Perjalanan retorika sangat panjang, sejak zaman klasik hingga sekarang. Barthes
(2007 :95) Membatasi masa keemasan retorika selama dua setengah Milenium dari
zaman gorgias hingga Napoleon III, sehingga disebut sebagai Imperium retorika.
selama 3 abad sejak zaman Renaissance dianggap sebagai masa
kemunduran.Meskipun demikian ada sejumlah konsep yang seolah-olah masih
bertahan hingga sekarang, seperti pemahaman bahwa makna tidak terkandung
dalam kata-kata, melainkan di dalam diri kita, sehingga manusia lah yang dianggap
sebagai alat ukur Ukur segala sesuatu titik demikian juga 5 langkah penting dalam
kaitannya dengan produksi wacana, khususnya sebagaimana dikembangkan oleh
cicero dan Quintilianus (Shipley , 1962: 342-343; Noth, 1990: 340-341), yaitu : a)
Inventio ( Discovery), b) dispositio, taxis, oikonomia (arra ngement, order), c) elucutio, lexis
(expression), d) memoria, mneme (memory) dan e) hypokrisis, actio, pronuntiatio (delivery),
Ternyata masih relevan dalam kaitannya dengan perkembangan retorika modern.
langkah pertama adalah menemukan, menganalisis materi, Langkah kedua adalah
penyusunan materi, Langkah ketiga merupakan ekspresi pikiran, gagasan melalui
bahasa yang tepat, langkah keempat dilakukan dengan cara mengingat,
menghafalkan, langkah kelima adalah penyajian pidato itu sendiri, dengan suara,
sikap, dan cara-cara lainnya.
Dikaitkan dengan Langkah kedua, yaitu pidato itu sendiri, retorika klasik
dibedakan menjadi 6 bagian, yaitu: a) exordium , pembukaan yang harus di
kemukakan secara jelas, b) narratio,Pernyataan fakta dan kasus, c) divisio, kerangka
dasar pembicaraan, d) convirmatio, Argumentasi fakta, e) reputatio, penolakan
terhadap fakta-fakta yang berlawanan, dan f) peroratio, Sebagai kesimpulan,
rangkuman. Barthes (2007: 93-94) Menunjukkan sejumlah praktisi sosial yang
pernah muncul di barat yang terjadi sejak abad ke-5 SM Hingga abad ke-19 M, yaitu:
a) retorika sebagai teknik, sebagai seni persuasi, b) sebagai seni mengajar, c)
sebagai ilmu sebagai protosains, d) retorika retorika sebagai sistem moral, e)
retorika sebagai praktik sosial, dan f) Retorika sebagai semacam permainan, parodi,
dan alusi. diantara ke enam langkah diatas Aristoteles (Ricoeur, 1984:9) hanya
memasukkan tiga ciri, yaitu : inventio, elucutio, dan compositio. Gaya bahasa
terkandung dalam ciri kedua (elucutio), Gara-gara mengemu gagasan tepat.
Dengan adanya potensi retorika sebagai salah satu sarana untuk menjadi
pemimpin negara di satu pihak, mulai diakuinya kebebasan berbicara di pihak yang
lain, retorika mulai diajarkan di sekolah-sekolah formal. pada saat ini retorika
seolah-olah menyanyi filsafat, retorika sebagai relasi oposisi dialektika. lahirnya
sejumlah ahli pidato, diantaranya : Gorgias (485-380), Protagoras (480-410), Sokrates
(470-399), Aristoteles (384-322), Demosthenes (384-322), Ihrasymachus 200). Menurut
Josiah Ober (2001: 156) retorika ada dua macam, retorika praktis (rhetores) dan
retorika kritis (rhetorik). Yang pertama dikenibangkan oleh orator politik praktis,
seperti pada institusi yudisial dan legislatif di Athena. Yang kedua merupakan
penolakan, dikemukakan oleh para guru formal. Kedua ide inilah yang pada
gilirannya memberikan dasar pemikiran pada Plato dan Aristoteles.
Aristoteles lahir di Stagira, Yunani Utara, tahun 384 SM, nikah dengan Herpyllis
(Losco, 177-178). Paling dikenal dengan gagasan bahwa manusia adalah binatang
politik (zoon politikon), Dua buku penting yang ditulis oleh Aristoteles Rhetoric dan
Poetic. Kedua buku seolah-olah saling berhubungan.
