Anda di halaman 1dari 28

Bidang Komunikasi dari Perspektif Sejarah dan

Kontemporer
saya ​Ayah Senang bercerita tentang nenek moyang saya — orang tua, kakek nenek, dan
buyutnya. Ketika saya berusia tujuh tahun dan bosan dengan cerita-ceritanya, saya bertanya
kepada ayah saya apa hubungan "sejarah kuno" itu dengan saya. Dia menanggapi dengan ceramah
yang tegas — salah satu dari banyak yang dia berikan kepada saya — di mana dia memberi tahu
saya bahwa anggota keluarga yang datang sebelum saya membentuk identitasnya dan identitas
saya. Dia melanjutkan dengan memberi tahu saya bahwa saya tidak dapat memahami siapa saya
tanpa memahami sejarah keluarga saya.

Pada saat itu, saya tidak sepenuhnya menghargai kebijaksanaan ayah saya, tetapi saya mulai
mendengarkan dengan lebih memperhatikan kisah-kisahnya tentang sejarah keluarga kami. Pada
tahun-tahun berikutnya, saya menyadari bahwa dia benar. Orang tua dan kakek nenek dari ayah
saya adalah petani. Meskipun dia menjadi pengacara, ayah saya tetap mencintai hewan dan tanah,
yang dia wariskan kepada saya dan saudara-saudara saya. Saya menemukan bahwa kepribadian
impulsif saya bukanlah hal baru dalam keluarga; Charles Harrison Wood, kakek buyut saya,
dikenal lebih dari sekadar gegabah.

Saya juga mengetahui bahwa saudara laki-laki ayah saya, Arch, sering mendapat masalah karena
leluconnya, kecenderungan lain yang saya warisi. Belakangan, ketika menjadi jelas bahwa saya
memiliki bakat yang tajam untuk berorganisasi, saya merasakan kekerabatan dengan ibu ayah
saya, yang keterampilan organisasinya sangat terkenal di daerah asal kami. Sama seperti Anda
tidak dapat sepenuhnya menghargai siapa Anda tanpa mengetahui sejarah keluarga Anda, Anda
tidak dapat memahami disiplin akademis tanpa mempelajari sejarahnya. Bab ini memperkenalkan
Anda pada bagaimana disiplin komunikasi berkembang dari waktu ke waktu. Kami pertama kali
membahas sejarah intelektual yang panjang dan kaya dari disiplin ini.

Kedua, kami membahas metode melakukan penelitian yang digunakan oleh sarjana komunikasi.
Bagian ketiga dari bab ini membahas bidang-bidang utama bidang kontemporer dan menyoroti
tema-tema yang menyatukan bidang-bidang yang berbeda.

PERTANYAAN FOKUS
1. Apa asal mula disiplin komunikasi?

2. Metode apa yang digunakan sarjana komunikasi untuk melakukan penelitian?


3. Bidang studi dan pengajaran apa yang membentuk disiplin komunikasi saat ini?
4. Tema apa yang menyatukan bidang studi dalam bidang komunikasi?

Sejarah Bidang Komunikasi

Seperti yang dikemukakan oleh judul buku ini, komunikasi adalah sebuah mozaik, yang setiap

bagiannya berkontribusi pada karakter bidang tersebut secara keseluruhan. Mosaik menjadi lebih

kaya dan lebih kompleks sejak lahirnya disiplin ilmu ini lebih dari 2.500 tahun yang lalu.

Akar Klasik: Retorika dan Kehidupan Demokratis


Satu tema dalam mozaik adalah bahwa komunikasi memainkan peran penting dalam masyarakat
demokratis. Seni retorika lahir pada pertengahan 400-an SM di kota pelabuhan Syracuse di
Yunani di pulau Sisilia. Saat itu, orang Sisilia baru saja menggulingkan rezim politik yang
menindas yang dipimpin oleh Thrasybulus, seorang tiran yang telah mengambil tanah mereka dan
memiskinkan mereka. Setelah membuang Thrasybulus, warga mulai bekerja untuk membangun
masyarakat yang demokratis. Urutan bisnis pertama di bawah konstitusi baru yang demokratis
adalah mendapatkan kembali properti yang telah diambil Thrasybulus dari rakyat. Warga ingin
melakukan ini, tetapi mereka tidak memiliki keterampilan untuk mempresentasikan kasus mereka
di pengadilan. Seorang pria bernama Corax, bersama muridnya Tisias, mengajari warga
bagaimana mengembangkan dan menyajikan argumen persuasif di pengadilan. Corax mengajari
orang-orang bagaimana menyusun pidato, membangun argumen, dan membantah argumen orang
lain. Dengan kata lain, bidang komunikasi muncul untuk menjawab kebutuhan mendesak
masyarakat Syracuse.

Retorika terus menjadi pusat kehidupan demokrasi di Yunani dan Roma kuno. Di antara filsuf dan
guru retorika paling berpengaruh di era ini adalah Socrates, Aristoteles, Isocrates, dan Plato.
Plato,

yang merupakan murid Socrates, hidup dari tahun 428 sampai 348 SM (Borchers, 2006). Di
Athena, ia mendirikan sekolah bernama Akademi. Platon percaya kebenaran itu mutlak dan hanya
dapat diketahui dalam bentuk ideal dan bukan dalam realitas konkret. Plato mencurigai retorika
karena dia menyadari kemungkinan penyalahgunaan retorika untuk memanipulasi dan menipu.

Aristoteles, yang hidup dari 384 sampai 322 SM (Borchers, 2006), adalah murid Plato. Seperti
banyak siswa dan guru saat ini, Aristoteles dan Plato tidak selalu saling berhadapan. Perbedaan
utama di antara mereka adalah Aristoteles percaya kebenaran dapat dilihat dari pengamatan yang
cermat terhadap realitas konkret. Aristoteles juga percaya bahwa penting untuk menghadapi
kenyataan, yang seringkali bukan cita-cita yang begitu dihargai Plato. Pandangan Aristoteles
tentang kebenaran terkait dengan keyakinannya bahwa retorika adalah pusat kehidupan sipil
dalam masyarakat demokratis. Ia memahami bahwa warga dapat berpartisipasi penuh hanya jika
mereka mampu berbicara dengan baik dan terlibat dalam diskusi dan debat tentang isu-isu hari
ini. Berdasarkan ajaran Corax dan Tisias, Aristoteles mengajari siswanya cara menganalisis
audiens, menemukan ide dan bukti untuk mendukung klaim, mengatur pesan secara efektif,
menghafal pidato, dan menyampaikan pidato dengan jelas dan dinamis.

KOMUNIKASI MEDIASI KOMPUTER


Belajar dari Ahli Teori Kuno
Anda dapat belajar dengan ahli teori retorika kuno yang hebat secara online. Teks Plato yang paling
terkenal adalah Gorgias, yang menyajikan pandangannya bahwa retorika itu berbahaya; dan Phaedrus,
yang menawarkan pandangan retorika yang tidak terlalu kritis. Untuk membaca Gorgias, buka sumber
online buku untuk bab ini dan klik WebLink 2.1. Untuk membaca Phaedrus, klik WebLink 2.2. Untuk
mempelajari tentang pandangan Aristoteles tentang retorika, klik WebLink 2.3.
Salah satu kontribusi abadi untuk pengetahuan retorika kita adalah pemikiran Aristoteles tentang
bagaimana persuasi terjadi. Dia berteori bahwa ada tiga cara untuk membujuk, yang dia sebut
pembuktian ​(Gambar 2.1). ​Ethos ​adalah bukti berdasarkan kredibilitas pembicara (kepercayaan,
keahlian, dan niat baik). ​Pathos ​adalah bukti yang menarik emosi pendengar. ​Logo ​didasarkan
pada logika dan penalaran. Jika Anda berpikir tentang pengalaman Anda dalam mendengarkan
pembicara, kemungkinan besar Anda akan menemukan bahwa, seperti orang-orang di zaman
Aristoteles, Anda menanggapi etos, kesedihan, dan logo.

