Disusun oleh:
Kelompok 5 Kelas DC
Puji syukur penulis panjatkan untuk Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas resume materi dan critical review jurnal untuk mata
kuliah Perilaku Konsumen dengan materi berjudul “Konsep Diri (The Self)”. Tujuan penulisan
tugas ini yaitu untuk lebih memahami ilmu perilaku konsumen mengenai konsep diri serta hasil
review jurnal internasional yang berjudul “Luxury brand purchases and the extended self: A
cross-cultural comparison of young female consumers in Taiwan and the UK”. Oleh sebab itu,
penyusun ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Mugiono, SE, MM, CMA selaku dosen pengampu mata kuliah Perilaku
Konsumen.
2. Teman-teman S2 Manajemen Universitas Brawijaya.
Penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan. Dengan segenap
kerendahan hati, penulis berharap semoga segala kekurangan yang ada pada tugas ini dapat
dijadikan bahan pembelajaran untuk penelitian yang lebih baik di masa yang akan datang.
Semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi penulis, pembaca, dan civitas academica.
Annisaa Aulia P. A.
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................................................................2
PEMBAHASAN MATERI...................................................................................................................................4
BAB I RINGKASAN MATERI...........................................................................................................................5
1.1 Apakah Diri Itu?.....................................................................................................................................5
1.1.1 Apakah Diri Itu Ada?......................................................................................................................5
1.1.2 Konsep Diri.....................................................................................................................................5
1.1.3 Apakah Kita adalah Apa yang Kita Beli?.......................................................................................7
1.1.4 Kesesuaian Diri/Produk..................................................................................................................8
1.1.5 Perluasan Diri..................................................................................................................................9
1.2 Identitas Gender....................................................................................................................................10
1.2.1 Sosialisasi Peran Seks...................................................................................................................10
1.2.2 Identitas Gender vs Identitas Seksual...........................................................................................11
1.2.3 Produk Berdasarkan Jenis Kelamin..............................................................................................11
1.3 Citra Tubuh...........................................................................................................................................13
1.3.1 Kecantikan yang Ideal..................................................................................................................13
1.3.2 Kecantikan Wanita Barat yang Ideal............................................................................................13
1.3.3 Kecantikan Wanita yang Ideal dari Waktu ke Waktu..................................................................14
1.3.4 Kecantikan Ideal Wanita Saat Ini.................................................................................................14
1.3.5 Distorsi Citra Tubuh.....................................................................................................................14
1.3.6 Operasi Plastik..............................................................................................................................15
1.3.7 Dekorasi Tubuh dan Mutilasi.......................................................................................................15
BAB II REVIEW JURNAL................................................................................................................................17
2.1 Informasi Jurnal....................................................................................................................................17
2.2 Fenomena..............................................................................................................................................17
2.3 Tujuan...................................................................................................................................................18
2.4 Riset Gap..............................................................................................................................................18
2.5 Hipotesis Penelitian..............................................................................................................................19
2.6 Metode Penelitian.................................................................................................................................19
2.7 Hasil Penelitian.....................................................................................................................................20
2.8 Pembahasan Hasil.................................................................................................................................21
2.9 Implikasi Penelitian..............................................................................................................................22
2.10 Keterbatasan Penelitian........................................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................................24
3
PEMBAHASAN MATERI
Informasi Umum
MK : Perilaku Konsumen
Topik : Konsep Diri (The Self)
Dosen : Dr. Mugiono, SE, MM, CMA
Pemateri : Annisaa Aulia Puspa Anggraeni
Pembahas : Arie Andani Savitri
Waktu : Selasa, 27 Oktober 2020
Pertanyaan
Jelaskan secara singkat benang merah dari konsep diri terhadap perilaku konsumsi dan
hubungan antara konsep diri dengan strategi pemasaran?
Jawaban
1. Persepsi konsumen terhadap dirinya akan mempengaruhi perilakunya konsumsinya,
karena konsumen menganggap bahwa barang yang mereka beli bisa merefleksikan siapa
dirinya. Oleh karena itu, suatu produk atau merk akan disukai oleh konsumen apabila
citra merk (brand image) tersebut sesuai dengan refleksi dirinya. Misalnya, pegusaha
dengan pendapatan tinggi akan membeli Mercedez-Benz S-Class karena mobil mewah
tersebut akan memberikan kesan elegan dan terpandang bagi dirinya, dan hal itu sesuai
dengan citra diri yang ingin dibangun yaitu menjadi “orang sukses”.
