Anda di halaman 1dari 14

BAB II

Sejerah Perkembangan Stilistika

SEPERTI diketahui, ilmu pengetahuan pada umumya mengikuti perkembangan


di dunia barat. Oleh karena itulah, sejarah perkembangan stilistika dibedakan
menjadi dua macam, pertama yang terjadi di dunia barat, kedua Bagaimana
perkembangannya sesudah berada di Indonesia.  tidak banyak informasi yang dapat
dikumpulkan terhadap kedua perkembangan tersebut. Seperti di singgung di atas,
keterbatasan literatur yang berhasil diperoleh di satu pihak kurangnya Perhatian
para ilmuwan di pihak lain menyebabkan pembicaraan ini terbatas sebagai bersifat
sepintas lalu. Anggapan bahwa stilistika bukan semata-mata merupakan
kompetensi sastra sebagaimana dikemukakan oleh van Eck, dkk., ed.(1995.1)
Melainkan juga dimanfaatkan dalam filsafat metafisika, ilmu pengetahuan politik,
dan etika, menambah keringnya pembicaraan yang dapat disuguhkan dalam buku
ini.

Sejarah perkembangan stilistika menyangkut dua Masalah pokok, pertama,


perkembangan stilistika sebagai teori kedua perkembangan dalam kaitannya
dengan penggunaannya dalam karya sastra. kedua masalah sama pentingnya,
dalam praktik pemahamannya bersifat saling melengkapi. Meskipun demikian
dalam rangka menopang perkembangan sastra Indonesia secara keseluruhan proses
kedua lah yang lebih penting sebab proses inilah yang lebih diperlukan oleh
masyarakat, Seberapa jauh karya sastra berfungsi untuk mengetahui peranan
masyarakat sebagai latar belakangnya.

2.1  Sekilas Perkembangan Stilistika di Dunia Barat

Membicarakan sejarah perkembangan stilistika di dunia barat tidak bisa


dilepaskan dengan sejarah perkembangan retorika. dengan kalimat lain, khususnya
apabila dipahami sesuai dengan konsep-konsep sastra Indonesia, sejarah stilistika
tumpang tindih dengan retorika. secara historis, yang lebih dulu berkembang adalah
retorika. secara etimologis retorika berasal dari akar kata rhetor (Latin), berarti ahli
berpidato. Jadi, retorika adalah seni dan teori berbicara di depan publik. dalam
pengertian luas retorika diartikan sebagai seni teknik penguasaan sekaligus
penggunaan bahasa, baik lisan maupun tulisan. tujuannya bukan semata-mata
melukiskan sifat-sifat benda atau gagasan tertentu melainkan untuk
membangkitkan emosi, mendorong, mempengaruhi agar pendengar mengambil
sikap tertentu titik atas dasar ciri-ciri persuasi inilah Hough (1972 : 1-2)
Menyimpulkan bahwa asal-usul stilistika adalah retorika bukan puitika.

Perjalanan retorika sangat panjang, sejak zaman klasik hingga sekarang. Barthes
(2007 :95) Membatasi masa keemasan retorika selama dua setengah Milenium dari
zaman gorgias hingga Napoleon III,  sehingga disebut sebagai Imperium retorika.
selama 3 abad sejak zaman Renaissance dianggap sebagai masa
kemunduran.Meskipun demikian ada sejumlah konsep yang seolah-olah masih
bertahan hingga sekarang, seperti pemahaman bahwa makna tidak  terkandung
dalam kata-kata, melainkan di dalam diri kita, sehingga manusia lah yang dianggap
sebagai alat ukur Ukur segala sesuatu titik demikian juga 5 langkah penting dalam
kaitannya dengan produksi wacana, khususnya sebagaimana dikembangkan oleh
cicero dan Quintilianus (Shipley , 1962: 342-343; Noth, 1990: 340-341), yaitu  : a)
Inventio ( Discovery), b) dispositio, taxis, oikonomia (arra ngement, order), c) elucutio, lexis
(expression), d) memoria, mneme (memory) dan e) hypokrisis, actio, pronuntiatio (delivery),
Ternyata masih relevan dalam kaitannya dengan perkembangan retorika modern.
langkah pertama adalah menemukan, menganalisis materi, Langkah kedua adalah
penyusunan materi, Langkah ketiga merupakan ekspresi pikiran, gagasan melalui
bahasa yang tepat, langkah keempat dilakukan dengan cara mengingat,
menghafalkan, langkah kelima adalah penyajian pidato itu sendiri, dengan suara,
sikap, dan cara-cara lainnya.

Dikaitkan dengan Langkah kedua, yaitu pidato itu sendiri, retorika klasik
dibedakan menjadi 6 bagian, yaitu: a) exordium , pembukaan yang harus di
kemukakan secara jelas, b) narratio,Pernyataan fakta dan kasus, c) divisio,  kerangka
dasar pembicaraan, d) convirmatio,  Argumentasi fakta, e) reputatio,  penolakan
terhadap fakta-fakta yang berlawanan, dan f) peroratio, Sebagai kesimpulan,
rangkuman. Barthes (2007: 93-94) Menunjukkan sejumlah praktisi sosial yang
pernah muncul di barat yang terjadi sejak abad ke-5 SM Hingga abad ke-19 M, yaitu:
a)  retorika sebagai teknik, sebagai seni persuasi, b)  sebagai seni mengajar, c) 
sebagai ilmu sebagai protosains, d)  retorika retorika sebagai sistem moral, e) 
retorika sebagai praktik sosial, dan f)   Retorika sebagai semacam permainan, parodi,
dan alusi. diantara ke enam langkah diatas Aristoteles (Ricoeur, 1984:9) hanya
memasukkan tiga ciri, yaitu : inventio, elucutio, dan compositio. Gaya bahasa
terkandung dalam ciri kedua (elucutio), Gara-gara  mengemu gagasan tepat. 