Yunani kuno adalah rumah bagi kelompok guru lain yang mengambil pendekatan retorika yang
sangat berbeda. Para guru ini memandang kebenaran sebagai relatif, dan mereka mendorong
pembicara untuk menyesuaikan gagasan mereka dengan konteks dan pendengar tertentu. Dikenal
sebagai ​Sophist, p​ ara guru ini berfokus pada membangun argumen terbaik untuk menggerakkan
audiens (Borchers, 2006). Saat ini, penalaran yang spekulatif atau menipu dalam argumentasi
kadang-kadang disebut sebagai ​sofistik.

Pendidikan Liberal
Pentingnya komunikasi dalam kehidupan sipil menjelaskan mengapa pendidikan liberal dianggap
sebagai ​misi utama pendidikan tinggi Barat. Selama berabad-abad setelah Aristoteles mengajar di
agora (pasar) di Athena, retorika menempati posisi utama dalam pendidikan liberal di Eropa dan
Amerika Serikat. Mengikuti pandangan Aristoteles bahwa retorika adalah seni praktis, guru
retorika memberikan nasehat pragmatis kepada siswa yang ingin menjadi pembicara publik yang
efektif.

Pada abad ke-19, banyak universitas paling bergengsi di Amerika Serikat mendirikan kursi
retorika, yang dipegang oleh para sarjana dan pemimpin sipil terkemuka. Di antaranya adalah
presiden John Quincy Adams, yang menjabat sebagai Profesor Pertama Ketua Retorika Boylston
di Universitas Harvard (Foss, Foss, & Trapp, 1991). Pada 1800-an dan awal 1900-an, retorika
diajarkan sebagai seni praktis yang mempersiapkan orang untuk partisipasi yang bertanggung
jawab dalam kehidupan sipil. Penekanan pada pengajaran yang menandai periode ini menjelaskan
mengapa organisasi profesional nasional pertama, yang didirikan pada tahun 1914, dinamai
Asosiasi Nasional Guru Berbicara di Depan Umum.

Pada tahun 1900-an, disiplin komunikasi mulai meluas melampaui berbicara di depan umum.
Pada awal abad ke-20, filsuf John Dewey mengajar di Universitas Chicago, yang merupakan
pusat intelektual Amerika Serikat saat itu. Seorang filsuf pragmatis, Dewey memperjuangkan
pemikiran progresif dalam kehidupan budaya. Bagi Dewey, ini juga berarti memperjuangkan
komunikasi dalam arti luas. Ia menyadari bahwa untuk memiliki dampak pada kehidupan budaya,
pemikiran progresif harus dikomunikasikan. Dengan kata lain, orang harus mampu menyuarakan
gagasan mereka dan mendengarkan dengan penuh pemikiran dan kritis gagasan orang lain;
mereka harus berbicara, berinteraksi, berdebat, dan terlibat dalam percakapan yang berkelanjutan.

Minat Dewey dalam pemikiran progresif dan partisipasi warga tumbuh dari konteks politik pada
masanya, dan konteks itu memengaruhi lapangan secara keseluruhan. Setelah dua perang dunia,
para profesional komunikasi merasakan kebutuhan mendesak untuk memahami hubungan antara
komunikasi dan kebangkitan Hitler ke tampuk kekuasaan, perkembangan prasangka terhadap
kelompok sosial, kesediaan untuk mengikuti pemimpin otoriter, pengaruh propaganda, dan
perubahan dalam sikap dan kepercayaan.

Pada awal 1900-an, dua organisasi komunikasi profesional besar dibentuk. Yang pertama
adalah Asosiasi Pendidikan dalam Jurnalisme dan Komunikasi Massa (AEJMC), yang didirikan
pada tahun 1912. AEJMC mempromosikan jurnalisme akademis dan terapan, dan mensponsori
jurnal penelitian dan konferensi tentang praktik jurnalistik, beasiswa, dan pengajaran. Saat ini,
AEJMC memiliki lebih dari 3.500 anggota di seluruh dunia.

Organisasi kedua didirikan pada tahun 1914. Karena anggota aslinya adalah guru pidato, maka
disebut Speech Teachers of America (STA). Namun, nama itu tidak bertahan lama. Organisasi
telah mengubah namanya tiga kali, setiap perubahan menandakan evolusi dalam lingkup dan
pandangan organisasi itu sendiri. Pada tahun 1950, namanya diubah menjadi Speech Association
of America (SAA) untuk mencerminkan minat organisasi yang semakin meningkat pada beasiswa
serta pengajaran. Pada tahun 1970, namanya diubah lagi menjadi Speech Communication
Association (SCA), perubahan yang menekankan tumbuhnya minat dalam bentuk komunikasi
selain ucapan — misalnya, komunikasi nonverbal. Akhirnya pada tahun 1997 anggota memilih
untuk mengganti nama menjadi National Communication Association (NCA), yang masih
menjadi namanya sampai sekarang. Dengan lebih dari 7.000 anggota di 20 negara, misi NCA
adalah untuk memajukan penelitian, pengajaran, dan layanan yang relevan dengan komunikasi
manusia.

Memperluas Bidang
Pada pertengahan abad ke-20, bagian lain dari mosaik komunikasi muncul: penelitian ilmiah dan
empiris, yang menjadi terkenal di hampir semua ilmu sosial. Pembentukan International
Communication Association (ICA) pada tahun 1950 menandakan minat yang semakin besar
dalam penelitian ilmiah di bidang komunikasi. Saat ini, ICA memiliki lebih dari 3.000 anggota.
Ketika ICA pertama kali dibentuk, itu berbeda dari NCA dalam dua cara khusus. Pertama, NCA
(kemudian disebut SCA) mendalami humaniora, yang biasanya dibangun melalui penelitian
kualitatif. Melengkapi minat intelektual dan metodologi NCA, ICA terutama bersekutu dengan
tradisi ilmiah sosial, yang cenderung mendukung metode penelitian kuantitatif. Penelitian ilmiah
sosial berlanjut hingga hari ini sebagai salah satu dari beberapa tradisi intelektual yang
berkontribusi pada pengetahuan yang terus berkembang yang diciptakan oleh para sarjana
komunikasi.

Perbedaan kedua antara kedua organisasi tersebut, pada 1950-an dan tahun-tahun berikutnya,
adalah keanggotaan. Seperti namanya, NCA adalah organisasi nasional yang mewakili
kepentingan sarjana komunikasi Amerika Serikat dan terutama mendorong penelitian dalam
komunikasi Amerika. ICA, bagaimanapun, secara eksplisit berusaha untuk menarik keanggotaan
internasional dan untuk mendukung penelitian tentang komunikasi di luar perbatasan Amerika
Serikat. Citarasa internasional ICA menjelaskan mengapa bidang-bidang seperti studi budaya,
yang telah dipengaruhi oleh para sarjana Eropa, lebih menonjol di ICA daripada di NCA.
Meskipun NCA dan ICA terus mencerminkan kecenderungan intelektual dan metodologis yang
ada saat mereka dibentuk, perbedaan antara kedua organisasi tersebut kurang terlihat
dibandingkan 60 tahun yang lalu. Saat ini, NCA mencakup banyak anggota yang penelitiannya
sebagian besar atau seluruhnya kuantitatif, dan ICA mencakup banyak anggota yang umumnya
menyukai penelitian kualitatif. Selain itu, kedua organisasi sekarang memiliki keanggotaan
internasional, dan keduanya mempromosikan penelitian tentang komunikasi di dalam dan di
antara berbagai budaya dan wilayah geografis.