2. Hubungan antara konsep diri dan strategi pemasaran didukung oleh citra merk (brand
image). Konsumen akan mengaitkan konsep dirinya dengan citra merk dari barang atau
jasa yang akan dibeli, dengan tujuan untuk meningkatkan citra diri. Oleh karena itu,
para pemasar harus mampu membangun citra dan kepercayaan merk yang baik serta
memiliki keterikatan dengan konsumen, sehingga konsumen akan membeli produk
tersebut karena relevan dengan konsep dirinya. Contohnya adalah merk Apple dengan
salah satu produknya yaitu iPhone yang diasosiasikan sebagai smartphone mewah
4
dengan berbagai macam fitur dan keamanan yang baik. Apple menampilkan citra luxury
tersebut untuk mendukung para konsumen yang ingin menampilkan citra “orang
sukses” pada dirinya.
5
BAB I
RINGKASAN MATERI
6
berkaitan dengan penampilan fisik mereka. Selain itu, selera seseorang juga bisa berubah dari
waktu ke waktu. Orang mengakui bahwa pilihan mereka sebelumnya telah berubah sedikit
seiring waktu. Beberapa bagian dari identitas diri manusia cukup stabil, tetapi masing-masing
orang memodifikasi beberapa elemennya saat menjalani hidup, terutama ketika terpengaruh oleh
ide, kelompok sosial, atau budaya baru.
Setiap elemen yang berkontribusi pada konsep diri kita adalah identitas. Salah satu cara
untuk mendefinisikan identitas adalah "label kategori yang mengasosiasikan diri konsumen
dengan penampilan, pemikiran, perasaan, dan tindakan seseorang dalam kategori itu." Beberapa
identitas cukup stabil (misalnya, keturunan Afika-Amerika), sedangkan identitas lain lebih
bersifat sementara dan cenderung berubah (misalnya, status mahasiswa). Oleh karena itu,
pemasar mencoba untuk memahami identitas konsumen dan mengembangkan produk yang tepat
demi memenuhi kebutuhan identitas tertentu (Solomon, 2018:201-202).
a. Harga Diri
Harga diri mengacu pada kepositifan konsep diri seseorang. Orang dengan harga diri
rendah berharap bahwa mereka tidak akan bekerja dengan baik, dan berusaha menghindari
rasa malu, kegagalan, atau penolakan. Iklan yang dibuat oleh pemasar dapat mengubah
persepsi seseorang tentang penampilan dan keinginan untuk mengubah penampilannya
seperti model pada iklan untuk meningkatkan harga dirinya (Solomon, 2018:202).
b. Diri yang Nyata dan Ideal
Diri ideal adalah konsepsi tentang bagaimana seseorang ingin menjadi, sedangkan diri
yang nyata mengacu pada penilaian yang lebih realistis tentang kualitas yang dimiliki dan
tidak miliki. Konsumen memilih beberapa produk karena produk tersebut dianggap
berhubungan dengan diri yang sebenarnya (nyata), sedangkan beberapa konsumen lain
membeli produk untuk mencapai standar yang ideal (Solomon, 2018:202).
c. Identitas Virtual atau Fantasi
Kebanyakan orang mengalami ketidaksesuaian antara diri mereka yang sebenarnya dengan
versi ideal. Orang-orang ini adalah target yang baik untuk komunikasi pemasaran yang
menggunakan daya tarik fantasi. Fantasi atau lamunan adalah pergeseran kesadaran yang
disebabkan oleh diri sendiri, yang terkadang merupakan cara untuk mengimbangi
kurangnya rangsangan eksternal atau untuk melarikan diri dari masalah di dunia nyata.
Contohnya adalah aplikasi "Simulasi Riasan" Vogue yang memungkinkan wanita untuk
7
melihat bagaimana produk kecantikan akan terlihat di simulasi wajah mereka (Solomon,
2018:203).
d. Diri Ganda
Perspektif dramaturgi tentang perilaku konsumen memandang orang sebagai aktor yang
memainkan banyak peran, naskah, alat peraga, dan kostum yang berbeda. Diri memiliki
komponen yang berbeda dan hanya beberapa di antaranya yang aktif pada waktu tertentu.