Aristoteles (Shipley, 1962: 342; Ric oeur, 1984:7-13) Membedakan antara puitika
dan retorika. Puitika adalah teori sastra dalam kaitannya dengan Epic, drama, dan
lirik. esensi Puisi adalah imitasi, sedangkan persuasi adalah esensi retorika. tujuan
retorika adalah efektivitas praktis, sedangkan tujuan politik adalah keindahan.
retorika memberikan perhatian pada penalaran. Pada penciptaan dikaitkan dengan
subjek kreatornya, perbedaan tampak pada wacana yang dihasilkan. Apabila subjek
Creator retorika bertujuan untuk mempengaruhi pendengar, subjek Creator puitika
bertujuan untuk melukiskan kehidupan. Pada gilirannya tujuan akhir retorika
adalah aksi tindakan. Cara-cara yang dilakukan misalnya: mempengaruhi,
meyakinkan, bahkan juga memerintah,Menekan. Tujuan akhir puitika adalah
stimulasi spirit dan imajinasi misalnya, dengan cara menghibur, memikat, dan
membelokkan perhatian (refraksi). Persuasi tidak ditujukan pada person, tetapi
pada kelas tertentu. menurut Barthes (2007;103-105), Retorika dan puitika bersatu
pada abad pertengahan, di dalamnya seorang rethor sekaligus adalah penyair.
Hubungan antara retorika dengan puitika inilah yang dianggap sebagai awal
lahirnya gagasan mengenai sastra, sekaligus memposisikan retorika sebagai gaya,
bukan penalaran. dikaitkan dengan ciri-cirinya yang sangat dekat dengan selera
publik, retorika Aristoteles memiliki implikasi yang sangat kuat dengan budaya
masa . dalam budaya masa, dengan bantuan teknologi, segala sesuatu tampak
seolah-olah benar.
Persuasi ada dua macam, artistik dan non artistik, atau juga disebut saintifik dan
non saintifik. persuasi artistik lahir melalui kemampuan pembicara sendiri . non
artistik sudah ada sebelumnya seperti kesaksian, pengakuan karena penyiksaan,
perjanjian tertulis, dan sebagainya. Artistik ditemukan, non artistik semata-mata
digunakan. Menurut Aristoteles (Cooper, 1932:8-9) teknik persuasi artistik diperoleh
melalui tiga cara, sebagai peralatan persuasi, yaitu: a) melalui ciri-ciri personal
(ethos) pembicara, b) memperlakukan audiens ke dalam kerangka pemikiran
tertentu, membangkitkan sikap tertentu pendengar, c) membatasi fungsi ekspresi,
referensial, dan seruan wacana. Yang terpenting adalah yang terahir. Ada tiga
model seruan, yaitu: a) etika, b) emosional, dan c) rasional. Cicero hanya
menyebutkan dua model, yaitu: menggerakkan aspek emosional (movere) dan
ditaktik (docere) sedangkan Horace justru menambahkan satu faktor lagi yaitu
kenikmatan (delectare). Dalam Rhetorics Sudah terkandung masalah-masalah yang
berkaitan dengan penggunaan bahasa, sebagai gaya, meskipun masih dianggap
sebagai bersifat pelengkap. Sebelumnya Gorgias (427 SM) juga pernah
mengemukakan perlunya aspek-aspek stilistika dalam pidato.
Retorika modern tidak jauh bergeser dari konsep-konsep retorika klasik dengan
sedikit modifikasi, lima prinsip dasar retorika klasik di atas tetap dimanfaatkan
dalam retorika modern. Dengan adanya tradisi tulis, retorika modern jelas
didominasi oleh bahasa tulis. secara cermat Hendricus(1991:28-40) Mencatat
sejumlah tokoh retorika modern meliputi 4 negara, yaitu: a) Prancis, b) Inggris, c)
Amerika Serikat, dan d) Jerman. Tokoh-tokoh retorika Perancis, diantaranya:
Mirabeaus (1749-1791). Tokoh-tokoh retorika Inggris, diantaranya: Thomas Wilson,
Francis Bacon (1561-1626), William Shakespear (1564-1616), Oliver Cromwell (1599-
1660), John Milton (1608-1674), William Pit (Senior dan Yunior), Henry Fox (1705-
1774), Edmund Burke (1729-1797), William Gerard Cobden (1804-12865), John Bright
(1811-1889), Joseph Chamberlain (1834-1914), David Lloyd George (1863-1945), dan
Winston Spencer Churchil (1874-1965). Tokoh-tokoh retorika Amerika Serikat,
diantaranya: Patrick Henry (1736-1799), John Calhoun (1782-1850), Daniel Webster
(1782-1852), Abraham Lincoln (1809-1865), Theodore Roosevelt (1858-1919), Franklin
Delano Roosevelt (1882-1945), John Fitzgerald Kennedy (1917-1963), Robert Francis
Kennedy (1925-1968), dan Martin Luther King (1925-1968). Tokoh-tokoh retorika
Jerman, diantaranya: Adolf Hitler (1889-1945), Herman Goering (1893-1946), Joseph
Goebles (1897-1945), dan Konrad Adenauer (1876-1967).