Tahun 1960-an dan 1970-an melihat tambahan lain pada mosaik komunikasi. Di Amerika Serikat,
ini adalah masa pergolakan sosial dan politik yang luar biasa. Gerakan Hak Sipil dan Gerakan
Perempuan gelombang kedua mengguncang pola hubungan pribadi dan sosial yang sudah
berlangsung lama. Pada saat yang sama, budaya pemuda mengantarkan ide-ide baru tentang
bagaimana orang seharusnya berinteraksi dan apa yang penting dalam hidup. Banyak mahasiswa
merasa bahwa hubungan pribadi harus mendapat lebih banyak waktu dan perhatian daripada
kurikulum tradisional yang disediakan. Merespon arus kehidupan sosial ini, disiplin komunikasi
diperluas hingga mencakup komunikasi antarpribadi. Banyak perguruan tinggi dan universitas
mulai menawarkan kelas komunikasi keluarga dan interaksi dalam hubungan intim. Minat siswa
terhadap kurikulum komunikasi yang diperluas sangat tinggi dan terus berlanjut hingga saat ini.
Penekanan antarpribadi juga mempengaruhi kursus komunikasi kelompok, menambahkan
pelatihan kepekaan dan hubungan antarmanusia pada cakupan tradisional pengambilan keputusan
kelompok.

Bidang tersebut terus berkembang. Dalam beberapa tahun terakhir, misalnya, komunikasi
kesehatan telah menjadi sub-bidang utama dari disiplin ilmu. Para sarjana dan guru komunikasi
kesehatan fokus pada isu-isu seperti interaksi dokter-pasien, komunikasi organisasi di institusi
kesehatan, dan upaya media untuk mempromosikan praktik kesehatan yang baik. Bidang tersebut
saat ini juga mencakup studi dan pengajaran yang giat tentang komunikasi yang dimediasi, yang
telah menjadi sarana utama untuk berkomunikasi.

Komunikasi, Kekuasaan, dan Pemberdayaan


Mulai tahun 1960-an dan berlanjut hingga saat ini, hubungan antara komunikasi dan kekuasaan
dalam kehidupan budaya semakin menonjol dalam mosaik komunikasi. Gejolak 1960-an dan
1970-an ditandai oleh gerakan sosial dan politik yang mempertanyakan hierarki kekuasaan yang
sudah mapan. Seperti disebutkan di atas, dua dari gerakan yang paling menonjol adalah gerakan
hak-hak sipil, yang menentang diskriminasi rasial di Amerika Serikat, dan gerakan perempuan,
yang menantang peran gender konvensional di ranah publik dan privat. Banyak sarjana dan guru
komunikasi merangkul fokus kritis pada gerakan sosial dan mulai menyelidiki dinamika
komunikatif yang digunakan gerakan sosial dan cara-cara di mana gerakan sosial mempengaruhi
individu dan masyarakat.

Perluasan bidang kepentingan untuk pertanyaan kekuasaan mencerminkan pengaruh filsuf Prancis
Michel Foucault (1970, 1972a, 1972b, 1978), yang sangat peduli dengan siapa dan siapa yang
tidak diperbolehkan berbicara dalam masyarakat. Lebih khusus lagi, Foucault menerangi
cara-cara di mana aturan yang mengakar secara budaya — sering kali tidak tertulis dan tidak
diakui — menentukan siapa yang boleh berbicara, kepada siapa kita mendengarkan, dan
pandangan siapa yang dianggap penting.

Berdasarkan ide Foucault, sejumlah sarjana komunikasi mempelajari cara-cara di mana


komunikasi beberapa orang diperbolehkan dan komunikasi orang lain dilarang atau tidak
dihormati. Sejalan dengan itu, para sarjana ini berupaya untuk memberdayakan orang-orang yang
suaranya secara historis telah diredam, sehingga mereka dapat berpartisipasi penuh dalam
interaksi publik dan pribadi yang membentuk karakter kehidupan pribadi dan kolektif. Perhatikan
satu contoh. Secara historis, keputusan tentang masalah lingkungan yang mempengaruhi
kesehatan dan lingkungan masyarakat telah dibuat hampir seluruhnya oleh warga negara yang
memiliki hak istimewa: ilmuwan dan orang-orang berkerah putih dan profesi teknis. Yang
tertinggal dari diskusi penting ini adalah banyak pekerja kerah biru, pengangguran atau setengah
pengangguran, dan warga negara tanpa pendidikan formal (Cox, 2010; Martin, 2007). Warga ini
sering dibuat tidak bersuara oleh hambatan kelembagaan dan praktik administrasi yang
mendefinisikan kekhawatiran mereka dan cara mereka berbicara sebagai tidak pantas. Pezzullo
(2007, 2008) dan lainnya (Agyeman, 2007; Norton, 2007; Sandler & Pezzullo, 2007) terlibat
dalam penelitian yang meningkatkan pemahaman kita tentang cara untuk memberdayakan mereka
yang menderita masalah lingkungan dan yang tidak memiliki suara di komunitas mereka dan
masyarakat yang lebih besar.

Minat dalam hubungan antara komunikasi dan kekuasaan telah membentuk kembali banyak
bidang di bidang ini. Sarjana retoris telah memperluas fokus mereka di luar pembicara individu.
Banyak sarjana retoris saat ini mempelajari hak-hak gay, pro-kehidupan dan pro-pilihan,
lingkungan, dan gerakan sosial lainnya. Mereka memeriksa taktik koersif, strategi simbolik untuk
mendefinisikan masalah (pikirkan kekuatan istilah seperti ​pro-kehidupan d​ an ​pro-pilihan
dibandingkan dengan ​pro-aborsi ​dan ​anti-aborsi a​ tau ​pro-pilihan ​dan ​anti-pilihan)​ , dan
bagaimana gerakan sosial menantang dan mengubah praktik dan nilai budaya yang dipegang
secara luas.

Para ahli di bidang lain memiliki minat yang sama tentang bagaimana komunikasi membentuk
dan dibentuk oleh konteks sejarah, sosial, dan politik di mana komunikasi itu terjadi. Saat ini,
fakultas dalam komunikasi interpersonal dan organisasi melakukan penelitian dan mengajarkan
tentang bagaimana teknologi baru mempengaruhi hubungan pribadi dan membentuk kembali
masyarakat, bagaimana budaya dan praktik organisasi mempengaruhi produktivitas dan kepuasan
kerja karyawan, dan bagaimana tren nasional seperti perampingan dan outsourcing mempengaruhi
pekerja di pekerjaan dan kehidupan pribadi mereka.

Seperti yang ditunjukkan oleh tinjauan sejarah singkat ini, bidang komunikasi menanggapi
perubahan karakter dan kebutuhan individu dan masyarakat. Mungkin inilah sebabnya mengapa
bidang ini berkembang, bahkan selama periode perampingan di banyak perguruan tinggi dan
universitas. Sama seperti siswa Aristoteles menemukan bahwa keterampilan komunikasi
memungkinkan mereka untuk berpartisipasi dalam masyarakat mereka, siswa saat ini menyadari
bahwa bidang komunikasi modern menawarkan mereka keterampilan yang efektif untuk
memahami dan berpartisipasi di dunia.

KETERLIBATAN
Saat untuk Keterlibatan Masyarakat
Berbicara di Colorado pada 2 Juli 2008, calon presiden Barack Obama mengatakan kepada para
pendukungnya, “Kami membutuhkan layanan Anda, sekarang, pada saat ini — momen kami —
dalam sejarah.” Sekarang, sebagai Presiden, Obama menggunakan persuasi untuk menghidupkan
kembali komitmen terhadap layanan publik dan keterlibatan sipil. Dia membangun tradisi penting
di Amerika. Presiden John F. Kennedy mendirikan Peace Corps, Presiden George HW Bush
meminta orang Amerika untuk menjadi
"titik terang" di dunia, dan Presiden Bill Clinton memperjuangkan AmeriCorps, yang saat ini
memiliki 75.000 staf dan 1,7 juta sukarelawan yang membantu membangun aff perumahan yang
terjangkau, membimbing anak-anak melek huruf, dan membersihkan lingkungan (Alter, 2009).

Melakukan Penelitian dalam Komunikasi


Seperti disiplin ilmu lainnya, komunikasi didasarkan pada pengetahuan yang diperoleh dari
penelitian yang ketat (Baxter & Bebee, 2004; Carbaugh & Buzzanell, 2009; Reinhard, 2007).
Agar Anda dapat memahami bagaimana para sarjana memperoleh pengetahuan, kami akan
membahas empat pendekatan utama dalam penelitian komunikasi. Pendekatan ini bukannya tidak
cocok; banyak sarjana mengandalkan berbagai pendekatan untuk mempelajari cara kerja
komunikasi. Lebih jauh, bahkan para sarjana yang tidak menggunakan banyak metode dalam
penelitian mereka sendiri tetap mengikuti penelitian yang menggunakan berbagai metode.