Pemasar harus bisa memahami peran yang sedang dimainkan seseorang untuk membuat
pesan iklan yang sesuai dengan identitas konsumen (Solomon, 2018:203).
e. Interaksionisme Simbolik
Tradisi sosiologis interaksionisme simbolik menekankan bahwa hubungan dengan orang
lain berperan besar dalam membentuk diri. Menurut perspektif ini, kita berada dalam
lingkungan simbolik. Pengetahuan penting untuk memahami perilaku konsumen karena
ternyata simbol memiliki peran kunci untuk mengevaluasi diri sendiri dan memutuskan
"siapa kita" (Solomon, 2018:204).
f. Cerminan Diri
Sosiolog menyebut proses membayangkan reaksi orang lain seperti “diri yang memandang
kaca”. Menurut pandangan ini, keinginan kita untuk mendefinisikan diri sendiri terpantul
dari reaksi orang lain terhadap kita. Perspektif orang lain dapat mempengaruhi identitas
diri seseorang, tergantung pada siapa yang memberi pendapat dan seberapa akurat opini
tersebut (Solomon, 2018:204).
g. Kesadaran Diri
Beberapa orang tampaknya lebih sensitif terhadap “citra diri” yang mereka komunikasikan
kepada orang lain. Kekhawatiran yang meningkat tentang citra publik seseorang juga
menghasilkan lebih banyak perhatian tentang kesesuaian produk dan aktivitas konsumsi.
Konsumen yang mendapat skor tinggi pada skala kesadaran diri publik mengekspresikan
lebih banyak minat pada pakaian dan menggunakan lebih banyak kosmetik daripada yang
mendapat skor lebih rendah (Solomon, 2018:204).
1.1.3 Apakah Kita adalah Apa yang Kita Beli?
Menurut Solomon (2018:206), cerminan diri membantu membentuk konsep diri, yang
menyiratkan bahwa orang melihat diri mereka sendiri sebagaimana mereka membayangkan
orang lain melihatnya. Peneliti menggunakan perilaku konsumsi individu untuk mengidentifikasi
8
identitas sosial orang tersebut. Produk yang digunakan oleh konsumen dapat mempengaruhi
persepsi orang lain dan kemudian reaksi ini yang akan membentuk identitas sosial seseorang.
Penggunaan informasi konsumsi kita untuk mendefinisikan diri sangat penting ketika kita
belum sepenuhnya membentuk identitas sosial, seperti ketika kita harus memainkan peran baru
dalam hidup. Teori penyelesaian diri simbolis menyatakan bahwa orang yang memiliki definisi
diri yang tidak lengkap cenderung melengkapi identitas ini ketika mereka memperoleh dan
menampilkan simbol yang mereka asosiasikan dengan peran tersebut (Solomon, 2018:206),
Kontribusi kepemilikan terhadap identitas diri mungkin paling terlihat ketika kita
kehilangan benda-benda berharga. Sebuah studi tentang kondisi pascabencana, di mana
konsumen mungkin telah kehilangan segalanya kecuali pakaian yang melekat, merasakan
dampak dramatis dari kehilangan produk. Beberapa orang enggan menjalani proses penciptaan
kembali identitas mereka dengan memperoleh harta baru (Solomon, 2018:206),
1.1.4 Kesesuaian Diri/Produk
Konsumen akan memilih produk ketika atributnya cocok dengan beberapa aspek diri.
Ketika mereka memilih produk yang menyenangkan secara estetika, pilihan ini membuatnya
merasa lebih baik tentang diri kita sendiri. Penelitian terbaru yang mencakup pengukuran
gelombang otak seperti pencitraan resonansi magnetik fungsional (fMRI) menunjukkan bahwa
ketika seseorang memiliki hubungan dekat dengan suatu merek, hal ini mengaktifkan insula, area
otak yang bertanggung jawab untuk dorongan, kecanduan, penolakan kehilangan, dan cinta
interpersonal. Hubungan emosional ini bahkan membuat orang defensif terhadap merek
favoritnya jika melihat informasi negatif tentangnya (Solomon, 2018:205-206).
Seiring waktu kita cenderung membentuk hubungan dengan produk yang menyerupai
ikatan yang kita buat dengan orang lain, seperti: cinta, cinta tak terbalas, rasa hormat, bahkan
rasa takut atau benci. Peneliti bahkan menyatakan bahwa setelah "putus" dengan suatu merek,
orang cenderung mengembangkan perasaan negatif yang kuat dan akan berusaha keras untuk
mendiskreditkannya, termasuk ucapan-ucapan buruk dan bahkan vandalisme (Solomon,
2018:206).
