus menerus, kurangnya masukan besi didalam
tubuh,ganguan absorpsi dan akibat kebutuhan yang meningkat. Gejala
anemia defisiensi yaitu denyut nadi yang kuat, jantung terasa berdebar
dan roaring in the ears. Unruk mengetahui anemia defisiensi fe ini
dilkakukan anamnesis,pemeriksaan fisik,pemeriksaan penunjang

48
BAB V
TERMINOLOGI

1. HEMOPHAGOCYTIC
Preffix : -
Root : haem/o (darah), phag/o (membunuh)
Pseudo suffix : ic
Arti : kemampuan darah unttuk memakan sel lain

2. ANEMIA
Preffix : an
suffix : emia (kondisi darah)
root : -
arti : kurangnya sel darah merah

3. LEUKIMIA
Preffix : -
Suffix : emia (kondisi darah)
Root : leuk/o (sel darah putih)
Arti : (kangker darah)

49
DAFTAR PUSTAKA

Saputri I, Fitriani S.2018.Anemia Defisimsi besi. Jurnal Averrous


Vol.4 No.2
https://ojs.unimal.ac.id/averrous/article/download/1033/552

Tjiptaningrum A, Amalia A.2016. Diagnosis dan Tatalaksana


Anemia Defisiensi Besi.Vol.5.No.5
http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/
view/944

Yasa Sutirta IWP, Dkk,2014. Diagnosis Laboratorik Anemia


Defisiensi Besi. Denpasar.
https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/download/7719
/5808

Yanto S, Antoni, Dkk(2016) .Fistula Arteriovenosa Untuk


Hemodialisis Pada Penderita Gagal Ginjal Kronis.
http://ejournal.ukrida.ac.id/ojs/index.php/Meditek/article/do
wnload/1645/1747

50
ALLERGIC PURPURA

Dosen Pengampu :

Dr.R.A. Rengganis Ularan, MM

Disusun Oleh :

Nofita Aizzatul N 205020

Khuril Aini Lutfiah 205058

Muhammad Qithmir A.S 205098

D3 RMIK

2021

51
BAB I

PENDAHULUAN

Allergic purpura atau Henoch Schonlein Purpura (HSP) atau


Vasculitis Imunoglobulin A (IgAV). Purpura Henoch-Sconlein (PHS)
adalah suatu vasculitis sitemik yang paling umum terjadi pada anak-
anak terutama mengenai derma, enter, arth dan nepro. Insiden HSP
pada anak-anak adalah sekitar 6-22 per 100.000 orang per tahun
yang lebih tinggi daripada orang dewasa (3.4-14.3 per 100.000
orang per tahun) (Lei dkk., 2018).
Berdasarkan prevalensinya anak laki-laki lebih sering terkena
daripada perempuan dengan usia rata-rata pasien allergic purpura
adalah 6 tahun; 75% pasien berusia di bawah 8 tahun dan 90%
berusia kurang dari 10 tahun (Chen dkk., 2013).
Meskipun banyak antigen, seperti makanan, agen infeksi, obat-
obatan, vaksinasi, dan gigitan serangga telah dilaporkan terkait
dengan PHS, etiologi dan patogenesis pasti penyakit ini belum jelas
diketahui. Saat ini PHS dianggap sebagai inflamasi dan diseases
yang dimediasi oleh imun. IgA dan beberapa sitokin proinflamasi
lainnya memiliki peran penting dalam patogenesis PHS (Chen dkk.,
2013).
Karakteristik klinis yang khas pada PHS adalah purpura yang
dapat diraba, abdominal pain dan arthritis (Chen dkk., 2013).
Purpura sebagian besar terdeteksi di ekstremitas bawah, tetapi
purpura di ekstremitas atas lebih sering diamati pada orang dewasa
daripada anak-anak. Keterlibatan arth lebih jarang terjadi pada
orang dewasa. Pola yang paling sering diamati adalah oligoarthritis
yang memengaruhi arth atau patela (Kang dkk., 2014).

52
Awal keterlibatan nepro terjadi pada 79,2% orang dewasa dan
30,4% anak-anak (Kang dkk., 2014). Pada 20–55% anak-anak
dengan HSP biasanya gejala nepro akan timbul dalam 1-3 bulan.
Nefritis Henoch-Schonlein (NHS) berkembang ketika parenkim
nepro sudah terkena dan NHS merupakan penyebab utama
morbiditas dari penyakit ini (Hetland dkk., 2017).
Allergic Purpura atau HSP biasanya merupakan penyakit anak-
anak antara usia 3 dan 10 tahun. Meskipun kasus dewasa telah
dijelaskan, 50% dari semua kasus terjadi pada atau sebelum usia 5
tahun. Laki-laki terkena dua kali lebih sering daripada perempuan.
Di Amerika Utara, Kaukasia memiliki insiden tertinggi, dan Afrika,
Amerika memiliki insiden terendah. Meskipun penyebab HSP tidak
diketahui, biasanya mengikuti ISPA. Akibatnya, penyakit ini lebih
sering terjadi pada bulan Januari hingga Maret.
Insiden keseluruhan pada anak-anak telah diperkirakan menjadi
13,5 kasus per 100.000. Pada tahun 2002, sebuah survei diterbitkan
pada frekuensi dan variasi etnis vaskulitis masa kanak-kanak
sindrom. Survei telah dikirim setiap bulan ke subspesialis dan dokter
keluarga di Inggris selama 3 tahun. Hasil survei mengungkapkan
bahwa kejadian HSP lebih tinggi
dari perkiraan sebelumnya, pada 22,1 kasus per 100.000 penduduk.
Insiden sebenarnya mungkin diremehkan karena kasus sering tidak
dilaporkan ke lembaga kesehatan masyarakat.

53
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI

Sistem kardiovaskuler pada prinsipnya terdiri dari cardio, vessel


dan saluran limfe. Sistem ini berfungsi untuk mengangkut O2, nutrisi
dan zat – zat lain untuk didistribusikan ke seluruh tubuh. Vessel
terletak di seluruh tubuh, dan tujuan utamanya adalah transportasi.
Vessel mengalirkan haima yang teroksigenasi ke seluruh tubuh dan
kemudian haima mengangkut produk sampah dari seluruh tubuh ke
pulmo.
Dalam sistem vaskular, terdapat lima jenis vessel berbeda yang
akan berperan, yaitu arteri, vena, arteriol, venula, dan kapiler.
1. Arteri
Arteri adalah vessel yang mengalirkan haima yang
teroksigenasi dari ventrikel sinistra ke semua bagian tubuh.
Arteri mempunyai dinding yang tebal dari semua vessel
karena mereka harus menahan tekanan pompa cardio. Aorta
adalah arteri terbesar dalam tubuh.
2. Vena
Vena adalah vessel yang membawa haima bersama CO2
kembali ke cardio. Dinding vena lebih tipis daripada dinding
arteri dan berisi valve yang sangat kecil (sama dengan katup
cardio) yang mencegah alirah haima kembali.
3. Arteriol

54
Arteriol mempunyai dinding yang tipis daripada arteri,
berfungsi untuk mengatur aliran haemo kapiler dengan cara
konstriksi dan dilatasi.
4. Venula
Venula mempunyai dinding yang lebih tipis daripada arteriol,
berfungsi untuk mengumpulkan haima dari kapiler.
5. Kapiler
Kapiler adalah vessel yang paling kecil di dalam tubuh dan
juga mempuyai dinding yang paling tipis. Pertukaran O2
antara haima dan badan sel terjadi melalui dinding kapiler.

Lapisan dinding vessel kecuali kapiler mempunyai tiga lapisan yaitu

1. Tunika intima
Merupakan lapisan vessel bagian dalam
2. Tunika media
Merupakan lapisan vessel bagian tengah
3. Tunika adventisia

Merupakan lapisan vessel bagian luar

2.2 Pengertian Allergic Purpura

Allergic purpura atau Henoch Schonlein Purpura (HSP) atau


Vasculitis Imunoglobulin A (IgAV). Allergic Purpura merupakan
suatu vaskulitis yang paling umum terjadi pada anak-anak terutama
mengenai derma, enter, arth dan nepro. Terjadi pada anak – anak
terutama yang berusia 2-11 tahun atau yang berjenis laki-laki. Ruam
biasanya terjadi pada bagian tubuh seperti glutea, ekstremitas
inferior atau cubitus.

Purpura sebagian besar terdeteksi di ekstremitas bawah, tetapi


purpura di ekstremitas atas lebih sering diamati pada orang dewasa

55
daripada anak-anak. Purpura dibagi menjadi 2, yaitu Purpura bisa
teraba (palpable purpura) atau tidak teraba (flat/macular purpura).
Macular purpura dibagi menjadi 2 (dua) bentukan berdasarkan
ukuran, yaitu petechie (diameter < 3mm) dan ecchymosis (diameter
> 5 mm).

Macular purpura merupakan tipe non-inflamasi, sedangkan


palpable purpura merupakan tanda inflamasi dari small cutaneous
vessels misalnya vasculitis. Inflamasi vaskuler menyebabkan
kerusakan dinding vaskuler dan ekstravasasi eritrosit yang tampak
sebagai purpura pada derma. Palpable-purpura ini merupakan lesi
yang khas dari vasculitis leukocytoclastic (small vessel vasculitis).

2.3 PATHOFISIOLOGI ALLERGIC PURPURA

Penyebab allergic purpura yang pasti belum diketahui, bisa


terjadi setelah infeksi virus atau kuman, dan reaksi obat. Allergic
purpura dapat terjadi setelah infeksi Streptococcus, Hepatitis B, herpes
simplex virus, Adenovirus, measles. Obat yang dilaporkan menyebabkan
allergic purpura, seperti Vancomycin , Cefuroxime, captopril, diclofenac,
Ranitidine.

Kesakitan ini lebih sering pada anak-anak dibandingkan pada orang


dewasa, dengan kebanyakan kasus timbul pada anak – anak. Variasi
musiman yang mencolok pada purpura, dengan sebagian besar kasus
yang terjadi di musim. Laki-laki dipengaruhi 2 kali fruekuensinya sama
dengan wanita.

Allergic Purpura adalah kelainan sistemik yang penyebabnya


tidak diketahui dengan karakteristik terjadinya vaskulitis. Adanya
keterlibatan kompleks imun IgA. Beberapa penelitian menyatakan bahwa
allergic purpura berhubungan dengan infeksi Streptococcus.

56
Inflamasi vessel merupakan manifestasi utama penyakit ini. Bila vessel
yang terkena adalah derma, maka terjadi ekstravasasi haima ke jaringan
sekitar, yang terlihat sebagai purpura. Namun purpura pada penyakit ini
adalah khas, karena batas purpura dapat teraba pada palpasi. Bila yang
terkena adalah vessel traktus gastrointestinal, maka dapat terjadi
iskemia yang menyebabkan angina. Kadang, dapat menyebabkan
distensi abdomen, melaena, intususepsi, maupun perforasi yang
membutuhkan penanganan segera.

2.4 DIAGNOSIS ALLERGIC PURPURA

1. Abdomain pain yang bersifat difus dan acute

2. Arthritis atau Arthalgia

3. Keterlibatan renal (proteinuria atau hematuria)

4. Vaskulitis leukositoklastik atau glomerulonefritis proliferatif yang


didominasi oleh deposit Ig A

2.5 PENATA LAKSANAAN ALLERGIC PURPURA

Kuratif terapi dan tindakan

1. Pemeriksaan derma
Berupa lesi urtikaria, secara tipikal bersifat simetris. Purpura khas
terlihat pada ekstremitas inferior dan glutea.
2. Pemeriksaan arth
Didapatkan arthralgia dan arthritis. Patela dan ankle yang paling
sering terkena. Pada kondisi arthralgia dan arthritis terjadi pada
80% kasus.
3. Pemindaian USG abdomen
Untuk mengidentifikasi penyebab abdominal pain dan ada tidaknya
komplikasi.

57
Berupa abdominal pain pada 62% kasus. Bisa disertai nausea,
vomiting , melaena, hematemesis, ulkus duodenum.
4. Biopsi nepro
Untuk mendeteksi penumpukan protein imunoglobin A (IgA)
5. Obat kostikosteroid
Untuk meredakan inflamasi, seperti Methylprednisolone,
Prednisone
6. Obat antipiretik-analgetik
Seperti Paracetamol
7. Obat antiinflamasi
Untuk meredakan pain, seperti ibu profen

Preventif

Allergic purpura dapat kambuh kembali. Itulah sebabnya, penderita


allergic purpura dianjurkan untuk tetap kontrol ke dokter serta menjalani
tes urine dan tes haemo secara rutin. Tujuannya adalah untuk
menilai fungsi nepro dan memantau kondisi penderita. Pemeriksaan
tersebut akan dilakukan selama 6–12 bulan dan dapat dihentikan jika
tidak ditemukan adanya masalah.

2.6 Penunjang Medis (menunggu bagian korektor)

1. Pemeriksaan Urine
untuk mengetahui ada tidaknya protein dan haemo di urine
2. Pemeriksaan tinja
untuk mengetahui adanya haemo di dalam tinja
4. Pemeriksaan derma
5. Biopsi derma dan nepro
6. USG abdomen dan nepro

58
BAB III
PEMBAHASAN

Allergic Purpura Normal

Adanya riwayat yang bervariasi dengan setiap pasien, allergic


purpura cenderung untuk timbul pada ekstremitas superior,
ekstremitas inferior dan ankle. Pasien seringkali tampak dengan
fever dan malaise. Purpura dapat menjadi sign yang tampak. Timbul
berminggu hingga berbulan-bulan pada orang dewasa dan anak-
anak. Anak-anak usia lebih dari 2 tahun mempunyai angka rekurensi
lebih dari 50%, sementara yang lebih muda dari 2 tahun mempunyai
25% kesempatan rekurensi. Perbedaan primer antara anak-anak
dan dewasa, menurut satu studi dari 57 pasien dengan allergic
purpura, adalah kronisitas dan keparahan erupsi pada populasi
berikutnya. Erupsi seringkali berbarengan dengan arthralgia atau
arthritis, abdominal pain.
Insiden dari keterlibatan nepro 10-60% telah dilaporkan, dan
perluasan dari kerusakan glomerular paling banyak dibedakan dari
59
morbidotas dan mortalitas jangka panjang dari allergic purpura.
Kehadiran dari sabit glomerular dalam biopsi nepro berkorelasi
dengan prognosis yang buruk. Dari pasien dengan keterlibatan
nepro, sama banyaknya dengan 10% dapat timbul chronic kidney
disease.

60
BAB IV
PENUTUP
Allergic pupura atau Henoch-Schonlein purpura (HSP)
adalah inflamasi pembuluh haemo kecil di derma, arth,
intestine, dan nepro. Pathologi ini menyebabkabkan
munculnya symptoms purpura pada derma di area
extremitas inferior atau bokong. Etiologi dari pathologi ini
adalah onflamasi pembuluh haemo pada anak usia dini dan
berjenis kelamin laki-laki dan berkaitan erat dengan sistem
imun yang abnormal terhadap inflamasi.
Symptoms utamanya adalah purpura (ruam), inflamasi
(umumnya arthritis), gangguan pada sistem digestivus,
abdomen pain, vomiting atau nausea, diare, cephalgia,
fever. Bentuk aktivitas kuratifnya adalah dengan melakukan
beberapa pemeriksaan penunjang berupa tes urine, tes
tinja, pemindaian USG abdomen dan nepro, dan biopsi
derma dan nephro. Selain dengan itu dapat mengonsumsi
obat anti-piretik-analgetik dan obat golongan kortikosteroid.

61
BAB V
TERMINOLOGI
1. Vasculitis (peradangan pada pembuluh darah)
 Prefix :-
 Root : vascul/o (pembuluh darah)
 Suffix : -itis (peradangan)

2. Hepatitis (peradangan pada hati)


 Prefix : -
 Root : Hepat/o (liver) (hati)
 Suffix : -itis (peradangan)

3. Arthritis (peradangan pada sendi)


 Prefix :-
 Root : Arthr/o (sendi)
 Suffix : -itis (peradangan)

4. Nephritis (peradangan pada nepro)


 Prefix :-
 Root : Nepro (ginjal)
 Suffix : -itis (peradangan)

5. Arthralgia (nyeri sendi)


 Prefix :-
 Root : Arthr/o (sendi)
 Suffix : -algia (nyeri)

62
6. Hematemesis (muntah darah)
 Prefix :-
 Root : Hemat/o (darah)
 Suffix : -emesis (muntah)

7. Oligoarthritis
 Prefix : oligo (beberapa)
 Root : arth/o (sendi)
 Suffix : itis (peradangan)
8. Gastrointestinal
 Prefix :
 Root :gastr/o (lambung),intestin /o (usus)
 Suffix :al (keadaan/kondisi)

63
DAFTAR PUSTAKA

DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG PERIODE 2016-


2019. FAKTOR RISIKO NEFRITIS PADA PASIEN PURPURA HENOCH-
SCHONLEIN ANAK DI RSUP (Doctoral dissertation, Sriwijaya
University).

Roberts, P. F., Waller, T. A., Brinker, T. M., Riffe, I. Z., Sayre, J.


W., & Bratton, R. L. (2007). Henoch-Schonlein purpura: a review
article. SOUTHERN MEDICAL JOURNAL-BIRMINGHAM ALABAMA-
, 100(8), 821.

Indah Sandy.S.Ked (2009) – Kepaniteraan Klinik Ilmu


Kesehatan Anak – RSUD Karawang

Tizard, E. J., & Hamilton-Ayres, M. J. J. (2008). Henoch–


Schönlein purpura. Archives of Disease in Childhood-Education and
Practice, 93(1), 1-8.

Fikriana, Riza (Juli-2018). Sistem Kardiovaskuler, Cet. Ke 1-


Yogyakarta.

Alodokter.com (2020). Henoch-Schonlein Purpura. Diakses pada 9 juni


2021, dari https://www.alodokter.com/henoch-schonlein-purpura

64
ANEMIA HEMOLITIK

Dosen Pengampu :
Dr. R.A. Rengganis Ularan, MM

Disusun oleh :
Erika Anabilla Marchely (205090)

D3 RMIK
2021

65
BAB I

PENDAHULUAN

Anemia hemolitik autoimun atau Auto Immune Hemolytic


Anemia (AIHA) merupakan sebuah kelainan pada eritrosit yang ditandai
dengan kerusakan eritrosit atau antibody dalam tubuh seseorang dan
merupakan salah satu penyakit di bidang hematologi yang terjadi akibat
reaksi autoimun. AIHA termasuk penyakit yang jarang, namun
merupakan penyakit ini bisa menyebabkan kematian.
Pada AIHA terjadi pembentukan auto antibodi yang
menyelubungi permukaan eritrosit. Antigen target pada sebagian besar
kasus AIHA tipe hangat adalah protein Rh. Apa yang menyebabkan
sistem imun menargetkan protein ini masih belum diketahui. Salah satu
teori menyatakan bahwa pada awal terjadinya respon imun terhadap
antigen asing, terjadi reaksi silang dengan protein Rh dan sistem imun
gagal untuk menekan respon autoreaktif ini. Berdasarkan suhu optimal
untuk autoantibodi mengikat eritrosit, AIHA dikelompokkan menjadi
AIHA tipe hangat, AIHA tipe dingin, dan AIHA tipe campuran1,5 . Pada
AIHA tipe hangat, eritrosit dilapisi oleh molekul IgG, sehingga sel
tersebut akan dikenal oleh sistem retikuloendotelial untuk difagositosis
oleh makrofag limfa. Pada AIHA tipe dingin eritrosit diselubungi oleh
molekul IgM dan mengaktifkan sistem komplemen pada permukaan
eritrosit. Sistem komplenen dapat teraktivasi secara penuh yang akan
menyebabkan terjadinya lisis eritrosit intravaskular.
Anemia hemolitik adalah anemia yang tidak terlalu sering
dijumpai, tetapi bila dijumpai memerlukan pendekatan diagnostik yang
tepat. Anemia hemolitik yaitu meningkatnya kecepatan destruksi eritrosit
sebelum waktunya. Dalam keadaan ini medulla memproduksi haeme
lebih cepat sebagai kompensasi hilang nya eritrosit. Pada kasus Anemia

66
biasanya ditemukan splenomegali diakibatkan karena absorbsi haeme
yang telah mati secara berlebihan oleh lien. Karena pada anemia
hemolitik banyaknya eritrosit yang mati pada waktu yang relative singkat.
Pada kasus anemia hemolitik yang akut terjadi distensi abdomen di
karenakna hepatomegali dan splenomegaly.
Dari tugas mata kuliah Anatomi, Fisiologi, dan Pathofisiologi
terkait penyakit ini dan melihat fakta dilapangan tersebut, penulis tertatik
untuk membahas tentang penyakit Anemia hemolitik autoimun atau Auto
Immune Hemolytic Anemia (AIHA). Dengan harapan dapat menjadi
sumber wawasan bagi para pembaca.

67
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Fisiologi


a) Darah (haeme)
Haeme merupakan komponen esensial makhluk hidup yang berada
dalam ruang vaskuler, karena peranannya sebagai media
komunikasi antar sel ke berbagai bagian tubuh dengan dunia
luar karena fungsinya membawa oksigen dari pulmo ke jaringan
dan karbon dioksida dari jaringan ke pulmo untuk dikeluarkan,
membawa zat nutrein dari digestive system ke jaringan kemudian
menghantarkan sisa metabolisme melalui organ sekresi seperti
renal, menghantarkan hormon dan materi-materi thrombus
(Tarwoto, 2019).

b) Karateristik haeme
Karakteristik umum haeme meliputi warna, viskositas, pH, Volume dan
komposisinya warna, haeme arteri berwarna merah muda karena
banyak oksigen yang berkaitan dengan hemoglobin dalam
eritrosit. Viskositas, viskositas haeme 3/4 lebih tinggi dari pada
viskositas air yaitu sekitar 1.048 sampai 1.066. pH, pH darah
bersifat alkaline dengan pH 7.35 sampai dengan 7.45 (netral
7.00). Volume, pada orang dewasa volume haeme sekitar 70
sampai 75 ml/kgBB, atau sekitar 4 sampai 5 liter haeme.
Komposisi, haeme tersusun atas dua komponen utama yaitu
plasma dan sel-sel haeme.

c) Bagian-bagian haeme
1. Eritrosit (sel darah merah)

68
Eritrosit berbentuk cakram bikonkav, tanpa inti sel, berdiameter 8
mikrofon, tebalnya 2 mikrofon dan di tengah tebalnya 1 mikrofon.
Eritrosit mengandung hemoglobin yang memberinya warna merah.
2. Leukosit (sel darah putih)
Leukosit dibagi 2 yaitu :
- Granulosit : leukosit yang didalam sitoplasmanya memiliki butir-
butir kasar (granula). Jenisnya adalah eosinophil, basophil, dan
neotrofil
- Agranulosit : leukosit yang sitoplasmanya tidak memiliki granula,
jenisnya adalah limfosit (sel T dan sel B) dan monosit
- Trombosit (sel pembeku darah)
3. Plasma
Terdiri dari air dan hemato protein yaitu albumin, globulin, dan
fibrinogen. Cairan yang tidak mengandung unsur fibrinogen
disebut haeme serum.
2.2 Definisi Anemia Hemolitik
Autoimmune hemolytic anemia (AIHA) adalah suatu kondisi
dimana imunoglobulin atau komponen dari sistem komplemen
terikat pada antigen superficial ertirosit dan menyebabkan lisis
eritrosit melalui Sistem Retikulo Endotelial (SRE). Antibodi yang
khas pada AIHA antara lain IgG, IgM atau IgA dan bekerja pada
suhu yang berbeda-beda. (Lanfredini, 2017).

2.3 Patofisiologi
Anemia hemolitik dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
ekstravaskular dan intravaskular. Hemolisis ekstravaskular lebih
sering terjadi dibandingkan intravaskular. Mekanisme primer dari
hemolisis ekstravaskular adalah sekuestrasi dan fagositosis akibat
deformabilitas eritrosit yang buruk.
Mekanisme intravaskular meliputi destruksi sel secara langsung,
fragmentasi, dan oksidasi. Destruksi sel secara langsung dapat

69
disebabkan oleh toksin dan trauma. Hemolisis fragmentasi terjadi
jika faktor ekstrinsik menyebabkan eksoriasi dan ruptur pada eritrosit.
Hemolisis oksidatif timbul jika terjadi failure pada mekanisme
protektif sel.
Autoimmune hemolytic anemia dan hereditary spherocytosis
adalah contoh hemolisis ekstravaskular. Disebut ekstravaskular
karena eritrosit yang memiliki perubahan struktur permukaan
membran sel dihancurkan di luar vaskular, yaitu di lien dan hepar
dengan bantuan makrofag. Sementara hemolisis intravaskular
adalah keadaan hemolisis yang terjadi di dalam (intra) vaskular yang
mengakibatkan keluarnya isi sel (lisis) ke dalam plasma. Akibat
defek pada eritrosit. Defek dapat berupa defek enzim, dinding sel,
hemoglobin, ataupun akibat trauma dan infeksi yang menyebabkan
terjadinya degradasi membran sel dan destruksi spontan (Oehadian,
2012).
- Etiologi
Anemia hemolitik dapat disebabkan oleh 2 faktor yang berbeda
yaitu faktor intrinsik & faktor ekstrinsik.
1. Faktrok intrinsik
Yaitu kelainan yang terjadi pada metabolisme dalam eritrosit itu sendiri
sel eritrosit. Kelainan karena faktor ini dibagi menjadi tiga macam
yaitu :
Keadaan ini dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu :
1) Gangguan struktur dinding eritrosit
a. Sferositosis, Penyebab hemolisis pada penyakit ini diduga
disebabkan oleh kelainan membran eritrosit. Kadang-kadang
penyakit ini berlangsung ringan sehingga sukar dikenal. Pada
anak gejala anemianya lebih menyolok daripada dengan
ikterusnya, sedangkan pada orang dewasa sebaliknya. Suatu
infeksi yang ringan saja sudah dapat menimbulkan krisis aplastic.

70
Kelainan radiologis osteo dapat ditemukan pada anak yang telah
lama menderita kelainan ini. Pada 40-80% penderita
sferositosis ditemukan kolelitiasis.
Ovalositosis (eliptositosis), Pada penyakit ini 50-90% dari eritrositnya
berbentuk oval (lonjong). Dalam keadaan normal bentuk eritrosit
ini ditemukan kira-kira 15-20% saja. Penyakit ini diturunkan
secara dominan menurut hukum mendel. Hemolisis biasanya
tidak seberat sferositosis. Kadang-kadang ditemukan

71
b. kelainan radiologis osteo. Splenektomi biasanya dapat
mengurangi proses hemolisis dari penyakit ini.
c. A-beta lipropoteinemia, Pada penyakit ini terdapat kelainan bentuk
eritrosit yang menyebabkan umur eritrosit tersebut menjadi
pendek. Diduga kelainan bentuk eritrosit tersebut
disebabkan oleh kelainan komposisi lipid pada dinding sel.
2) Gangguan pembentukan nukleotida
Kelainan ini dapat menyebabkan dinding eritrosit mudah pecah,
misalnya pada panmielopatia tipe fanconi.
Anemia hemolitik oleh karena kekurangan enzim sbb:
a. Definisi glucose-6- phosphate-Dehydrogenase
b. Defisiensi Glutation reduktase
c. Defisiensi Glutation
d. Defisiensi Piruvatkinase
e. Defisiensi Triose Phosphate-Isomerase (TPI)
f. Defisiensi difosfogliserat mutase
g. Defisiensi Heksokinase
h. Defisiensi gliseraldehid-3-fosfat dehydrogenase
2. Hemoglobinopatia
Pada neonatus HbF merupakan bagian terbesar dari hemoglobinnya
(95%), kemudian pada perkembangan selanjutnya konsentrasi
HbF akan menurun, sehingga pada umur satu tahun
telah mencapai keadaan yang normal Sebenarnya
terdapat 2 golongan besar gangguan pembentukan hemoglobin
ini, yaitu:
a. Gangguan struktural pembentukan hemoglobin (hemoglobin
abnormal). Misal HbS, HbE dan lain-lain
b. Gangguan jumlah (salah satu atau beberapa) rantai globin. Misal
talasemia
2. Faktor ekstrinsik

72
Yaitu kelainan yang terjadi karena hal-hal diluar eritrosit.
- Akibat reaksi non imumitas : karena bahan kimia / obat
- Akibat reaksi imunitas : karena eritrosit yang dibunuh oleh antibodi
yang dibentuk oleh tubuh sendiri.

Sign & Symtom


- Vertigo
- Pallor
- Malaise
- Fever
- Hematuria
- Ikterus (mata kuning)
- Spleenomegaly
- Hepatomegaly .
- Palpitasi

2..4 Diagnosa dan Diagnosa Banding


Diagnosis dibuat dengan terlebih dahulu mengesampingkan
penyebab lain dari anemia hemolitik, seperti G6PD , talasemia , sickle
cell disease, dll. Riwayat klinis juga penting untuk menjelaskan penyakit
yang mendasari atau obat yang mungkin menyebabkan penyakit
Setelah ini, pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk
menentukan etiologi penyakit. Tes DAT positif memiliki spesifisitas yang
buruk untuk AIHA (memiliki banyak diagnosis banding); jadi tes serologi
tambahan diperlukan untuk memastikan penyebab reaksi positif.
Hemolisis juga harus ditunjukkan di laboratorium. Tes khas yang
digunakan untuk ini adalah hitung darah lengkap (CBC) dengan apusan
perifer, bilirubin, laktat dehidrogenase (LDH) (khususnya dengan
isoenzim 1), haptoglobin dan hemoglobin urin (Tuscano, dkk 2014).

73
2.5 Penatalaksanaan
Pengobatan (Kuratif)
Anemia jenis ini pada dasarnya tidak dapat dicegah, terlebih
yang disebabkan oleh faktor genetik. Pengecualiannya adalah defisiensi
glukosa 6 fosfat dehidrogenase (G6PD). Jika kamu terlahir dengan
kekurangan G6PD, kamu dapat menghindari zat yang dapat memicu
kondisi tersebut. Misalnya, hindari kacang fava, naftalena (zat yang
ditemukan di beberapa bola ngengat) dan obat-obatan tertentu (sesuai
anjuran dokter). Tetapi dapat membantu mencegah anemia dengan
mengonsumsi makanan yang seimbang yang mencakup sumber zat besi,
vitamin B12, dan folat yang baik..
Pencegahan (preventif)
Meski begitu, beberapa jenis anemia hemolitik bisa dicegah.
Misalnya, reaksi terhadap transfusi darah yang dapat menyebabkan
anemia hemolitik. Ini membutuhkan pencocokan jenis darah yang cepat
antara pendonor dan penerima (Loughery, 2013).
2.6 Penunjang medis
1. Pemeriksaan darah lengkap. Lewat pemeriksaan ini dokter bisa
melihat ada-tidaknya anemia, atau infeksi yang menyebabkannya.
Bisa juga melihat kemungkinan gangguan darah yang berisiko
menyebabkan anemia hemolitik. Melalui pemeriksaan ini juga akan
diketahui peningkatan produksi sel darah merah yang dapat menjadi
indikasi adanya anemia hemolitik.

2. Pemeriksaan bilirubin. Tes ini mengukur tingkat hemoglobin sel


darah merah yang telah dipecah dan diproses hati.

3. Tes fungsi hati. Tes ini mengukur kadar protein, enzim hati, dan
bilirubin dalam darah kamu.

74
4. Serum Laktat Dehidrogenase (LDH) dan serum haptoglobin.
Kenaikan kadar LDH dan perubahan kadar serum haptoglobin dapat
membantu dokter mendiagnosis kondisi dan jenis anemia hemolitik.

5. Tes retikulosit. Tes ini mengukur berapa banyak sel darah merah
yang belum matang, yang seiring waktu berubah menjadi sel darah
merah, yang diproduksi oleh tubuh.

6. Tes coombs. Untuk menelisik kemungkinan antibodi yang


menyerang sel darah merah.

75
BAB III

PEMBAHASAN

Gambar 3.1 Normal sel darah merah dan Anemia Haemolitik

Gambar 3.2 Anemia Hemolitik Autoimun

Gambar 3.3 Anemia Hemolitik Autoimun

Anemia hemolitik dapat ekstrinsik atau intrinsik. Anemia


hemolitik terjadi melalui beberapa mekanisme, seperti saat limpa

76
menekan dan mendestruksi sel darah merah, atau apabila terjadi reaksi
autoimun.

77
BAB IV

PENUTUP

Berdasarkan makalah diatas dapat disimpulkan bahwa


Autoimmune hemolytic anemia (AIHA) adalah suatu kondisi dimana
imunoglobulin atau komponen dari sistem komplemen terikat
pada antigen eritrosit dan menyebabkan lisis eritrosit melalui Sistem
Retikulo Endotelial (SRE). Antibodi yang khas pada AIHA antara lain
IgG, IgM atau IgA dan bekerja pada suhu yang berbeda-beda. Pada
anemia hemolitik, umur eritrosit menjadi lebih pendek (normal umur
eritrosit 100-120 hari) Anemia hemolitik dapat disebabkan oleh 2 faktor
yang berbeda yaitu faktor intrinsik & faktor ekstrinsik. Dengan reaksi
krisis hemolitik yang di tandai dengan Fever, Hipotermia, dorsalgia dan
gasteralgia, vertigo dan hypotensi yang berarti. Pemeriksaan yang
digunakan Indirect Antiglobulin Test (indirect Coobm‘s test) dan Direct
Antiglobulin Test (direct Coomb‘s test). Pengobatan dengan
mengembalikan nilai-nilai hematologis normal, mengurangi proses
hemolitik dan menghilangkan symptom dengan efek samping minimal.

78
BAB V

TERMINOLOGI
 Anemia
- P : an- : tanpa
- R : -emia : darah
- S:-
Arti : kurangnya haeme eritrosit atau hemoglobin untuk
mengangkut oksigen
 Haemolitik
- P:-
- R : haem/o : darah
- S : lytic : pemecahan
Arti : pemecahan sel haeme
 Autoimun
- P : auto : sendiri
- R : immune (imun, kekebalan tubuh)
- S:-
Arti : kondisi dimana imun tubuh bereaksi berlebihan
terhadap diri sendiri dan menyebabkan kerusakan sel
sehat.
 Hematologi
- P:-
- R : haemat/o : darah
- S : logy / logos : ilmu / studi tentang-
Arti : ilmu tentang darah

 Eritrosit
- P:-
- R : erythr/o- : merah
cyte : sel
79
- S:-
Arti : Sel darah merah
 Retikuloendotelial
- P:-
- R : reticul/o : jaring-jaring kecil
Endotelial/endothelium : lapisan arteri yang
mengeluarkan zat ke dalam darah
- S:-
Arti : sistem di dalam jaringan dan organ yang berfungsi
melakukan fagositosis bakteri dan benda asing yang
masuk ke tubuh.

 Intravascular
- P : intra : didalam
- R : vascular : pembuluh darah
- S:-
Arti : di dalam pembuluh darah
 Splenomegali
- P:-
- R : spleen/o : limpa
- S : megaly : pembesaran
Arti : Pembesaran limpa

80
DAFTAR PUSTAKA

Newman, Dorland W.A 2015, Kamus Saku Kedokteran Dorland Edisi 29.
Singapura: Elsevier.
Oehadian, Amaylia. 2012 ―Pendekatan Klinis dan Diagnosis Anemia‖.
Counting Medical Education. 39(06): CDK-194
Bass GF, Tuscano ET, Tuscano JM. 2014 Diagnosis and classification of
autoimmune hemolytic anemia. Elsevier.; 13(14):560-564.
Go, RS, Winters, JL, Kay, NE. How I treat autoimmune hemolytic anemia.
Blood. 2017;129:2971–2979. doi:10.1182/blood-2016-11-
693689
Algassim AA, Elghazaly AA, Alnahdi AS, et al.: Prognostic significance of
hemoglobin level and autoimmune hemolytic anemia in SARS-
CoV-2 infection. Annals of hematology. 2020, 100:37-43.
De Loughery TG (2013). Hematology board review manual :
Autoimmune
hemolytic anemia. Hematology, 8 (1): 2-9.
Zulfiqar AA, Mahdi R, Mourot-Cottet R, Pennaforte JL, Novella JL Dan
Andrès
E (2015). Autoimmune Hemolytic Anemia - A Short Review Of
The
Literature, With A Focus On Elderly Patients. Journal of
Hematology &
Thromboembolic Diseases, 3(6): 2.

81
ANEMIA MEGALOBLASTIK

Dosen Pengampu :

Dr.R.A. Rengganis Ularan, MM

Disusun Oleh :

Rensi Ayuningtias

D3 RMIK

2021

82
BAB I

PENDAHULUAN

Anemia adalah suatu keadaan dimana tubuh memiliki jumlah


sel darah merah (eritrosit) yang terlalu sedikit. Sel darah merah(Eritrosit)
mengandung hemoglobin yang berfungsi untuk membawa oksigen ke
seluruh jaringan tubuh (Proverawati,2013). Anemia ditandai dengan
kadar hemoglobin (Hb) dalam darah(haeme) lebih rendah dari nilai
normal. Menurut WHO tahun 2011, batas hemoglobin normal untuk pria
adalah ≥ 13 g/dl sedangkan untuk wanita adalah ≥ 12 g/dl. Terdapat
golongan rawan gizi diantaranya anak balita, anak sekolah, remaja, ibu
hamil dan menyusui. Anemia pada remaja akan mengganggu
pertumbuhan fisik dan perkembangannya, daya tahan terhadap penyakit
infeksi, aktivitas, konsentrasi dan kecerdasan serta daya tangkap yang
akan berpengaruh pada penurunan prestasi belajar.
Berdasarkan data Riskesdas Tahun 2013 menunjukan bahwa jumlah
penderita anemia umur 5-14 tahun adalah 26,4% dan sebesar 18,4%
pada kelompok umur 15 - 24 tahun, jumlah penderita jenis kelamin laki-
laki adalah 18,4%, jenis kelamin perempuan 23,9%, jumlah penderita
yang tinggal di perkotaan 20,6%,pedesaan 22,8%, sedangkan jumlah
penderita anemia di Indonesia mencapai 21,7%.
. Kekurangan zat besi dapat menimbulkan gangguan atauhambatan
pada pertumbuhan, baik sel tubuh maupun sel otak. symptom yang akan
dialami jika tubuh mengalami kadar hemoglobin rendah adalah lemah,
letih, lesu, dan lunglai. Pada remaja, akibatnya dapat menurunkan
prestasi belajar anak dan produktifitas kerja serta mudah terserang
penyakit infeksi (Depkes RI, 2008).

83
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI

Anemia megaloblastik adalah jenis anemia yang ditandai dengan bentuk


kepingan sel darah merah yang abnormal dan ukurannya yang lebih
besar.Sel darah merah normal seharusnya berbentuk cakram bulat pipih
yang sedikit berceruk di tengah. Namun, pada kasus anemia ini,
kepingan sel darah merah berbentuk oval.Bentuk dan ukuran yang
abnormal ini terjadi karena sel darah merah tidak mengalami
pembelahan dan tidak berkembang sempurna. Alhasil, jumlah sel darah
merah yang normal dan sehat tidak cukup.Penyakit kelainan darah ini
juga menyebabkan sumsum tulang menghasilkan lebih sedikit sel. Sel-
sel darah merah normal umumnya dapat bertahan sekitar 90-120 hari
sebelum akhirnya dihancurkan oleh tubuh untuk diganti dengan yang
baru.Namun, pada kasus ini, sel darah merah terkadang dihancurkan
atau mati lebih cepat dari jangka waktu seharusnya.( Nagao T (2017).
Anemia megaloblastik adalah anemia makrositik yang disebabkan oleh
defisiensi atau gangguan penggunaan vitamin B12 atau asam folat.
Penyebab tersering dari anemia megaloblastik adalah defisiensi vitamin
B12 yang dapat terjadi karena asupan yang kurang, malabsorpsi akibat
tidak adanya faktor intrinsik, kelainan kongenital, atau paparan nitrit
oksida .Anemia megaloblastik sebetulnya adalah kondisi panmyelosis,
walaupun namanya menggambarkan seolah gangguan hanya terbatas di
sel darah merah. Pada kasus yang jarang, anemia megaloblastik dapat
menampilkan gambaran nuklei megaloblastik imatur dan proliferasi
myeloid intens di sumsum tulang. Hal ini dapat menyebabkan
misdiagnosis dengan leukemia.( rikanth S (2016).

84
2.2 Pengertian Anemia Megaloblastik

Anemia megaloblastik adalah kurangnya eritrosit dalam tubuh akibat


sumsum tulang menghasilkan eritrosit yang belum matang dengan
struktur abnormal dan berukuran terlalu besar. Kondisi ini termasuk
salah satu jenis anemia yang jarang terjadi. Anemia adalah suatu
keadaan dimana kadar hemoglobin (Hb) dalam darah dibawah normal
akibat kekurangan satu atau lebih zat gizi esensial yang diperlukan
dalam pembentukan serta produksi sel-sel darah merah (Hemocyte)
tersebut.( Nursalam (2010), Anemia defisiensi besi adalah jenis anemia
yang paling sering terjadi. Menurut WHO, ambang batas kadar
hemoglobin normal pada wanita usia 11 tahun keatas adalah 12 gr/dl.

2.3 PATHOFISIOLOGI Anemia Megaloblastik

Patofisiologi anemia megaloblastik utamanya berkaitan dengan


defisiensi vitamin B12 atau asam folat. Defisiensi ini akan mengganggu
pembentukan prekursor sel hematopoietik.
Sumsum tulang merupakan tempat terjadinya eritropoiesis. Pada
keadaan anemia megaloblastik, terjadi kekurangan asam folat atau
vitamin B12 yang berperan dalam pembentukan prekursor sel
hematopoietik. Kekurangan vitamin B12 atau asam folat mengganggu
sintesis DNA, sehingga nukleus dan sitoplasma eritrosit tidak terbentuk
sempurna secara bersamaan. Sitoplasma matang secara normal,
namun nukleus menjadi imatur akibat sintesis DNA yang terganggu..(
Devalia V, Hamilton MS ( 2014).
Pertumbuhan sel yang abnormal dan terganggunya proses pembelahan
sel akan menyebabkan maturasi nuklear terhenti. Selain itu, pada
keadaan anemia megaloblastik, prekursor eritrosit yang matur

85
dihancurkan di sumsum tulang sebelum masuk ke angio (hemolisis
intramedular).( Schick P.(2019).

2.4 DIAGNOSIS Anemia megaloblastic

Diagnosis anemia megaloblastik perlu dicurigai pada pasien yang


menunjukkan symptom anemia, abnormalitas neurologi, dan faktor risiko
defisiensi vitamin B12 atau asam folat. Diagnosis ditegakkan dengan
pemeriksaan darah tepi yang menunjukkan adanya megaloblast dan
neutrofil hipersegmentasi.
Pasien anemia megaloblastik sering kali tidak merasakan keluhan apa-
apa hingga kondisi sudah cukup berat. Keluhan yang dapat muncul pada
pasien anemia megaloblastik adalah pucat, rasa lemas /Asthenia ikterus,
anoreksia nervosa , dan ikterus. Beberapa pasien dapat mengeluhkan
symptom saluran cerna seperti mual/ Dyspepsia, konstipasi, canker
sores, dan Anoreksia. . Pasien juga bisa mengalami perubahan status
mental, mulai dari perubahan kepribadian hingga psikosis. Kelainan
neurologi juga bisa muncul berupa kesemutan, nyeri, baal, dan rasa
terbakar di tangan (Cheir) atau kaki ( pous).

Gejala Anemia Megaloblastik

symptom anemia yang paling umum adalah tubuh cepat merasa lelah
dan terlihat pucat serta sering mengeluh kedinginan/ Hipotermia .
Beberapa symptom umum lainnya, antara lain:
 Selalu merasa mudah marah.
 Sakit kepala/ Caphalgia.
 Mengalami masalah sulit berkonsentrasi atau berpikir.
 Sembelit/ laxative .

Akan muncul kondisi ini apabila penyakit semakin parah:


 Warna biru hingga putih pada mata.
86
 Kuku menjadi rapuh.
 Muncul keinginan untuk makan es batu, tanah, atau hal-hal
lain yang bukan makanan (kondisi ini disebut juga ―pica‖).
 Pusing ketika berdiri.
 Warna kulit pucat.
 Sesak napas/ Dyspnea Lidah terasa sakit.

2.5 PENATA LAKSANAAN ALLERGIC PURPURA

Kuratif terapi dan tindakan

Mencegah dan Merawat kondisi Anemia Megaloblastik

Anda bisa melakukan beberapa upaya pencegahan anemia atau


mencegah gejalanya kambuh. Orang dengan anemia megaloblastik
akibat kekurangan vitamin B12 atau folat dapat mengatasi gejala-
gejalanya dan merasa lebih baik dengan perawatan berkelanjutan
berikut ini:
 Banyak makan makanan kaya zat besi, seperti tahu, sayuran hijau,
daging merah tanpa lemak, lentil, kacang-kacangan, sereal dan roti
yang diperkaya zat besi.
 Makan dan minum makanan dan minuman yang kaya vitamin C.
 Hindari minum teh atau kopi bersamaan dengan makanan karena
dapat memengaruhi penyerapan zat besi dan vitamin lainnya
 Dapatkan cukup vitamin B12 dan asam folat dalam makanan Anda.
Kekurangan vitamin B12 dan folat bukan hanya dapat menyebabkan
anemia, melainkan juga masalah kesehatan, seperti kerusakan
saraf, masalah neurologis, dan masalah saluran pencernaan.

87
+Komplikasi ini dapat terhindarkan jika Anda didiagnosis dan dirawat
lebih awal.

Tes genetik juga dapat dilakukan untuk mendeteksi kemungkinan mutasi


gen MTHFR. Hal ini dapat dilakukan sebagai langkah awal deteksi dini
anemia megaloblastik.

2.6 Penunjang Medis

1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan haemo lengkap bisa ditemukan anemia dengan MCV
yang meningkat lebih dari 100 fL (makrositosis) terkadang disertai
dengan leukopenia dan/ trombositopenia
2. Apusan haemo
Terlihat gambaran anisopoikilositosis disertai makroovalosit dan
hipersegmentasi neutrofil dan trkadang juga ditemui erythrocyte
muda.
3. Pemeriksaan Kadar asam folat dan vitamin B12

88
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Gambar Anemia Megaloblastik

Normal
Non-normal

Terlihat bahwa adanya hipersegmentasi pada anemia


megaloblastic dan adanya makrositosis dengan
makroovalosit. Ubntuk pathologi anemia megaloblastik ini
ditandai dengan adanya produksi erythrocyte yang tidak
efektif.

89
BAB IV
PENUTUP
Anemia megaloblastic adalah kumpulan pathologi yang
disebabkan oleh adanya gangguan sintesis DNA,
disebabkan oleh defisiensi kobalamin (B12) dan asam folat.
Cyte terutama yang terkena adalah cyte yang
pertukarannya cepat (turn over). Gangguan
absobsi/metabolisme folat/vitamin B12 menghambat
sintesis DNA dan memperlambat siklus cyte selama
eritropoesis. Akan tetapi sintesis hemoglobin terus terjadi
sehingga ukuran erythrocyte muda membesar dan elips
erythrocyte yang masuk ke dalam haemo. Dan untuk
pembentukan granulocyte dan megakariocyte juga
terganggu. Di samping gangguan proliferasi anemia ini juga
menampakkan kerusakan dini erythrocyte di sumsum
tulang.
Dapat dilakukan pemeriksaan haemo secara lengkap,
apusan haemo, dan pemeriksaan kadar volat/vitamin B12
untuk penunjang medisnya.

90
BAB V
TERMINOLOGI
 Gastrectomy ( Operasi pemotongan lambung)
- P:-
- R : Gastr/o ( lambung)
- S : Ectomy ( Pemotongan)
 Hipertiroidisme ( produksi hormon berlebih oleh kelenjar
berbentuk kupu-kupu di leher(tiroid))
- P : Hyper ( kelebihan)
- R : Tiroid ( kelenjar)
- S : Ism ( kondisi atau penyakit)
 Hemodialisis( proses pembersihan darah dari zat sampah
melalui proses penyaringan di luar tubuh)
- P : hemo ( darah)
- R: dialisis ( membersihkan darah dari zat toksik)
- S: -

91
DAFTAR PUSTAKA

Joseph,N. (2021). Anemia Megaloblastik. Kemenkes RI.


Almatsier, Sunita. Prinsip dasar ilmu gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama; 2009
Anggitha.R.G.(2017). Anemia Megaloblastik. Alomedika.
Kim, S. Healthline (2016). Megaloblastic Anemia.
NHS UK (2016). Vitamin B12 or folate deficiency anaemia.

92
AGRANULOCYTOSIS

Dosen Pengampu :

dr. R. A. Rengganis Ularan, MM

Disusun Oleh :

1. Nova Dwi Saputra 205021

2. Lailatul Karomah 205059

3. Nafira Fatehayuningsari 205099

D3 RMIK
2021

93
BAB I
PENDAHULUAN
Terapi obat antitiroid (ATD) merupakan salah satu pilihan untuk kuratif
hipertiroidisme, bersama dengan pembedahan dan yodium radioaktif.
Dalam praktek klinis, propylthiouracil sedang diganti dengan carbimazole
dan methimazole karena mereka waktu paruh biologis lebih lama (1-2
jam vs. 3–5 jam untuk methimazole dan carbimazole, tanpa perbedaan
antara keduanya dan risiko sisi yang parah efek lebih rendah. Itu kasus
pertama agranulositosis yang diinduksi ATD dijelaskan di 1952 oleh
Bartels dan Sjogren dalam rangkaian 250 kasus mereka dari pasien
yang dirawat. Pasien menerima methimazole dan sebelumnya memiliki
agranulositosis sekunder pengobatan propylthiouracil. Kematian pertama
yang terkait dengan Terapi ATD juga berasal dari tahun 1952, ketika
pasien menerima methimazole mengalami fever tinggi dan dispnea dan
akhirnya meninggal karena pneumonia bilateral. Agranulositosis yang
diinduksi ATD jarang terjadi, tetapi tingkat keparahannya kondisi yang
mungkin mengancam nyawa ini berarti pengelolaannya penting untuk
prognosis yang baik. Kami meringkas bukti terkini mengenai definisi,
epidemiologi, faktor risiko, patofisiologi, presentasi klinis, dan
pengelolaan entitas klinis ini. Pada penyakit tersebut kebanyakan
penderita meninggal dunia dalam usia 3 tahun. nelson Hal ini
berdasarkan laporan seorang peneliti bernama kostmann yang
mengumpulkan 19 anak swedia bersaudara pada tahun 1975. Sejak saat
itu kasus-kasus agranulositosis kongenital ditemukan di Asia, Amerika
Utara, dan Eropa. Kejadian rata-rata agranulositosis di rumah sakit
Songklanagarrind di Thailand dapat dilihat dalam tabel dibawah ini.

94
Dari data tersebut antara tahun 1993-2007 ada 38 kasus yang terjadi
akibat dipengaruhi oleh suatu kerja obat tertentu, berikut tabel yang
menjelaskan jenis-jenis obat tersebut yang dalam meningkatnya kasus
agranulositosis di Thailand. (hidayati, 2012)

95
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI AGRANULOCYTOSIS

Hemo merupakan salah satu organ tubuh yang sangat penting bagi
manusia karena mengandung berbagai macam komponen. Seperti
cairan berupa plasma darah dan hemocyte. Hematologi merupakan
salah satu cabang ilmu kedokteran yang mempelajari tentang hemo dan
jaringan pembentuk hemo. (Firani,2018)

Di dalam plasma darah terdapat pula fibrinogen yang dapat berubah


menjadi benang-benang fibrin, yang berguna untuk menutup
luka.Plasma darah yang telah dipisahkan fibrinogennya dinamakan
serum. Cairan darah atau plasma darah mengangkut sari-sari makanan
dari usus kemudian ke hati, dari hati diedarkan ke seluruh bagian tubuh

Hematocyte meliputi eritrosit, leukosite, dan trombosit yang mempunyai


fungsi yang penting, sebagai berikut :

1. Eritrosit : transportasi oksigen dan karbondioksida

2. Leukosit : imunitas atau pertahanan tubuh terhadap benda asing


maupun mikroorganisme.

Terdiri atas Neutrofil, Eosinofil, Basofil, Limfosit, Monosit

3. Trombosit : berfungsi dalam proses pembekuan darah yang berperan


penting untuk sistem hemostasis dalam tubuh

2.2 DEFINISI AGRANULOCYTOSIS

96
Agranulocytosis adalah kondisi saat myel/o gagal membentuk
agranulosit, yaitu jenis sel leucocyte yang bertugas melawan infeksi.
Agranulocytosis harus segera ditangani karena dapat mengancam
nyawa.

2.3 PATHOFISIOLOGI AGRANULOCYTOSIS

Adapun jenis obat-obatan yang dapat menyebabkan terjadinya


agranulositosis adalah clozapine, antimalaria, obat untuk menangani
hipertiroidisme dan obat antiradang (vincento, 2017)

Agranulositosis dapat terjadi pada semua orang, meski lebih sering


terjadi pada orang yang berusi lanjut. Pada anak-anak, agranulositosis
biasanya disebabkan karena genetik.

Kondisi yang bisa menyebabkan agranulositosis :

- Penyakit autoimun, seperti lupus dan rheumatoid arthritis

- Penyakit pada myel/o, seperti anemia aplastik, leukemia, dan sindrom


mielodisplasia

- Infeksi virus, seperti virus hepatitis, HIV, dan cytomegalovirus (CMV)

- Infeksi bakteri, seperti pada fever tifoid dan tuberkulosis

- Infeksi parasit, seperti malaria

- Paparan senyawa kimiawi, seperti arsenik atau merkuri

- Penggunaan obat-obatan tertentu, seperti obat antipsikotik, obat


malaria, OAINS, kemoterapi untuk kanker, dan obat untuk hipertiroid

97
SYMPTOM AGRANULOCYTOSIS :

- Fever

- Malaise

- Cephalgia

- Selesma

- Ptisis

- Dyspnea

- Hypotermia

- Dernatitis

- Bronchitis

- Sariawan yang tidak kunjung membaik

- Chondralgia

2.4 DIAGNOSIS AGRANULOCYTOSIS

Diagnosis dari agranulositosis dapat ditentukan berdasarkan wawancara


medis yang mendetail, pemeriksaan fisik secara langsung, dan
pemeriksaan penunjang tertentu bila dinilai dibutuhkan.

Pada wawancara medis, dokter dapat menanyakan mengenai adanya


kondisi kesehatan tertentu atau konsumsi pengobatan tertentu.

98
Pemeriksaan darah dan urine dibutuhkan untuk mengevaluasi
terdapatnya infeksi dan memeriksa hitung jenis sel darah putih.

2.5 PENATA LAKSANAAN AGRANULOCYTOSIS


Kuratif dan tindakan

1. Antibiotik

Antibiotik yang akan diresepkan oleh dokter tergantung pada tingkat


keparahan infeksi. Pada penderita agranulositosis dengan jumlah
neutrofil yang sangat rendah, antibiotik bisa diberikan sebelum terjadinya
infeksi guna menurunkan risiko terjadinya infeksi yang berat.

2. Suntik granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF)

G-CSF diberikan melalui suntikan di bawah derma pasien. Hal ini


dilakukan untuk merangsang myel/o agar menghasilkan lebih banyak
granulosit.

3. Imunosupresan

Jika agranulositosis disebabkan oleh penyakit autoimun, dokter akan


memberikan obat yang dapat menekan respons kekebalan tubuh yang
berlebihan.

4. Transplantasi myel/o

Jika tidak bisa ditangani dengan obat-obatan, dokter akan melakukan


transplantasi sumsum tulang. Prosedur ini umumnya dilakukan pada
pasien yang berusia di bawah 40 tahun dengan fungsi organ tubuh yang
baik.

99
Preventif

Agranulocytosis tidak dapat dicegah, kecuali bila kondisi ini disebabkan


oleh obat-obatan yang bisa diganti. Hal penting yang perlu dicegah pada
kondisi agranulocytosis adalah infeksi. Anda bisa mengurangi risiko
terkena infeksi dengan sebisa mungkin menghindari tempat ramai dan
makanan yang berpotensi terpapar bakteri, misalnya buah atau sayur
yang tidak dicuci atau dikupas dengan bersih.

2.6 PENUNJANG MEDIS AGRANULOCYTOSIS

Tes darah

Dokter menggunakan tes darah memeriksa pasien


untuk dilihat kadar leukosit terutama leukosit granulosit

100
BAB III
PEMBAHASAN

Gambar diatas merupakan suatu kondisi saat myel/o gagal membentuk


agranulosit, yaitu jenis sel leucocyte yang bertugas melawan infeksi.

Gambar diatas merupakan kondisi yang bebas dari penyakit


agranulocytosis.
101
Ada beberapa pilihan pengobatan yang dapat diberikan oleh dokter
untuk mengatasi agranulositosis adalah:

- pemberian antibiotik

- suntik granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF)

- imunosupresan

- transplantasi myel/o.

102
BAB IV
PENUTUP

Agranulocytosis adalah kondisi saat myel/o gagal membentuk


agranulosit, yaitu jenis sel leucocyte yang bertugas melawan infeksi.
Agranulocytosis harus segera ditangani karena dapat mengancam
nyawa.

Agranulositosis dapat terjadi pada semua orang, meski lebih


sering terjadi pada orang yang berusia lanjut. Pada anak-anak,
agranulositosis biasanya disebabkan karena genetik. Selain itu penyakit
ini dapat pula disebabkan oleh infeksi parasite, virus atau bakteri,
paparan zat kimiawi, penyakit autoimun Dan lain-lain.

103
BAB V
TERMINOLOGI

AGRANULOCYTOSIS

Prefix = A (tanpa)

Root = -Granulocyte (salah satu sel darah putih)

Suffix = -Osis (kondisi, gangguan)

CEPHALGIA

Prefix =-

Root = cephal/o (kepala)

Suffix = -algia (sakit)

BRONCHITIS

Prefix =-

Root = bronchi/o (tabung bronkial)

Suffix =-itis (peradangan)

CHONDRALGIA

Prefix =- Root = chondr/o (tulang)

Suffix = -algia (nyeri

104
DAFTAR PUSTAKA

Vicente, N., Cardoso, L., Barros, L., & Carrilho, F. (2017). Antithyroid
drug-induced agranulocytosis: state of the art on diagnosis and
management. Drugs in R&D, 17(1), 91-96.

Estcourt, L.J., Stanworth, S., Doree, C., Blanco, P., Hopewell, S., Trivella,
M., & Massey, E. (2015). Granulocyte transfusions for preventing
infections in people with neutropenia or neutrophil dysfunction.
Cochrane Database of Systematic Reviews, 6, CD005341.

Ibáñez L, Vidal X, Ballarín E, et al. Population-Based Drug-Induced


Agranulocytosis. Arch Intern Med. 2005;165(8):869-874.
doi:10.1001/archinte.165.8.869

Irianto, K. (2013). Anatomi dan fisiologi untuk mahasiswa.

Lally, J., Malik, S., Whiskey, E., Taylor, D. M., Gaughran, F. P., Krivoy,
A., ... & MacCabe, J. H. (2017). Clozapine-associated
agranulocytosis treatment with granulocyte colony- stimulating
factor/granulocyte-macrophage colony-stimulating factor: a systematic
review. Journal of clinical psychopharmacology, 37(4), 441-446.

Firani, N. K. (2018). Mengenali Sel-Sel Darah dan Kelainan Darah.


Universitas Brawijaya Press.

Hidayati, Nurul. (2012). HEMATOPOETIK DAN LIMFORETIKULER :


AGRANULOCYTOSIS. Diakses (tanggal-bln-tahun), dari Fakultas
Kedokteran Universitas Mataram.

105
ANOMALIES OF LEUKOCYTE

Dosen Pengampu :

dr. R. A. Rengganis Ularan, MM

Disusun Oleh :

1. Putri Fitri Asari 205025


2. Nurul Izzah Ningsih 205063
3. Nurjihan Safitri 205103
D3 RMIK
2021

106
BAB I
PENDAHULUAN
Leukosit merupakan cyt/o yang mengandung inti (Sutedjo,
(2006). Di dalam hemo manusia, normal didapati jumlah leukosit
3
rata-rata 5000-9000 sel/mm meningkatnya jumlah leukosit sebesar
15.000 selama persalinan. Leukosit tampak bening & tidak
berwarna,bentuknya lebih besar dari eritrosit, namun jumlah leukosit
lebih sedikit.

Di dalam tubuh, leukosit tidak berasosiasi secara ketat


dengan organ atau jaringan tertentu, mereka bekerja secara
independen seperti organisme sel tunggal. Leukosit mampu
bergerak secara bebas dan berinteraksi dan menangkap serpihan
seluler, partikel asing, atau mikroorganisme penyusup. Selain itu,
leukosit tidak bisa membelah diri atau bereproduksi dengan cara
mereka sendiri, melainkan mereka adalah produk dari sel
punca hematopoietic pluripotent yang ada pada medulla ossea.

107
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI ANOMALIES OF LEUKOCYTE

Leukosit merupakan blood cell yang mengandung inti (Sutedjo, 2006).


Di dalam hemato manusia, normal didapati jumlah leukosit rata-rata
3
5000-9000 sel/mm meningkatnya jumlah leukosit sebesar 15.000
selama persalinan. Jumlah leukosit akan tetap tinggi selama beberapa
hari pertama masa post partum.

Leukosit tampak bening & tidak berwarna,bentuknya lebih besar dari


eritrosit, namun jumlah leukosit lebih sedikit. Diameter lekosit kurang
lebih 10 µm. Batas normal jumlah leukosit berkisar 4.000 – 10.000 / mm³
darah. Leukosit di dalam tubuh berfungsi untuk mempertahankan tubuh
terhadap benda –benda asing ( foreign agents) termasuk kuman –
kuman penyebab penyakit infeksi.

Leukosit yang berperan sebagai fungsi defensif merupakan monosit,


netrofil. Lekosit juga memperbaiki kerusakan vaskuler. Leukosit yang
memegang peranan merupakan eosinofil sedangkan basofil belum di
ketahui pasti. Dilihat pada mikroskop cahaya maka leukosit memiliki
granula spesifik (granulosit), yang pada keadaan hayati berupa tetesan
1/2 cair, pada sitoplasmanya & memiliki bentuk inti yang bervariasi, Yang
tidak memiliki granula, sitoplasmanya sejenis menggunakan inti bentuk
bundar atau bentuk kidney.

Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan humoral


organisme terhadap zat-zat asingan. Jumlah leukosit per microliter
hemato, pada orang dewasa normal adalah 4000-11000, waktu lahir
108
15000-25000, dan menjelang hari ke empat turun sampai 12000, pada
usia 4 tahun sesuai jumlah normal. Jumlah total leukosit meningkat
selama kehamilan. Jumlah leukosit pada perempuan yang tidak hamil
adalah sekitar 4300-4500/ml dan pada perempuan hamil meningkat
mencapai 5000-12000/ml selama kehamilan trimester akhir. Namun
demikian, jumlah peningkatan yang tertinggi sebanyak 16000/ml pernah
ditemukan pada perempuan hamil trimester 3.

2.2 DEFINISI ANOMALIES OF LEUKOCYTE

Terdapat dua jenis leukosit yaitu:

a. Agranulosit : yang tidak mempunyai granula spesifik, sitoplasmanya


homogen dengan inti bentuk bulat atau bentuk ginjal. Terbagi menjadi 2 ;
limfosit sel kecil, sitoplasma sedikit, monosit sel agak besar mengandung
sitoplasma lebih banyak.

b. Granulosit : yaitu leukosit yang mempunyai granula spesifik, yang dalam


keadaan hidup berupa tetesan setengah cair, dalam sitoplasmanya dan
mempunyai bentuk inti yang bervariasi
(https://www.dosenpendidikan.co.id/pengertian-leukosit/). Terbagi
menjadi tiga leukosit ; Neutrofil, Basofil, dan Asidofil.

Function Leukosit
Function umum leukosit sebagai berikut:

1. Defensif yaitu mempertahankan tubuh dari benda benda asing


yang dilakukan oleh neutofil dan monosit
(https://www.dosenpendidikan.co.id/pengertian-leukosit/).

109
2. Reparatif yaitu memperbaiki jaringan yang rusak yang dilakukan
oleh basofil

Fugsi khusus leukosit sebagai berikut:


1. Neutrofil berperan dalam fagositosis.
2. Eosinofil berperan dalam respon terhadap penyakit parasit dan
penyakit alergi.
3. Basofil berperan dalam mengeluarkan histamin, heparin dan
dilepaskan setelah pengikatan IgE ke reseptor permukaan,
berperan penting pada reaksi hipersensitivitas segera.
Hipersensitivitas adalah reaksi-reaksi dari system kekebalan
tubuh yang normal mengalami cedera atau terluka.
4. Limfosit berperan dalam pertahanan tubuh lewat sel ( sel B sel T)
sel B memperantarai imunitas humoral. Sel T memperantarai
imunitas seluler.
5. Monosit berperan dalam fagositosis ekstravaskuler.

Sifat Leukosit
Sifat-sifat leukosit sebagai berikut:

1. Kemoktaksis yaitu tertarik pada daerah yang mengeluarkan zat


kimia tertentu.
2. Amoeboid motion yaitu dapat bergerak seperti amoeba.
3. Diapedesis yaitu dapat melewati membran kapiler sehingga
dapat melewati pembuluh darah dengan mengerutkan sel nya.
4. Fagositosis yaitu menghancurkan benda benda asing yang
masuk ke dalam tubuh yang dilakukan oleh neutrofil dan
monosit.

2.3 PATHOFISIOLOGI ANOMALIES OF LEUKOCYTE

110
Etiologi Infeksi virus dan sepsis bakterial yang berlebihan dapat
menyebabkan leukopenia. Etiologi tersering adalah poisoning obat
seperti fenotiazin, begitu juga clozapine yang merupakan suatu
neuroleptika atipikal. Obat antitiroid, sulfonamide, fenilbutazon, dan
chloramphenicol juga dapat menyebabkan leukopenia.
Etiologi dari agranulositosis adalah penyinaran tubuh oleh sinar gamma
yang disebabkan oleh ledakan nuklir atau terpapar obat-obatan
(sulfonamida, kloramphenikol, antibiotik betalaktam, Penicillin,ampicillin,
tiourasil). Kemoterapi untuk pengobatan keganasan hematologi atau
untuk keganasan lainnya.

Symptom Leukosit Tinggi atau Leukositosis


Leukosit tinggi atau leukositosis tidak selalu menimbulkan symptom.
Namun, orang yang mengalami leukosit tinggi bisa mengalami beberapa
sign dan symptom berikut ini:
1. Fever
2. Haemoragic.
3. Malaise
4. Vertigo atau chepalgia
5. Palmar, plantar, atau abdomen terasa paresthesia
6. Diskonsentrasion
7. Berat badan turun tanpa sebab
8. Anorexsia
Jika merasakan symptom-symptom di atas, segera kunjungi dokter agar
dapat dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.

2.4 DIAGNOSIS ANOMALIES OF LEUKOCYTE

Untuk menentukan diagnosis leukosit tinggi dan menentukan etiologinya,


dokter akan melakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang

111
berupa tes hemato lengkap. Setelah etiologi leukosit tinggi diketahui,
dokter akan memberikan treatment yang sesuai untuk mengatasi etiologi
tersebut.

2.5 PENATA LAKSANAAN ANOMALIES OF LEUKOCYTE

Kuratif dan tindakan


1. Obat antibiotik, jika leukositosis disebabkan oleh inflamasi
mikroorganisme.
2. Obat antihistamin, jika leukositosis disebabkan oleh reaksi
hipersensitivitas.
3. Penghentian atau penggantian obat, jika leukositosis disebabkan
oleh efek toksik obat.
4. Obat anti inflamasi, jika leukositosis disebabkan oleh inflamasi.
Kemoterapi, radioterapi, dan transplantasi myel, jika leukositosis
disebabkan oleh leukemia. (https://www.alodokter.com/leukositosis)
Preventif
1. Menghindari hal-hal pemicu hipersensitivitas.
2. Berhenti merokok.
3. Menerapkan pola hidup bersih dan sehat untuk mencegah inflamasi.
4. Tidak mengonsumsi obat sembarangan, khususnya obat untuk
inflamasi.
5. Konsumsilah obat sesuai instruksi dokter.

2.6 PENUNJANG MEDIS ANOMALIES OF LEUKOCYTE

Pemeriksaan penunjang yang dapat dijalani oleh pasien antara lain:

 Pemeriksaan dahak atau foto Rontgen dada, untuk melihat


apakah terjadi infeksi yang menyebabkan jumlah sel darah
putih tinggi.
112
 Aspirasi sumsum tulang, untuk mengetahui apakah terjadi
kelainan pada sumsum tulang, seperti pada pasien leukemia.
 Pemeriksaan genetik, untuk menentukan apakah leukositosis
disebabkan oleh perubahan genetik.

BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Gambar Disease Leukosit

3.2 Gambar Normal Leukosit

Keadaan saat normal dan Abnormal


Keadaan saat normal

113
Leukosit tampak bening & tidak berwarna,bentuknya lebih besar
dari eritrosit, namun jumlah leukosit lebih sedikit. Diameter lekosit kurang
lebih 10 µm. Batas normal jumlah leukosit berkisar 4.000 – 10.000 / mm³
darah. Leukosit di dalam tubuh berfungsi untuk mempertahankan tubuh
terhadap benda –benda asing ( foreign agents) termasuk kuman –
kuman penyebab penyakit infeksi.
Keadaan saat abnormal

jumlah sel darah putih yang terdapat dalam tubuh lebih tinggi dari jumlah
normalnya. Jumlah sel darah putih normal berbeda-beda, tergantung
usia. Berikut adalah jumlah normal sel darah putih per mikroliter darah
(sel/µL darah) berdasarkan kelompok usia:

 Bayi yang baru lahir: 9.400 – 34.000


 Balita (3-5 tahun): 4.000 – 12.000
 Remaja (12-15 tahun): 3.500 – 9.000
 Dewasa (15 tahun ke atas): 3.500 – 10.500

Jumlah leukosit normal tersebut merupakan jumlah gabungan dari


berbagai jenis leukosit, yaitu neutrofil, eosinofil, basofil, limfosit, dan
monosit.

114
BAB IV
PENUTUP
Leukosit merupakan blood cell yang mengandung inti (Sutedjo, 2006).
Di dalam hemato manusia, normal didapati jumlah leukosit rata-rata
3
5000-9000 sel/mm meningkatnya jumlah leukosit sebesar 15.000
selama persalinan. Jumlah leukosit akan tetap tinggi selama beberapa
hari pertama masa post partum.
Leukosit tampak bening & tidak berwarna,bentuknya lebih besar dari
eritrosit, namun jumlah leukosit lebih sedikit. Diameter lekosit kurang
lebih 10 µm. Batas normal jumlah leukosit berkisar 4.000 – 10.000 / mm³
darah. Leukosit di dalam tubuh berfungsi untuk mempertahankan tubuh
terhadap benda –benda asing ( foreign agents) termasuk kuman –
kuman penyebab penyakit infeksi.

115
BAB V
TERMINOLOGI
 Leukopenia
(berkurangnya jumlah leukosit dalam darah)

P :-
R : leuko : leukosit
R : leuk/o,cyt/o
S : penia : kekurangan

 Agranulositosis
(kondisi saat sumsum tulang gagal membentuk granulosit)

P : A : tidak
R : granul/o = butiran kecil dan halus terdapat dalam sel
S : osis : keadaan,kondisi

 Hypersensitivity
( reaksi tubuh berupa respon imun yang berlebih terhadap
benda asing )

P : hyper : lebih
R : sensitivity
S :-
Leukocyte

(sel darah putih)


P:-
R : leuk/o : putih cyte : sell
S:-
116
DAFTAR PUSTAKA
Rinda Harpania Pritanandi (2014). Gambaran gejala klinik Haemoglobin,
Leukosit, Trombosit dan Widal. Iv.

Sutedjo, (2006). Leukosit. Universitas muhammadiyah semarang, 6-12

Harpania Pritanandi (2014). Gambaran gejala klinik Haemoglobin,


Leukosit, Trombosit dan Widal. 26

Nuzulul Hikmah, I dewa ayu (2010). Seputar reaksi hipersensitivitas


(Alergi). 1

https://www.alodokter.com/leukositosis. Diakses tanggal 31 Mei 2021


pukul 11.00 wib

https://halosehat.com/penyakit-dan-kelainan/leukositosis. Diakses
tanggal 31 Mei 2021 pukul 11.20 wib

117
APLASTIC ANEMIAS

Dosen Pengampu :
dr. R.A. Rengganis Ularan, MM

Disusun Oleh :
Romiatul Khasanah 205030
Regita Shofwatun N 205068
Saffana Audrey Hanifia 205108

D3 RMIK
2021

118
BAB I
PENDAHULUAN
Anemia Aplastik dapat terjadi pada semua golongan usia, serta dapat
diturunkan secara genetik ataupun didapat. Insiden anemia aplastik
didapat mencapai puncak pada golongan umur 15-25 tahun, sedangkan
jumlah tertinggi kedua berada pada golongan usia diatas 60 tahun. Rasio
anemia aplastik pada pria dan wanita adalah 1:1, namun perjalanan
disease serta manifestasi klinis pada pria lebih berat dibandingkan
wanita. Mekanisme primer terjadinya anemia aplastik diperkirakan
melalui kerusakan pada stem cells (seed theory), kerusakan lingkungan
mikro (soil theory) dan melalui mekanisme imunologi (immune
suppression). Mekanisme ini terjadi melalui berbagai faktor (multi
faktorial) yaitu: familial (herediter), idiopathic (penyebabnya tidak dapat
ditemukan) dan didapat yang disebabkan oleh obato batan, bahan kimia,
radiasi ion, infeksi, dan kelainan imunologis. Anemia aplastik merupakan
kegagalan hematopoiesis yang relatif jarang dijumpai namun berpotensi
mengancam nyawa. Anemia aplastik merupakan disease yang akan
diderita seumur hidup, sehingga diperlukan kerjasama tim medis, pasien,
serta keluarga dan lingkungan dalam pengelolaan disease ini. Edukasi
terhadap pasien dan keluarganya tentang disease dan komplikasi yang
memungkinkan akan sangat membantu memperbaiki hasil pengobatan,
serta diharapkan dapat membantu memperbaiki kualitas hidup pasien.

119
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI

Emia dibagi menjadi 2 yaitu plasma emia dan hemocyte Plasma emia.
Terdiri dari air dan protein emia yaitu albumin, globulin, dan fibrinogen.
Cairan yang tidak mengandung unsur fibrinogen disebut serum emia.
Bagian-bagian plasma emia menurut Syaifuddin (1997) meliputi :
a. Air : 91%

b. Protein : 3% (albumin, globulin, protombin, dan fibrinogen)

c. Mineral : 0,9% (natrium klorida, natrium bikarbonat, garam fosfat,


magnesium, kalsium dan zat besi)

d. Bahan organik : 0,1% (glukosa, lipo, asam urat, kreatinin, kolesterol,


dan asam amino)

2. Emia terdiri dari 2 bagian yaitu :

a. hemocyte ada 3 macam, yaitu :

120
1) Eritrosit (sel darah merah)
Eritrosit berbentuk cakram bikonkav, tanpa inti cyt, berdiameter 8
mikron, tebalnya 2 mikron dan ditengah tebalnya 1 mikron. Eritrosit
mengandung hemoglobin, yang memberinya warna merah.
2) Leukosit (sel darah putih)
Leukosit dibagi menjadi 2, yaitu :
a) Granulosit adalah leukosit yang didalam sitoplasmanya memiliki
butir-butir kasar (granula). Jenisnya adalah eosinofil, basofil, dan
netrofil.
b) Agranulosit adalah leukosit yang sitoplasmanya tidak memiliki
granula, jenisnya adalah limfosit (sel T dan sel B) dan monosit.
c) Trombosit/platelet (sel pembeku emia)

2.2 Definisi Anemia Aplastik


Anemia aplastik pertama kali di deskripsikan oleh Ehrlich tahun 1888,
sampai sekarang disease ini mempunyai reputasi yang rnenakutkan.
Banyak pasien anemia aplastik meninggal karena proses disease nya
yang progresif. Dasar disease ini adalah kegagalan mendula dalam
memproduksi cell hematopoetik dan limfopoetik, yang mengakibatkan
tidak ada atau berkurangnya hemocyte di peripheral blood, keadaan ini
disebut sebagai pancytopenia (Isyanto, 2005). Anemia aplastik (AA)
adalah suatu kelainan yang ditandai oleh panchytopenia pada peripheral
blood dan penurunan selularitas mendula. Pada keadaan ini jumlah
hemocyte yang diproduksi tidak memadai (Ambara Jaya, 2014).
Penderita mengalami panchytopenia, yaitu keadaan dimana terjadi
kekurangan jumlah eritrosit, leukosit, dan trombosit. Anemia aplastik
mayoritas terjadi pada umur 15 dan 25 tahun, dan ada puncak kedua
yang lebih kecil pada kasus anemia aplastik setelah umur 65 – 69 tahun.
Wanita lebih jarang terkena anemia aplastik dibandingkan pada pria

121
2.3 Pathofisiologi Anemia Aplastik
Anemia aplastik adalah suatu gangguan stem cell di medula spinalis
yang dapat menimbulkan kematian. Pada keadaan ini berkurangnya
hemocyte dalam peripheral blood sebagai akibat berhentinya
pembentukan cyt hemopoetik dalam medulla (Wijaya & Putri, 2013).
Anemia aplastik adalah anemia yang disertai oleh pancytopenia atau
bicytopenia pada peripheral blood yang disebabkan oleh kelainan primer
pada medulla dalam bentuk aplasia atau hipoplasia tanpa adanya
infiltrasi, supresi atau pendesakan medulla (Bakta, 2017).
Kerusakan Langsung Pada medulla dapat ditimbulkan oleh paparan
radiasi, benzene dan kemoterapi sitotoksik. Dampak kerusakan ini
bersifat dose-dependent dan transien pada dosis konvensional. Defek
genetik yang dimaksud adalah defek genetik yang menghilangkan
kapasitas cyt hematopoietik untuk memperbaiki DNA seperti pada
anemia Fanconi (replication-dependent removal of interstrand DNA
cross-links) dan diskeratosis kongenital (telomere maintenance and
repair) atau defek genetik yang mengganggu jalur diferensiasi dan self-
renewal seperti pada defisiensi GATA2. Selain itu, kegagalan medulla
pada anemia aplastik dapat disebabkan pula oleh sindrom yang
mempengaruhi regulasi imun contohnya pada mutasi cytotoxic T-
lymphocyte–associated antigen 4 (CTLA-4), defisiensi adenosin
deaminase 2 (DADA2).
Hampir sebagian besar kasus sporadis anemia aplastik tampaknya
dimediasi oleh kelainan pada imunitas. Bukti paling relevan untuk
mekanisme ini ialah adanya perbaikan hitung darah setelah pemberian
imunosupresif siklosporin. Selain itu, anemia aplastik berhubungan pula
dengan kelainan imun seperti eosinofilik fasciitis, thymoma dan
seronegatif hepatitis. Patofisiologi gangguan imun terhadap anemia

122
plastik diduga terletak pada cyt T sitotoksik, cyt T-regulator, antigen
histokompatibilitas dan otoantibodi. [2-5]
Menurut (Bakta, 2017) mekanisme terjadinya anemia aplastik
diperkirakan melalui :
a. Kerusakan sel induk (seed theory)
b. Kerusakan lingkungan mikro (soil theory)
c. Mekanisme imunologik
Anemia aplastik biasanya disebabkan oleh dua faktor penyebab, yaitu
faktor primer dan sekunder. Anemia aplastik sering diakibatkan oleh
radiasi dan paparan bahan kimia. Akan tetapi, kebanyakan pasien
penyebabnya adalah bersifat idiopathic, yang berarti penyebabnya tidak
diketahui. Anemia aplastik dapat juga berkaitan dengan infeksi virus dan
dengan disease lainnya
2.4 Diagnosa dan Diagnosa banding Anemia Aplastik

Diagnosis definit anemia aplastik ditegakkan melalui biopsi sumsum


tulang. Pemeriksaan penunjang khusus seperti tes serologi atau
pemeriksaan sitogenetik juga dapat dilakukan untuk mengevaluasi
penyebab anemia aplastik. [1-4, 8-15]
1. Anamnesis

Anamnesis pasien dengan anemia aplastik berupa gejala


pansitopenia yang dialami:
Anemia: keluhan mudah lelah, sesak nafas
Leukositopenia: riwayat infeksi berulang.
Trombositopenia: perdarahan mukosa, bintik merah pada kulit
Anamnesis yang mendetail juga perlu dilakukan mengenai
kemungkinan faktor risiko atau etiologi penyakit ini, misalnya riwayat
paparan radiasi/obat/bahan kimia atau riwayat keluarga yang
mengalami kelainan genetik. [1-4, 8-10]
2. Pemeriksaan Fisik
123
Pemeriksaan fisik pasien anemia aplastik akan menemukan tanda
anemia (konjungtiva palpebra pucat, takikardia), lebam, petekie,
purpura, perdarahan mukosa gusi. Selain itu, bisa ditemukan pula
manifestasi klinis yang berhubungan dengan sindrom bawaan
spesifik misalnya tubuh pendek, mikrosefalus, anomali pada
skeletal, urogenital atau lesi kulit misalnya lesi café-au-lait, distrofi
kuku tangan. [1-4, 8-10]. Hepatomegali, splenomegali, dan
limfadenopati tidak ditemukan pada penderita anemia aplastik. Jika
ditemukan, hal tersebut mengarah ke diagnosis banding. [1-4, 8-10]
3. Diagnosis Banding

Diagnosis banding anemia aplastik meliputi anemia megaloblastik,


penyakit infiltratif sumsum tulang, kondisi supresi sumsum tulang
yang reversibel, hipersplenisme, dan large granular lymphocyte
leukemia.

2.5 Penata laksanaan Anemia Aplastik

Pengobatan (kuratif)

Androgen digunakan sebagai terapi anemia aplastik sejak tahun 1960.


Efek androgen dalam kuratif aplastik untuk meningkatkan produksi
eritropoetin dan merangsang cyt stem eritroid. Penggunaan androgen
tunggal sebagai terapi anemia aplastik ternyata tidak meningkatkan
angka kesintasan pada pasien. Penelitian yang dilakukan di Amerika
Serikat, androgen sebagai tambahan terapi antitymocyteglobulin (ATG)
juga tidak menunjukkan keuntungan, sedangkan penelitian yang
dilakukan di Eropa menunjukkan androgen hanya meningkatkan respons
hematologi tetapi tidak meningkatkan angka ke-sintasan. Terapi
androgen pada pasien anemia aplastik yang gagal dengan terapi
imunosupresan mungkin berguna, meskipun berbahaya. Preparat
124
androgen yang sering digunakan adalah metil testosteron,
testosteronenantat, testosteron propionat, oksimetolon danetiokolanolon.
Dosis yang digunakan adalah 2-5 mg/kg berat badan/minggu, secara
intramuskular. Dosisnandrolon dekanoat diberikan 5 mg/kg berat badan
/minggu.11,12 Efek samping yang dapat timbul daripemberian preparat
androgen ini seperti kolestasis,hepatomegali, tumor hepar,
maskulinisasi, kebotakan, dan pembesaran alat kelamin. Pasien dengan
terapiandrogen sebaiknya dilakukan pemeriksaan fungsi hatisecara
berkala, pemeriksaan ultrasonografi hati setiaptahun, dan pemeriksaan
usia tulang per tahun

Pencegahan (preventif)

Belum ada cara untuk mencegah anemia aplastik. Namun, untuk


menurunkan risiko terjadinya kondisi ini, hindarilah paparan zat kimia,
seperti pestisida, insektisida, pelarut organik, atau penghilang cat.
2.6 Penunjang Medis Anemia Aplastik
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik penderita anemia aplastik dapat diperoleh
seperti sindrom anemia, gingivitis, retina, nares, dan derm. Signs infeksi
ditemukan adanya demam. Pembesaran hepatomegaly. Sign anemia
Fanconi, yaitu bintik Café au lait dan postur tubuh yang pendek. Tanda
dyskeratosis congenita, yaitu ductylos yang aneh dan leukoplakia.
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium pasien anemia aplastik dapat ditemukan
peripheral blood (Granulosit < 500/mm3, Trombosit < 20.000/mm3 , dan
Retikulosit < 1.0%). Pada pemeriksaan anemia aplastik ditemukan kadar
retikulosit yang sedikit atau bahkan tidak ditemukan. Dari ketiga kriteria
peripheral blood di atas, dapat ditentukan berat tidaknya suatu anemia
aplastik yang diderita oleh pasien. Cukup dua dari tiga kriteria di atas

125
terpenuhi, maka individu sudah dapat digolongkan sebagai penderita
anemia aplastic
Pemeriksaan penunjang umum pada anemia aplastik meliputi
pemeriksaan darah lengkap, hitung diferensial dan apusan haema
perifer, tes fungsi renal dan tes fungsi hepar. Pemeriksaan khusus
seperti flow cytometry, hemoglobin elektroforesis, tes serologi untuk
virus, pemeriksaan sitogenetik, tes molekular pada sumsum tulang,
inkubasi diepoxybutane dilakukan seusai temuan anamnesis, klinis yang
mengarah ke diagnosis alternatif atau yang berhubungan dengan
kelainan genetik bawaan. [1-4, 8-10]. Pemeriksaan yang dapat
mengonfirmasi anemia aplastik adalah pemeriksaan aspirasi dan biopsi
sumsum tulang. Temuan diagnostik pemeriksaan sumsum tulang yang
mengonfimasi diagnosis anemia aplastik adalah hiposelularitas sumsum
tulang, tidak ada infiltrasi sel-sel maligna atau fibrosis, residu sel-sel
hematopoietik normal secara morfologi dan hematopoiesis tidak
megaloblastik.

126
BAB III
PEMBAHASAN
Gambar 3.1 anemia aplastik normal

Gambar 3.2 anemia aplastik yang mengalami infeksi

Gambar 3.3 anemia aplastik yang mengalami infeksi

Anemia aplastik terjadi karena adanya kerusakan pada sumsum


tulang, sehingga menyebabkan produksi sel darah menurun. Kerusakan
ini sangat berbahaya karena sumsum tulang berperan besar dalam
menghasilkan sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit.
Anemia memiliki tiga penyebab utama, yaitu kehilangan darah,
kurangnya produksi sel darah merah, dan tingkat kerusakan sel darah
merah yang tinggi. Namun terdapat penyebab umum lain yang menjadi
kemungkinan penyebab anemia meliputi: Kekurangan zat besi, vitamin
B12, atau asam folat. Konsumsi obat-obatan tertentu.