IlmuPenelitian Kuantitatif
Komunikasimenggunakan ​metode penelitian kuantitatif, ​untuk mengumpulkan informasi dalam
bentuk numerik (Levine, 2009). Statistik deskriptif mengukur perilaku manusia dalam hal
kuantitas, frekuensi, atau jumlah. Misalnya, dalam survei tahun 1998 yang disebutkan dalam Bab
1 (Kotak FYI, Komunikasi dan Pernikahan), kami melihat bahwa 53 persen orang Amerika
menganggap komunikasi yang tidak efektif sebagai penyebab utama perceraian. Penelitian
kuantitatif memberi tahu kita bahwa pada tahun 2011, 84 persen mahasiswa sarjana di Amerika
Serikat memiliki laptop dan 70 persen mahasiswa mengatakan bahwa teknologi informasi
membuat kegiatan kursus menjadi lebih nyaman ("Teknologi Informasi," 2011). Penelitian
kuantitatif juga memberi tahu kita bahwa 98,9 persen rumah di Amerika memiliki setidaknya satu
televisi, dan rata-rata rumah di Amerika memiliki lebih banyak televisi daripada orang —
3,3 televisi dan kurang dari 3 orang per rumah tangga (Media Trends Track, 2010).
Metode kedua dari penelitian kuantitatif adalah mengumpulkan informasi melalui survei,
instrumen, kuesioner, atau wawancara yang mengukur bagaimana orang merasa, berpikir,
bertindak, dan lain sebagainya. Survei bermanfaat jika seorang peneliti ingin menemukan tren
umum di antara sekelompok orang tertentu — anggota lembaga, misalnya, atau orang Amerika
pada umumnya. Survei sering digunakan dalam organisasi untuk mendapatkan informasi tentang
moral karyawan, tanggapan terhadap kebijakan perusahaan, dan hubungan antara kepuasan kerja
dan faktor-faktor seperti gaya kepemimpinan, partisipasi dalam tim, dan kualitas komunikasi
antara rekan kerja. Setelah data survei dikumpulkan, mereka dapat dianalisis menggunakan
berbagai metode statistik yang membantu peneliti mendeteksi pola dalam komunikasi dan menilai
kekuatan dan hubungannya.

Metode ketiga dari penelitian kuantitatif adalah eksperimen, sebuah studi di mana peneliti
mengontrol konteks untuk mengukur bagaimana satu variabel (disebut ​variabel independen​) yang
dapat dimanipulasi mempengaruhi variabel lain (disebut ​variabel dependen​). Norman Wong dan
Joseph Cappella (2009) merancang serangkaian eksperimen untuk menguji efektivitas berbagai
jenis pesan yang dirancang untuk membujuk orang berhenti merokok. Beberapa peserta menerima
pesan yang memiliki ancaman tinggi dan kemanjuran tinggi (mengklaim bahwa merokok
berbahaya dan berhenti adalah mungkin) sedangkan peserta lain menerima pesan yang rendah
dalam ancaman dan kemanjuran. Mereka menemukan bahwa pesan ancaman dan kemanjuran
yang lebih tinggi lebih efektif dalam memotivasi peserta untuk mencari bantuan untuk berhenti
merokok.

Penelitian Kualitatif
Pendekatan kedua yang digunakan oleh banyak sarjana komunikasi adalah ​metode penelitian
kualitatif, ​yang memberikan pengetahuan non-numerik tentang komunikasi. Metode kualitatif
sangat berharga ketika peneliti ingin mempelajari aspek komunikasi yang tidak dapat dengan
mudah diukur, seperti makna pengalaman, fungsi ritual dalam kehidupan organisasi, dan
bagaimana perasaan kita tentang dan terlibat dalam komunikasi online (Schiebel, 2009 ). Tiga
metode penelitian kualitatif paling menonjol dalam disiplin komunikasi.

Analisis tekstual ​adalah interpretasi aktivitas simbolik — misalnya, bagaimana pasangan


mengelola konflik atau bagaimana pengacara menginterogasi saksi. Teks tidak terbatas pada teks
tertulis formal atau pidato yang disajikan secara lisan. Sarjana yang terlibat dalam analisis
tekstual mungkin menafsirkan makna selimut AIDS, ritual pembangunan komunitas di antara
pengungsi, tur ke situs limbah beracun, membuka diri di ruang obrolan di Web, dan cerita yang
diceritakan dalam keluarga. Dalam setiap kasus, praktik komunikasi diinterpretasikan, bukan
diukur, untuk memahami signifikansinya.
Metode kualitatif lainnya adalah ​etnografi, ​di mana peneliti mencoba menemukan apa yang
dimaksud dengan aktivitas simbolik dengan membenamkan diri dalam aktivitas yang terjadi
secara alami dan konteks alam yang belum dimanipulasi oleh peneliti. Dengan menghabiskan
waktu yang signifikan dalam konteks ini, peneliti etnografi dapat memperoleh wawasan tentang
perspektif mereka yang asli dalam konteks tersebut. Di pusat penelitian etnografi adalah
komitmen untuk memahami apa arti komunikasi dari perspektif mereka yang terlibat daripada
dari luar, pengamat yang tidak terlibat. Katy Bodey (2009; Bodey & Wood, 2009)
mengeksplorasi bagaimana anak perempuan di akhir masa remaja menggunakan media sosial
untuk mengembangkan identitas. Dia mengunjungi blog dan situs mereka, dan dia berbicara
secara mendalam dengan mereka tentang apa yang mereka lakukan secara online dan mengapa.
Bodey menemukan bahwa blog dan halaman mereka di situs sosial adalah tempat mereka
berbicara tentang masalah seperti tekanan untuk menjadi kurus, minum (atau tidak), berhubungan
seks (atau tidak), dan berpakaian dengan cara tertentu. Bodey memperhatikan bahwa gadis-gadis
itu tidak hanya merekam apa yang mereka pikirkan atau lakukan terkait dengan tekanan ini, tetapi
mereka benar-benar mengerjakan apa yang mereka pikirkan dan ingin lakukan dalam proses
ngeblog atau mengobrol online. Dengan kata lain, media sosial merupakan wadah bagi mereka
untuk secara aktif membangun identitas dan mendapat tanggapan dari orang lain.

Metode ketiga dari beasiswa kualitatif adalah ​penelitian sejarah, y​ ang memberikan
pengetahuan tentang peristiwa, orang, dan aktivitas masa lalu yang signifikan. Para sarjana
mengandalkan penelitian historis untuk mempelajari konteks di mana para pemikir kuno seperti
Aristoteles dan Plato mengembangkan gagasan mereka. Selain itu, para sarjana mempelajari
teks-teks yang penting secara historis dan kondisi yang membentuknya. Data untuk ilmu sejarah
mencakup dokumen asli, seperti draf pidato terkenal dan catatan untuk direvisi, catatan yang
menggambarkan peristiwa dan reaksi publik terhadapnya, dan studi biografi tentang tokoh-tokoh
kunci.

Penelitian Kritis
Pendekatan ketiga untuk beasiswa komunikasi adalah ​metode penelitian kritis, ​di mana para
sarjana mengidentifikasi dan menantang praktik komunikasi yang menindas, meminggirkan, atau
merugikan individu dan kelompok sosial (Ono, 2009). Dengan kata lain, penelitian kritis
bertujuan untuk menantang penindasan dan mengubah masyarakat.