Peneliti menyatakan kesesuaian antara konsumen dan merek produk, serta antara citra diri
konsumen dan toko favorit mereka. Beberapa atribut khusus yang berguna untuk
menggambarkan kecocokan antara konsumen dan produk. Meskipun temuan ini masuk akal
secara intuitif, kita tidak bisa begitu saja berasumsi bahwa konsumen akan selalu membeli
9
produk yang karakteristiknya sesuai dengan karakteristik mereka. Tidak jelas apakah konsumen
benar-benar melihat aspek diri mereka sendiri dalam produk fungsional atau secara simbolis.
Kesesuaian antara citra diri seseorang dan gambar produk yang ia beli cenderung meningkat
seiring waktu ia memiliki produk tersebut (Solomon, 2018:206).
1.1.5 Perluasan Diri
Banyak alat peraga yang digunakan konsumen untuk mendefinisikan peran sosial mereka
menjadi bagian dari diri mereka. Objek eksternal yang dianggap sebagai bagian dari diri kita
merupakan diri yang diperluas. Konsumen terus menemukan cara baru untuk mengintegrasikan
produk buatan manusia ke dalam tubuh fisiknya. Penggunaan bahan asing untuk mengganti atau
melengkapi bagian tubuh manusia bukanlah hal baru, tetapi kemajuan teknologi terkini terus
mengikis penghalang antara diri yang sebenarnya dan yang bukan (Solomon, 2018:208-209).
Menurut Solomon (2018:209), beberapa orang menghargai kepemilikan seolah-olah itu
adalah bagian dari mereka. Faktanya, beberapa orang rela melabeli dirinya sendiri sebagai
fanatik terhadap produk yang disukai, misalnya sepatu. Selain itu, banyak objek material yang
membantu membentuk identitas konsumen dan hampir semua orang menyebutkan bahwa barang
berharga merupakan bagian dari dirinya. Pada gambar 1.1, terdapat empat tingkat perluasan diri:
10
1. Tingkat individu — Konsumen memasukkan kepemilikan pribadi ke dalam definisi diri.
Produk tersebut bisa berupa perhiasan, mobil, pakaian, dan lain sebagainya. Pepatah “Anda
adalah apa yang Anda kenakan” mencerminkan keyakinan bahwa suatu produk adalah
bagian dari identitas seseorang.
2. Tingkat keluarga — Bagian dari diri yang diperluas ini termasuk tempat tinggal
konsumen dan perabotan di dalamnya. Kita dapat menganggap rumah sebagai simbolis
untuk keluarga dan tempat tinggal adalah aspek sentral dari siapa kita.
3. Tingkat komunitas — Konsumen biasanya mendeskripsikan diri mereka sendiri dalam
istilah lingkungan atau kota tempat mereka berasal. Bagi keluarga petani atau penduduk
lain yang memiliki hubungan dekat dengan komunitas, rasa memiliki ini sangat penting.
4. Tingkat kelompok — Konsumen menganggap keterikatannya pada kelompok sosial
tertentu sebagai bagian dari diri. Konsumen juga mungkin merasa bahwa landmark,
monumen, atau tim olahraga adalah bagian dari perluasan diri.
11
1. Laki-laki lebih berorientasi pada diri sendiri, sedangkan perempuan lebih berorientasi pada
orang lain.
2. Perempuan lebih berhati-hati.
3. Perempuan lebih responsif terhadap data negatif.
4. Laki-laki memproses data lebih selektif dan perempuan lebih komprehensif.
5. Perempuan lebih sensitif untuk membedakan kondisi dan faktor.
1.2.2 Identitas Gender vs Identitas Seksual
Identitas peran gender adalah keadaan pikiran sekaligus tubuh. Jenis kelamin biologis
seseorang (pria atau wanita) tidak sepenuhnya menentukan apakah dia akan menunjukkan ciri-
ciri berdasarkan jenis kelaminnya (Solomon, 2018:2014).
Terdapat bukti baru tentang efek biologi pada perilaku konsumen. Ilmu
neuroendokrinologi berfokus pada peran potensial pengaruh hormonal pada preferensi untuk
berbagai jenis produk atau orang. Hal ini didasarkan pada logika evolusi tentang bagaimana
orang "terhubung" sejak lahir untuk mencari pasangan yang dapat menghasilkan keturunan yang
optimal untuk bertahan dalam lingkungan yang kompetitif. Misalnya, ketika wanita berada pada
puncak kesuburan, mereka akan memilih produk yang meningkatkan penampilan untuk menarik
perhatian pria (Solomon, 2018:2014).
