Anda di halaman 1dari 35

DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN .......................................................................................... 3


A. Latar belakang ......................................................................................................... 3
B. Tujuan penulisan ..................................................................................................... 4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Hemopoesis ............................................................................................................. 5
B. Eritrosit .................................................................................................................... 9
C. Hemoglobin ............................................................................................................. 10
D. Definisi .................................................................................................................... 12
E. Etiologi .................................................................................................................... 12
F. Klasifikasi ................................................................................................................ 15
G. Epidemiologi ........................................................................................................... 16
H. Patogenesis & Patofisiologi .................................................................................... 16
I. Gejala klinis & Hematologis ................................................................................... 20
J. Pemeriksaan penunjang ............................................................................................ 21
K. Diagnosis ................................................................................................................. 23
L. Penatalaksanaan ....................................................................................................... 25
M. Prognosis & Perjalanan penyakit ............................................................................ 30
BAB III. PENUTUP
Kesimpulan .................................................................................................................. 33
Daftar Pustaka .............................................................................................................. 35

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan YME atas kasih karuniaNya sehingga penulis
dapat menyelesaikan referat dengan judul Anemia Aplastik.

Kami mengucapkan terima kasih sebesar besarnya kepada pembimbing ,


dr Retno Murti Laila, Sp.A yang telah memberikan bimbingan nasihat serta
arahan selama proses pembelajaran selama di kapaniteraan klinik ilmu kesehatan
anak RSUD Embung Fatimah yang telah memberikan waktunya dalam
membimbing dan membantu semua pelaksanaan referat ini.

Penyusun menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu segala kritik dan saran yang membangun atas referat ini dengan senang
hati penyusun terima. Penyusun meminta maaf atas segala kekurangan yang
diperbuat dan semoga penyusun dapat membuat referat yang lebih baik di
kemudian hari.

Akhir kata penyusun berharap semoga referat ini dapat bermanfaat bagi
para pembaca.

Batam, 21 Juli
2017

Penyusun

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anemia aplastik merupakan gangguan hematopoisis yang ditandai oleh


penurunan produksi eritroid, mieloid, dan megakariosit dalam sumsum tulang
dengan akibat adanya pansitopenia pada darah tepi, serta tidak dijumpai adanya
keganasan sistem hematopoitik ataupun kanker metastatik yang menekan sumsum
tulang. Aplasia ini dapat terjadi hanya pada satu, dua atau ketiga sistem
hematopoisis. Aplasia yang hanya mengenai sistem eritropoitik disebut anemia
hipoplastik (eritroblastopenia), yang hanya mengenai sistem granulopoitik disebut
agranulositosis sedangkan yang hanya mengenai sistem megakariosit disebut
Purpura Trombositopenik Amegakariositik (PTA). Bila mengenai ketiga sistem
disebut panmieloptisis atau lazimnya disebut anemia aplastik. Menurut The
International Agranulocytosis and Aplastic Anemia Study (IAAS) disebut anemia
aplastik bila didapatkan hasil pemeriksaan kadar hemoglobin < 10 g/dl atau
hematokrit < 30; hitung trombosit < 50.000/mm3; hitung leukosit < 3.500/mm3
atau granulosit < 1.5x109/l.1

Anemia aplastik relatif jarang ditemukan namun berpotensi mengancam


jiwa. Penyakit ini ditandai oleh pansitopenia dan aplasia sumsum tulang.
Pansitopenia adalah keadaan defisiensi pada semua elemen sel darah (eritrosit,
leukosit dan trombosit). Terjadinya pansitopenia dikarenakan oleh menurunnya
produksi sumsum tulang atau dikarenakan meningkatnya destruksi perifer.2

Kejadian anemia aplastik pertama kali dilaporkan tahun 1888 oleh Ehrlich
pada seorang perempuan muda yang meninggal tidak lama setelah menderita
penyakit dengan gejala anemia berat, perdarahan dan hiperpireksia. Pemeriksaan
postmortem terhadap pasien tersebut menunjukkan sumsum tulang yang
hiposeluler (tidak aktif). Pada tahun 1904, Chauffard pertama kali menggunakan

3
nama anemia aplastik. Puluhan tahun berikutnya definisi anemia aplastik masih
belum berubah dan akhirnya tahun 1934 timbul kesepakatan pendapat bahwa
tanda khas penyakit ini adalah pansitopenia sesuai konsep Ehrlich. Pada tahun
1959, Wintrobe membatasi pemakaian nama anemia aplastik pada kasus
pansitopenia, hipoplasia berat atau aplasia sumsum tulang, tanpa adanya suatu
penyakit primer yang menginfiltrasi, mengganti atau menekan jaringan
hemopoietik sumsum tulang.2

B. Tujuan Penulisan

Penulisan referat berjudul Anemia Aplastik ini bertujuan untuk


menjelaskan definisi, patogenesis, gejala klinis, penegakan diagnosis, diagnosis
banding, penatalaksanaan dan prognosis mengenai Anemia Aplastik. Diharapkan
dalam penulisan referat ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi
pembaca, terutama bagi penderita Anemia Aplastik agar bisa memiliki harapan
hidup yang lebih baik dan lebih layak. Untuk kami sendiri dalam tugas
kepaniteraan diharapkan mampu mengaplikasikan pembelajaran ini di kehidupan
sebagai dokter terutama dokter umum.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Hemopoesis ( HEMATOPOESIS )

Hemopoesis adalah proses pembentukan darah. Tempat hemopesis pada


manusia berpindah-pindah sesuai dengan umur :

Yolk sac : umur 0-3 bulan intrauterine.


Hati dan lien : umur 3-6 bulan intrauterine.
Sum-sum tulang : umur 4 bulan intrauterine sampai dewasa.

Pada anak kurang dari 3 tahun, semua sumsum tulang dari sumsum tulang
berperan sebagai pembentuk sel darah. Sedangkan saat dewasa, sumsum
merah hanya mencakup tulang vertebra, iga, sternum, tengkorak, sakrum,
pelvis, ujung proksimal femur dan ujung proksimal humerus. Proses
hematopoiesis terjadi atas regulasi dari hematopoietic growth factor.
Hematopoietic growth factor ini memiliki peran dalam proses proliferasi,
diferensiasi, supresi apoptosis, maturasi, aktivasi fungsi saat terjadi
hematopoiesis.

Untuk kelangsungan hemopoesis di perlukan :

1. Sel induk hemopoetik ( hematopoietic stem cell )


Sel induk hemopoetik ialah sel-sel yang akan berkembang menjadi
sel-sel darah, termasuk sel darah merah ( eritrosit ), sel darah putih (
leukosit ), butir pembeku ( trombosit ), dan juga beberapa sel dalam
sumsum tulang seperti fibroblast . Sel induk yang paling primitif
disebut sebagai pluripotent ( totipotent ) stem cell. Sel induk
pluripotent mempunyai sifat :
a. Self renewal : kemampuan memperbarui diri sendiri sehingga tidak
akan pernah habis meskipun terus membelah;
b. Proliferatif : kemampuan membelah atau memperbanyak diri;

5
c. Diferensiatif : kemampuan untuk mematangkan diri menjadi sel-sel
dengan fungsi tertentu.
Menurut sifat kemampuan diferensiasinya maka sel induk
hemopoetik dapat dibagi menjadi :
a. Pluripotent ( totipotent ) stem cell : sel induk yang mempunyai
kemampuan untuk menurunkan seluruh jenis sel-sel darah.
b. Committed stem cell : sel induk yang mempunyai komitmen
untuk berdiferensiasi melalui salah satu garis turunan sel ( cell
line ). Sel induk yang termasuk golongan ini ialah sel induk
myeloid dan sel induk limfoid.
c. Oligopotent stem cell : sel induk yang dapat berdiferensiasi
menjadi hanya beberapa jenis sel. Misalnya, CFU-GM ( colony
forming unit-granulocymonocyte) yang dapat berkembang
hanya menjadi sel-sel granulosit dan sel-sel monosit.
d. Unipotent stem cell : sel induk yang hanya mampu
berkembang menjadi satu jenis saja. Contoh: CFU-E ( colony
forming unit-erythrocyte ) hanya dapat menjadi eritrosit, CFU-
G ( colony forming unit- dranulocyte ) hanya mampu
berkembang menjadi sel-sel granulosit.