Para sarjana kritis berpikir bahwa tujuan penelitian tradisional tentang pemahaman, penjelasan,
dan prediksi tidak cukup jika akademisi menginginkan pengetahuan yang mereka hasilkan
memiliki konsekuensi praktis. Oleh karena itu, para sarjana kritis berkomitmen penuh untuk
menggunakan penelitian mereka untuk memajukan kesadaran dan kemajuan sosial. Bagi
kelompok ini, praktik komunikasi tertentu dipandang sebagai sarana untuk merefleksikan,
menegakkan, dan terkadang menantang ideologi budaya. Misalnya, praktik menekan jam, yang
digunakan di banyak organisasi, menjunjung tinggi gagasan bahwa pekerja harus
mempertanggungjawabkan waktu mereka kepada mereka yang memiliki kemampuan untuk
memiliki dan menjalankan bisnis. Arti menekan jam waktu terkait dengan ideologi keseluruhan
yang menetapkan siapa yang memiliki dan siapa yang tidak memiliki kekuasaan.
Beberapa sarjana kritis berkontribusi melalui teori orisinal yang membantu kita memahami
bagaimana kelompok dan praktik tertentu menjadi dominan dan bagaimana ideologi dominan
terkadang ditantang dan diubah dalam masyarakat. Sarjana kritis lainnya terlibat dalam pekerjaan
empiris untuk mengungkapkan bagaimana praktik tertentu berfungsi dan siapa yang diuntungkan
dan dirugikan. Sebagai contoh, para ahli kritis telah mencatat bahwa media sering menampilkan
karakter non-kulit putih sebagai berbahaya, tidak bertanggung jawab, atau hiperseksual
(Dubrofsky & Hardy, 2008; Hasinoff, 2008). Karakter hitam sering distereotipkan sebagai
bawahan, atletis, malas, kriminal atau eksotis (Dixon, 2006; Ramasubramanian, 2010). Orang
Asia, Penduduk Asli Amerika, dan, dengan pengecualian America Ferrara ("Ugly Betty"), orang
Hispanik kurang terwakili di televisi prime-time (Stroman & Dates, 2008). Sarjana media kritis
juga mengajukan pertanyaan tentang bagaimana teknologi komunikasi membentuk pemikiran
individu dan hubungan sosial (Potter, 2009; Steele, 2009).

Meskipun pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan kritis merupakan orientasi yang berbeda untuk
melakukan penelitian, namun keduanya tidak selalu tidak konsisten atau tidak sesuai. Faktanya,
para sarjana sering mengandalkan lebih dari satu metode penelitian dalam upaya untuk
mendapatkan pemahaman yang beragam tentang apa yang sedang dipelajari. Demikian pula, para
sarjana sering menggabungkan berbagai jenis data atau perspektif teoretis untuk mendapatkan
pemahaman yang lebih lengkap tentang apa yang dipelajari daripada yang akan mereka dapatkan
dari satu jenis data atau lensa teoretis.

Mempelajari fenomena dalam berbagai cara disebut ​triangulasi, ​istilah yang memiliki
akar istilah yang sama dengan ​trigonometri. ​Sama seperti trigonometri yang melibatkan
penghitungan jarak ke titik tertentu dengan melihat titik tersebut dalam kaitannya dengan dua titik
lainnya, penelitian triangulasi melibatkan mempelajari fenomena dari berbagai sudut pandang.
Peneliti komunikasi mengandalkan berbagai jenis triangulasi. Triangulasi data bergantung pada
berbagai sumber data. Misalnya, untuk mempelajari bias gender dalam pelaporan olahraga,
peneliti (Eastman & Billings, 2000) menggunakan tiga sumber data: ​The New York Times, ​CNN's
Sports Tonight, d​ an ESPN's ​SportsCenter. T ​ riangulasi peneliti terjadi ketika dua atau lebih
peneliti mengumpulkan dan menganalisis data sehingga data tersebut diinterpretasikan melalui
berbagai perspektif. Triangulasi metodologis melibatkan penggunaan dua atau lebih metodologi
untuk mempelajari suatu fenomena. Untuk mempelajari hubungan antara pesan media stereotip
tentang ras dan etnis, dan penilaian sosial konsumen tentang ras dan etnis, Dana Mastro (2003)
menggunakan metode kuantitatif dan kritis. Penelitian triangulasi memungkinkan para sarjana
untuk mempelajari komunikasi dari berbagai sudut pandang dan dengan demikian memperoleh
pemahaman yang kuat tentang apa yang dipelajari.

Kritik Retoris
Modus penelitian terakhir yang akan kita diskusikan, kritik retoris, berasal dari pengajaran dan
penelitian awal di lapangan. Kritik retoris adalah "proses memeriksa teks untuk melihat
bagaimana teks itu bekerja secara komunikatif" (Renegar & Malkowski, 2009, hlm. 51).
Namun, seperti disebutkan sebelumnya, para sarjana memiliki pandangan luas tentang apa yang
dianggap sebagai ​pesan ​atau ​teks. S ​ elain pidato, teks mencakup setiap dan semua aktivitas
simbolik — tindakan dan artefak nonverbal seperti selimut AIDS, pesan verbal tetapi bukan vokal
seperti pesan tertulis dan kartun, film, gambar, video web, dan pertunjukan identitas sehari-hari.

Kritik retoris bertujuan untuk memahami cara kerja teks tertentu. Bagaimana mereka berdampak
— atau gagal berdampak — pada pendengar dan pemirsa? Mengapa mereka memiliki dampak
yang mereka lakukan, atau tidak memiliki dampak yang diinginkan pencipta mereka? Untuk
menjawab pertanyaan semacam itu, kritikus retoris pertama-tama mendefinisikan objek kritik —
teks apa yang harus dipelajari. Kemudian, karena semua teks ada di dalam konteks, kritikus
memeriksa konteks (sosial, ekonomi, politik, dll.) Di mana teks itu berada.

Kritikus retoris telah memperdalam wawasan kita tentang teks-teks penting, seperti pidato
Elizabeth Cady Stanton, “Deklarasi Sentimen,” yang merupakan pidato utama pada konvensi
hak-hak perempuan pertama pada tahun 1848 (Campbell, 1989); Pidato "I Havea Dream" dari
Martin Luther King, Jr. tahun 1963 (Cox, 1989); dan George W. Bush tentang perbudakan di
Gorgee Island (Medhurst, 2010).
Singkatnya, sarjana komunikasi mengandalkan metode penelitian kuantitatif dan kualitatif,
penelitian kritis, dan kritik retoris. Setiap pendekatan berharga, dan masing-masing telah
berkontribusi pada keseluruhan pengetahuan yang membentuk komunikasi sebagai disiplin
ilmiah. Seringkali, peneliti menggabungkan dua atau lebih pendekatan dalam studi triangulasi. In
this book, you'll encounter research reflecting all of the primary approaches we've discussed, so
that you can appreciate the range of methods that scholars use to generate knowledge about
human communication. Much of this research is woven into the text of chapters, and selected
findings from research are highlighted in FYI boxes.

The Breadth of the Communication Field


As we have seen, the communication discipline originally focused almost exclusively on public
communication. Although public speaking remains a vital skill, it is no longer the only focus of
the communication field. The modern discipline can be classified into eight primary areas and a
number of other areas that are part of curricula in some schools.

Intrapersonal Communication
Intrapersonal communication ​is communication with ourselves, or self-talk. You might wonder
whether ​intrapersonal communication i​ s another term for ​thinking. D
​ i satu sisi, ya. Intrapersonal
communication does involve thinking because it is a cog- nitive process that occurs inside us. Yet
because thinking relies on language to name and reflect on ideas, it is also communication
(Vocate, 1994). Chiquella makes this point in her commentary.
Chiquella
I gure out a lot of things by thinking them through in my head. It's like having a trial run without risk.
Usually, after I think through different ideas or ways of approaching someone, I can see which one would
be best.

One school of counseling focuses on enhancing self-esteem by changing how we talk to ourselves
(Ellis & Harper, 1977; Rusk & Rusk, 1988; Seligman, 1990, 2002). For instance, you might say
to yourself, “I blew that test, so I'm really stupid. I'll never graduate, and, nobody will hire me.”
This kind of talk lowers self-esteem by convincing you that a single event (blowing one test)
proves you are worth- less. Therapists who realize that what we say to ourselves affects our
feelings urge us to challenge negative self-talk by saying, “One test is hardly a measure of my
intelligence. I did well on the other test in this course, and I have a decent overall college record. I
shouldn't be so hard on myself.” What we say to ourselves can enhance or diminish self-esteem.
(See the Sharpen Your Skill box on this page.)