Pada awal perkembangannya retorika Yunani kuno digunakan dalam ruang


pengadilan titik pendapat lain Barthes (2007 :97) menyebutkan bahwa retorika lahir
melalui proses kepemilikan harta, sebagai berikut. sekitar tahun 485 SM di Sisilia
ada dua orang penguasa bernama Gelon dan Hieron. Dengan lahirnya demokrasi,
kekuasaan kedua orang penguasa tersebut akhirnya jatuh titik proses demokrasi
pada gilirannya diikuti oleh tuntutan masyarakat untuk mengembalikan hak
liriknya masing-masing. dalam hubungan inilah diperlukan kepandaian berbicara,
sekaligus dengan menyewa para juri para agitator untuk memenangkan perkara.
Beberapa literatur menunjukkan bahwa retorika sudah dibicarakan sejak zaman
Yunani kuno, sejak lahirnya karya monumental Illad dan Odyssey karangan
Homerus. Episode Thersites dalam Illad II (Josiah Ober, 2001:158) Pada saat
berpidato di depan majelis Achaean  Menunjukkan bahwa Thersites adalah orator
terlatih. Pada saat bersamaan, bangsa-bangsa lain seperti: Mesir, Cina dan India
diduga juga telah mengembangkan seni berpidato. catatan catatan tertulis mengenai
retorika dilakukan oleh salon( 640 -560 SM) Peisistratos ( 600- 527 SM), Thenustoklcs
(525460 SM), dan Perikles (500-429 SM. Buku-buku pertama tentang retorika ditulis
oleh Corax dan muridnya Tisias (467 SM). Menurut Ricoeur (1984: 10-11 ) retorika
pertama kali dikemukakan oleh Empedocles. 

Dengan adanya potensi retorika sebagai salah satu sarana untuk menjadi
pemimpin negara di satu pihak, mulai diakuinya kebebasan berbicara di pihak yang
lain, retorika mulai diajarkan di sekolah-sekolah formal. pada saat ini retorika
seolah-olah menyanyi filsafat, retorika sebagai relasi oposisi dialektika. lahirnya
sejumlah ahli pidato, diantaranya : Gorgias (485-380), Protagoras (480-410), Sokrates
(470-399), Aristoteles (384-322), Demosthenes (384-322), Ihrasymachus 200). Menurut
Josiah Ober (2001: 156) retorika ada dua macam, retorika praktis (rhetores) dan
retorika kritis (rhetorik). Yang pertama dikenibangkan oleh orator politik praktis,
seperti pada institusi yudisial dan legislatif di Athena. Yang kedua merupakan
penolakan, dikemukakan oleh para guru formal. Kedua ide inilah yang pada
gilirannya memberikan dasar pemikiran pada Plato dan Aristoteles.

Aristoteles lahir di Stagira, Yunani Utara, tahun 384 SM, nikah dengan Herpyllis
(Losco, 177-178). Paling dikenal dengan gagasan bahwa manusia adalah binatang
politik (zoon politikon), Dua buku penting yang ditulis oleh Aristoteles Rhetoric dan
Poetic. Kedua buku seolah-olah saling berhubungan.

Buku pertama (Cooper, 1932:xviii) Menjelaskan bagaimana mengkerangka


ucapan,  buku kedua bagaimana mengkonstruksi dan menjabarkan aksi dramatik.
Aksi dramatik jelas mengacu pada retorika. Demikian juga retorik mengacu pada
puitika yaitu kerangka teta bahasa, diksi, dan gaya. Rhetoric mengandung pedoman
umum penyusunan pidato, bagaimana cara mengemukakan pokok permasalahan
secara tepat, bagaimana cara menguasai massa, dan bagaimana massa beraksi.
Dikaitkan dengan pendengarannya, Aristoteles (Shipley, 1962: 343; Cooper, 1932:
xxxviii) Membedakan 3 jenis pidato, yaitu : a) pidato forensic (judicial), b) pidato
deliberative (political), c) pidato epideictic (demonstrative). Pidato forensic adalah pidato
dalam kaitannya dengan perkara di pengadilan,  kemampuan berbicara untuk
menjelaskan segala sesuatu yang telah terjadi atau sebaliknya memang tidak pernah
terjadi. Pidato deliberative berkaitan dengan nasihat, masalah-masalah yang harus
dilakukan atau sebaliknya dilarang. Pidato epideictic dilakukan dalam upacara dan
ibadah, termasuk kritik atau pujian yang terjadi pada masanya.

Aristoteles (Shipley, 1962: 342; Ric oeur, 1984:7-13) Membedakan antara puitika
dan retorika. Puitika adalah teori sastra dalam kaitannya dengan Epic, drama, dan
lirik. esensi Puisi adalah imitasi, sedangkan persuasi adalah esensi retorika. tujuan
retorika adalah efektivitas praktis, sedangkan tujuan politik adalah keindahan.
retorika memberikan perhatian pada penalaran. Pada penciptaan  dikaitkan dengan
subjek kreatornya, perbedaan tampak pada wacana yang dihasilkan. Apabila subjek
Creator retorika bertujuan untuk mempengaruhi pendengar, subjek Creator puitika
bertujuan untuk melukiskan kehidupan. Pada gilirannya tujuan akhir retorika
adalah aksi tindakan. Cara-cara yang dilakukan misalnya: mempengaruhi,
meyakinkan, bahkan juga memerintah,Menekan. Tujuan akhir puitika adalah
stimulasi spirit dan imajinasi misalnya, dengan cara menghibur, memikat, dan
membelokkan perhatian (refraksi). Persuasi tidak ditujukan pada person, tetapi
pada kelas tertentu. menurut Barthes (2007;103-105), Retorika dan puitika bersatu
pada abad pertengahan, di dalamnya seorang rethor sekaligus adalah penyair.
Hubungan antara retorika dengan puitika inilah yang dianggap sebagai awal
lahirnya gagasan mengenai sastra, sekaligus memposisikan retorika sebagai gaya,
bukan penalaran. dikaitkan dengan ciri-cirinya yang sangat dekat dengan selera
publik, retorika Aristoteles memiliki implikasi yang sangat kuat dengan budaya
masa . dalam budaya masa, dengan bantuan teknologi, segala sesuatu tampak
seolah-olah benar. 

Persuasi ada dua macam, artistik dan non artistik, atau juga disebut saintifik dan
non saintifik. persuasi artistik lahir melalui kemampuan pembicara sendiri . non
artistik sudah ada sebelumnya seperti kesaksian, pengakuan karena penyiksaan,
perjanjian tertulis, dan sebagainya. Artistik ditemukan, non artistik semata-mata
digunakan. Menurut Aristoteles (Cooper, 1932:8-9) teknik persuasi artistik diperoleh
melalui tiga cara, sebagai peralatan persuasi, yaitu: a) melalui ciri-ciri personal
(ethos) pembicara, b) memperlakukan audiens ke dalam kerangka pemikiran
tertentu, membangkitkan sikap tertentu pendengar, c) membatasi fungsi ekspresi,
referensial, dan seruan wacana. Yang terpenting adalah yang terahir. Ada tiga
model seruan, yaitu: a) etika, b) emosional, dan c) rasional. Cicero hanya
menyebutkan dua model, yaitu: menggerakkan aspek emosional (movere) dan
ditaktik (docere) sedangkan Horace justru menambahkan satu faktor lagi yaitu
kenikmatan (delectare). Dalam Rhetorics Sudah terkandung masalah-masalah yang
berkaitan dengan penggunaan bahasa, sebagai gaya, meskipun masih dianggap
sebagai bersifat pelengkap. Sebelumnya Gorgias (427 SM) juga pernah
mengemukakan perlunya aspek-aspek stilistika dalam pidato.