Semula sel induk dianggap hanya berada dalam sumsum


tulang, setelah berdiferensiasi menjadi sel matang kemudian
dilepaskan ke darah tepi. Sekarang dapat dibuktikan bahwa sel
induk juga beredar dalam sirkulasi, tetapi tidak dideteksi dengan
teknik pengecatan konvensional. Keberadaan sel ini dalam darah
tepi dapat dibuktikan dengan teknik immunophenotyping. Sel
induk dalam darah tepi ini dapat dipisahkan dalam teknik
hemapheresis, kemudian dapat dicangkkokan pada orang lain.
Teknik ini disebut sebagai peripheral blood stem cell
transplantation.

2. Lingkungan mikro ( microenvironment ) sumsum tulang.

6
Lingkungan mikro sumsum tulang adalah substansi yang
memungkinkan sel induk tumbuh secara kondusif. Komponen
lingkungn mikro ini meliputi :
a. Mikrosrkulasi dalam sumsum tulang
b. Sel-sel stroma:
i. Sel endotil
ii. Sel lemak
iii. Fibroblast
iv. Makrofag
v. Sel reticulum ( blanket cell )
c. Matriks ekstraseluler: fibronektin, haemonektin, laminin, kolagen,
dan proteoglikan.
Lingkungan mikro sangat penting dalam hemopoesis karena
berfungsi untuk berikut :
a. Menyediakan nutrisi dan bahan hemopoesis yng dibawa oleh
peredaran darah mikro dalam sumsum tulang.
b. Komunikasi antar sel ( cell to cell communication ), terutama
ditentukan oleh adanya adhesion molecule.
c. Menghasilkan zat yang mengatur hempoesis : hematopoietic
growth factor, cytokine , dan lain-lain.
Jalinan semua komponen tersebut membentuk suatu
struktur yang sangat kompleks.
3. Bahan- bahan pembentuk darah
Bahan bahan yang diperlukan untuk pembentukan darah adalah :
a. Asam folat dan vitamin B12: merupakan bahan pokok pembentuk
inti sel.
b. Besi : sangat diperlukan dalam pembentukan hemoglobin .
c. Cobalt, magnesium, Cu, Cz
d. Asam amino
e. Vitamin lain : vitamin C, B kompleks, dan lain-lain.
4. Mekanisme regulasi

7
Mekanisme regulasi sangat penting untuk mengatur arah dan
kuantitas pertumbuhan sel dan pelepasan sel darah yang matang dari
sumsum tulang ke darah tepi sehingga susmum tulang dapat merespon
kebutuhan tubuh dengan tepat. Produksi komponen darah yang
berlebihan ataupun kekurangan ( defisiensi) sama-sama menimbulkan
penyakit. Zat-zat yang berpengaruh dalam mekanisme regulasi ini
adalah :
a. Faktor pertumbuhan hemopoesis ( hematopoietic growth factors ) :
- Granulocyte-macrophage colony stimulating factor ( GM-CSF)
- Granulocyte colony stimulating factor ( G-CSF )
- Macrophage-colony stimulating factor (M-CSF)
- Thrombopoietin
- Burst promoting activity (BPA )
- Stem cell factor ( kit ligand )
b. Sitokinin ( cytokine ) seperti misalnya: IL-3 (interleukin-3 ), IL-4,
IL-5, IL-7, IL-8, IL-9, IL-10, IL-11.
Growth factor dan sitokinin sebagian besar dibentuk oleh sel-
sel darah sendiri, seperti limfosit, monosit atau makrofag, serta
sebagian oleh sel-sel penunjang, seperti fibroblast dan endotil.
Sitokin ada yang merangsang pertumbuhan sel induk ( stimulatory
cytokine ), sebagian lagi menekan pertumbuhan sel induk (
inhibitory cytokine ) . keseimbangan kedua jenis sitokin ini sangat
menentukan proses hemapoesis normal.
c. Hormon hemopoetik spesifik.
Erythropoietin : hormone yang dibentuk diginjal khusus
merangsang pertumbuhan prekorsur eritroid.

Dalam regulasi hemopoesis normal terdapat feed back mechanism.


Suatu mekanisme umpan balik yang dapat merangsang hemopoesis jika
tubuh kekurangan komponen darah (positive loop) atau menekan
hemopoesis jika tubuh kelebihan komponen darah tertentu (negative loop).

8
B. Eritrosit
Setiap orang memproduksi sekitar 1012 eritrosit baru setiap hari melalui
proses eritropiesis yang kompleks dan teratur dengan baik. Eritropiesis
berjalan dari sel induk melalui sel progenitor CFUGEMM (Colony-forming unit
granulocyte, erythroid, monocyte and megakaryocyte/unit pembentuk koloni
granulosit, eritroid, monosit, dan megakariosit), BFUE (burst-forming unit
erythroid/unir pembentuk letusan eritroid), dan CFU eritroid (CFUE) menjadi
prekursor eritrosit yang dapat dikenali pertama kali di sumsum tulang, yaitu
pronormoblas.
Pronormoblas adalah sel besar dengan sitoplasma biru tua, inti di tengah
dan nukleoli, serta kromatin yang sedikit menggumpal. Pronormoblas
menyebabkan terbentuknya suatu rangkaian normoblas yang makin kecil
melalui sejumlah pembelahan sel. Normoblas ini juga mengandung
hemoglobin yang makin banyak (berwarna merah muda) dalam sitoplasma;
warna sitoplasma makin biru pucat sejalan dengan hilangnya RNA dan
apparatus yang mensintesis protein, sedangkan kromatin inti menjadi makin
padat. Inti akhirnya dikeluarkan dari normoblas lanjut di dalam sumsum
tulang dan menghasilkan stadium retikulosit yang masih mengandung sedikit
RNA ribosom dan masih mampu mensintesis hemoglobin. Sel ini sedikit lebih
besar daripada eritrosit matur, berada selama 1-2 hari dalam sumsum tulang
dan juga beredar di darah tepi selama 1-2 hari sebelum menjadi matur,
terutama berada di limpa, saat RNA hilang seluruhnya.
Eritrosit matur berwarna merah muda seluruhnya, dan berbentuk cakram
bikonkaf tak berinti. Satu pronormoblas biasanya menghasilkan 16 eritrosit
matur. Sel darah merah berinti (normoblas) tampak dalam darah bila
eritropoiesis terjadi di luar sumsum tulang (eritropiesis ektramedular) dan juga
terdapat pada beberapa penyakit sumsum tulang. Normoblas tidak ditemukan
dalam darah tepi manusia.

