Anda di halaman 1dari 20

Suku Uighur 

atau Uygur, Uigur, Uyghur (Uyghur: ‫;ئۇيغۇر‬ Hanzi: 维吾尔; Hanzi tradisional: 維吾


爾; Hanzi: Wéiwú'ěr) adalah salah satu suku minoritas resmi di Republik Rakyat Tiongkok. Suku
ini merupakan keturunan dari suku kuno Huihe yang tersebar di Asia Tengah,
menuturkan bahasa Uighur dan memeluk agama Islam.
Selain Republik Rakyat Tiongkok, populasi suku ini juga tersebar
di Kazakhstan, Kyrgystan dan Uzbekistan.
Suku Uighur bersama suku Hui menjadi suku utama pemeluk Islam di Tiongkok, tetapi ada
perbedaan budaya dan gaya hidup yang kentara di antaranya. Suku Uighur lebih
bernafaskan Sufi sedangkan suku Hui lebih pada mazhab Hanafi.
Suku Uighur terutama berdomisili dan terpusat di Daerah Otonomi Xinjiang.

1. ^ Show China
2. ^ CNN.com - Xinjiang: On the new frontier - Apr 21, 2005

2. Kenapa Pemerintah Cina Lebih


Ramah ke Muslim Hui daripada
Uighur?
3. Reporter: 
4. Non Koresponden
5. Editor: 
6. Eka Yudha Saputra
7. Rabu, 25 Desember 2019 16:35 WIB
8.   KOMENTAR
Roboto
9.  Font:          
10.  Ukuran Font: - + 
11.  
12. 

13. Para lelaki berkumpul di sebuah taman di Linxia Cina, provinsi Gansu, rumah bagi populasi besar etnis
minoritas Hui Muslim, 1 Februari 2018.[REUTERS / Michael Martina]
14. TEMPO.CO, Jakarta - Konflik di Xinjiang yang telah memancing mata
internasional telah menyorot etnis Muslim Uighur. Namun Uighur,
bagaimanapun, bukanlah populasi Muslim terbesar di Cina.
15.Adalah etnis Hui yang menganut Islam lebih banyak dengan 10,5 juta
Muslim Hui , dan merupakan terbesar kedua dari 55 etnis Minoritas di Cina
yang diakui secara resmi, dikutip dari TIME, 25 Desember 2019.
16.Kota Linxia di Provinsi Gansu adalah salah satu pusat pembelajaran Islam
Hui dan di sini tradisi sufi tetap hidup.
17.Sementara Uighur telah menghadapi tindakan keras Beijing termasuk
pembatasan ibadah. Tetapi ini tidak berarti bahwa Beijing membatasi Islam
secara nasional. Memang, anggota masyarakat Muslim Hui menikmati
mekarnya keyakinan di negara yang secara resmi masih merupakan negara
komunis ateis.
18.Ismail, seorang Hui yang bekerja untuk perusahaan milik negara di daerah
otonom Ningxia, mengatakan ia secara terbuka mempraktikkan
keyakinannya.
19."Tentu saja, saya berpuasa saat Ramadan," katanya. "Semua teman Hui
saya juga melakukannya. Itu adalah kewajiban kita sebagai Muslim. "Tetapi
seorang mahasiswa Uighur mengatakan dia dan teman-teman sekelasnya
tidak diizinkan melakukan hal yang sama."
20."(Otoritas universitas Han) memastikan kita makan di kafetaria. Mereka
mengatakan mereka tidak ingin kita lelah, tetapi saya tidak percaya mereka.
Itu karena kita adalah orang Uighur," katanya yang saat itu bersama
mahasiswa Uighur.
21.

Presiden Xi Jinping mengunjungi sebuah masjid di kota Urumqi, Xinjiang, pada tahun 2014. [Xinhua / Reuters]
22.Angka ibadah Haji Hui meningkat selama beberapa tahun terakhir, kata para
ulama. Ismail mengatakan dia telah memperhatikan lebih banyak Muslimah
Hui di kota kelahirannya mengenakan kerudung dalam beberapa tahun
terakhir.
23.Sebaliknya, sebuah surat kabar lokal di kota Xinjiang, Karamay, melaporkan
pekan lalu bahwa penduduk berjanggut panjang, jilbab, kerudung dan
pakaian dengan bulan sabit Islam dan bintang tidak akan diizinkan naik bus
umum.
24.Perbedaan yang paling mencolok antara kedua kelompok adalah posisi
masing-masing dalam kaitannya dengan pemerintah Cina. Berbeda dengan
Hui, kaum Uighur menghadapi diskriminasi negara yang mengkhawatirkan.
25."Dengan kedok kontraterorisme dan upaya 'anti-separatisme', pemerintah
mempertahankan sistem diskriminasi etnis yang meluas terhadap warga
Uighur… dan secara tajam mengekang ekspresi agama dan budaya,"
menurut laporan Human Rights Watch 2013 tentang Cina, dikutip dari The
Diplomat.
26.