Penaklukan Romawi atas Yunani berimplikasi terhadap perkembangan retorika


selanjutnya. orang-orang Romawi mulai tertarik sehingga di Romawi pun didirikan
sekolah-sekolah khusus untuk mempelajari retorika. tokoh-tokoh terkenal pada
zaman ini, diantaranya: Marcus Tullius Cicero (106-44), Gaius lulius Caesar (100-44),
dan yang terpenting Quintilianus (35-100). Teknik-teknik retorika Cicero ditulis
dalam tiga karyanya, yaitu: de Oratore, de Re Publica, dan Legibus, sedangkan
Quintilianus dalam bukunya yang berjudul Institutio Oratoria. Sebagai seni
berpidato, perkembangan retorika di Romawi berkaitan erat dengan kondisi sosial
politik setempat. Runtuhnya kekaisaran Romawi juga disertai dengan mundurnya
kejayaan retorika. 

Abad pertama, yaitu sejak lahirnya agama Kristen retorika terutama


dimanfaatkan untuk khotbah dan pelaksanaan secara riligius lainnya. Dengan
menggunakan bahasa Aramis (Hendricus, 1991: 25-26), bahasa pergaulan di
Palestina saat itu, Yesus (7 SM-30 SM) dianggap sebagai rhetor yang sangat
dikagumi, dilanjutkan oleh tokoh-tokoh gereja terkenal yang lain, seperti:
Tertulianus (150-230), Lactantius (260-320), Aurelius Agustianus (354-430), dan
Yohanes Chrisostomus (344-407). Selama abad pertengahan (500-1500), perjalanan
retorika mengalami dua fase yang berbeda (Shipley, 1962:341), Tiga abad pertama
mengalami kemajuan, Sebaliknya, hampir 7 abad ke-2 mengalami kemunduran .
fase pertama didukung oleh kuatnya pengaruh agama Kristen, jadi retorika sebagai
bagian integral khotbah khotbah di gereja. sebaiknya fase ke-2 dipicu oleh
perkembangan ilmu pengetahuan teoritis, adanya kecenderungan cara-cara yang
aneh (mannerisme), sehingga memicu mulai digunakannya stilistika. Di antara
gramatika, dialektika, dan retorika (trivium), yang disebut sebagai sunjek
fundamental Abad pertengahan pertama retorika lah yang paling domina.
Gramatika adalah seni berbicara yang tepat (recte loquendi scientica), Retorika adalah
kepandaian mengatakan sesuatu secara baik (ars bene dicendi), Ada kaitannya dengan
moral, demikian juga dengan orator, yang kemudian juga berkaitan dengan bahasa
sastra . dialektika adalah logika abad pertengahan .

Kelahiran zaman baru, Renaissance, sebagai kelahiran kembali zaman klasik


yaitu zaman Yunani dan Romawi kuno, maka retorika pun kembali menduduki
posisi menentukan . Renaissance ditandai dengan kelahiran retorika Humanis,
kegairahan Tanpa Batas terhadap kebudayaan klasik, sebagai reaksi terhadap tradisi
skolastisisme dan teologi abad pertengahan. sebagaimana kelompok sofis pada
zaman Yunani kuno, kelompok Humanis memberikan berbagai pengajaran,
Berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain . Terbitlah buku-buku mengenai
retorika. beberapa tokoh retorika pada zaman ini, diantaranya: Bracciolini (1380-
1459), Valla (1407-1457), Melanchthon (1497-1560), von Hutten (1488-1523).
Kemajuan ini tidak berlangsung lama sebab antara abad ke-18 hingga abad ke-20
retorika mengalami kemunduran. Menurut Gorys Keraf (1996:2,18) Salah satu
indikatornya adalah terjadinya pergeseran dari tradisi lisan ketulis sebagai akibat
ditemukannya mesin cetak oleh Guttenberg (1400-1468). Dari segi efisiensi jelas
bahasa tulis lebih besar sebab bahasa tulis tidak terbatas oleh ruang dan waktu
sehingga wilayah penyebarannya tak terbatas. abad berikutnya, dengan
dimanfaatkannya komunikasi elektronik, seperti radio dan televisi, keterampilan
berbahasa lisan muncul kembali .Meskipun demikian abad ini dapat dikatakan
terjadinya persaingan antara bahasa tulis dan lisan, retorika dan stilistika.

Retorika modern tidak jauh bergeser dari konsep-konsep retorika klasik dengan
sedikit modifikasi, lima prinsip dasar retorika klasik di atas tetap dimanfaatkan
dalam retorika modern. Dengan adanya tradisi tulis, retorika modern jelas
didominasi oleh bahasa tulis. secara cermat Hendricus(1991:28-40) Mencatat
sejumlah tokoh retorika modern meliputi 4 negara, yaitu: a) Prancis, b) Inggris, c)
Amerika Serikat, dan d) Jerman. Tokoh-tokoh retorika Perancis, diantaranya:
Mirabeaus (1749-1791). Tokoh-tokoh retorika Inggris, diantaranya: Thomas Wilson,
Francis Bacon (1561-1626), William Shakespear (1564-1616), Oliver Cromwell (1599-
1660), John Milton (1608-1674), William Pit (Senior dan Yunior), Henry Fox (1705-
1774), Edmund Burke (1729-1797), William Gerard Cobden (1804-12865), John Bright
(1811-1889), Joseph Chamberlain (1834-1914), David Lloyd George (1863-1945), dan
Winston Spencer Churchil (1874-1965). Tokoh-tokoh retorika Amerika Serikat,
diantaranya: Patrick Henry (1736-1799), John Calhoun (1782-1850), Daniel Webster
(1782-1852), Abraham Lincoln (1809-1865), Theodore Roosevelt (1858-1919), Franklin
Delano Roosevelt (1882-1945), John Fitzgerald Kennedy (1917-1963), Robert Francis
Kennedy (1925-1968), dan Martin Luther King (1925-1968). Tokoh-tokoh retorika
Jerman, diantaranya: Adolf Hitler (1889-1945), Herman Goering (1893-1946), Joseph
Goebles (1897-1945), dan Konrad Adenauer (1876-1967). 

Menurut North (1990-339) Dikaitkan dengan retorika klasik, stilistika


terkandung dalam elocutio. perbedaan antara retorika dengan stilistika dijelaskan
sebagai berikut.