We engage in self-talk to plan our lives, to rehearse different ways of acting, and to prompt
ourselves to do or not do particular things. Intrapersonal communication is how we remind
ourselves to make eye contact when giving a speech, show respect to others (“I need to listen to
Grandmother's story”), check impulses that might hurt others (“I'll wait until I'm calmer to say
anything”), and impress prospective employers (“I'll research the company before my interview”).

Intrapersonal communication also helps us rehearse alternative scenarios and their possible
outcomes. To control a disruptive group member, you might consider telling the person to “shut
up,” suggesting that the group adopt a rule that everyone should participate equally, and taking
the person out for coffee and privately asking him or her to be less domineering. You will think
through the three options (and perhaps others), weigh the likely consequences of each, and then
choose one to put into prac- tice. We engage in internal dialogues continuously as we reflect on
experiences, sort through ideas, and test alternative ways of acting.
Interpersonal Communication
A second major emphasis in the field of communication is interpersonal
communica- tion, which is communication between people. ​Interpersonal
communication ​is not a single thing but rather a continuum that ranges from quite
impersonal (interaction between you and a parking lot attendant) to highly
interpersonal (interaction between you and your best friend) (Figure 2.2). The
more we interact with a person as a distinct individual, the more interpersonal the
communication is.
Scholars of interpersonal communication study how communication creates and sustains
relationships and how partners communicate to deal with the normal and extraor- dinary
challenges of maintaining intimacy (Wood & Duck, 2006b). Research shows that intimates who
listen sensi- tively and talk openly have the greatest chance of sustaining a close relationship.
Research in this area has also shown that communication is a pivotal influence on how personal
relationships develop over time. For example, researchers have shown that cross-sex friends
engage in everyday talk less frequently than same- sex friends when communicating face-to-face
and by phone. However, cross-sex and same-sex friends do not differ in how much they engage in
everyday communication online (Ledbetter, Broeckelman-Post, & Krawsczyn, 2011).

Group and Team Communication


A third branch of the field is small-group communication, including communication in
decision-making committees and work teams. Small-group research focuses on leader- ship,
member roles, group features, agendas for achieving group goals, and managing conflict. Because
groups involve more than one or two people, much teaching and research in this area focuses on
how members coordinate their resources to arrive at collective decisions. In Chapter 11, we'll
consider how we adapt basic communication processes to be effective when we participate in
groups and teams.

A major focus of group communication scholars is team dynamics (Levi, 2010). Some scholars
who focus on group communication study issues such as group conflict, group participation,
errors in group decision making, and the dynam- ics of self-managing teams. Interestingly,
although self-directed teams are often described as free from the usual hierarchy of power, many
such teams become self-governing or self-policing. When this happens, the teams replace the
standard power figure with their own enforcement of the hierarchy's values and policies (Ashcraft
& Mumby, 2004).

Public Communication
Public speaking remains an important branch of the communication field. Even though many
people will not pursue careers that call for extensive formal speak- ing, many of us will be in
situations where speaking up is a responsibility. My editor makes presentations to her sales
representatives to explain what her books are about and how to spotlight important features to
professors who may want to use them in their courses. I recently coached my doctor, who was
asked to address her colleagues on a development in treatment of renal disease. My plumber
presents workshops to his staff to inform them of new developments in plumbing products and to
teach them how to communicate effectively with customers. My brother-in-law relies on public
speaking skills to try cases in court, and my sister gives public speeches to raise money for a
center for abused children. My editor, doctor, plumber, brother-in- law, and sister don't consider
themselves public speakers, but public speaking is a part of their lives.

Rhetorical critics often take a role in civic life by evaluating how well public figures support their
positions and respond to challenges from opponents. Scholars of public communication are also
interested in discovering and teaching principles of effective and ethical persuasion (Dillard &
Pfau, 2002; Simons, Morreale, & Gronbeck, 2001). Research has also enlightened us about the
kinds of argument, methods of organizing ideas, and forms of proof that listeners find ethical and
effective.

Within the area of public communication are sub-areas such as argumentation and political
communication. Argumentation focuses on how to build effective arguments by using sound
reasoning and strong evidence and by developing ideas in ways that respond to listeners' beliefs,
concerns, and goals. Skill in argumentation is essential for attorneys and anyone else who aims to
persuade others. Political communication has also emerged as a sub-area of public
communication. Scholars of political communica- tion are particularly interested in how
politicians connect or fail to connect with vot- ers, how political campaigns succeed or falter, how
social movements build awareness of issues such as the environment (Cox, 2010), and how
rhetorical skills influence the process of policy making (Cox & McCloskey, 1996).

Organizational Communication
Communication in organizations is another growing area of interest. The work of com-
munication scholars has identified communication skills that enhance professional success, and
scholars have traced the effects of various kinds of communication on morale, productivity, and
commitment to organizations. Scholars of organizational communication study interviewing,
listening, leadership, new technologies of commu- nication, and decision making.

In addition, scholars have begun to focus substantial attention on organizational cul- ture and
personal relationships in professional settings. ​Organizational culture ​is the general term for the
understandings about an organization's identity and codes of thought and action that members of
an organization share. Some organizations think of themselves as families. From this
understanding emerge rules for how employees should interact and how fully they should commit
to work.

Another area of increasing interest is personal relationships between co-workers. As we increase


the number of hours we spend on the job, and as the number of working women increases,
opportunities for romantic and sexual relationships in the workplace also increase. Obviously, this
adds both interest and complication to life in organiza- tions, as Melbourne notes in her
commentary. Co-workers may also be close friends, a relationship that is complicated if one
person has higher status than the other. Communication scholar Ted Zorn (1995) analyzed
“bosses and buddies,” relation- ships in which one friend is the boss of the other. Zorn discovered
a number of ways people cope with the often-contradictory rules for communication between
friends and between superiors and subordinates. He identified potential values and hazards of
friendships on the job.

Melbourne
It was a real hassle when my supervisor and I started going out. Before, he gave me orders like
he did all the other servers, and none of us thought anything about it. But after we started dating,
he would sort of ask me, instead of tell me, what to do, like saying, “Mel, would you help out in
section seven?” Another thing was that if he gave me a good station where tips run high, the
other servers would give me trouble because they thought he was favoring me because we go
out. And when he gave me a bad station, I'd feel he was being nasty for personal reasons. It was
a mess being his employee and his girlfriend at the same time.

Personal relations on the job also require that people from diverse cultures and social
communities learn to understand each other's styles of communicating. For example, women tend
to make more “listening noises,” such as “um,” “uh-huh,” and “go on,” than men do. If men don't
make listening noises when listening to women col- leagues, the women may mistakenly think the
men aren't interested. Conversely, men may misinterpret women's listening noises as agreement
rather than simply interest. Such misunderstandings can strain professional relations.
Mass Media
Mass media is an exciting area in the field of communication. From a substantial body of
research, we have learned a great deal about how mass media represent and influ- ence cultural
values. For instance, the use of young female models in ads and glamor- ous young women as
reporters and news anchors perpetuates the cultural feminine ideal, which centers on youth and
beauty. Films that portray men as daring, brave, and violent perpetuate strength and boldness as
masculine ideals.

As noted previously in this chapter, mass media sometimes reinforce cultural ste- reotypes about
race and ethnicity. Communication scholars heighten awareness of how media shape—and
sometimes distort—our perceptions of ourselves and society. Franklin's commentary addresses
this point.

Franklin
I hate the way television shows African Americans. Most of the time they are criminals or welfare
cases or drunks or Uncle Toms. When I watch TV, I understand why so many people think
blacks are dumb, uneducated, and criminal. We're not, but you'd never know it from watching
television.