Seorang etnis muslim Uighur berjalan di depan layar bergambarkan Presiden Cina Xi Jinping di Kashgar, Xinjiang
Uighur , 6 September 2018. Program Pair Up and Become Family untuk mengubah cara hidup dan kepercayaan etnis
Uighur yang beragama Islam yang dianggap Cina berpotensi ekstrimis. REUTERS/Thomas Peter
27.Dru Gladney, salah satu akademisi terkemuka yang mempelajari Muslim
Cina mengatakan persekusi terhadap Muslim Uighur bukan masalah agama.
"Jelas, ada banyak cara berekspresi keagamaan yang tidak dikekang di
Cina, tetapi ketika Anda melewati batas yang sangat samar dan bergeser
dari apa yang negara anggap sebagai politik, maka Anda berada di wilayah
berbahaya. Jelas inilah yang kami lihat di Xinjiang dan di Tibet."
28.Tidak seperti orang Tibet atau Uighur, yang berbicara bahasa Turki dan
secara ras berbeda dari Han, Hui tidak gelisah untuk peningkatan otonomi,
apalagi perpecahan dari Cina. Salah satu alasannya kemungkinan
dipengaruhi oleh geografi. Sementara orang-orang Uighur terkonsentrasi di
Xinjiang, dan orang-orang Tibet berkerumun di dataran tinggi di Cina bagian
barat, Hui tersebar di seluruh negeri.
29.Daerah Otonomi Ningxia Hui memang didedikasikan untuk mereka, tetapi
komunitas Hui ada di hampir setiap kota besar Cina. Populasi yang
signifikan tinggal di Beijing.
30.Secara rasial dan bahasa, Hui - yang leluhurnya termasuk pedagang Persia,
Asia Tengah dan Arab yang membanjiri Jalur Sutra dan menikah dengan
orang Tionghoa setempat, hampir tidak dapat dibedakan dari mayoritas Han
Tiongkok.
31.Seringkali, hanya kopiah putih yang membedakan seorang pria Hui dari
Han. Sebagian karena kedekatan budaya mereka dengan Han dan
penyebaran geografis mereka, Hui jauh lebih terintegrasi ke dalam
kehidupan Cina daripada etnis minoritas yang tinggal di daerah perbatasan
Cina.
32. ADVERTISEMENT

33."Cara (pemerintah memperlakukan) Uighur dan Hui benar-benar berbeda,"


kata seorang sarjana asing yang mempelajari Hui, yang enggan disebut
namanya. "Hui dianggap sebagai Muslim yang baik dan Uighur adalah
Muslim yang buruk."
34.Pembagian itu memiliki implikasi bagi masa depan Xinjiang, yang dulunya
didominasi orang Uighur tetapi telah menjadi tuan rumah bagi gelombang
transmigrasi yang didorong pemerintah. Sementara banyak dari pendatang
baru-baru ini yang bekerja di militer dan pertanian milik negara dan tambang
adalah Han, pendatang baru lainnya adalah Hui.
35.Para leluhur Hui termasuk jajaran panjang jenderal militer yang loyal kepada
kekaisaran Cina di waktu lampau. Hui juga unggul dalam perdagangan,
bakat yang membuat Hui menyebar di seluruh Cina. Bahkan di Lhasa, ibu
kota Tibet, banyak toko perhiasan dan restoran di dekat alun-alun kota
sekarang dimiliki oleh pedagang Hui. Hui, bersama dengan Han, menjadi
sasaran ketika kekerasan etnis meletus di wilayah Tibet pada 2008.
36.Pengaruh eksternal juga menjadi lebih penting dalam Islam Cina. Proliferasi
masjid-masjid bergaya Timur Tengah di Linxia mencerminkan kebangkitan
Islam Salafi murni di seluruh dunia, dari Indonesia ke Afrika Utara, di mana
agama yang bersatu mengalahkan pengaruh adat.
37."Di Cina, Hui telah secara luar biasa menggambarkan akomodasi indah ini
antara budaya Cina dan Islam," kata Gladney , yang mengajar di Pomona
College di California. "Tapi dengan munculnya media sosial dan gagasan
tentang satu dunia Islam, akomodasi bersejarah ini sedang diperdebatkan."
38. Gladney mencatat bahwa ulama Hui telah belajar di Universitas Al Azhar
Mesir, salah satu pusat pembelajaran Islam yang paling penting di dunia,
sementara sekitar 300 Muslim Hui tinggal di kota suci Madinah di Arab
Saudi.

Jakarta - Memahami sejarah China bisa menjadi awal yang baik untuk mencari
solusi permanen masalah Uighur. Kalau cuma latah, kasihan muslim di sana.

Isu Muslim Uighur ramai lagi menyusul tweet pesepakbola Mesut Oezil. Tapi


permasalahan Uighur di Xinjiang bukan perkara 1-2 tahun atau sejak kerusuhan
2009, melainkan sudah mulai sejak tahun 60 SM, seumur Jalur Sutra.

Saya berani bilang begini karena pernah melihat langsung ke Xinjiang bulan Mei
2018 silam. Dari Kota Urumqi, saya ke Changji, Korla, Yanqi, dan Bohu. Saya
berjumpa pihak-pihak yang bertikai dan dijelaskan benang kusut perkaranya.