1. Stilistika pada dasarnya memusatkan perhatian pada struktur permukaan


teks, pada umumnya merupakan varian ekspresi leksikal dan sintaksis, sedangkan
retorika menyediakan aturan bagi pengorganisasian wacana secara keseluruhan.
dalam hubungan ini retorika lebih komprehensif dibandingkan dengan stilistika.
2. Stilistika lebih banyak tertarik terhadap ciri bahasa Pengarang individual
(atau zaman), Retorika tertarik untuk menemukan atau merekomendasikan pola-
pola struktural yang ditetapkan oleh tradisi norma-norma lama. dalam hal ini
stilistika lebih komprehensif dibandingkan dengan retorika sebab Ia
mempertimbangkan sembarang ciri-ciri tekstual, tidak hanya tradisional. 
3. Retorika lebih tertarik terhadap efek wacana atas audiensi sedangkan
stilistika lebih fokus pada keunikan tekstual, fase-fase teks pragmatik yang berbeda
seperti resepsi teks dan produksi teks. 

Pada zaman modern (Teeuw, 1988:71-72) Retorika mengarah pada pemerian


sarana bahasa yang baik dan berbagai keistimewaan pemakaian bahasa yang lain,
khususnya kebebasan penyair (licentia poetarum) . Perlu diberikan catatan bahwa
pada zaman itu puisi seolah-olah disamakan dengan tata bahasa (grammatica), 
bahkan juga dengan retorika itu sendiri. perbedaannya, retorika didominasi oleh
sistem normatif dan perspektif, menentukan norma-norma tertentu yang harus
dipatuhi dalam penggunaan bahasa yang baik dan indah, sebaliknya dalam stilistika
unsur keindahan lah yang dominan.

Uraian singkat di atas menunjukkan bahwa sejarah perkembangan stilistika


khususnya di dunia barat dikondisikan, bahkan didominasi oleh retorika. oleh
karena itulah, menurut Hough (1972:1) Genesis stilistika adalah retorika, bukan
politika dengan alasan bahwa tujuannya adalah persuasi titik sampai dengan abad
ke-19 (Bally dalam Hough, ibid.:23-25) Bahasa tidak pernah dipelajari demi
kepentingannya sendiri titik perubahan terjadi dengan perkembangan linguistik
modern yang dipelopori oleh Saussure dengan membedakan bahasa menjadi dua
aspek, Diakronis dan sinkronis, langue dan parole. diakronis semata-mata
mempelajari bahasa dalam kaitanya dengan aspek kesejahteraannya, sebaliknya
sinkronis mempelajarinya dalam kurun waktu tertentu, sebagai analisis intrinsik.
Langue  merupakan kode, bahasa umum, sebaliknya, parole adalah bahasa individu,
Bagaimana bahasa digunakan, sebagai gaya bahasa. Menurut Abrams (1981: 192-
193) Popularitas stilistika baru tampak tahun 1950-an untuk menggantikan ciri-ciri
subjektif dan impresif dengan ciri-ciri objektif saintifik dalam analisis teks sastra.
proses sejarah seperti ini hampir tidak dikenal dalam sastra Indonesia. Meskipun
demikian dibawah ini dicoba dikemukakan secara singkat bagaimana
perkembangan studi stilistika tersebut. 

2.2 Sekilas Perkembangan Stilistika di Indonesia

Ilmu pengetahuan modern berkembang dari barat . demikian juga teori teori
sastra khususnya teori sastra modern. Genre sastra seperti Soneta jenis-jenis puisi
bebas, cerpen dan novel berasal dari barat. pengakuan ini tidak mengurangi nilai
sastra Indonesia. penelusuran sejarah justru penting untuk mengetahui seberapa
jauh aspek-aspek tersebut telah terserap dan berubah menjadi Khazanah
kebudayaan kita. tidak perlu ditolak secara keseluruhan dan tidak perlu
dikhawatirkan dari mana asalnya. masalah yang paling penting adalah bagaimana
kita bisa mengembangkannya sehingga bermanfaat bagi kehidupan kita. 
Beda dengan di barat (lihat II.1), Perkembangan stilistika di Indonesia sangat
lambat bahkan hampir tidak mengalami kemajuan. Masalah yang sama Juga terjadi
terhadap studi yang dianggap sebagai genesisnyai, yaitu retorika. retorika hanya
dipahami sebagai bahasa dalam kaitannya dengan kemampuan berpidato.
penelitian tentang stilistika pada umumnya terbatas sebagai sub bagian dalam
sebuah buku teks atau dalam skripsi dan tesis. kualitas penelitian pun terbatas
sebagai semata-mata  pemakaian bahasa yang khas sebagai gaya bahasa.

Sulit untuk menentukan sebuah buku dapat dimasukkan ke dalam suatu


wilayah kajian semata-mata atas dasar judulnya. oleh karena itulah, Ada pendapat
bahwa sampai saat ini belum ada buku yang secara khusus berbicara mengenai
stilistika. Ddalam langkah menemukan sejarah perkembangan stilistika di Indonesia
dalam pembicaraan ini dicoba menelusuri buku-buku yang dapat diimplikasikan 
baik terhadap gaya bahasa maupun stilistika itu sendiri . ada kecenderungan bahwa
pembicaraan puisi pada gilirannya akan berkaitan dengan stilistika . dalam puisi
lama bahasa akan dieksploitasi semaksimal mungkin, melalui cara-cara tertentu,
cara-cara yang harus sesuai dengan maksud pengarang.

Buku pertama dalam kaitanya dengan gaya bahasa ditulis oleh Slametmuljana .
Meskipun tidak secara eksplisit menyebutkan istilah gaya bahasa dan stilistika tetapi
dikaitkan dengan judulnya yaitu Peristiwa Bahasa dan Peristiwa Sastra (1956) Dapatlah
disebutkan bahwa buku tersebut mengawali studi stilistika di Indonesia . sebagian
besar pembicaraan yang dilakukan berkaitan dengan bahasa sastra, khususnya
puisi, yang disebut sebagai kata berjiwa, bahasa kontekstual, yang di bedakan
Dengan bahasa kamus, bahasa dengan arti tetap, sebagai bahasa bebas konteks.
menurut Slametmuljana, pemahaman mengenai kata-kata berjiwa inilah yang
disebut sebagai stilistika . bahasa adalah alat untuk mewujudkan pengalaman jiwa
yaitu cinta dan rasa ke dalam rangkaian bentuk kata yang tepat dan dengan
sendirinya sesuai dengan tujuan pengarang. 