ERITROPOIETIN

9
Eritropoesis diatur oleh hormon eritropoietin. Normalnya, 90%
hormon ini dihasilkan di sel interstisial peritubular ginjal dan 10%-nya di
hati dan tempat lain. Tidak ada cadangan yang sudah dibentuk
sebelumnya, dan stimulus untuk pembentukan eritropietin adalah tekanan
O2dalam jaringan ginjal. Karena itu, produksi eritropoietin meningkat pada
anemia. Penyebab metabolik atau struktural juga dapat membuat
hemoglobin tidak dapat melepaskan O2 secara normal, karena O2 rendah
atau gangguan fungsi jantung atau paru atau kerusakan sirkulasi ginjal
mempengaruhi pengiriman O2 ke ginjal.
Eritropietin merangsang eritropiesis dengan meningkatkan jumlah
sel progenitor yang terikat untuk eritropoiesis. BFUE dan CFUE lanjut
yang mempunyai reseptor eritropoietin terangsang untuk berproliferasi,
berdiferensiasi, dan menghasilkan hemoglobin.

ERITROSIT
Eritrosit adalah sel darah merah berbentuk lempeng bikonkaf,yang
merupakan sel gepeng berbentuk piringan yang dibagian tengah dikedua
sisinya mencekung,seperti sebuah donat dengan bagian tengah mengepeng
bukan berlubang. dengan diameter 8 m, tepi luar tebalnya 2 m dan
bagian tengah 1 m. Perjalanan secara keseluruhan selama masa hidupnya
yang 120 hari diperkirakan sepanjang 480 km. Untuk memenuhi fungsi
ini, eritrosit berbentuk cakram bikonkaf. Membran eritrosit terdiri atas
lipid dua lapis (lipid bilayer), protein membran integral, dan suatu rangka
membran. Sekitar 50% membran adalah protein, 40% lemak, dan 10%
karbohidrat. Karbohidrat hanya terdapat pada permukaan luar sedangkan
protein dapat di perifer atau integral, menembus lipid dua lapis.

C. Hemoglobin
Fungsi utama eritrosit adalah membawa O2 ke jaringan dan
mengembalikan karbondioksida dari jaringan ke paru. Untuk mencapai
pertukaran gas ini, eritrosit mengandung protein khusus, yaitu hemoglobin.

10
Tiap eritrosit mengandung skeitar 640 juta molekul hemoglobin. Tiap molekul
hemoglobin (Hb) A pada orang dewasa normal (hemoglobin yang dominan
dalam darah setelah usia 3-6 bulan) terdiri atas empat rantai polipeptida 22.
Sintesis heme terutama terjadi di mitokondria melalui suatu rangkaian
reaksi biokimia yang bermula dengan kondensasi glisin dan suksinil koenzim
A oleh kerja enzim kunci yang bersifat membatasi kecepatan reaksi, yaitu
asam -aminolevulinat (ALA) sintase. Piridoksal fosfat (vitamin B6) adalah
suatu koenzim untuk reaksi ini, yang dirangsang oleh eritropoietin. Akhirnya,
protoporfirin bergabung dengan besi dalam bentuk ferro (Fe2+) untuk
membentuk heme, masing-masing molekul heme bergabung dengan satu
rantai globin yang dibuat pada poliribosom. Suatu tetramer yang terdiri dari
empat rantai globin masing-masing dengan gugus hemenya sendiri dalam
suatu kantung, kemudian dibentuk untuk menyusun satu molekul hemoglobin.

Fungsi Hemoglobin :
Hemoglobin yang terikat dalam eritrosit dalam darah arteri
sistemik mengangkut O2 dari paru ke jaringan dan kembali dalam darah
vena dengan membawa karbondioksida ke paru.
Normal Hemoglobin :
- Male : 13,5-17,5 g/dl
- Female : 11,5-25,5 g/dl
Anemia :
Menurut WHO (1992) anemia adalah salah satu keadaan dimana
kadar hemoglobin lebih rendah dari batas normal untuk kelompok orang
yang bersangkutan.

Secara klinis kriteria anemia di Indonesia umumnya adalah :

1. Hemoglobin < 10 g/dl


2. Hematokrit < 30 %
3. Eritrosit < 2,8juta/mm3

11
Kriteria anemia menurut WHO adalah :

1. Laki-laki dewasa : Hb < 13 g/dl


2. Wanita dewasa tidak hamil : Hb < 12 g/dl
3. Wanita hamil : Hb < 11 g/dl
4. Anak umur 6-14 tahun : Hb < 12 g/dl
5. Anak umur 6bulan 6 tahun : Hb < 11 g/dl

Derajat anemia berdasarkan kadar hemoglobin menurut WHO


adalah :

1. Ringan sekali : Hb 10 g/dl-batas normal


2. Ringan : Hb 8 g/dl-9,9 g/dl
3. Sedang : Hb 6 g/dl-7,9 g/dl
4. Berat : Hb < 6 g/dl

D. Definisi

Anemia aplastik merupakan jenis anemia yang ditandai dengan kegagalan


sumsum tulang dengan penurunan selsel hematopoietik dan penggantiannya oleh
lemak, menyebabkan anemia, dan sering disertai dengan granulositopenia dan
trombositopenia. Terjadinya anemia aplastik dapat dikarenakan faktor herediter
(genetik), faktor sekunder oleh berbagai sebab seperti toksisitas, radiasi atau
reaksi imunologik pada sel sel induk sumsum tulang, berhubungan dengan
beragam penyakit penyerta, atau faktor idiopatik.1

E. Etiologi

Secara etiologik penyakit anemia aplastik ini dapat dibagi menjadi 2 golongan
besar, yaitu:1

1. Anemia aplastik herediter atau anemia aplastik yang diturunkan


merupakan faktor kongenital yang ditimbulkan sindrom kegagalan
sumsum tulang herediter antara lain : sindroma Fanconi (anemia Fanconi)

12
yang biasanya disertai dengan kelainan bawaan lain seperti mikrosefali,
strabismus, anomali jari, dan kelainan ginjal; diskeratosis kongenital;
sindrom Shwachman-Diamond; dan trombositopenia amegakaryositik.
Kelainan kelainan ini sangat jarang ditemukan dan juga jarang berespons
terhadap terapi imunosupresif.
Anemia Fanconi Kegagalan sumsum tulang herediter biasanya muncul
pada usia sepuluh tahun pertama dan kerap disertai anomali fisik (tubuh
pendek, kelainan lengan, hipogonadisme, bintik-bintik caf-au-lait pada
anemia Fanconi (sindroma Fanconi)). Beberapa pasien mungkin
mempunyai riwayat keluarga dengan sitopenia. Dalam kelompok ini,
anemia Fanconi (sindroma Fanconi) adalah penyakit yang paling sering
ditemukan. Anemia Fanconi (sindroma Fanconi) merupakan kelainan
autosomal resesif yang ditandai oleh defek pada DNA repair dan memiliki
predisposisi ke arah leukemia dan tumor padat. Pada pasien anemia
Fanconi (sindroma Fanconi) akan ditemukan gangguan resesif langka
dengan prognosis buruk yang ditandai dengan pansitopenia, hipoplasia
sumsum tulang, dan perubahan warna kulit yang berbercak bercak coklat
akibat deposisi melanin (bintik bintik caf-au-lait).1,2 Anemia Fanconi
biasanya disertai dengan kelainan bawaan lain seperti mikrosefali,
strabismus, anomali jari, dan kelainan ginjal. Salah satu gejala yang khas
adanya fasies anemia fanconi, yang ditandai dengan mikrosefali, lipatan
epikantus, dan juga abnormalitas bentuk, ukuran, dan letak telinga.3
Diskeratosis kongenital adalah sindrom kegagalan sumsum tulang
diwariskan secara klasik yang muncul dengan triad pigmentasi kulit
abnormal berupa pigmentasi kulit pada tubuh bagian atas, distrofi kuku,
dan leukoplakia mukosa. Kelainan ini memiliki heterogenitas dan
manifestasi klinik yang beragam. Terdapat bentuk bentuk X-linked
recessive, autosomal dominan, dan autosomal resesif. Bentuk X-linked
recessive diakibatkan oleh mutasi pada gen DKC1, yang menghasilkan
protein dyskerin, yang penting untuk stabilisasi telomerase. Gangguan
telomerase menyebabkan terjadinya pemendekan telomer lebih cepat,