127
BAB IV
PENUTUP
Dari makalah di atas diketahui bahwa anemia aplastic
merupakan suatu kelainan yang ditandai oleh panchytopenia pada
peripheral blood dan penurunan selularitas mendula. Pada keadaan ini
jumlah hemocyte yang diproduksi tidak memadai. Penyebabnya masih
belum ditemukan kemungkinan terjadik karena obat obatan, bahan
kimia, radiasi ion, infeksi, dan kelainan imunologis. untuk menurunkan
risiko terjadinya kondisi ini, hindarilah paparan zat kimia, seperti
pestisida, insektisida, pelarut organik, atau penghilang cat.

128
BAB V
TERMINOLOGI
 Anemia Aplastik : defisiensi produk eritrocyt akibat gangguan pada
medulla

P = an- (tanpa)
R = -emia (darah)
S=-
P = a- (kurang)
R= -plastik (perbaikan dengan pembedahan)
S=-
 Panchytopenia : kondisi penurunan jumlah semua hemocyte

P = pan- (semua)
R = -chy (sel dalam hal ini eritrocyt)
S = -penia (kekurangan/penurunan/dibawah normal)
 Hypoplasia : tidak berkembangnya suatu organ atau jaringan

P = hypo- (rendah/dibawah)
R= -plasia (kelainan pertumbuhan)
S=-
 Dyspneo : kesulitan respire atau dyspnea

P = dys (kesulitan)
R = pneo (udara)
S=-
 Dyskeratosis : keratinisasi keratinosis yang abnormal

P = dys (kesulitan)
R = kerat/o (cornea)
S = osis (kondisi abnormal)
129
 Menorrhagia : hemoragi menstruasi yang berlebihan

P=-
R = men/o (menstruasi)
S = rrhagia (aliran yang berlebih)
 Organomegaly : pembesaran satu atau sejumlah organ dalam

P=-
R =organ/o (organ tubuh bagian dalam)
S = megaly (pembesaran)
 Hepatomegaly : pembesaran pada hepar

P=-
R = hepat/o (hati)
S = megaly (pembesaran)
 Splenomegaly : pembesaran limpa

P=-
R = splen/o (limfa)
S = megaly (pembesaran)
 Limfadenopathy : disease kelenjar getah bening

P=-
R = limfa (kelenjar getah bening), aden/o (kelenjar)
S = pathy (penyakit)

130
DAFTAR PUSTAKA
Dharmayuda, T. G., PD-KHOM, S., Pratiwi, N. M. I., & Tediantini, P. N.
ANEMIA APLASTIK.
Isyanto, I., & Abdulsalam, M. (2016). Masalah pada Tata Laksana
Anemia Aplastik Didapat. Sari Pediatri, 7(1), 26-33.
Jaya, I. K. H. A., Rena, R. A., & Suega, K. (2014). Prevalensi Pasien
Anemia Aplastik Yang Di Rawat Di Poliklinik Penyakit Dalam
Rsup Sanglah Denpasar Tahun 2014. E-Jurnal Medika
Udayana
http://repository.poltekkes-tjk.ac.id/824/5/BAB%20II.pdf
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/48499e8dd124c2
ac40269796189dd820.pdf
https://sinta.unud.ac.id/uploads/dokumen_dir/ee956bf3d82de7ba8f2e0ad
3b3e2192c.pdf

131
ANEMIA MAKROSITIK NORMOKRO

Dosen Pengampu :
dr. R. A. Rengganis Ularan, MM

Disusun oleh :
Salsa bila dwi puspita 205110

D3 RMIK
2021

132
BAB I
PENDAHULUAN

Anemia merupakan kondisi berkurangnya erythrocyte dalam


sirkulasi emia atau massa hemoglobin (Hb) sehingga tidak mampu
memenuhi fungsi sebagai pembawa oksigen ke seluruh jaringan
(Astutik dan Ertiana, 2018). Sedangkan menurut (WHO, 1992) anemia
adalah suatu keadaan yang ditunjukkan dengan kadar Hb lebih rendah
dari batas normal untuk kelompok orang yang bersangkutan.

Gejala dan tanda anemia bergantung pada derajat dan kecepatan


terjadinya anemia, juga kebutuhan oksigen penderita. Gejala akan
lebih ringan pada anemia yang terjadi perlahan lahan, karena ada
kesempatan bagi mekanisme homeostatik untuk menyesuaikan dengan
berkurangnya kemampuan darah membawa oksigen. Gejala anemia
disebabkan oleh 2 faktor: Berkurangnya pasokan oksigen ke jaringan
& Adanya hipovolemia pada penderita dengan perdarahan akut dan
massif. (Noerwanty Ridwan,2018). Salah satu klasifikasi anemia adalah
anemia makrositik, anemia makrositik normokrom disebabkan karena
perdarahan akut, hemolisi, dan penyakit – penyakit infiltratif metastatik
pada sumsum tulang (Pradipta dan Nuaba, 2018).

133
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Fisiologi


Anemia adalah suatu jaringan tubuh berupa cairan yang terdapat di
pembuluh darah yang jumlahnya pada orang sehat dewasa 1/3 dari
berat badan atau kira-kira 4-5 liter.Hal ini tergantung dari umur,
pekerjaan, keadaan cardio dan pembuluh darah (Indriani, H. D., &
Burhanto, B., 2016)

Anemia Makrositik Normokrom berarti ukuran sel-sel darah merah


lebih besar dari normal tetapi normokrom karena konsentrasi
hemoglobinnya normal (MCV meningkat, MHHC normal). Hal ini
diakibatkan oleh gangguan atau terhentinnya sintesis asam nukleat
DNA seperti yang ditemukan pada defis iensi B12 dan atau asam
folat.Ini dapat juga terjadi pada kemoterapi kanker, sebab agen-agen
yang digunakan mengganggu metabolisme sel (Indriani, H. D., &
Burhanto, B., 2016)

Anemia ini merupakan kondisi dimana ditemukan pada morfologi


apusan emia tepi berupa erythrocyte yang besar (makrositik) dan warna
yang normal / tidak mengalami kepucatan (hipkrom). Yang termasuk
dari anemia jenis ini ialah anemia megaloblastik yang disebabkan oleh
gangguan sintesis DNA akibat defisiensi vitamin B12 dan Asam folat
(Indriani, H. D., & Burhanto, B., 2016).

2.2 Definisi Anemia Makrositik Normokrom


Anemia Makrositik Normokrom merupakan anemia yang terjadi
karena pengeluaran emia yang berlebih sehingga menyebabkan
susmsum tulang harus bekerja lebih keras dalam proses eritropoiesis
134
(Astutik dan Ertiana, 2018). Pada anemia makrostitik ukuran sel darah
merah bertambah besar dan jumlah hemoglobin (Hb) pada tiap sel juga
bertambah. Pada anemia makrositik terdapat dua jenis yaitu, anemia
megaloblastik dan anemia non megaloblastik.

Anemia makrositik biasanya ditandai dengan ukuran erythrocyte


yang besar yang disebabkan karena pematangan erythrocyte yang
tidak sempurna. Ukuran erythrocyte yang matang berukuran kecil,
sedangkan ukuran erythrocyte yang belum matang berukuran besar.
Anemia makrositik disebabkan bahan pematangnya tidak sempurna,
gangguan pada hepar, atau gangguan pada sumsung tulang.
Gangguan ini menyebabkan erythrocyte berukuran makro (MCV> 100fl)
(Oehadian, 2018).

Anemia ini disebabkan karena kekurangan vitamin B 12. Medulla


ossium memerlukan vitamin B 12 dan asam folat untuk menghasilkan
erythrocyte. Jika salah satunya kurang bisa terjadi anemia
megaloblastic. Anemia makrositik memiliki ciri ciri sel darah putih dan
jumlah trombositnya abnormal. Pernanan asam folat dan vitamin B 12
adalah sebagai metabolisme intraseluler (Oehadin, 2018).

2.3 Patofisiologi Anemia Makrositik Normokrom

Anemia Makrositik Normokrom disebabkan oleh karena rendahnya


asupan besi, gangguan absorbs, serta kehilangan besi akibat
perdarahan menahun.

1. Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun dapat berasal


dari :
a. Saluran cerna : akibat tukak peptik, pemakaian salisilat atau
NSAID, kanker lambung, divertikulosis, hemoroid, dan infeksi
cacing tambang.

135
b. Saluran genetalia (perempuan) : menorrhagia.
c. Saluran nafas : hemoptysis.
2. Faktor nutrisi, yaitu akibat kurangnya jumlah besi total dalam
makanan (asupan yang kurang) atau kualitas besi (biovailabilitas) besi
yang rendah.

3. Gangguan absorbsi besi, seperti pada gastrektomi dan colitis


kronik, atau dikonsumsi bersama kandungan fosfat (sayuran), tanin
(teh dan kopi), polyphenol (coklat, teh dan kopi), dan kalsium (susu
dan produk susu) (Indrasanti, D., Indradji, M., Samsi, M., Yuwono, E.,
Purwaningsih, Y., Umami, L. T., & Raditya,B. G., 2018).

Sign and Symptom


Anemia dapat terjadi sementara atau dalam jangka panjang,
dengan tingkat keparahan yang bisa ringan sampai berat. Anemia
merupakan gangguan darah atau kelainan hematologi yang terjadi
ketika kadar hemoglobin (bagian utama dari sel darah merah yang
mengikat oksigen) berada di bawah normal.

Sign and symptom anemia sangat bervariasi, tergantung pada


penyebabnya.
Penderita anemia bisa mengalami gejala berupa:

 Lemas dan cepat lelah


 Sakit kepala (chepalgia)
 Sering mengantuk, misalnya mengantuk setelah makan
 Kulit terlihat pucat atau kekuningan (icteric)
 Detak jantung tidak teratur (aritmia)
 Sesak napas (dyspnea)

Gejala di atas awalnya sering tidak disadari oleh penderita, namun akan
makinterasa seiring bertambah parahnya kondisi anemia

136
2.4 Diagnosa dan diagnosa banding Anemia Makrositik Normokrom

Anemia makrositik biasanya ditandai dengan ukuran erythrocyte


yang besar yang disebabkan karena pematangan erythrocyte yang
tidak sempurna. Ukuran erythrocyte yang matang berukuran kecil,
sedangkan ukuran erythrocyte yang belum matang berukuran besar.
Anemia makrositik disebabkan bahan pematangnya tidak sempurna,
gangguan pada hepar, atau gangguan pada sumsung tulang.
Gangguan ini menyebabkan erythrocyte berukuran makro (MCV> 100fl)
(Oehadian, 2018).

Anemia dengan retikulosit rendah terjadi karena penurunan


produksi erythrocyte di sumsum tulang, seperti pada anemia sekunder
(penyakit hati, penyakit ginjal, dan penyakit endokrin), penyakit infiltratif
(leukemia, mielofibrosis, mieloma), mielodisplasia, atau anemia aplastik.
Selain itu, juga dapat ditemukan pada awal anemia penyakit kronik
atau defisiensi besi.

2.5 Penatalaksanaan Anemia Makrositik Normokrom

Kuratif dan Preventif


Pengobatan anemia umumnya dilakukan dengan tujuan mengatasi
penyebab kekurangan emia. Berikut beberapa pengobatan dasar
anemia yang dianjurkan oleh dokter :

137
No Jenis Kuratif Penjelasan

1. Tranfusi emia Pada orang


dengan
anemia yang
berat,
transfusi
erythrocyte
biasanya
dibutuhkan.

2. Pemberian suplemen zat besi , vitamin Asam folat,


B12, asam folat, dan mineral lainnya salah satu
jenis vitamin B, um
direkomenda
sikan
anemia.

3. Kortikosteroid atau obat lain Untuk


menekankan
sistem
kekebalan
tubuh

138
4. Erythropoietin Obat yang
digunakan
untuk
membantu
sumsum
tulang
menjadi
lebih banyak
erythrocyte.

2.6 Penunjang medis Anemia Makrositik Normokrom

Adapun penunjang medis yang dapat dilakukan untuk


mengatasi Anemia Makrositik antara lain adalah

No Jenis Preventif Penjelasan

1 Melakukan pemeriksaan emia Ditemukan penurunan

secara menyeluruh kadar hemoglobin dan

makrositosis sel darah

merah yang ditandai

dengan peningkatan MCV

(mean corpuscular

volume). Pada keadaan

kronis dapat ditemukan

adanya neutropenia dan

trombositopenia

2 Schilling test Dilakukan untuk


139
mendeteksi kecepatan

absorpsi vitamin B12.

Pasien diberikan vitamin

B12 per oral dan dilakukan

pemeriksaan kadar urine

24 jam untuk melihat

kandungan kobalamin

3 Apusan sumsum tulang Pemeriksaan ini jarang

dilakukan. Dapat

ditemukan megaloblast,

mitotic figures,

metamyelosit, dan Perl‘s

stai

140
BAB III

PEMBAHASAN

Gambar Normal dan Abnormal Penyakit Anemia Makrositik


Normokrom

NORMAL ABNORMAL

141
Anemia makrositik biasanya ditandai dengan ukuran erythrocyte
yang besar yang disebabkan karena pematangan erythrocyte yang
tidak sempurna. Ukuran erythrocyte yang matang berukuran kecil,
sedangkan ukuran erythrocyte yang belum matang berukuran besar.
Anemia makrositik disebabkan bahan pematangnya tidak sempurna,
gangguan pada hepar, atau gangguan pada sumsung tulang.
Gangguan ini menyebabkan erythrocyte berukuran makro (MCV> 100fl)
(Oehadian, 2018).

142
BAB IV

PENUTUP

Anemia Makrositik Normokrom merupakan anemia yang


terjadi karena pengeluaran emia yang berlebih sehingga menyebabkan
susmsum tulang harus bekerja lebih keras dalam proses eritropoiesis
(Astutik dan Ertiana, 2018). Pada anemia makrostitik ukuran sel darah
merah bertambah besar dan jumlah hemoglobin (Hb) pada tiap sel juga
bertambah. Pada anemia makrositik terdapat dua jenis yaitu, anemia
megaloblastik dan anemia non megaloblastik. Anemia ini disebabkan
karena kekurangan vitamin B 12. Medulla ossium memerlukan vitamin
B 12 dan asam folat untuk menghasilkan erythrocyte. Jika salah
satunya kurang bisa terjadi anemia megaloblastic. Anemia makrositik
memiliki ciri ciri sel darah putih dan jumlah trombositnya abnormal.

143
BAB V

TERMINOLOGI

1. Eritropoiesis
Preffix : -
Root : Eritr/o (darah)
Suffix : Poiesis ( pembentuk / produksi )
*Proses produksi dan pematangan sel darah atau
erythrocyte.
2. Chepalgia
Preffix : -
Root : Chepal (kepala)
Suffix : Algia (nyeri)
*rasa nyeri kepala
3. Erythrocyte
Preffix : -
Root : - erthyr/o (merah), - cyt/o/e (sel)
Suffix : -
*sel darah merah
4. Trombositopenia
Prefix : -
Root : Trombosit ( keeping darah)
Suffix : Penia ( kekurangan)
144
*kondisi yang abnormal / kekurangan keping darah
5. Makrositosis
Prefix : Makro (pembesaran)
Root : cyt/o (sel)
Suffix : Osis (keadaan)
*suatu keadaan pembesaran ukuran sel darah

145
DAFTAR PUSTAKA
Astutik, R. T., & Ertiana, D. (2018). Anemia dalam Kehamilan.
Jember, Jawa Timur : CV.Pustaka Abadi. ISBN 978-602-5570-64-3
(e-book)

Effendy, F., & Rizal, A. A. F. (2016). Asuhan Keperawatan


pada Ibu N yang MengalamiAnemia di Ruang Dahlia Rumah
Sakit Umum Daerah Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.

Indrasanti, D., Indradji, M., Samsi, M., Yuwono, E., Purwaningsih,


Y., Umami, L. T., & Raditya, B. G. (2018, December). Respon anemia
pada kelinci koksidiosis yang diberi ekstrak batang pisang. In
PROSIDING SEMINAR TEKNOLOGI AGRIBISNIS PETERNAKAN
(STAP) FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS JENDERAL
SOEDIRMAN (Vol. 6, pp. 120-124).

Indriani, H. D., & Burhanto, B. (2016). Asuhan Keperawatan


pada Pasien Ibu I yang Mengalami Susp. MH (Morbus Hansen)+
Anemia di Ruang Dahlia Rumah SakitUmum Daerah Abdul Wahab
Sjahranie Samarinda.

Oehadian, A. (2018). Pendekatan klinis dan


diagnosis anemia. Continuing Medical Education, 39(6),
407-412

Pradiptha, I. P. Y., & Nuaba, I. G. A. (2019). Profil pasien


karsinoma nasofaring dengan anemia yang dirawat di RSUP
Sanglah Denpasar periode Januari 2017-Desember 2018.
MEDICINA, 50(2), 277-280.

https://www.alomedika.com/penyakit/hematologi/anemia-
megaloblastik/diagnosis

146
Anemia Normositik Normochrom

Dosen Pengampu :
dr. R. A. Rengganis Ularan, MM

Disusun oleh :
Fellya Ayu Hatmayanti 205011

D3 RMIK
2021

147
BAB I
PENDAHULUAN
Anemia atau yang secara awam dikenal dengan kurang darah,
merupakan salah satu masalah kesehatan di seluruh dunia terutama di
negara berkembang. Anemia didefinisikan sebagai berkurangnya 1 atau
lebih parameter sel darah merah konsentrasi hemoglobin, hematokrit
atau jumlah eritrosit. Anemia dapat menyerang wanita, anak-anak, orang
tua dan orang yang memiliki penyakit jangka panjang. Anemia dapat
diturunkan melalui gen, wanita yang sedang haid, penderita gastro atau
kondisi kronis lainnya. Anemia dapat terjadi sementara atau dalam
jangka panjang, dengan tingkat keparahan ringan hingga berat.
Anemia dapat diklasifikasikan secara fungsional menjadi empat
kategori, yaitu anemia akibat defek pada produksi di medulla ossea
(hipoproliferatif), defek pada maturasi eritrosit (eritropocsis inefektif),
menurunnya masa hidup eritrosit (hemolisis), serta kehilangan darah.
Anemia hipoproliferatif biasanya ditandai dengan penurunan indeks
produksi retikulosit dan sedikit perubahan atau bahkan tidak ada
perubahan sama sekali pada morfologi eritrositnya (anemia normositik
normokrom). Normositik, pada anemia normositik ukuran sel darah
merah tidak berubah, ini disebabkan kehilangan darah yang parah,
meningkatnya volume plasma secara berlebihan, penyakit-penyakit
hemolitik, gangguan endokrin, gastro, dan liver. Contohnya pada
perdarahan akut, hemolisis, penyakit kronik termasuk infeksi, dan
gangguan gastro. Adanya perubahan morfologi sel eritrosit menampilkan
proses hemolitik primer, mikroangiopati atau hemoglobinopati.

148
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Anatomi Fisiologi
Anemia Normositik Normochrom merupakan bentuk anemia dimana
konsentrasi hemoglobin dalam sel eritrosit berada dalam kisaran standar,
tetapi jumlah sel darah merah tidak mencukupi. Kondisi yang ditemukan
termasuk anemia aplastik, posthemorrhagic, dan hemolitik serta anemia
penyakit kronis. Anemia ini terjadi karena perdarahan yang hebat seperti
kecelakaan, labour, pembedahan, dan pecahnya pembuluh darah.
Penyakit yang menyebabkan pendarahan seperi mimisan, wasir, kanker
di saluran pencernaan, dan penyakit gastro juga adalah pemicunya.
Anemia yang akut disebabkan kerusakan medulla ossea belakang
sebagai sumber produksi eritrosit.

2.2 Definisi Anemia Normositik Normochrom


Anemia (kekurangan sel eritrosit) jenis mikrositik (sel eritrosit tampak
lebih kecil dari ukuran normal/rata-rata) dan normokrom (warna merah
pada darah masih dalam batas normal). Ukuran dan bentuk eritrosit
normal serta mengandung hemoglobin dalam jumlah yang normal (MCV
normal antara 80-95 fL dan MCH normal > 26 pg atau normal rendah),
tetapi individu menderita anemia.
2.3 Patofisiologi Anemia Normositik Normochrom
Etiologi
Anemia normositik adalah anemia dengan MCV normal (antara 80-100
fL). Keadaan ini dapat disebabkan oleh :
a. Pendarahan akut
b. Gangguan gastro
c. Hemolisis
d. Terjadi penurunan jumlah eritrosit tidak disertai dengan
perubahan konsentrasi hemoglobin (Indeks eritrosit normal
pada anak: MCV 73 – 101 fl, MCH 23 – 31 pg , MCHC 26 – 35
%), bentuk dan ukuran eritrosit

149
e. Penyakit-penyakit infiltratif metastatik pada medulla ossea
f. Anemia pada PGK termasuk infeksi
g. Sindrom anemia kardiorenal : anemia, kompensasi kordis

Symptom
a. Tubuh yang lemah dan lelah
b. Kehilangan stamina
c. Dyspneu dan pusing
d. Kulit yang terlihat pucat

2.4 Diagnosa dan diagnose banding Anemia Normositik


Normochrom
Mencari penyebab anemia adalah langkah penting untuk
menatalaksana anemia. Salah satu pendekatan diagnostik yang mudah
digunakan adalah dengan mengklasifikasikan anemia berdasarkan
ukuran eritrositnya. Pendekatan diagnostik untuk mencari penyebab
anemia dimulai dari anamnesis dan pemeriksaan fisis, dilanjutkan
pemeriksaan laboratorium untuk mempertajam diagnosis. Salah satu
pemeriksaan laboratorium yang penting adalah gambaran darah tepi,
karena dapat ditemukan gambaran sel darah yang spesifik untuk
penyakit tertentu sehingga mempercepat diagnosis, misalnya sel pensil
pada defisiensi besi atau sel blas pada leukemia.
Gangguan ini umumnya terdeteksi pertama kali setelah
dilakukannya tes darah yang disebut juga dengan hitung darah lengkap
(CBC). Jika hasil dari pemeriksaan tersebut diambil kesimpulan bahwa
pasien mengidap anemia, maka dokter akan melakukan tes lainnya yang
disebut juga dengan apusan darah tepi (peripheral blood smear). Tes ini
untuk melihat perubahan mikrositik atau makrositik pada eritrosit.
Diagnosa lain yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan
retikulosit. Retikulosit adalah eritrosit muda yang masih mengandung
sisa RNA. Jumlah retikulosit di darah tepi mencerminkan aktivitas
pembentukan eritrosit (eritropoiesis) pada medulla ossea. Jumlah
retikulosit yang meningkat pada anemia menandakan respons

150
pembentukan eritrosit yang masih baik. Sebaliknya, jumlah retikulosit
yang rendah pada anemia menandakan adanya masalah sehingga
pembentukan eritrosit tidak berjalan baik.

2.5 Penatalaksanaan Anemia Normositik Normochrom


Kuratif
Tata laksana anemia mikrositik yang paling baik adalah
mengobati penyakit yang mendasarinya, hal ini sesuai dengan
patogenesis APK. Penggunaan eritropoietin rekombinan telah dicoba
untuk menstimulasi produksi eritrosit terutama pada pasien dalam
pengobatan kemoterapi, pasien dengan gagal ginjal kronik dan pasien
imunokompremais. Terapi ini telah berhasil mengurangi kebutuhan
transfusi namun efek sampingnya perlu diperhatikan yaitu dapat
mencetuskan terbentuknya sitokin yang akan memperparah penyakit.
Pada pengobatan dokter mungkin akan menyarankan agar
kamu mengonsumsi suplemen zat besi dan vitamin C. Zat besi untuk
mengatasi anemia, sedangkan vitamin C untuk meningkatkan
kemampuan tubuh dalam menyerap zat besi yang masuk melalui
makanan. Selain itu, pengobatan dapat dilakukan dengan mengonsumsi
obat herbal. Biasanya obat ini diperjual belikan pada situs perdagangan
online, akan tetapi harus tetap dalam pengawasan dokter.
Menurut kepustakaan, terapi eritropoetin diindikasikan untuk
pengobatan anemia pada GGK. Pemberian terapi EPO dilakukan
apabila penyebab anemia adalah karena defisiensi eritropoetin.
Eritropoetin secara konsisten menjaga dan memperbaiki kadar Hb dan
Ht, penggunaan EPO juga dapat menurunkan kebutuhan transfusi pada
pasien GGK. Menurut rekomendasi KDIGO, terapi EPO diindikasikan
apabila pada beberapa kali pemeriksaan didapatkan Hb <10 g/dl dan Ht
<30%, selain itu juga harus sudah disingkirkan penyebab lain dari
anemia.

151
Tindakan medis lainnya yaitu transfusi darah, biasa diberikan
pada penderita anemia pasca perdarahan akut dengan tanda – tanda
hemodinamika. Pada anemia kronik, transfusi diberikan hanya jika
anemia tersifat sistomatik atau adanya ancaman payah cardio. Pada
tindakan ini akan diberikan PRC dengan cara meneteskan secara
perlahan dan memberikan furosemide sebelum transfusi.

(Contoh obat herbal yang dapat dikonsumsi)


Preventif
a. Memastikan vitamin C yang cukup di dalam tubuh melalui
makanan, minuman, atau suplemen. Hal ini agar tubuh dapat
menyerap zat besi. Caranya dengan melakukan diet seimbang.
b. Konsumsi suplemen kalsium karena dapat memengaruhi cara
tubuh menyerap zat besi.
c. Hindari mengonsumsi minuman berkafein dan minum vitamin C
agar tubuh dapat menyerap lebih banyak zat besi dari
makanan.

2.6 Penunjang medis Anemia Normositik Normochrom


1. Tranfusi Darah
Transfusi darah adalah prosedur untuk menyalurkan darah yang
terkumpul dalam kantung darah kepada orang yang membutuhkan
darah, seperti penderita anemia, infeksi berat, atau penyakit liver. Darah
152
yang disalurkan berasal dari pendonor. Pemberian transfusi darah harus
dipertimbangkan dengan cermat mengingat transfusi memiliki efek
samping yang tidak menguntungkan. Transfusi diindikasikan untuk
anemia yang berat dan telah membahayakan pasien juga bila terjadi
komplikasi pada pasien seperti perdarahan akut. Pemberian suplemen
besi secara oral tidak akan memberikan perbaikan pada APK.
2. Terapi Eritropoetin
Terapi EPO pada pasien GGK dengan anemia diberikan dengan syarat
kadar ferritin serum > 100 mcg/L dan saturasi transferin > 20%,
pasien juga disyaratkan tidak sedang mengalami infeksi berat.
Terapi EPO dibagi menjadi 2 fase yaitu fase koreksi dan fase
pemeliharaan. Tujuan fase koresi adalah untuk mengoreksi anemia renal
hingga target Hb dan Ht tercapai. Rekomendasi KDOQI
menyebutkan bahwa target hemoglobin pada pasien GGK adalah 11
hingga 12 g/dL. Menurut beberapa penelitian klinik hemoglobin pada
level tersebut terbukti meningkatkan kualitas hidup dan menurunkan
morbiditas.

153
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Gambar Penunjang

(Anemia Normositik)

154
(Klasifikasi anemia menurut ukuran sel dan hemoglobin yang
dikandung)

https://pdfcoffee.com/qdownload/pengertian-normokrom-normositer-
pdf-free.html

155
BAB IV
PENUTUP
Anemia Normositik Normochrom adalah kondisi dimana ukuran
dan bentuk eritrosit normal serta mengandung hemoglobin dalam jumlah
yang normal juga tetapi individu menderita anemia. Diklasifikasikan
menjadi beberapa jenis, antara lain anemia normositik normokrom
dengan retikulositosis, anemia normositik normokrom dengan
retikulositopenia, anemia normositik normokrom dengan peningkatan
retikulosit, anemia normositik normokrom dengan penurunan besi serum,
dan anemia hemolitik. Penyakit ini disebabkan oleh pendarahan akut,
gangguan gastro, hemolisis, terjadi penurunan jumlah eritrosit tidak
disertai dengan perubahan konsentrasi hemoglobin, bentuk dan ukuran
eritrosit, penyakit-penyakit infiltratif metastatik pada medulla, anemia
pada penyakit ginjal kronik (PGK) termasuk infeksi, dan sindrom anemia
kardiorenal : anemia, gagal jantung. Anemia jenis ini mengakibatkan
tubuh yang terasa lemah dan lelah, kehilangan stamina, sesak napas
dan pusing, serta kulit yang terlihat pucat. Dapat dideteksi dengan cara
melakukan pendekatan diangnostik, tes darah, dan pemeriksaan
retikulosit. Perawatan dari anemia mikrositik normokrom berfokus pada
pengobatan dari hal yang menyebabkan kondisi tersebut, biasanya
dokter akan memberikan suplemen zat besi dan vitamin C.

156
BAB V
TERMINOLOGI

1. Maturasi eritrosit, proses sel yang mengandung hemoglobin masih


memerlukan beberapa hari untuk melepaskan sisa-sisa asam
ribonukleat (RNA) setelah inti dikeluarkan.
2. Anamnesis adalah kegiatan komunikasi yang dilakukan antara
dokter sebagai pemeriksa dan pasien yang bertujuan untuk
mendapatkan informasi tentang penyakit.
3. Hemolisis

• P:-
• R : hem/o (darah)
• S : -lysis (larut, hancur, rusak)
Arti : kerusakan atau penghancuran sel darah merah karena
gangguan integritas membran sel darah merah yang menyebabkan
pelepasan hemoglobin.
4. Mikroangiopati

• P : Mikro (kecil)
• R : Angi/o (pembuluh, saluran)
• S : -paty (keadaan sakit)
Arti : kerusakan mikrovaskuler atau gangguan pembuluh darah
kecil.
5. Hemoglobinopati

• P:-
• R : hemoglobin/o (protein dalam eritrosit)
• S : -paty (keadaan sakit)
Arti : Kelainan pada struktur dan gangguan sintesis hemoglobin
(thalassemia)

157
DAFTAR PUSTAKA

ALAMANDA, Elsa; NENCY, Yetty Movieta; KURNIAWAN,


Ferdy. HUBUNGAN ANTARA PRAKTEK PEMBERIAN ASI DAN MPASI
PADA ANAK< 2 TAHUN DENGAN ANEMIA DI RSUP DR. KARIADI.
2013. PhD Thesis. Diponegoro University.
Nurin, Fajarina. 2020. ―Memahami Berbagai Jenis Anemia, dari
yang Ringan Sampai Gawat‖, https://hellosehat.com/kelainan-
darah/anemia/klasifikasi-anemia/, diakses pada 6 Juli 2021.
MINHAJAT, Rahmawati; PD, Sp. Profil Anemia Pasien Penyakit
Ginjal Kronik di RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo pada tahun 2015-2016.
2016.
PRATIWI, Lisa. Perbedaan Kadar Hemoglobin Darah pada
Kelompok Polisi Lalu Lintas yang Terpapar dan Tidak Terpapar Timbal di
Wilayah Polres Jakarta Selatan. Jurnal Kesehatan Masyarakat
Universitas Diponegoro, 2012, 1.2: 18696.
NASUTION, Sheba Denisica. Malnutrisi dan Anemia Pada
Penderita Tuberkulosis Paru. Jurnal Majority, 2015, 4.8: 29-26.

https://sinta.unud.ac.id/uploads/dokumen_dir/0bd380db2e61ed7dcf63d8
0e8057b308.pdf
http://eprints.ums.ac.id/39695/3/BAB%20%20I%20endar.pdf

158
CRYOGLOBULINAEMIA

Dosen Pengampu :
Dr. R. A. Rengganis Ularan, MM

Disusun Oleh :
Tria Siti Nur Azizah 205035
Wahyuning Qonita Aprilia 205113

D3 RMIK
2021

159
BAB I

PENDAHULUAN

Cryoglobulinemia dapat menyebabkan vaskulitis derma


dan glomerulonefritis, yang berpotensi menyebabkan renal failure
stadium akhir. Proporsi penting dari cryoglobulinaemias adalah akibat
dari infeksi virus hepatitis C. Pilihan kuratif antivirus yang muncul
menawarkan kesempatan untuk terapi kausal dari kasus
krioglobulinemia ini. Ulasan ini merangkum klasifikasi dan aspek klinis
dan terapeutik dari cryoglobulinaemic vasculitis dan glomerulonefritis.
Manifestasi vaskulitida angeion micro seringkali bersifat
protean dan mungkin melibatkan derma dan organ dalam, termasuk ren.
Untuk menghindari komplikasi yang berpotensi mengancam nyawa,
diagnosis banding yang benar dan pengecualian keterlibatan organ
internal sangat penting. Sebelumnya, vaskulitida cryoglobulinaemic
dianggap primer atau esensial. Sekarang telah terbukti bahwa sebagian
besar vaskulitida krioglobulinaemia merupakan manifestasi sekunder
dari disease lain, terutama yang berasal dari virus, seperti virus hepatitis
C kronis (HCV). Pengakuan ini menawarkan kesempatan untuk terapi
kausal dari pada symptom dari vaskulitida ini. Etiologi, jenis, dan
komplikasi cryoglobulinaemic vasculitis, termasuk glomerulonefritis,
ditinjau di sini. (Horster, Sophia, dkk 2007)
Sejak tahun 1990 hubungan yang kuat antara virus
hepatitis C (HCV) dan Cryoglobulinemia telah dibuktikan. Sebelum
ditemukannya HCV, Cryoglobulinemia tanpa disease dasar yang jelas
didefinisikan sebagai "Cryoglobulinemia penting." Prevalensi HCV infeksi
pada pasien Cryoglobulinemia bervariasi secara geografis dengan nilai
(lebih dari 90%) di daerah Mediterania.1,4,5 MC ditemukan pada 30%
hingga 50% pasien dengan infeksi HCV kronis, dengan hanya 10%
sampai 15% dari mereka mengembangkan symptom klinis
160
Cryoglobulinemia. Peran etiologi virus hepatitis B (HBV) dalam
Cryoglobulinemia ditemukan pada kurang dari 5% pasien. Secara
keseluruhan prevalensi Cryoglobulinemia belum ditentukan oleh studi
epidemiologi yang memadai. Hal Ini mungkin diremehkan karena rujukan
pasien ke spesialis yang berbeda sesuai dengan manifestasi dominan
disease. Grup Italia untuk Studi Cryoglobulinemia telah mengusulkan
kriteria serologis, patologis, dan klinis untuk diagnosis pasien MC.
(Sansonno D, Dammacco F.)

161
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi & Fisiologi Cryoglobulinemia
Cryoglobulinemia berhubungan dengan triad klinis purpura derma,
arthralgia, dan kelemahan oleh Meltzer et al. pada tahun 1967, persentase
disease cryoglobulinemia yang digambarkan sebagai cryoglobulinemia
esensial atau cryoglobulinemia idiopatik, yaitu disease cryoglobulinemik
yang tidak terkait dengan kelainan yang mendasari, telah menurun. Saat ini
sebagian besar kasus disease ini ditemukan terkait dengan gangguan
premaligna, ganas, infeksi, atau autoimun yang diketahui atau diduga
sebagai etiologi produksi krioglobulin. Bentuk disease cryoglobulinemik non-
esensial atau non-idiopatik ini secara klasik dikelompokkan menjadi tiga
jenis menurut klasifikasi Brouet. Klasifikasi tersebut membedakan tiga
subtipe disease krioglobulinemik berdasarkan dua faktor, kelas
imunoglobulin dalam krioglobulin dan asosiasi disease krioglobulinemik
dengan gangguan lain. Berikut tabel yang menyantumkan tiga jenis disease
cryoglobulinemik :

Persen
Tipe Komposisi Asosiasi dengan disease lain
Kasus
Tipe Monoclonal IgG, 10 – 15 Disease hematologi,
1 IgM, IgA, atau rantai % terutama MGUS membara
ringan  atau  multiple myeloma, multiple
mereka myeloma, Macroglobulinemia
Waldenstrom, dan Leukemia
kronis limfositik.
Tipe IgM Monoclonal plus 50 – 60 Disease menular, terutama
2 IgG poliklonal atau, % infeksi hepatitis C , infeksi

162
jarang IgA HIV , dan koinfeksi Hepatitis
C dan HIV ; disease
hematologi terutama
kelainan sel B; disease
autoimun
Tipe IgM poliklonal 25 – 30 Disease autoimun ,
3 ditambah IgG % terutama sindrom Sjögren
poliklonal atau IgA dan lupus eritematosus
sistemik dan artritis
reumatoid yang lebih
jarang ; disease menular
terutama infeksi HCV

Protein IgM monoklonal atau poliklonal yang terlibat dalam


disease cryoglobulinemik Tipe II dan III memiliki aktivitas faktor
reumatoid, yaitu mereka mengikat imunoglobulin poliklonal,
mengaktifkan sistem komplemen emia, dan dengan demikian
membentuk deposit jaringan yang mengandung IgM, IgG (atau, jarang,
IgA), dan komponen sistem komplemen, termasuk dalam komponen
komplemen khusus. Deposisi vaskular dari kompleks dan komplemen
imun yang mengandung cryoglobulin ini dapat menyebabkan sindrom
klinis vaskulitis pembuluh kecil derma yang ditandai dengan vaskulitis
sistemik dan inflamasi yang disebut vaskulitis krioglobulinemik. Oleh
karena itu, disease krioglobulinemik tipe II dan tipe III sering
dikelompokkan bersama dan disebut sebagai krioglobulinemia
campuran atau disease krioglobulinemik campuran. IgM monoklonal
yang terlibat dalam disease krioglobulinemik tipe I tidak memiliki
aktivitas faktor reumatoid. (stojic P, Jeremic IR, 2017)

163
22.Definisi Cryoglobulinemia
Cryoglobulinemia ialah suatu kondisi medis di mana emia
mengandung sejumlah besar antibodi sensitif dingin patologis yang disebut
cryoglobulin - protein (kebanyakan imunoglobulin itu sendiri) yang menjadi
tidak larut pada suhu yang diturunkan. Kondisi ini harus dikontraskan
dengan aglutinin dingin , yang menyebabkan aglutinasi erythrocyte.
(Kamus Dorland, hal 190)

23,Pathofisiologi Cryoglobulinemia
Mekanisme yang mendasari pembentukan kriopresipitat tidak
jelas tetapi tergantung pada berbagai parameter termasuk tingkat Ig, pH,
gaya ionik, dan suhu, serta muatan listrik, yang diatur oleh urutan asam
amino dan bagian gula terkandung dalam imunoglobulin.
Lesi iskemik mungkin berhubungan dengan obstruksi vaskular
oleh presipitat cryoglobulin, terutama pada krioglobulinemia tipe I.
Cryoglobulinemia campuran menyebabkan vaskulitis yang dimediasi
kompleks imun sejati. Mengapa vaskulitis simtomatik tidak terjadi secara
konsisten tidak jelas.
Studi terbaru menunjukkan bahwa perkembangan lesi
sangat tergantung pada sifat fisikokimia Igs, seperti sifat stereotaktik
dan rantai berat glikosilasi. Tergantung pada sifat fisikokimianya, Igs
bervariasi dalam kecenderungannya untuk membentuk kompleks imun,
mengendap, dan menginduksi respon inflamasi (melalui rekrutmen)
komplemen dan reseptor Fc makrofag) [6]. Lebih khusus lagi,
perbedaan dalam kelarutan dan kekakuan mempengaruhi
kecenderungan untuk membentuk kompleks imun, dan beberapa Ig
cenderung untuk menjalani pembelahan, yang membatasi ukuran
kompleks imun.

164
Pada hepatitis C kronis, glikoprotein amplop HCV E1 dan
E2 membantu virus masuk ke dalam hepatosit dan limfosit, mungkin
melalui reseptor sel CD8. Kronis Infeksi HCV menginduksi stimulasi
persisten sel B intrahepatik dan sirkulasi. Pasien dengan
cryoglobulinemia terkait HCV, beberapa penelitian telah menunjukkan
oligoclonal atau ekspansi monoklonal dari IgM+, IgD+ CD21 cyt B
memori rendah. Cyt B yang diperluas populasi dicirikan oleh repertoar
yang khas, dengan dominasi klon tertentu, terutama VH1-69, yang
menghasilkan Ig dengan aktivitas faktor rheumatoid, sehingga
menyebabkan pembentukan cryoglobulin. Stimulasi antigen kronis
menghasilkan munculnya klon cyt B yang menghasilkan IgM poliklonal
(krioglobulin tipe III) pada awalnya, kemudian IgM oligoklonal
(krioglobulin tipe II/III), dan akhirnya IgM monoklonal (tipe II
krioglobulinemia). Pada pasien dengan cryoglobulinemia campuran,
protein HCV telah diidentifikasi dalam biopsi kulit (E2 dan protein inti)
dan ginjal (protein inti) dan genomik RNA HCV dalam jaringan saraf
pada pasien dengan cryoglobulinemia campuran terkait HCV.
Meskipun semua subtipe limfoma non-Hodgkin sel B telah
dilaporkan hubungan dengan HCV, yang paling umum adalah limfoma
zona marginal dan limfoma sel B besar difus yang dihasilkan dari
transformasi limfoma derajat rendah. Pada pasien dengan
cryoglobulinemia simtomatik, risiko pengembangan limfoma dapat
meningkat 35- lipat dibandingkan dengan populasi umum. Model saat
ini untuk limfoma terkait HCV melibatkan peristiwa onkogenik tambahan
yang mempengaruhi klon sel B yang sebelumnya dipilih melalui
stimulasi kronis oleh antigen HCV.

165
Sign and Symptom Cryoglobulinemia

a. Tipe I
Sign and symptom akibat krioglobulin disease tipe I
mencerminkan hiperviskositas (symptom yang dipicu oleh peningkatan
viskositas (tahanan terhadap aliran) dari emia dan pengendapan
krioglobulin di dalam angio yang mengurangi atau menghentikan
kecepatan darah yang akan dikirim ke fibro. Gangguan aliran emia ke
fibro neurologis dapat menyebabkan symptom kebingungan, headache,
paracusia, dan neuropati perifer. Gangguan aliran emia ke fibro lain
pada disease tipe I dapat menyebabkan manifestasi purpura pada
derma, perubahan warna biru pada upper atau akrosianosis, nekrosis,
borok, dan liveo reticularis, espistaxis, arthragia, glomerulonefritis
membranoproliferatif dan disease kardiovaskular seperti dyspneu,
hipoksemia, dan heart failure kongestif . (stojic P, Jeremic IR (2017).
b. Tipe II dan III

Disease krioglobulinemik tipe II dan III (atau campuran atau varian)


juga dapat muncul dengan sign and symptom hyperviscoucity
syndrome dan pengendapan krioglobulin dalam angio tetapi juga
termasuk yang disebabkan oleh vaskulitis krioglobulinemik. " Triad
meltzer " dari purpura teraba, arthralgia, dan kelemahan umum terjadi
pada 33% pasien dengan disease tipe II atau tipe III. Satu atau lebih
lesi derma termasuk purpura yang teraba, ulkus, gangren digital , dan
area nekrosis terjadi pada 69-89% kasus disease campuran ini, temuan
yang kurang umum termasuk neuropati perifer yang menyakitkan
(sering bermanifestasi sebagaimononeuritis multipleks pada 19-44%
kasus), disease ren (terutama glomerulonefritis membranoproliferatif
(30%), arthralgia (28%), dan yang lebih jarang sindrom mata kering ,
fenomena Raynaud (yaitu, pengurangan nyeri episodik dalam aliran
darah ke dactyl). Sementara glomerulonefritis yang terjadi pada disease

166
campuran tampaknya disebabkan oleh vaskulitis inflamasi,
glomerulonefritis yang terjadi pada disease tipe I muncul karena
gangguan aliran darah. Disease hematologi, infeksi, dan autoimun yang
mendasari disease krioglobulinemik tipe II dan disease infeksi dan
autoimun yang mendasari disease krioglobulinemik tipe III juga
merupakan bagian penting dari temuan klinis disease ini. (Muchtar E,
Magen H, Gertz MA (2017).

Etiologi Cryoglobulinemia
Croglobulinemia merupakan kondisi yang harus dikontraskan
dengan aglutinin dingin ,yang menyebabkan aglutinasi erythrocyte.
Crioglobulin biasanya mengendap (menggumpal) pada suhu di bawah
suhu tubuh 0 - 37C (99 Fahrenheit) dan akan larut lagi jika emia
dipanaskan. Gumpalan yang mengendap dapat menyumbat angio dan
menyebabkan toe menjadi gangren . Meskipun disease ini biasanya
disebut sebagai cryoglobulinemia dalam literatur medis, disease ini
lebih baik disebut disease cryoglobulinemia karena dua alasan:
1) cryoglobulinemia juga digunakan untuk menunjukkan
sirkulasi (biasanya level rendah) cryoglobulin tanpa adanya symptom
atau disease. dan
2) orang sehat dapat mengembangkan krioglobulinemia
asimtomatik sementara setelah infeksi tertentu.
Berbeda dengan kejadian jinak dari krioglobulin yang
bersirkulasi, disease cryoglobulinemik melibatkan sign dan symptom
cryoglobulin yang mencetuskan dan biasanya dikaitkan dengan
berbagai disease pra-ganas , ganas , infeksi , atau autoimun yang
merupakan etiologi yang mendasari produksi krioglobulin. (Jurnal Fakta
keras dingin tentang cryoglobulinemia: pembaruan pada fitur klinis dan
kemajuan pengobatan". Klinik Disease Rematik Amerika Utara . 41 (1):
93–108, viii – ix.2015

167
Diagnosa Cryoglobulinemia
Faktor reumatoid adalah tes sensitif untuk krioglobulinemia.
Krioglobulin yang diendapkan diperiksa dengan imunoelektroforesis dan
imunofiksasi (nama umum untuk sejumlah metode biokimia untuk
pemisahan dan karakterisasi protein berdasarkan elektroforesis dan
reaksi dengan antibodi) untuk mendeteksi dan mengukur keberadaan
IgG monoklonal, IgM, IgA, atau imunoglobin rantai ringan. Tes rutin
lainnya meliputi pengukuran kadar aktivitas faktor reumatoid dalam
emia, dan antigen C hepatitis. Biopsi lesi derma (merupakan tindakan
pengambilan sebagian kecil jaringan yang ada di derma, jika ada
indikasi renal atau jaringan lain dapat membantu menentukan sifat
disease vaskular (deposisi imunoglobulin, vaskulitis krioglobulinemik,
dalam kasus yang menunjukkan adanya krifibrinogenemia, deposisi
fibrinogen). (Grada A, Falanga V (2017).
2.5 Penatalaksanaan Cryoglobulinemia

Kuratif Cryoglobulinemia
a. Cryoglobulinemia Tipe I

Kuratif disease Tipe I umumnya diarahkan untuk mengobati


gangguan pra-maligna atau maligna yang mendasari (lihat diskrasia cyt
plasma, makroglobulinemia Waldenström , dan leukemia limfositik
kronis). Ini melibatkan rejimen kemoterapi yang tepat yang mungkin
termasuk bortezomib (meningkatkan kematian sel dengan apoptosis
dalam cyt yang mengakumulasi imunoglobulin) pada pasien dengan
renal failure dan rituximab yang diinduksi imunoglobulin monoklonal
(antibodi diarahkan terhadap limfosit pembawa antigen permukaan
CD20 ) pada pasien dengan makroglobulonemia Waldenstroms).
(Muchtar E, Magen H, Gertz MA (2017).

b. Cryoglobulinemia Tipe II dan III

168
Kuratif disease krioglobulinemik campuran, mirip dengan
disease tipe I, ditujukan untuk mengobati gangguan yang mendasari. Ini
termasuk disease ganas (terutama makroglobulinemia Waldenström
pada disease tipe II), disease menular, atau autoimun pada disease tipe
II dan III. Baru-baru ini, bukti infeksi hepatitis C telah dilaporkan pada
sebagian besar kasus disease campuran dengan tingkat 70-90% di
daerah dengan insiden hepatitis C. Terapi yang paling efektif untuk
disease cryoglobulinemia terkait hepatitis C terdiri dari a kombinasi obat
anti-virus, INFα pegilasi dan ribavirin penipisan cyt B menggunakan
rituximab dalam kombinasi dengan terapi antivirus atau digunakan
sendiri, pada pasien yang menolak terapi antivirus juga terbukti berhasil
dalam mengobati disease terkait hepatitis C. Rekomendasi saat ini
mengobati disease yang mendasari dengan agen antivirus, anti bakteri,
atau antijamur yang sesuai, jika tersedia dalam kasus refrakter
terhadap obat yang sesuai, penambahan obat imunosupresif ke rejimen
terapeutik dapat meningkatkan hasil. Disease krioglobulinemik
campuran yang terkait dengan gangguan autoimun diobati dengan obat
imunosupresif: kombinasi kortikosteroid dengan salah satusiklofosfamid
, azatioprin , atau mikofenolat atau kombinasi kortikosteroid dengan
rituximab telah berhasil digunakan untuk mengobati disease campuran
yang terkait dengan gangguan autoimun. (Muchtar E, Magen H, Gertz
MA (2017).

Preventif Cryoglobulinemia
Sangat penting bagi pasien untuk mengetahui gejala – gejala
kryoglobulinemia agar pengobatan dapat dilakukan sejak dini, sehingga
dapat mengurangi potensi kerusakan organ pada pasien. Obar NSAID/
obat anti inflamasi nonsteroid dapat digunakan untuk mengurangi
symptom akut. Semua pasien dengan krioglobulinemia bersymptom
disarankan untuk menghindari, atau melindungi ekstremitas mereka, dari
169
paparan suhu dingin. Kulkas, freezer, dan AC menunjukkan bahaya dari
paparan tersebut
2.6 Penunjang Medis Cryoglobulinemia
Symptom yang secara spesifik tergantung pada jenis
cryoglobulinemia yang dialami penderita, seperti:
 Arteritis Takayasu, dengan gejala mati rasa atau kedinginan
pada tubuh, gangguan ingatan, dan gangguan penglihatan
 Giant cell arteritis, dengan gejala nyeri mandibula ketika
mengunyah, penglihatan ganda, hingga kebutaan sementara
 Granulomatosis Wegener, dengan gejala asma, influenza,
sinusitis yang berlangsung dalam jangka panjang, infeksi ot,
dan nyeri wajah
 Henoch-Schonlein purpura, yang ditandai dengan nyeri
abdomen, haemo pada urine, arthralgia, dan ruam ungu di
humerus atau fibula
 Poliangiitis mikroskopik, dengan gejala berupa haemoptysis,
asma, dan terkadang dapat berkembang ke renal failur
 Vaskulitis hipersensitivitas, ditandai dengan bintik merah di
derma, yang biasanya muncul di fibula

 Sindrom Churg-Strauss, yang ditandai dengan asma, rhinitis


alergi, dan peningkatan kadar leukosite

Jika pasien dicurigai menderita cryoglobulinemia, dokter akan


menjalankan pemeriksaan lanjutan, seperti:

 Biopsi, untuk memeriksa kerusakan jaringan pada angio atau


organ yang dicurigai terdampak oleh kondisi ini, dengan
mengambil sampel jaringan dari angio atau organ yang terkena
 Tes darah, untuk mendeteksi antibodi yang dapat menyerang
angio, dan mengukur kadar penanda peradangan dalam tubuh

170
 Pemindaian, seperti USG, CT scan, PET scan, dan MRI, untuk
mengetahui angio atau organ yang terkena cryoglobulinemia
 Angiografi, untuk melihat apakah dinding angio menyempit atau
melebar
 elektrokardiogram untuk memeriksa apakah terjadi
kerusakan pada cardio.

171
BAB III

PEMBAHASAN
Gambar Cryoglobulinemia

Cryoglobulin adalah protein abnormal dalam darah. Protein ini


dapat menggumpal pada suhu dibawah 98,6  F (36C), sehingga dapat
menghambat sirkulasi haemo. .
Cryoglobulinemia melibatkan disfungsi sistem kekebalan tubuh.
Sistem kekebalan dibagi menjadi beberapa komponen, tindakan
gabungan yang bertanggung jawab untuk bertahan melawan agen
infeksi. Sistem sel T (respon imun yang diperantarai sel) berkontribusi
untuk melawan beberapa virus, beberapa bakteri dan ragi dan jamur.
Sistem sel B (respon imun humoral) melawan infeksi yang disebabkan
oleh virus dan bakteri lain. Ia melakukannya dengan mengeluarkan
faktor kekebalan yang disebut antibodi (juga dikenal sebagai
imunoglobulin) ke dalam bagian cairan darah (serum) dan sekresi tubuh
(misalnya air liur). Ada lima kelas imunoglobulin (Ig) yang dikenal
sebagai IgA, IgD, IgE, IgG, dan IgM. Antibodi dapat langsung membunuh
mikroorganisme atau melapisinya sehingga lebih mudah dihancurkan
oleh sel darah putih. Zat apa pun yang memicu respons oleh sistem
kekebalan dikenal sebagai antigen

172
BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan
Cryoglobulinemia ialah suatu kondisi medis di mana
emia mengandung sejumlah besar antibodi sensitif dingin
patologis yang disebut cryoglobulin - protein (kebanyakan
imunoglobulin itu sendiri) yang menjadi tidak larut pada suhu
yang diturunkan. Kondisi ini harus dikontraskan dengan
aglutinin dingin yang menyebabkan aglutinasi erythrocyte.
Cryoglobulinemia terbagi menjadi 3 tipe yaitu, Tipe I
(monoclonal), Tipe II cryoglobulinemia campuran (monoclonal
dan poliklonal) dan Tipe III (poliklonal). Setiap pasien yang
bergejala cryoglobulinemia sangat disarankan untuk
menghindari atau melindungi ekstremitas mereka, dari paparan
suhu dingin. Kulkas, freezer, dan AC menunjukkan bahaya dari
paparan tersebut.

173
BAB V

TERMINOLOGI MEDIS
1. CRYOGLOBULINEMIA

P : cry/o (dingin)
R : globulin/o (semua kelas protein, dimana sebagian
tidak larut dalam air, dan beberapa larut dalam air)
S : - emia (darah/berkaitan dengan darah)
2. ASIMTOMATIK

P : a- (tanpa)
R : symptomp/ a (gejala/ bukti subjektif
mengenai penyakit atau keadaan pasien)
S : -tic (berkaitan dengan)
Arti = tanpa gejala
3. CYANOSIS

P:-
R : cyan/o (biru)
S : -osis (kondisi)
Arti = perubahan warna kulit menjadi kebiruaN akibat hemoglobin
terenduksi dalam darah

4. LIMFOSITIK

P:-
R : limfosit/o
S : -ic (terkait dengan)
Arti = kanker pada darah dan sunsum tulang ditandai dengan sel
limfosit B yang berlebihan
5. MAKROGLOBULINEMIA
174
P : macro (besar)
R : globulin/o (semua kelas protein, dimana sebagian tidak larut
dalam air, dan beberapa larut dalam air)
S : - emia ( darah/ berkaitan dengan darah)
6. LIMFOMA

P:-
R : lymh/o : kelenjar getah bening
S : -oma : tumor , kanker
Arti : kanker kelenjar getah bening
7. ARTRALGIA

P:-
R : arth/o : sandi
S : -algia : nyeri
Arti : nyeri sendi

8. VASKULITIS

P:-
R : vascul/o : pembuluh darah
S : -itis : radang
Arti : radang pembuluh darah
9. GLOMARULONEFRITIS

P:-
R : glomarul/o
naphi/o : ginjal
S : -itis : radang
Arti : radang glomarulus ginjal

10. POLIARTRITIS

175
P : poly : banyak
R : arteri /o : pembuluh arteri
S : itis : radang
Arti : peradangan pada banyak pembuluh arteri sekaligus

176
DAFTAR PUSTAKA

" Cryoglobulinemia " di Kamus Kedokteran Dorland


Ghetie D, Mehraban N, Sibley CH (2015). "Fakta keras dingin tentang
cryoglobulinemia: pembaruan pada fitur klinis dan kemajuan
pengobatan". Klinik Disease Rematik Amerika Utara . 41 (1): 93–108, viii
– ix.
Grada A, Falanga V (2017). "Cryofibrinogenemia-Induced Cutaneous
Ulcers: Sebuah Tinjauan dan Kriteria Diagnostik". Jurnal Dermatologi
Klinis Amerika . 18 (1): 97-104
Muchtar E, Magen H, Gertz MA (2017). "Bagaimana saya mengobati
cryoglobulinemia" . Darah . 129 (3): 289–298.
Tissot JD, Schifferli JA, Hochstrasser DF, dkk. (1994). "Analisis
elektroforesis gel poliakrilamida dua dimensi dari krioglobulin dan
identifikasi peptida terkait IgM". J. Immunol. Metode . 173 (1): 63–75.
Horster, Sophia, dkk 2007. "Cryoglobulinaemic vasculitis : classification
and clinical and therapeutic aspects" . Postgraduate Madical Journal.
83(976) : 87-94

177
ELLIPTOCYTOSIS

Dosen Pengampu:
Dr. R. A. Rengganis Ularan, MM

Disusun oleh :
Syarifah Aini 205034

Siti Natul Rohmah 205073

Vira Anggelia Panca 205112

D3 RMIK
2021

178
BAB 1

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Ovalositosis merupakan salah satu blood disorder disease yang
ditandai dengan erythrocyte yang kebanyakan berbentuk elips (Palek &
Lambert 1990). Eliptosit ini terperangkap dan dikeluarkan oleh spleen
yang mengakibatkan anemia hemolitik. Elliptocytosis pertama kali
dijelaskan oleh Dresbach pada tahun 1904, dan Hunter dengan tegas
menetapkan heritabilitasnya.
Subtipe dari eliptositosis meliputi eliptositosis herediter umum,
piropoikilositosis herediter (HPP), ovalositosis Asia Tenggara (SAO), dan
eliptositosis sferositik (SE). Subtipe ini berbeda dalam morfologi
erythrocyte dan derajat hemolisis. Ovalositosis di Asia Tenggara
(Southeast Asian Ovalocytosis/SAO) disebabkan oleh delesi gena
protein band 3 penyusun membran eritrosit. Secara molekuler penyebab
SAO ini khusus dan tidak terdapat pada bentuk ovalositosis lain.
Sebagian besar kasus eliptositosis tidak bergejala dan mungkin
merupakan temuan insidental selama pemeriksaan anemia, sementara
kasus lain mungkin muncul dengan symptom anemia seperti kelelahan
atau berkurangnya toleransi olahraga.

179
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Elliptocytosis

Elliptocytosis merupakan disease genetik yang mirip dengan


spherocytosis. erythrocyte pada elliptocytosis berbentuk elips atau
lempengan. Kelainan bentuk erythrocyte ini juga disebabkan terutama
karena abnormalitas dari spektrin, dimana heterodimer tidak dapat
membentuk tetramer . Selain itu juga terdapat abnormalitas dari protein
4.1 atau glycophorin C . Adanya sferosit dan eliptosit selain dideteksi dari
mikroskop, juga dapat dideteksi dari osmotic fragitily test, dimana
erythrocyte secara in vitro dipapar dengan larutan natrium klorida (NaCl)
0,5 g/dL. Ketika terpapar larutan NaCl 0,5 g/dL, 50% sferosit akan
mengalami lisis, sedangkan pada eritrosit normal yang mengalami lisis
hanya sedikit (Rimbun,2018).
Dasar molekuler ovalositosis adalah perubahan protein band-3
eritrosit karena adanya delesi 27-bp gen tersebut dengan akibat tidak
adanya 9 residu asam amino (400-408) pada batas antara domain
sitoplasmik dengan domain membran (Takeshima et al., 1998). Protein
band-3 eritrosit mempunyai peranan penting dalam menjaga
keseimbangan pertukaran ion bikarbonat dan klorida antara erythrocyte
dan plasma. Band-3 juga ditemukan dalam membran basolateral sel-sel
A yang berinterkelasi dalam saluran kemih di ren. Protein band-3 di ren
berfungsi dalam mensekresikan asam dan reabsorbsi bikarbonat.
Kerusakan band-3 membran basolateral menyebabkan kegagalan dalam
+
menjaga keseimbangan gradien H dari cyt ke lumen yang berhubungan
dengan distal renal tubular acidosis (dRTA) (Vasuvattakul et al, 1999).

180
2.2 Definisi Elliptocytosis
Ovalositosis merupakan salah satu disease kelainan emia yang
ditandai dengan erythrocyte yang kebanyakan berbentuk elips (Palek &
Lambert 1990).

Subtipe Elliptocytosis
Subtipe Ellipcytosis bermacam-macam antara lain: Eliptositosis
herediter umum. Piropoikilositosis herediter (HPP), Ovalositosis Asia
Tenggara (SAO), dan Eliptositosis sferositik (SE).
1. Eliptositosis herediter umum
Adalah bentuk HE yang paling umum, dan pasien
umumnya asimtomatik. Neonatus mungkin datang dengan
hemolisis sementara, yang biasanya sembuh dalam tahun
pertama kehidupan. Transfusi dan fototerapi mungkin
diperlukan jika neonatus datang dengan anemia hemolitik berat
dan ikterus. Ciri dari HE yang umum adalah adanya erythrocyte
berbentuk elips pada apusan emia perifer, dan jumlahnya
berkisar dari 15% sampai 100%. Beberapa sferosit, stomatosit,
dan poikilosit (cyt terfragmentasi) dapat terlihat.
2. Piropoikilositosis herediter (HPP)
Adalah bentuk HE yang paling parah dan paling sering
menyerang neonatus Afrika-Amerika yang hadir dengan ikterus
neonatal dan anemia hemolitik yang menetap sepanjang hidup.
Apusan emia perifer menunjukkan poikilosit dan sferosit dengan
eliptosit yang jarang. Neonatus yang terkena paling sering
mengalami komplikasi yang berkaitan dengan hemolisis seperti
splenomegali dan cholelithiasis pigmen yang seringkali
memerlukan transfusi dan splenektomi.
3. Ovalositosis Asia Tenggara (SAO)
Juga dikenal sebagai stomatositosis elliptositosis,
paling sering terlihat di daerah endemik malaria. Hal ini terkait
181
dengan hemolisis ringan atau tanpa hemolisis dan memberikan
resistensi terhadap infeksi Plasmodium falciparum. Apusan
emia perifer menunjukkan stomatosit, ovalosit, dan makro-
ovalosit.
4. Eliptositosis sferositik (SE)
Paling sering ditemukan pada orang Italia dengan
hemolisis ringan hingga sedang.

Etiologi Eliptositosis
Deformabilitas elastis erythrocyte dibentuk oleh protein sitoskeleton
yang terletak di inferior membran cyt. Lima protein yang saling
berhubungan yang terlibat adalah spektrin, ankyrin, protein 4.2, protein
pita 3, dan glikophorin C. Setiap kelainan genetik yang mempengaruhi
protein ini dapat mengubah struktur dan fungsi protein ini yang
menyebabkan erythrocyte abnormal dan kelainan bentuk yang tidak
normal.
Sebagian besar kasus eliptositosis herediter disebabkan oleh cacat
genetik yang mempengaruhi spektrin alfa, spektrin beta, protein 4.1, pita
3, dan jarang glikophorin C. Perubahan ini termasuk substitusi basa
tunggal, penyisipan, penghapusan, atau perubahan pemrosesan mRNA.
Mutasi pada gen pengkode spektrin alfa adalah SPTA1, spektrin beta
adalah SPTB, dan protein 4.1 adalah EPB41. Pada kebanyakan kasus
HE, mutasi SPTA1 adalah yang paling umum, terjadi pada 65%, diikuti
oleh mutasi pada SPTB (30%) dan EPB41 (5%). Eliptositosis herediter
diwariskan secara autosom dominan kecuali untuk piropoikilositosis
herediter (HPP), yang diturunkan dalam pola resesif autosom
2.3.Patofisiologi Eliptositosis
Membran RBC normal terdiri dari lapisan ganda lipid dengan protein
sitoskeleton yang membantu menjaga integritas membran dan luas
permukaan. Protein sitoskeleton yang berbeda yang ada dalam
membran RBC adalah spektrin (terdiri dari heterodimer alfa dan
182
beta), ankyrin, protein 4.1, protein 4.2, band 3, dan glikophorin C.
Perubahan genetik yang mempengaruhi spektrin alfa, spektrin beta,
protein 4.1, pita 3, dan jarang glikophorin C mengakibatkan cacat
pada stabilitas membran erythrocyte dan deformabilitas saat
erythrocyte melewati mikrosirkulasi.
Akibatnya, erythrocyte gagal mendapatkan kembali bentuk cekung
ganda normalnya saat melewati mikrosirkulasi karena kehilangan
elastisitas yang mengakibatkan morfologi eliptosit tetap dalam emia
perifer. Eliptosit ini terperangkap dan dikeluarkan oleh spleen yang
mengakibatkan kerusakan erythrocyte dini (kurang dari 120 hari),
menyebabkan hemolisis intravaskular yang dominan pada
elliptositosis herediter. Tingkat keparahan anemia berhubungan
langsung dengan penurunan stabilitas membran erythrocyte Individu
yang heterozigot untuk varian eliptositik tidak menunjukkan
symptom, sedangkan individu yang homozigot atau heterozigot
majemuk untuk varian HE mengalami anemia ringan hingga berat.

Symptom Eliptositosis
 kelelahan
 dyspnea atau sesak napas
 icterus atau penyakit kuning

2.4.Diagnosa dan diagnosa banding Eliptositosis


Kebanyakan pasien dengan HE asimtomatik hanya 5% -20% yang
mengalami hemolisis tanpa kompensasi dengan anemia. Bahkan
pasien dengan hemolisis parah yang dirawat dengan splenektomi
memiliki prognosis yang relatif baik.
Diagnosis Banding Pada Herditer Eliptositosis

• Spherocytosis herediter
• Defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD)

183
• Thalasemia
• Defisiensi piruvat kinase
• Stomatocytosis / xerositosis herediter
• Anemia defisiensi besi
• Anemia megaloblastik
• Anemia sel sabit
• Myelofibrosis
• Sindrom Myelodysplastic
2.5. Penatalaksanaan Endocarditis
Tabel Kuratif Eliptositosis
No Jenis Kuratif Penjelasan

1. TES DARAH BILIRUBIN Pada Eliptositosis


pemeriksaan ini bertujuan
mengukur jumlah
total bilirubin dalam emia
dan untuk mengevaluasi
fungsi hepar atau
membantu mendiagnosis
anemia yang disebabkan
oleh kerusakan erythrocyte
(anemia hemolitik).

2. TES APUSAN DARAH Pada Eliptositosis


pemeriksaan ini dilakukan
untuk mengevaluasi
erythrocyte (sel darah
merah), leukocyte (sel
darah putih), dan trombosit.
Pemeriksaan ini berguna
untuk membedakan antara

184
berbagai jenis erythrocyte,
untuk membantu
mendeteksi, mendiagnosis,
dan / atau memantau
berbagai defisiensi,
disease, dan gangguan
yang melibatkan produksi,
fungsi, dan masa hidup cyt
emia.

3. HITUNG HB Pada Eliptositosis


(PEMERIKSAAN DARAH pemeriksaan ini untuk
LENGKAP) mengetahui jumlah cyt
emia secara lengkap.
Tujuannya antara lain
untuk untuk memeriksa
anemia, mendeteksi
disease, memantau
perkembangan disease,
dan mengevaluasi
efektivitas kuratif.

4. ULTRASONOGRAFI Ultrasonografi medis


adalah sebuah teknik
diagnostik pencitraan
menggunakan suara ultra
yang digunakan untuk
mencitrakan organ internal
dan myo, ukuran mereka,
struktur, dan luka patologi,
membuat teknik ini

185
berguna untuk memeriksa
organ. Pada Eliptositosis
pemeriksaan ini untuk
mendiagnosis
cholelithiasis.

5. TES LH (LACTATE LDH Adalah Tes untuk Cek


DEHYDROGENASE) Risiko hepatopathy dan
cancer .Untuk
mendiagnosis kerusakan
fibro

Preventive Eliptositosis

Pasien dan anggota keluarga harus dididik tentang cara


pewarisan autosom dominan disease, dan anggota keluarga harus
diskrining untuk Elliptocytosis. Orang tua dari anak yang terkena
dampak parah dengan eliptositosis harus ditawarkan konseling
pranatal. Pasien yang telah menjalani splenektomi memerlukan
vaksinasi profilaksis dan tindak lanjut untuk memantau komplikasi

186
2.6.Penunjang medis Eliptocytosis
1. laboratorium
a. Pemeriksaan hemoglobin bebas di urin
b. Pemeriksaan hemosiderin uri
c. Pemeriksaan daya tahan erythrocyte
d. Cold agglutinin titer
e. Skrining Glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD)
f. Skrining eliptocyte
2. DAT (Direct Antiglobulin Test)
3. LDH (Laktat Dehidrogenase)
4. Hitung Retikulosit
5. Serum Haptoglobin
6. Indeks Erythrocyte

187
BAB III

PEMBAHASAN

1.1 Gambar Eliptositosis


 Gambar Erythrocyte Normal

 Gambar Eliptositosis Abnormal

Dilihat dari kedua gambar tersebut terdapat perbedaan dalam


bentuk dari erythrocyte. Pada gambar pertama erythrocyte berbentuk
bikonkaf sedangkan pada gambar kedua terbentuk seperti lempengan.
Penyakit Ellyptocytosis ini ditandai dengan banyaknya erythrosit yang
berbentuk elips dan penyakit ini biasanya terjadi karena adanya kelainan
atau cacat pada genetiknya.
188
BAB IV

PENUTUP

HerediterEliptositosis (HE) terjadi karena kerusakan


pada protein membran erythrocyte. Ini adalah kelompok
kelainan heterogen yang terutama disebabkan oleh cacat pada
sebuah-spektrin, b-spektrin, atau protein. Sebagian besar kasus
eliptositosis herediter tidak bergejala dan mungkin merupakan
temuan insidental selama pemeriksaan anemia, sementara
kasus lain mungkin muncul dengan symptom anemia seperti
kelelahan atau berkurangnya toleransi olahraga. Salah satu
bentuk HE yang paling umum, dan pasien umumnya
asimtomatik adalah neonatus. Sebagian besar kasus
eliptositosis herediter disebabkan oleh cacat genetik yang
mempengaruhi spektrin alfa, spektrin beta, protein 4.1, pita 3,
dan jarang glikophorin C. Perubahan ini termasuk substitusi
basa tunggal, penyisipan, penghapusan, atau perubahan
pemrosesan mRNA. Eliptositosis herediter diwariskan secara
autosom dominan kecuali untuk piropoikilositosis herediter
(HPP), yang diturunkan dalam pola resesif autosom.
Kita harus tanggap serta waspada terhadap penyakit
yang memiliki symptom ataupun tidak bergejala, dan tetap
waspada dengan disease keturunan yang dapat menyerang
kapanpun dengan selalu menjaga kesehatan dan menerapkan
hidup sehat dalam kehidupan sehari-hari.

189
BAB V

TERMINOLOGI
NO Istilah Medis Pemenggalan Artinya
1. Ellipcytosis Prefix : ellip (oval) Kelainan
Root : cyt/o (sel) elliptocytosis yang
Suffix : osis ditandai dengan
(keadaan) eritrosit berbentuk
elips (eliptosis)
2. Myelofibrosis Prefix :- Penggantian
Root :myel/o : sumsum tulang
sumsum tulang oleh type jaringan
belakang lain
: fibr/o :
jaringan fibrosa
Suffix : osis :
keadaan

3. Spherocytosis Prefix : spher/o kondisi gangguan


(bulat) yang terjadi pada
Root : cyt/o(sel) lapisan permukaan
Suffix : osis yang juga dikenal
(keadaan) dengan istilah
membran eritrocyt
4. Stomatocytosis Prefix :- Produksi
Root : stomat/o stomatosit dalam
(mulut) emia.
Cyt/o (sel)
Suffix : osis
(keadaan)

190
5. Myelodysplastic Prefix : dys ( nyeri ) Perkembangan
Root : myel/o abnormalitas
(sumsum tulang sumsum belakang
belakang
Suffix : plastic
(jaringan untuk
memulihkan bagian
yang hilang/ mudah
dibentuk)
6. Anemia Prefix : an (tanpa) Eritrocyt kurang
Root : emia
(darah)
Suffix : -
7. Splenomegaly Prefix : - Pembesaran limpa
Root : splen/o
(limpa)
Suffix : megaly
(pembesaran)

191
DAFTAR PUSTAKA

Danuyanti, I. G. A. N., Fikri, Z., & Sopiatun, R. (2019). Penentuan


Derajat Ovalositosis Berdasarkan Pemeriksaan Mikroskopis
Dan Konfirmasi Dna. Jurnal Analis Medika Biosains
(JAMBS), 2(1), 23-32.
Fujiati, A. S. M. S. (2002). Diagnosis Molekul Ovalositosis Dan
Kaitannya Dengan Haplotipe Globin-B= Molecular Diagnosis Of
Ovalocytosis And Its Relation With B-Globin Haplotypes.
Teknosains, 15(2002).
Jha, S. K., & Budh, D. P. (2020). Hereditary Elliptocytosis.
StatPearls [Internet].
Shin, S., Hwang, K. A., Paik, K., & Park, J. (2020). A novel EPB41 p.
Trp704* mutation in a Korean patient with hereditary
elliptocytosis: a case report. Hematology, 25(1), 321-326.
Sofro, A. S. M. (2000). Diagnosis molekular ovalositosis dan
kaitannya dengan haplptipe globin-Beta (Doctoral dissertation,
[Yogyakarta]: Universitas Gadjah Mada).
Warang, P., & Kedar, P. (2018). Hereditary Elliptocytosis: A Rare
Red Cell Membrane Disorder. Indian Journal of Hematology
and Blood Transfusion, 34(4), 754-755.
Rimbun,(2018). Majalah biomorfologi Volume 28 No. 2 Juli 2015,
struktur dan peran sitoskeleton pada eritrosit , Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga.

192
FAMILIAL ERYTHROCITOSIS

Dosen Pengampu :
dr. R. A. Rengganis Ularan, MM

Disusun oleh :

Putri Hartini 205026

Nurwahida Adrianti 205064

Putri Adizia Pramudita 205104

D3 RMIK
2021
DAFTAR ISI

193
BAB I

PENDAHULUAN

Haemo adalah jenis jaringan ikat, terdiri atas sel-sel (eritrosit,


leukosit, dan trombosit) yang terendam pada cairan kompleks plasma
(Saadah, 2018). Haemo membentuk sekitar 8% dari berat total tubuh.
Pergerakan konstan haemo sewaktu mengalir dalam angio
menyebabkan unsur-unsur sel tersebar merata di dalam plasma
(Saadah, 2018). Eritrosit terdiri dari sebagian besar haemosit dalam
sirkulasi, dan salah satu fungsi utama mereka adalah untuk membawa
oksigen dari paru ke semua sel, jaringan, dan organ dalam tubuh
(Saadah, 2018). Jumlah eritrosit normal dalam haemo bervariasi, dan
lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan. bayi baru lahir memiliki
jumlah eritrosit yang lebih tinggi daripada orang dewasa. Jika ada jumlah
yang lebih tinggi dari eritrosit dalam sirkulasi dari biasanya maka
seseorang dikatakan telah erythrocytosis atau polisitemia. Situasi
sebaliknya dapat terjadi, dimana ada tingkat yang lebih rendah dari
eritrosit daripada biasanya, dan kondisi ini disebut sebagai "anemia".
Jumlah eritrosit dapat ditemukan kebetulan pada orang tanpa gejala,
pada tahap awal polisitemia.

Eritrositosis atau polisitemia merupakan peningkatan jumlah


eritrosit dalam sirkulasi. Peningkatan nilai hematokrit tersebut bersifat
persisten > 2 bulan. Angka kejadian polisitemia (primer maupun
sekunder) hingga saat ini sulit untuk dihitung. Diperkirakan separuh
kasus polisitemia merupakan kasus polisitemia sekunder akibat kelainan
non hematologi (Cahyanur & Rinaldi, 2019).

Polisitemia dibedakan menjadi 3, yaitu polisitemia vera,


polisitemia relatif, dan polisitemia sekunder. Polisitemia sekunder terjadi

194
peningkatan hormon eritropoeitin sebagai kompensasi dari hipoksia
akibat ketinggian tempat.

Polisitemia vera biasanya mengenai pasien berusia 40-60


tahun, rasio perbandingan antara pria dan perempuan antara 2:1 dan
dilaporkan insiden polisitemia vera adalah 2,3 per 100.000 populasi
dalam setahun. Keseriusan penyakit polisitemia vera ditegaskan bahwa
faktanya survival median pasien sesudah terdiagnosis tanpa diobati 1,5-
3 tahun sedang yang dengan kuratif lebih dari 10 tahun.

Meningkatnya jumlah eritrosit dalam sirkulasi haemo,


menaikkan viskositas haemo total, suatu peristiwa yang menyebabkan
melambatnya aliran haemo dan merupakan kuratif dari banyak
manifestasi patofisiologi penyakit ini. Meningkatnya viskositas haemo
mengakibatkan peningkatan volume haemo dan selanjutnya diikuti
dengan meningkatnya beban kerja cardio, vasodilatasi serta
meningkatnya suplai oksigen ke jaringan.

Terdapat penelitian yang menyebutkan kelainan molekul


mungkin bisa menjadi salah satu dari kuratif. Salah satu penelitian
sitogenetika menunjukkan adanya kariotipe abnormal di sel induk
hemopoisis pada pasien dengan polisitemia vera dimana tergantung dari
stadium penyakit, rata-rata 20% pada pasien polisitemia vera saat
terdiagnosis sedang meningkat 80% setelah diikuti lebih dari 10 tahun.
Beberapa kelainan tersebut sama dengan penyakit mielodisplasia
sindrom, yaitu deletion 20q (8,4%), deletion 13q (3%), trisomi 8 (7%),
trisomi 9 (7%), trisomi 1q (4%), deletion 5q atau monosomi 5 (3%),
deletion 7q atau monosomi 7 (1%).

195
Symptom polisitemia sendiri bervariasi, yaitu gatal seluruh
tubuh tanpa ada penyakit derma terutama setelah mandi air hangat atau
air panas, merasakan nyeri , hangat, dan sensasi rasa terbakar pada
volar dan plantar, perdarahan gusi dan haematoma tanpa sebab yang
jelas (Dharmayuda, 2016).

196
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Fisiologi

Haemo merupakan salah satu organ tubuh yang sangat penting bagi
manusia karena mengandung berbagai macam komponen. Seperti
cairan berupa plasma haemo dan hemocyte. Hematologi merupakan
salah satu cabang ilmu kedokteran yang mempelajari tentang haemo
dan jaringan pembentuk haemo (Firani, 2018).

Plasma haemo merupakan bagian cair dari darah yang merupakan


55 % dari bagian darah itu sendiri. Plasma haemo terdiri atas air (±
90%), zat-zat yang terlarut, yaitu protein darah, sari-sari makanan
(glukosa dan asam amino), enzim, antibodi, hormon, dan zat sisa
metabolisme, serta gas-gas (oksigen, karbondioksida, dan nitrogen). Di
dalam plasma darah terdapat pula fibrinogen yang dapat berubah
menjadi benang-benang fibrin, yang berguna untuk menutup luka
(Chalik, 2016)

2.2 Definisi Familial erythrocitosis

Polisitemia atau erythrocytosis merupakan peningkatan jumlah dan


volume sel darah merah, salah satu tandanya adalah hemoglobin
meningkat (Nurbaety, 2018). Tugas eritrosit untuk membawa oksigen ke
organ dan jaringan tubuh menjadi terganggu. Selain itu dapat terjadi
bekuan haemo dan komplikasi lainnya. Polisitemia sejati terjadi bila
massa eritrosit (red cell mass, RCM) total, yang diukur dengan dilusi
eritrosit yang berlabel isotop, meningkat di atas normal. Polisitemia
palsu/semu (pseudo/stress) terjadi bila peningkatan konsentrasi
hemoglobin disebabkan oleh pengurangan volume plasma.

197
Terdapat 3 jenis polisitemia atau erythrocitosis yaitu relatif
(apparent), primer, dan sekunder.

1. Polisitemia relatif berhubungan dengan dehidrasi. Dikatakan


relatif karena terjadi penurunan volume plasma namun massa
eritrosit tidak mengalami perubahan.
2. Polisitemia primer disebabkan oleh proliferasi berlebihan pada
sel benih hematopoietik tanpa perlu rangsangan dari
eritropoietin atau hanya dengan kadar eritropoietin rendah.
Dalam keadaan normal, proses proliferasi terjadi karena
rangsangan eritropoietin yang kuat.
3. Polisitemia sekunder, dimana proliferasi eritrosit disertai
peningkatan kadar eritropoietin. Peningkatan massa eritrosit
lama kelamaan akan mencapai keadaan hemostasis dan kadar
eritropoietin kembali normal. Contoh polisitemia ini adalah
hipoksia.

Mekanisme terjadinya polisitemia vera (PV) dikuratifkan oleh


kelainan sifat sel tunas (stem cells) pada medulla ossea/myelo. Selain
terdapat sel batang normal pada medulla ossea terdapat pula sel batang
abnormal yang dapat mengganggu atau menurunkan pertumbuhan dan
pematangan sel normal. Bagaimana perubahan sel tunas normal jadi
abnormal masih belum diketahui. (Nurbaety, 2018)
2.3 Patofisiologi Familial erythrocitosis

Etiologi Erythrocitosis

Biasanya etiologi dari penyakit ini dapat terjadi karena


kurangnya oksigen yang didapatkan tubuh atau nephropathy.
Kekurangan oksigen dapat menyebabkan peningkatan produksi eritrosit
yang berfungsi untuk mengkompensasi kondisi tubuh. Adapula
penyebab lain yang disebabkan kekurangan oksigen yaitu:

198
 Cardiovascular disease

 Heart failure

 Fibrosis pulmo

 Sleep apnea

 Merokok

 Mengonsumsi suplemen

Mengonsumsi obat-obat tertentu juga dapat meningkatkan produksi


eritrosit, yaitu:

 Steroid anabolic

 Transfusi haemo

 Menyuntikkan obat protein yang memicu peningkatan


eritrosit

Adapula etiologi lain yang meningkatkan konsentrasi eritrosit yaitu:

 Dehidrasi atau kekurangan cairan tubuh

 Polisitemia vera

 Mieloproliferatif

Symptom erythrocitosis

Untuk tahap awal penyakit ini tidak memperlihatkan symptom


yang berarti, tetapi orang yang mengidap polisitemia dapat mengalami
gejala seperti:

 Cephalgia

 Penglihatan kabur
199
 Berubahnya warna derma menjadi merah di beberapa
bagian tubuh

 Fatigue

 Sindrom dispepsia

 Disorientasi

 Haematoma

 Arthritis serta terjadi pembengkakan

 Pruritus

2.4 Diagnosa dan diagnose banding Familial erythrocitosis

Diagnosa Familial erythrocitosis

1. Kriteria Mayor :

 Hb >18.5 pada laki-laki, 16.5 g/dL pada perempuan

 Ditemukan mutasi Jak2V617F atau mutasi lain yang


sama secara fungsional.

2. Kriteria Minor :

 Hiperselularitas sumsum tulang, eritroid, granulosit dan


megakariosit

 Serum EPO (Eritropoetin) dibawah nilai normal

 Pembentukan koloni eritroid endogen

Dikatakan positif jika terdapat ketiga/kedua gejala mayor dan


atau salah satu gejala mayor ditambah salah satu atau lebih diantara tiga
gejala minor (Sihombing, 2015)

200
Diagnose banding Familial erytrhocitosis

Mutasi Jak2 tidak hanya terjadi pada penyakit polisitemia vera (PV),
namun juga terjadi pada keganasan mieloproliferatif lain seperti Esensial
Trombositemia (ET) dan Mielofibrosis (MF). Sehingga ketiga penyakit ini
mempunyai keterkaitan yang unik. Meskipun erirositosis bisa
membedakan PV dari ET dan MF, namun tidak semua pasien dengan
gejala eritrositosis dengan mutasi Jak2 akan berkembang menjadi PV
(Sihombing, 2015)

2.5 Penatalaksanaan Familial erythrocitosis

Kuratif erythrocitosis

Kuratif dari polisitemia bertujuan untuk mengurangi risiko


penggumpalan haemo dan mengurangi symptom. Terdapat beberapa
kuratif yang dapat dilakukan yaitu:

1. Venaseksi alias phlebotomy

Prosedur ini dilakukan dengan mengambil sejumlah kecil haemo


dari tubuh untuk untuk mengurangi kadar eritrosit Anda perlu melakukan
prosedur ini 2 kali seminggu atau lebih tergantung kondisi tubuh.

2. Aspirin

Konsumsi aspirin berfungsi untuk mengurangi rasa nyeri pada


aktivitas sehari-hari dan mencegah pembekuan haemo.

3. Penurun produksi eritrosit

Beberapa obat bisa dikonsumsi guna menurunkan kadar eritrosit.


Contoh obat-obatan yang dimaksud adalah hidroksiurea, busulfan, dan
interferon.

4. Penghambat JAK2
201
Jika penderita tidak merespon obat lain dengan baik, penghambat
enzim JAK2 mungkin akan direkomendasikan dokter. Salah satu
contohnya adalah ruxolitinib (Jakafi).

5. Obat lain

Obat lain mungkin juga akan direkomendasikan dokter untuk


mengontrol symptom penyakit ini. Misalnya saja antihistamin guna
meredakan symptom gatal yang menyerang tubuh.

Preventif erythrocitosis

Penyakit polisitemia tidak dapat dicegah. Namun, orang yang


terkena penyakit ini bisa menurunkan risiko dengan menghindari
berbagai faktor risiko yang bisa diubah, seperti :

1. Menghindari paparan radiasi atau bahan kimia yang


membahayakan tubuh

2. Memasang ventilasi di rumah dengan baik atau sering


membuka jendela agar udara bisa masuk dan mengurangi
paparan bahan kimia yang terkandung di produk rumah tangga.

3. Menghindari hal-hal yang dapat mengurangi kadar oksigen di


tubuh dalam waktu yang lama, seperti mendaki gunung, tinggal
di dataran tinggi, atau merokok.

4. Mengendalikan penyakit paru-paru, jantung, atau yang lainnya,


yang dapat meningkatkan risiko penyakit ini.

5. Menerapkan pola hidup sehat.

2.6 Penunjang Medis Familial erythrocitosis

202
1. Pemeriksaan Fisik, yaitu ada tidaknya splenomegaly dan
penampilan kulit.
2. Pemeriksaan Haemo. Jumlah hemosit ditentukan oleh complete
blood cell count (CBC), sebuah tes standar untuk mengukur
konsentrasi eritrosit, leukosit dan trombosit dalam haemo.
Polisitemia vera ditandai dengan adanya peningkatan
hematokrit, jumlah leukosit(terutama neutrofil), dan jumlah
platelet/trombosit. Pemeriksaan haemo lainnya, yaitu adanya
peningkatan kadar serum B12, peningkatan kadar asam urat
dalam serum, saturasi oksigen pada arteri, dan pengukuran
kadar eritropoietin (EPO) dalam haemo.
3. Pemeriksaan Modulla ossea. Meliputi pemeriksaan
histopatologi dan nalisis kromosom sel-sel modulla ossea
(untuk mengetahui kelainan sifat sel tunas (stem cells) pada
modulla ossea akibat mutasi dari gen Janus kinase-2/JAK2).

