Forensic rhetoric
Epideictic rhetoric
Deliberative rhetoric
INTEGRATION, CRITIQUE, AND CLOSING
Test of timedari 2000 tahun yang lalu hingga kini, teori ini selalu dibicar
akan dalam buku, riset, dan kegiatan belajar mengajar.
PENGERTIAN DRAMATISME DAN SEJARA
H DRAMATISME
Dramatisme adalah teori retorika konvensional yang cenderung me
musatkan perhatian pada bagaimana wacana memengaruhi cara or
ang berpikir. Diformulasikan oleh Kenneth Duva Burke, dramatisme
menambah kedalaman pada teori retorika.
Kenneth Duva Burke adalah seorang teoritis retorika amerika terna
ma di abad dua puluh. Tidak seperti akademisi modern lainnya, Burk
e bukanlah seorang intelektual eropa atau ekspatriat prancis. Lahir d
i Pittsburg, Burke banyak menghabiskan masa mudanya di sebuah
desa kecil. Burke tidak pernah lulus sarjana. Ia hanya belajar secara
otodidak di bidang literatur kritik, filosofi, komunikasi, sosiologi, ekon
omi, teologi dan linguistik. Pemikirannya yang ketiga yang paling ber
pengaruh dalam kajian retorika adalah dramatisme. Di awal tahun 1
920 sampai 1930-an sebagai seorang kritis, Burke mulai menciptaka
n teori dramatisme untuk membantu menunjukan pandangannya ter
hadap literasi. Burke memulai karirnya sebagai kritikus literasi namu
n diperluas dengan ketertarikannya menganalisis dan mengkritik se
mua wacana, terkhususnya yang mengarah pada kerjasama dan pe
rsaingan dalam masyarakat.
ASUMSI DRAMATISME
Gambaran mengenai tiga asumsi teori dramatisme berik
ut ini adalah (Griffin, 2005: 303):
Tindakan (act)
Adegan (scene)
Agen (agent)
Agensi (agency)
Tujuan (purpose)
Pentad Drama
KRITIK DRAMATISME
Beberapa kritikus mengeluh bahwa teori Burke tidak terlalu jel
as dan tidak terlalu spesifik. Dramatisme dipandang oleh seba
gian orang terlalu rumit dan membingungkan (Foss, Foss, & T
rapp, 1991). Bahkan pendukung Burke mengakui bahwa buku
nya sulit untuk dibaca. Marie Hochmuth Nichols (1952) menyi
mpulkan (Turner dan West 2007: 36)
Teori Burke sulit dan kadang membingungkan. Pemikirannya t
idak bisa dipahami dengan membaca sekilas berbagai volume
bukunya. Kesulitan muncul dari berbagai kosa kata yang ia pa
kai. Kata-katanya dalam konteks tertutup biasanya cukup sed
erhana, namun ia sering menggunakannya dalam konteks yan
g baru. Dengan membaca salah satu dari bukunya, tanpa me
mperhatikan kronologi publikasi, membuat masalah pemaham
an lebih sulit karena terdapat makna khusus yang melekat pa
da berbagai kata dan frase.
LANJUTAN
KEGUNAAN
Beberapa peneliti mengamati bahwa dramatisme kurang
dapat memenuhi kriteria kegunaan. Secara garis besar kri
tik yang disampaikan oleh Condit (Condit, 1992; Murray 2
003) tidak menyangkal adanya kontribusi besar yang dibe
rikan oleh teori Burke.
HEURISME
Sehubungan dengan heurisme, kebanyakan kritikus sepa
kat bahwa teori dramatisme sangat sukses. Misalnya saja,
dramatisme pada mulanya digunakan dalam analisis retori
s dari pidatopidato, tetapi sekarang fokusnya telah meleb
ar ke wacanawacana yang lainnya
PENGERTIAN PARADIGMA NARATIF
Terlepas dari insiden yang dilaporkan, yang dikenali, pola diprediksi narasi
telah dikembangkan dalam pelaporan berita. Pola ini, pada dasarnya, me
mbantu masyarakat dalam membangun makna dan memungkinkan untuk
prediksi liputan berita masa depan dan makna angkut. Pola cakupan terdir
i dari urutan lima bagian dari narasi:
individu / kolektif,
pengkambinghitaman,
pencegahan,
membayangkan masa depan, dan
refleksi.(cf., Burke, 1969; Jacobs, 1996; MacIntyre, 1981; Scott, 2000; Un
gar, 1998, untuk diskusi dari masing-masing jenis narasi tersebut).