13
kegagalan sumsum tulang, dan penuaan dini (premature aging).
Diskeratosis kongenital autosomal dominan disebabkan oleh mutasi gen
TERC (yang menyandi komponen RNA telomerase) yang pada akhirnya
mengganggu aktivitas telomerase dan pemendekan telomer abnormal.
Sejumlah kecil pasien (kurang dari 5%) yang dicurigai menderita anemia
aplastik memiliki mutasi TERC.1-3
2. Anemia aplastik didapat
Timbulnya anemia aplastik didapat pada seorang anak dapat dikarenakan
oleh :
- Penggunaan obat, anemia aplastik terkait obat terjadi karena
hipersensitivitas atau penggunaan dosis obat yang berlebihan. Obat
yang paling banyak menyebabkan anemia aplastik adalah
kloramfenikol. Obat obatan lain yang juga sering dilaporkan adalah
fenilbutazon, senyawa sulfur, anti-rematik, anti-tiroid, preparat emas
dan antikonvulsan, obat obatan sitotoksik seperti mileran atau
nitrosourea1.
- Senyawa kimia berupa benzene yang paling terkenal dapat
menyebabkan anemia aplastik. Dan juga insektisida (organofosfat).1,4
- Penyakit infeksi yang bisa menyebabkan anemia aplastik sementara
atau permanen, yakni virus Epstein-Barr, virus Haemophillus influenza
A, tuberkulosis milier, Cytomegalovirus (CMV) yang dapat menekan
produksi sel sumsum tulang melalui gangguan pada sel sel stroma
sumsum tulang, Human Immunodeficiency virus (HIV) yang
berkembang menjadi Acquired Immuno-Deficiency Syndrome (AIDS),
virus hepatitis non-A, non-B dan non-C, infeksi parvovirus.4
Infeksi parvovirus B19 dapat menimbulkan Transient Aplastic Crisis.
Keadaan ini biasanya ditemukan pada pasien dengan kelainan
hemolitik yang disebabkan oleh berbagai hal. Pemeriksaan dengan
mikroskop elektron akan ditemukan virus dalam eritroblas dan dengan
pemeriksaan serologi akan dijumpai antibodi virus ini. DNA

14
parvovirus dapat mempengaruhi progenitor eritroid dengan
mengganggu replikasi dan pematangannya.
- Terapi radiasi dengan radioaktif dan pemakaian sinar Rontgen.
- Adanya Paroksismal Nokturnal Hemoglobinuria (PNH) ternyata
berhubungan dengan kejadian anemia aplastik. Pada PNH, terjadi
mutasi pada gen PIG-A di kromosom X yang menghentikan sintesis
struktur glikosilfosfatatidilinositol yang mempengaruhi protein yang
dimana pada defisiensi protein ini menyebabkan hemolisis
intravaskular. Defisiensi protein akibat mutasi PGI-A ini berpengaruh
tidak hanya pada sel darah merah, tetapi juga granulosit, dan
trombosit. Penghancuran ini lama-lama berpengaruh kepada
pembentukan sel darah di sumsum tulang, yang mengarah kepada
kegagalan sumsum tulang.2,5

Jika pada seorang pasien tidak diketahui penyebab anemia aplastiknya,


maka pasien tersebut akan digolongkan ke dalam kelompok anemia aplastik
idiopatik. 1,2

F. Klasifikasi

Berdasarkan derajat pansitopenia darah tepi, anemia aplastik didapat


diklasifikasikan menjadi tidak berat, berat atau sangat berat. Risiko morbiditas
dan mortalitas lebih berkorelasi dengan derajat keparahan sitopenia daripada
selularitas sumsum tulang. Angka kematian setelah dua tahun dengan perawatan
suportif saja untuk pasien anemia aplastik berat atau sangat berat mencapai 80%
dengan infeksi jamur dan sepsis bakterial merupakan penyebab kematian utama.
Anemia aplastik tidak berat jarang mengancam jiwa dan sebagian besar tidak
membutuhkan terapi.2

15
Klasifikasi Anemia Aplastik
Klasifikasi Kriteria
Anemia Aplastik Berat
Selularitas sumsum tulang < 25%
Sitopenia sedikitnya dua dari Hitung neutrofil < 500/l
tiga seri sel darah Hitung trombosit < 20.000/l
Hitung retikulosit absolut <
60.000/l
Anemia Aplastik Sangat Berat Sama seperti diatas kecuali hitung
neutrofil < 200/l
Anemia Aplastik Tidak Berat Sumsum tulang hiposelular namun
sitopenia tidak memenuhi kriteria
berat
Hitung neutrofil 500-1500/l
Hitung trombosit 20.000-
1000/l
Hitung retikulosit absolut <
60.000/l
2

G. Epidemiologi

Ditemukan lebih dari 70% anak anak menderita anemia aplastik derajat
berat pada saat didiagnosis. Tidak ada perbedaan secara bermakna antara anak
laki laki dan perempuan, namun dalam beberapa penelitian tampak insidens
pada anak laki laki lebih banyak dibandingkan anak perempuan. Penyakit ini
termasuk penyakit yang jarang dijumpai di negara barat dengan insiden 1 3 / 1
juta / tahun. Namun di Negara Timur seperti Thailand, negara Asia lainnya
termasuk Indonesia, Taiwan dan Cina, insidensnya jauh lebih tinggi. Penelitian
pada tahun 1991 di Bangkok didapatkan insidens 3.7/1 juta/tahun. Perbedaan
insiden ini diperkirakan oleh karena adanya faktor lingkungan seperti pemakaian
obat obat yang tidak pada tempatnya, pemakaian pestisida serta insidens virus
hepatitis yang lebih tinggi.1

H. Patogenesis dan Patofisiologi

Di akhir tahun 1960-an, Math et al memunculkan teori baru berdasarkan


kelainan autoimun setelah melakukan transplantasi sumsum tulang kepada pasien

16
anemia aplastik. Keberhasilan transplantasi sumsum tulang untuk menyembuhkan
anemia aplastik memperlihatkan adanya kondisi defisiensi sel induk asal (stem
cell).2

Adanya reaksi autoimunitas pada anemia aplastik juga dibuktikan oleh


percobaan in vitro yang memperlihatkan bahwa limfosit dapat menghambat
pembentukan koloni hemopoietik alogenik dan autologus. Setelah itu, diketahui
bahwa limfosit T sitotoksik memerantarai destruksi sel sel asal hemopoietik
pada kelainan ini. Sel sel T efektor tampak lebih jelas di sumsum tulang
dibandingkan dengan darah tepi pasien anemia aplastik. Sel sel tersebut
menghasilkan interferon- dan TNF- yang merupakan inhibitor langsung
hemopoiesis dan meningkatkan ekspresi Fas pada sel sel CD34+. Klon sel sel
imortal yang positif CD4 dan CD8 dari pasien anemia aplastik juga mensekresi
sitokin T-helper-1 (Th1) yang bersifat toksik langsung ke sel sel CD34+ positif
autologus.2