Tidak seperti pria dan wanita, maskulinitas dan feminitas bukanlah karakteristik biologis.
Perilaku yang dianggap maskulin oleh suatu budaya mungkin mendapat respons berbeda di
budaya lain. Misalnya, norma di Amerika Serikat adalah bahwa teman pria tidak boleh saling
menyentuh (kecuali dalam situasi "aman" seperti di lapangan sepak bola). Namun, dalam
beberapa budaya Latin dan Eropa, pria biasa berpelukan dan mencium satu sama lain sebagai
bentuk sapaan (Solomon, 2018:2014).
1.2.3 Produk Berdasarkan Jenis Kelamin
Ada banyak produk yang terkait erat dengan satu jenis kelamin, terutama jika produk
tersebut terkait dengan definisi budaya yang menarik secara seksual. Buku “Real Men Don’t Eat
Quiche” adalah salah satu contoh produk maskulinitas yang menyasar pada pria. Selain Quiche,
pemasar mempromosikan banyak produk berdasarkan jenis kelamin. Mereka mencerminkan
stereotip atribut maskulin atau feminin, dan konsumen mengaitkannya dengan satu jenis kelamin
atau lainnya (Solomon, 2018:2015).
12
a. Peran Seks Wanita
Saat ini, evolusi wanita telah memaksa pemasar untuk mengubah asumsi tradisional
mereka tentang wanita pada pasar yang sedang berkembang. Seiring perkembangan zaman,
peran seks juga terus berkembang. Sebuah eksplorasi tentang Contemporary Young
Mainstream Female Achievers (CYMFA) mengidentifikasi peran berbeda yang dimainkan
para perempuan dalam konteks yang berbeda. Misalnya, sebagai ibu atau pasangan mereka
memerankan peran yang sangat feminin; sebagai pebisnis yang tangguh dan kejam mereka
memainkan peran maskulin; dan dengan seorang teman mereka mungkin menjalankan
kedua peran tersebut sekaligus (Solomon, 2018:2016).
b. Peran Seks Pria
Stereotip budaya tentang pria ideal adalah pria yang tangguh, agresif, dan berotot yang
menyukai olahraga "jantan". Maskulinisme mempelajari citra laki-laki dan makna budaya
maskulinitas yang kompleks. Laki-laki menerima pesan yang beragam tentang bagaimana
mereka seharusnya berperilaku dan merasa. Terdapat tiga model maskulinitas, yaitu:
pencari nafkah (kesukesan secara materi), pemberontak (petualang), dan pahlawan aksi
(sifat terbaik dari kedua model sebelumnya) (Solomon, 2018:217).
c. Androgini
Androgini mengacu pada ciri-ciri sifat maskulin dan feminin pada seseorang. Mereka
cenderung ingin dilihat sebagai orang yang sensitif, spiritual, penyayang, terorganisir, dan
hemat. Androgini dapat membuka pasar baru jika pemasar dapat memperluas jangkauan
sasarannya. Misalnya, perusahaan yang hanya fokus pada produk untuk suatu gender
mungkin dapat mempromosikan produk yang cocok untuk androgini (Solomon, 2018:218).
d. Konsumen LGBT
Konsumen LGBT bisa membelanjakan penghasilannya hingga $ 350 juta dalam setahun.
Studi dari Simon mengemukakan bahwa banyak konsumen gay yang memiliki pekerjaan
profesional, rumah peristirahatan, dan laptop. Hubungan gay semakin menjadi arus utama
di sebagian wilayah Amerika Serikat. Bahkan merek kue Oreo mengambil sikap publik
mendukung postingan di Facebook tentang Oreo berwarna pelangi, sebuah simbol yang
digunakan pendukung LGBT untuk menunjukkan keragaman (Solomon, 2018:220-221).