Ilmu pengetahuan modern berkembang dari barat . demikian juga teori teori
sastra khususnya teori sastra modern. Genre sastra seperti Soneta jenis-jenis puisi
bebas, cerpen dan novel berasal dari barat. pengakuan ini tidak mengurangi nilai
sastra Indonesia. penelusuran sejarah justru penting untuk mengetahui seberapa
jauh aspek-aspek tersebut telah terserap dan berubah menjadi Khazanah
kebudayaan kita. tidak perlu ditolak secara keseluruhan dan tidak perlu
dikhawatirkan dari mana asalnya. masalah yang paling penting adalah bagaimana
kita bisa mengembangkannya sehingga bermanfaat bagi kehidupan kita.
Beda dengan di barat (lihat II.1), Perkembangan stilistika di Indonesia sangat
lambat bahkan hampir tidak mengalami kemajuan. Masalah yang sama Juga terjadi
terhadap studi yang dianggap sebagai genesisnyai, yaitu retorika. retorika hanya
dipahami sebagai bahasa dalam kaitannya dengan kemampuan berpidato.
penelitian tentang stilistika pada umumnya terbatas sebagai sub bagian dalam
sebuah buku teks atau dalam skripsi dan tesis. kualitas penelitian pun terbatas
sebagai semata-mata pemakaian bahasa yang khas sebagai gaya bahasa.
Buku pertama dalam kaitanya dengan gaya bahasa ditulis oleh Slametmuljana .
Meskipun tidak secara eksplisit menyebutkan istilah gaya bahasa dan stilistika tetapi
dikaitkan dengan judulnya yaitu Peristiwa Bahasa dan Peristiwa Sastra (1956) Dapatlah
disebutkan bahwa buku tersebut mengawali studi stilistika di Indonesia . sebagian
besar pembicaraan yang dilakukan berkaitan dengan bahasa sastra, khususnya
puisi, yang disebut sebagai kata berjiwa, bahasa kontekstual, yang di bedakan
Dengan bahasa kamus, bahasa dengan arti tetap, sebagai bahasa bebas konteks.
menurut Slametmuljana, pemahaman mengenai kata-kata berjiwa inilah yang
disebut sebagai stilistika . bahasa adalah alat untuk mewujudkan pengalaman jiwa
yaitu cinta dan rasa ke dalam rangkaian bentuk kata yang tepat dan dengan
sendirinya sesuai dengan tujuan pengarang.
Teeuw Dalam bukunya yang berjudul Tergantung Pada Kata (1980) Menganalisis
10 puisi dari 10 penyair terkenal, sehingga dapat mewakili ciri-ciri pemakaian
bahasa pada masing-masing puisi sekaligus mewakili kekhasan personalitas
pengarangnya. semua pembicaraan mengenai gaya bahasa sudah diangkat ke
tataran sistem sosial sehingga dapat disebut sebagai stilistika sastra. judul itu sendiri
menunjukkan hakikat kemampuan kata-kata dalam mengevokasi makna. Seperti
dikemukakan dalam pendahuluan, membaca puisi berarti bergulat secara terus-
menerus terhadap struktur bahasa. sanjak yang baik adalah perjuangan total
penyair, dan oleh karena itu harus diimbangi dengan kemampuan total pembaca.
dalam hubungan inilah dipermasalahkan ilmu gaya bahasa bukan semata-mata
gaya bahasa. sejajar dengan perjuangan bangsa Indonesia dalam revolusi fisik, pada
saat yang bersamaan terjadi juga revolusi dalam bidang bahasa sastra dan
kebudayaan pada umumnya. Menurut Teeuw, Melalui karya-karya Chairil
Anwarlah terjadi revolusi total dalam bahasa dengan cara mendekonstruksi sistem
sastra lama yang didominasi oleh berbagai ikatan, sehingga menjadi baru sama
sekali . pada gilirannya Chairil Anwar dianggap sebagai pelopor dalam
memanfaatkan kemampuan bahasa Indonesia, khususnya dalam karya sastra
sekaligus mempengaruhi perkembangan karya sastra selanjutnya.