Sebagian besar anemia aplastik didapat secara patofisiologis ditandai oleh


destruksi spesifik yang diperantarai sel T ini. Pada seorang pasien, kelainan
respons imun tersebut kadang kadang dapat dikaitkan dengan infeksi virus atau
pajanan obat tertentu atau zat kimia tertentu. Sangat sedikit bukti adanya
mekanisme lain, seperti toksisitas langsung pada sel asal atau defisiensi fungsi
faktor pertumbuhan hematopoietik. Dan derajat destruksi sel asal dapat
menjelaskan variasi perjalanan klinis secara kuantitatif dan variasi kualitatif
respons imun dapat menerangkan respons terhadap terapi imunosupresif. Respons
terhadap terapi imunosupresif menunjukkan adanya mekanisme imun yang
bertanggung jawab atas kegagalan hematopoietik. 2

Kegagalan Hematopoietik

Kegagalan produksi sel darah berkaitan erat dengan kosongnya sumsum


tulang yang tampak jelas pada pemeriksaan apusan aspirat sumsum tulang atau
spesimen core biopsy sumsum tulang. Hasil pencitraan dengan magnetic
resonance imaging (MRI) vertebra memperlihatkan digantinya sumsum tulang

17
oleh jaringan lemak yang merata. Secara kuantitatif, sel sel hematopoietik yang
imatur dapat dihitung dengan flow cytometry. Sel sel tersebut mengekspresikan
protein cytoadhesive yang disebut CD34+. Pada pemeriksaan flow cytometry,
antigen sel CD34+ dideteksi secara fluoresens satu per satu, sehingga jumlah sel
sel CD34+ dapat dihitung dengan tepat. Pada anemia aplastik, sel sel CD34+ juga
hampir tidak ada yang berarti bahwa sel sel induk pembentuk koloni eritroid,
myeloid, dan megakaryositik sangat kurang jumlahnya. Assay lain untuk sel sel
hematopoietik yang sangat primitif dan tenang (quiescent) yang sangat mirip
jika tidak dapat dikatakan identik dengan sel sel asal, juga memperlihatkan
adanya penurunan jumlah sel. Pasien yang mengalami pansitopenia mungkin telah
mengalami penurunan populasi sel asal dan sel induk sampai sekitar 1% atau
kurang. Defisiensi berat ini mempunyai konsekuensi kualitatif yang dicerminkan
oleh pemendekan telomer granulosit pada pasien anemia aplastik. 2

Destruksi Imun

Banyak data pemeriksaan laboratorium yang menyokong hipotesis bahwa


pada pasien anemia aplastik didapat, limfosit bertanggung jawab atas destruksi
kompartemen sel hematopoietik. Eksperimen awal memperlihatkan bahwa
limfosit pasien menekan hematopoiesis. Sel sel ini memproduksi faktor
penghambat yang akhirnya diketahui adalah interferon-. Adanya aktivasi respons
sel T-helper-1 (Th1) disimpulkan dari sifat imunofenotipik sel T dan produksi
interferon, tumor necrosis factor (TNF), dan interleukin-2 (IL2) yang berlebihan.
Deteksi interferon- intraselular pada sampel pasien secara flow cytometry
mungkin berkorelasi dengan respons terapi imunosupresif dan dapat memprediksi
relaps. 2

Pada anemia aplastik, sel sel CD34+ dan sel sel induk (progenitor)
hemopoietik sangat sedikit jumlahnya. Namun, meskipun defisiensi myeloid
(granulositik, eritroid dan megakariositik) bersifat universal pada kelainan ini,
defisiensi imunologik tidak lazim terjadi. Hitung limfosit umumnya normal pada
hampir semua kasus, demikian pula fungsi sel B dan sel T. Dan pemulihan

18
hemopoiesis yang normal dapat terjadi dengan terapi imunosupresif yang efektif.
Oleh karena itu, sel sel asal hemopoietik akan tampak masih ada pada sebagian
pasien anemia aplastik. 2

Perubahan imunitas menyebabkan destruksi, khususnya kematian sel


CD34+ yang diperantarai ligan Fas, dan aktivasi alur intraselular yang
menyebabkan penghentian siklus sel (cell-cycle arrest). Sel sel T dalam tubuh
pasien membunuh sel sel asal hemopoietik dengan aktivasi HLA-DR-restricted
melalui ligan Fas. Sel sel asal hemopoietik yang paling primitif tidak atau
sedikit mengekspresikan HLA-DR atau Fas, dan ekspresi keduanya meningkat
sesuai pematangan sel sel asal. Oleh karena itu, sel sel asal hemopoietik
primitif, yang normalnya berjumlah kurang dari 10% sel sel CD34+ total, relatif
tidak terganggu oleh sel sel T autoreaktif; dan di lain pihak, sel sel asal
hemopoietik yang lebih matur dapat menjadi target utama serangan sel sel imun.
Sel sel asal hemopoietik primitif yang selamat dari serangan autoimun
memungkinkan pemulihan hemopoietik perlahan lahan yang terjadi pada pasien
anemia aplastik setelah terapi imunosupresif.2

Gambar 2.5.1 Destruksi Imun Pada Sel Hematopoietik2

19
I. Gejala Klinis dan Hematologis

Gejala yang muncul berdasarkan gambaran sumsum tulang yang berupa:


Aplasia sistem eritropoitik, granulopoitik dan trombopoitik
Aktivitas relatif sistem limfopoitik dan sistem retikulo endothelial
(SRE)
Aplasia sistem eritropoitik dalam darah tepi akan terlihat sebagai
retikulositopenia yang disertai dengan merendahnya kadar hemoglobin,
hematokrit dan hitung eritrosit serta MCV (Mean Corpuscular Volume). Secara
klinis pasien tampak pucat dengan berbagai gejala anemia lainnya seperti
anoreksia, lemah, palpitasi, sesak karena gagal jantung dan sebagainya. Oleh
karena sifatnya aplasia sistem hematopoitik, maka umumnya tidak ditemukan
ikterus, pembesaran limpa (splenomegali), hepar (hepatomegali) maupun kelenjar
getah bening (limfadenopati).1

Pemeriksaan Fisik pada Pasien Anemia Aplastik (N=70) (Salonder, 1983)


Jenis Pemeriksaan Fisik %
Pucat 100
Perdarahan 63
Kulit 34
Gusi 26
Retina 20
Hidung 7
Saluran cerna 6
Vagina 3
Demam 16
Hepatomegali 7
Splenomegali 0

Pada hasil pemeriksaan fisik pada pasien anemia aplastik sangat bervariasi
dan pada hasil penelitian Salonder tahun 1983 ditemukan pucat pada semua
pasien yang diteliti sedangkan perdarahan ditemukan pada lebih dari setengah
jumlah pasien. Hematomegali yang disebabkan oleh bermacam macam hal
ditemukan pada sebagian kecil pasien sedangkan splenomegali tidak ditemukan.