13
1.3 Citra Tubuh
Penampilan fisik seseorang adalah bagian besar dari konsep dirinya. Citra tubuh mengacu
pada evaluasi subyektif konsumen terhadap diri fisiknya. Evaluasi kita belum tentu sesuai
dengan apa yang dilihat orang di sekitar kita. Beberapa pemasar memanfaatkan kecenderungan
konsumen untuk mengubah citra tubuhnya. Mereka mencoba menciptakan celah antara diri fisik
yang nyata dan ideal dan kemudian memotivasi seseorang untuk membeli produk dan layanan
yang menurutnya akan mempersempit kesenjangan itu. Bahkan media sosial juga bisa
memengaruhi perasaan kita terhadap tubuh kita (Solomon, 2018:221).
Body cathexis mengacu pada perasaan seseorang tentang tubuhnya. Kata cathexis mengacu
pada signifikansi emosional dari beberapa objek atau ide; seperti keyakinan bahwa beberapa
bagian tubuh lebih penting daripada yang lain (Solomon, 2018:222).
1.3.1 Kecantikan yang Ideal
Kepuasan terhadap citra fisik yang ditampilkan kepada orang lain bergantung pada
seberapa dekat kita menganggap citra tersebut sesuai dengan nilai-nilai budaya yang ideal.
Kecantikan yang ideal adalah model atau contoh penampilan tertentu. Kecantikan ideal untuk
pria dan wanita termasuk bentuk fisik, gaya pakaian, kosmetik, gaya rambut, warna kulit, dan
tipe tubuh. Keinginan untuk menyesuaikan dengan kecantikan ideal inilah yang mendorong
keputusan pembelian konsumen (Solomon, 2018:222).
1.3.2 Kecantikan Wanita Barat yang Ideal
Beberapa orang terobsesi dengan harga diri dan penampilan sehingga mengorbankan
kesehatannya untuk mencapai citra tubuh yang ideal. Wanita khususnya, cenderung menerima
pesan dari media bahwa kualitas tubuh mereka mencerminkan harga diri mereka, sehingga
sebagian besar distorsi citra tubuh terjadi di kalangan wanita. Gangguan psikologis ini
menyebabkan pasien tidak percaya diri dengan bentuk tubuhnya (Solomon, 2018:225).
Peneliti mengaitkan citra tubuh yang menyimpang dengan gangguan makan, yang sangat
lazim di kalangan wanita muda. Orang dengan anoreksia menganggap diri mereka terlalu gemuk,
dan mereka hampir membuat diri mereka kelaparan karena ingin menjadi kurus. Kondisi ini
sering kali menyebabkan bulimia. Sebagian besar gangguan makan terjadi di kalangan remaja
kulit putih (Barat), kelas menengah ke atas, dan wanita usia kuliah. Para korban seringkali
mendapatkan bully tentang berat badannya (Solomon, 2018:226).
14
1.3.3 Kecantikan Wanita yang Ideal dari Waktu ke Waktu
Menurut Solomon (2018), sejarah penampilan ideal wanita dari waktu ke waktu adalah:
a. Awal tahun 1800-an : Penampilan pucat seperti terlihat sakit.
b. Tahun 1890-an : Penampilan wanita seksi yang menggairahkan
c. Tahun 1990-an : Penampilan seperti orang terlantar (waif look).
d. Ekonomi buruk : Penampilan dewasa.
e. Ekonomi baik : Penampilan kekanak-kanakan.
f. Modern : Sepatu hak tinggi, body waxing, eyelifts, sedot lemak, dll.
1.3.4 Kecantikan Ideal Wanita Saat Ini
Perubahan budaya mengubah kecantikan ideal yang dominan dari waktu ke waktu. Pada
akhir 2014, Kim Kardashian mengubah persepsi bahwa siluet wanita yang lebih menonjol adalah
hal yang menarik. Oleh karena itu, standar kecantikan berubah karena tipikal tubuh wanita tidak
lagi "mungil" seperti dulu. Namun demikian, perusahaan pakaian masih mengembangkan lini
pakaian yang menetapkan standar ukuran berdasarkan sampel kecil karena wanita lebih suka
membeli ukuran kecil, meskipun labelnya tidak akurat (Solomon, 2018:226).
Selama beberapa tahun, Kampanye Dove untuk Kecantikan Sejati telah menarik perhatian
pada kecantikan ideal yang tidak realistis karena menampilkan wanita dengan tubuh yang tidak
sempurna dalam iklan. Unilever memulai kampanye setelah penelitiannya menunjukkan bahwa
banyak wanita tidak percaya produknya berhasil karena model yang menggunakan produk
tersebut terlihat tidak realistis (Solomon, 2018:227).