Daerah Xinjiang membawa beban sejarah yang tidak kita dipahami dengan utuh.
Izinkan saya jelaskan dalam beberapa poin:

1. Xinjiang ratusan tahun terpinggirkan

Tahu cerita Kera Sakti Sun Go Kong, Journey To The West? Daerah barat yang
dimaksud adalah Xinjiang. Inilah Wild Wild West versi Negeri Tirai Bambu, tanah
tidak bertuan yang dihuni bandit dan siluman. Dulu namanya Xi Yu artinya Daerah
Barat.

Jalur Sutera yang dibuka tahun 60 SM di Zaman Dinasti Han mengubah segalanya.
China terhubung dengan India, Timur Tengah, dan Romawi. Namun kemudian
Xinjiang tercabik-cabik aneka peperangan antar-klan dan invasi Mongol sampai
Kekaisaran China menguasai daerah ini. Tapi setelah itu Xinjiang dibiarkan begitu
saja selama ratusan tahun.

2. Konflik identitas

Uighur bukan satu-satunya etnis di Xinjiang. Di sana ada 56 etnis minoritas. 46%
adalah etnis Uyghur, 40% adalah etnis Han, kemudian etnis Kazakhs 6,5%, etnis
Hui 4,5% dan etnis lain-lain 3%. Berapa yang ribut dengan Beijing? Cuma Uighur.

Uighur secara fisik agak bule, secara bangsa lebih dekat dengan Turki. Tapi 92%
penduduk China adalah etnis Han. Kecuali di Xinjiang saja etnis Han cuma separuh
populasi. China yang sentralistis tidak mengenal konsep Bhinneka Tunggal Ika.
China adalah Beijing, China adalah Han. Uighur mesti ikut identitas tunggal itu.

3. Bedanya Muslim Uighur dan Muslim Hui

Di Urumqi saya melihat kawat berduri di gerbang masuk pemukiman Muslim Uighur.
Tapi di Changji, saya melihat etnis Muslim Hui hidupnya nyaman-nyaman saja. Apa
bedanya Muslim Uighur dan Muslim Hui?

Muslim Uighur rupanya punya sejarah panjang soal separatisme sejak tahun 1960
yang dimotori beberapa kelompok, seperti East Turkistan Islamic Movement (ETIM)
dan yang terakhir Turkistan Islamic Party (TIP). Uighur juga dimanipulasi kelompok
teror seperti Al Qaeda sampai ISIS yang membuat urusan separatisme Uighur ini
makin keruh.

Inilah bedanya dengan Muslim Hui. Muslim Hui tidak pernah minta merdeka. Dalam
kerusuhan Xinjiang tahun 2009 etnis muslim Hui tidak mau menjadi bagian dari
konflik.

Muslim Hui berbagi sejarah romantis dengan etnis Han. Secara fisik sama-sama
sipit, sementara Uighur agak bule. Muslim Hui punya Laksamana Cheng Ho yang
diakui sebagai pahlawan China. Para jago kungfu Muslim Hui bersatu dengan jago
kungfu Han dalam Boxer Rebellion di awal abad ke-20. Berjuang bersama melawan
penjajah Jepang dan di era modern mereka menjadi pejabat di pemerintahan China,
atlet, seniman dan lain-lain.

Muslim Hui mendapatkan pengakuan politik dan budaya, tapi Muslim Uighur tidak.

4. Jadi, apa benar Muslim ditindas di China?

Kalau Uighur ditindas dan Hui tidak, berarti masalahnya bukan soal agama Islam.
Beberapa kenalan mahasiswa Indonesia yang kuliah di China berbagi cerita
pengalaman Ramadan yang syahdu, tidak ada larangan puasa.

Akar masalah Muslim Uighur adalah separatisme, minta merdeka, dan diperkeruh
lagi aksi teror yang dipengaruhi Al Qaeda dan ISIS. Di sisi lain, China bersikap
sangat represif terhadap gerakan semacam itu.

Apakah kamp konsentrasi itu ada? Saya yakin ada, walaupun tidak menjumpainya
saat berputar-putar di Provinsi Xinjiang. Pemerintah China mengakui, dan
menyebutnya tempat edukasi. Tempat rakyat belajar 'disiplin'.

5. Politisasi agama, percuma!

Memakai isu agama untuk masalah politik Uighur tidak akan efektif. Fa Lun Gong
sudah mencobanya. Foto-foto korban kekerasan di medsos, itu banyak foto Fa Lun
Gong, bukan Muslim Uighur. Di mata Beijing, itu adalah pembangkangan politik, titik.

Tapi di Indonesia, aksi simpatik bela muslim terzalimi memang laku. Tidak bisa
menutup mata, isu Uighur jadi jualan politik beberapa ormas Tanah Air.
Sekadar megaphone diplomacy oke. Tapi kalau hari ini bela Uighur, besok
menawarkan khilafah, itu namanya memboncengi penderitaan muslim Uighur,
kurang etis.