203
BAB III
PEMBAHASAN

a. Kondisi normal dan abnormal pada erythrocitosis

Gambar diatas (sebelah kiri) merupakan kondisi normal pada


eritrosit dimana eritrosit belum terjadi kekentalan haemo. Kemudian,
gambar diatas (sebelah kanan) merupakan suatu peningkatan jumlah
eritrosit pada polisitemia yang terjadinya pengentalan haemo dan
pembentukan gumpalan haemo. Kondisi ini bisa meningkatkan risiko
terjadinya stroke maupun emboli pulmo.

b. Kondisi penderita erythrocitosis

204
Gambar diatas merupakan kondisi abnormal pada penderita
perythrocitosis dengan wajah yang tampak kemerah-merahan.

c. Perbedaan tubuh

Gambar diatas (bagian atas) merupakan kondisi abnormal pada


penderita erythrocitosis, sedangkan gambar diatas (bagian bawah)
merupakan kondisi normal pada penderita erythrocitosis. Hal tersebut
dapat menyebabkan ganggren/kematian jaringan yang menyebabkan
kematian bagi penderita.

205
BAB IV

PENUTUP

Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa eritrositosis


atau polisitemia merupakan peningkatan jumlah eritrosit dalam sirkulasi.
Polisitemia dibedakan menjadi 3, yaitu polisitemia vera, polisitemia
relatif, dan polisitemia sekunder. Polisitemia sekunder terjadi
peningkatan hormon eritropoeitin sebagai kompensasi dari hipoksia
akibat ketinggian tempat. Mekanisme yang diduga dari etiologi
peningkatan poliferesi sel induk hematopoietik adalah sebagai berikut:
tidak terkontrolnya poliferesi sel induk hematopoietik yang bersifat
neoplastik, adanya faktor mieloproliferatif abnormal yang mempengaruhi
poliferasi sel induk hematopoietik normal, peningkatan sensivitas sel
induk hematopoietik terhadap eritropoitin, interlaukin, 1,3 GMCSF dan
sistem cell faktor.

206
BAB V

TERMINOLOGI

1. Erythrocitosis :

Prefix =-

Root = erythr/o (merah), cyt/o (sel)

Suffix = -osis (kondisi abnormal)

2. Cephalgia

Prefix =-

Root = cephal/o (kepala)

Suffix = -algia (sakit)

3. Haematoma

Prefix =-

Root = haema (darah)

Suffix = -oma (tumor, pengumpulan cairan)

4. Phlebotomy

Prefix =-

Root = phleb/o (pembuluh darah)

Suffix = -tomy (sayatan ke dalam)

5. Neprholitiasis

207
Prefix =-

Root = Nephr/o (ginjal), lit/o (batu)

Suffix = -iasis (keadaan, pembentukan)

6. Haematopoietik

Prefix =-

Root = haemat/o (darah)

Suffix = -poietik (pembentukan)

7. Hypoksia

Prefix = hypo (kurang, dibawah)

Root = ox/o (oksigen)

Suffix = -ia (kondisi)

8. Dyspepsia

Prefix = dys- (sulit, abnormal)

Root = peps/o (mencerna)

P.Suffix = -ia (kondisi)

9. Gastrointestinal

Prefix =-

Root = gastr/o (perut), intestine/o (usus)

P.Suffix = -al (berkaitan dengan)

10. Leukimia

208
Prefix =-

Root = leuk/o (putih)

Suffix = -emia (kondisi darah)

11. Leukocytosis

Prefix =-

Root = leuk/o (putih), cyt/o (sel)

Suffix = -osis (kondisi abnormal)

12. Trombosis

Prefix =-

Root = thromb/o (pembekuan darah)

Suffix = -osis (kondisi abnormal)

13. Cardiovascular

Prefix =-

Root = cardi/o (jantung)

Suffix = -vascular (pembuluh darah)

14. Polycytemia

Prefix = poly- (banyak)

Root = cyt/o (sel)

Suffix = -emia (kondisi darah)

15. Splenomegaly

209
Prefix =-

Root = splen/o (limpa)

Suffix = -megaly (pembesaran)

16. Hematology

Prefix =-

Root = hemat/o (darah)

Suffix = -logy (ilmu)

17. Leukocyte

Prefix =-

Root = leuk/o (putih)

Suffix = -cyte (sel)

18. Arthritis

Prefix =-

Root = arthr/o (sendi)

Suffix = -itis (peradangan)

210
DAFTAR PUSTAKA

Cahyanur, R., & Rinaldi, I. (2019). Pendekatan Klinis Polisitemia. Jurnal


Penyakit Dalam Indonesia, 6(3), 156.
https://doi.org/10.7454/jpdi.v6i3.349

Chalik, Raimundus. (2016). MODUL BAHAN AJAR CETAK FARMASI :


ANATOMI FISIOLOGI MANUSIA. Pusdik SDM
Kesehatan:Jakarta Selatan

Dharmayuda, T. G., PD-KHOM, S., Mahariski, P. A., & Meilani, N. M.


(2016). Polisitemia Vera.

Firani, N. K. (2018). Mengenali Sel-Sel Darah dan Kelainan Darah.


Universitas Brawijaya Press.

Nurbaety, P. (2018). ASUHAN KEPERAWATAN POLISITEMIA VERA


PADA TN. B DI RUANG ICCU RSUD BAHTERAMAS
KENDARI (Doctoral dissertation, Poltekkes Kemenkes Kendari).

Saadah, S. (2018). Sistem Peredaran Darah Manusia. 8 Februari.


https://idschool.net/smp/sistem-peredaran-darah-manusia/

Sihombing, K. D., Faradz, S. M., & Saktini, F. (2015). Gambaran gen


JAK2 pada penderita Polisitemia Vera di Laboratorium Center for
Biomedical Research (Cebior) Semarang. Jurnal Kedokteran
Diponegoro, 4(4), 1091-1099.

211
GRANULOCYTOSIS

Dosen Pengampu :
dr. R. A. Rengganis Ularan, MM

Disusun oleh :
Oktavia Hanifah Dewi 205024
Nur Indah Wahyu H 205062
Nuria Pangestika 205102

D3 RMIK
2021

212
BAB I

PENDAHULUAN

Haema adalah cairan yang berfungsi untuk mengirimkan zat-zat


dan oksigen yang dibutuhkan oleh jaringan tubuh, mengangkut
bahan-bahan kimia hasil metabolism, dan juga sebagai pertahanan
tubuh terhadap virus dan bakteri. Di dalam haema terkandung
berbagai macam komponen, baik komponen cairan berupa plasma
darah, maupun komponen padat berupa haemosit (Firani, N. K.,
2018). Haema terdiri atas beberapa jenis korpuskula yang
membentuk 45% bagian dari hemo/hemato. Bagian 55% yang lain
berupa cairan kekuningan yang membentuk medium cairan
hemo/hemato yang disebut plasma darah (Fauzi, M., & Bahagia, N.,
2019).
Haema berada di dalam suatu vaskular arteri maupun vena.
Volume haema total dalam tubuh manusia dewasa adalah berkisar
3,6 liter (wanita) dan 4,5 liter (pria). Komponen hemocyte yang
paling banyak adalah eritrosit yaitu sejumlah 41% (Firani, N. K.,
2018).

Leukosit dibagi menjadi 2 yaitu granulosit dan agranulosit.


Granulosit adalah sebuah sub-kelompok leukosit yang mempunyai
butir-butir granula dalam sitoplasmanya (Indriani. M., 2017) . Tiga
jenis granulosit dengan inti sel yang berlainan dikeluarkan oleh
medulla sebagai protein komplemen wewenang. Tiga jenis
granulosit yang disebut yaitu neutrophil, eosinophil dan basophil
(Indriani. M., 2017).

Penyakit yang menyerang granulosit disebut granulocytosis.


Pengertian granulocytosis sendiri adalah peningkatan jumlah

213
granulosit (sejenis leukosit yang terdiri dari neutrofil, eosinofil dan
basofil dalam darah perifer (Kamat, A., & Kamat, D. M., 2021).
Seringkali, istilah ini mengacu pada hitungan neutrofil yang
meningkat, karena neutrofil adalah granulosit utama. Tetapi
penyebab yang paling utama granulocytosis adalah gangguan
medulla (Kamat, A., & Kamat, D. M., 2021)

214
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi

Haema adalah cairan yang berfungsi untuk


mengirimkan zat-zat dan oksigen yang dibutuhkan oleh jaringan
tubuh, mengangkut bahan-bahan kimia hasil metabolism, dan
juga sebagai pertahanan tubuh terhadap virus dan bakteri. Di
dalam haema terkandung berbagai macam komponen, baik
komponen cairan berupa plasma darah, maupun komponen
padat berupa haemosit (Firani, N. K., 2018). Haema terdiri atas
beberapa jenis korpuskula yang membentuk 45% bagian dari
haema. Bagian 55% yang lain berupa cairan kekuningan yang
membentuk medium cairan hemo/hemato yang disebut plasma
darah (Fauzi, M., & Bahagia, N., 2019).
Haema berada di dalam suatu vaskular arteri maupun
vena. Volume haema total dalam tubuh manusia dewasa
adalah berkisar 3,6 liter (wanita) dan 4,5 liter (pria). Komponen
hemocyte yang paling banyak adalah eritrosit yaitu sejumlah
41% (Firani, N. K., 2018). Leukosit paling sedikit dalam tubuh
jumlahnya sekitar 4.000-11.000/mm3 . Berfungsi untuk
melindungi tubuh dari infeksi. Karena itu, jumlah leukosit

215
tersebut berubah-ubah dari waktu ke waktu, sesuai dengan
jumlah benda asing yang dihadapi dalam batas-batas yang
masih dapat ditoleransi tubuh tanpa menimbulkan gangguan
fungsi (Sadikin, 2002).
Leukosit dibagi menjadi 2 yaitu granulosit dan
agranulosit. Granulosit adalah sebuah sub-kelompok leukosit
yang mempunyai butir-butir granula dalam sitoplasmanya
(Indriani. M., 2017) . Tiga jenis granulosit dengan inti sel yang
berlainan dikeluarkan oleh medulla sebagai protein komplemen
wewenang. Tiga jenis granulosit yang disebut yaitu neutrophil,
eosinophil dan basophil (Indriani. M., 2017).
2.2 Definisi Granulocytosis
Granulocytosis adalah peningkatan jumlah granulosit
(sejenis leukosit yang terdiri dari neutrofil, eosinofil dan basofil)
dalam arteri perifer. Seringkali, istilah ini mengacu pada
hitungan neutrofil yang meningkat, karena neutrofil adalah
granulosit utama. Granulocytosis dapat disebabkan oleh
neutrofilia, eosinofilia, atau basofilia (Kamat, A., & Kamat, D.
M., 2021).
Granulocytosis biasanya menyertai episode krisis yang
menyakitkan dan sindrom coroner akut pada sickle cell disease,
meskipun hubungan kausal antara granulocytosis dan
komplikasi ini belum ditetapkan. Gangguan medulla adalah
etiologi utama granulocytosis. Sumsum tulang jaringan spons-
seperti yang ditemukan di dalam osseo. Ini berisi sel induk yang
memproduksi leukosit, eritrosit dan trombosit
Granulocytosis adalah symptom keadaan lain Ia tidak
dianggap sebagai penyakit yang berasingan, dan biasanya
tidak dirawat secara langsung. Sebaliknya, rawatan menangani
keadaan asas yang menyebabkan granulocytosis. Mengobati

216
mana-mana keadaan yang ada juga harus mengurangkan
jumlah granulosit dalam hemo/hemato. (Abboud, M., Laver, J.,
& Blau, C. A. ,1998)
2.3. Patofisiologi Granulocytosis
Faktor resiko dari Granulocytosis adalah sebagai berikut :
1. Infeksi bakteri atau aliran haeme
2. Keracunan darah (Septikemia)
3. Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan penyakit renal
failure
4. Beberapa penyakit autoimun, termasuk rheumatoid
arthritis
5. Kanker metastatic
6. Inflammatory bowel disease
7. Stres fisik atau emosional yang ekstrim
8. Combustio (Luka bakar)
9. infark miokardial (Serangan jantung)
10. Merokok
11. Penggunaan obat tertentu, termasuk kortikosteroid

2.4. Diagnosa dan diagnosa banding Granulocytosis


Paling sering, granulocytosis didiagnosis dengan tes
haeme yang disebut hitung haeme lengkap (CBC). CBC
mengukur jumlah eritrosit, leukosit dan trombosit dalam haeme
seseorang. Peningkatan jumlah leukosit dapat mengindikasikan
granulocytosis serta kelainan, penyakit, atau infeksi yang
mendasarinya. Demikian pula, peningkatan eritrosit atau
trombosit masing-masing dapat menjadi indikasi polisitemia
vera atau trombositemia esensial.
Kondisi ini biasanya didiagnosis dengan pemeriksaan
fisik. Jumlah sel yang tidak normal akan menunjukkan bahwa

217
ada penyakit ini, dengan memperlihatkan adanya kenaikan
granulocyte di dalam darah. CBC dilakukan dengan melibatkan
pemberian sampel darah yang akan dikirim ke laboratorium
untuk dianalisis.
Granulocytosis juga dapat didiagnosis dengan
inflamasi akibat mikroorganisme, CML, polycythemia, primary
thrombocythemia, dan primary myelofibrosis.

2.5. Penatalaksanaan Granulocytosis


Cara kuratif Granulocytosis
Granulositosis adalah symptom dari kondisi lain. Ini
tidak dianggap sebagai penyakit yang terpisah, dan biasanya
tidak diobati secara langsung. Sebaliknya, kuratif membahas
kondisi yang mendasari menyebabkan
granulositosis. Mengobati kondisi yang ada juga harus
mengurangi jumlah granulosit dalam haeme (Abboud, M.,
Laver, J., & Blau, C. A. ,1998).
Kuratif untuk granulocytosis biasanya ditujukan untuk
mengobati etiologi yang mendasarinya. Mengobati kondisi yang
ada akan membantu mengurangi jumlah Leukosit dalam haeme
dan mengatasi granulositosis.
Perawatan akan bergantung pada penyakit yang
menyebabkan granulocytosis. Sekiranya berkaitan dengan
carcinoma, perawatan mungkin merangkumi yang berikut:
 Semasa pemindahan medulla, medulla akan dikeluarkan
dan diganti dengan sel stem yang sehat. Sel induk ini
mungkin berasal dari badan atau dari badan penderma.
 Kemoterapi adalah bentuk terapi obat kimia yang agresif
yang membantu memusnahkan hemocyte di dalam badan.

218
 Terapi radiasi menggunakan radiasi tenaga tinggi untuk
mengecilkan neoplasm dan membunuh hemocyte.
 Splenektomi mungkin disarankan bagi orang yang
menghidap CML (Chronic Myeloid Leukimia).

Beberapa keadaan bertindak balas dengan baik


terhadap obat-obatan, dan keadaan lain dapat diatasi dengan
pemindahan haeme. Doktor akan menentukan rancangan
rawatan terbaik.

Kuratif Terapi (Obar-Obatan) Dan Tindakan


Radiasi adalah perpindahan energi dari suatu sumber radiasi terhadap
medium lain, di mana transmisi ini dapat berupa partikel (radiasi partikel)
maupun berupa gelombang/ cahaya (radiasi elektromagnetik). Beberapa
jenis radiasi yang dihasilkan dari atom, seperti radiasi sinar tampak,
sinar-X dan sinar-ɣ, dikelompokkan dalam gelombang elektomagnetik
atau dikenal dengan istilah spektrum elektromagnetik. Dalam radioterapi,
digunakan radiasi pengion karena dapat membentuk ion (partikel
bermuatan listrik) dan menyimpan energi ke sel-sel jaringan yang
melewatinya. Energi yang tersimpan ini bisa membunuh sel kanker atau
menyebabkan perubahan genetik yang mengakibatkan kematian sel
kanker. Radiasi pengion adalah radiasi dengan energi tinggi yang
mampu melepaskan elektron dari orbit suatu atom, yang menyebabkan
terbentuknya muatan atau terionisasi. Radiasi pengion terdiri dari radiasi
elektromagnetik dan radiasi partikel.

2.6. Penunjang medis Granulocytosis


1. Laboratorium
a. Hematologi Lengkap

219
untuk mengetahui adanya haemocyt seperti hemoglobin, leukosit,
eritrosit, trombosit, hitung jenis dari haemocyt, serta mengetahui adanya
laju endap emia.

b. Apusan emia

untuk mengetahui gambaran dan evaluasi lebih lanjut dari haemocyt


eritrosit, leukosit, keping darah, serta trombosit untuk menunjang kearah
diagnostik.

2. Kemoterapi adalah bentuk terapi obat kimia yang agresif yang


membantu memusnahkan hemocyte di dalam badan.

3. Terapi radiasi menggunakan radiasi tenaga tinggi untuk mengecilkan


neoplasm dan membunuh hemocyte.
4. Splenektomi mungkin disarankan bagi orang yang menghidap CML
(Chronic Myeloid Leukimia).

220
BAB III
PEMBAHASAN

Gambar 3.1 granulocyte normal

Gambar 3.2 etiologi granulocytosis

221
Gambar 3.3 granulocytosis
Granulocytosis dapat disebabkan oleh gangguan sumsum tulang
belakang salah satunya adalah leukimia yang menjadi etiologi utama
dalam granulocytosis. Didapati di dalam gambar granulocyte meningkat
tinggi di dalam darah menyebabkan adanya masalah kesehatan di dalam
diri.

222
BAB IV
PENUTUP

Granulocytosis adalah meningkatnya leukocyte jenis granulocyte.


Biasanya etiologi dari pathologi ini adalah leukimia, polycythemia vera,
primary thrombocythemia, primary myelofibrosis. Untuk mendiagnosis
pathologi ini dapat dilakukan degan complete blood count (CBC). Ketika
terjadi keabnormalan sel haemo mengindikasikan adanya penyakit di
dalam tubuh. Untuk bentuk kuratif dapat dilakukan transplantasi sumsum
tulang belakang, therapi sinar radiasi, kemotherapi dan terakhir adalah
operasi pengangkatan spleen (spleenectomy).

223
BAB V
TERMINOLOGI
 Granulocytosis :
Prefix :-
Root : Granul/o (Diambil dari jenis haeme)
Granulosit (Leukosit berbintik)
Suffix : -osis (Kondisi)
Arti : Kondisi dimana jumlah granulosit
melebihi normal
 Polycytemia :
Prefix : Poly- (banyak)
Root : Cyt/o (sel)
Suffix : Emia (kondisi darah)
Arti : Peningkatan jumlah total massa sel
darah
 Leukemia :
Prefix :-
Root : Leuk/o (putih)
Suffix : Emia (kondisi darah)
Arti : Kelebihan sel darah putih
 Arthritis :
Prefix :-
Root : Arthr/o (sendi)
Suffix : Itis (peradangan)
Arti : Peradangan pada sendi
 Thrombocythemia :
Prefix :-
Root : Thromb/o (bekuan darah)
: Cyt/o (sel)
Suffix : Emia (kondisi darah)
224
Arti : Peningkatan jumlah trombosit
 Splenektomi :
Prefix :-
Root : splen/o (limpa)
Suffix : ectomy (operasi pengangkatan)
Arti : pembedahan untuk pengangkatan
limpa

225
DAFTAR PUSTAKA

Kamat, A., & Kamat, D. M. (2021). Granulocytosis. In Benign


Hematologic Disorders in Children (pp. 205-212).
Springer, Cham.

Abboud, M., Laver, J., & Blau, C. A. (1998). Granulocytosis


causing sickle-cell crisis. The Lancet, 351(9107), 959.

INDRIANI, M. (2017). PENGARUH KONSENTRASI pH BUFFER


GIEMSA TERHADAP MORFOLOGI LEUKOSIT PADA
PREPARAT SUMSUNG TULANG (Doctoral
dissertation, Universitas Muhammadiyah Semarang).

Kamus Saku Kedokteran Dorland edisi 29

Andryan, K. (2020). Leukosit Tinggi. Diakses pada 29 Mei 2021,


dari https://www.alodokter.com/leukosit-tinggi-ini-
penyebab-dan
gejalanya#:~:text=Namun%2C%20orang%20yang%20
mengalami%20leukosit,terasa%20mudah%20lelah%2
0dan%20lemas

Tefferi A, et al. International Working Group (IWG) Consensus


Criteria for Treatment Respone in Myelofibrosis with
Myeloid Metaplasia, for The IWG for Myelofibrosis
Research and Treatment (IWG-MRT). Blood, 2006;
108:1494–1503.
Rinaldi CR, Rinaldi P, Pane F, Camera A, Rinaldi C. Acquired Hb
H Disease Associated with Elevated Hb F Level in
Patient Affected by Primary Myelofibrosis. Annals of
Hematology, 2009; 89: 827–8.
226
Indonesian Journal Of Clinical Pathology and Medical Laboratory.
Indonesian Association of Clinical Pathologists, 2008;
Vol.17: 57-126.
"granulosit | Arti Kata granulosit". www.kamusbesar.com. Diakses
tanggal 2021-06-09
"Pengertian Granulosit – jenis dan fungsi | Biologi |
Sridianti.com". www.sridianti.com. Diakses
tanggal 2021-06-09
Firani, N. K. (2018). Mengenali Sel-Sel Darah dan Kelainan
Darah. Universitas Brawijaya Press.
Baskar R, Lee KA, Yeo R, Yeoh KW. Cancer and radiation
therapy: Current advances and future directions. Int J
Med Sci. 2012;9(3):193–9. doi:10.7150/ijms.3 635

227
HAEMOGLOBINO PATHIES

Dosen Pengampu:
Dr. R. A. Rengganis Ularan, MM

Disusun Oleh :
Silvia Putri Petricia 205033
Ryan Arista Bagas J 205072
Sandyasti Ovilia 205111

D3 RMIK
2021

228
BAB I

PENDAHULUAN

Hemoglobin atau Hb adalah protein yang berada di


dalam eritrosit dikutip dari Cristian (2006) Protein inilah yang
membuat emia berwarna erenythro. Dalam kadar yang normal,
hemoglobin memiliki banyak fungsi bagi tubuh. Oleh karena itu,
kadar normal hemoglobin perlu selalu dijaga.Selain memberi
warna, hemoglobin juga berfungsi membantu eritrosit
mendapatkan bentuk alaminya, yaitu bulat dengan bagian
tengahnya lebih pipih. Dengan bentuk seperti ini, eritrosit dapat
dengan mudah bergerak dan mengalir di dalam vaskular.
Fungsi hemoglobin sangat penting untuk tubuh. Jika jumlah
hemoglobin terlalu rendah atau tinggi, hal ini dapat
menimbulkan berbagai masalah kesehatan. Untuk
mengevaluasi kadar hemoglobin dan kondisi kesehatan tubuh,
Anda bisa berkonsultasi dengan dokter pathy.
Dalam Hemoglobinopati meliputi kelainan pada
struktur dan gangguan sintesis hemoglobin (thalassaemia).
Kelainan pada Hb ini merupakan kelainan gen tunggal yang
pada awalnya ditemukan di daerah endemis malaria tetapi saat
ini dapat ditemukan di seluruh dunia dikutip dari Cristian
(2006).. Di Asia Tenggara dengan total penduduk lebih dari 600
juta, kelainan pada hemoglobin termasuk thalassaemia, HbE
dan HbCS merupakan kelainan genetik yang paling banyak
ditemukan dan memiliki prevalensi tinggi.. Oleh karena kasus
thalassaemia makin meningkat dari tahun ke tahun, maka
diperlukan upaya pencegahan yang dapat dimulai dengan
skrining pada individu-individu yang memiliki kerabat pembawa
atau penderita thalassaemia.
229
Hemoglobinopati atau kelainan pada Hemoglobin (Hb),
mencakup semua kelainan genetik pada Hb. Dua kelompok
utama yang parsial dan menyebabkan suatu kelainan yang
disebut thalassaemia. Bentuk yang lebih jarang adalah
kombinasi kedua kelainan tersebut. Sejauh ini, kelainan pada
Hb menjadi kelainan gen tunggal yang paling banyak ditemukan
di dunia. Awalnya, kelainan ini terutama ditemukan di daerah
endemis malaria, yaitu di Mediterania dan sebagian besar Asia
dan Afrika. Salah satu alasannya adalah karena individu carrier
atau pembawa hemoglobinopati lebih tahan terhadap serangan
malaria.

230
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan fisiologi

Normal dan Abnormal terkena hemoglobinopathies

Kondisi saat normal

Pada kondisi normal hemoglobino pathies mampu membentuk sintesis


dari rantai Alfa , beta dan rantai globin membentuk struktur sintesis
secara normal pada molekul hemoglobin utama.

231
Kondisi saat abnormal hemoglobin struktural abnormal yang disebabkan
oleh mutasi pada gen hemoglobin, dan talasemia , yang disebabkan oleh
kekurangan produksi molekul hemoglobin normal.

Kedua kondisi tersebut mungkin tumpang tindih karena beberapa kondisi


yang menyebabkan kelainan pada protein hemoglobin juga
mempengaruhi produksinya. Beberapa varian hemoglobin tidak
menyebabkan patologi atau anemia, dan dengan demikian sering tidak
diklasifikasikan sebagai hemoglobinopati

2.2 Definisi haemoglobino pathies

Hemoglobin atau Hb adalah protein yang berada di dalam


eritrosit dikutip dari Cristian (2006).

Hemoglobinopati adalah sekelompok pathy yang mempunyai sifat


keturunan dengan manifestasi berupa bentuk atau produksi hemoglobin
yang abnormal dikutp dari Cristian (2006).

Hemoglobinopati adalah sekelompok penyakit genetik yang


bermanifestasi dalam bentuk atau produksi hemoglobin yang abnormal
dikutip Norsiah, W(2005).

2.3 Patofisiologi haemoglobino pathies

Patofisiologi hemoglobinopati kelompok pertama dan kedua


berdasarkan hasil studi diakibatkan oleh adanya mutasi pada gen globin,
baik itu gen globin alfa maupun beta. Defek genetik yang diakibatkan
oleh mutasi gen globin ini menyebabkan terbentuknya salah satu struktur
rantai globin yang abnormal atau penurunan produksi yang signifikan
232
pada rantai globin tertentu pada hemoglobin penderita hemoglobinopati.
Kedua kelompok hemoglobinopati dapat ditemukan secara bersamaan
pada satu individu.

Defek yang terjadi pada hemoglobinopati kelompok pertama


terjadi akibat adanya substitusi salah satu asam amino dengan yang
lainnya (contohnya pada sickle cell Hb atau HbS), terhapusnya sebagian
rantai asam amino (Hb Gun Hill), hibridisasi abnormal antara dua rantai
asam amino (Hb Lepore) atau pemanjangan abnormal rantai globin (Hb
Constant Spring). Terbentuknya Hb abnormal tersebut yang
menyebabkan terjadinya patofisiologi untuk masing-masing penyakit
hemoglobinopati.

Defek yang terjadi pada kelompok kedua terjadi akibat adanya


sejumlah mutasi heterogen yang menyebabkan terjadinya ekspresi
abnormal gen globin yang sehingga tidak terjadi sintesis atau sintesis
yang sangat minimal rantai globin. Hal ini dapat diamati pada pasien
thalassemia. Sindrom thalassemia dibagi lagi menjadi kelompok-
kelompok yang penentuannya bergantung pada mutasi yang terjadi pada
rantai alfa atau beta pada pasien thalassemia.

Thalassemia alfa terjadi akibat adanya penghapusan alpha-


globin gene cluster yang mengakibatkan tidak berfungsinya satu atau
kedua alpha-globin gene didalam sebuah kluster. Sedangkan
thalassemia beta terjadi akibat adanya point mutation pada satu atau
sejumlah kecil nukleotida saja, tetapi dapat mengakibatkan defek mayor
ekspresi beta-globin gene pada fase transkripsi atau post-transkripsi.

2.4 Diagnosa dan Diagnosa banding haemoglobino


pathies

233
Diagnosis hemoglobinopati dalam praktik sehari-hari membutuhkan
pemeriksaan hitung eritrosit dan eritrosit index, dan pemeriksaan
hemoglobin seperti hemoglobin electrophoresis dan chromatography.

Diagnosis banding hemoglobinopati antara lain:

1. Thalassemia Beta

Thalassemia beta diakibatkan oleh insufisiensi (β+) atau tidak


adanya produksi (β0) dari rantai globin beta. Penyebabnya adalah
mutasi gen globin beta. Gambaran yang ditemukan adalah anemia mulai
dari ringan hingga berat tergantung pada derajat thalassemia beta yang
terjadi.

2. Thalassemia Alfa

Thalassemia alfa disebabkan oleh defek sintesis rantai globin


alfa. Pada level molekular, hal ini disebabkan oleh terhapusnya gen
globin alfa secara parsial (α+) atau total (α0), atau yang lebih langka
disebabkan oleh mutasi dari satu atau lebih dari empat rantai globin alfa
(αα/αα).

3. Sickle cell disease

Pasien dengan sickel cell disease manifestasi klinis yang terjadi


bergantung pada seberapa banyak jumlah HbS. Gejala dapat mulai
muncul sebelum usia satu tahun, dengan anemia hemolitik kronik dan
gangguan tumbuh kembang.masalah utama yang dikeluhkan adalah
krisis nyeri yang dapat terjadi di punggung, ekstremitas, toraks, abdomen
dan sistem saraf pusat.

234
2.5 Penatalaksanaan haemoglobino pathies

Kuratif dan preventif dari hemoglobino pathies

A. Farmakologi

Pemberian antibiotik dan transfusi darah

B. Non Farmakologi

Dengan melakukan tindakan splenektomi , dilakukan jika tranfusi darah


rutin dilakukan tujuan untuk menghentikan tranfusi darah yang terus
dilakukan atau terus meningkat

C. Pengobatan

- antibiotik

Jika terjadi infeksi pada penderita hemoglobino pathies

- transfusi emia

Tranfusi emia di berikan jika penderita hemoglobino pathies tidak


mengalami infeksi

2.6 Penunjang Medis haemoglobino pathies

a. Laboratorium

1. Hematologi Lengkap

235
untuk mengetahui adanya haemocyt seperti hemoglobin, leukosit,
eritrosit, trombosit, hitung jenis dari haemocyt, serta mengetahui adanya
laju endap emia.

2. Apusan emia

untuk mengetahui gambaran dan evaluasi lebih lanjut dari haemocyt


eritrosit, leukosit, keping darah, serta trombosit untuk menunjang kearah
diagnostik.

3. Elektroforesa Hb

untuk mendeteksi adanya hemoglobinopati (hemoglobin abnormal), serta


penyaring adanya thalasemia.

236
BAB III

PEMBAHASAN

Gambar 3.1 normal dan abnormal

3.1 kisaran hemoglobin normal, yang bergantung pada usia serta


jenis kelamin, yaitu:

237
No Kategori Jumlah haemoglobin normal

1 Bayi yang baru lahir 17-22 gm/dL

2 Bayi berumur satu mingu 15-20 gm/dL

3 Bayi berumur satu bulan 11-15 gm/dL

4 Anak-anak 11-13 gm/dL

5 Pria dewasa 14-18 gm/dL

6 Wanita dewasa 12-16 gm/dL

7 Pria paruh baya 12.4-14.9 gm/dL

8 Wanita paruh baya 11.7-13.8 gm/dL

Kondisi saat normal

Pada kondisi normal hemoglobino pathies mampu membentuk


sintesis dari rantai Alfa , beta dan rantai globin membentuk struktur
sintesis secara normal pada molekul hemoglobin utama.

Kondisi saat abnormal

hemoglobin struktural abnormal yang disebabkan oleh mutasi


pada gen hemoglobin, dan talasemia , yang disebabkan oleh
kekurangan produksi molekul hemoglobin normal.

Kedua kondisi tersebut mungkin tumpang tindih karena


beberapa kondisi yang menyebabkan kelainan pada protein hemoglobin
juga mempengaruhi produksinya. Beberapa varian hemoglobin tidak
menyebabkan patologi atau anemia, dan dengan demikian sering tidak
diklasifikasikan sebagai hemoglobinopati

238
BAB IV
PENUTUP

Hemoglobinopati adalah sekelompok penyakit genetik yang


bermanifestasi dalam bentuk atau produksi hemoglobin yang
abnormal dikutip Norsiah, W(2005) Hemoglobinopati biasanya
terlihat pada anemia pada cell sickle, thallasemia dan hemoglobin
E. HbS abnormal merupakan hasil mutasi yang disebabkan oleh
pertukaran asam amino pada posisi 6 rantai β-globin dengan
glutamat. Bentuk haemoglobinopathies yang paling umum adalah
pathy sel sabit.
Hemoglobinopati atau kelainan pada Hemoglobin (Hb),
mencakup semua kelainan genetik pada Hb. Dua kelompok utama
yang parsial dan menyebabkan suatu kelainan yang disebut
thalassaemia.
Patofisiologi hemoglobinopati kelompok pertama dan kedua
berdasarkan hasil studi diakibatkan oleh adanya mutasi pada gen
globin, baik itu gen globin alfa maupun beta.

Diagnosis hemoglobinopati dalam praktik sehari-hari


membutuhkan pemeriksaan hitung eritrosit dan eritrosit index, dan
pemeriksaan hemoglobin seperti hemoglobin electrophoresis dan
chromatography. Diagnosis bandingnya adalah thalassaemia
beta,thalassaemia alfa,dan sickle cell .

239
BAB V

TERMINOLOGI

1. Haemoglobinopathy = kelainan hematologik akibat perubahan


struktur molekul hemoglobin yang ditentukan secara genetik.
 Preffix :-
 Root :haem/o (darah)
Globin/o (salah protein darah)
 Suffix : pathy (sakit)
2. Anemia = sel darah merah kurang
 Preffix : an (tanpa)
 Root : emia
 Suffix :-
3. Polycythemia = peningkatan jumlah total massa sel darah
merah
 Preffix : poly (banyak)
 Root : cyt/o (sel)
Haem/o (darah)
 Suffix : ia
4. Cardiopathy = penyakit akibat kelainan pada otot jantung
 Preffix :-
 Root : cardi/o (jantung)
 Suffix : pathy (penyakit)
5. Thalassemia = kelainan darah bawaan yang ditandai oleh
kurangnya protein pembawa oksigen (hemoglobin) dan jumlah
sel darah merah dalam tubuh yang kurang dari normal.
 Preffix : thalasso (lautan)
 Root : haem/o (darah)
 Suffix : ia

240
DAFTAR PUSTAKA

Sadikin, Mohamad. Anemia. Dalam: Rusmiyati, editor.


Biokimia Darah edisi I. Jakarta: Widya Medika; 2001; 4; 30-8.

Sadikin, Mohamad. Sel Darah Merah. Dalam: Rusmiyati,


editor. Biokimia Darah edisi I. Jakarta: Widya Medika; 2001 ; 3;
20-9.

Anamisa, D. R. (2015). Rancang Bangun Metode OTSU


Untuk Deteksi hemoglobin. S@ CIES, 5(2), 106-110.

Norsiah, W. (2015). Perbedaan Kadar Hemoglobin Metode


Sianmethemoglobin dengan dan tanpa Sentrifugasi pada Sampel
Leukositosis. Medical Laboratory Technology Journal, 1(2), 72-
83.

Kemenkes RI. Laporan Riset Kesehatan Dasar


(Riskendas) 2013

241
HYPERGAMMAGLOBULINEMIA

Dosen Pengampu :
dr. R. A. Rengganis Ularan, MM

Disusun oleh :
Trisna Alya Sekar Nastiti 205036
Sulis Stiyowati 205075
Widyawati Purwasih 205114

D3 RMIK
2021

242
BAB I
PENDAHULUAN

Hypergammaglobulinemia adalah disease defisiensi imun primer dengan


peningkatan konsentrasi gamma globulin (imunoglobulin atau antibodi).
Istilah hypergammaglobulinemia mengacu pada posisi kelebihan protein
setelah elektroforesis protein serum (ditemukan di daerah
gammaglobulin). Mayoritas hipergammaglobulinemia disebabkan oleh
kelebihan imunoglobulin M (IgM). Hypergammaglobulinemia disebabkan
oleh disfungsi sistem kekebalan yang disebabkan oleh infeksi tertentu,
seperti: malaria, infeksi bakteri, infeksi virus. Etiologi lain termasuk:
infeksi akut, artritis rheumatoid, myeloma multiple, hepatopathy.Tingkat
gamma globulin yang tinggi dalam emia berbahaya karena dapat
meningkatkan kemungkinan tertular virus dan infeksi. Karena
hypergammaglobuliname disebabkan kondisi lain, tidak banyak pilihan
kuratif langsung yang tersedia. pada pemeriksaan gamma globulin di
Indonesia tepatnya di daerah Yogyakarta terdapat 16 atau 51,6%
individu mengalami peningkatan, tidak terdapat individu yang mengalami
penurunan dan 15 atau 46,4% individu normal. Tetapi masih bisa
memperbaiki atau menyembuhkan kondisi ini dengan mengobati infeksi
lain yang mendasari, gangguan kekebalan, dan disease. Salah satu
kuratif yang tidak umum untuk kondisi ini adalah terapi penggantian
immunoglobulin. Terapi ini mencoba meningkatkan antibody yang
kekurangan untuk membantu tubuh kembali ke homeostasis (keadaan
keseimbangan internal).

243
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi, Fisiologi Hypergammaglobulinemia

Hypergammaglobulinemia adalah suatu kondisi yang


ditandai dengan peningkatan kadar imunoglobulin tertentu dalam
serum emia. Nama kelainan ini mengacu pada kelebihan protein
setelah elektroforesis protein serum (ditemukan di daerah
gammaglobulin) (Sumadiono,2020).
Hypergammaglobulinaemia umumnya terjadinya karena
kondisi adanya respon imun aktif terhadap stimulusi antigenik,
biasa akibat dari gamma polisional. Imunoglobulin-producing cell
dari neoplasma juga turut berperan dalam peningkatan monoklonal
gamma globulin. Secara fisiologis hypergammaglobulinaemia
berhubungan dengan perubahan karena dehidrasi. Globulin juga
meningkat pada keadaan ini, tetapi tidak ada perubahan pada rasio
A:G. (Endang k, 2002).
Pada penelitian didapatkan keadaan hypergammaglobulin
yang cukup besar. Hypergammaglobulinemia disebabkan karena
terjadi peningkatan produksi imunoglobin oleh cyt plasma.

244
Imunoglobin merupakan antibodi yang diproduksi untuk reaksi imun
atau pertahanan tubuh dari invasi penyakit atau organisme.
hypergammaglobulinaemia ini terjadi akibat dari frekuen
paparan antigen yang sama sehingga lebih mengarah kepada
fenomena boostering(Suwarso, 2002).

2.2 Definisi Hypergammaglobulinemia


Hypergammaglobulinemia adalah peningkatan kadar
gamma globulin dalam emia (kamus saku kedokteran Dorland edisi
29). Suatu kondisi yang ditandai dengan peningkatan kadar
imunoglobulin tertentu dalam serum emia. Nama kelainan ini
mengacu pada kelebihan protein setelah elektroforesis protein
serum (ditemukan di daerah gammaglobulin).

2.3 Patofisiologi Hypergammaglobulinemia


Mandell, Douglas, and Bennett's Principles and Practice of
Infectious Diseases (Eighth Edition, 2015)
a. Hipergamaglobulin.emia, beberapa symptom umum dapat
meliputi:
 peningkatan jumlah gamma globulin dalam emia
 defisiensi antibodi tertentu
 inflamasi
 limfadenopati

Tingkat gamma globulin yang tinggi dalam hemo berbahaya karena


dapat meningkatkan kemungkinan tertular virus dan infeksi.
Hipergamaglobulinemia menyebabkan peningkatan kerentanan
terhadap:
- anemia
- infeksi pernafasan

245
- infeksi kulit
- infeksi jamur
- gangguan autoimun

2.4. Diagnosa dan diagnosa banding


Hypergammaglobulinemia
 Menanyakan tentang riwayat medis
 Melakukan pemeriksaan fisik
 Menentukan jumlah sel T
 Menentukan kadar imunoglobin
Vaksin dapat menguji respon terhadap sistem imun dengan tes
antibodi. Dokter akan memberi vaksin, kemudian melakukan tes
emia untuk melihat respon terhadap vaksin beberapa hari atau
minggu kemudian.

2.5.Penatalaksanaan Hypergammaglobulinemia

Pengobatan (kuratif)
Karena hypergammaglobulinemia disebabkan oleh kondisi lain, tidak
banyak pilihan pengobatan langsung yang tersedia. tetapi kondisi ini
dapat disembuhkan dengan mengobati infeksi lain yang
mendasari,gangguan kekebalan, dan disease.
Salah satu pengobatan yang tidak umum untuk kondisi ini adalah terapi
penggantian imunoglobin. Terapi ini mencoba meningkatkan antibody
yang kekurangan untuk membantu tubuh kembalike homeostasis
(keadaan keseimbangan internal).
 Antibiotik
Menghentikan pertumbuhan atau membunuh bakteri.

246
 IVIG (intravenous immunoglobulin therapy)
Yaitu obat yang berfungsi untuk mengobati kekurangan antibody

Pencegahan (preventif)
Symptom-symptom yang dapat menyebabkan hypergammaglobulinemia
harus diperhatikan seperti peningkatan jumlah gamma globulin dalam
emia, defisiensi antibodi tertentu, inflamasi, dan lain-lain. Agar lebih jelas
bisa dibicarakan ke dokter untuk mengetahui lebih lanjut dengan
menjalani tes emia.
Karena gangguan kekebalan primer disebabkan oleh cacat genetik, tidak
ada cara untuk mencegahnya. namun, untuk mencegah infeksi dapat
melakukan :
 Kebersihan yang baik. Cuci tangan dengan sabun ringan
setelah menggunakan toilet dan sebelum makan.
 Melakukan hubungan seks yang aman serta menghindari
pertukaran cairan tubuh dapat membantu mencegah HIV/AIDS.

 Gizi yang baik dapat mencegah imunodefisiensi yang


disebabkan oleh malnutrisi

2.6. Penunjang medis Hypergammaglobulinemia


Uji laboratorium untuk mendeteksi hypergammaglobulinemia
(Tanti,2020) :
1. Tes ELISA : Tes ini dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis.
2. Tes serologi : Tes ini untuk memeriksa level IgG.
3. Tes CBC (sel darah lengkap) : Tes ini dilakukan untuk
memeriksa kadar hemoglobin dan leukosit.(WBC).
4. CRP (C-reactive protein test) : Tes ini dilakukan untuk
mendeteksi peradangan.

Cek emia dengan melakukan :


1. Tes antibodi otomatis.
2. Tes peradangan dan fungsi organ.

247
BAB III
PEMBAHASAN

Gambar 3.1 hypergammaglobulinemia normal

Gambar 3.2 hypergammaglobulinemia yang terserang

Gambar 3.3 hypergammaglobulinemia yang terserang

Hipergammaglobulinemia adalah kondisi yang jarang terjadi yang


biaanya diebabkan oleh infeki, gangguan autoimun, atau keganaan
eperti multiple myeloma. Ini ditandai dengan peningkatan kadar
imunoglobul. hipergammaglobulinemia disebabkan oleh kelebihan
imunoglobulin M (IgM). Hipergammaglobulinemia mungkin terjadi akibat
disfungsi sistem kekebalan yang disebabkan oleh infeksi tertentu, seperti
malaria, infeksi bakteri, infeksi virus.

248
BAB IV
PENUTUP
Dari makalah di atas diketahui bahwa Hypergammaglobulinemia
merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan peningkatan kadar
imunoglobulin tertentu dalam serum emia.
Hypergammaglobulinemia disebabkan oleh disfungsi sistem
kekebalan yang disebabkan oleh infeksi tertentu, seperti: malaria,
infeksi bakteri, infeksi virus. Diagnosa yang digunakan uji lab dan
prosedur, diantaranya tes serologi, tes CBC (Cyt emia lengkap, CRP
(Tes protein C-reaktif).

249
BAB V

TERMINOLOGI

1. Hypergammaglobulinemia = peningkatan kadar gamma globulin


pada emia.
 Prefix = Hyper (kelebihan).

 Root = Gammaglobulin (semua kelas protein, dimana


sebagian besar bersifat tidak larut namun larut di dalam saliran
air (euglobulin), namun beberapa di antaranya larut air
(pseudoglobulin) dan memiliki sifat fisik yang
menyeruppaieuglobulin).
 Suffix = -ia (keadaan).

2. Anemia = Eritrocyt kurang.

 Prefix = an (tanpa)
 Root = emia (darah)
 Suffix = -

(Sumber : kamus saku kedokteran Dorland edisi 29)

250
DAFTAR PUSTAKA

Lougaris V, Badolato R, Ferrari S, Plebani A (2005).


"Hyper immunoglobulin M syndrome due to CD40 deficiency:
clinical, molecular, and immunological features". Immunol. Rev.
203: Hal 48–66. doi:10.1111/j.0105-2896.2005.00229.x.
PMID 15661021. S2CID 6678540.
Etzioni, Amos; Ochs, Hans D.(1 October 2004).
"The Hyper IgM Syndrome—An Evolving Story". Pediatric
Research. 56 (4):Hal 519–525.
doi:10.1203/01.PDR.0000139318.65842.4A. ISSN 0031-3998.
PMID 15319456.
Frenkel J, Simon A.
Hiperimunoglobulinemia D dengan demam beruSlang.
Orphanet . 2011; http://www.orpha.net/consor/cgi-
bin/OC_Exp.php?lng=EN&Expert=343 .
Jos WM & van der Meer AS.
Tantangan sindroma autoinflamasi dengan penekanan pada
sindrom hiper-IgD. Reumatologi .2016; 55 (2): Hal 23-29.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/27856657
Imunodefisiensi terkait-Park LC X dengan IgM hiper di eMedicine

Tengguna leonirma, cahya dewi satria, sumadiono (2020).


Pemberian immunoglobulin intravena (IVIG) pada pasien
dengan hipogammaglobulinemia:laporan khusus, medicina 51
(3): Hal 220-541.

Pratiwi Dyah Kusumo, Universitas Kristen Indonesia(2012)


“Gangguan Immunodefisiensi Primer (PID)”.Kedokteran. Hal 19

251
K, Endang, Suwarso, Adang M gugun , Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta (juli 2002)
The protein profile of psychotic homeless people in Yogyakarta :
mutiara medika 2 (2) hal 97.

252
HEMOPHAGOCYTIC
LYMPHOHISTIOCYTOSIS
(HLH)

Dosen Pengampu :
dr. R. A. Rengganis Ularan, MM
Disusun oleh :
Reza Ashari R 205027
Pingky Hana L 205065
Ratih Herdiana 205105

D3 RMIK
2021

253
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan fisiologi

Dalam tubuh manusia setidaknya ada 7-10% berat tubuh normal


atau sekitar 4-5 liter darah yang 55% dari presentase tersebut adalah
plasma darah dengan nama lain cairan getah bening(Fissman, 2000).
Umumnya sumsum tulang (medulla) adalah organ yang memproduksi
segala jenis hemocyte, termasuk beberapa jenis sel imun tubuh seperti
plasma darah, monosit, Eusinofil, basofil, dan beberapa limfosit juga
254
terbentuk dalam medulla ossea (Morimoto, 2016). Selain medulla ossea
Limfa dan juga jaringan limfoid juga berperan dalam pembentukan eritrosit
seperti Neutrofil dan juga limfosit. Sehingga jika terdapat masalah dalam
eritrosit organ-organ ini patut dicurigai sebagai sumber masalah.
Sistem imunitas tubuh beredar bersama eritrosit dan terkadang
memisahkan diri ke sistem lain untuk dirombak dan distabilkan kondisinya,
sistem tersebut disebut sistem limfatik, dimana plasma darah dan leukosit
keluar dari sistem kardiovaskular pada kapiler erytrocyte dan masuk
melalui pembuluh limfa. Setelah plasma darah dan juga leukosit
dikembalikan ke kondisi primanya maka akan dikembalikan ke sistem
kardiovaskular melalui vena cava superior.

2.2 Definisi Hemophagocytic Lymphohistiocytosis

HLH dapat terjadi karena penderita memiliki berbagai macam gangguan


atau cacat genetik sejak lahir, penyakit ini dikarakteristikan atau di cirikan
dengan adanya peradangan multi organ (Multi-organ Inflamation). Selain
itu HLH dapat diperoleh dengan adanya reaksi berkepanjangan atau
berlebihan dalam menyediakan antigen pelindung tubuh dari penyebab
penyakit lain, seperti penyakit infeksi virus bakteri dan juga kanker. Maka
dari itu HLH dikategorikan menjadi dua, berdasarkan cara diperolehnya:
 HLH Primer (Genetik), terjadi karena penderita memiliki
kelainan genetik sejak lahir, ini bisa terjadi karena adanya
mutasi genetik pada neonatal (Janin). Sekitar 60-70% kasus
terjadi pada bayi dibawah umur satu tahun
(MedlinePlus,2020).
HLH Sekunder (Acquired), penyebab terjadinya karena ada rangsangan
dari luar berupa infeksi atau malignant sehingga sistem imun bertindak
berlebihan dan tak terkontrol

255
2.3. Patofisiologi Hemophagocytic
Lymphohistiocytosis
Sindrom HLH (Hemophagocytic lymphohistiocytosis) memiliki arti sebuah
sindrom dimana sistem imun tubuh bereaksi berlebihan terhadap suatu
gangguan dan menyebabkan masalah lain yang muncul di tubuh,
(Freeman, 2012). Sindroma ini tergolong penyakit fatal karena dapat
menyebabkan kematian, terkadang terjadi pada orang normal yang
memiliki problem medis yang dapat menimbulkan reaksi yang kuat
terhadap sistem kekebalan, seperti infeksi atau kanker. HLH biasanya
terjadi pada bayi dan anak kecil, namun juga dapat terjadi pada orang
dewasa. Pada pasien dengan HLH, terjadi cacat dalam pembunuhan
patogenatau sel kanker karena bawaan yang mendasari cacat
sitotoksisitas atau keracunan di tingkat sel dalam bentuk genetik
leukimia, tidak hanya ketidakmampuan untuk membunuh eritrosit target,
tetapi juga hypersitokinemia atau kadar sitokin dalam emia terlalu
banyak dan aktivasi dari makrofag. Perbandingan terjadi nya kasus di
seluruh dunia pada saat ini adalah 1:50.000 individu, (MedlinePlus,
2020)
2.4. Diagnosa dan diagnosa
banding Hemophagocytic Lymphohistiocytosis

Seperti yang diketahui sebelumnya, Sindrom ini dibagi menjadi dua


berdasar etiologi atau penyebab terjadi nya.
1. Mutasi genetik pada Neonatal, dapat terjadi karena ibu
bayi terpapar oleh zat kimia berbahaya sehingga
menganggu pertumbuhan janin dalam kandungan.
Sebagai akibatnya bayi yang baru lahir memproduksi

256
limfosit terlalu banyak dan bisa menjadi fatal jika tidak
mendapatkan penanganan segera.
2. Kanker, terjadi karena penderita terpapar sinar radiasi
melebihi batas wajar atau zat kimia berbahaya, akibatnya
tubuh berusaha untuk membunuh sel kanker, namun
yang terjadi adalah kelebihan kinerja sistem imun dan
berakibat tubuh kewalahan untuk menghentikan sistem
imun. Jenis kanker yang umum ditemukan sebagai
penyebab sindrom HLH adalah leukimia dan lymphoma
3. Infeksi, umumnya HLH terjadi karena infeksi dari virus,
namun tak menutup kemungkinan virus lain dapat
mengakibatkan sindrom ini. Hubungan dari infeksi dan
terjadi nya HLH ini karena sistem imun bekerja berlebih
dan akibatnya organ-organ lain mengalami inflamasi atau
yang disebut Multiorgan-inflamation.Epstein-Barr,
Cytomegalovirus

Leukimia seperti ini harus sesegera mungkin untuk di diagnosis


dikarenakan pengaruhnya besar terhadap tubuh dan termasuk penyakit
fatal penyebab death on arrial. Berikut adalah penunjang medis yang
biasa dilakukan dokter untuk mendiagnosis pasien penderita HLH:
1. Tes haemo
Tes haemo dilakukan dikarenakan dokter membutuhkan data
jumlah komposisi volume hemo, sebagai contoh komposisi hemoglobin,
trombosit, dan juga neutrofil. Berikut adalah sitoma jika pasien tersebut
mengalami sindrom HLH.
a. Kadar hemoglobin rendah
b. Kadar trombosit rendah
c. Kadar neutrofil dalam darah rendah
2. CT Scan

257
Dalam penyakit sindrom HLH terdapat komplikasi multi-organ
inflmation atau (pembesaran) berbagai organ dalam satu waktu,
sehingga dokter juga memerlukan pencitraan dari kondisi-kondisi organ
terkait yang menandakan bahwa pasien menderita HLH.

2.5. Penatalaksanaan Hemophagocytic


Lymphohistiocytosis

Kuratif dan Preventif

Penemuan obat yang menyembuhkan sindrom HLH masih


belum ditemukan begitu pula dengan upaya pencegahan dari penyakit
ini. Untuk kuratif sendiri tingkatan pengobatan hanya mampu mencapai
‗meredakan sementara‘ penyakit HLH, sehingga pasien yang memiliki
riwayat penyakit ini dianjurkan untuk tetap memeriksakan kondisi
kesehatan ke dokter spesialis. Sedangkan untuk usaha mencegah atau
preventif penyakit ini bisa dibedakan dari asal dari penyakit ini.
HLH primer didapatkan dari kelainan genetik sejak lahir
sehingga cara mencegah nya lebih sulit dibandingkan HLH sekunder.
Jenis HLH ini dapat dicegah dengan memeriksakan riwayat dan juga
kemungkinan penyakit yang akan diturunkan sehingga ketika orangtua
yang memiliki kemungkinan menghasilkan keturunan pengidap penyakit
HLH ketika melahirkan sang anak akan dicek kondisi genetik nya apakah
mengalami kelainan atau normal, sehingga ketika penyakit itu kambuh
diagnosa dokter akan lebih cepat dan efisien.
HLH Sekunder didapatkan karena adanya faktor luar pemicu
terjadi nya penyakit HLH, faktor tersebut bisa berupa infeksi bakteri, virus
atau bahkan adanya sel kanker yang menggerogoti tubuh penderita.
Pencegahan yang bisa dilakukan untuk menghindari penyakit HLH
258
sekunder ini adalah dengan berpola hidup sehat dan juga menjaga
kesehatan badan dan lingkungan, terutama tempat-tempat yang
kemunkinan besar menjadi sarang penyakit.

Kuratif Terapi dari Sindrom HLH


Pada patologi ini pengobatan terkini masih diperdebatkan
keefektifan nya dalam mengobati pasien penderita, treatment-treatment
yang diberikan masih dalam tahap menunda atau meredakan penyakit
dan belum sampai ke tahap menyembuhkan secara total (MedlinePlus,
2020). Dari hal tersebut bisa kita ketahui bahwa pasien setelah
mendapatkan treatment dari dokter spesialis masih terdapat
kemungkinan kambuh sehingga satu-satunya jalan adalah follow-up
secara rutin pasien ke dokter spesialis sehingga ketika simtoma dari
patologi tersebut terdeteksi maka dokter bis segera memberikan
treatment sejak dini sehingga dampak dari patologi tidak terlalu besar.
Berikut adalah beberapa dari treatment yang diberikan sebagai tindakan
kuratif dokter kepada pasien penyakit HLH;
1. Imunnoterapi
Terapi ini bertujuan untuk memberikan rangsangan
terhadap sistem imun tubuh untuk berhenti memproduksi
limfosit (Terutama medulla ossea) kadar limfosit tak
meningkat, biasanya setelah diberi terapi pasien akan
menjalan kan transfusi esritrositnehingga eritrosit yang
memiliki kadar limfosit tinggi akan tergantikan oleh eritrosit
baru dengan kadar limfosit normal.
2. Kemoterapi
Dijelaskan sebelumnya bahwa kanker atau malignant
bisa menjadi sumber masalah dari penyakit HLH ini. Maka dari
kanker atau malignant ini harus segera diangkat sehingga
sistem imun dalam tubuh dapat kembali normal.

259
3. Antibiotik dan Antivirus
Seperti halnya kanker, bakteri dan virus juga
bertanggung jawab atas meningkatnya kinerja sistem imun
dan akibatnya sistem imun tak terkontrol. Antibiotik bertugas
membunuh secara tuntas bakteri dan parasit tersebut
sehingga sistem imun tak perlu bekerja berlebihan mencegah
infeksi.

Tidak ada cara untuk mencegah HLH, tetapi karena


penyedia layanan kesehatan terus mempelajarinya lebih
lanjut, pengobatan meningkat. Kebanyakan anak yang
berhasil dirawat terus hidup normal.
Tenaga kesehatan tidak rutin melakukan tes genetik HLH pada
bayi baru lahir, karena penyakit ini sangat jarang. Jika dokter
mendiagnosis HLH pada saudara laki-laki atau perempuan dari bayi baru
lahir, kemungkinan bayi baru lahir mengidap patologi tersebut adalah
25%. Para ahli merekomendasikan pengujian genetik untuk bayi-bayi.
2.6. Penunjang medis Hemophagocytic
Lymphohistiocytosis

1. Protokol modern terapi kemoterapi dan imunosupresif dan


TCM / TSCA
Untuk pengenalan awalnya dapat menurunkan
persentase kematian dari pathologi ini di dunia.
2. Kemoterapi
Untuk mengurangi adanya kanker di tubuh yang
menjadi sebab utama dari pathologi ini.
3. Tes haemo
Tes haemo dilakukan dikarenakan dokter
membutuhkan data jumlah komposisi volume hemo, sebagai
260
contoh komposisi hemoglobin, trombosit, dan juga neutrofil.
Berikut adalah sitoma jika pasien tersebut mengalami sindrom
HLH.
d. Kadar hemoglobin rendah
e. Kadar trombosit rendah
f. Kadar neutrofil dalam darah rendah
4. CT Scan
Dalam penyakit sindrom HLH terdapat komplikasi
multi-organ inflmation atau (pembesaran) berbagai organ
dalam satu waktu, sehingga dokter juga memerlukan
pencitraan dari kondisi-kondisi organ terkait yang menandakan
bahwa pasien menderita HLH.

261
BAB III

PEMBAHASAN

Gambar 3.1 Haemo secara normal

Gambar 3.2 terjadinya HLH

262
Gambar 3.3 Pembesaran Spleen

Berikut adalah gambaran perbedaan ukuran spleen penderita dan juga


orang normal:
Splenomegaly sendiri adalah salah satu gejala yang ditemukan
pada penyakit HLH. Ukuran spleen tiap orang berbeda-beda salah satu
yang mempengaruhi perbedaan tersebut adalah tinggi badan dan jenis
kelamin, dikutip dari jurnal ―Pediatric hemophagocytic
lymphohistiocytosis‖ karya Scott W. Dkk. Bahwa berikut tabel yang
menjadi patokan ukuran normal spleen berdasarkan tinggi badan dan
juga jenis kelamin.

263
Selain ukuran spleen yang menjadi Sign atau tanda penderita
mengidap penyakit HLH, terdapat darah sebagai tanda atau sign bahwa
pasien tersebut menderita penyakit HLH. Dijelaskan sebelumnya salah
satu sign adalah pancytopenia atau pengurangan jumlah volume
beberapa jenis darah, maka dari itu dokter biasanya meminta tes darah
untuk melihat apakah penderita memiliki keanehan dalam komposisi
darah yang mengalir dalam tubuhnya. Berikut adalah sekilas tabel yang
membedakan kondisi komposisi darah penderita HLH dan orang normal.

Kadar eritrosit orang normal Kadar eritrosit penderita HLH


Hemoglobin 14-18 gram Hemoglobin <9 gram

Trombosit 150.000-400.000/L Trombosit <150.000/L

Neutrofil 1.500-8.000/μL Neutrofil <1.500/μL

264
BAB IV

PENUTUP

HLH dapat terjadi karena penderita memiliki berbagai macam


gangguan atau cacat genetik sejak lahir, penyakit ini dikarakteristikan
atau di cirikan dengan adanya peradangan multi organ (Multi-organ
Inflamation). HLH dibagi menjadi dua yaitu primer dan sekunder.
Sindrom HLH (Hemophagocytic lymphohistiocytosis) memiliki arti sebuah
sindrom dimana sistem imun tubuh bereaksi berlebihan terhadap suatu
gangguan dan menyebabkan masalah lain yang muncul di tubuh. Kuratif
dapat dilakukan dengan cara melalui obat antibiotik dan melakukan
kemoterapi.
Sedangkan untuk diagnosisnya dapat berupa kanker, infeksi
pada neonatal dan terjadi inflasi.Untuk penunjang medisnya berupa
pelakuan CT Scan, Tes Haemo, dan Protokol modern terapi kemoterapi
dan imunosupresif dan TCM / TSCA. Sign and symptompsnya dapat
beupa pembesaran spleen dan terjadi pancytopenia.

265
BAB V

TERMINOLOGI

1. HEMOPHAGOCYTIC
Prefix :
Root : Haem/o (Darah), phag/o(Memakan/membunuh), cyt/o (Sel)
Pseudo Suffix : ic
Arti: kemampuan darah untuk memakan sel lain.
2. LYMPHOHISTIOCYTOSIS
Prefix :-
Root : Lymph/o (limfosit), Histi/o (histiosit)
Suffix : Cytosis (produksi berlebihan)
Arti: produksi berlebihan sel limfosit dan histiosit
3. SPLEENOMEGALY
P: -
R: Spleen/o (Limfe)
S: Megaly (Pembesaran)
Arti: Pembesaran organ limfe
4. PANCYTOPENIA
P: Pan- (Multi)
R: Cyt/o (Sel)
S: -Penia (Kekurangan)
Arti: pengurangan jumlah sel darah (Multi/banyak jenis sel)
5. LYMPHOMA
P:-
R: Lymph/o (Limfe)
S: Oma (Kanker)
Arti: kanker limfe
266
6. LEUKEMIA
P:-
R:Leuk/o (Sel darah putih)
S: Emia (Kondisi darah)
Arti: Kanker darah
7. HYPERSITOKINEMIA
P:Hyper (kelebihan)
R: cytokine (salah satu protein yang dihasilkan limfosit)
S: -emia (darah)
Arti: kelebihan protein limfosit dalam darah
8. SITOTOKSISITAS
P: -
R:Cyt/o (sel)
S: Toxicity (Tingkat keracunan)
Arti: TIngkat keracunan sel

267
DAFTAR PUSTAKA

Fisman, David N. (2000). "Hemophagocytic syndromes and


infection". Emerging Infect. Dis. 6 (6): 601–
8. doi:10.3201/eid0606.000608
"Familial hemophagocytic lymphohistiocytosis: MedlinePlus
Genetics". medlineplus.gov.
Scott W., Canna dan Rebecca. 2020. "Pediatric hemophagocytic
lymphohistiocytosis".Blood review series.
Morimoto, Akira, Nakazawa, Yozo, dan Ishii, Eichhi.
2016."Hemophagocytic lymphohistiocytosis: Pathogenesis,
diagnosis, andmanagement".Pediatrics International (58),
817–825.
Nal, S. (2014). Limfohistiositosis hemofagositik: pembaruan untuk
diagnosis dan manajemen. Acta Medica , 45 (1), 2

268
LEUKEMIA LIMFOSITIK KRONIK

Dosen Pengampu :

dr. R. A. Rengganis Ularan, MM

Disusun oleh :
Ani Wijaya 205083
D3 RMIK
2021

269
BAB I

PENDAHULUAN

Leukemia merupakan kanker pada histo angio yang


sering ditemui pada anak- anak disebabkan karena disease
ganas dari medulla dan sistem limfatik (Wong et al, 2009).
Leukemia limfositik kronis (CLL) adalah cancer haema akibat
gangguan pada medulla. Kata ‗kronis‘ pada leukemia limfositik ini
menandakan bahwa disease berkembang atau memburuk secara
perlahan. Dengan kata lain, pasien tidak merasakan symptom
diawal kondisi muncul. symptom dapat dirasakan ketika cancer
mulai menyebar ke hepar, spleen, atau lympha. Leukemia
adalah disease keganasan dari medulla dan haema ditandai
dengan proliferasi leukosit dengan manifestasi adanya cyt
abnormal dalam haema perifer (Permono dan Ugrasena, 2006).
Leukemia Limfositik Kronik (LLK) adalah suatu keganasan
hematologik yang ditandai oleh proliferasi klonal dan
penumpukan limfosit B neoplastik dalam darah.1,2 etiologi LLK
belum diketahui, ada kemungkinan yang berperan adalah
abnormalitas kromosom, onkogen dan retrovirus (RNA
tumourvirus).1 Usia rerata pasien saat didiagnosis berusia 65
tahun, hanya 10-15% kurang dari 50 tahun. Angka kejadian di
negara barat 3/100.000. Pada populasi geriatri, insiden di atas
usia 70 tahun sekitar 50/100.000. Risiko terjadinya LLK
meningkat seiring usia. Perbandingan risiko relatif pada pria tua
adalah 2,8:1 perempuan tua. Kebanyakan pasien memiliki ras
kaukasia dan berpendapatan menengah.( Andalas. 2019;).

270
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi

Sistem sirkulasi adalah sarana untuk menyalurkan


makanan dan oksigen dari traktus digestivus dan dari
pulmo ke cyt tubuh. Selain itu system sirkulasi
merupakan sarana untuk membuang sisa-sisa
metabolisme dari cyt ke renal, pulmo dan derma yang
merupakan tempat ekskresi sisa-sisa metabolisme.

2.2. Definisi Leukemia Limfositik Kronik

Leukemia Limfositik Kronik (LLK) adalah suatu


keganasan yang ditandai proliferasi klonal limfosit B
neoplastik. sign pada LLK meliputi limfositosis,

271
lymphadenopathy dan splenomegaly. Kebanyakan LLK
(95%) berasal dari neoplasma cyt B, sisanya neoplasma
cyt T.19,21

LLK kebanyakan dikenal sebagai kelainan ringan


yang menyerang individu dengan insidensi lebih banyak
laki-laki dibandingkan pada wanita. Leukemia limfositik
kronis adalah jenis cancer di mana medulla membuat
terlalu banyak limfosit (sejenis sel darah putih).

Leukemia limfositik kronis (juga disebut LLK) adalah


disease haema dan medulla yang biasanya memburuk secara
perlahan. LLK adalah salah satu jenis leukemia yang paling
umum pada orang dewasa. Sering terjadi selama atau
setelah usia paruh bayah dan jarang terjadi pada anak-anak.

272
2.3. Pathofisiologi Leukemia Limfositik Kronik

Biasanya, tubuh membuat cyt punca darah (sel-sel yang


belum matang atau imatur) yang menjadi sel-sel darah matur
(matang) seiring waktu. Cyt punca darah dapat menjadi cyt
punca mieloid atau cyt punca limfoid. Cyt punca mieloid
menjadi satu dari tiga jenis sel darah matang:

• Eritrocyte yang membawa oksigen dan zat lain ke


seluruh histo tubuh.

• Leukosit yang melawan infeksi dan disease.

• Trombosit yang membentuk pembekuan


darah untuk menghentikan pendarahan.

Cyt punca limfoid menjadi cyt limfoblas dan kemudian


salah satu dari tiga jenis limfosit(sel darah putih):

• Limfosit B yang membuat antibodi untuk membantu


melawan infeksi.

• Limfosit T yang membantu limfosit B membuat


antibodi untuk melawaninfeksi.

• Cyt pembunuh alami yang menyerang sel kanker


dan virus.
Pengembangan sel darah. Cyt punca darah
melewati beberapa langkah untuk menjadi eritrocyte,
trombosit, atau leukocyte. Pada LLK, terlalu banyak cyt
induk darah menjadi limfosit abnormal dan tidak menjadi
leukocyte yang sehat. Limfosit abnormal juga bisa
disebut sel leukemia. Limfosit tidak mampu melawan
infeksi dengan sangat baik. Juga, karena jumlah limfosit
meningkat dalam haema dan medulla, ada lebih sedikit

273
ruang untuk leukocyte yang sehat, erytrocyte, dan
trombosit. Ini dapat menyebabkan infeksi, anemia, dan
mudah perdarahan.

Etiologi Leukemia Limfositik Kronik

Penyebab LLK belum dikethui, Kemungkinan yang


berperan adalah abnormalitas kromosoom, onkogen, dan
retrovirus (RNA tumor Virus).

Symptom Leukemia Limfositik Kronis

Pada tahap awal sakit, LLK umumnya tidak menunjukkan


symptom yang berarti. Namun pada kasus tertentu, symptom
yang muncul berupa mudah lelah karena anemia, epistaxis,
kontusio, algia, dan lymphadenopathy. Symptom lainnya berupa
penurunan berat badan tanpa sebab, odema pada ekstremitas
inferior, dyspnea, splenomegaly yang membuat kenyang lebih
cepat dan rasa tidak nyaman di abdomen.

2.4. Diagnosa dan diagnosa banding Leukemia


Limfositik Kronik

Tes dan prosedur berikut dapat digunakan:


a. Pemeriksaan fisik dan riwayat: Pemeriksaan tubuh untuk
memeriksa sign umum kesehatan, termasuk memeriksa
sign disease, seperti benjolan atau apa pun yang
tampaknya tidak biasa. Riwayat kebiasaan kesehatan
pasien dan penyakit serta perawatan sebelumnya juga
akan diambil.
b. Hitung darah lengkap (HDL) dengan diferensial: Sebuah
prosedur di manasampel darah diambil dan diperiksa untuk

274
hal-hal berikut:
c. Jumlah trombosit.
d. Jumlah dan jenis leukocyte
e. Jumlah hemoglobin (protein yang membawa oksigen)
dalam erythrocyte.
f. Bagian dari sampel darah yang terdiri dari erytrocyte.

Haema diambil dengan memasukkan jarum ke angio dan


memungkinkan darah mengalir ke dalam tabung. Sampel darah
dikirim ke laboratorium dan erythrocyte, leukocyte dan trombosit
dihitung. HBL digunakan untuk menguji, mendiagnosis, dan
memantau berbagai kondisi.

a. Imunofenotiping: Tes laboratorium di mana antigen atau


penanda di permukaan sel darah atau sumsum tulang
diperiksa untuk melihat apakah mereka limfosit atau sel
mieloid. Jika sel adalah limfosit ganas (kanker), mereka
diperiksa untuk melihat apakah mereka limfosit B atau limfosit
T.

b. FISH (fluoresensi in situ hibridisasi): Teknik laboratorium yang


digunakan untuk melihat gen atau kromosom dalam cyt dan
histo. Potongan-potongan DNA yang mengandung pewarna
fluorescent dibuat di laboratorium dan ditambahkan ke sel
atau jaringan pada slide kaca. Ketika potongan DNA ini
berikatan dengan gen tertentu atau area kromosom pada
slide, mereka menyala ketika dilihat di bawah mikroskop
dengan cahaya khusus.

c. Sitometri aliran: Uji laboratorium yang mengukur jumlah cyt


dalam sampel, persentase cyt hidup dalam sampel, dan
karakteristik cyt tertentu, seperti ukuran, bentuk, dan

275
keberadaan penanda neoplasma di permukaan cyt. Cyt
diwarnai dengan pewarna peka cahaya, ditempatkan dalam
cairan, dan dilewatkan dalam aliran di hadapan laser atau jenis
cahaya lainnya. Pengukuran didasarkan pada bagaimana
pewarna peka cahaya bereaksi terhadap cahaya.

d. Tes mutasi gen IgVH: Tes laboratorium yang dilakukan pada


sumsum tulang atau sampel darah untuk memeriksa mutasi
gen IgVH. Pasien dengan mutasi gen IgVH memiliki prognosis
yang lebih baik.

e. Aspirasi dan biopsi sumsum tulang: Pengangkatan medulla,


haema, dan sepotong kecil osteo dengan memasukkan jarum
berongga ke pelvis atau sternum. Seorang ahli patologi melihat
medulla, haema, dan osteo di inferior mikroskop untuk mencari
cyt abnormal.

2.5. Penatalaksanaan Leukemia Limfositik Kronik

Kuratif Leukemia limfositik kronis

a. Terapi radiasi

Terapi radiasi adalah pengobatan cancer yang


menggunakan sinar-X berenergi tinggi atau jenis
radiasi lain untuk membunuh cyt cancer atau
mencegahnya tumbuh. Cara terapi radiasi diberikan
tergantung pada jenis kanker yang diobati. Terapi
radiasi eksternal digunakan untuk mengobati
leukemia limfositik kronis.

276
b. Kemoterapi

Kemoterapi adalah pengobatan cancer yang


menggunakan obat-obatan untuk menghentikan
pertumbuhan cyt cancer, baik dengan membunuh cyt
atau dengan menghentikannya dari pembelahan. Ketika
kemoterapi dilakukan melalui stoma atau disuntikkan ke
angio atau myo, obat-obatan memasuki aliran darah dan
dapat mencapai cyt cancer di seluruh tubuh (kemoterapi
sistemik). Ketika kemoterapi ditempatkan langsung ke
dalam cairan serebrospinal, viscus, atau rongga tubuh
seperti abdomen, atau obat-obatan terutama
mempengaruhi cyt cancer di daerah-daerah
bersangkutan (kemoterapi regional). Cara kemoterapi
diberikan tergantung pada jenis dan stadium kanker yang
diobati.

c. Pembedahan/Operasi

Splenektomi adalah operasi untuk mengangkat splen.

d. Terapi Target
Terapi target adalah jenis pengobatan yang
menggunakan obat atau zat lain untuk mengidentifikasi
dan menyerang cyt cancer tertentu tanpa merusak cyt
normal. Terapi antibodi monoklonal, terapi inhibitor tirosin
kinase, dan terapi inhibitor BCL2 adalah jenis terapi target
yang digunakan dalam pengobatan leukemia limfositik
kronis.

Terapi antibodi monoklonal adalah pengobatan

277
kanker yang menggunakan antibodi yang dibuat di
laboratorium dari satu jenis sel sistem kekebalan. Antibodi
ini dapat mengidentifikasi zat-zat pada sel kanker atau zat-
zat normal dalam tubuh yang dapat membantu sel-sel
kanker tumbuh. Antibodi melekat pada substansi dan
membunuh sel kanker, memblokir pertumbuhannya, atau
mencegahnya menyebar. Antibodi monoklonal diberikan
melalui infus. Antibodi dapat digunakan sendiri atau untuk
membawa obat-obatan, racun, atau bahan radioaktif
langsung ke sel-sel kanker

2.6 Penunjang medis Leukemia Limfositik Kronik

a. Haema perifer

Symptom yang terlihat pada haema perifer


sebenarnya berdasarkan pada kelainan medulla,
yaitu berupa pansitopenia, limfositosis yang kadang-
kadang menyebabkan gambaran darah tepi monoton
dan terdapatnya cyt blas. Terdapatnya cyt blas pada
haema perifer merupakan symptom untuk leukemia.

b. Medulla

Dari pemeriksaan medulla akan ditemukan


gambaran yang monoton yaitu hanya terdiri dari cyt
lomfopoetik patologis sedangkan sistem lain terdesak
(aplasia sekunder). Hiperselular, hampir semua cyt
medulla diganti cyt leukemia (blast), tampak monoton
oleh cyt blast, dengan adanya leukemia gap
(terdapat perubahan tiba-tiba dari cyt muda (blast) ke
cyt yang matang, tanpa sel antara).
Sistem hemopoesis normal mengalami depresi.

278
Jumlah blast minimal 30% dari cyt berinti dalam
medulla (dalam hitungan 500 sel pada asupan
medulla).

c. Biopsy limpa

Pemeriksaan ini akan memperlihatkan proliferasi cyt


leukemia dan cyt yang berasal dari histo splen akan
terdesak seperti limfosit normal, RES, granulosit, pulp
cell.

d. Kimia haema

Kolesterol mungkin merendah, asam urat dapat


meningkat, hipogamaglobulinemia.

e. Cairan serebrospinal

Bila terjadi peninggian jumlah cyt (cyt patologis) dan


protein, maka hal ini berarti suatu leukemia meningeal.
Kelainan ini dapat terjadi setiap saat dari perjalanan
disease baik pada keadaan remisi maupun pada
keadaan kambuh. Untuk mencegahnya dilakukan
fungsi lumbal dan pemberian metotreksat (MTX)
intratekal secara rutin pada setiap penderita baru atau
pada mereka yang menunjukkan symptom tekanan
intracranial yang meninggi. (Desmawati, 2013).

279
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Gambar Normal dan Abnormal Leukimia Limfositik


Kronis

3.2 Gambar Normal Medulla dalam Hematopoiesis

3.3 Gambar Perbandingan LLK (kiri) dengan CML (chronic myeloid


leukemia) kanan.

280
Secara normal haeme diproduksi melalui proses hematopoiesis
dimana sel punca dimatangkan dan mengalami diferensiasi menjadi sel
sel dengan sifat berbeda pada medulla. Hasil utamanya berupa
Thrombosit, eritrosit, dan leukosit. Dan hasil lainnya berupa limfosit.
Pada kondisi medulla sehat seluruh komponen akan diproduksi dengan
jumlah normal sesuai kebutuhan. Namun pada beberapa kondisi medulla
mengalami kelainan sehingga mempengaruhi kelainan sel punca dan
menghasilkan sel haeme abnormal baik dari segi fungsi dan atau
jumlah.
Pada penderita Anemia Limfositik Kronis terdapat medulla
menghasilkan terlalu banyak sel punca yang berkembang menjadi
limfosit. Sementara normalnya limfosit tidak banyak dihasilkan pada
medulla. Akibatnya limfosit –limfosit abnormal tersebut tidak dapat
berfungsi dengan baik seperti semestinya dan justru mengganggu fungsi
sel-sel haeme sehat seperti leukosit, eritrosit, dan trombosit. Sehingga
timbullah anemia, haemorrhage, antibodi memburuk dan lain
sebagainya.

Apabila diperiksa menggunakan mikroskop dan dilakukan HDL


(hitung darah lengkap) maka akan jelas terlihat bahwa jumlah limfosit
sangat mendominasi . dibawah mikroskop pun limfosit menjadi sangat
mencolok dibanding sel-sel haeme lainnya.

Dibandingkan dengan jenis Leukemia lain yaitu CML( chronic


myeloid leukemia). Terlihat ada perbedaan jenis sel yang mendominasi.
Pada KLL limfosit sangat mudah ditemui, sementara pada CML terdapat
banyak leukosit berbagai jenis. Perbedaan mendasar ada pada kelainan
awal, KLL kelainan pada medulla sehingga sel punca yang
menghasilkan banyak limfosit. Sementara pada CML sel mieloid
berkembang menjadi cancer yang menggantikan sel-sel normal

281
BAB IV

PENUTUP

LLK (leukemia limfositik kronik) merupakan haeme disease


berupa cancer di mana medulla memproduksi limfosit berlebihan.
Limfosit abnormal tidak mampu berfungsi melawan bakteri dengan
baik, dan jumlahnya yang banyak mengganggu fungsi sel haeme lain
yang sehat. Kemungkinan penyebab LLK adalah abnormalitas
kromosom, onkogen, dan infeksi retrovirus (RNA Tumor virus).
Lymphadenopaty, anemia, kontusio, epistaxis, dan algia merupakan
gejala dari LLK. Beberapa tes dapat dilakukan guna mendiagnosa
LLK diantaranya hitung darah lengkap, Pemeriksaan fisik dan riwayat,
jumlah trombosit, jumlah dan jenis leukosit, jumlah hemogrlobin, dan
pengambilan sampel bereritrosit. Penanganan LLK secara kuratif
dengan terapi radiasi sinar-X seperti umumnya pengobatan cancer,
Kemoterapi, pembedahan spleenectomy, dan terapi target. Penunjang
medis yang digunakan dalam LLK adalah cek keberadaan blastocyte
dalam haemaperifer, pemeriksaan medulla ditandai dengan
hypercellular sel leukemia. biopsy limpa, kimia haema, dan cairan
serebrospinal..

282
BAB V

TERMINOLOGI

1. Leukemia
P:-
R : leuk/o (putih)
S:emia (kondisi darah)
*penyakit akibat tubuh terlalu banyak memproduksi sel darah putih

2. Splenomegaly
P :-
R : splen/o (limpa)
S : pembesaran
*pembesaran pada limpa

3. Lymphadenopathy
P:-
R : lymph (limpa/getah bening) aden/o (kelenjar)
S : pathy (penyakit)
*kelenjar getah bening yang membengkak

283
DAFTAR PUSTAKA

http://repo.stikesperintis.ac.id/125/1/04%20FARID%20MUHAMMAD%2
0DZAKI%2C%20LE UKEMIA.pdf

http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/view/933/823

BAB II.pdf (poltekkes-denpasar.ac.id)

http://repository.poltekkes-kaltim.ac.id/360/1/Untitled.pdf

http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/view/153/148

http://jurnal.upnyk.ac.id/index.php/semnasif/article/view/1070

https://ejournal.unsri.ac.id/index.php/mks/article/view/2715/0

284
LEUKEMIA LIMFOSITIK AKUT

Dosen Pengampu:
dr. R. A. Rengganis Ularan, MM

Disusun Oleh:

Elsa Qurrotul Aini 205089

D3 RMIK
2021

285
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI FISIOLOGI (LLA)


DNA merupakan unit keturunan terkecil dan terdapat pada
semua mahluk
hidup mulai dari mikroorganisme sampai organisme tingkat tinggi
seperti
manusia, hewan dan tanaman. Menurut Notosoehardjo, tiap jaringan
mempunyai
kandungan DNA yang berbeda-beda tergantung struktur serta
komposisi selnya.
Jaringan dengan banyak sel berinti dan sedikit jaringan ikat
umumnya mempunyai
kadar DNA tinggi. Pemilihan organ yang akan diisolasi DNA guna
analisis kasus
forensik sangatlah penting (Yudianto, 2016)

DNA terbuat dari molekul yang dinamakan nukleotida. Setiap nukleotida


ini mengandung tiga hal, yaitu:

 Molekul fosfat
 Molekul gula (deoksiribosa)
 Basa nitrogen

Sementara itu basa nitrogen yang ada pada DNA, terdiri atas empat
bagian, yaitu:

 Adenin (A)
 Sitosin (C)

286
 Guanine (G)
 Timin (T)

Nukelotida-nukelotida ini kemudian akan menyatu, membentuk dua


rantai panjang yang melengkung dan membentu struktur yang disebut
sebagai spiral ganda atau double helix. Struktur double helix inilah yang
biasa kita lihat pada gambaran struktur DNA.

Gambar 1.1
2.2 Definisi Leukemia limfositik akut (LLA

DNA memiliki fungsi yang krusial bagi tubuh manusia.


Molekul ini berisikan berbagai perintah yang diperlukan oleh
sebuah organisme seperti manusia, tumbuhan, atau burung.
Instruksi untuk tumbuh, berkembang, dan bereproduksi disimpan
dalam urutan pasangan basa nukleotida.
LLA dapat terjadi karena ada gangguan pada DNA,ketika sel
darah putih yang belum matang (limfoblas) memperbanyak diri
secara cepat dan agresif akhirnya terjadi kesalahan proses
produksi sel darah putih di sumsum tulang.
Sel darah putih yang biasanya terpengaruh oleh leukimia
limfatik akut adalah limfosit tipe B dab tipe T apabila kedua tipe

287
tersebut tidak berkembang secara sempurna maka keduanya
berpotensi tumbuh menjadi sel kanker

Gambar 1.2

hal yang diduga dapat memperbesar kemungkinan terjadinya perubahan


ini, di antaranya:

 Menderita kelainan genetik lain. Menderita kelainan genetik


tertentu, misalnya Down syndrome, diduga membuat seseorang
berisiko mengalami LLA.
 Memiliki anggota keluarga yang menderita LLA. Seseorang
yang memiliki anggota keluarga penderita LLA berisiko untuk
menderita LLA juga. Meskipun demikian, jangan disalahartikan
bahwa LLA diwariskan secara genetik dari orang tua kepada
anaknya.
 Pernah menjalani pengobatan kanker. Seseorang yang
pernah menderita kanker jenis lain dan menjalani pengobatan,
baik kemoterapi atau radioterapi, lebih berisiko terkena

288
 Terpapar radiasi. Orang yang terkena paparan radiasi lebih
berisiko terkena LLA. Contohnya pekerja di reaktor nuklir atau
korban bencana nuklir.
 Merokok. Paparan berbagai zat kimia berbahaya dari asap
rokok, misalnya benzene, membuat seseorang perokok lebih
berisiko menderita LLA.
 Bekerja di lingkungan yang terpapar zat kimia. Tidak
mengikuti standar prosedur dan tidak menggunakan alat
pelindung diri saat bekerja di lingkungan yang berhubungan
dengan bahan kimia dapat meningkatkan risiko terkena
 Infeksi virus. Virus Epstein-Barr adalah salah satu virus yang
berisiko menyebabkan LLA.
 Sistem imun yang lemah. Seseorang dengan sistem imun
yang lemah, misalnya akibat AIDS atau mengonsumsi obat
imunosupresif dalam jangka panjang, lebih berisiko terkena LLA
dibanding orang lain.

2.3 pofisiologi Leukemia Limfoblastik Akut


symptoms dan sign pada penderita LLA
Gejala ( Symptoms ) dan Tanda ( Sign ) yang dialami penderita
sangat bervariasi menurut jenis dan penyebabnya.
1. Pendarahan gusi
2. Nyeri tulang(osteolgia)
3. Demam
4. Sering infeksi
5. Sering mimisan
6. Benjolan disekitar leher,ketiak,perut dan selangkang
7. Kelemahan dankelelahan
8. Sakit kepala (cephalgia)

289
9. Muntah (vomitus)
10. Pusing (pusing)
11. Sesak napas (dyspno)

2.4 Diagnosis dan Diagnosa banding Leukemia Limfoblastik Akut


Diagnosis Leukemia Limfoblastik Akut

Dari gejala yang diderita, dokter akan melakukan pemeriksaan fisik untuk
mencari tahu penyebab keluhan tersebut. Bila menduga leukemia
limfoblastik akut adalah penyebabnya, dokter akan melakukan
pemeriksaan lanjutan berupa:

 Tes darah. Pemeriksaan hitung darah lengkap akan


menunjukkan perubahan jumlah sel darah putih (bisa
bertambah atau berkurang), serta adanya kelainan pada jenis
sel darah putih. Selain itu, jumlah sel darah merah dan
trombosit akan rendah.
 Aspirasi sumsum tulang. Aspirasi sumsum tulang dilakukan
untuk mengambil sampel darah dan jaringan di sumsum tulang
penderita, yaitu pada tulang di sekitar bokong. Sampel ini akan
diperiksa dengan mikroskop untuk melihat bentuk sel darah dan
perubahan jaringan sumsum tulang.
 Pungsi lumbal. Pungsi lumbal dilakukan dengan mengambil
sampel cairan otak dan saraf tulang belakang, dari sela-sela
tulang belakang. Sampel cairan otak akan diperiksa untuk
melihat apakah sel kanker sudah menyebar ke otak dan saraf
tulang
 Tes genetik. Tes genetik menggunakan sampel yang diambil
saat aspirasi sumsum tulang. Tujuannya adalah untuk melihat
mutasi gen yang terjadi.