Teeuw Dalam bukunya yang berjudul Tergantung Pada Kata (1980) Menganalisis
10 puisi dari 10 penyair terkenal, sehingga dapat mewakili ciri-ciri pemakaian
bahasa pada masing-masing puisi sekaligus mewakili kekhasan personalitas
pengarangnya. semua pembicaraan mengenai gaya bahasa sudah diangkat ke
tataran sistem sosial sehingga dapat disebut sebagai stilistika sastra. judul itu sendiri
menunjukkan hakikat kemampuan kata-kata dalam mengevokasi makna. Seperti
dikemukakan dalam pendahuluan, membaca puisi berarti bergulat secara terus-
menerus terhadap struktur bahasa. sanjak yang baik adalah perjuangan total
penyair, dan oleh karena itu harus diimbangi dengan kemampuan total pembaca.
dalam hubungan inilah dipermasalahkan ilmu gaya bahasa bukan semata-mata
gaya bahasa. sejajar dengan perjuangan bangsa Indonesia dalam revolusi fisik, pada
saat yang bersamaan terjadi juga revolusi dalam bidang bahasa sastra dan
kebudayaan pada umumnya. Menurut Teeuw, Melalui karya-karya Chairil
Anwarlah   terjadi revolusi total dalam bahasa dengan cara mendekonstruksi sistem
sastra lama yang didominasi oleh berbagai ikatan, sehingga menjadi baru sama
sekali . pada gilirannya Chairil Anwar dianggap sebagai pelopor dalam
memanfaatkan kemampuan bahasa Indonesia,  khususnya dalam karya sastra
sekaligus mempengaruhi perkembangan karya sastra selanjutnya.
Gorys Keraf dalam bukunya yang berjudul Diksi dan Gaya Bahasa (1984) Sama
sekali tidak menyinggung istilah stilistika tetapi dilihat dari isinya secara
keseluruhan mengarah pada pemahaman stilistika . sesuai dengan judul bukunya
Keraf memang bermaksud untuk memberikan tekanan pada pilihan kata dan gaya
bahasa.  perkembangan retorika klasik menjadi retorika modern, dengan ciri-ciri
dominasi  Bahasa tulis pada dasarnya merupakan awal perkembangan studi
stilistika . dikaitkan dengan gaya bahasa itu sendiri, buku tersebut termasuk paling
lengkap. Keraf  membagi pembicaraannya menjadi 7 bab, Semua bab berbicara
tentang gaya bahasa. Keraf juga menyebutkan bahwa stilistika berasal dari retorika.
oleh karena itulah, bab pertama secara keseluruhan membicarakan masalah retorika.

Rachmat Djoko Pradopo dalam bukunya yang berjudul Pengkajian Puisi: Analisis
Sastar Norma dan Analisis Struktural dan Semiotik (1987) Membagi pembicaraannya
menjadi dua, bagian pertama berjudul “Analisis Strata Norma Puisi”, bagian kedua
“Analisis Struktural dan Semiotik”. bagian pertama yang dapat dikategorikan
sebagai analisis stilistika sebab disamping didominasi oleh pembicaraan mengenai
puisi, penulis juga membicarakan aspek-aspek yang berkaitan dengan puisi
khususnya gaya bahasa seperti: perbandingan metafora personifikasi, dan retorika,
sekaligus kaitannya dengan struktur sosiokultural. 

Sepanjang diketahui hanya buku Umar Junus yang dapat disebut sebagai buku
teks mengenai stilistika, dan disajikan dalam satu kesatuan, bukan karangan-
karangan lepas. buku tersebut berjudul Stilistik Satu Pengantar (1989) Diterbitkan
oleh dewan bahasa dan pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia Kuala Lumpur
City Umar Junus juga membagi bukunya menjadi dua, bagian pertama merupakan
berbagai pemahaman tentang gaya, seperti: Definisi, gaya sebagai ciri-ciri personal,
gaya sebagai penyimpangan, dan gaya dalam kaitannya dengan wacana. bagian
kedua gaya sebagai mekanisme stilistika dan, seperti gaya bahasa sebagai variasi,
gaya bahasa sebagai manipulasi, gaya bahasa dalam kaitannya dengan interpretasi
dan ideologi. Menurut Junus ada dua faktor mengapa stilistika tidak menarik minat
dan Dengan demikian tidak berkembangnya, yaitu: a)  gaya bahasa dianggap
sebagai bahasa yang berbeda dengan bahasa sehari-hari, b)  adanya pemahaman
bahwa gaya bahasa merupakan bahasa yang indah . baik sebagai bahasa yang khas
maupun Indah menyebabkan orang gantung mempelajarinya. penelitian mengenai
gaya bahasa berkembang dengan lahirnya teori strukturalisme. demikian juga di
Indonesia, analisis struktur pada umumnya mengarahkan Penelitian pada unsur-
unsur, seperti gaya bahasa. tetapi, masalah-masalah yang dibicarakan terbatas
deskripsi tentang gaya bahasa itu sendiri, seperti: inversi, litotes, perbandingan, dan
sebagainya.

Pembicaraan secara khusus mengenai asal-usul stilistika yaitu retorika ditulis


oleh Dori Wuwur Hendrikus dalam bukunya yang berjudul Retorika: Terampil
Berpidato, Berdiskusi, Berargumentasi, Bernegosiasi (1991). Sesuai dengan judul
bukunya, Hendriks tidak menyinggung baik gaya bahasa maupun stilistika,
melainkan bagaimana perkembangan retorika di dunia Barat dengan konsep dan
tokoh-tokohnya, sejak Zaman Klasik hingga Zaman Modern. Penulis juga
menjelaskan penggunaan bahasa dalam kaitannya dengan pidato, diskusi, dan
argumentasi.
Panuti Sudjiman dalam bukunya yang berjudul Bunga Rampai Stilistika (1993),
Secara jelas telah menyinggung makna stilistika itu sendiri yaitu mengkaji ciri khas
penggunaan bahasa dalam wacana sastra.Dengan singkat sistika mengkaji fungsi
puitika suatu basa . sesuai dengan judulnya, sebagai bunga rampai, pembicaraan
stilistika dibicarakan dalam 4 bab dari keseluruhan buku yang terdiri atas 8 bab.
menurut Sudjiman stilistika menjembatani analisis bahasa dan sastra.

Pembicaraan ini hanya mengemukakan pembicaraan gaya bahasa dan stilistika


dalam bentuk buku yang sudah diterbitkan dengan maksud untuk mengetahui
seberapa jauh stilistika menjadi pusat perhatian bagi kritikus sastra Indonesia,
sekaligus menunjukkan masih lemahnya industri penerbitan di Indonesia . tentu
masih banyak terbitan lain yang pada umumnya merupakan bagian tertentu dari
buku tertentu . seperti di singgung di bagian lain pembicaraan ini stilistika memiliki
peranan penting dalam kaitannya dengan hermeneutika semiotika dan teks atau
wacana. dikaitkan dengan dwitunggal bahasa dan sastra, maka stilistika dan wacana
lain yang dianggap sebagai analisis terpenting yang dapat mewakilinya, sehingga
keduanya dapat dipahami sebagai dua aspek yang saling tergantung.