Mediated Communication
We are in the midst of a technological revolution that gives us the means to commu- nicate in
more ways at faster speeds with greater numbers of people throughout the world than ever before.
How do newer technologies and the accompanying acceleration of the pace of interaction
influence how we think and work and how we form, sustain, and end relationships? Some
scholars caution that new technologies may undermine human community, whereas others
celebrate the ways that mediated communication facilitates building community. Some scholars
claim that new communication technologies will fundamen- tally transform how we think and
process information (Steele, 2009). And some technology scholars cau- tion that the abundance of
information we can now get on any topic is useless unless we learn how to evaluate it critically
and transform raw information into knowledge (Steele, 2009).

Clearly, the verdict on personal and social media will not be in for some time. Meanwhile, we all
struggle to keep up with our increasingly technological world. Today, students conduct much of
their research on the Web or through special- ized information services on the Internet, and
friends and romantic partners text and instant message to stay in touch throughout the day.
Communication scholars will continue to study whether emerging technologies merely alter how
we communicate or actually change the ​kinds of relationships we build.

Intercultural Communication
Although intercultural communication is not a new area of study, its importance has grown in
recent years. The United States has always been made up of many peoples, and demographic
shifts in the last decade have increased the pluralism of this country. Increasing numbers of
Asians, Latinos and Latinas, Eastern Europeans, and people of other ethnic backgrounds
immigrate to the United States and make their homes here. They bring with them cultural values
and styles of communicating that differ from those of citizens whose ancestors were born in the
United States.

Studying intercultural communication increases our insight into different cultures' communication
styles and meanings. For example, a Taiwanese woman in one of my graduate classes seldom
spoke up and wouldn't enter the heated debates that are typi- cal of graduate classes. One day after
class, I encouraged Mei-Ling to argue for her ideas when others challenged them. She replied that
doing so would be impolite. Her culture considers it disrespectful to contradict others. In the
context of her culture, Mei-Ling's deference did not mean that she lacked confidence.

A particularly important recent trend in the area of intercultural communication is research on


different social communities within a single society. Cultural differences are obvious in
communication between a Nepali and a Canadian. Less obvious are dif- ferences in
communication between people who speak the same language. Within the United States are
distinct social communities based on race, gender, sexual preference, and other factors. Members
of social communities such as these participate both in the overall culture of the United States and
in the more specialized norms and practices of their communities. Recognizing and respecting
different communication cultures increases personal effectiveness in a pluralistic society.
Meikko's commentary reminds us of how cultural values are reflected in language.

Meikko
What I nd most odd about Americans is their focus on themselves. Here, everyone wants to be
an individual who is so strong and stands out from everyone else. In Japan, it is not like that. We
see ourselves as parts of families and communities, not as individuals. Here, I​ ​and m ​ y ​are the
most common words, but they are not often said in Japan.

Scholars and teachers of intercultural communication do not limit their work to minority
cultures and social communities. A good example of this is the grow- ing interest in what is called
whiteness studies. T ​ his area of research and teaching explores what it means to be white.
Members of dominant or majority groups often perceive their identities and communication as
“standard” or “normal” and per- ceive the identities and communication of all other groups as
different from those of majority groups. Whiteness studies help us realize that white (and other
dominant groups) is just as much a race–ethnicity as black or Native American, and that white
communication practices are shaped by cultural influences as much as those of other groups are.

Other Curricular Emphases


The eight areas we have discussed are primary ones that are taught at most colleges and
universities around the country. In addition to these widely accepted curricular offerings, there are
other areas of communication that are emphasized at particu- lar schools. These include ethics,
health communication, journalism, performance studies, religious communication, and speech and
hearing. Coursework in health communication is often offered at universities that have premier
medical schools, and training in religious communication is desired at schools that have religious
missions.

Blurring the Lines


The areas of the field that we've just discussed are not as discrete as they may seem. Just as
technologies of communication have converged in significant ways, so, too, do areas of the
communication discipline converge and interact. For example, my niece Michelle and I instant
message (IM) each other several times each day. Our IMs are both social media and interpersonal
communication. Similarly, when we Skype with friends, we're simultaneously engaging in
interpersonal and computer-mediated com- munication. Mass communication technology such as
television and satellites allow citizens to watch public speeches as they happen. These examples
remind us that the areas of communication often overlap and interact.
Unifying Themes in the Communication Field

After reading about the many different areas of study in communication, you might think that the
field is a collection of unrelated interests. Itu tidak akurat. Although there are distinct elements in
the communication mosaic, common themes unify the diverse areas of the discipline, just as
common colors and designs unify a tile mosaic. Three enduring concerns—symbolic activities,
meaning, and ethics—unify the diverse areas of communication.

Symbolic Activities
Symbols are the basis of language, thinking, and nonverbal communication. Symbols are
arbitrary, ambiguous, and abstract representations of other phenomena. For instance, a wedding
band is a symbol of marriage in Western culture, and a smile is a symbol of friendliness. Symbols
allow us to reflect on our experiences and ourselves. Symbols also allow us to share experiences
with others, even if they have not had those experiences themselves. We will discuss symbols in
greater depth in Chapters 4 and 5, which deal with verbal and nonverbal communication,
respectively.

Meaning
Closely related to interest in symbols is the communication field's concern with mean- ing. The
human world is a world of meaning. We don't simply exist, eat, drink, sleep, and behave. Instead,
we imbue every aspect of our lives with significance, or meaning. When I feed my cat, Sadie, she
eats her food and then returns to her feline adventures. However, we humans layer food and
eating with meanings beyond the mere satisfaction of hunger. Food often symbolizes special
events or commitments. For example, kosher products reflect commitment to Jewish heritage, and
turkey is commonly associated with commemorating the first Thanksgiving in the United States
(although vegetarians symbolize their commitment by ​not ​eating turkey). Eggnog is a Christmas
tradition, and mandel brot is a Hanukkah staple. Birthday cakes celebrate an individual, and we
may fix special meals to express love to others.

Some families consider meals to be occasions for coming together and sharing lives, whereas in
other families meals are battlefields for playing out family tensions. A meal can symbolize status
(power lunches), romance (candles, wine), a personal struggle to stick to a diet, or an excuse to
spend two hours talking with a friend. Humans imbue eating and other activities with meaning
beyond their functional qualities. Our experi- ences gain significance as a result of the values and
meanings we attach to them.

Because we are symbol users, we actively interpret events, situations, experiences, and
relationships. We use symbols to name, evaluate, reflect on, and share experiences, ideas, and
feelings. In fact, as Benita's commentary points out, when we give names to things, we change
how we think about them. Through the process of communicat- ing with others, we define our
relationships. Do we have a friendship, or something else? How serious are we? Do we feel the
same way about each other? Is this conflict irresolvable, or can we work it out and stay together?
To study communication, then, is to study how we use symbols to create meaning in our lives. As
we interact with others, we build the meaning of friendship, team spirit, family, national identity,
and organizational culture.

Benita

It's funny how important a word can be. Nick and I had been going out for a long time, and we
really liked each other, but I didn't know if this was going to be long-term. Then we said we loved
each other, and that changed how we saw each other and the relationship. Just using the word
love ​transformed who we are.

Ethics
A third theme that unifies the field of communication is concern with ethical dimen- sions of
human interaction. ​Ethics ​is a branch of philosophy that focuses on moral principles and codes of
conduct. Apa yang benar? Apa yang salah? What makes some- thing right or wrong?
Communication inevitably involves ethical matters because peo- ple affect each other when they
interact (Makau, 2009). Therefore, it's important to think seriously about what moral guidelines
we should follow in our communication and in our judgments of others' communication.

One ethical principle that is applicable to a broad range of situations is allowing others to make
informed and willing choices. Adopting this principle discourages us from deceiving others by
distorting evidence, withholding information, or coercing consent. Another important principle of
ethical communication is respect for differ- ences between people. Embracing this guideline
deters us from imposing our ways and our values on others whose experiences and views of
appropriate communication may differ from our own.

Like most fields of study, communication includes many areas, which have evolved over a long and distinguished
intellectual history. In this chapter we reviewed the more than 2,500-year history of the discipline of com- munication
and noted how it has changed over time. We also discussed methods of conducting research that are used by scholars
of communication.