290
2.5. Penatalaksanaan Leukemia Limfoblastik Akut
kuratif dan preventif dari
Terapi yang diberikan adalah protokol risiko tinggi. Satu kasus yang
sudah selesai pengobatan mempunyai jumlah leukosit awal 29.400/ μL,
CD10+ (68%), dan imunofenotiping menunjukkan sel pre-B. Satu pasien
masih dalam pengobatan. Keempat pasien mengalami komplikasi
berupa perdarahan dan sepsis.
Juga dilakukan tes laboratorium Jika dilihat dari hasil laboratorium
awal, hanyasatu kasus dengan jumlah leukosit lebih dari 50.000/μL dan
mendapatkan terapi untuk sindrom lisis tu dan mendapatkan terapi untuk
sindrom lisis tumor, dan sekarang masih menjalani kemoterapi. Pada
pemeriksaan aspirasi sumsum tulang keempat kasusditemukan limfoblas
dengan klasifikasi FAB adalah ALL-L1 dan immunofenotiping kasus
adalah sel pre-B dengan ekspresi CD10 positif. Hal ini sesuai dengan
referensi bahwa ekspresi CD10 yang positif berarti
memiliki faktor prognosis yang baik.4,7

Diperlukan pendekatan khusus untuk pengobatan karena


respons yang tidak baik. Regimen CCG-170 untuk bayi tanpa radiasi
kranial menambahkandaunorubisin pada induksi dan metrotreksate
dosistinggi (33g/m2) untuk sistemik dan ekstramedular
pada konsolidasi dan intensifikasi, menghasilkan remisiinduksi 88% dan
peningkatan 4 tahun EFS menjadi33%. Protokol pengganti yaitu CCG
1883 bermaksud

untuk lebih memaksimalkan toleransi pada kemoterapi pasca


induksi dengan menambahkan sitosin arabinase, L-asparaginase, dan
siklofosfamid sistemik,dan metotreksate intratekal untuk konsolidasi.
Remisiinduksinya mencapai 94% dan 4 tahun EFS nya 39%4 Pada

291
penelitian ALL-BFM 83, kelompok Berlin -Frankfurt-Mùnster (BFM) telah
mendemonstrasikan
faktor prognosis yang signifikan dari reduksi sel blast di pembuluh darah
perifer dengan 7 hari prefase pred-nison dan satu dosis metotreksat
intratekal sebagai
parameter awal respon terapi. Respon prednison ini memiliki nilai faktor
prognosis yang sangat tinggi terhadap parameter outcome atau luaran.
Dari penelitianmereka didapatkan EFS untuk 6 tahun 53% pada
kelompok prednison good response, dan probabilitas EFS15%

2.6. Penunjang medis Leukemia Limfoblastik Akut

Pemeriksaan lain, misalnya pemindaian (foto Rontgen, USG, atau


CT scan) dan biopsi kelenjar getah bening, jarang dilakukan.
Pemeriksaan ini dilakukan bila dokter mencurigai keluhan yang dialami
pasien disebabkan oleh penyakit lain, misalnya limfoma.

292
BAB III

PEMBAHASAN

1.1 GAMBAR PENDERITA LLA

GAMBAR 1

GAMBAR 2

Penyakit ini terjadi karena kesalahan proses produksi sel darah


putih di sumsum tulang. Sel darah putih terbentuk dari proses
pematangan sel punca (stem cell). Untuk membentuk salah satu sel jenis

293
sel darah putih yang disebut limfosit, sel punca akan berubah menjadi
limfoblas terlebih dahulu.

Pada penderita penyakit LLA, proses pematangan ini


mengalami gangguan, di mana sebagian besar limfoblas tidak berubah
menjadi limfosit. Akibatnya, limfoblas semakin banyak dan memenuhi
sumsum tulang, hingga kemudian keluar dari sumsum tulang dan masuk
ke aliran darah.

Pembengkakan kelenjar getah bening adalah kondisi di mana


kelenjar getah bening mengalami pembesaran karena reaksi terhadap
banyaknya sel imun yang dihasilkan kelenjar getah bening untuk
melawan zat yang membahayakan tubuh.

Sel kanker pada kelenjar getah bening dapat muncul dari


kelenjar itu sendiri atau muncul karena penyebaran sel kanker dari organ
lain (metastasis). Kanker yang muncul dari kelenjar getah bening dikenal
dengan limfoma. Limfoma terbagi menjadi 2 jenis, yaitu limfoma Hodgkin
dan limfoma Non-Hodgkin.

Sama halnya dengan kelenjar getah bening yang terinfeksi, ciri-


ciri kelenjar getah bening yang mengalami kanker, baik limfoma Hodgkin
maupun Non-Hodgkin, adalah munculnya benjolan akibat
pembengkakan kelenjar getah bening.

Bedanya, benjolan yang disebabkan kanker sering kali tidak


menimbulkan rasa sakit dan teraba keras ketika disentuh. (Diana 2019)

294
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN
Leukemia limfositik akut merupakan penyakit yang terjadi
karena gangguan pada DNA,bisa disebut dengan kanker darah
penyakit ini sering menyerang pada anak-anak bahkan bayi-
bayi yang lahir dengan berat lebih dari 3.500 gram
meningkatkan risiko berkembangnya LLA adalah seorang anak-
anak,tingkat kasus penderita selama 5 tahun terahir meningkat
Seperti yang telah dijelaskan diatas peyakitini ditandai
dengan benjolan padasekitar ketiak,perut,sering merasa mual
atau pusing dan sering mimisan.

295
BAB V
TERMINOLOGI MEDIS

1. LEUKEMIA LIMFOSITIK
P: -
R: leukim
S: ia

2.P:-
R:lhymp
: cyt
S:
3.S:Cephalgia
Preffix -
Root  Cephal/o = kepala
Suffix  algia = rasa sakit/nyeri

4.Osteoalgia
P-> -
R->oste/o :tulang
S->algia :nyeri

296
DAFTAR PUSTAKA

http://journal.uin-
alauddin.ac.id/index.php/teknosains/article/view/7863/6245

https://www.google.com/search?q=LEUKEMIA+LIMFOSITIK+AKUT+AD
ALAH&oq=LEUKEMIA+LIM

FOSITIK+AKUT+ADALAH&aqs=chrome..69i57j0i22i30l4.11614j0j7&sour
ceid=chrome&ie=UTF-8

http://repository.poltekkes-tjk.ac.id/1600/

://www.alodhttpsokter.com/leukemia-limfoblastik-akut
https://www.google.com/search?q=GAMBAR+PENDERITA+LEUKIMIA+
LIMFATIK+AKUT&tbm=isch&ved=2ahUKEwjfkMSAzNDxAhWBS30KHY
eJASsQ2-
cCegQIABAA&oq=GAMBAR+PENDERITA+LEUKIMIA+LIMFATIK+AKU
T&gs_lcp=CgNpbWcQAzoECCMQJzoCCAA6BwgjEOoCECc6BAgAEE
M6BQgAELEDOggIABCxAxCDAToGCAAQCBAeOgQIABAYUKwUWLW
lAWCLqQFoAXAAeASAAaYCiAH3L5IBBzE2LjIxLjeYAQCgAQGqAQtnd
3Mtd2l6LWltZ7ABCsABAQ&sclient=img&ei=12zlYJ_JNYGX9QOHk4bY
Ag&bih=601&biw=1366#imgrc=rWMcfaBNoa2x_M
https://saripediatri.org/index.php/sari-pediatri/article/view/596

Collins, J. J., Byrners, M. E., Dunkel, I. J., Nadel, T., Theler, H. T., &
Portenoy, R.
K. (2000). The measurement of symptoms in children with cancer.
Journal of Pain and Symptom Management, 19, 363-377

297
Leukemia Myeloblastik Akut
(LMA)

Dosen Pengampu :
dr. R. A. Rengganis Ularan, MM

Disusun oleh :
Adhelia Ayu Intan 205041

D3 RMIK
2021

298
BAB 1

PENDAHULUAN

Leukemia merupakan disease keganasan haemocyt yang


berasal dari medulla, ditandai oleh proliferasi leukosit, dengan manifestasi
adanya cyto abnormal dalam peripheral blood. Leukemia sendiri dapat
terjadi secara akut ataupun kronik yang bergantung pada cepatnya
disease muncul dan berkembang. Leukemia Mieloid Akut (LMA) adalah
salah satu blood cancer yang ditandai dengan transformasi ganas dan
gangguan diferensiasi cyto progenitor dari seri mieloid. Bila tidak diobati,
disease ini akan mengakibatkan kematian secara cepat dalam waktu
beberapa minggu sampai bulan sesudah diagnosis . LMA cukup jarang
tapi termasuk salah satu penyumbang terbesar angka kematian yang
diakibatkan kanker. Angka kejadian LMA untuk semua umur di dunia
sebanyak 3,7 per 100.000 penduduk pertahun (Deschler & Lubbert, 2006).
Angka kejadian meningkat menjadi 4 per 100.000 penduduk per
tahun berdasarkan jumlah kasus dan kematian pada tahun 2008 – 2012.
Diperkirakan pada tahun 2015 akan ada sekitar 20.830 kasus baru LMA di
seluruh dunia. Walaupun LMA dapat terjadi pada semua kelompok usia,
LMA adalah bentuk umum leukemia akut pada orang dewasa, insidennya
makin sering ditemukan sejalan dengan meningkatnya usia dan hanya
sebagian kecil (10-15%) leukemia yang terjadi di masa anak . Rata-rata
usia pasien LMA di Amerika Serikat adalah 67 tahun .Untuk kejadian
berdasarkan jenis kelamin, dalam suatu penelitian di Amerika didapatkan
bahwa prevalensi LMA pada pria berusia >65 tahun lebih tinggi dari
wanita >65 tahun. Namun tidak ditemukan perbedaan insiden
berdasarkan jenis kelamin pada pasien yang lebih muda . Patogenesis
utama LMA adalah adanya blokade maturitas yang menyebabkan proses
diferensiasi cyto seri mieloid terhenti pada cyto muda blast, hal ini
mengakibatkan terjadinya akumulasi cyt blast tersebut di medulla.
299
Akumulasi ini akan menyebabkan gangguan hematopoesis normal dan
pada akhirnya mengakibatkan sindrom kegagalan medulla yang ditandai
dengan sitopenia (anemia, leukopenia dan trombositopenia). Hal ini
menyebabkan munculnya sign dan symptom utama LMA berupa rasa
lelah, perdarahan dan mudah infeksi. Selain itu bisa juga terjadi infiltrasi
cyt blast ke viscus yang akan menimbulkan sign dan symptom bervariasi
tergantung viscus yang diinfiltrasi . Oleh karena itu pemeriksaan fisik,
emia lengkap dan medulla termasuk langkah awal yang penting dalam
diagnosis pasien LMA. Keberhasilan pengobatan LMA di Indonesia masih
sangat rendah bila dibandingkan laporan penelitian dari negara lain.
Faktor yang paling berperan terhadap hal ini adalah kematian yang tinggi
akibat infeksi berat atau sepsis . Hal ini juga berkaitan erat dengan
kualitas pelayanan pendukung dan infrastruktur lainnya yang masih
terbatas di negara berkembang.

300
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan fisiologi

Emia manusia adalah cairan jaringan tubuh. Emia didalam


tubuh berfungsi sebagai pengangkut oksigen keseluruh tubuh. Didalam
darah terdapat juga nutrisi, emia juga berfungsi mengangkut cyt sisa
metabolisme, dan mengandung berbagai bahan penyusun system imun

301
yang bertujuan mepertahankan tubuh dari berbagai disease. emia
merupakan bagian terbesar dari tubuh manusia, 70% tubuh manusia
terdiri atas emia, emia memiliki banyak fungsi didalam tubuh manusia,
pada dasarnya bermanfaat untuk mengedarkan oksigen, mengatur suhu
tubuh, mengedarkan sari makanan dalam tubuh, dan mengedarkan
hormone ( Handayani & haribowo, 2008 dikutip dalam Supriadi 2018 ).
AML merupakan leukemia yang terjadi pada seri myeloid,
meliputi neutrofil, eosinofil, monosit, basofil, megakariosit dan sebagainya.
(Suryani, E., Salamah, U., Wiharto, W., & Wijaya, A. A. (2014)).
1. Neutrofil Neutrofil merupakan system pertahanan tubuh primer
melawan infeksi bakteri, metode pertahanannya adalah proses
fagositosis.
2. Eosinofil Eosinofil mempunyai fungsi fagosit lemah yang tidak dipahami
secara jelas. Eosinofil kelihatannya 26 berfungsi pada reaksi antigen,
antibody dan meningkat pada serangan asma, reaksi obat-obatan, dan
infestasi parasit tertentu.
3. Basofil Basofil membawa heparin, faktor-faktor pengaktifan histamine
dan trombosit dalam granula-granulanya untuk menimbulkan peradangan
pada jaringan. Fungsi yang sebenarnya tidak diketahui dengan pasti.
Kadar basofil yang meningkat (basofilia) ditemukan pada gangguan
proliferasi dari sel-sel pembentuk darah.
2.2. Definisi Leukemia Myeoloblastik Akut
Leukemia myeloid akut atau Acute Myeloblastic Leukemia (AML) sering
juga dikenal dengan istilah Acute Myelogenous Leukemia atau Acute
Granulocytic Leukemia merupakan disease keganasan yang ditandai
dengan diferensiasi dan proliferasi abnormal cyt induk hematopoetik
yang bersifat sistemik dan secara malignan melakukan transformasi
sehingga menyebabkan penekanan dan penggantian komponen medulla
belakang yang normal. Pada kebanyakan kasus AML, tubuh
memproduksi terlalu banyak leukosit yang disebut myeloblas yang masih

302
bersifat imatur. haemocyt yang imatur ini tidak sebaik leukosit yang telah
matur dalam melawan adanya infeksi. Pada AML, mielosit (yang dalam
keadaan normal berkembang menjadi granulosit) berubah menjadi
ganas dan dengan segera akan menggantikan cyt normal di medulla
(Marc M (2011).

2.3. Patofisiologi Leukemia Myeoloblastik Akut


AML merupakan disease dengan transformasi maligna dan
perluasan klon-klon cyt hematopoetik yang terhambat pada tingkat
diferensiasi dan tidak bisa berkembang menjadi bentuk yang lebih matang
(Kurnianda J (2009)). Haemocyt berasal dari cyt induk hematopoesis
pluripoten yang kemudian berdiferensiasi menjadi induk limfoid dan induk
mieloid (non limfoid) multipoten. Cyt induk limfoid akan membentuk cyt T
dan cyt B, cyt induk mieloid akan berdiferensiasi menjadi cyt eritrosit,
granulosit-monosit dan megakariosit. Pada setiap stadium diferensiasi
dapat terjadi perubahan menjadi suatu klon leukemik yang belum
diketahui penyebabnya. Bila hal ini terjadi maturasi dapat terganggu,
sehingga jumlah cyt muda akan meningkat dan menekan pembentukan
haemocyte normal dalam medulla. Cyt leukemik tersebut dapat masuk
kedalam sirkulasi emia yang kemudian menginfiltrasi organ tubuh
sehingga menyebabkan gangguan metabolisme cyt dan fungsi organ.
AML merupakan neoplasma uniklonal yang menyerang rangkaian mieloid
dan berasal dari transformasi cyt progenitor hematopoetik. Sifat alami
neoplastik cyt yang mengalami transformasi yang sebenarnya telah
digambarkan melalui studi molekular tetapi defek kritis bersifat intrinsik
dan dapat diturunkan melalui 9 progeni cyt. Defek kualitatif dan kuantitatif
pada semua garis cyt mieloid, yang berproliferasi pada gaya tak terkontrol
dan menggantikan cyt normal. Cyt leukemik tertimbun di dalam medulla,
menghancurkan dan menggantikan cyt yang menghasilkan haemocte
yang normal. Cyt kanker ini kemudian dilepaskan ke dalam aliran emia

303
dan berpindah ke viscus lainnya, dimana mereka melanjutkan
pertumbuhannya dan membelah diri. Mereka bisa membentuk tumor kecil
(kloroma) di dalam atau tepat dibawah kulit dan bisa menyebabkan
meningitis, anemia, heart failure dan kerusakan viscus lainnya.Kematian
pada penderita leukemia akut pada umumnya diakibatkan penekanan
medulla yang cepat dan hebat, akan tetapi dapat pula disebabkan oleh
infiltrasi cyt leukemik tersebut ke viscus tubuh penderita.

Etiologi
Leukemia mieloblastik akut disebabkan oleh mutasi atau
perubahan DNA yang terjadi pada cyt punca atau induk emia di dalam
medulla. Kondisi ini menyebabkan terganggunya fungsi medulla dalam
memproduksi haemocyte sehat. Sebagai gantinya, medulla
memproduksi haemocyte tidak sehat dan belum matang. Haemocyte
yang belum matang berkembang secara cepat, lalu mendesak dan
menggantikan haemocyte sehat dalam medulla . Hal ini menyebabkan
penderitanya rentan terhadap berbagai jenis infeksi (Pagano L
(2006)).Ada beberapa faktor yang meningkatkan risiko seseorang
menderita leukemia mieloblastik akut, yaitu:

• Berusia di atas 65 tahun atau lebih.


• Berjenis kelamin pria.
• Perokok aktif maupun pasif.
• Paparan bahan kimia berbahaya,
• seperti benzena atau fomalin.
• Sistem kekebalan tubuh melemah, misalnya setelah transplantasi
organ.
• Kelainan emia, seperti sindrom mielodisplasia dan trombositosis.
• Mengalami kelainan genetik, misalnya sindrom Down.

304
2.4. Diagnosa dan diagnosa banding Leukemia
Myeoloblastik Akut

Diagnosis AML dapat ditegakkan melalui pemeriksaan emia rutin,


sediaan emiatepi dan dibuktikan aspirasi myelo, pemeriksaan
immnunophenotype, karyotype, atau dengan Polymerase Chain
Reaction (PCR). 17,20 Aspirasi sumsum tulang belakang (Bone Marrow
Aspiration) merupakan syarat mutlak untuk menegakkan diagnosa
definitif dan menentukan jenis leukemia akut. 20 Pemeriksaan
immunophenotypic sangat penting untuk mendiagnosis acute
megakaryoblastic leukemia (AMLK), leukemia myeloid dengan
diferensiasi minimal dan leukemia myeloid/limpoid (mixed, biphenotype).
2.5. Penatalaksanaan Leukemia Myeoloblastik Akut.
preventif

a. Pengendalian Terhadap Pemaparan Sinar Radioaktif

Pencegahan ini ditujukan kepada petugas radiologi dan pasien


yang penatalaksanaan medisnya menggunakan radiasi. Untuk petugas
radiologi dapat dilakukan dengan menggunakan baju khusus anti radiasi,
mengurangi paparan terhadap radiasi, dan pergantian atau rotasi kerja.
Untuk pasien dapat dilakukan dengan memberikan pelayanan diagnostik
radiologi serendah mungkin sesuai kebutuhan klinik.
b. Pengendalian Terhadap Pemaparan Lingkungan Kimia
Pencegahan ini dilakukan pada pekerja yang sering terpapar
dengan benzene dan zat aditif serta senyawa lainnya. Dapat dilakukan
dengan memberikan pengetahuan atau informasi mengenai bahan-

305
bahan karsinogen agar pekerja dapat bekerja dengan hati-hati. Hindari
paparan langsung terhadap zat-zat kimia tersebut.
c. Mengurangi frekuensi merokok
Pencegahan ini ditujukan kepada kelompok perokok berat agar
dapat berhenti atau mengurangi merokok. Satu dari empat kasus LMA
disebabkan oleh merokok.Dapat dilakukan dengan memberikan
penyuluhan tentang bahaya merokok yang bisa menyebabkan kanker
termasuk leukemia (LMA)
d. Pemeriksaan Kesehatan Pranikah
Pemeriksaan ini memastikan status kesehatan masing-masing
calon mempelai. Apabila masing-masing pasangan atau salah satu dari
pasangan tersebut mempunyai riwayat keluarga yang menderita sindrom
Down atau kelainan gen lainnya, dianjurkan untuk konsultasi dengan ahli
hematologi

kuratif

• Tahap 1 - terapi induksi remisi. Pada tahap ini, pasien akan menjalani
kemoterapi untuk menghancurkan cyt kanker dalam emia dan medulla
sebanyak mungkin. Tahap pengobatan ini umumnya berlangsung
selama 3-5 minggu yang disesuaikan dengan kondisi pasien dan
keparahan kanker. Namun demikian, kemoterapi biasanya tidak mampu
menghilangkan seluruh cyt leukemia, sehingga pengobatan lebih lanjut
perlu dilakukan untuk mencegah agar cyt leukemia tidak muncul kembali.
• Tahap 2 - terapi konsolidasi atau pasca-remisi. Tahap pengobatan
yang dilakukan untuk menghancurkan cyt leukemia yang tersisa atau
tertinggal selama kemoterapi pada tahap pertama. Ada beberapa terapi
yang dapat dilakukan pada tahap ini, yaitu:
o Kemoterapi lanjutan, dilakukan jika kemoterapi pada tahap pertama
sudah mampu menghilangkan sebagian besar cyt kanker. Kemoterapi ini

306
dilakukan untuk menghilangkan cyt yang masih tersisa dan mencegah
kekambuhan.
o Transplantasi sumsum tulang, yaitu prosedur untuk memperbarui dan
memperbaiki medulla dengan memasukkan cyt induk emia sehat ke
dalam tubuh guna mengembalikan fungsi medulla dalam memproduksi
haemocyte sehat. cyt induk emia sehat dapat berasal dari pasien itu
sendiri (autologus) atau didonorkan dari orang lain (allogeneic).
o Terapi target, yaitu terapi dengan menggunakan obat untuk
menghentikan perkembangan dan penyebaran cyt kanker.
o Tahap penelitian. Jika metode pengobatan kemoterapi dan
transplantasi tidak efektif dan cyt kanker muncul kembali, maka dokter
akan memberi informasi mengenai metode pengobatan yang masih
dalam tahap penelitian. Pasien dianjurkan untuk mempertimbangkan
terlebih dahulu karena metode ini tidak menjamin pasien sembuh.
Metode pengobatan ini meliputi penggunaan obat atau kombinasi obat
imunoterapi atau jenis obat kanker lainnya (Dinkes,2018).

2.6. Penunjang medis Leukemia Myeoloblastik Akut

1. Tes emia
Meliputi tes Hitung emia lengkap untuk memeriksa jumlah
leukosit dalam tubuh dan apusan emia tepi untuk memeriksa bentuk dan
ukuran leukosit, serta mendeteksi leukosit yang belum matang.
2. Tes pencitraan
untuk mendeteksi infeksi atau gangguan lain yang disebabkan oleh
leukemia mieloblastik akut. Jenis tes pencitraan yang dilakukan adalah:
o USG, untuk mendeteksi pembengkakan yang terjadi pada
organ hepat, kelenjar getah bening, limpa, dan ginjal.

307
o Foto Rontgen, untuk mendeteksi infeksi yang terjadi pada
pulmo.
o CT scan, untuk menunjukkan apakah leukemia mieloblastik
akut telah menyebabkan pembesaran pada limpa dan kelenjar getah
bening
3. Morfologi
Aspirasi medulla merupakan bagian dari pemeriksaan rutin
untuk diagnosis AML. Pulasan emia dan medulla diperiksa dengan
pengecatan May-Grunwald-Giemsa atau Wright-Giemsa. Untuk hasil
yang akurat, diperlukan setidaknya 500 sel Nucleated dari medulla dan
200 leukosit dari perifer.7,8 Hitung blast medulla atau emia ≥ 20%
diperlukan untuk diagnosis AML, kecuali AML dengan t(15;17), t(8;21),
inv(16), atau t(16;16) yang didiagnosis terlepas dari persentase blast. 7,8
4. Immunophenotyping
Pemeriksaan ini menggunakan flow cytometry,sering untuk
menentukan tipe cyt leukemia berdasarkan antigen permukaan. Kriteria
yang digunakan adalah ≥ 20% sel leukemik mengekpresikan penanda
(untuk sebagian besar penanda)

308
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Gambar normal leukocyte

3.2 Gambar normal dan abnormal dari penderita AML

309
3.3 Gambar penderita AML

Dalam gambar terlihat banyaknya jumlah myeloblast yang merupakan


awal dari leukocyte seri myeloid yang belum matang. Penyakit ini disebut
acute karena terjadi sangat cepat dan agresif dikarenakan sel blast
sendiri mampu membelah sangat cepat. Dan kanker ini juga
menyebabkan sumsum tulang belakang tidak dapat menghasilkan
hemocyte secara normal.

310
BAB IV
PENUTUP
Acute Myeloid Leukimia (AML) adalah jenis kanker haemo dan sumsum
tulang belakang yang mengakibatkan sumsum tulang belakang tidak
mampu menghasilkan haemocyte secara normal. Symptoms dari AML ini
antaranya mudah terluka, fever, sering pendarahan dari hidung dan gusi,
sesak napas, kadang disertai penurunan berat badan. Pengertian acute
dalam pathologi ini adalah bahwa leukimia jenis ini mampu memburuk
sangat cepat jika tidak segera dilakukan tindakan kuratif. Pada pathologi
ini yang mengalami kerusakan adalah haemocyte yang belum matang
yang sering disebut dengan blast.
Diagnosis dapat ditegakkan melalui pemeriksaan emia rutin, sediaan
emiatepi dan dibuktikan aspirasi myelo, pemeriksaan
immnunophenotype, karyotype, atau dengan Polymerase Chain
Reaction (PCR). 17,20 Aspirasi sumsum tulang belakang (Bone Marrow
Aspiration). Selain itu tindakan kuratif dapat berupa kemoterapi dan
transplantasi sumsum tulang belakang.

311
BAB V
TERMINOLOGI
1. Leukocyt : sel darah putih
P:-
R: leuk/o : putih, cyt/o :sel
S:-
2. Myeloblastic
P:-
R: myel/o : sumsum tulang, blast: benih
PS : ic
3. Meningitis
P:
R: mening/o (selaput otak)
S: itis (peradangan)
4. Myelodysplasia
P: dys (abnormal)
R: myel/o (sumsum tulang)
S: plasia ( membentuk)

312
DAFTAR PUSTAKA

1. Enright H, Browne P. Understanding acute myeloid leukaemia.


Irish Cancer Society. 2016: 15-16
2. Rose-Inman H, dan Kuehl D. Acute Leukemia. Emerg Med Clin
N Am. 2014;32:579-596
3. Chang F, Shamsi TS, dan Waryah A. Clinical and
Hematological Profile of Acute Myeloid Leukemia (AML)
Patients of Sindh. J Hematol Thrombo Dis. 2016; 4:239

4. Kurnianda J. Leukemia Mieloblastik Akut. Dalam: Sudoyo AW,


Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata KM, Setiati S, penyunting. Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi ke5. Jakarta: InternaPublishing. 2009; h.
1234-1240
5. Simamora I. Karakteristik Penderita Leukemia Rawat Inap di
RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2004- 2007. Medan:
Universitas Sumatera Utara; 2009
6. Sjakti HA, Gatot D, Windiastuti E. Hasil pengobatan leukemia
mieloblastik akut pada anak. Sari Pediatri. 2012; 14(1)
7. Yuliana. Perkembangan terapi leukemia mieloid akut. CDK-
250.2017; 44(3): 216-220

313
LEUKEMIA GRANULOSITIK KRONIK
( LGK )

Dosen Pengampu :
dr. R. A. Rengganis Ularan, MM

Disusun oleh :
Shabrina Akmalia 205032

D3 RMIK
2021

314
BAB I
PENDAHULUAN
Leukemia merupakan disease keganasan jaringan hematopoetik
yang ditandai dengan penggantian elemen medulla normal dengan
haemocyt abnormal (neoplastik) (Rendra et al., 2013). Pasien yang
mengalami pembesaran limpa dan liver dalam pembuluh emianya penuh
dengan ―bahan tumpukan nanah‖. Pasien ini menunjukkan disease yang
kelak dikenal sebagai Chronic Myeloid Leukemia (CML). Penyebab
kematian pasiennya adalah ―supurasi dalam emia‖ yang mana suatu
neoplastic disorder yang kemudian disebut sebagai leukocytosis(Fay,
1967).
Kromosom Ph dibentuk oleh suatu translokasi resiprokal antara
lengan panjang gen ABL kromosom 9 dengan lengan panjang gen BCR
kromosom 22 yang umumnya ditulis dengan t(9;22) (q34;q11.2). Basis
genetik CML makin jelas ketika pada tahun 1983, para peneliti
menunjukkan bahwa gen yang terlibat dalam translokasi adalah ABL1,
dari kromosom 9 yang bertranslokasi ke dalam gen BCR, pada
kromosom 22 (Goldman & Melo, 2003) (Fay, 1967).

315
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 anatomi dan fisiologi
Sistem sirkulasi merupakan sarana untuk menyalurkan makanan dan
oksigen dari traktus digestivus dan dari pulmo ke cyt tubuh. Selain itu
system sirkulasi merupakan sarana untuk membuang sisa-sisa
metabolisme dari cyt ke nephros, pulmo dan derma yang merupakan
tempat ekskresi sisa-sisa metabolisme(Farid, 2018).
Menurut (Farid, 2018) viscus system sirkulasi mencakup cardio,
pembuluh emia dan emia :
a. cardio merupakan organ berongga, terletak di mediastinum diantara
kedua pulmo didalam rongga pectoris diatas diafragma. Fungsinya
adalah memompa emia kaya oksigen kedalam system arteri
(yangmembawanya ke cyt) dan menampung emia dari system vena
dan meneruskannya ke pulmo untuk reoksigenasi. Fungsi arteri,
kapiler, vena, dan pembuluh limfe adalah membawa emia kedalam
cyt di seluruh tubuh(Farid, 2018).
b. Pembuluh emia diantaranya sebagai berikut:
1) Arteri (pembuluh nadi)
Arteri meninggalkan cardio pada vertikel kiri dan kanan (Farid, 2018).
2) Kapiler (pembuluh rambut)
Kapiler merupakan pembuluh emia yang sangat kecil yang berasal
dari cabang terhalus dari arteri sehingga tidak nampak, kecuali dibawah
mikroskop. Kapiler membentuk anyaman diseluruh jaringan tubuh,kapiler
selanjutnya bertemu satu dengan yang lain menjadi pembuluh emia yang
lebih besar yang disebut vena(Farid, 2018).
3) Vena (pembuluh emia balik)
Vena membawa emia kotor kembali ke cardio (Farid, 2018).
4) emia

316
Emia merupakan bentuk tissue ikat khusus, terdiri atas elemen
berbentuk yaitu haemocyte dan trombosit dan suatu substansi
interselular cair yaitu plasma emia. Ada dua jenis utama haemocyte yang
digambarkan menurut penampilannya dalam keadaan segar tanpa
pulasan yaitu sel darah merah (eritrosit) dan sel darah putih (leukosit),
(Leeson, 1997).
Proses pembentukan sel darah (hemopoesis) terdapat tiga tempat, yaitu
sebagai berikut:
1) medulla yang aktif dalam proses hemopoesis adalah :
a. vertebrae osteo.
b. Sternum (tulang dada).
c. Costa (tulang iga).
2) Hepar
Merupakan kelenjer terbesar dari beberapa kelenjer pada tubuh
manusia.
3) Limpa
Limpa terletak dibagian kiri atas abdomen. Limpa berbentuk
setengah bulan berwarna kemerahan. Limpa adalah viscus berkapsula
dengan berat normal 100-150 gr. Limpa mempunyai dua fungsi yaitu
sebagai vicus limfoid dan memfagosit material tertentu dalam sirkulasi
eritrocyt yang rusak.

2.2 Definisi leukemia granulositik kronik


Leukemia Granulositik Kronik (LGK) disebabkan oleh gen BCR-
Abl domain tyrosin kinase, produk dari kromosom Philadelphia. Imatinib
mesylate merupakan inhibitor selektif terhadap kinase tersebut. Berikut
adalah pengertian Leukemia Granulositik Kronik (LGK) atau yang disebut
dengan Chronic Myelogenous Leukemia (CML) :

317
Leukemia Granulositik Kronik (LGK) atau yang disebut dengan
Chronic Myelogenous Leukemia (CML) merupakan suatu disease
myeloproliferatif yang disebabkan oleh mutasi kromosom berupa
translokasi resiprokal antara kromosom 9 dan kromosom 22 membentuk
kromosom Philadelphia t(9;22)(q34;q11) dan fusi gen BCR-ABL (Rajabto
et al., 2018).
Dari pemaparan diatas dapat saya simpulkan bahwa Leukemia
Granulositik Kronik (LGK) atau yang disebut dengan Chronic
Myelogenous Leukemia (CML) merupakan suatu diease myeloproliferatif
yang disebabkan oleh mutasi kromosom berupa translokasi resiprokal
antara kromosom 9 dan kromosom 22 membentuk kromosom
Philadelphia t(9;22)(q34;q11) dan fusi gen BCR-ABL.

2.3 Patofisiologi leukemia granulositik kronik


Leukemia Granulositik Kronik (LGK) atau yang disebut dengan
Chronic Myelogenous Leukemia (CML) disease mieloproliferatif
menahun dengan kelainan klonal akibat perubahan genetik pada
pluripoten stem cell. Kelainan tersebut mengenai lineage mieloid,
monosit, eritroid, megakariosit. Perubahan patologik yang terjadi berupa
gangguan adhesi cyt imatur di medulla, aktivasi mitosis stem cell dan
penghambatan apoptosis yang mengakibatkan terjadinya proliferasi cyt
mieloid imatur di medulla, emia tepi dan terjadi hematopoiesis
ekstramedular (Jonathan et al., 2017). Berikut adalah Patofisiologi dan
Patogenesis dari Rheumatic Fever sebagai berikut:
a. Patofisiologi Leukemia Granulositik Kronik (LGK) atau yang
disebut dengan Chronic Myelogenous Leukemia (CML) Menurut
(Jonathan et al., 2017) kejadian leukemia mielositik kronik mencapai
15% dari semua leukemia pada dewasa, kedua terbanyak setelah
leukemia limfositik kronik. Menurut data Surveillance, Epidemiology and
End Results, dan Medical Research Data CML sebagai berikut :

318
a. Terjadi pada usia 53-60 tahun, namun usia rata-rata dianggap
sebagai usia 40 tahun, walaupun dapat ditemukan pada usia muda dan
biasanya lebih progresif (Jonathan et al., 2017). Penyebab dari CML
adalah tidak jelas dengan peran penting dari faktor genetic dan
lingkungan, seperti paparan terhadap radiasi dan sebagainya(Jonathan
et al., 2017).Beberapa melaporan penyebab CML selain akibat paparan
radiasi, bom atom adalah ankylosing spondilitis pasca
penyinaran(Jonathan et al., 2017).
b. Patogenesis Leukemia Granulositik Kronik (LGK) atau yang
disebut dengan Chronic Myelogenous Leukemia (CML) sebagai berikut :
1. Pada CML dijumpai Philadelphia chromosom (Ph1 chr) suatu
reciprocal translocation 9,22 (t9;22)(Jonathan et al., 2017). Kromosom
Philadelphia merupakan kromosom 22 abnormal yang disebabkan oleh
translokasi sebagian materi genetik pada bagian lengan panjang (q)
kromosom 22 kekromosom 9, dan translokasi resiprokal bagian
kromosom 9, termasuk onkogen ABL, ke region klaster breakpoint
(breakpoint cluster region, BCR) yang merupakan titik pemisahan tempat
putusnya kromosomyang secara spesifik terdapat pada kromosom 22
(Jonathan et al., 2017).
2. Tyrosine kinase berperan penting dalam modulasi sinyal faktor
pertumbuhan. Bentuk aktif dari enzim ini dapat menyebabkan
peningkatan proliferasi dan pertumbuhan cyt tumor, menginduksi efek
anti-apoptotis, dan mempromosikan angiogenesis dan metastasis. Pada
pasien CML, dengan adanya gen BCR-ABL, tyrosine kinase yang
konstitutif menyebabkan terjadinya transformasi selular sebagai
patogenesis dari timbulnya CML (Fay, 1967).
Etiologi Penyebab Leukemia Granulositik Kronik (LGK) atau yang
disebut dengan Chronic Myelogenous Leukemia (CML) ditandai dengan
terdeteksinya kromosom Philadelphia (Ph). Kromosom Philadelphia
merupakan hasil translokasi kromosom 9 dan 22 yang mengakibatkan

319
fusi gen BCR-ABL, menghasilkan protein fusi BCR-ABL yang berperan
dalam terjadinya LMK (Rafika & Setiadhi, 2019). Berikut adalah Etiologi
dan Cara Penularan dari Leukemia Granulositik Kronik (LGK) atau yang
disebut dengan Chronic Myelogenous Leukemia (CML) sebagai berikut:
Etiologi dari Leukemia mieloid kronik BCR-ABL memiliki aktivitas
tirosin kinase yang memicu pertumbuhan dan replikasi sel leukemik
melalui downstream pathway seperti RAS, RAF, JUN kinase, MYC, dan
STAT.6 Kromosom Philadelphia ditemukan pada 95% pasien LMK.
Translokasi 9 dan 22 mengarah ke fusi gen cimerik melalui ikatan gen
Abl-1 (Abelson) yang terletak di kromosom 9, dengan bagian dari BCR
(breakpoint cluster region) pada kromosom 22. Dengan cara ini, BCR-
ABL bertindak sebagai onkogen yang overexpresses protein tirosin-
kinase itu merangsang pertumbuhan leukemia mieloblas.

2.4 Diagnosa dan diagnosa banding leukemia granulositik kronik


Diagnosis Leukemia Granulositik Kronik (LGK) melibatkan
pemeriksaan darah perifer dan sumsum tulang. Kadar hemoglobin
umumnya normal atau sedikit menurun, leukosit meningkat berkisar
antara 20.000-60.000/mm3 dengan peningkatan eosinofil dan basofil.
Trombosit umumnya meningkat antara 500.000-600.000/mm3 ,
walaupun sangat jarang, beberapa kasus dapat normal atau menurun
disamping itu dapat ditemukan blast. Pemeriksaan penunjang terpenting
adalah analisis sitogenetik dan Reverse Tanscriptase Polymerase Chain
Reaction (RT-PCR). Analisis sitogenetik adalah metode standar untuk
mendeteksi kromosom Ph. Pemeriksaan RT-PCR digunakan untuk
mendeteksi fusi gen Bcr-Abl. Sejarah perkembangan terapi Leukemia
Granulositik Kronik (LGK) mengalami perubahan secara signifikan. Pada
tahun 1856, pertama kali menggunakan kemoterapi arsenikal dengan
kelangsungan hidup < 3 tahun.

320
Pada tahun 1950an menggunakan terapi radiasi seluruh tubuh
ataupun splanik. Busulfan diperkenalkan pertama kali sebagai terapi
Leukemia Granulositik Kronik (LGK) tahun 1950an dan hydroxyurea
pada tahun 1972. Splenektomi sebagai terapi Leukemia Granulositik
Kronik (LGK) pertama kali dilaporkan pada awal abad ke-20. Tindakan
ini hanya efektif pada penderita dengan splenomegali persisten dan
sitopenia refrakter. Kemudian tahun 1980, transplantasi stem-cell
allogenic berpotensi kuratif pada Leukemia Granulositik Kronik (LGK).
Teknik transplantasi memiliki kendala oleh karena sulitnya mendapatkan
pendonor yang cocok dan batasan umur. Dengan diketahuinya basic
molekuler dari Leukemia Granulositik Kronik (LGK) telah dikembangkan
terapi target yang efektif. Terapi ini akan memblok aktivitas Bcr-Abl
tyrosine kinase, sehingga menghambat perjalanan proses molekuler
Leukemia Granulositik Kronik (LGK). Penggunaan tyrosine kinase
inhibitor (TKI) pada Leukemia Granulositik Kronik (LGK) sejauh ini
menunjukkan hasil yang impresif dengan toksisitas minimal dan secara
drastis mengubah landscape terapi Leukemia Granulositik Kronik (LGK).
Bukti-bukti saat ini menunjukkan bahwa TKI lebih superior untuk terapi
lini pertama Leukemia Granulositik Kronik (LGK).

2.5 Penatalaksanaan leukemia granulositik kronik


Kuratif Menurut (Jonathan et al., 2017) berikut adalah Kuratif
Leukemia Granulositik Kronik (LGK) atau yang disebut dengan Chronic
Myelogenous Leukemia (CML) sebagai berikut:
1. Medikamentosa
Penatalaksanaan CML tergantung pada fase disease, yaitu :
a. Fase Kronik
1) Busulphan (Myleran), dosis : 0,1-0,2 mg/kgBB/hari. Leukosit diperiksa
tiap minggu(Jonathan et al., 2017). Dosis diturunkan setengahnya
jika leukosit turun setengahnya. Obat di hentikan jika leukosit

321
20.000/mm3 (Jonathan et al., 2017). Terapi dimulai jika leukosit naik
menjadi 50.000/mm3(Jonathan et al., 2017). Efek samping dapat
berupa aplasia medulla berkepanjangan, fibrosis pulmo, bahaya
timbulnya leukemia akut (Jonathan et al., 2017).
2) Hydroxiurea, bersifat efektif dalam mengendalikan disease dan
mempertahankan hitung leukosit yang normal pada fase kronik, tetapi
biasanya perlu diberikan seumur hidup (Jonathan et al., 2017). Dosis
mulai dititrasi dari 500 mg sampai 2000 mg. Kemudian diberikan
dosis pemeliharaan untuk mencapai leukosit 10.000-15.000/mm3
(Jonathan et al., 2017). Efek samping lebih sedikit Interferon α juga
dapat mengontrol jumlah leukosit dan dapat menunda onset
transformasi akut, memperpanjang harapan hidup menjadi 1-2 tahun.
IFN-α biasanya digunakan bila jumlah leukosit telah terkendali oleh
hidroksiurea(Jonathan et al., 2017). IFN-α merupakan terapi pilihan
bagi kebanyakan penderita leukemia Mielositik (CML) yang terlalu tua
untuk transplantasi sumsum tulang (BMT) atau yang tidak memiliki
medulla donor yang cocok (Jonathan et al., 2017). Interferon alfa
diberikan pada rata-rata 3-5 juta IU / d subkutan (Emmanuel, 2010).
Tujuannya adalah untuk mempertahankan jumlah leukosit tetap
rendah (sekitar 4x109/l) (Jonathan et al., 2017). Hampir semua
pasien menderita gejala disease ‖mirip flu‖ pada beberapa hari
pertama pengobatan(Jonathan et al., 2017). Komplikasi yang lebih
serius berupa anoreksia, depresi, dan sitopenia(Jonathan et al.,
2017). Sebagian kecil pasien (sekitar 15%) mungkin mencapai remisi
jangka panjang dengan hilangnya kromosom Ph pada analisis
sitogenik walaupun gen fusi BCR-ABL masih dapat dideteksi melalui
PCR. (Victor et al., 2005) (Jonathan et al., 2017).
3) Imatinib (Gleevec), nilotinib (Tasigna), dasatinib (Sprycel) adalah obat
tyrosine-kinase inhibitor yang merupakan pengobatan standar bagi
pasien CML pada fase kronik(Jonathan et al., 2017).

322
4) Transplantasi sumsum tulang alogenik (stem cell transplantation,
SCT) sebelum usia 50 dari saudara kandung yang HLA-nya cocok
memungkinkan kesembuhan 70% pada fase kronik dan 30% atau
kurang pada fase akselerasi(Jonathan et al., 2017).
b. Fase Akselerasi dan Fase Blast Terapi untuk fase akselerasi atau
transformasi akut sama seperti leukemia akut, AML atau ALL,
dengan penambahan STI 57I (Gleevec) dapat diberikan. Apabila
sudah memasuki kedua fase ini, sebagian besar pengobatan yang
dilakukan tidak dapat menyembuhkan hanya dapat memperlambat
perkembangan disease (Jonathan et al., 2017).
2. Non-Medikamentosa
Radiasi Terapi dengan menggunakan X-Rays dosis tinggi sinar-sinar
tenaga tinggi secara external radiation therapy untuk menghilangkan
gejala-gejala atau sebagian dari terapi yang diperlukan sebelum
transplantasi sumsum tulang(Jonathan et al., 2017).
Prefentif dalam kasus Leukemia Granulositik Kronik saat ini belum
diketahui secara efektif dan sepenuhnya untuk mencegah timbulnya
kasus ini.
2.6 Penunjang medis leukemia granulositik kronik
Manifestasi klinis CML bersifat insidious, selalu berubah sesuai dengan
fase disease, yaitu fase kronik (CP), fase akselerasi (AP), dan krisis
blastik (BP). Sebagian besar (90%-95%) pasienCML berada dalam fase
kronik (CP-CML) (Hocchauss et al., 2017) (Fay, 1967). Berikut adalah
Manifestasi Klinis dari Leukemia Granulositik Kronik (LGK) atau yang
disebut dengan Chronic Myelogenous Leukemia (CML) sebagai berikut:
a. Fase Kronik
Fase kronik ini didapatkan pada sebagian besar pasien (90%-
95%)(Fay, 1967). Tanda dan gejala umum dari CP-CML akibat dari
anemia dan splenomegali berupa kelelahan, penurunan berat badan,
rasa tidak enak, rasa kenyang, dan terasa penuh di kuadran kiri atas

323
(Bintoro, 2015)(Fay, 1967). Manifestasi yang jarang adalah perdarahan
terkait dengan jumlah trombosit yang rendah dan/atau disfungsi
trombosit, trombosis, terkait dengan trombositosis dan/atau leukositosis,
artritis gout (dari kadar asam yang meningkat), perdarahan retina, dan
ulserasi gastrointestinal bagian atas dan pendarahan(Fay, 1967).
Splenomegali atau hepatomegali didapatkan pada 46%-76% kasus(Fay,
1967). Splenomegali bervariasi mulai dari ringan sampai berat yang lebih
dari 10 cm di bawah tepi bawah tulang iga(Fay, 1967). Ukuran limpa ini
nampaknya berkorelasi dengan jumlah lekosit dalam emia (Fay, 1967).
Pada fase kronik ini sumsum tulang mengandung sel muda (blast)
kurang dari 5%(Fay, 1967).

Gambar 1 (Fay, 1967)


b.Fase Akselerasi
Pada fase ini disease makin progresif yang ditandai dengan leukosit
makin meningkat, limpa makin membesar(Fay, 1967). Berdasarkan
kriteria dari M.D Anderson Centre, fase akselerasi bila: blast di perifer ≥
15%, dan promielosit di perifer ≥ 30%, basofil di perifer ≥ 20%,
trombositopenia (<10 x 109/L bukan akibat dari efek samping dengan
terapi) (Tabel 4.1)(Fay, 1967). Fase ini secara klinis menunjukkan
respons hematologi atau respons molekuler makin menurun dan
cenderung ke arah krisis blastik (Baccarani et al., 2013) (Fay, 1967).

324
Gambar 2 (Fay, 1967)
b. Fase Krisis Blastik
Pada fase ini sel-sel CML mulai berperilaku seperti leukemia
akut(Fay, 1967). Pasien sering demam, malaise (merasa tidak sehat),
splenomegaly, penurunan berat badan, dan gejala lain yang menyerupai
leukemia akut(Fay, 1967). Fase ini menurut ELN ditandai dengan
didapatkan sel muda ≥ 30% baik pada darah perifer atau sumsum
tulang, sedangkan menurut kriteria WHO baik pada darah perifer atau
sumsum tulang sel muda ≥ 30%(Fay, 1967).

Gambar 3 (Fay, 1967)


Untuk diagnosis dan evaluasi disease Leukemia Granulositik Kronik
(LGK) atau yang disebut dengan Chronic Myelogenous Leukemia (CML)
325
diperlukan juga pemeriksaan penunjang seperti yaitu pemeriksaan emia
lengkap. Pemeriksaan emia lengkap dilakukan sebagai skrining awal,
jika pasien diduga menderita leukemia (Rafika & Setiadhi, 2019).

326
BAB III
PEMBAHASAN

Gambar 3.1 Leukemia Granulositik Kronik Normal

Gambar 3.2 Leukemia Granulositik Kronik

Gambar 3.3 Gambaran Darah Tepi Leukemia Granulositik Kronik

327
BAB IV
PENUTUP

CML merupakan bentuk leukemia kronik yang paling sering dijumpai di


Indonesia sedangkan di negara Barat yang lebih sering ditemukan dalam
bentuk CLL(Jonathan et al., 2017). Di Jepang kejadiannya meningkat
setelah peristiwa bom atom di Nagasaki dan Hiroshima, demikian juga di
Rusia setelah reaktor atom Chemobil meledak. Beberapa melaporan
penyebab CML selain akibat paparan radiasi, bom atom adalah
ankylosing spondilitis pasca penyinaran

328
BAB V
TERMINOLOGI
1. Leukemia = Kanker Darah
 Prefix = -
 Root = Leuk/o (putih)
 Suffix = -emia (berhubungan dengan darah)

2. Spondilitis = Peradangan Tulang Punggung


 Prefix =-
 Root = Spondyl/o (vertebrae, tulang punggung)
 Suffix = Itis (peradangan)

3. Granulositik = Sekumpulan Sel Berbentuk Granul


 Prefix =-
 Root = Granul/o (granul/sebuah bentuk), cyt/o (sel)
 Suffix = -ic

4. Splenomegali = Pembesaran pada Limfa


 Prefix =-
 Root = Splen/o (limfa)
 Suffix = Megaly (pembesaran)

5. Hepatomegali = Pembesaran pada Hati


 Prefix =-
 Root = Hepat/o (hati)
 Suffix = Megaly ( pembesaran)
6. Neutropenia = Kekurangan Neutrofil
 Prefix = -
 Root = Neutr/o (berhubungan dengan neutrofil)
 Suffix = -penia (kekurangan)
329
DAFTAR PUSTAKA

Farid, dzaki muhammad. (2018). Oleh : farid muhammad dzaki nim :


1514401004.
Fay, D. L. (1967). 済無No Title No Title No Title. In Angewandte Chemie
International Edition, 6(11), 951–952.
Hidayatullah, M. S., Pratama, G. C., & Sumantri, A. F. (2021). Studi
Epidemiologi Penderita Leukemia Granulositik Kronis pada
Komunitas ELGEKA di Jawa Barat. 607–611.
Jonathan, C., Rahmasari, S. S., & Dr. Ni Made Renny Anggraeni Rena,
S. P. (2017). Chornic Myeloid Leukemia. 1302006179, 1–31.
Rafika, M., & Setiadhi, R. (2019). Lesi Oral Terkait Leukemia Mieloid
Kronik: Laporan Kasus. ODONTO : Dental Journal, 6, 62.
https://doi.org/10.30659/odj.6.0.62-67
Rajabto, W., Harryanto, A., Tadjoedin, H., & Harimurti, K. (2018).
Hubungan Gambaran Klinis dan Laboratorium Hematologis antara
Leukemia Granulositik Kronik Ph (+)/BCR-ABL (+) dengan Bentuk
Kelainan Ph/BCR-ABL Lainnya. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia,
5(1), 11. https://doi.org/10.7454/jpdi.v5i1.167
Rendra, M., Yaswir, R., & Hanif, A. M. (2013). Gambaran Laboratorium
Leukemia Kronik di Bagian Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil
Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 2(3), 141. ht

330
MYELOFIBROSIS

Dosen Pengampu :
dr. R. A. Rengganis Ularan, MM

Disusun oleh :
Agnes Ratri Dinda Stiffani 205081

D3 RMIK
2021

331
BAB I
PENDAHULUAN

Myelofibrosis adalah jenis cancer medula spinalis yang


memengaruhi kemampuan tubuh untuk memproduksi eritrosit. Kondisi ini
menyebabkan tumbuhnya cicatrix di medula spnalis, sehingga membuat
produksi erirosit terganggu. Fibrosis medulla adalah fitur patologis sentral
dan kriteria diagnostik utama dari WHO untuk myelofibrosis. Meskipun
fibrosis medulla terlihat pada berbagai keadaan disease ganas dan non-
ganas, deposisi retikulin dan fibrosis kolagen di medulla spinalis pasien
dengan mielofibrosis diyakini dimediasi oleh sel induk/progenitor
hematopoietik mielofibrosis, yang berkontribusi pada gangguan
lingkungan mikro yang mendukung keganasan daripada hematopoiesis
normal.
Myelofibrosis adalah penyakit di sumsum tulang di
manakolagenmembentuk jaringan fibrosis pada cavum sumsum. Hal
ini terjadi karena pertumbuhan tidak terkendali dari precursor eritrosit,
yang akhirnya mengarah pada akumulasi jaringan ikatdi medula spinalis.
Jaringan ikat yang membentuk eritrosit yang akhirnya
menyebabkan bentuk disfungsional. Tubuh kita menyadari hal ini, dan
mencoba untuk mengkompensasi dengan mengirimkan sinyal ke viscus
extramedulare hematopoietik, yaitu liver dan splen untuk menghasilkan
eritrosit baru. Tetapi eritrosit yang akhirnya dihasilkan oleh viscera ini
masih belum berfungsi dengan baik dan tubuh akhirnya mengalami
anemia.(Kroger N & Mesa RA, 2008)

332
BAB II

Tinjauan Pustaka

2.1 Anatomi dan Fisiologi

Myelofibrosis diklasifikasikan sebagai neoplasma


myeloproliferative, yang merupakan sekelompok kelainan yang
semuanya melibatkan produksi berlebihan setidaknya satu jenis
eritrosit. Kondisi ini memiliki beberapa kesamaan dengan cancer,
tetapi belum tentu cancer. Pertumbuhan yang menyebabkannya
bisa jinak (non-cancer), ganas (cancer), atau pra-
kanker.Myelofibrosis terjadi ketika sel-sel induk di medula spinalis
mengalami mutasi atau perubahan DNA (gen). Cyt induk ini
seharusnya memiliki kemampuan untuk membelah diri menjadi
beberapa cyt khusus yang membentuk haema, seperti eritrosit,
leukosit dan trombosit.
Prevalensi myelofibrosis atau mutasi gen etiologi myelofibrosis,
trombositemia dan polisitemia vera pada orang-orang Kaukasia
dulunya mencapai 50%, 57%, dan 97% (Fanti Saktini,2015).
Disease ini dapat menyebabkan perlukaan yang besar pada
medulla, sehingga menimbulkan anemia yang menyebabkan
symptom kelemahan dan kelelahan. Perlukaan medulla ini juga
dapat menyebabkan rendahnya trombosit sehingga meningkatkan
risiko perdarahan. Beberapa orang dengan mielofibrosis bisa tidak
333
memiliki symptom apapun sehingga tidak membutuhkan terapi
segera. Namun orang lain dengan keparahan gejala memerlukan
terapi yang agresif secepatnya. Penegakkan diagnosis meliputi
pemeriksaan fisik, pemeriksaan darah, pencitraa, serta
pemeriksaan sumsum tulang melalui biopsi dan aspirasi medulla
(dr. Maria Arlene, Sp.Ak)

2.2 Definisi Myeolofibrosis

Myelofibrosis adalah penyakit di medula spinalis di


kolagen membentuk jaringan
fibrosis pada cavum sumsum. Hal ini terjadi karena pertumbuhan tid
ak terkendali dari sel prekursor darah, yang akhirnya mengarah
pada akumulasi jaringan ikat di sumsum tulang. Jaringan ikat yang
membentuk sel darah yang akhirnya menyebabkan bentuk
disfungsional. Tubuh kita menyadari hal ini, dan mencoba untuk
mengkompensasidengan mengirimkan sinyal ke organ
extramedulare hematopoietik, yaitu hati dan limpauntuk
menghasilkan sel darah baru. Tetapi sel darah yang akhirnya
dihasilkan oleh visceral ini masih belum berfungsi dengan baik dan
tubuh akhirnya mengalami anemia (Kroger N & Mesa RA, 2008).
fibrosis pada cavum sumsum. Hal ini terjadi karena pertumbuha
n tidak terkendali dari sel prekursor darah, yang akhirnya mengarah
pada akumulasi jaringan ikatdi sumsum tulang. Jaringan ikat yang
membentuk sel darah yang akhirnya menyebabkan bentuk
disfungsional. Tubuh kita menyadari hal ini, dan mencoba untuk
mengkompensasidengan mengirimkan sinyal ke organ
extramedulare hematopoietik, yaitu hati dan limpauntuk
menghasilkan sel darah baru. Tetapi sel darah yang akhirnya

334
dihasilkan oleh visceral ini masih belum berfungsi dengan baik dan
tubuh akhirnya mengalami anemia (Kroger N & Mesa RA, 2008).
fibrosis pada cavum sumsum. Hal ini terjadi karena pertumbuha
n tidak terkendali dari sel prekursor darah, yang akhirnya mengarah
pada akumulasi jaringan ikatdi sumsum tulang. Jaringan ikat yang
membentuk sel darah yang akhirnya menyebabkan bentuk
disfungsional. Tubuh kita menyadari hal ini, dan mencoba untuk
mengkompensasidengan mengirimkan sinyal ke organ
extramedulare hematopoietik, yaitu hati dan limpauntuk
menghasilkan sel darah baru. Tetapi sel darah yang akhirnya
dihasilkan oleh visceral ini masih belum berfungsi dengan baik dan
tubuh akhirnya mengalami anemia (Kroger N & Mesa RA, 2008).

2.3. Patofisiologi Myolofibrosis

Mielofibrosis merupakan reaksi sekunder terhadap


hemopatia klonal: Dimana selfibroblas mensekresi kolagen
yang akan diakumulasi. Mereka distimulasi oleh sitokin yang
dibebaskan dari megakariosit neoplastik dan dari sel
klonalhemopoietik lainnya. Kolageditimbun dalam ruang
ekstraselular dan elemen vaskular dalam medula spinalis Empat
dari tipe kolagen terdapat disini. Kolagen tipe 1 dan 3 merupakan
komponen fibrosis utama pada
mielofibrosis.Timbunankolagenmeningkatsetaradenganlamanyape
nyakit.
Pada mielofibrosis,vaskularisasi meningkat. Luasnya
neovaskularisasi ini berhubungan dengan luasnya penyakit dan
mungkin hal ini penting terhadap timbulnya fibrosis. Transforming
GrowthFactor (TGF)-β merupakan mediator utama terhadap
akumulasi kolagen pada mielofibrosis.Sitokin ini disintesa oleh

335
megakariosit dan sel endotel seperti halnya pada sistem monosit-
makrofag. TGF-β merupakan stimulus yang poten terhadap
angiogenesis.
Peningkatan vaskularisasi ini akibat adanya neoangiogenesis
karena rangsangan faktor angiogenetik yang dipicu adanya sel
ganas. Faktor angiogenetik tersebut adalah basic Fibroblast
Growth Factor (bFGF) dan Vascular Endothelial Growth Factor
(VEGF), yang akan memicu sel endotel untuk migrasi, proliferasi,
dan membentuk jaringan angio pada tempat tersebut. Distribusi
hematopoiesis ekstra medular pada mielofibrosis melibatkan liver
dan limpa.Ruangan ekstramedular ditumbuhi pindahan sel
hematopoiesis. Kenaikan kadar TGF- dapat dideteksi
dengan naiknya sirkulasi platelet dan megakariosit.
Beberapa Growth Factor lain diperkirakan juga merangsang
fibroblast pada mielofibrosis, antara lain: Platelet derived
growth factor yang terdapat pada megakariosit penderita
mielofibrosis, epidermal growth factor, endothelial cell growth
factor, interleukin-basic fibroblast growth factor.

336
.Gambar 1. Proses terjadinya fibrosis sum-sum tulang.
Pada tikus percobaan, yang diberi TPO konsentrasi tinggi, akan
terjadi sindrom yang menyerupai mielofibrosis. Tikus yang
diinjeksi secara cepat dengan polietilen-glikol-conjugated TPO
untuk mempercepat hiperplasia megakariosit. Walaupun
begitu, peranan TPO pada mielofibrosis masih belum jelas,
walaupun kadar TPO pada mielofibrosis meningkat tetapi tidak
berkolerasi terhadap masa megakariosit.

337
Gambar 2. Patofisiologi mielofibrosis.

Etiologi
Mutasi atau perubahan gen (DNA) yang dialami oleh medula
spinalis adalah penyebab utama myelofibrosis terjadi. Normalnya, sel-sel
induk tersebut mampu membelah diri, seperti membelah menjadi
leukosit, eritrosit, dan trombosit.Namun jika terjadi mutasi pada gen atau
DNA, proses membelah diri dan produksi pun akan terganggu karena
perubahan terjadi pada banyak sel.Selain produksi sel darah yang
mengalami gangguan, pada sumsum tulang pun akan menjadi lokasi
tumbuhnya cicatrix. Namun meski terjadi mutasi gen, myelofibrosis
bukan penyakit keturunan atau genetik sebab orang tua tidak
mewariskan gen abnormal.
Myelofibrosis bisa primer atau sekunder. Yang primer berarti
tidak disebabkan oleh penyakit lain, sedangkan yang sekunder berarti
penyakit itu terjadi.
 Mielofibrosis primer
Para ahli belum yakin apa yang menyebabkan myelofibrosis primer
atau idiopatik. Mereka menghubungkan beberapa gen dan jenis
myelos dengan kondisi tersebut, termasuk mutasi genetik yang
disebut mutasi missense JAK2 V617F. Namun, peneliti tidak tahu

338
apayang menyebabkan mutasi, dan tidak semua orang dengan
mutasi ini akan mengembangkan penyakit.

 Mielofibrosis sekunder dapat disebabkan oleh:

 Leukimia
 Neoplasma mieloproliferatif lainnya, termasuk polisitemia vera
dan trombositemia esensial
 Cedera kimia
 Cedera fisik
 Infeksi medula spinalis
 Hilangnya suplai darah ke medula spinalis

2.4. Diagnosa dan diagnosa banding Myolofibrosis

Dokter akan memulai pemeriksaan dengan menanyakan


simptom yang dialami pasien, kemudian melakukan pemeriksaan
sphygm/o, tension, serta memeriksa area abdomen dan tiroid.

Dokter akan memulai pemeriksaan dengan menanyakan gejala


yang dialami pasien, kemudian melakukan pemeriksaan denyut
nadi, tekanan darah, serta memeriksa area perut dan kelenjar
getah bening. Pemeriksaan fisik tersebut dilakukan untuk mencari
tanda-tanda myelofibrosis, seperti kulit pucat akibat anemia hingga
pembengkakan pada organ limpa.

2.5. Penatalaksanaan Myolofibrosis


Pencegahan (preventif)

339
Tidak terdapat cara untuk mencegah myelofibrosis, namun
untuk meminimalisir risikonya, sebaiknya lakukan pengecekan
kesehatan teratur. Check up rutin adalah cara menjaga kesehatan
tubuh yang tepat karena myelofibrosis dapat terdeteksi secara dini
sehingga sebelum terlambat dan menjadi semakin serius penderita
telah memperoleh penanganan. Untuk mencegah komplikasinya,
segera ke dokter ketika keluhan gejala yang telah disebutkan di
atas mulai terjadi. Hindari paparan radiasi dan zat kimia sebisa
mungkin, namun bila hal ini berkaitan dengan pekerjaan maka
sebaiknya kenakan alat pelindung diri dari paparan sesuai standar
keselamatan kerja.

Bagi penderita yang gejalanya tak berkembang, pengobatan


khusus tak disarankan. Sebagai gantinya, para ahli menganjurkan
untuk melakukan pemantauan rutin perkembangan penyakit di
dokter. Pada penderita yang parah, penggunaan obat dan terapi
diperbolehkan. Namun, saat ini belum ada satu pun yang betul-
betul bisa mengatasi myelofibrosis secara langsung. Karenanya,
perawatan lebih berfokus pada gejala dan komplikasi.Untuk
menarget mutasi gen, Ruxolitinib (Jakafi) merupakan satu-satunya
jenis obat yang telah disetujui oleh Food and Drug Administration
(FDA) di Amerika. Jenis obat terbaru adalah penghambat kinase
Janus (JAK) yang berfungsi memperlambat produksi eritrosit.
Dan pegylated interferon alfa-2a yang baru diuji klinis.Pemanfaatan
terapi lainnya perlu menyesuaikan dengan keparahan gejala, serta
berkonsultasi lebih dulu pada dokter. Sebab, tiap orang
menanggapi penyakit secara berbeda dan selalu ada efek samping
yang bisa ditimbulka

n.

340
Pengobatan (kuratif)

Mielofibrosis mungkin dapat disembuhkan dengan hematopoietic


stem cells transplantation (HSCT), tetapi HSCT biasanya berhasil untuk
pasien muda. Tidak ada bentuk terapi lain untuk memperpanjang
survival atau mencegah progresi mielofibrosis. Terapi suportif diarahkan
langsung terhadap komplikasi yang terjadi. Beberapa pasien
asimptomatis dan memerlukan observasi. Allopurinol diberikan untuk
mempertahankan urat darah tetap normal, untuk menghambat
nefropatia urat, renal kalkuli, dan gout. Transfusi diperlukan untuk
mempertahankan hitung darah. Suplemen asam folat diperlukan
karena seringnya kejadian hemolisis.

1. Allogeneic Hematopoietic Stem Cell


Penelitian mengenai stem sel akhir-akhir ini mengalami banyak
kemajuan sehingga dapat memberikan harapan bagi berjuta-juta
pasien dengan berbagai penyakit dari seluruh dunia,termasuk
mereka yang memiliki penyakit hematologi. HSC (Human Stem Cell)
merupakan sel yang mempunyai potensi besar. Stem sel dapat
berubah menjadi berbagai macam bentuk sel serta dapat
meregenerasi sel yang rusak oleh karena suatu penyakit ataupun
karena suatu injury. Ada cara distribusi pada HSCT, pertama stem
sel dapat langsung diimplementasikan pada organ atau jaringan.
Kedua, stem sel dapat diinjeksi melalui pembuluh darah,
dimana ketika diinjeksikan sistem sel tersebut secara otomatis akan
langsung menuju medula spnalis. Hampir semua pasien CMPD
mungkin dapat disembuhkan dengan HSCT. Terbatasnya
pendekatan ini karena faktor umur dan kondisi pasien, dengan
menggunakan donor yang cocok dan serasi dan morbiditas serta
mortalitas yang dihubungkan dengan prosedur. Adanya fibrosis
medla sinalis dan splenomegali bukanlah hambatan untuk HSCT.

341
HSCT sepertinya merupakan satu-satunya terapi kuratif yang
cukup potensial pada mielofibrosis. Pasien dengan usia <50
tahun, yang disertai dengan anemia, didapatkan adanya
abnormalitas sitogenetik serta ditemukannya sel blast (>1%)
dalam darah sebaiknya perlu dipertimbangkan untuk dilakukan
HSCT.

Gambar1. Pengobatan dengan menggunakan Stem cell.

2. Terapi androgen dan kortikosteroid


Hormon androgen dapat diberikan pada anemia akibat
mielofibrosis. Dengan respon rate 29-57 %. Perbaikan spontan
mungkin dapat terjadi pada mielofibrosis, sehingga respon terhadap
terapi perlu dianalisa secara cermat. Sebelum terapi dengan
androgen, pria perlu diskrining kelenjar prostat baik secara fisik
maupun dengan antigen spesifik untuk prostat, pada perempuan
perlu diperhatikan adanya efek virilisasi. Beberapa skedul dosis
telah memberikan hasil cukup baik, diantaranya androgen sintetik
oral: fluoksimesteron, dengan dosis: 2-3 kali 10 mg sehari. Bila tidak
ada perbaikan setelah 3-6 bulan terapi, androgen harus
dihentikan. Beberapa pasien yang tidak berespon terhadap
androgen, kemungkinan memberikan respon terhadap preparat lain,
karena daya hidup eritrosit memendek pada mielofibrosis,

342
kemungkinan kortikosteroid adrenal memperbaiki daya hidup
eritrosit dan memperbaiki anemianya. Prednison oral, dengan dosis
1 mg/kgbb sehari, memberikan respon pada 25-50 % pasien. Dosis
dimulai dengan prednisone 30 mg/hari, dengan kombinasi
fluoksimesteron 10 mg dua kali sehari. Bila terdapat respons
setelah satu bulan terapi, dosis prednisone diturunkan secara
tapering off, sedangkan fluoksimesteron dilanjutkan.

3. Kemoterapi
Kemoterapi jarang memberikan remisi hematologis, dan tidak
memberikan perubahan secara umum pada mielofibrosis, tetapi
mungkin sangat memberikan perbaikan pada gejala. Kemoterapi
dapat mengurangi splenomegali dan hepatomegali serta
memperbaiki anoreksia, pyrexia dan hiperhidrosis nokturnal sampai
70 % pasien, serta mengurangi leukositosis, trombositosis dan
anemia.Kemoterapi yang pernah digunakan: busulfan, melfalan, 6-
tioguanin dan hidroksiurea. Pada mielofibrosis pemberian
kemoterapi harus lebih hati-hati karena cenderung terjadi toksik
sum-sum tulang. Misalnya pemberian busulfan 2-4 mg/hari sudah
merupakan dosis maksimum yang dapat diberikan. Pasien harus
dimonitor secara frekuen dan kontinyu, terutama bila timbul
sitopenia.

4. Iradiasi
Pasien dengan hipersplenisme mungkin dapat memberikan
respon dengan iradiasi splenik, terutama bila ada kontraindikasi
untuk splenektomi. Hampir semua pasien mengalami perbaikan
keluhan nyeri dan ≥ 50 % terjadi pengurangan ukuran lien. Iradiasi
splenik akan memberikan perbaikan sitopenia, diberikan dengan
fraksi kecil dengan pemantauan ketat. Dosis fraksi 15-100 cGy, 2-3

343
kali per minggu. Hasil sementara baru dapat dilihat setelah
beberapa bulan terakhir.

2.6. Penunjang medis Myolofibrosis


Pemeriksaan fisik tersebut dilakukan untuk mencari tanda-tanda
myelofibrosis, seperti kulit pucat akibat anemia hingga
pembengkakan pada organ limpa. Di samping itu, dokter juga akan
melakukan pemeriksaan penunjang berikut ini:
1. Tes darah
Dokter akan melakukan tes hitung darah lengkap untuk dapat
mengetahui jumlah sel darah merah, sel darah putih, dan
trombosit. Dugaan myelofibrosis akan semakin kuat bila
jumlah sel darah terlalu banyak atau terlalu sedikit, serta
ditemukan sel darah yang bentuknya tidak normal.
2. Pemindaian
Pemindaian dengan USG perut dapat digunakan untuk melihat
apakah organ limpa membesar atau tidak. Pembesaran limpa
bisa menjadi tanda dari myelofibros
3. Aspirasi dan biopsi sumsum tulang

Biopsi dan aspirasi sumsum tulang dilakukan dengan


mengambil sampel darah dan jaringan sumsum tulang pasien
menggunakan jarum halus. Sampel jaringan tersebut kemudian
akan diperiksa di laboratorium untuk melihat gangguan yang
terjadi.
4. Tes genetik
Tes genetik dilakukan dengan mengambil sampel darah atau
sumsum tulang pasien untuk diperiksa di laboratorium.
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mencari mutasi gen di dalam
sel darah yang berhubungan dengan myelofibrosis.

344
BAB III

Pembahasan

Gambar 3.1 medula spinalis normal


Gambar 3.2 myelofibrosis dengan myeloid metaplasia

Gambar 3.3 myelofibrosis yang menimbulkan cicatrix di medula spinalis

345
Myelofibrosis terjadi ketika cyt/o induk di medula spinalis
mengalami mutasi atau perubahan DNA (gen). Cyt/o induk ini
seharusnya memiliki kemampuan untuk membelah diri menjadi beberapa
sel khusus yang membentuk haemo, seperti eritrosit, leukosit dan
trombosit.
Setelah itu, cyt/o induk haemo yang bermutasi akan bereplikasi dan
membelah sehingga akan semakin banyak sel yang berubah. Kondisi ini
menyeba
bkan efek serius pada produksi hemocyte dan menyebabkan
pertumbuhan cicatrix di medula spinali

346
BAB IV

PENUTUP

Dari makalah di atas diketahui bahwa myelofibrosis


merupakan disease di medula spinalis di kolagen membentuk
jaringan
fibrosis pada cavum sumsum. Hal ini terjadi karena pertumbuhan tidak
terkendali dari sel prekursor darah, yang akhirnya mengarah pada
akumulasi jaringan ikatdi sumsum tulang. Penyebabnya karena mutasi
atau perubahan gen (DNA) yang dialami oleh medula spinalis.
Normalnya, sel-sel induk tersebut mampu membelah diri, seperti
membelah menjadi leukosit, eritrosit, dan trombosit.Namun jika terjadi
mutasi pada gen atau DNA, proses membelah diri dan produksi pun
akan terganggu karena perubahan terjadi pada banyak sel.Selain
produksi sel darah yang mengalami gangguan, pada sumsum tulang pun
akan menjadi lokasi tumbuhnya cicatrix.

Pada penderita yang parah, penggunaan obat dan terapi diperbolehkan.


Namun, saat ini belum ada satu pun yang betul-betul bisa mengatasi
myelofibrosis secara langsung. , namun untuk meminimalisir risikonya,
sebaiknya lakukan pengecekan kesehatan teratur.

347
BAB V

TERMINOLOGI
1. Myelofibrosis = pergantian sumsum tulang dengan jaringan ikat

 Prefix =-

 Root = myel/o (sumsum), fibr/o (jaringan fibrosa)

 Suffix = osis (kondisi)

2. Splenomegaly = pembesaran pada limpa

 Prefix =-

 Root = spleen/o (limpa)

 Suffix = megaly (pembesaran)

3. Splenectomy = pemotongan pada limpa

 Prefix =-

 Root = spleen/o (limpa)

 Suffix = ectomy (pemotongan)

4. Hepatomegaly = pembesaran pada hati

 Prefix =-

 Root = hepat/o (hati)

 Suffix = megaly (pembesaran)

348
5. Osteosclerosis= suatu kondisi pengerasan tulang yang tidak normal

 Prefix =-

 Root = oste/o (tulang) scler/o (keras)

 Suffix = osis (kondisi)

349
DAFTAR PUSTAKA

Katsuto Takenaka, Kazuya Shimoda, & Koichi Akashi. Recent


advances in the diagnosis and management of primary myelofibrosis.
The Korean Journal of Internal Medicine; 2018.

Fanti Saktini, Santosa Santosa, & Sultana MH Faradz. JAK2


V617F Analysis in Indonesian Myeloproliferative Neoplasms Patients.
Journal of Biomedicine and Translational Research; 2015.

Larysa Poluben, Maneka Puligandla, Donna Neuberg, Christine


R Bryke, Yahsuan Hsu, Oleksandr Shumeiko, Xin Yuan, Olga
Voznesensky, German Pihan, Miriam Adam, Ernest Fraenkel, Roni
Rasnic, Michal Linial, Sergiy Klymenko, Steven P Balk, & Paula G
Fraenkel. Characteristics of myeloproliferative neoplasms in patients
exposed to ionizing radiation following the Chernobyl nuclear accident.
American Journal of Hematology; 2019.

M Tondel, B Persson, & J Carstensen. Myelofibrosis and


benzene exposure. Occupational Medicine (Oxford, England); 1995.

Prithviraj Bose & Srdan Verstovsek. Updates in the


management of polycythemia vera and essential thrombocythemia.
Therapeutic Advances in Hematology; 2019.

Ruben A. Mesa, Yun Su, Adrien Woolfson, Josef T. Prchal,


Kathleen Turnbull, Elias Jabbour, Robyn Scherber, Alan L. Shields,
Meaghan Krohe, Funke Ojo,6 Farrah Pompilus, Joseph C. Cappelleri, &
Claire Harrison. Development of a symptom assessment in patients with

350
myelofibrosis: qualitative study findings. Health and Quality of Life
Outcomes; 2019.

John O. Mascarenhas, Attilio Orazi, Kapil N. Bhalla, Richard E.


Champlin, Claire Harrison, & Ronald Hoffman. Advances in
myelofibrosis: a clinical case approach. Haematologica; 2013.

Alessandra Carobbio, Guido Finazzi, Juergen Thiele, Hans-


Michael Kvasnicka, Francesco Passamonti, Elisa Rumi, Marco Ruggeri,
Francesco Rodeghiero, Maria Luigia Randi, Irene Bertozzi, Alessandro M
Vannucchi, Elisabetta Antonioli, Heinz Gisslinger, Veronika Buxhofer-
Ausch, Naseema Gangat, Alessandro Rambaldi, Ayalew Tefferi, &
Tiziano Barbui. Blood tests may predict early primary myelofibrosis in
patients presenting with essential thrombocythemia. American Journal of
Hematology; 2012.

T M Siniluoto, S A Hyvärinen, M J Päivänsalo, M J Alavaikko, &


I J Suramo. Abdominal ultrasonography in myelofibrosis. Acta
Radiologica; 1992.

Tariq I Mughal, Kris Vaddi, Nicholas J Sarlis, & Srdan


Verstovsek. Myelofibrosis-associated complications: pathogenesis,
clinical manifestations, and effects on outcomes. International Journal of
General Medicine; 2014.

Clodagh Keohane, Deepti H Radia, & Claire N Harrison.


Treatment and management of myelofibrosis in the era of JAK inhibitors.
Biologics: Targets and Therapy; 2013.

351
MYELOMA MULTIPLE

Dosen pengempu

Dr.R.A. Rengganis Ularan, MM

Disusun Oleh :

Nafira Fatehayuningsari 205099

D3 RMIK

2021

352
BAB I

PENDAHULUAN

Multiple myeloma adalah kanker sel plasma. Sel plasma normal


ditemukan di sumsum tulang dan merupakan bagian penting dari sistem
kekebalan tubuh. Sistem kekebalan tubuh terdiri dari beberapa jenis sel
yang bekerja sama untuk melawan infeksi dan penyakit lainnya. Limfosit
(sel getah bening) adalah salah satu jenis utama sel darah putih dalam
sistem kekebalan tubuh dan termasuk sel T dan sel B. Limfosit berada di
banyak area tubuh, seperti kelenjar getah bening, sumsum tulang, usus,
dan aliran darah.

Pertumbuhan myeloma multipel dalam sel plasma sampai


saat ini belum diketahui secara pasti, namun perubahan tertentu dalam
DNA dapat menyebabkan sel-sel plasma berubah menjadi kanker. DNA
adalah bahan kimia yang membawa petunjuk pada hampir semua sel-
sel dalam tubuh. Beberapa gen berisi instruksi untuk mengontrol
ketika sel tumbuh dan membelah. Transformasi dari sel B menjadi sel
plasma ganas melibatkan proses yang panjang termasuk abnormalitas
genetik multiple .yang pada akhirnya sel plasma menjadi ganas dengan
profeliferasi yang tidak terkendali.limsofit B mulai disumsum tulang dan
berpindah ke kelenjar getah bening saat limfosit B dewasa.dia akan
menampilkan protein yang berbeda pada permukaan selnya.ketika
limsofit B diaktifkan untuk mengeluarkan antibodi.dikenal sebagai sel
plasma.

353
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Dan Fisiologi

2.2 Pengertian Myeloma Multiple

Multiple myeloma adalah kanker yang terjadi pada cyt plasma, jenis
leukosit yang dihasilkan dari medulla. Cyt plasma normalnya
menghasilkan protein yang disebut antibodi untuk membantu melawan
infeksi. Pada multiple myeloma, cyt plasma menjadi meningkat dari
kadar normal. Karena itu protein antibodi yang dihasilkan juga ikut
meningkat. Masalah kesehatan yang diakibatkan oleh kondisi ini dapat
berefek pada osteo, sistem imun, nephros dan kadar eritrosit.

354
2.3 Pathofisiologi Myeloma Multiple

multiple myeloma diketahui berasal dari sel plasma premaligna


asimptomatik yang bernama monoclonal gammopathy of undetermined
significance (MGUS). Sel plasma sendiri berasal daril Limfosit B yang
nantinya secara normal akan membentuk immunoglobulin yang berperan
dalam imunitas. Sel myeloma, sebagai klon abnormal sel plasma,
berasal dari post-germinal center plasma cell di nodus kelenjar limfa,
yang nantinya akan bermuara ke sumsum tulang.

2.4 Diagnosis Myeloma Multiple


Diagnosis :
Multiple myeloma memiliki manifestasi klinis tersering berupa nyeri
tulang. Pada pemeriksaan laboratorium, ditemukan anemia normokrom
normositer pada hampir seluruh pasien. Selain itu juga ditemukan
imunoglobulin monoklonal pada serum atau urin pasien. Imunoglobulin
monoklonal (protein M) merupakan tanda dari penyakit sel plasma,
seperti multiple myeloma, MGUS dan Waldenstrom macroglobulinemia
yang dapat dibedakan dengan melakukan pemeriksaan lanjutan.
Diagnosis banding :
- Waldenstrom's Macroglobulinemia: Pada penyakit ini tipe protein M nya
adalah IgM, selain itu gambaran klinisnya juga berbeda dengan MM.
- Monoclonal Gammopathy of Undetermined Significance (MGUS):
Kondisi premaligna ini ditandai dengan tidak ditemukannya kerusakan
organ, kadar Serum monoclonal protein yang kurang dari 3 g/dl serta
klon sel plasma sumsum tulang berjumlah kurang dari 10%.
- Smoldering Multiple Myeloma: Smoldering multiple myeloma artinya
myeloma asimptomatik, sehingga tidak ditemukan adanya kerusakan
organ pada pasien, tetapi memiliki kadar protein Monoklonal 3 g/dl atau
lebih. Dari pemeriksaan sumsum tulang, klon sel plasma mencapai 10%
hingga 59%

355
- Tes laboratium multiple myeloma :
1. Tes darah: diperiksa jumlah sel darah dan substansi lainnya. Myeloma
multiple menyababkan tingginya kadar plasma sel dan kalsium.
2. Tes urin :labotarium memeriksa Bence Jones protein tipe dari protein
M dalam urin.
3. Radiologi : memeriksa adanya lesi osteolitik atau tulang yang patah.
4. Biopsi : cara untuk mengetahui sel mieloma ada di sumsum
tulang
- Ada 2 cara untuk mengambil sumsum tulang
1. bone marrow aspiration: menggunakan jarum yang tipis untuk
mengambil sample
2. bone marrow biopsy : menggunakan jarum yang padat/rapat untuk
mengambil potongan tulang dan sumsum tulang

2.5 PENATA LAKSANAAN Myeloma Multiple

Kuratif dan preventif

pengobatan multiple myeloma telah berubah secara dramatis dalam


dekade terakhir. Definisi penyakit telah diperbarui untuk memasukkan
biomarker yang sangat spesifik selain penanda kerusakan organ akhir.
Sistem pementasan telah direvisi untuk menggabungkan kedua ukuran
beban tumor dan biologi penyakit. Kemajuan dalam terapi telah
menghasilkan peningkatan yang nyata dalam kelangsungan hidup
secara keseluruhan. Obat baru yang diperkenalkan dalam beberapa
tahun terakhir termasuk carfilzomib, pomalidomide, panobinostat,
ixazomib, elotuzumab, dan daratumumab. Dalam ulasan ini, kami
menguraikan pendekatan saat ini untuk diagnosis, prognosis, dan
pengelolaan multiple myeloma.

2.6 Penunjang Medis Myeloma Multiple

Pemeriksaan laboratorium pada myeloma multiple

1. Laboratorium

356
a. Tes emia : diperiksa jumlah haemocyt dan substansi
lainnya. Myeloma multiple menyababkan tingginya kadar
plasma cyt dan kalsium.
b. Tes urin :labotarium memeriksa Bence Jones protein tipe
dari protein M dalam urin.
2. Radiologi
memeriksa adanya lesi osteolitik atau osteo yang patah.
3. Endoskopi
a. Biopsi
cara untuk mengetahui cyt mieloma ada di medulla

357
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 gambar Myeloma Multiple

Normal abnormal

Multiple Myeloma ditandai dengan adanya proliferasi neoplastik


>10% sel plasma di medulla . Beberapa bukti menunjukkan bahwa
lingkungan mikro medulla sel-sel tumor berperan penting dalam
patofisiolgi MM. Etiologi MM sampai saat ini belum dapat dipastikan.
Berbagai faktor seperti genetik, inflamasi kronik, lingkungan atau
pekerjaan, radiasi, MGUS, dan infeksi diduga berperan sebagai etiologi
MM.
Myeloma cyt dapat menyebabkan cyt lain (osteoklast)
menghancurkan bagian padat dari osteo dan menyebabkan lesi osteolitik
osteo melemah dan dapat memberikan risiko osteo patah.
Efek yang terjadi pada tubuh jika terkena myeloma multiple
adalah :
1. Pada haemo
 myeloma cyt yang terus bertambah dapat
mempengaruhi produksi haemocyt lainnya di
medulla
• Penurunan leukosit dan memberikan risiko infeksi
• Penurunan eritrosit ( anemia (60%)

358
• Penurunan trombosit sehingga terjadi gangguan pembekuan
haemo.
2. Pada nephros
Penurunan fungsi nephros
3. Osteo
85% pasien mengalami kerusakan osteo. Paling sering di tulang
belakang, tulang bokong, dan tulang rusuk
3.2 Penyebab Multiple Myeloma
Penyebab multiple myeloma belum diketahui secara pasti.
Namun, kondisi ini sering dikaitkan dengan MGUS (monoclonal
gammopathy of undetermined significance). Sekitar 1 dari 100 orang
yang menderita MGUS diperkirakan akan mengalami multiple myeloma.

359
BAB IV
PENUTUP
Multiple myeloma adalah kanker sel plasma. Sel plasma normal
ditemukan di sumsum tulang dan merupakan bagian penting dari sistem
kekebalan tubuh. Multiple myeloma memiliki manifestasi klinis tersering
berupa nyeri tulang.
Multiple Myeloma ditandai dengan adanya proliferasi neoplastik
>10% sel plasma di medulla . Beberapa bukti menunjukkan bahwa
lingkungan mikro medulla sel-sel tumor berperan penting dalam
patofisiolgi MM.
Penyebab dari myeloma cyt adalah dapat menyebabkan cyt lain
(osteoklast) menghancurkan bagian padat dari osteo dan menyebabkan
lesi osteolitik osteo melemah dan dapat memberikan risiko osteo patah.
Penunjang medis yang bisa dilakukan untuk penderita myeloma
multiple adalah tes haemo,tes urin, radiologi, dan biopsi.