1.3.5 Distorsi Citra Tubuh
Sebagian besar distorsi citra tubuh terjadi pada wanita. Hal ini karena sterotipe yang
berkembang bahwa penampilan sering dihubungkan dengan harga diri. Oleh karena itu, wanita
sering mengorbankan kesehatannya demi mendapatkan bentuk tubuh yang ideal hingga
menyebabkan gangguan makan (anoreksia). Hal ini sering terjadi di kalangan remaja wanita kulit
putih, kelas menengah ke atas, dan wanita usia kuliah (Solomon, 2018:227).
Namun, pria juga bisa mengalami gangguan citra tubuh. Kasus body dysmorphic disorder
(obsesi terhadap penampilan yang dianggap kurang) di antara pria muda juga menyebabkan
gangguan makan demi menjaga berat badan. Selain itu, munculnya karakter superhero Batman
juga mengubah persepsi pria bahwa bentuk badan yang ideal adalah yang tinggi dan berotot. Hal
15
ini menyebabkan kasus penyalahgunaan steroid terutama yang sering terjadi pada kalangan atlit
(Solomon, 2018:227).
1.3.6 Operasi Plastik
Konsumen menjalani operasi kosmetik untuk mengubah citra tubuh yang buruk atau
mempercantik penampilan. Korea Selatan adalah negara yang memiliki tingkat operasi plastik
tertinggi di dunia dan mengundang banyak orang dari berbagai negara untuk melakukan operasi
kelopak mata ganda atau restrukturisasi wajah menjadi bentuk V. Pemerintah Korea bahkan
menyediakan dana untuk mempromosikan bisnis pariwisata medis di negaranya. Tuntutan sosial
membuat banyak konsumen muda tertarik untuk memodifikasi tubuhnya (Solomon, 2018:230).
1.3.7 Dekorasi Tubuh dan Mutilasi
Menurut Solomon (2018:228), orang di setiap budaya menghiasi atau mengubah tubuh
mereka dengan cara tertentu. Tujuan dari mendekorasi tubuh fisik adalah:
Untuk memisahkan anggota grup dari non-anggota.
Untuk menempatkan individu dalam organisasi sosial.
Untuk menempatkan orang dalam kategori gender.
Untuk meningkatkan identifikasi peran seks.
Untuk menunjukkan perilaku sosial yang diinginkan.
Untuk menunjukkan status atau pangkat tinggi.
Untuk memberikan rasa aman.
Jenis dekorasi tubuh beraneka ragam, salah satunya adalah tato dan tindik badan:
a. Tato
Tato adalah bentuk dekorasi tubuh populer yang berasal dari lukisan tubuh dalam budaya
primitif. Secara historis, tato diasosiasikan dengan orang buangan sosial. Misalnya, Yakuza
Jepang (anggota geng), sering menggunakan lambang ini untuk mengekspresikan identitas
dan solidaritas kelompok. Saat ini, tato adalah cara yang cukup bebas risiko untuk
mengekspresikan sisi petualangan diri. Namun, beberapa orang menyesali keputusannya
membuat tato. Sayangnya menghapus tato jauh lebih rumit daripada memakainya. Oleh
sebab itu, sebelum membuat tato permanen, pastikan diri kita sudah siap untuk
menggunakannya seumur hidup (Solomon, 2018:231-232).
16
b. Tindik Badan
Body piercing berevolusi dari asumsi terkait dengan “kelompok pinggiran” menjadi
pernyataan mode populer. Tindik dapat dilakukan di daun telinga, hidung, bahkan bibir
sebagai simbol dari fashion baru (Solomon, 2018:232).
17
BAB II
REVIEW JURNAL
2.2 Fenomena
Pasar barang dan jasa mewah telah tumbuh secara signifikan dan konsisten sejak awal
1990-an, dan salah satu hasilnya adalah minat penelitian akademis yang cukup besar dalam
konsumsi barang mewah (Bian dan Forsythe, 2012; Eastman dan Liu, 2012; Hudders, 2012 ;
Truong et al., 2008; Wu et al., 2015). Perilaku pembelian barang mewah telah dikaitkan dengan
konsep diri, yakni konsumen menganggap bahwa produk mewah dapat menunjukkan status atau
identitas mereka dan menciptakan “perluasan diri” dengan menggabungkan objek dan simbol
konsumsi mereka (Belk, 1998; Ahuvia, 2005; Saren, 2007).