Gorys Keraf dalam bukunya yang berjudul Diksi dan Gaya Bahasa (1984) Sama
sekali tidak menyinggung istilah stilistika tetapi dilihat dari isinya secara
keseluruhan mengarah pada pemahaman stilistika . sesuai dengan judul bukunya
Keraf memang bermaksud untuk memberikan tekanan pada pilihan kata dan gaya
bahasa. perkembangan retorika klasik menjadi retorika modern, dengan ciri-ciri
dominasi Bahasa tulis pada dasarnya merupakan awal perkembangan studi
stilistika . dikaitkan dengan gaya bahasa itu sendiri, buku tersebut termasuk paling
lengkap. Keraf membagi pembicaraannya menjadi 7 bab, Semua bab berbicara
tentang gaya bahasa. Keraf juga menyebutkan bahwa stilistika berasal dari retorika.
oleh karena itulah, bab pertama secara keseluruhan membicarakan masalah retorika.
Rachmat Djoko Pradopo dalam bukunya yang berjudul Pengkajian Puisi: Analisis
Sastar Norma dan Analisis Struktural dan Semiotik (1987) Membagi pembicaraannya
menjadi dua, bagian pertama berjudul “Analisis Strata Norma Puisi”, bagian kedua
“Analisis Struktural dan Semiotik”. bagian pertama yang dapat dikategorikan
sebagai analisis stilistika sebab disamping didominasi oleh pembicaraan mengenai
puisi, penulis juga membicarakan aspek-aspek yang berkaitan dengan puisi
khususnya gaya bahasa seperti: perbandingan metafora personifikasi, dan retorika,
sekaligus kaitannya dengan struktur sosiokultural.
Sepanjang diketahui hanya buku Umar Junus yang dapat disebut sebagai buku
teks mengenai stilistika, dan disajikan dalam satu kesatuan, bukan karangan-
karangan lepas. buku tersebut berjudul Stilistik Satu Pengantar (1989) Diterbitkan
oleh dewan bahasa dan pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia Kuala Lumpur
City Umar Junus juga membagi bukunya menjadi dua, bagian pertama merupakan
berbagai pemahaman tentang gaya, seperti: Definisi, gaya sebagai ciri-ciri personal,
gaya sebagai penyimpangan, dan gaya dalam kaitannya dengan wacana. bagian
kedua gaya sebagai mekanisme stilistika dan, seperti gaya bahasa sebagai variasi,
gaya bahasa sebagai manipulasi, gaya bahasa dalam kaitannya dengan interpretasi
dan ideologi. Menurut Junus ada dua faktor mengapa stilistika tidak menarik minat
dan Dengan demikian tidak berkembangnya, yaitu: a) gaya bahasa dianggap
sebagai bahasa yang berbeda dengan bahasa sehari-hari, b) adanya pemahaman
bahwa gaya bahasa merupakan bahasa yang indah . baik sebagai bahasa yang khas
maupun Indah menyebabkan orang gantung mempelajarinya. penelitian mengenai
gaya bahasa berkembang dengan lahirnya teori strukturalisme. demikian juga di
Indonesia, analisis struktur pada umumnya mengarahkan Penelitian pada unsur-
unsur, seperti gaya bahasa. tetapi, masalah-masalah yang dibicarakan terbatas
deskripsi tentang gaya bahasa itu sendiri, seperti: inversi, litotes, perbandingan, dan
sebagainya.
Dikaitkan dengan bahasa sastra itu sendiri, ada dua pendapat yang berbeda
secara diametral. Pendapat pertama mengatakan bahwa berbeda dengan bahasa
sehari-hari medium sastra adalah bahasa yang khas. sebaliknya pendapat kedua
mengatakan bahwa bahasa sastra pada dasarnya sama dengan bahasa sehari-hari.