360
BAB V

TERMINOLOGI
1. Myeloma = neoplasma ganas dari cyt plasma mengenai osteo
 Prefix :-
 Root :myel/o (sumsum tulang belakang)
 Suffix : oma (tumor )
2. Anemia = sel darah merah kurang
 Prefix : an (tanpa)
 Root : emia (darah)
 Suffix :-
3. Macroglobulinemia = peningkatan kadar makroglobin dalam
darah
 Prefix : macro (besar)
 Root :globulin(semua kelas protein), emia (darah)
 Suffix :-

361
DAFTAR PUSTAKA

Fauziah,Rizki (2017)penyakit multiple myeloma master thesis institut


teknologi sepuluh november.
Sinta(2010) multiple myeloma,unud
S.vincent rajkumar MD 2016 multiple myeloma diagnosis and treatment
Munshi NC,tricot G,Desikan R,et al.clinial activity of arsenic trioxide for
the treatment of multiple myeloma 2002,16:1835-1837
Philip R greipp,jesus san miguel 2005 myeloma multiple

362
METHAEMOGLOBINEMIA

DosenPengampu :
dr. R. A. RengganisUlaran, MM

DisusunOleh :

NOVELLIANE DIVITA S 205022


MUHAMAD BAGUS SAJIWO 205060
NAFISAH YUNIANTORO 205100

D3 RMIK
2021

363
BAB I
PENDAHULUAN
Methaemoglobinemiaadalahkondisipeningkatanmethaemoglobi
ndalamdarah/haem( Medical Centric, 2021).
Methaemoglobinmerupakanpigmenhematogen yang dibentukdari
hemoglobin melaluioksidasi atom
besidarikeadaanferomenjadiferi(Dorland WAN Edisi 29,2015).
Etiologidaripenyakitinidapatdisebabkanolehefeksampingobat-
obatanataupaparanbahankimiadandapatditurunkansecaragenetik
(herediter).
Biasanyajumlahzatinidalamtubuhmanusiahanyasatupersen.Sela
inmengubahkulitmenjadibiru,
Methemoglobinemiamembuatsejumlahpenyakitlain, sepertikejang-
kejangkelainanjantung, hinggamenimbulkankematian. Hal
itudisebabkankarenaketidakmampuantubuhmengoksidasimethemoglobin
yang membawazatbesi.

Penyakitinipertama kali diketahuidarikasussatukeluarga di


Kentucky, AmerikaSerikat yang
seluruhanggotakeluarganyamengalamipenyakitserupaselama 200
tahunterakhir.Padakota-kotabesar di Amerika,
angkakejadiankasusmethemoglobinemiaterusmeningkatdaritahun 1945
yang berjumlah 139 kasus, hinggatahun 2011 menjadiberjumlah 537
kasus. Hal iniditimbulkanakibatsemakinbanyaknyapencemaran air,
meningkatnyaaktivitas di daerahindustrialisasi, polusitanahdanudara,
buruknyagayahidupjugameningkatnyapenyakitmetabolis (Austin, 2013).

364
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 AnatomidanFisiologi
Didalamtubuhmanusiadarah (haeme) merupakankomponen yang
pentinguntukmenjagakondisifisiologis.Karenahaememempunyafungsiuta
mayaitusebagaialattransportasidenganmembawazat-zat yang
dibutuhkanolehsel-seldalamtubuh, antara lain O2, CO2, zatmetabolisme,
hormon, nutrisi (glukosa, vitamin dan protein) danelektrolit.
Haemesendirimempunyai 2 komponenyaitu plasma darah
(berfungsisebagaisistempenyanggauntukmempertahankankeadaanasam
-basa, melaluikandunganelektrolit yang terkandungdidalamnya) dansel-
seldarah (hemocyte), terdirisekitar 55% plasma darahdan 45%
hemocyte.

Gambar 2.1.1KomponenDalamDarah
Hemocytemeliputi :
- Seldarahmerah (Eritrosit) :berfungsidalamtransportasi O2dan
CO2.
- Seldarahputih(Leukosit)
:berperandalamimunitasataupertahanantubuhterhadapbendaasin
gmaupunmikroorganisme. Leukositsendiridibagimenjadi 2 :

365
1. Granulosit ( bernukleuskecil ), terdiriatas :
- Neutrofil
- Eosinofil
- Basofil
2. Agranulosit ( nukelusbesar), terdiriatas :
- Limfosit
- Monosit
- Kepingdarah (Trombosit) :berfungsidalam proses
pembekuanhaeme, yang berperanpentinguntuksistemhemostasis
(proses penghentianperdarahansecaraspontandariVascular yang
mengalamikerusakan) dalamtubuh.

2.2 DefinisiMethaemoglobinemia
Menurut Medical Centric, (2021)
methaemoglobinemiamerupakankondisipeningkatanmethaemoglobindala
mhaeme. Dengan kata lainsuatukelainanpadahaeme yang
menghasilkanjumlahmethaemoglobin yang abnormal atauberlebih.
PenyakitiniditandaidenganwarnakulitkebiruanataudikenaldenganCyanosi
s, biasadijumpaipadalabial dandigitimanus.MenurutKamusKedokteran
Dorland, (2015) Methaemoglobinmerupakanpigmenhematogen yang
dibentukdari hemoglobin melaluioksidasi atom besidarikeadaanfero
2+ 3+
(Fe ) menjadiferi (Fe ). SedangkanHemoglobin (Hb)
adalahzatwarnamerahdariseldarahmerah (eritrosit) yang
berfungsimengikat oxygen (O2) dalamparu-paru (pulmo)
denganmembentukoksihemoglobin, melaluisistemKardiovaskular,
zatinimencapaisemua organ danjaringan, di manaO2dilepaskanlagi
(KiranaRahardja, 2013). KarenakelainaniniHb yang membawa
O2tidakdapatmenyalurkannyakesel-seltubuh,
jikakadarmethaemoglobinberlebihmaka proses pendistribusian
O2akanterganggudanakibatnyaselakankekurangan O2.

366
Gambar 2.1.2 Oksidasi Atom Besi

2.3 PatofisiologiMethaemoglobinemia
EtiologidaripenyakitMethaemoglobinemiabervariasi,
tergantungdarijenisnya.
1. Diturunkan ( Kongenital / Herediter)
Bawaangenetikdari orang tua yang memiliki gen
pembawadaripenyakitini. Memiliki 2 tipediantaranya :
 Tipe 1, eritrositkekuranganEnzim sitokrom-b5
reduktase(enzim yang
dapatmereduksimethemoglobinmenjadi hemoglobin
normal).

367
Gambar 3.3.1 Enzim Sitokrom-b5 Reduktase
 Tipe 2, ketikaEnzim sitokrom-b5
reduktasetidakberfungsidengan normal.
2. Didapat ( Acquired )
DisebabkanolehAdverse Drugs Reaction
(Efeksampingobat) ataupaparanbahankimiatertentu, seperti
:
- Benzocaine
- Lidocaine
- Metoclopramide ( antimietikmeredakannausea
danvomitus )
- Nitrogliserin
- Nitrat
- Phenytoin (obatkerasmengatasiSpasm)

Symptoms dan Sign PadaPenderitaMethaemoglobinemia


Gejala( Symptoms) danTanda ( Sign ) yang
dialamipenderitasangatbervariasimenurutjenisdanpenyebabnya.
Biasanyaditandaridenganwarnakebiruan( Cyanosis) terutamapada labial
dandigitimanus. Karenatubuhkekurangan O2, makakomplikasiatau
symptoms lain sepertidibawahinidapatterjadi :

368
- SakitKepala ( Cephalgia)
- Pusing ( Vertigo )
- Cepatlelah
- Kejang ( Spasm )
- Mual ( Nausea )
- Muntah ( Vomitus )
- SeranganJantung ( Cardiac Attack )
- Koma
- Kematian

2.4 Diagnosadandiagnosa banding dariMethaemoglobinemia


Untukmendiagnosismethaemoglobinemiadokterbiasanyaakanmemi
ntauntukdilakukantespenunjangkesehatan, seperti :
- Tes lab darah, meliputi :
1. Haemalengkap
2. MemeriksaEnzim
3. Warnahaema
4. Tingkat nitritdalamhaema
5. Kadar O2 dalamdarah ( Pulse Oximetri )
- Teslaboratorium ( CT-Scan, Rontgen, tesfungsiginjal (renal)
danhati (hepar))
- Pemeriksaanfisik (
mengecekpenderitaapakahmengalamiCyanosis atautidak

2.5 PenatalaksanaanMethaemoglobinemia
KuratifterhadappenderitaMethaemoglobinemiaberbeda-beda,
padapenderitadengantipeparah, dapatdilakukan :
- Rutintransfusihaeme,
sebelumitudilakukanpemeriksaanpenunjangberupateshaemel
engkap.

369
- Terapioksigenhiperbarik( Hyperbaric Oxygen Therapy )
memberikan O2
murnididalamruangankhususbertekananudaratinggiuntukdhiru
ppasien.
- Pemberianobat ( Methylene Blue, Aspirin danAsamKarbonat)
UntukpenderitaMethaemoglobinemia yang
disebabkanolehfaktorkongenitaltidakmemungkinkanuntukdilakukannyapr
eventifkarenafaktorgenetik yang
berperandidalamnya.NamununtukmeminimalisirrisikodariMethaemoglobi
nemia yang didapat, dapatdilakukanhaldibawahini:
- Berianakmakananpadatsesuaidenganusianya.
- Saatmenggunakan air sumuruntukminum,
lubangsumurharusdirawatdenganbaikdantertutuprapatuntukm
enghindarikontakdenganbahankimia yang mengancamjiwa.
- Jikaharusmenggunakannya, harapbaca label benzocaine
dengantelitidanhindaripengunaanprodukinipadaanakdibawahu
sia 2 tahun.
- Hindarimerebus air sumur agar kandungannitrattidaknaik.
Bahkanmenggunakan filter danpemurni air
sekalipuntidakdapatsecaraefektifmenghilangkannitratataumen
gurangikandungannya.
- Permeriksaankesehatansecarateratur,
terutamabilamenggunakanobat-obatantertentu.

2.6 PenunjangMedisMethaemoglobinemia
TerapiOksigenHiperbarik (Hyperbaric Oxygen Therapy)
Hyperbaric Oxygen Therapy (HBO)
adalahsuatumetodepengobatandenganmenghirup O2murni (100%)
secaraterusmeneruspadatubuhdengantekananudaralebihbesardaritekan
anatmosfer normal (AryaBrahmanta, 2021).Terapi HBO
bergunauntukmeningkatkan O2

370
dalamhaemedanmenghasilkantekananparsialtinggi yang
berperanuntukregenerasijaringan.
Terapi HBO inidilakukanpadasuaturuanghiperbarik (hyperbaric
chambers) yang dibedakanmenjadi 2,
yaitumultiplacedanmonoplace.Multiplacedapatdigunakanuntukbeberapap
enderitadalamsaturuangdenganwaktu yang bersamaandenganbantuan
masker tiappasiennya,
sedangkanmonoplacedigunakanuntukpengobatansatu orang
pasiensajadalamsaturuang.

Gambar 3.2.1 RuangHiperbarik

Gambar 3.2.2 HiperbarikMultiplace

371
Gambar 3.2.3 HiperbarikMonoplace

372
BAB III
PEMBAHASAN
GambardariPenyakitMethaemoglobinemia

Gambar 3.1.1 PerbedaanPadaDigiti Manus Normal danPenderita

Gambar 3.1.2 Warna Labial Penderita

Gambar 3.1.3 Methaemoglobinemia Pada Bayi baru lahir

373
BAB IV
PENUTUP
Methaemoglobinemiamerupakansuatukelainanpadahaeme yang
menghasilkanjumlahmethaemoglobin yang abnormal atauberlebihan,
jugamerupakam hemoglobin yang membawa O2,
tetapitidakdapatmenyalurkan kesel-seltubuh, jikakadarberlebihanmaka
proses perindustrian O2akantergangguadanberakibatkekurangan O2.
Seperti yang sudahdijelaskandiatas,
penyakitiniditandaidenganwarnakulitkebiruanataudikenaldenganCyanosi
s, biasadijumpaipadalabialdandigitimanus.

374
BAB V
TERMINOLOGI MEDIS

1. Methaemoglobinemia
Preffix met- = perubahan
Root Haem/o = darah
Globin = molekul protein
Suffix  -emia = kondisidarah
2. Methaemoglobin
Preffix met- = perubahan
Root Haem/o = darah
Globin = molekuldarah
Suffix  -
3. Haemoglobin
Preffix -
Root Haem/o = darah
Globin = molekuldarah
Suffix -
4. Haemostasis
Preffix -
Root Haem/o = darah
Suffix  stasis = menghentikan
5. Cyanosis
Preffix -
Root  cyan/o = biru/kebiruan
Suffix osis = kondisi/keadaan

375
DAFTAR PUSTAKA

Brahmanta, Arya. 2021.


PotensiTerapiHiperbarikOksigendalamOrtodonti
:PercepatanPergerakan Gigi. Jakarta: Airlangga University
Press.
Brunato, Fabio, etc. 2003. ―A Severe Methaemoglobinemia Induced
by Nitrates : A Case Report‖. Journal of Emergency
Medicine.4(10).326-330.
Cho Y, Park SW, etc. 2017. ―A Case of Methaemoglobinemia
Successfully Treated with Hyperbaric Oxygenation
Monotherapy‖. Journal of Emerg Med. 53(5):685-687.
Firani, Novi Khila. 2018. MengenaliSel-SelDarahdanKelainanDarah.
Malang: UB Press.
Ludlow, John T, etc. 2019. ―Methemoglobinemia”.The Journal of
National Center for Biotechnology Information.
M, Tamura dkk. 1987. ―PerbandinganStrukturalEritrositSapi,
OtakdanHati NADH-sitokrom b5 Reduktasedenganpemetaan
HPCL‖. JurnalBiokimia. 101(5): 114-59. Doi
:10.1093/oxfordjournals.jbchem.a121979
MD, Robert O Wright; William J Lewander MD & Alan D Woolf MD.
1999. The Journal of Annals of Emergency Medicine.5(34).
Hal 646-656
Neander, NelsGrauman; Carly A; Loner MD; Jason M &Rotoli
Md.2018. ‖The Acute Treatment of Methemoglobinemia in
Pregnancy‖ The Journal of Emergency Medicine. 5(54).Hal
685-689. https://doi.org/10.1016/j.jemermed.2018.01.038

376
Newman, Dorland W.A. 2015. KamusSakuKedokteran Dorland Edisi
29. Singapura: Elsevier.
Soeda, Akio; Hiroki Shibata, Takuya Morikawa, Kodai Suzuki, Shozo
Yoshida & Shinji Ogura. 2018. ―A New Mutation of Congenital
Methemoglobinemia Exacerbated After Methylene Blue
Treatment‖. The Journal of Wiley Online Library.2(05).199-
201.
Tjay, Tan HoandanKiranaRahardja. 2008. Obat-obatPentingKhasiat,
PenggunaandanEfek-efekSampingnya. Jakarta: PT Elex
Media Komputido.

377
PAROXYMAL NOCTURNAL
HEMOGLOBINURIA

Dosen Pengampu :
dr. R. A. Rengganis Ularan,MM

Disusun Oleh :
Nurul Izzah Ningsih 205063

D3 RMIK
2021

378
BAB I
PENDAHULUAN
Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria (PNH) adalah kelainan
kronis yang ditandai dengan terjadinya perdarahan di derma dan
adanya haema saat buang air kecil. Kondisi ini umumnya terjadi
pada saat pengidap sedang tidur di malam hari. Paroksismal
nokturnal hemoglobinuria merupakan kelainan haema yang sangat
jarang terjadi.
Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH) adalah suatu
kelainan kronis didapat (acquired) yang ditandai terjadinya hemolisis
intravaskuler dan hemoglobinuria yang pada umumnya terjadi pada
saat pasien tidur di malam hari. Hal ini disebabkan oleh kelainan
seluler karena mutasi somatic pada totipoten hematopoetic stem cell
yang menyebabkan kerusakan intrinsik pada membran erytrocyte
sehingga lebih rentan terhadap aksi lisis dari komplemen. Insiden
PNH ini tersering pada usia 30-40 tahun dimana prevalensi
terjadinya sangat jarang yaitu 2 dari 1 juta orang di dunia.
Kebanyakan langkah kuratif PNH adalah untuk meringankan
symtomp dan mencegah terjadinya komplikasi. Namun, bila kamu
hanya menunjukkan beberapa symptom anemia, dokter dapat
meresepkan suplemen asam folat dan zat besi untuk membantu
medulla memproduksi erytrocyte yang sehat.
Terapi lainnya yang bisa dilakukan untuk mengobati PNH
adalah transfusi darah, pemberian obat pengencer darah, cangkok
medulla, dan pemberian eculizumab (Soliris), yaitu satu-satunya
obat yang direkomendasikan untuk PNH. Fitrach Desfiyanda ( 2018
).

379
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Paroxymal Nocturnal


Hemoglobinuria
Salah satu jenis anemia, yaitu anemia hemolitik, adalah
berkurangnya kadar hemoglobin dari nilai normal akibat kerusakan
eritrosit yang lebih cepat daripada kemampuan medulla untuk
menggantikannya. Pada prinsipnya, anemia hemolitik dapat terjadi
karena defek molekular, abnormalitas struktur dan fungsi membran-
membran, dan karena faktor lingkungan seperti trauma mekanik
atau autoantibodi. Berdasarkan etiologinya anemia hemolitik dapat
dikelompokkan menjadi anemia hemolitik herediter dan didapat
(acquired). Anemia hemolitik herediter dapat disebabkan oleh defek
enzim misalnya pada defisiensi enzim G6PD (glukosa 6 fosfat
dehidrogenase), akibat hemoglobinopati misalnya pada thalassemia,
ataupun akibat defek membran misalnya sferositosis herediter.
Sementara anemia hemolitik didapat misalnya akibat proses
imunologi, mikroangiopati atau akibat infeksi. Joseph Partogi
Sibarani ( 2019 ).

2.2 Definisi Paroxymal Nocturnal Hemoglobinuria


Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH) adalah salah satu
dari anemia hemolitik yang didapat. PNH merupakan suatu kelainan
kronis didapat yang dikarakteristikkan dengan hemolisis
intravaskular dan hemoglobinuria terutama pada malam hari atau
menjelang pagi. Pertama kali dipublikasikan oleh Strubing pada
tahun 1882 tetapi gambaran klinis yang khas akan PNH pertama kali
dijelaskan oleh Marchiava dan Micheli di Italia, sehingga dulu

380
penyakit ini juga dikenal dengan disease Marchiava-Micheli.3
Insidensi PNH sangat bervariasi pada berbagai populasi dan lebih
sering terjadi di Asia Tenggara. Insidensinya bervariasi, mulai dari 1-
1,5 kasus/juta populasi pada satu literatur, hingga 3-6 kasus/juta
populasi pada literatur lain. Kasus ini lebih sering dijumpai pada usia
dewasa muda walaupun juga bisa dijumpai pada anak-anak dan
orangtua, namun tidak dijumpai perbedaan yang bermakna antara
pria dan wanita.
Paroksismal noktural hamoglonuria (PNH) merupakan
kelainan darah non- keganasan yang ditandai oleh ekspansi cyt
punca (stem cells) hematopoetik dan cyt matur progeny di mana
seluruh cyt mengalami dificiensi protein yang berhubungan dengan
pembentukan glycosilphosphatidy inositol anchored ( GPI anchored
) . GPI anchored merupakan struktu kompleks yang berfungsi
mengatur protein permukaan cyt hematopoetik sera lisis sel darah
yang dimediasi oleh komplemen ( complement mediated lysis).
Difisiensi ini menyebabkan membrane eritrosit lebih rentan
terhadap aktivitas lisis dati komplemen. Sebagai symptom klinis,
pasien akan mengalami anemia hemolitik. Joseph Partogi Sibarani
( 2019 ).
2.3 Etiologi Paroxymal Nocturnal Hemoglobinuria
PNH disebabkan karena adanya kelainan seluler akibat mutasi
somatik pada hematopoietic stem cell. Hal yang menyebabkan
terjadinya defisiensi
pembentukan glycosylphosphatidylinositol (GPI) anchored, antara
lain yang paling umum adalah decay accelerating factor (DAF,
CD55) dan membrane inhibitor of reactive lysis (MIRL, CD59). Hal
ini menyebabkan kerusakan intrinsik pada membran erytrocyte,
sehingga lebih rentan terhadap aksi lisis dari komplemen. Riadi
Wirawan. Ema Puspadewi. Anidin Wijanarko. Indah Gianawati
(2004).

381
2.4 Diagnosis Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria
Tampilan klinis yang utama dari PNH adalah anemia, sign
hemolisis, hemoglobinuria terutama pada malam hari atau
menjelang pagi hari dengan atau tanpa tanda-tanda trombosis.
Sebagai alat diagnosis, tes Ham telah dijadikan acuan untuk
diagnosis PNH dalam 2 dekade terakhir. Namun dengan
berkembangnya pengetahuan terhadap PNH, beberapa alat
diagnosis lain telah diajukan untuk PNH. Yang saat ini dijadikan alat
diagnosis baku emas adalah sitometri arus (flow citometry) yang
dapat menilai CD55 dan CD59.
Dari laboratorium dapat kita jumpai sign anemia
hemolitik seperti polikromasi dan retikulositosis serta pada hapusan
haema perifer yang sesuai dengan gambaran anemia hemolitik,
sering disertai gambaran anemia defisiensi besi, dapat pula
menyerupai anemia aplastik. Pada aspirasi medulla didapatkan
kesan hyperplasia eritropoesis atau hypoplasia. Pemeriksaan yang
sering dilakukan seperti HAM test dan sucrose water test dengan
hasil positif. Pada pemeriksaan urin didapatkan hemoglobinuria
atau, Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya konjungtiva
anemis, sklera ikterik serta splenomegali yang merupakan sign dari
reaksi hemolitik yang berlangsung kronik. Pada pemeriksaan
gambaran haema perifer ditemukan adanya gambaran eritrosit
normositik normokrom, polikromasi, fragmentosit, serta didapatkan
peningkatan dari LDH, bilirubin indirek, dan retikulositosis yang
merupakan sign adanya reaksi hemolitik. Pada urinalisa juga
didapatkan hemogloglobinuria sebagai sign reaksi hemolitik. Coomb
test didapatkan hasil negatif sehingga dapat dipikirkan etiologi
hemolitik pada pasien ini sebagai non-auto imun.

382
2.5 Penatalaksanaan Paroxysmal Nocturnal
Hemoglobinuria
Kuratif Paroxymal Nocturnal Hemoglobinuria
Tata laksana PNH masih sangat terbatas hingga saat ini.
Menurut sedana beberapa terapi standar yang diberikan pada
pasien PNH adalah transfusi darah dengan washed erythrocyte
( eritrosit cuci ), asam folat 1 mg/hari, sulfas ferosus 3 x 1 tablet
(bila terdapat deficiency besi), prednisone 20-60 mg/hari,
hormon androgen (fluoksimesteron 5-30 mg/hari, oksimetolon
10-50 mg/hari diberikan selama 6-8 minggu)- bila tidak ada
respon obat dihentikan-, antikoagulan (tidak terbukti bermanfaat
untuk mencegah terjadinya thrombosis), serta streptokinase
dan urokinase (bila ada trombosis). Adapun terapi definitive
PNH adalah transpaltasi sumsum tulang dan sel punca.
Transpaltasi sel punca merupakan terapi pilihan utama bagi
PNH yang sudah sukses dijalankan di Negara Negara maju.
Salah satu uji klinis di ranah PNH adalah GITMO (Gruppo
Italiano Trapianto Middolo Osseo) yang dilakukan oleh
sekelompok peneliti dan ahli hematologi dari University Napoli,
Italia. Studi ini berhasil melakukan analisis retrospektif terhadap
26 pasien PNH yang mendapat terapi transpaltasi sel punca
mulai dari tahun 1988 hingga 2006. Kesintasan bebas penyakit
selama 10 tahun (Kaplanmeier).
Preventif Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria

Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria bersifat genetik. Kondisi ini


terjadi karena mutasi genetik yang membuat tubuh
memproduksi erytrocyte secara abnormal. Cyt ini tidak
memiliki protein yang bertugas dalam melindungi mereka dari
sistem autoimun. Jadi, sistem imun menyerang erytrocyte
yang sehat.

383
Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria juga bisa disebabkan
oleh medulla yang lemah. Beberapa orang dengan jenis anemia
tertentu, seperti anemia aplastik lebih berisiko
mengidap paroxysmal nocturnal hemoglobinuria. Anemia
aplastik sendiri merupakan kelainan haema yang serius, ketika
myelo berhenti memproduksi sel darah baru. Langkah
penanganan pada pengidap paroxysmal nocturnal
hemoglobinuria adalah meringankan symptom yang ada, untuk
mencegah terjadinya komplikasi. kuratif juga akan dilakukan
tergantung dari seberapa parah kondisi pengidapnya. Jika
pengidap hanya menunjukkan symptom seperti anemia,
biasanya dokter akan memberikan zat besi dan asam folat guna
membantu myoli memproduksi erytrocyte yang sehat.

2.6 Penunjang Medis

1. Tes darah. Pemeriksaan ini dilakukan untuk menghitung jumlah


sel darah merah dalam tubuh.
2. Tes flow cytometry. Pemeriksaan ini adalah lanjutan dari tes
darah, yang bertujuan untuk memeriksa apakah sel darah
merah memiliki protein pelindung.
3. Tes kadar zat besi. Pemeriksaan ini dilakukan untuk
mengetahui kadar zat besi dalam darah. Dari hasil pemeriksaan
ini dapat ditentukan bagaimana langkah mengobati PNH.
4. Pengambilan sampel sumsum tulang. Pemeriksaan ini
dilakukan dengan mengambil sampel cairan dari jaringan lunak
di dalam tulang guna mendiagnosis kelainan darah.
5. Tes penggumpalan darah. Pemeriksaan ini hanya dilakukan jika
dokter mencurigai adanya penggumpalan darah, dengan
mencari tahu jenis faktor pembeku darah apa yang berkurang
dari dalam tubuh.

384
BAB III
PEMBAHASAN
Gamba 3.1 Disease Paroxymal Nocturnal Hemoglobinuria

Gambar 3.2 PNH di dalam sel-sel

385
BAB IV
PENUTUP
Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH) adalah suatu kelainan
kronis didapat (acquired) yang ditandai terjadinya hemolisis intravaskuler
dan hemoglobinuria yang pada umumnya terjadi pada saat pasien tidur
di malam hari. Merupakan kelainan yang sangat jarang, hingga saat ini
belum ada laporan mengenai disease ini yang dipublikasikan secara
resmi di Indonesia

386
BAB V
TERMINOLOGI MEDIS

 Hemoglobinuria
(hemoglobin bebas di dalam urine)
P=-
R = hemoglobin (pigmen pembawa oksigen pada eritrosit)
Uria (air seni)
S=-

 Anemia
(kurang darah)
P = an (tidak ada)
R = mia (darah)
S=-

 Hyperplasia
(melebihi jumlah sel )
P = Hyper (melampaui)
R = Plasia (jumlah sel)
S=-

 Immunology
(studi yang mempelajari tentang system kekebalan)
P=-
R = Imun (system kekebalan)
S = logy (studi tentang)

387
 Dyspnea
(pernafasan ynga sukar atau sesak)
P = Dys (sulit)
R = pnea (bernafas)
S=-

388
DAFTAR PUSTAKA
Laurentius A. Pramono. Birry Karim. Martha Iskandar. Asnawi yanto (
2015 ). Diagnosis dan Tata laksana Paroksismal Nokturnal
Hemoglobinuria. 1-19
Joseph Partogi Sibarani ( 2019 ). Seorang Pria 21 Thun dengan Urin
Berwarna Gelap : Sebuah Laporan Kasus. 19-20
Fitrach Desfiyanda ( 2018 ). Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria
(PNH) Dengan Hypercoagulable State.
Riadi Wirawan. Ema Puspadewi. Anidin Wijanarko. Indah Gianawati
(2004). Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria dengan disfagia :
suatu laporan kasus.
Niahimura J, Inoue N, Wada H, Ueda E, Pramoonjagi P, Hirota T. A
patient with paroxysmal nocturnal hemoglobinuria bearing four
independent PIG0A mutant clones. Blood 1997; 89(9): 3470-76.

389
POIKILOCYTOSIS

Dosen Pengampuh :

dr. R. A. Rengganis Ularan, MM

Disusun oleh:

Sandyasti Ovilia DwiMonda (205111)

D3 RMIK
2021

390
BAB I

PENDAHULUAN

Poikilocytosis adalah istilah yang digunakan untuk sel darah


merah (eritrosit) berbentuk abnormal dalam darah. Se darah merah
normal (juga disebut eritrosit) biasanya berbentuk cakram lebih tipis
dibagian tengah daripada dibagian tepi, dengan diameter 6,2 hingga 8,2
mikrometer dengan ketebalan pada titik paling tebal 2 hingga 2,5
mikrometer, dan ketebalan pada bagian tengah berpusat 0,8-1
mikrometer. Poikilocytosis umumnya mengacu oada peningkatan eritrosit
berbentuk abnormal yang memmbentuk hingga 10% atau lebih dari
eritrosit. Poikilocytes mengkin berbentuk datar,memanjang,seperti titik air
mata, berbentuk bulan sabit, atau mereka memiliki gambaran seperti
titik atau duri, bahkan mungkin memiliki bentuk abnormal lainnya.
Poikilocytosis bisa disebut juga dengan deformasi eritrosit.
Eritrosit menjadi kasar dan berduri, terkadang berbentuk bintang. Hal ini
disebabkan tingginya keasaman cairan ekstraseluler yang merusak
konsistensi eritrosit di kulit (D'Hiru 2013) Berikut ini dijelaskan fungsi
sistem peredaran darah manusia menyuplai oksigen dan nutrisi yang
diperoleh dari sistem pencernaan diserap ke seluruh bagian tubuh. Gas
buang langsung masuk ke pulmo dalam bentuk karbon dioksida.
Mengembalikan produk sisa metabolisme ke ginjal untuk disekresi.
Menjaga suhu tubuh. Distribusi hormon yang mengatur fungsi sel-sel
dalam tubuh. Sistem peredaran darah melibatkan darah manusia
(pembawa utama), cardio dan pembuluh darah (sistem peredaran
darah). Pada saat yang sama, fungsi darah berikut ada di dalam tubuh.
Transportasi (esensi makanan, oksigen, karbon dioksida, produk
samping metabolisme, air, hormon, obat-obatan) Termoregulasi
(termoregulasi).Imunologi (mengandung antibodi tubuh sendiri untuk
melawan virus dan bakteri). Homeostasis (keseimbangan zat pengatur,

391
nilai pH, pengatur). Ia melakukan proses pembekuan darah untuk
menutup luka (pembekuan darah). Darah sendiri terdiri dari beberapa
unsur yaitu plasma, sel darah merah (koagulasi), eritrosit, leukosit dan
keping darah (platelet).

392
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Aatomi dan Fisiologi

Darah merupakan komponen yang penting bagi makhluk hidup.


Dalam kondisi fisiologis, darah berada di dalam pembuluh darah.
Fungsi darah yaitu, sebagai pengangkut oksigen, mekanisme
pertahanan tubuh terhadap infeksi serta berperan pada mekanisme
hemostatis. Darah teerdiri atas dua komponen utama yaitu plasma
darah dan korpukuli (eritrosit, lekosit, dan trombosit)

Eritrosit adalah sel darah yang tidak memiliki inti, dimana


tersusun dari protein hemoglobin. Eritrosit sendiri berbentuk seperti
cakram bikonkaf tanpa inti yang berdiameter 7,5 mikrometer dengan
tebal 2,6 mikrometer.

Tiap-tiap sel darah eritrosit mengandung 200 juta molekul


hemoglobin. Hb (hemoglobin) terdiri dari Heme dan Globin. Heme
terdiri dari Fe dan protoporfirin sedangkan Globin terdiri sepasang
rantai a dan non a. Fungsi kerja Hb adalah berikatan dengan O2
membentuk oksihemoglobin untuk dikirim ke jaringan. Reduce
hemoglobin (hemoglobin yang melepaskan ikatannya dengan O2)
merupakan bentuk ikatan hemglobinyang normal. (Enelyene,2010)

Anemia adalah penurunan jumlah massa eritrosit mulai dari


hemoglobin, hematocrit dan jumlah eritrosit itu sendiri, sehingga
menggaggu transport oksigen ke jaringan perifer.(Sandure,2011)

Poikilocytosis ialah keadaan dimana populasi eritrosit tampil


dengan bentuk yang bervariasi. Biasanya poikilocytosis bersamaan
dengan anisositosis. Meningkatnya poikilocytosis sering menunjukkan
adanya kelainan eritropoeisis yang disebabkan oleh defek sum-sum

393
tulang atau kelainan destruksi eritrosi. Dalam situasi normal, suatu
poikilocytosis merupakan penuaan eritrosit yang sejalan dengan
kekuatannya. Sebagian kecil dari membrannya terkelupas. Dalam
situasi yang abnormal, poikilocytosis menjadi sedemikian nyata
sehingga eritrosit terbentuk tetesan air mata (―teardrops‖). Jenis-jenis
poikilocytosis adalah sferosit,sistosit,sel target,sel bulan sabit,krenasi
sel,akantosit, tear drop cell, burr cell, dan ovalosit. (Anonim,2013)

2.2 Definisi Poikilocytosis


Poikilocytosis adalah istilah yang dapat muncul dalam
gambar darah dan berarti peningkatan jumlah poikilocytes yang
bersirkulasi dalam darah, yang merupakan sel-sl merah yang
memiliki bentuk abnormal. Eritrosit memiliki bentuk bulat, pipih dan
memiliki daerah pusat yang lebih ringan ditengah karena distribusi
hemoglobin. Karena perubahan dalam membrane eritrosit, mungkin
ada perubahan dalam bentuknya, menghasilkan sirkulasi eritrosiy
yang berbeda, dapat mengganggu fungsinya.

2.3 Patofisiologi Poikilocytosis


Etiologi

1. Poikilocytosis biasanya disebabkan leh kondisi lain. Kondisi


poikilocytosis dapat diturunkan atau didapat. Kondisi yang
diturunkan disebabkan leh mutasi genetik. Kondisi yang
didapat berkembang dikemudian hari.
2. Anemia sel sabit, penyakit genetic yang ditandai dengan
eritrosit dengan bentuk bulan sabit yang tidak normal .
3. Thalassemia, kelainan darah genetic dimana tubuh membuat
hemoglobin abnormal

394
4. Difisiensi piruvat kinase
5. sindrom Mcleod dimana kelainan genetic langka yang
memengaruhi saraf, cardio, darah,dan otak. Gejala biasanya
datang perlahan dan memulai pada pertengahan masa
dewasa
6. Sferositosis herediter
penybab poikilocytosis yang didapat meliputi.
7. Anemia difisiensi besi, bentuk paling umum dari anemia yang
terjadi ketika tubuh tidak memiliki cukup zat besi.
8. Anemia megaloblastik, anemia yang yang biasanya
disebabkan oleh kekurangan folat atau vitamin B12.
9. Anemia hemolitik autoimun, sekelompok gangguang yang
trjadi ketika sistem kekebalan secara kliru menghancurkan
eritrosit. Penyakit hati dan ginjal
10. Alkoholisme atau penyakit hati terkait alcohol
11. Keracunan timbal
12. Pengobatan kemotrapi
13. Infeksi parah
14. Kanker
15. myelofibrosis

Sign dan Sympom


Gejala utama poikilositosis adalah sel darah merah berbentuk
abnormal dalam jumlah yang signifikan (lebih dari 10 persen).Secara
umum, gejala poikilositosis bergantung pada kondisi yang mendasarinya.
Poikilositosis juga dapat dianggap sebagai gejala dari banyak gangguan
lainnya.

395
Gejala umum kelainan terkait darah lainnya, seperti anemia,
meliputi

 kelelahan
 kulit pucat
 kelemahan
 sesak napas
Gejala khusus ini disebabkan oleh kurangnya oksigen yang dikirim ke
jaringan dan organ tubuh.

2.4 Diagnosa & Diagnosa Banding Poikilocytosis

Semua bayi baru lahir di Amerik Serikat diskrining untuk


kelainan darah kinetik tertentu, sperti anemia sel sabit poikilocytosis
dapat didiagnosis selama tes yang disebut hapusan darah. Tes ini
dapat dilakukan selama pemeriksaan fisik rutin, atau jika anda
mengalami gejala yang tidak dapat dijelaskan. Selama pemeriksaan
darah, dokter mnyebarkan lapisan tipis darah pada mikroskop dan
menodai darah untuk membantu membedakan sel. Dokter kemudian
melihat darah dibawah mikroskop, dimana ukuran dan bentuk eritrosit
dapat dilihat. Tidak setiap eritrosit berbentuk abnormal. Orang dengan
poikilocytosis memiliki sel berbentuk normal yang bercampur dengan
sel berbentuk tidak normal. Terkadang, ada beberapa jenis poikilosit
yang ada dalam darah. Anda akan mencoba mencari tahu bentuk
mana yang paling umum. Selain itu, dokter akan menjalankan lebih
banyak tes untuk mengetahui apa yang menyebabkan eritrosit tidak
normal. Dokter mungkin akan menanyakan tentang riwayat kesehatan
seorang pasien. Pastikan untuk memberi tahu tentanng gejala yang
dirasakan atau jika anda sedang minum obat.

2.5 Penatalaksanaan Poikilocytosis


Pengobatan (kuratif)

396
Perawatan untuk poikilositosis tergantung pada apa yang
menyebabkan kondisi tersebut. Misalnya, poikilositosis yang
disebabkan oleh rendahnya kadar vitamin B-12, folat, atau zat besi
kemungkinan besar akan diobati dengan mengonsumsi suplemen
dan meningkatkan jumlah vitamin ini dalam makanan Anda. Atau,
dokter mungkin mengobati penyakit yang mendasari (seperti
penyakit celiac) yang mungkin menyebabkan defisiensi pada
awalnya.

Orang dengan bentuk anemia yang diturunkan, seperti anemia


sel sabit atau talasemia, mungkin memerlukan transfusi darah atau
transplantasi sumsum tulang untuk mengobati kondisinya. Orang
dengan penyakit hati mungkin memerlukan transplantasi,
sedangkan orang dengan infeksi serius mungkin memerlukan
antibiotik

Pencegahan (prefentif)

- Mengonsumsi vitamin B-12, folat serta mencukupi zat besi


didalam tubuh serta mengonsumsi suplemen dan
meningkatkan jumlah vitamin dalam makanan.
- menjaga tubuh agar tidak terlalu kelelahan, karena apabila
tubuh kelelahan maka darah akan mengalami kelainan
seperti darah rendah(anemia).

397
2.6 Penunjang Medis
Pemeriksaan Laboratorium:
Hb: Kadar Hb menurun. Karena terjadi kekurangan
Fe,sedangkan Fe diperlukan untuk sintesis Hb, maka yang
pertama menurun adalah kadar Hb. Biasanya dibawah 10 g%
jumlah eritrosit: Bisa normal atau sedikit menurun.
MCHC: menurun, akan tampak eritrosit yang pucat (hipokrom);
MCH: bisa normal atau sedikit menurun. Bila anemia bertambah
berat, eritrosit akan mengecil (mikrositer).
Poikilocytosis dapat didiagnosis selama tes yang disebut hapus
darah. Selama pemeriksaan darah, ahli teknologi medis
menyebarkan lapisan tipis darah pada kaca mikrooskop dan
menodai darah untuk membantu membedakan sel. Ahli teknologi
kemudian melihat darah dibawah mikroskop, dimana ukuran dan
bentuk eritrosit dapat dilihat.
Pemeriksaan yang menunjukkan adanya proses hemolitik berupa
poikilocytosis, sel eritrosit berinti,retikulositopeni pada awal
anemia. Kadar hemoglobin 3 g/dL 9g/dL, jumlah leukosit
bervariasi disertai gambaran sel muda(metamielosit,mielosit,dan
promielosit), kadang disertai trombositopeni.

398
BAB III

PEMBAHASAN

Gambar 3.1 perbedaan eritrosit normal dengan Poikilocytosis

NORMAL POIKILOCYTOSIS

STEROSIT SEL SASARAN(TARGET CEL)

OVALOSIT STOMATOSIT

Gambar 3.2 Cara komperatif poikilocytesis


Cara meningkatkan erotrosit yang terlalu rendah
Penanganan eritrosit rendah akan disesuaikan dengan penyebabnya.
Pengobatan yang umum diberikan oleh dokter untuk mengatasi eritrosit
rendah antara lain: Pemberian suplemen zat besi, bila penyebab eritrosit
rendah adalah kekurangan zat bes Dokter juga akan menganjurkan

399
penderita untuk mengonsumsi lebih banyak makanan sumber zat besi,
seperti daging, ikan, sayuran hijau, dan kacang-kacangan. Pemberian
suplemen folat dan vitamin B12, bila penyebab eritrosit rendah adalah
kekurangan kedua nutrisi ini. Penderita juga dianjurkan untuk
mengonsumsi daging dan hati sapi, telur, alpukat, bayam, kacang-
kacangan, serta sereal yang diperkaya dengan folat dan vitamin B12.
Kemoterapi, radioterapi, dan/atau operasi, jika eritrosit rendah
disebabkan oleh kanker. Cuci darah dan pemberian hormon eritropoietin,
bila kadar eritrosit rendah dialami oleh pasien gagal ginjal stadium akhir.
Transfusi darah, bila penyebab rendahnya kadar eritrosit adalah
perdarahan.
Cara menurunkan eritrosit yang tinggi
Eritrosit tinggi biasanya dapat ditangani dengan cara mengobati penyakit
yang menyebabkannya. Meski begitu, ada beberapa hal yang bisa Anda
lakukan, untuk menurunkan kadar eritrosit dalam tubuh yaitu dengan:
Berolahraga untuk meningkatkan fungsi cardio dan pulmo. Mengurangi
makan daging merah dan makanan mengandung zat besi tinggi,
Menghindari suplemen zat besi, Menjaga tubuh agar tetap terhidrasi,
Menghindari minuman diuretik (yang menyebabkan sering ingin buang
air kecil), seperti kopi atau minuman kafein lainnya, Menghentikan
kebiasaan merokok, Hindari penggunaan steroid dan obat-obatan
peningkat kinerja lainnya.

400
BAB IV
PENUTUP
Poikilocytosis adalah istilah yang digunakan untuk eritrosit
berbentuk abnormal dalam darah. Darah sendiri terdiri dari beberapa
unsur yaitu plasma darah , eritrosit, leukosit dan keping darah . Darah
teerdiri atas dua komponen utama yaitu plasma darah dan korpukuli.
Eritrosit adalah sel darah yang tidak memiliki inti, dimana tersusun dari
protein hemoglobin.

401
BAB IV
TERMINOLOGI
1. Poikilocytosis

P:-
R:-
S : Osis (Keadaan)
2. Homeostatis

P : Home/o (Sama)

R:-

S : Statis (Menghentikan)

402
DAFTARPUSTAKA
halodok "Hasil pemeriksaan darah"
https://www.alodokter.com/komunitas/topic/anemia-142 diakses tanggal
6 juli 2021
repostitory "poikilositosis"
https://repository.maranatha.edu/3581/6/0110156_Conclusion.pdf
diakses tanggal 6 juli 2021
perbedaan anisositosis dan poikilositosis
https://doktermuslim.com/perbedaan-anisositosis-dan-poikilositosis/
Poikilositosis gejala dll https://id.drderamus.com/poikilocytosis-8739
https://www.statpearls.com/ArticleLibrary/viewarticle/27376

403
POLISITEMIA VERA

Dosen Pengampu :

Dr.R.A. Rengganis Ularan, MM

Disusun Oleh :

Anisa Ayu Setiani

D3 RMIK 202

404
BAB I

PENDAHULUAN

Polisitemia vera adalah suatu keganasan derajat rendah sel-sel induk


hematopoetik dengan karakteristik peningkatan jumlah eritrosit absolut
dan volume darah total, biasanya disertai leukositosis, trombositosis dan
splenomegali.
Polisitemia vera dapat mengenai semua umur, sering pada pasien
berumur 40-60 tahun, dengan perbandingan antara pria dan wanita
2 : 1, di Amerika Serikat angka kejadiannya ialah 2,3 per 100.000
penduduk dalam setahun. Sejarah polisitemia vera dimulai tahun 1982
ketika Louis Hendri Vaquez pertama kali menjelaskan polisitemia vera
pada pasien dengan eritrositosis dan hepatosplenomegali. Kemudian
tahun 1951 William Dameshek mengklasifikasikan polisitemia vera,
trombositosis esensial dan mielofibrosis idiopatik sebagai penyakit
mieloproliferatif.
Polisitemia vera sering menimbulkan keluhan yang tidak spesifik seperti
cephalgia, kelelahan, vertigo, konjungtivitis, dan rasa terbakar di
epigastrium. Keluhan lain juga ditemukan seperti abdomen, pruritus,
pyrexia, dan melena. Komplikasi penyebab morbiditas dan mortalitas
utama pada pasien penderita polisitemia vera adalah timbulnya
komplikasi kardiovaskular akibat trombosis. Pada trombosis, mutasi
tersebut menyebabkan aktivasi dan interaksi leukosit dan trombosit yang
menyebabkan inflamasi sehingga menyebabkan disfungsi endotel
pembuluh darah. Sedangkan eritrositosis menyebabkan hiperviskositas
darah yang memicu thrombosis.Komplikasi lain yaitu perdarahan dan
risiko berkembangnya penyakit menjadi keganasan mieloid akut
(AML/Acute Myeloid Leukemia).

405
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI

NORMAL ABNORMAL TERKENA POLISITEMIA VERA

Politisemia vera terjadi ketika sumsum tulang memroduksi


terlalu banyak sel darah merah. Pada kondisi normal, jumlah sel
darah merah adalah sebagai berikut:
1. 4,7–6,1 juta sel per mikroliter darah pada pria
2. 4,2–5,4 juta sel per mikroliter darah pada wanita
3. 4,0–5,5 juta sel per mikroliter darah pada anak-anak
Eritrosit berfungsi membawa oksigen dalam haemo ke seluruh
tubuh. Jika jumlahnya terlalu banyak, haemo akan mengental dan
mengalir lebih lambat. Kondisi ini membuat organ tubuh tidak
mendapat pasokan oksigen yang cukup.

406
2.2 Pengertian Polisitemia Vera

Polisitemia berasal dari bahasa Yunani dimana poly berarti banyak, cyt
berarti sel dan hemia berarti darah sedangkan vera berarti benar.
Polisitemia vera adalah kelainan pada sistem mieloproliferatif di mana
terjadi klon abnormal pada hemopoetik sel induk (hemopoetic stem cells)
dengan peningkatan sensitivitas pada growth factors yang berbeda untuk
terjadinya maturasi yang berakibat terjadi peningkatan banyak sel. Pada
polisitemia vera (PV), peningkatan volume sel darah merah disebabkan
oleh mieloproliferasi endogen. sifat sel asal dari cacat dikemukakan pada
banyak pasien oleh overproduksi granulosit dan trombosit sebaik sel
darah merah. (Hoffbrand V; 2014)
Penyakit ini termasuk langka dan lebih sering dialami oleh pria
dibandingkan dengan wanita. Kondisi normal tubuh mengatur dan
menentukan jumlah sel-sel haima yang akan diproduksi sesuai yang
dibutuhkan. Gen JAK2 mengalami mutasi, sehingga medulla ossea akan
memproduksi erythrocyte secara berlebihan. Penyebab mutasi tersebut
belum diketahui secara pasti, namun risiko polisitemia vera akan
meningkat seiring bertambahnya usia, khususnya pada usia di atas 60
tahun.
Pada polisitemia vera (PV), peningkatan volume erythrocyte disebabkan
oleh mieloproliferasi endogen. sifat sel asal dari cacat dikemukakan pada
banyak pasien oleh overproduksi granulosit dan trombosit sebaik
erythrocyte.

2.3 PATHOFISIOLOGI Polisitemia Vera

Patofisiologi polisitemia vera (primer) didasari adanya mutasi bawaan


(germline) atau mutasi somatik (yang didapat) terhadap
progenitor erythroid. Hal ini akan meningkatkan proliferasi dan akhirnya
407
menimbulkan akumulasi eritrosit. Pada kondisi ini, kadar eritropoietin
tidak meningkat, bahkan terkadang bisa rendah. .( dr.Eduward
Thendiono, SpPD)
Patofisiologi polisitemia sekunder didasari oleh erythropoietin (Epo)-
driven process. Proses tersebut dapat dipicu oleh mekanisme oxygen-
sensitive Epo response terhadap hipoksia jaringan atau eritropoietin
patologik yang diproduksi oleh tumor atau obat.( dr.Eduward Thendiono,
SpPD).

Tanda dan symtom yang predominan terbagi dalam 3 fase yaitu :


a. Symtom awal (early symptoms ) symtom awal dari Polisitemia Vera
sangat minimal dan tidak selalu ada kelainan walaupun telah diketahui
melalui tes laboratorium. symtom awal biasanya cephalgia (48 %),
tinnius(43 %), mudah lelah (47 %), gangguan daya ingat, dyspnea (26
%), hipertensi (72 %), konjungtivitis (31 %), rasa panas pada tangan /
kaki (29 %), pruritus (43 %), epistaksis, gastro (24 %), osteoartritis(26
%).
b. Symptom akhir (later symptom) dan komplikasi Pasien Polisitemia
Vera mengalami perdarahan / trombosis, peningkatan asam urat (10 %)
berkembang menjadi gout dan peningkatan resiko ulkus peptikum.
c. Fase Splenomegali (Spent phase ) Sekitar 30 % gejala akhir
berkembang menjadi fase splenomegali. Pada fase ini terjadi kegagalan
medulla ossea dan pasien menjadi anemia berat, kebutuhan tranfusi
meningkat, liver dan limpa membesar.

2.4 DIAGNOSIS Polisitemia Vera


 Polisitemia vera umumnya berkembang secara
perlahan-lahan dan jarang menyebabkan indikasi yang
signifikan, karena itu, penyakit ini cenderung terdeteksi
saat pasien menjalani proses diagnosis untuk penyakit

408
lain.
 Penyakit ini biasanya terdeteksi melalui tes haima,
khususnya pada pengecekan jumlah erythrocyte dalam
tubuh. Hasil pemeriksaan darah para pengidap
polisitemia vera adalah :
 a. Peningkatan jumlah erythrocyte disertai kenaikan
jumlah platelet dan leukosit
 b. Presentase erythrocyte dalam darah (hematokrit) yang
meningkat.
 c. Peningkatan kadar hemoglobin.
 d. Rendahnya kadar hormon eritropoietin yang
merangsang medulla ossea untuk memroduksi
erythrocyte.
Dokter menganjurkan beberapa pemeriksaan lebih lanjut,
misalnya pengecekan genetika pada gen JAK2 yang
dilakukan melalui tes haima dan pengambilan sampel
medulla ossea melalui biopsi. USG perut dilakukan guna
mendeteksi apakah pengidap mengalami gangguan limpa
atau tidak.

Diagnosa Banding :

Mutasi Jak2 tidak hanya terjadi pada penyakit polisitemia vera, namun
juga terjadi pada keganasan mieloproliferatif lain seperti Esensial
Trombositemia (ET)6 dan Mielofibrosis (MF). Sehingga ketiga penyakit
ini mempunyai keterkaitan yang unik. Mutasi Jak2 positif pada penderita
polisitemia vera sekitar 95%-100% sementara pada keganasan lain ET
dan MF ± 50-60%. Meskipun erirositosis bisa membedakan PV dari ET
dan MF,namun tidak semua pasien dengan gejala eritrositosis dengan
mutasi Jak2 akan berkembang menjadi PV.

409
2.5 PENATA LAKSANAAN Polisitemia Vera

Kuratif dan Preventif


Kuratif

Polisitemia vera termasuk penyakit kronis yang tidak bisa


disembuhkan. Pengobatan pasien bertujuan mengurangi jumlah
haima, mencegah komplikasi,serta menurunkan keparahan symptom.
Langkah-langkah pengobatan tersebut meliputi

410
a. Megeluarkan haima atau terapi phlebotomy. Cara ini dilakukan
dengan prosedur yang sama seperti saat mendonor haima dan
merupakan langkah penanganan pertama yang umumnya dianjurkan
oleh dokter.
b. Menurunkan produksi erythrocyte dengan obat-obatan hidroksi urea.
c. Mencegah penggumpalan haima melalui pemberian obat, seperti
aspirin berdosis rendah
Preventif

a. Menerapkan gaya hidup sehat dan seimbang, seperti menjaga pola


makan, memiliki berat badan sehat, rajin berolahraga, serta berhenti
merokok.

b. Mengurangi pruritus dengan mandi air dingin.


c. Menghindari luka dan infeksi dengan tidak menggaruk kulit yang
gatal secaraberlebihan

2.6 Penunjang Medis

Pemeriksaan laboratorium pada polisitemia vera :

1. laboratorium
a. hitung haemo lengkap
Hasil hitung darah lengkap pada pasien akan
menunjukkan:
 Peningkatan jumlah sel darah merah yang
disertai peningkatan jumlah keping haemo
dan leukosit
 Peningkatan hematokrit, yaitu presentase
perbandingan eritrosit dengan volume haemo

411
 Peningkatan kadar hemoglobin, yaitu protein
kaya zat besi dalam eritrosit
 Penurunan kadar eritropoetin, yaitu hormon
yang merangsang medulla untuk
memproduksi eritrosit
b. Tes genetik
Tes genetik dilakukan dengan mengambil sampel
haemo pasien. Sampel haemo ini kemudian diteliti untuk
mendeteksi mutasi pada gen JAK2.
2. Endoskopi
a. Biopsi medulla
Biopsi medulla dapat membantu memastikan diagnosis
politisemia vera. Biopsi medulla dilakukan dengan mengambil
sampel dari cairan medulla untuk diperiksa di laboratorium.
3. Ultrasonografi
a. USG abdomen

USG abdomen juga mungkin dilakukan guna


mendeteksi apakah ada gangguan pada nephros atau tidak.

412
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Gambar normal Polisitemia Vera

Politisemia vera terjadi ketika medulla memroduksi terlalu


banyak eritrosit. Pada kondisi normal, jumlah eritrosit adalah
sebagai berikut:
4. 4,7–6,1 juta cyt per mikroliter darah pada pria
5. 4,2–5,4 juta cyt per mikroliter darah pada wanita
6. 4,0–5,5 juta cyt per mikroliter darah pada anak-anak

413
Eritrosit berfungsi membawa oksigen dalam haemo ke seluruh
tubuh. Jika jumlahnya terlalu banyak, haemo akan mengental dan
mengalir lebih lambat. Kondisi ini membuat organ tubuh tidak
mendapat pasokan oksigen yang cukup.
Para dokter umumnya membagi disease ini menjadi dua kategori
berdasarkan penyebabnya, yaitu:

1. Polisitemia primer
Polisitemia primer merupakan jenis yang paling umum ditemukan.
Jenis polisitemia ini terjadi karena adanya perubahan atau mutasi
genetik JAK2.
Menurut MPN Research Foundation, sebanyak 95% penderita
polisitemia vera memiliki gen JAK2 yang bermasalah. Namun,
hingga saat ini belum ditemukan apa penyebab pasti dari mutasi
gen tersebut.
Polisitemia primer bukanlah kondisi yang diturunkan dari orangtua
ke anak. Namun, pada beberapa kasus, mutasi genetik ini bisa
menurun di keluarga.
2. Polisitemia sekunder
Polisitemia jenis ini tidak berkaitan dengan mutasi gen JAK2.
Kondisi ini disebabkan oleh rendahnya kadar oksigen di dalam
tubuh, terutama darah.

Apabila tubuh kekurangan oksigen dalam jangka waktu yang lama,


ginjal Anda akan memproduksi hormon erythropoietin (EPO).
Hormon EPO yang berlebihan dapat merangsang sumsum tulang
untuk menghasilkan sel darah merah lebih banyak dari biasanya.
Beberapa penyakit yang dapat menyebabkan polisitemia sekunder
meliputi:

414
Penyakit pulmo kronis (COPD) dan sleep apnea
Kondisi ini dapat mengakibatkan tubuh kekurangan oksigen. Hal ini
dapat memicu peningkatan produksi hormon EPO dan sel darah
merah dalam tubuh.
Masalah pada nephros
Pada kasus yang jarang terjadi, produksi hormon EPO juga dapat
meningkat apabila ginjal mengalami kerusakan, seperti adanya
tumor atau penyempitan pembuluh darah.

415
BAB IV
Polisitemia vera adalah suatu keganasan derajat rendah sel-sel
induk hematopoetik dengan karakteristik peningkatan jumlah eritrosit
absolut dan volume darah total, biasanya disertai leukositosis,
trombositosis dan splenomegali.
Penyakit ini termasuk langka dan lebih sering dialami oleh pria
dibandingkan dengan wanita. Kondisi normal tubuh mengatur dan
menentukan jumlah sel-sel haima yang akan diproduksi sesuai yang
dibutuhkan.
Polisitemia vera (primer) didasari adanya mutasi bawaan
(germline) atau mutasi somatik (yang didapat) terhadap
progenitor erythroid.
Tindakan yang dilakukan pada penyakit polisitemia vera adalah
hitung haemo lengkap, tes genetik,biopsi medulla,dan usg abdomen.

416
BAB V
TERMINOLOGI
1. Leukositosis ( Keadaan sel darah putih lebih dari normal )
 Prefix :-
 Root : Leukosit ( sel darah putih)
 Suffix : Osis (keadaan)

2. Trombositosis ( Keadaan jumlah sel trombosit lebih dari normal )


 Prefix :-
 Root : Trombosit ( keeping darah)
 Suffix : osis (Keadaan tidak normal)

3. Splenomegali (Pembesaran limpa/limpa membesar)


 Prefix :-
 Root : Splen/o (Limpa)
 Suffix : Megali (Pembesaran)

417
DAFTAR PUSTAKA
Supandiman I, Sumahtri R. Polisitemia Vera. Pedoman Diagnosis dan
terapi Hematologi Onkologi Medik. 2003: 83-90.
Prenggono D. Polisitemia Vera Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II.
Edisi IV. Penerbit IPD FKUI. 2006: 702-705.
Pearson TC. (Chair), Messinezy M, Westwood N, Green AR., et al. A
Polycythemia Vera Update: Diagnosis, Pathobiology, and Treatment .
American Society of Haematology. Hematology 2000;51-69.

418
SPHEROCYTOSIS

Dosen Pengampu :
dr. R.A. Rengganis Ularan, MM

Disusun Oleh
Shabrina Akmalia 205032
Riswanda Kharisma Putri 205071
Salsa Bila Dwi Puspita 205110

D3 RMIK
2021

419
BAB I
PENDAHULUAN
Spherocytosis adalah adanya sferosit di dalam emia.
sekelompok klinis dan kelainan genetic herediter heterogeny
yang ditandai oleh adanya spherocytes, anemia hemolitik,
kerapuhan eritrosit abnormal, ikterik, splenomegaly. (Dorland,
edisi 29).
Sferositosis herediter (HS) adalah anemia hemolitik
herediter umum yang dikaitkan dengan gangguan pada lima
protein membran erythrocyte yang berbeda. Dalam setiap gen,
tipe varian atau lokasi tidak memprediksi keparahan disease
atau kemungkinan splenektomi. (Tole, S., Dhir, P., Pugi, J.,
Drury, L. J., Butchart, S., Fantauzzi, M., ... & Carcao, M. D,
2020).
Sferositosis herediter (HS) adalah anemia hemolitik
herediter yang paling umum karena terhadap perubahan protein
membran eritrosit. Ekspresi klinis HS berkisar dari bentuk klinis
diam dengan hemolisis kronis kompensasi yang baik untuk
transfusi parah- anemia ketergantungan. Berdasarkan kadar
hemoglobin dan jumlah retikulosit, keparahan klinis clinical HS
diklasifikasikan sebagai ringan, sedang, sedang, atau berat.
(Starodubtseva, M. N., Mitsura, E. F., Starodubtsev, I. E.,
Chelnokova, I. A., Yegorenkov, N. I., Volkova, L. I., & Kharin, Y.
S. 2019).
Hereditary Spherositosis (HS) adalah membran eritrosit
yang paling umum kelainan yang menyebabkan anemia
hemolitik. Heterogenitas luas baik klinis dan laboratorium
manifestasi HS berkontribusi terhadap kesulitan yang terkait
dengan diagnosis gangguan ini (Trabelsi, N., Bouguerra, G.,

420
Haddad, F., Ouederni, M., Darragi, I., Boudrigua, I., ... & Abbes,
S. 2021).
Sferositosis merupakan jenis anemia hemolitik yang
paling sering dijumpai di Eropa dengan insidens 1 kasus per
5000 jiwa. Hingga saat ini belum tersedia data epidemiologi SH
di Indonesia. Rekam medis Poliklinik Departemen Ilmu
Kesehatan Anak RSCM belum mencatat pasien dengan
diagnosis SH. (Sari, T. T., & Ismail, I. C, 2016).

Sferositosis adalah membran erythrocyte yang paling


umum gangguan dengan satu kasus dari 2000-3000 individu,
dan mungkin prevalensi yang lebih tinggi karena under
diagnosis minor atau sedang bentuk HS. Meskipun lebih sering
didiagnosis di Eropa dan Amerika Utara, HS dilaporkan di
benua dan negara lain, tanpa efek pendiri. (Ma, S., Deng, X.,
Liao, L., Deng, Z., Qiu, Y., Wei, H., & Lin, F. 2018).

421
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Fisiologi Spherocytosis


Sferositosis herediter (SH) adalah jenis anemia
hemolitik yang disebabkan oleh protein erythrocyte yang
abnormal, dan sekitar 75% pasien bersifat autosomal dominan
untuk disease tersebut Pada sekitar 20-30% pasien Sferositosis
herediter, manifestasi klinis tidak jelas, kecuali untuk
kompensasi peningkatan retikulosit (RETs) . Pada pasien ini,
symptom hemolitik diperburuk ketika faktor-faktor tertentu
diinduksi, yang paling umum adalah infeksi atau aktivitas fisik
berat yang terus menerus. Selain itu, pasien Sferositosis
herediter berat sering datang dengan hemolisis parah, dan
memerlukan transfusi darah untuk mempertahankan kadar
hemoglobin (HGB) >60 g/l. Namun, prosedur ini seringkali dapat
menyebabkan kelebihan zat besi atau komplikasi lain pada
pasien ini. (Ma, S., Deng, X., Liao, L., Deng, Z., Qiu, Y., Wei, H.,
& Lin, F. 2018).

2.2 Definisi Spherocytosis


Sferositosis herediter (HS) adalah jenis anemia
hemolitik yang disebabkan oleh protein membran erythrocyte
yang abnormal, dan sekitar 75% pasien bersifat autosomal
dominan untuk disease tersebut. Meskipun anemia, ikterus, dan
splenomegaly merupakan manifestasi klinis khas HS, karena
perbedaan tipe defek protein membran, secara klinis disease ini
masih sangat heterogen. (Ma, S., Deng, X., Liao, L., Deng, Z.,
Qiu, Y., Wei, H., & Lin, F, 2018).

422
Spherocytosis merupakan kondisi gangguan yang
terjadi pada lapisan permukaan yang dikenal dengan istilah
membran– erythrocyte. Kondisi ini menyebabkan erythrocyte
berubah bentuk, dari berbentuk lapisan tipis dengan cekungan
menjadi sferis atau bulat. Cyt berbentuk sphero tersebut
memiliki fleksibilitas yang lebih rendah dibandingkan erythrocyte
yang normal
.

2.3 Pathofisiologi Spherocytosis


Sferositosis paling sering merujuk pada sferositosis
herediter. Hal ini disebabkan oleh kerusakan molekuler pada
satu atau lebih protein dari erythrocyte sitoskeleton, termasuk
spektrin, ankyrin.dll, Pita 3, atau Protein 4.2. Karena kerangka
cyt memiliki cacat, cyt emia berkontraksi menjadi bola, yang
merupakan konfigurasi paling efisien tegangan permukaan dan
paling tidak fleksibel. Padahal sferosit memiliki luas permukaan
yang lebih kecil yang dilalui oksigen dan karbon dioksida dapat
ditukar, mereka dengan sendirinya bekerja secara memadai
untuk menjaga pasokan oksigen yang sehat. Namun, mereka
punya yang tinggi osmotik kerapuhan — bila dimasukkan ke
dalam air, mereka lebih mungkin meledak daripada erythrocyte
normal. cyt ini lebih rentan terhadap degradasi fisik.

Etiologi Spherocytosis
Spherocytosis disebabkan oleh kelainan erythrocyte,
atau eritrosit . Sebuah disease kronis dengan kondisi
kesehatan jangka panjang dengan ada obatnya. Kelainan ini
disebabkan oleh mutasi pada gen yang berkaitan dengan

423
protein membran yang memungkinkan eritrosit berubah bentuk.
Eritrosit abnormal berbentuk bola ( sferositosis ) daripada
berbentuk cakram bikonkaf normal. Protein membran
disfungsional mengganggu kemampuan cyt untuk menjadi
fleksibel untuk melakukan perjalanan dari arteri ke kapiler
yang lebih kecil . Perbedaan bentuk ini juga membuat
erythrocyte lebih rentan pecah .
Sferositosis disebabkan oleh kelainan genetik. Orang
dengan riwayat anggota keluarga yang mengalami gangguan ini
memiliki kemungkinan yang lebih tinggi untuk mengalami
kondisi yang sama.

Sign and Symptom


Sign and symptom juga bervariasi, bergantung dari
derajat keparahan kondisi yang dialami. Sebagian besar orang
dengan sferositosis memiliki derajat keparahan sedang. Pada
mereka dengan sferositosis ringan, terkadang sign and
symptom tidak terlalu tampak. Symptom lain dari anemia akibat
sferositosis umumnya meliputi gangguan seperti:

 Sesak napas (dyspnea)


 Vertigo
 Nyeri kepala (chepalgia)
 Tachycardia (detak jantung cepat)
 Kekuningan pada derma (icteric)

Saat erythrocyte pecah, pigmen bilirubin dilepaskan ke


aliran emia. Bila pemecahan erythrocyte berlangsung sangat
cepat, hal ini dapat menyebabkan pelepasan bilirubin yang
berlebihan ke aliran emia. Produksi bilirubin yang meningkat ini

424
dapat menyebabkan icteric. Selain itu, bagian putih pada oculo
juga dapat berubah menjadi kekuningan.

2.4 Diagnosis dan Diagnosa banding Spherocytosis


Sferositosis paling sering terdiagnosis pada masa
kanak-kanak atau dewasa muda. Diagnosis kondisi ini dapat
ditentukan berdasarkan wawancara medis yang mendetail,
pemeriksaan fisik secara langsung, dan pemeriksaan
penunjang tertentu. Sign and symptom yang dialami
kemungkinan riwayat disease dalam keluarga. Pada
pemeriksaan fisik, dokter dapat memeriksa adanya
splenomegaly dengan melakukan pemeriksaan abdomen.

2.5. Penatalaksanaan Spherocytosis

Kuratif Spherocytosis
No Jenis Kuratif Penjelasan
1. Pemberian vitamin Asam folat, salah satu jenis
vitamin B, umumnya
direkomendasikan untuk
mereka dengan kondisi
sferositosis herediter. Asam
folat dapat membantu
pembentukan erythrocyte baru.
Dosis harian asam folat
merupakan pilihan penanganan
awal pada anak serta mereka
yang mengalami kondisi
sferositosis herediter ringan.
2. Pembedahan pengangkatan limpa dapat

425
(splenektomi) mencegah komplikasi yang
sering timbul akibat sferositosis
herediter. Erythrocyte dapat
tetap berbentuk sphero, namun
masa hidupnya dapat lebih
lama. Dapat membantu
mencegah timbulnya
cholelithiasis. Tidak semua
orang dengan kondisi ini
membutuhkan splenectomy.
Misalnya, kasus yang ringan
dapat ditangani tanpa tindakan
operatif.
3. Tranfusi emia Pada orang dengan anemia
yang berat, transfusi erythrocyte
biasanya dibutuhkan.
4. Terapi sinar Pada bayi yang mengalami
kekuningan, dokter dapat
menganjurkan terapi sinar, yang
juga dikenal dengan istilah
fototerapi.

426
Preventif Spherocytosis

Dalam kasus sferositosis hingga saat ini belum diketahui


dan belum ada obat untuk cacat genetic yang efektif secara
sepenuhnya untuk mencegah timbulnya kondisi ini

2.6. Penunjang medis Spherocytosis


Salah satu pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan adalah pemeriksaan emia. Pemeriksaan itu dapat
dievaluasi kadar serta ukuran erythrocyte. Pemeriksaan emia
dengan mikroskop juga dapat membantu dokter untuk
mengevaluasi ukuran erythrocyte, yang kemudian dapat
membantu menentukan adanya kondisi ini.

427
BAB III
PEMBAHASAN

Gambar normal dan abnormal penyakit Spherocytosis

Erythrocyte normal

Erythrocyte yang menunjukan


spherocytosis

428
Erythrocyte normal mempunyai vo-lume 80-96 femtoliter
(1 fL = 10-15 liter) dengan diameter kira-kira 7-8 micron, sama
dengan inti limfosit micro. Erythrocyte yang berukuran lebih
besar dari inti limfosit kecil pada apus emiatepi disebut
makrositik. 1 Erythrocyte yang berukuran lebih kecil dari inti
limfosit kecil disebut mikrositik. Automatic cell counter
memperkirakan volume erythrocyte dengan sampel jutaan
erythrocyte dengan mengeluarkan angka mean corpuscular
volume (MCV) dan angka dispersi mean tersebut.

429
BAB IV
PENUTUP

Sferositosis herediter (HS) adalah disease yang


mempengaruhi emiamerah atau eritrosit. Disease ini
disebabkan oleh mutasi pada gen yang memungkinkan eritrosit
berubah bentuk. Erythrocyte berbentuk lonjong berubah
menjadi Eritrosit ubnormal bulat / sferositosis. Perbedaan
bentuk ini membuat erythrocyte lebih mudah pecah. Cyt dengan
protein disfungsional ini terdegradasi di limfa. Kekurangan
eritrosit ini menyebabkan anemia hemolitik. Sferositosis sering
berkaitan dengan factor genetic dan belum diketahui cara yang
efektif untuk mencegah timbulnya disease ini.

430
BAB V
TERMINOLOGI MEDIS
1. Spherocytosis
Preffix : Spher/o (bulat/bola)
Root : Cyt/o (sel)
Suffix : Osis (keadaan)
*adanya kelainan darah genetik herediter yang ditandai oleh
adanya spherocytes dan anemia hemolitik

2. Splenomegaly
Preffix : -
Root : splen/o (limfa)
Suffix : megaly (pembesaran)
*pembesaran pada limfa

3. Splenectomy
Preffix :-
Root : Splen/o (limfa)
Suffix : Ectomy (pemotongan)
*pemotongan pada limfa

4. Tachycardia
Prefix : Tachy (cepat)
Root : Cardi/o (jantung)
Psedosuffix : ia
*detak jantung cepat

5. Chepalgia
Preffix :-
Root : Chepal (kepala)

431
Suffix : Algia (nyeri)
*rasa nyeri kepala

6. Erythrocyte
Preffix :-
Rood : erthyr/o (merah), cyt/o/e (sel)
Suffix :-
*sel darah merah

7. Cholelithiasis
Preffix :-
Root : Chole (empedu), Lith/o (batu)
Suffix : Iasis (keadaan)
*keadaan batu pada empedu

432
DAFTAR PUSTAKA

docdoc.com. (2020). Apa itu Darah: Anatomi, Fungsi, Disease dan


Prosedur Terkait. Diakses pada 9 Juni 2021, dari
https://www.docdoc.com/id/info/body/blood
klikdokter.com. (2021). Disease Sferositosis. Diakses pada 8 Juni 2021,
dari https://www.klikdokter.com/disease/sferositosis
Ma, S., Deng, X., Liao, L., Deng, Z., Qiu, Y., Wei, H., & Lin, F. (2018).
Analysis of the causes of the misdiagnosis of hereditary
spherocytosis. Oncology reports, 40(3), 1451-1458.
Sari, T. T., & Ismail, I. C. (2016). Sferositosis Herediter: laporan kasus.
Sari Pediatri, 11(4), 298-304.
Tole, S., Dhir, P., Pugi, J., Drury, L. J., Butchart, S., Fantauzzi, M., ... &
Carcao, M. D. (2020). Genotype–phenotype correlation in
children with hereditary spherocytosis. British Journal of
Haematology, 191(3), 486-496.
Trabelsi, N., Bouguerra, G., Haddad, F., Ouederni, M., Darragi, I.,
Boudrigua, I., ... & Abbes, S. (2021). Biochemical, Cellular, and
Proteomic Characterization of Hereditary Spherocytosis Among
Tunisians. Cell Physiol Biochem, 55, 117-129.

433
Spherositosis Herediter

Dosen Pengampu :
dr. R. A. Rengganis Ularan, MM

Disusun Oleh :
Dwi Nawang Wulan 205055

D3 RMIK
2021

434
BAB I

PENDAHULUAN

Latar belakang

Spherositosis herediter (SH) merupakan salah satu jenis


anemia hemolitik yang disebabkan defek
molekular pada satu atau lebih protein sitoskleletal eritrocyte.
Diagnosis SH sulit untuk ditegakkan karena tidak ada sign dan symptom
yang patognomonik. Diagnosis spherositosis herediter ditegakkan
berdasarkan adanya riwayat kuning saat neonatus, anemia,
splenomegali, ditemukannya sferosit yang banyak pada pemeriksaan
haema perifer, dan analisis protein membran eritrosit menunjukkan
defisiensi spektrin alfa. Pasien diberi asam folat dan transfusi darah.
Splenektomi belum terindikasi karena anemia masih dapat dikompensasi
oleh medulla.
Spherositosis herediter (SH) merupakan salah satu jenis
anemia hemolitik yang disebabkan oleh kerusakan pada membran
eritrosit. Kerusakan terjadi sebagai akibat defek molekular pada satu
atau lebih protein sitoskleletal eritrocyte yang terdiri dari spektrin, ankirin,
band 3 protein, dan protein 4.2.1 Sferositosis merupakan jenis anemia
435
hemolitik yang paling sering dijumpai di Eropa dengan insidens 1 kasus
per 5000 jiwa. Sari Pediatri, (2009).
Hingga saat ini belum tersedia data epidemiologi SH di
Indonesia. Rekam medis Poliklinik Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSCM belum mencatat pasien dengan diagnosis SH. Lembaga Biologi
Molekular Eijkman menemukan 12 pasien yang terbukti SH sejak tahun
2002 sampai 2008. Symptom klinis SH dapat berupa anemia ringan
sampai berat disertai ikterus dan splenomegali. Diagnosis SH cukup sulit
untuk ditegakkan karena tidak ada tanda atau symptom patognomonik.
Medline Plus, (2018).

436
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Spherositosis Herediter


Spherositosis herediter adalah anemia hemolitik, yang
didasarkan pada kelainan struktural atau fungsional protein
membran, yang berlanjut dengan hemolisis intraselular.
Terapis Jerman O. Minkowski (1900) adalah orang pertama
yang menggambarkan anemia hemolitik keluarga; M.A. Schoffar
(1907), seorang terapis Perancis, menemukan penurunan
resistensi eritrosit dan peningkatan hemolisis yang terkait.Penyakit
ini ada di mana-mana, dengan frekuensi 1: 5000 pada populasi.
Ditularkan oleh tipe dominan autosomal; sekitar 25% kasus bersifat
sporadis, disebabkan oleh munculnya mutasi baru.
Hal ini lebih sering terjadi pada penduduk Eropa Utara,
dimana prevalensi disease adalah 1 per 5000 populasi. Jenis
warisan autosomal dominan terjadi pada sekitar 75% kasus. Pada
anggota keluarga pasien, tingkat keparahan anemia dan derajat
sferositosis dapat bervariasi. Dalam 25% kasus, tidak ada riwayat
keluarga. Pada beberapa pasien, perubahan parameter
laboratorium minimal, menunjukkan jenis warisan resesif
autosomal, dan sisanya adalah hasil mutasi spontan. Sari Pediatri,
(2009)

437
2.2 Definisi Spherositosis herediter
Spherositosis herediter Suatu disease genetik dari selaput membrane
eritrocyte yang secara klinis dikarakteristikan oleh anemia, icterus
(penyakit kuning) dan splenomegaly (pembesaran limpa). Pada
erytrocyte adalah lebih kecil, lebih bulat, dan lebih mudah rusak daripada
yang normal. erytrocyte ini mempunyai suatu bentuk yang berbentuk
bola daripada berbentuk lempeng cekung ganda yang di sebut
biconcave-disk shape dari erytrocyte yang normal.

erytrocyte yang gemuk bulat ini yaitu spherocytes adalah secara


osmotik mudah rusak dan kurang fleksibel daripada sel-sel merah
normal dan cenderung untuk menyangkut pada angio yang sempit,
terutama di splen, dan hemolyze mereka pecah menjurus pada
hemolytic anemia.
Penyumbatan splen dengan erytrocyte hampir tanpa kecuali
menyebabkan pembesaran limpa atau splenomegaly. Pemecahan
erytrocyte melepaskan hemoglobin dan bagian heme memberikan
kenaikkan pada bilirubin, pigment dari icteric. Kelebihan bilirubin
menjurus pada pembentukan cholelithiasis disebut gallstones, bahkan
pada masa kanak-kanak. Seringkali juga ada kelebihan beban dari zat
besi (iron) yang disebabkan oleh penghancuran yang berlebihan
erytrocyte yang kaya zat besi.
Spherositosis herediter adalah paling umum pada orang-orang
keturunan Eropa utara. Ia seringkali timbul pada masa kecil atau awal
masa kanak-kanak, menyebabkan anemia dan icteric. medulla harus
bekerja ekstra keras untuk membuat lebih banyak sel-sel merah. Jadi,
jika dalam perjalanan suatu penyakit virus yang biasa, sumsum tulang
berhenti membuat sel-sel merah, anemia dapat dengan cepat menjadi

438
berat dan amat sangat besar. Ini diistilahkan sebagai suatu aplastic
crisis. Jasnani, (2014).

2.3 Pathofisiologi Sperositosis Herediter


Hereditary spherocytosis (HS), atau sferositosis herediter,
merupakan kondisi gangguan yang terjadi pada lapisan permukaan
yang juga dikenal dengan istilah membran– eritrocyte. Kondisi ini
menyebabkan eritrocyte berubah bentuk, dari berbentuk lapisan
tipis dengan cekungan menjadi sferis atau bulat. Cyt berbentuk
bulat tersebut memiliki fleksibilitas yang lebih rendah dibandingkan
eritrocyte yang normal.Pada tubuh orang yang sehat, respons
sistem daya tahan tubuh terhadap infeksi umumnya berawal dari
spleen. Spleen melakukan penyaringan terhadap bakteri dan cyt
yang rusak dari aliran haema. Namun, pada penderita sferositosis,
eritrocyte mengalami kesulitan untuk melewati spleen karena
bentuk dan kekakuannya.
Perubahan bentuk yang terjadi pada eritrocyte ini menyebabkan
spleen memecah cyt tersebut secara lebih cepat, sebuah proses
yang disebut hemolisis. Padahal secara umum, eritrocyte yang
normal memiliki masa hidup mencapai 120 hari. Namun, eritrocyte
pada sferositosis herediter umumnya hanya memiliki masa hidup
selama 10 hingga 30 hari. Children‘s, (2018).
Etiologi Spherositosis herediter
Spherositosis herediter disebabkan oleh suatu kekurangan dari
suatu protein yang disebut ankyrin. Ankyrins adalah protein-protein
selaput sel diperkirakan saling menghubungkan secara integral
protein-protein dengan kerangka selaput yang berdasarkan spectrin.
Ankyrin dari sel-eritrocyte disebut ankyrin-Ratau ankyrin-1. Ia
direpresentasikan oleh simbol ANK1.

439
Gen-gen HS yang untuk ANK1 telah dipetakan pada kromosom
8 dan, secara khusus, pada chromosome band 8p11.2. HS
diwariskan sebagai suatu ciri yang dominan, jadi jika seseorang
dengan HS reproduksi, anak-anak mereka (tidak peduli apakah ia
seorang anak laki atau anak perempuan) mempunyai suatu
kemungkinan sebesar 50:50 mendapat HS.
Sphereositosis herediter disebabkan oleh kelainan genetik.
Orang dengan riwayat anggota keluarga yang mengalami gangguan
ini memiliki kemungkinan yang lebih tinggi untuk mengalami kondisi
yang sama. Genetics Home Reference, (2013)
Symptom Sperositosis Herediter
a. Dapat berkisar dari ringan hingga berat dan mungkin termasuk
kulit pucat, kelelahan, anemia, icterus, cholelithiasis, dan
splenomegali
b. konjugasi berkepanjangan
c. engkorak menara, langit-langit gothic, jembatan hidung yang
luas, jarak jauh antara gigi.

2.4 DiagnosisDan diagnosa Sperositosis Herediter


a. Melihat riwayat medis seseorang, symptom, pemeriksaan fisik,
dan hasil tes laboratorium untuk membuat diagnosis.
b. Spherocytosis eritrosit dan sign hemolisis lainnya (ikterus,
splenomegali, retikulositosis) terjadi pada anemia hemolitik
autoimun
c. Untuk melakukan diagnosis banding dengan anemia hemolitik
imun, tes Coombs harus dilakukan. Dengan spherocytosis
herediter, itu negatif. Konfirmasi yang pasti dan dapat
diandalkan mengenai diagnosis spherocytosis
herediter memungkinkan elektroforesis protein membran

440
eritrosit dikombinasikan dengan penentuan protein secara
kuantitatif.

2.5 Penatalaksanaan Sperositosis Herediter

Kuratif Sperositosis Herediter

a. Pembedahan. Pada kasus dengan derajat keparahan sedang


atau berat, pengangkatan limpa dapat mencegah komplikasi
yang sering timbul akibat sferositosis herediter. Eritrocyte dapat
tetap berbentuk bulat, namun masa hidupnya dapat lebih lama.
b. splenomegali juga dapat membantu mencegah timbulnya
cholelithiasis. Tidak semua orang dengan kondisi ini
membutuhkan splenectomy. Misalnya, kasus yang ringan dapat
ditangani tanpa tindakan operatif.
c. Pemberian vitamin. Asam folat, salah satu jenis vitamin B,
umumnya direkomendasikan untuk mereka dengan kondisi
sferositosis herediter. Asam folat dapat membantu
pembentukan eritrocyte baru. Dosis harian asam folat
merupakan pilihan penanganan awal pada anak serta mereka
yang mengalami kondisi sferositosis herediter ringan.

Preventif Sperositosis Herediter

Dalam kasus sferositosis hingga saat ini belum diketahui dan


belum ada obat untuk cacat genetic yang efektif secara sepenuhnya
untuk mencegah timbulnya kondisi ini.

441
2.6 Penunjang Medis Sperositosis Herediter

a. Transfusi darah. Pada orang dengan anemia yang berat,


transfusi eritrocyte biasanya dibutuhkan.
b. Terapi sinar. Pada bayi yang mengalami kekuningan, dokter
dapat menganjurkan terapi sinar, yang juga dikenal dengan
istilah fototerapi.
c. Splenektomi merupakan pilihan utama terapi pada anemia
hemolitik akibat keadaan tertentu, seperti hereditary
spherocytosis. Pada kasus lain, seperti AIHA, splenektomi
direkomendasikan ketika modalitas terapi lainnya telah gagal.
(alomedika. /2019)

442
BAB III

PEMBAHASAN

Gambar Normal dan Abnormal Sperositosis Herediter

Sferositosis herediter adalah gangguan yang relatif umum


sejauh gangguan hematologi pergi: 1 dari 5.000 orang keturunan Eropa
Utara memilikinya insiden lebih rendah pada kelompok ras lain.
Meskipun merupakan kelainan herediter, usia timbulnya gejala klinis dan
tingkat keparahannya bervariasi. Gejala klinis biasanya digambarkan
sebagai trias anemia ringan, ikterus intermiten, dan splenomegali.
Sebagian besar pasien mampu membuat cukup eritrocyte baru untuk
menggantikan eritrocyte yang dihancurkan sebelum waktunya jadi
sebagian besar waktu, ada anemia ringan (atau tidak ada anemia sama
sekali).
Saat pasien terkena sesuatu yang buruk pada eritrocyte, seperti
infeksi parvovirus B19 (yang menghapus eritrocyte), pasien dapat
memasuki apa yang disebut "krisis" artinya medulla yang sudah habis
dapat mengikuti permintaan yang baru meningkat, dan anemia yang
memburuk tiba-tiba terjadi. Dalam krisis ini, pasien kemungkinan akan

443
mengalami sign klinis anemia kelelahan, misalnya dan icterus dari
peningkatan hemolisis.
Defek dasar pada sferositosis herediter melibatkan komponen
membran sitoskeleton termasuk spektrin, ankyrin, atau pita 4.2 Ini berarti
membran eritrocyte tidak stabil, dan ada bagian membran yang hilang
yang berarti cyt membulat, membuat sferosit, yang lebih gelap, eritrocyte
yang lebih kecil tanpa pusat pucat pada gambar di atas. Masalah besar
dalam gangguan ini adalah bahwa makrofag di spleen melihat cyt
abnormal ini dan memakannya sulit bagi sferosit untuk melewati tali
Bilroth mereka tidak bagus dan tidak dapat diubah bentuknya seperti
eritrocyte berbentuk cakram bikonkaf biasa, sehingga mereka ditahan di
spleen, sehingga memudahkan makrofag untuk menangkapnya.
Sferositosit juga lebih rapuh daripada eritrocyte normal, sehingga lebih
mudah pecah. Namun, pembuangan eritrocyte oleh spleen yang
merupakan etiologi utama anemia ini.

444
BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan
Secara keseluruhan, pandangan jangka panjang untuk orang
dengan spherositosis herediter biasanya baik dengan pengobatan.
Namun, itu mungkin tergantung pada tingkat keparahan kondisi
pada setiap orang. Sering diklasifikasikan sebagai ringan, sedang
atau berat. Orang dengan SH yang sangat ringan mungkin tidak
memiliki sign dan symptom apapun kecuali pemicu lingkungan
menyebabkan timbulnya symptom. Dalam banyak kasus, tidak
diperlukan terapi khusus selain memantau anemia dan mengamati
sign dan symptom. Orang yang terkena dampak sedang dan parah
cenderung mendapat manfaat dari splenektomi. Kebanyakan orang
yang menjalani splenektomi mampu mempertahankan kadar
hemoglobin normal. Namun, orang dengan HS parah mungkin tetap
mengalami anemia pasca-splenektomi dan mungkin memerlukan
transfusi darah selama infeksi.