20
Adanya splenomegali dan limfadenopati akan meragukan diagnosis anemia
aplastik.2

J. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium

Apusan Darah Tepi


Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan.
Jenis anemianya adalah normokrom normositer. Terkadang ditemukan
makrositosis, anisositosis, dan poikilositosis. Adanya eritrosit muda
atau leukosit muda dalam darah tepi menandakan bukan anemia
aplastik. Granulosit dan trombosit ditemukan rendah. Limfositosis
relatif terdapat pada lebih dari 75% kasus.
Presentase retikulosit umumnya normal atau rendah. Pada sebagian
kecil kasus, persentase retikulosit ditemukan lebih dari 2%. Akan
tetapi, bila nilai ini dikoreksi terhadap beratnya anemia (corrected
reticulocyte count) maka diperoleh persentase retikulosit normal atau
rendah juga. Adanya retikulositosis setelah dikoreksi menandakan
bukan anemia aplastik.2
Faal Hemostasis
Pada pasien anemia aplastik akan ditemukan waktu perdarahan
memanjang dan retraksi bekuan yang buruk dikarenakan
trombositopenia. Hasil faal hemostasis lainnya normal.2
Biopsi Sumsum Tulang
Seringkali pada pasien anemia aplastik dilakukan tindakan aspirasi
sumsum tulang berulang dikarenakan teraspirasinya sarang sarang
hemopoiesis hiperaktif. Diharuskan melakukan biopsi sumsum tulang
pada setiap kasus tersangka anemia aplastik. Dari hasil pemeriksaan
sumsum tulang ini akan didapatkan kesesuaian dengan kriteria
diagnosis anemia aplastik.2

21
Gambar 2.7.1 Sumsum Tulang Normal dan Aplastik3

Pemeriksaan Virologi
Adanya kemungkinan anemia aplastik akibat faktor didapat, maka
pemeriksaan virologi perlu dilakukan untuk menemukan penyebabnya.
Evaluasi diagnosis anemia aplastik meliputi pemeriksaan virus
hepatitis, HIV, parvovirus, dan sitomegalovirus.2
Tes Ham atau Tes Hemolisis Sukrosa
Jenis tes ini perlu dilakukan untuk mengetahui adanya PNH
sebagai penyebab terjadinya anemia aplastik.2 Sebagai pengganti,
mulai dilakukan pemeriksaan flow cytometry.2,5
Pemeriksaan Kromosom
Pada pasien anemia aplastik tidak ditemukan kelainan kromosom.
Pemeriksaan sitogenetik dengan fluorescence in situ hybridization
(FISH) dan imunofenotipik dengan flow cytometry diperlukan untuk
menyingkirkan diagnosis banding, seperti myelodisplasia hiposeluler.2
Pemeriksaan Defisiensi Imun
Adanya defisiensi imun dalam tubuh pasien anemia aplastik dapat
diketahui melalui penentuan titer immunoglobulin dan pemeriksaan
imunitas sel T.2
Pemeriksaan yang Lain

22
Pemeriksaan darah tambahan berupa pemeriksaan kadar
hemoglobin fetus (HbF) dan kadar eritropoetin yang cenderung
meningkat pada anemia aplastik anak.2

2. Pemeriksaan Radiologis

Nuclear Magnetic Resonance Imaging


Jenis pemeriksaan penunjang ini merupakan cara terbaik untuk
mengetahui luasnya perlemakan karena dapat membuat pemisahan
tegas antara daerah sumsum tulang berlemak akibat anemia aplastik
dan sumsum tulang selular normal.2
Radionuclide Bone Marrow Imaging (Bone Marrow Scanning)
Luasnya kelainan sumsum tulang dapat ditentukan oleh scanning
tubuh setelah disuntuk dengan koloid radioaktif technetium sulfur yang
akan terikat pada makrofag sumsum tulang atau iodium chloride yang
akan terikat pada transferin. Dengan bantuan pemindaian sumsum
tulang dapat ditentukan daerah hemopoiesis aktif untuk memperoleh
sel sel guna pemeriksaan sitogenetik atau kultur sel-sel induk.2

K. Diagnosis

1. Penegakan Diagnosis dan Manifestasi Klinis

Penegakan diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis berupa panas, pucat,


perdarahan, tanpa adanya organomegali (hepato splenomegali). Gambaran darah
tepi menunjukkan pansitopenia dan limfositosis relatif. Diagnosis pasti ditentukan
dengan pemeriksaan biopsi sumsum tulang yaitu gambaran sel sangat kurang,
banyak jaringan penyokong dan jaringan lemak; aplasia sistem eritropoitik,
granulopoitik dan trombopoitik. Di antara sel sumsum tulang yang sedikit ini
banyak ditemukan limfosit, sel SRE (sel plasma, fibrosit, osteoklas, sel endotel).
Hendaknya dibedakan antara sediaan sumsum tulang yang aplastik dan yang
tercampur darah.1

23
Anemia aplastik dapat muncul tiba tiba dalam hitungan hari atau secara
perlahan (berminggu minggu hingga berbulan bulan). Hitung jenis darah akan
menentukan manifestasi klinis. Anemia menyebabkan kelelahan, dispnea dan
jantung berdebar debar. Trombositopenia menyebabkan pasien mudah
mengalami memar dan perdarahan mukosa. Neutropenia meningkatkan
kerentanan terhadap infeksi. Pasien juga mungkin mengeluh sakit kepala dan
demam.2

Penegakan diagnosis memerlukan pemeriksaan darah lengkap dengan


hitung jenis leukosit, hitung retikulosit, dan aspirasi serta biopsi sumsum tulang.
Pemeriksaan flow cytometry darah tepi dapat menyingkirkan hemoglobinuria
nokturnal paroksismal, dan karyotyping sumsum tulang dapat membantu
menyingkirkan sindrom myelodisplastik. Adanya riwayat keluarga sitopenia dapat
meningkatkan kecurigaan adanya kelainan diwariskan walaupun tidak ada
kelainan fisik yang tampak.2

Anemia aplastik mungkin bersifat asimptomatik dan ditemukan saat


pemeriksaan rutin. Keluhan keluhan pasien anemia aplastik sangat bervariasi.
Perdarahan, badan lemah dan pusing merupakan keluhan keluhan yang paling
sering ditemukan.2

Keluhan Pasien Anemia Aplastik (N=70) (Salonder, 1983)


Jenis Keluhan %
Perdarahan 83
Badan lemah 30
Pusing 69
Jantung berdebar 36
Demam 33
Nafsu makan berkurang 29
Pucat 26
Sesak nafas 23
Penglihatan kabur 19
Telinga berdengung 13

24
2. Diagnosis Banding1

1. Leukemia akut jenis aleukemik, terutama Leukemia Limfoblastik Akut


(LLA) dengan jumlah leukosit yang kurang dari 6000/mm3. Kecuali pada
stadium dini, biasanya pada LLA ditemukan splenomegali. Pemeriksaan
darah tepi sukar dibedakan, karena kedua penyakit mempunyai gambaran
yang serupa (pansitopenia dan relatif limfositosis) kecuali bila terdapat sel
blas dan limfositosis yang dari 90%, diagnosis lebih cenderung pada
LLA.1 Peningkatan LDH juga kadang bisa menjadi tanda terjadinya LLA.
2. Stadium praleukemik dari leukemia akut.
Keadaan ini sukar dibedakan baik gambaran klinis, darah tepi maupun
sumsum tulang, karena masih menunjukkan gabaran sitopenia dari ketiga
sistem hematopoietik. Biasanya setelah beberapa bulan kemudian baru
terlihat gambaran khas LLA.
3. Purpura Trombositopenik Idiopatik (PTI). Pemeriksaan darah tepi dari
kedua kelainan ini hanya menunjukkan trombositopenia tanpa
retikulositopenia atau granulositopenia/leukopenia. Pemeriksaan sumsum
tulang dari PTI menunjukkan gambaran yang normal atau ada peningkatan
megakariosit.

L. Penatalaksanaan

1
Terapi Suportif

Adanya terapi suportif bertujuan untuk mencegah dan mengobati


terjadinya infeksi dan perdarahan. Terapi suportif yang diberikan untuk pasien
anemia aplastik, antara lain:

- Pengobatan terhadap infeksi


a. Untuk menghindarkan pasien dari infeksi, sebaiknya pasien dirawat
dalam ruangan isolasi yang bersifat suci hama. Pemberian obat
antibiotika hendaknya dipilih yang tidak memiliki efek samping
mendepresi sumsum tulang, seperti kloramfenikol.