Pengertian KAJIAN BUDAYA
Kajian disiplin ilmu lain telah terlebih dahulu mendefinisikan istila
h budaya (culture) yang dimasukkan ke dalam konsep masing-m
asing disiplin humaniora dan sosial, seperti antropologi, sosiolog
i, politik, ekonomi dan seterusnya. Koentjaraningrat memberikan
definisi budaya sebagai sistem gagasan, tindakan dan hasil kary
a manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan
milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1990: 180).
Dan, James Spradley nampaknya hampir sependapat dengan K
oentjaraningrat. Ia mengatakan budaya merupakan sistem penge
tahuan yang diperoleh manusia melalui proses belajar, yang kem
udian mereka gunakan untuk menginterpretasikan dunia sekelilin
gnya, sekaligus untuk menyusun strategi perilaku dalam mengha
dapi dunia sekitar.
Karakter Akademik Kajian Budaya
Menurut Barker, inti kajian budaya bisa dipahami sebagai kajian tentang bud
aya sebagai praktik-praktik pemaknaan dari representasi (Barker, 2000: 10). T
eori budaya marxis yang menggali kebudayaan sebagai wilayah ideologi yan
g lebih banyak dijelaskan pada aliran wacana ( discourse) dan praktik budaya
seperti layaknya media berupa teks-teks (sosial, ekonomi, politik)
Chris Barker (2000) mengakui bahwa kajian budaya tidak memiliki titik acua
n yang tunggal. Selain itu, kajian budaya memang terlahir dari indung alam
pemikiran strukturalis/pascastrukturalis yang multidisipliner dan teori kritis
multidisipliner, terutama di Inggris dan Eropa kontinental. Artinya kajian bud
aya mengkomposisikan berbagai kajian teoritis disiplin ilmu lain yang dikem
bangkan secara lebih longgar sehingga mencakup potongan-potongan mod
el dari teori yang sudah ada dari para pemikir strukturalis/pascastrukturalis.
Sedangkan teori sosial kritis sebenarnya sudah mendahului tradisi disiplin "k
ajian budaya" melalui kritik ideologinya yang dikembangkan Madzhab Frank
furt. Sebuah kritik yang dimaknai dari pandangan Kantian, Hegelian, Marxia
n, dan Freudian. Sehubungan dengan karakter akademis, pandangan lain dar
i Ben Agger (2003) membedakan kajian budaya sebagai gerakan teoritis, da
n kajian budaya sebagai mode analisis dan kritik budaya ateoritis yang tidak
berasal dari poyek teori sosial kritis, yaitu kritik ideologi (Agger, 2003).
Teori Kajian Budaya
Galeri seni, bagi Bourdieu, diperuntukkan bagi kelas berbudaya dengan hak-hak istime
wa. Selanjutnya, perbedaan hak ini dilegitimasi dengan pembedaan cita rasa antara ya
ng baik dan yang buruk, antara yang diperuntukkan bagi kelas pekerja dan kelas kong
lomerat. Kedua,cultural studiestak independen, terpisah, dan menyendiri dari budaya,
melainkan inheren dalam objek kajiannya. Ia bertujuan memahami kompleksitas buda
ya dan menganalisis konteks sosial dan politik tempat budaya mengejawantahkan diri.
Ketiga,cultural studiesmemiliki fungsi ganda. Selain sebagai objek studi, juga sebagai
media tindakan kritisisme politik. Tujuannya menjadi usaha intelektual sekaligus usaha
pragmatis. Keempat,cultural studiesantispesialisasi. Ketika sifat solidaritas organik ma
syarakat modern menuntut adanya spesialisasi dan pemilahan ilmu pengetahuan, ia m
alah melakukan penyatuan dan mengatasi perpecahan itu. Ia ingin membentuk identit
as dan kepentingan bersama dalam hubungan antara yang mengamati dan yang diam
ati, antara yang mengetahui dan yang diketahui.
Karakteristik terakhir, dengan melakukan evaluasi moral atas masyarakat modern, cultu
ral studiesbertujuan mengubah struktur dominasi, terutama dalam struktur masyaraka
t kapitalis industrial. Ia bukanlah tradisi intelektual bebas nilai yang mengabaikan atau
mendukung penindasan. Melainkan tradisi yang memiliki komitmen bagi rekonstruksi
sosial dengan terjun ke dalam praktek politik.