6. Memahami posisi China

Sikap China sebenarnya melunak pasca rusuh Xinjiang tahun 2009. Mereka ternyata
mencoba beberapa cara non kekerasan sampai 2019.

Pertama dengan demografi. Sejak 2009 sampai 2019, China membuat perimbangan
populasi di Xinjiang. Etnis Han kini naik jadi 40% dan etnis Uighur 46%. Warga Han
di Kota Korla bercerita kepada saya, ada insentif menarik untuk etnis Han yang mau
pindah ke Xinjiang.

Kedua, ekonomi. Akhirnya China 'bertobat' dan membangun infrastruktur Xinjiang


dengan serius dari sekolah, rumah sakit, apartemen dan lain-lain. Tinggal
pertanyaan kritisnya, pembangunan ini untuk etnis Han atau untuk Muslim Uighur?

Ketiga, pendidikan. Saya berkunjung ke sekolah asrama, isinya anak-anak Uighur


dari pedalaman disekolahkan gratis sampai SMA. Nantinya mereka dikuliahkan di
kota-kota besar China lainnya. Ini pun masih menuai protes. Sekolah ini dianggap
membuat anak-anak Uighur lebih pro China.

Keempat, merangkul muslim moderat. Saya di Urumqi mampir ke Xinjiang Islamic


Institute dan berjumpa Presiden Xinjiang Islamic Institute, Abdurakib Bin
Tumurniyaz. Ini adalah sekolah tinggi agama Islam. Institusi ini jadi jembatan
komunikasi antara umat Muslim di Xinjiang dengan pemerintah Beijing.

7. Para pemain isu Uighur

Xinjiang alamnya gunung batu dan gunung pasir. Tapi di bawah tanahnya ada salah
satu cadangan gas terbesar di China. Kalau Xinjiang merdeka, yang untung adalah
Kazakhstan dan Rusia. Turki ikut untung karena kalau Xinjiang merdeka, namanya
akan menjadi East Turkistan, sudah jelas dia akan berpatron ke mana. Ketika
negara-negara itu menyuarakan Uighur, apakah itu tulus atau ada kepentingan
ekonominya?

Amerika dan sekutunya juga akan selalu mengangkat isu Uighur secara reguler. Di
tengah perang dagang AS-China, Uighur menjadi titik lemah Beijing. Banyak juga
organisasi yang mengangkat isu Uighur untuk kepentingan masing-masing. Tapi
siapa sebenarnya representasi Uighur di dunia internasional?

8. Serius mau bantu Uighur? Ini caranya!

Pertama, kalau Muslim Hui bisa punya hubungan baik dengan pemerintah China,
kenapa Uighur tidak? Ternyata Uighur tidak semua minta merdeka. Dunia perlu
mendengar suara kelompok Uighur yang tetap mau jadi bagian dari China.

Kedua, pemerintah Beijing perlu melihat representasi Islam yang damai. Xinjiang
Islamic Institute adalah contoh lembaga yang memainkan peran itu. Sebab, kalau
membungkus terorisme dan separatisme dengan isu agama, akhirnya yang rusak
nama Islamnya. Semua bentuk kebudayaan Islam akhirnya dianggap bagian
separatisme.

Ketiga, dunia perlu mendorong Muslim Hui untuk menjadi mediator antara Uighur
dan pemerintah China. Bagaimanapun, Uighur adalah masalah dalam negeri China,
aktor-aktor dalam negeri mereka harus berperan aktif.

Keempat, dunia perlu mendesak China menghentikan cara-cara kekerasan dan


diskriminatif pada kamp-kamp re-edukasi. Serta mendorong China mengedepankan
cara-cara damai dan terus membangun Xinjiang. China harus merangkul Uighur,
minimal dari mengakui kebudayaan mereka.

Kelima, Indonesia bisa berperan aktif. China bisa belajar bagaimana Indonesia
menyelesaikan masalah di Aceh dengan damai. NU dan Muhammadiyah sedang
dan bisa terus melakukan pendampingan di Xinjiang.

9. Kesimpulan dan pelajaran untuk Indonesia

Jika disimpulkan, solusi masalah Uighur ada tiga: China mesti stop diskriminasi,
Uighur mesti stop minta merdeka, dan bangun komunikasi serta sikap saling
percaya di kedua pihak.

Jadikan Uighur pelajaran bagi Indonesia, jangan sampai kita melakukan kesalahan
yang sama. Isu Uighur adalah kasus di mana kelompok minoritas hidup dalam
tekanan. Kalau kita teriak-teriak bela Uighur, tapi menindas kelompok minoritas di
Indonesia, apa bedanya kita dengan China?
Fitraya Ramadhanny Redaktur Pelaksana detikINET. Tulisan ini pendapat pribadi,
tidak mewakili detikcom

(mmu/mmu)

Mengenal Muslim Uighur, Mengapa Kini Jadi


Viral?
TECH - Redaksi, CNBC Indonesia

22 December 2019 08:30

SHARE  

1. Mengenal Muslim Uighur, Mengapa Kini Jadi Viral?

1 dari 5 Halaman

Jakarta CNBC Indonesia - Dugaan penganiayaan Muslim


Uighur di China semakin hangat diperbincangkan setelah banyak tokoh
penting dan bintang papan atas membahas mengenai hal ini di media sosial.