Bahasa Indonesia adalah warisan nenek moyang yang sangat berharga.


perkembangannya tergantung Bagaimana bahasa itu digunakan oleh para
pendukungnya. dalam Khazanah kritik sastra Indonesia, perhatian terhadap gaya
bahasa masih relatif kurang. penelitian, penulisan, dan dengan demikian penerbitan
buku stilistika di Indonesia perlu ditingkatkan. Adopsi bahasa dan sastra Indonesia
dari bahasa dan sastra Melayu perlu diberikan makna tersendiri berupa cara cara
pemakaiannya, baik secara lisan maupun tulisan. cara penulisan dan cara
pemakaian lah yang dianggap sebagai salah satu ciri terpenting dalam kaitannya
dengan kesetiaan dan dengan demikian kebanggaan terhadap Khazanah kultural
bangsa tersebut. pemakaian bahasa dengan memasukkan Istilah asing, baik dalam
kehidupan sehari-hari maupun karya ilmiah, yang pada dasarnya dapat diatasi
dengan menciptakan gaya bahasa tertentu merupakan salah satu ciri kurangnya
usaha dan pemahaman terhadap kemampuan bahasa yang sudah kita miliki. 

2.3 Stilistika dan Puitika

Pembicaraan hubungan antara bahasa dengan sastra merupakan masalah yang


sangat penting. medium utama sastra adalah bahasa sehingga keduanya berkaitan
sangat erat, tidak bisa dipisahkan . dalam genre tertentu seperti puisi, bahasa bukan
semata-mata alat melainkan juga tujuan itu sendiri . Meskipun demikian, dalam
rangka memperoleh pemahaman secara maksimal, pembicaraan mengenai bahasa
dan sastra harus dipisahkan. sebagai medium, bahasa adalah fakta kultural dengan
hukum positif, seperti penerapan kaidah-kaidah fonologi morfologi dan sintaksis
bahasa yang baik (dan benar) Adalah bahasa baku, bahasa standar . secara
institusional bahkan keduanya merupakan departemen dengan pakar yang
berbeda . para ahli bahasa disebut linguistik bahasa Sedangkan para ahli sastra
akhir-akhir ini dibedakan menjadi dua kelompok yaitu sastrawan dalam kaitannya
dengan proses kreatif, kritikus dalam kaitannya dengan proses analisis. Untuk
memahami kembali hakikat masing-masing ada kecenderungan untuk menata
kembali hubungan antara keduanya, dengan cara mengangkat masalah-masalah
yang memiliki relevansi terhadap kedua bidang. Topik-topik yang dianggap relevan
untuk dijadikan sebagai objek kajian diantaranya masalah-masalah yang berkaitan
dengan stilistika dan wacana. Topik-topik yang dimaksudkan dianggap memiliki
relevansi yang seimbang antara bahasa dengan sastra. 

Dikaitkan dengan bahasa sastra itu sendiri, ada dua pendapat yang berbeda
secara diametral. Pendapat pertama mengatakan bahwa berbeda dengan bahasa
sehari-hari medium sastra adalah bahasa yang khas. sebaliknya pendapat kedua
mengatakan bahwa bahasa sastra pada dasarnya sama dengan bahasa sehari-hari.
keseluruhan kata yang ada dalam novel Siti Nurbaya, puisi-puisi Chairil Anwar, dan
drama, baik ditulis maupun dipentaskan, dapat dilacak dalam kamus dan dengan
demikian dapat dipahami oleh pembaca pada umumnya. Perbedaannya semata-
mata terkandung dalam pemanfaatannya oleh pengarang. Penggunaan disini
berkaitan dengan penyusunan, Bagaimana sistem bahasa formal dieksploitasi,
bahkan dicampuradukkan, diperalat dalam rangka memperoleh makna secara
maksimal. berbeda dengan bahasa formal, bahasa sastra adalah sistem Model kedua
dengan kualitas estetis. gaya bahasa lain menjadi unsur pokok utama mencapai
berbagai bentuk keindahan. Dalam pembicaraan inilah bahasa dan sastra dapat di
pertemukan kembali, sebagai konsumsi dialogis, sehingga masing-masing
komponen dapat diprediksi perkembangannya. dalam penelitian di lapangan,
misalnya, disarankan agar penelitian linguistik juga melibatkan karya-karya sastra,
sebaliknya, penelitian sastra memberikan perhatian terhadap aspek kebahasaan,
seperti stilistika dan wacana. pertemuan kembali antara bahasa dan sastra sekaligus
memberikan pemahaman terhadap sistem formal yang sejak awal dimiliki bersama,
sebagai puitika. 

Puitika berasal dari akar kata dari poet (penyair). Puitika sudah dikenal pada
zaman Yunani kuno, dibicarakan dalam retorika . dalam perkembangan berikut
keduanya memiliki tujuan yang berbeda . retorika bertujuan untuk mempengaruhi
sedangkan tujuan politik adalah keindahan, melukiskan kehidupan . pada awalnya
puitika diartikan sebagai ilmu yang berkaitan dengan puisi. popularitasnya dipicu
melalui dua faktor, pertama, pada zaman Yunani kuno ini puisi merupakan genre
sastra yang paling penting. kedua, sesuai dengan buku Aristoteles yang berjudul
retorik dan poetics.

Dalam perkembangan berikut puitika tidak terbatas dalam kaitannya dengan


puisi melainkan juga prosa dan drama, genre sastra secara keseluruhan. sebagai
ilmu sastra intensitasnya adalah menemukan kekhasan sastra . di satu pihak, puitika
modern (Scholes, 14-15) mulai dengan Saussure melalui Cours de linguistique general,
terbit tahun 1915, Dengan membedakan bahasa menjadi 3 level kegiatan, yaitu
langage langue dan parole. langage merupakan aspek paling luas meliputi keseluruhan
ucapan potensial sekaligus fisik dan mental. langue meliputi kualitas sistematik,
sistem bahasa, parole adalah bahasa individual. Dengan singkat langage adalah
potensi linguistik, Langue adalah sistem bahasa Parole adalah ucapan Individual. 