445
BAB V

TERMINOLOGI MEDIS

1.Spherositosis
P: -
R: spher/o (bulat), cyt/o (sel)
S: osis: kondisi
* kondisi gangguan yang terjadi pada lapisan permukaan membrane
eritrocyte

2. Splenectomy
P: -
R: splen/o (limfa)
S: ectomy (pemotongan)
*Pemotongan pada limfa

3.Splenomegaly
P:-
R : Splen/o (limfa)
S : Megaly (pembesaran)
*Pembesaran pada limfa

446
DAFTAR PUSTAKA

Hereditary spherocytosis. Genetics Home Reference.


September, 2013; http://ghr.nlm.nih.gov/condition/hereditary-
spherocytosis.

Hemolytic anemia. MedlinePlus. January 19,


2018; https://medlineplus.gov/ency/article/000571.htm.

Hereditary Spherocytosis. Seattle


Children's. http://www.seattlechildrens.org/medical-conditions/heart-
blood-conditions/hereditary-spherocytosis/. Accessed 6/19/2018.

Spherocytosis herediter (penyakit Minkowski-Schoffar) |


Kompeten tentang kesehatan di iLive (iliveok.com)
https://jassnani.blogspot.com/2014/02/apakah-itu-hereditary-
spherocytosis.html
Teny Tjitra Sari, Ismi Citra Ismail Departemen Ilmu Kesehatan
Anak RS Cipto Mangunkusumo Jakarta (Sari Pediatri
2009;11(4):298-304).
Hereditary spherocytosis | Pathology Student Jul 8, 2009

447
SYNDROME DYSMIELOPOETIK

Dosen Pengampuh
dr. R. A. Rengganis Ularan, MM

Disusun Oleh :
TRIA SITI NUR AZIZAH (205035)

D3 RMIK
2021

448
BAB I
PENDAHULUAN
Faktor resiko untuk berkembangnya Syndrome Dysmielopoetik
antara lain , Usia. Studi populasi di Inggris menemukan bahwa secara
kasar insiden meningkat dari 0,5 dalam 100.000 populasi yang berusia
dibawah 50 tahun menjadi 89 dalam 100.000 populasi pada orang yang
berusia 80 tahun atau lebih.(Fitria Rahmawati, 2014)
Syndrome Dysmielopoetik atau Sindroma Dismielopoetik (SDM)
memang menyerang beberapa orang dengan symptomp yang
ditimbulkan seperti anemia karena memang disease ini berhubungan
dengan emia yang dimana kadarnya dalam tubuh sedang menurun
maka terjadilah syndrom ini (Hendrik,2014).
Syndrome Dysmielopoetik atau Sindroma Dismielopoetik (SDM)
ini meliputi disease yang sebelumnya disebut sebagai preleukemia,
smouldering leukemia, oligoblastic leukemia, hemopoetic dysplasia,
sindrom mielodisplastik, primary acquired sideroblastic anemia.
Manifestasi klinisnya disebabkan karena adanya sitopeni yaitu terjadi
ketika satu atau lebih, jenis eritrosit penderita lebih rendah dari yang
seharusnya atau dalam keadaan sedang menurun , baik tunggal maupun
kombinasi, yaitu keluhan-keluhan anemia yang , dan disebabkan oleh
perhaemoan karena trombopeni dengan segala akibatnya (WHO).

449
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi


Pada penderita sindrom dysmielopoetik , bone marrow
memproduksieritrosit yang abnormal. Sel-sel abnormal ini tidak
berkembang sepenuhnya dan akan mati ketika masih berada di dalam
bone marrow atau saat memasuki aliran hemo . Seiring waktu, jumlah
eritrosit abnormal akan semakin banyak dan melebihi jumlah eritrosit
yang sehat atau ―matang‖. Hal inilah yang kemudian menimbulkan
symptom sindrom mielodisplasia.

Syndrome Dysmielopoetik atau Sindroma Dismielopoetik (SDM)


adalah suatu sindrom yang di tandai oleh displasi dari sistem hemopoetik
(dysmyelopoesis, dyserthoropoesis, dan dysthrombopoesis), baik
tunggal maupun campuran, disertai dengan gangguan maturasi dan
diferensiasi yang sebelumnya belum diketahui. Jika penyebabnya
diketahui disebut SDM sekunder, misalnya defisiensi vitamin B12 atau
defisiensi asam folat, teraphy sitostatik, dan sebagainya.

Syndrome Dysmielopoetik atau Sindroma Dismielopoetik (SDM)


pada umumnya terjadi pada usia lanjut dengan rerata umur 60-75 tahun,
laki-laki sedikit lebih sering daripada perempuan dan penyebabnya
sampai saat ini masih belum diketahui (Hendrik, 2014).

Syndrome Dysmielopoetik atau Sindroma Dismielopoetik (SDM)


ini meliputi disease yang sebelumnya disebut sebagai preleukemia,
smouldering leukemia, oligoblastic leukemia, hemopoetic dysplasia,
sindrom mielodisplastik, primary acquired sideroblastic anemia.
Manifestasi klinisnya disebabkan karena adanya sitopeni yaitu terjadi

450
ketika satu atau lebih jenis eritrosit Anda lebih rendah dari yang
seharusnya., baik tunggal maupun kombinasi, yaitu keluhan-keluhan
anemia yang , dan disebabkan oleh perhaemoan karena trombopeni
dengan segala akibatnya (WHO).

2.2 Definisi Syndrom Dysmielopoetik


Syndrome dysmielopoetik atau SDM adalah disease yang disebabkan
oleh kerusakan pada eritrosit . Kondisi ini terjadi ketika eritrosit yang dihasilkan
oleh bone marrow tidak terbentuk dengan baik. Di dalam tubuh, bone marrow
bertugas memproduksi eritrosit , leukosit , dan trombosit. Leukosit ini
berfungsi membawa oksigen ke seluruh tubuh, melawan infection , dan
membantu proses thrombophilia .
Syndrome Dysmielopoetik atau Sindroma Dismielopoetik (SDM)
adalah suatu sindrom yang di tandai oleh displasi dari sistem hemopoetik
(dysmyelopoesis, dyserthoropoesis, dan dysthrombopoesis), baik
tunggal maupun campuran, disertai dengan gangguan maturasi dan
diferensiasi yang sebelumnya belum diketahui. Jika penyebabnya
diketahui disebut SDM sekunder, misalnya defisiensi vitamin B12 atau
defisiensi asam folat, pengoba.

2.3 Patofisiologi Syndrom Dysmielopoetik

1) Patofisiologi Syndrom Dysmielopoetik

Perkembangan disease syndrome dysmielopoetik dapat terjadi


melalui berbagai mekanisme seperti paparan lingkungan terhadap bahan
kimia seperti benzena, radiasi, paparan sebelumnya terhadap agen
kemoterapi, atau mungkin idiopatik, yang biasanya terlihat pada populasi
lanjut usia. Sindrom fail bone marrow yang terjadi seperti anemia
aplastik didapat dan anemia Fanconi memiliki risiko mengembangkan
451
dysmielopoetik ini. Syndrome dysmielopoetik dapat bersifat de novo atau
sekunder dari penyebab lain, terkait teraphy . Kemoterapi seperti
alkylators atau inhibitor topoisomerase II telah diketahui sebagai
penyebab dysmielopoetik , biasanya terjadi 2 sampai 7 tahun setelah
paparan.

Mekanisme perkembangan disease syndrome dysmielopoetik


telah dikaitkan dengan berbagai kelainan genetik dan kromosom, yang
mungkin terjadi secara de novo atau sekunder dari salah satu etiologi di
atas. Kelainan sitogenetik terlihat pada lebih dari 80% pasien dan
termasuk translokasi atau lebih umum, aneuploidi (kehilangan atau
penambahan kromosom). Perubahan sitogenetika memainkan peran
besar dalam sistem penilaian prognostik Internasional (IPSS).
Penghapusan lengan panjang kromosom 5 (5q) adalah kariotipe
abnormal yang paling umum dan dapat dibagi menjadi 2 kategori:
Syndrome dysmielopoetik terkait teraphy dengan penghapusan 5q,
biasanya dengan paparan agen alkilasi, versus penghapusan 5q
terisolasi de novo. Pasien dengan delesi 5q yang berhubungan dengan
agen kemoterapi sebelumnya biasanya juga memiliki kelainan
sitogenetik lain dan/atau mutasi TP53 dan biasanya menunjukkan
prognosis yang buruk. Penghapusan 5q terisolasi tanpa kelainan
sitogenetik lainnya memiliki prognosis yang jauh lebih baik. Kelainan
sitogenetik lain yang biasa dipelajari termasuk kariotipe normal, delesi 7q
(-7), trisomi 8 dan -Y.

Klasifikasi Neoplasma Myeloid Organisasi Kesehatan Dunia


(WHO) 2016 menjelaskan beberapa subkategori neoplasma
mielodisplastik, selain sindrom tumpang tindih yang memiliki fitur
mieloproliferatif dan mielodisplastik. Klasifikasi ini didasarkan pada
perbedaan morfologi, displasia dan kariotipe, khususnya delesi 5q.

452
Klasifikasi MDS menurut WHO (2016) adalah sebagai berikut:

 Sindrom myelodysplastic (MDS) dengan displasia garis


keturunan tunggal
 SDM (Syndrome dysmielopoetik) dengan sideroblas cincin
(SDM-RS)
 SDM (Syndrome dysmielopoetik) dengan displasia multi-garis
keturunan (SDM-MLD).
 SDM (Syndrome dysmielopoetik) dengan ledakan berlebih
(SDM -EB-1), dengan ledakan 5% hingga 9% di bone marrow
9%.
 SDM (Syndrome dysmielopoetik) dengan blas berlebih (SDM-
EB-2), dengan 10% hingga 19% blas di bone marrow.
 SDM (Syndrome dysmielopoetik) dengan del terisolasi (5q)
 SDM (Syndrome dysmielopoetik) , tidak dapat diklasifikasikan
(MDS-U)

Selain itu, terdapat overlap syndrome yang termasuk dalam


klasifikasi WHO 2016, antara lain:

 Neoplasma dysmielopoetik dengan sideroblas cincin dan


trombositosis (MDS/MPN-RS-T)
 Neoplasma mielodisplastik/dysmielopoetik tidak dapat
diklasifikasikan

2) Etiologi Syndrome Dysmielopoetik

Syndrom dysmielopoetik adalah kelainan klonal sel puncak


myeloid yang dapat terjadi secara de novo atau sekunder akibat
berbagai gangguan bone marrow . Berbagai etiologi lingkungan dan

453
iatrogenik telah terlibat dalam SDM (syndrom dysmielopoetik), termasuk
paparan kemoterapi (khususnya agen alkilasi), radiasi atau racun
lingkungan seperti benzena. MDS familial telah dilaporkan tetapi
merupakan entitas yang langka.

Faktor sebelumnya yang sebenarnya untuk de novo MDS tidak


sepenuhnya dipahami tetapi diasumsikan terjadi dari proses onkogenik
yang menghasilkan satu atau lebih mutasi somatik.

Dengan perkembangan ini, peneliti dapat mengidentifikasi satu


atau lebih mutasi driver pada hingga 80% hingga 90% pasien dengan
beberapa yang paling umum ,misalnya, adalah mutasi yang diketahui
mengganggu hematopoiesis normal. Lebih dari 100 gen telah ditemukan
bermutasi berulang dalam SDM (syndrome dysmielopoetik), dan ini
mengkodekan komponen spliceosome, faktor remodeling kromatin,
modulator pola epigenetik, dan faktor transkripsi antara lain.

Mutasi driver ini telah ditemukan berkorelasi dengan fitur klinis


yang berbeda, termasuk tingkat keparahan sitopenia, persentase
ledakan, sitogenetika, dan kelangsungan hidup secara keseluruhan. Dari
catatan, mutasi genetik tidak termasuk dalam sistem penilaian prognostik
untuk MDS tetapi mereka telah ditemukan untuk mempengaruhi
kelangsungan hidup secara keseluruhan dalam beberapa kasus. TP53
misalnya, merupakan supresor tumor genesis yang memiliki prognosis
buruk dibandingkan mutasi lainnya.

SDM (syndrome dysmielopoetik) mungkin de novo atau terkait


dengan penggunaan agen kemoterapi sebelumnya, juga dikenal sebagai
SDM (syndrome dysmielopoetik) terkait teraphy (t-SDM).

454
Entitas ini dikaitkan dengan prognosis yang buruk dibandingkan
dengan MDS de novo dan biasanya terjadi lima sampai tujuh tahun
setelah penggunaan agen kemoterapi. Agen alkilasi seperti siklofosfamid
telah dikaitkan dengan jenis SDM ini. SDM (syndrome dysmielopoetik )
umumnya dikaitkan dengan monosomi pada kromosom 5 atau 7 dan
sitogenetika kompleks. Jenis SDM (syndrome dysmielopoetik ) ini juga
biasanya berubah menjadi leukemia myeloid akut (AML.) Dalam tinjauan
retrospektif dari 112 pasien dengan SDM (syndrome dysmielopoetik) ,
55% berubah menjadi leukemia myeloid akut, sementara SDM
(syndrome dysmielopoetik ) de novo berubah menjadi AML hanya sekitar
30% dari waktu. Kelangsungan hidup keseluruhan rata-rata untuk SDM
(syndrome dysmielopoetik) sekunder, atau terkait teraphy, hanya sekitar
30 minggu.

Sign dan Symptom

Sign yang ditimbulkan dari penderita penyakit syndrome


dysmielopoetik (SDM) ini kebanyakan lebih dikaitkan dengan adanya
sign yang mengarah pada kasus sitopenia. Umumnya pasien yang
menderita penyakit ini mejelaskan dengan keluhan fatingue , asthenia
yang disebabkan anemia, hemorrhage karena trombositopenia dan
infection dan fever yang dikaitkan dengan leukopenia/neutropeni juga
dapat menjadi keluhan pasien walaupun sedikit kurang sering. Pada
sebagian kecil dan sangat jarang dari pasien terjadi splenomegali atau
hepatomegali (Ningrum, 2009).

455
2.4 Diagnosa dan Diagnosa Banding Syndrom
Dysmielopoetik

Diagnosis Syndrome Dysmielopoetik atau Sindroma


Dismielopotik didiagnosa melalui beberapa pertimbangan terutama
untuk setiap pasien dewasa yang disertai symptom yaitu, anemi dan
haemorrhage dan/febris yang tidak jelas sebabnya dan refrakter
terhadap Pemeriksaan Peripheral Blood, menunjukkan adanya sitopeni
dari satu atau lebih sistem haemo, Adanya sel-sel muda/blas dalam
jumlah sedikit (< 30%) dengan atau tanpa monositosis haemo tepi., pada
bone marrow dapat hipo, normo, atau hiperselular dengan disertai
displasi sistem hemopoesis (anomali Pelger-Huet, perubahan
megaloblastik, peningkatan ringan sel-sel blas dan sebagainya)

Beberapa diantara gambaran-gambaran tersebut tidak dapat


dimasukkan dalam diagnosis yang jelas dari disease lain seperti ITP,
leukemi, anemi aplastik, dan lain-lain. Diagnosis SDM ditetapkan bila
ada butir 1 ditambah paling sedikit tiga dari butir 2. Sebenarnya untuk
diagnosis SDM perlu dibantu dengan pemeriksaan pembiakan bone
marrow cels dan pemeriksaan sitogenetik. Sitogenetik bone marrow
dapat memberikan informasi prognosis dan adanya abnormalitas
kromosom yang merupakan kunci untuk membedakan SDM primer dan
sekunder. Kromosom abnormal bone marrow ditemukan pada 30 - 50 :
pasien SDM de novo. Berbagai kelainan sitogenetik pada SDM
termasuk delesi, trisomi, monosomi dan anomali struktur (Ningrum ,
2009).

Diagnosis SDM harus dipertimbangkan pada setiap pasien,


khususnya pada pasien tua dengan persisten sitopenia atau
monositosis yang tidak dapat dijelaskan. Pemeriksaan yang teliti
terhadap apusan Peripheral Blood dan bone marrow diperlukan untuk

456
membuktikan kebenaran sitologi displastik dalam satu atau lebih
hematopoietic lineages. Keberadaan granulosit dengan nuclear
hipopigmentasi, yaitu, anomali pseudo-Pelger-Huet, mononuclear atau
mikromegakariosit, netrofil hipogranular atau megakariosit, makro-
ovalosit, dan akantosit mungkin akan jelas. Karena penemuan yang
tunggal bukan merupakan diagnosis MDS, kondisi yang poternsial
memberikan kontribusi harus dikeluarkan. Status gizi, penggunaan
alcohol dan obat-obatan, paparan dengan bahan kimia beracun, , terapi
sebelumnya dengan antineoplastik atau radioterapi dan faktor risiko
untuk harus diperhatikan (List and Doll,1998).

Disease dysmielopoetic syndrome (SDM) bisa


berlangsung selama beberapa tahun dengan anemia yang tidak
diketahui sebabnya dan trombositopeni atau neutropeni ringan.
gejala klinis yang muncul pada myelodysplastic syndrome
biasanya berkaitan dengan rendahnya jumlah Peripheral Blood , yaitu
anemia, atau trombositopeni atau neutropenia , namun 50% dari
penderita MDS tidak merasakan symptomp apa-apa, dan disease ini
baru ditemukan dengan tidak sengaja pada pemeriksaan haemo rutin
(Young, 2008).
Dari anamnesis, pasien biasanya datang dengan keluhan
asthenia saat beraktivitas dan fatingue saat selesai beraktivitas
yang disebabkan oleh anemia. Adanya kemungkinan riwayat
epistaksis , gingivitis, hematoma subkutan , sebagai manifestasi
klinis dari trombositopeni. Fungsi trombosit yang tidak baik
berakibat akan meningkatkan resiko terjadinya haemorrhage ,
Adanya febris , pneumonia danurinary tract infection , yang
dikaitkan dengan neutropeni.Hemoptisis , hematuria, dan haemo
pada fases juga mungkin terjadi . Adanya riwayat kemoterapi atau
paparan radiasi merupakan fakta yang penting (Young, 2008).

457
2.5 Penatalaksanaan Syndrom Dysmielopoetik
Teraphy (Kuratif)

Semua pasien dengan dysmielopoetik bersymptomp disarankan


untuk menjaga pola makan, mengonsumsi makanan dan minum yang
terjaga kandungan gizinya agar menghindari penyumbatan emia yang
nantinya setelah dilakukannya pola hidup sehat makan akan dapat
mengurangi symptom yang diderita pasien.
Cangkok bone marrow (Bone Marrow Transplatation) Cangkok
bone ,marrow alogenik merupakan teraphy utama pada SDM terutama
dengan usia < 30 tahun, dan merupakan terapi kuratif, tetapi masih
merupakan pilihan < 5% dari pasien. Kemoterapi Pada fase awal dari
SDM tidak dianjurkan untuk diberikan kemoterapi, umumnya diberikan
pada tipe RAEB, RAEB-T, CMML. Sejak tahun 1968 teraphy ARA-C
dosis rendah yang diberikan pada pasien SDM dapat memberikan
response rate antara 50 – 75 % dan respons ini tetap bertahan 2 – 14
bulan setelah teraphy. Dosis ARA-C yang direkomendasikan adalah 20
mg/m2/hari secara drip atau 10 mg/m2/hari secara subkutan setiap 12
jam selama 21 hari.

GM-CSF atau G-CSF (granulocyte colony stimulating factor


(G-CSF) dan granulocytemacrophage colony stimulating factor
(GMCSF)) Pada pasien SDM yang mengalami pansitopeni dapat
diberikan GMCSF atau G-CSF untuk merangsang diferensiasi dari
hematopoetic progenitor cells. GM-CSF diberikan dengan dosis 30 – 500
mcg/m2/hari atau G-CSF 50 – 1600 mcg/m2/hari (0,1 – 0,3
mcg/kgBB/hari/subkutan) selama 7 – 14 hari. Lain-lain Piridoksin,
androgen, danazol, asam retinoat dapat digunakan untuk curative pasien
SDM. Piridoksin dosis 200 mg/hari selama 2 bulan kadang-kadang dapat
memberikan respon pada tipe RAEB walaupun sangat kecil. Danazol

458
600 mg/hari/oral dapat memberikan response rate 21 – 33 % setelah 3
minggu.
Pada pasien dengan dysmielopoetic syndrome, ditemukan
perubahan yang signifikan pada perhitungan Peripheral Blood .
Pemeriksaan Haemo merupakan tindakan kuratif pada penyakit ini ,pada
perhitungan Peripheral Blood , anemia muncul pada sebagian besar
kasus, baik berdiri sendiri maupun sebagai bagian dari bisitopeni
atau pansitopenia., Adanya neutropenia atau trombositopenia tanpa
disertai anemia jarang terjadi(Young, 2008).
Pencegahan (Prefentif)

Pasien dengan disease SDM (syndrome dysmielopoetik) juga akan


disarankan untuk mengubah gaya hidup menjadi lebih sehat, dengan
melakukan beberapa hal berikut ini:

 Mempertahankan berat badan ideal


 Mengonsumsi makanan bergizi seimbang, seperti sayur dan
buah- buahan
 Berolahraga secara rutin
 Mengelola stres dengan baik
 Berhenti merokok
2.6 Penunjang Medis

Pasien dengan diagnosa SDM (syndrome dysmielopoetik)


mungkin secara klinis tidak menunjukkan gejala selama bertahun-tahun
dan mungkin memiliki temuan sitopenia yang tidak disengaja pada
laboratorium rutin. Orang lain mungkin hadir dengan tanda dan sign dan
symptomp yang berhubungan dengan fail bone marrow seperti
asthenia,haemorhhage, atau infection.
Manifestasi klinis yang paling umum, dan pasien mungkin
dengan symtomp fatingue, asthma, angina pectrosia atau chepalgia
459
karena hal ini. Haemorrhage atau petechiae dari trombositopenia, serta
infection dari neutropenia, lebih jarang ditemukan. Pada pemeriksaan
fisik, pasien hanya dapat dicatat memiliki sign dan symptomp yang
konsisten dengan anemia atau petekie. Pasien-pasien yang
diklasifikasikan sebagai berisiko tinggi atau memiliki prognosis yang
buruk mungkin akan memerlukan teraphy dan dapat dipertimbangkan
untuk transplantasi sel induk alogenik .
Perawatan utama untuk pasien dengan diagnosa SDM
(Syndrome dysmielopoetik )melibatkan penilaian gejala dan morbiditas
potensial yang dikaitkan dengan disease ini . Pasien tidak selalu
memerlukan teraphy selama tidak menunjukkan symptomp dan sebagian
besar dapat di teraphy dengan tindakan suportif seperti transfusi darah
intermiten atau trombosit.. Pilihan teraphy termasuk tindakan suportif,
teraphy intensitas rendah dengan agen sistemik, atau teraphy intensitas
tinggi seperti transplantasi sel induk alogenik. Satu-satunya modalitas
kuratif tetap transplantasi
Keputusan teraphy sering bersifat individual untuk setiap pasien
dan berdasarkan potensi morbiditas dan mortalitas dari teraphy . Pasien
dalam kategori risiko menengah atau tinggi umumnya dipertimbangkan
untuk teraphy. Keputusan teraphy sering bersifat individual untuk setiap
pasien dan berdasarkan potensi morbiditas dan mortalitas dari teraphy.
Pasien dalam kategori risiko menengah atau tinggi umumnya
dipertimbangkan untuk teraphy. Keputusan teraphy sering bersifat
individual untuk setiap pasien dan berdasarkan potensi morbiditas dan
mortalitas dari teraphy. Pasien dalam kategori risiko menengah atau
tinggi umumnya dipertimbangkan untuk teraphy.

460
BAB III
PEMBAHASAN

Gambar 3.1 penyakit normal dan abnormal dan berikan


penjelasan

1) Pembentukan abnormal pada bone marrow

2) Bone Marrow puncture

461
3) Pasien dengan disease syndrome dysmielopoetik

Karena definisi dari syndrome dysmielopoetik sendiri adalah


pembentukan abnormal pada bone marrow maka dapat divisualisasikan
pada gambar tersebut , bone marrow penderita disease ini seperti
disease myalgia yaitu algos (nyeri) .

462
BAB IV
PENUTUP
Syndrome Dysmielopoetik atau Sindroma Dismielopoetik (SDM)
adalah suatu sindrom yang di tandai oleh displasi dari sistem hemopoetik
(dysmyelopoesis, dyserthoropoesis, dan dysthrombopoesis), baik
tunggal maupun campuran, disertai dengan gangguan maturasi dan
diferensiasi yang sebelumnya belum diketahui. Jika penyebabnya
diketahui disebut SDM sekunder, misalnya defisiensi vitamin B12 atau
defisiensi asam folat, teraphy sitostatik, dan sebagainya.

Syndrome Dysmielopoetik atau Sindroma Dismielopoetik (SDM)


ini meliputi disease yang sebelumnya disebut sebagai preleukemia,
smouldering leukemia, oligoblastic leukemia, hemopoetic dysplasia,
sindrom mielodisplastik, primary acquired sideroblastic anemia.
Manifestasi klinisnya disebabkan karena adanya sitopeni yaitu terjadi
ketika satu atau lebih jenis sel haemo anda lebih rendah dari yang
seharusnya atau dalam keadaan sedang menurun , baik tunggal maupun
kombinasi, yaitu keluhan-keluhan anemia yang , dan disebabkan oleh
perhaemoan karena trombopeni dengan segala akibatnya (WHO).

463
BAB V
TERMINOLOGI

1. Dysmielopoetik
p : dys (abnormal)
r : myel/o (sum sum tulang belakang)
s : poetik ( pembentukan)
Arti keseluruhan : pembentukan abnormal pada sumsum tulang
2. Haemopoetic

P:-
R : haem/o (haemo)
S : poetik (pembentukan)
Arti keseluruhan : pembentukan haemo
3. Dysplasia
P : dys (abnormal)
R : plas (bentuk)
Ps : -ia
Arti keseluruhan :
pembentukan haemo
dengan bentuk
abnormal
4. Myelodisplastic

P: dys (abnormal)
R: myel/o (sumsum tulang)
S : plastic (perbaikan)
Arti keseluruhan : perbaikan abnormal pada sumsum tulang
5. Oligoblastic

P : olig/o- (hilang)
R :blast/o (benih)

464
Ps : ic (tidak terbentuknya calon haemo)

6. Neutropenia

P:-
R: neutr/o (yang dimaksut neutrofil)
S : penia (kekurangan/penurunan)
Arti Keseluruhan : kadar sel haemo putih dibawah normal
7. Sitopenia

P:-
R : Cyt/o (sel)
S : -penia (kekurangan/penurunan)
Arti : kondisi kurangnya sel dewasa
8. Thrombositopenia

P :-
R : Thrombocyt/o (trombosit/keping darah)
S : -Penia (kekurangan/Penurunan)
Arti : kondisi kadar trombosit dibawah normal
9. Gingivitis

P :-
R : -Gingiv/o (gusi)
S : -itis (peeradangan/inflamasi)
Arti : peradangan pada gusi
10. Hematoma

P :-
R : Hemat/o (darah)
S : -oma (tumor)
Arti : kumpulan darah abnormal diluar vascular
465
11. Hemoptysis

P :-
R : haem/o (darah)
S : -Ptysis (batuk)
Arti : Batuk Darah
12. Hematuria

P:
R : Hemat/o (darah)
S : -Uria (keadaan urin)
Arti : keadaan urin disertai darah
13. Pansitopeni

P : Pan- (semua/seluruh)
R : cyt/o (sel)
S : Penia (kekurangan/penurunan)
Arti : kondisi jumlah seluruh komponen darah dibawah normal
14. Dyserythropoiesis

P : Dys - (abnormal/sulit)
R : Erythr/o (merah / eritrosit)
S : poiesis (proses pembuatan)
Arti : kondisi abnormal dalam proses pembuatan sel darah
merah
15. Dysmyelopoesis

P : Dys- (abnormal/sulit)
R : Myel/o (sum sum tulang)
S : -poesis (proses pembuatan)
Arti : kondisi abnormal pada pembuatan sel sum sum tulang

466
16. Dysthrombopoesis

P : Dys- (abnormal/sulit)
R : Thromb/o (trombosit/keping darah)
S : -poesis (proses pembuatan)
Arti : kondisi abnormal pada pembuatan trombosit
17. Preleukemia

P : Pre- (Sebelum)
R : Leuk/o (putih)
S : -emia (kondisi darah)
Arti : sekumpulan gejala sebelum kanker darah (leukemia)

467
DAFTAR PUSTAKA

Alwi, I. (editors) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed. IV. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI. Pp: 663-5
Kantarjian HM,Keating MJ,Walters RS,Smith TL,Cork A,McCredie
KB,Freireich EJ, Therapy-related leukemia and myelodysplastic
syndrome: clinical, cytogenetic, and prognostic features. Journal
of clinical oncology : official journal of the American Society of
Clinical Oncology. 1986 Dec
Orazi A. Histopathology in the diagnosis and classification of acute
myeloid leukemia, myelodysplastic syndromes, and
myelodysplastic/myeloproliferative diseases. Pathobiology :
journal of immunopathology, molecular and cellular biology. 2007
York: McGraw Hill. Pp: 668-71.
http://www.google.co.id/http://ningrumwahyuni.wordpress.com/20
09/07/05/myelodysplasiasyndrome

Kantarjian HM, Keating MJ, Walters RS, Smith TL, Cork A, McCredie
KB, Freireich EJ, Leukemia terkait terapi dan sindrom
myelodysplastic: fitur klinis, sitogenetik, dan prognostik. Jurnal
onkologi klinis: jurnal resmi American Society of Clinical
Oncology. 1986 December

Young, Neals S. 2008. Aplastic Anemia, Myelodysplasia, and


Related Bone Marrow Failure Syndrome. In:
Kasper, DL., Braunwald, E., Fauci, A., Hauser, S., Longo,
D., Jameson, J. (editors) Harrison's 17 edition
Principles of Internal Medicine. New

468
THALASSAEMIA

Dosen Pengampu :
dr. R. A. Rengganis Ularan, MM

Disusun oleh :
Sakti Windu Maulana 203031
Rifky Armadiansyah 205070
Salma Nur Azizah 205109

D3 RMIK
2021

469
BAB I
PENDAHULUAN

Manusia adalah makhluk yang sangat unik. Manusia berbeda


satu sama lain dalam ciri normal fisik, fisiologi, dan mentalnya. Manusia
juga berbeda dalam kemungkinan menderita disease tertentu atau
abnormalitas lain. Keanekaragaman ini sebagian disebabkan karena
perbedaan kondisi lingkungan tempat mereka hidup dan sebagian juga
disebabkan oleh kelainan genetik (bawaan).
Thalassaemia adalah disease genetik kelainan emia akibat
defisit atau penurunan produksi/pembentukan hemoglobin (Dwi Sarwani
Sri Rejeki, 2012). Secara molekuler, thalassaemia dibedakan atas
thalassaemia alfa (α) dan beta (β), sedangkan secara klinis dibedakan
atas thalassaemia minor dan mayor. Menurut World Health Organization
(WHO), sekitar 5% dari seluruh populasi di dunia adalah karier
talasemia. United Nations International Children‘s Emergency Fund
(UNICEF) memperkirakan sekitar 29,7 juta pembawa talasemia-β berada
di India dan sekitar 10.000 bayi lahir dengan thalassaemia -β mayor. Di
Indonesia, setiap tahun akan lahir 3000 bayi penderita penyakit
thalassemia dimana yang berpotensi terkena thalassaemia tergolong
sangat tinggi dan pasien thalassaemia selalu bertambah setiap
tahunnya.
Gejala klinis penderita thalassaemia -β meliputi anemia,
jaundice, retardasi atau keterbelakangan pertumbuhan, kelainan bentuk
osteo terutama di wajah, pembesaran limpa, dan kerentanan terhadap
infeksi. Salah satu pengobatan yang dilakukan oleh penderita
thalassaemia adalah transfusi haemo setiap dua sampai empat minggu.

470
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi fisiologi


Hemoglobin adalah protein berupa pigmen merah pembawa oksigen
yang kaya zat besi. Hemoglobin memiliki daya gabung terhadap oksigen
untuk membentuk hemoglobin dalam eritrosit. Dengan dimulainya fungsi
ini maka oksigen dibawa dari pulmo ke tissue(jaringan). Pembentukkan
atau sintesis hemoglobin atau sintesis hemoglobin dimulai dari eritroblas
sampai berlangsung pada tingkat normoblas. Retikulosit bagian hem
(gabungan emia dari 12 hemoglobin) terutama disintesis dari asam
asetat dan gliserin sebagian besar sintesis ini terjadi dalam mitokondria.
Langkah awal pembentukkan senyawa pirol. Selanjutnya empat
senyawa pirol (nama kimia asam) bersatu membentuk senyawa
protoproferin berkaitan dengan besi membentuk molekul hem. Akhirnya
empat molekul berikatan dengan satu molekul gloin. Suatu molekul
globulin disintesis dalam ribosom reticulum endoplasma membentuk
hemoglobin. Kemampuan hemoglobin mengikat oksigen adalah lemah
dan reversible (Rangkaian kimia berubah arah). Kemampuan ini
berhubungan dengan respirasi. (Aprilliani, S. D. (2020))
Fungsi primer hemoglobin dalam tubuh bergantung pada
kemampuan untuk berikatan dengna oksigen dalam pulmo dan
kemudian mudah melepaskan oksigen ini ke kapiler jaringan tempat
tekanan gas oksigen jauh lebih rendah dari pada pulmo. Oleh karena
besi penting pada pembentukkan hemoglobin, myoglobin dalam otot dan
zat lain, maka penting untuk mengetahui cara besi digunakan dalam
tubuh. Jumlah total zat besi yang diperlukan tubuh rata-rata 4-5 gram
dalam 100 cc darah, 65% di antaranya membentuk hemoglobin. Bila besi
di absorpsi dalam usus halus, segera berikatan dengan globulin dan
transferrin (mengangkut zat besi) dalam bentuk ikatan blood plasma.

471
Kelebihan besi dalam emia ditimbun dalam liver cells dan berikatan 13
dengan protein apoferitin untuk membentuk ferritin (senyawa protein).
Bila jumlah besi dalam plasma turun sangat rendah, besi yang
dikeluarkan dari ferritin di transport ke bagian-bagian tubuh yang
memerlukan. Hemoglobin yang dilepakan dari cyt, bila pecah akan
difagosit segera oleh cyt retikulosit. Selama beberapa hari kemudian
melepaskan besi dari hemoglobin kembali ke darah untuk digunakan
kembali. Bagian hem molekul hemoglobin diubah oleh retikuloendotel
melalui berbagai tingkatan menjadi pigmen empedu. Bilirubin yang
dilepskan ke dalam emia akan disekresi oleh hepat ke dalam chole.
(Aprilliani, S. D. (2020))

2.2 Definisi Thalassaemia

Thalassaemia merupakan kelainan darah yang disebabkan oleh


faktor genetik sehingga mengakibatkan protein yang ada di dalam sel
darah merah (hemoglobin) tidak berfungsi secara normal. Zat besi yang
diperoleh tubuh dari makanan seharusnya digunakan oleh sumsum
tulang untuk menghasilkan hemoglobin. Fungsi hemoglobin dalam sel
darah merah sendiri sangat penting, yaitu mengantarkan oksigen dari
paru-paru ke seluruh tubuh.

2.3 Pathofisiologi Thalassaemia

Menurut Suriadi (2006) patofisiologi dari thalassemia yaitu normal


hemoglobin terdiri dari Hb A dengan dua polipeptia rantai α dan dua
rantai β. Pada β thalassemia yaitu tidak adanya atau kurangnya rantai β
dalam molekul hemoglobin yang mana ada gangguan kemampuan
eritorsit membawa oksigen. Ada suatu kompensator yang meningkat
dalam rantai α, tetapi rantai β memproduksi secara terus menerus

472
sehingga menghasilkan hemoglobin defective. Ketidakseimbangan
polipeptida ini memudahkan ketidakstabilan dan disintegrasi. Hal ini
menyebabkan sel darah merah menjadi hemolysis dan menimbulkan
anemia dan atau hemosiderosis.
Kelebihan pada rantia α ditemukan pada thalassemia β dan
kelebihan rantai β dan gamma ditemukan pada thalassemia α. Kelebihan
rantai polipeptida ini mengalami presipitasi dalam sel eritrosit. Globin
intraeritrositik yang mengalami presipitasi, yang terjadi sebagai rantai
polipeptida α dan β, atau terdiri dari hemoglobin tak stabil badan Heinz,
merusak sampul eritrosit dan menyebabkan hemolysis. Reduksi dalam
hemoglobin menstimulasi bone barrow memproduksi RBC yang lebih.
Dalam stimulasi yang konstan pada bone barrow, produksi RBC di luar
menjadi eritropoitik aktif. Kompensator produksi RBC secara terus
menerus pada suatu dasar kronik dan dengan cepatnya destruksi RBC,
menimbulkan tidak adekuatnya sirkulasi hemoglobin. Kelebihan produksi
dan destruksi RBC menyebabkan bone barrow menjadi tipis dan mudah
pecah atau rapuh.
Mutasi yang terjadi pada DNA yang membuat hemoglobin pembawa
oksigen ke seluruh tubuh yang menyebabkan seseorang bisa mengidap
thalassaemia telah diteliti secara ekstensif. Mutasi di gen globin-β
dibuktikan terjadi di dalam region promotor dan tempat cap, di dalam
ekson dan intron, dan di taut penyambungan yang terdapat di batas
ekson-intron. Mutasi juga ditemukan di tempat poliadenilasi yang
kemudian penelitian mengenai efek mutasi tersebut telah membantu
mengungkapkan mekanisme bagaimana ekspresi gen diatur.

Symtomp talasemia
Thalassaemia merupakan disease keturunan yang menyebabkan
gangguan produksi eritrosit, sehingga eitrosit lebih cepat dihancurkan
(alodokter,2019). Oleh karena itu, penderita thalassaemia akan

473
mengalami symptom kekurangan haemo atau anemia. Symtomp anemia
tersebut antara lain:
1. Paleness
2. Fatigue
3. Ptosis
4. Cephalgia
5. Anoreksia
6. Brain fog
7. Agitasi
8. Palpitasi jantung
9. Dyspnea

Selain anemia, terdapat beberapa kelainan yang dapat dialami


oleh penderita thalassaemia, seperti:
1. Jaundice
2. Kelainan bentuk wajah, seperti tupai.
3. Gaster membengkak, akibat pembesaran organ limpa

(splenomegaly) dan pembesaran hepar (hepatomagaly).

Keparahan dan kapan symtopm muncul tergantung pada jenis


thalassaemia yang dialami. Symptom thalassaemia kebanyakan
muncul dalam 2 tahun pertama kehidupan, tetapi bisa juga sudah
muncul sejak lahir. Bayi yang menderita thalassaemia berat bahkan
dapat meninggal di dalam kandungan atau beberapa saat setelah
dilahirkan. Thalassaemia pada anak akan mengakibatkan berbagai
keluhan berikut:
1. Mudah lelah ketika bermain
2. Rewel
3. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan
4. Keterlambatan waktu puber

474
Thalassaemia juga bisa muncul saat remaja, dewasa, atau
bahkan tidak timbul symptom sama sekali. Namun perlu diingat,
walaupun tidak muncul symptom, penderita tetap bisa menurunkan
thalassaemia kepada anaknya kelak.

2.4 Diagnosa dan diagnosa banding Thalassaemia


1. Diagnosis molekuler

Bentuk heterozigot thalassaemia biasanya asimtomatik dan hanya


menunjukkan symptom anemia ringan sehingga sulit dideteksi melalui
pemeriksaan klinis atau pemeriksaan laboratorium biasa. Untuk
mendeteksinya diperlukan diagnosis molekuler untuk menentukan jenis
mutasi yang terjadi. Tujuannya adalah untuk menentukan perubahan
urutan DNA pada seorang penderita. Untuk keperluan tersebut
digunakan berbagai macam metode pemeriksaan, baik dilakukan secara
terpisah maupun secara gabungan (kombinasi).
a. Polymerase Chain Reaction (PCR)
Tujuan penggunaan PCR adalah untuk menggandakan gen
globin yang kemudian hasilnya digunakan untuk menentukan jenis
mutasi melalui metode lain. Dalam keadaan tertentu PCR dapat
langsung digunakan untuk menentukan mutasi, yaitu apabila mutasi
berupa delesi yang panjang (Large deletion) misalnya pada
thalassaemia-α tipe delesi. DNA Sequencing Cara ini digunakan untuk
menentukan urutan nukleotida dalam DNA yang dilaksanakan dengan
dua metode, yaitu:

 Metode kimia (Metode Maxam dan Gilbert)


 Metode dideoksinukleotida (Metode Sanger)

C. Southern blotting
Cara ini digunakan untuk mendeteksi :

475
 Delesi yang panjang (Large Deletion)
 Mutasi titik, bila mutasi tersebut menghapus atau
menimbulkan tempat restriksi

D. Dot blotting
Dipakai untuk mendeteksi mutasi titik. Syarat-syaratnya adalah
mutasi tersebut telah diketahui sebelumnya. Bila mutasi belum diketahui
perlu diterapkan strategi lain, misalnya dengan menggunakan DGGE.
DGGE digunakan untuk mendeteksi mutan yang sebelumnya tak
diketahui. Bila DGGE menunjukkan adanya mutasi, maka selanjutnya
fragmen DNA tersebut ditentukan urutan nukleotidanya. Langkah-
langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut :

 Penggandaan fragmen DNA yang diduga mengandung


mutan yang belum diketahui (dilakukan dengan PCR).
 Aplikasi DNA pada denaturating gradient gel
 Elektroforesis.
 Pewarnaan dengan etidium bromide.

Bila mutan sudah diketahui, maka DGGE juga dapat dipakai


untuk deteksi mutasi tersebut yaitu membandingkannya dengan
pola pada mutan yang sudah diketahui.

2. Diagnosis prenatal

Bertujuan untuk mengetahui sedini mungkin apakah fetus yang


dikandung menderita thalassaemia mayor. Diagnosis ini terutama
ditujukan pada fetus dari pasangan baru yang sama-sama pengemban
sifat thalassaemia serta fetus dari pasangan yang telah mendapat bayi
thalassaemia sebelumnya.
Diagnosis ini dilakukan dengan menggunakan haemo yang
diperoleh dari fetus berusia 18-20 minggu, kemudian dilanjutkan dengan
476
analisis terhadap produksi rantai ß retikulosit. Diagnosis thalassaemia-ß
homozigot ditegakkan jika tidak terdapat produksi rantai ß atau
produksinya sangat rendah.

2.5 Penatalaksanaan Thalassaemia

Kelahiran penderita thalassaemia dapat dicegah dengan :


1. Pencegahan primer yaitu dengan melakukan penyuluhan
sebelum perkawinan untuk mencegah perkawinan diantara
penderita thalassaemia agar tidak medapat keturunan yang
homozigot atau varian-varian thalassaemia dengan mortalitas
yang tinggi.
2. Pencegahan sekunder dilakukan dengan pencegahan kelahiran
bayi homozigot dari pasangan suami istri dengan thalassaemia
heterozigot.

Kuratif thalassaemia ditentukan berdasarkan tipe dan tingkat


keparahan thalassaemia. Penderita thalassaemia minor biasanya tidak
membutuhkan penanganan khusus. Sedangkan penderita thalassaemia
mayor membutuhkan penanganan berupa:

1. Transfusi Haemo Berulang


Penderita thalassaemia mayor perlu melakukan
haemo tiap beberapa minggu. Sebelum transfusi dilakukan,
haemo penderita dan haemo pendonor akan dicocokkan untuk
menghindari reaksi yang tidak diinginkan.
Meskipun diperlukan, transfuse haemo yang dilakukan
berulang kali dapat menyebabkan penumpukan zat besi di
dalam tubuh. Kondisi ini bisa menimbulkan komplikasi berupa
liver disease atau pulmo disease.

477
Untuk mencegahnya, penderita perlu mendapatkan
terapi kelasi. Obat yang diberikan dalam terapi ini bisa dalam
bentuk tablet maupun suntik, dan berfungsi untuk menarik zat
besi dari dalam tubuh. Terapi kelasi akan dimulai satu atau dua
tahun setelah penderita menjalani transfusi haemo rutin.

2. Transplantasi Medulla Osseo


Prosedur ini dilakukan untuk menggantikan medulla
osseo yang terkena thalassaemia. Medulla osseo yang akan
ditransplantasikan diambil dari pendonor yang sehat dan cocok
dengan penderita, agar medulla osseo ini dapat menghasilkan
hemocyte yang normal.
Sayangnya, risiko prosedur ini cukup serius, yaitu
penolakan tubuh penderita terhadap medulla osseo donor.
Itulah sebabnya manfaat dan risiko pengobatan thalassaemia
dengan transplantasi medulla osseo perlu didiskusikan secara
mendalam dengan dokter. Prosedur ini biasanya hanya
dianjurkan pada thalassaemia yang sudah parah.

3. Splenektomi
Prosedur operasi pengangkatan limpa (splenektomi)
dilakukan jika organ limpa sudah sangat membesar, karena
pembesaran organ limpa (splenomegaly) akan memperparah
anemia yang dialami penderita.
Namun sebelum operasi, penderita akan diminta untuk
melakukan vaksinasi, seperti vaksinasi untuk penyakit hepatitis
B, pneumonia, dan meningitis. Hal ini dilakukan karena
penderita akan lebih berisiko untuk mengalami infeksi setelah
organ limpanya diangkat.

4. Menerapkan Pola Hidup Sehat


Penderita thalassaemia perlu menjalani pola hidup
sehat, dan dianjurkan untuk mengonsumsi makanan rendah

478
lemak, sayuran, dan buah-buahan. Penderita sebaiknya
membatasi makanan yang mengandung zat besi, seperti daging
sapi dan ati ayam.
Olahraga secara rutin juga penting untuk dilakukan.
Namun, sebaiknya konsultasikan dulu ke dokter mengenai jenis
olahraga yang aman serta intensitasnya.
Untuk melindungi diri dari infeksi, penderita dianjurkan
untuk rajin mencuci tangan dan membatasi interaksi dengan
orang sakit. Perlindungan ini dibutuhkan terutama untuk
penderita yang sudah menjalani operasi pengangkatan limpa.
2.6 Penunjang medis
Terdapat banyak pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan untuk thalassaemia. Walau demikian diagnosis pasti
hanya bisa didapati dengan pemeriksaan genetik.
Klinisi dapat mengarahkan pemeriksaan penunjang
sesuai dengan kebutuhan pasien. Secara umum, pada saat
mendapat dugaan thalassaemia pasien dapat diperiksa
pemeriksaan haemo lengkap dan apusan haemo tepi. Bilirubin
dan retikulosit dapat juga diperiksa apabila terdapat dugaan
anemia hemolitik dan studi zat besi dapat dilakukan untuk
menyingkirkan anemia defisiensi besi.
Pemeriksaan genetik PCR dapat kemudian dilakukan
untuk kembali mengkonfirmasi diagnosis thalassaemia setelah
elektroforesis Hb atau untuk mendiagnosis thalassaemia yang
tidak begitu terlihat secara klinis atau hasil elektroforesis Hb.
1. Pemeriksaan Hematologi

479
Pemeriksaan haemo lengkap dapat dilakukan sebagai
pemeriksaan penunjang pertama yang dilakukan oleh klinisi dan
dapat menegakkan diagnosis anemia.
Nilai bilirubin terutama bilirubin direk serta retikulosit
yang meningkat dapat mengarah pada suatu diagnosis anemia
hemolitik.
Apusan haemo tepi adalah pemeriksaan standar yang
dilakukan dengan pemeriksaan darah lengkap dan dapat
mengarahkan diagnosis pada thalassemia bila ditemukan
eritrosit mikrositik hipokrom.
2. Studi Zat Besi
Studi zat besi dapat dilakukan untuk menyingkirkan
diagnosis banding anemia defisiensi besi serta untuk memantau
efek samping kelebihan zat besi.
3. Elektroforesis Hemoglobin (Hb)

480
Elektroforesis Hb merupakan pemeriksaan yang wajib
dilakukan pada pasien yang diduga thalassaemia untuk menilai
persentase hemoglobin dalam haemo.

4. Pemeriksaan Genetik

Pemeriksaan genetik PCR dapat dilakukan untuk


sungguh-sungguh memastikan diagnosis thalassaemia setelah
pemeriksaan elektroforesis Hb.
5. Aspirasi Medula Ossea

481
Aspirasi sumsum tulang untuk menyingkirkan
diagnosis banding pada awal investigasi penyakit.

6. Pencitraan

482
Rontgen osteo untuk melihat fraktur dan deformitas
pada kasus thalassaemia berat yang tidak diberikan terapi
namun tidak harus dilakukan.
7. Pemeriksaan pada Cardio dan Hepar
Pemeriksaan pada cardio dan hepar untuk melihat
kadar besi dalam tubuh untuk melihat komplikasi dari transfusi
kronik. Pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah sebagai
berikut:
a. CT scan dan MRI

b. EKG dan ekokardiografi

483
c. Biopsi hepar bila perlu

BAB III
PEMBAHASAN

Gambar Penderita Thalassaemia


1. Perbedaan sel darah

484
2. Perbedaan Pada Wajah

3. Perbedaan Pada Tubuh

485
BAB IV
PENUTUP

Thalassaemia adalah anemia hemolitik disease (penurunan


jumlah eritrosit karena adanya penghancuran eritrosit secara berlebihan)
herediter yang diturunkan secara resesif. Secara molekuler,
thalassaemia dibedakan atas thalassaemia α (alfa), dan thalassaemia ß
(beta). Sedangkan secara klinis dibedakan atas thalassaemia minor dan
mayor.CSacara umum gejala thalassaemia adalah paleness, fatigue,
ptosis, cephalgia, anoreksia, brain fog, agitasi, palpitasi jantung, dan
dyspnea. Thalassaemia dapat didiagnosis dengan dua cara yaitu dengan
diagnosis molekuler dan diagnosis prenatal. Pencegahan thalassaemia
dapat menggunakan pencegahan primer dan sekunder. Hingga saat ini
belum ada obat yang dapat menyembuhkan thalassaemia disease.
Penatalaksanaan symptom ini dilakukan dengan beberapa cara yang
sudah ditetapkan.

486
BAB V
TERMINOLOGY

TERMINOLOGI MEDIS
1. Thalassaemia : kondisi dimana terjadi penurunan jumlah eritrosit
karena adanya penghancuran eritrosit secara berlebihan.
Prefix : thalass/o (lautan)
Roots : haem/o (darah)
Suffix : -ia (suatu keadaan)
2. Anemia : kondisi ketika tubuh kekurangan sel darah merah
(eritrosit) yang sehat atau ketika eritrosit tidak berfungsi dengan
baik.
Prefix : an (tidak)
Roots : haem/o (darah)
Suffix : -ia (suatu keadaan)
3. Splenomegaly : kondisi pembesaran pada organ limpa (splen),
yang bisa disebabkan oleh sejumlah penyakit atau infeksi.
Prefix : -
Roots : splen/o (limpa)
Suffix : megaly (pembesaran)
4. Hepatomegaly : kondisi membesarnya hati melebihi ukuran
normalnya.
Prefix : -
Roots : hepar/o (hati)
Suffix : megaly (pembesaran)
5. Pneumonia : peradangan pulmo yang disebabkan oleh infeksi.
Prefix : -
Roots : pneumo/pulmo (paru-paru)
Suffix : -ia (suatu keadaan)

487
6. Meningitis : kondisi ketika terjadi peradangan atau inflamasi pada
selaput otak (meningen).
Prefix : -
Roots : mening/o (membran)
Suffix : itis (peradangan)

488
DAFTAR PUSTAKA

Agustina, Rita, dkk. 2020. Kadar Ferritin dengan Status Gizi Pasien
Thalassemia β Mayor
Anak di RSAM Bandar Lampung. Jurnal Ilmiah Kesehatan
Sandi Husada. Dapat di
akses di : https://akper-sandikarsa.e-journal.id/JIKSH
Aprilliani, S. D. (2020). KARYA TULIS ILMIAH ASUHAN
KEPERAWATAN PADA
KLIEN ANAK DENGAN THALASEMIA YANG DIRAWAT DI
RUMAH SAKIT.
Sarwani Sri Rejeki, Dwi, dkk. 2012. Studi Epidemiologi Deskriptif
Talasemia. Jurnal
Kesehatan Masyarakat. Dapat di akses di :
http://journal.fkm.ui.ac.id/kesmas/article/view/61
Regar, Joyce. 2009. Aspek Genetic Talasemia. Manado : Jurnal
Biomedik.
Dapat di akses
di:Https://Ejournal.Unsrat.Ac.Id/Index.Php/Biomedik/Article/View/829/647
Biokimia Kedoketran Dasar. (2000). Indonesia: Egc.

489
Thrombophilia

Dosen Pembimbing :
dr. R. A. Rengganis Ularan, M. M

Disusun Oleh
Zidane M 205040
Adesty R 205080
Fiqih A 205118

D3 RMIK
2021

490
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Haemo merupakan sebuah cairan tubuh dan jaringan pengikat
yang berfungsi sebagai media transportasi zat-zat dan oksigen yang
dibutuhkan oleh jaringan tubuh, mengangkut bahan kimia hasil
metabolit yang nantinya akan dibuang, serta sebagai sarana
pertahanan tubuh terhadap virus atau bakteri. Terdapat dua bagian
yang menyusun haemo, adanya haemo plasma dan korpuskula.
Plasma darah berupa cairan kekuningan yang membentuk sebuah
medium cairan haemo, terdiri dari air, protein, mineral, dan garam
(Wikipedia, 2021).

Bagian korpuskula inilah yang membentuk sebuah hematokrit,


terdiri dari eritrosit, leukosit, dan trombosit. Ketika tubuh mengalami
hemorrhagia di derma yang terluka, secara langsung tubuh akan
merespon cedera dengan membentuk bekuan haemo. Proses itu
disebut dengan koagulasi. Namun pada saat tertentu, pembekuan
haemo sangat mudah terbentuk dan atau tidak dapat terurai
sepenuhnya, hal ini yang dinamakan hiperkoagulasi atau
pengentalan haemo atau kelainan thrombosis atau thrombophilia
(Allesia, 2020). Maka dengan adanya tulisan ini demi mengenal dan
memahami lebih dalam tentang fenomena thrombophilia.

Prevalensi terkait kondisi thrombophilia masih belum bisa


dipastikan. Penelitian selama ini berfokus pada pasien dengan
thrombophilia yang mengalami kejadian trombosis vena di sistem
saraf pusat. Cerebral venous trombosis terjadi pada lebih dari

491
sepertiga kasus pasien dengan thrombophilia. Penelitian awal
untuk mengetahui prevalensi trombosis arteri serebral (stroke) pada
populasi muda tanpa faktor risiko vaskular lain berkisar antara 2-
10%. Penelitian kejadian stroke iskemik dan transcient ischemic
attack (TIA) pada pasien berusia di bawah 55 tahun tanpa faktor
risiko vaskular lain menyebutkan prevalensi sebesar 46%, hampir
satu dari setiap dua orang (Sudira, 2013).

Jika dibandingkan dengan kematian akibat kanker sebesar


550.000 per tahun, thrombosis menimbulkan kematian 4 kali lebih
banyak. Ini menunjukkan bahwa thrombosis memberikan dampak
luar biasa pada morbiditas, mortalitas dan biaya perawatan medik
(Bakta, 2007). Saat ini diperkirakan sekitar 200.000 penduduk di
Amerika Serikat mengalami Venous Thromboemboli (VTE) setiap
tahunnya, dengan angka kematian sekitar 30%, dan sekitar 40.000
kematian disebabkan oleh emboli paru (Dalimoenthe, 2017).

1.2 Rumusan Masalah


a. Apa definisi dari thrombophilia?
b. Apa etiologi dari thrombophilia?
c. Apa patofisiologi dari thrombophilia?
d. Apa symptom dari thrombophilia?
e. Bagaimana kuratif dan preventif terhadap thrombophilia?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui dan memahami secara keseluruhan
mengenai disease thrombophilia.

492
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Untuk memahami apa itu thrombophilia.
b. Memahami etiologi dan patofisiologi dari thrombophilia.
c. Memahami cara pengobatan dan pencegahan terhadap
thrombophilia.

493
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Fisiologi Thrombophilia


Thrombophilia pada dasarnya terjadi pada vascular yang
merupakan bagian dari cardiovascular, berbentuk seperti selang dan
bertugas sebagai pengedar haemo ke seluruh tubuh (Wikipedia, 2020).
Bekuan haemo dapat terbentuk dan mengalir pada arteri dan vena,
kemudian gumpalan tersebut menempel pada dinding vaskuler organ
tertentu, yang nantinya menghambat aliran darah dan oksigen (Tarigan,
2018).
Bekuan haemo yang terjadi pada vena, atau yang biasa disebut
Deep Vein Thrombosis merupakan masalah yang paling sering terjadi.
Kondisi ini dapat menyebabkan komplikasi berupa emboli paru. Tidak
hanya itu, bagian tubuh lain seperti cephal dan cardio yang dapat
menyebabkan stroke atau heart attack di usia muda. Thrombophilia juga
beresiko menimbulkan masalah kehamilan seperti keguguran berulang
atau preeklamsia (Rafiqua, 2021).

2.2 Definisi Thrombophilia


Thrombophilia adalah suatu keadaan dimana haemo menjadi
lebih mudah membeku, atau kekentalan haemo yang meningkat
secara abnormal. Keadaan ini disebut juga hiperkoagulabilitas.
Mudahnya haemo membeku menyebabkan lebih mudah terjadi
sumbatan dalam vascular arteri maupun vena yang disebut
thrombosis (Dalimoenthe, 2017). Sebagian besar trombus terjadi
pada vena dikarenakan memiliki aliran haemo yang lambat dan
mengandung karbondioksida.

494
Thrombophilia dibagi menjadi dua, yaitu :
 Thrombophilia herediter, yaitu thrombophilia yang terjadi
karena kelainan genetik yang menurun.
 Thrombophilia acquired, yaitu thrombophilia yang terjadi
karena penyakit tertentu.
Pathofisiologi Thrombophilia
Menurut Dalimoenthe (2017) ada 3 hal yang mendasari
terjadinya thrombophilia, yaitu:

1. Stasis vascular: stasis vena merupakan faktor patogenesis


yang penting dalam terjadinya thrombosis. Penelitian telah
membuktikan bahwa sebagian besar trombus vena
berasal dari daerah dengan aliran haemo yang lambat,
seperti sinus-sinus vena besar yang ada di kaki atau pada
kantung yang ada di belakang katup vena. Hal ini terutama
terlihat pada keadaan fisik yang tidak aktif, misalnya tirah
baring, perjalanan dengan pesawat terbang yang lama,
dimana berkurangnya kontraksi otot-otot yang besar akan
menyebabkan berkurangnya aliran haemo atau stasis.
Diduga terkumpulnya haemo dalam waktu tertentu dapat
menyebabkan aktivasi sistem koagulasi yang
menyebabkan keadaan hiperkoagulabilitas lokal. Sebagai
tambahan, adanya kerusakan endotel akibat distensi
vascular pada saat pengumpulan haemo di area tertentu,
juga menyebabkan aktivasi sistem koagulasi.

2. Trauma vascular: trauma pada vascular dapat terjadi


akibat trauma fisik, inflamasi, atau aktivasi faktor koagulasi
yang ada di cyto endotel. Manipulasi pada pembedahan
merupakan etiologi utama trauma dinding pembuluh darah

495
dan aktivasi vascular. Contohnya kerusakan endotel
vascular pada operasi pelvis atau patella merupakan faktor
predisposisi terjadinya trombosis vena.

3. Hiperkoagulabilitas: risiko trombosis vena akan meningkat


bila keseimbangan antara kekuatan prodan anti- koagulan
terarah pada pembentukan bekuan. Bila ketidak-
seimbangan ini merupakan defek bawaan, keadaan
hiperkoagulabilitas yang terjadi akan menjadi faktor risiko
seumur hidup untuk terjadinya trombosis.

Symptom Thrombophilia
Symptom thrombophilia disebabkan oleh gumpalan haemo. Apabila
lokasi dan symptom dari thrombophilia pada organ :
 Ekstremitas Superior dan Inferior : nyeri apabila di tekan, dan
edema.
 Abdomen : Vomitus, diare, abdominal pain.
 Cardia : Dyspnea, Nausea, pusing, Hiperhidrosis, rasa tidak
nyaman di tubuh bagian atas, dan nyeri.
 Pulmo : Dyspnea, Hiperhidrosis, febris, Hemoptysis, Takikardia,
Chest pain.
 Cephal : Disartia, masalah penglihatan, pusing, dan cephalgia.

Etiologi Thrombopjilia
Thrombophilia dapat terjadi secara herediter ataupun acquired.
Secara teoritis etiologi thrombophilia adalah sebagai berikut :
 Kejadian fisik, kimia atau biologis, seperti inflamasi akut
atau kronis.
 Aktivasi trombosit yang tidak sesuai dan tidak terkontrol.
 Terpicunya aktivasi sistem koagulasi yang tidak terkontrol.

496
 Kontrol koagulasi yang tidak memadai terhadap fibrinolisis
yang terganggu.
 Berbaring lama di tempat tidur.
 Penggunaan obat hormonal (Estradiol valerate,
Conjugated Estrogen, dan Estriol).
 Obesitas.
 Diabetes Melitus.

2.4. Diagnosa dan diagnosa banding


Diagnosa trombosis dipikirkan kemungkinan adanya faktor risiko. Gejala
klinis amat tergantung letak, besar kecilnya trombosis dan organ
yang terpapar. Manifestasi penyakit dapat berupa multi organ
failure, sindroma coroner akut, emboli paru, stroke, kebutaan
emndadak, keguguran berulang-ulang dan bahkan pendarahan.
Penyakit-penyakit mieloproliferatif mudah diketahui dan sering
berkaitan dengan trombosis. Laboratorium yang dapat diperiksa
adalah darah rutin, kadar fibrinogen, kadar homosistein, antibodi
antifosfolipid, protein C, protein S, AT III, faktor V Leiden, faktor VIII,
D-Dimer, agregasi trombosit. Sesuai letak trombosis mungkin juga
diperiksa angiografi, venografi, CT-Scan kepala, dan lain-lain.

2.5. Penatalaksanaan

Kuratif Terhadap Thrombophilia


Kuratif thrombophilia dilakukan untuk mencegah trombosis
sebagai komplikasi thrombophilia. Untuk mencegah trombosis di
vascular, umumnya dokter akan memberikan obat anti-koagulan,
yaitu salah satu jenis pengencer haemo yang berfungsi untuk
mencegah terbentuknya bekuan haemo yang dapat menyumbat
vascular.

497
Terdapat berbagai jenis antikoagulan. Jika penderita
membutuhkan perawatan di rumah sakit, maka antikoagulan yang
diberikan adalah heparin atau low molecular weight
heparin (LMWH). Heparin diberikan dengan cara diinfus atau
disuntikkan di bawah derma, sedangkan LMWH diberikan dengan
cara disuntikkan di bawah derma saja. Sementara itu, untuk kasus
rawat jalan, pada umumnya antikoagulan tablet seperti warfarin atau
rivaroxaban yang akan diberikan. Hal yang penting untuk
diperhatikan saat mendapatkan pengobatan antikoagulan adalah
pemantauan haemo agar tak terlalu encer, juga tak terlalu kental.

Preventif Thrombophilia
Kegiatan preventif pada thrombophilia dapat dilakukan beberapa
cara salah satunya berkaitan dengan pola hidup sehat, sebagai
contoh :
 Menjaga bereat badan ideal.
 Olahraga setidaknya 1 kali sehari dalam kurun waktu 3-5
kali per minggu.
 Menghindari konsumsi obat hormonal.
 Menghindari rokok dan alcohol.
 Hindari posisi duduk melipat kaki dalam waktu yang lama
dan usahakan melakukan peregangan setidaknya satu
jam sekali.

498
2.6. Penunjang medis
Thrombophilia atau keadaan protombotik harus diketahui supaya dapat
dilakukan pengobatan untuk menghindari penyakit yang umumnya
fatal. Untuk pengobatan penyakit tromboemboli dipakai obat-obat
golongan anti trombosit, anti koagulan oral, heparin dan kadang-
kadang obat-obat fibrinotik untuk penderita gawat seperti infark
miokard akut dan emboli paru. Laboratorium yang dapat diperiksa
adalah darah rutin, kadar fibrinogen, kadar homosistein, antibodi
antifosfolipid, protein C, protein S, AT III, faktor V Leiden, faktor VIII,
D-Dimer, agregasi trombosit. Sesuai letak trombosis mungkin juga
diperiksa angiografi, venografi, CT-Scan kepala, dan lain-lain
tergantung manifestasinya.

499
BAB III

PEMBAHASAN

Gambar Vascular Normal dan Abnormal Pada Penderita


Thrombophilia

Darah adalah salah satu unsur penting dalam menopang kehidupan


manusia. Untuk menunikan tugas tersebut darah harus tetap cair dan
tetap berada dalam sistem pembuluh darah sehingga diperlukan
keseimbangan antara hemostatis dan fibrinolysis. Untuk
mempertahankan adanya keseimbangan hemostatis dan fibrinolysis
dibutuhkan kerja sistem pembuluh darah (vaskuler), trombosit, faktor-
fakor pembekuan, aktivator-aktivator dan inhibitor-inhibitor.

Keseimbangan terganggu apabila terjadi hiperaktivitas hemostatis atau


fibrinolysis. Trombosis terjadi apabila ada hiperaktivitas hemostatis dan
sebaliknya pendarahan terjadi apabila ada hiperaktivitas fibrinolysis.
Banyak faktor dapat memicu hemostatis hiperaktif sehingga terjadi
trombosis baik pada vena maupun arteri.

500
BAB IV

PENUTUP

Pada dasarnya thrombophilia memang sebuah hemopathy yang


tidak bisa dianggap remeh, pasalnya terdapat kejadian abnormal
pada sistem pembekuan haemo yang dimiliki setiap manusia.
Trombosit bekerja sebagaimana tugasnya, membekukan haemo
untuk menanggulangi pendarahan yang keluar. Namun di beberapa
kasus, trombosit mengalami gangguan sehingga terjadinya sistem
kerja yang abnormal. Hal tersebut datang melalui adanya
gangguan genetik yang menurun atau bisa jadi karena hemopathy
tertantu.

Sebuah gangguan yang cukup serius bilamana terjadi pada


titik-titik tertentu misalnya, gangguan fungsi cardia dan cerebral.
Penggunaan antikoagulan menjadi salah satu penunjang kuratif
yang berfungsi sebagai pengencer heamo. Tetap saja, dibutuhkan
pemantauan khusus agar tetap menjaga haemo tidak terlalu kental
dan terlalu encer.

501
BAB V

TERMINOLOGI MEDIS

Thrombophilia
 Throm.bo.phil.ia (throm"bo-fil'e-a) thromb/o-' + -philial
Kecenderungan terjadinya trombosis. Keadaan ini dapat
bersifat familial, terdapat sebagai galur multifaktor dan
disebabkan oleh mutasi pada berbagai faktor pembekuan,
antikoagulan, atau trombolitik, baik tersendiri maupun
dalam kombinasi satu sama lain atau dengan berbagai
faktor lingkungan.
 Thromb(o). [Yun. thrombos bekuan] bentuk gabung yang
menunjukkan hubungan dengan suatu bekuan atau
trombus.
 Throm.bus (throm'bes) jam. throm‘bi [Yun. thrombos
bekuan] bekuan darah yang bersifat stasioner di
sepanjang dinding pembuluh darah, seringkali
menyebabkan obstruksi vascular. Beberapa ahli
membedakan pembentukan trombus dengan
pembentukan koagulasi atau bekuan sederhana.
 -philia [Yun. philein mencintai] akhiran kata yang
menunjukkan (a) rasa senang atau rasa tertarik secara
mencolok atau abnormal atau (b) afinitas terhadap suatu
objek yakni kata dasar yang ditambahkan imbuhan ini.

Thrombophilia pada ICD-10 Volume 1 & 3 :


 D68.5 Primary Thrombophilia
 D68.6 Other Thrombophilia
502
DAFTAR PUSTAKA

Dalimoenthe, N. Z. (2017). The Management and Diagnosis of


Trombofilia. Bandung: Universitas Padjadjaran.

Bakta, I. M. (2007). Thrombosis dan Usia Lanjut. Jurnal Penyakit Dalam,


8(2). Denpasar: Universitas Udayana

Willy, T. (2018). Trombofilia. Diakses pada 23 Mei 2021, dari


https://www.alodokter.com/trombofilia

Rafiqua, N. (2021). Trombofilia. Diakses pada 23 Mei 2021, dari


https://www.sehatq.com/penyakit/trombofilia

Alessia, T. (2020). Memahami Proses Pembekuan Darah (Koagulasi)


Saat Terjadi Luka. Diakses pada 23 Mei 2021, dari
https://hellosehat.com/kelainan-darah/hemofilia/proses-pembekuan-
darah/

Sudira, P. G. (2013). Stroke dan Hiperkoagulasi. Yogyakarta: Universitas


Gajah Mada.

Wikipedia. (2020). Darah. Diakses pada 23 Mei 2021, dari


https://id.wikipedia.org/wiki/Darah

Wikipedia. (2020). Pembuluh Darah. Diakses pada 23 Mei 2021, dari


https://id.wikipedia.org/wiki/Pembuluh_darah

Tarigan, I. N. (2018). Waspada Kekentalan Darah. Jakarta: Rumah Sakit


St. Carolus.

503
504
ABSCESS OF SPLEEN

Dosen Pengampu:

dr.R.A. Rengganis Ularan, MM

Disusun Oleh:

Vany Nur Awalin 205037

Tiara Nuraida Rismi Alfarini 205077


Rensi Ayuningtias 205115

D3 RMIK
2021

505
BAB I
PENDAHULUAN

Bisul atau yang kerap disebut abscess pada derma ditandai


dengan munculnya benjolan di dalam atau di bawah permukan derma.
Benjolan biasanya berisi pus atau cairan bening. Abscess adalah luka
yang muncul akibat infeksi bakteri. Ketika infeksi terjadi di derma, pus
dan kotoran akan menumpuk di inferior derma. Lama-lama akan muncu
benjolan berwarna kemerahan dan terasa sakit ketika disentuh. Benjolan
berisi pus inilah yang disebut sebagai abscess. Tak hanya di derma,
disease ini juga bisa muncul di bagian dalam tubuh. Dalam banyak
kasus,.

Spleen adalah viscus yang kaya akan angio yang merupakan bagian dari
RES (sistem retikulo endotelial). Jika spleen diangkat secara
pembedahan, maka seseorang akan rentan terkena diseaseinfeksi.
Abscess Of Spleen biasanya bakteremia terutama disebabkan oleh
trauma, embolisasi atau hemoglobinopati. Keadaan ini cukup jarang
ditemui abscess spleen sebagai akibat perluasan fokus infeksi. Spleen
memiliki ukuran sebesar kepalan tangan orang dewasa dengan panjang
sekitar 10–12 cm dan berat kurang lebih 150–200 gram

Abscess of Spleen adalah infeksi yang jarang terjadi. Insiden abscess


spleen dalam studi otopsi diperkirakan 0,05-0,7%. Penyebaran
hematogen adalah etiologi paling umum dari abscess spleen. Ini
biasanya hasil dari endokarditis atau pembenihan dari beberapa situs
infeksi yang berdekatan. Spleen merupakan bagian dari sistem getah
bening atau sistem limfatik. Viscus yang berwarna merah keunguan ini
terletak di dalam rongga abdomen sebelah superior sinistra, tepatnya di
belakang gaster (fotiadis et all., 2008).

506
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI FISIOLOGI

Abscess of spleen, seperti abses di tempat lain, adalah kumpulan fibro


inflamasi nekrotik yang terlokalisasi yang disebabkan oleh bakteri,
parasit, atau jamur. Mereka jarang mempengaruhi limpasan karena
aktivitas fagositik sistem retikuloendotelialnya yang efisien dan,
akibatnya, lebih mungkin terlihat pada pasien dengan imunosupresi (Bell
Daniel J, 2020).
Abscess of spleen jarang terjadi, dan insidennya pada berbagai
rangkaian otopsi diperkirakan ~0,4% (kisaran 0,14-0,7%). Frekuensi
dapat meningkat karena peningkatan penggunaan agen imunosupresif
dan prevalensi keadaan imunosupresif, meningkatkan hidup pasien
leukemia yang lebih tinggi, dan insiden obat yang tinggi 13,15 (Bell
Daniel J, 2020).

2.2 PENGERTIAN ABCESS OF SPLEEN

Abscess adalah pengumpulan pus (nanah) didalam suatu fibro viscus


atau rongga tubuh. Spleen adalah viscus mirip kelenjar yang terletak
dibagian superior sinistra rongga abdomen (perut) disebelah lateral
ujung pars cardiaca astriaca atau yang biasa disebut spleen (Dorland,
507
2015). Abscess Of Spleen adalah adanya pengumpulan pus atau nanah
diorgan spleen. Abscess of spleen adalah infeksi yang jarang terjadi.
Insiden abscess of spleen dalam studi otopsi diperkirakan 0,05-0,7%.
Penyebaran hematogen adalah etiologi paling umum dari abscess of
spleen. Ini biasanya hasil dari endocarditis atau pembenihan dari
beberapa situs infeksi yang berdekatan. Spleen merupakan bagian dari
sistem getah bening atau sistem limfatik. viscus yang berwarna merah
keunguan ini terletak di dalam rongga perut (abdomen) sebelah superior
sinistra, tepatnya di posterior gaster. Spleen memiliki ukuran sebesar
kepalan tangan orang dewasa dengan panjang sekitar 10–12 cm dan
berat kurang lebih 150–200 gram (fotiadis et all., 2013).

Spleen adalah viscus yang berukuran sebesar kepalan kecil yang


terletak pada sisi abdomen sinistra. Viscus ini berada dekat dengan
abdomen dan pankreas, yaitu viscus yang memproduksi insulin, yang
merupakan hormon untuk mengatur gula darah. Viscus ini dilindungi oleh
tulang rusuk, sehingga tidak langsung terasa ketika disentuh. Spleen
adalah bagian dari sistem autoimun karena spleen juga menyimpan dan
menghasilkan leukosit, yang membantu memerangi ancaman seperti
bakteri dan virus yang dapat menyebabkan infeksi seperti meningitis dan
pneumonia, serta disease lainnya. Spleen mengatur produksi trombosit,
yaitu jenis sel darah yang penting untuk pembekuan haemo. Spleen juga
dapat menyimpan trombosit dan juga merupakan bagian dari sistem
limfatik serta karena spleen membantu dalam pengaturan cairan di
dalam tubuh.
Spleen memiliki kemampuan untuk menyaring eritrosit. Karena spleen
terdiri dari banyak pembuluh darah(vaskuler) (yang menyebabkan
warnanya menjadi ungu), organ ini menyaring eritrosit ketika haema
melaluinya. Darah merah yang sudah tua atau rusak akan dipecah,
tetapi komponen yang berguna seperti oksigen diusahakan untuk
diselamatkan. Spleen dapat terserang disease atau rusak biasanya
508
karena kecelakaan. Ketika hal ini terjadi, dokter akan menilai apakah
spleen masih dapat diobati atau diselamatkan. Jika tidak, spleen akan
diangkat. Setelah spleen keluar dari tubuh, fungsi vital viscus akan
diteruskan ke liver.
2.3 PATHOFISIOLOGI ABCESS SPLEEN
Infeksi bakteremia dari berbagai lokasi adalah etiologi paling
sering dari abcess spleen. Endocarditis infektif adalah etiologi paling
sering dan etiologi lainnya adalah saluran kemih, luka pembedahan,
tractus gastrointestinal. Imunodefisiensi telah menjadi faktor risiko paling
penting sebagai etiologi perkembangan abscess spleen. keadaan
imunosupresi berkisar 18-34% (dari disease, kemoterapi dan
penggunaan steroid termasuk disebabkan oleh infeksi HIV) sebagai
faktor risiko etiologi kejadian abcess spleen.Trauma pada spleen baik
iatrogenic atau tidak disengaja terhitung 7-30% kasus dan penyebaran
lansung dari infeksi berdekatan hanya mencapai 2-7% kasus. Keadaan
yang lain berhubungan dengan abcess spleen termasuk abnormalitas
spleen seperti Felty‘s syndrome atau amyloidosis, penggunaan obat
intravena, hemoglobinopati dan diabetes mellitus.
komplikasi abcess spleen bisa saja mengancam nyawa
termasuk perforasi mencapai peritoneum yang mana terjadi pada 19
(6.6%) dari 287 pasien dalam serial kasus baru ini. Ruptur kemudian
mencapai organ sekitar dapat terjadi dengan menghasilkan fistula ke
traktus gastrointestinal, rongga pleura, atau parenkim paru.
keseluruhan angka kematian berkisar 0-14% yang telah dilaporkan
dengan terapi sesuai, bahkan pada pasien imunodefisiensi.

Etiologi dan symptom Abscess Of Spleen

Menurut fotiadis et all. (2008), berikut ini adalah beberapa etiologi


abscess of spleen :
509
1. Infection Bacteremia
Bakteremia adalah infeksi bakteri yang telah menyebar ke aliran
haemo. Ini serius karena dapat menyebabkan banyak kerusakan
pada tubuh. Dapat menyebar ke viscus lain, termasuk kidney, brain,
dan pulmo. Bakteremia yang menyebar dan merusak bagian lain
dari tubuh disebut sepsis

2. Endokarditis Infeksi ( Infeksi radang lapisan dalam jantung)


Endokarditis adalah infeksi pada endokardium, yaitu lapisan bagian
dalam cardio. Kondisi ini umumnya disebabkan oleh masuknya
bakteri ke aliran haemo, yang kemudian menginfeksi bagian cardio
yang rusak.

3. Infeksi Tractus Urinaria


Infeksi Tractus Urinaria atau Infeksi Saluran Kemih (ISK) terjadi
ketika ada bakteri yang masuk ke dalam traktus urinarius melalui
uretra dan berkembang biak di dalam kandung kemih atau vesica
urinaria. Meskipun sistem berkemih telah di desain untuk
menghambat masuknya bakteri, kadang-kadang mekanisme
pertahanan tersebut gagal.

4. Luka Pembedahan ( Fulnus Operatif)


Infeksi luka operasi adalah infeksi yang muncul pada luka bekas
sayatan operasi. Dalam prosedur operasi, dokter bedah akan
membuat sayatan pada derma dengan menggunakan pisau bedah,
sehingga menimbulkan luka operasi. Sebagian besar infeksi luka
operasi muncul dalam 30 hari pertama setelah operasi

5. Infeksi Tractus Gastrointentinal

510
Flu perut atau gastroenteritis adalah vomitus dan diarhea akibat
infeksi atau inflamasi pada dinding traktus digestivus, terutama
gaster dan intestinum.

6. Imunodefisiensi
Gangguan yang membuat tubuh tak bisa melindungi diri dari bakteri,
virus, dan parasit.

Symptom Abscess Of Spleen


Pyrexia bisa saja hanya merupakan symptom abscess of Spleen dan
pyrexia muncul pada 95% kasus. Temuan yang lain seperti abdominal
pain yang biasanya pada daerah abdomen sinistra dan dan menjalar
sampai ke thorax sinistra atau bahu. Mual muntah, tidak ada nafsu
makan dan kelemahan dapat juga muncul. Nyeri tekan abdomen dapat
muncul hanya sebagian kasus dan paling sering kuadran tekan perut
dapat muncul hanya sebagian kasus dan paling sering kuadran kiri atas
(fotiadis et all., 2008).

2.4 Diagnosa dan Diagnosa banding Abcess of spleen

Berikut adalah cara untuk mendiagnosa masalah limpa:

 Pemeriksaan fisik – Dokter dapat merasakan spleen dengan


menekan lembut ke sisi sinistra dekat perut tulang rusuk. Jika dapat
dirasakan, limpasan mungkin membesar.
 USG – USG adalah cara yang baik untuk mengetahui ukuran
limpasan.
 Tes darah – Tes ini mungkin akan diminta jika dokter mencurigai
masalah limpasan berhubungan dengan infeksi atau gangguan yang
berkaitan dengan darah. Kelainan dari salah satu rentang darah,

511
terutama jika perbedaannya signifikan atau besar, memerlukan
penyelidikan lebih jauh.
 Tes pencitraan – biasanya, tes pencitraan seperti MRI atau CT scan
tidak diperlukan terutama karena limpasan sudah dapat dirasakan.
Namun mungkin dapat membantu untuk menilai lebih jauh sejauh
mana kerusakan limpanya.

2.5 Penata laksanaan Abcess of spleen

Pengobatan (kuratif)

Jika tidak diobati limpa yang membesar dapat menyebabkan komplikasi


serius. Pengobatan menggunakan cara splenektomi atau operasi
pengangkatan organ spleen

Pencegahan (prefentif)

hindari berbagai aktivitas fisik yang dapat menyebabkan terjadinya


robekan pada limpa seperti berkelahi atau olahraga yang membutuhkan
kontak fisik, menerapkan pola hidup sehat, mengurangi konsumsi
alcohol.

2.6 Penunjang medis abcess of spleen


Uji lab dan prosedur berikut digunakan untuk mendeteksi Abses limpa:
 X-ray perut: Untuk memberikan gambar ureter, ginjal dan kandung
kemih
 Ultrasonografi perut: Untuk membuat gambar seluruh saluran kemih.
 CT scan (Computed tomography): Untuk menghasilkan penampang
melintang dari area perut

512
BAB III
PEMBAHASAN

Gambar 3.1 Spleen normal

Gambar 3.2 Abscess Of Spleen

Gambar 3.3 Abscess Of Spleen

Ukuran spleen normalnya adalah sebesar kepalan tangan. Namun, bisa


mengalami pembengkakan karena suatu disease. normalnya adalah
sebesar kepalan tangan dengan ukuran 11-20 cm, dengan berat hingga

513
500 gram. beberapa penyakit yang menyebabkan pembengkakan limpa,
yaitu infeksi virus, seperti mononukleosis; infeksi parasit, seperti
toksoplasmosis, malaria, infeksi bakteri, seperti abses, sifilis,
endokarditis, penyakit leukemia (kanker darah), limfoma (kanker getah
bening), sarkoidosis, lupus, rheumatoid arthritis, penyakit hati, trauma /
cedera, dan penyakit lain(anemia hemolitik, gagal jantung, amyloidosis).

514
BAB IV
PENUTUP

Dari makalah di atas diketahui bahwa abscess of spleen merupakan


adanya pengumpulan pus atau nanah diorgan spleen. Spleen adalah
viscus yang berukuran sebesar kepalan kecil yang terletak pada sisi
abdomen sinistra. Viscus ini berada dekat dengan abdomen dan
pankreas, yaitu viscus yang memproduksi insulin, yang merupakan
hormon untuk mengatur gula darah. Hindari berbagai aktivitas fisik yang
dapat menyebabkan terjadinya robekan pada limpa, menerapkan pola
hidup sehat, mengurangi konsumsi alcohol.

515
BAB V
TERMINOLOGI
1. Infection bacteremia
 Infection = diseaseyang disebabkan oleh mikroorganisme
(virus, bakteri, jamur, dan parasit)
 Bacteremia = adanya bakteri dalam darah
P:-
R : Bacteri/o -> bakteri
S : -emia -> darah

2. Endocarditis Infektif
 Endocarditis = peradangan lapisan di dalam
cardio(jantung)
P : Endo- -> di dalam
R : cardi/o -> jantung
S : -itis -> peradangan
 Infektif = dapat menyebabkan infeksi

3. Imunodefisiensi = respon imun yang berkurang


P:-
R : immun/o -> perlindungan / sistem kekebalan
S : -defisiensi -> ketiadaan / kekurangan

4. Abdominalgia = nyeri perut


P:-
R : Abdomin/o -> perut
S : -algia -> nyeri

5. Splenectomy = operasi pengangkatan keluar organ limpa


P:-
516
R : Splen/o -> limpa
S : -ectomy -> eksisi/pengangkatan keluar

6. Pneumonia = radang paru-paru


P:-
R : pneum/o -> paru
PS : ia

7. Gastrointestinal = berhubungan dengan lambung dan usus


P:-
R : gastr/- ; intestin/o -> lambung ; usus
PS : al

517
DAFTAR PUSTAKA

Rahmawati,D. (2020).Gejala Pembengkakan Limpa. Kemenkes RI.

Andrian,K. (2020).Fungsi Limpa. Jakarta: Kemenkes RI

Nareza,M.( 2020). Pembengkakan Limpa. Jakarta: Kemenkes RI.

Fotiadis,C et all. (2008). Abscesses of the spleen : report of three cases.


Yunani : World Journal of Gastroenterology.

Arthur W. Elting, M.D.(1915). Abscesses of the spleen.American.

518
CYST OF SPLEEN

Dosen Pengampu :
dr. R. A. Rengganis Ularan,MM

Disusun Oleh
Wahyuni Nur Amaliza Agustin 205039
Mochammad Khoirul Anam 205117

D3 RMIK
2021

519
BAB I

PENDAHULUAN

Cyst Of Spleen merupakan disease yang menyerang pada


sistem spleentik. Dalam bahasa medis ―Spleen‖ adalah limpa atau
limfoma. Secara umum, viscus spleentik (spleen) dibagi menjadi 2
kelompok berdasarkan fungsinya: organ spleentik Primer adalah medulla
merah (pada tulang pipih dan epifisis tulang panjang pada dewasa) dan
timus. Sedangkan,organ spleentik sekunder adalah lokasi dimana
kebanyakan respon imun terjadi. Termasuk didalamnya: limfonodi, lien,
nodul spleentic(follicles).Timus, limfonodi, dan lien dianggap sebagai
organ karena merekadikelilingi oleh kapsul fibro ikat; Nodul spleentic
dianggap sebagai bukanorgan karena mereka tidak berkapsul (ukuran
lebih kecil, misal: Plaquepayyeri) (Gerard J Tortora. Anatomy &
Physiology, ed 14th).