Protes soal dugaan penindasan Muslim Uighur juga makin ramai di media
sosial Twitter. Tagar #SaveUyghurSOS juga sempat menjadi trending topik
Jumat (20/12/2019) lalu.

Baca:
Turki Protes China Soal Muslim Uighur

Lalu, seperti apa masalah ini sesungguhnya? Bagaimana bisa menjadi begitu
viral?
[Gambas:Video CNBC]

Mengenal Muslim Uighur, Mengapa Kini Jadi


Viral?
TECH - Redaksi, CNBC Indonesia

22 December 2019 08:30

SHARE  

1. Mengenal Muslim Uighur, Mengapa Kini Jadi Viral?

1 dari 5 Halaman

Jakarta CNBC Indonesia - Dugaan penganiayaan Muslim


Uighur di China semakin hangat diperbincangkan setelah banyak tokoh
penting dan bintang papan atas membahas mengenai hal ini di media sosial.

Protes soal dugaan penindasan Muslim Uighur juga makin ramai di media
sosial Twitter. Tagar #SaveUyghurSOS juga sempat menjadi trending topik
Jumat (20/12/2019) lalu.

Baca:
Turki Protes China Soal Muslim Uighur

Lalu, seperti apa masalah ini sesungguhnya? Bagaimana bisa menjadi begitu
viral?

[Gambas:Video CNBC]

Mengapa Cina Ngotot Tolak Tuduhan


Pelanggaran HAM di Uighur?
Etnis wanita Muslim Uighur mengendarai di belakang traktor melewati pasar pasar ternak Minggu yang terkenal di
Kashgar, pusat Jalur Sutra utama selama lebih dari 2.000 tahun dan pusat etnis minoritas Uighur di Cina, 21 Mei
2006. Elizabeth Dalziel/AP
Oleh: Faisal Irfani - 20 Desember 2019

Dibaca Normal 5 menit

Cina berkali-kali menolak disebut telah melanggar HAM terhadap masyarakat Uighur.
Penyebabnya: ekonomi.

tirto.id - Pertengahan November silam, The New York Times merilis dokumen memuat ada
dugaan tindak kekerasan terhadap kelompok Uighur di Xinjiang oleh pemerintah Cina.
Dokumen setebal 403 halaman ini mengungkap bagaimana Presiden Cina, Xi Jinping, pada
2014 memerintahkan para pejabat di bawahnya untuk membalas aksi gerilyawan
Uighur “sekeras mungkin” serta “tanpa belas kasihan.”

Dokumen itu turut menyebutkan Cina mesti meniru langkah AS pasca-911 dalam
menangani paham ekstrimisme. Bagian lain memperlihatkan mereka yang dianggap
terpapar ekstremisme agama perlu menjalani pelatihan dan program re-edukasi.
Mereka tidak diperbolehkan pulang sampai pikirannya dinilai “bersih.” Oleh PBB, praktik
semacam ini dituding melanggar HAM.
Namun, pemerintah Cina menolak tuduhan itu. Mereka berpendapat tujuan dari program itu
adalah penanggulangan serta pemberantasan paham ekstrimisme agama maupun
terorisme. Global Times, surat kabar pro-Cina, menyatakan laporan The New York
Times tak ubahnya seperti obsesi Barat yang “ingin melihat Xinjiang dilanda kekerasan dan
kekacauan ekstrem.”

Baca juga: Revolusi Jamban ala Presiden Cina Xi Jinping

Menyangkal secara Tegas


Masalah Uighur semakin menarik perhatian banyak negara, terutama dari Barat. Rata-rata
dari mereka meminta Cina tidak menutupi lagi pelanggaran HAM yang menimpa Muslim
Uighur di Xinjiang.

Amerika Serikat, misalnya, baru-baru ini menyetujui rancangan kebijakan yang menekan
perlakuan buruk Cina terhadap orang-orang Uighur. Rancangan ini, seperti
dilaporkan Channel News Asia, bakal membuat pemerintah AS dapat mengawasi
perkembangan kondisi komunitas Uighur. Rancangan diajukan setelah pemerintah
memperoleh data dari Departemen Luar Negeri dan FBI.

Meski demikian, pemerintah AS harus mendapatkan persetujuan dari DPR agar kebijakan
ini bisa diterapkan. Bila nanti kebijakan sudah disahkan, pemerintah AS bisa berpeluang
menjatuhkan hukuman kepada pejabat teras Cina sehubungan kasus Uighur.

Permasalahan yang menimpa Uighur telah menjadi tajuk pemberitaan dunia internasional
dalam beberapa tahun belakangan. Poinnya sama: pemerintah Cina dinilai melanggar HAM.