keseluruhan kata yang ada dalam novel Siti Nurbaya, puisi-puisi Chairil Anwar, dan
drama, baik ditulis maupun dipentaskan, dapat dilacak dalam kamus dan dengan
demikian dapat dipahami oleh pembaca pada umumnya. Perbedaannya semata-
mata terkandung dalam pemanfaatannya oleh pengarang. Penggunaan disini
berkaitan dengan penyusunan, Bagaimana sistem bahasa formal dieksploitasi,
bahkan dicampuradukkan, diperalat dalam rangka memperoleh makna secara
maksimal. berbeda dengan bahasa formal, bahasa sastra adalah sistem Model kedua
dengan kualitas estetis. gaya bahasa lain menjadi unsur pokok utama mencapai
berbagai bentuk keindahan. Dalam pembicaraan inilah bahasa dan sastra dapat di
pertemukan kembali, sebagai konsumsi dialogis, sehingga masing-masing
komponen dapat diprediksi perkembangannya. dalam penelitian di lapangan,
misalnya, disarankan agar penelitian linguistik juga melibatkan karya-karya sastra,
sebaliknya, penelitian sastra memberikan perhatian terhadap aspek kebahasaan,
seperti stilistika dan wacana. pertemuan kembali antara bahasa dan sastra sekaligus
memberikan pemahaman terhadap sistem formal yang sejak awal dimiliki bersama,
sebagai puitika.
Puitika berasal dari akar kata dari poet (penyair). Puitika sudah dikenal pada
zaman Yunani kuno, dibicarakan dalam retorika . dalam perkembangan berikut
keduanya memiliki tujuan yang berbeda . retorika bertujuan untuk mempengaruhi
sedangkan tujuan politik adalah keindahan, melukiskan kehidupan . pada awalnya
puitika diartikan sebagai ilmu yang berkaitan dengan puisi. popularitasnya dipicu
melalui dua faktor, pertama, pada zaman Yunani kuno ini puisi merupakan genre
sastra yang paling penting. kedua, sesuai dengan buku Aristoteles yang berjudul
retorik dan poetics.
Di pihak lain, sebagai bagian penolakan terhadap analisis historis sosiologis dan
psikologis, ciri-ciri ini muncul kembali awal abad ke-20 (1915) Melalui kelompok
formalis Rusia yang kemudian dilanjutkan oleh kaum strukturalis. Barthes (Culler,
1977:118) Jelas mengatakan bahwa puitika, khususnya bagi kelompok strukturalis
adalah sistem yang mendasari karya memungkinkan efek kesastraan. perbedaan
antara cerita (fabula), dengan penceritaan (sjuzet), Tokoh dengan penokohan,
penanda dengan, bahasa umum dengan bahasa individual, dan sebagainya adalah
cara-cara yang dengan sengaja digali dalam rangka memperoleh efek kesastraan
tersebut. mengalami sastra Sama Dengan memahami bahasa. menurut Culler
(ibid.:113-114) Seperti mendengarkan urutan bunyi, kata-kata, dan kalimat dalam
bahasa yang memungkinkan seseorang memahami apa yang dimaksud oleh
pembicara demikian juga halnya dalam karya sastra. pembaca dapat memahami
karya sastra oleh karena mereka memiliki pengetahuan sikap pakai, semacam
kompetensi kesastraan yang secara minimal dapat mengarahkan pada
keterpahaman sastra. Seorang pembaca buku tabula rasa. Pada gilirannya,
sebagaimana seseorang memahami tata bahasa maka ia harus juga memahami Tata
sastra, sebagai puitika sastra.
Salah seorang tokoh yang paling sering disebut adalah Roman Jakobson
(1987:71) Dengan mengemukakan 6 fungsi bahasa, yaitu: emotive, referential, poetic,
phatic, metalingual, dan conative. Diantara keenam fungsi tersebut jelas yang
terpenting adalah fungsi puitika. Sesuai dengan visi formalisme dan strukturalisme
pada umumnya puitika Jakobson menganggap karya sastra dapat dipahami dan
dijelaskan terlepas dari latar belakang sosial yang ada di luarnya. Oleh karena itulah
pendapat ini dikirim oleh Mary Louise Pratt (1997:xii), Bahasa sastra bukan ragam
tertentu melainkan pemakaian tertentu, tidak ada bahasa yang khas, yang ada
hanyalah pemakaian yang khas. penolakan yang sama juga dilakukan oleh
Wolfgang Iser (1987:54-55), Sebagai unit komunikasi tindak Kata adalah udara
dalam kondisi tertentu melalui konteks inilah kata-kata memperoleh makna.
Sejak awal stilistika jelas bersumber dari kedua buku penting Aristoteles
tersebut di atas yaitu Rhetoric dan Poetics. Baik dengan tujuan untuk mempengaruhi
maupun mengemukakan sesuatu yang khas, maka cara-cara yang dilakukan adalah
menggunakan bahasa yang khas, sebagai gaya bahasa. Meskipun demikian, dengan
perubahan intensitas dari proses persuasi ke kualitas estetis di satu pihak,
perkembangan pesat ilmu bahasa dan sastra awal abad ke-20 di pihak lain,
perkembangan stilistika modern lebih banyak dikaitkan dengan puitika itu sendiri
(cf.II.1).