25
b. Untuk mengatasi infeksi antara lain :
- Menjaga higiene mulut dengan mengedukasi pasien agar
menyikat gigi secara teratur setiap hari dan membersihkan sisa-
sisa makanan yang berada pada seluruh permukaan gigi dengan
menggunakan sikat gigi ataupun dental floss. Pasien juga
diedukasi untuk membersihkan caries pada gigi secara
rutin.11,12
Identifikasi sumber infeksi serta pemberian antibiotik yang tepat dan
adekuat. Sebelum ada hasil biakan berikan antibiotik berspektrum luas
yang dapat mengatasi kuman gram positif dan negatif. Biasanya
dipakai derivat penisilin semisintetik (ampisilin) dan gentamisin.
Sekarang lebih sering dipakai sefalosporin generasi ketiga. Jika hasil
biakan sudah datang, sesuaikan antibiotik dengan hasil tes kepekaan.
Jika dalam 5-7 hari panas tidak turun, pikirkan infeksi jamur, dapat
diberikan amphoterisin-B atau flukonasol parenteral
- Transfusi darah
Gunakan komponen darah bila harus melakukan transfusi darah.
Hendaknya harus diketahui bahwa tidak ada manfaatnya
mempertahankan kadar hemoglobin yang tinggi, karena dengan
transfusi darah yang terlampau sering, akan timbul depresi terhadap
sumsum tulang atau dapat menyebabkan timbulnya reaksi
hemolitik (reaksi transfusi), akibat dibentuknya antibodi terhadap
eritrosit, leukosit dan trombosit. Oleh karena itu, transfusi darah
diberikan atas indikasi tertentu. Pada keadaan yang sangat gawat,
seperti perdarahan masif, perdarahan otak, perdarahan saluran
cerna dan lain sebagainya, dapat diberikan suspensi trombosit.
Berikan transfusi Packed Red Cell (PRC) jika hemoglobin <7 g/dl
atau ada tanda payah jantung atau anemia yang sangat simtomatik.
Koreksi sampai Hb 9-10% tidak perlu sampai Hb normal karena
akan menekan hematopoesis internal.7
Usaha untuk mengatasi perdarahan :

26
Berikan transfusi konsentrat trombosit jika terdapat perdarahan
mayor atau trombosit <20.000/mm3. Pemberian trombosit berulang
dapat menurunkan efektivitas trombosit karena timbulnya antibodi
antitrombosit. Kortikosteroid dapat mengurangi perdarahan kulit.
- Menghentikan semua obat-obat atau penggunaan agen kimia yang
diduga menjadi penyebab anemia aplastik.

Transplantasi sumsum tulang

Metode transplantasi sumsum tulang ditetapkan sebagai terapi terbaik pada


pasien anemia aplastik sejak tahun 1970. Donor sumsum tulang terbaik berasal
dari saudara sekandung dengan Human Leucocyte Antigen (HLA) yang cocok.2
Transplantasi sumsum tulang merupakan pilihan utama pada pasien anemia
aplastik berat berusia muda yang memiliki saudara dengan kecocokan HLA. Akan
tetapi, transplantasi sumsum tulang allogenik tersedia hanya pada sebagan kecil
pasien (hanya sekitar 30% pasien yang mempunyai saudara dengan kecocokan
HLA). Batas usia untuk transplantasi sumsum tulang sebagai terapi primer belum
dipastikan, namun pasien yang berusia 35-35 tahun lebih baik bila mendapatkan
terapi imunosupresif karena makin meningkatnya umur, makin meningkat pula
kejadian dan beratnya reaksi penolakan sumsum tulang donor (Graft Versus Host
Disesase/GVHD). Pasien dengan usia > 40 tahun terbukti memiliki respon yang
lebih jelek dibandingkan pasien yang berusia muda.

27
Gambar2. Kelangsungan hidup pada pasien yang mendapatkan transplantasi sumsum tulang
dari donor saudara dengan HLA yang cocok hubungannya dengan umur. 4

Pasien yang mendapatkan transplantasi sumsum tulang memiliki survival


yang lebih baik daripada pasien yang mendapatkan terapi imunosupresif.10 Pasien
dengan umur kurang dari 50 tahun yang gagal dengan terapi imunosupresif (ATG)
maka pemberian transplantasi sumsum tulang dapat dipertimbangkan.

Pada pasien yang mendapat terapi imunosupresif sering kali diperlukan


transfusi selama beberapa bulan. Transfusi komponen darah tersebut sedapat
mungkin diambil dari donor yang bukan potensial sebagai donor sumsum tulang.
Hal ini diperlukan untuk mencegah reaksi penolakan cangkokan (graft rejection)
karena antibodi yang terbentuk akibat tansfusi.2

Kriteria respon terapi menurut kelompok European Marrow


Transplantation (EBMT) adalah sebagai berikut :

- Remisi komplit : bebas transfusi, granulosit sekurang-kurangnya


2000/mm3 dan trombosit sekurang-kurangnya 100.000/mm3.
- Remisi sebagian : tidak tergantung pada transfusi, granulosit dibawah
2000/mm3 dan trombosit dibawah 100.000/mm3.

28
- Refrakter : tidak ada perbaikan

Terapi Imunosupresif

Obat-obatan yang termasuk terapi imunosupresif adalah antithymocyte


globulin (ATG) atau antilymphocyte globulin (ALG) dan siklosporin A (CSA).
ATG atau ALG diindikasikan pada:2

- Anemia aplastik bukan berat

- Pasien tidak mempunyai donor sumsum tulang yang cocok

- Anemia aplastik berat, yang berumur lebih dari 20 tahun dan pada saat
pengobatan tidak terdapat infeksi atau pendarahan atau dengan granulosit
lebih dari 200/mm3

Mekanisme kerja ATG atau ALG belum diketahui dengan pasti dan
mungkin melalui koreksi terhadap destruksi T-cell immunomediated pada sel asal
dan stimulasi langsung atau tidak langsung terhadap hemopoiesis.2

Karena merupakan produk biologis, pada terapi ATG dapat terjadi reaksi
alergi ringan sampai berat sehingga selalu diberikan bersama-sama dengan
kortikosteroid.2 Siklosporin juga diberikan dan proses bekerjanya dengan
menghambat aktivasi dan proliferasi preurosir limfosit sitotoksik.2

Sebuah protokol pemberian ATG dapat dlihat pada tabel 9.6

Tabel 8. Protokol Pemberian ATG pada anemia aplastik6

Dosis test ATG :

ATG 1:1000 diencerkan dengan saline 0,1 cc disuntikan intradermal pada lengan
dengan saline kontrol 0,1 cc disuntikkan intradermal pada lengan sebelahnya.
Bila tidak ada reaksi anafilaksis, ATG dapat diberikan.

Premedikasi untuk ATG (diberikan 30 menit sebelum ATG) :

29
Asetaminofen 650 mg peroral

Difenhidrahim 50 mg p.o atau intravena perbolus

Hidrokortison 50 mg intravena perbolus

Terapi ATG :

ATG 40 g/kg dalam 1000 cc NS selama 8-12 jam perhari untuk 4 hari

Obat-obat yang diberikan serentak dengan ATG :

Prednison 100 mg/mm2 peroral 4 kali sehari dimulai bersamaan dengan ATG
dan dilanjutkan selama 10-14 hari; kemudian bila tidak terjadi serum sickness,
tapering dosis setiap 2 minggu.