Agustus 2018 silam, sebagaimana diwartakan BBC, Komite PBB untuk Penghapusan


Diskriminasi Rasial melaporkan pemerintah Cina telah menahan sekitar satu juta orang dari
komunitas Uighur dalam tempat “serupa kamp interniran berukuran besar.” Laporan komite
ini didukung oleh hasil investigasi LSM HAM seperti Amnesty International dan Human
Rights Watch.

Muslim Uighur, catat Amnesty International dan Human Rights Watch, dipaksa bersumpah
setia kepada Presiden Xi Jinping, ditahan tanpa batas waktu yang jelas, diperlakukan
layaknya sumber penyakit, sampai didorong menyerukan slogan-slogan Partai Komunis.
Selain itu, pemerintah Cina mengawasi gerak-gerik masyarakat Uighur secara ketat lewat
pemantauan kartu identitas, pos pemeriksaan, identifikasi wajah, serta pengumpulan DNA
dari jutaan warga.

Pemenjaraan itu tak jarang berujung pada penyiksaan, kelaparan, dan kematian.

Sikap pemerintah Cina tak pernah berubah sejak kasus pelanggaran HAM ini menyeruak ke
permukaan: menyangkal secara tegas.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cina Hua Chunying berkata penduduk beragam etnis
di Xinjiang hidup dan bekerja dalam “kedamaian, kepuasan, serta menikmati kehidupan
yang damai sekaligus maju.”

Gesekan Sosial di Wilayah Otonom


Provinsi Xinjiang—atau akrab disebut Turkestan Timur—terletak di barat laut Cina dan
berbatasan dengan Kazakhstan, Kirgistan, Tajikistan, Pakistan, dan Afghanistan. Budaya,
agama, dan bahasa masyarakat Xinjiang sangat berbeda dari kebanyakan provinsi di Cina.

Ada lebih dari 50 etnis minoritas di Xinjiang, baik yang berasal dari Cina maupun Asia
Tengah. Ini termasuk komunitas Uighur yang punya garis keturunan bangsa Turk dan
berbicara dalam bahasa Uighur.

Isabella Steinhauer dalam "International Social Support and Intervention: The Uyghur
Movement -Xinjiang Province, China" (2017, PDF) menulis selama berabad-abad, relasi
Xinjiang dan Beijing mengalami pasang surut.

Pada 1949, setelah Partai Komunis Cina memenangkan perang sipil, Beijing secara resmi
mengklaim Xinjiang sebagai wilayahnya. Pemerintah memberikan status wilayah otonom
bernama Daerah Otonomi Uighur Xinjiang (XUAR).

Pemberian otonomi didasari faktor ekonomi mengingat Xinjiang menyimpan cadangan


minyak dan mineral yang cukup besar. Tak hanya itu, Xinjiang jadi pintu masuk Cina ke Asia
Tengah dan Timur Tengah: dua wilayah yang kini jadi salah dua lumbung investasi Cina.

Catatan Council on Foreign Relations menyatakan bahwa tak lama usai pemberian status


otonomi, Cina meluncurkan berbagai macam proyek pembangunan. Pada 1954, Cina
mendirikan Xinjiang Production and Construction Corps (XPCC) untuk menggarap
pemukiman dan pertanian. Proyek ini berlangsung selama kurang lebih setengah abad.

Pada awal 1990-an, zona ekonomi khusus diberlakukan di Xinjiang. Beijing mensubsidi
petani kapas lokal dan merombak sistem perpajakannya. Masih dalam periode yang sama,
pemerintah pusat mengucurkan modal untuk proyek-proyek infrastruktur, misalnya,
membangun Tarim Desert Highway dan jalur kereta ke Xinjiang barat.

Tingginya arus pembangunan memicu arus kedatangan pekerja migran ke Xinjiang,


khususnya etnis Han, suku terbesar di Cina. Walhasil, populasi Han di Xinjiang meningkat
secara dramatis. Dari yang semula hanya 6,7 persen (220.000) pada 1949, melonjak jadi 40
persen (8,4 juta) pada 2008.

Dampak jangka panjang dari migrasi suku Han adalah gesekan sosial.

Akses masyarakat Uighur ke air bersih dan tanah kian terbatas. Kesenjangan ekonomi
meningkat akibat praktik perekrutan pekerja yang diskriminatif. Etnis Han makin kaya,
sedangkan orang Uighur kian miskin di tanah leluhurnya sendiri.
Gesekan di Xinjiang makin diperburuk oleh kebijakan Beijing selama beberapa tahun
belakangan. Masih menurut Council on Foreign Relations, Beijing melarang masyarakat
Uighur menjalankan puasa Ramadan atau mengenakan cadar. Lalu, atas nama
pembangunan infrastruktur, pemerintah Cina tak segan meruntuhkan bangunan kuno
di Kashgar.

Pada 2009, etnis Uighur dan Han terlibat bentrokan setelah dua pekerja Uighur tewas di
Guangdong. Akibat bentrokan ini, 197 orang tewas, lebih dari 1.600 orang terluka, dan 718
orang ditahan.

Situasi bertambah panas dengan kemunculan gerakan separatis seperti East Turkestan
Islamic Movement (ETIM) yang sudah eksis sejak 1990-an. Oleh Beijing, ETIM
dikategorikan sebagai teroris dan diklaim berafiliasi dengan Al-Qaeda sehingga layak
diperangi.