Menurut saussure objek utama linguistik adalah sistem bahasa sebab


merupakan produk sosial dan konvensional. bahasa menjadi bermakna oleh karena
diikat oleh sistem yang dipahami bersama . demikian juga makna karya sastra dapat
dipahami karena sistem sastra . oleh karena itulah, menurut Jakobson objek karya
sastra yang sesungguhnya adalah literariness, order of words menurut Northrop Frye,
essentially mental codes menurut Claudio Guillen. Kemudian saussure juga
mendefinisikan kembali elemen struktur bahasa, khususnya. menurutnya tanda
bukan semata-mata nama benda tetapi kompleksitas yang menghubungkan Citra
bunyi dengan konsep, sebagai significant (signifier) dan signifie (signified). Hubungan
antara keduanya bersifat arbiter.

Di pihak lain, sebagai bagian penolakan terhadap analisis historis sosiologis dan
psikologis, ciri-ciri ini muncul kembali awal abad ke-20 (1915) Melalui kelompok
formalis Rusia yang kemudian dilanjutkan oleh kaum strukturalis. Barthes (Culler,
1977:118) Jelas mengatakan bahwa puitika, khususnya bagi kelompok strukturalis
adalah sistem yang mendasari karya memungkinkan efek kesastraan. perbedaan
antara cerita (fabula), dengan penceritaan (sjuzet), Tokoh dengan penokohan,
penanda dengan, bahasa umum dengan bahasa individual, dan sebagainya adalah
cara-cara yang dengan sengaja digali dalam rangka memperoleh efek kesastraan
tersebut. mengalami sastra Sama Dengan memahami bahasa. menurut Culler
(ibid.:113-114) Seperti mendengarkan urutan bunyi, kata-kata, dan kalimat dalam
bahasa yang memungkinkan seseorang memahami apa yang dimaksud oleh
pembicara demikian juga halnya dalam karya sastra. pembaca dapat memahami
karya sastra oleh karena mereka memiliki pengetahuan sikap pakai, semacam
kompetensi kesastraan yang secara minimal dapat mengarahkan pada
keterpahaman sastra. Seorang pembaca buku tabula rasa. Pada gilirannya,
sebagaimana seseorang memahami tata bahasa maka ia harus juga memahami Tata
sastra, sebagai puitika sastra.

Salah seorang tokoh yang paling sering disebut adalah Roman Jakobson
(1987:71) Dengan mengemukakan 6 fungsi bahasa, yaitu: emotive, referential, poetic,
phatic, metalingual, dan conative. Diantara keenam fungsi tersebut jelas yang
terpenting adalah fungsi puitika. Sesuai dengan visi formalisme dan strukturalisme
pada umumnya puitika Jakobson menganggap karya sastra dapat dipahami dan
dijelaskan terlepas dari latar belakang sosial yang ada di luarnya. Oleh karena itulah
pendapat ini dikirim oleh Mary Louise Pratt (1997:xii), Bahasa sastra bukan ragam
tertentu melainkan pemakaian tertentu, tidak ada bahasa yang khas, yang ada
hanyalah pemakaian yang khas. penolakan yang sama juga dilakukan oleh
Wolfgang Iser (1987:54-55), Sebagai unit komunikasi tindak Kata adalah udara
dalam kondisi tertentu melalui konteks inilah kata-kata memperoleh makna.

Sejak awal stilistika jelas bersumber dari kedua buku penting Aristoteles
tersebut di atas yaitu Rhetoric dan Poetics. Baik dengan tujuan untuk mempengaruhi
maupun mengemukakan sesuatu yang khas, maka cara-cara yang dilakukan adalah
menggunakan bahasa yang khas, sebagai gaya bahasa. Meskipun demikian, dengan
perubahan intensitas dari proses persuasi ke kualitas estetis di satu pihak,
perkembangan pesat ilmu bahasa dan sastra awal abad ke-20 di pihak lain,
perkembangan stilistika modern lebih banyak dikaitkan dengan puitika itu sendiri
(cf.II.1).
Perkembangan politik a modern banyak dipengaruhi oleh linguistik generatif
Chomsky. sesuai dengan visi puitika generatif menurut Chomsky (Fowler, 1987:
184-185) Penutur asli memiliki kompetensi linguistik yang didasarkan atas kekayaan
bahasa secara universal yang memungkinkan setiap orang untuk menghasilkan
sejumlah kalimat secara tak terbatas. secara analog, sebagai pembaca puisi kawan
dianggap memiliki kompetensi sastra universal yang memberikan kemungkinan
untuk memaknai teks terserah tertentu sebagaimana tatabahasa, maka
dimungkinkan juga adanya Tata sastra, puitika itu sendiri sehingga pembaca dapat
memahami susunan suatu cerita yang salah, menyimpang, tidak lengkap, dan
sebagainya. kompetensi sastra universal Jelas tidak ada tetapi teks sastra dapat
dianalogikan dengan struktur kalimat . di samping itu, menurut Rimmon-Kenan
(1983:1-5) genre naratif Sejak awal, sejak adanya anekdot oral dan dongeng hingga
novel telah dianalisis dalam kaitanya dengan fungsi fungsi tokoh dalam cerita alur
struktur pencitraan dan struktur internal lainnya. genre puisi dianalisis dalam
kaitannya dengan pola-pola suara formal, demikian juga genre drama dalam
kaitannya dengan tokoh cerita, penonton dan panggung.

Propp dalam penelitiannya mengenai dongeng-dongeng Rusia, misalnya, sesuai


dengan judul bukunya The Morphology of the Folk Tale (1928) Membedakan analisis
faktor menjadi analisis sintaksis dan semantik. analisis pertama dilakukan dalam
kaitannya dengan urutan aksi sedangkan analisis kedua berkaitan dengan
perjuangan tokoh untuk memecahkan teka-teki permasalahan, perjuangan, dan
kemudian memperoleh imbalan. aksi tokoh-tokoh selanjutnya disebut sebagai
fungsi, dengan jumlah maksimal 31 fungsi . dengan objek yang berbeda, Will Wright
(Storey, 2007: 70-72) Menemukan 16 fungsi film Koboy klasik. mitos cerita rakyat
dan dongeng dengan demikian dianggap sebagai prototipe semua jenis naratif
fiksional yang lahir kemudian . dalam bidang antropologi cara-cara yang hampir
sama dilakukan oleh Levi-Strauss khususnya dalam menganalisis struktur mitos.
berbeda dengan Propp ( Scholes, 1977:68; Culler, 1977:23) menurut Levi-Strauss Unit
analisis bukan cerita melainkan mitos itu sendiri. Dengan kalimat lain Propp
memberikan intensitas pada Bentuk estetis, Levi-Strauss pada bentuk logis, sistem
ide dalam mitologi primitif. menurutnya mitos adalah ekspresi yang terkandung
didalam setiap cerita, baik secara utuh maupun terfragmentasi, body material yang
mengacu pada aspek-aspek kebudayaan tertentu . struktur mitos dengan demikian
terkandung dibalik material dan harus direkonstruksi melalui material tersebut.
Goldmann menyebutnya sebagai pandangan dunia. 