Studi yang dilaporkan dalam makalah ini membandingkan konsumsi merek dan produk
mewah di Taiwan dan Inggris, dengan referensi khusus pada sektor fashion. Kedua negara
tersebut dipilih karena karakteristik ekonomi, sosial dan budayanya yang sangat berbeda.
Sebagai negara berkembang yang maju, peningkatan kekayaan konsumen domestik Taiwan
mempengaruhi pasar barang mewah, karena merek-merek terkenal membuka toko-toko utama
yang membawa produk edisi terbatas termahal mereka (Dia, 2010). Laporan Euromonitor
International (2014) yang berjudul Luxury Goods in Taiwan menunjukkan bahwa penjualan
barang mewah di Taiwan mencapai £ 3 juta pada tahun 2013 dan diperkirakan mencapai £ 3,5
juta pada tahun 2018. Inggris, pada sisi lain, adalah negara maju pasca industri. Perbedaan antara
kedua negara diharapkan dapat berdampak kuat pada perilaku konsumen di sektor fashion
mewah masing-masing, sehingga sangat relevan untuk penelitian kali ini.
18
2.3 Tujuan
Perbedaan antara budaya barat dan timur juga mempengaruhi perbedaan perilaku
konsumen, khususnya pada pembelian barang fashion dari merek mewah (luxury brand).
Dikarenakan sangat sedikit literatur akademis yang menjelaskan temuan penelitian tentang
perbedaan perilaku pembelian barang mewah dari konsumen timur dan barat, oleh sebab itu
penulis membuat penelitian ini dengan tujuan untuk membandingkan konsumsi produk mewah
dan kebiasaan membeli fashion mewah di Taiwan (Timur) dan Inggris (Barat), khususnya pada
segmentasi wanita muda yang membeli barang mewah.
19
muda. Sebuah studi komprehensif oleh Silverstein dan Sayre (2009) tentang bagaimana perasaan
wanita tentang pekerjaan mereka, kehidupan dan pengalaman dari pembelian mereka
menunjukkan bahwa segmen konsumen wanita muda mewakili salah satu peluang pasar terbesar.
Dengan demikian, studi ini berusaha menambah pengetahuan baru untuk mempelajari segmen
yang menarik dan dinamis ini, dari perspektif lintas budaya, yakni studi di Taiwan dan Inggris.
20
4. Pembelian fashion mewah adalah bagian dari diri saya.
5. Jika barang mewah saya dicuri dari saya, saya akan merasa seolah-olah identitas saya
telah direnggut dari saya.
6. Saya mendapatkan beberapa identitas saya dari pembelian fashion mewah saya.
21
Singkatnya, temuan ini menunjukkan bahwa kedua hipotesis signifikan. H1
menggarisbawahi bahwa konsumen wanita muda Taiwan dan Inggris memiliki antusiasme
yang sama terhadap pembelian barang mewah, termasuk belanja barang mewah, dan
frekuensi pembelian. H2 menekankan pada bagaimana konsumen muda Taiwan dan Inggris
mengembangkan bagian dari identitas diri mereka melalui pembelian fashion mewah
mereka sambil menggunakan produk mewah sebagai perluasan dari diri mereka.
22
menentukan perilaku konsumsi terkait “status” adalah budaya negara konsumen, oleh sebab itu
untuk promosi barang mewah sebaiknya disesuaikan dengan budaya negara tersebut.
23
pertimbangan luas variasi sampel serta dimensi sub-budaya, yang timbul dari berbagai lapisan
budaya. Sampel komprehensif dapat mengungkap anteseden dan konsekuensi penting lainnya
yang penting dalam hubungan antara konsumsi barang mewah dan diri. Selain itu, penelitian
selanjutnya didorong untuk memasukkan sampel yang lebih besar untuk melakukan validasi
silang model sehingga dapat dipastikan generalisasi. Dan bisa juga mengadopsi pendekatan
pembangunan model dalam SEM untuk mendapatkan hubungan jalur baru dalam model juga
diinginkan.
24
DAFTAR PUSTAKA
Solomon, Michael. (2018). Consumer Behavior: Buying, Having, and Being 12th Edition.
Pearson.
Wu, Meng-Shan Sharon et al. (2015) Luxury brand purchases and the extended self: A cross-
cultural comparison of young female consumers in Taiwan and the UK. Asia-Pacific
Journal of Business Administration Vol. 7 No. 3, Tahun 2015.
25