Semua pasien dengan kista spleen yang telah dirawat di


Departemen Bedah Umum rumah sakit pendidikan Ghaem dan Omid
selama periode 24 tahun diidentifikasi. Rekam medis dari 16 pasien ini
ditinjau.Pada penelitian tersebut, pasien termasuk 11 perempuan
(68,75%) dan 5 laki-laki (31,25%) dengan usia rata-rata 39,8 tahun. Lima
belas kasus memiliki kista sejati termasuk 11 kista parasit (hidatid) dan
hanya satu pseudokista. 37,5% dari kista splw memiliki kista yang hidup
berdampingan di daerah hati, panggul, omentum dan parakolik.
Sembilan pasien menjalani splenektomi total dan 5 kasus splenektomi
parsial dan 2 kasus sisanya menerima perawatan medis konservatif.
Ukuran kista bervariasi dari 6 sampai 25 sentimeter dengan ukuran rata-
rata 14,3 sentimeter. Semua pasien dengan kista hidatidosa menerima

520
perawatan medis pasca operasi albendazole dengan albendazole
selama 6 bulan. Semua pasien pulih setelah perawatan. Insiden kista
limpa diseluruh dunia adalah 0,5-4%. Dan insiden tertinggi berada di Iran
yaitu 4%. (Neeteu Radhakrishnan.2021).

521
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Fisiologi Spleen

Spleen biasanya terletak di kuadran sinistra superior (LUQ)


abdomen manusia. Splenomegaly adalah salah satu dari empat
symptom utama hyperslenisme yang meliputi; beberapa
pengurangan jumlah cyto yang bersirkulasi yang mempengaruhi
granulosit, eritrosit atau trombosit dalam kombinasi apapun; respon
proliferasi kompensasi di medulla osseae dan potensi koreksi
kelainan ini dengan splenectomy. Splenomegaly biasanya dikaitkan
dengan peningkatan beban kerja (seperti pada anemia hemolitik),
yang menunjukkan splenomegaly dikaitkan dengan proses disease
apapun yang melibatkan penghancuran eritrosit abnormal di spleen.
(Ghazi,Ali 2010). Posisi normal spleen yaitu di dalam rongga
peritoneum di kuadran sinistra superior yang bersebelahan dengan
costae 9 hingga 12. Spleen yang berukuran normal berbatasan
dengan gastro, colon, serta nephro sinistra.

Adapun ukuran serta berat spleen bisa bermacam- macam


serta berkorelasi dengan berat tubuh, besar tubuh, serta tipe kelamin

522
orang, dengan dimensi spleen yang lebih besar nampak pada laki-
laki dibanding dengan perempuan, serta pada orang yang lebih berat
ataupun lebih besar. Spleen yang berukuran normal mempunyai
panjang kraniokaudal sampai 12 cm. Sedangkan apabila panjang
spleen 12 cm hingga 20 cm maka menunjukan splenomegali, serta
panjang lebih dari 20 cm ialah definitif splenomegali masif. Berat
normal spleen orang dewasa ialah 70 gram sampai 200 gram; berat
spleen 400 gram hingga 500 gram menunjukkan splenomegali serta
berat limpa lebih besar dari 1000 gram definitif splenomegali masif.
Spleen yang berukuran normal umumnya tidak teraba pada orang
dewasa. Splenomegali bisa di nyatakan secara klinis ataupun
radiografi memakai ultrasound, pencitraan CT, ataupun MRI.
Splenomegali bisa jadi ialah keadaan sedangkan sebab disease
kronis ataupun bisa jadi sebab patologi kronis ataupun kronis yang
mendasarinya

2.2 Definisi Cyt Of Spleen

Disease Cyst Of Spleen merupakan salah satu patofisiologi


yang menyerang pada sistem spleentik. Dalam bahasa medis
―Spleen‖ adalah spleen atau limfoma. (Gerard J Tortora. Anatomy &
Physiology, ed 14th). Splenomegaly adalah pembesaran limpa.
Spleen biasanya terletak di kuadran sinistra superior (LUQ)
abdomen manusia. Splenomegaly adalah salah satu dari empat
symptom utama hyperslenisme yang meliputi; beberapa
pengurangan jumlah cyto yang bersirkulasi yang mempengaruhi
granulosit, eritrosit atau trombosit dalam kombinasi apapun; respon
proliferasi kompensasi di medulla osseae dan potensi koreksi
kelainan ini dengan splenectomy. Splenomegaly biasanya dikaitkan
dengan peningkatan beban kerja (seperti pada anemia hemolitik),
523
yang menunjukkan splenomegaly dikaitkan dengan proses disease
apapun yang melibatkan penghancuran eritrosit abnormal di spleen.
(Ghazi,Ali 2010).

2.3 Pathofisiologi Cyt Of Spleen


Cyst of spleen atau splenomegaly dapat diklasifikasikan dengan
mekanisme patofisologisnya :
 Kongestif , oleh blood yang terkumpul (misalnya, hipertensi
portal)
 Infiltratif , dengan invasi oleh cyt asing ke lingkungan spleen
(misalnya, metastasis, neoplasma myeloid, patofisiologi
penyimpananpid)
 Autoimun , dengan peningkatan aktivitas imunologi dan
hiperplasia berikutnya (misalnya, endokarditis, sarkoidosis,
rheumatoid arthritis)
 Neoplastik , ketika cyto imun residen berasal dari neoplasma
(misalnya, limfoma).

Etiologi Cyt Of Spleen

Adanya berapa kemungkinan penyebab splenomegali antara lain :

1. Disease hepar (sirosis, hepatitis): Disease hepar parenkim


menyebabkan peningkatan tekanan vascular yang menyebabkan
peningkatan ukuran spleen.

2. Keganasan hematologi (limfoma, leukemia, gangguan


mieloproliferatif): cyt neoplastic menyebabkan infiltrasi spleen
yang menyebabkan splenomegali.

524
3. Trombosis vena (trombosis vena portal atau hepatik): Hal ini
menyebabkan peningkatan tekanan vaskular yang menyebabkan
splenomegali.

4. Kongesti spleen (trombosis vena, hipertensi portal, congestive


heart failure).

5. Sitopenia (purpura trombositopenik imun, anemia hemolitik


autoimun, neutropenia yang dimediasi imun, sindrom Felty):
Penghancuran eritrosit, leukosit atau trombosit yang dimediasi
oleh imun menyebabkan splenomegali fungsional.

6. Sekuestrasi spleen (cyt disorder sabit pediatrik, anemia


hemolitik, talasemia).

7. Infeksi akut atau kronis (endokarditis bakterial, mononukleosis


infeksiosa, HIV, malaria, tuberkulosis, histiositosis, abses).

8. Disease jaringan ikat (lupus eritematosus sistemik, artritis


reumatoid, disease Still onset dewasa, dan beberapa sindrom
autoinflamasi familial).

9. Gangguan infiltratif (sarkoidosis, amiloidosis, patofisologi


penyimpanan glikogen).

10. Sekuestrasi spleen (sel sabit pediatrik, anemia hemolitik,


talasemia).

11. Lesi fokal (hemangioma, abses, kista, metastasis).

Sedangkan berdasarkan Buku Kedokteran Edisi Keenam


Splenomegaly terbagi beberapa etiologi umum dari spleen yang

525
sedikit membesar,spleen yang membesar (sedang), dan spleen
yang sangat membesar :

a. Spleen yang sedikit membesar biasanya ditandai dengan :

Demam kelenjar getah bening (glandular), Brucella, dan


Hepatitis infeksiosa dan banyaknya jenis infeksi subakut dan
kronis, termasuk Endocarditis baterialis subakut, dan pada
berbagai jenis infeksi.
b. Spleen yang membesar (sedang) ditandai dengan :

Gangguan limfoproliteratif, misalnya disease Hodgkin, dan


Leukimia spleentik kronis dan sirosis serta hipertensi portal.
c. Spleen yang sangat membesar ditandai dengan :

Leukimia mieloid kronis dan Mielofibrosis


Namun etiologi lain yang jarang di jumpai adalah amiloid (artritis
reumatoid adalah etiologi tersering; sepsis kronis lebih jarang),
sindrom Felty, meiloma multipel sarkoid, disease kolangen dan
gangguan penyimpanan. Penyait darah lain yang menyebabkan
pembesaran spleen (splenomegaly) adalah trombositopenia
idioptaik, anemia pernisiosa, sferositosis kongenital, dan
polisitemia rubra vera.

Klasifikasi Cyt Of Spleen


Cyst of spleen telah diklasifikasikan berdasarkan ada atau tidak adanya
lapisan epitel, etiologi, patogenesis, dll . (Martin) mengklasifikasikan kista
limpa sebagai kista tipe 1, yang merupakan kista sejati yang memiliki
lapisan epitel, dan kista tipe 2, yang merupakan kista palsu tanpa lapisan
epitel. Pseudocysts biasanya pasca trauma, karena kegagalan
organisasi hematoma terletak di bawah kapsul atau dalam parenkim
spleen, dan jarang mereka dapat terjadi di abses spleen atau infark
spleen. Tergantung pada agen etiologi cyst of spleen dapat dibagi

526
menjadi dua jenis: kista parasit dan kista non-parasit. Kista parasit
biasanya terlihat di daerah endemik dan terutama disebabkan oleh
infestasi Echinococcus granulosus.
Sebuah klasifikasi baru berdasarkan patogenesis sebenarnya dari kista
membagi kista limpa non-parasit sebagai bawaan, neoplastik, traumatis,
dan degeneratif. Primary cyst spleen merupakan 10% dari semua kista
cyst of spleen nonparasit. Kista ini terutama terlihat pada kelompok usia
pediatrik dan remaja. Biasanya mereka tidak menunjukkan symptom dan
ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan USG. Signifikansi klinis
dikaitkan terutama karena potensi mereka untuk pecah, menginfeksi
atau berdarah, dan karena potensi diagnosis banding yang serius dari
lesi neoplastic di hipokondrium sinistra.

2.4 Diagnosis Dan Diagnosa banding Cyt Of Spleen

Diagnosis kista limpa atau cyst of sleen dimulai dengan riwayat


pasien dan memerlukan pemeriksaan klinis yang menyeluruh. Tes
emia : klinis umum dan biokimia, untuk antibodi (IgG) terhadap
echinococcus, untuk penanda tumor serum (CEA,CA 19-9). Peran
utama dimainkan oleh diagnostik instrumental: ultrasound, CT dan /
MRI. Apabila setiap kali ada benjolan di daerah hipokondrium
sinistra, klinisi harus menyingkirkan etiologi lain dari
splenomegaly, yaitu mononukleosis menular, febris yang tidak
diketahui asalnya, anemia hemolitik, leukemia kronis, disease
vascular colagen, dan hepatitis. Penanda serologis memainkan
peran dalam keadaan seperti ini.

Teknik lainnya untuk mendiagnosis cyst of spleen sendiri dapat


dilakukan Angiografi sangat membantu dalam membedakan cyst
spleen, yang biasanya merupakan lesi avaskular, sedangkan tumor
ganas (limfoma, sarkoma) biasanya memiliki pola vaskular yang

527
tidak teratur. Namun, diagnosis pasti hanya mungkin setelah
splenectomy ketika lapisan epitel dikonfirmasi oleh histopatologi
bersama dengan imunohistokimia. Kista epitel primer biasanya
soliter, tetapi bisa multipel.

2.5. Penatalaksanaan Cyt Of Spleen

Pengobatab (kuratif)

Tujuan kuratif splenomegaly ditargetkan untuk mengobati


patofisiologi yang medasari serta melindungi pasien dari komplikasi
dari splenomegaly itu sendiri. Pasien dengan splenomegali dari
etiologi apapun berada pada peningkatan risiko ruptur spleen, dan
dalam hal ini perhatian penuh harus dilakukan untuk melindungi
pasien dari trauma abdomen. Perawatan berkisar dari menghindari
cedera abdomen pada pasien muda yang sehat dengan
splenomegali karena mononukleosis menular, hingga splenektomi
dari spleen yang membesar secara besar-besaran pada pasien
dengan leukemia cyto berbulu. Demikian juga, prognosis sebagian
besar tergantung pada keadaan patofisiologi yang
mendasarinya. Pada penyerapan spleen terlihat pada anemia sel
sabit sering dikelola dengan transfusi darah/transfusi
tukar. Terkadang splenektomi diperlukan untuk ITP. Terapi radiasi
dosis rendah juga dapat mengecilkan ukuran spleen pada pasien
dengan mielofibrosis primer.

Pasien yang menjalani splenektomi berada pada peningkatan


risiko infeksi sekunder untuk organisme enkapsulasi
seperti Haemophilus Influenzae , Streptococcus pneumoniae ,
dan Neisseria meningitidis. Vaksinasi terhadap organisme ini
sangat dianjurkan pada pasien yang telah menjalani

528
splenectomy. Perhatian yang cermat harus diberikan pada pasien
pasca-splenektomi yang datang dengan disease demam karena
mereka mungkin memerlukan terapi antibiotik empiris yang lebih
agresif.

Pencegahan (preventif)

Dalam preventif pada pasien dengan spleen yang membesar


(spenomegaly) dapat disarankan untuk menghindari high-impact atau
olahraga kontak untuk menghindari adanya risiko pecahnya spleen.

Selain itu, apabila pada pasien yang telah menjalani splenectomy,


pasien tersebut harus diberikan informasimengenairesiko infeksi yang
lebih tinggi serta imunisasi yang tepat harus dilakukan untuk
meminimalisir resiko tersebut.

2.6. Penunjang medis Cyt Of Spleen


Dalam patologi cyst of spleen maka dapat diketahui dengan
pemeriksaan penunjang medis antara lain :
1. Pemeriksaan fisik – Dokter dapat merasakan limpa dengan
menekan lembut ke sisi kiri perut dekat tulang rusuk. Jika dapat
dirasakan, limpa mungkin telah membesar.

2. USG – USG adalah cara yang baik untuk mengetahui ukuran


limpa. Pada USG, kista epidermoid dikenali sebagai lesi kistik
anechoic yang berbatas tegas, berdinding tipis. Dapat terjadi
peningkatan ekogenesitas yang disebabkan oleh perdarahan
intrakistik dan kristal kolesterol dan puing-puing nekrotik
inflamasi yang sama seperti yang terlihat pada kista palsu.
Meskipun kalsifikasi perifer lebih sering terjadi pada kista pasca
trauma atau kista palsu, pada kista epidermoid dengan septasi

529
internal sesekali, dinding kistik dapat menunjukkan kalsifikasi
lengkung atau seperti plak.

3. Tes darah – Tes ini mungkin akan diminta jika dokter curiga
masalah limpa berhubungan dengan infeksi atau gangguan
yang berkaitan dengan darah. Kelainan dari salah satu rentang
darah, terutama jika perbedaannya signifikan atau besar,
memerlukan penyelidikan lebih jauh.

4. Tes pencitraan – Biasanya, tes pencitraan seperti MRI atau CT


scan tidak diperlukan terutama karena pembesaran limpa
sudah dapat dirasakan. Namun mungkin dapat membantu
untuk menilai lebih lanjut sejauh mana kerusakan limpanya.
Pemeriksaan CT scan dapat memberikan gambaran yang lebih
jelas mengenai cairan intracystic, septasi internal atau
kalsifikasi. Meskipun splenektomi parsial menawarkan solusi
yang pasti dalam kasus kista limpa (<5 cm), pengobatan
konservatif seperti aspirasi saja, insisi dan drainase juga dapat
dipertimbangkan.

530
BAB III

PEMBAHASAN

Gambar 3.1 cyst of spleen normal

Gambar 3.2 cyst of spleen yang mengalami infeksi

Gambar 3.3 cyst of spleen yang mengalami infeksi

Pembentukan kista limpa disebabkan karena infeksi Ecinococus


granulosus dengan insiden 60 persen adalah etiologi yang paling
sering. Meskipun banyak kista limpa tidak menunjukkan gejala, nyeri

531
tumpul perut bagian atas dapat muncul karena efek massa dari kista
yang membesar atau ketegangan kapsul limpa.
Pada orang dewasa yang sehat, berat spleen yang normal adalah
sebesar 200 gram, sedangkan pada pembesaran limpa, berat limpa
dapat meningkat sampai 2 kilogram atau lebih. Terkadang, limpa
membesar terjadi akibat penumpukan jaringan lunak abses atau tumbuh
kista (tumor ganas).

532
BAB IV

PENUTUP

Dari makalah di atas diketahui bahwa cyst of spleen merupakan


suatu pembesaran limpa. Dimana kondisi splenomegaly pada abdomen
sebelah sinistra superior. Beberapa etiologi umum dari spleen yang
membesar; spleen yang sedikit membesar. Salah satu pengobatan yang
bisa dilakukan adalah dengan splenectomy. Preventif yang dapat
dilakukan adalah dengan menghindari high-impact atau olahraga kontak
agar spleen tidak pecah dan untuk yang melakukan splenetomy dengan
memberi pengetahuan agar tidak terjadi iritasi ataupun juga resiko yang
lain

533
BAB V

TERMINOLOGI

1. Splenomegaly = Pembesaran limpa


Prefix =-
Root = Splen/o : Limpa
Suffix = Megaly : pembesaran

2. Splenectomy = Pengangkatan limpa


Prefix = -
Root = Splen/o : Limpa
Suffix = Ectomy : Pemindahan, Pengangkatan

3. Hepatitis = Peradangan hati


Prefix = -
Root = Hepat/o = Hati
Suffix = Itis : Peradangan, Inflamasi

4. Endocarditis = Peradangan jantung bagian dalam


Prefix = Endo : di dalam
Root = Cardi/o : Jantung
Suffix = Itis : Peradangan, Inflamasi

5. Hyperslenisme = Kondisi limpa berlebih


Prefix = Hyper : Berlebih
Root = Splen/o : Limpa
Suffix = Ism : Kondisi, Disease

534
DAFTAR PUSTAKA

David Rubenstein., David Wayne., John Bradley. Lecture Notes Buku


Kedokteran Klinis Edisi Keenam (Halaman 41)
https://books.google.co.id/books?id=lhDl8_eIsiEC&newbks=0&lpg=PA41
&dq=kista%20limpa&hl=id&pg=PA41#v=onepage&q=kista%20limpa&f=f
alse
th
Gerard J Tortora. Anatomy & Physiology, ed 14 (sumber e-book)
https://pspk.fkunissula.ac.id/sites/default/files/FISIOLOGI%20SISTEM%2
0SPLEENTIK%20KURBA%202020.pdf
Jennifer Chapman ; Pankaj Bansal ; Amandeep Goyal ; Alexandre
M.Azevedo. 2020. Splenomegaly
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430907/
Neeteu Radhakrishnan. ―Splenomegaly‖ . Medscape. Diakses pada 10
Juni 2021.
https://emedicine.medscape.com/article/206208-overview
Sachin B Ingle , Chitra R Engsel (Ingle) , dan Swapna
PatrikeGastroenterol Dunia J. 14 Oktober 2014; 20(38): 13899–
13903.Diterbitkan online 14 Oktober
2014 doi: 10.3748/wjg.v20.i38.13899
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4194571/

535
HYPERSPLENISM dan
HYPOSPLENISM

Dosen Pengampu :
dr. R. A. Rengganis Ularan, MM

Disusun oleh :
Rizma Putri Ulyatin 205028
Putri Nur Alifah 205066
Riki Eka Putra 205106

D3 RMIK
2021

536
BAB I

PENDAHULUAN
Spleen adalah jenis ductless. spleen adalah bagian dari sistem
peredaran atau sirkulasi.spleen memiliki beberapa fungsi(ductless).
Eritrosit disimpan di dalam spleen. Ketika tubuh memerlukan emia
tambahan karena gerak badan atau hemorrhage,spleen mengencang
atau berkontraksi.Splenomegaly yang terjadi menyebabkan
hypersplenism yaitu suatu sindrom klinik yang terdiri dari splenomegaly
dan pancytopenia sehingga menyebabkan terjadinya penurunan jumlah
haemotocyte termasuk jumlah leukosit. Sebagian besar pada penelitian
ini yaitu sejumlah 12 orang sebesar 80% memiliki jumlah leukosit yang
normal diantara 4.000 – 10.000/mm3. Pada hipertensi portal
menyebabkan adanya keadaan hypersplenism Meskipun splenomegaly
selalu ditemukan pada hypersplenism, namun banyak pasien dengan
splenomegaly yang tidak mengalami hypersplenism(Corwin 2007). Oleh
karena itu, sebagian besar sampel pada penelitian ini tidak terjadi
leukopeniadisebabkan karena tidak terjadinya hypersplenism.
Hypersplenism ialah keadaan dimana kerja spleen yang berlebihan dan
dapat menyebabkan patologi, spleen memfiltrasi unsur cyt dalam
haemosecara berlebihan(Corwin,2000). Hypersplenism bisa dibilang
merupakan gangguan umum yang dicirikan oleh limpanya yang
membesar yang menyebabkan kerusakan haemotocyte secara cepat
dan prematur(M Radosa Peck,2001). spleen adalah jenis ductless(M
Radosa Peck,2001). Spleen memiliki beberapa fungsi. eritrosit disimpan
di dalam limpa. Ketika tubuh memerlukan haemo tambahan karena
hemorrhage, spleen mengencang atau berkontraksi. Hypersplenism
merupakan keadaan patologi faal spleen yang mengakibatkan kerusakan
dN an gangguan sel darah merah(Corwin,2000) Hyposplenism adalah
kelainpenyakan yang disebabkan oleh beberapa patologihematology dan

537
immunology dan ditandai dengan gangguan fungsi limpa. Pada sicle cell
yang dianggap sebagai pola dasar dari kondisi yang berhubungan
dengan hyposplenism, spleen awalnya membesar karena penjeratan
eritrosit yang berlebihan.

538
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi

Spleen adalah jenis ductless . Spleen adalah bagian


dari sistem peredaran atau sirkulasi(C A Doan,1949).terletak
dibawah thorax, di sisi kiri gaster agak ke belakang. Spleen
orang Cuman 5 inci (12,5 cm dan batang 3-4 inci (7,5-10 cm).
berat sekitar 7 ons. Spleen berongga, lunak, dan mudah
hancur, berwarna merah ungu tua.
Spleen memiliki beberapa fungsi. eritrosit disimpan di
dalam spleen. Ketika tubuh memerlukan haemo tambahan
karena gerak badan atau hemorrhage, splen mengencang atau
berkontraksi. Kontraksi ini mengirimkan haemo yang disimpan
ke dalam aliran haemo. Eritrosit yang sudah rusak disa-ring dari
aliran haemo dan dihancurkan di dalam splen.

2.2. Definisi Hypersplenism dan


539
Hyposplenism
Hyperplenism merupakan suatu keadaan patologik faal
limpa yang mengakibatkan kerusakan dan gangguan pada
haemotocyte(Corwin,2000).Gambaran kliniknya terdiri dari trias
splenomegaly,pancytopenia menurunnya eritrosit, leukosit, dan
trombosit),danhyperplasia(meningkatnya jumlah kytos sehingga
merubah ukuran dari organ(,contohnya pembesaran dari
epithelium sel mammae) kompensasi myeloid
tissue.Pancytopenia dapat terdiri dari anemia, leukopenia, dan
trombositopenia; sendiri-sendiri atau gabungan ketiga unsur
tersebut(Corwin, 2000).
Hyposplenism adalah kelainan yang disebabkan oleh
beberapa patologi hematology dan imunology dan ditandai
dengan gangguan fungsi spleen (Dameshek, W. ,1955). Kondisi
paling umum yang terkait dengan patologi ini adalah sickle cell,
alcoholic fatty liver, patologi celiac, transplantasi medulla,dan
Inflammatory bowel disease. Menurunnya fungsi limpa dapat
menyebabkan peningkatan jumlah unsur-unsur haemotocyte.

2.3. Patofisiologi Hypersplenism dan


Hyposplenism
Pada hypersplenism terjadi destruksi eritrosit yang
berlebihan. Sehingga usia eritrosit menjadi lebih pendek
(normalnya lebih kurang 120 hari), terbentuk antibodi yang
menimbulkan reaksi antigen sehingga rentan terhadap
destruksii, dan terbentuk faktor penghambat pertumbuhan
haemotocyte yang mempengaruhi penglepasan haemotocyte
dari medulla. Kejadian ini bisa terjadi pada salah satu
haemotocyte atau dapat terjadi menyeluruh seperti pada
pansplenisme.

540
Pada sickle cell yang dianggap sebagai pola dasar dari
kondisi yang berhubungan dengan hyposplenism, spleen
awalnya membesar karena penjeratan eritrosit yang berlebihan.
Atrofi dan degenerasi spleen ditemukan pada patologi lanjut.
Atrofi ini disebut autosplenektomi dan akibat dari beberapa
episode akut dari penjeratan volume eritrosit masih di spleen
tissue, diikuti oleh infark spleen.
Patologi celiac yang menyertai hyposplenism dan
Inflammatory bowel disease diduga disebabkan oleh hilangnya
limfosit yang berlebihan melalui mukosa enterik yang
meradang,yang menyebabkan atrofi retikuloendotelial spleen.
Blok retikuloendotelial karena kompleks imun yang bersirkulasi
juga bisa menjadi salah satu mekanisme utama yang tersirat.
Hal ini juga bisa berlaku dalam kasus hyposplenism yang
menyertai gangguan autoimun.

2.4. Diagnosa dan diagnosa banding


Hypersplenism dan Hyposplenism
Diagnosis umumnya dibuat berdasarkan:
• pemeriksaan fisik di mana dokter Anda akan
memeriksa spleen yang membesar
• tes haemo untuk memeriksa konsentrasi eritrosit
dan leukosit anda
• tes pencitraan, seperti USG, untuk membantu
memvisualisasikan spleen anda

symptom :
1. Pembesaran Limpa (Splen/o)
2. Kadar salah satu atau beberapa haemotocyte
yang rendah
3. Merasa kenyang terlalu cepat setelah makan
541
4. left stomach pain
5. Mengalami infeksi berulang karena tubuh
kehilangan kemampuannya dalam melawan
infeksi (akibat spleen yang overaktif).
Diagnosa Kuantifikasi eritrosit berlubang:

 Ini dianggap sebagai metode standar emas untuk mendiagnosis


hyposplenisme. Lubang adalah karakteristik depresi pada
permukaan eritrosit dalam blood smear melalui penggunaan
peralatan khusus (optik Nomarski) yang diaplikasikan pada
mikroskop optic.

Symptom :
1. limpa awalnya membesar karena penjeratan eritrosit yang
berlebihan.
2. Atrofi dan degenerasi limpa ditemukan pada patologi lanjut.

2.5. Penatalaksanaan Hypersplenism dan


Hyposplenism
Kuratif dan Prefentif
Sementara transplantasi hepar untuk pengobatan
hypersplenism belum dilaporkan, hypersplenism sering
berkembang dari sirosis hepar. Sirosis berat sering dikaitkan
dengan hypersplenism serius. Untuk pasien dengan sirosis
berat, kanker dini bersamaan atau heart failure, transplantasi
hepar mungkin disarankan. Selain memulihkan fungsi hepar,
transplantasi hepar dapat mengurangi ukuran spleen dan
tekanan portal, mengurangi faktor risiko perdarahan, dan
akhirnya menghilangkan hypersplenism. (Chu et al) melaporkan
bahwa transplantasi hepar ditambah splenektomi bersamaan

542
tidak meningkatkan risiko dan dapat memberikan hasil yang
lebih baik pada pasien dengan sirosis hepar dan hypersplenism.
Kuratif dan Prefentif

Imunisasi pasien hyposplenik telah dimasukkan dalam


Panduan Imunisasi Kanada (2006) dan termasuk vaksinasi
terhadap Streptococcus pneumoniae , Neisseria
meningitides dan Haemophilous influenzae tipe B .Pedoman
juga mencakup tindakan pencegahan lain seperti profilaksis
terhadap malaria dalam kasus bepergian ke negara-negara
endemik, karena pasien hiposplenik dianggap sangat rentan
terhadap infeksi ini.Penting untuk mengedukasi pasien dan
keluarganya, dengan menekankan pada perlunya mencari
pertolongan medis segera jika timbul symptom seperti demam
tinggi, malaise dan menggigil. Juga harus disarankan kepada
pasien untuk menjaga persediaan penisilin atau amoksisilin siap
digunakan dalam kesempatan yang sama.

Pedoman untuk anak-anak hyposplenik berbeda karena


ketidak matangan sistem kekebalan mereka. Profilaksis
antibiotik harus digunakan secara rutin sampai usia dua tahun,
terlepas dari kondisi yang mendasarinya. Vaksin konjugat
pneumokokus 7-valent harus digunakan sebagai pengganti
vaksin polisakarida 23-valent, karena kemampuan "pembawa"
proteinnya untuk menginduksi respon imunsegera dan lebih
intens . Sebuah vaksin konjugat pneumokokus 13-valent baru
telah disetujui untuk digunakan pada anak-anak pada tahun
2010 dan, menurut ACIP (United States Advisory Committee on
Immunization Practices) direkomendasikan untuk digunakan
pada individu yang lebih tua dari 19 tahun dengan FH, dengan
penggunaan bersamaan dari vaksin pneumokokus 23-polivalen.

543
Menurut beberapa penelitian persentase infeksi serius pada
pasien hiposplenik setelah imunisasi dengan vaksin
pneumokokus telah berkurang secara signifikan. Ini bisa
membenarkan pemberian vaksin pneumokokus untuk semua
pasien hiposplenik dalam praktek klinis sehari-hari. Pengukuran
tahunan tingkat antibodi harus dilakukan, dan vaksinasi ulang
harus dilakukan jika tingkat ini rendah.

Tindakan
Ketika mendeteksi tanda-tanda disease, berkonsultasi
dengan dokter. Kebanyakan individu dengan hypersplenisme
sekunder memerlukan terapi untuk menyembuhkan disease
utamanya (seperti malaria kronis atau tuberkulosis). mengobati
penyakit utamanya akan membantu mencegah rusaknya
haemocyte dan kemungkinan pembesaran spleen. Umumnya,
perawatan untuk disease utama harus dilakukan sebelum
pertimbangan pengangkatan spleen splenectomy.

Pengobatan
Dalam pengobatan hypersplenizma dan icterus hemolitik
penting pencegahan infeksi,Septicemia, dan ketika mereka terjadi —
perawatan intensif. Anemia hemolitik Mikrosferocitarnaja (icterus
skaya bawaan gemolitiche) Ini adalah disease, diwarisi oleh
autosomal dominan dasar (di 20% pasien dengan kasus sporadis
disease Bo). Disease yang terkait dengan kerusakan struktur
membran eritrosit. Membran menjadi baik permeabel natrium, yang
mengarah ke peningkatan tekanan osmotik dalam eritrosit, dan ia
memperoleh bulat bentuk, menjadi lebih rapuh. Eritrosit rusak
ditangkap dan mengalami kehancuran cepat tka spleen baru,
544
mengembangkan anemia hemolitik. Ada juga pemandangan, bahwa
bentuk anemia spleen menghasilkan jumlah berlebihan auto-
hemolysins. Karena terlalu aktif spleen dan ada splenomegali.

2.6. Penunjang medis Hypersplenism


dan Hyposplenism
pemeriksaan yang meliputi tes laboratorium pada spleen :

 Kadar albumin, yakni protein yang diproduksi oleh hati


 Kadar protein total dalam darah
 Kadar bilirubin, yaitu zat buangan yang dihasilkan oleh hati.
 Enzim yang dihasilkan oleh hati, seperti alkaline
phosphatase (ALP), alanine transaminase (ALT) atau serum
glutamat piruvat transaminase (SGPT), aspartate
aminotransferase (AST) atau serum glutamat oksaloasetat
transaminase (SGOT), dan gamma-glutamyl
transpeptidase (GGT)
 Laktate dehydrogenase (LD), yakni enzim yang dikeluarkan
oleh sel organ ketika mengalami kerusakan atau cedera
 Prothrombin time (PT), yaitu protein yang berfungsi
untuk pembekuan darah

Hasil tes fungsi hati yang normal meliputi :

 ALT atau SGPT: Di bawah 33 iu/L untuk pria dan 25 untuk


wanita
 AST atau SGOT: Di bawah 35 iu/L pada orang dewasa
 ALP: 30–120 iu/L pada orang dewasa
 GGT: 0-30 iu /L

545
 Bilirubin: 0,1-1,2 mg/dL
 Albumin: 3,5-5 g/dL
 PT: 10,9-12,5 detik

1. Tes haemo
Pemeriksaan ini akan menginformasikan beberapa hal berikut ini :

 Jumlah haemo.Tes ini untuk menunjukkan adanya penurunan


eritrosit, leukosit, dan trombosit. Pemeriksaan ini menegaskan
bahwa terdapat penyakit sirosis yang menekan produksi
haemocyt.
 Peningkatan enzim hepat. Serum enzim AST (aspartat
aminotransferase) dan ALT (alanine aminotransferase) adalah
enzim yang diproduksi oleh hepat. Produksi enzim yang
berlebih menandakan adanya masalah pada hati.
 Kenaikan GGT (gamma glutamyl transferase) dan ALP (alkaline
phosphatase). Merupakan enzim yang dapat meningkat selama
sirosis disease.
 Kenaikan Bilirubin. Naiknya kadar bilirubin pada sirosis disease.
Naiknya jumlah bilirubin meningkatkan faktor pembekuan dan
risiko pendarahan membuat lebih mudah memar.
 Singkatnya albumin. Jika kamu memiliki penyakit sirosis, maka
hati tidak dapat menghasilkan cukup albumin untuk digunakan
tubuh.

2. Tes pencitraan
Pemeriksaan ini meliputi :

 sinar-X dari abdomen. Ini untuk menghasilkan gambar bagian


dalam tubuh dengan warna hitam dan putih.
546
 Computed tomography (CT) scan. Pemeriksaan ini
menggunakan peralatan sinar-X khusus untuk menghasilkan
penampakan dalam tubuh.
 Magnetic resonance imaging (MRI). Pemeriksaan ini
menggunakan magnet dan radio gelombang besar untuk
melihat organ dan struktur dalam tubuh.
 Endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP).
Pemeriksaan ini menggunakan sebuah kamera kecil yang
menempel pada tabung tipis yang disebut endoskopi

3. Analisis jaringan
Pemeriksaan ini juga dikenal sebagai biopsi hepat,
yang akan memeriksa sampel jaringan hepat. Kamu mungkin
perlu mendapatkan anestesi umum agar tidak merasa sakit
selama prosedur berlangsung. Dokter akan menyayat sedikit
pada derma dengan menggunakan jarum tipis panjang yang
mengarahkannya ke hepat untuk mengangkat sampel cyt
hepat. Setelah sampel diambil, sayatan akan dijahit kembali.
Sampel yang diambil kemudian diperiksa di bawah mikroskop
untuk memeriksa sel kanker, bakteri atau lemak pada hati.
Dengan begitu dokter akan terbantu untuk memastikan
penyebab sirosis.
.

547
BAB III

PEMBAHASAN

Gambar 3.1 Spleen normal

Gambar 3.2 spleen yang tidak normal

Gambar 3.3 Spleen yang tidak normal

548
Spleen adalah jenis ductless . Spleen adalah bagian dari sistem
peredaran atau sirkulasi(C A Doan,1949). Berat normal spleen orang
dewasa adalah 70 g sampai 200 g, berat limpa 400 g sampai 500 g
menunjukkan splenomegali berat spleen lebih besar dari 1000 g definitif
splenomegali masif (Chapman, J., Bansal, P., Goyal, A., & Azevedo, A.
M. (2017)).
Pada kondisi normal, spleen hanya berukuran 11-20 cm,
dengan berat hingga 500 gram. Namun pada penderita splenomegali,
ukuran spleen bisa lebih dari 20 cm, dengan berat mencapai lebih dari 1
kg.
Pada kondisi abnormal spleen akan mengalami pembengkakan.
Pembengakan ini terjadi ketika organ spleen membesar. Pembengkakan
spleen biasanya ditandai dengan rasa sakit atau tidak nyaman di
abdomen kiri bagian atas. Seseorang dengan pembengkakan spleen
biasanya akan merasa lebih mudah kenyang, meski makan dalam porsi
sedikit. Hal ini terjadi karena spleen yang bengkak dan membesar mulai
menekan gastro.
Pembengkakan spleen yang menyebabkan tekanan pada organ
tubuh lainnya dapat memengaruhi aliran haemo menuju spleen dan
menyebabkan spleen tidak dapat menyaring haemo dengan baik. Salah

549
satu disease yang membuat spleen tidak normal atau membengkak
adalah sebagai berikut:
1. Infeksi
Beberapa infeksi yang bisa menyebabkan pembengkakan
spleen, yaitu infeksi virus, seperti mononukleosis, infeksi parasit, seperti
toksoplasmosis dan malaria; dan infeksi bakteri, seperti abses, sifilis, dan
endokarditis.
2. Kanker
Pembengkakan spleen bisa menjadi pertanda leukemia
disease (kanker darah) atau limfoma (kanker getah bening).
Pembengkakan spleen juga bisa menjadi pertanda kanker yang telah
menyebar atau metastasis.
3. Peradangan
Beberapa disease peradangan yang bisa menyebabkan
pembengkakan spleen di antaranya adalah sarkoidosis, lupus, dan
rheumatoid arthritis.
4. hepat disease
Jenis hepat disease yang dapat menyebabkan pembengkakan
spleen antara lain adalah sirosis dan fibrosis kistik.
5. Trauma atau cedera
Pembengkakan spleen juga bisa disebabkan oleh cedera
tumpul pada abdomen, misalnya benturan pada kecelakaan atau saat
berolahraga.
6. disease lain.
Beberapa disease lainnya yang menyebabkan pembengkakan
spleen adalah anemia hemolitik, heart failure, amiloidosis, atau disease
yang berhubungan dengan gangguan penyimpanan glikogen.

550
BAB IV
PENUTUP
Spleen adalah jenis ductless. spleen adalah bagian dari sistem
peredaran atau sirkulasi.spleen memiliki beberapa fungsi(ductless).
Eritrosit disimpan di dalam spleen. Ketika tubuh memerlukan
darah(haemo)tambahan karena gerak badan atau hemorrhage,spleen
mengencang atau berkontraksi. Splenomegaly yang terjadi
menyebabkan hypersplenism yaitu suatu sindrom klinikyang terdiri dari
splenomegaly dan pancytopeniasehingga menyebabkan terjadinya
penurunan jumlah haemotocyte termasuk jumlah leukosit.
Hyperplenism merupakan suatu keadaan patologik faal limpa
yang mengakibatkan kerusakandan gangguan pada haemotocyte. Pada
hypersplenism terjadi destruksi eritrosityang berlebihan. Sehingga usia
eritrosit menjadi lebih pendek (normalnya lebih kurang 120 hari),
terbentuk antibodi yang menimbulkan reaksi antigen sehingga rentan
terhadap destruksii, dan terbentuk faktor penghambat pertumbuhan
haemotocyte yang mempengaruhi penglepasan haemotocyte dari
medulla. Patologi celiac yang menyertai hyposplenism dan Inflammatory
bowel diseasediduga disebabkan oleh hilangnya limfosit yang berlebihan
melalui mukosa enterik yang meradang,yang menyebabkan atrofi
retikuloendotelial spleen.
Hyposplenism adalah kelainan yang disebabkan oleh beberapa
patologihematology dan imunology dan ditandai dengan gangguan
fungsi spleen. Pada kebanyakan kelainan hematology dan neoplastic,
hyposplenism mungkin disebabkan oleh infiltrasi jaringan limpa oleh cyt
tumor atau karena oklusi vaskular. Pada sickle cell, yang dianggap
sebagai pola dasar dari kondisi yang berhubungan dengan
hyposplenism, spleen awalnya membesar karena penjeratan eritrosit
yang berlebihan.

551
BAB V

TERMINOLOGI
Terminology Hypersplenism
1. Hypersplenism(pembesaran limpa): berlebih nya fungsi
hemolitik limpa, menyebabkan defisiensi unsur-unsur
haemotocyte, hiper selularitas medulla, dan splenomegaly
 prefix : hyper(terlalu banyak)
 root: spleen/o(limfa)
 pseudosuffix : ism
2. Pancytopenia: penurunan abnormal semua elemen set haemo
 Prefix :pan
 root : cyt/o(sel)
 pseudosuffix : penia(keadaa
Terminology Hyposplenism
1. Hyposplenism: menurunnya fungsi spleen, menyebabkan
peningkatan jumlah unsur-unsur haemotocyte
 prefix : hypo(dibawah,difisiensi)
 root :spleen/o(limfa)
 pseudosuffix: ism

2. Enteritis : peradangan usus


 Prefix : -
 root : enter/o(usus)
 suffix : -it is(radang)

DAFTAR PUSTAKA

552
Lv, Y., Lau, W. Y., Li, Y., Deng, J., Han, X., Gong, X., ...& Wu,
H. (2016). Hypersplenism: history and current status. Experimental and
therapeutic medicine, 12(4), 2377-2382.
Peck-Radosavljevic, M. (2001).Hypersplenism. European
journal of gastroenterology &hepatology, 13(4), 317-323.
Doan, C. A. (1949). Hypersplenism. Bulletin of the New York
Academy of Medicine, 25(10), 625.
Dameshek, W. (1955).Hyposplenism. Journal of the American
Medical Association, 157(7), 613-613.
Kirkineska, L., Perifanis, V., &Vasiliadis, T. (2014).Functional
hyposplenism. Hippokratia, 18(1), 7.
Jandl JH, Aster RH, Forkner CE, Fisher AM, Vilter RW. Splenic
pooling and the pathophysiology of hypersplenism. Trans Am Clin
Climatol Assoc. 1967;78:9-27. PMID: 5339085; PMCID: PMC2441156.
dorland, W. n. (2002). Kamus Saku Kedokteran Dorland edisi 29. hooi
ping chee, 382,386.

MERI,M. (2018, August). GAMBARAN PEMERIKSAAN DARAH RUTIN


TERHADAP PENDERITA SIROSIS HATI. In Prosiding Seminar Nasional
dan Penelitian Kesehatan 2018 (Vol. 1, No. 1).

553
INFARCTION OF SPLEEN

Dosen Pengampu:
dr. R. A. Rengganis Ularan, MM

Disusun oleh :

Vinarul Zaen Permtasari 205038


Vidia Pramesti Kirana 205078
Ridha Fiky Amalia 2051

D3 RMIK
2021

554
BAB I

PENDAHULUAN

Suatu kondisi infark yang terjadi saat sirkulasi organ besar yang
mirip gland terletak dibagian sinistra atas rongga abdomen
mengalami tersumbat dan terjadi nekrosis (Dorland Edisi 29).
Spleen adalah viscus limfoid dalam tubuh yang memiliki fungsi
filtrasi emia dan koordinasi responimun. Spleen terdiri dari 2 bagian.
Lien adalah kelenjar yang terletak di regiohipogastrium sinistra,
didalamnya berisi banyak jaringan limfe dan cyt emia. Bagian yang
putih (pulpa alba) merupakan sistem kekebalan untuk melawan
infeksi dan bagian yang merah (pulpa rubra) bertugas membuang
bahan-bahan yang tidak diperlukan dari dalam emia seperti eritrosit
yang rusak, spleen dapat membesar pada keadaan tertentu dengan
tujuan untuk melakukan fungsi pembersihan secara adekuat yang
biasa disebut dengan splenomegaly (Guyton & Hall, 200).
Sebuah studi yang diterbitkan pada tahun 2010 di Indonesia
berangkat untuk lebih mencirikan pengalaman modern infarction of
spleen. Penelitian ini melakukan tinjauan grafik dari 26 pasien yang
dirawat di rumah sakit dengan diagnosis infarction of spleen.
Diantaranya yang mengalami adalah pasien lansia dengan rata-rata
umur 50 tahun dengan keluhan pyrexia, splenomegali, nausea,
emesis, abdominal akut. (Jennifer:2020)
Sedangkan di Negara India diidentifikasi oleh peneliti 25 kasus
infraction of spleen dari 168.572 penerima selama 2 tahun, terhitung
dengan prevalensi 0,015%. 18 laki-laki dan 7 perempuan dengan
domin manusia 40 tahun. Dan keluhan yang dialaminya lebih besar
dari Indonesia dengan kisaran 3 sampai 76. (Jerrin Thomas : 126)

555
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Fisiologi Infarction of Spleen/Lien
Spleen terletak di Quadran atas sinistra abdomen, di
inferior diaphragma yang memanjang dari iga 9-11, terletak
dilateralis nephro dan posterolateral gaster, bagian
posterolateral disebut permukaan diaphragmatic dan bagian
anteromedeoial berisi hillus dimana A, V dan Nervus, masuk-
keluar melalui hillusini, dan spleen disuplai oleh A. Splenicus.
Struktur spleen capsul terdiri atas jaringan pengikat
yang iregular yang membungkus spleen, capsul akan menjulur
kedalam dinamakan trabecula berjalan A dan V trabecularis,
seldi sekitar trabecula akan terbagi menjadi - Pulpa Alba, pulpa
Rubra, yang mengelilingi pulpa putih. Pulpa Alba atau White
Plup of Spenic Nodule dihubungkan dengan arteri yang
mensuplai spleen, terdiri atas kelompok cyt limfatik (limfosit T, B
dan Makrofag), dipusat kelompok terdapat A. Centaralis.
Pulpa Rubra atau Red Pulp dihubungkan dengan vena
yang mensuplai spleen terdiri dari splenic Cords (mengandung
eritrosit, platelet, makrofag dan cyt plasma), splenic sinusoid
(berperan sebagai kapiler yang membawa emia. Fungsi spleen
adalah sebagai menginisiasi respon imun bila ada antigen
didalam emia, reservoir eritrosit dan platelet, memfagosit
eritrosit dan platelet yang defectiv, phagosit bacteri dan benda
asing lainnya. Fungsi spleen yang utama adalah menyaring
erythrocyte yang tidak dapat berfungsi dengan baik atau sudah
rusak (Meyta Wulandari, S.Si., S.T., M.Sc).

556
2.2 Definisi Infarction of Spleen

Infarction of spleen adalah suatu kondisi dimana suplai


aliran emia ke spleen terganggu, yang dapat menyebabkan
infark parsial atau total dan kematian jaringan karena
kekurangan oksigen di viscus. Infarction of spleen terjadi ketika
arteri spleen atau salah satu cabangnya tersumbat, misalnya
oleh Deep Vein Thrombosis (DVT). Infarction of spleen juga
disebabkan oleh cedera vaskular yang dimediasi oleh aritmia,
cancer, sirosis hepar, pankreatitis, trauma, prosedur vaskular,
Endocarditis Infektif (EI), dan koagulopati. Spleen memiliki
ukuran sebesar kepalan tangan orang dewasa dengan panjang
sekitar 10-12 cm dan berat kurang lebih 150-200 gram.
(Kahwaji:2020)

Arteri spleen (bercabang dari arteri celiac) memasok


aliran emia ke spleen dalam kombinasi dengan arteri gastro
pendek (cabang dari arteri gastro epiploic sinistra). Salah satu
etiologi paling umum dari infark spleen hemoglobinopati sabit.
Pada pasien dengan penderita sickle cyt anemia, episode
hipoksia atau asidosis menyebabkan eritrosit berubah menjadi
bentuk abnormal yang menyebabkan kristalisasi dan
oklusiangio. Proses ini dapat menyebabkan infark multipel yang
dimulai pada masa kanak-kanak. Seiring waktu, beberapa infark
menyebabkan jaringan parut dan kontraksi spleen. Hal ini pada
akhirnya dapat mengakibatkan auto infeksi spleen lengkap
pada saat dewasa.

Disease yang menyebabkan splenomegali dapat


menempatkan pasien pada risiko infarction of spleen. Disease

557
ini termasuk leukemia myelogenouskronis, myelofibrosis,
disease Gaucher, sindrom splenomegali malaria, AIDS dengan
kompleks mycobacterium avium, limfoma. Jarang, anatomi
vascular spleen yang abnormal dapat menyebabkan infark.
Sebuah varian anatomi yang dikenal sebagai spleen yang
mengembara telah diidentifikasi di mana spleen memiliki
perlekatan vaskular abnormal yang merupakan predisposisi
torsi. (Travis:2020)

2.3. Patofisiologi Infarction of Spleen

Etiologi Infarction of Spleen


Infarction of spleen mungkin disebabkan oleh oklusi
arteri atau vena. Oklusi biasanya disebabkan oleh emboli
hambar atau septik serta kongesti vena oleh cyt abnormal.
Infark mungkin melibatkan area segmental kecil dari spleen
atau mungkin global tergantung pada angio mana yang
tersumbat. Kejadian ini disebabkan oleh berbagai macam
disease yang mendasari dengan prognosis yang bergantung
pada penyakit penyebabnya. Presentasi yang paling khas
termasuk abdominal pain sinistra pada pasien dengan kelainan
hematologi yang mendasari, keganasan yang ditularkan
melalui emia, trauma tumpul pada abdomen, keadaan
hiperkoagulasi atau disease emboli. Pengobatan
infarctionofspleen berkisar dari perawatan suportif hingga
splenektomi.
Infarction of spleen (Infark limpa) terapeutik melalui
embolisasilien telah digunakan untuk mengobati peremiaan
akibat cedera spleen traumatis. Embolisasispleen juga telah
digunakan dalam pengobatan hipertensi portal yang parah dan

558
pada fase splenektomipra-operasi untuk mengurangi
kehilangan emia selama operasi. (Kahwaji:2020)
Beberapa faktor dapat meningkatkan kecenderungan
pembentukan gumpalan, seperti infeksi spesifik (seperti infeksi
mononukleosis, infeksi cytomegalo ‗virus malaria, atau
babesiosis), kelainan pembekuan bawaan (trombofilia, seperti
Faktor V Leiden, sindrom anti fosfolipid), keganasan (seperti
cancer pancreas) atau metastasis, atau kombinasi dari faktor-
faktor ini.
Dalam beberapa kondisi, gumpalan emia terbentuk di
satu bagian system cardiovascular dan kemudian keluar dan
berpindah kebagian tubuh lain, yang bisa termasuk spleen.
Gangguan emboligenik ini termasuk fibrilasi atrium, foramen
ovale paten, endokarditis, atau emboli kolesterol.
(Chitioui:2018)
Infarction of spleen juga lebih sering terjadi pada
kelainan hematologi yang berhubungan dengan splenomegali,
seperti kelainan mieloproliferatif. Etiologi splenomegali lainnya
(misalnya, disease Gaucher atau hemoglobinopati) juga dapat
menjadi predisposisi infark. Infarction of spleen juga dapat
terjadi akibat krisis cyt sabit pada pasien sickle cyt anemia.
Baik splenomegali dan kecenderungan fitur pembentukan
bekuan pada kondis ini. Pada disease sickle sel anemia, infark
spleen berulang menyebabkan spleen tidak berfungsi
(autosplenektomi).
Faktor apa pun yang secara langsung mengganggu
arteri spleen dapat menyebabkan infark. Contohnya termasuk
trauma abdomen, diseksi aorta, torsi pada arteri spleen
(misalnya, pada spleen yang berkeliaran) atau kompresi

559
eksternal pada arteri oleh tumor. Ini juga bisa menjadi
komplikasi dari prosedur vaskular.
Infarction of spleen dapat disebabkan oleh vaskulitis
atau koagulasi intravaskular diseminata. Berbagai kondisi lain
telah dikaitkan dengan infarction of spleen dalam laporan
kasus, misalnya granulomatosis dengan poliiangitis atau kuratif
dengan obat-obatan yang mempengaruhi vasospasme atau
pembentukan gumpal anemia (trombosis arteri), seperti
vasokonstriktor yang digunakan untuk mengobati varises
esofagus, sumatriptan atau bevacizumab. Dalam tinjauan
kasus retrospektif satu pusat, orang-orang yang dirawat di
rumah sakit dengan diagnosis dikonfirmasi infarction of spleen
acut, emboli kardiogenik adalah etiologi dominan diikuti oleh
fibrilasi atrium, diseaseautoimun, infeksi terkait, dan
keganasan hematologis. Meskipun mereka sudah memiliki
factor risiko terkena infarction of spleen, ada sembilan orang
sebelumnya yang sehat. Dan di antara mereka, 5 dari 9
sindromanti fosfolipid diam atau disease katup mitral telah
diidentifikasi. Dua tetap kriptogenik. (MT Jaroch:1986)

Symptom Infarction of Spleen


Symptom infraction of spleen tergantung pada luas
dan parahnya kerusakan spleen dan factor etiologi. Dalam
kasus ringan, symptom mungkin sama sekali tidak ada namun,
kebanyakan orang mengalami acute abdomen sinistra atas
atau pyel kiri dan lebih jarang, adhesive capsulitis kiri menjalar,
nausea, emesis dan chest pain sinistra inferior.
sign yang paling umum adalah algia tekan pada
kuadran abdomen sinistra superior. Sign yang kurang umum

560
dapat terjadi akibat komplikasi infark dan termasuk demam,
hipotensi, takikardia, distensi abdomen, dan perubahan status
mental.

2.4 Diagnosis Dan Diagnosis Banding Infarction of Spleen


1. Abdominal pain sinistra
2. Splenomegaly
3. Tidak mempunyai sign and symptoms yang terlokalisasi di
spleen
4. Peningkatan kadar LDH
5. Vomiting and nausea

Diagnosis lainnya
1. Acute leukimia
2. Cardioembolic origin
3. Cytomegalovirus
4. Hemoglobinopathy
5. Infectious Mononucleus
6. Infective endocarditis
7. Myelodysplastic Syndromes
8. Myelofibrosis
9. Wandering Spleen

2.5 Penatalaksanaan Infarction of Spleen


Kuratif Infarction of Spleen Tidak ada terapi khusus, kecuali
terapi gangguan yang mendasari dan memberikan pereda algia
yang adekuat. Tindakan Operasi pengangkatan limpa (splenektomi)
hanya diperlukan jika terjadi komplikasi; operasi pengangkatan
merupakan predisposisi untuk infeksi pasca-splenektomi yang luar
biasa
Preventif Infarction of Spleen
Preventif bisa dilakukan dengan cara asupan makan
ringan, bed rest, dan latihan pernapasan perut dengan menarik
napas dalam.

561
2.6.Penunjang medis Infarction of Spleen

Uji lab dan prosedur berikut digunakan untuk


mendeteksi Infark spleen:
 CT scan abdomen (Computed tomography): Untuk
mendiagnosis abdomen akut selama infark lien
 Tes fungsi hepar yang meningkat: Untuk mendiagnosis sumber
hepatobilier atau pancreas untuk algia
 Ultrasonografi: Untuk menemukan daerah berbentuk baji dari
jaringan spleen yang mengindikasikan infarak

562
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Gambar Spleen Normal dan Abnormal

Organ yang berwarna merah keunguan ini terletak di dalam


rongga abdomen sebelah sinistra superior, tepatnya di
posterior gaster. Spleen memiliki ukuran sebesar kepalan
tangan orang dewasa dengan panjang sekitar 10–12 cm dan
beratkurang lebih 150–200 gra

563
Kontraksi aksial, CT (Computed Tomography) ditingkatkan
gambar dalam fase portovenous mengkonfirmasi spleen
yang membesar, mengandung heterogen yang digambarkan
meningkatlesi (tanda bintan

Kontraksi aksial ditingkatkan gambar CT (Computed


Tomography) yang diperoleh selama fase portovenous
menunjukkan beberapa lesiatenuasi rendah dalam
splenomegaly (panah). Variasi ukuran lebihmenunjukkan
keterlibatan limfomatous dibandingkan abses multifocal.

564
BAB IV

PENUTUP
Infarction of spleen merupakan masalah utama
patologi spleen dan merupakan komplikasi yang berhubungan
dengan beberapa disease serius gangguan, tetapi juga ditandai
dengan kecenderungan tinggi untuk penyembuhan lengkap,
sehingga pada spleen tanpa komplikasimanajemen infark
biasanya dibatasi untuk menutup pemantauan klinis, hidrasi,
antibiotik, analgesia dan berat molekul heparins.c. dan aspirin,
dengan resolusi gejala dalam 1 hingga 2 minggu. Untuk
mencegah OPSI,hanya dalam kasus gejala yang jelas dan
persisten atau karena timbulnya komplikasi, pendekatan bedah
mungkin diperlukan, laparoskopi atau laparotomi.

565
BAB V

TERMINOLOGI

1. Splenomegaly : Pembesaran Lima


P:-
R : Splen/o (Limpa)
S : Megaly (Pembesaran)

2. Splenectomy : Prosedur pengangkatan limpa yang pecah,


biasanya akibat cedera perut
P:-
R : Splen/o (Limpa)
S : Ectomy (Pengangkatan)

3. Hematologis: Ilmu yang mempelajari tentang emia dan jaringan


pembentukan emia
P:-
R : Hemato (Emia)
S : Logis (Ilmu)

4. Endocarditis : Peradangan pada endocardium


P : Endo (Di dalam)
R : Cardi/o (Jantung)
S : Itis (Peradangan)

5. Cytomegalo : Pembesaran Sel


P :-
R :Cyt/o (Sel)
S : Megal/o : (Pembesaran)

566
6. Myelofibrosis : Penggantian sumsum tulang dengan jaringan
ikat
P:-
R : Myel/o (Sumsum tulang belakang);
Fibr/o (Jaringan Fibrosa)
S : Osis (Keadaan)

7. Laparoscopy : Pemeriksaan atau pengobatan bagian dalam


abdomen dengan laparoskop
P: -
R : Lapar/o (Dinding abdomen)
S :Scopy (Pengamatan)

8. Laparotomy : Insisi melalui dinding perut


P:-
R : Lapar/o (Dinding abdomen)
S : Tomy (Sayatankedalam)

9. Ultrasonography : Pemeriksaan yang menggunakan gelombang


suara tinggi untuk melihat organ tubuh
P : Ultra (diluar)
R : Sono (suara)
S : Graphy (mencatat)

567
DAFTAR PUSTAKA

Chapman J, Helm TA, Kahwaji CI. Splenic Infarcts.2020 Aug 16. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): Stat Pearls
Publishing; 2021 Jan–. PMID: 28613652.-PubMed

Jaroch MT, Broughan TA, Hermann RE. The natural history of splenic
infarction. Surgery. 1986;100:743–50.- PubMed

Mamoun C, Houda F. [Splenic infarction revealing infectious endocarditis


in a pregnantwoman: about a caseand brief literature review].
Pan AfrMed J. 2018;30:184. - PMC - PubMed

Nores M, Phillips EH, Morgenstern L, Hiatt JR. The clinical spectrum of


splenic infarction. Am Surg. 1998;64:182–8.- PubMed

Raj SS, Krishnamoorthy A, Jagannati M, Abhilash KP. Splenic infarct due


to scrub typhus. J GlobInfect Dis. 2014;6:86.- PubMed

568
Lymfangioma

Dosen Pengampu :
dr. R. A. Rengganis Ularan, MM

Disusun oleh :
SAFFANA AUDREY HANIFIA 205108
D3 RMIK
2021

569
BAB I
PENDAHULUAN

Makalah ini ditujukan untuk pembaca agar dapat memahami


apa yang dimaksud dengan Lymfangioma biasa disebut Limfangioma.
Angioma adalah sekumpulan tumor jinak dari pembuluh darah atau
pembuluh getah bening yang biasanya ditemukan di dalam dan di
bawah kulit (Yeti Eka, 2019). Salah satu bentuk angioma adalah
limfangioma. Limfangioma merupakan tumor jinak dari pembuluh limfe
yang biasanya muncul setelah lahir. Limfangioma terjadi akibat
gangguan perkembangan dari saluran limfatik dan lokasi paling sering
yaitu di daerah cephal, cervic dan axila, tetapi bisa juga terdapat pada
lokasi pembuluh limfatik lainnya(Roberthy D Maelissa, 2019).

Penyakit ini tersebar di seluruh dunia. Tidak di jumpai adanya


predileksi jenis kelamin. Tingkat insidensi penyakit ini yaitu 1-2
kejadian per 1000 kelahiran hidup. Sekitar 50% dari malformasi
limfatik ini tampak pada bayi baru lahir dan 90% tampak sebelum usia
2 tahun. Pembentukan lympangioma menggambarkan adanya
kegagalan saluran getah bening untuk menghubungkan dengan
sistem vena selama embriogenesis, penyerapan abnormal struktur
limfatik atau keduanya.
Klasifikasi malformasi limfatik berdasarkan klinis dan
histopatologik dibagi menjadi 3bentuk yaitu:

a. Limfangioma sirkumskripta Lokalisata


b. Limfangioma sirkumskripta (tipe klasik)
c. Limfangioma kavernosa

570
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Fisiologi Lymfangioma

Sistem limfatik adalah suatu jalur tambahan dimana cairan


dapat mengalir dari ruang interstisial kembali ke aliran darah. Melalui
sistem ini, zat-zat dengan molekul besar seperti protein dan lemak
yang tidak dapat diserap secara langsung dari saluran cerna dapat
diangkut. Saluran limfe dari sistem limfatik ini juga sangat permeabel
terhadap patogen - patogen seperti bakteri, virus, parasit dan sel

571
kanker sehingga melalui jalur ini patogen tersebut akan di keluarkan
dalam bentuk hancur karena salah satu fungsi dari sistem ini adalah
sebagai sistem pertahanan tubuh. Yang termasuk dalam sistem
limfatik adalah pembuluh limfatik sertajaringan dan organ limfatik.

a. Pembuluh Limfatik
Pembuluh limfe mulai dari yang kecil yaitu kapiler
limfe, yang ada pada semua jaringan kecuali CNS, bone
marrow, dan jaringan yang tidak memiliki pembuluh darah
seperti cartilago, epidermis, dan kornea. Kelompok pembuluh
limfe superfisial terdapat di dalam dermis dan hipodermis,
sedangkan yang profunda ada di saluran tulang, otot, viscera,
dan struktur dalam lainnya.

572
b. rgan Limfatik
Organ limfatik dibagi menjadi dua yaitu organ limfatik primer
dan sekunder. Organ limfatik ini saling bekerja sama untuk
membentuk suatu pertahanan tubuh. Organ limfatik terdiri
dari sum-sum tulang dan timus. Sumsum tulang adalah
tempat hematopoeisis, terutama yang terkait dengan system
limfatik adalah limfosit B dan limfosit T. limfosit B diproduksi
dan dimatangkan di sum-sum tulang, sedangkan limfosit T
diproduksi di sumsum tulang dan dimatangkan di tymus.

Limfangioma adalah tumor yang tersusun oleh


pelebaran pembuluh limfe yang dilapisi oleh sel endhotel.
Besar dan gambaran klinisnya bervariasi menurut dalamnya
lesi.
Secara embriologis sistem limfe berasal dari :

- Sepasang kantong di cervic yang berhubungan v.


Jugularis.

- Sebuah kantung pada mesentrium.

- Sepasang kantung yang berhubungan dengan v. Sciatica.


Seluruh sistem pembuluh limfe berasal dari tempat-tempat
tersebut. Obstruksi dan skuestrasi dari pembuluh limfe akan
menyebabkan kelainan klinis, tergantung dari kelainan
anatomisnya. Oleh karena itu, obstruksi pembuluh limfe
mesentrium atau omentum menyebabkan kista intraperitoneal
yang besar, dimana sumbatan atau skuestrasi pembuluh limfe
pada leher atau jaringan subkutan akan menyebabkan kistik
higroma yang khas.

Definisi Lymfangioma
Limfangioma adalah tanda menonjol kuning
573
kecokelatan atau merah di kulit, terdiri dari pembuluh limfatik
yang membesar (Baird, 2006). Limfangioma merupakan
malformasi pembuluh limfatik yang biasanya terjadi setelah
lahir (Daniel, 2007).

Limfangioma merupakan tumor jinak yang


disebabkan dari malformasi kongenital sistem limfatik. Tumor
ini biasanya terjadi di kepala, leher, dan ketiak, namun
kadang terjadi pada mediastinum, retroperitoneum, dan
paha. Sering juga terjadi pada skrotum dan perineum.
Kejadian malformasi limfatik tidak diketahui, tetapi diyakini
melebihi 6,3% dari semua malformasi. Limfangioma berasal
dari sakus primitive masa embrio, sebagian jaringan limfatik
yang terlepas kehilangan hubungan dengan system limfatik
normal, tapi masih memiliki potensi pertumbuhan cepat
semula (Schawartz, 2011).

Limfangioma merupakan massa kistik yang jinak,


multilobular, dan multinodular yang dibentuk oleh sel-sel
endotel. Limfangioma merupakan akibat dari kesalahan
pembentukan (malformasi) dan obstruksi dari sistem limfatik.
Pada beberapa kejadian, dapat terbentuk sequestrasi dari
jaringan limfatik yang tidak berhubungan dengan sistem
limfatik yang normal.(Craig, 2006).

Kebanyakan limfangioma merupakan tumor jinak


yang hanya merupakan lesi yang lunak, tumbuh secara
lambat, dan massa tumor yang kenyal. Oleh karena
limfangioma tidak memiliki kemungkinan untuk menjadi
ganas, pada umumnya limfangioma hanya dirawat untuk
kepentingan kosmetis saja. Limfangioma dapat terjadi

574
dimana saja pada kulit dan membran mukosa. Lokasi yang
paling umum adalah cephal dan cervic, dan selanjutnya pada
ekstremitas proksimal, pantat, dan badan. Namun,
limfangioma terkadang dapat ditemukan di dalam usus,
pankreas, dan mesenterium. Lesi kistik yang lebih dalam
biasanya terjadi di area yang longgar dan jaringan areolar,
biasanya leher, ketiak, dan selangkangan. Lesi pada kulit
tersebut dapat berupa lesi yang kecil dan berbatas jelas,
hingga luas, diffuse dan berbatas tidak jelas. Limfangioma
biasanya adalah bawaan lahir, dan pada umumnya muncul
sebelum usia 2 tahun. Limfangioma dapat secara tiba-tiba
muncul pada anak-anak dan terkadang pada remaja atau
dewasa (Glenn, 2005).

2.2 Pathofisiologi Lymfangioma

Limfangioma tidak harus didasarkan hanya pada


ukuran saluran limfatik melainkan bahwa lesi ini harus
dianggap sebagai spektrum dari proses patologis yang
sama. Dengan demikian, hygromakistik terjadi karena
kegagalan kantung getah bening embrionik untuk
membangun kembali komunikasi dengan sistem vena. Lesi
ini dapat mencapai ukuran yang cukup besar karena adanya
pertumbuhan pada jaringan ikat longgar.

Limfangioma dengan kapiler yang lebih kecil dan


kavernosa berkembang kemudian dari sekuestrasi abnormal
tunas mesenkim limfatik, yang telah kehilangan hubungan
mereka dengan primordia limfatik yang bercabang secara

575
perifer. Pertumbuhan dihambatdalam elemen dermal dan
epiderma, menghasilkan bentuk kapiler. Bentuk kavernosa
subkutan terjadi pada jaringan otot atau kelenjar. Karena
mereka berasal dari jaringan yang bercabang lebih ke arah
perifer yang lebih mengembangkan limfatik dibandingkan
hygroma kistik, maka ukurannya lebih kecil dan ruang limfatik
yang lebih kecil. Limfangiohemangioma terbentuk ketika tunas
limfatik yang menyimpang mempertahankan hubungan
dengan sistem vena dimana mereka muncul dandengan
demikian tidak dapat sepenuhnya berdiferensiasi menjadi
limfatik.

Etiologi Lymfangioma
Penyebab terjadinya limfangioma dikarenakan oleh
malformasi congenital dari system limfatik. Faktor genetik,
paparan tembakau, konsumsi alkohol, virus dan defisiensi
makanan juga dapat menjadi penyebab terjadinya
limfangioma.

Penyebab pasti pembentukan lymphangioma tidak


diketahui, tetapi kebanyakan kasus diyakini sporadis.
Pembentukan lymphangioma mungkin mencerminkan
kegagalan saluran limfatik untuk menghubungkan dengan
sistem vena selama embriogenesis, penyerapan abnormal
struktur limfatik, atau keduanya. Penelitian berkelanjutan
telah dijelaskan beberapa faktor pertumbuhan pembuluh
darah yang mungkin terlibat dalam pembentukan malformasi
limfatik seperti VEGF-C dan FLT-4. Studi genetik pada
penderita limfangioma menunjukkan adanya mutasi dari
kromosom 13, 18,21, VEGF-C dan reseptornya (Scwartz,
2011).
576
Menurut Grasso et al, asal terbentuknya lesi ini dapat berupa
hipotesis berikut ini:

 Tersumbatnya atau berhentinya pertumbuhan normal


dari saluran limfatik primitifselama embriogenesis.

 Proliferasi dari jaringan limfatik sac primitif yang tidak


mencapai sistem vena

 Tumbuhya jaringan limfatik di lokasi yang salah selama


embriogenesis

Sign and Symptom


Tanda dan gejala limfangioma bervariasi sesuai
dengan lokasi anatomi. Dua-pertiga dari limfangioma serviks
tidak menunjukkan gejala. Mereka hadir sebagai
pembengkakan multilobular, yang teraba kistik pada palpasi.
Pembesaran tiba-tiba dan terkadang menyakitkan dari
limfangioma pada anak-anak yang lebih tua mungkin
disebabkan oleh infeksi, perdarahan, dan / atau akumulasi
cairan. Infeksi saluran pernapasan atas akut telah dikaitkan
dengan pembesaran tiba-tiba dari massa.

Lymphangioma sering kali memiliki gejala yang


samar. Sebagian penderita bahkan tidak merasakan gejala
apa pun di awal. Akan tetapi, sebagian penderita lainnya
juga akan mengalami keluhan seperti nyeri di leher (atau
area tubuh lain yang terkena), bengkak akibat pembesaran
jaringan, serta patah tulang tanpa sebab yang jelas.

Penderita juga bisa mengalami keluhan lain yaitu :

 Dysphagia,

 Infeksi atau gangguan pernapasan,

577
 atau infeksi kronis lainnya, mengingat kasus
lymphangioma paling banyak terjadi diarea leher.

2.3 Diagnosis dan Diagnosa Banding Lymfangioma

 Pemeriksaan Fisik
Anamnesis dilakukan dengan baik dan
inspeksi, serta palpasi dilakukan secara teliti dapat
dipakai sebagai dasar untuk penilaian yang baik
mengenai pembengkakan di leher. Untuk itu diperlukan
pengetahuan yang mendalam mengenai anatomi
normal, patologi dan pola metastasis limfogen
tumortumor maligna di daerah kepala dan leher.

2.4 Penatalaksanaan Lymfangioma

Kuratif dan Preventif Lymfangioma

Pada umumnya terapi yang dilakukan adalah


pembedahan. Karena batas limfangioma dan jaringan normal
tidak jelas betul, operasi tidak dapat memaksakan eksisi radikal,
operasi dapat dilakukan bertahap. Umumnya dianggap tidak
sesuai diterapi dengan injeksi zat sklerotik. Belakangan ini di
China dilaporkan injeksi pingyangmisin (bleomisin A5) intratumor
membawa hasil tertentu pada limfangioma servikal. Radio terapi
mungkin berefek tertentu, tapi tidak sesuai untuk pasien usia
muda, sebab mudah timbul deformasi pertumbuhan tulang
setempat dan mencetuskan karsinoma tiroid.

Untuk keperluan pengobatan, limfangioma sering dibagi


menjadi limfangioma lokal dan diffus. Pada limfangioma lokal,

578
dapat diberikan terapi non bedah sambil dilakukan pengawasan
jika limfangioma tidak mempengaruhi fungsi kehidupan, karena
beberapa ahli bedah percaya bahwa lebih dari 15% dari lesi ini
akan mengecil dengan sendirinya. Namun jika lesi tidak mengecil
spontan pada usia 5 tahun, intervensi bedah diperlukan. Penulis
lain percaya bahwa eksisi harus dilakukan lebih cepat untuk
menghindari komplikasi seperti infeksi(Scwartz, 2011).

a) Farmakologi
Untuk malformasi limfatik lokal, berbagai agen farmakologis
telah digunakan di seluruh dunia untuk mengobati
limfangioma. Beberapa agen yang digunakan dalam terapi
sklerotik termasuk air mendidih, tetrasiklin, bleomycin, dan
cyclophosphamide (Scwartz, 2011). Pertimbangan khusus
harus diambil pada malformasi limfatik pada lidah atau glotis.
Malformasi pada lidah (sebelumnya dikenal sebagai
circumscriptum lymphangioma) harus dikelola dengan laser
resurfacing. Jika lesi ini cukup besar dan mengganggu
respirasi, operasi pengurangan lidah harus dilakukan.
Malformasi pada glotis harus diperlakukan dengan laser
karbon dioksida dan terapi debulking dengan manajemen
jalan nafas agresif (Scwartz, 2011). Aspirasi limfangioma
telah dilakukan di masa lalu tapi sebagian besar kurang
disukai karena tingkat kekambuhannya yang tinggi. Namun,
masih dapat digunakan untuk mengatasi limfangioma yang
mengancam kehidupan dimana membutuhkan pengurangan
sesegera mungkin (Scwartz, 2011).

b) Tindakan bedah Sebagaimana dinyatakan di atas, eksisi


bedah adalah pengobatan pilihan untuk limfangioma lokal

579
jika secara anatomis memungkinkan. Dari berbagai teknik
bedah yang telah dieksplorasi selama bertahun-tahun, total
penghapusan tumor dengan tidak meninggalkan epitel kistik,
telah menjadi prosedur yang paling dapat diandalkan
(Scwartz, 2011). Pengelolaan bedah limfangioma difus
sering merupakan usaha yang kompleks dan seumur hidup
dengan tingkat morbiditas substansial. Pasien dan orang tua
harus menyadari hal ini sebelum operasi dilakukan, sehingga
kemungkinan komplikasi yang tinggi dapat difaktorkan ke
dalam keputusan-keputusan awal dalam manajemen
(Scwartz, 2011).

2.5 Penunjang Medis Lymfangioma

 Fasilitas imaging yang sering diperlukan adalah x-ray,


computed tomography (CT) scan, magnetic resonance
imaging (MRI), USG, dan positron emission
tomography (PET)

 Foto toraks membantu adanya metastasis jauh


(diperkirakan 15% pasien) atau adanya tumor primer
kedua (second primary, 5-10%). Foto panoramic
membantu adanya keterlibatan mandibula.

 CT-scan atau MRI dari dasar tengkorak sampai ke


klavikula akan memberikan informasi detail tentang
ekstensi keterlibatan jaringan lunak atau tulang oleh
tumor dan adanya metastasis regional.

580
BAB III
PEMBAHASAN

Gambar Normal dan Abnormal Lymfangioma


Keadaan normal dan Abnormal ketika terjangkit limfangioma
Keadaan saat Normal
Saat keadaan sehat saluran limfatik berfungsi sebagai
saluran system imun tubuh yang berawal dari kapiler darah dan
berakhir di saluran vena cava superior, dimana pada saluran
limfatik cairan yang dialirkan berupa sel darah putih yang akan
dirombak pada kantung-kantung limfatik yang ada pada system
ini.

Keadaan saat Abnormal


Ketika saluran limfatik terkena kanker maka system imun
tubuh manusia akan terganggu sehingga ketika ada penyakit
atau sumber penyakit masuk dalam tubuh, maka tubuh tidak
bisa mengaktifkan system imun secara optimal.

581
B IV
PENUTUP

Limfangioma adalah tanda menonjol kuning kecokelatan


atau merah di kulit, terdiri dari pembuluh limfatik yang membesar
(Baird, 2006). Limfangioma merupakan tumor jinak yang
disebabkan dari malformasi kongenital sistem limfatik. Tumor ini
biasanya terjadi di kepala, leher, dan ketiak, namun kadang
terjadi pada mediastinum, retroperitoneum, dan paha. Penyebab
terjadinya limfangioma dikarenakan oleh malformasi congenital
dari system limfatik. Faktor genetik, paparan tembakau, konsumsi
alkohol, virus dan defisiensi makanan juga dapat menjadi
penyebab terjadinya limfangioma. Pada umumnya terapi yang
dilakukan adalah pembedahan. Karena batas limfangioma dan
jaringan normal tidak jelas betul, operasi tidak dapat
memaksakan eksisi radikal, operasi dapat dilakukan bertahap.
Untuk keperluan pengobatan, limfangioma sering dibagi menjadi
limfangioma lokal dan diffus.

582
BAB V
TERMINOLOGI MEDIS

 Lymfangioma : tumor jinak pada


pembuluh limfa
P : angio (pembuluh/ pembuluh
darah)
R : Limfa (kelenjar
getahbening)
S : oma (tumor)
 Dysphagia : keadaan sulit menelan
makanan
P : dys (kesulitan)
R : Phag/o (makan)
S :ia (keadaan)

583
DAFTAR PUSTAKA

Fahmi R. 2010. Angioma.

Ganong, W.F. 2007. Buku ajar Fisiologi Kedokteran.

Jakarta : EGC. pp: 556-8.Imam Budi Putra. 2008.

Tumor-Tumor Jinak Kulit.

Kumar V, Ramzi S., Stanley R.R. 2008. Buku Ajar Patologi


Kedokteran. Jakarta : Erlangga.pp: 481-4 Amouri M,
Masmoudi A, Boudaya S, et al. (2007). Acquired
lymphangioma circumscriptum of the vulva. Dermatology
online journal 13 (4): 10
Nurdianasari, Y. E., Maelissa, R. D., & Munir, M. A. (2019).
LYMPHANGIOMA IN THE NECK OF 8 YEARS OLD
CHILDREN. Jurnal Medical Profession (Medpro), 1(2),
177-186.

SAMIADJI, S. (1996). HEMANGIOMA DAN LIMPHANGIOMA.

Schawartz R.A. 2011. Arterial Vascular Malformation Including


Hemangiomas and Lymphangiomas. Http: //www.emedicine-
medscape.com (15 September 2011)

Waugh A., Allison G. 2001. Anatomi and Physiology in Health


and Illness. Newyork :Churcill Livingstone. pp: 382-9

584
LYMPHOMA

Dosen Pengampu :
dr. R. A. Rengganis Ularan, MM

Disusun oleh :
Alvia Nissa 205004

D3 RMIK
2021

585
BAB I
PENDAHULUAN

Kelenjar getah bening terdapat beberapa tempat ditubuh kita.


Kelenjar getah bening adalah bagian dari system pertahanan tubuh
kita. Tubuh kita memiliki kurang lebih sekitar 600 getah bening.
Limfoma adalah penyakit keganasan primer dari jaringan limfoid yang
bersifat padat (solid) meskipun kadang-kadang menyebar secara
sistemik
(Handayani, 2012). Penyakit limfoma diklasifikasikan menjadi
dua golonganya itu penyakit Limfoma Hodgkin dan Limfoma Non
Hodgkin.
Disease lymfona non hodgkin adalah salah satu penyakit yang
tergolong dalam kasus interne/kasus penyakit dalam pada penyakit ini
terjadi proliferasi abnormal sistem lymfoid dan struktur yang
membentuknya terutama menyerang kelenjar getah bening. LNH belum
diketahui secara pasti penyebabnya.
Menurut data GLOBOCAN (IARC) tahun 2012, limfoma
merupakan salah satu dari sepuluh kanker terbanyak di dunia pada
tahun 2012. Baik penduduk laki-laki dan perempuan lebih banyak yang
terkena limfoma Non-Hodgkin, yaitu sebesar 6 % pada penduduk laki-
laki dan 4.1 % pada penduduk perempuan. Lebih dari 45.000 klien di
diagnosis sebagai limfoma non-Hodgkin atau LNH setiap tahun di
Amerika Serikat. Di Indonesia sendiri, frekuensi LNH jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan limfoma Hodgkin. (Handayani, 2012)

586
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan fisiologi

Sistem limfatik adalah bagian penting sistem kekebalan tubuh yang


memainkan peran kunci dalam pertahanan alamiah tubuh melawan
infeksi dan cancer. Cairan limfatik adalah cairan putih mirip susu
yang mengandung protein, lemak dan limfosit (leukocyte) yang
semuanya mengalir ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfatik.
Yang membentuk sistem limfatik dan cairan yang mengisis
pembuluh ini disebut limfe. Komponen Sistem Limfatik antara lain :
· Pembuluh Limfe
· Kelenjar Limfe (nodus limfe)
· Lympha
· Tymus
· Medulla
2.2 Definisi Lymphoma
Limfoma (kanker kelenjar getah bening) merupakan bentuk
keganasan dari sistem limfatik yaitu sel-sel limforetikular seperti sel B,
sel T dan histiosit sehingga muncul istilah limfoma malignum (maligna =
ganas). Dalam kondisi normal, sel limfosit merupakan salah satu sistem
pertahanan tubuh. Sementara sel limfosit yang tidak normal (limfoma)

587
bisa berkumpul di kelenjar getah bening dan menyebabkan
pembengkakan. Sel limfosit ternyata tak cuma beredar di dalam
pembuluh limfe, sel ini juga beredar ke seluruh tubuh di dalam
pembuluh darah karena itulah limfoma bisa juga timbul di luar kelenjar
getah bening. Dalam hal ini, yang tersering adalah di limpa dan
sumsum tulang. Selain itu, bisa juga timbul di organ lain seperti perut,
hati, dan otak.

Pengertian tentang limfoma maligna antara lain menurut


Danielle, (1999) bahwa limfoma adalah malignansi yang timbul dari
sistem limfatik. Pengertian lain tentang limfoma maligna menurut Susan
Martin Tucker, (1998) adalah suatu kelompok neoplasma yang berasal
dari jaringan limfoid. Sedangkan menurut Suzanne C. Smeltzer, (
2001), mengemukakan bahwa limfoma maligna adalah keganasan sel
yang berasal dari sel limfoid. Pengertian lain tentang limfoma maligna
menurut Doenges, (1999) adalah kanker kelenjar limfoid.

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa


limfoma maligna adalah suatu jaringan tumor padat yang berasal dari
sel limfoid dan bersifat ganas. Berdasarkan gambaran
histopatologisnya, limfoma dibedakan menjadi dua jenis, yaitu :

a. Limfoma Hodgkin (LH)


Limfoma jenis ini memiliki dua tipe. yaitu tipe klasik dan tipe
nodular predominan limfosit, di mana limfoma hodgkin tipe
klasik memiliki empat subtipe menurut Rye, antara lain :
Nodular Sclerosis, Lymphocyte Predominance, Lymphocyte
Depletion, Mixed Cellularity

b. Limfoma Non-Hodgkin (LNH)

588
Formulasi Kerja (Working Formulation) membagi limfoma non-
hodgkin menjadi tiga kelompok utama, antara lain :
 Limfoma Derajat Rendah

Kelompok ini meliputi tiga tumor, yaitu limfoma limfositik kecil,


limfoma folikuler dengan sel belah kecil, dan limfoma folikuler
campuran sel belah besar dan kecil

 Limfoma Derajat Menengah

Ada empat tumor dalam kategori ini, yaitu limfoma folikuler sel
besar, limfoma difus sel belah kecil, limfoma difus campuran
sel besar dan kecil, dan limfoma difus sel besar

 Limfoma Derajat Tinggi


Terdapat tiga tumor dalam kelompok ini, yaitu limfoma
imunoblastik sel besar, limfoma limfoblastik, dan limfoma sel
tidak belah kecil.
Perbedaan antara LH dengan LNH ditandai dengan adanya sel
ReedSternberg yang bercampur dengan infiltrat sel radang
yang bervariasi. Sel ReedSternberg adalah suatu sel besar
berdiameter 15-45 mm, sering berinti ganda (binucleated ),
berlobus dua (bilobed ), atau berinti banyak (multinucleated )
dengan sitoplasma amfofilik yang sangat banyak. Tampak
jelas di dalam inti sel adanya anak inti yang besar seperti
inklusi dan seperti ―Mata burung hantu‖ (owl-eyes), yang
biasanya dikelilingi suatu halo yang bening. Hal ini disebabkan
adanya paparan herbisida dan pelarut organik.
2.3 Patofisiologi Lymphoma
Ada empat kelompok gen yang menjadi sasaran kerusakan
genetik pada sel-sel tubuh manusia, termasuk sel-sel limfoid,
yang dapat menginduksi terjadinya keganasan. Gen-gen
589
tersebut adalah proto-onkogen, gen supresor tumor, gen yang
mengatur apoptosis, gen yang berperan dalam perbaikan
DNA.
Proto-onkogen merupakan gen seluler normal yang
mempengaruhi pertumbuhan dan diferensiasi, gen ini dapat
bermutai menjadi onkogen yang produknya dapat
menyebabkan transformasi neoplastik, sedangkan gen
supresor tumor adalah gen yang dapat menekan proliferasi sel
(antionkogen). Normalnya, kedua gen ini bekerja secara
sinergis sehingga proses terjadinya keganasan dapat dicegah.
Namun, jika terjadi aktivasi proto-onkogen menjadi onkogen
serta terjadi inaktivasi gen supresor tumor, maka suatu sel
akan terus melakukan proliferasi tanpa henti.
Gen lain yang berperan dalam terjadinya kanker yaitu gen
yang mengatur apoptosis dan gen yang mengatur perbaikan
DNA jika terjadi kerusakan. Gen yang mengatur apoptosis
membuat suatu sel mengalami kematian yang terprogram,
sehingga sel tidak dapat melakukan fungsinya lagi termasuk
fungsi regenerasi. Jika gen ini mengalami inaktivasi, maka sel-
sel yang sudah tua dan seharusnya sudah mati menjadi tetap
hidup dan tetap bisa melaksanakan fungsi regenerasinya,
sehingga proliferasi sel menjadi berlebihan. Selain itu,
gagalnya gen yang mengatur perbaikan DNA dalam
memperbaiki kerusakan DNA akan menginduksi terjadinya
mutasi sel normal menjadi sel kanker.
Etiologi
Penyebab dari penyakit limfoma maligna masih belum
diketahui dengan pasti. Ada 4 kemungkinan penyebabnya,
yaitu : faktor keturunan, kelainan sistem kekebalan, infeksi
virus (HIV) atau bakteria ( Helicobacter Pilori), virus human T-

590
cell leukemia/lymphoma (HTLV), Epstein-Barr virus (EBV), dan
toksin lingkungan (herbisida, pengawet dan pewarna kimia).

Dari keempat faktor diatas, terdapat faktor predisposisi yang


memicu munculnya limfoma pada seseorang, yaitu sebagai
berikut :

1. Usia. Penyakit limfoma maligna banyak ditemukan


pada usia dewasa muda yaitu antara 18 – 35 tahun dan pada
orang diatas 50 tahun.

2. Jenis kelamin. Penyakit limfoma maligna lebih banyak


diderita oleh pria dibandingkan wanita

3. Gaya hidup yang tidak sehat. Risiko Limfoma Maligna


meningkat pada orang yang mengkonsumsi makanan tinggi
lemak hewani, merokok, dan
yang terkena paparan UV.

4. Pekerjaan. Beberapa pekerjaan yang sering


dihubugkan dengan resiko tinggi terkena limfoma maligna
adalah peternak serta pekerja hutan dan pertanian. Hal ini
disebabkan adanya paparan herbisida dan pelarut organik.