Pasca-911, seiring masifnya “Perang Melawan Teror”-nya Bush, Beijing mulai meningkatkan
kewaspadaan di Xinjiang.

Pemerintah Beijing menangkapi pihak-pihak yang diduga terlibat “kegiatan keagamaan


ilegal,” membungkam para ulama di Kashgar yang dicap menyuarakan pesan-pesan
ekstremis, hingga tak ragu menutup masjid di Karakash, demikian tulis Dana Carver Boehm
dalam "China 's Failed War on Terror: Fanning the Flames of Uighur Separatist Violence"
(2009, PDF, terbit di Berkeley Journal of Middle Eastern & Islamic Law).

Masalahnya, tangan besi Beijing seringkali menyasar warga sipil yang sama sekali tak
bersalah.

Baca juga: Bagaimana Xi Jinping Menjelma Jadi Mao Zedong KW II

Demi Proyek Infrastruktur?


Pemerintah Cina seringkali melontarkan narasi kontra terhadap tuduhan “pelanggaran HAM”
atas apa yang dilakukan terhadap muslim Uighur. Agar sentimen tak makin memburuk,
salah satu cara yang dilakukan pemerintah Cina adalah mengundang jurnalis dari pelbagai
negara untuk meliput dan melihat sendiri keadaan Uighur di Xinjiang.

Pengalaman itu pernah ditulis oleh Peter Martin dalam laporan berjudul “How China Is
Defending Its Detention of Muslims to the World” yang
dipublikasikan Bloomberg (2019). Peter menyatakan kendati pemerintah Cina ‘membuka’
pintu bagi media, tetap saja agenda itu dikontrol secara ketat: dari jadwal, tempat yang
dituju, sampai daftar narasumber.

Kunjungan itu, tulis Peter, merupakan cara Cina untuk mengubah citra buruknya di mata
internasional. Pemerintah Cina seolah ingin menegaskan apa yang selama ini diberitakan
"media-media Barat" adalah salah belaka. Pesan pemerintah cukup jelas: kebijakan di
Xinjuang ditujukan untuk memberi stabilitas dan memastikan pertumbuhan ekonomi aman
terkendali.

Selain mengundang jurnalis, pemerintah Cina mengeluarkan dokumen resmi mengenai


sejarah Uighur di Xinjiang. Dokumen berjudul “Historical Matters Concerning Xinjiang” itu
menyebut Uighur merupakan bagian dari Cina sejak lama sekalipun telah mengalami proses
migrasi sekaligus integrasi yang cukup panjang, demikian lapor Xinhua News.

Ada alasan spesifik mengapa pemerintah Cina bersikeras menolak disebut pelanggar HAM.

Xinjiang, tempat di mana muslim Uighur berada, adalah bagian penting dari proyek Belt and
Road Initiative (BRI) yang dicetuskan Cina pada 2013. Proyek ini dibangun Cina demi tujuan
memperluas jaringan ekonominya, dari Asia-Pasifik, Afrika Utara dan Timur, hingga
Mediterania.

Xinjiang adalah jantung BRI di barat laut Cina, berbatasan dengan Mongolia, Rusia,
Kazakhstan, Kirgistan, Tajikistan, Afghanistan, Pakistan, dan India. Wilayah ini berperan
sebagai penghubung antara Cina dan Asia Tengah maupun Timur Tengah. Kedekatan
Xinjiang dengan sumber-sumber energi telah menjadikannya titik strategis serta lahan
investasi dalam skema BRI.

Artinya, Cina akan melakukan apa pun guna memastikan wilayah-wilayah dalam BRI tetap
stabil. Termasuk ketika bersikukuh tak ada pelanggaran HAM di Xinjiang. Teorinya,
pelanggaran HAM dapat merusak reputasi Cina, yang akhirnya bisa berujung mengganggu
arus investasi dalam proyek BRI.

Ini kemudian kurang-lebih dapat menjawab pertanyaan berikutnya tentang mengapa dunia
internasional seakan lambat dalam merespons masalah di Xinjiang.

Artikel di Foreign Policy (2019) menerangkan banyak negara seakan tutup mata atas
pelanggaran HAM di Xinjiang disebabkan mereka tak ingin Cina memutus hubungan
ekonomi dengan mereka.

Negara-negara seperti Pakistan, Kazakhstan, Kirgistan, sampai Qatar—yang berpenduduk


mayoritas muslim—punya sentimen yang sama: menganggap masyarakat di Xinjiang hidup
bahagia. Hal itu muncul karena negara-negara ini terlibat langsung dalam proyek BRI
bersama Cina. Jika mereka mengeluarkan sikap berbeda, Cina berpeluang menghentikan
kerja sama ekonominya.

Sementara Kate Lyons, dalam “The World Knows What is Happening to the Uighurs. Why
Has It Been So Slow to Act?” di The Guardian (2019), menambahkan faktor lain yang
membikin penanganan terhadap Uighur terkesan berlarut-larut ialah masih banyak orang-
orang dari Barat yang belum pernah mendengar soal Uighur serta sulit mendapatkan
informasi aktual dari lapangan mengingat Cina begitu membatasi akses media.