Salah seorang tokoh yang sering disebut sebagai memiliki kompetensi dalam
bidang politik sastra modern adalah Tzvetan Todorov dengan bukunya yang
berjudul poetique, terbit pertam akali tahun 1968. Puitika Todorovian (Scholes,
1977:143) Dapat dilacak dalam kaitannya dengan teori membaca yang dibedakan
menjadi tiga macam yaitu: a) projection, b) commentary, dan c) poetics. Proyeksi adalah
cara membaca yang dilakukan melalui teks, sudut pandang pengarang, masyarakat,
atau masalah-masalah lain yang dianggap menarik seperti kritik psikologis
Freudian, kritik sosiologis Marxian. Penjelasan adalah cara membaca dengan tetap
diam pada teks tertentu . sebagai close reading, misalnya berbagai analisis dengan
cara memahami karya melalui parafrase. Puitika adalah cara membaca untuk
menemukan prinsip umum dalam teks tertentu seperti prinsip-prinsip yang
membedakan antara puisi dengan prosa, cerpen dengan novel. 

Menurut Todorov (1985:4-11) Puitika tidak berusaha mengungkapkan makna,


tetapi menemukan kaidah-kaidah umum yang mendahului kelahiran sastra . oleh
karena itulah, menurutnya politika dianggap sebagai mengabaikan keseimbangan
yang sudah terjalin antara hermeneutika dengan karya sastra. kaidah-kaidah yang
dimaksud jelas berada di dalam karya sastra itu sendiri, bukan di luarnya. dalam
hubungan ini Todorov membedakan antara karya sastra dengan sastra yang
sesungguhnya sebagai wacana. sebagaimana dipahami dalam bidang filologi, karya
sastra lebih banyak berkaitan dengan naskah, bentuk konkrit dan berbagai aspek
ekstrinsik yang menyertainya. sebaliknya puitika berkaitan dengan wacana, bentuk-
bentuk karya sastra yang mungkin, struktur wacana secara abstrak dan umum,
bentuk-bentuk yang khas, sebagai literariness. Implikasi lain pembicaraan terhadap
karya sastra adalah timbulnya dua jenis hubungan, yaitu hubungan unsur yang
hadir bersama, dan hubungan unsur yang hadir dengan yang tidak hadir (in
absensia). Model hubungan pertama melahirkan konfigurasi konstruksi. dengan
kausalitas maka setiap unsur hadir secara berdampingan . proses kedua merupakan
hubungan makna perlambangan . dalam linguistik Model pertama juga disebut
sintagmatik, syntactic model kedua disebut para paradigmatik, semantik. 

Puitika bahasa dan sastra, termasuk puitika budaya tidak bisa dipisahkan secara
jelas. di satu pihak, sastra adalah sistem sekunder sesudah bahasa . dengan singkat,
medium sastra adalah bahasa . di pihak lain bahasa dan sastra adalah bagian
integral kebudayaan . sastra khususnya hampir tidak bisa dipisahkan dengan aspek-
aspek kebudayaan sehingga pembicaraan mengenai puitika sastra dengan
sendirinya sudah termasuk etika budaya. hubungan ini menjadi lebih bermakna
dalam teori kontemporer yang pada dasarnya beranggapan bahwa seluruh aspek
kebudayaan adalah teks. dalam antropologi (Ivan Brady, 2000:949-950) Puitika
dikenal dalam kaitannya dengan penggunaan teori strukturalisme, khususnya
melalui antropologi Levi-Strauss. Tahun 1990-an berkembang juga dipelopori oleh
Denis Tedlock.

Pada gilirannya (Todorov, 1985:12-13) Dalam analisis timbul hubungan


bertingkat di antara bahasa dan sastra yaitu: Analisis verbal, sintaksis, dan analisis
semantik . pembagian ini sudah ada sejak zaman Yunani Kuno yaitu elucutio,
dispositio, dan inventio. Kelompok formalis membedakannya menjadi stilistika,
komposisi, dan tematik, dalam linguistik modern menjadi fonologi sintaksis dan
semantik. dalam sejarah perkembangannya jelas terjadi perbedaan pemahaman
perhatian dan pemakaian. aspek verbal, sebagai gaya bahasa memperoleh perhatian
pada masa kritik baru modalitas naratif dalam tradisi morfologi Jerman sudut
pandang visi Henry James. Aspek Sintaksis memperoleh perhatian besar dalam
formalis Rusia Dan strukturalisme selanjutnya. sesuai dengan hakikat karya sastra
dengan intensitas makna aspek yang secara terus-menerus memperoleh perhatian
adalah semantik.

Dalam teori kontemporer, baik Strukturalisme maupun post strukturalisme


harus diarahkan pada pembaca . secara esensial puitika adalah teori membaca
(Culler,  1997: 128-131). Penulisan sebagai institusi, pembacaan sebagai aktivitas
secara bersama-sama mengarahkan pemahaman terhadap totalitas karya sastra.
dikaitkan dengan 3 genre utama sastra modern, maka pembaca perlu memahami
tiga jenis puitika yaitu puitika puisi prosa dan drama. ketiga puitika melahirkan
cara-cara pengungkapannya yang khas, stilistika yang berbeda . Seperti
dikemukakan di beberapa tempat pembicaraan ini genre puisilah yang paling
dominan dalam memanfaatkan gaya bahasa, baik kualitas maupun kuantitasnya.
genre prosa lebih memberikan intensitas pada penulisan gaya secara umum yang
sering disebut sebagai gaya penulisan.

Dalam analisis puitika jelas berkaitan dengan teori dan metode . keduanya
bahkan sulit dibedakan . sebagai ilmu, puitika berkaitan dengan hakikat karya.
sebaliknya, sebagai pemahaman, baik teori maupun metode berkaitan dengan cara-
cara tertentu. seperti diketahui secara garis besar ada dua teori sastra kontemporer
yaitu strukturalisme dan post strukturalisme. secara definitif teori pertama 
mempermasalahkan unsur, totalitas, dan antar hubungannya dengan intensitas
pada oposisi biner, sebagai hubungan monolitik, sedangkan teori ke-2
mendekonstruksi dengan memberikan makna secara proporsional sebagai
hubungan Dwi arah . dengan singkat puitika berfungsi untuk menyajikan gaya
bahasa sebagai stilistika yang kemudian dipahami melalui teori dan metode
tertentu 

Anda mungkin juga menyukai