Siklosporin 5mg/kg/hari peroral diberikan 2 kali sehari sampai respon maksimal


kemudian di turunkan 1 mg/kg atau lebih lambat. Pasien usia 50 tahun atau lebih
mendapatkan dosis siklosporin 4mg/kg. Dosis juga harus diturunkan bila terdapat
kerusakan fungsi ginjal atau peningkatan enzim hati.

Metilprednisolon juga dapat digunakan sebagai ganti predinison.


Kombinasi ATG, siklosporin dan metilprednisolon memberikan angka remisi
sebesar 70% pada anemia aplastik berat. Kombinasi ATG dan metilprednisolon
memiliki angka remisi sebesar 46%.2

M. Prognosis dan Perjalanan Penyakit 1,2

Prognosis penyakit anemia aplastik bergantung pada:

1. Gambaran sumsum tulang hiposeluler atau aseluler.


2. Kadar Hb F yang lebih dari 200mg% memperlihatkan prognosis yang
lebih baik.
3. Jumlah granulosit lebih dari 2000/mm3 menunjukkan prognosis yang lebih
baik.

30
4. Pencegahan infeksi sekunder, terutama di Indonesia karena kejadian
infeksi masih tinggi.
Gambaran sumsum tulang merupakan parameter yang terbaik untuk
menentukan prognosis.

Riwayat alamiah penderita anemia aplastik dapat berupa:

1. Berakhir dengan remisi sempurna. Hal ini jarang terjadi kecuali jika
dikarenakan faktor iatrogenik akibat kemoterapi atau radiasi. Remisi
sempurna biasanya terjadi segera.
2. Meninggal dalam 1 tahun. Hal ini terjadi pada sebagian besar kasus.
3. Dapat bertahan hidup selama 20 tahun atau lebih. Kondisi penderita
anemia aplastik dapat membaik dan bertahan hidup lama, namun masih
ditemukan pada kebanyakan kasus mengalami remisi tidak sempurna.

Remisi anemia aplastik biasanya terjadi beberapa bulan setelah


pengobatan mulamula terlihat perbaikan pada sistem eritropoitik, kemudian
sistem granulopoitik dan terakhir sistem trombopoitik. Kadang kadang remisi
terlihat pada sistem granulopoitik lebih dahulu lalu disusul oleh sistem eritropoitik
dan trombopoitik. Untuk melihat adanya remisi hendaknya diperhatikan jumlah
retikulosit, granulosit/leukosit dengan hitung jenisnya dan jumlah trombosit.
Pemeriksaan sumsum tulang sebulan sekali merupakan indikator terbaik untuk
menilai keadaan remisi ini. Bila remisi parsial telah tercapai, yaitu timbulnya
aktivitas eritropoitik dan granulopoitik, bahaya perdarahan yang fatal masih tetap
ada, karena perbaikan sistem trombopoitik terjadi paling akhir. Sebaiknya pasien
dibolehkan pulang dari rumah sakit setelah hitung trombosit mencapai 50.000
100.000/mm3.1

Prognosis buruk dari penyakit anemia aplastik ini dapat berakibat pada
kematian yang seringkali disebabkan oleh keadaan penyerta berupa:1
1. Infeksi, biasanya oleh bronchopneumonia atau sepsis. Harus waspada
terhadap tuberkulosis akibat pemberian kortikosteroid (prednison) jangka
panjang.

31
2. Timbulnya keganasan sekunder akibat penggunaan imunosupresif. Pada
sebuah penelitian yang dilakukan di luar negeri, dari 103 pasien yang
diobati dengan ALG, 20 penderita yang diterapi jangka panjang, berubah
menjadi leukemia akut, mielodisplasia, PNH, dan adanya risiko terjadi
hepatoma. Kejadian ini mungkin merupakan riwayat alamiah penyakit
anemia aplastik, namun komplikasi ini jarang ditemukan pada penderita
yang telah menjalani transplantasi sumsum tulang.
3. Perdarahan otak atau abdomen, yang dikarenakan kondisi
trombositopenia.

32
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

1. Anemia aplastik merupakan jenis anemia yang ditandai dengan kegagalan


sumsum tulang dengan penurunan sel sel hematopoietik dan
penggantiannya oleh lemak, menyebabkan pansitopenia, dan sering
disertai dengan granulositopenia dan trombositopenia. Terjadinya anemia
aplastik dapat dikarenakan faktor herediter (genetik), faktor sekunder oleh
berbagai sebab seperti toksisitas, radiasi atau reaksi imunologik pada sel
sel induk sumsum tulang, berhubungan dengan beragam penyakit
penyerta, atau faktor idiopatik.
2. Secara etiologik, anemia aplastik dibagi menjadi dua, yaitu anemia
aplastik herediter dan anemia aplastik didapat. Jika tidak diketahui
penyebab timbulnya anema aplastik dalam tubuh seorang pasien, dapat
dicurigai sebagai anemia aplastik idiopatik.
3. Tidak ada perbedaan secara bermakna antara anak laki laki dan
perempuan yang menderita anemia aplastik, namun dalam beberapa
penelitian tampak insidens pada anak laki laki lebih banyak
dibandingkan anak perempuan.
4. Gejala gejala klinik yang tampak pada tubuh seorang pasien anemia
aplastik berupa tampak pucat, lemas, pusing adanya tanda tanda
perdarahan dan disertai dengan demam.
5. Penegakan diagnosis anemia aplastik dibuat berdasarkan gejala klinis
berupa panas, pucat, perdarahan, tanpa adanya organomegali (hepato
splenomegali), adanya gambaran darah tepi yang menunjukkan
pansitopenia dan limfositosis relatif. Diagnosis pasti ditentukan dengan
pemeriksaan biopsi sumsum tulang yaitu gambaran sel sangat kurang,
banyak jaringan penyokong dan jaringan lemak; aplasia sistem
eritropoitik, granulopoitik dan trombopoitik.

33
6. Pemberian terapi secara suportif pada pasien anemia aplastik berupa
pengobatan infeksi, pemberian transfusi darah dan tindakan transplantasi
sumsum tulang dengan HLA saudara kandung yang cocok. Jika tidak bisa
dilakukan transplantasi, bisa dipikirkan untuk melakukan terapi ATG.
7. Prognosis pasien anemia aplastik bergantung pada:
a. Gambaran sumsum tulang hiposeluler atau aseluler.
b. Kadar Hb F yang lebih dari 200mg% memperlihatkan prognosis
yang lebih baik.
c. Jumlah granulosit lebih dari 2000/mm3 menunjukkan prognosis
yang lebih baik.
d. Pencegahan infeksi sekunder, terutama di Indonesia karena
kejadian infeksi masih tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

34
1. Ugrasena IDG .Anemia aplastik dalam Buku ajar hematologionkologi
anak.Badan Penerbit IDAI: Jakarta.2005;10-5.
2. Widjanarko A, Sudoyo A.W, Salonder H. Anemia aplastik dalam Buku
ajar ilmu penyakit dalam edisi V. Interna publishing: Jakarta.2009;1116-
25
3. Freedman M.H. The inherited pancytopenias dalam Nelson textbook of
pediatrics 19th ed. Elsevier Saunders: USA.2011;1684-90.
4. Hord J.D. The acquired pancytopenias dalam Nelson textbook of
pediatrics 19th ed. Elsevier Saunders: USA.2011;1691-2.
5. Sedana M.P.Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria (PNH) dalam Buku
ajar ilmu penyakit dalam edisi V. Interna publishing: Jakarta.2009;1174-6
6. Paquette R, Munker R. Aplastic anemias dalam Modern hematology
biology and clinical management 2nd ed. Humana Press: New
Jersey.2007;207-16.
7. Bakta IM. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2003

35

Anda mungkin juga menyukai