Kalaupun ada, jurnalis tak bisa bergerak bebas dalam meliput kondisi di sana—diarahkan
sedemikian rupa oleh Cina.

“Perang informasi yang terjadi saat ini ... memberikan perlindungan kepada pemerintah atau
memungkinkan pemerintah untuk tidak merespons karena mereka akan mengatakan: ‘Kami
benar-benar tidak tahu apa yang terjadi’,” kata James Leibold, profesor di bidang politik dan
studi Asia di Universitas La Trobe, Melbourne.

Masalah di Uighur tak akan separah hari ini jika kebijakan-kebijakan Beijing lebih akomodatif
terhadap ekspresi kultural masyarakat Uighur. Semakin direpresi, semakin kuat pula
ketidakpuasan penduduk Uighur. Namun, bisakah pendekatan seperti itu diambil, mengingat
permasalahannya berakar pada ekonomi dan upaya keras Beijing mengejar
status superpower ekonomi dunia dengan miliaran dolar proyek infrastruktur?

Baca juga artikel terkait CINA atau tulisan menarik lainnya Faisal Irfani

(tirto.id - Politik)

Penulis: Faisal Irfani


Editor: Eddward S Kennedy

Aksi Bela Uighur di Surabaya, Massa Tuntut Konjen


dan Dubes China Diusir
Chandra Iswinarno

Jum'at, 27 Desember 2019 | 16:53 WIB

Massa Bela Uighur di Konjen China Surabaya. [Suara.com/Arry Saputra]


Banyak dari demonstran perempuan yang membawa anak-anaknya untuk mengikuti aksi
ini. Massa ini juga telah memenuhi separuh jalanan di Jalan Mayjen Sungkono.
SuaraJatim.id - Ratusan massa yang tergabung dalam Forum Umat Islam
Bersatu  (FUIB) menggelar aksi bela Uighur  di depan Konsulat Jenderal (Konjen)
China Surabaya  pada Jumat (27/12/2019).
Pantauan di lokasi, para demonstran membawa atribut bendera tauhid dan poster-poster
bertuliskan "Kami bersama muslim Uyghur #Save Uyghur, Duka Uyghur duka kita".

Bahkan banyak dari demonstran perempuan yang membawa anak-anaknya untuk


mengikuti aksi ini. Massa ini juga telah memenuhi separuh jalanan di Jalan Mayjen
Sungkono hingga membuat kemacetan.

Korlap aksi yang juga Ketua LBH Pelita Umat Jatim Syaifudin Budiharjo menyampaikan,
aksi ini dilakukan untuk menyampaikan unek-unek sekaligus menjadi kewajibannya
sebagai umat muslim untuk peduli terhadap saudara muslim Uighur di China yang
menurutnya mengalami penindasan.

"Kewajiban kami di sini menyuarakan aspirasi sebagai bentuk kepedulian terhadap apa
yang menimpa saudara kami di sana. Mereka mengalami penyiksaan dan upaya-upaya
pembersihan bahkan pemerkosaan dan sebagainya," kata Syaifudin di sela aksi.

"Kami dari beberapa aliansi satu suara tidak hanya di Surabaya, bahkan kota-kota besar di
seluruh Indonesia dan di negara yang lain juga menyerukan yang sama untuk
menghentikan kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Uighur," katanya.

Syaifudin mengatakan, yang dialami oleh Suku Uighur merupakan bentuk kejahatan
kemanusiaan. Ia bersama massa yang lain ingin menggugah kaum muslimin yang lain
serta penguasa negeri ini untuk bisa mengambil sikap tegas atas apa yang terjadi. Bahkan,
ia meminta untuk mengusir Konjen atau Kedutaan China dari Indonesia.

"Apa yang harus dilakukan yakni menghentikan kebiadaban China dan mengusir konjen
atau kedutaan China yang ada di Indonesia. Dan aksi ini akan terus menerus kita lakukan
selama solusi dari apa yang diambil tidak memenuhi, atau China tetap melakukan upaya-
upaya tersebut," ungkapnya.

Ditanya soal pemerintah Indoensia yang mengambil sikap tak mencampuri urusan Cina,
Syaifudin menilai hal itu sangat mengecewakan umat muslim.

"Kami sangat mengecewakan, kami mengetahui Indonesia negara terbesar umat Islam,
tentu sikap yang harus diambil adalah mewakili umat Islam itu sendiri. Kami memohon
dengan adanya aksi ini agar pemerintah Indonesia membuka mata dan mengambil sikap,"
ucapnya.
Setelah aksi selesai, korlap aksi menyerahkan pernyataan sikap ke perwakilan Konjen
China dan diterima oleh petugas keamanan yang berada di dalam. Aksi yang berlangsung
selama tiga jam ini masih membuat jalanan di Mayjen Sungkono mengalami kemacetan.

Kontributor : Arry Saputra

Anda mungkin juga menyukai