The final section of the chapter described areas that are part of the modern field of communication, and we noted that
these areas are unified by abiding interests in symbolic activities and meanings, as well as by a com- mon interest in
basic processes that form the founda- tions of personal, interpersonal, professional, civic, and mediated
communication. The foundations established in this chapter and in Chapter 1 prepare us for chapters that focus on
basic processes and skills that pertain to a wide range of communication contexts.
REVIEW, REFLECT, EXTEND
The Reflect, Discuss, and Apply Questions that fol- low will help you review, reflect on, and extend the information
and ideas presented in this chapter. These resources, and a diverse selection of additional study tools, are also
available online at the CourseMate for ​Communication Mosaics. ​Your CourseMate includes a student workbook,
WebLinks, TED Talks hyper- links and activities, chapter glossary and flashcards, interactive video activities, Speech
Builder Express, and InfoTrac College Edition. For more information or to access this book's online resources, visit
www.cengagebrain.com​.

KEY CONCEPTS
● critical research methods, 29
● ethics, 39
● ethos, 24
● interpersonal communication, 32
● intrapersonal communication, 31
● logos, 24
● organizational culture, 34
● pathos, 24
● qualitative research methods, 29
● quantitative research methods, 28
● triangulation, 30

Reflect, Discuss, Apply


1. Review the areas of communication discussed in the section on the breadth of the communication field.
In which areas do you feel most competent as a communicator? In which areas do you feel less
competent? Identify one goal for improving your communication competence that you can keep in mind
as you read the rest of this book.
2. This chapter provides an overview of the field of communication and notes how it has evolved in
response to social changes and issues. As a class, identify major changes you anticipate in US society in
the next 50 years. What kinds of changes in the field of communication might be prompted by the social
changes you anticipate?

3. As a class, develop a survey to get experience with collecting data. Develop a survey with 2-3 questions to
learn about attitudes held by students on your campus toward a subject your class finds interesting. For
instance, you might survey student attitudes regarding the values of college education (how important is
college for (a) personal growth, (b) intellectual growth, (c)​ ​career success?) or your campus's efforts to
be environmentally responsible. After the class prepares the survey, each student should collect
responses from 10 students. Then the class should tally all responses and discuss what the survey
reveals.

Recommended Resources
1. Go to your library or an online database, such as Gale or InfoTrac College Edition, that provides full
articles from academic journals. Read this article: Elise Dallimore, Julie Hertenstein, and Marjorie Platt
(2004). Classroom participation and discussion effectiveness: Student-generated strategies.
Communication Education, 53, 1​ 03–115. After reading the article, answer the following questions:
a. What methods of research were used by the authors to conduct this study?
b.​ ​What teacher behaviors did students identify as most helpful in enhancing the quality of
classroom discussion?
Sebuah. How might the findings of this study be applied to other contexts, such as
communication in work groups and parent–child conversations?

2. Josina Makau's (2009) chapter on ethical and unethical communication is important


for all students in the field. Consider how the ethical frameworks discussed in her
chapter might inform volunteer civic service.
3. Go to the book's online resources for this chapter and click on WebLink 2.4 to access
NCA's online magazine, ​Communication Currents. Y ​ ou will find articles that reflect
current research and teaching in the field.
EXPERIENCE COMMUNICATION CASE STUDY

Communication Ethics

apply what you've learned in this chapter by analyzing the following case study, using the
accompanying questions as a guide. These questions and a video of the case study
are also available online through your CourseMate for ​Communication Mosaics.

This case study differs from the others in this text because it is an actual interview, not an enacted
fictional scenario. In the interview, Jenna Hiller asks Dr. Tim Muehlhoff some questions about
communication and ethics, and Dr. Muehlhoff's responses elaborate on and clarify material
covered in this chapter.
​Student: ​I'm still not sure I understand what you mean. I don't see how listening and responding
to others involves ethical choices.

Student: ​In Chapter 2, Dr. Wood states that “ethical issues infuse all forms of communication.”
Can you explain what she means?
Professor: ​Well, in Chapter 2 she denes ethics as a branch of philosophy that's concerned with
moral principles and conduct—what's right and what's wrong. But can you see how much
personal choice is involved in that denition? Who gets to decide what is right and what is
wrong? I was in Barnes
& Noble a couple of months ago and saw a book called, ​What Would Machiavelli Do? The Ends
Justify the Meanness. N ​ ow, you may remember that Machiavelli was one of the most ruth- less
politicians, and he lived in the early 1500s. He believed that success was the goal, and you should
get it however you wanted to. And in the book, this author says, “This book is for people with the
courage to leave decency and kindness behind, and seize the future by the throat and have it
cough up money, power, and superior office space.” So if Machiavelli is your ethical guide, then,
when giving a speech, make up statistics. Plagiarize part of it, and say that it's your speech. When
it comes to interpersonal communication, win an argu- ment at all costs. Manipulate a person's
emotions. If they've conded information to you, go ahead and use their words against them. In
small-group communication, ignore a partic- ular person you don't agree with. Every time they
start to talk, you just interrupt them. But you know, Machiavelli's not our only choice. What
would our communication look like if we asked the question, “What would Gandhi do?” or
“What would Martin Luther King, Jr., do?” or “What would Jesus do?” How would that change
how we communicate with people? We would choose what is right for everybody. We would
choose to try to respect everybody. Machiavelli or Gandhi are some of the choices we have to
make in all of our communication.

Professor: ​Well, my favorite quote about listening comes from Reuel Howe's book, ​The Miracle
of Dialogue. I​ n it, he says, “I cannot hear you because of what I expect you to say.” Dan itu benar,
bukan? We often judge people prematurely. We form unethical stereotypes of people, and then we
respond to the stereotype rather than the person. For instance, when I was teaching at
UNC-Chapel Hill with Julia Wood, there was a colleague of ours who was heavily criticized for
using gang- sta rap lyrics in a commencement address. And I was one of the critics. Even though I
had not heard the speech, I thought to myself, “How can you use lyrics that are lled with anger,
racism, and sexism?”—until I actually sat in on his class and listened to his rationale. I found out
that this professor did not condone violence or sexism. He did argue that there's a lot we can learn
about individuals by listening to their music. And I remember him saying once, “Hear the
violence in those songs and condemn it. Hear the sexism, and condemn it. But also hear the pain
and the hopelessness, and respond to it.” You see, I had formed a caricature of this man, a
stereotype— and that's unethical. Ethical communication means I allow you to speak for yourself,
and then I respond to what you say—but I don't put words in your mouth and conform you to the
image I want you to have.

Student: ​Also in Chapter 2, Dr. Wood states that a principle for ethical communication is
respecting differences between people. Am I supposed to just accept everyone and every value?

Professor: ​There's an old Jewish proverb that says, “It is folly and shame to speak before
listening.” The folly part I think we can understand. It's folly for me to respond to you if I don't
know what you're saying. That's uninformed communication. The second part deals with ethics. It
is shameful for me to respond to you before I listen. In other words, I view you as an inferior. I
don't even need to listen to your perspective before I respond to it. Ethical communication does
not mean that I have to accept the views of every person. It does mean that all my communication
needs to be informed, and I treat people as equals, not as people who are inferior to me. In
Chapter 7 Julia talks about communication climates, which is the overall mood between two
people when they com- municate. Now imagine what that communication climate would be like if
our communication was both informed and respectful.

1. Dr. Tim Muehlhoff quoted the following statement from ​The Miracle of Dialogue: “​ I cannot
hear you because of what I expect you to say.” Recall some instances in your own life where
you have been unable to hear what someone was saying because of your expectations and
stereotypes of that person.
2. Dr. Muehlhoff also noted that he had seen a book entitled, ​What Would Machiavelli Do? The
Ends Justify the Meanness H​ e then suggested that there are many people we might pick as our
ethical guides. Whom would you pick as your guide for ethical communication? Fill in the
blank in this sentence: What would ​melakukan? What ethical principles for communication
follow from your choice of an ethical guide?
3. What ethical choices did Dr. Muehlhoff make in his conversation with Jenna Hiller about the
relevance of ethics to communication?
4. Review “The New Employee,” the case study for Chapter 1. What ethical choices did the
senior employee make in communicating with Toya?

Anda mungkin juga menyukai