Perkembangan politik a modern banyak dipengaruhi oleh linguistik generatif
Chomsky. sesuai dengan visi puitika generatif menurut Chomsky (Fowler, 1987:
184-185) Penutur asli memiliki kompetensi linguistik yang didasarkan atas kekayaan
bahasa secara universal yang memungkinkan setiap orang untuk menghasilkan
sejumlah kalimat secara tak terbatas. secara analog, sebagai pembaca puisi kawan
dianggap memiliki kompetensi sastra universal yang memberikan kemungkinan
untuk memaknai teks terserah tertentu sebagaimana tatabahasa, maka
dimungkinkan juga adanya Tata sastra, puitika itu sendiri sehingga pembaca dapat
memahami susunan suatu cerita yang salah, menyimpang, tidak lengkap, dan
sebagainya. kompetensi sastra universal Jelas tidak ada tetapi teks sastra dapat
dianalogikan dengan struktur kalimat . di samping itu, menurut Rimmon-Kenan
(1983:1-5) genre naratif Sejak awal, sejak adanya anekdot oral dan dongeng hingga
novel telah dianalisis dalam kaitanya dengan fungsi fungsi tokoh dalam cerita alur
struktur pencitraan dan struktur internal lainnya. genre puisi dianalisis dalam
kaitannya dengan pola-pola suara formal, demikian juga genre drama dalam
kaitannya dengan tokoh cerita, penonton dan panggung.
Salah seorang tokoh yang sering disebut sebagai memiliki kompetensi dalam
bidang politik sastra modern adalah Tzvetan Todorov dengan bukunya yang
berjudul poetique, terbit pertam akali tahun 1968. Puitika Todorovian (Scholes,
1977:143) Dapat dilacak dalam kaitannya dengan teori membaca yang dibedakan
menjadi tiga macam yaitu: a) projection, b) commentary, dan c) poetics. Proyeksi adalah
cara membaca yang dilakukan melalui teks, sudut pandang pengarang, masyarakat,
atau masalah-masalah lain yang dianggap menarik seperti kritik psikologis
Freudian, kritik sosiologis Marxian. Penjelasan adalah cara membaca dengan tetap
diam pada teks tertentu . sebagai close reading, misalnya berbagai analisis dengan
cara memahami karya melalui parafrase. Puitika adalah cara membaca untuk
menemukan prinsip umum dalam teks tertentu seperti prinsip-prinsip yang
membedakan antara puisi dengan prosa, cerpen dengan novel.
Puitika bahasa dan sastra, termasuk puitika budaya tidak bisa dipisahkan secara
jelas. di satu pihak, sastra adalah sistem sekunder sesudah bahasa . dengan singkat,
medium sastra adalah bahasa . di pihak lain bahasa dan sastra adalah bagian
integral kebudayaan . sastra khususnya hampir tidak bisa dipisahkan dengan aspek-
aspek kebudayaan sehingga pembicaraan mengenai puitika sastra dengan
sendirinya sudah termasuk etika budaya. hubungan ini menjadi lebih bermakna
dalam teori kontemporer yang pada dasarnya beranggapan bahwa seluruh aspek
kebudayaan adalah teks. dalam antropologi (Ivan Brady, 2000:949-950) Puitika
dikenal dalam kaitannya dengan penggunaan teori strukturalisme, khususnya
melalui antropologi Levi-Strauss. Tahun 1990-an berkembang juga dipelopori oleh
Denis Tedlock.
Dalam analisis puitika jelas berkaitan dengan teori dan metode . keduanya
bahkan sulit dibedakan . sebagai ilmu, puitika berkaitan dengan hakikat karya.
sebaliknya, sebagai pemahaman, baik teori maupun metode berkaitan dengan cara-
cara tertentu. seperti diketahui secara garis besar ada dua teori sastra kontemporer
yaitu strukturalisme dan post strukturalisme. secara definitif teori pertama
mempermasalahkan unsur, totalitas, dan antar hubungannya dengan intensitas
pada oposisi biner, sebagai hubungan monolitik, sedangkan teori ke-2
mendekonstruksi dengan memberikan makna secara proporsional sebagai
hubungan Dwi arah . dengan singkat puitika berfungsi untuk menyajikan gaya
bahasa sebagai stilistika yang kemudian dipahami melalui teori dan metode
tertentu