2.4. Diagnosa dan diagnosa banding Lymphoma


1. Anamnesis

Keluhan terbanyak pada penderita adalah pembesaran kelenjar


getah bening di cervical, aksila, ataupun lipat paha. Berat badan
semakin menurun, dan terkadang disertai dengan pyrexia, sering
berkeringat dan pruritus.
2. Pemeriksaan Fisik

591
Palpasi pembesaran kelenjar getah bening di servikal terutama
supraklavikuler – aksila dan inguinal. Mungkin lien dan hepar
teraba membesar. Pemeriksaan THT perlu dilakukan untuk
menentukan kemungkinan cincin Weldeyer ikut terlibat. Apabila
area ini terlibat perlu diperiksa gastrointestinal sebab sering
terlibat bersama-sama.

3. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan darah yaitu hemogran dan trombosit. LED sering


meninggi dan kemungkinan ada kaitannya dengan prognosis.
Keterlibatan hati dapat diketahui dari meningkatnya alkali
fosfatase, SGOT, dan SGPT.

4. Sitologi biopsi aspirasi

Biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH) sering dipergunakan pada


diagnosis pendahuluan limfadenopati jadi untuk identifikasi
penyebab kelainan tersebut seperti reaksi hiperplastik kelenjar
getah bening, metastasis karsinoma, dan limfoma maligna. Ciri
khas sitologi biopsi aspirasi limfoma Hodgkin yaitu populasi
limfosit yang banyak aspek serta pleomorfik dan adanya sel
Reed-Sternberg. Apabila sel Reed-Sternberg sulit ditemukan
adanya sel Hodgkin berinti satu atau dua yang berukuran besar
dapat dipertimbangkan sebagai parameter sitologi Limfoma
Hodgkin.
Penyulit diagnosis sitologi biopsi aspirasi pada Limfoma non-
Hodgkin adalah kurang sensitif dalam membedakan Limfoma
non-Hodgkin folikel dan difus. Pada Limfoma non-Hodgkin yang

592
hanya mempunyai subtipe difus, sitologi, biopsi aspirasi dapat
dipergunakan sebagai diagnosis definitif.
disease lain dalam diagnosis sitologi biopsi aspirasi Limfoma
Hodgkin ataupun Limfoma non-Hodgkin adalah adanya negatif
palsu termasuk di dalamnya inkonklusif. Untuk menekan jumlah
negatif palsu dianjurkan melakukan biopsi aspirasi multipel hole
di beberapa tempat permukaan tumor. Apabila ditemukan juga
sitologi negatif dan tidak sesuai dengan gambaran klinis, maka
pilihan terbaik adalah biopsi insisi atau eksisi.
5. Histopatologi

Biopsi tumor sangat penting, selain untuk diagnosis juga


identifikasi subtipe histopatologi walaupun sitologi biopsi aspirasi
jelas limfoma Hodgkin ataupun Limfoma non-Hodgkin.

2.5. Penatalaksanaan Lymphoma


Pengobatan (kuratif)
1. Operasi
Cara paling umum untuk mengobati lipoma adalah dengan
mengangkatnya melalui bedah operasi. Pembedahan ini sangat
membantu, terlebih jika Anda memiliki tumor kulit besar yang masih
tumbuh. Umumnya, jarang dari tumor atau benjolan berisi lapisan
lemak ini tumbuh kembali setelah diangkat secara operasi.
2. Liposuction
Pilihan pengobatan lainnya adalah sedot lemak alias liposuction.
Pada dasarnya, benjolan ini terbentuk dari lemak. Itu sebabnya,
prosedur ini bisa bekerja dengan baik untuk mengurangi
ukurannya. Liposuction dilakukan dengan menggunakan jarum
yang menempel pada jarum suntik besar, dan sebelum lemak
disedot, biasanya Anda akan disuntikkan bius lokal terlebih dahulu.

593
Cara prosedur sedot lemak ini biasanya diawali dengan sayatan
pada area benjolan. Dokter kemudian akan menggunakan tabung
tipis yang berongga, yang disebut kanula, untuk dimasukkan ke
dalam sayatan. Kanula kemudian dipindahkan bolak-balik untuk
mengendurkan lemak, yang disedot melalui tabung. Prosedur
liposuction berguna untuk kondisi lipoma yang lebih besar, tetapi
prosedur ini sering dikaitkan dengan tingkat kekambuhan yang
lebih tinggi. Artinya, ada kemungkinan benjolan muncul kembali.
Prosedur untuk menghilangkan lipoma biasanya dilakukan cukup
dalam waktu sehari dan tidak perlu perawatan intensif, dan pasien
pulang ke rumah pada hari yang sama setelah prosedur ini dijalani.
3. Suntikan steroid
Suntikan steroid juga dapat digunakan tepat di area benjolan di
tubuh Anda. Perawatan ini dapat mengecilkan ukuran lipoma,
tetapi tidak sepenuhnya akan mengangkat atau menghapusnya
dari tubuh Anda. Lipoma adalah tumor jinak yang berarti bahwa
cukup besar kemungkinan bahwa benjolan ini tidak akan yang
menyebar. Kondisi ini tidak akan menyebar melalui otot atau
jaringan sekitarnya lainnya, dan tidak mengancam nyawa.Perlu
diketahui, tumor benjolan berisi lapisan lemak ini tidak dapat hilang
atau mengecil dengan sendirinya. Menggunakan kompres es atau
bahkan kompres air panas, tidak dapat mengecilkan jenis
gumpalan pada kulit yang berisi lemak ini. Hal ini karena pada
dasarnya benjolan terbentuk dari lemak dan membutuhkan
penanganan khusus dari dokter jika Anda ingin menghilangkannya.
Pencegahan (preventif)
1. Lakukan olahraga secara rutin yang dilakukan selama 30-40
menit minimal 5 kali dalam seminggu. Olahraga akan membantu
Anda dalam menjaga berat badan normal dan mencegah lemak
berlebih dalam tubuh.

594
2. Konsumsi makanan sehat seperti sayur dan buah, serta
makanan yang rendah lemak jenuh dan trans. Hal ini akan
membantu Anda terhindar dari lipoma.
3. Jaga berat badan normal. Dengan menjaga berat badan
normal, Anda akan terhindar dari lemak berlebih dan menurunkan
risiko Anda untuk memiliki lipoma di area tubuh.
4. Hindari konsumsi alkohol secara berlebih. Konsumsi alkohol
dapat meningkatkan kadar kolesterol dalam darah. Hal ini
membuat banyak lemak berlebih di dalam tubuh yang berpotensi
menimbulkan lipoma.
Pola hidup sehat tidak hanya mencegah lipoma, namun juga
beberapa penyakit kronis lainnya seperti hipertensi, diabetes
melitus, penyakit jantung, dan stroke. Dengan menerapkan pola
hidup sehat, risiko Anda terhadap penyakit-penyakit tersebut
menurun. Namun perlu dipahami bahwa Anda tetap memiliki risiko
terhadap penyakit tersebut, terlebih jika Anda memiliki riwayat
keluarga yang pernah mengalami disease tersebut.
2.6. Penunjang medis Lymphoma
Untuk mendeteksi limfoma harus dilakukan biopsi dari kelenjar
getah bening yang terkena, untuk menemukan adanya sel Reed-
Sternberg. Untuk mendeteksi Limfoma memerlukan pemeriksaan
seperti sinar-X, CT scan, PET scan, biopsi sumsum tulang dan
pemeriksaan darah. Biopsi atau penentuan. Stadium adalah cara
mendapatkan contoh jaringan untuk membantu dokter
mendiagnosis Limfoma. Ada beberapa jenis biopsy untuk
mendeteksi limfoma maligna, yaitu sebagai beikut :

1. Biopsi kelenjar getah bening, jaringan diambil dari kelenjar


getah bening yang membesar

595
2. Biopsi aspirasi jarum-halus, jaringan diambil dari kelenjar getah
bening dengan jarum suntik. Ini kadang-kadang dilakukan
untuk memantau respon terhadap pengobatan.
3. Biopsi sumsum tulang di mana sumsum tulang diambil dari tulang
panggul untuk melihat apakah Limfoma telah melibatkan medulla.
Sulit untuk mencegah limfoma, karena penyebabnya belum
diketahui dan banyak faktor yang mempengaruhi. Akan ada
beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mencegah limfoma
sesuai dengan faktor risikonya, antara lain:

 Melakukan hubungan seksual dengan aman dan tidak


menggunakan NAPZA untuk mencegah penularan HIV/AIDS.
 Menggunakan alat pelindung diri di tempat kerja, bila
lingkungan kerja berisiko terkena paparan zat kimia benzene
dan pestisida.
 Jika Anda menderita penyakit autoimun dan mengonsumsi obat
imunosupresan untuk jangka panjang, perlu rutin memeriksakan
diri ke dokter untuk memantau perkembangan penyakit dan
mengevaluasi pengobatan, sekaligus mendeteksi dini penyakit
limfoma.

596
BAB III
PEMBAHASAN
Gambar 3.1 Lymphoma normal

Gambar 3.2 Lymphoma yang mengalami infeksi

Gambar 3.3 Lymphoma yang mengalami infeksi

597
Cancer ganas selalu diawali dengan pertumbuhan cyt di dalam
tubuh yang di luar kendali. Cyt manapun di dalam tubuh bisa berubah
menjadi cyt cancer, termasuk pada leukocyte alias limfosit yang
mengatur sistem imunitas tubuh. Ketika limfosit menjadi cancer, Anda
akan mengalami limfoma Hodgkin atau limfoma non Hodgkin.

Kedua jenis limfoma ini menunjukkan symptom yang sama.


yakni lymphadenopathy yang berada di cervical, ketiak, selangkangan,
atau abdomen. Selain itu, Anda juga akan merasakan pyrexia, keringat
dingin, penurunan berat badan tanpa alasan yang jelas, pruritus, dan
rasa lelah yang tidak terbendung.

598
BAB IV
PENUTUP
Dari makalah di atas diketahui bahwa lymphoma
merupakan merupakan bentuk keganasan dari sistem limfatik.
Disease limfoma diklasifikasikan menjadi dua golonganya itu
disease Limfoma Hodgkin dan Limfoma Non Hodgkin.
Penyebab disease lymphoma, diantaranya faktor keturunan,
kelainan sistem kekebalan, infeksi virus (HIV) atau bakteria (
Helicobacter Pilori), virus human T-cell leukemia/lymphoma
(HTLV), Epstein-Barr virus (EBV), dan toksin lingkungan
(herbisida, pengawet dan pewarna kimia).

599
BAB V
TERMINOLOGI
1. Lymphoma = kanker kelenjar getah bening
 Preffix =-
 Root = lymp/o (limpa, kelenjar getah bening)
 Suffix = oma (tumor)
2. Leukemia = banyaknya sel darah putih di dalam darah
 Prefix =-
 Root = leuk (putih)
 Suffix = emia (kondisi darah)

600
DAFTAR PUSTAKA
Brunner and Suddarth. 2002. Text Book of Medical – Surgical Nursing
(Agung, Penerjemah). Philadelphia

Carpenito, Lynda Juall. 2000. Hand Book Of Nursing Diagnosis. (Monica


Ester, Penerjemah). Philadelphia.

Doenges, M. 2000. Nursing Care Planns (I Made Kariasa, Penerjemah).


Philadelphia.
F.A Davis Company

Niakurniasih, Sudiariandini S. (1997). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.


Jakarta : FKUI

Henderson, M.A. 1992. Ilmu Bedah Perawat . Jakarta : Yayasan


Mesentha Medica

Schwartz, Seymour. 2000. Intisari Prinsip Ilmu Bedah. Jakarta : Buku


Kedokteran EGC

Smeltzer, Suzzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.


Jakarta : EGC

Price Anderson Sylvia, Milson Mc Carty Covraine. Patofisiologi Edisi 4.


Jakarta : Buku Kedokteran EGC

Www. Google. Com /Asuhan Keperawatan Pada Pasien Penderita


Limfoma. 2013

601
Lymphangitis

Dosen Pengampu :
dr. R. A. Rengganis Ularan, MM

Disusun oleh :
Aji Achmad Syahroni 205043

D3 RMIK
2021

602
BAB I
PENDAHULUAN
Limfangitis adalah peradangan pada saluran limfatik,
biasanya dalam jaringan subkutan. Hal ini terjadi baik sebagai proses
akut yang berasal dari bakteri atausebagai proses kronis dari mikotik,
mikobakteri, atau filaria. Limfangitis akut seringdisebabkan oleh
Streptococcus beta haemoliticus atau Staphylococcus aureus. Di
Amerika Serikat, limfangitis akut paling sering disebabkan oleh
Streptococcus grup A, dan limfangitis kronis biasanya disebabkan oleh
Sporothrix schenckii. Pada kasus
limfangitis yang berulang dapat kita curigai sebagai gejala awal dari kond
isi limfedema.
Limfedema dapat bermanifestasi sebagai
pembengkakan dari salah satu atau
lebih anggota badan. Pembengkakan mungkin juga terdapat pada daera
h lain,misalnya head dan cervic, mamma atau alat kelamin. Limfedema
adalah hasil dari akumulasi cairan dan elemen lainnya (misalnya protein)
dalam ruang jaringan karena ketidak-
seimbangan antara produksi dan transportasi cairan interstitial. Hal ini
muncul dari kelainan bawaan pada sistem limfatik, atau kerusakan
pembuluh limfatik dan / atau kelenjar getah bening. Pada pasien dengan
limfedema kronis,
sejumlah besar jaringan adiposa subkutan dapat terbentuk. Meskipun tid
ak sepenuhnya
dipahami, proliferasi adiposit ini mungkin menjelaskan mengapa pengob
atan
konservatif mungkin tidak sepenuhnya mengurangi pembengkakan dan
mengembalikan bentuk daerah yang terkena.
Limfedema dapat menimbulkan morbiditas
fisik dan psikologis yang signifikan. Peningkatan ukuran ekstremitas
603
dapat mengganggu mobilitas dan mempengaruhi penampilan tubuh.
Rasa sakit dan ketidaknyamanan merupakan gejala yang sering
dikeluhkan, dapat mengakibatkan meningkatnya kerentanan terhadap
selulitis akut erisipelas dan ketergantungan jangka panjang pada
antibiotik. Lymphoedema adalah kondisi kronis yang tidak dapat
disembuhkan saat ini, namun dapat diatasi dengan manajemen yang
tepat jika diabaikan, itu dapat berkembang dan sulit untuk dikelola.
Pada kelahiran, sekitar 1: 6.000 orang dapat terkena limfedema primer
Prevalensi keseluruhan limfedema / edema kronis telah diperkirakan
sekitar 0,13-2%. Di negara maju, penyebab utama limfedema
diasumsikan sebagai pengobatan untuk kanker. Memang, terdapat
prevalensi sebesar 12-60% telah dilaporkan pada pasien dengan kanker
payudara dan 28-47% pada pasien yang dirawat karena kanker
ginekologi. Namun, hal itu menunjukkan bahwa terdapat seperempat
sampai setengah dari pasien limfedema, menderita bentuk lain dari
limfedema, misalnya limfedema primer dan limfedema terkait dengan
gangguan fungsi vena, trauma atau penyakit jantung. Pada daerah
abdomen dan toraks, aliran limf yang berasal dari trunkus
intestinalis,trunkus seliakus, dan trunkus mediastinalis masuk ke duktus
toraksikus, sementara dari trunkus lumbalis akan masuk ke sisterna kilus
(Y: cisterna = tempat air hujan, chylos = cairan" tempat cairan limf).

604
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi dan fisiologi

Normal abnormal terkena limfangitis

605
Limfangitis didefinisikan sebagai peradangan saluran limfatik
yang terjadi sebagai akibat dari infeksi di bagian distal saluran tersebut.
Sistem limfatik meliputi
a. jaringan pembuluh
b. kelenjar
c. dan organ yang terletak di seluruh tubuh.

Berfungsi sebagai bagian dari sistem kekebalan, juga mengangkut


cairan, lemak, protein, dan zat lain dalam tubuh.Kelenjar getah bening,
atau kelenjar, menyaring cairan getah bening. Benda asing seperti
bakteri dan virus diproses di kelenjar getah bening untuk menghasilkan
respons imun untuk melawan infeksi.
Namun, ketika organisme patogen memasuki saluran limfatik,
menyerang langsung melalui abrasi atau luka atau sebagai komplikasi
infeksi, peradangan lokal dan infeksi berikutnya terjadi, bermanifestasi
sebagai garis-garis merah pada kulit. Peradangan atau infeksi kemudian
meluas ke proksimal menuju kelenjar getah bening regional. Bakteri
dapat tumbuh dengan cepat di sistem limfatik.
2.2. Definisi Limfangitis
Limfangitis adalah peradangan pada saluran limfatik,
biasanya dalam jaringan subkutan. Hal ini terjadi baik sebagai proses
akut yang berasal dari bakteri atau sebagai proses kronis dari mikotik,
mikobakteri, atau filaria.
2.3 Patofisiolgi Limfangitis
Limfangitis dan limfadenitis yang sering terjadi adalah
penyebaran sentripetaldari infeksi bakteria di sistem atau organ yang
dilayani oleh pembuluh limf yang bersangkutan. Infeksi dari suatu fokus
akan menjalar sepanjang pembuluh limf danmenimbulkan gejala dan
tanda radang akut berupa garis merah yang nyeri. Kelainan limfangitits
biasanya disertai radang akut pada kelenjar regional. Garis merah yang

606
dapat terlihat pada limfangitis akut terbentuk akibat prosesinflamasi di
dinding (dan ruang jaringan sekitarnya) dari saluran limfatik yang
berdilatasi. Obstruksi limfatik sering terjadi pada proses penyembuhan,
kadang-kadang menyebabkan limfedema persisten. Kutaneous
sporotrichosis limfatik, bentuk kronis limfangitis, menghasilkan gabungan
supuratif dan respon granulomatosa.
Etiologi Limfangitis
Limfangitis akut sering disebabkan oleh Streptococcus
beta haemoliticus atau Staphylococcus aureus.Di Amerika Serikat,
limfangitis akut paling sering disebabkan oleh Streptococcus grup A, dan
limfangitis kronis biasanya disebabkan oleh Sporothrix schenckii. Pada
individu dengan pertahanan host yang normal,spesies Streptococci beta
hemolytic grup A (GABHS) adalah penyebab paling umumdari
limfangitis, berkembang cepat dan terkait dengan komplikasi serius.

2.4. Diagnosa dan diagnosa banding Lymphangitis


Diagnosa :

607
Diagnosis limfangitis dapat ditegakkan melalui anamnesis
dengan adanya riwayat trauma minor pada bagian distal lesi dan
pemeriksaan fisik berupa gambaran klinis khas limfangitis, yaitu adanya
garis linear ireguler dengan warna eritematosa yang memanjang dari
situs infeksi primer menuju nodus kelenjar limfe regional terdekat dari
lesi.
Diagnosis banding :
1. Limfadenitis
2. Limfedema

2.5. Penatalaksanaan Lymphangitis


Kuratif dan preventif dari lymphangitis
a. Farmakologi
1. Pemberian antibiotik yang diberikan secara oral atau
melalui pembuluh vena (infus).
2. Pemberian obat-obatan apabila terjadi nyeri,peradangan
dan kanker.
b. Nonfarmakologi
1. Tindakan operasi untuk mengeringkan abses yang
mungkin terbentuk.
2. Tindakan debridement atau pengangkatan kelenjar getah
bening jika terjadi penyumbatan.
c. Pengobatan
- Antibiotik
Menghentikan pertumbuhan atau membunuh bakteri.
- Antivirus atau antiparasit
untuk mengatasi limfangitis yang disebabkan oleh kuman
selain bakteri.
Terapi penisilin adalah pengobatan awal yang direkomendasikan untuk
lymphangitis akut. Terapi empiris sesegera mungkin sangat penting

608
karena progres penyakit yang cukup cepat. Penyakit ringan sampai
sedang dapat dikelola dalam pengaturan rawat jalan. Dalam kasus
moderat, dosis awal ceftriaCone intramuskular (1g/1M) dapat diberikan,
diikuti oleh terapi oral dosis tinggi dengan penisilin V atau amoxcillin (500
mg / 6 jam) dengan pengawasan yang ketat. Dicloxacillin oral atau
cephalexin (500 mg / 6 jam) dapat diberikan jika ada kekhawatiran
mengenai kemungkinan etiologi staphylococca. Pasien dengan kondisi
yang lebih akut, harus dira!at di rumah sakit dan diberikan parenteral
penisilin G (2 juta U/4 – 6 jam). Jika etiologi staphylococcal dicurigai,
vankomisin (1 g/ 12 jam) harus diberikan. Jika ada kecurigaan
sporotrichoid oleh infeksi M. marinum, diagnosis harus dikonfirmasi oleh
demonstrasi basil tahan asam dan isolasi organisme. Trimethoprim-
sulfamethoxazole telah dilaporkan efektif dalam beberapa penelitian.
2.6. Pemeriksaan Penunjang Limfangitis
1. Pemeriksaan Labarotarium pada lymphangitis :
a) Tes emia

Pasien yang dating dengan limfangitis, hitung haemocyte


lengkap (CBC) dan kultur haemo harus diperoleh. Selain itu, kultur atau
aspirasi nanah harus dipertimbangkan. Jumlah leukosit perifer umumnya
meningkat. Agen etiologi kultur haemo juga dapat menungkapkan
organisme penyebab.
b) Kultur dan Pewamaan Gram

Kultur darah dapat mengungkapkan infeksi yang telah


menyebar ke aliran darah; Kultur dan Pewamaan Gram dari aspirasi
fokus primer infeksi dapat membantu dalam mengindentifikasi organisme
serta memilih antimikroba spesifik.
2. Computed tomography scan (CT Scan)
a. Tes pencitraan

609
Rontgen dada atau CT scan pada area yang terkena dapat
membantu menentukan sumber infeksi atau menemukan tumor.
3. Endoskopi
a. Biopsi kelenjar getah bening

Biopsi untuk mengambil sampel dari kelenjar getah bening


yang membengkak. Langkah ini bertujuan menyingkirkan
kemungkinan adanya penyakit lain.

610
BAB III
PEMBAHASAN
Gambar 3.1 lymphangitis normal

Gambar 3.2 lymphangitis abnormal

Gambar 3.3 lymphangitis abnormal

611
Penyebab tidak normalnya lymphangitis dikarenakan kondisi
yang biasanya berasal dari infeksi kulit akut yang disebabkan oleh
bakteri Streptococcus. Infeksi ini disebabkan karena peradangan pada
node limfa. Selain itu, limfangitis juga dapat disebabkan oleh infeksi
parasit, infeksi mikobakterium, dan kanker. kondisi ini juga bisa muncul
akibat infeksi virus dan gigitan serangga atau laba-laba.
Pada orang dengan daya tahan tubuh yang normal, bakteri
streptokokus (jenis streptokokus grup A beta hemolitikus) merupakan
penyebab paling sering terjadinya limfangitis. Bakteri streptokokus
biasanya memasuki pembuluh-pembuluh ini melalui gesekan, luka atau
infeksi (terutama selulitis) di lengan atau tungkai. Kadangkala, limfangitis
juga dapat disebabkan oleh staphylococci atau bakteri lain, seperti jenis
Pseudomonas.

612
BAB IV
PENUTUP
Limfangitis adalah peradangan pada saluran limfatik,
biasanya dalam jaringan subkutan. Hal ini terjadi baik sebagai proses
akut yang berasal dari bakteri atau sebagai proses kronis dari mikotik,
mikobakteri, atau filaria.
Diagnosis limfangitis dapat ditegakkan melalui anamnesis
dengan adanya riwayat trauma minor pada bagian distal lesi dan
pemeriksaan fisik berupa gambaran klinis khas limfangitis.
Penyebab lymphangitis dikarenakan kondisi yang biasanya
berasal dari infeksi kulit akut yang disebabkan oleh bakteri
Streptococcus. Infeksi ini disebabkan karena peradangan pada node
limfa. Selain itu, limfangitis juga dapat disebabkan oleh infeksi parasit,
infeksi mikobakterium, dan kanker.
Pengobatan yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan
antibiotik dan antivirus yang berfungsi untuk menghentikan dan
membunuh bakteri atau kuman. Dan pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan adalah dengan melakukan tes emia,kultur emia, tes
pencintraan, dan biopsi kelenjar getah bening.

613
BAB V
TERMINOLOGI
1. Lymphangitis = peradangan pada saluran limfatik atau kelenjar
getah bening
 Prefix :-
 Root : lyhmpa (kelenjar getah bening)
 Suffix : itis (peradangan)
2. Thrombophlebitis = inflamasi vena akibat adanya formasi
bekuan darah
 Prefix :-
 Root : thromb/o (trombus), phleb/o (vena)
 Suffix : itis (peradangan)

614
DAFTAR PUSTAKA

 Guyton, A.C.2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11.


Jakarta: EGC.
 Sjamsuhidayat., Jong,W.D. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2.
Jakarta: EGC.
 Sherwood, L. 2001. Fisiologi Manusia;dari Sel ke Sistem. Edisi 2.
Jakarta: EGC.
 Understanding Lymphedema for Cancer Other Than Breast
Cancer. 2013:ACS.
 Mandell, G. L., et al. 2010. Principles and Practice of Infectious
Diseases. Ed. New York: Churchill Livingstone Elsevier.
 http://emedicine.medscape.com/article/966003-overview#a5
 Vindenes, T., et al. 2015. The New England Journal of Medicine.
Acute Lymphangitis. Massachusetts Medical Society.
 Xavier, T., et al. 2014. Rare diagnosis of nodular lymphangitis
caused by Mycobacterium marinum: MDCT imaging findings. Acta
Radiologica Short Reports 3(2) 1-3.
 Cosgrove, S., et al. 2015. Antibiotic Guidelines 2015-2016. Johns
Hopkins Hospital Antimicrobial Stewardship Program.
 Chachine, E., et al. 2015. Skin and Soft Tissue Infections.
Infectious Disease. PSAP.
 Coben, B.,et al. 2016. Nonbacterial Causes of Lymphangitis with
Streaking. JABFM. Vol. 29 No. 6.
 International Consensus. Best Practice for The Management of
Lymphoedema. London: MEP Ltd, 2006.
 James, W.D., Berger, T.G., er al. 2016. Andrew‘s Disease of the
Skin Clinical Dermatology. 12 Ed. China. Elsevier.
 Ely, J.W ., et al. Approach to Leg Edema of Unclear Etiology.
JABFM. 2006. Vol. 19 No. 2.
615
 Fialka, et al. Annals of Physical and Rehabilitation Medicine.
2013: Elvesier.
 http://sites.google.com/site/breastproblems/breast-
cancer/symptoms
 Thiadens, S.R.J., et al. 2013. Standing the Test of Time:
Complete Decongestive Therapy. California: NLN.
 Hardy, D., et al.. 2012. The Lymphoedema Support Network.
The Use of Compression Garments in Lymphoedema
Management. London: LSN.
 Lasinski, B.B. Complete Decongestive Therapy for
Treatment of Lymphoedema.Seminars in Oncology Nursing. Vol
29. 2013: pp 20-27.

616
LYMPHEDEMA

Dosen Pengampu :
dr. R. A. Rengganis Ularan, MM

Disusun Oleh :
AZIZAH APRILIA ANGGRAENI 205005

D3 RMIK
2021

617
BAB I
PENDAHULUAN
Lymphedema merupakan kondisi yang terjadi akibat gangguan
transportasi aliran limfa yang menyebabkan terjadinya akumulasi cairan
limfatik di ruang interstitial. Kondisi ini menyebabkan pembengkakan
pada satu atau beberapa area tubuh. Lymphedema dapat terjadi pada
ekstremitas, batang tubuh, perut, kepala dan leher, genitalia eksterna
serta pada organ dalam.
Lymphedema dapat terjadi secara primer (lymphedema primer)
akibat dari gangguan sistem limfa secara kongenital, atau secara
sekunder (lymphedema sekunder) akibat faktor lain seperti infeksi dan
keganasan.
Terapi untuk lymphedema dapat berupa terapi non-operatif dan
terapi operatif. Terapi non-operatif paling sederhana dimulai dari edukasi
tentang perawatan derma dan elevasi plantar yang bisa dilakukan secara
berkelanjutan oleh pasien sendiri hingga terapi yang harus dilakukan
dengan bantuan dan pengawasan tenaga medis. Pemahaman klinisi
tentang tujuan terapi serta derajat lymphedema dapat membantu
efektifitas dalam tatalaksana lymphedema.
Lymphedema merupakan kondisi yang kronis dan progresif
sehingga jika tidak ditangani dengan baik, akan menyebabkan masalah
dalam aktivitas fisik dan gangguan psikologis.Pendekatan multidisiplin
harus dilakukan pada pasien dengan lymphedema secara holistik.
Kerjasama yang baik dalam tatalaksana antara spesialis kedokteran fisik
dan rehabilitasi, kulit, bedah plastik/vaskular, serta fisioterapis, ahli gizi
dan psikolog dapat membantu pasien mencapai kualitas hidup yang
optimal. Walaupun belum ada terapi definitif yang dapat menyembuhkan
lymphedema, penegakan diagnosis serta tatalaksana yang sesuai dapat
mencegah progresi serta komplikasi yang dapat terjadi.

618
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi


Sistem limfatik terdiri atas jaringan limfatik dan pembuluh limfatik.
Jaringan limfatik merupakan jenis jaringan ikat yang mengandung
banyak sel limfosit. Jaringan limfatik didapatkan pada timus, nodus
limfatikus, lien, dan nodulus limfatikus. Jaringan limfatik penting untuk
pertahanan imunologik tubuh terhadap bakteri dan virus. Pembuluh limfa
merupakan pembuluh yang membantu sistem kardiovaskular dalam
mengembalikan cairan dari ruangan jaringan tubuh, lalu pembuluh ini
mengembalikan cairan ke dalam hemo. Sistem limfatik pada dasarnya
merupakan sistem penyaluran dan tidak memiliki sirkulasi. Pembuluh
limfatik ditemukan di seluruh jaringan dan organ tubuh, kecuali sistem
saraf pusat, bola mata, telinga dalam, epidermis kulit, kartilago, dan
thorax.
Pembuluh limfa merupakan sistem dengan tekanan yang rendah.
Ukuran pembuluh limfa bervariasi. Pada pembuluh limfa yang besar,
terdapat otot polos kontraktil untuk membantu aliran limfa. Aliran pada
sistem limfatik menghubungkan ruang interstisial dengan organ limfoid,
menuju sirkulasi sentral.

2.2 Definisi Lymphedema


Lymphedema adalah pembengkakan yang disebabkan oleh
gangguan pengaliran limfadenopati kembali ke dalam darah (Browse,
2011). Menurut Carter et al (2020), lymphedema merupakan
pembengkakan terus menerus dibagian tubuh seperti upper atau
ekstermitas, terkadang pada wajah, karena penyumbatan dialiran limfatik

619
ketika kelenjar yang bermasalah atau abnormal. Pembengkakan dapat
diakibatkan nyeri , penurunan rentan gerak sendi atau kelemahan
musculus. Hal ini dapat akumulasi abnormal protein pada jaringan
interstisial.

2.3 Patofisiologi Lymphedema


Limfedema merupakan kondisi patologis di mana terjadi akumulasi
cairan jaringan interstisial yang berlebihan. Akumulasi ini terjadi akibat
terganggunya drainase limpa oleh etiologi kongenital atau etiologi yang
didapat. Meskipun umumnya limfedema mengenai ekstremitas, efeknya
dapat terjadi juga pada regio lain seperti frontalis dan collum. Berbeda
dengan edema vena, di mana peningkatan tekanan kapiler secara tidak
langsung dapat menstimulasi produksi limfe, limfedema disebabkan oleh
berkurangnya transpor limfatik sehingga terjadi stasis. Limfedema
sekunder umumnya terjadi setelah prosedur cheirourgia, trauma,
inflamasi, atau karena neoplasma (Bruns F, 2017).
Etiologi
Lymphedema biasanya disebabkan oleh suatu kondisi atau
prosedur yang merusak limfatik sistem, seperti operasi pada kelenjar
limfadenopati, kanker, pengobatan radiasi untuk kanker , atau infeksi
parasit. Pengangkatan limfadenopati dari area ketiak setelah payudara
kanker adalah etiologi paling umum.
Biasanya merupakan cheirourgia mayor terutama setelah pengobatan kanker dimana
limfadenopati dan pembuluh limfadenopati diangkat atau disinari menggunakan
sinar x. misalnya upper cenderung mengalami pembengkakan setelah pengobatan
kanker payudara dan limfadenopati. Pembentukan jaringan parut karena infeksi
berulang pada pembuluh getah bening. Seperti pada infeksi penyakit tropic
(filariasis)
Sign & Symptom

620
Pasien dengan lymphedema akan merasakan seperti nyeri,
pembengkakan disertai rasa berat, penurunan fungsi anggota tubuh,
serta penurunan kualitas hidup. Jika tidak segera mendapatkan
penanganan, penumpukan cairan limfa dalam waktu lama akan
menstimulasi fibroblast, adiposit, keratinosit, serta infiltrasi neutrophil dan
kolagen yang menyebabkan terjadinya permasalahan pada kulit seperti
fibrosis limfostatik, pengerasan lapisan kulit, papilloma, serta lipatan kulit
semakin dalam, serta infeksi yang berulang seperti selulitis atau
limfangitis. Perubahan dari jaringan ikat subkutan, tekstur, serta suhu
pada kulit dapat dievaluasi lebih dalam dengan palpasi. Ketebalan dari
lapisan dermis dan terjadinya fibrosis dapat dinilai dengan Stemmer‘s
sign. Jika kulit pada dorsum jari tangan atau ibu jari kaki tidak bisa
diangkat dengan mudah, maka dapat diartikan Stemmer‘s sign positif,
yang menandakan terdapat fibrosis pada lapisan kulit. Namun demikian,
hasil negatif tidak mengekslusi kemungkinan adanya lymphedema.
2.4 Diagnosa dan Diagnosa banding Lymphedema
Lymphedema menyebabkan masalah fisik dan psikologis dan
mengganggu kualitas hidup, limfedema kurang dikenali dan tidak diobati.
Diagnosis lymphedema bersifat klinis dan tergantung pada anamnesis
yang rinci dan pemeriksaan fisik yang komprehensif. Spesialis PMR
mengambil riwayat pasien dan keluarga dan melakukan pemeriksaan
klinis yang terdiri dari inspeksi, palpasi, penilaian ROM dan pemeriksaan
neurologis. Selain itu, pengukuran kuantitatif untuk kecacatan fungsional
dan kualitas hidup harus dilakukan dan konteks psikologis penyakit
(kecemasan, depresi, gangguan tidur, ketakutan akan kambuhnya
kanker, dan masalah seksualitas).
2.5 Penatalaksanaan Lymphedema
Pegobatan (Kuratif)
Jika sedang menjalani pengobatan kanker, segera
berkonsultasi dengan dokter jika merasakan gejala plantar atau
621
upper membengkak, memerah, febris , dan myalgia, untuk
mendapatkan penanganan lebih lanjut. Penderita kanker berisiko
mengalami limfedema, baik akibat kanker maupun akibat efek
samping dari pengobatan kanker. Oleh karena itu, penderita kanker
harus rutin berkonsultasi dengan dokter selama menjalani
pengobatan kanker. Penderita kanker perlu berdiskusi lebih lanjut
dengan dokter onkologi mengenai manfaat dan risiko pengobatan
yang akan diberikan.

Pencegahan (Prefentif)

Dalam treatment lymphedema bertujuan untuk meringankan


simtom yang diderita pasien dan pembengkakan yang terjadi.
Complex decongestive therapy (CDT) merupakan rangkaian terapi
yang digunakan dalam tatalaksana lymphedema sekunder. Prinsip
yang digunakan dalam CDT bertujuan untuk memperlancar aliran
limfa dengan melakukan pemijatan dan kompresi pada area yang
mengalami pembengkakan. Secara umum, CDT dibagi menjadi 2
fase, yaitu fase intensif yang dilakukan setiap satu atau dua kali
sehari selama 4-6 minggu serta fase pemeliharaan yang dilakukan
oleh pasien sendiri. Pada fase intensif, pasien diberikan edukasi
perawatan kulit, terapi manual lymphatic drainage (MLD), kompresi
dengan short-stretch bandage, serta latihan ringan. Latihan fisik
pada terapi lymphedema ditujukan untuk 2 hal, yaitu melatih
musculus dan sendi agar dapat berkontraksi secara efektif
memompa aliran darah limfa dan untuk menurunkan berat badan.
Jenis latihan fisik yang bisa dilakukan pada penderita lymphedema
adalah melawan atau tanpa tahanan, isometrik dan aerobik yang
diulang dan progresif sesuai gerakan yang dilatih oleh terapis.
Obesitas serta peningkatan berat badan pasca operasi

622
meningkatkan resiko kejadian lymphedema sekunder serta
perburukan lymphedema sebanyak 4-5 kali.

2.6 Penunjang Medis

Salah satu pemeriksaan penunjang diagnostik lymphedema


adalah:

1. Limfangiografi adalah teknik pencitraan invasif untuk sistem


limfatik. Dalam teknik ini, awalnya dilakukan insisi, kemudian
pembuluh limfa yang terlihat difiksasi dan dikanulasi. Setelah itu,
bahan kontras (ethiodized oil ) diinjeksi ke dalam pembuluh limfa
tersebut. Hasilnya diperoleh setelah 24 jam. Jika limfedema
limfedema primer, primer, maka tidak ada saluran saluran limfatik,
limfatik, hipoplasia, hipoplasia, atau ektatik. Jika limfedema
sekunder, maka saluran limfatik biasanya dilatasi, dan mungkin
dapat menentukan derajat obstruksi. Namun tidak dapat dipungkiri
bahwa pemeriksaan ini bersifat invasif dan penggunaannya terbatas
pada kasus-kasus yang direncanakan untuk terapi operatif
limfatik. Pencitraan ini tidak lagi diindikasikan pada kasus limfedema
ekstremitas. Kelainan yang umum terjadi pada limfedema adalah
terhambatnya transpor tracer, hilang atau terhambatnya visualisasi
kelenjar limfe, pengisian oleh aliran retrograd, dan aliran balik
dermal.

2. Parasitologi pemeriksaan antigen filaria dapat ditemukan


adanya antigen filarial di dalam hemo perifer, dengan atau tanpa
mikrofilaria. Pemeriksaan ini sekarang dipertimbangkan debagai
diagnosis yang paten infeksi filarial dan dipakai untuk memonitor
efektivitas pengobatan. Jika dicurigai filariasis limfatik, urin harus
diperiksa secara mikroskopik untuk menemukan adanya

623
chyluria. Pada pemeriksaan imunoglobulin serum, kadar Ig E serum
yang meningkat ditemukan pada pasien dengan penyakit filaria aktif.
Perlu diingat bahwa pemeriksaan penunjang ini hanya dilakukan
jika gambaran klinis yang ada masih meragukan. Sebagian besar
penderita limfedema dapat didiagnosis melalui anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang cermat sehingga dapat langsung menjalani
terapi yang sesuai tanpa perlu melakukan pemeriksaan penunjang.

624
BAB III

PEMBAHASAN

Gambar 3.1 lymphedema

625
BAB IV

PENUTUP
Menurut Carter et al (2020), lymphedema merupakan
pembengkakan terus menerus dibagian tubuh seperti upper atau
ekstermitas, terkadang pada wajah, karena penyumbatan dialiran limfatik
ketika glandula yang bermasalah atau abnormal. Pembengkakan dapat
diakibatkan myalgia, penurunan rentan gerak sendi atau kelemahan otot.
Hal ini dapat akumulasi abnormal protein pada jaringan interstisial.
Sistem limfatik terdiri atas jaringan limfatik dan pembuluh
limfatik. Jaringan limfatik merupakan jenis jaringan ikat yang
mengandung banyak sel limfosit. Pembuluh limfa merupakan pembuluh
yang membantu sistem kardiovaskular dalam mengembalikan cairan dari
ruangan jaringan tubuh, lalu pembuluh ini mengembalikan cairan ke
dalam hemo. Sistem limfatik pada dasarnya merupakan sistem
penyaluran dan tidak memiliki sirkulasi. Ukuran pembuluh limfa
bervariasi. Pada pembuluh limfa yang besar, terdapat muculus
nonstriated kontraktil untuk membantu aliran limfa.

626
BAB V

TERMINOLOGI
1. Lymphedema

P: -
R: lymph/o (limfa)
S: edema (penumpukan)
Artinya: penumpukan cairan limfa yang berlebih
2. Limfadenopati

P: -
R: limfa (getah bening)
Aden (kelenjar)
S: pathy (penyakit)
Artinya: penyakit kelenjar getah bening
3. Limfangiografi

P:-
R: lymph/o (getah bening)
angi/o (pembuluh)
S: graphy (alat rekam)
Artinya: alat perekam pembuluh getah bening
4. Filariasis

P: -
R : filaria (cacing filaria)
S : iasis (kehadiran)
Artinya: kehadiran cacing filarial

627
DAFTAR PUSTAKA

Borman P, 2018. Lymphedema diagnosis, treatment, and follow-up from


the view point of physical medicine and rehabilitation specialists. Turk J
Phys Med Rehabil., 64(3): pp. 179–197. doi: 10.5606/tftrd.2018.3539
Primasari Medisa, (2020). Lymphedema Diagnosis dan Terapi. Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga /RSUD Dr.Soetomo, Surabaya. Vol 33
ISSUE 2
Snell RS. Anatomi Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Mahasiswa
Kedokteran Kedokteran. Edisi 6. Jakarta : EGC, 2006. p. 20-23.
McFarlane,DM.,FRCS., Michael,Ec.,FACS. 2017. Primary Primary
Upper Limb Lymphedema : Case Lymphedema : Case Report Of
Report Of A Rare Pathology Pathology. The Permanente Journal.
January; 2017. 21:16-010.
Levine SM, Chang DW & Mehrara BJ, 2014. Lympedema: diagnosis and
treatment. In: Thorne CH, Gurtner GC, Chung KC, Gosain A, Mehrara B,
Rubin P, & Spear SL, eds., Grabb and Smith‘s Plastic Surgery. 7th ed.,
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, pp. 980 – 989.
Bruns F Micke O Bremer M.(2017) Current Status Of Selenum and Other
Treathment for Secondary Lymphedema. J Support Oncol. 1,121-130

628
MESENTRIC LYMPHADENITIS

Dosen pengampu :
dr. R. A. Rengganis Ularan,MM

Disusun Oleh :
Nurjihan Safitri 205103

D3 RMIK
2021

629
BAB I
PENDAHULUAN
Mesenteric adalah lipatan membrane yang menempelkan
enterik ke dinding abdomen dan menahannya di tempatnya.
Mesenteric lymphadenitis adalah inflamasi Lympha glands di
mesenteric. (mayoclinic,2021) Lympadentis adalah suatu kondisi di
mana lympha glands anda me-inflamasi. Ketika kondisi tersebut
mempengaruhi lympha glands di membrana yang menghubungkan
enterik anda ke dinding abdomen (mesenteric), itu disebut
mesenteric lymphadenitis (mez-un-ter-ik lim-fad-uh-nie-tis).

Infeksi enterik virus adalah penyebab biasa limfadenitis


mesenterika, juga dikenal sebagai adenitis mesenterika. Ini terutama
mempengaruhi anak-anak dan remaja. Kondisi yang menyakitkan ini
dapat menyerupai apendisitis atau suatu kondisi di mana bagian dari
enterik meluncur ke bagian lain dari enterik (intususepsi). Tidak
seperti apendisitis atau intususepsi, limfadenitis mesenterika jarang
serius dan biasanya sembuh dengan sendirinya. (mayoclinic,2021).

630
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Dan Fisiologi
Lympha glands atau lympha berperan penting dalam
mendukung sistem imun tubuh kita. Lympha glands menyaring
organisme berbahaya (seperti bacteria dan virus) sehingga tidak
menyebar luas ke organ tubuh lain. Pada kondisi normal, lympha
glands berukuran kecil, yaitu sebesar kacang polong. Namun ketika
terjadi inflamasi, glands ini akan megaly dan menyebabkan rasa
algia.mesenteric lymphadenitis paling sering dialami oleh anak-anak
dan remaja. Kondisi ini jarang sekali diderita oleh orang berusia 20
tahun ke atas. (dr.Joni Indah Sari,2020)
Organ ini menjadi bagian penting dari sistem kekebalan tubuh
anak. Sebab, lympha glands berperan membantu menyaring bacteria
dan berbagai jenis mikroorganisme lainnya dari tubuh. Sementara,
kondisi ini justru mempengaruhi lympha glands di jaringan mesenteric
yang bertanggung jawab untuk menghubungkan enterik ke lapisan
internal dinding abdomen. (kumparanmom,2021)
Lympha adalah bagian dari sistem kekebalan tubuh. Ini terdiri
dari jaringan lympha vas dan lympha glands. Lympha vas sangat mirip
dengan vas sanguineum yang mengumpulkan dan membawa hemo ke
seluruh tubuh. Namun, tugasnya bukan membawa hemo, melainkan
membawa cairan bening berair yang disebut lympha.
Cairan lympha juga mengandung leukosit, yang membantu
melawan infeksi. Cairan lympha akan menumpuk dan menyebabkan
megaly jika tidak dialirkan dengan baik. Lympha vans menarik cairan
lympha dari sekitar cell untuk dikirim ke toraks. Di sana, cairan lympha
terkumpul ke dalam vans besar yang mengalir ke vas sanguineum di
dekat cor. (Sarah Nafisah,2021)

631
Lympha vans mengirimkan cairan lympha melalui lympha
glands ke seluruh tubuh. (Sarah Nafisah,2021) Lympha glands adalah
struktur kecil yang berfungsi sebagai penyaring zat asing, seperti cell
karkinos dan infection. Mereka mengandung cell kekebalan yang bisa
membantu melawan infection dengan menyerang dan menghancurkan
mikroorganisme yang dibawa melalui cairan lympha. Lympha glands
terletak di banyak bagian tubuh, termasuk jugulum, aksila, toraks,
abdomen, dan pelvis.
Ada ratusan lympha glands di seluruh tubuh. Setiap lympha
glands menyaring cairan dan zat yang diambil oleh vas yang mengarah
ke bagian tertentu. Misalnya cairan lympha bergabung dengan cairan
lympha di brakium, kemudian mengalir ke toraks. (Sarah Nafisah,2021)
Cairan ini bisa menyaring melalui lympha glands di cubitus, atau di
bawah cubitus. Cairan dari kaput, derma kaput, dan facies mengalir
melalui lympha glands di jugulum.(Sarah Nafisah,2021) Beberapa
lympha glands berada jauh di dalam tubuh, seperti di antara pulmo atau
di sekitar enterik, untuk menyaring cairan di area tersebut.

2.2 Definisi Mesentric Lymphadenitis


Disorder Pada Lympa
Ada beberapa kelainan pada lympa :

a. Mesenteric Lymphadenitis
Lymphadenitis mesenteric adalah inflamasi Lympha
glands di mesenterium. (mayoclinic,2021) Lymphadenitis
adalah suatu kondisi di mana lympha glands anda me-inflamasi.
Ketika kondisi tersebut mempengaruhi lympha glands di
membrana yang menghubungkan enterik anda ke dinding
632
abdomen (mesenterium), itu disebut mesenteric lymphadenitis
(mez-un-TER-ik lim-fad-uh-NIE-tis). Mesenterium adalah lipatan
membrane yang menempelkan enterik ke dinding abdomen dan
menahannya di tempatnya.
b. Lymphadenomegaly

Ketika ada masalah, seperti infection, algia, atau


cancer, lympha glands di daerah itu bisa osis atau megaly saat
bekerja untuk menyaring cell-cell yang ―jahat‖. Lympha glands
yang megaly memberi tahu kita bahwa ada sesuatu yang tidak
beres, tetapi symptom lain bisa membantu menentukan
masalah utamanya. Misalnya, auris algia, febris, dan lympha
glandiomegaly ad oto adalah petunjuk kita mengalami infection
oto atau selesma. Beberapa area di mana lympha glands
biasanya megaly adalah di cervo, pelvis, dan aksila. (Sarah
Nafisah,2021) Dalam kebanyakan kasus, hanya satu area
lympha glands yang megaly pada satu waktu.

2.3 Patofisiologi Mesentric Lymphadenitis


- Etiologi
Etiologi paling umum dari mesenteric lymphadenitis adalah
infection virus, seperti gastroenteritis - sering disebut flu abdomen.
Infeksi ini menyebabkan inflamasi pada lympha glandium di jaringan
tipis yang menempelkan enterik anda ke bagian belakang dinding
abdomen anda (mesenterium). Penyebab lain dari mesenteric
lymphadenitis termasuk infection mikroorganisme, pathy enteritis
dan limfoma. (Mayoclinic,2021) Etiologi dari lymphadenitis
mesenteric pada anak-anak. Ini biasanya disebabkan oleh infection
virus, mikroogranisme tertentu, parasite, pathy enteritis hingga
symptom cancer. (Kumparanmom,2021)

633
- Sign & Symptom
Symptom Mesenteric Lymphadenitis
Symptom mesenteric lymphadenitis yang umumnya
dialami oleh penderita meliputi:
Abdomengia pada bagian dexter inferior. Tapi algia juga bisa
terasa pada seluruh bagian abdomen. (Dr. Joni Indah
Sari,2020)
Lymphadenomegaly at mesenterium,diare,nausea,vomitus.
Symptom Lymphadenomegaly
Selain munculnya megaly, denomegaly juga dapat
menimbulkan symptom lain. Symptom yang dimaksud meliputi:
Febris,loss weight.anoreksia,sudor at
night,selesma,pharyngoalgia.
2.4 Diagnosa dan Diagnosa banding

Karena sebagian besar pengidap mesenteric lymphadenitis


adalah anak-anak dan remaja, sesi tanya jawab biasanya dilakukan
dengan orangtua. Dokter akan memulai pemeriksaan dengan
menanyakan tentang symptom yang dialami oleh anak anda. Dokter
juga akan menanyakan apakah anak baru-baru ini pernah
mengalami selesma, masalah pencernaan, atau infection lainnya.
(Dr. Joni Indah Sari,2020)
Pemeriksaan fisik
Dokter kemudian melakukan pemeriksaan fisik pada anak anda,
terutama pemeriksaan pada abdomen untuk mengevaluasi ada
tidaknya rasa algia atau glandiomegaly at abdomen.

Pemeriksaan penunjang

634
Dokter juga bisa menganjurkan serangkaian pemeriksaan
penunjang untuk memastikan diagnosis mesenteric
lymphadenitis. (Dr. Joni Indah Sari,,2020) Pemeriksaan ini
umumnya terdiri dari hemo test guna mengevaluasi sign-sign
infection, serta test pencitraan pada abdomen (seperti CT scan
dan USG).
2.5 Penatalaksanaan
Pengobatan (kuratif)
Kuratif Mesenteric Lymphadenitis
Sebagian besar mesenteric lymphadenitis dapat membaik
sendiri dalam beberapa hari tanpa pengobatan spesifik. Namun
bila dokter mencurigai penyebabnya adalah mikroorganisme,
dokter akan meresepkan obat antibiotik. Sedangkan untuk
mengurangi intensitas symptom, dokter juga bisa memberikan
obat pereda algia. (Dr. Joni Indah Sari 2020) Contohnya,
ibuprofen atau acetaminophen.
Kuratif Lymphadenomegaly
Jenis obat lymphaden yang dapat digunakan untuk
mengatasi lymphadenomegaly antara lain:
Antibiotik,Antivirus,Obat antiinflamasi nonsteroid
(OAINS),Kortikosteroid,Kemoterapi (Dr. Kevin Adrian,2020)
Pencegahan (prefentif)
Prefentif Mesenteric Lymphadenitis
Untuk mempercepat proses pemulihan, penderita
dianjurkan untuk:
Cukup beristirahat.
Menggunakan kompres hangat pada abdomen guna
mengurangi symptom algia dan rasa tidak nyaman pada
abdomen.

635
Memenuhi kebutuhan cairan tubuh untuk mencegah dehidrasi
akibat vomitus, febris, dan diare.

Pencegahan Lymphadenomegaly
Ada beberapa upaya yang bisa dilakukan untuk mengatasi
megaly. Dilansir dari National Institutes of Health (NIH), berikut ini
perawatan mandiri untuk pencegahannya, yaitu:
- Kompres area yang megaly atau algia dengan kain basah yang
hangat.
- Istirahat yang cukup untuk memulihkan sistem kekebalan tubuh.
- Manfaatkan cool pack atau kompresan dingin bila air hangat
tidak efektif untuk meredakan inflamasi.
- Konsumsi obat pereda algia, contohnya ibuprofen, naproxen,
atau acetaminophen untuk mengurangi ketidaknyamanan.
- Gunakan obat antibiotik (harus dengan resep dokter), bila
lymphadenomegaly disebabkan oleh bacteria atau
mikroorganisme.
- Hindari pemberian aspirin pada anak karena risiko akan
mengidap sindrom Reye. Sindrom Reye adalah kondisi serius
yang dapat menyebabkan cereboheart megaly.
- Berkumurlah dengan air garam. Hal ini dilakukan jika
glandomegaly terjadi pada area jugulum, oto, kaput. Caranya
dengan melarutkan garam dengan air hangat. Gunakan air
tersebut untuk berkumur selama 10-20 detik, kemudian buang
airnya. Lakukan hal tersebut sebanyak 3-5 kali.

2.6 Penunjang medis


a. Prognosis limfadenitis ditentukan oleh etiologi dan tata laksana
yang dilakukan pada penderita. Limfadenitis yang disebabkan
636
oleh mikobakterium non-tuberkulosis dan diterapi dengan eksisi
saja memberikan angka kesembuhan sebesar 45%. Sementara
itu, kasus yang dikombinasi dengan kemoterapi memberikan
angka kesembuhan sebesar 61%. Pada anak, limfadenitis
sering disebabkan virus. (dr.Giovanni Gilberta)
Limfadenitis yang disebabkan virus, seperti adenovirus
dan rhinovirus, dapat sembuh sendiri tanpa memerlukan terapi
khusus. Pemberian antibiotik pada kasus limfadenitis bacteri
mampu memberikan respon cukup efektif. Sebanyak 86,9%
penderita dapat berobat jalan dan hanya 7,9% yang
membutuhkan tindakan operatif.
b. Prognosis lympadenomegaly tergantung pada etiologinya.
Lympa glands yang teraba di jugulum, biasanya pada anak,
bisa menghilang spontan dalam waktu 4-6 minggu. Prognosis
akan memburuk pada kasus keganasan, disease autoimun dan
HIV. Komplikasi lympadenomegaly dapat menyebabkan
obstruksi organ atau jaringan sekitar, dan pada kasus
keganasan leukemia, bisa terjadi sindrom lisis tumor.

637
BAB III
PEMBAHASAN

Gambar 3.1 Mesenteric Lymphadenitis

(Dr. Glyn Estebanez,2020)

Gambarg 3.2Lymphadenomegaly

(Dr. Tjin Willy,2018)


Gambar 3.3 Normal Lymphadeno

(Mayoclinic,2020)

638
BAB IV
PENUTUP

Berdasarkan data yang sudah disebutkan, penulis dapat


menyimpulkan beberapa hal yaitu Lympha adalah bagian dari sistem
kekebalan tubuh. Ini terdiri dari jaringan lympha vas dan lympha glands.
Lympha vas sangat mirip dengan Vas sanguineum yang mengumpulkan
dan membawa hemo ke seluruh tubuh. Namun, tugasnya bukan
membawa hemo, melainkan membawa cairan bening berair yang
disebut lympha.
Cairan lympha juga mengandung leukosit, yang membantu
melawan infeksi. Cairan lympha akan menumpuk dan menyebabkan
megaly jika tidak dialirkan dengan baik. Lympha vans menarik cairan
lympha dari sekitar cell untuk dikirim ke toraks. Di sana, cairan lympha
terkumpul ke dalam vans besar yang mengalir ke vas sanguineum di
dekat cor. (Sarah Nafisah,2021)

639
BAB V
TERMINOLOGI

 Mesenteric Lymphadenitis
(peradangan getah bening di rongga perut)

P :-
R : mesenteric = rongga perut
: lympha = getah bening
: den = kelenjar
S : itis : peradangan

 Lymphadenosis
(peningkatan kelenjar getah bening)

P:-
R : lympha = getah bening
: den = kelenjar
S : osis : keadaan,peningkatan

640
DAFTAR PUSTAKA

Mayoclinic (2021). Gambaran,deskripsi,gejala. Oleh staf Klinik Mayo.


kumparanMOM (2021). Penyebab penyakit adentitis mesenterika pada
anak, 3.

Dr. Joni Indah Sari yang ditinjau oleh Dr. Reni Utari dalam sehatq.com
(2020). Definisi kelenjar getah bening, tanda dan gejala, serta
diagnosis. 2-6,16-20.

Sarah Nafisah (2021). Sistem getah bening,fungsi getah bening,resiko


penyakit yang menyerang getah bening. 3-24.

Tiga tindakan medis yang tepat untuk mengatasi lympadenitis. Ditinjau


oleh Redaksi Halodoc tanggal 26 januari 2019.
Tujuh cara ampuh atasi pembengkakan kelenjar getah bening. Ditinjau
oleh: dr. Fadhli Rizal Makarim,17 Mei 2021.
NIH-MedlinePlus. Diakses pada 2021. Swollen Lymph Nodes.
Healthline. Diakses pada 2021. What Causes Adenopathy and How Is It
Treated?
Mesenteric Adenitis vs Appendicitis | How to tell the difference? Dr Glyn
Estebanez,2020.
Daftar istilah anatomi pdf 103, Prof. Dr. Amran Halim Kepala Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Jakarta, Desember 1979.
Gejala dan gambar pembengkakan kelenjar getah bening,ditinjau oleh
Dr. Tjin Willy. Terakhir diperbarui 24 september 2018.
Buku pdf praktikum spesialit dan terminologi kesehatan,cetakan
pertama,Desember 2016. Penulis : Dra. Ganthina, M.Si., Apt.

641
SARKOIDOSIS

Dosen Pengampu :
dr. R. A. Rengganis Ularan, MM

Disusun oleh :
Novia Rizka Amalia 205023
Muhammad Reza Fahlevi 205061
Noor Alfi Laylin Nissa' 205101

D3 RMIK
2021

642
BAB I

PENDAHULUAN

Sarkoidosis adalah penyakit granulomatosa multisistem yang


belum diketahui etiologinya dan sering melibatkan derma. Karakteristik
sarkoidosis adalah adanya granuloma epiteloid tanpa pengkajian yang
dapat mengenai berbagai sistem organ. Disease tersebut paling sering
melibatkan pulmo, namun limfa, derma, oculus, liver, neurologi,
muskuloskeletal, ginjal, dan sistem endokrin umumnya terlibat.

Sarkoidosis , penyakit sistemik yang ditandai dengan


pembentukan granuloma (benjolan kecil berbutir) pada jaringan
yang terkena . Meskipun etiologi sarcoidosis belum diketahui, penyakit
ini mungkin disebabkan oleh respon imun yang abnormal terhadap
antogen tertentu . Sarkoidosis sering menghilang secara spontan dalam
dua atau tiga tahun tetapi dapat berkembang hingga melibatkan lebih
dari satu organ . Itu diamati di pulmo , limfa , oculo, muscle, hepar, limpa,
dan jaringan ikat sistem sa. Lesi kulit dan secara khas muncul dalam
bentuk penyakit kronis. Sarkoidosis mungkin tidak menimbulkan
symptoms, atau serangan dapat dimulai dengan munculnya nodul merah
lembut di bagian depan plantar dan disertai arthralgia. Fiver dapat terjadi
selama enam minggu sampai tiga bulan. Bentuk kronis dari sarcoidosis
biasanya menyebabkan disease pulmo dan nefron yang parah. Disease
pulmo dapat menyebabkan kerusakan pada cardio. Tidak ada obat untuk
sarkoidosis. Pemberian kortikosteroid seperti prednison, yang
mengurangi inflamasi , biasanya meredakan symptom.

643
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan fisiologi
A. Anatomi Sarkoidosis
Sarkoidosis (juga dikenal sebagai penyakit Besnier-Boeck-
Schaumann ) adalah penyakit yang melibatkan kumpulan
abnormal sel-sel inflamasi yang membentuk benjolan yang
dikenal sebagai granulomata . Penyakit ini biasanya dimulai di
paru-paru, kulit, atau kelenjar getah bening. Yang kurang umum
terkena adalah mata, hati, jantung, dan otak.
B. Fisiologi Sarkoidosis
Sarcoid merupakan bentuk granuloma yang sangat populer yang
juga dikenal dengan penyakit granulomatous. Granuloma dapat
juga dipertimbangkan sebagai tumor yang tidak ganas. Tumor-
tumor ini dapat dilihat melalui mikroskop.
2.2 Definisi Sarkoidosis
Sarkoidosis adalah kondisi di mana sel tubuh mengalami
inflamasi (Saydam,2011). Inflamasi ini menyebabkan terbentuknya
granuloma, yaitu sel inflamansi yang menumpuk. Sarkoidosis lebih
sering menyerang pulmo, tetapi juga bisa ditemui di organ tubuh lainnya,
seperti encephalon, oculus, derma, cardio, liver, limfa

Terapi sarkoidosis diberikan jika terdapat kerusakan organ


progresif. Pilihan terapi yang diberikan meliputi terapi topikal, intralesi,
kortikosteroid sistemik, obat imunosupresif, dan terapi pembedahan.
2.3 Patofisiologi Sarkoidosis

644
Etiologi Sarkoidosis bisa dipicu oleh beberapa faktor, namun etiologi
pastinya masih belum diketahui. Sarkoidosis bisa dipicu oleh paparan
infeksi, debu, atau zat kimia. Paparan tersebut mengakibatkan reaksi
yang berlebihan dari sistem imunitas tubuh, sehingga membentuk reaksi
inflamasi dan granuloma , pada organ yang terkena. Seiring bertambah
besarnya granuloma pada organ yang terkena, maka fungsi organ juga
akan ikut terganggu

Beberapa faktor yang meningkatkan risiko seseorang untuk


menderita sarkoidosis adalah:
1. Usia dan jenis kelamin. Penyakit ini lebih banyak dialami oleh
perempuan ketimbang laki-laki, serta berada pada rentang usia
20-40 tahun.

2. Riwayat sarkoidosis dalam keluarga.


3. Seseorang berpotensi menderita sarkoidosis apabila kondisi ini
pernah terjadi sebelumnya di dalam keluarga.
4. Riwayat kesehatan pribadi. Memiliki riwayat penyakit
limfoma ,yaitu kanker yang menyerang sistem kekebalan tubuh,
dapat meningkatkan risiko
5. Ras. Sarkoidosis lebih sering ditemukan pada ras Afrika-
Amerika. Kelompok ras ini juga lebih berisiko mengalami
sarkoidosis yang parah dan berulang (kambuh), dibandingkan
kelompok ras lainnya.

Symptoms sarkoidosis dapat muncul secara perlahan-lahan


dengan pola yang berbeda-beda, tergantung kepada organ tubuh mana
yang mengalami kondisi ini. Pada beberapa kasus, etiologi dapat hanya
muncul sesaat, lalu menghilang. Ada juga symptoms yang berlangsung

645
hingga bertahun-tahun (kronis), atau justru tidak menampakkan etiologi
sama sekali.

Symptoms sarkoidosis secara umum adalah fever, splenomegali,


penurunan berat badan, dan Fatigue yang berlebihan (Rompi 2015).
Berikut ini adalah symptoms sarkoidosis berdasarkan organ yang
terkena:

 Pulmo
Penderita sarkoidosis akan mengeluh dypsnea yang disertai
mengi (bengek). Selain itu, penderita juga mengalami batuk
kering ( hemaxero ) dan angina pectoris
 Oculus
Oculus yang mengalami sarkoidosis akan terasa sangat nyeri
dan sensitif terhadap cahaya. Selain oculo terlihat merah,
pandangan juga menjadi samar. Namun, kadang sarkoidosis
yang menyerang oculus juga bisa tidak menunjukkan symptoms
sama sekali, sehingga penting untuk memeriksakan oculi
secara rutin.
 Derma
Pada derma penderita sarkoidosis akan timbul dermatitis atopic
(ruam) atau bercak yang berwarna merah keunguan (eritema).
Biasanya dermatitis atopik muncul di carpal (pergelangan
tangan) atau plantar, os.tibia. Area tersebut akan terasa hangat
atau lembut ketika disentuh. Penderita juga memiliki area
derma yang berwarna lebih gelap atau lebih terang. Symptoms
ini akan disertai pula dengan munculnya edema dibawah
derma, khususnya di area derma yang terdapat abses atau tato.
Kemunculan cacat atau noda bekas luka di bucco, naso, dan ot
(telinga) juga bisa menandai sarkoidosis.

646
 Cardio
Penderita sarkoidosis pada cardio akan mengalami fatigue
(kelelahan), angina pectoris (nyeri dada), dypsnea (sesak
napas), denyut cardio yang tidak beraturan (aritmia),
cardiopathy, pembengkakan jaringan tubuh karena kelebihan
cairan (edema), hingga tidak sadarkan diri.

2.5 Penatalaksanaan Sarkoidosis


Sarkoidosis sering hilang sendiri. Kebanyakan kasus hanya
memerlukan perawatan minimal. Pada beberapa kasus, kondisi ini dapat
berlangsung selama bertahun-tahun dan menyebabkan kerusakan
organ.
2.6 Penunjang Medis Sarkoidosis
Diagnosa dan diagnosa banding Sarkoidosis
Dokter dapat mencurigai seorang pasien menderita sarkoidosis jika
terdapat symptoms. Kemudian diperkuat oleh pemeriksaan fisik, yaitu
dengan memeriksa bagian tubuh yang dicurigai terkena sarkoidosis,
seperti oculus, cardio, pulmo, serta limfa, untuk mendeteksi adanya
pembengkakan. Untuk memastikan diagnosis, perlu dilakukan
pemeriksaan lanjutan, berupa:

1. Tes haemo, untuk memeriksa kesehatan tubuh secara


keseluruhan, khususnya fungsi organ liver dan ginjal.
2. Foto thorax, untuk memeriksa jika terdapat kelainan
pada pulmo atau terjadi pembesaran cardio.
3. Tes fungsi pulmo, untuk mengukur volume dan
kapasitas pulmo.
4. CT scan, MRI, atau PET scan, untuk melihat
gambaran organ lebih jelas.

647
5. Biopsi, dengan mengambil sebagian kecil jaringan
dari bagian tubuh yang dicurigai sebagai granuloma,
dan diperiksa di bawah mikroskop.

Setengah dari total kasus sarkoidosis dapat sembuh dengan


sendirinya. Beberapa pasien tidak memerlukan penanganan khusus jika
tidak ditemukan symptoms yang signifikan. Namun, dokter tetap akan
terus memantau perkembangan kondisi pasien.
Penanganan sarkoidosis akan diberikan apabila symptoms yang
dirasakan turut mengganggu atau mengancam fungsi organ tubuh lain.
Jenis-jenis penanganan sarkoidosis meliputi :

1. kortikosteroid karena obat yang menjadi pengobatan lini pertama


untuk sarkoidosis. Obat ini bisa digunakan dengan
cara diminum, dioleskan secara langsung pada derma,
atau diteteskan pada oculus.
2. Hydroxyquine untuk mengatasi gangguan derma
3. Imunosupresif untuk menekan sistem inum demi mengurangi
symptoms
4. Interseron untuk mengangani symptoms yang sudah parah
5. Tranpalasi organ di lakukan jika sarkoidosis telah merusak organ
lain

Selain menjalani komperatif, dapat melakukan gaya hidup sehat seperti:

1. Berhenti merokok
2. Sebisa mungkin menghindari paparan zat kimia
3. Mengatur pola makan dan diet sesaui rekomendasi dari dokter
4. Memenuhi asupan mineral
5. Istirahat yang cukup dan berolahraga
648
BAB III
PEMBAHASAN

Contoh Organ Yang Terserang Sarcodosis Disease :

a. bagian pulmo yang terserang dan tidak terserang sarcoidosis


disease :

NORMAL ABNORMAL

b.
bagian oculo yang terserang dan tidak terserang sarcoidosis
disease :

NORMAL ABNORMAL

c. bagian cardio yang terserang dan tidak terserang sarcoidosis


disease :

649
NORMAL ABNORMAL

d. bagian derma yang terserang dan tidak terserang sarcoidosis


disease :

NORMAL

ABNOR
MAL

e. bagian limfa yang terserang dan tidak terserang sarcoidosis


disease :

NORMAL ABNORMAL

650
CONTOH PERBEDAAN NORMAL DAN ABNORMAL

NAMA ORGAN NORMAL ABNORMAL


Pulmo Tidak ada plak putih Terdapat Ada plak
putih
Oculo Tidak memerah Mata memerah
Cardio Tidak ada pelebaran Ada pelebaran pada
pada arteri arteri
Derma Tidak ada ruam di Terdapat ruam merah
bagian atas derma diatas derma
Limfa Tidak terdapat edema Terdapat Ada edema

651
BAB IV
PENUTUP

Berdasarkan hasil pembahasan di atas, dapat


diperoleh bahwa sarkoidosis ada sebuah penyakit yang
ditimbulkan oleh debu atau bakteri melalui pernapasan
sehingga sering menyerang pulmo.

Efek yang ditimbulkan dapat menyebabkan faringitis


sehingga bisa terjadi nya fiver (demam tinggi), Disease ini
dapat menyerang organ lain antaranya pulmo, oculo, cardio,
derma, limfa,

652
BAB V
TERMINOLOGI

TERMINOLOGY MEDIS :

 Sarcoidosis

PREFIK :-

ROOT : Sarcoid : sel inflamasi

SUFFIX : Osis : keadaan

 Granuloma

PREFIK :-

ROOT : Granul / o : kumpulan sel

SUFFIX : Oma : Benjolan

 Microscope

PREFIK : Micro : kecil

ROOT : scope : cakupan / jangkauan

SUFFIX :-

 Cardio

PREFIK :-

ROOT : cardi / o : jantung

SUFFIX :-

 Pulmo

PREFIK :-

ROOT : pulm / o : paru – paru

SUFFIX :-

653
 Oculo

PREFIK :-

ROOT : ocul / o : mata

SUFFIX :-

 Limfa

PREFIK :-

ROOT : limfa : getah bening

SUFFIX :-

 Derma

PREFIK :-

ROOT : derma : kulit

SUFFIX :-

 Hyperpyrexia

PREFIK : Hyper : berlebihan


ROOT : Pyrexia : demam
SUFFIX : -

654
DAFTAR PUSTAKA

GhazalehMehdipoor &Sabahat Bokhari & Martin R Prince


(2018), Universitas Columbia, NewYork, NY, AS
Pencitraan untuk Diagnosis dan Pemantauan Sarkoidosis
Jantung
(https://garuda.ristekbrin.go.id/documents/detail/1223586)

James DG, Hosoda Y. Epidemiologi. Masuk: James DG, ed.


Sarkoidosis dan gangguan
granulomatosa lainnya. New York, Marcel Dekker, 1994:
729–43.

Lindayani Halim, Rahmatina Departemen Ilmu Kesehatan


Kulit dan Kelamin, FK Universitas
Indonesia/RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
(2018), SARKOIDOSIS ATAU LUPUS VULGARIS

Bejar JM, Kerby GR, Ziegler DK, Festoff BW.


Pengobatan sarkoidosis sistem saraf pusat dengan
radioterapi.Ann Neurol 1985; 18:258–60.

Badgwell C, Rosen T. Cutaneous sarcoidosis therapy


updated. J Am Acad Dermatol. 2007; 56: 69-83.

655
SPLENOMEGALY

Dosen Pengampu :
dr. R. A. Rengganis Ularan, MM

Disusun oleh :

Rizti Khumairoh 205029

Rahma Hidayati 205067

Rika Widya Saputri 205107

D3 RMIK
2021

656
BAB I

PENDAHULUAN
splenomegaly secara umum disebabkan disease yang
menyertai kondisi ini seperti infeksi, blood disorder disease, kista, dan
lain-lain. Selain itu terdapat juga kelainan splenomegaly yang timbul
pada anak-anak seperti pada thalasemia dan sickle cell disease. Kondisi
ini timbul akibat darah terperangkap di dalam splen dan tidak dapat
dialirkan ke seluruh tubuh sehingga menimbulkan syok
hipovolemik akibat kekurangan aliran emia. Adanya kelainan cyt yang
terbentuk di organ splen seperti adanya metastase, neoplasma, atau
kelainan jaringan lemak. Splenomegaly terjadi akibat ketidakseimbangan
aliran emia dari angio splen menuju vena porta. Ganggun tersebut tidak
hanya mencederai splen, tetapi juga mengganggu fungsi organ hepat
dan cardio. (Di Sabatino, dkk. 2006) . Splenomegaly adalah kondisi
pembesaran pada organ splen, yang bisa disebabkan oleh sejumlah
disease atau infeksi. Pada kondisi normal, splen hanya berukuran 11-20
cm, dengan berat hingga 500 gram. Namun pada penderita
splenomegaly, ukuran splen bisa lebih dari 20 cm, dengan berat
mencapai lebih dari 1 kg. Splen adalah organ yang terletak di dalam
rongga abdomen, costae inferior sinistra. Organ ini memiliki sejumlah
fungsi, seperti menyaring dan menghancurkan hemocyt yang rusak dari
hemocyt yang sehat, menyimpan cadangan eritrosit dan trombosit, serta
mencegah infeksi dengan menghasilkan leukosit yang menjadi
pertahanan pertama dari organisme etiologi disease. Splenomegaly
dapat menyebabkan semua fungsi tersebut terganggu. Jirillo, E. (2003).

657
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi fisiologi

Splen merupakan organ RES ( Reticu loendot helial system ) yang


terletak di cavum abdomen pada region hipokondrium atau hipokondria
sisnistra. Splen terletak sepanjang costa IX,X, dan XI sinistra dan
ekstremitas inferiornya berjalan ke anterior samapai sejauh linea
aksillaris media. Splen juga merupakan organ intra peritoneal. Splen
memiliki 2 margo, yaitu margo anterior dan margo posterior. Selain itu,
spleen juga memiliki 2 ekstremitas, yaitu ekstremitas superior dan
ekstremitas inferior ( Pai, 2014)
Splen memiliki 2 facies, facies diaphragmatica yang berbentuk konvex
dan facies visceralis yang berbentuk lebih datar. Facies diaphragmaticas
splen berhadapan dengan diaphragm dan costa IX-XI sinistra.
Sedangkan facies visceralis nya memiliki 3 facies, yaitu facies renalis
yang berhadapan dengan ren sinistra, facies gastric yang berhadapan
dengan flexura colu sinistra. Ketiga facies tersebut bertemu pada hilus
lienalis, juga merupakan tempat menggantungnya cauda pancreas
(Weller, dkk. 2004)
2.2 Definisi Splenomegaly
Splenomegaly merupakan pembesaran splen yang bisa
disebabkan oleh berbagai kondisi, seperti infeksi, liver disease, dan
kanker. Splen merupakan sebuah organ yang terletak pada abdominal
superior sinistra. Pada orang dewasa yang sehat, berat splen yang
normal adalah sebesar 200 gram, sedangkan pada splenomegaly, berat
splen dapat meningkat sampai 2 kilogram atau lebih.

Splen merupakan organ yang penting, karena berfungsi untuk menyaring


emia dan membuang cyt yang abnormal atau yang sudah tua atau rusak.
658
Selain itu, splen berfungsi sebagai organ yang memproduksi cyt imun
seperti antibodi dan limfosit. Pembengkakan splen yang menyebabkan
tekanan pada organ tubuh lainnya dapat memengaruhi aliran emia
menuju splen dan menyebabkan splen tidak dapat menyaring emia
dengan baik.

Selain itu, semakin besar splen, semakin banyak eritrosit yang


dihancurkan sehingga menyebabkan anemia. Pembengkakan splen juga
bisa menyebabkan penurunan jumlah leukosit yang mengakibatkan
tubuh rentan mengalami infeksi. Ukuran splen normalnya adalah sebesar
kepalan tangan. Namun, beberapa disease tertentu bisa membuatnya
bengkak dan jauh lebih besar dari ukuran itu.

Dokter umumnya tidak dapat meraba splen yang berukuran normal saat
pemeriksaan fisik, namun splen yang membesar dapat teraba. Untuk
membantu mengidentifikasi etiologi dari splenomegaly, dapat dilakukan
pemeriksaan emia atau pencitraan. Penanganan dari splenomegaly
bertujuan untuk mengatasi etiologi yang mendasarinya. Splenectomy
yang membesar melalui prosedur operasi bukan merupakan
penanganan pertama yang dilakukan, namun dapat dibutuhkan.

2.3 Patofisiologi Splenomegaly

Splen berfungsi sebagai filter fagositik untuk menghilangkan cyt


yang telah tua dan rusak, partikel padat dari sitoplasma eritrosit, mikro-
organisme yang terbawa oleh aliran emia dan memproduksi antibodi.
Saat emia memasuki korda pulpa merah splen dan melewati epitel
dengan fenestrasi menuju sinus vena, aliran emia melambat, yang
membantu menghilangkan eritrosit yang rusak dan bakteri oleh makrofag

659
splen. Pulpa putih splen merupakan suatu akumulasi terbesar dari
jaringan limfoid pada tubuh dan berfungsi sebagai tempat produksi dan
aktivasi limfosit, dimana kemudian cyt limfosit akan bermigrasi menuju
pulpa merah untuk mecapai lumensinusoid cyt. Cyt dan makrofag yang
ada di zona marginal, terlibat dalam proses penangkapan, pengolahan
dan presentasi dari antigen. Makrofag splen khususnya, beradaptasi
untuk dapat mengenali dan menghancurkan bakteri yang telah
teropsonisasi.Kedua cyt dendritic dan limfosit-T di dalam splen
menunjukkan aktivitas immunologis yang kuat.
Etiologi Splenomegaly

Splenomegaly atau pembesaran splen yang terjadi dapat sementara,


bergantung pada kondisi yang dialami. Beberapa jenis disease yang
dapat menyebabkan splenomegaly adalah:

• Infeksi virus, seperti mononukleosis


• Infeksi bakteri, seperti sifilis atau endokarditis
• Infeksi parasit, seperti malaria
• Sirosis atau disease lainnya yang memengaruhi hepat
• Berbagai jenis anemia hemolitik, yang merupakan kondisi yang ditandai
dengan kerusakan awal pada eritrosit
• Jenis carcin tertentu, seperti leukemia, limfoma, dan sebagainya
• Disease metabolik
• Peningkatan tekanan atau adanya bekuan hemo pada angio vena di
splen atau hepat

Splenomegaly dapat terjadi pada usia berapa pun, namun beberapa


kelompok populasi tertentu dapat memiliki risiko lebih tinggi untuk
terjadinya kondisi ini. Kelompok yang memiliki risiko tersebut antara lain:
• Anak-anak dan dewasa muda yang mengalami infeksi, seperti

660
mononukleosis
• Individu dengan disease metabolik tertentu yang memengaruhi hepat
dan cardi
• Individu yang tinggal di atau berkunjung ke area di mana malaria sering
terjadi.

Symptom Splenomegaly

Splenomegaly dalam beberapa kasus tidak menimbulkan


symptom apa pun, tetapi pada kasus-kasus lainnya menimbulkan
symptom seperti abdominal superior sinistra pain. Pain ini dapat terasa
ke hingga sinistra shoulder .Penderita juga mungkin merasa kenyang
meski hanya makan dalam porsi kecil. Hal ini disebabkan oleh
splenomegaly yang menekan gastric, yang terdapat persis di sebelah
splen. Bila splen membesar hingga menekan organ lain, aliran hemo ke
splen bisa terganggu. Kondisi tersebut bisa membuat fungsi splen
terganggu memicu anemia. Infeksi juga akan sering terjadi bila splen
tidak menghasilkan leukosit dalam jumlah yang diperlukan.

Simtom lainnya seperti perasaan penuh pada abdomen, walaupun belum


makan atau baru makan sedikit. Anemia, kelelahan, sering infeksi, dan
mudah terjadi perdarahan juga merupakan simtom splenomegaly.

Simtom lain yang dapat muncul, antara lain:

 Kelelahan
 Mudah mengalami hemorrhage
 Penurunan berat badan
 Derm dan dacryair menguning

2.4 Diagnosa dan Diagnosa banding Splenomegaly

661
Dokter dapat mendiagnosis splenomegaly dengan merasakan splen
yang membesar di abdominal superior sinistra. Namun bila diperlukan,
dokter akan memastikan diagnosis dengan menjalankan salah satu dari
tes berikut:

1. USG atau CT scan, untuk mengetahui ukuran splen dan


melihat kondisi organ lain yang tertekan akibat ukuran splen yang
membesar.
2. Pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) untuk melihat
aliran emia melalui splen.
3. Pemeriksaan emia, pemeriksaan emia yang dapat dilakukan
mencangkup pemeriksaan emia lengakap untuk melihat jumlah eritrosit,
leukosit, dan trombosit di dalam tubuh.

2.5 Penatalaksanaan Spherocytosis

Kuratif Splenomegaly

Penanganan splenomegaly adalah dengan mengatasi etiologi


yang mendasarinya. Sebagai contoh, untuk splenomegaly yang
disebabkan oleh infeksi bakteri, dokter akan meresepkan antibiotik.
Splenomegaly kadang tidak disertai simtom dan tidak ditemukan
penyebabnya. Bila hal tersebut terjadi, dokter membutuhkan waktu
evaluasi lebih lama, dengan menunggu sambil mengawasi
perkembangan kondisi pasien.

Untuk splenomegaly yang telah menimbulkan komplikasi serius


dan tidak diketahui penyebabnya, dokter akan menjalankan bedah
pengangkatan spleen (splenektomi). Pasien yang organ splenya telah
diangkat, tetap dapat beraktivitas dengan normal, namun lebih berisiko
terkena infeksi yang dapat membahayakan nyawa.

662
Beberapa langkah berikut ini dapat membantu mengurangi risiko infeksi
pada pasien yang telah menjalani splenektomi:

- Mengonsumsi antibiotik setelah operasi, atau bila ada


kemungkinan terjadi infeksi.
- Lebih berhati-hati saat mengalami pyrexia, karena kondisi ini
bisa menjadi tanda adanya infeksi.
- Mendapatkan vaksinasi sebelum dan sesudah splenectomy, di
antaranya vaksin pneumococcal (diberikan tiap 5 tahun sejak menjalani
operasi), meningococcal, dan Haemophilus influenzae tipe B. Vaksin-
vaksin tersebut akan melindungi pasien dari pneumonia, meningitis,
serta infeksi pada osteo, artho, dan hemo.
- Menghindari berkunjung ke daerah yang memiliki riwayat
penyebaran suatu disease, misalnya malaria.

Preventif Splenomegaly

Preventif splenomegaly dapat dilakukan dengan menghindari


hal-hal yang dapat memicu disease ini. Misalnya dengan mengurangi
konsumsi alkohol untuk mencegah sirosis, atau menjalani vaksinasi bila
ingin melakukan perjalanan ke daerah yang endemik malaria.
Sedangkan untuk mencegah cedera pada splen, penting untuk selalu
menggunakan sabuk pengaman saat berkendara.

2.6 Penunjang Medis Splenomegaly

Untuk medeteksi splenomegaly harus dilakukan magnetic


resonance imaging (MRI) untuk melihat aliran emia melalui splen. MRI ini
adalah pemeriksaan yang memanfaatkan medan magnet dan energy
gelombang radio untuk menampilkan gambar struktur dan organ dalam
tubuh. Pada tes MRI, bagian tubuh yang akan dipindai ditempatkan pada
663
sebuah mesin yang memiliki kekuatan magnet yang sangat kuat.
Gambar-gambar yang dihasilkan MRI adalah foto digital yang dapat
disimpan di computer dan di cetak untuk dipelajari lebih lanjut. Langkah
pemindaian dengan MRI untuk mengetahui splenomegaly :
1. Sebelum pemeriksaan dilakukan , kita akan dimintai untuk
mengenakan pakaian khusus yang disediakan oleh rumah sakit,
petugas medis juga akan meminta untuk melepaskan bra
dengan penyangga logam, alat bantu dengar kacamata, atau
dent palsu.
2. Selama pemeriksaan, kita dapat berkomunikasi dengan
petugas medis yang mengoperasikan alat MRI melalui intercom

3. Selama pemindaian dilakukan, hindari bergerak dan upayakan


untuk tetap diam selama 15-90 menit. Durasi tersebut
tergantung area yang diperiksa.
4. Pada pemeriksaan MRI , kita mungkin akan diminta untuk
melakukan hal tertentu, seperti menekan pollex kearah lain,
menggosokkan kertas amplas, atau menjawab pertanyaan
sederhana

664
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Gambar healty splen dan splenomegaly

a. Healthy spleen b. splenomegaly

665
666
BAB IV
PENUTUP

Splenomegaly merupakan pembesaran splen yang bisa disebabkan oleh


berbagai kondisi, seperti infeksi, hepat disease, dan kanker. Splen
merupakan sebuah organ yang terletak pada abdominal superior sinistra.
Pembesaran splen dalam beberapa kasus tidak menimbulkan simtom
apa pun, tetapi pada kasus-kasus lainnya menimbulkan simtom seperti
abdominal superior sinistra pain yang dapat menyebar ke sinistra
shoulder. Penanganan splenomegaly adalah dengan mengatasi etiologi
yang mendasarinya. Sebagai contoh, untuk splenomegaly yang
disebabkan oleh infeksi bakteri, dokter akan meresepkan antibiotik.

667
BAB V
TERMINOLOGI

 Splenomegaly ( pembesaran pada limfa )

P=-
R= splen/o
S = megaly
 Splenectomy ( pengangkatan limfa )
P=-
R = spleen/o
S = ectomy

 Endocarditis ( peradangan bagian dalam jantung )


P = endo
R = cardi/o
S = it is

668
DAFTAR PUSTAKA

Chapman, Jennifer, et al. "Splenomegaly." StatPearls [Internet] (2020).


Ganong W F. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 20. Jakarta: EGC,
2002;hlm: 482.
Nabili, SN. Emedicinehealth (2017). Enlarged Spleen (Splenomegaly).
(https://www.emedicinehealth.com/enlarged_spleen_splenomegaly/symp
tom.htm)
Snell R S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jilid 6. Jakarta:
EGC, 2006; Hlm
Sudoyo A W. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. Jakarta: EGC, 2007;
Hlm:443-445.
Valerie C S, dkk. Essential of Anatomy and Physiology. Fifth Edition.
New York: Penerbit, 2007.
WebMD (2018). Enlarged Spleen: Causes, Symptomps, and Treatments.
(https://www.webmd.com/digestive-disorders/enlarged-spleen-causes-
symptoms-and-treatments)
Wint, C. Healthline. (2016) What Causes Enlarged Spleen?
(https://www.healthline.com/health/splenomegaly)

669

Anda mungkin juga menyukai